rumah sakit jiwa

advertisement
KOMUNIKASI KONTEKSTUAL PERAWAT TERHADAP PASIEN
GANGGUAN JIWA SKIZOFRENIA DI RSJ (RUMAH SAKIT JIWA)
PROVINSI SULAWESI TENGGARA KOTA KENDARI
Disusun Oleh :
PUJI AYU LESTARI
C1D1 11 002
Diajukan Guna memenuhi salah satu syarat memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.I.K)
Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
ABSTRACT
Problems in this study how contextual communication of nurses to patients
with mental disorders in the schizophrenia RSJ (Mental Hospital) Kendari of
Southeast Sulawesi province. The purpose this research was to determine the
contextual communications nurses on mental patients with schizophrenia in the RSJ
(Mental Hospital) Kendari of Southeast Sulawesi province. This study uses the theory
of interpersonal communication. This study is a qualitative study using purposive
sampling means that is determined based on certain considerations that are
considered representif to obtain data related to researching.
These results indicate that the content of the communication messages nurses
on mental patients with schizophrenia. Persuasion / seduction involves patients who
refuse to communicate, rants regarding patients still difficult to convey the problems
being experienced, advice regarding the personal hygiene and the recovery of
patients with schizophrenia, the prohibition regarding patients who can not control
emotions, motivation involves patients who successfully perform healing therapy. And
the communication context nurses on mental patients with schizophrenia. Unstable
concerns in schizophrenic patients who behave violent, sad / happy is an opportunity
that is used to perform the technique contextual namely techniques listen curhatan
patient, calm is an opportunity that can be used to communicate the contextual
(healing therapy), doing the wrong thing a mistake physical and non-physical
sweating out an action that experienced by patients with schizophrenia in which the
patient is desperate, noisy and restless.
Keywords: Communication, Contextual, Schizophrenia
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat dan
Karunia-Nya jualah maka penulis dapat menyelesaikan amanah dan segala kewajiban
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Komunikasi
Kontekstual Perawat Terhadap Pasien Gangguan Jiwa Skizofrenia diRSJ(Rumah
Sakit Jiwa) Provinsi Sulawesi Tenggara Kota Kendari”. Skripsi ini disusun sebagai
salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Program Sarjana Strata Satu (S1)
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan kesempurnaan
hanyalah milik Allah SWT semata. Terima kasih atas segala kritik dan saran yang
bersifat membangun yang telah dan akan penulis terima. Teriring salam dan do’a
penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Ayahanda Sarmin M Djawas
dan Ibunda Salmi tercinta yang tidak bosan-bosannya senantiasa memanjatkan do’a
untuk keselamatan di dunia dan di akhirat kelak, serta penuh pengorbanan dan
pengertian yang tulus dalam memberikan bantuan baik moral, materi, dan spiritual
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa juga penulis
mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudariku Erna Susanti, Aswin Budi
Arto, Yuri Yuniar, dan Windra Wati yang telah memberikan kasih sayang,
dukungan, dan perhatian untuk kemudahan segala urusan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tanggung jawab ini.
Penulis menghantarkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. H. La
Ode Muh Umran., M.Si selaku dosen pembimbing I dan Ibu Marsia Sumule,
S.Sos., M.I.Kom selaku dosen pembimbing II skripsi yang telah meluangkan
waktunya, tenaga, motivasi dengan segala ketelitian dan kesabaran dalam
mengarahkan penulis agar senantiasa berfikir logis dan sistematis sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
Penyusunan skripsi ini tidak dapat berjalan dengan baik tanpa bantuan berbagai
pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, MS selaku Rektor Universitas Halu Oleo
2. Bapak Dr. Bahtiar, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Halu Oleo
3. Bapak Masrul,S.Ag.,M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi
4. Bapak Saidin, S,Ip.,M.Si selaku Koordinator Program Studi Ilmu Komunikasi
5. Segenap Tenaga Pengajar (Dosen) Ilmu Komunikasi dan Staf Tata Usaha
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo.
6. Dosen penguji skripsi Bapak Dr La Tarifu, S.Pd., M.Si, bapak La Ode Jumaidin,
S.Sos.,M.Si, dan Bapak La Iba, S.Ip.,M.Si yang telah meluangkan waktunya, dan
telah memberikan saran-saran dengan segala ketelitian kepada penulis.
vii
7. Bapak Asnon Marahia, S.Psi.,M.Psi dan Seluruh Staf di Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Sulawesi Tenggara yang sudah banyak membantu dalam proses dan
pengumpulan data penelitian ini.
8. Sahabat seperjuangan khususnya Wa ode Roh Vivi Anggraini, S.Farm terima
kasih atas dukungan dan motivasinya .
9. Teman-teman seangkatanku Ilmu Komunikasi 2011 Novi Astria, Ulva Yulandari,
Siti Nurmala Sari, Waode Rizky Amalia, Wina Febrianti, Indr, Dewi
Satyaningsih, Tino dio, Alda Padilla, Rino Saputra, Aldilal, Adam Maali. Muh,
Andri Sandy, Frengkis, Nur Risky, Desiana Cendrana, Ririn Noviarti, dan masih
banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas
dukungan dan kebersamaan kita selama ini.
10. Teman-teman KKN Nusantara II Desa Oengkapala Arsito, S.Pi, dan Sulvan, S.Pd,
Wa Ode Megasari, S.Farm dan Husnul Khatimah, S.Pd. Terimakasih untuk
dukungannya.
11. Seorang penyemangat seperti obat penghilang stress “Tarah” terima kasih banyak
atas dukungan dan motivasi serta selalu siap menampung segala keluh kesahku
selama penyusunan skripsi ini.
12. Semua pihak yang membantu selama kuliah ataupun saat menulis skripsi, yang
tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah turut membantu do’a, tenaga
maupun materi, saya ucapkan terima kasih.
13. Almamaterku
viii
Akhirnya, penulis menyadari bahwa segala kekurangan dalam penulisan skripsi
ini semata-mata karena keterbatasan penulisan secara keilmuan, tetapi tidaklah
mengurangi niat penulis untuk selalu berusaha menampilkan yang terbaik. Penulis
berharap segala kebaikan yang ada dalam skripsi ini bisa memberikan manfaat yang
positif kepada penulis secara khusus dan juga kepada para pembaca yang budiman
secara umum. Amin Allahuma Amin.
Kendari, Oktober 2016
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian........................................................................ 5
1.3.2 Manfaat Penelitian...................................................................... 5
1.4 Sistematika Penulisan .............................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 7
2.1.1 Pengertian Komunikasi ............................................................... 7
2.1.2 Unsur-Unsur Komunikasi .......................................................... 11
2.1.3 Tujuan Komunikasi ................................................................... 14
2.1.4 Proses Komunikasi .................................................................... 15
2.1.5 Komunikasi Kontekstual ............................................................ 18
2.1.6 Teori Kontekstual ....................................................................... 21
A. Pengertian Komunikasi Antar Pribadi (Interpersonal
Communication)................................................................... 21
x
B. Tujuan Komunikasi Interpersonal ........................................ 23
C. Tahapan Komunikasi Interpersonal ..................................... 24
D. Efektifitas Komunikasi Interpersonal .................................. 25
2.1.7 Pengertian Skizofrenia .............................................................. 28
A. Gejala Skizofrenia ................................................................ 29
B. Diagnosis Skizofernia .......................................................... 30
2.2 Kerangka Pemikiran ............................................................................ 32
2.2.1 Bagan Kerangka Pikir ............................................................... 34
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi penelitian .................................................................................. 35
3.2 Subjek dan Informan Penelitian .......................................................... 35
3.2.1 Subjek ........................................................................................ 35
3.2.2 Informan .................................................................................... 35
3.3 Teknik Penentuan Informan ................................................................ 36
3.4 Sumber Dan Jenis Data Penelitian ....................................................... 36
3.4.1 Sumber Data .............................................................................. 36
3.4.2 Jenis Data .................................................................................. 36
3.5 Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 37
3.6 Teknik Analisis Data ........................................................................... 37
3.7 Desain Operasional ............................................................................... 38
3.8 Konseptualisasi .................................................................................... 39
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian .................................................................................... 41
4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................... 41
4.1.2 Visi dan Misi ............................................................................... 42
4.1.3 Tujuan .......................................................................................... 43
4.1.4 Sasaran ......................................................................................... 43
4.1.5 Struktur Organisasi ...................................................................... 44
4.1.6 Deskripsi Ruang Perawatan Inap ................................................. 45
xi
4.1.7 Profil Informan ............................................................................ 45
4.1.8 Isi Pesan Komunikasi Kontekstual Perawat Terhadap Pasien
Gangguan Jiwa Skizofrenia......................................................... 48
4.1.9 Konteks Komunikasi Perawat Terhadap Pasien Gangguan
Jiwa Skizofrenia .......................................................................... 63
4.2 Pembahasan ........................................................................................ 69
4.2.1 Isi Pesan Komunikasi Kontekstual Perawat Terhadap Pasien
Gangguan Jiwa Skizofrenia ...................................................... 69
4.2.2 Konteks Komunikasi Perawat Terhadap Pasien Gangguan
Jiwa Skizofrenia........................................................................ 72
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 75
5.2 Saran .................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
xii
DAFTAR BAGAN
2.2.1 Bagan Kerangka Pikir ........................................................................... 34
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.7.1 Desain Operasional Penelitian ........................................................... 38
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap individu mempunyai kebutuhan dasar untuk menjalin komunikasi dengan
orang lain dalam menjalani hidupnya. Komunikasi merupakan suatu proses yang
tidak terlepas dari kehidupan kita, sebab komunikasi merupakan upaya individu
dalam menjaga dan mempertahankan individu untuk tetap berinteraksi dengan orang
lain. Di setiap sektor kehidupan selalu terjadi proses komunikasi serta pendekatanpendekatan yang ada didalamnya. Dalam proses komunikasi ada yang namanya efek
yang menandakan berhasil tidaknya proses komunikasi yang kita lakukan. Efek
positif atau negatif tergantung bagaimana kita mengolah proses komunikasi tersebut.
Komunikasi merupakan proses yang dilakukan paramedis untuk menjaga
kerjasama yang baik dengan pasien dalam membantu memenuhi kebutuhan kesehatan
pasien, maupun dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka membantu mengatasi
masalah pasien.
Komunikasi dikatakan kontekstual karena “komunikasi terjadi pada situasi atau
sistem tertentu yang memengaruhi apa dan bagaimana kita berkomunikasi dan apa
arti dari pesan yang kita bawa”. Dengan kata lain bahwa komunikasi tidak terjadi
secara terisolasi atau kosong karena melibatkan berbagai macam unsur yang perlu
dipertimbangkan.
Gangguan jiwa merupakan suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang
penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya
distress atau disabilitas (kerusakan pada satu atau lebih area fungsi yang penting),
disertai peningkatan resiko kematian yang menyakitkan atau sangat kehilangan
kebebasan. Faktor yang menyebabkan gangguan jiwa adalah faktor biologis dan
ansietas, kekhawatiran, dan ketakutan, komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan
yang berlebihan, terpapar kekerasan, kemiskinan dan diskriminasi.
Pada umumnya tanggapan yang berkembang di masyarakat adalah bahwa setiap
penyakit disembuhkan dengan cara pemberian obat-obatan. Namun, ada hal lain yang
juga berperan sebagai alat pemulihan penyakit tertentu seperti penderita gangguan
jiwa. Disinilah komunikasi berperan penting sebagai obat dalam proses pemulihan
pasien gangguan jiwa. Proses pemulihan pasien gangguan jiwa biasanya di lakukan
dengan dua cara yaitu terapi medik yang menggunakan obat-obatan dan terapi non
medik yang menggunakan komunikasi terapeutik.
Penanganan gangguan jiwa harus dilakukan secara komprehensif melalui multipendekatan, khususnya pendekatan keluarga dan pendekatan petugas kesehatan
secara langsung dengan penderita, seperti bina suasana, pemberdayaan penderita
gangguan jiwa dan pendampingan penderita gangguan jiwa agar mendapatkan
pelayanan kesehatan yang terus-menerus. Penanggulangan masalah gangguan jiwa
terkendala karena adanya kesulitan dalam mendiagnosis gangguan jiwa. Hal ini
berpengaruh dalam sistem pencatatan dan pelaporan, padahal informasi seperti ini
sangat penting untuk mengetahui keparahan kasus gangguan jiwa.
Skizofrenia juga diartikan sebagai sekelompok gangguan berat pada otak di mana
orang akan menafsirkan realitas dengan abnormal, tidak seperti orang pada
umumnya. Orang yang mengalami hal ini akan mengalami beberapa hal seperti
halusinasi, khayalan, dan gangguan pada pemikiran dan perilaku. Mayoritas dari
penderitanya mengalami rasa takut yang luar biasa. Biasanya, penyakit ini mulai
muncul pada usia dewasa muda. Skizofrenia bisa dikatakan sebagai sebuah kondisi
yang kronis. Sebab, penderitanya tidak dapat dilepaskan dari namanya pengobatan.
Mereka harus mendapatkan perawatan seumur hidup mereka.
Krisis multi dimensi telah mengakibatkan tekanan yang berat pada sebagian
besar masyarakat dunia termasuk Indonesia, krisis ekonomi, politik, sosial, budaya,
agama, ras, kepercayaan dan sebagainya tidak saja akan menjadikan masyarakat
dengan potensi gangguan fisik berupa gangguan gizi, terserang berbagai penyakit
infeksi dan sebagainya tetapi juga dengan potensi penyakit psikis berupa stress berat,
depresi,
skizoprenia
dan
sejumlah
problem
sosial
dan
spiritual
lainnya.
Kecenderungan meningkatnya angka gangguan mental atau psikis dikalangan
masyarakat saat ini dan akan datang, akan terus menjadi masalah sekaligus tantangan
bagi tenaga kesehatan khususnya komunitas profesi psikologi dan keperawatan.
Di Sulawesi Tenggara, data menunjukkan angka yang cukup tinggi. Pada tahun
2011 jumlah pasien mecapai 767. Sedangkan pada tahun 2012-2013 berturut-turut
adalah 915,727 dan 931 pasien rawat inap dengan gejala skizofrenia yang paling
banyak terjadi yaitu hampir 90% dibandingkan jenis gangguan jiwa lainnya.
Bagi seorang perawat menjalin hubungan yang baik dengan pasien gangguan
jiwa merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukannya. Seorang perawat wajib
untuk memberikan rasa nyaman pada penderita dengan cara memberikan sapaan,
pujian, dan melakukan hubungan saling percaya terhadap pasien dan keluarga pasien,
perawat harus bertindak sebagai komunikator pada penderita dengan melakukan
komunikasi yang dapat dipahami oleh pasien.
Untuk menjalin hubungan baik dengan pasien dan keluarga pasien, perawat
melakukan komunikasi yang efektif. Oleh karena itu, dalam proses komunikasi
tersebut diperlukan proses komunikasi yang sesuai.
Konteks pada penelitian ini adalah konteks penyembuhan dimana pasien tidak
terlepas dari peran keluarga. Keluarga merupakan bagian yang penting dalam proses
pengobatan pasien jiwa. Ketika penderita gangguan jiwa melakukan rawat jalan atau
inap di rumah sakit jiwa, keluarga harus tetap memberikan perhatian dan dukungan
sesuai dengan petunjuk tim medis rumah sakit. Dukungan keluarga sangat diperlukan
oleh penderita gangguan jiwa dalam memotivasi mereka selama perawatan dan
pengobatan.
Hal lain yang bisa memperpanjang proses perawatan gangguan jiwa yang dialami
oleh pasien, antara lain penderita tidak minum obat dan tidak kontrol kedokter secara
teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter. Selain itu, pasien
sering mengatakan sudah minum obat, padahal obatnya disimpan disaku baju,
terkadang dibuang, dan beberapa pasien sering meletakkan obat dibawah lidahnya.
