PERBEDAAN PERILAKU MENOLONG PADA SISWA KELAS VI SD DI SEKOLAH BERBASIS AGAMA DENGAN SISWA KELAS VI SD DI SEKOLAH TIDAK BERBASIS AGAMA (UMUM) DI SALATIGA Oleh: KERENHAPUKH REBECCA WAAS 80 2008 131 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015 ABSTRAK Jenis penelitian ini adalah penelitian perbedaan yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama dengan siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama (Umum) di Salatiga. Sebanyak 80 siswa yang terdiri dari 40 siswa yang bersekolah di sekolah berbasis agama, dan 40 siswa yang bersekolah di sekolah tidak berbasis agama, diambil sebagai sampel. Metode penelitian yang dipakai dalam pengumpulan data dengan metode skala, yaitu skala perilaku menolong. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik uji-t. Dari hasil uji beda diperoleh nilai t sebesar 5,562 dengan signifikansi = 0,000 (p< 0,05) yang berarti ada perbedaan antara perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama dengan siswa kelas VI SD di sekolah yang tidak berbasis agama (umum). Kata Kunci : Perilaku Menolong, Siswa Kelas VI SD, Status Sekolah i ABSTRACT This research is research that aims to determine the differences in helping behavior differences in sixth grade students in religious schools with sixth grade students in the school is not based on religion (General) in Salatiga. A total of 80 students, which consisted of 40 students who attend religious schools, and 40 students who attend the school are not based on religion, taken as a sample. The research method used in data collection methods scale, the scale of helping behavior. Data analysis technique used is a t-test techniques. Of different test results obtained t value of 5.562 with a significance = 0.000 (p <0.05), which means there is a difference between the behavior of helping behavior in sixth grade students in religious schools with sixth grade students in schools that are not based on religion (general). Keywords: Helping Behavior, Grade VI Elementary School, School Status ii PENDAHULUAN Siswa bisa diartikan sebagai seseorang yang datang ke suatu lembaga untuk memperoleh atau mempelajari beberapa tipe pendidikan. Seorang siswa adalah individu yang mempelajari ilmu pengetahuan berapa pun usianya, dari mana pun asalnya, siapa pun, dan dalam bentuk apa pun, dengan biaya apa pun untuk meningkatkan intelek dan moralnya dalam rangka mengembangkan dan membersihkan jiwanya dan mengikuti jalan kebaikan (Ali, 2005). Siswa sekolah dasar (SD) kelas V atau VI dapat dikatakan sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung pada usia 11 atau 12 tahun. Pada masa ini, siswa SD tersebut memiliki karakteristik utama yaitu menampilkan perbedaan-perbedaan individual dan personal dalam banyak segi dan bidang diantaranya perbedaan dalam intelegensi, kemampuan kognitif dan bahasa, serta perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik. Perkembangan masa kanak-kanak akhir merupakan kelanjutan dalam masa awal anak-anak. Periode ini berlangsung dari usia 6 tahun hingga tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual. Permulaan masa kanak-kanak akhir ini ditandai dengan masuknya anak ke kelas satu sekolah dasar. Bagi sebagian besar anak, hal ini merupakan perubahan besar dalam pola kehidupannya. Sebab, masuk kelas satu merupakan peristiwa penting bagi anak yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap, nilai, dan perilaku (Gunarsa, 2003). Seperti yang dikemukakan oleh Norman (dalam Wildaniah, 2013), manusia sejak lahir dikaruniai potensi sosialitas, artinya setiap individu memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan hidupnya, tetapi juga merupakan sarana untuk pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya. Karena manusia pada 1 2 hakikatnya adalah makhluk sosial yang membutuhkan kerjasama, empati, simpati, saling berbagi dan saling menolong dengan sesamanya. Salah satu aspek perkembangan anak adalah perkembangan sosial yaitu kemampuan berperilaku yang sesuai dengan lingkungan sosial. Salah satu aspek penting yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah derajat saling tolong menolong, kerja sama, dan memiliki kepedulian antar sesama manusia Santrock (2002) mendefinisikan perilaku menolong adalah mengutamakan memberi pertolongan kepada individu lain dengan mengabaikan hak-hak pribadi atau kepentingan sebagai individu. Sedangkan Damon (dalam Santrock, 2002) memaparkan urutan dalam perkembangan perilaku menolong, yaitu: Pertama, pada usia 3 tahun, anak disibukkan dengan tugas perkembangan di lingkungan teman sebaya dimana anak sudah mampu menerapkan perilaku menolong atau berbagi kepada teman-temannya namun tanpa dilandasi dengan alasan yang jelas mengapa perilaku menolong tersebut terjadi. Kedua, pada usia 4 tahun, terjadi proses perkembangan dimana anak mulai mengerti bagaimana dan mengapa seharusnya individu menolong orang lain, proses ini terjadi dengan adanya dorongan motivasi dari orang terdekat anak. Ketiga, memasuki masa sekolah, anak sudah mampu memunculkan ide atau gagasan-gagasan mengenai cara menetapkan keadilan dikaitkan dengan perilaku menolong orang lain. Keempat, pertengahan hingga akhir sekolah dasar, mulai terbentuk konsep-konsep penting mengenai keberhasilan atau kepuasan prestasi anak dan nilai-nilai serta norma perilaku menolong mulai diterapkan. Pada hakikatnya, perilaku menolong sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Terutama saat kita dihadapkan pada posisi yang sulit pasti kita 3 akan meminta tolong kepada orang lain. Sama halnya dengan saat kita membutuhkan bantuan, orang lain pun juga membutuhkan bantuan kita (Rochmawati, 2013). Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak lepas dari tolong menolong. Setinggi apapun kemandirian seseorang, pada saat-saat tertentu individu itu akan membutuhkan orang lain. Perilaku menolong merupakan pemberian pertolongan pada orang lain tanpa mengharap adanya keuntungan pada diri orang yang menolong. Secara teoritis kondisi yang demikian sulit didapatkan, terutama pada jaman sekarang. Seandainya ada, frekuensinya akan sangat kecil (Muhari & Pratiwi, 2014). Perilaku menolong ini lebih banyak digunakan dengan istilah perilaku prososial. Perilaku prososial didefinisikan sebagai perilaku yang memiliki konsekuensi positif pada orang lain. Bentuk yang paling jelas dari perilaku prososial ini adalah perilaku menolong. Individu yang mempunyai latar belakang kepribadian yang baik, cenderung mempunyai orientasi sosial yang tinggi sehingga lebih mudah memberikan pertolongan. Perilaku prososial tidak lepas dari kehidupan manusia dalam interaksinya di masyarakat. Interaksi manusia ini tidak terlepas dari perbuatan tolong-menolong, karena dalam kenyataan kehidupannya meskipun manusia dikatakan mandiri, pada saat tertentu masih membutuhkan pertolongan orang lain (Muhari & Pratiwi, 2014). Di sekolah sering dijumpai istilah anak bermasalah, berperilaku sulit, nakal, dan sebagainya. Agar anak lebih mudah diterima di lingkungannya, anak-anak juga dapat melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan norma-norma sosial. Individu dalam suatu masyarakat biasanya melakukan hal-hal yang dapat diterima dalam budaya masyarakat tertentu. Sebagai contoh anak yang masuk dalam 4 lingkungan yang baru akan lebih mudah diterima dalam lingkungan tersebut jika anak tersebut baik terhadap anak lain, suka menolong, dan lain sebagainya (Twenge, Ciarocco, & Baumeister, 2007). Kenyataan di lapangan saat ini pada siswa SD dari hasil pengamatan peneliti masih banyak siswa yang menunjukkan perilaku sosial yang rendah baik di luar kelas maupun di dalam kelas seperti: kurang mau menolong satu sama lain saat ada temannya yang dalam kesusahan baik itu dalam pelajaran dan pergaulan, saat guru meminta tolong untuk membantu menghapus papan tulis, siswa tersebut malah mengabaikan permintaan guru dan menganggu temannya yang lain. Saat ada temannya yang jatuh siswa tersebut bukan membantunya untuk berdiri malah menertawakannya. Perilaku menolong adalah setiap tindakan yang memberikan keuntungan bagi orang lain daripada terhadap diri sendiri (Wrightsman & Deaux, 1981). Kegiatan menolong dapat dilihat pada anak kecil. Strayer, Wareing, dan Ruston (dalam Sears, Jonathan, & Anne, 1991) mengamati anak-anak yang berusia 3 sampai 5 tahun bermain di taman bermain universitas. Rata-rata, setiap anak melakukan 15 tindakan menolong per jam, yang berkisar dari tindakan memberikan mainan pada anak lain, menghibur teman yang sedih, atau menolong guru yang membutuhkan bantuan. Menurut Havighurtz (dalam Hurlock, 1997), kesadaran sosial pada usia SD berkembang dengan pesat. Menjadi pribadi sosial merupakan salah satu tugas perkembangan yang utama dalam periode ini. Perilaku sosial merupakan suatu perilaku yang dapat terjadi pada siapa saja, mulai dari anak-anak hingga dewasa sebagai makhluk sosial dan sebagai bagian dari suatu masyarakat. Setiap orang punya kecenderungan untuk melakukan tindakan prososial atau tidak, sehingga 5 setiap individu mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan tindakan prososial atau tidak. Begitu pula pada anak-anak sangat memungkinkan untuk melakukan tindakan prososial (Muhari & Pratiwi, 2014). Fenomena-fenomena yang terjadi di Indonesia sekarang ini baik orang dewasa maupun anak-anak hanya sedikit saja yang melakukan perilaku menolong terhadap sesamanya, orang dewasa melakukan tindakan menolongnya pada orangorang yang dikenalnya. Fenomena ini sering terlihat ketika ada orang mengalami kesulitan, sering tidak mendapat bantuan dari orang lain. Sebagian orang, ketika menyaksikan orang lain dalam kesulitan, langsung membantunya sedang yang lain barangkali diam saja meskipun mampu melakukannya. Ada juga yang menimbang-nimbang lebih dahulu sebelum bertindak, serta ada pula yang ingin membantu, tetapi motifnya bermacam-macam (Mahmud, 2003). Fenomenafenomena tersebut diperkuat oleh beberapa hasil penelitian, seperti yang dilakukan oleh Sears (dalam Mahmud, 2003) menemukan bahwa beberapa orang tetap memberikan bantuan kepada orang lain meskipun kondisi situasional menghambat usaha pemberian bantuan tersebut, sedangkan yang lain tidak memberikan bantuan meskipun berada dalam kondisi yang sangat baik. Selanjutnya Staub (dalam Mahmud, 2003) menemukan bahwa orang sering tidak turun tangan membantu orang lain yang benar-benar memerlukan. Seterusnya, Foa & Foa (dalam Mahmud, 2003) menemukan bahwa setiap bertindak membantu orang lain, orang mempertimbangkan untung-ruginya. Faktor yang juga dianggap mempengaruhi perilaku prososial anak adalah sekolah. Di mana sekolah sebagai salah satu lingkungan pendidikan yang terdiri dari berbagai macam individu dengan segala perbedaan, masing-masing sangat 6 memungkinkan anak untuk dapat mengembangkan perilaku prososialnya karena di sekolah mereka berinteraksi dengan orang yang berbeda dan belajar menerima perbedaan tersebut (Sears et al , 1991). Lingkungan sekolah juga merupakan faktor perkembangan perilaku anak, sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang memiliki peran sangat penting pada perkembangan kepribadian seorang individu. Lembaga Pendidikan menjadi salah satu kekuatan besar dalam membentuk sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas hidup dan martabat bangsa. Keberadaan sekolah sangat penting karena kemajuan zaman menuntut setiap generasi muda untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih yang mungkin saja tidak didapatkan dirumah. Lembaga ini merupakan tempat di tanam dan dikembangkannya nilai-nilai etik, moral dan spiritual. Di samping belajar, seorang siswa juga dapat mengembangkan bakat, minat dan kemampuannya melalui berbagai kegiatan yang telah diselenggarakan oleh pihak sekolah salah satunya yaitu ekstrakurikuler. Di sekolah, anak diajarkan berbagai macam hal positif untuk membentuk kepribadiannya (Rochmawati, 2013). Lingkungan sekolah memberi pengaruh yang tidak kecil dalam perkembangan kepribadian anak karena anak mulai belajar mengenal peraturan sekolah, otoritas