Perbedaan Perilaku Menolong Pada Siswa Kelas VI SD di Sekolah

advertisement
PERBEDAAN PERILAKU MENOLONG PADA SISWA KELAS VI SD
DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DENGAN SISWA KELAS VI SD DI
SEKOLAH TIDAK BERBASIS AGAMA (UMUM) DI SALATIGA
Oleh:
KERENHAPUKH REBECCA WAAS
80 2008 131
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi
Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
ABSTRAK
Jenis penelitian ini adalah penelitian perbedaan yang bertujuan untuk
mengetahui perbedaan perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah
berbasis agama dengan siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama
(Umum) di Salatiga. Sebanyak 80 siswa yang terdiri dari 40 siswa yang
bersekolah di sekolah berbasis agama, dan 40 siswa yang bersekolah di
sekolah tidak berbasis agama, diambil sebagai sampel. Metode penelitian yang
dipakai dalam pengumpulan data dengan metode skala, yaitu skala perilaku
menolong. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik uji-t. Dari hasil uji
beda diperoleh nilai t sebesar 5,562 dengan signifikansi = 0,000 (p< 0,05) yang
berarti ada perbedaan antara perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di
sekolah berbasis agama dengan siswa kelas VI SD di sekolah yang tidak
berbasis agama (umum).
Kata Kunci : Perilaku Menolong, Siswa Kelas VI SD, Status Sekolah
i
ABSTRACT
This research is research that aims to determine the differences in
helping behavior differences in sixth grade students in religious schools with
sixth grade students in the school is not based on religion (General) in
Salatiga. A total of 80 students, which consisted of 40 students who attend
religious schools, and 40 students who attend the school are not based on
religion, taken as a sample. The research method used in data collection
methods scale, the scale of helping behavior. Data analysis technique used
is a t-test techniques. Of different test results obtained t value of 5.562 with
a significance = 0.000 (p <0.05), which means there is a difference between
the behavior of helping behavior in sixth grade students in religious schools
with sixth grade students in schools that are not based on religion (general).
Keywords: Helping Behavior, Grade VI Elementary School, School Status
ii
PENDAHULUAN
Siswa bisa diartikan sebagai seseorang yang datang ke suatu lembaga untuk
memperoleh atau mempelajari beberapa tipe pendidikan. Seorang siswa adalah
individu yang mempelajari ilmu pengetahuan berapa pun usianya, dari mana pun
asalnya, siapa pun, dan dalam bentuk apa pun, dengan biaya apa pun untuk
meningkatkan intelek dan moralnya dalam rangka mengembangkan dan
membersihkan jiwanya dan mengikuti jalan kebaikan (Ali, 2005). Siswa sekolah
dasar (SD) kelas V atau VI dapat dikatakan sebagai masa kanak-kanak akhir yang
berlangsung pada usia 11 atau 12 tahun. Pada masa ini, siswa SD tersebut
memiliki karakteristik utama yaitu menampilkan perbedaan-perbedaan individual
dan personal dalam banyak segi dan bidang diantaranya perbedaan dalam
intelegensi, kemampuan kognitif dan bahasa, serta perkembangan kepribadian dan
perkembangan fisik. Perkembangan masa kanak-kanak akhir merupakan
kelanjutan dalam masa awal anak-anak. Periode ini berlangsung dari usia 6 tahun
hingga tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual. Permulaan masa
kanak-kanak akhir ini ditandai dengan masuknya anak ke kelas satu sekolah dasar.
Bagi sebagian besar anak, hal ini merupakan perubahan besar dalam pola
kehidupannya. Sebab, masuk kelas satu merupakan peristiwa penting bagi anak
yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap, nilai, dan perilaku
(Gunarsa, 2003).
Seperti yang dikemukakan oleh Norman (dalam Wildaniah, 2013), manusia
sejak lahir dikaruniai potensi sosialitas, artinya setiap individu memiliki
kemampuan untuk mencapai tujuan hidupnya, tetapi juga merupakan sarana untuk
pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya. Karena manusia pada
1
2
hakikatnya adalah makhluk sosial yang membutuhkan kerjasama, empati, simpati,
saling berbagi dan saling menolong dengan sesamanya. Salah satu aspek
perkembangan anak adalah perkembangan sosial yaitu kemampuan berperilaku
yang sesuai dengan lingkungan sosial. Salah satu aspek penting yang
membedakan manusia dengan makhluk lain adalah derajat saling tolong
menolong, kerja sama, dan memiliki kepedulian antar sesama manusia
Santrock (2002) mendefinisikan perilaku menolong adalah mengutamakan
memberi pertolongan kepada individu lain dengan mengabaikan hak-hak pribadi
atau kepentingan sebagai individu. Sedangkan Damon (dalam Santrock, 2002)
memaparkan urutan dalam perkembangan perilaku menolong, yaitu: Pertama,
pada usia 3 tahun, anak disibukkan dengan tugas perkembangan di lingkungan
teman sebaya dimana anak sudah mampu menerapkan perilaku menolong atau
berbagi kepada teman-temannya namun tanpa dilandasi dengan alasan yang jelas
mengapa perilaku menolong tersebut terjadi. Kedua, pada usia 4 tahun, terjadi
proses perkembangan dimana anak mulai mengerti bagaimana dan mengapa
seharusnya individu menolong orang lain, proses ini terjadi dengan adanya
dorongan motivasi dari orang terdekat anak. Ketiga, memasuki masa sekolah,
anak sudah mampu memunculkan ide atau gagasan-gagasan mengenai cara
menetapkan keadilan dikaitkan dengan perilaku menolong orang lain. Keempat,
pertengahan hingga akhir sekolah dasar, mulai terbentuk konsep-konsep penting
mengenai keberhasilan atau kepuasan prestasi anak dan nilai-nilai serta norma
perilaku menolong mulai diterapkan.
Pada hakikatnya, perilaku menolong sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat. Terutama saat kita dihadapkan pada posisi yang sulit pasti kita
3
akan meminta tolong kepada orang lain. Sama halnya dengan saat kita
membutuhkan bantuan, orang lain pun juga membutuhkan bantuan kita
(Rochmawati, 2013).
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak lepas dari tolong menolong.
