View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Keberadaan wanita tuna susila atau sering disebut PSK merupakan
fenomena yang tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia,
sungguhpun keberadaannya masih menimbulkan pro dan kontra dalam
masyarakat. Pertanyaan apakah Pekerja Seks Komersial (PSK) termasuk
kaum yang tersingkirkan atau kaum yang terhina, hal tersebut mungkin
sampai sekarang belum ada jawaban yang dirasa dapat mengakomodasi
konsep pekerja seks komersial itu sendiri. Hal ini sebagaian besar disebabkan
karena mereka tidak dapat menanggung biaya hidup yang sekarang ini
semuanya serba mahal. Prostitusi di sini bukanlah semata-mata merupakan
gejala pelanggaran moral tetapi merupakan suatu kegiatan perdagangan.
Kegiatan prostitusi ini berlangsung cukup lama, hal ini mungkin di sebabkan
karena dalam prakteknya kegiatan tersebut berlangsung karena banyaknya
permintaan dari konsumen terhadap jasa pelayanan kegiatan seksual tersebut
oleh sebab itu semakin banyak pula tingkat penawaran yang di tawarkan.
Di negara-negara lain istilah prostitusi dianggap mengandung
pengertian yang negatif. Di Indonesia, para pelakunya diberi sebutan Pekerja
Seks Komersial. Ini artinya bahwa para perempuan itu adalah orang yang
1
tidak bermoral karena melakukan suatu pekerjaan yang bertentangan dengan
nilai-nilai kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Karena pandangan
semacam ini, para pekerja seks mendapatkan cap buruk (stigma) sebagai
orang yang kotor, hina, dan tidak bermartabat. Tetapi orang-orang yang
mempekerjakan mereka mendapatkan keuntungan besar dan dari kegiatan ini
tidak mendapatkan cap demikian.
Jika dilihat dari pandangan yang lebih luas. Kita akan mengetahui
bahwa sesungguhnya yang dilakukan pekerja seks adalah suatu kegiatan yang
melibatkan tidak hanya si perempuan yang memberikan pelayanan seksual
dengan menerima imbalan berupa uang. Tetapi ini adalah suatu kegiatan
perdagangan yang melibatkan banyak pihak. Jaringan perdangan ini juga
membentang dalam wilayah yang luas, yang kadang-kadang tidak hanya di
dalam satu negara tetapi beberapa negara.
Dalam kasus-kasus tertentu perempuan yang terlibat telah
mengalami kekerasan patologis atau kejahatan seksual sejak masa anak. Lainlainnya terjeremus ke dalam pelacuran guna mendapat nafkah yang
mencukupi untuk diri sendiri atau keluarganya. Beberapa mencari sosok ayah
atau relasi cinta dengan seorang pria. Lain-lainnya mencoba melunasi utang
yang tak masuk akal. Beberapa meninggalkan keadaan kemiskinan di negeri
asalnya, dalam kepercayaan bahwa pekerjaan yang ditawarkan akan
mengubah hidup mereka.
2
Dalam masyarakat, kehidupan seorang pekerja seks komersial
merupakan suatu hal yang kurang dapat diterima. Sampai sekarang PSK
dipandang sebagai mahluk yang menyandang stereotype negatif, dan tidak
dianggap pantas menjadi bagian dari masyarakat. Dalam kehidupan seharihari, kaum PSK selalu mendapat tekanan dari masyarakat, bahkan menjadi
bahan olokan dan ejekan. Tekanan dan perlakuan negatif dari lingkungan ini
biasanya muncul dari perilaku masyarakat yang selalu ingin memojokkan
mereka. Pandangan masyarakat ini hanya dikhususkan kepada para
perempuan pekerja seks komersial yang menjalani pekerjaan ini karena murni
akibat tekanan ekonomi. Kesan pertama akan perempuan pekerja seks ini
adalah para perempuan jalang yang amoral. Tidak tahu malu, penggoda
lelaki. Tidak layak bagi para perempuan pekeja seks untuk dihargai. Kenapa
masyarakat bisa memiliki kesan seperti itu, karena sejak kecil ditanamkan
oleh orang-orang tua bahwa perempuan pekerja seks menyebutnya pelacur,
adalah perempuan yang tidak benar kelakuannya. Apalagi digambarkan para
pekerja seks Komersial (PSK) tersebut kehidupannya glamour tetapi norak.
