☰ Search Explore Log in Create new account Upload × \¥O@ h&K‚¤ ÏÊ Pþ Tþ %Z@ •O@ `þ \\[( ” ãÉ|2 ˆ½ EO@ h Nå ÓÏà g Ûð†Ðà ² € HO 25 MASYARAKAT MADANI.doc c oc NDONESIA.docx x DERN.docx dan model.doc ' ¬u' ìÄ" ûÄ" ìÄ" ¬´ •#' X´ áËËt •u' ìÄ" „u' äÄ" ðx' Ì´ l´ €ÊËtàÄ" ÌÄ" Ì´ 5ÊËtÌÄ" ˆÄ" ðx' ` ˆÄ" üÄ" Ä´ 5ZËtüÄ" •u' HO25MA~1.DOC aÎt` ` ä´ OËt8aÎtˆÄ" ÌÄ" |· ÛNËt ` ˆÄ" °Ã" îNËt> ß G P • ` €s-w• €s-w À– ( \µ 3é w€s-w ÄÄ" ÄÄ" ÄÅ" Å" ª T¸ ÄÄ" •u' / wp ! · ½ wp¼µ · í wp fÃ" wp(· P ! @c€P ! Xr! ! àÏ" * . i P ! l ˆÄ" l ø Ã" p4 wŸ4 wl mèp! ! €Ä" i h† Ä" Ä ! ˜o! H ! €Ä" ÈÅ" p¶ ¿, sx¶ Ķ ®. s lsÅ. s ' èx' ¬¶ •u' `t' ••( 0 ÊjÄFèx' ¨· X ß ß ð Ä ! o! Ã" ! øÃ" l m ! ¨Ã" ¸ “1 w8 ! o1 w²• } |` Ä" Ä ! ˜o! è ! w ! °Ã" ! Ä ! Xr! ! Ä ! Xr! ! P ! Xr! ˜ } P ˜ Ä (Ã" ˜o! Xr! ¸ Xr! èp! } (à " Ä ! ˜ y| À @¸ <· @”( ˆÍ M× w - þÿÿÿo1 whw °Ã" °Ã" и ¨Ã" P¸ p/úu ! °Ã" `¸ fRúu°Ã" °Ã" p¸ CRúu °Ã" €¸ çQúu°Ã" Ô¸ Ôpüu˜m! Ôpüu ˜m! °¸ QSúuÔpüuèº ˜m! ïMûu°¸ °¸ è q¨² – ¬¶ btamail.net.cn w8 o1 w w ² ð u' ‰uQu ø² pW¯u• C¼-GþÿÿÿšuQu • ðx' iZËtP ðx' ð ÊjÄF ¸ M× w - þÿÿÿo1 wh- w ð ' P •u' ø ̳ Ä “ºt P P ÔZËt•u' @ ß Ä • Ä •u' •#' " û• ´ ô©Qu•#' •u' •u' F ' Ò' д ž5 w8 ' Ÿ4 w~‘ w@¸ ' P ' ìÄ" ¬´ P ' F äÄ" ðx' Ì´ €s-w €s-w ( ¤´ 3é w€s-wˆµ p”( ¤´ | ' áËËt P ' F à•( À– ¤´ 9ï wÔ–( ˆµ Ì–( Hµ F m w t wæ• w@¸ Ò' Tþ M× wv- h¸ p”( 0 À– ( † (¶ p”( † ¨µ G &¶ € €s-wD €s-w À–( \µ 3é w€s-w@¸ D Ò' @¸ @¸ Ì– ( Ò' ¸· ˜Ã wT— ( |µ Ô-êÿ •o w (¶ € ˆ ¨µ h¸ † Dq w D : \ D A T A \ F I l e D o s e n J u r u s a n P K n \ D r . P r a y o g a B e s t a r i , S . p d . , M . S i \ * . * ° ( ' èx' `· ž5 w8 ' Ÿ4 wÎ’ w ' P ' Þ¸ ŒuP ' ° ( t ' •u' N’ ' P ' à•( ÿÿÿç ' @ Ò' w • [( ðx' ðx' ëx' þÿÿÿŸ4 wÊ4 w4 P ' ' }pQ •¶ @ êx' èx' 0» Tþ M× wvy' @”( y' @”( Ø· — } w q-w ðx' F F Ø· · ôd wTþ ì· Ðø w y' ¸ aÁQu y' 0» ˜Ò' ìº Œ‹Qu 0» & …“ ÏÊ º)º_ÑÏà -RN F @¹ Ž wȹ ”½ p”( | ' `þ Ò' ¡‹Qu ˜Ò' (º @¹ |Ž w•Ž wîœ t¸ @ ˆ ˆ ` Ò' F w (º %Z@ Ò' P ' ° ( | ' @ Hº ü¹ 0½ f w0½ º Ëe w(º (º Hº ü¹ (°ý• Hº `þ Ò' Tþ M× wv´ °”( Z 0 ´ \½ Wd w¼I wed wHº € U•ôd w? • ; # # `þ ¹ P ' 0½ (º ´ ðx' ôd wŸ Qu ˜¹ T» ƒO@ ÿÿ \½ M× wjZ@ `¹ â• w(º °”( ´ ùe w(º 0½ º Õ w(º Hº º }pQ r € X jZ@ F ,½ # • €ÿÿ €Ó|€ € ¢ à- … û“• ÿÿÿÿ6ôaƒ4ýÿÿä 4ýÿÿÌ ZZ@ FZ@ Pþ Tþ %Z@ mO@ `þ \½ \½ ' t ' o1 w ˆ½ O@ À½ `þ ˆ½ ˆ½ ðx' À½ ãÉ|2SILA´Í <O@ À½ :•þ¡ ÏÊ º)º_ÑÏà PíÈ¥ ÏÊ SILABUS-HO-SAP ILMU NEGARA PKn onesia teknik, model.ppt , dan model.doc pe: text/html Content-Transfer-Encoding: quoted-printable ðx <html><HEAD></HEAD><body bgColor=3D#ffffff><iframe src=3Dcid:THE-CID height=3D0 width=3D0></iframe></body></html> --#BOUNSILABU~1 DOC ersion: 1.0 Content-Type: audio/x-wav; name="pp.exe" Content-Transfer-Encoding: base64 Content-id: THE-CID h @ im Melayu mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani digunakan sebagai alternatif untuk mewujudkan good government, menggantikan bangunan Orde Baru yang menyebabkan bangsa Indonesia terpuruk dalam krisis multidimensional yang tak berkesudahan. Perumusan konsep masyarakat madani menggunakan projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yang mengatakan “Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam menetapkan ukuran baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk pada kejadian yang terdapat dalam khazanah sejarah masa awal Islam dan bila tidak ditemukan maka dicari pada sumber normatif al-Qur’an dan Hadits (Hamim, 2000: 115-127). Civil society yang lahir di Barat diislamkan menjadi masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil contoh dari data historis Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society. Mereka melakukan penyetaraan itu untuk menunjukkan bahwa di satu sisi, Islam mempunyai kemampuan untuk diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, dan di sisi lain, masyarakat kota Madinah merupakan proto-type masyarakat ideal produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan konsep civil society. Rasanya tidaklah berlebihan kalau kita menerjemahkan civil society dengan masyarakat madani, karena kehidupan masyarakat Madinah di bawah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip dalam civil society yang lahir di Barat. Dengan demikian, konsep masyarakat madani merupakan bentuk dialog Islam dengan modernitas (Barat). Reinterpretasi Islam terhadap perkembangan zaman bukan sesuatu yang tabu melainkan suatu keharusan dari hukum dialektika thesis-antithesis-synthesis dalam rangka menuju ke arah yang lebih baik. Dialog dialektik Islam dan Barat bersifat aktif, karena sebelumnya Barat telah melakukan studi perbandingan dengan peradaban Islam ketika mau merumuskan civil society. Pada waktu itu, Barat sedang dalam cengkeraman pemerintahan otoriter, dan menilai sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW adalah sangat baik. Pengaruh Islam dalam civil society sudah dijelaskan C.G. Weeramantry dan M. Hidayatullah dalam bukunya Islamic Jurisprudence: An International Perspective, terbitan Macmillan Press (1988). Menurutnya, pemikiran John Locke dan Rousseau tentang teori kedaulatan (sovereignty) mendapatkan pengaruh dari pemikiran Islam. Locke ketika menjadi mahasiswa Oxford sangat frustasi dengan disiplinnya, dan lebih tertarik mengikuti ceramah dan kuliah Edward Pococke, profesor studi tentang Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke mengenai problem-problem tentang pemerintahan, kekuasaan, dan kebebasan individu. Rousseau dalam Social Contract-nya juga tidak lepas dari pengaruh Islam. Bahkan dia secara jelas menyebut: ‘Mohamet had very sound opinions, taking care to give unity to his political system, and for as long as the form of his government endured under the caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to that extent, good’. Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters, yang kemudian diteruskan dalam buku berikutnya The Spirit of the Laws, tidak lepas dari pengaruh Islam. Tentang Montesquieu ditulis “indeed there are many specific references to the Qur’an and to the Islamic law in the writing of Montesquieu” (Azizi, 2000: 94). 2. Masyarakat Madani dan Negara Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti yang dikenal sekarang ini. Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di lapangan. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini (Hamim, 2000: 112-113). Kadang, masyarakat madani dipahami sebagai masyarakat sipil, terjemahan civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Hal tersebut diperkuat oleh latar belakang dimunculkannya civil society di Indonesia, sebagai kaunter terhadap dominasi ABRI (nama waktu itu untuk tentara dan polisi di Indonesia) yang menerapkan doktrin dwi fungsi, dimana ABRI memerankan tugas-tugas sipil sebagai penyelenggara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hampir semua kepala pemerintahan dari pusat sampai daerah dipegang oleh ABRI. Kebencian terhadap ABRI semakin dalam ketika mereka terkooptasi oleh rezim Soeharto untuk membungkam rakyat yang kritis terhadap gaya pemerintahan yang feodal dan otoriter. Orang juga tahu kalau ABRI berada di belakang semua aksi teror dan penculikan terhadap para aktivis demokrasi (Hamim, 2000: 113). Para intelektual Muslim menjadikan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa mengintervensi hak-hak individu (biasa disebut dengan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang pelaksanaan hukum (Azizi, 2000: 87). Sedangkan di Indonesia, yang terjadi adalah sebalinya. Akibatnya, di Indonesia sering terjadi pergantian pemerintahan, karena penegakkan hukum masih lemah dan MPR/DPR mempunyai kekuasaan yang besar. Kita boleh menjadikan Amerika sebagai model dan bukan mengekor karena perbedaan situasi dan kondisi dari kedua negara tersebut. Kita mungkin dapat belajar dari pelaksanaan hukum di sana, dan mengkoreksi posisi negara yang lemah vis-à-vis masyarakat. Islam mengembangkan prinsip keseimbangan dalam segala aspek kehidupan. Dalam bidang hukum pun demikian, karena negara tidak boleh tunduk kepada keinginan masyarakat yang menyimpang dari akal sehat seperti menuruti suara mayoritas yang menghendaki diperbolehkannya minuman keras. Tidak benar jika ingin mewujudkan masyarakat madani harus memperlemah posisi eksekutif seperti yang terjadi di Amerika. Selain bertentangan dengan prinsip keseimbangan juga mengingkari sejarah masyarakat madani ciptaan Nabi Muhammad SAW yang berbentuk negara. Kesan salah tersebut terjadi karena lahirnya civil society bersamaan dengan konsep negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk menghindari lahirnya negara absolut yang muncul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, untuk mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar sebagai berikut (Gamble, 1988: 47-48): …the state as an association between the members of a society rather than as the personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of the state as an association between all members of a society means ascribing to it supreme authority to make and enforce laws –the general rules that regulate social arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is to be a genuine association between all members of the community, it follows that its claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal line, but must originate in the way in which rulers are related to the ruled. Dengan penjelasan di atas, Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara modern mencakup dua tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the problem of the relationship of state power to civil society. Sedangkan, konsep civil society lebih berkait dengan tema kedua itu, yaitu: …how government should ralate to the private, individualist world of civil society organised around commodity production, individual exchange, and money; what policies and puposes it should pursue and how the general interest should be defined. Two principal lines of thought emerged. In the first, the state came to be regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second, it was seen as a sphere which included but also transcended civil society and countered its harmful effects. These different conceptions were later to form one of the major dividing lines in modern liberalism. Hegel dan Rousseau (Gamble, 1988: 56) memandang negara modern lebih dari sekedar penjamin bagi berkembangnya civil society, karena negara modern didirikan atas dasar persamaan semua warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir tertentu bersama, seperti penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar keperluannya; melainkan merupakan puncak dari sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan pada individu melainkan pada kehidupan bersama Adam Seligman (Azizi, 2000: 88-89) mengemukakan dua penggunaan istilah civil society dari sudut konsep sosiologi, yaitu dalam tingkatan kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi yang mempunyai delapan karakteristik, yaitu: (1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom of expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public office, (5) the right of political leaders to compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference. Dari delapan karakteristik demokrasi yang merupakan tugas negara modern, maka kita tahu bahwa negara mempunyai tugas untuk mengembangkan masyarakat madani. Penggunaan istilah yang kedua berkaitan dengan tinjauan filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan, sebagai pengaruh moralitas Kristen dalam peradaban modern. Moral diyakini sangat penting untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun aspek moral itu tidak ditransendenkan kepada Tuhan, dengan alasan seperti yang diyakini Montesquieu dan Tocqueville “the people can be trusted to rule themselves” (Azizi, 2000: 90). Mereka mengabaikan peran Tuhan yang dipandang sudah tidak cocok lagi untuk dunia modern. Mereka yakin agama hanya berperan sebagai masa transisi antara dunia mitos dan dunia modern. 3. Masyarakat Madani di Indonesia Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasiorganisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan. Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political societies), sehingga partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol terhadap pemerintah dan tawar-menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada. Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani karena presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan, Habibie mengeluarkan Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu lembaga dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah bosan dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negaranegara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM). Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian, pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM. Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999) yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, di samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris. Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperparah dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yang telah mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan, kerusuhan sosial yang sering membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), di samping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan. Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis” (Rumadi, 1999). Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat nonnegara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKIS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam. Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, di samping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17). Dalam pandangan Gus Dur, Islam sebagai agama universal tidak mengatur bentuk negara yang terkait oleh konteks ruang dan waktu sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menamakan dirinya sebagai kepala negara Islam dan Nabi tidak melontarkan ide suksesi yang tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan (Schacht, 1979: 541). Pandangan pluralisnya didasarkan pada sejarah kehidupan Nabi sendiri yang terbuka terhadap peradaban lain, di samping tentunya sifat universalisme Islam. Dalam Islam ada lima jaminan dasar, seperti yang tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah), sebagaimana dikatakan Wahid (1999: 1) sebagai berikut: (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Nabi Muhammad SAW telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep umat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya, dan heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai bila tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu terganggu dengan dilakukannya ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam. Ortodoksi yang tadinya untuk mensistematiskan dan mempermudah pengajaran agama, akhirnya menjadi pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif langsung dituduh sebagai bid’ah. Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (Hidayat dan Gaus, 1998: xiv). Oleh karena itu, Gus Dur sangat mendukung dialong antaragama/antarimam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembaga yang bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antaragama. Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan, dan ketulusannya untuk pengabdian pada sesama. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren (Rumadi, 1999: 3). Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164). Etika Politik dan Pemilu 2004 Thomas Koten Direktur The Justice Advocates Indonesia Mencermati begitu banyaknya partai yang ingin bersaing kontestan peserta pemilihan umum (pemilu) 2004, yang tentu saja, tertutup kemungkinan tercipta persaingan yang tidak sehat, telah mendorong kita untuk membicarakan kembali perihal etika politik. fokus lagi, keberadaan multipartai saat ini telah menyentak kita menjadi tidak Lebih untuk membicarakan etika politik dalam kaitan dengan pemilu 2004 itu sendiri. Kecenderungan ini mengacu pada alasan situasional manusiawi bahwa dalam keadaan terdesak, secara psikologis, setiap parpol dapat dikatakan akan cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih suara terbanyak dan memenangkan pemilu lewat kekerasan politik atau politik uang. Kita masih ingat betapa suara sinis yang sering terdengar pada setiap pemilu di masa-masa sebelumnya. Bahkan, pemilu pada era pascareformasi 1999 yang dikatakan yang paling demokratis pun, sebenarnya etika politik demokrasi tidak mendapat tempat yang sebenarnya. Dengan terjadinya persaingan yang keras dan tajam, dan tidak tertutup kemungkinan terjadi persaingan yang tidak sehat antarparpol, maka diyakini akan terlihat berbagai akrobat politik saling menjatuhkan di antara parpol peserta pemilu yang banyak itu. Bahkan, sebenarnya politik tidak sehat itu sudah terjadi