modul 14 masyarakat madani

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
KEWARAGANEGARAAN
GEOPOLITIK
MASYARAKAT MADANI
Fakultas
Program Studi
EKONOMI
AKUNTANSI
Tatap
Muka
14
Kode MK
Disusun Oleh
90003
Dr. Dadan Anugrah, M.Si.
Abstract
Kompetensi
Masyarakat Madani bukan saja
sebuah cita-cita, tetapi sebuah realita
yang pernah ada, tepatnya pada saat
Nabi Muhammad memimpin kota
Madinah. Di Barat, Mayarakat
Madani dikenal dengan istilah Civil
Society, yang mana entitasnya
menyerupai tipologi masyarakat
madani.
Setelah membaca modul ini, mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Memahami dan menjelaskan tentang
pengetian masyarakat madani
2. Memahami dan menjelaskan
masyarakat madani dan civil society
3. Pilar-pilar masyarakat madani
4. Ikhtiar mewujudkan masyarakat
madani
MODUL 14
MASYARAKAT MADANI
A. PEGANTAR: Menelusuri Akar Masyarakat Madani
Kebersamaan dalam suatu
masyarakat menghasilkan ketenangan
dalam segala kegiatan masyarakat itu,
sedangkan saling bermusuhan
menyebabkan seluruh kegiatan itu
mandeg1.
Dunia pengetahuan modern menyebutkan, wacana civil society2, yang, di
Indonesia dikenal dengan terminologi (istilah) masyarakat madani atau
masyarakat sipil, adalah imbas dari perkembangan pemikiran yang terjadi di
Barat. Istilah tersebut dihidupkan oleh dua pemikir terkemuka John Locke (16321704) dan JJ. Rousseau (1712-1778). Masyarakat madani (civil society), menurut
mereka,
menjadi
sebuah
keniscayaan
(keharusan)
untuk
diwujudkan.
Ini, mengingat, masyarakat modern itu dihadapkan pada tata kehidupan politik
yang terikat pada sistem (hukum), kehidupan ekonomi dengan uang sebagai alat
tukar, dan terjadinya kegiatan perdagangan dalam suatu pasar, serta ditandai
pula oleh perkembangan teknologi. Dimana inti dari semua itu, adalah demi
mensejahterakan dan memuliakan hidup, sebagai salah satu ciri masyarakat
beradab.
Rasanya, mengelaborasi Masyarakat Madani belumlah lengkap apabila
tidak membuka referensi pemikiran Islam.
Dalam Islam, konsep masyarakat
madani dipercaya sebagai “warisan ideal” Nabi Muhammad Saw., dalam
memimpin ummatnya di sebuah kota bernama Yatsrib, yang kelak dikenal
1
2
Lihat http://katakatabijak.com/tag/kebersamaan-dalam-masyarakat
civil society sering disebut masyarakat warga, masyarakat kewargaan, masyarakat sipil,
beradab, atau masyarakat berbudaya. Istilah civil society berasal dari bahasa latin, yaitu civitas
dei atau kota Illahi. Asal kata civil adalah civilization (beradab). Civil society secara sederhana
dapat diartikan sebagai masyarakat beradab. Lihat http://catatanpergerakan.blogspot.com/2013/02/apa-itu-civil-society.html
‘15
2
Kewarganegaraan
Dr. Dadan Anugrah, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dengan nama “Madinah”3. Banyak para ulama dan cendekiawan muslim yang
selalu merujuk bahwa pernah ada suatu tatanan masyrakat yang ideal di muka
bumi ini, yaitu tatanan masyarakat Islam di Madinah yang dibangun oleh Nabi
Muhammad SAW.
Madinah, secara bahasa berarti “kota”. Tetapi menurut ilmu kebahasaan,
kata “madinah” mengandung arti “peradaban”. Dalam bahasa Arab, “peradaban”
berasal dari kata “madaniyah” atau “tamaddun”. Masyarakat madani yang
diterapkan Nabi itu, secara formal dimanifestasikan dalam piagam Madinah
(Mitsaq al-Madinah) yang diproklamirkan bersama pendukungnya.