Juga ditunjukkan jenis parfum yang di botolnya bergambar putri duyung,
yang namanya minyak si nyong nyong, yang pakai minyak wangi itu adalah
para pelacur. Akhirnya tertanamlah di benak masyarakat selama bertahuntahun bahwa PSK itu memang perempuan jalang.
Kemudian jika melihat sendiri kehidupan nyata bahwa banyak dari
para pekerja seks itu terpaksa menjalani pekerjaannya sebagai PSK karena
tekanan ekonomi. Ada yang memang datang dari keluarga yang miskin, ada
3
yang ditelantarkan suaminya sementara anak-anaknya harus tetap makan, ada
yang untuk membiayai pengobatan orang tuanya, ada juga yang terpaksa
disetujui suaminya karena benar-benar hidup amat miskin. Senada seperti
pengakuan beberapa PSK, bahwa sebenarnya jika mereka boleh memilih,
mereka tidak ingin jadi PSK, tetapi apa daya, mereka tidak punya kepandaian
atau keterampilan. Seharusnya kita tidak boleh merendahkan para PSK
karena mereka juga bekerja, menjual jasa dan mereka dibayar untuk jasa
mereka. Kita bisa merasa iba jika mendengar kabar para PSK ditangkapi
petugas ketertiban. Atau disiksa pelanggannya, atau dijahati germonya.
Sebetulnya para PSK akan selalu ada karena pemakai jasa mereka juga selalu
ada. Meskipun banyak yang tidak menyetujui pilihan pekerjaan mereka, tetapi
kita mulai bisa menghormati bahkan kagum pada para perempuan pekerja
seks komersial, karena setidaknya mereka itu tetap merupakan pahlawan bagi
keluarganya. Dengan demikian saya asumsikan bahwa mereka yang bekerja
sebagai PSK seharusnya tidak mendapatkan asumsi-asumsi buruk mengenai
diri mereka, padahal mereka rela mengorbankan kesucianya demi memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya.
Tidak adanya dukungan sosial menyebabkan para PSK membentuk
kelompok sendiri, yang selanjutnya makin menjauhkan diri mereka dari
masyarakat umum seperti masuk ke dalam suatu lokalisasi (wadah tempat
prostitusi berlanjut). Penolakan atau sikap negatif masyarakat serta label-label
yang dilekatkan masyarakat pada PSK dapat menimbulkan efek SelfFulfilling Phrophecy, Akibatnya komunitas PSK yang mengalami penurunan
4
identitas ini, makin menarik diri dan mengalami berbagai hambatan dalam
penyesuaian sosial dan pengembangan diri. Jadi dapat dikatakan bahwa sikap
masyarakat ini justru dapat menimbulkan masalah psikologis yang baru bagi
kaum wanita tuna susila. Dari sinilah kita mendapatkan suatu gambaran baru
bagaimana PSK hidup dibawah tekanan (pressure) dari lingkungan sekitarnya
baik dari lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Serta harus
menerima berbagai macam stereotype negatif yang dialamatkan pada pelacur
selama ini dan belum tentu kesemua yang ditujukan tersebut benar adanya.
PSK yang secara sadar maupun tidak sadar, langsung maupun tidak
langsung ingin juga diakui sebagai layaknya manusia pada umumnya,
sehingga dapat dikatakan mempunyai kebutuhan dasar serta keinginan
mereka dengan manusia lain pada umumnya. Sebagaimana manusia pasti
memiliki suatu keinginan untuk hidup bahagia. Meraih kebahagian
merupakan tujuan hidup manusia yang tidak dapat dipungkiri lagi, sehingga
segala apa yang dilakukan manusia pada akhirnya hanyalah untuk
membuatnya hidup bahagia. Manusia dalam mencari tujuan hidup,
mempunyai suatu kebutuhan yang bersifat unik, spesifik, dan personal, yaitu
suatu kebutuhan akan makna hidup. Makna hidup berfungsi sebagai pedoman
terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, sehingga dengan demikian makna
hidup seakan-akan menantang (Challengging) dan mengundang (Inviting)
seseorang untuk memenuhinya, serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan
menjadi terarah. Makna hidup bersifat spesifik dan unik, makna hidup tidak
dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus dicari dan ditemukan sendiri.