guru, kedisiplinan, kebiasaan bergaul, cara belajar, dan berbagai tuntutan sekolah yang akan memperkaya kepribadian anak dalam proses sosialisasi (Samuel,1981). Melalui sekolah, anak belajar untuk mengetahui dan membangun keahlian serta membangun karakteristik mereka sebagai bekal menuju kedewasaan. “For most children, entering the first grade signal a change a from being a “homechild” to being a “schoolchild” a situation in which new roles and obligations are 7 experiences (Santrock, 2004) yang artinya bagi kebanyakan anak, memasuki kelas satu sinyal perubahan dari menjadi "homechild" untuk menjadi "anak sekolah" suatu situasi dimana peran dan kewajiban baru merupakan pengalamannya. Jenis lingkungan sekolah sangat beragam tergantung dari sistem yang dianut di sekolah dalam mendidik siswa-siswanya dan perbedaan sistem pendidikan bisa disebabkan karena titik berat materi yang disusun dalam kurikulum yang diberlakukan di sekolah. Salah satu sistem pendidikan yang ada di Indonesia adalah sekolah berbasis agama dan sekolah umum atau sekolah berbasis non agama. Sekolah berbasis agama memberikan materi pendidikan agama yang lebih besar porsinya dibandingkan dengan Sekolah Umum. Sekolah berbasis agama juga mengedepankan agar para siswa-siswinya berkarakter sesuai dengan agama yang dianutnya yang memiliki dasar agama yang benar sejak masa kanak-kanak dan membantu individu tersebut agar bersikap sesuai dengan etika agama masingmasing pada lingkungan dan orang sekitar (Purnamasari, Ekowani, & Fadhila, 2004). Pendidikan sekolah dasar yang berbasis keagamaan adalah suatu pendidikan sekolah dasar yang menggunakan kurikulum sekolah dasar namun berbasis pada keagamaan yang meliputi: pendidikan keimanan (IMTAQ), pendidikan akhlak (budi pekerti), dan pendidikan akal dan teknologi (IPTEK) (Khasanah, 2012). Sedangkan sekolah umum atau sekolah berbasis non agama hanya menjadikan agama sebagai salah satu mata pelajaran dan hanya diberikan selama dua jam selama satu minggu (Putri, 2012). Berdasarkan observasi dan hasil wawancara penulis di SD Fransiscus Xaverius (Marsudirini 78) Salatiga pada bulan Agustus 2013 pada salah satu guru menjelaskan bahwa sekolah berbasis agama menekankan agar para siswa dan 8 siswi mereka dapat menjadi anak yang takut akan Tuhan, mengasihi sesama manusia dan mempraktekkan nilai-nilai keagaaman pada sesama di lingkungan sekolah ataupun luar sekolah baik itu hal kecil atau besar. Dan juga salah satu guru SD Kanisius Cungkup Salatiga mengatakan bahwa setiap 1 bulan sekali murid-murid diajarkan untuk mengisi acara dalam Gereja pada hari minggu baik itu bernyanyi ataupun melakukan tindakan amal dengan menolong orang-orang yang sedang terkena musibah seperti mengumpulkan sumbangan berupa uang, pakaian, dan lain sebagainya. Guru-guru juga mengajarkan siswa mereka agar turut membantu dan menolong sesama mereka lewat tindakan-tindakan mulia tanpa imbalan tanpa melihat suku, budaya atau agama orang yang ditolong. Sedangkan pada sekolah umum lebih menitikberatkan hasil atau nilai prestasi belajar siswa mereka dan hasil proses pembelajaran di sekolah mereka. Penelitian tentang perilaku menolong ini hanya diteliti di lingkungan sekolah menengah saja padahal menurut Strayer, Wareing & Ruston (dalam Sears et al , 1991), yang dibuktikan melalui penelitian psikologis menyatakan bahwa perilaku prososial ini juga dapat dilihat dari penelitian yang sudah ada pada anak kecil yang berusia 3 sampai 5 tahun dan juga penelitian lainnya seperti penelitian Cristiana (2009) pada Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata menunjukkan ada perbedaan perilaku menolong pada anak TK sebelum dan sesudah diberikan pembelajaran bercerita dengan panggung boneka dimana lebih tinggi perilaku menolong mereka sesudah diberikan pembelajaran tersebut. Penelitian lain yang dilakukan oleh Arsyad (2013) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Sunan Kalijaga terdapat perbedaan tingkat prososial antara siswa pondok pesantren dengan siswa sekolah umum dimana perilaku 9 siswa pondok pesantren lebih tinggi dibandingkan siswa sekolah umum. Sedangkan penelitian lain yang dilakukan oleh Purnamasari, Ekowarni, & Fadhila (2004) yang meneliti tentang perbedaan intensi prososial siswa SMUN dan MAN di Yogyakarta menemukan bahwa tidak ada perbedaan intensi prososial siswa SMUN dan MAN di Yogyakarta. Dari hal tersebut peneliti tertarik melakukan suatu penelitian apakah terdapat perbedaan perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama dengan siswa kelas VI SD di sekolah berbasis non agama di Salatiga. Dari uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap perbedaan perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama dan siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum) di Salatiga. Tinjauan Pustaka Perilaku Menolong Perilaku menolong adalah setiap tindakan yang memberikan keuntungan bagi orang lain daripada terhadap diri sendiri (Wrightsman & Deaux, 1981). Sedangkan Deaux, Dane, & Wrightsman (dalam Sarwono, Meinarno, & Tim Penulis Psikologi UI, 2009) mengatakan bahwa yang lebih diutamakan adalah kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan diri sendiri, terutama dalam situasi darurat. Sedangkan Patmonodewo (dalam Cristiana, 2009), menegaskan bahwa perilaku menolong adalah sesuatu yang dipelajari bukan sekedar hasil dari kematangan, karena kemampuan sosialisasi merupakan hasil belajar. Sekolah sebagai lingkungan kedua bagi anak setelah lingkungan keluarga mempunyai peranan besar dalam mengoptimalkan proses belajar sosial bagi anak. 10 Perilaku menolong menurut Wrightsman dan Deaux (1981) dibedakan berdasarkan tiga bentuk aspek, yaitu: a. Favor dapat diartikan sebagai tindakan menolong orang lain, dimana usaha membantu tersebut tidak banyak membutuhkan pengorbanan (pengorbanan yang kecil). Pengorbanan yang dimaksudkan disini berupa pengorbanan tenaga/usaha dan waktu.Walaupun pengorbanan yang diberikan pelaku kecil, namun dampak dari tindakan ini menguntungkan bagi