21 PENGUNGKAPAN DIRI DALAM PROSES COMING TOGETHER

advertisement
PENGUNGKAPAN DIRI DALAM PROSES COMING TOGETHER
PADA MANTAN PSK YANG MENIKAH
Rani Agias Fitri
Agustina
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana - Jakarta
Abstrak - Pengungkapan diri adalah kesediaan untuk membagikan informasi mengenai kondisi
pribadi, disposisi atau tipe karakter pribadi yang dimiliki seseorang, peristiwa di masa lalu, dan
rencana di masa yang akan datang (Derlega & Berg, 1987). Salah satu upaya yang diperlukan
agar hubungan yang dibina dapat mengarah pada keintiman atau coming together, adalah
pengungkapan diri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tahap dalam proses
perkembangan hubungan coming together, dimana seorang mantan PSK yang menikah dapat
mengungkapkan diri tentang masa lalunya kepada pasangan . Informasi penelitian diperoleh
melalui wawancara secara mendalam terhadap tiga orang subjek. Berdasarkan analisa data
diperoleh kesimpulan ketiga subjek telah melakukan pengungkapan diri setelah melewati
tahapan integrating dalam coming together.
Kata kunci : pengungkapan diri, coming together, mantan PSK
Pelacuran merupakan masalah sosial yang cukup tua dan sulit untuk
ditanggulangi. Menurut Kepala Dinas Sosial Jakarta, jumlah PSK di Jakarta saat ini
mencapai 9000 orang. Jumlah PSK tersebut berasal dari daerah penyangga seperti
Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. (Metro Post, 2010).
Pelacuran (Hull, Sulistyaningsih, & Jones, 1997), adalah suatu bentuk hubungan
kelamin di luar perkawinan dengan pola tertentu, yaitu dengan siapa saja, secara
terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran, baik persebadanan maupun untuk
kegiatan seks lain yang memberikan kepuasan yang diinginkan oleh pelanggannya.
Individu yang bekerja dan sekaligus sebagai objek dalam bidang pelacuran disebut
dengan pekerja seks komersial (PSK). PSK adalah seseorang yang menggunakan
badannya sebagai komoditas dan menjual seks dalam satuan harga untuk memperoleh
uang. (Feldman dan Culloch dikutip oleh Oktavianti, 2007).
PSK dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu profesional, semiprofesional, dan
okasional. Kelompok profesional adalah mereka yang menjadikan PSK sebagai profesi
utama dan satu-satunya. Kelompok semiprofesional adalah mereka yang memiliki
profesi lain disamping PSK. Sedangkan kelompok okasional adalah mereka yang pada
dasarnya tidak bermaksud menjadi PSK, tetapi terkadang melakukannya karena
dorongan psikis atau mengharapkan pendapatan ekstra. (Harry Susanto, 2001)
Alasan yang mendasari seseorang untuk menjadi PSK dapat dilihat dari dua
faktor utama, yaitu ekonomi dan psikologis . Faktor ekonomi menjadi alasan klasik
seseorang menjadi PSK (Yos, 2007). Umumnya mereka berasal dari keluarga miskin
atau kurang mampu. Koentjoro (2004) menambahkan, selama ini faktor dominan yang
menentukan seseorang menjadi pelacur adalah kemiskinan. Sedangkan faktor
psikologis yang mendasari adalah frustasi (Yos, 2007).
21
Seorang yang memilih profesi sebagai seorang PSK, akan dihadapkan pada
berbagai risiko, yang salah satunya adalah pandangan masyarakat tentang pekerjaan
tersebut. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa PSK merupakan bagian dari
penyakit sosial, yaitu kemiskinan, tetapi ada pula yang menganggap PSK merupakan
masalah moralitas. Selain itu, pekerjaan ini sendiri sarat dengan masalah yang
membahayakan pekerjannya, seperti kekerasan, penindasan, pelecehan, bahkan
penyakit menular yang berbahaya. (Yos, 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yos (2007), para PSK sendiri sebenarnya
menyadari bahwa keberadaannya sebagai PSK tidak dikehendaki, baik oleh keluarga
maupun masyarakat. Mereka cenderung enggan mengakui pekerjaan yang sebenarnya
dan berbohong tentang pekejaannya, dengan mengatakan bahwa pekerjaannya adalah
menjadi penata rias, tukang pijat, karyawan di kafe, karyawan di restoran atau rumah
makan. Hal ini mungkin disebabkan oleh rasa malu dan berdosa yang dirasakannya.
