PEMIKIRAN siwa buddha- mantra

advertisement
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN SIWA-BUDDHA
PROF. DR. I.B. MANTRAi
Oleh
I.B. Putu Suamba
1. Pendahuluan
Prof. Dr.I.B. Mantra, seorang tokoh penting di dalam perkembangan
pemikiran kebudayaan Indonesia, wafat pada tanggal 10 Juni 1995 di Denpasar
pada usia 67 tahun karena sakit. Beliau lahir 8 Mei 1928. Beliau seorang
intelektual terkemuka yang buah-buah pemikiran kebudayaannya sudah diakui
oleh masyarakat luas terutama Bali. Pesta Kesenian Bali (P.K.B.) hingga dalam
pelaksanaan yang ke-36 tahun 2014 mengambil tema Kertamasa ini, adalah
salah satu buah pemikiran beliau. Gagasan-gagasan pembangunan beliau
banyak memberikan inspirasi kepada tokoh-tokoh masyarakat.
Sejumlah jabatan penting di bidang pendidikan dan politik pernah beliau
emban dengan baik, antara lain Dekan Fakultas Sastra, Universitas Udayana
(1962-1965), Rektor Universitas Udayana (1964-1968), Direktur Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. (1968-1978),
Gubernur Bali (1978-1988), Duta Besar Luar Biasa R.I. di New Delhi, India
(1989-1992), dan lain-lain. Disamping itu beliau bersama-sama tokoh-tokoh
lain menggagas berdirinya Parisadha Hindu Dharma Indonesia (1959), Maha
Widya Bhawana Institut Hindu Dharma (1963), dan lain-lain.
Mengenang kembali pemikiran-pemikiran dan sepak terjang Prof. Dr.
I.B. Mantra (1928-1995) dalam berbagai bidang dirasakan perlu di tengahtengah percaturan pemikiran dunia yang melanda Indonesia. Murid-murid,
sahabat-sahabat atau staf-staf beliau ketika masih aktif di pemerintahan pastilah
terkenang dengan sosok ini. Bagi mereka yang tidak mengenal beliau secara
langsung tentu saja usaha-usaha untuk menggali atau meninjau kembali
1
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
pemikiran-pemikiran2 beliau dirasakan penting kalau bukan menjadi keharusan
terutama generasi muda Bali agar mempunyai pengetahuan sejarah pemikiran
manusia Bali di masa lampau sebagai bekal menata masa sekarang dan masa
depan; apalagi pada hari-hari berpulang beliau.
Paper ini mencoba membahas salah satu pemikiran beliau di bidang
sejarah kebudayaan Indonesia, yaitu sejarah pekembangan Siwa-Buddhagama
sebagai cikal bakal berkembangnya Hindu moderen di Indonesia. Penekanan
diberikan pada kesamaan atau paralelisme konsep pada tataran metafiska antara
ajaran Saiwa dan Bauddha. Penulis hanya memaparkan pemikiran-pemikiran
Prof. Mantra berdasarkan sumber-sumber. Pada bagian akhir dicoba dilakukan
refleksi kontekstual atas fenomena Siwa Buddha baik di India maupun di
Indonesia secara sekilas.
I.B. Mantra
2. Sumber Acuan
Kajian ini berdasarkan hanya pada dua tulisan beliau yang sudah
diterbitkan secara maluas. Prof. Dr. I.B. Mantra pernah menulis makalah
bertema Siwa-Buddha, yaitu “Pengertian Siwa-Buddha dalam Sejarah di
Indonesia” yang disajikan dalam Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional di
Malang, 3-9 Agustus 1958. Paper ini bersama-sama dengan artikel senafas
2
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
diterbitkan dalam bentuk buku Siwa Buddha Puja di Indonesia oleh Yayasan
Dharma Sastra, Denpasar (2002). Prof. Mantra juga menulis “The Cult of Siwa
Buddha” menjadi bagian buku The Art and Culture of South-East Asia (1991)
disunting dan diterbitkan oleh Prof. Dr. Lokesh Candra, Direktur International
Academy of Indian Culture bekerjasama dengan Aditya Prakashan di Delhi,
India3. Artikel kedua ditulis ketika beliau menjabat sebagai Duta Besar R.I. di
New Delhi, India atas permintaan dari Prof. Dr. Lokesh Candra. Kedua tokoh
ini memang telah saling mengenal ketika I.B. Mantra belajar di India. Sayang
sekali kedua tulisan penting ini tidak disinggung dalam biografi beliau (1998)4.
Walaupun demikian tulisan pertama banyak dikutip oleh peneliti ketika
membahas ajaran Siwa Buddha di Indonesia, walaupun formulasi pemikiran
melalui kalimat atau ungkapan banyak yang kurang lancar. Yang menarik dari
kedua tulisan ini adalah walaupun rentang waktu ditulis artikel pertama (1958)
dan kedua (1991) cukup panjang, yaitu 33 tahun namun substansi masalah yang
dikaji masih tetap sama, yaitu Siwa-Buddha di Indonesia. Beliau masih tetap
pada pendiriannya menguatkan akar tradisi agama ini dengan kajian-kajian
ilmiah bersumber dari tradisi-tradisi di India, Nepal, Jepang, dan sebagainya.
3. Tradisi Saiwa-Bauddha
Tradisi agama Hindu yang diwarisi di Bali dan Lombok mengenal
adanya pemujaan kepada Siwa-Buddha, sebagai kekuatan tertinggi. Mereka
meyakini dan melaksanakan ajaran ini. Ungkapan-ungkapan yang menyatakan
Siwa dan Buddha itu tunggal cukup banyak ditemukan, misalnya, dalam naskah
kakawin. Bhatara Siwa-Buddha di-sthana-kan dan dipuja di dalam sebuah
pelinggih disebut Padmasana. Kehadiran pendeta Siwa dan pendeta Buddha
dalam pumut yajna tertentu, misalnya, telah menjadi perhatian tersendiri yang
tidak ada di dalam tradisi India lainnya. Keadaan yang unik ini dari perspektif
sejarah kebudayaan sangat menarik untuk diteliti.