Lewat
piagam madinah itu, Nabi mengemukakan cita-cita besarnya mendirikan dan
membangun mansyarakat beradab. Dengan memperkenalkan umat manusia
tentang (wawasan) kebebasan baik di bidang agama dan politik, khususnya
pertahanan, secara bersama-sama.
Piagam madinah itu, oleh ilmuwan yang concern dalam ilmu politik,
dipercaya sebagai dokumen (resmi) pertama kali yang “lahir” di bumi ini.
Selain itu, masyarakat madani seperti digariskan Nabi, itu menjunjung tinggi
egaliterisme (persamaan), penghargaan kepada seseorang berdasarkan prestasi
(bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan
partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam pemilihan pemimpin melalui
pemilihan.
Wacana masyarakat madani yang digariskan Nabi itu, tak pelak membuat
kagum Sosiolog agama terkemuka Robert N. Bellah 4.
Dalam Beyond Belief
(1976) ia menulis, masyarakat madani yang dibangun Nabi Muhammad, adalah
sebuah konsep tentang tata kemasyarakatan yang sangat modern, bahkan
terlalu modern pada zamannya. Sampai umat manusia saat itu belum siap
dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial
yang modern seperti dirintis Nabi Muhammad.
3
4
Kata Madinah berasal dari akar kata “madana” itu kemudian lahir kata benda “tamaddun” yang
secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan
(city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). Lihat http://dunia-ladangakherat.blogspot.com/2012/02/madinah-al-munawarah.html.
Robert Neelly Bellah adalah sosiolog Amerika dan merupakan pensiunan Guru Besar Sosiologi
(Elliot Professor) di Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat. Lihat
http://id.wikipedia.org/wiki/Robert_Neelly_Bellah
‘15
3
Kewarganegaraan
Dr. Dadan Anugrah, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dari mana awal mula wacana masyarakat madani muncul ? Rasanya,
pertanyaan mengenai wacana tersebut berasal dari Barat atau Islam, tidak lagi
menjadi penting untuk dibahas secara rigid. Yang mendesak kemudian adalah
bagaimana mewujudkannya. Bagaimana sebuah masyarakat menjadi beradab
dan berperadaban yang merupakan inti dari konsep masyarakat madani bisa
tercipta, itulah yang harus dilakukan. Islam mengajarkan, ambillah hikmah dari
manapun datangnya.
B. ANTARA MASYARAKAT MADANI DAN CIVI SOCIETY
Untuk memberikan wilayah pemahaman yang agak luas, kita perlu
menelusuri ragam pengertian civil society. Sehingga dengan demikian, ketuika
dipertukarka dengan istilah masyarakat madani menjadi jelas.
MAKNA CIVIL SOCIETY
“Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil
society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero
adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam
filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara
(state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ.
Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu
bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan
monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278)5.
Cornelis Lay melihat substansi civil society mengacu kepada pluralitas
bentuk dari kelompok-kelompok independen (asosiasi, lembaga kolektivitas,
perwakilan kepentingan) dan sekaligus sebagai raut-raut dari pendapat umum
dan komunikasi yang independen. Ia adalah agen, sekaligus hasil dari
transformasi sosial (Cornelis Lay, 2004: 61). Sementara menurut Haynes,
tekanan
dari
“masyarakat
sipil”
sering
memaksa
pemerintah
untuk
mengumumkan program-program demokrasi, menyatakan agenda reformasi
5
Lengkapi dengan sumber pada http://alinaksi.blogspot.com/2010/03/makna-civil-societymasyarakat-sipil.html
‘15
4
Kewarganegaraan
Dr. Dadan Anugrah, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
politik, merencanakan dan menyelenggarakan pemilihan umum multipartai, yang
demi kejujuran diawasi oleh tim pengamat internasional (Jeff Haynes, 2000: 28).
Menurut AS Hikam, civil society adalah satu wilayah yang menjamin
berlangsungnya prilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh
kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan
politik resmi. Ciri-ciri utama civil society, menurut AS Hikam, ada tiga, yaitu: (1)
adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompokkelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2)
adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif
dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan
kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar
ia tidak intervensionis.