5
Permasalahan PSK tidak ubahnya sama dengan manusia pada
umumnya, secara garis besar PSK tentunya juga mempunyai suatu Makna
Hidup. Sama halnya dengan manusia atau individu lainnya. Proses penemuan
makna hidup bukanlah merupakan suatu perjalanan yang mudah bagi seorang
PSK, perjalanan untuk dapat menemukan apa yang dapat mereka berikan
dalam hidup mereka, apa saja yang dapat diambil dari perjalanan mereka
selama ini, serta sikap yang bagaimana yang diberikan terhadap ketentuan
atau nasib yang bisa mereka rubah, yang kesemuannya itu tak lepas dari halhal apa saja yang diinginkan selama menjalani kehidupan, serta kendala apa
saja yang dihadapi oleh mereka dalam mencapai Makna Hidup.
Penelitian ini lebih berangkat dari fenomena yang unik dimana
mereka selama ini sadar akan pandangan negatif yang diperolehnya dari
lingkungan sekitar, tetapi mereka tetap dapat mempertahankan apa yang
mereka percayai, dan mereka yakini serta hayati dan menjalankan
kesemuanya itu dengan penuh keyakinan tanpa terpengaruh pendapat dari
orang-orang yang memandang negatif terhadap dirinya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi yang telah dipaparkan pada latar belakang
diatas, maka untuk memudahkan proses penelitian guna menghindari
pembahasan yang terlalu meluas diperlukan adanya perumusan masalah.
Berangkat dari pernyataan tersebut diatas, maka rumusan masalah penelitian
6
yang berjudul “ Interaksi Sosial Pekerja Seks Komersial di Kota Makassar
(Studi Kasus di Jalan Nusantara) ”, yaitu :

Bagaimanakah pola dan bentuk interaksi sosial di kalangan Pekerja Seks
Komersial di Kota Makassar ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan diatas, maka dikemukakan tujuan penelitian
untuk mengetahui interaksi sosial pekerja seks komersial di Kota Makassar.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian :
a. Untuk mengetahui bagaimana pola dan bentuk interaksi sosial pekerja
seks komersial dalam lingkungan keluarga, sosial dan profesi.
b. Untuk mengetahui bagaimana kendala dan tantangan dalam proses
interaksi sosial pekerja seks komersial.
c. Secara praktis dapat memberikan masukan bagi pemerintah tentang
pembinaan PSK dan pengelolaan tempat bagi PSK dapat diatur dan
dikelola dengan baik.
d. Secara teoritis dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan model
teori interaksi sosial yang mempunyai korelasi yang tentang hubungan
interaksi.
7
D. Kerangka Konseptual
Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual jasanya
untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Di Indonesia pelacur (pekerja
seks komersial) sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau
sundel. Ini menunjukkan bahwa prilaku perempuan sundal itu sangat begitu
buruk hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila
tertangkap aparat penegak ketertiban, Mereka juga digusur karena dianggap
melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena
melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal sudah dikenal di
masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan
tercecer seputar mereka dari masa kemasa. Sundal selain meresahkan juga
mematikan, karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS
akibat perilaku sex bebas tanpa pengaman bernama kondom.
Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan
kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk
menyewakan tubuhnya. Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacuran
dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya
sering dianggap sebagai sampah masyarakat. Ada pula pihak yang menganggap
pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, namun toh dibutuhkan (evil
necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran
pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya
(biasanya kaum laki-laki) tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para
pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan baik-
8
baik. Salah seorang yang mengemukakan pandangan seperti itu adalah
Augustinus dari Hippo (354-430), seorang bapak gereja. Ia mengatakan bahwa
pelacuran itu ibarat "selokan yang menyalurkan air yang busuk dari kota demi
menjaga kesehatan warga kotanya." Istilah pelacur sering diperhalus dengan
pekerja seks komersial, wanita tuna susila, istilah lain yang juga mengacu
kepada layanan seks komersial. Khusus laki-laki, digunakan istilah gigolo.
1. Gejala Moralisme
Di panggung masyarakat dan di dalam kehidupan pribadi, seks
seringnya bertubrukan dengan moralisme. Kedua hal ini mempunyai
hubungan seperti pasangan yang aneh. Karena mempunyai akar-akar yang
lebih dalam dari pada sekedar kebutuhan yang dirasakan untuk menjaga
agar seks tetap terkendali.
