BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan wanita tuna susila atau sering disebut PSK merupakan fenomena yang tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sungguhpun keberadaannya masih menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Pertanyaan apakah Pekerja Seks Komersial (PSK) termasuk kaum yang tersingkirkan atau kaum yang terhina, hal tersebut mungkin sampai sekarang belum ada jawaban yang dirasa dapat mengakomodasi konsep pekerja seks komersial itu sendiri. Hal ini sebagaian besar disebabkan karena mereka tidak dapat menanggung biaya hidup yang sekarang ini semuanya serba mahal. Prostitusi di sini bukanlah semata-mata merupakan gejala pelanggaran moral tetapi merupakan suatu kegiatan perdagangan. Kegiatan prostitusi ini berlangsung cukup lama, hal ini mungkin di sebabkan karena dalam prakteknya kegiatan tersebut berlangsung karena banyaknya permintaan dari konsumen terhadap jasa pelayanan kegiatan seksual tersebut oleh sebab itu semakin banyak pula tingkat penawaran yang di tawarkan. Di negara-negara lain istilah prostitusi dianggap mengandung pengertian yang negatif. Di Indonesia, para pelakunya diberi sebutan Pekerja Seks Komersial. Ini artinya bahwa para perempuan itu adalah orang yang 1 tidak bermoral karena melakukan suatu pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Karena pandangan semacam ini, para pekerja seks mendapatkan cap buruk (stigma) sebagai orang yang kotor, hina, dan tidak bermartabat. Tetapi orang-orang yang mempekerjakan mereka mendapatkan keuntungan besar dan dari kegiatan ini tidak mendapatkan cap demikian. Jika dilihat dari pandangan yang lebih luas. Kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya yang dilakukan pekerja seks adalah suatu kegiatan yang melibatkan tidak hanya si perempuan yang memberikan pelayanan seksual dengan menerima imbalan berupa uang. Tetapi ini adalah suatu kegiatan perdagangan yang melibatkan banyak pihak. Jaringan perdangan ini juga membentang dalam wilayah yang luas, yang kadang-kadang tidak hanya di dalam satu negara tetapi beberapa negara. Dalam kasus-kasus tertentu perempuan yang terlibat telah mengalami kekerasan patologis atau kejahatan seksual sejak masa anak. Lainlainnya terjeremus ke dalam pelacuran guna mendapat nafkah yang mencukupi untuk diri sendiri atau keluarganya. Beberapa mencari sosok ayah atau relasi cinta dengan seorang pria. Lain-lainnya mencoba melunasi utang yang tak masuk akal. Beberapa meninggalkan keadaan kemiskinan di negeri asalnya, dalam kepercayaan bahwa pekerjaan yang ditawarkan akan mengubah hidup mereka. 2 Dalam masyarakat, kehidupan seorang pekerja seks komersial merupakan suatu hal yang kurang dapat diterima. Sampai sekarang PSK dipandang sebagai mahluk yang menyandang stereotype negatif, dan tidak dianggap pantas menjadi bagian dari masyarakat. Dalam kehidupan seharihari, kaum PSK selalu mendapat tekanan dari masyarakat, bahkan menjadi bahan olokan dan ejekan. Tekanan dan perlakuan negatif dari lingkungan ini biasanya muncul dari perilaku masyarakat yang selalu ingin memojokkan mereka. Pandangan masyarakat ini hanya dikhususkan kepada para perempuan pekerja seks komersial yang menjalani pekerjaan ini karena murni akibat tekanan ekonomi. Kesan pertama akan perempuan pekerja seks ini adalah para perempuan jalang yang amoral. Tidak tahu malu, penggoda lelaki. Tidak layak bagi para perempuan pekeja seks untuk dihargai. Kenapa masyarakat bisa memiliki kesan seperti itu, karena sejak kecil ditanamkan oleh orang-orang tua bahwa perempuan pekerja seks menyebutnya pelacur, adalah perempuan yang tidak benar kelakuannya. Apalagi digambarkan para pekerja seks Komersial (PSK) tersebut