Sebagai seorang intelektual muda yang mengenyam pendidikan di India
pada suatu era dimana kondisi keintelektualan masyarakat Bali belum semaju
sekarang, beliau merasa secara moral dan intelektual keilmuan berkewajiban
3
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
untuk menjelaskan fenomena keagamaan yang ada di Bali. Beliau menyadari
pengetahuan yang dimiliki agar bermanfaat bagi masyarakat Bali; dan memang
Bali dan agama Hindu Bali pada saat-saat seperti itu memerlukan pemikiranpemikiran kebudayaan dan agama yang bisa menjelaskan berbagai fenomena
yang masih belum jelas. Status agama Hindu Bali pada saat itu belum seperti
sekarang; belum diakui secara resmi sejajar dengan agama-agama lain di
Indonesia. Jika menilik disertasi beliau berjudul “Hindu Literature and
Religion in Indonesia” (1955), memang sangat terkait dengan sejumlah naskah
yang bisa dikaitkan dengan fenomena Siwa-Buddha ini.
Yang mendesak perlu diketahui oleh masyarakat Hindu di Bali waktu itu
adalah bagaimana penyatuan Siwa dan Buddha itu bisa terjadi? Bagaimana
teologi (ajaran ketuhanan) agama ini? Apakah Saiwa-Bauddhagama ini berbeda
dengan agama Hindu dan agama Bauddha? Inilah sejumlah pertanyaan yang
kira-kira Prof. Mantra ingin jelaskan kepada pembaca/masyarakat. Jika hal ini
bisa dijelaskan secara baik berarti tradisi keagamaan (yang ritualistik) di Bali
dan Lombok memiliki landasan tattwa atau ilmu ketuhanan yang jelas sehingga
umat Hindu tidak merasa apa yang telah ditradisikan salah secara tattwa.
4. Saiwa-Siddhanta dan Buddha-Mahayana
Pengamatan Prof. Mantra atas teologi ketuhanan agama Saiwa-Bauddha
di Indonesia berdasarkan atas sejumlah naskah berbahasa Jawa Kuno dan juga
dalam bentuk prasasti. Namun beliau nampaknya belum menemukan suatu
penjelasan yang memuaskan (dalam arti analisis aspek-aspek metafisika); beliau
menemukan pernyataan-pernyataan menunggalnya antara Siwa dan Buddha
dalam berbagai naskah melalui konsep-konsep emanasi pada kedua agama ini.
Beliau tidak mengenyampingkan tulisan-tulisan sarjana asing, seperti Kern,
Rassers, dan lain-lain yang telah melakukan kajian atas isu ini, namun cara
pandang Prof. Mantra tidaklah sama. Beliau mengkaji dari aspek metafisika
(tattwa) kedua agama ini. Dari kondisi ini beliau mencoba melihat sumbersumber di tanah kelahiran agama-agama ini yaitu India (Bharata). Berdasarkan
pengamatan sejumlah fenomena agama, kebudayaan maupun filafat (darsana)
4
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
di India, dan juga mempelajari sejarah perkembangan agama-agama India baik
di dalam negeri India maupun perkembangannya menyebar ke luar India, beliau
mendasarkan analisa Siwa-Buddha di Indonesia pada dua tradisi besar yaitu
tradisi Saiwa Siddhanta yang berkembang pesat di India Selatan dan Buddha
Mahayana yang berkembang tidak hanya di India namun juga di luar India,
seperti Tibet, Nepal, Sri Lanka, China, Mongolia, Korea, Asia Tenggara, Asia
Tengah, Jepang dan lain-lain. Untuk perkembangan di luar India, Prof. Mantra
sangat menaruh perhatian pada perkembangan ajaran Buddha di Nepal dan
Jepang yang kemudian dikenal dengan Zen Buddhism.
Berikut ini dicoba diungkapkan kembali kajian5 Prof. Mantra atas kedua
tradisi ini secara singkat.
4. 1 Saiwa-Siddhanta
Secara umum mazab-mazab Saiwa menempatkan Siwa sebagai
Kekuatan/Prinsip tertinggi. Siwa menjadi tujuan tertinggi setiap pemuja-Nya.
Walaupun demikian masing-masing mazab/sekte mempunyai perbedaanperbedaan menyangkut tata cara pemujaan dan konsep atau hakikat
prinsip/kekuatan tertinggi dalam hubungannya dengan dunia (jagat) dan jiwa
yang bersemayam di alam dan dalam diri manusia. Ajaran Saiwa secara umum
telah melahirkan kebudayaan khas bernuansa ajaran Saiwa. Lingga-yoni, Yoga,
Mantra Pancaksara, dan sebagainya adalah ciri-ciri yang ada di dalam tradisi
Saiwa. Ada sejumlah mazab Saiwa di India, seperti Pasupata, Saiwa Kashmir
(atau Trika, Pratyabhijna), Wira Saiwa (Linggayata) dan Saiwa Siddhanta dan
lain-lain dan luar India, seperti tradisi Saiwa di Jawa dan Kamboja. Saiwa
Siddhanta dipandang sebagai mazab terbesar baik pengaruh, persebaran
maupun pengikut dan kebudayaannya. Mazab ini sangat dominan di India
Selatan khususnya Tamil Nadu. Menurut Prof Mantra, mazab Saiwa Siddhanta
sampai di Indonesia6. Namun muncul persoalan baru: Apakah ajaran Saiwa
Siddhanta yang ada di India Selatan sama persis dengan ajaran Saiwa di
Indonesia?
5
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
Prof. Mantra menulis, konsep ketuhanan Saiwa-Siddhanta di India
Selatan dapat dijelaskan dengan mengamati hakikat Siwa dalam tiga
bentuk/wujud, yaitu (1) Siwa Tattwa, (2) Sada Siwa Tattwa dan (3) Mahesa
Tattwa; masing-masing berhakikat Niskala, Sakala-Niskala dan Sakala. Kala di
sini dimaknai sebagai bentuk, disamping artinya yang lain lagi 7. Hakikat dari
Siwa Tattwa adalah tanpa bentuk (formless), tanpa perbedaan (undifferentiated),
dan Niskala. Dalam keadaan ini semua ciptaannya menggabungkan diri ke
dalam Penyebab Utama/Tertinggi (Primal Cause) yang tertinggi,
tenang,
mengatasi segalanya, tanpa awal dan tanpa akhir, memenuhi segalanya, kekal
dan maha-suksma. Inilah yang dimaksud dengan Niskala, hakikat dari Siwa
Tattwa8.
