PEMIKIRAN-PEMIKIRAN SIWA-BUDDHA PROF. DR. I.B. MANTRAi Oleh I.B. Putu Suamba 1. Pendahuluan Prof. Dr.I.B. Mantra, seorang tokoh penting di dalam perkembangan pemikiran kebudayaan Indonesia, wafat pada tanggal 10 Juni 1995 di Denpasar pada usia 67 tahun karena sakit. Beliau lahir 8 Mei 1928. Beliau seorang intelektual terkemuka yang buah-buah pemikiran kebudayaannya sudah diakui oleh masyarakat luas terutama Bali. Pesta Kesenian Bali (P.K.B.) hingga dalam pelaksanaan yang ke-36 tahun 2014 mengambil tema Kertamasa ini, adalah salah satu buah pemikiran beliau. Gagasan-gagasan pembangunan beliau banyak memberikan inspirasi kepada tokoh-tokoh masyarakat. Sejumlah jabatan penting di bidang pendidikan dan politik pernah beliau emban dengan baik, antara lain Dekan Fakultas Sastra, Universitas Udayana (1962-1965), Rektor Universitas Udayana (1964-1968), Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. (1968-1978), Gubernur Bali (1978-1988), Duta Besar Luar Biasa R.I. di New Delhi, India (1989-1992), dan lain-lain. Disamping itu beliau bersama-sama tokoh-tokoh lain menggagas berdirinya Parisadha Hindu Dharma Indonesia (1959), Maha Widya Bhawana Institut Hindu Dharma (1963), dan lain-lain. Mengenang kembali pemikiran-pemikiran dan sepak terjang Prof. Dr. I.B. Mantra (1928-1995) dalam berbagai bidang dirasakan perlu di tengahtengah percaturan pemikiran dunia yang melanda Indonesia. Murid-murid, sahabat-sahabat atau staf-staf beliau ketika masih aktif di pemerintahan pastilah terkenang dengan sosok ini. Bagi mereka yang tidak mengenal beliau secara langsung tentu saja usaha-usaha untuk menggali atau meninjau kembali 1 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra pemikiran-pemikiran2 beliau dirasakan penting kalau bukan menjadi keharusan terutama generasi muda Bali agar mempunyai pengetahuan sejarah pemikiran manusia Bali di masa lampau sebagai bekal menata masa sekarang dan masa depan; apalagi pada hari-hari berpulang beliau. Paper ini mencoba membahas salah satu pemikiran beliau di bidang sejarah kebudayaan Indonesia, yaitu sejarah pekembangan Siwa-Buddhagama sebagai cikal bakal berkembangnya Hindu moderen di Indonesia. Penekanan diberikan pada kesamaan atau paralelisme konsep pada tataran metafiska antara ajaran Saiwa dan Bauddha. Penulis hanya memaparkan pemikiran-pemikiran Prof. Mantra berdasarkan sumber-sumber. Pada bagian akhir dicoba dilakukan refleksi kontekstual atas fenomena Siwa Buddha baik di India maupun di Indonesia secara sekilas. I.B. Mantra 2. Sumber Acuan Kajian ini berdasarkan hanya pada dua tulisan beliau yang sudah diterbitkan secara maluas. Prof. Dr. I.B. Mantra pernah menulis makalah bertema Siwa-Buddha, yaitu “Pengertian Siwa-Buddha dalam Sejarah di Indonesia” yang disajikan dalam Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional di Malang, 3-9 Agustus 1958. Paper ini bersama-sama dengan artikel senafas 2 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra diterbitkan dalam bentuk buku Siwa Buddha Puja di Indonesia oleh Yayasan Dharma Sastra, Denpasar (2002). Prof. Mantra juga menulis “The Cult of Siwa Buddha” menjadi bagian buku The Art and Culture