kehidupannya glamour tetapi norak. Juga ditunjukkan jenis parfum yang di botolnya bergambar putri duyung, yang namanya minyak si nyong nyong, yang pakai minyak wangi itu adalah para pelacur. Akhirnya tertanamlah di benak masyarakat selama bertahuntahun bahwa PSK itu memang perempuan jalang. Kemudian jika melihat sendiri kehidupan nyata bahwa banyak dari para pekerja seks itu terpaksa menjalani pekerjaannya sebagai PSK karena tekanan ekonomi. Ada yang memang datang dari keluarga yang miskin, ada 3 yang ditelantarkan suaminya sementara anak-anaknya harus tetap makan, ada yang untuk membiayai pengobatan orang tuanya, ada juga yang terpaksa disetujui suaminya karena benar-benar hidup amat miskin. Senada seperti pengakuan beberapa PSK, bahwa sebenarnya jika mereka boleh memilih, mereka tidak ingin jadi PSK, tetapi apa daya, mereka tidak punya kepandaian atau keterampilan. Seharusnya kita tidak boleh merendahkan para PSK karena mereka juga bekerja, menjual jasa dan mereka dibayar untuk jasa mereka. Kita bisa merasa iba jika mendengar kabar para PSK ditangkapi petugas ketertiban. Atau disiksa pelanggannya, atau dijahati germonya. Sebetulnya para PSK akan selalu ada karena pemakai jasa mereka juga selalu ada. Meskipun banyak yang tidak menyetujui pilihan pekerjaan mereka, tetapi kita mulai bisa menghormati bahkan kagum pada para perempuan pekerja seks komersial, karena setidaknya mereka itu tetap merupakan pahlawan bagi keluarganya. Dengan demikian saya asumsikan bahwa mereka yang bekerja sebagai PSK seharusnya tidak mendapatkan asumsi-asumsi buruk mengenai diri mereka, padahal mereka rela mengorbankan kesucianya demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Tidak adanya dukungan sosial menyebabkan para PSK membentuk kelompok sendiri, yang selanjutnya makin menjauhkan diri mereka dari masyarakat umum seperti masuk ke dalam suatu lokalisasi (wadah tempat prostitusi berlanjut). Penolakan atau sikap negatif masyarakat serta label-label yang dilekatkan masyarakat pada PSK dapat menimbulkan efek SelfFulfilling Phrophecy, Akibatnya komunitas PSK yang mengalami penurunan 4 identitas ini, makin menarik diri dan mengalami berbagai hambatan dalam penyesuaian sosial dan pengembangan diri. Jadi dapat dikatakan bahwa sikap masyarakat ini justru dapat menimbulkan masalah psikologis yang baru bagi kaum wanita tuna susila. Dari sinilah kita mendapatkan suatu gambaran baru bagaimana PSK hidup dibawah tekanan (pressure) dari lingkungan sekitarnya baik dari lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Serta harus menerima berbagai macam stereotype negatif yang dialamatkan pada pelacur selama ini dan belum tentu kesemua yang ditujukan tersebut benar adanya. PSK yang secara sadar maupun tidak sadar, langsung maupun tidak langsung ingin juga diakui sebagai layaknya manusia pada umumnya, sehingga dapat dikatakan mempunyai kebutuhan dasar serta keinginan mereka dengan manusia lain pada umumnya. Sebagaimana manusia pasti memiliki suatu keinginan untuk hidup bahagia. Meraih kebahagian merupakan tujuan hidup manusia yang tidak dapat dipungkiri lagi, sehingga segala apa yang dilakukan manusia pada akhirnya hanyalah untuk membuatnya hidup bahagia. Manusia dalam mencari tujuan hidup, mempunyai suatu kebutuhan yang bersifat unik, spesifik, dan personal, yaitu suatu kebutuhan akan makna hidup. Makna hidup berfungsi sebagai pedoman terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, sehingga dengan demikian makna hidup seakan-akan menantang (Challengging) dan mengundang (Inviting) seseorang untuk memenuhinya, serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan menjadi terarah. Makna hidup bersifat spesifik dan unik, makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus dicari dan ditemukan sendiri. 