Pembaca mengambil tindakan sebagai akibat dari melihat iklan di

advertisement
MAGAZINE
1. Sejarah dan perkembangan Majalah
Banyak Sekali media yang ada di Indonesia ini eletronik, cetak, bahkan online, namuni saat
ini majalah tetap eksis. Beberapa karakteristik majalah adalah:
a.
menjual segmentasi,
b. mengupayakan kemasan yang eye cathing,
c. permainan warna, desain, dan kualitas kertas sebagai selling point.
d. Berbeda dengan suratkabar, majalah dituntut lebih fokus untuk menjangkau khalayak
atau target audiens tertentu.
Dalam sejarah penerbitan pers Indonesia, penerbitan majalah-majalah dengan segmen khusus
sebenarnya sudah sempat dikenal sejak zaman pra-kemerdekaan, meskipun tidak berkelanjutan.
Pada sekitar tahun 1939, di Banjarmasin, pernah terbit majalah bernama Perintis, sebuah majalah
yang diterbitkan oleh dan untuk kalangan sopir. Majalah itu terbit sebagai dwimingguan.
Bahkan, jauh sebelum itu, pada sekitar tahun 1914, juga pernah terbit majalah bernama De
Cranie, yakni majalah pembawa suara kaum kerani atau juru tulis kebun (Junaedhie, 1995: 195).
Namun, majalah-majalah khusus yang terbit pada masa itu berbeda motivasi penerbitannya
dengan penerbitan majalah-majalah khusus pada masa kini. Jika pada masa lampau alasan
penerbitannya lebih karena faktor idealisme semata, maka pada tahun-tahun belakangan, selain
faktor idealisme, kepentingan bisnis juga turut berperan dominan di dalam pembentukan
majalah (Juanedhie, 1995: 195).
Bila melihat sejarah penerbitan pers di Indonesia, gejala segmentasi majalah sebenarnya
mulai tampak pada akhir tahun 1970-an. Pada waktu itu, telah terbit sejumlah media cetak yang
membahas masalah spesifik dengan pembaca khusus. Segmentasi itu tampak dari spesialisasi
tema majalah seperti majalah khusus ekonomi, keagamaan, kesehatan, anak-anak, remaja,
wanita, keluarga, pertanian, otomotif, iptek, sastra/budaya, psikologi, hukum & kriminal, tata
boga, manajemen/perbankan, pariwisata, interior, olahraga, kesehatan, industri, ketenagakerjaan,
komputer, pertanian, arsitektur, fotografi, komputer, handphone, hobi dan hiburan (musik, film,
game, komik, mainan), dll. Beberapa grup konglomerasi penerbitan majalah sebagai pemain
besar
antara
lain Gramedia,
Suara
Pembaruan,
Jawa
Pos,
Femina,
MRA,
Media
Indonesia, dan Pinpoint.
Jauh sebelum majalah segmentasi merebak, Jakob Oetama (direksi grup PT Kompas
Gramedia), dalam seminar ”Penerbitan Majalah Menyongsong Tahun 2000” pada awal tahun
1990-an mengatakan, pangsa pasar majalah umum di tahun 2000 akan mengalami kejenuhan.
”Pangsa pasar yang terbuka nantinya adalah untuk majalah khusus,” katanya (Junaedhie, 1995:
194). Majalah-majalah semakin fokus dengan segmentasi dan target pasar yang sangat spesifik.
Teknologi desktop
memudahkan
publishing yang
proses
editting
semakin
cannggih
dan lay-out sehingga
dengan
sistem
memudahkan,
komputerisasi
mempercepat,
dan
meminimalkan kesalahan pencetakan (Vivian, 2002). Selain itu industri majalah-majalah juga
diwarnai dengan sistem waralaba (franchaise), yakni terjemahan ke dalam berbagai bahasa, baik
yang seluruhnya merupakan adaptasi dari versi aslinya maupun yang sebagian disesuaikan
dengan konteks lokal dan citarasa negara lain.