of South-East Asia (1991) disunting dan diterbitkan oleh Prof. Dr. Lokesh Candra, Direktur International Academy of Indian Culture bekerjasama dengan Aditya Prakashan di Delhi, India3. Artikel kedua ditulis ketika beliau menjabat sebagai Duta Besar R.I. di New Delhi, India atas permintaan dari Prof. Dr. Lokesh Candra. Kedua tokoh ini memang telah saling mengenal ketika I.B. Mantra belajar di India. Sayang sekali kedua tulisan penting ini tidak disinggung dalam biografi beliau (1998)4. Walaupun demikian tulisan pertama banyak dikutip oleh peneliti ketika membahas ajaran Siwa Buddha di Indonesia, walaupun formulasi pemikiran melalui kalimat atau ungkapan banyak yang kurang lancar. Yang menarik dari kedua tulisan ini adalah walaupun rentang waktu ditulis artikel pertama (1958) dan kedua (1991) cukup panjang, yaitu 33 tahun namun substansi masalah yang dikaji masih tetap sama, yaitu Siwa-Buddha di Indonesia. Beliau masih tetap pada pendiriannya menguatkan akar tradisi agama ini dengan kajian-kajian ilmiah bersumber dari tradisi-tradisi di India, Nepal, Jepang, dan sebagainya. 3. Tradisi Saiwa-Bauddha Tradisi agama Hindu yang diwarisi di Bali dan Lombok mengenal adanya pemujaan kepada Siwa-Buddha, sebagai kekuatan tertinggi. Mereka meyakini dan melaksanakan ajaran ini. Ungkapan-ungkapan yang menyatakan Siwa dan Buddha itu tunggal cukup banyak ditemukan, misalnya, dalam naskah kakawin. Bhatara Siwa-Buddha di-sthana-kan dan dipuja di dalam sebuah pelinggih disebut Padmasana. Kehadiran pendeta Siwa dan pendeta Buddha dalam pumut yajna tertentu, misalnya, telah menjadi perhatian tersendiri yang tidak ada di dalam tradisi India lainnya. Keadaan yang unik ini dari perspektif sejarah kebudayaan sangat menarik untuk diteliti. Sebagai seorang intelektual muda yang mengenyam pendidikan di India pada suatu era dimana kondisi keintelektualan masyarakat Bali belum semaju sekarang, beliau merasa secara moral dan intelektual keilmuan berkewajiban 3 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra untuk menjelaskan fenomena keagamaan yang ada di Bali. Beliau menyadari pengetahuan yang dimiliki agar bermanfaat bagi masyarakat Bali; dan memang Bali dan agama Hindu Bali pada saat-saat seperti itu memerlukan pemikiranpemikiran kebudayaan dan agama yang bisa menjelaskan berbagai fenomena yang masih belum jelas. Status agama Hindu Bali pada saat itu belum seperti sekarang; belum diakui secara resmi sejajar dengan agama-agama lain di Indonesia. Jika menilik disertasi beliau berjudul “Hindu Literature and Religion in Indonesia” (1955), memang sangat terkait dengan sejumlah naskah yang bisa dikaitkan dengan fenomena Siwa-Buddha ini. Yang mendesak perlu diketahui oleh masyarakat Hindu di Bali waktu itu adalah bagaimana penyatuan Siwa dan Buddha itu bisa terjadi? Bagaimana teologi (ajaran ketuhanan) agama ini? Apakah Saiwa-Bauddhagama ini berbeda dengan agama Hindu dan agama Bauddha? Inilah sejumlah pertanyaan yang kira-kira Prof. Mantra ingin jelaskan kepada pembaca/masyarakat. Jika hal ini bisa dijelaskan secara baik berarti tradisi keagamaan (yang ritualistik) di Bali dan Lombok memiliki landasan tattwa atau ilmu ketuhanan yang jelas sehingga umat Hindu tidak merasa apa yang telah ditradisikan salah secara tattwa. 