Setinggi apapun kemandirian seseorang, pada saat-saat tertentu individu itu akan
membutuhkan orang lain. Perilaku menolong merupakan pemberian pertolongan
pada orang lain tanpa mengharap adanya keuntungan pada diri orang yang
menolong. Secara teoritis kondisi yang demikian sulit didapatkan, terutama pada
jaman sekarang. Seandainya ada, frekuensinya akan sangat kecil (Muhari &
Pratiwi, 2014). Perilaku menolong ini lebih banyak digunakan dengan istilah
perilaku prososial. Perilaku prososial didefinisikan sebagai perilaku yang
memiliki konsekuensi positif pada orang lain. Bentuk yang paling jelas dari
perilaku prososial ini adalah perilaku menolong. Individu yang mempunyai latar
belakang kepribadian yang baik, cenderung mempunyai orientasi sosial yang
tinggi sehingga lebih mudah memberikan pertolongan. Perilaku prososial tidak
lepas dari kehidupan manusia dalam interaksinya di masyarakat. Interaksi
manusia ini tidak terlepas dari perbuatan tolong-menolong, karena dalam
kenyataan kehidupannya meskipun manusia dikatakan mandiri, pada saat tertentu
masih membutuhkan pertolongan orang lain (Muhari & Pratiwi, 2014).
Di sekolah sering dijumpai istilah anak bermasalah, berperilaku sulit, nakal,
dan sebagainya. Agar anak lebih mudah diterima di lingkungannya, anak-anak
juga dapat melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan norma-norma sosial.
Individu dalam suatu masyarakat biasanya melakukan hal-hal yang dapat diterima
dalam budaya masyarakat tertentu. Sebagai contoh anak yang masuk dalam
4
lingkungan yang baru akan lebih mudah diterima dalam lingkungan tersebut jika
anak tersebut baik terhadap anak lain, suka menolong, dan lain sebagainya
(Twenge, Ciarocco, & Baumeister, 2007). Kenyataan di lapangan saat ini pada
siswa SD dari hasil pengamatan peneliti masih banyak siswa yang menunjukkan
perilaku sosial yang rendah baik di luar kelas maupun di dalam kelas seperti:
kurang mau menolong satu sama lain saat ada temannya yang dalam kesusahan
baik itu dalam pelajaran dan pergaulan, saat guru meminta tolong untuk
membantu menghapus papan tulis, siswa tersebut malah mengabaikan permintaan
guru dan menganggu temannya yang lain. Saat ada temannya yang jatuh siswa
tersebut bukan membantunya untuk berdiri malah menertawakannya.
Perilaku menolong adalah setiap tindakan yang memberikan keuntungan bagi
orang lain daripada terhadap diri sendiri (Wrightsman & Deaux, 1981). Kegiatan
menolong dapat dilihat pada anak kecil. Strayer, Wareing, dan Ruston (dalam
Sears, Jonathan, & Anne, 1991) mengamati anak-anak yang berusia 3 sampai 5
tahun bermain di taman bermain universitas. Rata-rata, setiap anak melakukan 15
tindakan menolong per jam, yang berkisar dari tindakan memberikan mainan pada
anak lain, menghibur teman yang sedih, atau menolong guru yang membutuhkan
bantuan.
Menurut Havighurtz (dalam Hurlock, 1997), kesadaran sosial pada usia SD
berkembang dengan pesat. Menjadi pribadi sosial merupakan salah satu tugas
perkembangan yang utama dalam periode ini. Perilaku sosial merupakan suatu
perilaku yang dapat terjadi pada siapa saja, mulai dari anak-anak hingga dewasa
sebagai makhluk sosial dan sebagai bagian dari suatu masyarakat. Setiap orang
punya kecenderungan untuk melakukan tindakan prososial atau tidak, sehingga
5
setiap individu mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan tindakan
prososial atau tidak. Begitu pula pada anak-anak sangat memungkinkan untuk
melakukan tindakan prososial (Muhari & Pratiwi, 2014).
Fenomena-fenomena yang terjadi di Indonesia sekarang ini baik orang
dewasa maupun anak-anak hanya sedikit saja yang melakukan perilaku menolong
terhadap sesamanya, orang dewasa melakukan tindakan menolongnya pada orangorang yang dikenalnya. Fenomena ini sering terlihat ketika ada orang mengalami
kesulitan, sering tidak mendapat bantuan dari orang lain. Sebagian orang, ketika
menyaksikan orang lain dalam kesulitan, langsung membantunya sedang yang
lain barangkali diam saja meskipun mampu melakukannya. Ada juga yang
menimbang-nimbang lebih dahulu sebelum bertindak, serta ada pula yang ingin
membantu, tetapi motifnya bermacam-macam (Mahmud, 2003). Fenomenafenomena tersebut diperkuat oleh beberapa hasil penelitian, seperti yang
dilakukan oleh Sears (dalam Mahmud, 2003) menemukan bahwa beberapa orang
tetap memberikan bantuan kepada orang lain meskipun kondisi situasional
menghambat usaha pemberian bantuan tersebut, sedangkan yang lain tidak
memberikan bantuan meskipun berada dalam kondisi yang sangat baik.
Selanjutnya Staub (dalam Mahmud, 2003) menemukan bahwa orang sering tidak
turun tangan membantu orang lain yang benar-benar memerlukan. Seterusnya,
Foa & Foa (dalam Mahmud, 2003) menemukan bahwa setiap bertindak
membantu orang lain, orang mempertimbangkan untung-ruginya.
Faktor yang juga dianggap mempengaruhi perilaku prososial anak adalah
sekolah. Di mana sekolah sebagai salah satu lingkungan pendidikan yang terdiri
dari berbagai macam individu dengan segala perbedaan, masing-masing sangat
6
memungkinkan anak untuk dapat mengembangkan perilaku prososialnya karena
di sekolah mereka berinteraksi dengan orang yang berbeda dan belajar menerima
perbedaan tersebut (Sears et al , 1991). Lingkungan sekolah juga merupakan
faktor perkembangan perilaku anak, sekolah merupakan lembaga pendidikan
formal yang memiliki peran sangat penting pada perkembangan kepribadian
seorang individu. Lembaga Pendidikan menjadi salah satu kekuatan besar dalam
membentuk sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas hidup dan martabat
bangsa. Keberadaan sekolah sangat penting karena kemajuan zaman menuntut
setiap generasi muda untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih yang mungkin
saja tidak didapatkan dirumah. Lembaga ini merupakan tempat di tanam dan
dikembangkannya nilai-nilai etik, moral dan spiritual. Di samping belajar, seorang
siswa juga dapat mengembangkan bakat, minat dan kemampuannya melalui
berbagai kegiatan yang telah diselenggarakan oleh pihak sekolah salah satunya
yaitu ekstrakurikuler. Di sekolah, anak diajarkan berbagai macam hal positif
untuk membentuk kepribadiannya (Rochmawati, 2013).
Lingkungan
sekolah
memberi
pengaruh
yang
tidak
kecil
dalam
perkembangan kepribadian anak karena anak mulai belajar mengenal peraturan
sekolah, otoritas guru, kedisiplinan, kebiasaan bergaul, cara belajar, dan berbagai
tuntutan sekolah yang akan memperkaya kepribadian anak dalam proses
sosialisasi (Samuel,1981).