Tabel 1. Majalah Waralaba di Indonesia
No Tahun Terbit Media
Segmen
Penerbit
1
April 1973
Bobo
Anak-anak
Gramedia
2
1997
CHIP
Komputer
Elex Media
September
3
1997
Cosmopolitan
Wanita/Lifestyle
Grup MRA
4
2000
Health Today
Kesehatan
Infomaster
F1
Racing
Quadra
5
Mei 2000
Indonesia
Olahraga
6
Mei 2000
Herpers BAZAAR Wanita/Lifestyle
Media
Publicia
Media Insani Abadi
7
Juni 2000
Autocar
8
Agustus 2000
Female Indonesia Wanita/Lifestyle
Her
9
Oktober 2000
Otomotif
Grup MRA
Mediamilenia
World
Indonesia
Wanita/Lifestyle
Media Ikrar Abadi
November
10
2000
Lisa
Wanita
Pin Point
11
Maret 2001
Golf Digest
Olahraga
Media Golfindo
12
April 2001
Komputer Aktif
Komputer/TI
Gramedia
13
Agustus 2001
Men’s Health
Kesehatan
Grup Femina
14
Agustus 2001
Rally XS
Olahraga
Quadra Media
September
15
2001
Motorriders
Otomotif/Olahraga
Grup MRA
16
Oktober 2001
Cosmo Girl
Remaja Putri
Grup MRA
Seventeen
Remaja Putri
Grup Femina
November
17
2001
Tri
18
2001
T3 Indonesia
Komputer/TI
Teknologi
Tunggal
Sumber: Hersinta, Tesis, Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (2002).
Berkembangnya kembali penerbitan majalah khusus pada saat ini dapat dikatakan sebagai
akibat euforia kebebasan pers pada awal tahun 2000 berujung pada munculnya sejumlah
penerbitan yang menerbitkan berbagai jenis format media massa Dalam lingkup media cetak,
muncul sejumlah penerbitan koran, majalah, tabloid, dan lain sebagainya. Tidak mengherankan
jika jumlah penerbitan yang terdaftar oleh Departemen Penerangan di Indonesia melonjak dari
282 penerbitan pada tahun 1997 menjadi 1675 penerbitan pada akhir tahun 1999 (Direktori Pers
Indonesia, 2002-2003). Angka ini terus menanjak. Menurut Dewan Pers, pada tahun 2001,
jumlah penerbitan media cetak meningkat lagi menjadi 2033 penerbitan. Laporan Tahunan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2000-2001 juga mencatat perkembangan media lokal di
sejumlah daerah pasca kebebasan pers.
Khusus kategori majalah, persentase penerbitan majalah di Pulau Jawa bahkan lebih besar, yaitu
sebesar 86,3% dari total 219 buah penerbitan majalah dalam berbagai jenis di Indonesia. Secara
provinsi, pasar majalah memang tetap berpusat di Jakarta dengan mengkontribusi 152
penerbitan, diikuti oleh Daerah Istimewa Yogyakarta (13 penerbitan), Jawa Timur (12
penerbitan), Jawa Barat (8 penerbitan), Sumatera Selatan (7 penerbitan), dan Jawa Tengah (6
penerbitan) (Direktori Pers Indonesia, 2002-2003). Adapun menurut perkiraan SPS, kue iklan
untuk majalah yang dikuasai oleh penerbitan di Jakarta saat ini berkisar antara 70-80%, yang
diperebutkan oleh sekitar 150 pemain majalah yang beredar dengan aneka ragam frekuensi terbit
tersebut.
Untuk menyiasati persaingan yang timbul akibat semakin banyaknya jumlah media massa
yang muncul, beberapa penerbit mengambil langkah antisipasi dengan menerbitkan jenis media
yang lebih tersegmentasi dan lebih terfokus. Pilihan membangun media lokal, bahkan lokalitas
yang lebih sempit, seperti kompleks permukiman dan kawasan bisnis, merupakan upaya
menggarap pasar yang selama ini tidak tertangani secara optimal oleh media nasional. Kondisi
tersebut mendorong lahirnya media berskala lokal yang lingkup pembahasan dan cakupan area
peliputannya lebih sempit, yang dikenal dengan nama media komunitas.