4. Saiwa-Siddhanta dan Buddha-Mahayana Pengamatan Prof. Mantra atas teologi ketuhanan agama Saiwa-Bauddha di Indonesia berdasarkan atas sejumlah naskah berbahasa Jawa Kuno dan juga dalam bentuk prasasti. Namun beliau nampaknya belum menemukan suatu penjelasan yang memuaskan (dalam arti analisis aspek-aspek metafisika); beliau menemukan pernyataan-pernyataan menunggalnya antara Siwa dan Buddha dalam berbagai naskah melalui konsep-konsep emanasi pada kedua agama ini. Beliau tidak mengenyampingkan tulisan-tulisan sarjana asing, seperti Kern, Rassers, dan lain-lain yang telah melakukan kajian atas isu ini, namun cara pandang Prof. Mantra tidaklah sama. Beliau mengkaji dari aspek metafisika (tattwa) kedua agama ini. Dari kondisi ini beliau mencoba melihat sumbersumber di tanah kelahiran agama-agama ini yaitu India (Bharata). Berdasarkan pengamatan sejumlah fenomena agama, kebudayaan maupun filafat (darsana) 4 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra di India, dan juga mempelajari sejarah perkembangan agama-agama India baik di dalam negeri India maupun perkembangannya menyebar ke luar India, beliau mendasarkan analisa Siwa-Buddha di Indonesia pada dua tradisi besar yaitu tradisi Saiwa Siddhanta yang berkembang pesat di India Selatan dan Buddha Mahayana yang berkembang tidak hanya di India namun juga di luar India, seperti Tibet, Nepal, Sri Lanka, China, Mongolia, Korea, Asia Tenggara, Asia Tengah, Jepang dan lain-lain. Untuk perkembangan di luar India, Prof. Mantra sangat menaruh perhatian pada perkembangan ajaran Buddha di Nepal dan Jepang yang kemudian dikenal dengan Zen Buddhism. Berikut ini dicoba diungkapkan kembali kajian5 Prof. Mantra atas kedua tradisi ini secara singkat. 4. 1 Saiwa-Siddhanta Secara umum mazab-mazab Saiwa menempatkan Siwa sebagai Kekuatan/Prinsip tertinggi. Siwa menjadi tujuan tertinggi setiap pemuja-Nya. Walaupun demikian masing-masing mazab/sekte mempunyai perbedaanperbedaan menyangkut tata cara pemujaan dan konsep atau hakikat prinsip/kekuatan tertinggi dalam hubungannya dengan dunia (jagat) dan jiwa yang bersemayam di alam dan dalam diri manusia. Ajaran Saiwa secara umum telah melahirkan kebudayaan khas bernuansa ajaran Saiwa. Lingga-yoni, Yoga, Mantra Pancaksara, dan sebagainya adalah ciri-ciri yang ada di dalam tradisi Saiwa. Ada sejumlah mazab Saiwa di India, seperti Pasupata, Saiwa Kashmir (atau Trika, Pratyabhijna), Wira Saiwa (Linggayata) dan Saiwa Siddhanta dan lain-lain dan luar India, seperti tradisi Saiwa di Jawa dan Kamboja. Saiwa Siddhanta dipandang sebagai mazab terbesar baik pengaruh, persebaran maupun pengikut dan kebudayaannya. Mazab ini sangat dominan di India Selatan khususnya Tamil Nadu. Menurut Prof Mantra, mazab Saiwa Siddhanta sampai di Indonesia6. Namun muncul persoalan baru: Apakah ajaran Saiwa Siddhanta yang ada di India Selatan sama persis dengan ajaran Saiwa di Indonesia? 