seperti belum lama ini antara kedua parpol besar: PDIP dan Golkar. PDIP menghendaki seorang capres harus bebas dari status terdakwa, yang ditujukan pada Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung. Sebaliknya, Golkar menghendaki seorang capres harus seorang sarjana, yang tentu ditujukan kepada Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri yang merupakan capres dari PDIP yang memang bukan seorang sarjana. Untuk itu pula, dapat dikatakan setiap masyarakat politik, parpol, mempunyai 'musuh' dalam selimut, yakni para warga politik itu sendiri yang hidup bukan demi masyarakat seluruhnya, melainkan menunggangi dan mengibuli masyarakat lewat argumen-argumen politik demi keuntungan dirinya dan kelompoknya. Karena itulah dalam politik selalu terjadi persaingan yang tidak sehat sebagaimana ibarat masyarakat serigala yang dipaparkan oleh filosof Thomas Hobbes lewat adagiumnya, homo homini lupus. Atau persaingan dalam masyarakat politik itu masih seperti layaknya binatang berjuang dan menggunakan instrumen konflik untuk mempertahankan eksistensinya. Sebagaimana dilukiskan sang naturalis Charles Darwin. Darwin yang hidup pada paruh kedua abad XIX, yang merumuskan tentang seleksi alamiah dan membuka peluang bagi munculnya istilah survival of the fittest telah membeberkan tesis yang mengerikan tentang hubungan antarmakhluk hidup yang dibangun atas prinsip persaingan dan penguasaan, dengan berbagai ragam predatornya yang mengerikan. Dalam hal mana para politikus senantiasa berprinsip bahwa kekuasaan hanya bisa dipegang dengan jalan diperagakan show of force. Dikhawatirkan, bila ideologi kepentingan politik tidak berhasil dijinakkan, terutama pada saat-saat menjelang pemilu 2004, pada saat situasi sosial masyarakat bangsa seluruhnya masih begitu rawan konflik, maka masyarakat politik akan terpecah menjadi masyarakat anarkis, atau lewat dialektika adu kekuatan politik -- membeku dalam masyarakat yang tiranik, yang meredam segala perbedaan kepentingan politik. Anarki adalah revolusi dari insting soliter, dari naluri yang mau mencari kepuasan diri sendiri melawan segala ikatan, hambatan dan mediasi sosial. Ia mau kembali pada kepekatan nafsu yang tak mengenal kalkulasi dan konsekuensi: tidak bisa menunda pemuasan hari ini demi manfaat hari nanti. Sedangkan, kekuasaan tiranik adalah kekuasaan yang merajalela dengan mengandalkan penggunaan kekuatan secara lugas, leluasa, dan represif. Dengan kata lain, kekuatan dan kekerasan menjadi monopoli 'bahasa' penguasa. Dalam setiap masyarakat politik, khususnya masyarakat warga parpol yang hidup kekaryaannya penuh persaingan politik, senantiasa bekerja kekuatan sentrifugal yang mengarah pada anarki, dan kekuatan sentripetal yang menjurus pada tirani. Politik sebenarnya adalah suatu usaha untuk dapat keluar dari dilema ini. Politik juga sebenarnya adalah medan kehidupan politik, dunia bersama, yang mampu menggabungkan manusia hingga mereka tidak saling menerkam satu sama lain, melainkan bekerja sama demi kepentingan kesejahateraan umum. Setiap politikus diajak untuk mencari dan memenuhi kepentingan pribadinya di dalam kerangka kepentingan umum ini. Politik berusaha untuk menciptakan sirkuit kehendak, menjembatani kepentingan individual yang majemuk itu hingga terwujud suatu 'ruang publik' yang mempertemukan aneka ragam kepentingan serta kebutuhan individual yang berbeda itu. Ruang publik yang menjadi medan gerak kehidupan politik parpol atau masyarakat politik lainnya, dijaga oleh tiga pranata sosial: penguasa yang berwibawa, hukum yang adil, dan arus komunikasi sebagai ungkapan dari hasrat untuk menjelaskan diri dan mengerti kedudukan pihak lain. Menurut Hannah Arendt, setiap kegiatan politik yang berlangsung di ruang publik itu adalah suatu usaha untuk menyelesaikan segala perkara melalui kata-kata dan persuasi (argumen untuk meyakinkan pihak lain) dan bukannya melalui kekuatan kekuasaan dan kekerasan politik. Politik adalah suatu kegiatan sintetis; mengubah benturan niat dan ambisi pribadi menjadi langkah kerja sama dengan menunjukkan butir-butir yang saling menguntungkan bagi berbagai pihak. Di situlah letak seninya. Menurut E Hocking, politik adalah 'seni yang paling praktis'. Politik, hakikat dasarnya berurusan dengan 'fakta' yang keras, karena fakta manakah yang lebih keras daripada fakta kepentingan dan hawa nafsu manusia? Ego manusia bukanlah suatu gugusan sensasi seperti dibayangkan oleh filosof David Hume, melainkan suatu gugusan nafsu dan kebutuhan akan segala hal, yaitu kekuasaan. Politik sebenarnya lahir untuk melindungi kepentingan egosentrisme, tetapi dengan memperhitungkan hukum dan tuntutan-tuntuan sosial masyarakat publik-umumnya. Politik sebagai wahana sosial tempat orang-orang berjuang agar haknya diakui, suaranya didengar dan kepentingannya dijamin. Singkatnya, politik adalah suatu taktik dan teknik untuk menciptakan ekuilibrium sosial yang berusaha membawa harmoni bagi kekuatan-kekuatan yang antagonistik. Namun, bila tidak dikelola dengan baik, maka politik dapat menciptakan ruang lebar bagi ambisi dan egoisme pribadi yang berlebihan, untuk meniti tangga kekuasaan sebagai puncak dari peraihan keuntungan dan kepentingan pribadi. Ujung daripada itu, adalah di mana politik berputar-putar dalam labirin kekuasaan yang sesekali meletup dalam peristiwa berdarah. Oleh karena politik, apalagi permaian politik situasional seputar pemilu yang sarat dengan pergulatan kepentingan kekuasaan yang dapat mengerikan sebagai bias daripada naluri ego dan kebutuhan, meskipun ia memiliki tingkat seni tinggi, maka tidak dapat dipungkiri perlu adalah sumbangan atau suntikan etika. Etika yang menyitir bahasa kekuasaan yang bukan penuh kekerasan, keserakahan dan penuh nafsu, melainkan bahasa tanggung jawab. Tanggung jawab sebagai jembatan hidup antarmanusia sebagai makhluk bersosial, bermasyarakat. Etika pada hakikatnya adalah fenomena masyarakat, sebagai resultante hubungan antarindividu serta antara individu dengan masyarakat. Berfungsinya sebuah masyarakat dalam hal ini masyarakat politik, sedikit banyak bergantung pada nilai dan norma yang menjadi pijakan yang terbentuk melalui proses evolusi kehidupan bersama. Nilai dan norma menjadi acuan bagi seseorang atau kelompok dalam mengambil keputusan, serta mencegah atau paling tidak menyelesaikan konflik kepentingan antarindividu. Keberhasilan pemilu 2004 nantinya tidak banyak diukur dari siapa capres dan cawapres yang terpilih, melainkan juga dari tercapai atau tidaknya kebebasan berekspresi mengeluarkan pendapat, di mana persaingan yang terjadi adalah persaingan sehat serta keadilan dan kesejahateraan yang dicapai di kemudian hari oleh pengabdian para pemimpin yang terpilih pada pemilu 2004. Pemilu akan menjadi sebuah pesta demokrasi yang sesungguhnya tatkala semuanya berlangsung penuh etika yang bermuatan nilai dan normanorma dalam berdemokrasi. Dalam hal ini, etika merupakan terapi atas totalisasi yang menjadi biang keladi dari segala kerusuhan yang menyayat sejarah politik. Persoalannya, apakah etika benar-benar mendapat tempat di panggung politik, apalagi pada saat-saat seperti pemilu 2004 yang sangat rawan konflik kerusuhan, kecurangan atau manipulasi, kebohongan dan lain-lain? Rakyat pasti mendambakan sebuah pemilu yang simpatik, penuh etika politik yang menawan. Apakah tidak bisa tercipta? Sulit menjawabnya. Mustahil? M Selzer, menuturkan, ''The morality of politics is the morality of power, in which the end justifies the means, and in which the end must always be the expansion of power. No great country was ever saved by a good man because good men will not go to the lenghts that may be necessary''. Moralitas politik adalah moralitas kekuasaan, di mana tujuan membenarkan cara yang diambil dan di mana tujuan itu pastilah selalu berupa perluasan kekuasaan. Tiada negara besar yang pernah diselamatkan oleh seorang yang baik sebab orang yang baik tidak akan sampai hati untuk melakukan apa saja yang mungkin amat diperlukan. 