Berdasarkan latar belakang di atas mengenai cara perawat berkomunikasi kepada
pasien dalam menunjang penyembuhan pasien gangguan jiwa skizofrenia di RSJ
Provinsi Sulawesi Tenggara Kota Kendari maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Komunikasi Kontekstual Perawat Terhadap Pasien Gangguan
Jiwa Skizofrenia Di RSJ ( Rumah Sakit Jiwa) Provinsi Sulawesi Tenggara Kota
Kendari”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena dan uraian latar belakang, maka permasalahan yang
dirumuskan penulis yaitu bagaimana komunikasi kontekstual perawat terhadap pasien
gangguan jiwa skizofernia rawat inap di Rumah Sakit Jiwa provinsi Sulawesi
Tenggara Kota Kendari?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komunikasi
kontekstual perawat dan pasien gangguan jiwa skizofrenia di Rumah Sakit jiwa
Provinsi Sulawesi Tenggara Kota Kendari.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini, adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis; diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah kajian teoritis
yang dapat memberikan pemahaman dalam lingkup ilmu komunikasi
khususnya mengenai komunikasi kesehatan (keperawatan), dalam kasus ini
adalah pola komunikasi perawat terhadap pasien gangguan jiwa.
2. Secara praktis; diharapkan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para
perawat-perawat di lembaga kesehatan atau rumah sakit dalam menghadapi,
sekaligus memberi motivasi kepada pasien gangguan jiwa dengan memiliki
kemampuan komunikasi yang baik.
3. Secara metodologis; diharapkan hasil penelitian ini dapat menambahkan
pengetahuan dan wawasan serta dapat dijadikan sebagai bahan informasi
tambahan bagi peneliti selanjutnya dalam rangka memperkaya litelatur hasil
penelitian khususnya yang berkaitan dengan komunikasi dalam komunikasi
kesehatan.
1.4 Sistematika Penulisan
Penelitian yang dilakukan di RSJ (Rumah Sakit Jiwa) Kota Kendari, memiliki
sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I
Menejelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II
Menjelaskan tentang sejumlah teori, konsep dan kerangka pikir.
BAB III
Menjelaskan tentang lokasi penelitian,
subjek dan informasi
penelitian, tehnik penentuan informan, jenis dan sumber data, tehnik
pengumpulan data, tehnik analisa data, desain penelitian dan
konseptualisasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
2.1 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Pengertian Komunikasi
Setiap orang yang hidup dalam masyarakat, sejak bangun tidur sampai tidur
lagi, secara kodrati senantiasa terlibat dalam komunikasi.Terjadinya komunikasi
adalah sebagai konsekuensi hubungan sosial (social relations). Masyarakat paling
sedikit terdiri dari dua orang yang saling berhubungan satu sama lain yang karena
berhubungan, menimbulkan interaksi sosial (social interaction). Terjadinya interaksi
sosial disebabkan interkomunikasi (Effendy, 1992).
Komunikasi merupakan aktifitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi,
manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari-hari di
rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, dalam masyarakat atau dimana saja
manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam komunikasi
(Muhammad, 2008).
Komunikasi terjadi jika setidaknya suatu sumber membangkitkan respon pada
penerima melalui penyampaian suatu pesan dalam bentuk tanda atau simbol, baik
bentuk verbal (kata-kata) atau bentuk nonverbal (nonkata-kata), tanpa harus
memastikan terlebih dahulu bahwa kedua pihak yang berkomunikasi punya suatu
sistem simbol yang sama (Mulyana, 2008).
Banyak pakar menilai bahwa komunikasi adalah suatu kebutuhan yang sangat
fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat. Profesor Wilbur Schramm
menyebutnya bahwa komunikasi dan masyarakat adalah dua kata kembar yang tidak
dapat dipisahkan satu samalainnya. Sebab tanpa komunikasi tidak mungkin
masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak akan
mungkin dapat mengembangkan komunikasi (Cangara, 1998).
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari kata
Latin communis yang berarti “sama”, communico, communicatio, atau communicare
yang berarti “membuar sama” (to make common). Istilah yang pertama (communis)
paling sering disebut sebagai asal komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata
Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu
makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Akan tetapi definisi-definisi kontenporer
menyarankan bahwa komunikasi merujuk pada cara berbagi hal-hal tersebut, seperti
dalam kalimat “kira berbagi pikiran”, kita mendiskusikan makna”, dan kita mengirim
pesan” (Mulyana, 2010).
Secara terminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan
oleh seseorang kepada orang lain. Dari pengertian itu jelas bahwa komunikasi
melibatkan sejumlah orang, dimana seseorang menyatakan sesuatu kepada orang lain.
Jadi, yang terlibat dalam komunikasi itu adalah manusia. Karena itu, komunikasi
yang dimaksudkan disini adalah komunikasi manusia atau dalam bahasa asing human
communication, yang sering kali pula disebut komunikasi sosial atau social
communication.
Komunikasi
manusia
sebagai
singkatan
dari
komunikasi
antarmanusia dinamakan komunikasi sosial atau komunikasi kemasyarakatan karena
hanya pada manusia-manusia yang bermasyarakat terjadi komunikasi. Masyarakat
terbentuk paling sedikit dua orang yang saling berhubungan dengan komunikasi
sebagai penjalinnya (Effendy, 1992).
Brent D. Ruben, 1988 dalam Muhammad (2008) memberikan definisi
mengenai komunikasi manusia yang lebih komprehensip sebagai berikut: komunikasi
manusia adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam
kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat menciptakan, mengirimkan, dan
menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungannya dan orang lain. Pada
definisi ini pun komunikasi juga dikatakan sebagai suatu proses yaitu suatu aktivitas
yang mempunyai beberapa tahap yang terpisah satu sama lain tetapi berhubungan.
Sedang, Harold Lasswell dalam Hidayat (2012) mengemukakan definisi
sesuai dengan paradigma yaitu “Who Says What In Which Channel To Whom With
What Effect ?” melalui paradigma ini, Lasswell mencoba untuk membantu
mendefinisikan komunikasi sebagai usaha sistematis yang mulai dari “Siapa
Mengatakan Apa, Melalui Saluran Apa atau media apa dalam menyampaikannya,
Kepada Siapa pesan tersebut disampaikan dan apa efek dari pesan tersebut.
Menurut Linton dalam (Soekanto, 2003:24) masyarakat adalah setiap
kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama sehingga mereka
dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan
social tertentu. Jadi, masyarakat itu terbentuk apabila ada dua orang atau lebih hidup
bersama, sehingga dalam pergaulan hidup itu timbul perkenalan yang mengakibatkan
bahwa seseorang dan orang lain saling kenal dan saling mempengaruhi. Dalam
masyarakat, komunikasi dibagi atas lima jenis, yaitu:
1. Komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antar perorangan dan bersifat
pribadi baik yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
2. Komunikasi kelompok, menfokuskan pembahasannya kepada interaksi
diantara orang-orang atau kelompok-kelompok kecil. Komunikasi kelompok
juga melibatkan komunikasi antar pribadi.
3. Komunikasi organisasi, menunjuk pada pola dan bentuk komunikasi yang
terjadi dalam konteks dan jaringan organisasi. Komunikasi organisasi
melibatkan bentuk-bentuk komunikasi antar pribadi dan komunikasi kelompok.
4. Komunikasi social adalah salah satu bentuk komunikasi yang efektif, dimana
komunikasi terjadi secara langsung antara komunikator dan komunikan,
sehingga situasi komunikasi berlangsung dua arah dan diarahkan kepada
pencapaian suatu situasi integrasi social, melalui kegiatan ini terjadilah
aktualisasi dari berbagai masalah yang dibahas. Komunikasi social sekaligus
suatu proses sosialisasi dan untuk pencapaian stabilitas social, tertib social,
penerusan nilai-nilai lama dan baru diagungkan oleh suatu masyarakat melalui
komunikasi social
kesadaran masyarakat dipupuk, dibina dan diperluas.
Melalui komunikasi social, masalah-masalah social dipecahkan melalui
concensus.
5. Komunikasi massa adalah komunikasi yang berlangsung pada tingkat
masyarakat luas. Pada tingkat ini komunikasi dilakukan dengan menggunakan
media massa.
2.1.2
Unsur-Unsur Komunikasi
Menurut Joseph Dominick dalam Morissan (2013) setiap peristiwa
komunikasi akan melibatkan delapan unsur-unsur komunikasi yang meliputi: sumber,
encoding, pesan, saluran, decoding, penerima, umpan balik, dan gangguan.
Pertama, sumber(source), sering disebur juga pengirim (sender), penyandi
(encoder), komunikator (communicator), pembicara (speaker) atau originator.
Sumber adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk
berkomunikasi.Sumber
boleh
jadi
seorang
individu,
kelompok,
organisasi,
perusahaan atau bahkan suatu negara. Untuk menyampaikan apa yang ada dalam
seperangkat simbol verbal atau nonverbal yang idealnya dipahami oleh penerima
pesan. Proses inilah yang disebut penyandian (encoding). Pengalaman masa lalu,
rujukan nilai, pengetahuan, persepsi, pola pikir, dan perasaan mempengaruhi sumber
dalam merumuskan pesan (Mulyana, 2010)
Menurut Hovland dalam Morissan (2013), karakteristik sumber berperan
dalam mempengaruhi penerimaan awal pada pihak penerima pesan namun memiliki
efek minimal dalam jangka panjang. Sumber yang memiliki kredibilitas tinggi dapat
memberikan pengaruh kepada penerima pesan dalam hal daya penerimaan awal dari
suatu pesan.
Kedua encoding, ini dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan sumber
untuk menerjemahkan pikiran dan ide-idenya kedalam suatu bentuk yang dapat
diterima oleh indera pihak penerima. Encoding dalam proses komunikasi dapat
berlangsung satu kali namun dapat terjadi berkali-kali. Dalam percakapan tatap muka,
pembicara melakukan encoding terhadap pikiran atau idenya ke dalam katakata.Dalam percakapan melalui telepon, proses encoding terjadi dua kali.Pembicara
melakukan encoding terhadap pikirannya dan pesawat telepon melakukan encoding
terhadap gelombang suara yang dikekuarkan pembicara (Morissan, 2013).
Ketiga pesan, yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima.
Pesan merupakan seperangkat simbol verbal atau nonverbal yang mewakili perasaan,
nilai, gagasan atau maksud sumber tadi. Pesan mempunyai tiga komponen makna,
simbol yang digunakan untuk menyampaikan makna dan bentuk organisasi pesan.
Simbol terpenting adalah kata-kata (bahasa) yang dapat, merepresentasikan objek
(benda), gagasan, dan perasaan, baik ucapan (percakapan, wawancara, diskusi,
ceramah) ataupun tulisan (surat esai, artikel, novel, puisi, famflet). Kata-kata
memungkinkan kita berbagi pikiran dengan orang lain. Pesan juga dapat dirumuskan
secara nonverbal, seperti melalui tindakan atau isyarat anggota tubuh (acungan
jempol, angguhkan kepala, senyuman, tatapan mata, dan sebagainnya), juga melalui
musik, lukisan, patung, tarian, dan sebagainya (Mulyana, 2010).
Keempat, saluran atau media yakni alat atau wahana yang digunakan sumber
untuk menyampaikan pesannya kepada penerima. Saluran boleh jadi merujuk pada
bentuk pesan yang disampaikan kepada penerima, apakah saluran verbal atau saluran
nonverbal. Pada dasarnya komunikasi manusia menggunakan dua saluran, yakni
cahaya dan suara, meskipun kita bisa juga menggunakan kelima indra kita untuk
menerima pesan dari orang lain. Saluran juga merujuk pada cara penyajian pesan:
apakah langsung (tatap muka) atau lewat media cetak (surat kabar, atau majalah) atau
media elektronik (radio, televisi), surat pribadi, telepon, selembaran, sistem suara
(sound system), multimedia, semua itu dapat dikategorikan sebagai (bagian dari)
saluran komunikasi. Pengirim pesan akan memilih saluran-saluran itu, bergantung
pada situasi, tujuan, yang hendak dihadapi (Mulyana, 2010).
Kelima decoding, merupakan proses yang berlawanan dari proses encoding.
Decoding adalah kegiatan untuk menerjemahkan atau menginterpretasikan pesanpesan fisik kedalam suatu bentuk yang memiliki arti bagi penerima (Morissan, 2013).
Keenam, penerima (receiver), sering juga disebut sasaran/tujuan (destination),
komunikate (communicate), penyandi balik (decoder) atau khalayak (audience),
pendengar (listener), penfsir (interpreter), yakni orang yang menerima pesan dari
sumber berdasarkan pengalaman masalalu, rujukan nilai pengetahuan, persepsi pola
pikir dan perasaannya, penerima pesan ini menerjemahkan atau menafsirkan
seperangkat simbol verbal atau nonverbal yang ia terima menjadi gagasan yang dapat
ia pahami (Mulyana, 2010).
Ketujuh umpan balik, adalah tanggapan atau respon dari penerima pesan ynag
membentuk dan mengubah pesan berikut yang akan disampaikan sumber. Umpan
balik menjadi tempat perputaran arah dari arus komunikasi. Artinya sumber pertama
kemudian menjadi penerima, sementara penerima pertama menjadi sumber baru.
Umpan balik terdiri atas dua jenis, yaitu umpan balik positif dan umpan balik negatif.
Umpan balik positif dari penerima akan mendorong lebih jauh proses komunikasi
sementara umpan balik negatif akan mengubah proses komunikasi atau bahkan
mengakhiri komunikasi itu sendiri (Morissan, 2013).
Unsur terakhir dalam komunikasi adalah gangguan atau noise. Gangguan
dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mengintervensi proses pengiriman pesan.
Gangguan yang sangat kecil mungkin dapat diabaikan, namun terlalu banyak
gangguan yang dapat menghambat pesan untuk mencapai tujuannya. Setidaknya
terdapat tiga jenis gangguan yaitu, gangguan semantik, gangguan mekanik dan
gangguan lingkungan. Gangguan semantik terjadi bilamana orang memiliki arti yang
berbeda atas kata-kata atau ungkapan yang sama. Gangguan mekanik terjadi jika
muncul masalah dengan alat yang digunakan untuk membantu terjadinya komunikasi.
Dan gangguan lingkungan terjadi jika sumber gangguan berasal dari luar unsur-unsur
komunikasi yang sudah disebutkan diatas. Gangguan ini biasanya terjadi diluar
kontrol sumber atau penerima (Morissan, 2013).
2.1.3
Tujuan Komunikasi
Dalam Efenndy (2007) tujuan komunikasi terdiri dari:
1. Perubahan sikap (attitude change)
2. Perubahan pendapat (opinion change)
3. Perubahan prilaku (behavior change)
4. Perubahan sosial (social change)
Tujuan
komunikasi
menurut
beberapa
ahli
yaitu
sebagai
(http://www.scribd.com/mobile/doc. Diakses pada 13-01-2015, 12.34 wita):
Hewit (1981) menjabarkan tujuan komunikasi adalah sebagai berikut:
1. Mempelajari atau mengajarkan sesuatu
2. Mempengaruhi prilaku seseorang
berikut
3. Mengungkapkan perasaan
4. Menjelaskan prilaku sendiri atau prilaku orang lain
5. Berhubungan dengan orang lain
6. Menyelesaikan sebuah masalah
7. Menurunkan ketegangan dan menyelesaikan sebuah konflik
8. Menstimulasi minat pada diri sendiri atau orang lain
Menurut pendapat Sugiono (2005) bahwa tujuan komunikasi dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Untuk memahami dan menentukan diri sendiri
2. Menemukan dunia luar sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
3. Membentuk dan memelihara yang bermakna dengan orang lain
4. Melalui komunikasi antarpribadi individu dapat mengubah sikap dan
perilakudiri seseorang dan orang lain
5. Komunikasi antarpribadi merupakan proses belajar
6. Mempengaruhi orang lain
7. Mengubah pendapat orang lain dan membantu orang lain.
2.1.4
Proses Komunikasi
Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan secara
sekunder (Effendy, 2007):
a. Proses komunikasi secara primer
Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran atau
perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol)
sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah
bahasa, kial, isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya yang secara langsung
mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan.
Bahwa bahasa yang paling banyak dipergunakan dalam komunikasi adalah jelas
karena hanya bahasalah yang mampu “menerjemahkan” pikiran seseorang kepada
orang lain.