Melalui sekolah, anak belajar untuk mengetahui dan membangun keahlian serta
membangun karakteristik mereka sebagai bekal menuju kedewasaan. “For most
children, entering the first grade signal a change a from being a “homechild” to
being a “schoolchild” a situation in which new roles and obligations are
7
experiences (Santrock, 2004) yang artinya bagi kebanyakan anak, memasuki kelas
satu sinyal perubahan dari menjadi "homechild" untuk menjadi "anak sekolah"
suatu situasi dimana peran dan kewajiban baru merupakan pengalamannya.
Jenis lingkungan sekolah sangat beragam tergantung dari sistem yang dianut
di sekolah dalam mendidik siswa-siswanya dan perbedaan sistem pendidikan bisa
disebabkan karena titik berat materi yang disusun dalam kurikulum yang
diberlakukan di sekolah. Salah satu sistem pendidikan yang ada di Indonesia
adalah sekolah berbasis agama dan sekolah umum atau sekolah berbasis non
agama. Sekolah berbasis agama memberikan materi pendidikan agama yang lebih
besar porsinya dibandingkan dengan Sekolah Umum. Sekolah berbasis agama
juga mengedepankan agar para siswa-siswinya berkarakter sesuai dengan agama
yang dianutnya yang memiliki dasar agama yang benar sejak masa kanak-kanak
dan membantu individu tersebut agar bersikap sesuai dengan etika agama masingmasing pada lingkungan dan orang sekitar (Purnamasari, Ekowani, & Fadhila,
2004). Pendidikan sekolah dasar yang berbasis keagamaan adalah suatu
pendidikan sekolah dasar yang menggunakan kurikulum sekolah dasar namun
berbasis pada keagamaan yang meliputi: pendidikan keimanan (IMTAQ),
pendidikan akhlak (budi pekerti), dan pendidikan akal dan teknologi (IPTEK)
(Khasanah, 2012). Sedangkan sekolah umum atau sekolah berbasis non agama
hanya menjadikan agama sebagai salah satu mata pelajaran dan hanya diberikan
selama dua jam selama satu minggu (Putri, 2012).
Berdasarkan observasi dan hasil wawancara penulis di SD Fransiscus
Xaverius (Marsudirini 78) Salatiga pada bulan Agustus 2013 pada salah satu guru
menjelaskan bahwa sekolah berbasis agama menekankan agar para siswa dan
8
siswi mereka dapat menjadi anak yang takut akan Tuhan, mengasihi sesama
manusia dan mempraktekkan nilai-nilai keagaaman pada sesama di lingkungan
sekolah ataupun luar sekolah baik itu hal kecil atau besar. Dan juga salah satu
guru SD Kanisius Cungkup Salatiga mengatakan bahwa setiap 1 bulan sekali
murid-murid diajarkan untuk mengisi acara dalam Gereja pada hari minggu baik
itu bernyanyi ataupun melakukan tindakan amal dengan menolong orang-orang
yang sedang terkena musibah seperti mengumpulkan sumbangan berupa uang,
pakaian, dan lain sebagainya. Guru-guru juga mengajarkan siswa mereka agar
turut membantu dan menolong sesama mereka lewat tindakan-tindakan mulia
tanpa imbalan tanpa melihat suku, budaya atau agama orang yang ditolong.
Sedangkan pada sekolah umum lebih menitikberatkan hasil atau nilai prestasi
belajar siswa mereka dan hasil proses pembelajaran di sekolah mereka.
Penelitian tentang perilaku menolong ini hanya diteliti di lingkungan sekolah
menengah saja padahal menurut Strayer, Wareing & Ruston (dalam Sears et al ,
1991), yang dibuktikan melalui penelitian psikologis menyatakan bahwa perilaku
prososial ini juga dapat dilihat dari penelitian yang sudah ada pada anak kecil
yang berusia 3 sampai 5 tahun dan juga penelitian lainnya seperti penelitian
Cristiana (2009) pada Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata
menunjukkan ada perbedaan perilaku menolong pada anak TK sebelum dan
sesudah diberikan pembelajaran bercerita dengan panggung boneka dimana lebih
tinggi perilaku menolong mereka sesudah diberikan pembelajaran tersebut.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Arsyad (2013) pada Fakultas Ilmu Sosial dan
Humaniora Universitas Islam Sunan Kalijaga terdapat perbedaan tingkat prososial
antara siswa pondok pesantren dengan siswa sekolah umum dimana perilaku
9
siswa pondok pesantren lebih tinggi dibandingkan siswa sekolah umum.
Sedangkan penelitian lain yang dilakukan oleh Purnamasari, Ekowarni, & Fadhila
(2004) yang meneliti tentang perbedaan intensi prososial siswa SMUN dan MAN
di Yogyakarta menemukan bahwa tidak ada perbedaan intensi prososial siswa
SMUN dan MAN di Yogyakarta. Dari hal tersebut peneliti tertarik melakukan
suatu penelitian apakah terdapat perbedaan perilaku menolong pada siswa kelas
VI SD di sekolah berbasis agama dengan siswa kelas VI SD di sekolah berbasis
non agama di Salatiga.
Dari uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap perbedaan perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah
berbasis agama dan siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum) di
Salatiga.
Tinjauan Pustaka
Perilaku Menolong
Perilaku menolong adalah setiap tindakan yang memberikan keuntungan bagi
orang lain daripada terhadap diri sendiri (Wrightsman & Deaux, 1981).
Sedangkan Deaux, Dane, & Wrightsman (dalam Sarwono, Meinarno, & Tim
Penulis Psikologi UI, 2009) mengatakan bahwa yang lebih diutamakan adalah
kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan diri sendiri, terutama dalam
situasi darurat. Sedangkan Patmonodewo (dalam Cristiana, 2009), menegaskan
bahwa perilaku menolong adalah sesuatu yang dipelajari bukan sekedar hasil dari
kematangan, karena kemampuan sosialisasi merupakan hasil belajar. Sekolah
sebagai lingkungan kedua bagi anak setelah lingkungan keluarga mempunyai
peranan besar dalam mengoptimalkan proses belajar sosial bagi anak.