Dalam arti politik, civil society bertujuan melindungi individu terhadap
kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang
mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik
lainnya. Dalam arti ekonomi, civil society berusaha melindungi masyarakat dan
individu terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman konglomerasi dengan
menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam bentuk
koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip civil society bukan pencapaian
kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip demokrasi dan harus selalu
menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa (Haryatmoko, 2003: 212).
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani
adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi
“Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan
tatanan masyarakat Madinah—yang dijadikan pembenaran atas pembentukan
civil society di masyarakat Muslim modern—akan ditemukan persamaan
sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Menurut pengamatan A. Syafii Maarif, masyarakat sipil yang berkembang
dalam masyarakat Barat secara teoritis bercorak egilitarian, toleran, dan
‘15
5
Kewarganegaraan
Dr. Dadan Anugrah, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
terbuka—nilai-nilai yang juga dimiliki oleh masyarakat Madinah hasil bentukan
Rasulullah. Masyarakat sipil lahir dan berkembang dalam asuhan liberalisme
sehingga hasil masyarakat yang dihasilkannya pun lebih menekankan peranan
dan kebebasan individu, persoalan keadilan sosial dan ekonomi masih tanda
tanya. Sedangkan dalam masyarakat madani, keadilan adalah satu pilar
utamanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil
society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari
gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan.
Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena
meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian
dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat
madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas
landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A.
Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat Madinah, yang oleh Nurcholis Madjid dijadikan tipologi
masyarakat madani, merupakan masyarakat yang demokratis. Dalam arti bahwa
hubungan antar kelompok masyarakat, sebagaimana yang terdapat dalam poinpoin
Piagam
Madinah,
mencerminkan
egalitarianisme
(setiap
kelompok
mempunyai hak dan kedudukan yang sama), penghormatan terhadap kelompok
lain, kebijakan diambil dengan melibatkan kelompok masyarakat (seperti
penetapan stategi perang), dan pelaku ketidakadilan, dari kelompok mana pun,
diganjar dengan hukuman yang berlaku.
Robert N. Bellah, mantan Guru Besar Sosiologi Universitas California,
Berkeley, Amerika Serikat, menyatakan bahwa komunitas Muslim awal
merupakan masyarakat yang demokratis untuk masanya. Indikasinya, menurut
Bellah, tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam
membuat kebijakan publik serta keterbukaan posisi pemimpin yang disimbolkan
dengan pengangkatan pemimpin tidak berdasarkan keturunan (heredities), tapi
kemampuan (Robert N. Bellah, 2000: 211).
‘15
6
Kewarganegaraan
Dr. Dadan Anugrah, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
C. PILAR-PILAR MASYARAKAT MADANI
Masyarakat madani merupakan konsep yang memiliki banyak arti atau
sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa
Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah
kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997),
masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary
activity which takes place outside of government and the market.” Merujuk pada
Bahmueller (1997)6, ada beberapa karakteristik masyarakat madani, di
antaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam
masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya
kekuasaan
sehingga
kepentingan-kepentingan
yang
mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan
alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh
negara
dengan
program-program
pembangunan
yang
berbasis
masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena
keanggotaan
organisasi-organisasi
volunter
mampu
memberikan
masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejimrejim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individuindividu
mengakui
keterkaitannya
dengan
orang
lain
dan
tidak
mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga
sosial dengan berbagai ragam perspektif.
6
Lihat http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_16.htm
‘15
7
Kewarganegaraan
Dr. Dadan Anugrah, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat
madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya
menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan
mewujudkan
kepentingan-kepentingannya;
dimana
pemerintahannya
memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk
mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian,
masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara,
taken for granted.
Masyarakat madani adalah konsep yang cair yang dibentuk dari proses
sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji,
masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai
masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk
menjadi
masyarakat
madani,
yakni
adanya
democratic
governance
(pemerinthana demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis) dan
democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil
security; civil responsibility dan civil resilience).
Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuah prasyarat masyarakat
madani sebagai berikut:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam
masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail
capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan
tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar
kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan
kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan
lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana
isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya
sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
‘15
8
Kewarganegaraan
Dr. Dadan Anugrah, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembagalembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan
berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan
kemasyarakatan
yang
memungkinkan
terjalinnya
hubungan
dan
komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya7.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti
pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme”
yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi
dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa
rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat
madani (lihat DuBois dan Milley, 1992)8. Rambu-rambu tersebut dapat menjadi
jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak
belakang dengan semangat negara-bangsa:
1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti
prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun
yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang
mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip
nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
2. Pluralisme
versus
rasisme.
Pluralisme
menunjuk
pada
saling
penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan
penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang
memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa
prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi
karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas
budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata
Kleden
7
8
(2000:5),
“…penyeragaman
adalah
Lihat http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_16.htm
Lihat http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_16.htm
‘15
9
Kewarganegaraan
Dr. Dadan Anugrah, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kekerasan
terhadap
perbedaan,
pemerkosaan
terhadap
bakat
dan
terhadap
potensi
manusia.”
3. Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan
dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme
sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara
genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras
memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada
tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka.
Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan,
aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok
tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala
satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan laranganlarangan terhadap lembaga lainnya.
4. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang
berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan,
kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki
kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi
orang
lain
dalam
menjangkau
sumber-sumber
atau
mencapai
kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
D. PENUTUP: Ikhtiar Mewujudkan Masyarakat Madani Indonesia
Pertanyaan mendasarnya adalah: Apakah mungkin Masyarakat madani
mampu didirikan di Indonesia ? Tentu jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Ya,
apabila perangkat masayarakt madani bisa berjalan secara simultan, seperti
penegakkan hukum seadil-adilnya, praktek birokrasi pemerintahan yang bersih,
apartur pemerintaha yang amanah, masyarakat menjunjung tinggi toleransi, dan
penyelenggaraan ekonomi didasarkan atas ekonomi kerakyatan. Sedagkan
jawabannya bisa “tidak”, apabila semua idealitas tersebut tidak menjadi
kenyataan dalam praktek bermayarakat, berbangsa dan bernegara.
‘15
10
Kewarganegaraan
Dr. Dadan Anugrah, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Good governance9
adalah
titik
tolak
dalam
upaya
mewujudkan
masyarakat madani. Untuk memulainya dibutuhkan aparatur pemerintahan yang
bersih dan berwibawa, tak terkecuali bagi para wakil rakyat yang duduk di
Senayan. Sejauh ini, mewujudkan masyarakat madani selalu terkendali oleh
perilaku birokrasi yang “hitam”. Pada praktek birokrasi seperti itu masyarakat
menjadi korban. Tak kalah pentingnya, korupsi yang merajalela beberapa tahun
terakhir ini seakan “membunuh” tumbuhnya masyarakat madani.
9
Good governance sering diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik atau disebut juga
dengan istilah civil society. Good governance bisa juga didefinisikan sebagai suatu
penyelenggaraan manajemen pembangunan, pemberdayaan, dan pelayanan yang sejalan
dengan demokrasi (pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat). Lihat
http://anazmudin.blogspot.com/2012/02/definisi-good-governance.html
‘15
11
Kewarganegaraan
Dr. Dadan Anugrah, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
REFERENSI:
Bahmueller, CF (1997), The Role of Civil Society in the Promotion and
Maintenance
of
Constitutional
Liberal
Democracy,
http:civnet.org/civitas/panam/papers/ bahm.htm.
Blakeley, Roger dan Diana Suggate (1997), “Public Policy Development”, dalam
David Robinson, Social Capital and Policy Development, Victoria: Institute
of Policy Studies, hal. 80 - 100.
DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley (1992), Social Work: An Empowering
Profession, Boston: Allyn and Bacon.
Giddens, Anthony (2000), Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama
Kleden, Ignas (2000), “Epistemologi Kekerasan di Indonesia”, dalam Indonesia di
Persimpangan Kekuasaan: Dominasi Kekerasan atas Dialog Publik,
Jakarta: The Go-East Institute, hal.1-7.
MADANI
‘15
12
Kewarganegaraan
Dr. Dadan Anugrah, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download