Moralisme adalah moralitas tanpa jiwa. Ia merupakan moralitas
sebagai sebuah gejala, suatau masalah neurotik yang terus menghantui kita
dan menutupi penilaian kita. Ia tidak benar-benar merupakan moralitas
namun ia merupakan suatu usaha yang gagal untuk menjadi moral secara
mendalam. Menetapakan suatu cara hidup bermoral yang nyaman
merupakan bagian dari tugas untuk membuat jiwa. Ini merupakan suatu
proses yang positif dan mendalam yang diperlukan untuk suatu kehidupan
yang selaras dengan alam, diri, kekasih, teman, dan komunitas. Tetapi kita
tidak dilahirkan dengan suatu renacana moral yang sudah jadi, dan ini
bukan sesuatau yang bisa diajarkan dengan mudah juga. Moralitas bersifat
9
hidup dan selalu berubah-ubah. Perkembangannya seiring dengan
pendewasaan kehidupan kita dalam setiap area.
2.
Pelacuran Menurut Agama
a. Pelacuran dalam pandangan agama yahudi dan kristen
Agama Yahudi dan Kristen menyamakan penyembahan terhadap
dewa-dewa lain selain kepada Allah sebagai pelacuran. Gambaran ini
dapat ditemukan di dalam kitab Nabi Yehezkiel ps. 23 dan kitab Nabi
Hosea (1:2-11). Namun demikian ada pula kisah tentang Rahab, seorang
pelacur bangsa Yerikho yang menyelamatkan dua orang mata-mata yang
dikirim Yosua untuk mengintai kekuatan Yerikho (Yosua 2:1-14). Dalam
kisah ini, Rahab dianggap sebagai pahlawan, dan karena itu ia
diselamatkan sementara seluruh kota Yerikho hancur ketika diserang oleh
tentara Israel yang dipimpin oleh Yosua. Kitab Yosua mengisahkan
demikian: "Demikianlah Rahab, perempuan sundal itu dan keluarganya
serta semua orang yang bersama-sama dengan dia dibiarkan hidup oleh
Yosua. Maka diamlah perempuan itu di tengah-tengah orang Israel sampai
sekarang, karena ia telah menyembunyikan orang suruhan yang disuruh
Yosua mengintai Yerikho." (Yosua 6:25).
b. Pelacuran dalam pandangan islam
Pelacuran dalam pandangan Islam adalah haram hukumnya.
c. Pelacuran dalam pandangan hindu
Dalam pandangan umat Hindu pelacuran sangat dilarang, karena
dalam Hindu, tubuh wanita itu ibarat susu kehidupan bagi generasi
10
berikutnya, mereka yang memperjual belikan susu kehidupan dalam
pandangan hindu hukumnya adalah kutukan seumur hidup. Dalam weda
sendiri yang merupakan kitab suci umat hindu pelacuran disebutkan
sebagai sesuatu yang selain dipantangkan juga akan mendapatkan
kutukan sebanyak 7 turunan.
d. Pelacuran dalam pandangan budha
Dalam kitab suci agama Buddha, pelacuran sangat jelas dilarang
karena tidak sesuai dengan keinginan sang Budha.
3. Interaksi Sosial
Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial
yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan
antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang
satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu.
Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol diartikan sebagai
sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang
menggunakannya
Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer adalah pada saat
manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki
sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu
berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir
adalah Makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan
terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan
11
orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan
interpretative process
Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau
kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial
merupakan tahap pertama dari terjadinya hubungan sosial Komunikasi
merupakan penyampaian suatu informasi dan pemberian tafsiran dan
reaksi
terhadap
informasi
yang
disampaikan.
Karp
dan
Yoels
menunjukkan beberapa hal yang dapat menjadi sumber informasi bagi
dimulainya komunikasi atau interaksi sosial. Sumber Informasi tersebut
dapat terbagi dua, yaitu Ciri Fisik dan Penampilan. Ciri Fisik, adalah
segala sesuatu yang dimiliki seorang individu sejak lahir yang meliputi
jenis kelamin, usia, dan ras. Penampilan di sini dapat meliputi daya tarik
fisik, bentuk tubuh, penampilan berbusana, dan wacana.