10
Perilaku menolong menurut Wrightsman dan Deaux (1981) dibedakan
berdasarkan tiga bentuk aspek, yaitu:
a. Favor dapat diartikan sebagai tindakan menolong orang lain, dimana usaha
membantu tersebut tidak banyak membutuhkan pengorbanan (pengorbanan
yang kecil). Pengorbanan yang dimaksudkan disini berupa pengorbanan
tenaga/usaha dan waktu.Walaupun pengorbanan yang diberikan pelaku kecil,
namun dampak dari tindakan ini menguntungkan bagi orang lain. Jadi, cost
yang harus diberikan oleh mereka yang melakukan perilaku ini tidaklah begitu
besar, dalam arti tidak melibatkan pengorbanan yang memberatkan pelakunya.
b. Donation. Perilaku ini disebut juga dengan perilaku menyumbang terhadap
seseorang atau organisasi yang memerlukan. Tindakan ini membutuhkan
pengorbanan materi berupa uang atau barang.
c. Intervention in Emergency merupakan perilaku memberikan pertolongan
kepada orang lain yang dilakukan dalam kondisi stressful atau pada situasi
gawat darurat, dengan kemungkinan keuntungan yang sangat kecil bagi yang
melakukan. Dalam melakukan tindakan ini dapat mengundang ancaman
keselamatan diri dari penolong. Oleh karena itu, penolong berkorban besar
dan kemungkinan mendapatkan keuntungan yang sangat kecil dari tindakan
ini. Contoh: membantu menyelamatkan orang yang hanyut di sungai.
Tipe-tipe Perilaku Menolong
Menurut Rushton, Chrisjohn, & Fekken (dalam Bekkers & Wilhelm, 2007),
ada sepuluh tipe-tipe perilaku menolong, yaitu :
1. Mengembalikan uang yang berlebih kepada kasir.
2. Mendahulukan orang lain dalam antrian.
11
3. Menawarkan tempat duduk kepada orang lain yang sedang berdiri dalam
sebuah bus, atau di sebuah tempat umum.
4. Membawakan barang/milik orang lain, seperti tas belanja.
5. Memberikan makanan atau uang kepada pengemis.
6. Menjaga milik orang lain ketika orang tersebut sedang pergi.
7. Meminjamkan sesuatu yang bernilai kepada orang lain.
8. Memberikan uang untuk amal (charity).
9. Melakukan pekerjaan sukarela untuk amal (charity).
10. Mendonorkan darah.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Menolong
Faktor situasional yang meningkatkan atau menghambat perilaku menolong:
1. Kehadiran orang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Darley dan Latane kemudian Latane dan
Robin (1969) menunjukkan hasil bahwa orang yang melihat kejadian darurat
akan lebih suka memberi pertolongan apabila mereka sendirian daripada
bersama orang lain. Sebab dalam situasi kebersamaan, seseorang akan
mengalami kekaburan tanggung jawab (dalam Purba, 2008).
Staub (1978) justru menemukan kontradiksi dengan fenomena di atas,
karena dalam penelitiannya terbukti bahwa individu yang berpasangan atau
bersama orang lain lebih suka bertindak prososial dibandingkan bila individu
seorang diri. Sebab dengan kehadiran orang lain akan mendorong individu
untuk lebih mematuhi norma-norma sosial yang dimotivasi oleh harapan
mendapat pujian (dalam Purba, 2008).
12
2. Menolong orang yang disukai (Helping Those You Like).
Kebanyakan penelitian lebih tertarik meneliti pertolongan yang diberikan
seseorang kepada orang asing, karena sudah jelas orang tersebut akan sangat
cenderung menolong anggota keluarga dan teman. Seseorang akan cenderung
menolong orang asing yang menjadi korban, jika si korban tersebut memiliki
persamaan (usia, ras) dengan si penolong tersebut (Baron, Byrne, &
Branscombe, 2006).
3. Menolong orang yang meniru kita (Helping Those Mimic Us).
Salah satu yang mempengaruhi perilaku prososial adalah mimicry, yaitu
kecenderungan otomatis untuk meniru perilaku orang lain yang berinteraksi
dengan kita. Penelitian menunjukkan bahwa mimicry meningkatkan
kecenderungan terlibat dalam perilaku menolong ini. Efek ini ini terjadi
karena imitasi adalah sebuah aspek penting dari belajar dan akulturasi (Baron
et al, 2006). Ini sesuai dengan pendapat Bandura (dalam Schultz & Schultz,
1994) yang menyatakan bahwa seseorang belajar menolong melalui proses
imitasi. Imitasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan
perbuatan-perbuatan yang baik, karena dengan mengikuti suatu contoh yang
baik akan merangsang seseorang untuk melakukan perilaku yang baik pula
(Purba, 2008).
4. Menolong orang yang tidak bertanggung-jawab terhadap masalahnya (Helping
Those Who Are Not Responsible for Their Problem).
Kita akan cenderung menolong orang lain yang masalah yang dialaminya
terjadi bukan karena kesalahannya. Misalnya, ketika orang menemukan
seorang pria yang tergeletak, tidak sadarkan diri di jalan,dengan botol
13
minuman keras yang kosong di sampingnya akan cenderung kurang
menunjukkan perilaku menolong di bandingkan jika pria yang tergeletak di
jalan itu adalah seorang pria berpakaian mahal dengan luka di kepalanya
karena hal ini mengindikasikan bahwa pria tersebut adalah korban kekerasan
saat sedang di jalan (Baron et al, 2006).
5. Adanya model ( Exposure to Prosocial Models).
Kehadiran orang lain yang berperilaku menolong menimbulkan social
model, dan hasilnya adalah sebuah peningkatan dalam perilaku menolong
pada orang lain yang melihatnya. Selanjutnya, model prososial dalam media
massa juga memberi kontribusi dalam menciptakan norma sosial dalam
perilaku prososial. Dengan menonton perilaku prososial pada televisi
meningkatkan kejadian dari perilaku prososial dalam kehidupan nyata (Baron
et al, 2006).
Jenis Sekolah Dasar
Jenis lingkungan sekolah sangat beragam tergantung dari sistem yang dianut
di sekolah dalam mendidik siswa-siswanya dan perbedaan sistem pendidikan bisa
disebabkan karena titik berat materi yang disusun dalam kurikulum yang
diberlakukan di sekolah.
1. Sekolah Dasar Berbasis Agama
Sekolah dasar berbasis agama adalah salah satu jenjang pendidikan
formal yang bernaung di bawah institusi agama, yang mengajarkan mata
pelajaran umum, dan agama, mempraktikkan aktivitas keagamaan dan budaya
bernafaskan agama. Sekolah berbasis agama memberikan mata pelajaran
agama lebih dominan diajarkan dan juga siswa di tuntut untuk selalu
14
mempraktikan atau mengaplikasikan ajaran agama kedalam aktivitas atau
kegiatan sehari-hari. Dalam pelaksanaannya sekolah berbasis agama
memasukan unsur keagamaan dalam proses pembelajaran ataupun dalam
materi pelajaran yang disampaikan dalam porsi yang lebih daripada sekolah
tidak berbasis agama (umum) (Ali, 2009).