Ketidaknyamanan tersebut dapat membuat seorang PSK berpikir untuk
meninggalkan pekerjaannya. Hasil penelitian yang dilakukan pada sejumlah PSK
menunjukkan, umumnya mereka ingin kembali ke jalan yang “benar” dan menjadi
wanita “baik”. PSK yang usianya relatif muda memiliki harapan akan mendapatkan
pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan tingkat pendidikannya. Selain itu,
mereka juga ingin membentuk keluarga yang sejahtera (Yos, 2007).
Namun, kesadaran akan penilaian masyarakat terhadap dirinya menimbulkan
kekhawatiran tersendiri bagi para PSK yang berniat berhenti dari pekerjaannya.
Penilaian negatif masyarakat cenderung akan sulit diubah, meskipun mereka telah
berhenti dari pekerjaannya tersebut. Apabila masyarakat di sekitarnya mengetahui
masa lalu pekerjaannya sebagai PSK, maka besar kemungkinannya mereka akan
mendapat penolakan. Hal ini dapat berimbas pada sulitnya memperoleh pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuan dan tingkat pendidikannya.
Kondisi tersebut sering kali memaksa mantan PSK untuk menyembunyikan
pekerjaan yang pernah dijalankannya. Kekhawatiran akan mendapat penolakan
semakin nyata dirasakan oleh mantan PSK yang memiliki harapan dapat membentuk
keluarga yang sejahtera. Mereka cenderung tidak mengharapkan adanya penolakan
dari lawan jenis. Kekhawatiran ini mendorong mereka untuk terus menyembunyikan
pekerjaan yang pernah dijalankannya kepada khalayak umum.
Tetapi tidak selamanya seorang mantan PSK dapat terus menyimpan masa
lalunya, terlebih kepada orang terdekatnya. Ketika mereka telah menjalin relasi yang
intim dengan lawan jenis, dimana hubungan tersebut bersifat serius dan mengarah
pada pernikahan, maka sangat diperlukan adanya keterbukaan. Keterbukaan sendiri
dapat tercermin melalui pengungkapan diri yang menurut Reis & Patrick (dikutip oleh
Reis & Rusbult, 2004), merupakan salah satu elemen dasar dari intimasi.
Pengungkapan diri mengacu pada komunikasi verbal tentang informasi
personal yang relevan, pikiran, dan perasaan kepada orang lain. Terdapat dua jenis
pengungkapan diri, yaitu pengungkapan diri secara faktual dan secara emosional.
Pengungkapan diri secara faktual berkaitan dengan pemaparan fakta dan informasi,
sedangkan
pengungkapan diri secara emosional
berkaitan dengan pemaparan
perasaan yang bersifat pribadi, opini, dan pendapat (Reis & Rusbult, 20004)
Pada dasarnya individu sulit atau enggan mengungkapkan diri karena
memikirkan risiko yang akan dihadapinya di kemudian hari. Risiko yang dihadapi
22
seperti bocornya informasi pribadi yang telah diberikan seseorang kepada pihak ketiga,
padahal informasi tersebut dianggap sangat pribadi oleh pemberi informasi . Selain itu,
kesulitan atau keengganan dalam mengungkapkan diri pun dipengaruhi oleh kurang
dimilikinya rasa aman dan percaya pada dirinya sendiri (Papu, 2002). Hal inilah yang
tampaknya juga dirasakan oleh mantan PSK ketika hendak melakukan pengungkapan
diri berkaitan dengan pekerjaan yang pernah dijalankannya. Knapp & Vangelisti (dikutip
oleh Derlega,1993) menjelaskan, pengungkapan diri tidak muncul dengan sendirinya,
tetapi memerlukan proses dan waktu , serta rasa percaya diri. Pengungkapan diri
biasanya akan muncul di saat hubungan antara dua individu sudah terjalin dengan lebih
akrab dan sudah terjalin saling percaya di antara keduanya.
