MODUL PERKULIAHAN KEWARAGANEGARAAN GEOPOLITIK MASYARAKAT MADANI Fakultas Program Studi EKONOMI AKUNTANSI Tatap Muka 14 Kode MK Disusun Oleh 90003 Dr. Dadan Anugrah, M.Si. Abstract Kompetensi Masyarakat Madani bukan saja sebuah cita-cita, tetapi sebuah realita yang pernah ada, tepatnya pada saat Nabi Muhammad memimpin kota Madinah. Di Barat, Mayarakat Madani dikenal dengan istilah Civil Society, yang mana entitasnya menyerupai tipologi masyarakat madani. Setelah membaca modul ini, mahasiswa diharapkan dapat: 1. Memahami dan menjelaskan tentang pengetian masyarakat madani 2. Memahami dan menjelaskan masyarakat madani dan civil society 3. Pilar-pilar masyarakat madani 4. Ikhtiar mewujudkan masyarakat madani MODUL 14 MASYARAKAT MADANI A. PEGANTAR: Menelusuri Akar Masyarakat Madani Kebersamaan dalam suatu masyarakat menghasilkan ketenangan dalam segala kegiatan masyarakat itu, sedangkan saling bermusuhan menyebabkan seluruh kegiatan itu mandeg1. Dunia pengetahuan modern menyebutkan, wacana civil society2, yang, di Indonesia dikenal dengan terminologi (istilah) masyarakat madani atau masyarakat sipil, adalah imbas dari perkembangan pemikiran yang terjadi di Barat. Istilah tersebut dihidupkan oleh dua pemikir terkemuka John Locke (16321704) dan JJ. Rousseau (1712-1778). Masyarakat madani (civil society), menurut mereka, menjadi sebuah keniscayaan (keharusan) untuk diwujudkan. Ini, mengingat, masyarakat modern itu dihadapkan pada tata kehidupan politik yang terikat pada sistem (hukum), kehidupan ekonomi dengan uang sebagai alat tukar, dan terjadinya kegiatan perdagangan dalam suatu pasar, serta ditandai pula oleh perkembangan teknologi. Dimana inti dari semua itu, adalah demi mensejahterakan dan memuliakan hidup, sebagai salah satu ciri masyarakat beradab. Rasanya, mengelaborasi Masyarakat Madani belumlah lengkap apabila tidak membuka referensi pemikiran Islam. Dalam Islam, konsep masyarakat madani dipercaya sebagai “warisan ideal” Nabi Muhammad Saw., dalam memimpin ummatnya di sebuah kota bernama Yatsrib, yang kelak dikenal 1 2 Lihat http://katakatabijak.com/tag/kebersamaan-dalam-masyarakat civil society sering disebut masyarakat warga, masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, beradab, atau masyarakat berbudaya. Istilah civil society berasal dari bahasa latin, yaitu civitas dei atau kota Illahi. Asal kata civil adalah civilization (beradab). Civil society secara sederhana dapat diartikan sebagai masyarakat beradab. Lihat http://catatanpergerakan.blogspot.com/2013/02/apa-itu-civil-society.html ‘15 2 Kewarganegaraan Dr. Dadan Anugrah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dengan nama “Madinah”3. Banyak para ulama dan cendekiawan muslim yang selalu merujuk bahwa pernah ada suatu tatanan masyrakat yang ideal di muka bumi ini, yaitu tatanan masyarakat Islam di Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Madinah, secara bahasa berarti “kota”. Tetapi menurut ilmu kebahasaan, kata “madinah” mengandung arti “peradaban”. Dalam bahasa Arab, “peradaban” berasal dari kata “madaniyah” atau “tamaddun”. Masyarakat madani yang diterapkan Nabi itu, secara formal dimanifestasikan dalam piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) yang diproklamirkan bersama pendukungnya. Lewat piagam madinah itu, Nabi mengemukakan cita-cita besarnya mendirikan dan membangun mansyarakat beradab. Dengan memperkenalkan umat manusia tentang (wawasan) kebebasan baik di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Piagam madinah itu, oleh ilmuwan yang concern dalam ilmu politik, dipercaya sebagai dokumen (resmi) pertama kali yang “lahir” di bumi ini. Selain itu, masyarakat madani seperti digariskan Nabi, itu menjunjung tinggi egaliterisme (persamaan), penghargaan kepada seseorang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam pemilihan pemimpin melalui pemilihan. Wacana masyarakat madani yang digariskan Nabi itu, tak pelak membuat kagum Sosiolog agama terkemuka Robert N. Bellah 4. Dalam Beyond Belief (1976) ia menulis, masyarakat madani yang dibangun Nabi Muhammad, adalah sebuah konsep tentang tata kemasyarakatan yang sangat modern, bahkan terlalu modern pada zamannya. Sampai umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi Muhammad. 