2. Sekolah Dasar Tidak Berbasis Agama (Umum)
Sekolah dasar tidak berbasis agama (swasta ataupun negeri) adalah sekolah
yang menciptakan individu yang bermutu dengan keseimbangan pendidikan
kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual dan untuk menciptakan kualitas
pendidikan yang lebih baik dan bermutu, agar individu tersebut mampu bersaing
di Dunia luar dimana sekolah dasar tidak berbasis agama lebih memperhatikan
perkembangan dan kemajuan prestasi siswa. Sekolah dasar tidak berbasis agama
lebih mengedepankan agar kualitas nilai akademik siswa yang dihasilkan sesuai
dengan kompetensi pendidikan sekolah (Imron, 2011). Sekolah dasar tidak
berbasis agama menjadikan agama sebagai salah satu mata pelajaran dan hanya
diberikan selama dua jam selama satu minggu (Putri, 2012).
Masa Kanak-kanak Akhir
Menurut Hurlock (1997), masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari 6
tahun sampai anak mencapai kematangan seksual, yaitu sekitar 13 tahun bagi anak
perempuan dan 14 tahun bagi anak laki-laki. Oleh orang tua disebut sebagai usia
yang menyulitkan, tidak rapih, atau usia bertengkar, sedangkan para pendidik
disebut usia sekolah dasar, dan oleh ahli psikologi disebut sebagai usia
berkelompok, usia penyesuaian atau usia kreatif. Keterampilan pada masa kanak-
15
kanak akhir dapat digolongkan dalam empat kelompok besar yakni: keterampilan
menolong diri, keterampilan menolong sosial, keterampilan sosial, dan
keterampilan bermain. Pada masa kanak-kanak akhir, sebagian besar anak
mengembangkan kode moral yang dipengaruhi oleh standar moral kelompoknya
dan hati nurani yang membimbing perilaku sebagai pengganti pengawasan dari
luar yang diperlukan pada waktu anak masih kecil.
Kerangka Berpikir
Jenis lingkungan sekolah sangat beragam tergantung dari sistem yang dianut
di sekolah dalam mendidik siswa-siswanya dan perbedaan sistem pendidikan bisa
disebabkan karena titik berat materi yang disusun dalam kurikulum yang
diberlakukan di sekolah. Salah satu sistem pendidikan yang ada di Indonesia
adalah sekolah berbasis agama dan sekolah umum atau sekolah berbasis non
agama. Sekolah berbasis agama memberikan materi pendidikan agama yang lebih
besar porsinya dibandingkan dengan Sekolah Umum. Sekolah berbasis agama
juga mengedepankan agar para siswa-siswinya berkarakter sesuai dengan agama
yang dianutnya yang memiliki dasar agama yang benar sejak masa kanak-kanak
dan membantu individu tersebut agar bersikap sesuai dengan etika agama masingmasing pada lingkungan dan orang sekitar (Purnamasari dkk, 2004). Pendidikan
sekolah dasar yang berbasis keagamaan adalah suatu pendidikan sekolah dasar
yang menggunakan kurikulum sekolah dasar namun berbasis pada keagamaan
yang meliputi: pendidikan keimanan (IMTAQ), pendidikan akhlak (budi pekerti),
dan pendidikan akal dan teknologi (IPTEK) (Khasanah, 2013). Sedangkan
sekolah umum atau sekolah berbasis non agama hanya menjadikan agama sebagai
16
salah satu mata pelajaran dan hanya diberikan selama dua jam selama satu minggu
(Putri, 2012).
Dari pengertian sekolah berbasis agama dan sekolah berbasis non agama di
atas, salah satu aspek perkembangan anak adalah perkembangan sosial yaitu
kemampuan berperilaku yang sesuai dengan lingkungan sosial. Salah satu aspek
penting yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah derajat saling
tolong menolong, kerja sama, dan memiliki kepedulian antar sesama manusia
(Wildaniah, 2013).
Staub (dalam Purnamasari dkk, 2004) menyatakan bahwa perilaku yang
mampunyai konsekuensi positif terhadap orang lain pada umumnya diarahkan
oleh tatanan dan nilai-nilai moral nyang diajarkan oleh ajaran agamanya. Semakin
banyak materi pelajaran agama yang dipahami dengan baik maka akan semakin
banyak nilai-nilai moral dalam agama yang diinternalisasikan, jika nilai-nilai
moral telah diinternalisasi maka setiap prilaku akan mencerminkan nilai-nilai
moral yang dianut. Seseorang yang memiliki banyak pengetahuan tentang nilainiali moral diharapkan akan menginternalisasikan nilai-nilai moral kedalam
dirinya sehingga mendorong untuk berperilaku yang dapat menyumbangkan
kesejahteraan orang lain.
Arsyad (2013) menyatakan terdapat perbedaan tingkat prososial antara siswa
pondok pesantren dengan siswa sekolah umum dimana perilaku siswa pondok
pesantren lebih tinggi dibandingkan siswa sekolah umum. Hal ini terjadi karena
Sekolah berbasis agama mengedepankan agar para siswa-siswinya berkarakter
sesuai dengan agama yang dianutnya yang memiliki dasar agama yang benar
sejak masa kanak-kanak dan membantu individu tersebut agar bersikap sesuai
17
dengan etika agama masing-masing pada lingkungan dan orang sekitar
(Purnamasari dkk, 2004). Dan selanjutnya Al-Ghazali (dalam Khasanah, 2012)
juga menegaskan bahwa hasil dari berpikir merenung (tafakkur) adalah ilmu
pengetahuan, keadaan hati dan amal perbuatan. Ilmu merupakan buah yang
utama, bila ilmu sudah masuk dalam hati maka berubahlah keadaan hati. Bila
keadaan hati sudah berubah maka berubah pula amal perbuatan anggota badan,
jadi amal itu bergantung pada keadaan dan keadaan bergantung pula kepada ilmu.
Hipotesis
Berdasarkan tinjauan teoritis di atas maka ditarik suatu kesimpulan sementara
yang dinyatakan dalam hipotesis bahwa ada perbedaan perilaku menolong yang
signifikan pada siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama dengan siswa kelas
VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum) di Salatiga. Siswa kelas VI SD di
sekolah berbasis agama memiliki perilaku menolong yang lebih tinggi dari siswa
kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum).
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian komparatif. Jenis penelitian
komparatif adalah jenis penelitian yang berbentuk perbandingan dua sampel atau
lebih. Penelitian ini disebut penelitian komparatif karena penelitian ini dilakukan
untuk melihat perbedaan tingkat perilaku menolong antara dua kelompok subyek,
yaitu siswa VI SD di sekolah berbasis agama dan siswa VI SD di sekolah tidak
berbasis agama (umum).