Di sisi lain, pengungkapan diri sendiri memiliki beberapa manfaat bagi individu
yang melakukannya. Melalui pengungkapan diri, individu dapat meningkatkan
kesadaran diri, membangun hubungan yang lebih dekat dan mendalam,
mengembangkan ketrampilan komunikasi, mengurangi rasa malu dan meningkatkan
penerimaan diri, serta memberi energi tambahan dan menjadi lebih spontan. (Papu,
2002). Di antara manfaat-manfaat tersebut, mantan PSK yang dapat melakukan
pengungkapan diri kepada pasangannya, akan merasakan hubungan yang dijalinnya
dapat menjadi semakin dekat dan mendalam.
Dalam suatu hubungan, terdapat dua proses yang dapat terjadi, yaitu hubungan
menjadi semakin dekat/intim (coming together) atau menjadi semakin renggang
(coming apart). Saat hubungan menjadi dekat/intim, terdapat lima tahapan yang terjadi,
yaitu initiating, experimenting, intensifying, integrating, dan bonding. Suatu hubungan
dikatakan berhasil apabila dapat mencapai tahap bonding. (Knapp & Vangelisti dikutip
oleh Derlega, 1993).
Initiating, merupakan tahap dimana individu berbicara dengan orang yang baru
dikenalnya, dan hanya sebatas percakapan biasa dengan tingkah laku yang wajar.
Pada tahap experimenting , individu mulai saling menanyakan tentang aktivitas,
informasi demografis, dan topik-topik umum lainnya. Pengungkapan diri mungkin sedikit
terjadi pada tahapan ini, tetapi bukan untuk hal yang negatif atau pengungkapan diri
yang mendalam. Tahap intensifying ditandai dengan adanya peningkatan dalam
mengungkapkan diri, seperti dalam hal berkomitmen yang dinyatakan secara lisan,
seksualitas, dan sebagainya. Pada tahap integrating pengungkapan diri terus
meningkat, jaringan sosial membentuk pasangan yang mampu membuat rencana masa
depan bersama dan membangun identitas bersama. Tahap bonding terjadi ketika
hubungan telah ditandai secara publik dalam bentuk pernikahan. Pada tahap ini
pasangan telah benar-benar yakin mengenai hubungan mereka dan membawanya
kepada ikatan pernikahan. (Knapp & Vangelisti dikutip oleh Derlega, 1993).
Permasalahan
Bagaimanakah pengungkapan diri dalam proses coming together pada
mantan PSK yang menikah ?
23
Tujuan Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat mengetahui tahap dalam proses perkembangan
hubungan coming together, dimana seorang mantan PSK yang menikah dapat
mengungkapkan diri tentang masa lalunya kepada pasangan. Selain itu, diharapkan
penelitian ini juga dapat memaparkan dampak pengungkapan diri dalam relasinya
dengan pasangan.
Metode
Subjek Penelitian.
Subjek dalam penelitian ini berjumlah tiga orang, dengan kriteria mantan PSK yang
telah menikah selama tiga tahun. Saat mulai menjalin hubungan, pasangannya tersebut
tidak mengetahui riwayat pekerjaan subjek. Selain itu, dalam pernikahannya tersebut
subjek menjadi istri sah dan istri pertama dari suaminya.
Instrumen Penelitian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk memperoleh data. Teknik
pengambilan data dilakukan dengan menggunakan wawancara secara mendalam. Alat
bantu yang digunakan dalam pengambilan data adalah pedoman wawancara, tape
recorder, kaset kosong, kertas, baterei, informed consent, dan pensil/pen.
Prosedur Penelitian.
Setelah menetapkan kriteria subjek dan membuat pedoman wawancara, peneliti mulai
mencari subjek penelitian yang sesuai. Subyek dalam penelitian ini didapatkan melalui
Yayasan Bandungwangi (yayasan yang bergerak di bidang sosial, yang memfasilitasi
mantan PSK untuk bersosialisasi dan melakukan pembelajaran sosial, serta wirausaha)
dan dari kolega peneliti, sedangkan subjek kedua diperoleh melalalui subyek pertama.