3 4 Kata Madinah berasal dari akar kata “madana” itu kemudian lahir kata benda “tamaddun” yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). Lihat http://dunia-ladangakherat.blogspot.com/2012/02/madinah-al-munawarah.html. Robert Neelly Bellah adalah sosiolog Amerika dan merupakan pensiunan Guru Besar Sosiologi (Elliot Professor) di Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Robert_Neelly_Bellah ‘15 3 Kewarganegaraan Dr. Dadan Anugrah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Dari mana awal mula wacana masyarakat madani muncul ? Rasanya, pertanyaan mengenai wacana tersebut berasal dari Barat atau Islam, tidak lagi menjadi penting untuk dibahas secara rigid. Yang mendesak kemudian adalah bagaimana mewujudkannya. Bagaimana sebuah masyarakat menjadi beradab dan berperadaban yang merupakan inti dari konsep masyarakat madani bisa tercipta, itulah yang harus dilakukan. Islam mengajarkan, ambillah hikmah dari manapun datangnya. B. ANTARA MASYARAKAT MADANI DAN CIVI SOCIETY Untuk memberikan wilayah pemahaman yang agak luas, kita perlu menelusuri ragam pengertian civil society. Sehingga dengan demikian, ketuika dipertukarka dengan istilah masyarakat madani menjadi jelas. MAKNA CIVIL SOCIETY “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278)5. Cornelis Lay melihat substansi civil society mengacu kepada pluralitas bentuk dari kelompok-kelompok independen (asosiasi, lembaga kolektivitas, perwakilan kepentingan) dan sekaligus sebagai raut-raut dari pendapat umum dan komunikasi yang independen. Ia adalah agen, sekaligus hasil dari transformasi sosial (Cornelis Lay, 2004: 61). Sementara menurut Haynes, tekanan dari “masyarakat sipil” sering memaksa pemerintah untuk mengumumkan program-program demokrasi, menyatakan agenda reformasi 5 Lengkapi dengan sumber pada http://alinaksi.blogspot.com/2010/03/makna-civil-societymasyarakat-sipil.html ‘15 4 Kewarganegaraan Dr. Dadan Anugrah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id politik, merencanakan dan menyelenggarakan pemilihan umum multipartai, yang demi kejujuran diawasi oleh tim pengamat internasional (Jeff Haynes, 2000: 28). Menurut AS Hikam, civil society adalah satu wilayah yang menjamin berlangsungnya prilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Ciri-ciri utama civil society, menurut AS Hikam, ada tiga, yaitu: (1) adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompokkelompok dalam masyarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2) adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis. Dalam arti politik, civil society bertujuan melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik lainnya. Dalam arti ekonomi, civil society berusaha melindungi masyarakat dan individu terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman konglomerasi dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam bentuk koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip civil society bukan pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip demokrasi dan harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa (Haryatmoko, 2003: 212). Antara Masyarakat Madani dan Civil Society Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah—yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern—akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya. Menurut pengamatan A. Syafii Maarif, masyarakat sipil yang berkembang dalam masyarakat Barat secara teoritis bercorak egilitarian, toleran, dan ‘15 5 Kewarganegaraan Dr. Dadan Anugrah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id terbuka—nilai-nilai yang juga dimiliki oleh masyarakat Madinah hasil bentukan Rasulullah. Masyarakat sipil lahir dan berkembang dalam asuhan liberalisme sehingga hasil masyarakat yang dihasilkannya pun lebih menekankan peranan dan kebebasan individu, persoalan keadilan sosial dan ekonomi masih tanda tanya. Sedangkan dalam masyarakat madani, keadilan adalah satu pilar utamanya. Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84). Masyarakat Madinah, yang oleh Nurcholis Madjid dijadikan tipologi masyarakat madani, merupakan masyarakat yang demokratis. Dalam arti bahwa hubungan antar kelompok masyarakat, sebagaimana yang terdapat dalam poinpoin Piagam Madinah, mencerminkan egalitarianisme (setiap kelompok mempunyai hak dan kedudukan yang sama), penghormatan terhadap kelompok lain, kebijakan diambil dengan melibatkan kelompok masyarakat (seperti penetapan stategi perang), dan pelaku ketidakadilan, dari kelompok mana pun, diganjar dengan hukuman yang berlaku. Robert N. Bellah, mantan Guru Besar Sosiologi Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat, menyatakan bahwa komunitas Muslim awal merupakan masyarakat yang demokratis untuk masanya. Indikasinya, menurut Bellah, tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam membuat kebijakan publik serta keterbukaan posisi pemimpin yang disimbolkan dengan pengangkatan pemimpin tidak berdasarkan keturunan (heredities), tapi kemampuan (Robert N. Bellah, 2000: 211). ‘15 6 Kewarganegaraan Dr. Dadan Anugrah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id C. PILAR-PILAR MASYARAKAT MADANI Masyarakat madani merupakan konsep yang memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997)6, ada beberapa karakteristik masyarakat madani, di antaranya: 1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial. 2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif. 3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat. 4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah. 5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejimrejim totaliter. 