5 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra Prof. Mantra menulis, konsep ketuhanan Saiwa-Siddhanta di India Selatan dapat dijelaskan dengan mengamati hakikat Siwa dalam tiga bentuk/wujud, yaitu (1) Siwa Tattwa, (2) Sada Siwa Tattwa dan (3) Mahesa Tattwa; masing-masing berhakikat Niskala, Sakala-Niskala dan Sakala. Kala di sini dimaknai sebagai bentuk, disamping artinya yang lain lagi 7. Hakikat dari Siwa Tattwa adalah tanpa bentuk (formless), tanpa perbedaan (undifferentiated), dan Niskala. Dalam keadaan ini semua ciptaannya menggabungkan diri ke dalam Penyebab Utama/Tertinggi (Primal Cause) yang tertinggi, tenang, mengatasi segalanya, tanpa awal dan tanpa akhir, memenuhi segalanya, kekal dan maha-suksma. Inilah yang dimaksud dengan Niskala, hakikat dari Siwa Tattwa8. Dari sifat kasih Siwa Tattwa yang tidak terbatas muncul sebagian kecil dari diri-Nya lima Sakti, yaitu (1) Para Sakti (kadang-kadang disebut juga dengan Santyatita Sakti), (2) Adi Sakti atau Santi Sakti, (3) Ichcha Sakti atau Widya Sakti, (4) Jnana Sakti atau Pratishta Sakti dan (5) Kriya Sakti atau Nirwriti Sakti. Masing-masing sakti mempunyai kedudukan tertentu terhadap jiwa sendiri9. Pada Sakala-Niskala terdapat lima Sada Siwa Tattwa yang muncul dari lima Sakti yang telah disebutkan di atas. Proses ini mulai dari Para Sakti ke bawah. Dari Para Sakti muncul Sada Siwa (Siwa Sadakhya). Sada Siwa ini disebut demikian oleh karena muncul dari Para-sakti; alamnya suci (pure). Dari Adi Sakti muncul perwujudan kedua yaitu Sada Siwa tattwa, juga disebut Isana. Dianggap sebagai Niskala (amurtata) karena muncul dari Adi Sakti yang tidak berbentuk. Yang ketiga muncul dari Ichcha Sakti. Ini adalah Sada Siwa yang ketiga juga disebut Brahma. Tattwa ketiga ini dianggap sebagai yang mempunyai wujud dan disebut dengan nama murta. Dalam alamnya yang Sakala, Sada Siwa Tattwa muncul dari Jnana Sakti dan disebut Iswara. Barulah kita sampai pada yang terakhir yaitu Sada Siwa Tattwa yang mana adalah hasil dari Kriya Sakti. Tattwa ini disebut Karma Sadakhya dan juga dikenal sebagai Isana. Kelima Sadakhya ini biasanya dikenal sebagai Wama 6 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra Dewa untuk Isa, Tatpurusa untuk Isana, Aghora untuk Iswara, Sadyojata untuk Brahma dan Isana untuk Sada Siwa. Kelima dewa ini masing-masing menghadap ke Utara, Timur, Selatan, Barat dan Atas10. Jadi yang diuraikan di atas adalah dalam Niskala-Sakala. Yang terakhir yang ketiga dalam sistem teologi ini dari Saiwa-Siddhanta adalah Mahesa dalam hakikatnya sebagai Sakala. Ia muncul dari Karmesa dan disebut Mahesamurti. Ini mempunyai hubungan langsung dengan ketiga proses dunia, yaitu Sristi (ciptaan), Sthiti (perlindungan), dan Laya (kehancuran). Oleh karena itu ia berada dalam bentuk sakala. Dari tattwa ini (yaitu Maheswara) muncullah Rudra Dewa, Wisnu dan Brahma11. Untuk lebih jelasnya perhatikan bagan berikut12. 