Dari sifat kasih Siwa Tattwa yang tidak terbatas muncul sebagian kecil
dari diri-Nya lima Sakti, yaitu (1) Para Sakti (kadang-kadang disebut juga
dengan Santyatita Sakti), (2) Adi Sakti atau Santi Sakti, (3) Ichcha Sakti atau
Widya Sakti, (4) Jnana Sakti atau Pratishta Sakti dan (5) Kriya Sakti atau
Nirwriti Sakti. Masing-masing sakti mempunyai kedudukan tertentu terhadap
jiwa sendiri9.
Pada Sakala-Niskala terdapat lima Sada Siwa Tattwa yang muncul dari
lima Sakti yang telah disebutkan di atas. Proses ini mulai dari Para Sakti ke
bawah. Dari Para Sakti muncul Sada Siwa (Siwa Sadakhya). Sada Siwa ini
disebut demikian oleh karena muncul dari Para-sakti; alamnya suci (pure). Dari
Adi Sakti muncul perwujudan kedua yaitu Sada Siwa tattwa, juga disebut Isana.
Dianggap sebagai Niskala (amurtata) karena muncul dari Adi Sakti yang tidak
berbentuk. Yang ketiga muncul dari Ichcha Sakti. Ini adalah Sada Siwa yang
ketiga juga disebut Brahma. Tattwa ketiga ini dianggap sebagai yang
mempunyai wujud dan disebut dengan nama murta. Dalam alamnya yang
Sakala, Sada Siwa Tattwa muncul dari Jnana Sakti dan disebut Iswara.
Barulah kita sampai pada yang terakhir yaitu Sada Siwa Tattwa yang mana
adalah hasil dari Kriya Sakti. Tattwa ini disebut Karma Sadakhya dan juga
dikenal sebagai Isana. Kelima Sadakhya ini biasanya dikenal sebagai Wama
6
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
Dewa untuk Isa, Tatpurusa untuk Isana, Aghora untuk Iswara, Sadyojata untuk
Brahma dan Isana untuk Sada Siwa. Kelima dewa ini masing-masing
menghadap ke Utara, Timur, Selatan, Barat dan Atas10.
Jadi yang diuraikan di atas adalah dalam Niskala-Sakala. Yang terakhir
yang ketiga dalam sistem teologi ini dari Saiwa-Siddhanta adalah Mahesa
dalam hakikatnya sebagai Sakala. Ia muncul dari Karmesa dan disebut
Mahesamurti. Ini mempunyai hubungan langsung dengan ketiga proses dunia,
yaitu Sristi (ciptaan), Sthiti (perlindungan), dan Laya (kehancuran). Oleh karena
itu ia berada dalam bentuk sakala. Dari tattwa ini (yaitu Maheswara) muncullah
Rudra Dewa, Wisnu dan Brahma11.
Untuk lebih jelasnya perhatikan bagan berikut12.
4.2 Buddha-Mahayana
Secara agama, ada dua mazab besar dalam Buddhisme, yaitu Hinayana
(kendaraan kecil) dan Mahayana (kendaraan besar). Di antara kedua mazab ini,
terdapat sejumlah perbedaan disamping persamaan. Metafisika BuddhaMayahana dinilai mempunyai perkembangan yang mendekati bentuk ilmu
ketuhanan Saiwa-Siddhanta. Tujuan akhir ajaran Mahayana adalah tercapainya
ke-buddha-an (buddha-hood). Tidak sama dengan ajaran Hinayana, Mahayana
percaya dengan adanya badan bayangan perseorangan dari Buddha. Hinayana
7
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
atau Therawada memandang Buddha dan perbuatannya hanya sebagai seorang
tokoh sejarah di masa lalu. Pada mazab Mahayana, pada sisi lainya, Buddha
adalah prinsip tertinggi (highest principle) dari persatuan kosmos. Prinsip
tertinggi ini diberi empat aspek dikenal dengan kaya (badan) dari Buddha.
Aspek-aspek tersebut adalah (1) Swabhawaka-kaya, (2) Dharma-kaya, (3)
Sambhoga-kaya, dan (4) Nirmana-kaya13. Swabhawaka kaya kadang-kadang
dimasukkan ke dalam Dharma kaya mengingat hakikatnya yang hampir sama.
Dengan demikian hanya ada tiga, yaitu (1) Dharma kaya, (2) Sambhoga kaya
dan (3) Nirmana kaya atau Rupa. Ketiganya dikenal dengan sebutan Tri kaya
(tiga jenis badan Buddha).
Swabawaka-kaya adalah kesadaran yang murni (pure consciousness),
bersih dan bebas dari semua kotoran, dari subjektivitas dan objektivitas; adalah
pasif dan berada di mana-mana, persatuan dari kosmos dari kebijaksanaan yang
tidak terbatas, mempunyai rasa kasih yang universal yang menjadi prinsip dari
semua dharma. Alam swabhawaka-kaya ini disamakan dengan Buddha14.
Dharma kaya pada esensinya tidak berbeda dengan Swabhawaka kaya.
Keduanya pasif dan niskala. Swabhawaka kaya adalah menjadi asal dari
Dharma kaya. Dharma kaya menunjukkan kesatuan dari Tatha rupa dari
kesatuan tadi. Untuk lebih jelasnya lagi adalah dharma dhatu yang ada di dunia
ini. Alam dari Dharma kaya dijelaskan dalam kitab Awatamsaka sutra15.
Kaya yang ketiga adalah Sambhoga kaya. Kaya ini biasanya disebut
dengan “badan bahagia”. Ini adalah badan penjelmaan dari Dharma kaya,
mahasuksma dan memperlihatkan dirinya sebagai superhuman dalam berbagai
keadaan yang berbahagia; yang mengajarkan kebijaksanaan pada manusia16.