Setelah mendapatkan subjek yang bersedia membantu, peneliti membina
rapport dengan subjek dan mengajukan informed concent. Kemudian peneliti membuat
janji dengan subjek untuk melakukan wawancara. Wawancara terhadap subjek pertama
dilakukan sebanyak tiga kali, yang dilakukan di kantor dan rumah subjek. Wawancara
terhadap subjek kedua dilakukan tiga kali di rumah subjek, sedangkan wawancara
terhadap subjek ketiga dilakukan empat kali di rumah subjek.
Hasil
Tabel 1
Latar Belakang Subjek
DN
Usia
Pendidikan
YU
26 Tahun
SMP
28 Tahun
SD
24
NA
36 Tahun
SMU
Pekerjaan
Agama
Lama Menjadi PSK
Usia Suami
Pekerjaan Suami
Jumlah Anak
Lama Menikah
Ibu Rumah Tangga
Islam
3 Tahun
25 Tahun
ABRI
4 Tahun
Karyawan
Islam
7 Tahun
31 Tahun
PNS
1
4 Tahun
Ibu Rumah Tangga
Islam
6 Tahun
47 Tahun
Karyawan
2
8 Tahun
Proses Bekerja Menjadi PSK
Ketiga subjek dalam penelitian ini memulai bekerja menjadi PSK dalam rentang
usia yang hampir sama. AN menjadi PSK saat usia 16 tahun, YU berusia 16 tahun, dan
AN berusia 18 tahun. Ketiga subyek dalam penelitian ini sama-sama merantau ke
Jakarta untuk mencari pekerjaan, tetapi mereka terjerumus menjadi PSK dengan
proses dan alasan yang berbeda-beda. Namun apabila digolongkan, faktor utama yang
mendorong mereka menjadi PSK adalah ekonomi. DN tetap menjadi PSK, karena ia
ingin membantu perekonomian keluarga. YU menjadi PSK karena merasa tidak
memiliki kepandaian untuk bekerja di kota besar seperti Jakarta. Tidak jauh berbeda,
AN menjalankan pekerjaan sebagai PSK karena menurutnya pekerjaan tersebut
membuatnya mudah mendapatkan uang. Hal ini sejalan dengan alasan seseorang
menjadi PSK seperti yang dilakukan oleh Yos (3007) dan Koentjoro (2004).
DN dan YU sama-sama menjalani pekerjaan sebagai PSK yang teroganisir,
sedangkan AN melakukan pekerjaan sebagai PSK yang tidak teroganisir. Menurut
Harry Susanto (Puspar UGM,2001), ketiga subyek ini menjalani pekerjaan sebagai PSK
dengan kategori yang berbeda-beda. YU menjalani pekerjaan sebagai PSK dengan
kategori PSK profesional, DN dengan kategori semiprofessional, dan AN dengan
kategori lokasional.
Proses Berhenti Menjadi PSK
Ketiga subjek menjani pekerjaan sebagai PSK dalam waktu yang berbeda-beda.
DN menjadi PSK selama 3 tahun, YU selama 7 tahun, dan AN selama 6 tahun. DN
berhenti menjadi PSK karena ingin menikah dan membentuk keluarga. Alasan YU
untuk berhenti lebih disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu desakan ibunya agar ia
berhenti dan atas motivasi dari para fasilitator yayasan Bandungwangi. Sedangkan DN
memutuskan berhenti menjadi PSK, karena terdorong oleh perasaan sukanya terhadap
seorang laki-laki dan ia berharap dapat menjalani hubungan yang serius dengannya.
Saat memutuskan berhenti, DN dan YU mengalami proses yang lebih sulit
daripada AN, karena mereka bekerja sebagai PSK secara terorganisir. Ketika hendak
berhenti, mereka harus mengemukakan alasan yang jelas kepada bos-nya agar
diperbolehkan. Berhubung tidak mempunyai alasan yang kuat, akhirnya mereka
berbohong dengan mengatakan bahwa dirinya diminta pulang ke kampung oleh orang
tuanya. AN tidak mengalami proses yang sulit seperti DN dan YU, karena ia
menjalankan pekerjaannya sebagai PSK secara tidak terorganisir.