5 Permasalahan PSK tidak ubahnya sama dengan manusia pada umumnya, secara garis besar PSK tentunya juga mempunyai suatu Makna Hidup. Sama halnya dengan manusia atau individu lainnya. Proses penemuan makna hidup bukanlah merupakan suatu perjalanan yang mudah bagi seorang PSK, perjalanan untuk dapat menemukan apa yang dapat mereka berikan dalam hidup mereka, apa saja yang dapat diambil dari perjalanan mereka selama ini, serta sikap yang bagaimana yang diberikan terhadap ketentuan atau nasib yang bisa mereka rubah, yang kesemuannya itu tak lepas dari halhal apa saja yang diinginkan selama menjalani kehidupan, serta kendala apa saja yang dihadapi oleh mereka dalam mencapai Makna Hidup. Penelitian ini lebih berangkat dari fenomena yang unik dimana mereka selama ini sadar akan pandangan negatif yang diperolehnya dari lingkungan sekitar, tetapi mereka tetap dapat mempertahankan apa yang mereka percayai, dan mereka yakini serta hayati dan menjalankan kesemuanya itu dengan penuh keyakinan tanpa terpengaruh pendapat dari orang-orang yang memandang negatif terhadap dirinya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan deskripsi yang telah dipaparkan pada latar belakang diatas, maka untuk memudahkan proses penelitian guna menghindari pembahasan yang terlalu meluas diperlukan adanya perumusan masalah. Berangkat dari pernyataan tersebut diatas, maka rumusan masalah penelitian 6 yang berjudul “ Interaksi Sosial Pekerja Seks Komersial di Kota Makassar (Studi Kasus di Jalan Nusantara) ”, yaitu : Bagaimanakah pola dan bentuk interaksi sosial di kalangan Pekerja Seks Komersial di Kota Makassar ? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan rumusan diatas, maka dikemukakan tujuan penelitian untuk mengetahui interaksi sosial pekerja seks komersial di Kota Makassar. Tujuan dan Kegunaan Penelitian : a. Untuk mengetahui bagaimana pola dan bentuk interaksi sosial pekerja seks komersial dalam lingkungan keluarga, sosial dan profesi. b. Untuk mengetahui bagaimana kendala dan tantangan dalam proses interaksi sosial pekerja seks komersial. c. Secara praktis dapat memberikan masukan bagi pemerintah tentang pembinaan PSK dan pengelolaan tempat bagi PSK dapat diatur dan dikelola dengan baik. d. Secara teoritis dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan model teori interaksi sosial yang mempunyai korelasi yang tentang hubungan interaksi. 7 D. Kerangka Konseptual Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Di Indonesia pelacur (pekerja seks komersial) sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa kemasa. Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku sex bebas tanpa pengaman bernama kondom. Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya. Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun toh dibutuhkan (evil necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki) tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan baik- 8 baik. Salah seorang yang mengemukakan pandangan seperti itu adalah Augustinus dari Hippo (354-430), seorang bapak gereja. Ia mengatakan bahwa pelacuran itu ibarat "selokan yang menyalurkan air yang busuk dari kota demi menjaga kesehatan warga kotanya." Istilah pelacur sering diperhalus dengan pekerja seks komersial, wanita tuna susila, istilah lain yang juga mengacu kepada layanan seks komersial. Khusus laki-laki, digunakan istilah gigolo. 