Memahami Kompleksitas Pengajaran‐Pembelajaran dan Kondisi Pendidikan dan Pekerjaan Guru Tatang SURATNO Universitas Pendidikan Indonesia [email protected] Baru‐baru ini mengemuka wacana mengenai esensi reformasi dan pembangunan pendidikan. Ketika membuka Temu Nasional (29/10/09), Presiden SBY meminta Mendiknas untuk mengubah metode pengajaran guru menuju proses pembelajaran yang interaktif, kreatif dan membangun jiwa kewirausahaan. Pada saat yang bersamaan, Prof Sunaryo Kartadinata, Rektor UPI, mengemukakan grand design pendidikan yang didasarkan pada pemaknaan dan refleksi terhadap keluhuran nilai filosofis dan praksis proses pembelajaran yang menekankan pada upaya membangun karakter anak bangsa (Pikiran Rakyat, 29/10/09). Perhatian tersebut memosisikan proses pengajaran dan pembelajaran sebagai faktor penentu pencapaian kualitas pendidikan. Secara spesifik, kualitas pendidik (guru) yang mengimplementasikan harapan tersebut memainkan peranan penting. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang perlu dimaknai terkait hakikat pengajaran dan pembelajaran yang prosesnya tidaklah sederhana. Secara teoretis, pengajaran dan pembelajaran melibatkan proses trialog yang dinamis antara guru‐ siswa‐materi (misalnya Brousseau, 1997; Kansanen, 2003). Dalam konteks pengajaran, guru menciptakan situasi pedagogis (hubungan psikologis‐emosional‐fisik‐sosial) dan situasi didaktis (upaya menghubungkan siswa dengan materi ajar). Di lain pihak, pembelajaran merupakan kondisi dimana peserta didik (siswa) menciptakan situasi belajar (learning situation). Kerangka pikir ini meniscayakan bahwa baik guru maupun siswa memiliki otoritas yang perlu dihargai oleh masing‐masing pihak agar proses di kelas berlangsung secara bermakna. Kompleksitas Pembelajaran Pembelajaran pada dasarnya merupakan proses membangun kemandirian melalui aktualisasi otoritas dan hak belajar siswa. Dalam prosesnya, siswa berhak untuk belajar (berpikir, berpendapat, bertanya), atau sebaliknya (misalnya tidak fokus belajar) serta memiliki otoritas menciptakan situasi belajarnya. Ketika siswa tidak termotivasi, tidak memiliki kesempatan berpendapat atau bertanya maka ia telah dilanggar hak asasinya. Pelanggaran tersebut dapat menyebabkan anak menjadi tidak mandiri karena tidak belajar, tidak berdaya, terabaikan dan tertekan. Pembelajaran yang dilakukan siswa setidaknya mencakup empat aspek: konseptual (pemahaman materi), kognitif (pola berpikir), epistemik (proses mengetahui) dan sosial (interaksi insani yang bermakna) (Suratno, 2008). Keutuhan proses tersebut di kelas seringkali tereduksi dimana terlalu menekankan pada aspek konseptual saja. Kebijakan ujian nasional kiranya menambah beban ketimpangan tersebut. Padahal, ketiga aspek lainnya kiranya lebih penting karena di dalamnya menumbuhkan kreativitas, ruang diskusi serta kemandirian (independent learner). Pada praktiknya, siswa secara alamiah mungkin mengalami situasi yang disebut kesulitan belajar (learning obstacle). Terdapat tiga faktor penyebabnya, yaitu hambatan ontogeni (kesiapan mental belajar), didaktis (akibat pengajaran guru) dan epistemologi (pengetahuan siswa yang memiliki konteks aplikasi yang terbatas) (Brousseau, 1997). Jika bercermin pada situasi saat ini, mungkin selama ini telah terbentuk hambatan belajar sistemik bagi peserta didik. Barangkali selama ini anak tidak belajar, hanya sebatas hadir di kelas. Kenyataan tersebut menyiratkan bahwa menciptakan situasi belajar bagi peserta didik memerlukan kerangka pikir yang