Kial (gesture) memang dapat “menerjemahkan” pikiran seseorang sehingga
terekspresikan secara fisik.Akan tetapi menggapaikan tangan atau memainkan jarijemari, atau mengedipkan mata, atau menggerakkan anggota tubuh lainnya hanya
dapat mengkomunikasikan hal-hal tertentu saja (sangat terbatas).
Demikian pula isyarat, dengan menggunakan alat seperti tongtong, bedug,
sirene, dan lain-lain serta warna yang mempunyai makna tertentu. Kedua lambang itu
amat terbatas kemampuannya dalam mentransmisikan pikiran seseorang kepada
orang lain.
Gambar sebagai lambang yang banyak dipergunakan dalam komunikasi
memang melebihi kial, isyarat dan warna dalam hal kemampuan “menerjemahkan”
pikiran seseorang, tetapi tetap tidak melebihi bahasa. Buku-buku yang ditulis dengan
bahasa sebagi lambang untuk “menerjemahkan” pemikiran tidak mungkin diganti
dengan gambar, apalagi oleh lambang-lambang lainnya.
Akan tetapi, demi efektifnya komunikasi, lambang-lambang tersebut sering
dipadukan penggunaannya. Berdasarkan paparan diatas, pikiran dan atau perasaan
seseorang baru akan diketahui oleh dan akan ada dampaknya kepada orang lain
apabila ditransmisikan dengan menggunakan media primer “tersebut”, yakni
lambang-lambang. Dengan perkataan lain, pesan yang disampaikan oleh komunikator
kepada komunikan terdiri atas isi (the content) dan lambang (symbol)
b. Proses komunikasi secara sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media
kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator
menggunakan media kedua dalam memperlancar komunikasinya karena komunikan
sebagai sasarannya berada ditempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat,
telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televise, film dan banyak lagi adalah
media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi.
Pentingnya peranan media, yakni media sekunder, dalam proses komunikasi,
disebabkan oleh efisiennya dalam mencapai komunikan. Surat kabar, radio, atau
televisi misalnya, merupakan media yang efisien dalam mencapai komunikan dalam
jumlah yang amat banyak.Jelas efisian kerena, dengan menyiarkan pesan satu kali
saja, sudah dapat tersebar luas kepada khalayak yang begitu banyak jumlahnya.
Umpan balik dalam komunikasi bermedia, terutama media massa, biasanya
dinamakan umpan balik tertunda. Karena sampainya tanggapan atau reaksi khalayak
kepada komunikator memerlukan tenggang waktu. Ada pengecualian memang dalam
komunikasi bermedia telpon.Meskipun bermedia, umpan balik berlangsung seketika.
Namun, karena komunikator tidak melihat secara langsung ekspresi waja komunikan,
reaksi langsung dari komunikan tidak akan dapat diketahui oleh komunikator seperti
kalau berkomunikasi tatap muka.
2.1.5 Komunikasi Kontekstual
Menurut Samovar, Larry dan Richard (Samovar, Larry & richard. 2010 :20)
mengatakan bahwa komunikasi dikatakan kontekstual karena “komunikasi terjadi
pada situasi atau sistem tertentu yang memengaruhi apa dan bagaimana kita
berkomunikasi dan apa arti dari pesan yang kita bawa”. Dengan kata lain bahwa
komunikasi tidak terjadi secara terisolasi atau kosong karena melibatkan berbagai
macam unsur yang perlu dipertimbangkan.
Komunikasi bersifat kontekstual, karena konteks yang beragam memengaruhi
makna pesan. Pesan mengandung report (konten) dan command (relationship),
Ada dua aspek kontekstual. Pertama, aspek konteks komunikatif meliputi
gaya bahasa, afeksi, komentar atas intensi, misalnya “Ini penting, tolong dengarkan
baik-baik.” Kedua, aspek konteks situasi situasional yang meliputi peran, semisal
sebagai pemimpin, orang tua; batas tempat, topik pembicaraan dan cara bicara di
kampus bebeda dengan di pasar; peristiwa/acara, dalam situasi gembira atau berduka,
akan berbeda komunikasi di dalamnya.
Littlejohn (Samovar, Larry & Richard.2010:20) mengatakan “komunikasi
selalu terjadi dalam konteks dan sifat komunikasi sangat bergantung pada konteks
ini”. Dalam fungsi ini ada beberapa elemen yang dikaitkan dengan sifat kontekstual
dari komunikasi.
-
Konteks Budaya
Budaya mempengaruhi terjadinya sebuah proses komunikasi. Konteks budaya
yang berada di sekitar seseorang dengan budaya lain jelas akan
mempengaruhi proses dari komunikasi seseorang tersebut. Contohnya, ketika
seorang batak dengan pola komunikasi yang lugas dan tegas berada di tengahtengah budaya jawa yang lembut dan halus, maka secara otomatis seorang
batak tersebut akan berusaha menekan nada suara dan logatnya menikuti
budaya yang ada disekitarnya.
-
Konteks Lingkungan
Sama dengan konteks budaya, bahwa lingkungan juga akan mempengaruhi
suatu pola komunikasi atau pola interaksi seseorang. Contohnya, seorang
narapidana yang berinteraksi dengan teman satu selnya jelas akan berbeda
ketika narapidana tersebut berada dalam ruang peradilan. Pola komunikasi
yang dia gunakan jelas berbeda, ketika dia berada di dalam sel pola
komunikasi informal antar napi pun dia gunakan, tetapi tidak ketika dia
berada dalam ruang peradilan, dia akan menggunakan pola komunikasi formal
untuk menjawab segala pertanyaan para hakim.
-
Kesempatan
Konteks kesempatan juga merubah sebuah pola komunikasi atau perilaku
seseorang. Maksudnya, suatu kesempatan yang datang atau timbul di dalam
sebuah lingkungan seseorang, akan secara otomatis merubah pola komunikasi
atau perilaku seseorang tersebut. Contohnya, ketika seorang pria berkunjung
ke rumah kekasihnya, di rumah itu kebetulan sedang sepi karena orang tua
kekasihnya sedang pergi. Kesempatan itu lah yang diambil oleh sang pria
maupun kekasihnya untuk bermesraan dalam hal positif. Namun sebaliknya,
karena ayah dari kekasihnya terbilang galak, maka keduanya pun tidak berani
mengumbar keromatisanya mereka hanya berbincang-bincang dengan
distance yang cukup jauh.
-
Waktu
Pengaruh waktu akan komunikasi jelas terlihat. Bagaimana seseorang
menjawab telepon pada jam 2 siang dengan dia menjawab telepon pada jam 2
pagi. Bagaimana seorang ayah bersikap pada anaknya pada saat pagi dengan
pada saat pulang kantor. Inilah mengapa konteks waktu juga mempengaruhi
pola komunikasi dan tingkah laku seseorang.
-
Jumlah Orang
Jumlah orang disekitar seseorang ternyata juga mempengaruhi sebuah pola
komunikasi dan perilaku seorang individu. Ketika seorang sahabat curhat
yang mana hanya melibatkan dua orang didalamnya akan jelas berbeda ketika
dia harus melakukan sebuah pidato di depan seratus orang dalam sebuah
pertemuan. Inilah mengapa konteks ini juga mempengaruhi seseorang dalam
berkomunikasi dan bertingkah laku.
Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn, “komunikasi selalu terjadi dalam
konteks dan sifat komunikasi sangat bergantung pada konteks ini.” Hal ini berarti
bahwa tempat dan lingkungan menolong seseorang untuk menentukan kata serta
tindakan yang dia hasilkan dan mengartikan simbol yang dihasilkan orang lain.
Pakaian, bahasa, perilaku menyentuh, dan lainnya di adaptasikan dalam konteks.
2.1.6 Teori Kontekstual
Berdasarkan konteks atau tingkatan analisisnya, teori-teori komunikasi secara
umum dapat dibagi menjadi lima konteks atau tingkatan menurut Littlejohn sebagai
berikut: 1. Komunikasi Personal a. Komunikasi intrapribadi b. Komunikasi
antarpribadi 2. Komunikasi kelompok 3.Komunikasi organisasi 4. Komunikasi
massa. Dalam penelitian ini peneliti berfokus pada komunikasi antarpribadi
(komunikasi Interpersonal).
A.
Pengertian komunikasi antar pribadi (Interpersonal Communication)
Menurut Littlejohn Komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antar
perorangan dan bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung (tanpa medium)
ataupun tidak langsung (melalui medium). Kegiatan-kegiatan seperti percakapan tatap
muka (face-to–face communication), percakapan melalui telepon, surat menyurat
pribadi, merupakan contoh-contoh komunikasi antarpribadi. Teori-teori komunikasi
antarpribadi umumnya memfokuskan pengamatannya pada bentuk-bentuk dan sifat
hubungan (relationships), percakapan (discourse), interaksi dan karakteristik
komunikator.
Effendy dalam Liliweri (1997) mengemukakan bahwa, pada hakekatnya
komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antar seorang komunikator dengan
seorang komunikan.Jenis komunikasi tersebut dianggap paling efektif untuk
mengubah sikap, pendapat, atau perilakumanusia berhubung prosesnya yang dialogis.
Sementara itu, Dean C. Barnlund dalam Liliweri (1997) mengemukakan,
komunikasi antarpribadi selalu dihubungkan dengan pertemuan antara dua, tiga atau
empat orang yang terjadi secara spontan dan tidak berstruktur. Sedangkan Tan (1981)
dalam Liliweri mengemukakan bahwa komunikasi antarpribadi adalah komunikasi
tatap muka antara dua atau lebih orang.
Devito dalam Liliweri (1997) mengemukakan bahwa ciri-ciri komunikasi
antarpribadi dibagi menjadi 5 yaitu: keterbukaan (openness), empati (empathy),
dukungan (supportiveness), perasaan positive (positibinese) dan kesamaan (equality).
Reardon dalam Liliweri (1997) mengemukakan juga bahwa komunikasi
antarpribadi mempunyai enam ciri, yaitu komunikasi antarpribadi 1.Dilaksanakan
atas dorongan berbagai faktor, 2.Mengakibatkan dampak yang disengaja dan tidak
disengaja, 3.Kerap kali berbalas-balasan, 4.Mengisyaratkan hubungan antarpribadi
paling sedikit antar dua orang, 5.Berlangsung dalam suasana bebas bervariasi, dan
berpengaruh, dan 6.Menggunakan pelbagai lambang yang bermakna.
B.
Tujuan Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal dapat dipergunakan untuk berbagai macam tujuan.
Devito dalam bukunya yang berjudul “The Interpersonal Communication” (2007: 7)
menyatakan bahwa semua orang yang terlibat di dalam komunikasi interpersonal
memiliki tujuan yang bermacam-macam, seperti: untuk mengenal diri sendiri dan
orang lain, untuk mengetahui dunia luar, untuk menciptakan dan memelihara
hubungan, untuk memengaruhi sikap dan perilaku, untuk bermain dan mencari
hiburan, dan untuk membantu. Tujuan-tujuan komunikasi interpersonal dapat dilihat
dari dua perspektif, yaitu:
1. Tujuan-tujuan ini dapat dilihat sebagai faktor-faktor motivasi atau sebagai
alasan-alasan mengapa kita terlibat dalam komunikasi interpersonal. Dengan
demikian, kita dapat mengatakan bahwa kita membantu orang lain untuk
mengubah sikap dan perilaku seseorang.
2. Tujuan-tujuan ini dapat dipandang sebagai hasil efek umum dari komunikasi
interpersonal. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa sebagai suatu
hasil dari komunikasi interpersonal, kita dapat mengenal diri kita sendiri,
membuat hubungan lebih baik dan bermakna dan memeroleh pengetahuan
tentang dunia luar.
C. Tahapan Komunikasi Interpersonal
Dalam membina hubungan interpersonal, terdapat proses yang terbina melalui
limatahap dan setiap tahapnya mempunyai tugas yang harus dilaksanakan dan
diselesaikan oleh perawat. Menurut Uripni (2002: 56), adapun tahapan komunikasi
interpersonal (terapeutik) yaitu, prainteraksi, perkenalan, orientasi, tahap kerja, dan
terminasi.
1. Prainteraksi
Prainteraksi merupakan masa persiapan sebelum berhubungan dan ber
komunikasi dengan pasien. Perawat diharapkan tidak memiliki prasagka buruk
kepada pasien, karena akan menggangu dalam membina hubungan dan saling
percaya.
2. Perkenalan
Pada tahap ini, perawat dan pasien mulai mengembangkan hubungan
komunikasi interpersonal yaitu, dengan memberikan salam, senyum,
memberikan
keramah-tamahan
kepada
pasien,
memperkenalkan
diri,
menanyakan nama pasien dan menanyakan keluhan pasien, dan lain-lain.
3. Orientasi
Tujuan tahap orientasi adalah memeriksa keadaan pasien, menvalidasi
keakuratan data, rencana yang telah dibuat dengan keadaan pasien saat itu,
dan mengevaluasi hasil tindakan.Pada tahap ini sangat diperlukan sentuhan
hangat dari perawat dan perasaan simpati dan empati agar pasien merasa
tenang dan merasa dihargai.
4. Tahap kerja.
Perawat memfokuskan arah pembicaraan pada masalah khusus yaitu tentang
keaadan pasien, dan keluhan-keluhan pasien. Selain itu hendaknya perawat
juga
melakukan
komunikasi
interpersonal
yaitu,
dengan
seringnya
berkomunikasi dengan pasien, mendengarkan keluhan pasien, memberikan
semangat dan dorongan kepada pasien, serta memberikan anjuran kepada
pasien untuk makan, minum obat yang teratur dan istirahat teratur, dengan
tujuan adanya penyembuhan.
5. Terminasi
Terminasi merupakan tahap akhir dalam komunikasi interpersonal dan akhir
dari pertemuan antara perawat dengan pasien. Terminasi terbagi dua yaitu,
terminasi sementara dan terminasi akhir.
-
Terminasi sementara adalah akhir dari tiap pertemuan antara perawat dan
pasien, dan sifatnya sementara, karena perawat akan menemui pasien lagi,
apakah satu atau dua jam atau mungkin besok akan kembali melakukan
interaksi.
-
Terminasi akhir, merupakan terminasi yang terjadi jika pasien akankeluar
atau pulang dari rumah sakit.
Dalam terminasi akhir ini, hendaknya perawat tetap memberikan semangat
dan mengingatkan untuk tetap menjaga dan meningkatkan kesehatan pasien.
Sehingga komunikasi interpersonal perawat dan pasien terjalin dengan baik. Dan
pada tahap ini akan terlihat apakah pasien merasa senang dan puas dengan perlakuan
atau pelayanan yang diberikan perawat kepada pasien. Untuk mengetahui apakah
komunikasi yang dilakukan perawat bersifat interpersonal (terapeutik) atau tidak,
maka dapat dilihat apakah komunikasi tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip
komunikasi terapeutik.
D.
Efektivitas Komunikasi Interpersonal
Komunikasi antarpribadi, seperti bentuk perilaku yang lain, dapat sangat
efektif dan dapat pula tidak efektif.Sedikit saja perjumpaan antarpribadi yang gagal
total atau berhasil total, tetapi ada perjumpaan yang lebih efektif ketimbang yang lain
(Devito, 1997: 259 – 270). Menurut Devito, karakteristik efektivitas komunikasi
interpersonal ini dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu: sudut pandang humanistik,
sudut pandang prakmatis, dan sudut pandang pergaulan sosial dan sudut pandang
kesetaraan.
Sudut pandang humanistic menekankan pada keterbukaan, empati, sikap
mendukung dan kualitas-kualitas lain yang menciptakan interaksi yang bermakna,
jujur dan memuaskan (Bochner & Kelly, 1974). Sudut pandang prakmatis
menekankan pada manajemen dan kesegaran interaksi dan, secara umum, kualitaskualitas yang menentukan pencapaian tujuan yang spesifik.Sudut pandang pergaulan
sosial dan sudut pandang kesetaraan didasarkan pada model ekonomi imbalan dan
beaya. Sudut pandang ini mengasumsikan bahwa suatu hubungan merupakan suatu
kemitraan dimana imbalan dan beaya saling dipertukarkan. Sudut pandang tersebut
tidaklah sama sekali terpisah, melainkan saling melengkapi. Masing - masing sudut
pandang akan membantu dalam memahami efektivitas komunikasi antarpribadi.