1. Gejala Moralisme Di panggung masyarakat dan di dalam kehidupan pribadi, seks seringnya bertubrukan dengan moralisme. Kedua hal ini mempunyai hubungan seperti pasangan yang aneh. Karena mempunyai akar-akar yang lebih dalam dari pada sekedar kebutuhan yang dirasakan untuk menjaga agar seks tetap terkendali. Moralisme adalah moralitas tanpa jiwa. Ia merupakan moralitas sebagai sebuah gejala, suatau masalah neurotik yang terus menghantui kita dan menutupi penilaian kita. Ia tidak benar-benar merupakan moralitas namun ia merupakan suatu usaha yang gagal untuk menjadi moral secara mendalam. Menetapakan suatu cara hidup bermoral yang nyaman merupakan bagian dari tugas untuk membuat jiwa. Ini merupakan suatu proses yang positif dan mendalam yang diperlukan untuk suatu kehidupan yang selaras dengan alam, diri, kekasih, teman, dan komunitas. Tetapi kita tidak dilahirkan dengan suatu renacana moral yang sudah jadi, dan ini bukan sesuatau yang bisa diajarkan dengan mudah juga. Moralitas bersifat 9 hidup dan selalu berubah-ubah. Perkembangannya seiring dengan pendewasaan kehidupan kita dalam setiap area. 2. Pelacuran Menurut Agama a. Pelacuran dalam pandangan agama yahudi dan kristen Agama Yahudi dan Kristen menyamakan penyembahan terhadap dewa-dewa lain selain kepada Allah sebagai pelacuran. Gambaran ini dapat ditemukan di dalam kitab Nabi Yehezkiel ps. 23 dan kitab Nabi Hosea (1:2-11). Namun demikian ada pula kisah tentang Rahab, seorang pelacur bangsa Yerikho yang menyelamatkan dua orang mata-mata yang dikirim Yosua untuk mengintai kekuatan Yerikho (Yosua 2:1-14). Dalam kisah ini, Rahab dianggap sebagai pahlawan, dan karena itu ia diselamatkan sementara seluruh kota Yerikho hancur ketika diserang oleh tentara Israel yang dipimpin oleh Yosua. Kitab Yosua mengisahkan demikian: "Demikianlah Rahab, perempuan sundal itu dan keluarganya serta semua orang yang bersama-sama dengan dia dibiarkan hidup oleh Yosua. Maka diamlah perempuan itu di tengah-tengah orang Israel sampai sekarang, karena ia telah menyembunyikan orang suruhan yang disuruh Yosua mengintai Yerikho." (Yosua 6:25). b. Pelacuran dalam pandangan islam Pelacuran dalam pandangan Islam adalah haram hukumnya. c. Pelacuran dalam pandangan hindu Dalam pandangan umat Hindu pelacuran sangat dilarang, karena dalam Hindu, tubuh wanita itu ibarat susu kehidupan bagi generasi 10 berikutnya, mereka yang memperjual belikan susu kehidupan dalam pandangan hindu hukumnya adalah kutukan seumur hidup. Dalam weda sendiri yang merupakan kitab suci umat hindu pelacuran disebutkan sebagai sesuatu yang selain dipantangkan juga akan mendapatkan kutukan sebanyak 7 turunan. d. Pelacuran dalam pandangan budha Dalam kitab suci agama Buddha, pelacuran sangat jelas dilarang karena tidak sesuai dengan keinginan sang Budha. 3. Interaksi Sosial Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang menggunakannya Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah Makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan 11 orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan interpretative process Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama dari terjadinya hubungan sosial Komunikasi merupakan penyampaian suatu informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang disampaikan. Karp dan Yoels menunjukkan beberapa hal yang dapat menjadi sumber informasi bagi dimulainya komunikasi atau interaksi sosial. Sumber Informasi tersebut dapat terbagi dua, yaitu Ciri Fisik dan Penampilan. Ciri Fisik, adalah segala sesuatu yang dimiliki seorang individu sejak lahir yang meliputi jenis kelamin, usia, dan ras. Penampilan di sini dapat meliputi daya tarik fisik, bentuk tubuh, penampilan berbusana, dan wacana. Interaksi sosial memiliki aturan, dan aturan itu dapat dilihat melalui dimensi ruang dan dimensi waktu dari Robert T Hall dan Definisi Situasi dari W.I. Thomas. Hall membagi ruangan dalam interaksi sosial menjadi 4 batasan jarak, yaitu jarak intim, jarak pribadi, jarak sosial, dan jarak publik. Selain aturan mengenai ruang Hall juga menjelaskan aturan mengenai Waktu. Pada dimensi waktu ini terlihat adanya batasan toleransi waktu yang dapat mempengaruhi bentuk interaksi. Aturan yang terakhir adalah dimensi situasi yang dikemukakan oleh W.I. Thomas. Definisi 12 situasi merupakan penafsiran seseorang sebelum memberikan reaksi. Definisi situasi ini dibuat oleh individu dan masyarakat. 