Selanjutnya kaya ke tiga, Nirmana kaya. Bila Sambhoga kaya
memperlihatkan dirinya di dunia, ini dilakukan dalam bentuk badan yang aktif
dan badan ini disebut Nirmana kaya. Diri pribadi Buddha (maksudnya Pangeran
Siddharta) yang bersejarah yang hidup di dunia adalah Nirmana kaya (tubuh
transformasi). Ia adalah dianggap sebagai penjelamaan dari tatha gata yang
8
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
kekal. Pada Nirmana kaya tergolong buddha-buddha yang turun ke dunia
sebagai Dipankara, Kasyapa, Gautama Buddha, Maiterya dan lain-lain. Secara
garis besarnya kaya-kaya tersebut dapat digolongkan menjadi dua kelompok
besar yaitu (1) Swabhawaka kaya dan Dharma kaya adalah yang murni (pure),
pasif, dan (2) Sambhoga kaya dan Nirmana kaya yang memperlihatkan diri di
dunia ini untuk diketahui oleh manusia. Kadang kadang Swabhawaka kaya
tidak disebutkan dan yang disebutkan hanya Dharma kaya mewakili prinsip
yang suci dan pasif.17
Selanjutnya Prof. Mantra mencoba melihat konsep yang sama namun
lebih berkembang pada Mahayana Buddhisme di Jepang, yaitu pada tradisi
Shingon. Teori ketuhananan sekte ini nampak mirip dengan Saiwa Siddhanta.
Dalam tradisi ini, Tathagata Mahawairoca dari Dharma kaya mempunyai dua
bagian yaitu Garbhadhatu (elemen matriks) dan Wajradhatu (elemen
halilintar).
Garbadhatu
mempunyai
karakter
(a)
Mahasamadhi,
(b)
Kebijaksanaan, dan (c) Kasih. Masing-masing sifat ini ditunjukkan pada
Buddha, Wajra dan Padma.
Buddha sesuai dengan Tathagata Maha
Wairocana yang mempunyai arti pengetahuan sempurna. Yang kedua sesuai
dengan Wajra Sattwa yang mempunyai arti kebijaksanaan dan kuat dalam
alamnya dan merupakan pemusnah segala bentuk nafsu. Yang ketiga sesuai
dengan Awalokiteswara yang mempunyai arti pikiran yang murni (pure
thought) pada rohani dari makhluk yang hidup18.
Dhatu yang kedua, yaitu Wajradhatu mempunyai lima aspek; yang tiga
termasuk ketiga sifat-sifat tadi di atas dan dua lainnya
termasuk
Ratnasambhawa untuk memperlihatkan kebenaran dan kebebasan yang
sempurna dari Buddha tanpa batas dan yang lima Karmanubhawa
memperlihatkan penyelesaian dari semua pekerjaan19.
Dengan demikian Shingon Buddhism mengajarkan delapan penjelasan
mengenai Adi Buddha Maha Wairocana (Dainici-Nyorai), yaitu lima dari
Wajradhatu dan tiga dari Garbhadhatu. Akan tetapi pada kedua golongan ini
Maha Wairocana memperlihatkan dirinya sebagai yang terpenting. Keterangan
9
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
mengenai kedua dhatu memberi pada kita suatu pengertian dari karakternya
yang dinamis dan mempunyai potensi. Wajradhatu menurut keterangan ini
adalah tidak berubah dan merupakan unsur tathata; statis dan mempunyai
potensi, jadi tergolong pada Dharma kaya. Dhatu yang kedua, yaitu Garbha
dhatu yang berdiri dari Buddha (Maha Wairocana), Wajra-satwa (Wajra)
Awalokiteswara (kelas Padma) adalah aspek yang dinamis dari kebenaran.
Prof. Mantra menempatkan Garbhadhatu sebagai inti sari dari ketiga
kelas tadi dan sebagai rahim yang berisi benih-benih dari semua makhluk.
Anggota yang pertama ditempatkan Buddha dalam Dharma kaya sebagai kepala
dari Tatha gata20.
Dalam tradisi Buddhisme di Nepal yang bersifat theistik disebutkan
bahwa Buddha historis adalah representasi dari penyebab pertama, tidak
terciptakan, mengada dengan sendirinya (swayambhu)... Ia tidak dapat dilihat;
ia adalah nirwana. Walaupun demikian ia adalah sinar murni, dari alam Sunya
ia mengeluarkan/menciptakan, nama beliau banyak tak terhitung. Melalui
kekuatan kontemplatifnya (dhyana) ia menciptakan lima Jina atau Dhyani
Buddha, yaitu (1) Wairocana (yang cerdas), (2) Aksobhya , (3) Ratnasambhawa
(kelahiran permata), (4) Amogasiddhi (kesuksesan) dan (5) Amitabha (sinar tak
hingga); mereka adalah pencipta bentuk-bentuk jasmani (skanda)21.
Dari sini, lanjut Prof. Mantra menyatakan bahwa apa yang dimaksud
dengan tiga kelas tadi sebenarnya adalah tiga kaya. Jika demikian, maka Wajra
satwa merupakan inti sari dari semua dewa dalam Sambhoga kaya. Ini rupanya
benar jika diperhatikan sistem ketuhanan Saiwa Siddhanta yang mempunyai
kemiripan dalam beberapa hal.
Yang agak membingungkan, menurut Prof. Mantra, karena di dalam
tradisi Buddhisme di Nepal, Wajra Satwa dianggap sebagai Purohito dari
kelima Dhyani Buddha. Jika demikian, maka ia adalah berada di dalam Dharma
kaya. Akan tetapi hal ini dapat diabaikan jika kita memikirkan karakternya yang
dapat mengatasi segalanya.
10
Kadang-kadang di Nepal ia memakai gambar
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
Aksobhya pada mahkotanya. Simbul ini menyebabkan beberapa orang mengerti
ia muncul dari Aksobhya sebagai bentuk yang lain dari Wajrapani. Namun
umumnya pada penganut ajaran Buddha menganggap ia sebagai yang tertinggi
di antara dunia dewata. Jadi, Wajra Satwa dianggap sebagai satu dari Buddha22.