18
Hadi (1991) mengemukakan bahwa metode penelitian merupakan syarat
yang sangat penting dalam suatu penelitian karena menentukan benar salahnya
pengambilan data dan kesimpulan yang diambil pada penelitian tersebut.
Populasi
Populasi didefinisikan sebagai kelompok subjek yang hendak dikenai
generalisasi hasil penelitian (Azwar, 1998). Menurut Hadi (1992) populasi adalah
sejumlah individu yang mempunyai ciri atau sifat yang sama. Adapun populasi
penelitian ini adalah para siswa kelas VI SD yang berusia 11-12 tahun yang
bersekolah di sekolah berbasis agama dan bersekolah di sekolah tidak berbasis
agama (umum) di Salatiga.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan penelitian
berupa angket. Angket adalah dasar pertanyaan yang harus dijawab atau daftar
isian yang harus diisi berdasarkan sejumlah subyek (Suryabrata, 1984). Angket
yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan angket pilihan dalam bentuk
checklist yang disusun berdasarkan skala model Likert. Penggunaan angket
semacam ini memudahkan subjek dalam mengerjakan karena subjek hanya perlu
memberikan tanda check () pada salah satu jawaban yang menurut subjek paling
benar dan tersedia di dalam angket.
Angket yang digunakan dalam penelitian adalah Skala Perilaku Menolong
yang disusun oleh penulis sendiri berdasarkan teori dan indikator untuk
memperoleh data mengenai perilaku menolong. Adapun aspek-aspeknya, yaitu:
favor, donation, dan intervention in emergency dari teori perilaku menolong oleh
Wrightsman & Deaux (1981). Dari aspek-aspek tersebut penulis menyusun 5 item
19
favorable dan 5 item unfavorable untuk masing-masing aspek sehingga jumlah
keseluruhan 30 item. Peneliti menggunakan arah pemberian skor berdasarkan
favorable atau unfavorable item dalam angket. Untuk pernyataan favorable,
jawaban sangat setuju (SS) diberi skor 4, setuju (S) diberi skor 3, tidak setuju (TS)
diberi skor 2, dan jawaban sangat tidak setuju diberi skor 1. Sedangkan untuk
pernyataan unfavorable jawaban sangat tidak setuju (STS) diberi skor 1, setuju (S)
diberi skor 2, tidak setuju (TS) diberi skor 3, dan sangat tidak setuju (STS) diberi
skor 4.
Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item Skala Perilaku Menolong
Siswa Kelas VI SD yang terdiri dari 30 item, diperoleh item yang gugur sebanyak
2 item dengan koefisien korelasi item totalnya bergerak antara 0,320-0,674,
sehingga tersisa 28 item. Penentuan-penentuan uji lolos diskriminasi item
menggunakan ketentuan dari Azwar (2012) yang menyatakan bahwa item pada
skala pengukuran dapat dikatakan lolos apabila nilai item total korelasi ≥ 0,30.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan try out terpakai. Try out terpakai
yaitu subjek yang digunakan untuk try out sekaligus digunakan untuk penelitian.
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama
dan sekolah tidak berbasis agama.
Sedangkan
teknik
pengukuran
untuk
menguji
reliabilitas
adalah
menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien
Alpha pada Skala Perilaku Menolong Siswa Kelas VI SD sebesar 0,917. Hal ini
berarti Skala Perilaku Menolong Siswa Kelas VI SD reliabel.
20
Hasil Analisis Deskriptif
Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, dan
standar deviasi sebagai hasil pengukuran Skala Perilaku Menolong pada siswa
kelas VI SD di sekolah berbasis agama dan yang tidak berbasis agama (umum)
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1: statistik deskriptif hasil pengukuran perilaku menolong pada
siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama dan yang tidak berbasis
agama (umum)
Jenis
Sekolah
berbasis
agama
Sekolah
tidak
berbasis
agama
Interval
112 ≤ x ≤ 91
91 ≤ x < 70
70 ≤ x < 49
49 ≤ x < 28
Jumlah
112 ≤ x ≤ 91
91 ≤ x < 70
70 ≤ x < 49
49 ≤ x < 28
Jumlah
Kategori
Sangat Tinggi
Tinggi
Rendah
Sangat Rendah
Sangat Tinggi
Tinggi
Rendah
Sangat Rendah
f
33
7
0
0
40
13
25
2
0
40
%
82,5
17,5
0
0
100
32,5
62,5
5
0
100
Mean
98.48
SD
Max
Min
9.468
112
72
9.388
109
61
86.75
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar siswa yang bersekolah
di sekolah berbasis agama memiliki tingkat perilaku menolong sangat tinggi yaitu
33 siswa atau 82,5% dimana skor paling rendah adalah 72 dan skor paling tinggi
adalah 112 rata-ratanya sebesar 98,48 dengan standar deviasi 9,468. Begitu juga
dengan siswa yang bersekolah di sekolah tidak berbasis agama (umum) memiliki
tingkat perilaku menolong tinggi yaitu 25 siswa atau 62,55% dimana skor paling
rendah adalah 61 dan skor paling tinggi adalah 109 rata-ratanya sebesar 86,75
dengan standar deviasi 9,388.
21
Analisis Data
Untuk melihat perbedaan perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di
sekolah berbasis agama dan siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama
(umum) digunakan pengujian uji-t (T test). Pengujian ini dilakukan dengan
bantuan program komputer SPPS for Windows Versi 17.0.
HASIL PENELITIAN
Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Uji
normalitas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2: Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Perilaku
Perilaku
menolong
menolong tidak
berbasis agama berbasis agama
N
a
Normal Parameters
Most Extreme
Differences
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative
40
40
98.48
9.468
.109
.077
-.109
.687
.732
86.75
9.388
.112
.112
-.100
.710
.695
Pada Skala Perilaku Menolong pada siswa kelas VI di sekolah berbasis
agama diperoleh nilai K-S-Z sebesar 0,687 dengan probabilitas (p) atau
signifikansi sebesar 0,732 (p>0,05). Sedangkan pada skor Perilaku Menolong
pada siswa kelas VI di sekolah yang tidak berbasis agama (umum) memiliki nilai
K-S-Z sebesar 0,710 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,695.
Dengan demikian kedua jenis sanpel berdistribusi normal.
22
Sementara dari hasil uji homogenitas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3: Uji Homogenitas
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic
df1
.013
df2
Sig.