4. Ide - Ide para ahli yang berhubungan dengan Interaksi Sosial Menurut Gillin & Gillin (soerjono soekanto, 2010) ada dua bentuk interaksi sosial : 1. Proses Asositif (Association process) 2. Proses Disosiatif (Opposition process) 1). Proses asosiatif adalah bentuk interaksi yang bersifat menyatukan anggota masyarakat. 2). Proses disaosiatif adalah cara yang bertentangan dengan individu atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan dan cenderung menciptakan perpecahan. Menurut MAX WEBER, tindakan sosial adalah tindakan seorang individu yang dapat mempengaruhi individu-individu lainnya dalam masyarakat. Tindakan sosial dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu : a. Tindakan rasional instrumental : tindakan yang dilakukan dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara dan tujuan. Contoh : bekerja keras untuk mendapatkan nafkah yang cukup. 13 b. Tindakan rasional berorientasi nilai : tindakan-tindakan yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar dalam masyarakat. Contoh : tindakan-tindakan yang bersifat religio – magis. c. Tindakan tradisional : tindakan yang tidak memperhitungkan pertimbangan rasional. Contoh : berbagai macam upacara/tradisi yang dimaksudkan untuk melestarikan kebudayaan leluhur. d. Tindakan ofektif : tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang/kelompok orang berdasarkan perasaan atau emosi. G.H.Mead memandang tindakan sebagai “unit primitif” dalam teorinya (1982:27). Dalam menganalisa tindakan, pendekatan Mead hampir sama dengan pendekatan Behavioris dan memusatkan perhatian pada rangsangan (stimulus) dan tanggapan (response). Tetapi, stimulus disini tidak menghasilkan respon manusia secara otomatis dan tanpa dipikirkan. Seperti dikatakan Mead, “kita membayangkan stimulus sebagai sebuah kesempatan atau peluang untuk bertindak, bukan sebagai paksaan atau perintah” (1982:28). Mead (1938/1972) mengindentifikasi empat basis dan tahap tindakan yang saling berhubungan (Schmitt dan Schmitt, 1996). Keempat tahap itu mencerminkan satu kesatuan organik (dengan kata lain keempatnya saling berhubungan secara dialektis). Mead selain tertarik pada kesamaan tindakan binatang dan manusia, juga terutama tertarik pada perbedaan tindakan antara kedua jenis mahluk itu. 14 Ada empat tahap tindakan yang dikemukakan oleh Mead : - Impuls Tahap pertama adalah dorongan hati/impuls (impulse) yang meliputi “stimulasi/rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indera” dan reaksi aktor terhadap rangsangan itu. Rasa lapar adalah contoh yang tepat dari impluls. Aktor (binatang maupun manusia) secara spontan dan tanpa pikir memberikan reaksi atas impuls, tetapi aktor manusia lebih besar kemungkinannya akan memikirkan reaksi yang tepat (misalnya, makan sekarang atau nanti) dalam berpikir tentang reaksi, manusia tak hanya mempertimbangkan situasi kini, tetapi juga pengalaman masa lalu dan mengantisipasi akibat dari tindakan di masa depan. - Persepsi Tahap kedua adalah persepsi adalah (perception). Aktor menyelidiki dan bereaksi terhadap rangsangan yang berhubungan dengan impuls, dalam hal ini rasa lapar dan juga berbagai alat yang tersedia untuk