orang lain. Jadi, cost yang harus diberikan oleh mereka yang melakukan perilaku ini tidaklah begitu besar, dalam arti tidak melibatkan pengorbanan yang memberatkan pelakunya. b. Donation. Perilaku ini disebut juga dengan perilaku menyumbang terhadap seseorang atau organisasi yang memerlukan. Tindakan ini membutuhkan pengorbanan materi berupa uang atau barang. c. Intervention in Emergency merupakan perilaku memberikan pertolongan kepada orang lain yang dilakukan dalam kondisi stressful atau pada situasi gawat darurat, dengan kemungkinan keuntungan yang sangat kecil bagi yang melakukan. Dalam melakukan tindakan ini dapat mengundang ancaman keselamatan diri dari penolong. Oleh karena itu, penolong berkorban besar dan kemungkinan mendapatkan keuntungan yang sangat kecil dari tindakan ini. Contoh: membantu menyelamatkan orang yang hanyut di sungai. Tipe-tipe Perilaku Menolong Menurut Rushton, Chrisjohn, & Fekken (dalam Bekkers & Wilhelm, 2007), ada sepuluh tipe-tipe perilaku menolong, yaitu : 1. Mengembalikan uang yang berlebih kepada kasir. 2. Mendahulukan orang lain dalam antrian. 11 3. Menawarkan tempat duduk kepada orang lain yang sedang berdiri dalam sebuah bus, atau di sebuah tempat umum. 4. Membawakan barang/milik orang lain, seperti tas belanja. 5. Memberikan makanan atau uang kepada pengemis. 6. Menjaga milik orang lain ketika orang tersebut sedang pergi. 7. Meminjamkan sesuatu yang bernilai kepada orang lain. 8. Memberikan uang untuk amal (charity). 9. Melakukan pekerjaan sukarela untuk amal (charity). 10. Mendonorkan darah. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Menolong Faktor situasional yang meningkatkan atau menghambat perilaku menolong: 1. Kehadiran orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Darley dan Latane kemudian Latane dan Robin (1969) menunjukkan hasil bahwa orang yang melihat kejadian darurat akan lebih suka memberi pertolongan apabila mereka sendirian daripada bersama orang lain. Sebab dalam situasi kebersamaan, seseorang akan mengalami kekaburan tanggung jawab (dalam Purba, 2008). Staub (1978) justru menemukan kontradiksi dengan fenomena di atas, karena dalam penelitiannya terbukti bahwa individu yang berpasangan atau bersama orang lain lebih suka bertindak prososial dibandingkan bila individu seorang diri. Sebab dengan kehadiran orang lain akan mendorong individu untuk lebih mematuhi norma-norma sosial yang dimotivasi oleh harapan mendapat pujian (dalam Purba, 2008). 12 2. Menolong orang yang disukai (Helping Those You Like). Kebanyakan penelitian lebih tertarik meneliti pertolongan yang diberikan seseorang kepada orang asing, karena sudah jelas orang tersebut akan sangat cenderung menolong anggota keluarga dan teman. Seseorang akan cenderung menolong orang asing yang menjadi korban, jika si korban tersebut memiliki persamaan (usia, ras) dengan si penolong tersebut (Baron, Byrne, & Branscombe, 2006). 3. Menolong orang yang meniru kita (Helping Those Mimic Us). Salah satu yang mempengaruhi perilaku prososial adalah mimicry, yaitu kecenderungan otomatis untuk meniru perilaku orang lain yang berinteraksi dengan kita. Penelitian menunjukkan bahwa mimicry meningkatkan kecenderungan terlibat dalam perilaku menolong ini. Efek ini ini terjadi karena imitasi adalah sebuah aspek penting dari belajar dan akulturasi (Baron et al, 2006). Ini sesuai dengan pendapat Bandura (dalam Schultz & Schultz, 1994) yang menyatakan bahwa seseorang belajar menolong melalui proses imitasi. Imitasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik, karena dengan mengikuti suatu contoh yang baik akan merangsang seseorang untuk melakukan perilaku yang baik pula (Purba, 2008). 4. Menolong orang yang tidak bertanggung-jawab terhadap masalahnya (Helping Those Who Are Not Responsible for Their Problem). Kita akan cenderung menolong orang lain yang masalah yang dialaminya terjadi bukan karena kesalahannya. Misalnya, ketika orang menemukan seorang pria yang tergeletak, tidak sadarkan diri di jalan,dengan botol 13 minuman keras yang kosong di sampingnya akan cenderung kurang menunjukkan perilaku menolong di bandingkan jika pria yang tergeletak di jalan itu adalah seorang pria berpakaian mahal dengan luka di kepalanya karena hal ini mengindikasikan bahwa pria tersebut adalah korban kekerasan saat sedang di jalan (Baron et al, 2006). 5. Adanya model ( Exposure to Prosocial Models). Kehadiran orang lain yang berperilaku menolong menimbulkan social model, dan hasilnya adalah sebuah peningkatan dalam perilaku menolong pada orang lain yang melihatnya. Selanjutnya, model prososial dalam media massa juga memberi kontribusi dalam menciptakan norma sosial dalam perilaku prososial. Dengan menonton perilaku prososial pada televisi meningkatkan kejadian dari perilaku prososial dalam kehidupan nyata (Baron et al, 2006). Jenis Sekolah Dasar Jenis lingkungan sekolah sangat beragam tergantung dari sistem yang dianut di sekolah dalam mendidik siswa-siswanya dan perbedaan sistem pendidikan bisa disebabkan karena titik berat materi yang disusun dalam kurikulum yang diberlakukan di sekolah. 1. Sekolah Dasar Berbasis Agama Sekolah dasar berbasis agama adalah salah satu jenjang pendidikan formal yang bernaung di bawah institusi agama, yang mengajarkan mata pelajaran umum, dan agama, mempraktikkan aktivitas keagamaan dan budaya bernafaskan agama. Sekolah berbasis agama memberikan mata pelajaran agama lebih dominan diajarkan dan juga siswa di tuntut untuk selalu 14 mempraktikan atau mengaplikasikan ajaran agama kedalam aktivitas atau kegiatan sehari-hari. Dalam pelaksanaannya sekolah berbasis agama memasukan unsur keagamaan dalam proses pembelajaran ataupun dalam materi pelajaran yang disampaikan dalam porsi yang lebih daripada sekolah tidak berbasis agama (umum) (Ali, 2009). 