Lima kualitas umum yang dipertimbangkan alam sudut pandang humanistik untuk
efektifitas pribadi, yaitu: keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, dan
kesetaraan. Sudut pandang prakmatis, keperilakuan, atau sering dikatakan sebagai
sudut pandang “keras” untuk efektivitas antarpribadi, adakalanya dinamai model
kompetensi, memusatkan pada perilaku spesifik yang harus digunakan oleh
komunikator untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Adapun lima kualitas
efektivitas yang dimiliki adalah kepercayaan diri, kebersatuan, manajemen interaksi,
pemantauan diri, daya ekspresi, dan orientasi kepada orang lain. Teori pergaulan
sosial mengatakan bahwa kita mengembangkan hubungan bila manfaatnya lebih
besar dari pada biaya yang harus kita keluarkan. Kita melibatkan diri dalam
hubungan yang akan memberikan keuntungan bagi kita. Imbalan atau manfaat adalah
hal-hal yang memenuhi kebutuhan kita akan rasa aman, seks, penerimaan sosial,
keuntungan keuangan, status, dan sebagainya. Adanya komunikasi antarpribadi yang
memotivasi, dalam penerapannya berjalan seiring dengan usaha dari masing-masing
individu untuk mencapai apa yang ingin dicapai. Dalam pencapaian hasil, tidak akan
lepas dari usaha seseorang atau dengan kata lain pasti mengalami proses belajar yang
terus menerus dilakukan (Devito, 1997: 259 – 268).
Ukuran manajemen komunikasi interpersonal yang efektif adalah ketepatan
informasi yang disampaikan dan kualitas hubungan yang diciptakan. Keberhasilan
dalam mencapai ketepatan penyampaian informasi ditentukan oleh sifat dan mutu
informasi yang disampaikan, di mana hal ini selanjutnya juga ditentukan oleh
pengertian, keterangan, pengaruh sikap, hubungan yang semakin baik serta adanya
tindakan. Tubbs dan Moss (1994), menyatakan bahwa efektivitas komunikasi pada
konteks
komunikasi
interpersonal
terletak
pada
variable-variabel
yang
menitikberatkan pada aspek kualitas hubungan. Faktor-faktor yang memengaruhi
kualitas hubungan, seperti
dikutip
oleh Deddy Mulyana (1996)
adalah:
pengungkapan diri, keakraban, afiliasi dan komitmen, dominasi, serta status dan
kekuasaan. Hubungan yang berkualitas, diupayakan memenuhi hal-hal sebagai
berikut:
1. Keakraban, merupakan pemenuhan kebutuhan kasih sayang. Hubungan
antara atasan dan bawahan akan terpelihara jika komunikator dan komunikan
sepakat akan tingkat keakraban tersebut.
2. Kontrol, merupakan kesepakatan tentang siapa yang akan mengontrol siapa
dan bilamana kontrol itu harus dilakukan. Jika dua orang mempunyai
pendapat yang berbeda sebelum mengambil kesimpulan, siapa yang harus
lebih banyak dan siapa yang dominan dan yang menentukan.
3. Ketepatan respon, artinya pemberian respon yang sesuai dengan konteks
komunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal. Jika konteks pembicaraan
serius, ditanggapi secara main-main, maka akan menunjukkan sikap tidak
percaya dari komunikator. Hal demikian akan mengakibatkan hubungan
interpersonal yang kurang baik.
4. Kesesuaian emosional, meskipun mungkin terjadi komunikasi dua orang
dengan suasana emosional yang berbeda, dan tidak stabil, besar kemungkinan
salah satu pihak akan mengakhiri komunikasi atau mengubah suasana emosi
di antara keduanya.
2.1.7
Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia adalah pola penyakit bidang psikiatri yang merupakan sindroma
klinis dari berbagai keadaan psikopatologi yang sangat mengganggu serta melibatkan
proses pikir, persepsi, emosi, gerakan dan tingkah laku (Buchanan, 2005).
Skizofrenia merupakan sindrom yang heterogen yang mana diagnosisnya
belum dapat ditegakkan memakai suatu uji laboratorium tertentu, diagnosisnya
ditegakkan berdasarkan sekumpulan gejala yang dinyatakan karakteristik untuk
skizofrenia (First M.B., 2004).
A.
Gejala Skizofrenia
Gejala–gejala skizofrenia dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu:
1. Gejala positif
Gejala positif yang diperlihatkan pada penderita skizofrenia adalah sebagai
berikut:
-
Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan tidak rasional yang tidak sejalan
dengan intelegensia pasien dan latar belakang budaya. Meskipun telah
dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun
penderita tetap meyakini kebenarannya.
-
Halusinasi, yaitu pengalaman panca indra tanpa ada pembuktiannya. Misalnya
penderita mendengar suara–suara atau bisikan–bisikan ditelinganya padahal
tidak ada sumber dari suara atau bisikan itu.
-
Kekacauan alam pikir yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya
bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.
-
Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar–mandir, agresif, bicara dengan
semangat dan gembira berlebihan.
2.
Gejala negatif
Gejala negatif yang diperlihatkan penderita skizofrenia adalah sebagai berikut:
-
Alam perasaan (affect) “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran alam perasaan
ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.
-
Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn) tidak mau bergaul atau
kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming).
-
Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam (Kaplan dan
Sadock, 1994).
B.
Diagnosis Skizofrenia
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi
ketiga (PPDGJ III) membagi simptom schizophrenia dalam kelompok penting dan
yang sering terdapat secara bersama-sama untuk diagnosis (Depkes RI, 1993).
Pedoman diagnostik untuk schizophrenia menunjukan minimal terdapat satu gejala
berikut ini yang amat jelas, yaitu:
a. Thought echo, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya. Thought insertion atau withdrawal, yaitu isi pikiran asing
masuk kedalam pikirannya atau isi pikiran diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya.Thougt broadcasting, yaitu isi pikiran tersiar keluar sehingga orang lain
mengetahuinya.
b. Delusion of control, yaitu waham tentang dirinya yang dikendalikan atau
dipengaruhi, serta tidak berdaya terhadap suatu kekuatan dari luar. Delusion of
influence, yaitu waham tentang dirinya yang dipengaruhi kekuatan
luar.Delusion of passivity, yaitu waham tentang dirinya yang tidak berdaya dan
pasrah terhadap kekuatan luar.Delusion perception, yaitu pengalaman indera
yang tidak wajar namun bermakna khas bagi dirinya biasanya bersifat mistik
atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik, yaitu halusinasi suara yang terus menerus berkomentar
tentang perilakunya, berdiskusi sendiri, atau suara lain dari salah satu bagian
tubuh.
d. Waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat tidak wajar dan
mustahil.
Diagnosis juga dapat ditegakkan jika terdapat minimal dua gejala yang harus
selalu ada secara jelas, yaitu (Lauriello & Keith, 2005):
-
Halusinasi yang menetap dari panca indera, dapat di ikuti oleh waham atau ide
berlebihan yang menetap terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan.
-
Arus pikiran yang terputus atau mengalami sisipan, yang berakibat
inkoherensi atau bicara tidak relevan.
-
Perilaku katatonik, seperti gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu, atau
fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan stupor.
-
Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara jarang, dan respons emosional
tumpul atau tidak wajar, sehingga mengakibatkan menarik diri dari pergaulan
sosial dan menurunnya kinerja sosial.
Gejala-gejala tersebut berlangsung selama satu bulan atau lebih dan terdapat
perubahan bermakna terhadap perilaku pribadi yang mengakibatkan hilangnya minat,
tujuan hidup, tidak berbuat sesuatu, larut dalam diri sendiri dan penarikan diri secara
sosial (Herz & Marder, 2002; Loebis, 2007).
2.2 Kerangka Pemikiran
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komunikasi
Kontekstual yang berfokus pada teori komunikasi Antarapribadi dari Littlejohn
(1999), bahwa komunikasi antarpribadi adalah Komunikasi antar perorangan dan
bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung (tanpa medium) ataupun tidak
langsung (melalui medium). Kegiatan-kegiatan seperti percakapan tatap muka (faceto–face communication).
Penggunaan teori ini karena fokus teori ini adalah pada bentuk-bentuk dan
sifat hubungan, percakapan, interaksi, dan karakteristik komunikator. Selain itu
komunikasi antarpribadi sangat potensial untuk menjalankan fungsi instrumental
sebagai alat untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain, karena orang dapat
menggunakan kelima alat indra untuk mempertinggi daya bujuk pesan yang akan
dikomunikasikan kepada komunikan. Sebagai komunikasi yang paling lengkap dan
paling sempurna, komunikasi antarpribadi berperan penting hingga kapanpun, selama
manusia masih mempunyai emosi. Kenyataannya komunikasi tatap muka ini
membuat manusia lebih akrab dengan sesamanya.
Fokus penelitan ini adalah menyangkut bagaimana komunikasi kontekstual
perawat terhadap pasien gangguan jiwa skizofrenia. Dimana kita ketahui bahwa
dalam menangani pasien sakit jiwa tidak semudah menangani pasien yang sekedar
sakit fisik biasa.Pasien sakit jiwa akan lebih sulit untuk diajak berkomunikasi. Disini
perawat di Rumah Sakit Jiwa dalam menangani pasien sakit jiwa mereka
menggunakan komunikasi yang tepat agar pasien dapat merasa aman, terhibur dan
menganggap perawat bukan merupakan suatu ancaman bagi mereka. Komunikasi
antarpribadi ini digunakan perawat dalam menangani pasien sakit jiwa antara lain
dalam proses penyampaian pesan yang berupa nasehat, bujukan atau rayuan,
curhatan, motivasi dan pesan yang berupa larangan.
2.2.1 Bagan Kerangka Pikir
BAGANKERANGKA PIKIR
Komunikasi Kontekstual Perawat terhadap Pasien
Gangguan Jiwa Skizofrenia Di RSJ (Rumah Sakit JIwa)
Provinsi Sulawesi Tenggara
Teori kontekstual Komunikasi Antarpribadi
Littlejohn 1999
Isi Pesan Komunikasi Perawat:
-
Bujukan/rayuan
-
Curhatan
-
Nasehat
-
Larangan
-
Motivasi
Konteks Komunikasi
-
Tidak stabil
Sedih/senang
Tenang
Melakukan hal yang salah
Resah
Komunikasi yang efektif
Sumber: Hasil Modifikasi Penulis 2016
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini di laksanakan pada Rumah Sakit Jiwa Kendari Provinsi
Sulawesi Tenggara. Alasan penulis melakukan penelitian mengenai komunikasi
kontekstual perawat terhadap pasien gangguan jiwa karena melihat kehidupan
sekarang yang begitu maju, banyak orang-orang yang mengalami gangguan jiwa baik
dari segi faktor keluarga, ekonomi maupun sosial.
3.2 Subjek dan Informasi Penelitian
3.2.1 Subjek
Subjek dalam penelitian ini adalah perawat dan pasien gangguan jiwa
skizofrenia di RSJ (rumah sakit jiwa) Provinsi Sulawesi Tenggra Kota Kendari.
3.2.2 Informan
Informan dalam penelitian ini adalah beberapa paramedis yang mewakili
subjek yang memenuhi kriteria dan dapat memberikan keterangan terhadap
permasalahan yang diteliti yaitu:
Perawat
Pasien
6 orang, yang meliputi:
-
1 orang kepala perawat
-
4 orang kepala ruangan
-
1 orang perawat kejiwaan
1orang, yang meliputi:
-
1 0rang pasien skizofrenia (tingkat sedang).
3.3 Teknik Penentuan Informan
Teknik penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling (pengambilan informan berdasarkan tujuan).Penentuan informan
dalam penelitian ini berdasarkan objek yang diteliti dan berdasarkan keterkaitan
informan tersebut dengan penelitian.
3.4
Sumber dan Jenis Data Penelitian
3.4.1 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu
dengan caramenginvestarikan dan menganalisis literatur-literatur yang berupa
buku-buku, internet, jurnal yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
b. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari informan
penelitian.
3.4.2 Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif dimana data yang diperoleh
berdasarkan pada bahan informasi atau temuan dari subjek yang diteliti mengenai
komunikasi kontekstual perawat terhadap pasien gangguan jiwa skizofrenia di RSJ
(ruma sakit jiwa) Provinsi Sulawesi Tenggra Kota Kendari.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Observasi, yaitu peneliti melakukan pengamatan secara langsung pada objek
peneliti atau lokasi penelitian untuk melihat kenyataan yang ada ditempat
penelitian.
b. Wawancara, yaitu peneliti melakukan Tanya jawab langsung atau tatap muka
dengan informan penelitian menggunakan pedoman wawancara dngan
memberikan pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
c. Dokumentasi, yaitu peneliti mengumpulkan dokumentasi kegiatan peneliti
untuk menggambarkan kegiatan yang dilakukan selama penelitian.
3.6
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini bersifat analisis kualitatif. Analisis
ini mendeskripsikan hasil penelitian berdasarkan temuan di lapangan dan
selanjutnya diberi panafsiran dan kesimpulan. Data secara kualitatif ini diuraikan
dengan menggunakan kalimat secara logis dan kemudian direlevansikan dengan
teori yang mendukung.
3.7 Desain Operasional
No
Unit Analisis
Struktur Kerangka Analisis
Tehnik Pengumpulan
Data
1.
Komunikasi
kontekstual
perawat
terhadap
pasien
gangguan
Skizofrenia
jiwa
di
RSJ
(Rumah Sakit JIwa)
Provinsi
Tenggara
Sulawesi
Kota
Kendari
Menganalisis:
1. Isi pesankomunikasi
perawat
- Bujukan/rayuan
Observasi, wawancara
- Curhatan
- Nasehat
dan dokumentasi
- Larangan
- Motivasi
Menganalisis:
Observasi,
wawancra
- Tidak stabil
- Sedih/senang
2. konteks komunikasi
- Tenang
- Melakukan hal yang salah
- Resah
dan dokumentasi
3.8 Konseptualisasi
1. Komunikasi kontekstual adalah komunikasi yang terjadi pada situasi atau
sistem tertentu yang mempengaruhi apa dan bagaimana kita berkomunikasi
dan apa arti dari pesan yang kita bawa.
2. Komunikasi antarpribadi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
komunikasi yang dilakukan antara individu-individu baik secara langsung
maupun tidak langsung.
3. Komunikasi Perawat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses
penyampaian pesan yang dilakukan oleh paramedis atau tenaga kesehatan
dalam proses penanganan pasien.
4. Perawat (keperawatan jiwa) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tenaga
kesehatan yang khusus manangani pasien yang mengalami gangguan
kejiwaan.
5. Gangguan jiwa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gangguan mental
hanya mencangkup gangguan-gangguan yang melibatkan patologi otak atau
berupa disorganisasi kepribadian.
6. Nasehat atau saran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pesan yang
bersifat membangun diri pasien.
7. Bujukan atau rayuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu bentuk
pesan yang disampaikan secara halus dan lembut.
8. Curhatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah isi hati pasien yang ingin
disampaikan oleh perawat.
9. Motivasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peran perawat dalam
menjalankan semangat hidup seorang pasien.
10. Larangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pesan yang disampaikan
kepada pasien untuk tidak dilakukan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan satu-satunya pusat
rujukan kesehatan jiwa di Provinsi Sulawesi Tenggara. Rumah Sakit ini adalah
Rumah Sakit khusus jiwa Tipe B, milik pemerintah daerah Sulawesi Tenggara,
terletak diatas tanah seluas 14.000 m2 dengan bangunan yang didirikan dan
digunakan untuk operasional pelayanan sampai saat ini seluas 5.992 m2, berada
dijalan Dr. Sutomo No.29 kendari dengan kapasitas 180 tempat tidur dengan tingkat
hunian rata-rata 136% per tahun. Wilayah dispersi atau jangkauan pelayanan Rumah
Sakit meliputi 12 kabupaten/kota se Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dalam sejarah perkembangannya Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi
Tenggara pada awal berdirinya merupakan Rumah Sakit khusus tipe B non
Pendidikan milik pemerintah pusat. Dengan semangat otonomi daerah tahun 2001
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi milik pemerintah daerah
Provinsi Sulawesi Tenggara yang dipimpin oleh Kepala Rumah Sakit eselon IIIa.