Interaksi sosial memiliki aturan, dan aturan itu dapat dilihat melalui
dimensi ruang dan dimensi waktu dari Robert T Hall dan Definisi Situasi
dari W.I. Thomas. Hall membagi ruangan dalam interaksi sosial menjadi 4
batasan jarak, yaitu jarak intim, jarak pribadi, jarak sosial, dan jarak
publik. Selain aturan mengenai ruang Hall juga menjelaskan aturan
mengenai Waktu. Pada dimensi waktu ini terlihat adanya batasan toleransi
waktu yang dapat mempengaruhi bentuk interaksi. Aturan yang terakhir
adalah dimensi situasi yang dikemukakan oleh W.I. Thomas. Definisi
12
situasi merupakan penafsiran seseorang sebelum memberikan reaksi.
Definisi situasi ini dibuat oleh individu dan masyarakat.
4. Ide - Ide para ahli yang berhubungan dengan Interaksi Sosial
Menurut Gillin & Gillin (soerjono soekanto, 2010) ada dua bentuk
interaksi sosial :
1. Proses Asositif (Association process)
2. Proses Disosiatif (Opposition process)
1). Proses asosiatif adalah bentuk interaksi yang bersifat menyatukan
anggota masyarakat.
2). Proses disaosiatif adalah cara yang bertentangan dengan individu
atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan
dan cenderung
menciptakan perpecahan.
Menurut MAX WEBER, tindakan sosial adalah tindakan seorang
individu yang dapat mempengaruhi individu-individu lainnya dalam
masyarakat.
Tindakan sosial dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu :
a. Tindakan rasional instrumental : tindakan yang dilakukan dengan
memperhitungkan kesesuaian antara cara dan tujuan. Contoh : bekerja
keras untuk mendapatkan nafkah yang cukup.
13
b. Tindakan rasional berorientasi nilai : tindakan-tindakan yang
berkaitan dengan nilai-nilai dasar dalam masyarakat. Contoh :
tindakan-tindakan yang bersifat religio – magis.
c. Tindakan tradisional : tindakan yang tidak memperhitungkan
pertimbangan rasional. Contoh : berbagai macam upacara/tradisi yang
dimaksudkan untuk melestarikan kebudayaan leluhur.
d. Tindakan
ofektif
:
tindakan-tindakan
yang
dilakukan
oleh
seseorang/kelompok orang berdasarkan perasaan atau emosi.
G.H.Mead memandang tindakan sebagai “unit primitif” dalam
teorinya (1982:27). Dalam menganalisa tindakan, pendekatan Mead
hampir sama dengan pendekatan Behavioris dan memusatkan perhatian
pada rangsangan (stimulus) dan tanggapan (response). Tetapi, stimulus
disini tidak menghasilkan respon manusia secara otomatis dan tanpa
dipikirkan. Seperti dikatakan Mead, “kita membayangkan stimulus sebagai
sebuah kesempatan atau peluang untuk bertindak, bukan sebagai paksaan
atau perintah” (1982:28).
Mead (1938/1972) mengindentifikasi empat basis dan tahap
tindakan yang saling berhubungan (Schmitt dan Schmitt, 1996). Keempat
tahap itu mencerminkan satu kesatuan organik (dengan kata lain
keempatnya saling berhubungan secara dialektis). Mead selain tertarik
pada kesamaan tindakan binatang dan manusia, juga terutama tertarik pada
perbedaan tindakan antara kedua jenis mahluk itu.
14
Ada empat tahap tindakan yang dikemukakan oleh Mead :
-
Impuls Tahap pertama adalah dorongan hati/impuls (impulse) yang
meliputi “stimulasi/rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat
indera” dan reaksi aktor terhadap rangsangan itu. Rasa lapar adalah
contoh yang tepat dari impluls. Aktor (binatang maupun manusia)
secara spontan dan tanpa pikir memberikan reaksi atas impuls, tetapi
aktor manusia lebih besar kemungkinannya akan memikirkan reaksi
yang tepat (misalnya, makan sekarang atau nanti) dalam berpikir
tentang reaksi, manusia tak hanya mempertimbangkan situasi kini,
tetapi juga pengalaman masa lalu dan mengantisipasi akibat dari
tindakan di masa depan.