6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individuindividu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri. 7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif. 6 Lihat http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_16.htm ‘15 7 Kewarganegaraan Dr. Dadan Anugrah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah konsep yang cair yang dibentuk dari proses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerinthana demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis) dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuah prasyarat masyarakat madani sebagai berikut: 1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat. 2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok. 3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial. 4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan. 5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan. ‘15 8 Kewarganegaraan Dr. Dadan Anugrah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembagalembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial. 7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya7. Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992)8. Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa: 1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial. 2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden 7 8 (2000:5), “…penyeragaman adalah Lihat http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_16.htm Lihat http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_16.htm ‘15 9 Kewarganegaraan Dr. Dadan Anugrah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.” 3. Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan laranganlarangan terhadap lembaga lainnya. 4. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat. D. PENUTUP: Ikhtiar Mewujudkan Masyarakat Madani Indonesia Pertanyaan mendasarnya adalah: Apakah mungkin Masyarakat madani mampu didirikan di Indonesia ? Tentu jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Ya, apabila perangkat masayarakt madani bisa berjalan secara simultan, seperti penegakkan hukum seadil-adilnya, praktek birokrasi pemerintahan yang bersih, apartur pemerintaha yang amanah, masyarakat menjunjung tinggi toleransi, dan penyelenggaraan ekonomi didasarkan atas ekonomi kerakyatan. Sedagkan jawabannya bisa “tidak”, apabila semua idealitas tersebut tidak menjadi kenyataan dalam praktek bermayarakat, berbangsa dan bernegara. ‘15 10 Kewarganegaraan Dr. Dadan Anugrah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Good governance9 adalah titik tolak dalam upaya mewujudkan masyarakat madani. Untuk memulainya dibutuhkan aparatur pemerintahan yang bersih dan berwibawa, tak terkecuali bagi para wakil rakyat yang duduk di Senayan. Sejauh ini, mewujudkan masyarakat madani selalu terkendali oleh perilaku birokrasi yang “hitam”. Pada praktek birokrasi seperti itu masyarakat menjadi korban. Tak kalah pentingnya, korupsi yang merajalela beberapa tahun terakhir ini seakan “membunuh” tumbuhnya masyarakat madani. 9 Good governance sering diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik atau disebut juga dengan istilah civil society. Good governance bisa juga didefinisikan sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan, pemberdayaan, dan pelayanan yang sejalan dengan demokrasi (pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat). Lihat http://anazmudin.blogspot.com/2012/02/definisi-good-governance.html ‘15 11 Kewarganegaraan Dr. Dadan Anugrah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id REFERENSI: Bahmueller, CF (1997), The Role of Civil Society in the Promotion and Maintenance of Constitutional Liberal Democracy, http:civnet.org/civitas/panam/papers/ bahm.htm. Blakeley, Roger dan Diana Suggate (1997), “Public Policy Development”, dalam David Robinson, Social Capital and Policy Development, Victoria: Institute of Policy Studies, hal. 80 - 100. DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley (1992), Social Work: An Empowering Profession, Boston: Allyn and Bacon. Giddens, Anthony (2000), Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Kleden, Ignas (2000), “Epistemologi Kekerasan di Indonesia”, dalam Indonesia di Persimpangan Kekuasaan: Dominasi Kekerasan atas Dialog Publik, Jakarta: The Go-East Institute, hal.1-7. MADANI ‘15 12 Kewarganegaraan Dr. Dadan Anugrah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id