25
Proses Bertemu dengan Suami
DN dan YU bertemu dengan suami ketika mereka telah berhenti bekerja sebagai
PSK. Sedangkan AN bertemu dengan suami ketika masih menjadi PSK. DN bertemu
dengan P (suami), ketika ia masih menjalin hubungan dengan laki-laki lain (A). Ia
menjalin hubungan yang terlarang dengan A, karena A telah berkeluarga. P bekerja
sebagai sopir A, dan ia sering diminta untuk mengantarkan DN. Intensitas pertemuan P
dengan DN ternyata menumbuhkan perasaan suka pada diri P, sehingga mereka
menjalin hubungan cinta dan akhirnya menikah. YU bertemu dengan suaminya (S)
ketika ia telah berhenti menjadi PSK dan bekerja. Suami YU adalah mantan pacarnya
ketika SMP, dan mereka bertemu kembali di Jakarta. Sedangkan AN bertemu dengan
suaminya (Y) ketika mereka sama-sama tinggal di kompleks rumah susun.
Proses Coming Together dan Pengungkapan Diri
Ketiga subjek dalam penelitian ini sama-sama menceritakan tentang
pengalaman masa lalu mereka kepada pasangannya masing-masing saat
merencanakan pernikahan. Alasan mereka melakukan pengungkapan diri kurang lebih
sama, yaitu ingin menjalani hubungan pernikahan yang dilandasi kejujuran dan
keterbukaan.
Peneliti berusaha memaparkan proses pengungkapan diri melalui tahap
perkembangan hubungan yang dikemukakan oleh Knapp & Vangelisti (dikutip oleh
Derlega, 1993), yaitu coming together. Ketiga subjek memiliki proses yang berbeda
dalam melewati tahapan hubungan tersebut. Terdapat 5 tahapan dalam proses coming
together yaitu initiating, experimenting, intensifying, integrating, dan bonding. Proses
tersebut digambarkan melalui skema berikut ini :
Subjek DN
Initiating :
P menjadi
sopir &
sering
mengantar
DN
Integrating :
Melakukan
hubungan
seksual dan P
meminta
kesediaan DN
untuk menikah.
DN menyetujui
karena
menganggap P
laki-laki yang
baik dan
bertanggung
jawab
Intensifying :
Menjelang
menikah,
mengungkapka
n profesi di
masa lalunya,
mejadi seorang
PSK
Alasan Pengungkapan Diri :
Khawatir P akan mengetahui tentang
profesi yang pernah dijalankannya
sebagai PSK dari orang lain, dan
akhirnya P akan merasa kecewa
26
Experimenting :
P dan DN pacaran.
Mengenal sifat &
keluarga
Bonding :
Setelah menikah,
menceritakan
semua pengalaman
selama menjadi
PSK, termasuk
beratnya
pengalaman
menjadi PSK.
Sikap P :
Menerima, karena menurutnya
DN wanita yang baik &
menyesali kenapa DN tidak
menceritakannya dari dulu
Subjek YU
Initiating &
Experimenting :
Terjadi saat YU dan
S berpacaran di
bangku SMP
Intensifying :
Pacaran kembali
& memutuskan
menikah.
Alasan pengungkapan diri :
Merasa penting untuk
mengungkapkan masa lalunya
sebagai PSK kepada S,
sebelum menikah
Integrating :
Mempersiapkan
pernikahan &
YU
mengungkap
kan masa
lalunya sebagai
PSK.
Sikap S :
Menunda pernikahan kerena S
memerlukan waktu untuk berpikir,
tetapi kemudian menerima YU
karena menganggap ia adalah
wanita yang baik dan tidak akan
mengulang kesalahan.