Menilik anggota yang ketiga dari Garbhadhatu dapat dipastikan bahwa
Awalokiteswara tergolong pada Nirmana kaya. Dalam tradisi Nepal kita
menemukan pandangan yang sama. K.J. Sounders dalam karyanya Epochs in
Buddhist History mengatakan bahwa Sakhyamuni merupakan refleksi dari
Awalokiteswara yang merupakan Dhyani Boddhi sattwa dari Amitabha yang di
dalamnya merupakan Adi Buddha dilahirkan. Pendapat ini cukup beralasan
bahwa kadang-kadang kita jumpai dari Samantabhadra, Boddhisatwa dari
Wairocana dengan Adi Buddha. Pertimbangan ini mungikin terjadi bahwa
intisari dari Adi Buddha adalah juga didapati di dalam Samantabhadra. Jadi,
atas pertimbangan ini Samantabhadra adalah juga pada dasarnya Buddha.
Begitu halnya dengan Awalokiteswara. Dengan ini dapat memberi keterangan
singkat mengenai Mahayana Buddhisme di Jepang (Shingon) dan juga di Nepal.
Hal penting yang di dapatkan di sini adalah adanya persamaan-persamaan
antara sistem-sistem ini dengan apa yang dapat kita lihat di dalam ajaran
Buddha di Indonesia23.
5. Saiwa Siddhanta dan Buddha Mahayana: Paralelisme
Jika diperhatikan kedua tradisi ini terdapat sejumlah persamaan yang
menarik diperhatikan. Pada Saiwa Siddhanta terdapat Tri Tunggal, yaitu
Parama Siwa, Sada Siwa dan Maheswara yang masing-masing berada di dalam
Niskala, Niskala-Sakala, dan Sakala. Sementara itu, di dalam Mantra
Buddhisme yang dimaksud Tri Tunggal ini adalah Buddha, Wajrasatwa dan
Awalokiteswara yang masing-masing berada pada Dharma kaya, Sambhoga
kaya dan Nirmaya kaya. Di dalam Buddhisme Adi Buddha diyakini selalu
mengada dalam keadaan ketenangan sempurna. Bagian aktifnya yang
direpresentasikan sebagai alam semesta diwujudkan melalui lima aktivitas
penciptaan terpisahnya, yaitu lima Dhyani Buddha sebagai emanasi dari dirinya
11
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
sendiri. Buddha-buddha ini disebut dengan Buddha-buddha ketuhanan karena
mereka lahir langsung dari Adi Buddha. Kelima Buddha tersebut adalah
Wairocana, Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha dan Amogasiddhi. Di Jepang
kelima ini disebut agak berbeda pengertiannya. Hal tersebut dapat dibandingkan
dengan kelima Sakti dari Siwa tattwa. Dikatakan bahwa Purusotattama yang
tidak mempunyai awal dan akhir, kekal, maha suskma, tidak dapat dipahami
dan lain-lainnya, adalah niskala. Akan tetapi di dalam cinta kasihnya yang
memenuhi dunia, keluarlah dari sebagian kecil dirinya lima sakti, yaitu Para
Sakti, Adi Sakti, Ichcha Sakti, Jnana Sakti dan Kriya Sakti. Dengan mengetahui
kedudukan dari masing-masing Sakti tersebut di atas dan kemudian
membandingkan dengan lima Dhyani Buddha, maka kita dapat mengerti suatu
dasar persamaannya. Kita juga menyaksikan bahwa dari lima Dhyani Buddha
atau Tathagata muncul lima Bodhhisattwa, yaitu Samantabhadara, Wajrapani,
Awalokiteswara (Padmapani), Ratnasambhawa, dan Wiswapani. Tiap-tiap dari
Boddhisatwa ini merupakan bayangan cermin dari Dhyani Buddha. Pengertain
yang sama juga terdapat di dalam Saiwa Siddhanta, dimana pancarannya
diwakili oleh Isana, Tatpurusa, Sadyojata, Aghora dan Wama Dewa24. Jadi di
dalam Wajrayana Buddhisme, Adi Buddha dianggap sebagai dewa tertinggi dan
yang menjadikan kelima Dhyani Buddha. Ia diwakili oleh Yub-Yan yang
memeluk Prajnaparamita25.
Lanjut Prof. Mantra, jika kita melihat persamaan dari kedua sekte ini
maka keyakinan kita bertambah-tambah
bahwa kedua susunan ilmu
pengetahuannya sebenarnya dibuat atas dasar yang sama. Dari persamaan
tersebut tidak diragukan lagi adanya keharmonisan26.
Penyelidikan
terhadap
konsep
Sakti
di
dalam
Buddhisme
memperlihatkan sejumlah paralelisme dengan Siwaisme. Bentuk Yub-Yan ini di
dalam Siwaisme diwakili oleh konsep Siwa dan Sakti (Parwati). Penyatuan dari
dua bentuk Siwa dan Sakti ini dikenal dengan sebuat Ardhanareswari murti. Di
sini Siwa pasif, namun Sakti-nya aktif/dinamis dalam membebaskan jiwa dalam
ikatan yang disebabkan oleh karma-nya.
12
Di sini kita melihat pengertian
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
dualisme di dalam non-dualisme.
Di dalam Wajrayana Buddhisme juga
dikatakan bahwa Adi Buddha (Prajna) adalah suci (pure) dan pasif. Inspirasi
keagamaan datang dari Sakti (Karuna). Karuna adalah emosi yang aktif dari
kasih yang begerak sebagai kekuatan yang dinamis untuk kesadaran dari tujuan
yang tertinggi27.