Menurut Mahtoem Mastum-Direksi grup Penerbitan Pers PT Wahana Semesta– anak
perusahaan kelompok Jawa Pos- Media cetak komunitas merupakan pilihan terbaik bagi investor
untuk membuat media cetak. Pasalnya, kendati ruang lingkupnya sempit, media komunitas
memiliki pembaca loyal yang berasal dari kalangan komunitasnya (Mastum, 2006). Sebagai
konsep baru dalam media massa, media komunitas dibentuk untuk melayani kebutuhan informasi
masyarakat dalam sebuah komunitas. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Hermawan
Kartajaya dalam buku Marketing in Venus. Menurutnya, komunitas adalah saluran penjualan
yang kredibel dan dapat dipercaya karena lingkungan di dalam komunitas bersifat egaliter
dan peer to peer. Orang-orang di dalam komunitas adalah pembeli sekaligus penjual.
Pada akhirnya, sejak tahun 2000 awal, penerbitan media cetak komunitas memang kian
giat. Sebuah media komunitas dapat mengambil format bentuk berbagai macam, antara lain
adalah radio, televisi, dan juga media cetak, berupa koran ataupun majalah (Jankowski, 2001).
Dibandingkan suratkabar, pembaca majalah memang relatif lebih sedikit, namun
demikian majalah memiliki pasar yang lebih mengelompok. Dari sisi isi informasinya, isi
majalah tidak seaktual suratkabar namun ulasannya jauh lebih mendalam dan diwarnai dengan
latar belakang plus analisis masalahnya. Kebanyakan majalah memuat iklan berlingkup nasional
karena umumnya majalah yang beredar di Tanah Air berpusat di Jakarta. Bila dibandingkan
belanja iklan antara surat kabar dengan majalah maka dapat dilihat pada tahun 2004 misalnya,
persentase iklan koran lebih besar yaitu Rp 5.235,8 milyar dan majalah hanya Rp 997,6 milyar
(Nielsen Media Research – Advertising Media Service, 2005).
BISNIS.COM, JAKARTA—Perolehan iklan di Indonesia pada
2012 tercatat mencapai lebih dari Rp87 triliun atau tumbuh
sekitar 20% dari tahun sebelumnya.
"Stasiun televisi masih mendominasi pangsa iklan tahun lalu
dengan meraup 64% dari total belanja iklan, diikuti oleh surat
kabar (33%) dan majalah, serta tabloid (3%)," ujar Irawati
Pratignyo, Managing Director Media Nielsen Indonesia, Rabu
(6/3).
Dia menambahkan perusahaan telekomunikasi masih menjadi
pengiklan terbesar di semua media pada 2012 dengan
menghabiskan dana Rp4,9 triliun, tapi nilai belanja iklannya
mengalami penurunan 15% dibandingkan dengan tahun
sebelumnya.
Dia menuturkan pengiklan kedua terbesar pada 2012 adalah
kategori pemerintahan/partai politik dengan belanja iklan lebih
dari Rp4,3 triliun, disusul oleh kategori perawatan rambut
dengan
nilai
lebih
dari
Rp4,1
triliun.
“Kedua sektor tersebut mencatat pertumbuhan yang sama, yakni
sebesar 34% dibandingkan dengan tahun sebelumnya,” jelasnya.
Dari tiga kategori pengiklan terbesar, produk Clear Shampoo
Anti Ketombe mencatat pertumbuhan lebih dari 70 kali lipat
disusul oleh iklan Partai Nasdem dengan enam kali lipat
dibandingkan
tahun
sebelumnya.