Seiring dengan tuntutan kebutuhan kelembagaan dan semangat peningkatan
pelayanan kepada masyarakat khususnya masyarakat Sulawesi Tenggara, pada tahun
2012 Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara dinaikkan eselonnya menjadi
IIb. Sesuai dengan Peraturan Gubernur No. 22 Tahun 2012. Meskipun tipe Rumah
Sakit belum berubah namun dengan kerja keras dalam pemerintahan lima tahun
kedepan akan menjadi Rumah Sakit khusus tipe B pendidikan.
4.1.2
Visi Dan Misi
a. Visi
Visi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara ditetapkan dengan
memperhatikan visi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang ditetapkan
sebagai visi pembangunan Provinsi Sulawesi Tenggara sebagaimana terdapat
dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) Provinsi
Sulawesi Tenggara tahun 2014-2018, yaitu:
“Menjadi Rumah Sakit Jiwa Rujukan dan Pendidikan
Dengan
Pelayanan Paripurna tahun 2018”
b. Misi
Misi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara adalah:
1. Meningkatkan kualitas sumber daya Rumah Sakit yang mendukung upaya
peningkatan kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan paripurna kepada
semua masyarakat.
2. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada semua lapisan masyarakat
secara, cepat, tepat, nyaman dan terjangkau dengan dilandasi etika profesi.
3. Mewujudkan pelayanan yang proaktif dan perluasan jangkauan pelayanan
kepada masyarakat.
4.1.3
Tujuan
Terwujudnya peningkatan kualitas dan pemerataan jangkauan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat melalui penyediaan sarana, prasarana dan peralatan
serta mutu pendidikan.
4.1.4
Sasaran
Berkembangnya pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi
Tenggara sebagai Rumah Sakit pendidikan yang berkualitas dengan pelayanan
paripurna.
Sasaran pelayanan Rumah Sakit Jiwa sampai dengan akhir tahun 2018,
sebagai berikut:
1. Terselenggaranya kerjasama dengan instansi pendidikan kedokteran dan
kesehatan lainnya.
2. Meningkatnya kualitas dan kuantitas SDM (sesuai dengan standar RS kelas B
pendidikan.
3. Meningkatnya pemanfaatan Rumah Sakit oleh masyarakat potensial:
4
Pelayanan kesehatan kolaborasi, psikiatri, psikolog, nutrisionis
5
Terlaksananya penanganan pasien rawat jalan oleh dokter spesialis lainnya
6
Meningkatnya jumlah kunjungan pengguna jasa Rumah Sakit
7
Bertambahnya jenis layanan
8
Menigkatnya rasio efektifitas pendapatan
9
Terwujudnya efisiensi belanja
10 Tercapainya standar pelayanan minimal (SPM) Rumah Sakit .
4.1.5
Struktur organisasi
Strukturorganisasi Rumah Sakit Jiwa berikut ini telah mengikuti struktur baru
sebagaimana yang tertuang dalam peraturan daeran tentang kenaikan eselon Rumah
Sakit Jiwa dari eselon IIIa menjadi eselon IIb. Struktur organisasi Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Sulawesi Tenggara terdiri dari:
1. Direktur
2. Wakil direktur
3. Sub. Bagian umum dan kepegawaian
4. Sub. Bagian keuangan
5. Sub. Bagian pencatatan dan program
6. Kelompok jabatan fungsional
7. Bidang pelayanan medis
8. Sub. Bidang medis
9. Sub. Bidang kesehatan jiwa dan rujukan
10. Sub. Bidang peningkatan dan pencegahan
11. Bidang perawatan
12. Sub. Bidang rawat jalan
13. Sub. Bidang rawat inap
14. Sub. Bidang rawat khusus
15. Bidang penunjang medic
16. Sub. Bidang laboratorium, farmasi dan gizi
17. Sub. Bidang pemeliharaan sarana Rumah Sakit
18. Sub. Bidang pendidikan dan pengambangan profesi
4.1.6
Deskripsi Ruang Perawatan Inap
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai Sembilan ruang
perawatan inap yang terdiri dari 3 ruang kelas, seperti srikandi, anggrek dan mawar
dan 6 bangsal yang terbagi atas ruang melati, ruang flamboyan, ruang delima, ruang,
matahari, ruang asoka, dan ruang teratai. Disetiap ruangan komunikasi berlangsung
dengan teknik dan cara masing-masing.
Pembagian ruang inap pada pasien tidak dibedakan dari jenis penyakit yang
mereka derita.Pada setiap ruang inap ada beberapa jenis penyakit gangguan
jiwa.Ruang inap dibedakan atas jenis kelamin pasien, terkecuali ruang inap srikandi
merupakan ruang inap kelas I yang pasiennya digabung untuk laki-laki dan
perempuan.Ruang inap kelas II Untuk laki-laki ruang anggrek dan perempuan ruang
mawar. Dan ruang inap kelas III/bangsal, untuk pasien perempuan terdiri dari ruang
flamboyan, ruang delima sedangkan ruang kelas III/bangsal untuk laki-laki terdiri
dari ruang melati, ruang matahari, ruang asoka dan ruang teratai.
4.1.7
Profil Informan
4.1.7.1 Informan Perawat
A. Abdul Majid, S.Kep
Bapak Abdul Majid merupakan salah satu anggota petugas kesehatan
yang ada di Rumah Sakit Gangguan Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara
Kota Kendari.Umur beliau adalah 53 tahun dan beliau bekerja di
rumah sakit gangguan jiwa selama 33 tahun.Bidang kerja beliau di
rumah sakit gangguan jiwa adalah sebagai kepala perawat serta
pendidikan terakhirnya adalah S1 Keperawatan.
B. Maliki Siregar, A.Mk
Bapak Maliki Siregar merupakan salah satu anggota petugas kesehatan
yang ada di Rumah Sakit Gangguan Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara
Kota Kendari.Umur beliau adalah 38 tahun dan beliau bekerja di rumah
sakit gangguan jiwa selama 12 tahun.Bidang kerja beliau di rumah sakit
gangguan jiwa adalah sebagai kepalaruangan srikandi serta pendidikan
terakhirnya adalah D3 Keperawatan jiwa.
C. Arifudin, A.Mk
Bapak Arifudin merupakan salah satu anggota petugas kesehatan yang ada
di Rumah Sakit Gangguan Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara Kota
Kendari.Umur beliau adalah 41 tahun dan beliau bekerja di rumah sakit
gangguan jiwa selama 20 tahun. Bidang kerja beliau di rumah sakit
gangguan jiwa adalah sebagai kepala ruangan asoka serta pendidikan
terakhirnya adalah D3 Keperawatan.
D. Abdul Patawari, S.Kep
Bapak Abdul Patawari merupakan salah satu anggota petugas kesehatan
yang ada di Rumah Sakit Gangguan Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara
Kota Kendari.Umur beliau adalah 30 tahun dan beliau bekerja di rumah
sakit gangguan jiwa selama 5 tahun.Bidang kerja beliau di rumah sakit
gangguan jiwa adalah sebagai kepala ruangan teratai serta pendidikan
terakhirnya adalah S1 Keperawatan.
E. Ita, S.Kep
Ibu Ita merupakan salah satu anggota petugas kesehatan yang ada di
Rumah Sakit Gangguan Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara Kota Kendari.
Umur beliau adalah 32 tahun dan beliau bekerja di rumah sakit gangguan
jiwa selama 25 tahun.Bidang kerja beliau di rumah sakit gangguan jiwa
adalah sebagai kepala ruangan melati serta pendidikan terakhirnya adalah
S1 Keperawatan.
F. Zulkifli, A.Mk
Bapak Zulkifli merupakan salah satu anggota petugas kesehatan yang ada
di Rumah Sakit Gangguan Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara Kota
Kendari.Umur beliau adalah 25 tahun dan beliau bekerja di rumah sakit
gangguan jiwa selama 2 tahun.Bidang kerja beliau di rumah sakit
gangguan jiwa adalah sebagai perawat pelaksana serta pendidikan
terakhirnya adalah D3 Keperawatan.
4.1.7.2 Informan Pasien
Buyun Afandi merupakan salah satu pasien gangguan jiwa yang ada
di Rumah Sakit Gangguan Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara Kota
Kendari. Dulu beliau seorang mahasiswa UHO Kendari Fakultas Ekonomi
jurusan manajemen ekonomi dan beliau angkatan 1999 di UHO. Umur
beliau saat masuk rumah sakit jiwa adalah 19 tahun. Buyun Afandi sudah
15 tahun berada di Rumah Sakit Jiwa. Petugas kesehatan mendiagnosa
bahwa Buyun Afandi mengalami gangguan jiwa skizofrenia.
4.1.7.3 Informan Keluarga
Buyun Afandi merupakan anak pertama dari lima bersaudara yaitu empat
cowok satu cewek. Nama orang tua pasien adalah Abdul Wahab dan Erlani. Ayah dan
Ibunya bekerja sebagai seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil).Keluarga pasien
skizofrenia ini tinggal di kota Kendari tepatnya di Mandonga. Namun salah satu
orang tuanya sudah meninggal dunia yaitu Ayahnya.
4.1.8 Isi Pesan Komunikasi Kontekstual Perawat Terhadap Pasien Gangguan
Jiwa Skizofrenia
Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan secara terbuka dalam
upaya mencari pengertian bersama atau mencapai keadaan yang diharapkan. Dalam
penanganan pasien
yang mengalami
gangguan
kejiwaan/mental
khususnya
skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara, komunikasi
mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses penanganan pasien. Interaksi
perawat dengan pasien akan memberikan informasi atau permasalahan yang dialami
dan mengganggu pemikiran pasien.
Komunikasi awal yang dilakukan perawat bertujuan untuk mengetahui tingkat
kooperatif pasien.Jika pasien dinyatakan kooperatif (kondisi tenang) maka
komunikasi dapat dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang sedang dialami
pasien.Komunikasi yang dilakukan perawat setiap hari sesuai dengan waktu tugas
yang ditetapkan.
Tahap awal yang dilakukan perawat dalam menangani pasien yaitu berusaha
menyadarkan pasien mengenai gangguan jiwa yang dialaminya, dan mereka berupaya
memberikan pemahaman kepada pasien tentang bagaimana cara melakukan
penerimaan yang baik terhadap jenis ganggauan jiwa yang dialaminya. Dengan
mengenal gangguan jiwa yang dialaminya pasien akan berusaha melakukan tindakan
melawan jenis gangguan jiwa tersebut dengan cara atau metode yang sudah
ditetapkan. Namun, untuk memberikan pemahaman kepada pasien mengenai
gangguan jiwa yang dihadapinya, tentunya perawat harus menggunakan komunikasi
yang tepat agar isi pesan atau informasi yang akan disampaikan dapat dimengerti oleh
pasien. Agar penyampaian pesan yang disampaikan oleh perawat kepada pasien
diterima dengan baik seharusnya perawat dengan pasien harus saling mengenal
terlebih dahulu. Pernyataan ini didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan bapak
Abdul Majid, S.Kep selaku kepala Perawat :
“Pertama-tama kami mengenalkan diri, mendekatkan diri dan bersikap empati
kepada pasien kemudian sambil mempelajari latar belakang dan riwayat
penyakit pasien”.
(Wawancara pada April 2016)
Semua informan dalam penelitian ini menyatakan awal mereka berkomunikasi
dengan pasien gangguan kejiwaan yaitu dengan melakukan perkenalan, yaitu dengan
cara menyapa, memberi salam, berjabat tangan, dan menyebutkan nama pasien,
jika mereka masih mengingat nama mereka itu berarti pasien mulai sadar dan bisa
diajak berkomunikasi lebih lanjut dengan menanyakan apa yang mereka rasakan atau
lebih kepada keluhan-keluhan yang dirasakan selama ini. Dalam tahap ini juga
informan penelitian mulai mempelajari watak atau perilaku para pasien sehingga
mereka dapat mengetahui karakter masing-masing pasien.
Setalah itu, paramedis melakukan bina hubungan saling percaya atau biasa
disingkat dengan BHSP. BHSP dilakukan guna membantu paramedis dalam
menangani pasien. Pelaksanaan BHSP diharapkan penanganan pasien akan menjadi
lebih mudah dan pasien lebih terbuka dalam menyampaikan keluhan-keluhan kepada
paramedis begitu pula dengan paramedis yang dengan sifat terbuka menanggapi
informasi atau keluhan-keluhan yang disampaikan oleh pasien. Selain itu ketika
BHSP tercapai pasien akan mendengarkan apa yang dikatakan oleh paramedis. Ini
juga sebagai awal pendekatan untuk melakukan praktek keperawatan. Dengan kata
lain BHSP dilakukan agar paramedis lebih mudah mengubah sikap pasien namun
perubahan itu atas kehendak sendiri bukan paksaan. Pernyataan ini didukung oleh
hasil wawancara peneliti dengan bapak Abdul Patawari, S.Kep selaku kepala ruangan
Teratai :
“Setelah perkenalan, selanjutnya kami lakukan yang namanya bina hubungan
saling percaya antara perawat dengan pasien karena kalau itu tidak terbina
kita sebagai perawat akan sulit untuk mendekati pasien dalam proses
penanganannya. Sedangkan kalau BHSP itu tercapai apapun yang kita
lakukan, apapun yang kita arahkan kepada pasien akan tercapai juga. Dan
juga karena pasien sudah percaya kepada kita mereka tidak akan canggung
untuk mengatakan apa yang mereka rasakan atau menyampaikan keluhan
mereka, pada posisi itu jelas kami sebagai perawat memperhatiakan betul
apa yang sedang mereka bicarakan karena kami tau tidak ada orang yang
senang apabila mereka sedang berbicara lantas kita sibuk sendiri tanpa
memperhatikan mereka”.
(Wawancara pada April 2016)
Dalam praktek keperawatancara melakakukan komunikasi kontekstual adalah
suatu cara yang penting untuk membina hubungan terapeutik dan dapat
mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan. Komunikasi kontekstual sangat
penting karena dapat mempengaruhi tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan
kesehatan yang diberikan.
Komunikasi kontekstual yang diterapkan dalam ruang inap di Rumah Sakit
Gangguan Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara Kota Kendari, dilaksanakan untuk
merubah prilaku pasien gangguan mental dan untuk meningkatkan kesehatan jiwa
pasien.Komunikasi kontekstual dalam komunikasi antarpribadi yang terjadi di ruang
inap melalui percakapan, wawancara dan dialog. Proses komunikasi berlangsung
antara dua, tiga orang atau lebih secara tatap muka.
Komunikasi kontesktual yang diterapkan di Rumah Sakit Gangguan Jiwa
Provinsi Sulawesi Tenggara Kota Kendari adalah komunikasi terapeutik. Dimana
komunikasi terapeutik ini merupakan terapi penyembuhan. Manfaat dari komunikasi
terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerjasama antara perawat dan
pasien. Mengidentifikasi, mengungkap perasaan, dan mengkaji masalah serta evaluasi
tindakan yang dilakukan oleh perawat. Membantu pasien untuk mengurangi beban
pikiran dan perasaan serta dapat mengambil tindakan yang efektif untuk penanganan
pasien, dan membantu paramedis dalam mempengaruhi pasien. Pernyataan ini
didukung dengan hasil wawancara kutipan oleh ibuIta, S.Kep selaku kepala ruangan
Melati:
“Komunikasi yang kami terapkan adalah komunikasi terapeutik yang
maksuddan tujuannya itu sama dengan komunikasi kontekstual”.