Di dalam kedua tradisi ini ditekankan pada prinsip dari jiwa yang tunggal
(duality in non-duality). Keduanya mempunyai dua aspek yaitu negatif dan
positif (Niwrti dan Prawrti); yang statis dan dinamsi. Dalam agama Hindu
kedua aspek ini diwakili oleh Siwa dan Sakti-nya dan di dalam Buddhisme
diwakili oleh Sunyata dan Karuna. Di dalam Tantra, Siwa-Sakti diwujudkan di
dunia ini dalam bentuk laki dan perempuan. Pandangan yang sama juga
ditemukan di dalam Buddhisme. Kedua prisip tadi berjuang dalam hidupnya
untuk persatuan yang sempurna, yaitu tunggalnya kebenaran tadi. Jika
mempelajari sistem susunan ilmu ketuhanannya kita jumpai bahwa kedua ini
berdasarkan yang sama. Jadi, ada pandangan yang harmonis antara kedua
agama, yaitu Bauddha dan Saiwa. Inilah keadaannya Buddhisme sewaktu
mengalami proses persatuan dengan Saiwaisme di Indonesia (baca: Jawa
Timur).
Untuk mengetahui bagaimana proses penyatuan agama Saiwa dan
Bauddha di Indonesia perlu memeriksa sumber-sumber yang merekam
perjalanannya, seperti naskah-naksah tutur atau kakawin di dalam bahasa Jawa
Kuno dan prasasti baik berbahasa Jawa Kuno maupun Bali Kuno. Teks Sang
Hyang Kamahayanikan, misalnya, merupakan salah satu sumber penting yang
membahas ajaran Buddha Mahayana di Indonesia. Menurut naskah ini, Bhatara
Buddha
adalah
kebenaran
tertinggi
dan
sakti-Nya
adalah
Bhatari
Prajnyaparamita, keduanya masing-masing Adwaya dan Adwaya jnana.
Meskipun di sini dua bentuk akan tetapi keduanya pada dasarnya adalah
tunggal. Dalam ketunggalannya sebagai persatuannnya dengan kosmos. Dia
disebut dengan nama Bhatara Diwarupa yang tidak mempunyai awal dan akhir.
Ini disebut dengan Dharma kaya. Mengenai perwujudannya dikatakan bahwa
13
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
Bhatara Buddha meliputi Bhatara Ratnatraya dan lima Tathagata. Bhatara
Ratnatraya mengambil tiga wujud, yaitu Buddha, Lokeswara dan Bajrapani
(Wajrapani). Pada teks-teks lain lima Tathagata atau Dhyani Buddha adalah
Wairocana, Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha dan Amogasiddhi28.
Yang penting diperhatikan di sini adalah keterangan mengenai Dharma
kaya dan prinsip Dwi tunggal. Kedua mewujudkan dirinya dalam delapan
bentuk, yaitu tiga Ratnatraya dan lima Tathagata. Di dalam semuan ini kita
melihat persamaan antara Budhsime di Indonesia dan Buddhisme di Jepang
(pada mazab Shingon). Hanya namanya saja berbeda, esensinya sama. Dengan
demikian kita dapat menyamakan Bhatara Buddha dengan Garbhadhatu dan
Wajradhatu. Jika sekarang kembali ke Indonesia dalam sejarah Mantra
Budhisme, kita mengetahui sistem dari perwujudan yang sama sebagaimana
terdapat di Jepang. Di Jepang Dharmadhatu meliputi dua dhatu. Garbha dari
tiga Tathagata dan Wajradhatu dari lima Tathagata. Budhisme di Indonesia
meliputi Ratnatraya dan lima Tathagata29.
Demikian pula naskah-naskah lain, seperti teks Korawasrama, Tantu
Panggelaran, Sutasoma, Arjuna Wijaya, dan lain-lain. Prasasti-prasasti baik di
Sumatra, Jawa Bali ada yang mengungkapkan penyatuan Siwa dan Buddha.
Perkembangan sejarah evolusi kedua agama ini terkristalisasi dalam sejumlah
sumber. Kakawin Sutasoma menyuratkan: Rwaneka dhatu winuwus wara
Buddha Wiswa/ bhineka rakwa ring apan kena parwanosen/ mangka ng
Jinatwa kalawan Siwatwa tunggal/ bhinneka tunggal ika tana hana dharma
mangrwa// (Disebutkan dua perwujudan Beliau itu Buddha dan Siwa/ berbeda
konon, tapi kapan dapat dibagi dua/ demikianlah kebenaran Buddha dan
kebenaran Siwa itu satu/ berbeda itu satu itu tidak ada dharma yang mendua//30
6. Refleksi
Pemikiran Prof. Mantra memberikan penjelasan analitik penyatuan Siwa
dan Buddha terasa sangat tepat di tengah-tengah suasana kehidupan keagamaan
Hindu Bali yang sedang memperjuangkan status formal di dalam kehidupan
14
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
berbangsa dan bernegara. Ketetapan hatinya terhadap ajaran Siwa-Buddha ini
terus mengakar, terbukti dari ditulisnya artikel ke-dua dalam selang waktu 33
tahun dari artikel pertama. Keyakinannya terus memberikan inspirasi
membangun Bali. Pelinggih Padmasama sebagai sthana Bhatara Siwa dan
Bhatara Buddha telah memberikan inspirasi untuk menata dan membina umat
Hindu di seluruh Indonesia. Model seperti ini tentu tidak dijumpai di tempat
lain di dunia. Mungkin percaya benar dengan konsep pluralisme Mpu Tantular
dalam Sutasoma, nilai-nilai atau spirit Siwa-Buddha beliau pakai di dalam
menata pembangunan lahiriah dan spiritual masyarakat bangsa. Banyak ide-ide
atau gagasan Prof. Mantra dapat dilacak ke dalam ajaran Saiwa dan Bauddha.
Keragu-raguan umat Hindu terhadap agama yang dipeluknya terasa
ketika tradisi agama yang dipeluknya secara turun menurun diperjuangkan agar
diakui secara formal oleh pemerintah pusat, mendapatkan berbagai tanggapan
dari internal umat Hindu Bali saat itu. Masalah penting waktu itu menyangkut
“nama” agama yang akan diakui secara syah oleh pemerintah pusat. Hal ini
beralasan karena sejak waktu yang panjang tradisi keagamaan di Bali relatif
aman dan damai dibalut oleh tradisi setempat. Di bawah kepemimpinan para
raja dalam masa penjajahan Belanda dan Jepang, kehidupan beragama bisa
berjalan dengan relatif baik, walaupun misionaris Kristen mulai masuk Bali.