memuaskannya. Manusia mempunyai kapasitas untuk merasakan dan memahami stimuli melalui pendengaran, senyuman, rasa, dan sebagainya. Persepsi melibatkan rangsangan yang masuk maupun citra mental yang ditimbulkannya. Aktor tidak secara spontan menanggapi stimuli dari luar, tetapi memikirkannya sebentar dan melalui bayangan mental. - Manipulasi Tahap ketiga adalah manipulasi (manipulation). Segera setelah impuls menyatakan dirinya sendiri dan objek telah dipahami, langkah selanjutnya adalah memanipulasi objek atau mengambil 15 tindakan berkenaan dengan objek itu. Disamping keuntungan mental, manusia mempunyai keuntungan lain ketimbang binatang. Manusia mempunyai tangan (dengan ibu jari yang dapat dipertautkan) yang memunkinkan mereka memanipulasi objek jauh lebih cerdik ketimbang yang dapat dilakukan binatang. Tahap manipulasi merupakan tahap jeda yang penting dalam proses tindakan agar tanggapan tak diwujudkan secara spontan. - Konsumasi, berdasarkan pertimbangan ini, aktor mungkin memutuskan untuk memakan cendawan (atau tidak) dan ini merupakan tahap keempat tindakan, yakni tahap pelaksanaan/konsumasi (consummation), atau mengambil tindakan yang memuaskan dorongan hati yang sebenarnya. Baik manusia maupun binatang mungkin memakan cendawan, tetapi manusia lebih kecil kemungkinan memakan cendawan beracun karena kemampuannya untuk memanipulasi cendawan dan memikirkan (dan membaca) mengenai implikasi dari memakannya. Aksi dan Interaksi, dalam hal ini teoritisi interaksionisme simbolik memusatkan perhatian terutama pada dampak dari makna dan simbol terhadap tindakan dan interaksi manusia. Di sini akan bermanfaat menggunakan pemikiran Mead yang membedakan antara perilaku lahiriah dan perilkau tersembunyi. Perilaku tersembunyi adalah proses berpikir yang melibatkan simbol dan arti. Perilaku lahiriah adalah perilaku sebenarnya yang dilakukan oleh seorang aktor. Beberapa perilaku lahiriah 16 tidak melibatkan perilaku tersembunyi (perilaku karena kebiasaan atau tanggapan tanpa pikir terhadap rangsangan eksternal). Tetapi, sebagian besar tindakan manusia melibatkan kedua jenis perilaku itu. Perilaku tersembunyi menjadi sasaran perhatian utama teoritisi interaksionisme simbolik sedangkan perilaku lahiriah menjadi sasaran perhatian utama teoritisi teori pertukaran atau penganut behaviorisme tradisional pada umumnya. Simbol dan arti memberikan ciri-ciri khusus pada tindakan sosial manusia (yang melibatkan aktor tunggal) dan pada interaksi sosial manusia (yang melibatkan dua orang aktor atau lebih yang terlibat dalam tindakan sosial timbal balik). Tindakan sosial adalah tindakan dimana individu bertindak dengan orang lain dalam pikiran. Dengan kata lain, dalam melakukan tindakan, seorang aktor mencoba menaksir pengaruhnya terhadap aktor lain yang terlibat. Meski mereka sering terlibat dalam perilaku tanpa pikir, perilaku berdasarkan kebiasaan, namun manusia mempunyai kapasitas untuk terlibat dalam tindakan sosial. Dalam proses interaksi sosial, manusia secara simbolik mengkomunikasikan arti terhadap orang lain yang terlibat. Orang lain menafsirkan simbol komunikasi itu dan mengorientasikan tindakan balasan mereka berdasarkan penafsiran mereka. Dengan kata lain, para aktor terlibat dalam proses saling mempengaruhi. 17 E. Skema Kerangka Konseptual Perilaku : - Pengetahuan - Sikap - Tindakan Faktor Dasar : - Tekanan ekonomi - Tidak ada keterampilan - Masalah keluarga Pekerja Seks Komersial Stigma Pahlawan bagi keluarga Makna hidup Gambar 1. Skema Kerangka Konseptual 18 F. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada pekerja seks komersial yang beroperasi di jalan nusantara. Pekerja seks ini ada yang menempati atau bekerja di Bar, Cafe, Karaoke, dan ada juga yang bekerja diluar atau pinggir jalan dengan cara menawarkan jasa melalui mucikari dengan cara menemani di kios/warung kecil yang sudah disediakan. Sesuai dengan judul penelitian yang diangkat, yakni “ Interaksi Sosial PSK di Kota Makassar (Studi Kasus di Jalan Nusantara) ”. Maka penelitian yang akan dilakukan mengambil lokasi di Kota Makassar Jl.Nusantara. 2. Tipe dan Dasar Penelitian - Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian yang memberikan gambaran secara sistematis mengenai kondisi sesungguhnya dari obyek yang diteliti yakni Interaksi Sosial Pekerja Seks Komersial di Jl.Nusantara Kota Makassar. - Dasar penelitian yang digunakan adalah studi kasus, Studi kasus adalah suatu model yang menekankan pada eksplorasi dari suatu “sistem yang terbatas” (bounded system) pada satu kasus atau beberapa kasus secara mendetail, disertai dengan penggalian data secara mendalam yang melibatkan berbagai sumber informasi yang kaya akan konteks (Creswell, 1998). Yin (dalam Bungin, 2005) menyatakan bahwa studi kasus adalah suatu inquiry empiris yang mendalami 19 fenomena dalam konteks kehidupan nyata, ketika batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas. 3. Teknik Penentuan Informan Dalam penentuan informan ini peneliti menggunakan teknik accidental sampling. Informan penelitian ini adalah individu yang ikut serta dalam penelitian dan darimana data dikumpulkan. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah para pekerja seks komersial yang ada di Jl. Nusantara Kota Makassar. Dari beberapa informan yang peneliti dapat di lapangan tidak memiliki karakteristik yang signifikan, karena peneliti secara kebetulan bertemu dengan para informan tanpa ada perjanjian atau kesepakatan terlebih dahulu. Cara ini dilakukan karena peneliti mengalami keterbatasan waktu, tenaga dan dana, sehingga tidak dapat mengambil sapel besar dan jauh. 4. Teknik Pengumpulan Data Peneliti melakukan wawancara dengan PSK yang sedang bekerja, yang kemudian dilakukan peneliti adalah memanfaatkan waktu yang sudah ada sebagai standar waktu bagi para PSK saat melakukan hubungan intim. Hal ini dilakukan karena mempertimbangkan kenyamanan dari informan yang akan di wawancara dan mengingat peneliti hanya dapat menggunakan waktu informan saat sedang bekerja. Selama pertemuan 1 jam itu, peneliti mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan tujuan peneliti untuk mendapatkan data dan kemudian di jawab oleh informan dengan respon yang terjalin baik. 20 Sehingga penelitian ini menggunakan alat pengumpul data berupa wawancara mendalam (depth interview) dan observasi dengan atau terhadap subjek penelitian yang terpilih. Keduanya dapat dirinci sebagai berikut : 1. Wawancara Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu-isu lain yang berkaitan dengan topik tersebut (Poerwandari, 1998 : 73). Beberapa model wawancara menurut Patton (dalam Poerwandari, 1998 : 73), antara lain : a. Wawancara konvensional yang informal : Proses wawancara didasarkan sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaan-pertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah. Tipe wawancara demikian umumnya dilakukan peneliti yang melakukan observasi partisipatif. Situasi demikian membuat orang-orang yang diajak bicara kemungkinan tidak menyadari bahwa ia sedang diwawancarai secara sistematis untuk menggali data. 21 2. Observasi Peneliti melakukan observasi terhadap informan yang peneliti merasa cocok atau tepat untuk mendapatkan informasi dan data tentang informan sebagai PSK secara langsung. Peneliti akan mencari tau apa yang menjadi kebiasaan informan seperti sifat dan tingkah laku agar peneliti