2. Sekolah Dasar Tidak Berbasis Agama (Umum) Sekolah dasar tidak berbasis agama (swasta ataupun negeri) adalah sekolah yang menciptakan individu yang bermutu dengan keseimbangan pendidikan kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual dan untuk menciptakan kualitas pendidikan yang lebih baik dan bermutu, agar individu tersebut mampu bersaing di Dunia luar dimana sekolah dasar tidak berbasis agama lebih memperhatikan perkembangan dan kemajuan prestasi siswa. Sekolah dasar tidak berbasis agama lebih mengedepankan agar kualitas nilai akademik siswa yang dihasilkan sesuai dengan kompetensi pendidikan sekolah (Imron, 2011). Sekolah dasar tidak berbasis agama menjadikan agama sebagai salah satu mata pelajaran dan hanya diberikan selama dua jam selama satu minggu (Putri, 2012). Masa Kanak-kanak Akhir Menurut Hurlock (1997), masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari 6 tahun sampai anak mencapai kematangan seksual, yaitu sekitar 13 tahun bagi anak perempuan dan 14 tahun bagi anak laki-laki. Oleh orang tua disebut sebagai usia yang menyulitkan, tidak rapih, atau usia bertengkar, sedangkan para pendidik disebut usia sekolah dasar, dan oleh ahli psikologi disebut sebagai usia berkelompok, usia penyesuaian atau usia kreatif. Keterampilan pada masa kanak- 15 kanak akhir dapat digolongkan dalam empat kelompok besar yakni: keterampilan menolong diri, keterampilan menolong sosial, keterampilan sosial, dan keterampilan bermain. Pada masa kanak-kanak akhir, sebagian besar anak mengembangkan kode moral yang dipengaruhi oleh standar moral kelompoknya dan hati nurani yang membimbing perilaku sebagai pengganti pengawasan dari luar yang diperlukan pada waktu anak masih kecil. Kerangka Berpikir Jenis lingkungan sekolah sangat beragam tergantung dari sistem yang dianut di sekolah dalam mendidik siswa-siswanya dan perbedaan sistem pendidikan bisa disebabkan karena titik berat materi yang disusun dalam kurikulum yang diberlakukan di sekolah. Salah satu sistem pendidikan yang ada di Indonesia adalah sekolah berbasis agama dan sekolah umum atau sekolah berbasis non agama. Sekolah berbasis agama memberikan materi pendidikan agama yang lebih besar porsinya dibandingkan dengan Sekolah Umum. Sekolah berbasis agama juga mengedepankan agar para siswa-siswinya berkarakter sesuai dengan agama yang dianutnya yang memiliki dasar agama yang benar sejak masa kanak-kanak dan membantu individu tersebut agar bersikap sesuai dengan etika agama masingmasing pada lingkungan dan orang sekitar (Purnamasari dkk, 2004). Pendidikan sekolah dasar yang berbasis keagamaan adalah suatu pendidikan sekolah dasar yang menggunakan kurikulum sekolah dasar namun berbasis pada keagamaan yang meliputi: pendidikan keimanan (IMTAQ), pendidikan akhlak (budi pekerti), dan pendidikan akal dan teknologi (IPTEK) (Khasanah, 2013). Sedangkan sekolah umum atau sekolah berbasis non agama hanya menjadikan agama sebagai 16 salah satu mata pelajaran dan hanya diberikan selama dua jam selama satu minggu (Putri, 2012). Dari pengertian sekolah berbasis agama dan sekolah berbasis non agama di atas, salah satu aspek perkembangan anak adalah perkembangan sosial yaitu kemampuan berperilaku yang sesuai dengan lingkungan sosial. Salah satu aspek penting yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah derajat saling tolong menolong, kerja sama, dan memiliki kepedulian antar sesama manusia (Wildaniah, 2013). Staub (dalam Purnamasari dkk, 2004) menyatakan bahwa perilaku yang mampunyai konsekuensi positif terhadap orang lain pada umumnya diarahkan oleh tatanan dan nilai-nilai moral nyang diajarkan oleh ajaran agamanya. Semakin banyak materi pelajaran agama yang dipahami dengan baik maka akan semakin banyak nilai-nilai moral dalam agama yang diinternalisasikan, jika nilai-nilai moral telah diinternalisasi maka setiap prilaku akan mencerminkan nilai-nilai moral yang dianut. Seseorang yang memiliki banyak pengetahuan tentang nilainiali moral diharapkan akan menginternalisasikan nilai-nilai moral kedalam dirinya sehingga mendorong untuk berperilaku yang dapat menyumbangkan kesejahteraan orang lain. Arsyad (2013) menyatakan terdapat perbedaan tingkat prososial antara siswa pondok pesantren dengan siswa sekolah umum dimana perilaku siswa pondok pesantren lebih tinggi dibandingkan siswa sekolah umum. Hal ini terjadi karena Sekolah berbasis agama mengedepankan agar para siswa-siswinya berkarakter sesuai dengan agama yang dianutnya yang memiliki dasar agama yang benar sejak masa kanak-kanak dan membantu individu tersebut agar bersikap sesuai 17 dengan etika agama masing-masing pada lingkungan dan orang sekitar (Purnamasari dkk, 2004). Dan selanjutnya Al-Ghazali (dalam Khasanah, 2012) juga menegaskan bahwa hasil dari berpikir merenung (tafakkur) adalah ilmu pengetahuan, keadaan hati dan amal perbuatan. Ilmu merupakan buah yang utama, bila ilmu sudah masuk dalam hati maka berubahlah keadaan hati. Bila keadaan hati sudah berubah maka berubah pula amal perbuatan anggota badan, jadi amal itu bergantung pada keadaan dan keadaan bergantung pula kepada ilmu. Hipotesis Berdasarkan tinjauan teoritis di atas maka ditarik suatu kesimpulan sementara yang dinyatakan dalam hipotesis bahwa ada perbedaan perilaku menolong yang signifikan pada siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama dengan siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum) di Salatiga. Siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama memiliki perilaku menolong yang lebih tinggi dari siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum). METODE PENELITIAN Metode Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian komparatif. Jenis penelitian komparatif adalah jenis penelitian yang berbentuk perbandingan dua sampel atau lebih. Penelitian ini disebut penelitian komparatif karena penelitian ini dilakukan untuk melihat perbedaan tingkat perilaku menolong antara dua kelompok subyek, yaitu siswa VI SD di sekolah berbasis agama dan siswa VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum). 