1
78
.909
Dari tabel di atas dapat dilihat nilai signifikansi dari uji homogenitas dari
sampel siswa yang bersekolah di sekolah berbasis agama dan siswa yang
bersekolah di sekolah tidak berbasis agama (umum) sebesar 0.909. Karena
signifikansi 0,909 > 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa sampel penelitian ini
bersifat homogen atau memiliki varians yang sama.
Uji-t
Dari perhitungan uji-t, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4: Hasil Uji-t perilaku menolong pada siswa kelas VI SD yang
bersekolah di sekolah berbasis agama dan yang bersekolah di sekolah
tidak berbasis agama (umum)
Independent Samples Test
Levene's
Test for
Equality of
Variances
F
Perilaku
Equal
menolong variances
assumed
Equal
variances not
assumed
Sig.
t-test for Equality of Means
t
95%
Confidence
Interval of the
Mean Std. Error Difference
Sig. (2- Differenc Differenc
tailed)
e
e
Lower Upper
df
.013 .909 5.562
78
.000
11.725
2.108 7.528 15.922
5.562
78
.000
11.725
2.108 7.528 15.922
Hasil perhitungan uji beda (uji-t), diperoleh nilai t-hitung adalah sebesar
5,562 dengan signifikansi = 0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada
23
perbedaan antara perilaku perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah
berbasis agama dengan siswa kelas VI SD di sekolah yang tidak berbasis agama
(umum).
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisa data penelitian mengenai perbedaan perilaku
menolong pada siswa kelas VI SD di Sekolah berbasis agama dengan siswa kelas
VI SD di Sekolah tidak berbasis agama (umum) di Salatiga dengan menggunakan
program Statistical Product and Service Solution (SPPS) versi 17.0, diperoleh thitung sebesar 5,562 signifikansi = 0,000 (p < 0,05) yang artinya Ho ditolak dan
H1 diterima. Dimana siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama memiliki nilai
mean 98,48 yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kelas VI SD di sekolah
tidak berbasis agama yang memiliki nilai mean 86,75.
Lembaga Pendidikan menjadi salah satu kekuatan besar dalam membentuk
sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas hidup dan martabat bangsa.
Keberadaan sekolah sangat penting karena kemajuan zaman menuntut setiap
generasi muda untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih yang mungkin saja
tidak didapatkan dirumah. Lembaga ini merupakan tempat di tanam dan
dikembangkannya nilai-nilai etik, moral dan spiritual. Lingkungan sekolah
memberi pengaruh yang tidak kecil dalam perkembangan kepribadian anak karena
anak mulai belajar mengenal peraturan sekolah, otoritas guru, kedisiplinan,
kebiasaan bergaul, cara belajar, dan berbagai tuntutan sekolah yang akan
memperkaya kepribadian anak dalam proses sosialisasi (Samuel,1981).
Staub (dalam Purnamasari dkk, 2004) menyatakan bahwa perilaku yang
mampunyai konsekuensi positif terhadap orang lain pada umumnya diarahkan
24
oleh tatanan dan nilai-nilai moral nyang diajarkan oleh ajaran agamanya. Semakin
banyak materi pelajaran agama yang dipahami dengan baik maka akan semakin
banyak nilai-nilai moral dalam agama yang diinternalisasikan, jika nilai-nilai
moral telah diinternalisasi maka setiap prilaku akan mencerminkan nilai-nilai
moral yang dianut. Seseorang yang memiliki banyak pengetahuan tentang nilainiali moral diharapkan akan menginternalisasikan nilai-nilai moral kedalam
dirinya sehingga mendorong untuk berperilaku yang dapat menyumbangkan
kesejahteraan orang lain.
Dari uraian di atas, penulis dapat mengatakan bahwa siswa SD yang
bersekolah di sekolah berbasis agama memiliki tingkat perilaku menolong yang
lebih tinggi dibandingkan dengan siswa SD yang bersekolah di sekolah tidak
berbasis agama (umum). Hal tersebut dikarenakan sekolah berbasis agama
menitik beratkan materi yang disusun dalam kurikulum sekolah yang memberikan
materi pendidikan agama yang lebih besar porsinya, dan mengedepankan agar
para siswa-siswinya berkarakter sesuai dengan agama yang dianutnya yang
memiliki dasar agama yang benar sejak masa kanak-kanak dan membantu
individu tersebut agar bersikap sesuai dengan etika agama masing-masing pada
lingkungan dan orang sekitar (Purnamasari dkk, 2004).
Berdasarkan hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini, diperoleh data
bahwa perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama
memperoleh mean sebesar 98,48 yang berada pada kategori sangat tinggi
sedangkan pada siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum)
memperoleh mean sebesar 86,75 yang berada pada kategori tinggi. Hal tersebut
menunjukkan bahwa siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama memiliki
25
tingkat perilaku menolong yang sangat tinggi dibandingkan siswa VI SD di
sekolah tidak berbasis agama (umum) di Salatiga.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Arsyad (2013)
yang juga mengatakan bahwa terdapat perbedaan tingkat prososial antara siswa
pondok pesantren dengan siswa sekolah umum dimana perilaku siswa pondok
pesantren lebih tinggi dibandingkan siswa sekolah umum.
Faktor yang dianggap mempengaruhi perilaku prososial anak adalah sekolah.
Di mana sekolah sebagai salah satu lingkungan pendidikan yang terdiri dari
berbagai macam individu dengan segala perbedaan, masing-masing sangat
memungkinkan anak untuk dapat mengembangkan perilaku prososialnya karena
di sekolah mereka berinteraksi dengan orang yang berbeda dan belajar menerima
perbedaan tersebut (Sears et al , 1991).
Patmonodewo (dalam Cristiana, 2009), menegaskan bahwa perilaku
menolong adalah sesuatu yang dipelajari bukan sekedar hasil dari kematangan,
karena kemampuan sosialisasi merupakan hasil belajar. Sekolah sebagai
lingkungan kedua bagi anak setelah lingkungan keluarga mempunyai peranan
besar dalam mengoptimalkan proses belajar sosial bagi anak. Pendidikan sekolah
dasar yang berbasis keagamaan adalah suatu pendidikan sekolah dasar yang
menggunakan kurikulum sekolah dasar namun berbasis pada keagamaan yang
meliputi: pendidikan keimanan (IMTAQ), pendidikan akhlak (budi pekerti), dan
pendidikan akal dan teknologi (IPTEK) (Khasanah, 2012).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sekolah berbasis
agama memberikan kontribusi besar pada pengembangan perilaku menolong anak
dalam proses pembelajaran, sehingga nampak jelas terdapat perbedaan perilaku
26
menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama memiliki kategori
sangat tinggi dibandingkan siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama
(umum) di Salatiga.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbedaan perilaku menolong pada
siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama dengan siswa kelas VI SD di sekolah
tidak berbasis agama (umum) di Salatiga, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.