PSK
Bonding :
Menikah Keluarga
S mengetahui
profesi yang pernah
dijalankan YU
sebagai PSK. YU
mengungkapkan
lama menjalankan
pekerjaan PSK
kepada S
Sikap S :
Membela saat keluarganya
mengetahui pekerjaan yang
pernah dijalankan YU sebagai
PSK
Marah & mempertanyakan
rahasia apa lagi yang masih
disembunyikan YU
Subjek AN
Initiating :
Sering bertemu
Y, yang
merupakan
tetangga di
tempat
tinggalnya &
akhirnya
berkenalan
Experimentin
g:
Pacaran &
dikenalkan
oleh Y kepada
ibunya
melalui
telepon
Pacaran dengan Y
merasa nyaman,
sehingga memutuskan
berhenti menjadi PSK
Intensifying :
Bercerita secara
jujur kepada Y
mengenai profesi
yang pernah
dijalankannya
sebagai PSK
Alasan
Pengungkapan
Diri :
Merasa tidak
nyaman dan
membohongi diri
sendiri
Integrating :
Y meminta
untuk bertemu
dengan orang
tua AN dan
melamar AN
Bonding :
AN menikah
dengan Y &
tidak ada lagi
yang
disembunyikan
Sikap Y :
Menerima masa lalu AN,
asalkan ia tidak
berhubungan lagi dengan
laki-laki yang pernah
menggunakan jasanya
Kesimpulan
Ketiga subjek penelitian melakukan pengungkapan diri mengenai pekerjaan
yang pernah dijalankannya sebagai PSK, pada tahap yang berbeda dalam proses
27
coming together. Namun secara umum pengungkapan diri tersebut dilakukan setelah
melewati tahap Experimenting. Subjek pertama dan ketiga melakukan pengungkapan
diri pada tahap intensifying, sedangkan subjek kedua melakukannya pada tahap
integrating.
Diskusi
Kedua subyek dalam penelitian ni melakukan pengungkapan diri ketika berada
pada tahapan intensifying dalam proses perkembangan hubungan coming together.
Berdasarkan hal itu, peneliti melihat bahwa rasa percaya diri subjek dalam melakukan
pengungkapan diri timbul ketika hubungan dengan pasangannya telah masuk ke tahap
yang serius yaitu telah memiliki komitmen untuk menikah.
Salah seorang subjek telah melakukan pengungkapan diri pada tahap
integrating, lebih cepat dibandingkan tahap dimana kedua subjek yang lain saat
melakukan pengungkapan diri. Hal ini tampaknya disebabkan subjek tersebut di masa
lalunya sudah mengenal dan bahkan pernah menjalin hubungan intim dengan
pasangannya. Tampaknya ia tidak memerlukan waktu lama untuk mengenal
pasangannya dan untuk memiliki keberanian dalam mengungkapan masa lalu
pekerjaannya sebagai PSK.
Dalam proses perkembangan hubungan coming together, faktor yang
mendukung subjek melakukan pengungkapan diri adalah keakraban dan rasa percaya
subyek terhadap pasangannya. Subyek berani melakukan pengungkapan diri ketika
telah benar-benar merasa dekat dan percaya kepada pasangannya.
Salah satu subjek awalnya tidak mengungkapkan kepada suaminya bahwa ia
telah menjalani pekerjaan sebagai PSK selama 7 tahun. Ia berniat mengungkapkan
yang sebenarnya setelah mereka menikah. Menurut peneliti, subjek melakukan
pengungkapan diri secara bertahap karena perasaan takut ditolak oleh pasangannya
apabila mengetahui ia pernah bekerja PSK, terlebih lagi pekerjaan tersebut telah
dijalankannya selama 7 tahun. Ia baru mengungkapkan yang sebenarnya ketika telah
merasa yakin bahwa suaminya dapat menerima masa lalunya tersebut dan menerima
dirinya sebagaimana adanya. Hal ini menunjukkan bahwa pengungkapan diri, terutama
permasalahan yang “berat”, cenderung dilakukan secara bertahap.
Ketiga subjek memiliki keberanian untuk melakukan pengungkapan diri, karena
mereka telah benar-benar memikirkan resiko yang akan dihadapinya. Mereka pasrah
dan siap menerima konsekuensi yang akan dihadapi, terlebih lagi apabila pasangan
menolak pengungkapan diri mereka dan memutuskan hubungan. Tampaknya hal
terpenting yang mendasari pengungkapan diri tersebut adalah, subjek tidak ingin
apabila suami mereka mengetahui pekerjaan yang pernah dijalankannya sebagai PSK
dari orang lain. Apabila suaminya mengetahuinya dari orang lain tentu akan berdampak
buruk pada relasi mereka. Selain itu, mereka sendiri juga ingin merasakan
kenyamanan dalam hubungan dengan tidak menutupi suatu rahasia pada orang
terdekat mereka, yaitu suaminya.
Dalam penelitian ini, subjek tidak mengizinkan peneliti untuk melakukan
wawancara dengan suaminya. Menurut peneliti, subjek tidak mau jika suaminya
diwawancara dan diingatkan kembali tentang segala hal yang berkaitan dengan
pekerjaan sebagai PSK yang pernah dijalankan subjek. Mereka khawatir suaminya
28
akan mengungkit kembali permasalahan tersebut.