Untuk kategori makanan berupa snack mencatat pertumbuhan
tertinggi sebesar 59% dibandingkan dengan tahun sebelumnya
dengan total belanja iklan lebih dari Rp2,1 triliun. (bas)
Source : R. Fitriana
Editor : Other
Pembahasan mengenai kegiatan periklanan di majalah selalu mempertimbangkan tipe majalah
yang terkait dengan target audiens yang diinginkan. Menuruthttp://www.eswias.com, kategori
majalah dapat dipilah-pilah dalam beberapa jenis, meliputi:
a. Geografi
Berkaitan dengan distribusi majalah apakah nasional, lokal ataukah regional atau bahkan
internasional (Panjebar Semangat, Tempo, Time)
b. Demografi
Adalah kategori majalah dalam bentuk kelompok umur (Bobo), Pekerjaan (Cakram),jenis
kelamin (Matra, Femina, Cosmopolitan, Mens Health), status sosial (Tempo, Intisari, Misteri,
Maestro)
c. Editorial Content
Pembagian
majalah dari segi isi apakah berita umum (Tempo, Gatra), informasi
wanita (Cosmopolitan), Bisnis (Swa), interert khusus (Cinemagz, ASRI), dsb
d. Ukuran fisik
Ukuran fisik majalah umumnya adalah 8,5 x 11 inchi atau 6 x 9 inchi. Saat ini ukuran majalah
terus mengecil agar mudah dibawa kemana-mana.
e. Frekuensi Penerbitan
Umumnya majalah di Indonesia terbit mingguan, namun ada yang terbit dwi mingguan, bulanan,
tiga kali sebulan dan ada pula yang terbit tiga bulan sekali.
Sebagai medium beriklan majalah memiliki kelebihan sekaligus kekurangan.
2. Kekuatan Majalah sebagai Media Iklan
Khalayak sasaran untuk iklannya lebih tersegmentasi, sehingga majalah dengan special
interest akan disukai pengiklan karena dianggap memilikicaptive market. Penerimaan khalayak;
memiliki kemampuan mengangkat produk yang diiklankan sejajar dengan persepsi khalayak
sasaran. Long life span; usia edar majalah adalah panjang dan sering disimpan sebagai referensi.
Umumnya pembaca majalah membaca satu majalah rata-rata 60–90 menit dan sering diulangulang. Oleh karenanya iklan yang ada dalam majalah dapat memuat naskah iklan yang panjang
dan lebih rinci sekaligus juga unsur kreatif kreasi pesan iklan yang disampaikan.
Kualitas visual; karena umumnya dicetak dengan kertas berkualitas tinggi, maka menjajikan
kualitas foto, gambar, tulisan yang lebih indah dan menarik perhatian. Dapat digunakan
sekaligus sebagai sarana sales promotions; misal pemberian kupon, sampel produk, bonus dan
sebagainya Creativity flexibility: karena kualitas visualnya maka iklan di majalah penerapan
artwork dan strategi kreatifnya dapat dimaksimalkan dan lebih bervariasi
3. Kelebihan dan kekurangan iklan majalah
Kelebihan
1. Dapat dinikamti lebih lama (long life span)
2. Pembacaannya lebih selektif.
3. Dapat mengemukakan gambar yang menarik (Kualitas Visual).
4. Khalayak sasaran; salah satu keunggulan majalah jika dibandingkan dengan media
lainnya adalah kemampuannya menjangkau segmen pasar tertentu yang terspesialisasi.
5. Penerimaan khalayak; kemampuan mengangkat produk-produk yang diiklankan sejajar
dengan persepsi khalayak sasaran terhadap prestige
6. majalah yang bersangkutan.
Kekurangan
:
1. Biaya lebih relatif tinggi (mahal).
2. Fleksibilitasnya rendah (terbatas).
3. Distribusi
4. Banyak majalah yang peredarannya lambat sehingga hanya menumpuk di rak-rak toko.
Ada juga majalah yang tidak memiliki jaringan distribusi yang tepat. Di beberapa daerah
tertentu yang daya belinya tinggi namun sulit dijangkau, majalah sering tidak ada.
5. Dan Jenis bahan yang digunakan biasanya mudah sobek, artinya gangguan mekanis
tinggi, sehingga informasi yang diterima
6. tidak lengkap.