(Wawancara pada April 2016)
Semua informan dalam penelitian ini menyatakan cara melakukan komunikasi
kontekstual, yaitu dengan komunikasi terapeutik melalui dengan mengidentifikasi,
mengungkap perasaan, dan mengkaji masalah serta evaluasi tindakan yang dilakukan
oleh pasien. Pernyataan ini didukung dengan hasil wawancara kutipan oleh ibuIta,
S.Kep selaku kepala ruangan Melati:
“Kami para perawat terlebih dahulu harus mengetahui inti masalah yang
dihadapi oleh pasien skizofrenia ini dengan cara kami berusaha agar pasien
gangguan jiwa skizofrenia mau mengungkapkan masalahnya, agar kami bisa
mengkaji atau mendapatkan solusi untuk terapi penyembuhan sipasien
tersebut yang berisikan suatu isi pesan, dimana pesan yang disampaikan
harus benar-benar dimengerti atau dipahami oleh pasien gangguan jiwa
skizofrenia”.
(Wawancara pada April 2016)
4.1.8.1 Bujukan/Rayuan
Rasa aman bagi pasien harus selalu diciptakan oleh perawat karena tidak
jarang perawat mendapat penolakan ketika mereka hendak berkomunikasi dengan
pasien yang mengalami gangguan kejiwaan skizofrenia ini. Kondisi yang tidak aman
diruang perawatan biasanya diciptakan oleh pasien yang
berperilaku kekerasan.
Dengan begitu perawat akan melakukan bujukan atau rayuan kepada pasien
skizofrenia yang menolak berkomunikasi atau berperilaku kekerasan tersebut.
Biasanya pasien yang seperti itu adalah pasien yang baru masuk di Rumah
Sakit Jiwa ini. Bukan hanya penolakan secara verbal yang biasa mereka dapatkan dari
pasien namun penolakan nonverbal juga sering mereka dapatkan selama bertugas
sebagai perawat di Rumah Sakit Jiwa Sulawesi Tenggara ini.
Penolakan secara verbal merupakan proses komunikasi dengan menggunakan
bahasa tutur. Dimana apabila ada salah satu pasien gangguan jiwa skizofrenia
memukul salah satu temannya (pasien), dan dilarang atau dilerai oleh perawat, pasien
yang memukul tersebut kadang marah-marah kepada perawat tersebut. Pernyataan ini
didukung dengan hasil wawancara kutipan Bapak Zulkifli, A.Mk selaku perawat
pelaksana :
“Saat kami melerai atau melarang pasien yang melakukan kekerasan, pasien
gangguan jiwa tersebut tinggal marah-marah kepada kami dan mengatakan
bahasa yang tak wajar untuk diungkapkan seperti : kurang ajar,minggir sana,
atau kamu aku pukul juga atau kamu membela dia (pasien yang saling
memukul),kamu perawat yang pilikasi. Kurang lebih seperti itu yang pasien
gangguan jiwa katakan kepada kami”.
(Wawancara pada April 2016)
Penolakan secara nonverbal merupakan proses komunikasi dengan
menggunakan bahasa tubuh (Isyarat). Sama halnya dengan kasus penolakan verbal,
dimana apabila ada salah satu pasien gangguan jiwa skizofrenia memukul salah satu
temannya (pasien), dan dilarang atau dilerai oleh perawat, pasien yang memukul
tersebut kadang mendorong kami dengan maksud untuk tidak ikut campur atau pergi
dari tempat itu atau kadang pasien skizofrenia memukul balik kami para perawat.
Pernyataan ini didukung dengan hasil wawancara kutipan Bapak Zulkifli, A.Mk
selaku perawat pelaksana :
“Saat kami melerai atau melarang pasien yang melakukan kekerasan, pasien
gangguan jiwa tersebut mendorong kami dengan maksud untuk tidak ikut
campur atau pergi dari tempat itu atau kadang kami dipukul balik oleh
pasien gangguan jiwa skizofrenia tersebut”.
(Wawancara pada April 2016)
Namun mereka sadar karena ini sudah menjadi tanggung jawab mereka
sebagai perawat yang menangani pasien yang mengalami gangguan jiwa.Dan juga
mereka berfikir hal seperti itu bukan semata-mata kemauan pasien karena tidak ada
orang yang mengalami penyakit seperti yang pasien rasakan. Pernyataan ini didukung
dengan hasil wawancara kutipan oleh Bapak Arifudin, A.Mk selaku kepala ruangan
Asoka:
“Biasanya pasien yang menolak komunikasi yaitu pasien yang baru masuk
dirumah sakit jiwa, bukan hanya penolakan secara verbal yang didapatkan
dari pasien namun penolakan nonverbal juga didapatkan oleh perawat”.
(Wawancara pada April 2016)
4.1.8.2 Curhatan
Dalam dunia keperawatan, seorang perawat juga harus menerima curhatan
dari pasien gangguan jiwa skizofrenia tersebut. Dengan begitu perawat akan lebih
mudah lagi mengetahui hal-hal apa yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan
pasien skizofrenia. Ada berbagai cara yang digunakan dalam isi curhatan pasien
gangguan jiwa skizofrenia pada Rumah Sakit Jiwa provinsi Sulawesi Tenggara
adalah:
1. Dalam proses curhatan ini dimaksudkan agar supaya para informan dapat
mengetahui apa yang dikehendaki oleh para pasien skizofrenia, masalahmasalah apa yang menonjol dari pasien skizofrenia, serta apa titik tolak dan
inti dari masalah yang dihadapi pasien skizofrenia.
2. Tindakan, dalam proses curhatan ini dimaksudkan agar dalam melaksanakan
penanganan para informan sudah melakukan tindakan yang sesuai dan tepat.
Dalam keperawatan jiwa ada juga beberapa teknik-teknik komunikasi
kontekstual
dalam
menangani
pasien
gangguan
jiwa,
diantaranya
teknik
mendengarkan, teknik bertanya, teknik menyimpulkan, dan teknik mengubah cara
pandang. Berikut ini adalah teknik-teknik yang dipakai perawat dalam komunikasi
kontekstual.
a) Teknik mendengarkan
Teknik mendengarkan merupakan teknik awal dan dasar komunikasi
kontekstual, disini perawat betul-betul mendengarkan dan aktif memberikan
umpan balik supaya apa yang disampaikam pasien dapat dimengerti.
Mendengarkan adalah proses aktif dan penerimaan informasi serta
penelahan reaksi seseorang terhadap pesan yang diterima, dalam hal ini
perawat harus menjadi pendengar yang aktif untuk bias menjadi penelah,
menganalisis apa yang terjadi pada pasien. Serta mendengarkan, perawat
harus mengikuti dengan mendengarkan.Pernyataan ini didukung dengan hasil
kutipan wawancara ibu Ita, S.Kep selaku kepala ruangan melati :
“Menyatakan bahwa teknik-teknik komunikasi kontekstual (komunikasi
terapeutik) yang kami lakukan dalam menangani pasien gangguan jiwa
skizofrenia adalah kami harus mendengarkan curhatan apa yang
disampaikan dari pasien sehingga perawat dengan mudah menganalisis
keadaan yang dialami oleh pasien tersebut”.
(Wawancara pada April 2016)
b) Teknik bertanya
Bertanya merupakan salah satu teknik yang dapat mendorong dan
memancing pasien untuk mengungkapkan perasaan dipikirannya. Tujuannya
untuk mendapatkan informasi yang lebih spesifik dan lengkap mengenai apa
yang disampaikan pasien.
Bertanya merupakan teknik dasar yang dilakukan perawat dalam
mencari informasi yang belum didapat apa yang telah disampaikan
pasien.Pernyataan ini didukung dengan hasil kutipan wawancara ibu Ita,
S.Kep selaku kepala ruangan melati :
“Setelah itu perawat bertanya bagaimana cara agar pasien mengungkapkan isi
pikiran atau perasaan yang ada dalam hatinya, sehingga perawat akan
mendapatkan informasi yang lebih spesifik lagi tentang keadaan pasien
gangguan jiwa skizofrenia ini”.
(Wawancara pada April 2016)
c) Menyimpulkan
Dapat disimpulkan dalam teknik ini, perawat mendapatkan poin utama
atau kesimpulan yang menjadi acuan untuk mengatasi masalah pokok yang
dialami pasien sehingga perawat dapat mencarikan solusi dengan membuat
perencanaan dalam teknik selanjutnya. Hal penting dalam menyimpulkan
adalah peninjauan kembali komunikasi yang telah dilakukan kembali antara
perawat dan pasien. Apabila belum dapat disimpulkan poin utama yang
dialami pada pasien maka perawat harus kembali mengulang terus teknikteknik yang dilakukan sebelumnya sampai mendapatkan pokok masalah yang
ada pada pasien sendiri, sehingga dengan demikian dapat masuk keteknik
selanjutnya dan dapat melakukan perencanaa cara mengatasi solusi dari
pemecahan masalah yang dialami pasien.Pernyataan ini didukung dengan
hasil kutipan wawancara ibu Ita, S.Kep selaku kepala ruangan melati :
“perawat akan menarik suatu kesimpulan yang menjadi acuan untuk
mengatasi masalah pokok yang dialami pasien dan mencarikan solusi
dengan membuat perencanaan dalam teknik selanjutnya”.
(Wawancara pada April 2016)
d) Mengubah cara pandang
Teknik yang paling utama dan paling akhir dalam teknik komunikasi
kontekstual, teknik mengubah cara pandang merupakan inti semuanya dari
teknik komunikasi kontekstual. Seorang perawat harus dapat memberikan cara
pandang lain agara pasien tidak melihat sesuatu masalah dari aspek negatifnya
saja, dalam teknik ini perawat harus mampu mengubah cara pandang dan
melatih pasien agar dapat keluar dari masalah yang dialaminya. Dalam teknik
ini perawat melakukan strategi perencanaan dalam mengatasi masalah yang
dialami pasien tersebut, setelah itu lalu diajarkan cara pelatihannya yang terus
menerus dilakukan.Pernyataan didukung dengan hasil kutipan wawancara ibu
Ita, S.Kepselaku kepala ruangan melati:
“Kami perawat akan berusaha mengubah cara pandang pasien gangguan
jiwaini agar pasien tidak melihat masalahnya ini dari sudut pandang
negatifnya saja dan pasien dapat keluar dari masalah tersebut”.
(Wawancara pada April 2016)
Dalam penelitian ini, hampir seluruh pasien skizofrenia menanggapi pesan
komunikasi kontekstualnya yang disampaikan oleh informan. Pasien skizofrenia
tersebut merupakan pasien yang sudah terbuka atau mau membuka diri untuk
menceritakan masalah-masalah yang tengah dihadapinya paham akan komunikasi
yang dilakukan oleh para informan baik secara verbal ataupun non verbal.
4.1.8.3 Nasehat
Komunikasi perawat dengan pasien yang dilakukan diruang inap terjadi setiap
hari. Percakapan yang dilakukan antara perawat mengarah pada pemberian nasehat
kepada pasien. Nasehat yang diberikan berupa kebersihan diri pasien.Hal ini sesuai
hasil observasi dilapangan pada tanggal 28 Maret 2016. Saat itu, terlihat perawat
memberikan nasehat kepada pasien untuk menjaga kebersihan diri mereka dengan
cara mandi dan mengganti pakaian agar orang yang berada disekeliling mereka atau
para pengunjung serta perawat yang bertugas merasa nyaman dengan kondisi mereka.
Pernyataan ini di dukung oleh hasil kutipan dengan Bapak Maliki Siregar, A.Mk
selaku kepala ruangan Srikandi :
“Untuk nasehat biasanya kami lebih menekankan tentang pembersihan diri
mereka, karena kami tahu tidak semua orang apalagi pengunjung dan
keluarga yang menjenguk pasien dapat menerima keadaan atau kondisi
mereka.Tidak jarang kami menyuruh mereka untuk menggunakan parfum
ketika selesai mandi, hal itu memang untuk kenyamanan orang yang ada
disekeliling mereka.”
(Wawancara pada April 2016)
Komunikasi yang dilakukan perawatakan efektif jika komunikasi berlangsung
terus menerus. Melatih diri menggunakan komunikasi antarpribadi yang terapeutik
akan meningkatkan kepekaan perawat terhadap perasaaan pasien skizofrenia. Saat
pasien skizofrenia mengungkapkan keluhannya pada saat itulah pengobatan dalam
proses terapeutik sudah dimulai. Keterampilan komunikasi terapeutik bukan bawaan,
melainkan dipelajari.
Komunikasi yang terjadi secara berkesinambungan dalam perawatan pasien
gangguan jiwa skizofrenia dinilai mampu menumbuhkan kepercayaan antara perawat
dengan pasien gangguan jiwa, dan menjalin hubungan yang baik antar
keduanya.Semakin sering perawat melakukan komunikasi dengan pasien, maka
semakin besar pula pengaruhnya kepada pasien skizofrenia berupa keterbukaan
pasien untuk mengungkapkan dirinya dan menerima bimbingan nasehat dari para
perawat.Pernyataan ini di dukung oleh hasil kutipan dengan Bapak Maliki Siregar,
A.Mk selaku kepala ruangan Srikandi :
“Saat kami menjelaskan bahwa kalian (pasien skizofrenia) harus mandi dan
memakai parfum agar saat keluarga kalian datang berkunjung mereka akan
senang kepada kalian, bangga kepada kalian karena bisa membersihkan diri
serta mereka tidak jijik berbicara dengan kalian karena kalian tidak bau,
maka pasien skizofrenia tidak jarang menolak bahasa nasehat kami dan
senang dengan bahasa kami dan mereka mengatakan iya sambil tertawa dan
melakukan apa yang kami perintahkan”.
(Wawancara April 2016).
Komunikasi dalam bidang keperawatan merupakan proses untuk menciptakan
hubungan antara perawat dan pasien gangguan jiwa untuk mengenal kebutuhan
pasien tersebut. Oleh karena itu komunikasi memegang peranan penting dalam
memecahkan masalah yang dihadapai. Pada dasarnya komunikasi yang terjadi
mengacu pada penyembuhan pasien yang dimana di dalamnya terdapat dua
komponen penting yaitu proses komunikasinya dan efek komunikasinya.
Perawat juga tetap membantu pasien untuk menjaga kebersihan diri,
seperti
memandikan pasien.
Namun
perawat
sulit
untuk
memaksimalkan
kebersihan pasien karena terkendala pada keterbatasan perawat
dan juga
keterbatasan kebutuhan untuk pasien di ruang perawatan. Sehingga, untuk
menutupi keterbatasan tersebut perawat selalu meminta pasien yang sudah
membaik untuk membatu merawat temannya. Pernyataan ini di dukung oleh hasil
kutipan dengan Bapak Maliki Siregar, A.Mk selaku kepala ruangan Srikandi :
“Karena keterbatasan perawat, kami kadang selalu meminta pasien yang
sudah membaik untuk membatu merawat temannya. Dan biasanya dari
mereka tidak menolak permintaan dari kami”.
(Wawancara April 2016)
4.1.8.4 Larangan
Setiap percakapan yang dilakukan perawat berbagai pesan yang disampaikan
untuk pasien, misalnya pesan larangan yang diberikan perawat dalam proses
penanganan pasien yang mengalami gangguan kejiwaan. Larangan yang diberikan
oleh paramedis biasanya bersifat lebih tegas karena melihat kondisi pasien yang
gangguan jiwa tidak seperti pasien yang hanya sakit fisik.
Pasien yang mengalami gangguan kejiwaan dapat bertindak anarkis,
membahayakan diri sendiri ataupun orang yang ada disekitar mereka.Pesan larangan
yang diberikan perawat seperti pasien dilarang untuk membawa atau menyimpan
benda tajam karena dengan benda semacam itu sangat berbahaya.
Hal ini sesuai hasil observasi pada tanggal 28 Maretl 2016 diruang inap
Flamboyan, pada saat makan siang paramedis melakukan pengawasan, dan
mengumpulan sendok makan yang mereka gunakan, karena ternyata biasanya mereka
menyimpan benda-benda seperti itu sebagai alat untuk melindungi diri mereka. Hal
ini
dikuatkan
dengan
hasil
wawancara
peneliti
dengan
kepala
ruangan
asokaBapakArifudin, S.Kep :
“Disini kami rutin melakukan pengawasan ruangan dari benda tajam. Karena
kami sangat melarang pasien untuk menyimpan atau membawa benda-benda
tajam, apalagi kalau selesai makan biasanya ada pasien yang menyimpan
sendok dengan sembunyi-sembunyi, bagi mereka sedikit saja besi itu bisa
menjadi benda tajam. Misalnya mendapat sendok satu, sendok itu
disembunyi kemudian digosok-gosok ketembok hingga ujungnya tajam.