-
Persepsi Tahap kedua adalah persepsi adalah (perception). Aktor
menyelidiki dan bereaksi terhadap rangsangan yang berhubungan
dengan impuls, dalam hal ini rasa lapar dan juga berbagai alat yang
tersedia untuk memuaskannya. Manusia mempunyai kapasitas untuk
merasakan dan memahami stimuli melalui pendengaran, senyuman,
rasa, dan sebagainya. Persepsi melibatkan rangsangan yang masuk
maupun citra mental yang ditimbulkannya. Aktor tidak secara spontan
menanggapi stimuli dari luar, tetapi memikirkannya sebentar dan
melalui bayangan mental.
-
Manipulasi Tahap ketiga adalah manipulasi (manipulation). Segera
setelah impuls menyatakan dirinya sendiri dan objek telah dipahami,
langkah selanjutnya adalah memanipulasi objek atau mengambil
15
tindakan berkenaan dengan objek itu. Disamping keuntungan mental,
manusia mempunyai keuntungan lain ketimbang binatang. Manusia
mempunyai tangan (dengan ibu jari yang dapat dipertautkan) yang
memunkinkan mereka memanipulasi objek jauh lebih cerdik
ketimbang yang dapat dilakukan binatang. Tahap manipulasi
merupakan tahap jeda yang penting dalam proses tindakan agar
tanggapan tak diwujudkan secara spontan.
-
Konsumasi,
berdasarkan
pertimbangan
ini,
aktor
mungkin
memutuskan untuk memakan cendawan (atau tidak) dan ini
merupakan
tahap
keempat
tindakan,
yakni
tahap
pelaksanaan/konsumasi (consummation), atau mengambil tindakan
yang memuaskan dorongan hati yang sebenarnya. Baik manusia
maupun binatang mungkin memakan cendawan, tetapi manusia lebih
kecil
kemungkinan
memakan
cendawan
beracun
karena
kemampuannya untuk memanipulasi cendawan dan memikirkan (dan
membaca) mengenai implikasi dari memakannya.
Aksi dan Interaksi, dalam hal ini teoritisi interaksionisme simbolik
memusatkan perhatian terutama pada dampak dari makna dan simbol
terhadap tindakan dan interaksi manusia. Di sini akan bermanfaat
menggunakan pemikiran Mead yang membedakan antara perilaku lahiriah
dan perilkau tersembunyi. Perilaku tersembunyi adalah proses berpikir
yang melibatkan simbol dan arti. Perilaku lahiriah adalah perilaku
sebenarnya yang dilakukan oleh seorang aktor. Beberapa perilaku lahiriah
16
tidak melibatkan perilaku tersembunyi (perilaku karena kebiasaan atau
tanggapan tanpa pikir terhadap rangsangan eksternal). Tetapi, sebagian
besar tindakan manusia melibatkan kedua jenis perilaku itu. Perilaku
tersembunyi menjadi sasaran perhatian utama teoritisi interaksionisme
simbolik sedangkan perilaku lahiriah menjadi sasaran perhatian utama
teoritisi teori pertukaran atau penganut behaviorisme tradisional pada
umumnya.
Simbol dan arti memberikan ciri-ciri khusus pada tindakan sosial
manusia (yang melibatkan aktor tunggal) dan pada interaksi sosial manusia
(yang melibatkan dua orang aktor atau lebih yang terlibat dalam tindakan
sosial timbal balik). Tindakan sosial adalah tindakan dimana individu
bertindak dengan orang lain dalam pikiran. Dengan kata lain, dalam
melakukan tindakan, seorang aktor mencoba menaksir pengaruhnya
terhadap aktor lain yang terlibat. Meski mereka sering terlibat dalam
perilaku tanpa pikir, perilaku berdasarkan kebiasaan, namun manusia
mempunyai kapasitas untuk terlibat dalam tindakan sosial.
Dalam
proses
interaksi
sosial,
manusia
secara
simbolik
mengkomunikasikan arti terhadap orang lain yang terlibat. Orang lain
menafsirkan simbol komunikasi itu dan mengorientasikan tindakan
balasan mereka berdasarkan penafsiran mereka. Dengan kata lain, para
aktor terlibat dalam proses saling mempengaruhi.