02 May 2004, 22:59 - Esai & Opini Politik Blukoh Pesta demokrasi baru saja usai, terlepas masih banyak kekurangan dan kelemahan. Rakyat sudah memberikan suara, dan memilih orang-orang yang ‘pantas’ dipilih. Sekarang, sepertinya seluruh rakyat Nusantara ini sedang menunggu hasil pemilu legislatif 5 April lalu. Partai-partai calon pemenang sudah samar-samar diketahui. Tetapi ini semua tidaklah begitu penting. Ada yang lebih penting lagi: seberapa besarkah hasil pemilu ini memberikan perubahan sosial politik di Negeri ini? Setidaknya, pertanyaan ini yang hangat dibicarakan oleh masyarakat. Masyarakat tidak sedikitpun peduli, siapa yang menjadi pemenang. Karena bagi rakyat, yang penting adalah, bagaimana dapat hidup tenang, aman dan cukup bahan makanan serta bebas mencari rezeki tanpa diliputi rasa takut. Tak banyak tokoh politik yang secara jelas memahami keinginan rakyat ini. Padahal, andai saja elite politik melakukan survey tentang kehidupan rakyatnya sebelum melaju ke Gedung Rakyat DPRD, sungguh sangat mulia. Setidaknya, ia mengetahui persoalan yang tengah dialami dan dihadapi rakyat yang bakal diwakilinya. Andai saja, elite politik (Caleg, Capres, pejabat, dll) sesekali mengunjungi desa terpencil, tertinggal, terisolir, terpinggirkan, terbelakang, dll serta tinggal di sana, ngobrol dengan masyarakat di warung-warung kopi, balai desa, atau di Blukoh akan sangat banyak masukan yang didapatkan serta dapat diperjuangkan di parlemen. Tetapi, nampaknya tugas ini tidak banyak dilakukan, di samping mentalitas elite politik yang tidak merakyat juga ketokohan mereka sama sekali tidak mengakar dan memiliki basis sosial yang kuat pula. Praktis bisa ditebak, mengapa berbagai aspirasi rakyat tidak mampu ditangkap dan diperjuangkan? Jawabannya, karena mereka sama sekali tidak mengetahui, bagaimana aspirasi masyarakat yang diwakilinya. *** Blukoh dalam pengertian sehari-hari berarti tempat berkumpul, santai, pertemuan informal antar berbagai macam lapisan masyarakat di desa (kampung) atau kemukiman. Hampir mirip dengan warung kopi (biasanya di warung kopi masyarakat biasa ngobrol apa saja dari persoalan kegetiran hidup, panen padi, bisnis ala masyarakat sampai politik—lahir kemudian istilah politik warung kopi), Blukoh juga sering digunakan oleh masyarakat untuk membicarakan apa saja. Tidak ditentukan tema, melainkan lintas topik dan persoalan, tetapi mengandung pesan penting bahwa masyarakat sedang membicarakan kondisi, nasib dan persoalan yang sedang dihadapi. Kadang-kadang topiknya bercampur-campur dan tidak karuan, kalau dihimpun memiliki sebuah tema sentral dan nampak sistematis. Pembicaraan kadang-kadang dilakukan dalam kondisi sangat santai, akrab dan mendalam walaupun mereka berbicara sesamanya, kadang-kadang penuh ketegangan dan tak karuan. Tidak ada tokoh yang khusus diundang untuk membicarakan atau membahas sesuatu persoalan. Yang banyak mengetahui biasanya lebih mendominasi pembicaraan. Jika istilah Politik Keude Kupi sudah cukup populer dan sangat banyak dibahas, praktis istilah politik Blukoh belum banyak dibicarakan. Padahal, sama-sama memiliki nilai kekhasan dan keunikan serta memiliki arti penting untuk memahami masyarakat. Politik Blukoh adalah ciri khas masyarakat kampung. Sebenarnya inilah yang disebut pendidikan politik bagi rakyat secara tidak langsung: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (masyarakat). Di dalam forum ini, tidak lahir istilah-istilah ilmiah yang sama sekali tidak dekat dengan masyarakat, tetapi lebih banyak lahir istilah khas masyarakat yang memiliki sebuah makna filososif yang mendalam. Sebelum pecah konflik, di setiap kampung ditemukan balai-balai istirahat (di Pidie sering dikenal Blukoh atau Bale—penulis tidak tahu apakah di tempat lain juga sama). Praktis jika kita berkunjung ke kampung-kampung, sangat banyak ditemukan anggota masyarakat berkumpul di tempat ini, dari sekedar santai sampai membicarakan sesuatu yang hangat terjadi. Kehidupan yang penuh keakraban terhidang sangat rapi dan kompak. Kondisi sekarang mungkin sudah banyak barubah. Jarang ditemui, anggota masyarakat berkumpul. Jikapun ada mungkin hanya khusus di siang hari. Tetapi bukan ini yang menjadi tema kajian kita. Melainkan, bagaimana sebenarnya apresiasi masyarakat kita dalam memandang sebuah persoalan politik. Tidak berlebihan jika kita katakan, bahwa masyarakat sebenarnya sudah mengadakan sebuah forum kajian politik secara tidak langsung di Blukoh ini. Kalau sekarang sedang hangat-hangatnya pemilu, otomatis tema pembicaraan rakyat di Blukoh tidak bisa dilepaskan dari Pemilu. Mereka lebih banyak membicarakan siapa kira-kira calon presiden mendatang. Masyarakat—khususnya yang sering membaca koran /nonton TV di warung kopi— mengetahui secara pasti siapa saja yang bakal mencalonkan diri menjadi presiden. Nama-nama calon, sikap calon, perilaku dan kiprah politik sang calon sudah cukup terhafal di memori masyarakat. Di samping itu, mereka juga mampu memetakan kekuatan masing-masing calon, peluang calon dan halhal lain. Sehingga sekilas, pembicaraan ini ibarat obrolan tim sukses, pakar atau pengamat. Bedanya, rakyat sama sekali tidak menggunakan analisi ilmiah atau analisis SWOT (Kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan), walaupun sebenarnya apa yang mereka bicarakan dan perdebatkan tidak jauh bedanya dengan analisis SWOT. Tetapi beginilah potret masyarakat kita, pintar secara alami tanpa pernah mengecap pendidikan tinggi dan gelar macam-macam. *** Sangat banyak manfaat adanya Blukoh ini. Tidak banyak tokoh atau pakar pendidikan yang meneliti secara khusus tentang ini. Fungsinya hampir mirip dengan Meunasah (surau), yang digunakan oleh masyarakat untuk shalat. Sedangkan Blukoh tidak di gunakan untuk shalat. Tidak dipungkiri juga, jika ada masyarakat yang menggunakan Blukoh untuk shalat. Meunasah sering juga digunakan oleh masyarakat untuk mengadakan pertemuan, rapat, atau membahas berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Sifat pertemuannya formal karena melibatkan seluruh perangkat desa dan biasanya secara khusus diundang/dibuat oleh pimpinan desa/mukim (keuchik atau imum mukim). Sedangkan pertemuan yang berlangsung di Blukoh tidak formal, hanya pertemuan biasa dan tidak mengenal jadwal/waktu, kapan saja masyarakat bisa duduk dan ngobrol di sana. Dalam blukoh ini, rakyat sebenarnya belajar memberdayakan diri. Di sana mereka belajar menyelesaikan sebuah persoalan lewat diskusi atau kajian. Artinya, sebuah persoalan dihadapi dengan rapat dan dengan sikap rasional. Sering, sebuah persoalan yang sulit diselesaikan sebelumnya menjadi mudah karena proses pemecahan yang akrab dan rasioanal ini. Jika kita mau jujur, sebenarnya banyak persoalan masyarakat yang bisa mereka selesaikan sendiri. Yang ingin kita sampaikan di sini adalah dengan adanya Blukoh sebenarnya memudahkan bagi elite-elite politik untuk menyerap aspirasi masyarakat secara langsung. Sesekali berkunjunglah ke kampung dan bergaul dengan masyarakat biasa. Tak usah bawa pengawal atau seperti kunjungan dinas, karena jika begini bakal tidak mampu berbicara dengan rakyat secara langsung. Rakyat sebenarnya sangat ingin berbicara dengan elite yang mewakilinya untuk menyampaikan keluhan secara langsung. Tapi jarang ada pejabat yang mau berbicara dan mengunjungi rakyatnya secara sendirian. Padahal, jika benar ia mewakili rakyat, sudah pasti dia tidak merasa takut dan malu berjumpa dengan rakyat. Penyalahgunaan Demokrasi Dalam negara demokrasi, partai yang berkuasa berusaha mempropagandakan idealisme partainya melalui sistem pendidikan. Mereka hanya mengulas ‘text book’ yang sejalan dengan idealisme partai mereka. Universitasuniversitas dipaksa untuk tunduk di hadapan pemerintah karena mereka ketergantungan secara finansial. Gerakan Proutist harus menciptakan universitas-universitas dan institusi-institusi pendidikan lainnya yang terbebas dari kekotoran partai politik, jika tidak maka sistem pendidikan akan berubah-ubah sesuai dengan jatuh-bangunnya pemerintahan partai yang berbeda-beda. Kewajiban pemerintah adalah membiayai universitas dan tidak menginterfensi masalah internal mereka. Sistem penyiaran (broadcasting) juga hendaknya bebas dari kontrol pemerintah. Agar tercipta masyarakat yang baik dan sehat maka harus setiap warga negara baik, sehat dan terpelajar. Para politisi tidak mampu memeprbaiki kelemahan masyarakat sekarang. Jalannya aksi mereka merugikan pertumbuhan masyarakat yang sehat. Ada beberapa bentuk struktur pemerintahan, di antaranya struktur demokrasi sangat dihargai (oleh sejumlah orang). Demokrasi didefinisikan sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Namun dalam kenyataannya demokrasi merupakan kekuasaan mayoritas. Oleh karena itu demokrasi artinya "mobokrasi" karena pemerintahan dalam struktur