Keinginan tersebut juga
diungkapkan sendiri oleh suami mereka, dimana suami mereka meminta permasalahan
tersebut tidak dibicarakan lagi dalam hubungan pernikahan mereka. Tampaknya
pekerjaan menjadi PSK yang pernah dijalankan oleh subjek masih menjadi isu sensitif
bagi suami subjek.
Saran
Untuk pasangan dari seorang perempuan mantan PSK, sebaiknya dapat
menghargai pengungkapan diri yang dilakukan. Karena pengungkapan diri tersebut
merupakan suatu pembuktian kejujuran dari seorang perempuan, dan demi hubungan
dengan pasangannya menjadi lebih baik.
Bagi perempuan yang memiliki pengalaman serupa seperti subjek penelitian ini,
diharapkan memiliki keberanian untuk melakukan pengungkapan diri tentang masa lalu
pekerjaannya kepada pasangan yang hendak dinikahinya. Lebih baik pasangan
mengetahui masa lalunya secara langsung dan bukan dari orang lain, karena dapat
menghindari kesalahpahaman dalam hubungan. Pengungkapan diri juga akan
bermanfaat sebagai landasan yang kuat dalam pernikahan, karena merupakan simbol
dari adanya adanya kejujuran dan keterbukaan.
Ketika menghadapi klien yang mengalami dilema, apakah harus
mengungkapkan masa lalunya sebagai PSK atau tidak kepada pasangannya,
sebaiknya pekerja sosial, konselor, atau psikolog, memberikan pendampingan dan
penguatan, sehingga mereka dapat menghadapi permasalahan tersebut. Sebaiknya
pekerja sosial, konselor, atau psikolog tidak memaksakan kepada kliennya untuk
melakukan pengungkapan diri, meskipun banyak manfaat yang akan mereka peroleh.
Sebaiknya pekerja sosial, konselor, atau psikolog hanya membantu mengarahkan
kliennya dalam mencapai keputusan yang terbaik dengan menyadari segala
konsekuensinya.
Pada penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan untuk lebih berfokus pada
proses pengungkapan diri tanpa terlalu dikaitkan dengan proses coming together,
sehingga dapat dilihat secara jelas dinamika konflik yang dihadapi dalam upaya
pengungkapan diri.
DAFTAR PUSTAKA
Batubara, Yos. (2007). Kontribusi Pekerja Seks Komersial dalam Aktivitas Ekonomi dan
Aktivitas Rumah Tangga : Kasus Pekerjaan sebagai Penjaja Seks di Kecamatan
Rantau Utara dan Kecamatan Rantau Selatan di Kabupaten Labuhanbatu. Diunduh
dari http://www.scribd.com/doc/18990330/LAPORAN-RISET-PSK, pada tanggal
29 Oktober 2010.
29
Derlega, Valerian J. &John H. Berg. (1987). Self-disclosure: theory, research,
and therapy. New York : Plenum Press
DKI Razia PSK Seminggu Sekali. Metro Post. 21 Januari 2010.
Hull, T. H., Sulistyaningsih, E., & Jones, G. W. (1997). Kesehatan Reproduksi,
Kebudayaan, dan Masyarakat : Pelacuran di Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan & Ford Foundation.
Koentjoro, Ph.D. (2004). On The Spot : Tutur Sang Pelacur. Yogyakarta : Tinta.
Oktaviani, I. (2007). Stress dan Coping Stress Pada Remaja PSK. Depok : Fakultas
Psikologi Universitas Gunadarma. Diunduh dari
http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2006/Artikel_10
502124.pdf, pada tanggal 30 Oktober 2010.
Papu,
J.
(2002).
Pengungkapan
Diri.
Diunduh
dari
http://www.epsikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=271, tanggal 30 Oktober 2010
Reis, H. T. & Rusbult, C. E. (2004). Close Relationship : Key Reading in Social
Psychology. New York : Psychology Press
Susanto, Hary. (2001). Wisata Seks : Tinjauan Moral. Diunduh dari
http://pusparintek.tripod.com/harys.htm, pada tanggal 30 Oktober 2010
30
Download