17
E. Skema Kerangka Konseptual
Perilaku :
- Pengetahuan
- Sikap
- Tindakan
Faktor Dasar :
- Tekanan ekonomi
- Tidak ada keterampilan
- Masalah keluarga
Pekerja Seks
Komersial
Stigma
Pahlawan bagi
keluarga
Makna hidup
Gambar 1. Skema Kerangka Konseptual
18
F. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada pekerja seks komersial yang
beroperasi di jalan nusantara. Pekerja seks ini ada yang menempati atau
bekerja di Bar, Cafe, Karaoke, dan ada juga yang bekerja diluar atau
pinggir jalan dengan cara menawarkan jasa melalui mucikari dengan cara
menemani di kios/warung kecil yang sudah disediakan. Sesuai dengan
judul penelitian yang diangkat, yakni “ Interaksi Sosial PSK di Kota
Makassar (Studi Kasus di Jalan Nusantara) ”. Maka penelitian yang akan
dilakukan mengambil lokasi di Kota Makassar Jl.Nusantara.
2. Tipe dan Dasar Penelitian
-
Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu suatu
penelitian yang memberikan gambaran secara sistematis mengenai
kondisi sesungguhnya dari obyek yang diteliti yakni Interaksi Sosial
Pekerja Seks Komersial di Jl.Nusantara Kota Makassar.
-
Dasar penelitian yang digunakan adalah studi kasus, Studi kasus
adalah suatu model yang menekankan pada eksplorasi dari suatu
“sistem yang terbatas” (bounded system) pada satu kasus atau beberapa
kasus secara mendetail, disertai dengan penggalian data secara
mendalam yang melibatkan berbagai sumber informasi yang kaya akan
konteks (Creswell, 1998). Yin (dalam Bungin, 2005) menyatakan
bahwa studi kasus adalah suatu inquiry empiris yang mendalami
19
fenomena dalam konteks kehidupan nyata, ketika batas antara
fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas.
3. Teknik Penentuan Informan
Dalam penentuan informan ini peneliti menggunakan teknik
accidental sampling. Informan penelitian ini adalah individu yang ikut
serta dalam penelitian dan darimana data dikumpulkan.
Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah para pekerja
seks komersial yang ada di Jl. Nusantara Kota Makassar. Dari beberapa
informan yang peneliti dapat di lapangan tidak memiliki karakteristik yang
signifikan, karena peneliti secara kebetulan bertemu dengan para informan
tanpa ada perjanjian atau kesepakatan terlebih dahulu. Cara ini dilakukan
karena peneliti mengalami keterbatasan waktu, tenaga dan dana, sehingga
tidak dapat mengambil sapel besar dan jauh.
4. Teknik Pengumpulan Data
Peneliti melakukan wawancara dengan PSK yang sedang bekerja,
yang kemudian dilakukan peneliti adalah memanfaatkan waktu yang sudah
ada sebagai standar waktu bagi para PSK saat melakukan hubungan intim.
Hal ini dilakukan karena mempertimbangkan kenyamanan dari informan
yang akan di wawancara dan mengingat peneliti hanya dapat
menggunakan waktu informan saat sedang bekerja.
Selama pertemuan 1 jam itu, peneliti mengajukan pertanyaan yang
berkaitan dengan tujuan peneliti untuk mendapatkan data dan kemudian di
jawab oleh informan dengan respon yang terjalin baik.
20
Sehingga penelitian ini menggunakan alat pengumpul data berupa
wawancara mendalam (depth interview) dan observasi dengan atau
terhadap subjek penelitian yang terpilih. Keduanya dapat dirinci sebagai
berikut :
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan
untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara dilakukan untuk
memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang
dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud
melakukan eksplorasi terhadap isu-isu lain yang berkaitan dengan
topik tersebut (Poerwandari, 1998 : 73).
Beberapa model wawancara menurut Patton (dalam Poerwandari,
1998 : 73), antara lain :
a. Wawancara konvensional yang informal :
Proses
wawancara
didasarkan
sepenuhnya
pada
berkembangnya pertanyaan-pertanyaan secara spontan dalam
interaksi alamiah. Tipe wawancara demikian umumnya dilakukan
peneliti yang melakukan observasi partisipatif. Situasi demikian
membuat orang-orang yang diajak bicara kemungkinan tidak
menyadari bahwa ia sedang diwawancarai secara sistematis untuk
menggali data.