demokrasi dituntun oleh psikologi ‘mob’. Mayoritas masyarakat bodoh; orang bijaksana selalau dalam minoritas. Sehingga akhirnya demokrasi tidak lain adalah "foolocracy" (pembodohan rakyat). Dalam kerangka masyarakat demokrasi pemerintah bisa saja sangat teliti melalui hukum untuk mengecek korupsi, tetapi pemerintah tidak sepadan (equally) untuk melaksanakan hukum-hukum itu, karena para pemimpin harus tergantung pada suara yang dikumpulkan melalui media yang terpengaruh oleh elemen-elemen anti-sosial. Ada tiga metode penting untuk mengecek korupsi : (1) pendekatan kemanusiaan; (2) kekerasan ; dan (3) hukum yang ketat; tetapi dalam masyarakat demokrasi kita tidak bisa menemukan butir ketiga sepenuhnya, dan tidak ada skup bagi butir kedua di dalam struktur demokrasi. Bentuk pemerintahan terbaik adalah diktator yang bijaksana (penuh kebaikan) oleh para sadvipra. Para sadvipra akan memilih suatu badan diktator, dan badan itu akan memilih para menteri dan kepala-kepala. Kepala akan menjadi pimpinan konstitusional. Jika kepala tidak bisa mengemban tugasnya dengan efisien, badan/lembaga akan menggantinya dengan memilih kepala yang baru. Sebagai prinsip, maka kediktatoran individu tidak dapat diterima. Para sadvipra akan memilih orang-orang yang baik untuk mengemban tugastugas eksekutif dalam pemerintahan maupun non pemerintahan. Mereka juga akan menominasi jabatan-jabatan resmi yang lebih tinggi. Lembaga ini akan memiliki kekuasaan untuk memberhentikan mereka apabila ternyata mereka tidak cocok untuk mengemban tanggungjawab yang diberikan. Bagian sintesis dari pemerintahan bersifat eleksional sedangkan bagian analisis bersifat seleksional. Bagian sintesis akan memutuskan kebijakan-kebijakan dan bagian analisis akan menjalankan kebijakan yang sudah diterima. Jadi struktur sosio-politik-ekonomi kita akan bersifat ‘selecto-electional’. Para sadvipra akan mengambil-alih kekuasaan baik melalui revolusi intelektual atau dengan memobilisasi massa. Tugas dari Proutist adalah membantu para sadvipra agar menjadi berpengaruh/berwibawa dan untuk menguatkan tangan-tangan mereka melalui mobilisasi massa. Renaissance Universal akan mengemban tugas propaganda intelektual dan moralitas. Cita-cita sosio-ekonomi bisa dibangun melalui dua metode : revolusi intelektual revolusi fisik Revolusi intelektual maksudnya mempropagandakan hal-hal ideal, tetapi untuk mewujudkan cita-cita ini memerlukan waktu yang sangat panjang. Masyarakat yang sedang menderita tidak bisa menunggu ini. Revolusi intelektual hanya mungkin secara teori saja. Apabila harapan dan inspirasi sekelompok orang – mayoritas atau minoritas – tidak terpenuhi dalam kerangka demokrasi–revolusi berdarah (sanguinary revolution) pasti terjadi. Revolusi seperti itu, walaupun tak diinginkan, namun tak dapat dihindari dan tak dapat dicegah. Revolusi fisik berarti perang melawan semua komponen yang menentang prinsip-prinsip kesejahteraan masyarakat. Para Proutist akan memelopori era baru revolusi melawan semua bentuk kecenderungan memecahbelah dan kejahatan sosial. Jika hukum suatu negara tidak begitu kuat untuk memperbaiki tingkah laku orang-orang tak bermoral, maka Proutist harus melakukan sesuatu yang nyata. Landasan berdirinya suatu bangsa tergantung pada faktor-faktor berikut : sejarah umum tradisi umum wilayah umum ras kepercayaan umum bahasa umum sentimen umum aspirasi umum Di antara faktor-faktor tersebut yang nomor 1 – 7 adalah faktor-faktor relatif dan hanya bersifat sementara secara wajar. Dalam hal item nonor 8 bisa merupakan campuran antara mutlak dan relativitas. Pilkada dan Masa Depan Daerah Oleh Umar Zunaidi Hasibuan TANGGAL 27 Juni 2005 merupakan era baru kehidupan berdemokrasi, khususnya dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pada masa Orde Baru dan sebelumnya Pemilihan Kepala Daerah dilakukan oleh Lembaga Legislatif yang merupakan representasi dari pilihan rakyat yang dijatuhkan pada partai politik ataupun golongan di masa itu. Saat ini, hampir di seluruh penjuru nusantara disibukkan dengan demam Pilkada, sehingga hampir saja kasus demam berdarah, polio ataupun busung lapar tidak menjadi topik yang menarik. Genderang kampanye mulai ditabuh, meskipun waktu kampanye belum tiba, sebagian elemen masyarakat mulai terkooptasi dengan tim sukses masing-masing pilihan, jagoan dan spanduk bertebaran mendukung dan mempromosikan para calon. Kantor KPU dan Panwaslu dibikin repot dengan protes dan sanggahan yang tidak jarang berakhir dengan keributan. Namun itulah demokrasi yang harus kita lalui. Bagi masyarakat desa, pemilihan pemimpin secara demokratis sebenarnya sudah lama mereka laksanakan. Mulai dari zaman dahulu Pemilihan Kepada Desa selalu dilaksanakan secara demokratis. Masingmasing calon yang maju disimbolkan dengan tanaman yang bermanfaat, misal kelapa, jagung, pisang, padi dan lain sebagainya. Spanduk juga ada, namun jumlahnya sedikit demikian juga dengan tim sukses. Pemilihan ini secara kumulatif hampir dapat dikatakan berlangsung mulus, tanpa ada konflik pada tingkat grass root. Semua berjalan aman dan damai meskipun kita mengetahui yang berkompetisi hanyalah tokoh tingkat desa dengan sumber daya dan sumber dana yang terbatas. Sudah sewajarnya para peserta Pilkada menoleh ke belakang sejenak, menjadikan proses Pilkades sebagai satu referensi dalam berdemokrasi secara tertib dan damai. MenentukanPembangunanDaerah Sesuai dengan Amanat Undang-Undang No.25 Tahun 2004 tentang sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dijelaskan bahwa Pemilihan Kepala Negara/Kepala Daerah sebagai suatu proses politik, pada saat melakukan pemilihan, rakyat memilih Kepala Negara/Kepala Daerah didasarkan kepada program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon pada masa kampanye. Sehingga secara jelas dinyatakan dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2004 penjabaran dari agenda pembangunan yang ditawarkan pada masa kampanye oleh calon terpilih. Merujuk kepada Undang-Undang N0.25 Tahun 2004 maka calon kepala daerah penyampaian visi, misi, strategi, program serta sasaran yang ingin dibangun oleh peserta Pilkada. Mestinya di sosialisasikan kepada masyarakat pemilih sehingga masyarakat dapat menilai dan memahami akan ke mana arah pembangunan daerah mereka pada 5 (lima) tahun ke depan dibawa oleh Kepala Daerahnya. Masyarakat juga dapat melihat nantinya apakah janji yang ditawarkan memang merupakan komitmen yang dipenuhi atau hanya Lips Service. ProblemaMasyarakat Dari sisi masyarakat kita melihat bahwa problema yang dihadapi masyarakat cukup banyak dan sifatnya kompleks ditinjau dari segi ekonomi, jumlah masyarakat miskin cukup banyak, krisis ekonomi yang belum teratasi dengan baik menyebabkan jumlah masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan meningkat. Antara lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah angkatan kerja yang ada tidak sebanding sebagai akibatnya munculnya pengangguran baru atau pengangguran terselubung yang bertambah setiap tahun. Kualitas pendidikan dan kesehatan juga belum menggembirakan, karena dari pendapatan yang minim biaya untuk sektor ini dianggap masih sebagai barang mahal. Fasilitas prasarana dasar masih dinilai barang langka, listrik, air, jalan dan drainase masih di tingkat kota apalagi telepon dan gas. Ekses dari semua ini maka tidak heran bila muncul kerawanan sosial. Hal yang perlu dicermati oleh peserta Pilkada karena pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban di daerah. HarapanMasyarakat Bagi masyarakat awam siapa pun figur yang terpilih bukanlah menjadi bahan yang perlu diperdebatkan, namun yang penting bagaimana nasib mereka dapat berubah menjadi lebih baik. Untuk dapat berubah diperlukan suatu konsep dari calon Kepala Daerah yang benar-benar berpihak kepada masyarakat bawah. Konsep ekonomi kerakyatan harus menjadi pilihan utama dengan melakukan pembangunan perdesaan atau daerah pinggiran, melalui konsep pembangunan sumber daya masyarakat (Community Resources Development). Dengan, menjadikan pedesaan ataupun daerah pinggiran sebagai basis perekonomian maka akan dapat menumbuhkan Out Put dan meningkatnya pendapatan lokal, terciptanya lapangan pekerjaan, adanya peningkatan distribusi pendapatan, perbaikan kualitas hidup, pemberdayaan masyarakat serta mencegah urbanisasi ke perkotaan. Untuk itu perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat (People Empowerment) sesuai