4. THE ADVERTISER RELATIONSHIP
Keintiman antara pembaca dan majalah adalah manfaat bagi pengiklan . Lingkungan majalah
memberikan pembaca dalam kerangka berpikir yang benar untuk menerima iklan . Dalam
konteks simpatik dari majalah yang tepat , nilai-nilai brand positif yang kuat dari majalah dapat
ditransfer kepada iklan.
• Semakin kuat afiliasi pembaca dengan majalah sebagai merek, semakin tinggi tingkat
dukungan bahwa iklan menerima dari kepribadian majalah
• Periklanan dipandang sebagai bagian integral dari majalah . Iklan yang relevan dihargai oleh
pembaca . Pembaca layar iklan dalam banyak cara yang sama seperti mereka layar editorial mencari item yang menarik , intrik , menangkap mata , menghibur , menginformasikan
• Karena iklan yang relevan dan dihargai , kekacauan iklan tidak menjadi masalah di majalah .
• Pembaca mengambil tindakan sebagai akibat dari melihat iklan di majalah
• Target dengan presisi dan tanpa pemborosan merupakan kekuatan kunci dari majalah
• Komunikasi dapat ditingkatkan dengan menggunakan eksekusi kreatif yang berbeda dalam
berbagai jenis majalah - penargetan melalui karya kreatif serta melalui memilih khalayak yang
sesuai
• Format kreatif seperti gatefolds , tekstur , kertas khusus , sampel , sponsorship , fitur iklan ( '
advertorial ' ) , dan sebagainya dapat menciptakan dampak dan interaksi tambahan
• The ' efek presenter ' berarti bahwa penafsiran iklan tertentu dapat dipengaruhi oleh publikasi
khusus yang muncul .
• Adalah bijaksana untuk pra - menguji eksekusi kreatif dalam rangka untuk memastikan bahwa
mereka mengambil keuntungan maksimum dari keterlibatan aktif ini dalam iklan , dan bahwa
mereka mengkomunikasikan pesan yang diinginkan
5. Online magazine (case study)
Perkembangan teknologi saat ini desertai dengan digitalisasi media. Hal ini pula yang
dilakukan oleh majalah. Majalah konvensional (cetak) mengikuti perkembangan teknologi
dengan mendigitalisasikan majalahnya. Hamper semua majalah mempunyai versi online. Hal ini
tentu saja berdampak pada pengiklan. Pengiklan sangat menerima dengan baik teknologi ini,
mengapa? Dengan asumsi versi cetak memiliki 20.000 exemplar dan asumsi pembaca dua kali
dari jumlah cetak. Maka kehadiran versi online ini akan menambah jumlah pembaca hingga 5x
versi cetaknya.
Peluang inilah yang dilihat oleh android dan IOS. Sebuah aplikasi yang menjual beberapa
majalah versi online dengan tampilan yang mudah untuk dibaca. Aplikasi ini bernama SCOOP,
dapat di download secara gratis. Didalamnya terdapat banyak sekali jenis majalah dari dalam
negri maupun luar negri. Tidak hanya majalah namun buku dan Koran pun tersedia didalamnya.
Sebagian besar majalah tersebut dijual dengan harga dollar dan dapat dibayarkan dengan nilai
rupiah dengan menggunakan kartu kredit. Yang menarik adalah ada beberapa majalah yang bisa
didownload secara gratis. Pengiklan akan merasa senang dengan aplikasi ini karena pembaca
memiliki kedekatan khusus dengan majalah. Kedekatan yang dimaksudkan adalah bagimana
pembaca bisa memiliki majalah online ini secara pribadi berada dalam gadgetnya. Nilai plus bagi
pengiklan adalah bagaimana pesan yang dilakukan oleh pengiklan tersampaikan secara personal
kepada pembaca.
Daftar pustaka
Iwan awaluddin. http://bincangmedia.wordpress.com/tag/sejarah-majalah-di-indonesia/
Abu Nawas. http://www.iklanizer.com/2012/12/kelebihan-kekurangan-iklan-majalah.html
PPA. http://magazines.bauermediaadvertising.com/why_magazines
Download