18 Hadi (1991) mengemukakan bahwa metode penelitian merupakan syarat yang sangat penting dalam suatu penelitian karena menentukan benar salahnya pengambilan data dan kesimpulan yang diambil pada penelitian tersebut. Populasi Populasi didefinisikan sebagai kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian (Azwar, 1998). Menurut Hadi (1992) populasi adalah sejumlah individu yang mempunyai ciri atau sifat yang sama. Adapun populasi penelitian ini adalah para siswa kelas VI SD yang berusia 11-12 tahun yang bersekolah di sekolah berbasis agama dan bersekolah di sekolah tidak berbasis agama (umum) di Salatiga. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan penelitian berupa angket. Angket adalah dasar pertanyaan yang harus dijawab atau daftar isian yang harus diisi berdasarkan sejumlah subyek (Suryabrata, 1984). Angket yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan angket pilihan dalam bentuk checklist yang disusun berdasarkan skala model Likert. Penggunaan angket semacam ini memudahkan subjek dalam mengerjakan karena subjek hanya perlu memberikan tanda check () pada salah satu jawaban yang menurut subjek paling benar dan tersedia di dalam angket. Angket yang digunakan dalam penelitian adalah Skala Perilaku Menolong yang disusun oleh penulis sendiri berdasarkan teori dan indikator untuk memperoleh data mengenai perilaku menolong. Adapun aspek-aspeknya, yaitu: favor, donation, dan intervention in emergency dari teori perilaku menolong oleh Wrightsman & Deaux (1981). Dari aspek-aspek tersebut penulis menyusun 5 item 19 favorable dan 5 item unfavorable untuk masing-masing aspek sehingga jumlah keseluruhan 30 item. Peneliti menggunakan arah pemberian skor berdasarkan favorable atau unfavorable item dalam angket. Untuk pernyataan favorable, jawaban sangat setuju (SS) diberi skor 4, setuju (S) diberi skor 3, tidak setuju (TS) diberi skor 2, dan jawaban sangat tidak setuju diberi skor 1. Sedangkan untuk pernyataan unfavorable jawaban sangat tidak setuju (STS) diberi skor 1, setuju (S) diberi skor 2, tidak setuju (TS) diberi skor 3, dan sangat tidak setuju (STS) diberi skor 4. Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item Skala Perilaku Menolong Siswa Kelas VI SD yang terdiri dari 30 item, diperoleh item yang gugur sebanyak 2 item dengan koefisien korelasi item totalnya bergerak antara 0,320-0,674, sehingga tersisa 28 item. Penentuan-penentuan uji lolos diskriminasi item menggunakan ketentuan dari Azwar (2012) yang menyatakan bahwa item pada skala pengukuran dapat dikatakan lolos apabila nilai item total korelasi ≥ 0,30. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan try out terpakai. Try out terpakai yaitu subjek yang digunakan untuk try out sekaligus digunakan untuk penelitian. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama dan sekolah tidak berbasis agama. Sedangkan teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien Alpha pada Skala Perilaku Menolong Siswa Kelas VI SD sebesar 0,917. Hal ini berarti Skala Perilaku Menolong Siswa Kelas VI SD reliabel. 20 Hasil Analisis Deskriptif Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, dan standar deviasi sebagai hasil pengukuran Skala Perilaku Menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama dan yang tidak berbasis agama (umum) dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1: statistik deskriptif hasil pengukuran perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama dan yang tidak berbasis agama (umum) Jenis Sekolah berbasis agama Sekolah tidak berbasis agama Interval 112 ≤ x ≤ 91 91 ≤ x < 70 70 ≤ x < 49 49 ≤ x < 28 Jumlah 112 ≤ x ≤ 91 91 ≤ x < 70 70 ≤ x < 49 49 ≤ x < 28 Jumlah Kategori Sangat Tinggi Tinggi Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi Tinggi Rendah Sangat Rendah f 33 7 0 0 40 13 25 2 0 40 % 82,5 17,5 0 0 100 32,5 62,5 5 0 100 Mean 98.48 SD Max Min 9.468 112 72 9.388 109 61 86.75 Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar siswa yang bersekolah di sekolah berbasis agama memiliki tingkat perilaku menolong sangat tinggi yaitu 33 siswa atau 82,5% dimana skor paling rendah adalah 72 dan skor paling tinggi adalah 112 rata-ratanya sebesar 98,48 dengan standar deviasi 9,468. Begitu juga dengan siswa yang bersekolah di sekolah tidak berbasis agama (umum) memiliki tingkat perilaku menolong tinggi yaitu 25 siswa atau 62,55% dimana skor paling rendah adalah 61 dan skor paling tinggi adalah 109 rata-ratanya sebesar 86,75 dengan standar deviasi 9,388. 21 Analisis Data Untuk melihat perbedaan perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama dan siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum) digunakan pengujian uji-t (T test). Pengujian ini dilakukan dengan bantuan program komputer SPPS for Windows Versi 17.0. HASIL PENELITIAN Uji Asumsi Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2: Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Perilaku Perilaku menolong menolong tidak berbasis agama berbasis agama N a Normal Parameters Most Extreme Differences Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative 40 40 98.48 9.468 .109 .077 -.109 .687 .732 86.75 9.388 .112 .112 -.100 .710 .695 Pada Skala Perilaku Menolong pada siswa kelas VI di sekolah berbasis agama diperoleh nilai K-S-Z sebesar 0,687 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,732 (p>0,05). Sedangkan pada skor Perilaku Menolong pada siswa kelas VI di sekolah yang tidak berbasis agama (umum) memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,710 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,695. Dengan demikian kedua jenis sanpel berdistribusi normal. 