21
2. Observasi
Peneliti melakukan observasi terhadap informan yang peneliti
merasa cocok atau tepat untuk mendapatkan informasi dan data
tentang informan sebagai PSK secara langsung. Peneliti akan mencari
tau apa yang menjadi kebiasaan informan seperti sifat dan tingkah laku
agar peneliti dapat dengan mudah mengenal informan sebelum
wawancara dilakukan.
Peneliti juga akan melihat kondisi di lokasi penelitian sebagai
pertimbangan untuk mendapatkan data. Sebab peneliti hanya akan
mengatur jadwal wawancara jika observasi yang dilakukan berjalan
dengan lancar. Sehingga peneliti akan mencari tau informasi PSK
mulai dari orang di sekitar jalan nusantara dan di dalam diskotik / Pub
seperti karyawan / pelayan, serta teman sesama PSK bila diperlukan.
Observasi adalah metode pengumpulan data yang paling umum
dilakukan oleh peneliti, utamanya yang meneliti tentang perilaku
manusia. Observasi merupakan metode untuk menangkap fenomena
subjek dari kacamata peneliti. Penggambaran setting yang dipelajari,
aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang telibat dalam aktivitas,
dengan cara melihat kejadian dari perspektif peneliti (Poerwandari,
2001 : 64).
Observasi mempunyai peran penting dalam mengungkap realitas
subjek. Intensitas hubungan subjek dengan bagaimana subjek
berperilaku ketika bersosialisasi dengan orang lain ataupun dengan
22
peneliti ketika wawancara maupun diluar wawancara merupakan
pembanding
yang
baik
dengan
hasil
wawancara
dalam
mengidentifikasi dinamika yang terjadi dalam diri subjek. Berbagai
pertimbangan tersebut menjadikan pilihan observasi yang dilakukan
adalah jenis observasi yang terbuka, dimana diperlukan komunikasi
yang baik dengan lingkungna sosial yang diteliti, sehingga mereka
dengan sukarela dapat menerima kehadiran peneliti atau pengamat.
Selain itu, observasi yang dilakukan juga meupakan observasi yang
tidak terstruktur, dimana peneliti tidak mengetahui dengan pasti aspekaspek apa yang ingin diamati dari subjek penelitian. Konsekuensinya,
peneliti
harus
mengamati
seluruh
hal
yang
terkait
dengan
permasalahan penelitian ini meliputi perilaku subjek secara umum
sebelum dilakukannya wawancara, perilaku subjek ketika sedang
melakukan wawancara dan observasi ketika subjek telah melakukan
wawancara. Observasi juga tidak tertuju pada tempat ataupun lokasi
wawancara, peneliti berusaha untuk melakukan wawancara di tempat
tinggal subjek agar peneliti dapat memperoleh bayangan ataupun
abstraksi maupun gambaran kehidupan yang dijalani oleh subjek.
5. Teknik Analisa Data
Creswell (1994) mengemukakan beberapa poin penting yang perlu
diperhatikan dalam melakukan analisa data kualitatif, antara lain :
1. Analisa kualitatif dapat dilakukan secara simultan dengan proses
pengumpulan data, interpretasi data, dan penulisan naratif lainnya.
23
Dalam analisa data kualitatif, proses analisa data tidak merupakan
segmen terpisah dan tersendiri dengan proses lainnya, tetapi berjalan
beriringan dan simultan dengan proses lainnya bahkan pada awal
penelitian. Dalam analisis data kualitatif, beberapa hal dapat dilakukan
secara simultan, antara lain melakukan pengumpulan data dari
lapangan, membaginya ke dalam kategori-kategori dengan tema-tema
yang spesifik, memformat data tersebut menjadi suatu gambaran yang
umum, dan mengubah gambaran tersebut menjadi teks kualitatif.
2. Pastikan bahwa proses analisis data kualitatif yang telah dilakukan
berdasarkan pada proses reduksi data (data reduction) dan interpretasi
(interpretation).
Data yang telah diperoleh direduksi ke dalam pola-pola tertentu,
kemudian
melakukan
kategorisasi
tema
(memilah-milah
dan
menyatukan tema yang memiliki kesamaan), kemudian melakukan
interpretasi kategori tersebut berdasarkan skema-skema yang didapat.
Tesch (1990) menyebut proses ini dengan istilah de-contextualization
dan re-contextualization. Hasil akhir dari interpretasi tersebut adalah
suatu gambaran umum yang luas yang terdiri atas skema-skema
spesifik di dalamnya.
24
Download