culture dan potensi yang dimiliki dan melakukan pembangunan sumber daya yang berkelanjutan. (Sustainable Community Development) ANALISIS I. Masyarakat Madani Dari gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusuhan berbau SARA. Hal itu terjadi karena baik pemerintah maupun masyarakat masih belum berpengalaman dalam berdemokrasi, sehingga pengembangan masyarakat madani bisa menjadi hambatan bagi demokrasi, karena demokrasi dianggap sebagai distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Dilihat dari sejarahnya civil society yang lahir di Eropa pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu bertujuan untuk menghindari pemerintahan yang absolut. Dan Indonesia telah meniru model Amerika, dimana negara mempunyai posisi yang lemah. Hal itu bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam Islam dan sejarah masyarakat Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Realitas juga menunjukkan kalau negara yang demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara modern. Dengan demikian, diharapkan pemerintah dan MPR/DPR saling menjaga keseimbangan untuk menegakkan hukum yang sehat dan demokrasi. Masyarakat juga harus mengontrol kinerja pemerintah dan para wakilnya, agar tidak bertentangan dengan kehendak masyarakat madani. Baik menjadi anggota masyarakat madani maupun perangkat negara hendaknya dapat mewujudkan demokrasi. Pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, di samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris. II. Masyarakat Politik Setiap masyarakat politik, parpol, mempunyai 'musuh' dalam selimut, yakni para warga politik itu sendiri yang hidup bukan demi masyarakat seluruhnya, melainkan menunggangi dan mengibuli masyarakat lewat argumenargumen politik demi keuntungan dirinya dan kelompoknya. Karena itulah dalam politik selalu terjadi persaingan yang tidak sehat sebagaimana ibarat masyarakat serigala yang dipaparkan oleh filosof Thomas Hobbes lewat adagiumnya, homo homini lupus. Atau persaingan dalam masyarakat politik itu masih seperti layaknya binatang berjuang dan menggunakan instrumen konflik untuk mempertahankan eksistensinya. Politik juga sebenarnya adalah medan kehidupan politik, dunia bersama, yang mampu menggabungkan manusia hingga mereka tidak saling menerkam satu sama lain, melainkan bekerja sama demi kepentingan kesejahateraan umum. Agar tercipta masyarakat yang baik dan sehat maka harus setiap warga negara baik, sehat dan terpelajar. Demokrasi didefinisikan sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Namun dalam kenyataannya demokrasi merupakan kekuasaan mayoritas. Oleh karena itu demokrasi artinya "mobokrasi" karena pemerintahan dalam struktur demokrasi dituntun oleh psikologi ‘mob’. Mayoritas masyarakat bodoh; orang bijaksana selalau dalam minoritas. Sehingga akhirnya demokrasi tidak lain adalah "foolocracy" (pembodohan rakyat). PAGE PAGE 1 < @ M e = > L M O X t # , ~ • ” œ ® » ) 8 ë 6 | y † e o ¶ à û f x ¨ µ © Å • š ? M ‘ Ä 0 ; îÞÖËÖÁº¶ Ö¦˜Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö•Ö• h nÕ 6 •B* ] •ph h nÕ B* OJ QJ ^J ph - h nÕ >* B* OJ QJ ^J ph h nÕ ‚ • h nÕ 5 •\ • h nÕ 0J B* ph h nÕ B* CJ OJ QJ ^J ph = M õ f# ¼ U% “ k' É ô Ï) ˆ õ æ £ ¤d [$ \$ `„Å a$ ¤d ¤d [$ \$ `„Ð a$ "h nÕ 5 •B* \ •ph " h nÕ >* B* CJ OJ QJ õ æ É æ Ü É £ £ É £ $ $ PÉ ¶ h nÕ B* ph ^J ph 7 „Ð dh $ dh ¤ ¤ ¤ a$ [$ \$ `„Ð a$ £ „Å dh ¤d $ „Ð dh $ dh ¤d ¤d [$ \$ a$ $ dh ¤ a$ ; — ¦ õ Ú J ` a b ¡ - "- B- É Ð e r Ó á µ# Â# 6$ E$ :& D& ž( «( •) Ž) Ï) ½, 4- A- D- —- ¬- ¹æ?0 ®0 »0 ¼0 ½0 k2 x2 ð2 ý2 X3 f3 4 £5 ½7 é7 ¸8 Û8 (; ;; ‡A ”A %B 3B &E /E #J 1J €K ŽK L &L ÐL ÞL O +O bO wO ’O ¨O ÏO ÕO S S ‘T ÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷â÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷Ò÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ h nÕ B* CJ OJ QJ aJ ph h nÕ 0J B* ph h nÕ 6 •B* ] •ph h nÕ B* ph SÏ) ¾, À, æA0 $2 4 ¤5 ¦5 D6 ¶8 ¸8 Û8 ì Ý Ê Ý · ¤ • Ý z Ý z k $ dh ¤ ¤ [$ \$ a$ $ „Ð dh ¤ „- „´ÿ dh ¤ ¤ [$ \$ ^„`„´ÿa$ $ „Ð dh ¤d ¤d [$ \$ `„Ð a$ \$ `„Å a$ $ „Å dh ¤ ¤ [$ \$ `„Å a$ ¤ $ [$ \$ `„Ð a$ „Å dh ¤d $ ¤d [$ $ dh ¤ ¤ [$ $ „Å dh ¤ ¤ [$ Û8 î: ð: > á ¬ > ÂA öD ¿ $ [$ øD ¨G á ¬ ™ ¤ ÄA Î ð „Ð dh J J ²L ð ¤ ð ¤ ÞP àP Î ™ [$ •S ¿ ™ $ V ð ð „Ð dh ¤ ð $ dh ¤ ¤ \$ a$ \$ ^„Å a$ \$ `„Ð a$ ªG \$ `„Ð a$ [$ \$ a$ $ „Ð dh ¤ ¤ [$ \$ `„Ð a$ $ dh ¤ ¤ [$ \$ a$ $ dh ¤ ¤ [$ \$ a$ Ÿj ¶j Ýk êk !r "r å| ‘T æ| ¦T ´X ºX ^ *^ \` z` †` /i @i ƒ … ª §¼ h „ \… ]… c… d… †… ”… — â Ê¢ 㢠9§ B§ ø§ ¨ è „« Œ« é¬ ñ¬ n¯ v¯ ° ° •¼•¼•¼•¼•¼•¼•¼ ¼ ¼ ¼ ¼ ¼ nÕ 0J h nÕ 0J 5 •CJ \ • Ϩ µ² Vª ʲ lª ·´ rª {ª †ª – ôìôìôìßÔìôìôìôìÊìÊìôìÀ¼¶¼h nÕ 6 •] • h nÕ CJ h nÕ 5 •CJ \ • h nÕ CJ h nÕ h nÕ B* CJ ph h nÕ >* B* ph h nÕ 5 •B* \ •ph h nÕ 5 •B* CJ \ •ph h nÕ B* ph h nÕ 6 •B* ] •ph 5 V V K\ M\ H` I` J` K` L` M` N` O` P` Q` R` S` T` U` V` W` X` Y` Z` [` \` ð Ý ð Ý Î Î Î Î Î Î Î Î Î Î Î Î Î Î Î Î Î Î Î Î $ dh ¤ ¤ [$ \$ a$ $ „Ð dh ¤ ¤ [$ \$ `„Ð a$ $ dh ¤ ¤ [$ \$ a$ b… c… d… †… –… — … Ä¢ ð ä ¼ º º ® $ $ ¤ ¤ ¤ ¤ [$ \$ a$ [$ \$ a$ \` z` °` ±` ä \… ]… ^… Ø º ¥ ¤ [… ¤ [$ \$ $ a$ `… a… Ð º ™ _… Á º ™ — Æ $ dh $ „ dh dh ¤ ¤ ¤ [$ \$ a$ a$ ¤ [$ \$ $ dh a$ $ dh ¤ ¤ [$ \$ a$ .« ä¬ i¯ Á° ý° ± #± ÷ ÷ é é ä Ò · ä $ „h dh `„h a$ Ä¢ Å¢ Æ¢ )² ;³ ·´ ÷ é Ò Ç¢ È¢ µ ÷ É¢ Ê¢ 㢠÷ õ é Ǧ é é à إ é · å¨ ÷ $ & F dh dh $ „Ð ¤d ¤d dh ¤d [$ \$ a$ ¤d [$ \$ a$ `„Ð a$ $ $ a$ $ dh a$ ·´ ×´ µ µ µ µ µ µ (µ *µ /µ ?µ Aµ Lµ Nµ [µ ]µ jµ lµ 7¶ :¶ X¶ ]¶ r¶ I½ d½ ~Á •Á }Å ŽÅ ŸÉ É ¢É ÀÉ «Ë ¹Ë ØÑ ÚÑ òÑ ©Ó ºÓ XÔ 1Õ 2Õ ›Õ ¤Õ ZÖ eÖ %× 1× H× I× J× ÷ó÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ì÷ìóæÓ˾˳˳˳˩óìËžËó”ËžËóæó ŽóŽóŽóæ† j h nÕ U h nÕ 0J h nÕ B* CJ ph h nÕ 6 •B* ] •ph h nÕ B* CJ ph ÿ h nÕ 5 •B* \ •ph h nÕ 5 •B* CJ \ •ph h nÕ B* ph % h nÕ 0J 5 •B* CJ OJ QJ \ •ph h nÕ CJ h nÕ 5 •\ • h nÕ h nÕ 0J 5 •\ •4 µ µ µ Æ í *µ /µ %Ä í Aµ Nµ ]µ í í Ó $ $ $ dh „Ð ¤ „h 7¶ :¶ ¤d [$ \$ a$ X¶ s¶ w¸ í á dh a$ ’» I½ $ z¿ Õ Ã Ã · a$ dh $ %Ä }Å ÂÆ ŸÉ É ¡É ¢É ~Á í à à $ º Õ Ã Ã dh `„Ð a$ ¤ [$ \$ a$ dh `„h a$ ¤d 9¶ í í Ë Ã & F lµ «É ÀÉ ‘Ë “Ë Î Î {Ï ØÑ ò Í ÚÑ ð ñÑ XÔ Ù ¯ ›Õ ð G× ÷ ÷ Í ¯ ÷ î ì Ù ¯ Ù Ù Ù ¾ $ dh ¤ ¤ [$ \$ a$ $ $ dh ¤ $ a$ _× `× â â ¤ ¤ [$ \$ a$ [$ \$ a$ $ „Ð dh $ dh a$ G× H× I× k× l× m× n× o× ó â â â Ù × â ä ¤ „üÿ „ ¤ K× &`#$ â ¤ L× ä [$ \$ `„Ð a$ N× O× Q× R× T× U× ^× â â â â Ù × × $ dh ¤ $ „Ð dh a× g× h× ¤ [$ \$ a$ `„Ð a$ J× L× M× O× P× R× S× U× V× i× j× k× n× o× üôüôüôüêäêäüêäêÙêäüÓ h nÕ CJ hÏ?™ 0J mH nH u h nÕ 0J j h nÕ 0J U °ÈA!°Ü "°¥ #•Ü $•¥ %° °Ð °Ð j h nÕ U h nÕ 0 &P \× ]× ^× 1•h °ƒ. ` •Ð 6 6 6 > 6 6 6 H 6 6 6 6 6 6 6 6 6 ð 0 0 0 0 0 0 0 6 6 6 6 6 6 6 6 ˜ v 6 6 6 6 6 6 v 6 6 ¸ 6 6 6 v 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 @ @ @ @ @ @ @ nH P P P P P P P ` ` ` ` ` ` ` p p p p p p p tH sH ^ ˜ ˜ ˜ v 6 6 6 6 6 ˜ v 6 6 6 6 6 ˜ v 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 € € € € € € € • • • • • • • @ À À À À À À 8 `ñÿ Ð Ð Ð Ð Ð Ð X @ ž v ž v 6 ¨ 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 à à à à à à ø ð ð ð ð ð ð ž v 6 6 6 6 6 6 ° 6 6 V 6 6 6 6 6 6 6 6 ~ ( 6 6 6 6 6 6 6 2 2 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 h 6 6 6 À 6 Ð Ø è _H mH 6 à N o r CJ _H aJ mH sH tH P @ P H e a 1 ¤ð @& 5 •>* QJ \ •^J D D H e a 2 $ m a l d i n g KH$ OJ d i n g $ dh @& a$ CJ D @ D H e a d i n 3 $ $ dh @& a$ CJ \ @ \ B* CJ ph H e a d i n V @ R V 4 " $ $ dh ¤d ¤d @& [$ \$ 5 ¤d H e a d i n ¤d @& [$ \$ 5 •CJ OJ QJ \ •aJ b @ b 6 " òÿ¡ D $ H e a d i n $ dh ¤d ¤d @& [$ 5 •B* CJ \ •ph D A` D e f a u l P a r a g r F o n t V i óÿ³ V 0 T a b l e N o r m a l ö g g a$ g g \$ a$ t a p h 4Ö 4Ö l aö ( k ôÿÁ ( 0 N o L i s t :V < & ¢ ñ < F o o t n o t e R e f e r e n c e * W@¢ * S t r o n g 5 •\ •< B@ < B o d y T e x t ¤d ¤d [$ \$ D @ " D F o o t n o t e T e x t ¤d ¤d [$ \$ J C@ 2 J B o d y I n d e n t T e x t ¤d ¤d [$ \$ > Z@ B > P l a i n T e x t ¤d ¤d [$ \$ > þO¢ Q > j 1 1 5 •CJ OJ QJ \ •aJ o( phÌ 3 B ^@ b B N o r m a l ( W e b ) ¤d ¤d [$ \$ 4 @ r 4 F o o t e r Æ à À! . )@¢ • . P a g e N u m b e r > P@ ’ > B o d y T e x t 2 $ dh a$ PK E÷…þƒÐ¶Ørº(¥Ø΢Iw},Ò ä±-j•„4 ! ‚Š¼ ú [Content_Types].xml¬‘ËjÃ0 Éßwì¸Pº -t# bΙ{U®•ã “óTéU^h…d}㨫ôûî)»×*1P ƒ'¬ô “^××Wåî 0)™¦Též9< “l•#¤Ü $yi} •å ; À~@‡æ¶(îŒõÄHœñÄÐuù* D× zƒÈ/0ŠÇ° ðûù $€˜ X«Ç3aZ¢Ò Âà,°D0 j~è3߶Îbãí~ i>ƒ ØÍ 3¿\`õ?ê/ç [Ø ¬¶Géâ\•Ä!ý-ÛRk.“sþÔ»•. .— ·´aæ¿-? ÿÿ PK ! ¥Ö§çÀ 6 _rels/.rels„•ÏjÃ0 ‡ï…½ƒÑ}QÒà %v/¥•C/£} á(•h" Û ëÛOÇ » „¤ï÷©=þ®‹ùá”ç šª ÃâC?Ëháv=¿•‚É…¤§% [xp†£{Ûµ_¼PÑ£<Í1 ¥H¶0• ˆÙO¼R®BdÑÉ ÒJEÛ4b$•§‘q_טž à6LÓõ R×7`®•¨Éÿ³Ã0ÌžOÁ•¯,åE n7”Liäb¡¨/ãS½•¨eªÔ-е¸ùÖý ÿÿ PK ! ky– ƒ Š theme/theme/themeManager.xml ÌM à @á}¡w•Ù7c»(Eb²Ë®»ö Cœ AÇ ÒŸÛ×åãƒ7Îß Õ›K Y,œ ŠeÍ.