utuh. Kompleksitas Pengajaran Bagi orang awam, mengajar dipandang sebagai pekerjaan yang mudah sebagaimana kita melihat pekerjaan konduktor yang hanya berdiri menggerakkan tangannya tetapi tercipta simfoni yang indah. Orang tidak mengetahui bahwa untuk menghasilkan pembelajaran yang bermakna, atau simfoni yang indah, terjadi serangkaian pekerjaan penting di balik panggung. Mengajar tidak hanya tampil di depan kelas, tetapi juga melakukan perencanaan dan evaluasi berkelanjutan yang prosesnya memerlukan kerangka kerja yang benar. Mengajar merupakan aktivitas budaya (Stigler & Hiebert, 1999) yang meniscayakan keutuhan kompetensi dan implementasinya. Pengajaran melibatkan tiga aspek utama: keterpaduan, keutuhan dan keluwesan (Suryadi, 2008). Selama perencanaan, guru melakukan analisis materi, analisis gaya belajar dan pengetahuan awal siswa yang beragam, melakukan prediksi respon siswa dan antisipasi tindakan guru, desain representasi bahan ajar serta desain strategi dan tahapan pengajaran. Selama mengajar, guru menciptakan alur situasi pedagogis‐didaktis yang terpadu dan utuh agar tercipta situasi belajar sesuai dengan tujuan yang direncanakan, mengidentifikasi keragaman respon dan bagaimana memberikan intervensi yang memadai (keluwesan), serta mereduksi dan menanggulangi kesulitan belajar siswa. Pasca pengajaran, guru tidak hanya menilai pekerjaan siswa, tetapi juga melakukan retrospeksi terhadap pengajarannya: interaksi antar situasi didaktis‐pedagogis yang diciptakan guru dengan situasi belajar siswa, bahan ajar, struktur tugas/masalah yang disajikan, serta variasi respon dan kesulitan belajar siswa. Keseluruhan pekerjaan tersebut memerlukan sumber daya yang memadai, terutama waktu dan sarana, dimana jika dilakukan dengan benar dipandang dapat memberikan perbedaan. Selain pekerjaan inti tersebut, terdapat hal lainnya yang dilakukan guru seperti administrasi, pengembangan diri dan kegiatan kemasyarakatan. Pemahaman tersebut menyiratkan bahwa guru merupakan profesi yang tidak mudah dan sangat sibuk. Kompleksitas Pendidikan Guru dan Kondisi Kerja Guru Penanganan terhadap kompleksitas pengajaran dan pembelajaran tersebut memerlukan guru yang berkualitas yang dihasilkan dari suatu sistem pendidikan guru, baik pra‐jabatan maupun dalam‐jabatan. Fokus tulisan ini pada pendidikan guru pra‐jabatan karena memiliki peran yang strategis: mempersiapkan guru masa depan. Darling‐Hammond (2006) pernah menyatakan bahwa selama ini pendidikan guru tergadaikan dan cenderung dianggap sebagai pendidikan profesi kelas kedua. Hal ini dikarenakan ketidakjelasan epistemologi disiplin pendidikan guru, kesenjangan teori‐praktik dan anggapan pekerjaan guru dapat dilakukan oleh lulusan dari disiplin apapun (teachers are born). Dari segi internal LPTK, keterpaduan dan keutuhan antara visi, program, kurikulum dan pedagogi pendidikan guru merupakan tantangan laten. Dari segi pendidik guru (dosen LPTK), kompleksitasnya tercermin dari dualisme peran mereka: 1) bagaimana memahami disiplin ilmu dan bagaimana mengajarkan bagaimana mengajarkan disiplin ilmu tersebut; dan 2) bagaimana mengajarkan teori terhadap praktik pengajaran dan bagaimana menteorikan praktik pengajaran. Dengan demikian, peran pendidik guru adalah memahami kompleksitas pengajaran dan pembelajaran serta menjadi model guru bagi para calon guru. Hal lainya berkenaan dengan kemitraan antara LPTK dengan sekolah terkait praktik mengajar mahasiswa dimana pelaksanaannya pun tidaklah mudah. Kondisi kerja guru mencakup lingkungan