Terdapat perbedaan antara siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama
dengan siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum) di
Salatiga.
2.
Siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama memiliki tingkat perilaku
menolong dalam kategori sangat tinggi (98,48) dibandingkan dengan siswa
kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum) yang memiliki tingkat
perilaku menolong dalam kategori tinggi (86,75).
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka penulis
menyarankan hal-hal sebagai berikut:
1.
Bagi siswa siswi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku menolong pada siswa di
sekolah berbasis agama memiliki kategori sangat tinggi dan siswa di sekolah
tidak berbasis agama memiliki kategori tinggi. Para siswa dari ke dua sekolah
dapat mempertahankan perilaku menolong dan bisa mengembangkan perilaku
27
menolong bukan hanya di sekolah namun bisa di lingkungan sekitar maupun
di rumah.
2.
Bagi sekolah dan guru.
Di sekolah, guru yang memegang peranan penting dalam mendidik para
siswa. Maka kepada pihak sekolah khususnya guru sebagai seorang fasilitator
di sekolah, disarankan lebih meningkatkan kualitas mendidik dan mengajar
siswa, sehingga siswa mampu meningkatkan perilaku menolong mereka
sehingga mereka dapat ikut terlibat aktif
dalam proses pembelajaran di
sekolah maupun di lingkungan sekitar dalam mengembangkan dan
meningkatkan perilaku menolongnya.
3.
Bagi peneliti selanjutnya.
Bagi penelitian selanjutnya yang tertarik melakukan dan mengembangkan
penelitian tentang perbedaan perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di
sekolah berbasis agama dan sekolah tidak berbasis agama dapat melakukan
penelitian kepada kelompok usia yang berbeda dengan subjek, baik itu siswa
SMP ataupun SMA. Penelitian selanjutnya juga dapat melakukan penelitian
bukan hanya satu sekolah saja dari masing-masing sampel.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, K. S. (2005). Filsafat pendidikan al-ghazali. Bandung: Pustaka Setia.
Ali, I. (2009). Manajemen mutu sekolah dasar berbasis religi (studi multi kasus
pada SD Mintu, SD Iwaha, SD Kasayuga dan SD Kripe). Laporan
Penelitian. UM-Malang
Arsyad, A. (2013). Perbedaan perilaku prososial siswa pondok pesantren X
dengan siswa negeri Y Di Yogyakarta. Laporan Penelitian. FISHUMUINSK Yogyakarta.
Azwar, S. (1998). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Liberty.
_______. (2012). Penyusunan skala psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Baron, R.A., Byrne, D., & Branscombe, R.N. (2006). Social psychology. 11th Ed. USA
Bekkers, Rene, & Wihelm, M. O. (2007). Helping, empathy, principle of care.
http://www.philantrphy.iupui.edu/Research/workingpapers/HelpingEmpathy-care%20wilhelm%20bekkers%20-2006.pdf. (diakses tanggal 29
Juni 2014).
Christiana, G. (2009). Pembelajaran perilaku menolong pada anak TK melalui
bercerita dengan panggung boneka. Laporan Penelitian. Fpsi-UKS
Semarang.
Gunarsa, S. D. (2003). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: PT.
BPK Gunung Mulia.
Hadi, S. (1991). Metodologi penelitian. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi UGM.
______. (1992). Statistik 2. Yogyakarta: Andi Offset.
______. (1997). Analisis butir-butir untuk instrumen. Yogyakarta: Andi Offset.
Hurlock, E. B. (1997). Perkembangan anak. Jakarta: Erlangga.
Imron, G. (2011). Belajar di Mana Ya? Sekolah Negeri atau Swasta?.
Bandung: Angkasa.
Khasanah, N. (2012). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan
Orang Tua dalam Memilih Sekolah Dasar Swasta (SD Virgo Maria 2 dan
SDIP. H. Soebandi Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang). Skripsi (Tidak
Diterbitkan). UKSW.
Mahmud. (2003). Hubungan antara gaya pengasuhan orang tua dengan tingkah
laku prososial anak. Jurnal Psikologi. Vol 11. No. 1, h. 1-10.
2
Muhari & Pratiwi, (2014). Studi tentang perilaku prososial dan penanganan
konselor terhadap perilaku prososial. Jurnal BK UNESA, Vol. 04 No. 1
2014:1-5.
Purnamasari, A., Ekowarni, E., & Fadhila, A. (2004). Perbedaan intensi prososial
siswa SMUN dan MAN di Yogyakarta. Humanitas : Indonesian
Psychologycal Journal, Vol.1 No. 1 Januari 2004:32-42.S
Purba, D. E. L., (2008). Pengaruh tayangan berita kriminal terhadap
kecenderungan Perilaku Menolong. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2014
dari www.learningbenefit.net/publications/ResReps/ResRep33.pdf
Putri, F. A. (2012). Perbedaan tingkat teligiusitas dan sikap terhadap seks
pranikah antara pelajar yang bersekolah di SMA umum dan SMA berbasis
agama. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, Vol. 1 No. 1.
Rochmawati, Eka. (2013). Palang merah remaja sebagai wadah pengembangan
perilaku menolong di kalangan siswa SMA Negeri 9 Semarang. Skripsi
(Tidak Diterbitkan). FIS-UNS.
Samuel, W. (1981). Personality. New York : John Willey and Sons, Inc.
Santrock, J. W. (2002). Life span development. International Edition. New York:
Mc Graw Hill Companies.
____________. (2004). Life span development (9th ed.). New York: The McGraw
Hill Company.
Sarwono, S. W., Meinarno, E. A., & Tim Penulis Fakultas Psikologi UI. (2009).
Psikologi sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Sears, D. O., Jonathan, L. F., & Anne, P.L, (1991), Psikologi sosial. Jilid 2. Alih
bahasa: Michael Adryanto. Jakarta : Erlangga.
Suryabrata, S. (1984). Metodologi penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Twenge, J. M., Ciarocco, N. J., Baumeister, R. F., DeWall, C. N., & Bartels, J. M.
(2007). Social exclusion decreases prosocial behavior. Journal of
Personality and Social Psychology, 92 (1), 56-66.
Wildaniah, F. (2013). Progam bimbingan untuk mengembangkan perilaku
prososial anak usia dini melalui bermain di TPA taman isola. Skripsi (Tidak
Diterbitkan). Universitas Pendidikan Indonesia-Bandung.
Wrightsman, L.S., & Deaux, D.F.K. (1981). Social psychology in the 80’s.
California: Brooks/Cole Publishing Company.
Download