Pokonya apapun yang namanya benda tumpul bagi mereka bisa menjadi
tajam. Kadang ada gagang spion diambil kemudian disimpan lagi untuk
mereka menjaga diri.”
(Wawancara pada April 2016)
Selain itu pesan larangan yang ditegaskan untuk pasien yaitu larangan
merokok dan mengotori ruangan. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan
Bapak Arifudin, A.Mk kepala ruangan Asoka :
“Pesan larangan yang biasa saya tekankan kepada pasien itu jangan merokok,
karena saya paling tidak suka kalau ada pasien saya yang merokok. Dan
jangan buang air sambarangan”.
(Wawancara pada April 2016)
Ini terbukti di dalam ruangan dan lingkungan sekitar ruangan tidak ada terlihat
puntung rokok ataupun sejenisnya. Namun untuk kebersihan ruangan saat itu ada
sedikit bau yang mengganggu indra penciuman. Hal itu dikarenakan ada pasien yang
buang air kecil disembarang tempat. Tetapi pada saat itu juga perawat memerintahkan
pasien lain untuk membersihkannya.
4.1.8.5 Motivasi
Motivasi merupakan faktor penggerak maupun dorongan yang dapat memicu
timbulnya rasa semangat dan juga mampu merubah tingkah laku manusia atau
individu untuk menuju pada hal yang lebih baik untuk dirinya sendiri.
Pada gangguan jiwa skizofrenia ini motivasi sangat dibutuhkan bagi mereka,
agar mereka atau pasien gangguan jiwa skizofrenia tersebut lebih bersemangat lagi
dalam proses penyembuhan mereka yang dibantu oleh perawat rumah sakit. Motivasi
tersebut dapat berupa pujian atas apa yang didapatkan oleh pasien skizofrenia. Hal ini
dikuatkan dengan hasil wawancara peneliti dengan Zulkifli, A.Mk sebagai perawat
pelaksana :
“Motivasi yang kami berikan yaitu pujian atas keberhasilan pasien menjalani
aktivitas perawatan, pengobatan yang dianjurkan”.
(Wawancara April 2016)
Motivasi seperti ini dapat lebih mendorong pasien gangguan jiwa skizofrenia
untuk lebih bersemangat lagi dalam menjalankan terapi penyembuhannya.
4.1.9 Konteks Komunikasi Perawat Terhadap Pasien Gangguan Jiwa
Skizofrenia
4.1.9.1 Tidak Stabil
Perlu diantisipasi bahwa emosi yang tidak stabil dapat mengganggu pikiran
(berfikir), sedangkan berfikir adalah alat terbaik untuk memecahkan persoalan, dan
juga bisa mengganggu perasaan.Apabila pikiran dan perasaan terganggu oleh emosi
yang tidak stabil tersebut, yang terjadi adalah pikiran dan perasaan menjadi bingung
sehingga tidak bisa berfikir secara obyektif. Dan lebih parah lagi kondisi mental kita
sampai pada taraf diffusi yakni dalam kondisi ini orang melakukan banyak gerakan
yang tidak ada gunanya, seperti; berjalan mondar-mandir, menarik-narik rambut,
menghempaskan apa saja yang ada di depannya, berteriak dan sebagainya, hal
tersebut dapat mengganggu kesehatan mental.
Dalam penelitian ini kondisi pasien tidak stabil gangguan jiwa skizofrenia
biasanya diciptakan oleh pasien yang berperilaku kekerasan. Dengan begitu perawat
akan melakukan bujukan atau rayuan kepada pasien skizofrenia yang menolak
berkomunikasi atau berperilaku kekerasan tersebut. Biasanya pasien yang seperti itu
adalah pasien yang baru masuk di Rumah Sakit Jiwa. Pernyataan ini didukung oleh
whasilkutipan wawancara oleh bapak Arifudin, A.Mk selaku kepala ruangan asoka:
“Biasanya pasien yang kondisinya lagi tidak stabil akan menolak
berkomunikasi dengan kami para perawat atau menolak untuk melakukan
perawatan di rumah sakit jiwa tersebut karena mereka merasa bahwa pasien
yang mengalami gangguan jiwa skizofrenia ini menganggap dirinya sehat–
sehat saja’’.
(Wawancara pada April 2016)
Biasanya para perawat saat menghadapi pasien skizofrenia yang lagi tidak
stabil, tidak mau menerima saran maupun tak mau berkomunikasi serta mengamuk
dengan perawat, maka perawat akan melakukan tindakan kekeresan sedikit yaitu
menempatkan pasien skizofrenia dalam sel, setelah sudah mulai tenang barulah
pasien dikeluarkan dari sel. Saat dikeluarkan
dari sel apabila kondisi pasien
gangguan jiwa skizofrenia sekitar 60% sudah mulai membaik. Tanda – tanda saat
bisa dikeluarkan yaitu saat pasien gangguan jiwa skizofrenia ini sudah bisa
nyambung berbicara dengan perawat atau keluarganya, tidak memberontak, tidak
menganggu kenyamanan yang ada disekitarnya.
4.1.9.2 Sedih/Senang
Sakit jiwa adalah gangguan mental yang berdampak kepada mood, pola pikir,
hingga tingkah laku secara umum. Seseorang disebut mengalami sakit jiwa jika gejala
yang dialaminya menyebabkan sering stres dan menjadikannya tidak mampu
melakukan aktivitas sehari-hari secara normal. Ciri-ciri orang yang mengalami sakit
jiwa dapat berbeda-beda antara satu sama lain, namun pada umumnya, mereka yang
mengalami gangguan jiwa dapat dikenali dari beberapa gejala tertentu. Gejala yang
dimaksud seperti perubahan mood yang sangat drastis dari sangat sedih menjadi
sangat senang atau sebaliknya, merasa ketakutan yang secara berlebihan, menarik diri
dari kehidupan sosial, kerap merasa sangat marah hingga suka melakukan kekerasan.
Saat pasien gangguan jiwa skizofrenia mengalami mood yaitu sedih atau
senang saat sudah berada di Rumah Sakit Jiwa maka pada saat itu sangat tepat
waktunya perawat melakukan teknik-teknik kontekstual yaitu salah satunya teknik
mendengarkan curhatan dari pasien skizofrenia ini.Tanda saat pasien lagi sedih
biasanya karena tidak dikunjungi oleh keluarganya dan pasien gangguan jiwa merasa
dirinya dipilikasikan oleh keluarganya. Dan tanda pasien gangguan jiwa lagi senang
biasanya karena sudah dikunjungi oleh anggota keluarganya.Pernyataan ini di dukung
oleh hasil kutipan wawancarabapak Abdul Patawari selaku kepala ruangan Teratai :
“Kami melakukan teknik-teknik konstekstual, seharusnya waktu yang tepat
yaitu saat mood pasien lagi senang maupun sedih, karena mereka akan cepat
meresapi isi pesan-pesan yang disampaikan dari perawat”.
(Wawancara April 2016)
Dengan melakukan hal tersebut saat pasien lagi sedih maupun senang, maka
pasien akan mengungkapkan apa yang mereka rasakan dan perawat akan lebih mudah
mengetahui hal – hal apa yang mereka harus lakukan dalam penyembuhan pasien
gangguan jiwa skizofrenia.
4.1.9.3 Tenang
Ketenangan jiwa atau kesehatan mental adalah kesehatan jiwa, kesejahteraan
jiwa. Karena orang yang jiwanya tenang, tenteram berarti orang tersebut mengalami
keseimbangan di dalam fungsi-fungsi jiwanya atau orang yang tidak mengalami
gangguan kejiwaan sedikitpun sehingga dapat berfikir positif, bijak dalam menyikapi
masalah, mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi serta mampu
merasakan kebahagiaan hidup.
Orang yang sehat mentalnya atau tenang jiwanya adalah orang yang
memiliki keseimbangan dan keharmonisan di dalam fungsi-fungsi jiwanya, memiliki
kepribadian yang terintegrasi dengan baik, dapat menerima sekaligus menghadapi
realita yang ada, mampu memecahkan segala kesulitan hidup dengan kepercayaan
diri
dan keberanian
serta dapat
menyesuaikan diri
(beradaptasi) dengan
lingkungannya.
Jadi orang yang tenang jiwanya adalah orang yang fungsi-fungsi jiwanya
dapat berjalan secara harmonis dan serasi sehingga mumunculkan kepribadian yang
terintegrasi dengan baik, sebab kepribadian yang terintegrasi dengan baik dapat
dengan mudah memulihkan macam-macam ketegangan dan konflik-konflik batin
secara spontan dan otomatis, dan mengatur pemecahannya menurut prioritas dan
herarkinya, sehingga dengan mudah akan mendapat kan keseimbangan batin, dan
jiwanya ada dalam keadaan tenang seimbang.
Pada
gangguan
jiwa
skizofrenia
dalam
diri
mereka
merasakan
ketidaktenangan, oleh karena itu mereka perlu mendapatkan perawatan baik itu dari
keluarga maupun para perawat atau petugas-petugas yang ada di Rumah Sakit Jiwa.
Dalam penelitian ini dengan cara komunikasi kontekstual lah yang dilakukan oleh
perawat agar jiwa pasien tetap tenang. Pernyataan ini didukung oleh hasil kutipan
wawancara dengan bapak Maliki Siregar, A.Mk kepala ruangan Asoka :
“Setelah pasien skizofrenia melakukan komunikasi kontekstual, kondisi
pasien kami lebih tenang, percaya diri, ada keinginan berinteraksi dengan
orang lain dan mampu mengendalikan diri serta melakukan aktivitas
hariannya dengan baik”.
(Wawancara April 2016)
Dengan begini kesembuhan pasien mulai nampak walaupun sedikit demi
sedikit. Karena proses penyembuhan tidak ada yang namanya satu kali sembuh
melainkan melalui proses. Dan para perawat pun sudah mulai berhasil melakukan
terapi penyembuhannya sedikit demi sedikit.
4.1.9.4 Melakukan Hal Yang Salah
Pasien yang mengalami gangguan jiwa sangat sering melakukan kesalahan,
baik itu kesalahan fisik maupun non fisik.Kesalahan fisik yang dimaksud dalam hal
ini seperti melakukan kekerasan yaitu saling pukul memukul dalam ruangan (sel) hal
ini dikarenakan emosi pasien skiofrenia yang mereka tidak bisa kendalikan.Dan
kesalahan non fisik seperti tidak mau mandi, minum obat, merokok dan
sebagainya.Pernyataan ini didukung oleh hasil kutipan wawancara dengan ibu Ita,
S.Kep kepala ruangan Asoka yang menyatakan bahwa :
“Pasien gangguan jiwa biasa melakukan kesalahan seperti melakukan
kekerasan sesama mereka, walaupun kami para perawat menegurnya secara
lembut mereka tidak akan mendengar justru mereka akan melakukan
kekerasan kepada para perawat juga, maka dari itu kami para perawat juga
harus keras terhadap mereka, agar mereka mau mendengarkan apa yang
kamu perintahkan demi kebaikan pasien skizofrenia tersebut, begitupun
kalau kami memerintahkan mereka mandi, tidak merokok dan sebagainya
perawat harus sedikit keras agar mereka mau mendengarkan”.
(Wawancara April 2016)
Setelah pasien sudah melakukan kesalahan tersebut, maka perawat akan
memberi nasehat baik itu berupa empati maupun simpati kepada pasien gangguan
jiwa skizofrenia.
4.1.9.5 Resah
Sifat resah selalu dialami oleh gangguan jiwa skizofrenia, dimana resah ini
termaksud
mereka yang mudah putuh asa, gundah, gelisah. Terkadang mereka
berpikiran pendek tidak memikirkan kehidupan apa yang ada pada mereka kelak
suatu hari. Hal ini sangat buruk bagi penderita ( gangguan jiwa skizofrenia ), maka
kadang kala penderita mudah meluapkan suatu emosi atau suatu kelakuan yang tidak
terkira dalam arti melukai dirinya sendiri maupun orang lain.Pernyataan ini didukung
oleh hasil kutipan wawancara dengan bapak Abdul Majid, S.Kep selaku Kepala
Perawat :
“Penderita gangguan jiwa skizofrenia tidak boleh selalu dibiarkan sendiri
(menyendiri),karena apabila mereka (gangguan jiwa skizofrenia)
sendiri,maka pasien akan berpikiran yang tidak seharusnya mereka pikirkan
dan pikiran yang pasien pikirkan yang seharusnya tidak benar mereka
anggap benar, maka perawat harus selalu berkomunikasi kepada pasien yang
terlihat suka menyendiri”.
(Wawancara April 2016)
Perawat harus selalu memantau, menjaga pasien yang mudah resah,gelisah
maupun gundah agar tidak terjadi sesuatu pada pasien gangguan jiwa skizofrenia.
Dan perawat juga harus membuat agar pasien gangguan jiwa skizofrenia ini tidak
selalu berpikiran negatif yang bisa membuat mereka merasa resah dan sebagainya,
serta membuat pasien gangguan jiwa skizofrenia berpikiran positif untuk kehidupan
mereka di masa mendatang.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Isi Pesan Komunikasi Kontekstual Perawat Terhadap Pasien Gangguan
Jiwa Skizofrenia
Komunikasi kontekstual merupakan suatu komunikasi yang bertujuan sebagai
terapi penyembuhan yang berisikan suatu isi pesan, dimana pesan yang disampaikan
harus benar-benar dimengerti atau dipahami oleh pasien gangguan jiwa skizofrenia.
Di Rumah Sakit Gangguan Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara Kota Kendari,
komunikasi kontekstual yang mereka terapkan adalah komunikasi terapeutik, dalam
hal ini komunikasi yang dilakukan oleh seorang perawat pada saat melakukan
intervensi keperawatan harus mampu memberikan khasiat terapi bagi proses
penyembuhan
pasien. Oleh karenanya seorang perawat harus meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan aplikatif komunikasi terapeutik agar kebutuhan dan
kepuasan pasien dapat dipenuhi. Komunikasi terapeutik sebagai kemampuan atau
keterampilan perawat untuk membantu membantu beradaptasi terhadap stres,
mengatasi gangguan psikologis, belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain.
Serta komunikasi terapeutik ini merupakan hubungan interpersonal (antarpribadi)
antara perawat dan pasien, dalam hubungan ini perawat dan pasien memperoleh
pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional
pasien.
Komunikasi interpersonal (antarpribadi) adalah komunikasi tanpa menggunakan
media atau komunikasi tatap muka. Jenis komunikasi tersebut dianggap paling efektif
untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku manusia berhubung prosesnya besifat
dialogis dalam arti umpan balik antara komunikator dengan komunikan terjadi
langsung (face to face) atau tatap muka sehingga pada saat itu juga komunikator
dapat mengetahui secara langsung tanggapan dari komunikan secara pasti akan
mengetahui apakah komunikasinya positif atau negatif dan berhasil atau tidak.
Komunikasi yang terjalin antara perawat dengan pasien yang mengalami
gangguan kejiwaan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan
komunikasi interpersonal (antarpribadi) yaitu komunikasi langsung atau komunikasi
tatap muka tanpa menggunakan media sebagai perantara.
Dalam praktek komunikasi terapeutik komunikasi interpersonal (antarpribadi)
sangat efektif untuk digunakan karena komunikasi antarpribadi merupakan jenis
komunikasi yang paling baik untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain, karena
orang dapat menggunakan kelima alat indra untuk mempertinggi daya bujuk pesan
yang akan dikomunikasikan kepada komunikan. Kenyataannya komunikasi tatap
muka ini membuat manusia lebih akrab dengan sesamanya.
Hasil penelitian menunjukkan, komunikasi yang dilakukan antara perawat dengan
pasien yang mengalami gangguan kejiwaan skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Sulawesi tenggara jelas terlihat merupakan komunikasi interpersonal (antarpribadi).