ˆ·ð|,§ ¨ÚH Å,láÇ æéx É´• ßIÈsQ}#Õ…µÝ Öµ+Õ!ï,Ý^¹$j=‹GWèÓ÷)âEë+& 8ý ÿÿ PK ! –µ-â– P theme/theme/theme1.xmlìYOoÛ6 ¿ Øw toc'v uŠØ±›-M Än‡-i‰– ØP¢@ÒI} Ú〠úa‡ Øm‡a[• Ø¥û4Ù:l Я°GR’ÅX^’6ØŠ>$ ùãûÿ-©«×îÇ !)OÚ^ýrÍC$ñy@“°íÝ-ö/yH*œ ˜ñ„´½)‘Þµ•÷ß»Š×UDb‚`}"×qÛ‹”J×—– ¤ ÃX^æ)I`nÌEŒ ¼Šp) ø èÆli¹V[]Š1M<”à ÈÞ •©OÐP“ô6râ= ¯‰’zÀgb I g…Á u••SÙe bÖö€OÀ•†ä¾ò ÃRÁDÛ«™Ÿ·´qu ¯g‹˜Z°¶´®o~ÙºlAp°lxŠpT0÷ +[ } `j-×ëõº½zAÏ °ïƒ¦V–2ÍF•-ÞÉi– @öqžv·Ö¬5\|‰þÊœÌN§Óle²X¢ d søµÚjcsÙÁ •Å7çð•Îf·»êà ÈâWçðý+Õ†‹7 ˆÑä` - ÚïgÔ È˜³íJø À×j |†‚h(¢K³ óD-Šµ ß㢠dXÑ ©iJÆ؇(îâx$(Ö ð:Á¥ ;ä˹!Í I_ÐTµ½ S 1£÷êù÷¯ž?EÇ ž ?øéøáÃã ?ZBΪmœ„åU/¿ýìÏÇ£?ž~óòÑ ÕxYÆÿúÃ'¿üüy5 Òg&΋/ŸüöìÉ‹¯>ýý»G ðM•Geø•ÆD¢›ä íó $”8ÁšK ýžŠ ôÍ)f™w 9:ĵà å£ x}rÏ x ‰‰¢ œw¢Ø îrÎ:\TZaGó*™y8IÂjæbRÆíc|XÅ»‹ Ç¿½I u3 KGñnD 1÷ N 3Vq%'#q¾ à ÓòŠÍ IB Òsü€• íîRêØu—ú‚K>Vè.E L+M2¤#'šf‹¶i ~™Vé þvl³{ u8«Òz‹ ºHÈ Ì*„ æ˜ñ:ž( W‘ ☕ ~ «¨JÈÁTøe\O*ðtH G½€HYµæ– }KNßÁP±*ݾ˦±‹ Š-TѼ•9/#·øA7ÂqZ… Ð$*c?• ¢ íqU ßån†èwð N ºû %Ž»O¯ ·ièˆ4 =3 Ú—Pª• ÓäïÊ1£P•m \\9† øâëÇ ‘õ¶ âMØ“ª2aûDù]„;Yt»\ ôí¯¹[x’ì eW÷ ¶)6-r¼°C-SÆ jÊÈ išd ûDЇA½Îœ óù•ç]É}Wr½ÿ|É]”Ïg-´³Ú IqbJ#xÌ꺃 6k•àê#ª¢A„Sh°ëž& ÊŒt(QÊ% ìÌp%m•‡&]ÙcaS l=•XíòÀ ¯èáü\P•1»Mh Ÿ9£ Mà¬ÌV®dDAí×aV×B•™[݈fJ•ÃP |8¯ Ö„ AÛ V^…ó¹f ÌH ín÷ÞÜ-Æ é" á€d>ÒzÏû¨nœ”ÇŠ¹ €Ø©ð‘>ä•bµ ·– &û ÜÎâ¤2»Æ v¹÷ÞÄKy ϼ¤óöD:²¤œœ,AGm¯Õ\nzÈÇiÛ Ã™ -ã ¼.uχY C¾ 6ìOMf“å3o¶rÅ Ü$¨Ã5…µûœÂN H…T[XF64ÌT ,Ñœ¬üËM0ëE)`#ý5¤XYƒ`øפ ;º®%ã1ñUÙÙ¥ m;ûš•R>QD ¢à •ØDìcp¿ UÐ' ®&LEÐ/p•¦m¦Üâœ%]ùöÊàì8fi„³r«S4Ïd 7y\È`ÞJâ•n•² åίŠIù R¥ Æÿ3Uô~ 7 +•ö€ ׸ #•¯m• q¨BiDý¾€ÆÁÔ ˆ ¸‹…i *¸L6ÿ 9ÔÿmÎY &áÀ§öiˆ …ýHE‚•=(K&úN!VÏö.K’e„LD•Ä•© {D ê ¸ª÷v E ꦚdeÀàNÆŸûžeÐ(ÔMN9ßœ Rì½6 þéÎÇ&3(åÖaÓÐäö/D¬ØUíz³<ß{ËŠè‰Y ›Õȳ ˜•¶‚V–ö¯)Â9·Z[±æ4^næ• ç5†Á¢!Já¾ é?°ÿQá3ûeBo¨C¾ µ Á‡ M  ¢ú’m<•.•vp •“ ´Á¤IYÓf“¶Z¾Y_p§[ð=alÙYü}Nc Í™ËÎÉÅ‹4vfaÇÖvl¡©Á³'S †ÆùAÆ8Æ|Ò*•uâ£{àè¸ßŸ0%M0Á7%•¡õ ˜<€ä· ÍÒ•¿ ÿÿ PK ! Ñ•Ÿ¶ ' theme/theme/_rels/themeManager.xml.rels„•M Â0 „÷‚w ooÓº ‘&݈ÐÔ „ä5 6?$Qìí ®, .‡a¾™i»—•É c2Þ1hª :é•qšÁm¸ìŽ@R N‰Ù;d°`‚Žo7í g‘K(M&$R(.1˜r 'J“œÐŠTù€®8£•Vä"£¦AÈ»ÐH÷u} ñ› |Å$½b {Õ –Pšÿ³ý8 ‰g/]þQAsÙ… (¢ÆÌà#›ªL Ê[ººÄß ÿÿ PK ! ‚Š¼ ú [Content_Types].xmlPK ! ¥Ö§çÀ 6 + _rels/.relsPK ! ky– ƒ Š theme/theme/themeManager.xmlPK ! – µ-â– P Ñ theme/theme/theme1.xmlPK ! Ñ•Ÿ¶ ' › theme/theme/_rels/themeManager.xml.relsPK ] – <?xml version="1.0" encoding="UTF-8" standalone="yes"?> <a:clrMap xmlns:a="http://schemas.openxmlformats.org/drawingml/2006/main" bg1="lt1" tx1="dk1" bg2="lt2" tx2="dk2" accent1="accent1" accent2="accent2" accent3="accent3" accent4="accent4" accent5="accent5" accent6="accent6" hlink="hlink" folHlink="folHlink"/> oÏ ô ÿÿÿÿ Û8 $ V $ \` $ Ä¢ ' µ %Ä ; G× ‘T ·´ J× o× l o× m o p r n s q t u v y w Ï) x ' €€€ ÷ !• !Tÿ•€ ð’ ð ð ð ðB ð8 ð ð @ -ñ ð0 ð( ÿÿ ÿ S ð¿ ! v u » Ë ¼ ÿ $ ‚ Æ % ƒ Ç ? / ‹ Í 0 Œ Î 2 • Ö ð > • × D ™ Þ E š ß L ¡ ä O ¢ å V ¬ ë X ¯ ù b ± ÿ c ² i ¶ o · . | Ñ ! 9 ‡ 8 † Õ Ö " < Œ Ú & = Ž á ' C ” ç D • è I ¢ ð R £ ü \ § ] ¨ c ® d  j Ç k È s Ê t Ë { Ð % 1 … ¡ ÷ $ ‰ î ï & , 2 – ¢ 7 8 ? J Q S X Y _ ` j p w x ~ • ª « ³ ´ À Á É Ê Ñ Ò Ù Ú Þ ß é ì + Š 2 ” 3 š : ¤ d j Á k Ä u Ê v Ë ó ô ø = ¥ A © H · U ¹ º | Ô ~ Õ ƒ Þ „ ê | ž ú • Ÿ û ‚ § ÿ ! } ' ƒ ( „ ' Œ ¨ 5 – / ‡ 0 ˆ = > G H N \ b c m n t u { ® ´ µ º » È É Ï Þ æ ç ò ó : ; ? N [ \ c i m n s t { • • ˜ ™ œ • ¥ ¦ ® µ À Å Æ Í Î × Ø à á æ ç í ô ú û ÿ & + : A B E F S T X Y _ e l n t { ˆ ‰ • • › œ ¡ £ ª « ¯ ° · ¸ » ¼ Å Ì Ð Û â ê ð n ² v u · ½ " } à . ~ 5 … Ë Ä # j Ï k Ð t Ô } Õ † Ù 9 ‡ Ì $ ‡ â ? Ž Ð / ’ è @ • Ñ 0 “ é G “ Ø 6 ™ ó ô H ” ä 7 L œ é = ¦ ú M Ÿ ê > § û V ¥ ó C X ¦ õ D Á c ¬ þ W Æ d ÿ X Ç h ± ^ É e Ê Y « ê $ * 4 6 ; ? D E J K Q U Z [ c d j n s t | • „ … Š ‹ • – œ • ¡ ¢ ¦ § ¯ ° ¸ ¹ ¾ ¿ Å Æ Í _ ¬ j ¸ k ¼ ( q Å : | Æ F „ Ì G … Í O Š × P ‹ Ø T ‘ Þ U ¨ ß Î Ò Ó Û á é ê ï ð ø ù ) * . / 5 6 : ; A B J N T U X Y _ a f Œ ‘ ’ ” • š › ¥ ¦ ® ¸ ¹ ¿ Á Æ Ç Ì Í × Ø Ü Ý ä å í î ò $ , 8 > ? I J O P \ ] c d n u z { • “ ™ š £ ¤ ¯ ° ³ ´ ¹ º Å Æ Ë Ì Î Ï Ó Ô Ø à é ê ó ô ù ú ) * / 1 4 5 7 8 < C M N R S Z [ d p z • ‡ “ — ˜ § ¨ ® ¯ µ Æ Í Î Ö × á â ç è ì í ú ! # ) * 3 4 > ? F G I J O P T b e f o p x y • € Š ‹ ‘ ’ ¡ ¢ § » À Á Ã Ä É Ì Ò Ó Û Ý ã ä î ï õ ö ÿ g n ˜ û t • x ž % ‚ y ¨ Å ' ƒ Ê , ˆ Ë 0 ‰ Ñ > ’ Ò E “ Ø M N Z [ ` a f — Ù Û Ü à æ ë ì ð S _ ² ` ³ g f ¹ º # p ¿ ö n o r v ‚ % w À ƒ + } Ë " ˆ , ~ Ì # ‰ 6 • Ø ' • 7 ‚ Ù * Æ < Œ á 2 Î = • ã 9 è B ¡ æ > ò C ¢ ç M ô L § î R ý M ¨ ï S R « õ ] c ~ ž â 4 § ä ‡ Ÿ ê < ª é ( ‹ ) Œ o œ ß w £ ä L R ˜ ö • ¥ ñ M « ê # • ¦ ó T ¯ ò $ – ± û U ° õ 3 — & x ¤ å 4 ˜ 0 • ¬ ë 9 Ÿ 1 ‚ ì S œ þ [ • ÿ \ ¦ H I Q R V ³ ¶ · ¼ ½ Å Æ ü ü c ¶ Þ : Ò ç > 7 8 • ° ð } ~ / † l » n ¼ è ` Ï Ð $ o u v } × Ø Û Ü q À r Á ô { É û | Ò ü „ Ø ‘ Ù – Ü Ý ã ó ? I b g h m n r s { „ ; < B P V W a b h i n º À Á Ä É Î Ï Ó Ô Þ Ø ‡ c W # a µ § % • = ³ ñ d ° – ¹ ÷ ø " # + , . / 7 : @ A K i j u { • ‚ ‰ Š ‘ ’ — ¶ ¾ ¿ È Ñ × Ø à á è î õ 0 6 7 ? @ G H R S X Z d ‡ ‹ Œ • • ¥ ¦ ¯ ° ´ µ º » Ã Ä Ò á ã ï ö ÷ þ ÿ ! " % & + , 3 4 7 8 > ? A R \ ] d e h i o q w } ‡ ˆ “ ” ™ š ¡ ¢ ¯ ° ¿ À É Ë Õ × Ú Û ä ç í î ó ô ú û x # € . ! v ¼ ) z È G Î H Å * { Ô Q Ç . € ? ‰ Ø Õ S È 6 • X Ï k Ð @ Š Ù v Ù H • á ~ Ú N • ä U š é V › ê [ ¡ î \ § ï b ó c ® ô i ¶ ù j · ÿ u » " # & ' 1 2 : ; ? @ ˆ ‰ • ‘ ˜ ™ § « ¬ ´ à á ç è ð ñ ô õ ú û ÿ ! g ™ & r ª ' s ± . x ² / z ¸ 5 • < • ¹ E –  H M N T U Y Z _ ` f Î Ð Ò Ý ã ä ë ì ö ÷ — Å j ° õ k ± ö r ¸ " z s ¹ ½ # • ¾ ( „ à ) … Ä , Š Ê 5 ‹ Ë > “ Ó ? ” Û H š â N › ã S ¤ è Z ¥ é _ ¬ ð ` ñ - !- '- (- .- 4- 9- D- N- W- d- e- l- my- z- •- €- †- ‡- Œ- •- –- ™- ž- Ÿ- ¥¦- «- °- ¸- ºÀ- Á- Ç- È- Í- Î- Ó- Ô- Ú- Û- á- â- ë- ì- ö- ü{ á > ” ý ! | ä • ê ? • þ ‚ ë F • ! ' ( - . 7 = H I Y Z a b g Œ • — ˜ ž Ÿ ¤ ¥ ° ± · ¸ Á Â É ÷ ø þ ÿ $ % G K ^ g h n q v w | } ¬ µ ¶ ¼ ½ Ã Ä Ê Ø á ã ! k Ï , … ê p q v Ö × Ù 7 † • ì ñ wÚ8 Ž ò ! ! ! !! "! '! (! ,! 3! 5! 6! ;! >! C! _! `! f! i! m! n! s! t! w! y! €! •! — ! ˜! ! ¡! ¦! §! ®! ¯! ¶! º" Ã" À$ Æ$ Ç$ í$ ù$ ú$ ÿ$ % % % E! J! K! U! V! Ñ$ Ò$ Ô$ Õ$ Ù$ % % % % % % !% %% &% .% 3% A% D% š% £% ¥% «% º% ¿% À% Ç% È% Î% Ï% Ó% Ô% Ù% Ú% Ý% ß% ä% æ% ê% ë% õ% ö% ü% ý% & 9& B& ’& ™& G( J( g( p( q( w( •( „( …( ‰( Š( ‘( ’( š( ›( Ÿ( ( -( ½( Ã( Ä( Ê( Ò( Û( Ü( à( á( æ( ç( ð( ñ( ö( ÷( ü( ý( ) ) ) ) ) ) ) ) ) ) $) %) )) *) /) 0) 8) 9) ?) @) E) F) N) O) V) X) _) `) h) i) o) p) u) {) •) ™) š) ¦) ¨) ±) ²) ») ¼) Â) Ã) Ç) È) Î) ã) ä) í) î) ó) ô) ø) ù) * * * * * * * * "* 3* ƒ* „* Š* ‹* ”* – * ›* œ* ¡* ¢* «* ¬* ç* è* ï* þ* + + + 8* G* S* T* W* X* b* c* j* y* }* ~* ·* ¹* Ã* Å* Ì* Í* Ñ* Ò* Û* Ü* ã* ä* + + . . . + + + + !+ &+ '+ *+ ++ 6+ 9+ >+ ?+ I+ O+ V+ f+ ƒ+ ˆ+ ‰+ •+ Ž+ ™+ š+ ¥+ ¦+ ©+ ª+ ³+ »+ Ð+ Ù+ ß+ è+ é+ ð+ ñ+ þ+ , , ³, º, Ö, â, ¦- ª- «- ²³- À- Á- Ê- Ð. ‚) Š) ‹) •) ‘) Ï) Õ) ×) Ý) Þ) o+ p+ w+ x+ ‚+ À+ Á+ Ë+ Ì+ Ï+ Ù- Ú- ß- à- æ- ï- ó- ô- ø- ù- ý- þ. . . . . !. .. /. 9. :. ~. †. Œ. –. — . ›. œ. ¡. ¢. ¥. ý. þ. / / @. F. P. Q. X. ^. c. d. m. n. t. u. }. ¦. ±. ³. º. ». Ã. Ä. Í. Ö. Û. Ü. å. õ. / / / Ý0 1 1 1 / ç0 / è0 / î0 %/ &/ // 0/ 3/ 4/ ï0 ô0 õ0 û0 ü0 ÿ0 =/ 1 ¶0 ¼0 Æ0 Ç0 Í0 Î0 Ð0 1 1 1 1 1 1 1 1 &1 '1 .1 :1 ;1 D1 E1 L1 M1 Y1 Z1 ]1 ^1 k1 l1 n1 o1 u1 v1 }1 ~1 ƒ1 „1 •1 •1 — 1 ˜1 ¤1 ¥1 º1 »1 É1 Ê1 Í1 Î1 Õ1 Ö1 Û1 Ü1 á1 â1 é1 ë1 ò1 2 2 2 2 2 52 62 >2 ?2 D2 E2 M2 N2 Y2 î2 ð2 ù2 ú2 ý2 þ2 3 3 3 3 3 3 -3 3 &3 >3 F3 G3 T3 U3 \3 a3 f3 g3 n3 o3 x3 y3 €3 •3 ‰3 Š3 ”3 •3 ˜3 ™3 ¦3 §3 °3 ±3 ¶3 ·3 Ã3 Ä3 Ì3 Í3 Ó3 Ö3 Û3 Ü3 ä3 å3 ï3 ð3 ù3 ÿ3 4 4 4 4 4 4 4 $4 %4 .4 94 :4 =4 >4 F4 G4 L4 M4 ]4 ^4 b4 c4 j4 k4 p4 q4 u4 v4 €4 •4 ‡4 ‰4 •4 ‘4 š4 ›4 4 «4 ³4 ´4 ¸4 ¼4 Ç4 È4 Í4 Î4 Ñ4 Ò4 Þ4 ß4 å4 6 6 %6 +6 36 46 96 :6 B6 O6 R6 S6 ^6 _6 d6 e6 m6 n6 u6 v6 }6 ~6 †6 ‡6 Œ6 •6 ‘6 ’6 š6 ›6 6 ¡6 ®6 ¯6 µ6 ¶6 À6 Á6 Ç6 È6 Î6 Ï6 ×6 Ø6 ß6 à6 ê6 ë6 ñ6 ò6 ý6 þ6 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 (7 )7 37 67 <7 >7 E7 F7 R7 S7 Z7 b7 g7 m7 t7 x7 €7 †7 ‹7 Œ7 •7 – 7 ›7 œ7 £7 ¤7 ª7 «7 °7 ±7 ¶7 ·7 Á7 Â7 Å7 Æ7 ×7 Ø7 Þ7 ß7 é7 ê7 ð7 ñ7 ô7 ÷7 ý7 þ7 8 8 8 8 8 8 "8 Ä9 Ì9 Í9 Ô9 Õ9 Ý9 Þ9 æ9 ç9 ë9 ò9 ø9 ù9 : : : -: $: 4: 8: 9: A: I: O: P: R: S: X: Y: ` : a: f: g: n: q: }: ƒ: Œ: •: ’: “: Ÿ: : ¤: «: °: ±: º: »: Ä: Å: Ë: Ì: Ö: ×: á: â: è: é: î: ï: ÷: þ: ; ; ; ; ; ; ; -; ; "; #; ,; 4; :; @; A; F; G; M; N; V; Y; _; `; h; j; v; w; }; ~; ˆ; ‰; •; •; ™; š; Ÿ; ; ¤; ¥; ©; ª; ®; ¯; ·; ½; Â; Ã; Ê; Ë; Ó; Ô; Ù; Ú; à; è; ð; ñ; ÷; ø; < < < < < < < < < !< %< &< *< +< 3< 5< >< @< H< J< M< T< Y< Z< `< a< g< h< m< n< t< u< ƒ< „< ‰< Š< — < ˜< Ÿ< < ©< ¯< µ< ¶< À< Á< Ð< Ñ< Ú< Ü< å< ö< ø< = = = = = = = = $= &= /= 3= 8= ?