Masuknya Islam ke Bali pada zaman Raja Waturenggong di Gelgel tidak begitu
berpengaruh terhadap kehidupan agama Hindu waktu ini. Ini berkat
kemampuan raja di dalam mengelola kebhinekaan.
Berbeda dari kehidupan agama Hindu di India yang telah mengalami
beberapa reformasi, perombakan akibat adanya tantangan baik internal maupun
eksternal. Kehadiran agama-agama Buddha, Islam dan Kristen membawa
dampak yang serius terhadap agama Hindu di sana. Akibat reformasi dalam
rentang waktu yang panjang ini wajah, bentuk, praktek agama Hindu yang ada
sekarang di India sudah tidak sama lagi dengan agama awal Weda. Wajar saja
Umat Hindu di Bali tidak begitu merasa tertantang untuk memformulasikan
teologi ketuhananya secara baku. Sejumlah sarjana India menilai tradisi agama
15
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
Hindu yang diwarisi di Bali Lombok masih kuno. Namun sekarang dengan arus
informasi dan komunikasi semakin intensif dengan dunia luar, khususnya India,
kehidupan agama Hindu di Bali mulai terasa tertantang. Pola fikir generasi
muda sudah tidak lagi sama dengan generasi lama yang dibesarkan dalam
tradisi agraris. Diakui kompetisi internal yang ada berlanjut dengan konversi
internal melalui berbagai jalan sehingga menuntut umat Hindu yang masih setia
dengan tradisi Bali dan Lombok terutama kelompok elitnya harus berfikir dan
mencari jalan untuk tetap menegakkan ajaran Hindu seperti yang diwarisi.
Penegakkan tersebut tidak bisa dilakukan secara gegabah apalagi emosional
melainkan
kembali
kepada
sumber-sumber
yang
merekam
sejarah
perkembangan agama Buddha dan Siwa sejak hadir di Indonesia (baca: Jawa)
dan mampu memformulasikan sesuai dengan perkembangan zaman.
Prof. Mantra kira-kira berfikir bahwa ajaran Siwa-Buddha merupakan
inti dari ajaran Hindu yang hendak beliau gagas, yaitu agama Hindu yang bisa
mengayomi semua tradisi Hindu yang tersebar di seluruh Indonesia. Nilai-nilai
Hindu universal, mengapa lantas hanya bisa diterima di Bali saja? Namun
sejumlah masalah muncul di sini menyangkut teologi, etika, upacara agama
“bikinan” baru ini, apakah sesuai atau berlandaskan dengan teologi, etika dan
ritual ajaran Siwa-Buddha? Dengan mengamati latar belakang sosiologis,
budaya dan alam Indonesia, Prof. Mantra kira-kira mencita-cita satu agama
monotehisme sebagai amanat Pancasila yang bisa mengayomi seluruh tradisi
Hindu di Nusantara. Pembangunan Padmasana di selruh Nusantara jelas
membuktikan cita-cita tersebut. Namun hal ini sangat sulit bisa diwujudkan
karena, secara teologis yang disebut sebagai agama “Hindu” sesungguhnya
konglemerasi agama-agama atau sekte-sekte yang mengakui Weda sebagai
otoritas tertinggi. Disamping itu di dalam tradisi Hindu tidak ada
otoritas/lembaga tertinggi yang bisa memberikan semacam Bhisama atau Fatwa
yang bisa diterima oleh semua sekte/mazab, hal ini menyulitkan usaha-usaha ke
arah satu agama Hindu nasional. Bercermin dari kehidupan kegamaan di India,
masing-masing mengembangkan tradisi tersendiri, misalnya, kitab suci, sistem
ketuhanan, etika, hari-hari suci, surga, neraka, moksa, dan lain-lain. Kelompok16
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
kelompok spiritual yang sampai penyebarannya ke Indonesia, umumnya lahir
dan berkembang masih relatif baru, pasca India merdeka. Ada kecendrungan
ajaran Siwa-Buddha yang menjadi inti metafisika ajaran agama yang disebut
dengan “Hindu Dharma Indonesia” terpinggirkan akibat belum adanya kesatuan
pandangan di dalam pembinaan agama ini baik oleh Parisadha maupun
pemerintah.
Belum lagi keragu-raguan terhadap agama Hindu yang sedang
diperjuangkan bersama-sama tokoh lainnya, inti dasar pembentuk agama ini
(maksudnya Saiwa-Bauddha) juga belum jelas. Artinya belum ada formulasi
yang tegas atas sistem ketuhanannya, sekalipun banyak sumber menyebutkan
demikian. Sarjana-sarjana asing yang telah membuka jalan ke arah terkuatnya
misteri Siwa-Buddha ini beliau ikuti pemikirannya. Namun Prof. Mantra ingin
menukik ke inti pokok ajaran agama, yaitu metafisika (tattwa)-nya, dalam hal
ini dua tradisi besar, yaitu Saiwa Siddhanta (di India Selatan) dan Buddha
Mahayana (di India, Nepal dan Jepang). Sejarah evolusi kedua agama ini
diperhatikan dengan seksama untuk dapat menjelaskan fenomena Siwa-Buddha
di Indonesia. Diyakini pemahaman yang benar terhadap tattwa agama,
pelaksanaan ritual agama akan lebih mudah dipahami, karena sesungguhnya
ritual yang mengada di dalam tiga dimensi, pada dasarnya adalah bentuk tattwa
yang mudah diindera.
Ke-indonesia-an ajaran Saiwa-Bauddha nampak berbeda dari yang
ditradisikan di India. Di India Buddha dipandang sebagai awatara Wisnu,
sehingga “penggabungan” antara agama Hindu dan Buddha bisa diterima.
Dengan cara ini tidak ada masalah lagi jika menilik kehadiran agama Buddha
yang hampir saja “menghabisi” agama Brahmana sebelum Sankaracarya
muncul pada abad ke-7 Masehi. Di Indonesia Siwa dan Buddha dianggap
sebagai kakak-beradik seperti dilukiskan di dalam teks Bubuksah Gagakaking.