Karena mereka berkomunikasi dengan pasien secara langsung atau tidak
menggunakan media sebagai perantara dalam berkomunikasi. Dikaitkan dengan teori
komunikasi antarpribadi, menurut Littlejohn 1999 fokus teori ini pada bentuk-bentuk
dan sifat hubungan, percakapan, interaksi dan karakteristik komunikator. Bentukbentuk dan sifat hubungan disini merupakan bentuk dan hubungan antara perawat
dengan pasien yang mengalami gangguan jiwa skizofrenia. Dimana pada proses
penanganannya, setiap hari akan terjadi interaksi dan percakapan antara perawat
dengan pasien yang mengalami gangguan jiwa skizofrenia tersebut. Agar suatu
interaksi dapat berjalan dengan baik maka terlebih dahulu perawat harus melakukan
Bina Hubungan Saling Percaya karena pada saat itulah perawat berusaha menanggapi
dengan sepenuh hati semua pesan atau informasi yang disampaikan oleh pasien.
Dalam proses interaksi inilah perawat menyampaikan isi pesan mereka kepada
pasien dengan menggunakan teknik-teknik komunikasi yang tepat. Pesan yang berupa
bujukan atau rayuan dilakukan pada pasien gangguan jiwa skizofrenia yang menolak
untuk berkomunikasi.Pasien yang seperti ini biasanya adalah pasien yang baru masuk
rumah sakit jiwa.Pesan yang berupa curhatan dilakukan agar perawat dengan mudah
menganalisis keadaan yang dialami oleh pasien skizofrenia, mengatasi masalah
pokok yang dialami pasien dan mencarikan solusinya. Pesan yang berupa nasehat
atau saran seperti kebersihan diri seperti mandi secara teratur serta mengganti pakaian
setelah mandi dan menyangkut kesembuhan pasien yaitu pasien diperintahkan untuk
mengkonsumsi obat secara teratur. Isi pesan larangan yang diberikan paramedis lebih
menekankan kepada pasien untuk tidak menyakiti atau membahayakan diri sendiri
dan orang yang ada disekitarnya seperti larangan membawa dan menyimpan benda
tajam. Selain itu, isi pesan yang berupa laranganjuga seperti pasien dilarang untuk
merokok dan mengotori ruangan. Pesan motivasi yang dilakukan di rumah sakit jiwa
yaitu memberi pujian atas keberhasilan pasien dalam menjalankan pengobatan yang
dianjurkan dengan begitu pasien skizofrenia akan lebih bersemangat lagi menjalani
terapi penyembuhannya.
4.2.2 Konteks Komunikasi Perawat Terhadap Pasien Gangguan Jiwa
Skizofrenia
Komunikasi merupakan sarana dalam pembentukan atau pengembangan
pribadi dan untuk kontak sosial. Melalui komunikasi kita menemukan pribadi kita
dan orang lain. Dalam setiap komunikasi yang melibatkan dua orang atau lebih akan
terdapat dua diri pribadi yang harus dikenali yaitu diri sendiri dan orang yang menjadi
teman kita berkomunikasi.
Sebagai sebuah fenomena kemanusiaan, maka komunikasi antar manusia yang
oleh Littlejohn disebut dengan human communication itu, sebagaimana dikatakannya
terdiri dari beberapa bentuk atau tingkatan. Bentuk atau tingkatan yang sebelumnya
diistilahkan Littlejohn dengan setting/konteks komunikasi yang salah satunya terdiri
dari konteks interpersonal (antarpribadi).
Apabila pikiran dan perasaan terganggu oleh emosi yang tidak stabil tersebut,
yang terjadi adalah pikiran dan perasaan menjadi bingung sehingga tidak bisa berfikir
secara obyektif. Dan lebih parah lagi kondisi mental kita sampai pada taraf diffusi
yakni dalam kondisi ini orang melakukan banyak gerakan yang tidak ada
gunanya.Dalam gangguan jiwa skizofrenia apabila mereka lagi tidak stabil, kadang
kala pasien melakukan kekerasan.Biasanaya para perawat saaat menghadapi pasien
skizofrenia yang lagi tidak stabil, tidak mau menerima saran mauapun tak mau
berkomunikasi serta mengamuk dengan perawat, maka perawat akan melakukan
tindakan kekeresan sedikit yaitu menempatkan pasien skizofrenia dalam sel, setelah
sudah mulai tenang barulah pasien dikeluarkan dari sel.
Sakit jiwa adalah gangguan mental yang berdampak kepada mood, pola pikir,
hingga tingkah laku secara umum. Perubahan mood yang sangat drastis dari sangat
sedih menjadi sangat senang atau sebaliknya, merasa ketakutan yang secara
berlebihan, menarik diri dari kehidupan sosial, kerap merasa sangat marah hingga
suka melakukan kekerasan.
Saat pasien gangguan jiwa skizofrenia mengalami mood yaitu sedih atau
senang saat sudah berada di Rumah Sakit Jiwa maka pada saat itu sangat tepat
waktunya perawat melakukan teknik-teknik kontekstual yaitu salah satunya teknik
mendengarkan curhatan dari pasien skizofrenia ini.
Ketenangan jiwa atau kesehatan mental adalah kesehatan jiwa, kesejahteraan
jiwa. Karena orang yang jiwanya tenang, tenteram berarti orang tersebut mengalami
keseimbangan di dalam fungsi-fungsi jiwanya atau orang yang tidak mengalami
gangguan kejiwaan sedikitpun sehingga dapat berfikir positif, bijak dalam menyikapi
masalah, mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi serta mampu
merasakan kebahagiaan hidup.Pada gangguan jiwa skizofrenia dalam diri mereka
merasakan ketidaktenangan, oleh karena itu mereka perlu mendapatkan perawatan
baik itu dari keluarga maupun para perawat atau petugas-petugas yang ada di Rumah
Sakit Jiwa. Dalam penelitian ini dengan cara komunikasi kontekstual yang dilakukan
oleh perawat agar jiwa pasien tetap tenang.
Pasien yang mengalami gangguan jiwa sangat sering melakukan kesalahan,
baik itu kesalahan fisik maupun non fisik.Kesalahan fisik yang dimaksud dalam hal
ini seperti melakukan kekerasan yaitu saling pukul memukul dalam ruangan (sel) hal
ini dikarenakan emosi pasien skizofrenia yang mereka tidak bisa kendalikan.Dan
kesalahan non fisik seperti tidak mau mandi, minum obat, merokok dan
sebagainya.Dalam hal ini, perawat akan mengambil tindakan tegas agar pasien
skizofrenia mau mendengarkan apa yang disampaikan perawat.
Sifat resah selalu dialami oleh gangguan jiwa skizofrenia, dimana resah ini
termaksud mereka yang mudah putuh asa, gundah, gelisah. Ini sangatlah buruk bagi
penderita gangguan jiwa skizofrenia, maka dari itu perawat akan selalu berada
disamping pasien yang selalu menyendiri dan memberi pesan pesan yang positif bagi
pasien agar pasien tidak mudah mengalami sifat resah, putus asa dan sebagainya.
\
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sulawesi
Tenggara, penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1. Isi pesan komunikasi perawat dengan pasien yang mengalami gangguan kejiwaan
berupa pesan bujukan/rayuan, curhatan, nasehat, larangan, dan motivasi dan pesan
yang berupa pengetahuan yang disampaikan menggunakan teknik-teknik
komunikasi kontekstual seperti teknik mendengarkan, bertanya, menyimpulkan
serta mengubah cara pandang. Bujukan/rayuan berupa pasien gangguan jiwa yang
menolak untuk berkomunikasi adalah pasien yang baru masuk rumah sakit jiwa.
Curhatan yang dilakukan agar perawat dengan mudah menganalisis keadaan yang
di alami oleh pasien, mengatasi masalah pokok yang dialami pasien serta
mencarikan solusinya.Nasehat yang diberikan paramedis kepada pasien dalam
berkomunikasi seperti kebersihan diri seperti mandi secara teratur serta mengganti
pakaian setelah mandi dan menyangkut kesembuhan pasien yaitu pasien
diperintahkan untuk mengkonsumsi obat secara teratur. Sedangkan untuk pesan
yang berupa larangan, paramedis lebih menekankan kepada pasien untuk tidak
menyakiti atau membahayakan diri sendiri dan orang yang ada disekitarnya
seperti larangan membawa dan menyimpan benda tajam. Selain itu, isi pesan yang
berupa
larangan juga seperti pasien dilarang untuk merokok dan mengotori
ruangan. Dan untuk pesan yang berupa motivasi yaitu memberi pujian atas
keberhasilan pasien menjalankan pengobatan yang dianjurkan dengan begitu
pasien akan lebih bersemangat menjalani terapi penyembuhannya.
2. Sedangkan konteks komunikasinya yang berupa Tidak stabil menyangkut pada
pasien skizofrenia yang berprilaku kekerasan, sedih/senang merupakan suatu
kesempatan yang dapat digunakan untuk melakukan tehnik-tehnik kontekstual
yaitu tehnik mendengarkan curhatan pasien, tenang merupakan suatu kesempatan
yang dapat digunakan untuk melakukan komunikasi kontekstual (terapi
penyembuhan), melakukan hal yang salah ini biasa dilakukan oleh pasien yang
berupa kesalahan fisik dan non fisik, resah merupakan suatu tindakan yang selalu
dialami oleh pasien skizofrenia yang berupa pasien yang selalu putus asa, gaduh
serta gelisah. Dalam penelitian ini dengan cara komunikasi kontekstual lah yang
dilakukan oleh perawat agar jiwa pasien tetap tenang.Pasien yang mengalami
gangguan jiwa sangat sering melakukan kesalahan, baik itu kesalahan fisik
maupun non fisik. Kesalahan fisik yang dimaksud dalam hal ini seperti
melakukan kekerasan yaitu saling pukul memukul dalam ruangan (sel) hal ini
dikarenakan emosi pasien skiofrenia yang mereka tidak bisa kendalikan. Dan
kesalahan non fisik seperti tidak mau mandi, minum obat, merokok dan
sebagainya. Dalam hal ini, perawat akan mengambil tindakan tegas agar pasien
skizofrenia mau mendengarkan apa yang disampaikan perawat. Sifat resah selalu
dialami oleh gangguan jiwa skizofrenia, dimana resah ini termaksud mereka yang
mudah putuh asa, gundah, gelisah. Ini sangatlah buruk bagi penderita gangguan
jiwa skizofrenia, maka dari itu perawat akan selalu berada disamping pasien yang
selalu menyendiri dan memberi pesan pesan yang positif bagi pasien agar pasien
tidak mudah mengalami sifat resah, putus asa dan sebagainya.
5.2 Saran
Dari penelitian yang telah dilakukan peneliti menyarankan agar pihak Rumah
Sakit
Jiwa Provinsi Sulawesi Tenggara terus dan tetap memberikan pelayanan
terbaik kepada masyarakat khususnya pada pasien yang mengalami gangguan
kejiwaan skizofrenia yang menjalani perawatan baik rawat inap maupun rawat jalan
agar mereka dapat kembali sehat dan normal seperti manusia pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Buchanan RW, Carpenter WT, 2005, Concept of Schizophrenia, In: Sadock BJ,
Sadock VA, eds Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry, 8 th ed, Philadhelpia: Lippincott Williams and Wilkins.
Cangara, Hafied. 1998. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
DeVito Joseph A. 1997. Komunikasi Antar Manusia: Kuliah Dasar Edisi Kelima.
(Terjemahan Bahasa Indonesia) Jakarta. Professional Books.
DirjenYanmed Depkes RI, 1993, Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia (PPDGJI), Edisi III, Depkes RI, Jakarta.
Effendy, Uchyana Onong. 1992. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja
------------------------------- 2007. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung:
Rosdakarya.
First M.B., Tasman A, 2004, Schizophrenia In: DSM-IV-TR Mental Disorders
Diagnosis, Etiology and treatment, London: Wiley.
Herz M.I., &Marder, S.R., 2002, Schizophrenia comprehensive treatment and
management, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Hidayat, Dasrun. 2012. Komunikasi Antarpribadi dan Medianya. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Larry A, Samovar,& Richard E.Porter.(2010).Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta,
Indonesia: Salemba Humanika.
Liliweri, Alo.1997. Komunikasi Antarpribadi. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Lauriello, J., Bustillo, J.R., & Keth, S.J., 2005, Kaplan & Sadock’s Comprehensive
Textbook of Psychiatry (8th ed, vol 1, pp. 1345 - 1354). Schizophrenia:
Scope of The Problem, Lippincott Williams & Wilkins, Sadock B.J.,
Sadock V.A, Philadelphia.
Littlejohn, Stephen W. & Foss, Karen A., Teori Komunikasi: Edisi 9. Jakarta:
Salemba Humanika,2009.
Loebis, B. (19 Juli 2007). Skizofrenia: Penanggulangan Memakai Antipsikotik.
Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra
Utara. http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb.
Morissan. 2013. TeoriKomunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana.
Muhammad, Arni. 2008. Komunikasi Organisasi. Jakarta: BumiAksara.
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
--------------------. 2008. Komunikasi Efektif Suatu Pendekatan Lintas Budaya.
Bandung: Rosdakarya.
--------------------. 2010. Ilmu Komunikas Suatu Pengantar, Bandung: Rosdakarya.
Tubbs, Stewart L. dan Silvia Moss. Human Communication Prinsip-Prinsip Dasar.
Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Uripni, Christina Lia. (2002). Komunikasi Kebidanan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
PustakaElektronik
http://feberta:ugm.ac.id/articles/kesehatan jiwa.pdf (Diakses pada 18 Desember 2014,
18.37 WITA).
http://www.scribd.com/mobile/doc. (Diakses pada 13 Januari 2015, 12.34 WITA).
Lampiran
Pedoman Wawancara
Komunikasi Kontekstual Perawat Terhadap Pasien Gangguan JIwa Skizofrenia
Di RSJ (Rumah Sakit JIwa) Provinsi Sulawesi Tenggara Kota Kendari
a. Identitas Informan
Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Pendidikan
:
Bidang Kerja
:
Lama Bekerja
:
b. Komunikasi Kontekstual Perawat Terhadap Pasien Gangguan Jiwa
Skizofrenia
1. Bagaimana pendekatan awal anda dalam menangani pasien Gangguan
jiwa ?
2. Pasien yang mengalami gangguan kejiwaan tentu susah untuk
berkomunikasi. Bagaimana cara anda menyampaikan informasi dengan
pasien yang mengalami gangguan jiwa tersebut ?
3. Bagaimana cara anda dalam melakukan komunikasi kontekstual ?
4. Adakah penolakan pasien gangguan jiwa dalam melakukan komunikasi
kontekstual ?
5. Bagaimana anda menanggulangi permasalahan tersebut ?
6. Dalam menangani pasien gangguan jiwa adakah tekhnik-tekhnik
komunikasi kontekstual yang anda lakukan? tekhnik-tekhnik apa saja ?
7. Apakah ada pengahayatan pada pasien gangguan jiwa skizofrenia dalam
melakukan komunikasi kontekstual?
8. Selama anda menangani komunikasi kontekstual gangguan jiwa
skizofrenia adakah kendala yang anda dapatkan ? kendala yang seperti
apa saja ?
9. Apakah ada peningkatan dalam diri pasien gangguan jiwa skizofrenia
selama anda melakukan komunkasi kontekstual ?
10. Anda sebagai perawat yang berhadapan langsung dengan pasien, apakah
anda tidak merasa takut ?
11. Bagaimana kondisi pasien gangguan jiwa setelah anda melakukan
komunikasi kontekstual ?
12. Bagaimana isi pesan komunikasi?
a) Nasehat?
b) Bujukan?
c) Curhatan?
d) Motivasi?
e) Larangan?
13.Bagaimana penyampaian pesan berdasarkan kondisi keadaan pasien?
Gamabar 1 Perawat memberikan obat kepada pasien
Gambar 2 Kegiatan olahraga pada harij umat yang melibatkan pasien yang
mengalami gangguan kejiwaan
Gambar 3 Perawat memerintakan pasien untuk mengganti pakaian.
Gambar 4 Percakapan antara beberapa pasien dan perawat usai melakukan senam
bersama
Gambar 5 Perawat melakukan komunikasi untuk mengetahui perkembangan
kesehatan pasien.
Gambar 6 Perawat memerintahkan pasien untuk membersihkan diri
Download