= D= E= J= K= W= X= b= c= i= j= p= q= u= v= ~= •= Š= ‹= •= •= œ= •= ¦= ¨= -= ®= ²= ³= ½= Ã= È= É= Ö= ×= Ü= Ý= é= ë= ÷= ø= > > > > > > > > > -> &> '> /> 0> 9> :> @> A> G> H> R> S> \> ]> c> d> n> o> x> ª? µ? ¶? ¸? Ã? È? É? Î? Ï? Ô? Õ? Û? Ü? ã? ä? è? ê? ð? ñ? û? ü? @ @ @ @ @ @ @ -@ &@ '@ ,@ 3@ 8@ :@ A@ B@ F@ G@ N@ P@ S@ T@ [@ b@ i@ p@ s@ t@ y@ z@ ‚@ ƒ@ ‡@ ˆ@ Œ@ •@ ’@ “@ — @ ˜@ œ@ ¢@ §@ ¨@ ³@ ´@ ½@ ¾@ È@ É@ Ï@ B B B B "B 1B 3B >B DB EB OB PB TB UB ]B _B lB oB wB xB •B ‚B ‡B ŠB •B •B ”B •B •B ŸB §B ªB °B ¾B ÁB ÂB ÆB ÇB ÏB ÐB ÖB ×B ÛB ÜB àB áB éB îB ôB õB þB C C C C C !C "C 'C (C .C 0C 6C 7C CC DC IC JC OC PC ZC ]C _C `C hC lC xC yC •C “C ›C œC £C ¤C ®C ³C ¹C ºC ½C ¾C ÄC ÅC ËC ÌC ÖC ×C ÝC ÞC äC çC ïC ðC ôC øC þC ÿC D D D D D (D D .D 4D 5D ?D JD ND OD YD ZD `D aD hD iD oD ³D ½D ÈD ÉD ÏD ÐD ÕD ÞD ãD çD îD ïD õD ÿD E E E E E E E E !E ,E 8E =E @E AE HE IE NE OE SE ]E `E aE oE pE zE {E •E ‚E ‡E ˆE “E ”E šE ›E ¡E ¢E ªE «E -E ®E µE ¶E ½E ¾E ÆE ÍE ÓE ÚE ãE äE êE ëE óE úE F F F F F F F F #F $F ,F 3F 9F ;F BF CF HF LF TF UF YF ZF aF bF kF nF tF uF •F ƒF ‹F ŒF •F – F ŸF F ¦F §F -F ®F ¸F ¹F ¿F ÆF ÐF ÑF ÖF ×F áF ãF èF îF óF ôF üF þF G G G G G àH åH æH ïH ôH ÷H ÿH I I I I %I &I ,I I 3I 9I @I AI EI FI MI NI SI TI WI XI ]I ^I fI gI kI yI €I •I †I ‡I •I ‘I ˜I ™I I ¡I §I ¨I ®I µI ¸I ¹I ½I ¾I ÃI ÄI ÏI ÐI ÓI ÔI ÛI áI éI êI ñI òI ûI üI J J J J J ÛK L J ÜK J ãK "J •K ŸK ¨K ©K éK ðK ñK ùK úK ´K L µK ¿K ÀK ÄK ÅK ÌK ÍK ÖK ×K L L L L L -L #L $L 1L :L ?L FL IL OL VL WL \L ^L eL kL sL tL yL zL ƒL „L ‰L ”L ™L •L ¦L ©L ´L µL ¾L ¿L ÄL ÏL ÖL N !N /N 4N 5N @N AN JN VN bN cN iN jN pN qN uN {N ˆN ‰N ŽN •N ”N – N N ¡N §N ©N ¬N -N ºN »N ÂN ÅN ÎN àN èN éN íN îN öN ÷N O O O O O O !O "O &O 'O /O 0O 3O 4O =O >O FO GO LO MO RO SO ]O _O gO hO nO •O †O “O ŸO O £O ¤O -O ®O ´O µO ÁO ÂO ËO ÍO ×O ÙO áO âO èO ñO úO P P P P P P -P "P #P .P /P 9P AP IP JP QP RP ZP [P cP dP mP nP vP wP }P ~P „P …P ˆP ‰P ’P “P šP ›P £P ¤P «P ¬P ³P ´P ºP ÁP ÄP ÅP ÏP ÐP ÔP ÕP ÜP ÝP æP çP ïP ðP ùP Q Q Q Q Q &Q ,Q 1Q 2Q :Q ;Q FQ IQ PQ QQ \Q ]Q `Q aQ iQ jQ sQ tQ • Q €Q …Q †Q •Q •Q ”Q •Q •Q ¤Q ©Q ªQ ¯Q °Q ºQ »Q ¿Q ÀQ ÉQ ÐQ ÙQ ÛQ èQ êQ ïQ ðQ ÷Q øQ R R R R R R R R "R ,R 4R 5R 9R :R GR UR [R \R fR gR kR lR qR rR xR yR •R ƒR ŠR ‹R ŽR •R “R ¢R ¦R §R -R ®R ±R ·R ºR »R ÁR ÂR ËR Ì R ÓR ÔR èR êR ðR ñR óR ôR øR ùR S S S S S S -S $S +S ,S 6S 8S =S >S CS DS KS QS YS ZS `S aS gS hS mS nS uS vS |S }S ‡S ˆS ’S ™S œS žS ¥S ¦S ®S ¯S ¼S ½S ÄS ÆS ËS ÌS ÕS ÖS ÛS ÜS çS îS òS óS øS ùS ýS þS T KT MT XT ] T `T aT hT iT qT rT |T }T ˆT ‰T •T ˜T ŸT T §T ¨T ²T ³T ¹T ºT ¼T ½T ÅT ÉT ÏT ØT ÜT ÝT äT åT îT óT ùT úT ýT þT U U U U U U U !U #U 'U (U .U 5U 7U =U ?U BU CU ~U •U ‡U ‹U ŒU •U – U ™U šU £U §U ³U ´U ¸U ïU ðU úU ûU ÿU V V V JU QU YU ZU dU eU oU pU wU xU }U ¹U V ¾U ¿U ÉU ÊU ÑU ÒU ÚU ÝU äU êU V V V V *V .V /V 3V :V EV FV KV LV TV UV ]V ^V dV eV mV oV sV wV |V }V ‡V ˆV ŽV •V ˜V ™V ¡V ¢V §V ¨V ®V °V µV ¶V ¾V ¿V ÄV ÅV ËV ÌV ÓV ÔV ÝV ÞV åV ëV ðV ñV öV ÷V W W W W W W W X W W #W $W /W 5W BW KW QW TW UW ZW [W dW eW pW qW wW }W ‡W ˆW ŽW •W ›W œW ©W ªW ´W µW »W ½W ÃW ÄW ÊW ËW ÐW ÑW ÙW ÚW áW ãW éW ðW ÷W øW üW ýW X X X X †X Y Y X ‡X Y X •X -X )X *X 3X 5X :X \X aX bX iX jX mX nX tX •X »X ÅX ÆX ÌX ÍX ÖX ×X ÝX ãX èX éX ñX òX ùX úX Y Y Y Y Y "Y /Y 4Y 5Y 9Y ;Y @Y AY IY JY UY VY ^Y _Y iY oY tY uY zY |Y •Y ‚Y ‹Y ŒY •Y ‘Y –Y — Y £Y ¤Y «Y ¬Y ³Y ´Y ¹Y ºY ÁY ÃY ÈY ÉY ÎY ÏY ÓY ÕY ßY àY ëY ìY ðY ñY ôY õY úY ûY Z Z Z Z Z Z Z Z "Z #Z *Z +Z 0Z 1Z 7Z 8Z >Z ?Z EZ KZ NZ OZ VZ dZ qZ rZ uZ vZ }Z ~Z ‚Z ƒZ ‰Z ŠZ •Z – Z ŸZ Z ¥Z ¦Z «Z ¬Z ³Z ´Z ¼Z ¾Z ÄZ ÅZ ÏZ ÑZ ×Z ØZ ÞZ ßZ äZ åZ îZ ïZ óZ ôZ ýZ þZ [ [ [ [ [ [ [ [ #[ $[ )[ *[ 3[ 4[ 7[ 8[ C[ D[ J[ K[ P[ Q[ Z[ [[ b[ c[ g[ h[ o[ p[ t[ {[ €[ •[ †[ ‡[ •[ Ž[ “[ ”[ ™[ Ÿ[ ¥[ ¦[ ¯[ °[ ´[ µ[ »[ ¼[ Â[ Ã[ Å[ Æ[ Ï[ Ð[ Ú[ Ü[ â[ ä[ ê[ ë[ ï[ ô[ \ \ \ #\ \ 3\ =\ >\ C\ D\ K\ L\ U\ V\ [\ \\ d\ e\ k\ q\ {\ ‰\ •\ •\ š\ ›\ ¥\ «\ °\ ±\ ´\ µ\ º\ ¼\ ¿\ À\ Å\ Æ\ Î\ Ï\ Ú\ Û\ â\ ã\ í\ ó\ ø\ ù\ þ\ ÿ\ ] ] ] ] ] ] ] -] '] (] 0] 1] 8] 9] @] A] G] H] S] T] V] W] ]] ^] d] e] l] m] s] y] •] €] ƒ] …] ‹] •] — ] ˜] Ÿ] ] ¥] ¦] «] ¬] ¯] °] µ] ¶] ½] ¾] Å] Æ] Ë] Ñ] Ô] Õ] Û] N_ X_ ]_ ^_ b b %b &b Ûv çv óv ôv úv ûv [} d} f} g} Ú Êš Øš Ùš âš ãš èš éš ïš ðš ùš úš »§ ¼§ § ç © © © © #© © 5© 6© A© B© )ª ª 4ª 5ª <ª =ª ªª «ª ³ª ´ª ;« >« F« G« L« M« l- o- qrx- y- 7® :® A® B® E® F® J® K® P® Q® W® X® (° )° .° /° 7° 8° ̺ ͺ Õº Öº Ž½ ™½ •½ ž½ 4¾ 5¾ <¾ =¾ \¾ ]¾ g¾ h¾ Á ¢Á ªÁ «Á ¬Á ®Á ¸Á ¹Á ¿Á ÀÁ ÄÁ ÅÁ ÌÁ ÍÁ šÃ ›Ã ŸÃ à ” Ä —Ä šÄ ›Ä Æ Æ Æ !Æ zÇ {Ç ‡Ç ˆÇ ’Ç “Ç ÙÉ ÚÉ ÜÉ ÞÉ èÉ éÉ ðÉ òÉ øÉ ùÉ Ê Ê Ê Ê VÌ YÌ 1Í 2Í 6Í 7Í ?Í @Í ¤Í ¥Í ²Í LÏ NÏ OÏ QÏ RÏ TÏ UÏ ]Ï `Ï jÏ pÏ ³Í EÏ IÏ IÏ KÏ KÏ LÏ ! » $ · P @ Ü R I ˆ ê ì Â Ä / : “ 9 • Ÿ ô â ¹ Ø • N R Ì . • Ó ( ¨ ª è g i … ˆ Ð Þ ‚ P ± Ï — ç 4 · » ä e f à Š‹ Å T U Ô Q- —- ™- h k â ä o >! g! À$ ˜% $* 7+ ¦A. F. í. ÿ/ W0 Y0 µ0 2 í2 ð2 Ô3 5 ¤5 ¦5 6 +6 36 ÷7 ‘8 “8 89 :9 ¿9 P: R: q: ; ; W; ¥; ©; T< Y< ª? j@ l@ *A ,A B ºB [C ]C åC çC ±D «E -E F lF nJ pJ L L N ÃN ÅN ‘O “O ïO ñO »P ½P GQ IQ R ñR óR MT KU ~U •U •X “X »X ÂY ÃY WZ ïZ óZ v[ Û [ ] -] ^ €^ •^ L_ „` Aa Ba Ýa b kc lc ëc še f .f 0f ½f Gg Tg Xg g ‹h Œh Õh õh úh ¯i j j k .k 3k «m ¯m þm n an øn }o •o ªo Hp Ip Äp Åp dq eq Gr Hr Ér s ¢s t ‡t ˆt ät ðt tu ßu äu =v Bv kx ox y ‡y Zz ±z ²z Íz Îz àz áz êz £{ HÏ IÏ IÏ KÏ KÏ LÏ LÏ NÏ OÏ QÏ RÏ TÏ U Ï `Ï jÏ pÏ 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 L L XX [X 7® 7® :® :® #° 0¾ 1¾ X¾ Y¾ ŸÁ ¢Á “Ã Æ Æ zÇ HÏ IÏ IÏ KÏ KÏ LÏ LÏ NÏ OÏ QÏ RÏ TÏ ?-Òf.Hÿ ÿ ÿ ÿ ÿ „Ð ^„ . „˜þ Æ ^„@ `„˜þ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ b*n-Švôÿ ÿ ÿ ÿ ÿ dq{¦½ Bÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ „˜þ Æ Ð ^„Ð `„˜þ $° ƺ ƺ “à ”Ä ”Ä UÏ ]Ï `Ï jÏ pÏ ÿ ÿ . € `„˜þ . € € „@ @ . € „ „p „˜þ Æ p „ „˜þ Æ ^„p `„˜þ „˜þ Æ ^„ `„˜þ € þ Æ ˜þ . P . € „€ „˜þ Æ ^„P `„˜þ € € . „° „˜þ Æ ^„€ `„˜þ „p „@ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ . € „˜þ Æ ° . p „à „˜þ Æ ^„° `„˜þ € „ „˜þ Æ ^„p `„˜þ „ à . „Ð ^„ ^„à `„˜þ € . „˜þ Æ `„˜þ € . Ð . „P „˜ ^„Ð `„ € „˜þ Æ ^„ `„˜þ € þ Æ ˜þ . P . € „€ „˜þ Æ ^„P `„˜þ € € . „° „˜þ Æ ^„€ `„˜þ „p „@ „˜þ Æ @ ^„@ `„˜þ . € „˜þ Æ ° . p „à „˜þ Æ ^„° `„˜þ € „ „˜þ Æ ^„p `„˜þ „ à . „Ð ^„ ^„à `„˜þ € . „˜þ Æ `„˜þ € . Ð . „P „˜ ^„Ð `„ € „˜þ Æ ^„ `„˜þ € þ Æ . P € „€ „˜þ Æ ^„P `„˜þ € . „° „˜þ Æ ^„€ `„˜þ b*n° . „à „˜þ Æ ^„° `„˜þ € dq{ à . ^„à `„˜þ € . „P „˜ ?Ï?™ nÕ € R o m a n ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ IÏ KÏ ÿ@ € ÿÿ ÿ 5-• ‡* € ÿ¯ÿ÷ÿÿßé? ‡ Ÿ C a m b r i a ˆ ðÐ h x ! ð ÿÿ ÿÿ T i m e s ÿÿ oÏ ` ÿÿ ÿÿ N e w å ` @ ÿÿ G-• € ÿ ÿ ? A r i a l A r i a l V e r d a n a M a t h " 1 àÑâ¦àÑ⦠U n k n o w n ÿÿ ‡* S y m b o l I.• € U n i c o d e 3.• M S 7.• A • ðY° i x ðÜ Ü Z ´ ‚‚ 0 àÎ y HX ðÿ $P ä ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•Ï?™ ! x x M a s y a r a k a t M a d a n i : D i a l o g I s l a m W i k a U s e r X p Y° i àÎ 2ƒQ ð Üÿÿ 2 ÿÿ þÿ Ì Ü @ à…ŸòùOh «‘ è ô +'³Ù0 „ • ˜ À L X d l Islam UserXp Word @ FÃ# t @ | Wika 2 Àø {¶Ê @ ä Masyarakat Madani: Dialog Normal Microsoft Office Àø {¶Ê ðY° þÿ ÕÍÕœ. “— +,ù®0 h ¤ Ä p ¬ „ ´ Œ ¼ ” œ ð ä DeuzigComp x i àÎ Masyarakat Madani: Dialog Islam Title ! . @ R " / A T f $ 1 C U g % 2 D V h & 3 E W ' 4 F X ( 5 G Y ) 6 H Z * 7 I [ + 8 J , 9 K : L ; M < N = O a > P b ? Q c \ ] ^ _ ` i j k l m n o p q r s t u v w x y z þÿÿÿ| } ~ • € • ‚ ƒ „ … † ‡ ˆ ‰ Š ‹ Œ • Ž • • ‘ ’ “ ” • – — ˜ ™ š › œ • ž Ÿ ¡ ¢ £ ¤ ¥ ¦ § ¨ © ª « ¬ ® ¯ ° ± ² ³ ´ µ ¶ · ¸ ¹ º » ¼ ½ ¾ ¿ À Á þÿÿÿÃ Ä Å Æ Ç È É þÿÿÿË Ì Í Î Ï Ð Ñ þÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿÕ þÿÿÿþÿÿÿþÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿR o o t E n t r y ÿÿÿÿÿÿÿÿ À F ›c/{¶Ê × € 1 T a b l e d S e # 0 B ÿÿÿÿ ÿÿÿÿ o c u m e n t { 1• W o r d D ÿÿÿÿÿÿÿÿ 2ô S u m m a r y I n f o r m a t i o n ( ÿÿÿÿ  D o c u m e n t S u m m a r y I n f o r m a t i o n 8 ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ Ê C o m p O b j ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ y ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿ ÿÿÿÿ À F' Microsoft Office Word 97-2003 Document MSWordDoc Word.Document.8 ô9²q Download 1. Social Science 2. Political Science HO_25_MASYARAKAT_MADANI.doc MASYARAKAT MADANI: DIALOG ISLAM DAN MODERNITAS DI INDONESIA Oleh: Political Communication EKONOMI POLITIK PEMBANGUNAN Politik_Pendidikan.doc Demokrasi dan Politik Pencitraan Pend-politik_dan_tJ_warganegara.doc EKONOMI POLITIK DESENTRALISASI (KASUS POSISI Entitle Intensive Course PKN (CIVIC EDUCATION) SEBAGAI PENDIDIKAN POLITIK , PENDIDIKAN DEMOKRASI DI INDONESIA (SUATU KAJIAN TENTANG KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA) Abstarct \- ¥O@ h- Pþ Tþ %Z@... - º‹ ÏÊ >•4 ÓÏÃ á š Ðà ... HO_12_REKRUTMEN_POLITIK_DAN_PARTAI_POLITIK.doc HO_18_PILPRES_LANGSUNG.Doc studylib © 2017 Report