dapat dengan mudah mengenal informan sebelum wawancara dilakukan. Peneliti juga akan melihat kondisi di lokasi penelitian sebagai pertimbangan untuk mendapatkan data. Sebab peneliti hanya akan mengatur jadwal wawancara jika observasi yang dilakukan berjalan dengan lancar. Sehingga peneliti akan mencari tau informasi PSK mulai dari orang di sekitar jalan nusantara dan di dalam diskotik / Pub seperti karyawan / pelayan, serta teman sesama PSK bila diperlukan. Observasi adalah metode pengumpulan data yang paling umum dilakukan oleh peneliti, utamanya yang meneliti tentang perilaku manusia. Observasi merupakan metode untuk menangkap fenomena subjek dari kacamata peneliti. Penggambaran setting yang dipelajari, aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang telibat dalam aktivitas, dengan cara melihat kejadian dari perspektif peneliti (Poerwandari, 2001 : 64). Observasi mempunyai peran penting dalam mengungkap realitas subjek. Intensitas hubungan subjek dengan bagaimana subjek berperilaku ketika bersosialisasi dengan orang lain ataupun dengan 22 peneliti ketika wawancara maupun diluar wawancara merupakan pembanding yang baik dengan hasil wawancara dalam mengidentifikasi dinamika yang terjadi dalam diri subjek. Berbagai pertimbangan tersebut menjadikan pilihan observasi yang dilakukan adalah jenis observasi yang terbuka, dimana diperlukan komunikasi yang baik dengan lingkungna sosial yang diteliti, sehingga mereka dengan sukarela dapat menerima kehadiran peneliti atau pengamat. Selain itu, observasi yang dilakukan juga meupakan observasi yang tidak terstruktur, dimana peneliti tidak mengetahui dengan pasti aspekaspek apa yang ingin diamati dari subjek penelitian. Konsekuensinya, peneliti harus mengamati seluruh hal yang terkait dengan permasalahan penelitian ini meliputi perilaku subjek secara umum sebelum dilakukannya wawancara, perilaku subjek ketika sedang melakukan wawancara dan observasi ketika subjek telah melakukan wawancara. Observasi juga tidak tertuju pada tempat ataupun lokasi wawancara, peneliti berusaha untuk melakukan wawancara di tempat tinggal subjek agar peneliti dapat memperoleh bayangan ataupun abstraksi maupun gambaran kehidupan yang dijalani oleh subjek. 5. Teknik Analisa Data Creswell (1994) mengemukakan beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan analisa data kualitatif, antara lain : 1. Analisa kualitatif dapat dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data, interpretasi data, dan penulisan naratif lainnya. 23 Dalam analisa data kualitatif, proses analisa data tidak merupakan segmen terpisah dan tersendiri dengan proses lainnya, tetapi berjalan beriringan dan simultan dengan proses lainnya bahkan pada awal penelitian. Dalam analisis data kualitatif, beberapa hal dapat dilakukan secara simultan, antara lain melakukan pengumpulan data dari lapangan, membaginya ke dalam kategori-kategori dengan tema-tema yang spesifik, memformat data tersebut menjadi suatu gambaran yang umum, dan mengubah gambaran tersebut menjadi teks kualitatif. 2. Pastikan bahwa proses analisis data kualitatif yang telah dilakukan berdasarkan pada proses reduksi data (data reduction) dan interpretasi (interpretation). Data yang telah diperoleh direduksi ke dalam pola-pola tertentu, kemudian melakukan kategorisasi tema (memilah-milah dan menyatukan tema yang memiliki kesamaan), kemudian melakukan interpretasi kategori tersebut berdasarkan skema-skema yang didapat. Tesch (1990) menyebut proses ini dengan istilah de-contextualization dan re-contextualization. Hasil akhir dari interpretasi tersebut adalah suatu gambaran umum yang luas yang terdiri atas skema-skema spesifik di dalamnya. 24