kerja, beban kerja, pengembangan diri dan kesejahteraan. Prof. Winarno Surakhmad pernah menyatakan di media bahwa sebagian besar sekolah‐sekolah kita mirip kandang ayam. Kira‐kira begitulah lingkungan kerja para guru, sangat tidak layak dan mereka harus menghabiskan minimal 24 jam mengajar/minggu di sana. Beban mengajar –tampil di kelas‐ perlu dipertimbangkan kembali mengingat pekerjaan perencanaan dan evaluasi, disamping bimbingan dan pengembangan diri, juga memerlukan waktu. Kesempatan pengembangan diri pun belum merata dimana terdapat guru yang dikenal sebagai guru spesialis pelatihan. Pemahaman kita terhadap kompleksitas dan kondisi kerja guru sebetulnya dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan tingkat kesejahteraan yang layak bagi profesi yang sangat menentukan masa depan bangsa ini. Dari paparan tersebut kiranya terlihat pekerjaan besar sudah lama menanti untuk dilakukan. Upaya membangun kesepahaman mengenai hakikat pengajaran dan pembelajaran yang tepat dan utuh merupakan permasalahan mendasar dalam sistem pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, penanganan kekusutan kompleksitas tersebut sebaiknya dimulai dari upaya sistemik untuk menjadikan proses pengajaran dan pembelajaran sebagai fokus perhatian dan pengkajian. Sinyal perhatian sudah dipancarkan, tinggal proses pengkajian yang perlu dilakukan secara komprehensif berdasarkan kerangka pikir filosofis‐teoretis‐praktis yang tepat dan utuh: bagaimana mendefinisikan proses belajar yang bermakna dan memberdayakan, bagaimana mendefinisikan pengajaran yang powerful dan mendidik, bagaimana membentuk guru yang berkualitas serta bagaimana menciptakan kondisi kerja yang produktif bagi guru. Kondisi pendidikan di Indonesia selama ini mencerminkan apa yang dikemukakan masyarakat pendidikan Amerika di dekade 80an sebagai nation at risk. Dalam hal ini, LPTK kiranya dapat menjadi elemen kunci dalam proses tersebut agar dapat menyediakan knowledge yang mendasari tataran implementasi kebijakan. Dari kebijakan dan implementasinya diharapkan terbentuk budaya belajar di masyarakat pendidikan yang menjadikan pengkajian pengajaran dan pembelajaran sebagai ruh pembaharuan pendidikan berkelanjutan. Rujukan Brousseau, G. (1997). Theory of didactical situations (N. Balacheff, M. Cooper, R. Sutherland, V. Warfield Eds & Trans). Dordrecht, Netherland: Kluwer Academic. Darling‐Hammond, L. (2006b). Constructing 21st‐century teacher education. Journal of Teacher Education, Vol. 57, No. X, Month 2006 Kansanen, P. (2003). Studying‐theRealistic Bridge Between Instruction and Learning. An Attempt to a Conceptual Whole of the Teaching‐Studying‐Learning Process. Educational Studies, Vol. 29,No. 2/3, 221‐232. Stigler, J., & Hiebert, J. (1999). The teaching gap. New York: The Free Press. Sunaryo, K. (Oktober 2009). “Grand design” pendidikan. Opini di HU Pikiran Rakyat. Bandung 29 Oktober 2009. Suratno, T. (2008). Relevansi kurikulum dan pendidikan sains di abad 21. EDUSAINS Vol. 1 No. 2, Desember 2008. Suryadi, D. (2008). Metapedadidaktik dalam pembelajaran matematika: Suatu strategi pengembangan diri menuju guru matematika profesional. Pidato Guru Besar UPI. Tentang Penulis Identitas Penulis Nama Instansi Jabatan Alamat Kantor E‐mail Mobile : Tatang SURATNO (S. Pd., M. Pd.) (NIP. 197809162008011008) : Universitas Pendidikan Indonesia : Staf Pengajar (Dosen) : Gd. FPMIPA UPI Lt. 2 Rg. S203 Jl. Dr. Setiabudhi 229, Bandung 40154 Tel./Fax.: 022 2011743/022 2007032 : [email protected] : 08122301997