Sikap kakak-beradik ini nampak diperlihatkan antara Pedanda Siwa dan
Pedanda Buddha. Kondisi ini tidak dijumpai di India. Hidup bersandingan bisa
saja terjadi secara religius namun penyatuan di dalam teologi belum pernah ada.
17
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
Reliefnya dapat pula dilihat pada candi Panataran di Jawa Timur. Tidak ada
permusuhan apalagi saling menghilangkan di dalam sejarah pertemuannya di
Indonesia.
Jika diperhatikan di India Selatan di mana tradisi Saiwa Siddhanta yang
berkembang pesat pada abad ke-XII-XIII (ketika India Selatan diperintah oleh
Dinasti Cola), kehadiran Saiwa Siddhanta justru sebagai akibat menguatnya
pengaruh agama-agama Sramana, yaitu Jaina dan Bauddha. Dalam
perkembangannya tradisi Saiwa Siddhanta bisa mengimbangi bahkan
menghilangkan pengaruh agama-agama ini di India Selatan hingga saat ini. Ada
sesuatu yang hilang pada masyarakat India Selatan waktu itu ketika agamaagama Sramana berkembang, yaitu rasa bhakti kepada Tuhan melalui ekspresi
ritual, karena agama-agama Sramana tidak menggunakan bentuk-bentuk ritual.
Setelah berkembang agama Saiwa Siddhanta, tradisi ritual berkembang sangat
pesat hingga sekarang. Kehidupan agama dan kesenian berpusat di kuil. Ketika
Weda tidak lagi dipahami sebagai Karma Kanda, masyarakat Tamil Nadu
menggantikannya ritual-ritual Weda seperti Srauta dan Grihya melalui ritual
khas Saiwa Siddhanta di India Selatan. Jika analisis Prof. Mantra memang
benar ada persamaaan antara Saiwa Siddhanta dan Buddha Mahayana,
mengapa agama Buddha lenyap dari bumi Tamil Nadu? Mungkin saja Buddha
yang berkembang saat itu bukan Mahayana melainkan Hinayana. Dan, jika
pernyataan Prof. Mantra benar bahwa Saiwa Siddhanta juga sampai di
Indonesia, mengapa di sini tradisi ini bisa bersatu dengan Buddha Mahayana
bahkan juga ada unsur-unsur lain yang ikut membentuk tradisi ini, seperti
tradisi Saiwa Pasupata, Waisnawa, Tantrayana disamping Sankhya, Yoga,
Weda, Purana, Dharma sastra?
7. Penutup
Penulusuran pemikiran-pemikiran yang mirip pada tradisi-tradisi Saiwa
Siddhanta di India Selatan dan Bauddha baik di India, Nepal, maupun Jepang
telah memperlihatkan banyaknya ada unsur yang serupa atau sama pada tataran
metafisika. Kesamaan ini bertindak sebagai penyedia kondisi kondusif sehingga
18
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
penyatuan antara ajaran Saiwa
dan Bauddha bisa dilaksanakan. Walaupun
demikian penyatuan tersebut baru bisa diwujudkan dengan pasti di Indonesia,
yaitu pada era Jawa Timur (pada abad X s/d XV Masehi). Tradisi ini
selanjutnya berkembang di Bali pasca kerajaan Majapahit runtuh, walaupun
pada masa Bali kuno dua agama ini sudah hidup berdampingan. Kondisi ini
memberikan landasan yang kuat untuk bisa menjelaskan keberadaan SaiwaBauddhagama di Indonesia.
Sila Candra, 23 Juni 2014
Catatan dan Referensi
Makalah disampaikan dalam “Diskusi Pendalaman Pemikiran Filsafat dan Budaya Prof. Dr. Ida Bagus
Mantra”, Minggu, 29 Juni 2014 di Griha Giri Sunya, Br. Umah Anyar, Mambal, Abiansemal, Badung,
Bali.
2
Mengenai pemikiran-pemikiran sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, agama, dan lain-lain, silakan
baca Prof.Dr. I.B. Mantra, Bali: Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi (Denpasar: Upada Sastra,
1990); Landasan Kebudayaan Bali (Denpasar: Yayasan Dharma Sastra, 1996); dan I.B.G. Agastia,
Menemuai Diri Sendiri: Percikan Pemikiran Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (Denpasar: Yayasan
Dharma Sastra, 2006).
3
Lihat I.B. Putu Suamba, “Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha I Gusti Bagus Sugriwa” (Makalah)
disampaikan dalam “Diskusi Sastra Memperingati 36 Tahun Wafatnya I Gusti Bagus Sugriwa”,
Minggu, 24 November 2013 di Griha Giri Sunya, Br. Umah Anyar, Mambal, Abiansemal, Badung,
Bali.
4
Prof. Dr. I.B. Mantra, Biografi Seorang Budayawan (1928-1995). Denpasar: Upada Sastra, 1998.
5
Kajian yang lebih detail, dipersilakan membaca kedua sumber yang diacu di dalam makalah ini.
6
I.B. Mantra, “Pengertian Siwa-Buddha dalam Sejarah Indonesia” dalam Siwa-Buddha Puja di
Indonesia (Denpasar: Yayasan Dharma Sastra, 2002), hal. ?
7
Ibid., hal. 3.
8
Ibid., hal. 3-5.
9
Ibid., hal. 4.
10
Ibid .hal. 6-7.
11
Ibid., hal. 7.
12
Ibid., hal. 6.
13
Ibid., hal. 8.
14
Ibid.
15
Ibid.
16
Ibid.,hal. 9.
17
Ibid.,hal. 10.
18
Ibid.,hal. 10-11.
19
Ibid.,hal. 11.
20
Ibid.,hal. 12.
21
Ibid.,hal. 12-13.
22
Ibid.,hal. 13.
23
Ibid.,hal. 14.
24
Ibid., hal. 14-15.
25
Ibid.,hal. 17.
26
Ibid.,hal. 15-16.
27
Ibid.,hal. 17.
28
Ibid.,hal. 18-19.
29
Ibid.,hal. 19.
i
19
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
30
I.B.G. Agastia; Sagara Giri Kumpulan Esei Sastra Jawa Kuna (Denpasar, Wyasa Sanggraha, 1987),
hal.70.
***
20
Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra
Download