22 Sementara dari hasil uji homogenitas dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3: Uji Homogenitas Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic df1 .013 df2 Sig. 1 78 .909 Dari tabel di atas dapat dilihat nilai signifikansi dari uji homogenitas dari sampel siswa yang bersekolah di sekolah berbasis agama dan siswa yang bersekolah di sekolah tidak berbasis agama (umum) sebesar 0.909. Karena signifikansi 0,909 > 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa sampel penelitian ini bersifat homogen atau memiliki varians yang sama. Uji-t Dari perhitungan uji-t, dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4: Hasil Uji-t perilaku menolong pada siswa kelas VI SD yang bersekolah di sekolah berbasis agama dan yang bersekolah di sekolah tidak berbasis agama (umum) Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F Perilaku Equal menolong variances assumed Equal variances not assumed Sig. t-test for Equality of Means t 95% Confidence Interval of the Mean Std. Error Difference Sig. (2- Differenc Differenc tailed) e e Lower Upper df .013 .909 5.562 78 .000 11.725 2.108 7.528 15.922 5.562 78 .000 11.725 2.108 7.528 15.922 Hasil perhitungan uji beda (uji-t), diperoleh nilai t-hitung adalah sebesar 5,562 dengan signifikansi = 0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada 23 perbedaan antara perilaku perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama dengan siswa kelas VI SD di sekolah yang tidak berbasis agama (umum). Pembahasan Berdasarkan hasil analisa data penelitian mengenai perbedaan perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di Sekolah berbasis agama dengan siswa kelas VI SD di Sekolah tidak berbasis agama (umum) di Salatiga dengan menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPPS) versi 17.0, diperoleh thitung sebesar 5,562 signifikansi = 0,000 (p < 0,05) yang artinya Ho ditolak dan H1 diterima. Dimana siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama memiliki nilai mean 98,48 yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama yang memiliki nilai mean 86,75. Lembaga Pendidikan menjadi salah satu kekuatan besar dalam membentuk sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas hidup dan martabat bangsa. Keberadaan sekolah sangat penting karena kemajuan zaman menuntut setiap generasi muda untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih yang mungkin saja tidak didapatkan dirumah. Lembaga ini merupakan tempat di tanam dan dikembangkannya nilai-nilai etik, moral dan spiritual. Lingkungan sekolah memberi pengaruh yang tidak kecil dalam perkembangan kepribadian anak karena anak mulai belajar mengenal peraturan sekolah, otoritas guru, kedisiplinan, kebiasaan bergaul, cara belajar, dan berbagai tuntutan sekolah yang akan memperkaya kepribadian anak dalam proses sosialisasi (Samuel,1981). Staub (dalam Purnamasari dkk, 2004) menyatakan bahwa perilaku yang mampunyai konsekuensi positif terhadap orang lain pada umumnya diarahkan 24 oleh tatanan dan nilai-nilai moral nyang diajarkan oleh ajaran agamanya. Semakin banyak materi pelajaran agama yang dipahami dengan baik maka akan semakin banyak nilai-nilai moral dalam agama yang diinternalisasikan, jika nilai-nilai moral telah diinternalisasi maka setiap prilaku akan mencerminkan nilai-nilai moral yang dianut. Seseorang yang memiliki banyak pengetahuan tentang nilainiali moral diharapkan akan menginternalisasikan nilai-nilai moral kedalam dirinya sehingga mendorong untuk berperilaku yang dapat menyumbangkan kesejahteraan orang lain. Dari uraian di atas, penulis dapat mengatakan bahwa siswa SD yang bersekolah di sekolah berbasis agama memiliki tingkat perilaku menolong yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa SD yang bersekolah di sekolah tidak berbasis agama (umum). Hal tersebut dikarenakan sekolah berbasis agama menitik beratkan materi yang disusun dalam kurikulum sekolah yang memberikan materi pendidikan agama yang lebih besar porsinya, dan mengedepankan agar para siswa-siswinya berkarakter sesuai dengan agama yang dianutnya yang memiliki dasar agama yang benar sejak masa kanak-kanak dan membantu individu tersebut agar bersikap sesuai dengan etika agama masing-masing pada lingkungan dan orang sekitar (Purnamasari dkk, 2004). Berdasarkan hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini, diperoleh data bahwa perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama memperoleh mean sebesar 98,48 yang berada pada kategori sangat tinggi sedangkan pada siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum) memperoleh mean sebesar 86,75 yang berada pada kategori tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama memiliki 25 tingkat perilaku menolong yang sangat tinggi dibandingkan siswa VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum) di Salatiga. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Arsyad (2013) yang juga mengatakan bahwa terdapat perbedaan tingkat prososial antara siswa pondok pesantren dengan siswa sekolah umum dimana perilaku siswa pondok pesantren lebih tinggi dibandingkan siswa sekolah umum. Faktor yang dianggap mempengaruhi perilaku prososial anak adalah sekolah. Di mana sekolah sebagai salah satu lingkungan pendidikan yang terdiri dari berbagai macam individu dengan segala perbedaan, masing-masing sangat memungkinkan anak untuk dapat mengembangkan perilaku prososialnya karena di sekolah mereka berinteraksi dengan orang yang berbeda dan belajar menerima perbedaan tersebut (Sears et al , 1991). Patmonodewo (dalam Cristiana, 2009), menegaskan bahwa perilaku menolong adalah sesuatu yang dipelajari bukan sekedar hasil dari kematangan, karena kemampuan sosialisasi merupakan hasil belajar. Sekolah sebagai lingkungan kedua bagi anak setelah lingkungan keluarga mempunyai peranan besar dalam mengoptimalkan proses belajar sosial bagi anak. Pendidikan sekolah dasar yang berbasis keagamaan adalah suatu pendidikan sekolah dasar yang menggunakan kurikulum sekolah dasar namun berbasis pada keagamaan yang meliputi: pendidikan keimanan (IMTAQ), pendidikan akhlak (budi pekerti), dan pendidikan akal dan teknologi (IPTEK) (Khasanah, 2012). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sekolah berbasis agama memberikan kontribusi besar pada pengembangan perilaku menolong anak dalam proses pembelajaran, sehingga nampak jelas terdapat perbedaan perilaku 26 menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama memiliki kategori sangat tinggi dibandingkan siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum) di Salatiga. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbedaan perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama dengan siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum) di Salatiga, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan antara siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama dengan siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum) di Salatiga. 2. Siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama memiliki tingkat perilaku menolong dalam kategori sangat tinggi (98,48) dibandingkan dengan siswa kelas VI SD di sekolah tidak berbasis agama (umum) yang memiliki tingkat perilaku menolong dalam kategori tinggi (86,75). Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Bagi siswa siswi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku menolong pada siswa di sekolah berbasis agama memiliki kategori sangat tinggi dan siswa di sekolah tidak berbasis agama memiliki kategori tinggi. Para siswa dari ke dua sekolah dapat mempertahankan perilaku menolong dan bisa mengembangkan perilaku 27 menolong bukan hanya di sekolah namun bisa di lingkungan sekitar maupun di rumah. 2. Bagi sekolah dan guru. Di sekolah, guru yang memegang peranan penting dalam mendidik para siswa. Maka kepada pihak sekolah khususnya guru sebagai seorang fasilitator di sekolah, disarankan lebih meningkatkan kualitas mendidik dan mengajar siswa, sehingga siswa mampu meningkatkan perilaku menolong mereka sehingga mereka dapat ikut terlibat aktif dalam proses pembelajaran di sekolah maupun di lingkungan sekitar dalam mengembangkan dan meningkatkan perilaku menolongnya. 3. Bagi peneliti selanjutnya. Bagi penelitian selanjutnya yang tertarik melakukan dan mengembangkan penelitian tentang perbedaan perilaku menolong pada siswa kelas VI SD di sekolah berbasis agama dan sekolah tidak berbasis agama dapat melakukan penelitian kepada kelompok usia yang berbeda dengan subjek, baik itu siswa SMP ataupun SMA. Penelitian selanjutnya juga dapat melakukan penelitian bukan hanya satu sekolah saja dari masing-masing sampel. DAFTAR PUSTAKA Ali, K. S. (2005). Filsafat pendidikan al-ghazali. Bandung: Pustaka Setia. Ali, I. (2009). Manajemen mutu sekolah dasar berbasis religi (studi multi kasus pada SD Mintu, SD Iwaha, SD Kasayuga dan SD Kripe). Laporan Penelitian. UM-Malang Arsyad, A. (2013). Perbedaan perilaku prososial siswa pondok pesantren X dengan siswa negeri Y Di Yogyakarta. Laporan Penelitian. FISHUMUINSK Yogyakarta. Azwar, S. (1998). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Liberty. _______. (2012). Penyusunan skala psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baron, R.A., Byrne, D., & Branscombe, R.N. (2006). Social psychology. 11th Ed. USA Bekkers, Rene, & Wihelm, M. O. (2007). Helping, empathy, principle of care. http://www.philantrphy.iupui.edu/Research/workingpapers/HelpingEmpathy-care%20wilhelm%20bekkers%20-2006.pdf. (diakses tanggal 29 Juni 2014). Christiana, G. (2009). Pembelajaran perilaku menolong pada anak TK melalui bercerita dengan panggung boneka. Laporan Penelitian. Fpsi-UKS Semarang. Gunarsa, S. D. (2003). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Hadi, S. (1991). Metodologi penelitian. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. ______. (1992). Statistik 2. Yogyakarta: Andi Offset. ______. (1997). Analisis butir-butir untuk instrumen. Yogyakarta: Andi Offset. Hurlock, E. B. (1997). Perkembangan anak. Jakarta: Erlangga. Imron, G. (2011). Belajar di Mana Ya? Sekolah Negeri atau Swasta?. Bandung: Angkasa. Khasanah, N. (2012). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Orang Tua dalam Memilih Sekolah Dasar Swasta (SD Virgo Maria 2 dan SDIP. H. Soebandi Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang). Skripsi (Tidak Diterbitkan). UKSW. Mahmud. (2003). Hubungan antara gaya pengasuhan orang tua dengan tingkah laku prososial anak. Jurnal Psikologi. Vol 11. No. 1, h. 1-10. 2 Muhari & Pratiwi, (2014). Studi tentang perilaku prososial dan penanganan konselor terhadap perilaku prososial. Jurnal BK UNESA, Vol. 04 No. 1 2014:1-5. Purnamasari, A., Ekowarni, E., & Fadhila, A. (2004). Perbedaan intensi prososial siswa SMUN dan MAN di Yogyakarta. Humanitas : Indonesian Psychologycal Journal, Vol.1 No. 1 Januari 2004:32-42.S Purba, D. E. L., (2008). Pengaruh tayangan berita kriminal terhadap kecenderungan Perilaku Menolong. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2014 dari www.learningbenefit.net/publications/ResReps/ResRep33.pdf Putri, F. A. (2012). Perbedaan tingkat teligiusitas dan sikap terhadap seks pranikah antara pelajar yang bersekolah di SMA umum dan SMA berbasis agama. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, Vol. 1 No. 1. Rochmawati, Eka. (2013). Palang merah remaja sebagai wadah pengembangan perilaku menolong di kalangan siswa SMA Negeri 9 Semarang. Skripsi (Tidak Diterbitkan). FIS-UNS. Samuel, W. (1981). Personality. New York : John Willey and Sons, Inc. Santrock, J. W. (2002). Life span development. International Edition. New York: Mc Graw Hill Companies. ____________. (2004). Life span development (9th ed.). New York: The McGraw Hill Company. Sarwono, S. W., Meinarno, E. A., & Tim Penulis Fakultas Psikologi UI. (2009). Psikologi sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Sears, D. O., Jonathan, L. F., & Anne, P.L, (1991), Psikologi sosial. Jilid 2. Alih bahasa: Michael Adryanto. Jakarta : Erlangga. Suryabrata, S. (1984). Metodologi penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Twenge, J. M., Ciarocco, N. J., Baumeister, R. F., DeWall, C. N., & Bartels, J. M. (2007). Social exclusion decreases prosocial behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 92 (1), 56-66. Wildaniah, F. (2013). Progam bimbingan untuk mengembangkan perilaku prososial anak usia dini melalui bermain di TPA taman isola. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Universitas Pendidikan Indonesia-Bandung. Wrightsman, L.S., & Deaux, D.F.K. (1981). Social psychology in the 80’s. California: Brooks/Cole Publishing Company.