4.2 Buddha-Mahayana Secara agama, ada dua mazab besar dalam Buddhisme, yaitu Hinayana (kendaraan kecil) dan Mahayana (kendaraan besar). Di antara kedua mazab ini, terdapat sejumlah perbedaan disamping persamaan. Metafisika BuddhaMayahana dinilai mempunyai perkembangan yang mendekati bentuk ilmu ketuhanan Saiwa-Siddhanta. Tujuan akhir ajaran Mahayana adalah tercapainya ke-buddha-an (buddha-hood). Tidak sama dengan ajaran Hinayana, Mahayana percaya dengan adanya badan bayangan perseorangan dari Buddha. Hinayana 7 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra atau Therawada memandang Buddha dan perbuatannya hanya sebagai seorang tokoh sejarah di masa lalu. Pada mazab Mahayana, pada sisi lainya, Buddha adalah prinsip tertinggi (highest principle) dari persatuan kosmos. Prinsip tertinggi ini diberi empat aspek dikenal dengan kaya (badan) dari Buddha. Aspek-aspek tersebut adalah (1) Swabhawaka-kaya, (2) Dharma-kaya, (3) Sambhoga-kaya, dan (4) Nirmana-kaya13. Swabhawaka kaya kadang-kadang dimasukkan ke dalam Dharma kaya mengingat hakikatnya yang hampir sama. Dengan demikian hanya ada tiga, yaitu (1) Dharma kaya, (2) Sambhoga kaya dan (3) Nirmana kaya atau Rupa. Ketiganya dikenal dengan sebutan Tri kaya (tiga jenis badan Buddha). Swabawaka-kaya adalah kesadaran yang murni (pure consciousness), bersih dan bebas dari semua kotoran, dari subjektivitas dan objektivitas; adalah pasif dan berada di mana-mana, persatuan dari kosmos dari kebijaksanaan yang tidak terbatas, mempunyai rasa kasih yang universal yang menjadi prinsip dari semua dharma. Alam swabhawaka-kaya ini disamakan dengan Buddha14. Dharma kaya pada esensinya tidak berbeda dengan Swabhawaka kaya. Keduanya pasif dan niskala. Swabhawaka kaya adalah menjadi asal dari Dharma kaya. Dharma kaya menunjukkan kesatuan dari Tatha rupa dari kesatuan tadi. Untuk lebih jelasnya lagi adalah dharma dhatu yang ada di dunia ini. Alam dari Dharma kaya dijelaskan dalam kitab Awatamsaka sutra15. Kaya yang ketiga adalah Sambhoga kaya. Kaya ini biasanya disebut dengan “badan bahagia”. Ini adalah badan penjelmaan dari Dharma kaya, mahasuksma dan memperlihatkan dirinya sebagai superhuman dalam berbagai keadaan yang berbahagia; yang mengajarkan kebijaksanaan pada manusia16. Selanjutnya kaya ke tiga, Nirmana kaya. Bila Sambhoga kaya memperlihatkan dirinya di dunia, ini dilakukan dalam bentuk badan yang aktif dan badan ini disebut Nirmana kaya. Diri pribadi Buddha (maksudnya Pangeran Siddharta) yang bersejarah yang hidup di dunia adalah Nirmana kaya (tubuh transformasi). Ia adalah dianggap sebagai penjelamaan dari tatha gata yang 8 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra kekal. Pada Nirmana kaya tergolong buddha-buddha yang turun ke dunia sebagai Dipankara, Kasyapa, Gautama Buddha, Maiterya dan lain-lain. Secara garis besarnya kaya-kaya tersebut dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar yaitu (1) Swabhawaka kaya dan Dharma kaya adalah yang murni (pure), pasif, dan (2) Sambhoga kaya dan Nirmana kaya yang memperlihatkan diri di dunia ini untuk diketahui oleh manusia. Kadang kadang Swabhawaka kaya tidak disebutkan dan yang disebutkan hanya Dharma kaya mewakili prinsip yang suci dan pasif.17 Selanjutnya Prof. Mantra mencoba melihat konsep yang sama namun lebih berkembang pada Mahayana Buddhisme di Jepang, yaitu pada tradisi Shingon. Teori ketuhananan sekte ini nampak mirip dengan Saiwa Siddhanta. Dalam tradisi ini, Tathagata Mahawairoca dari Dharma kaya mempunyai dua bagian yaitu Garbhadhatu (elemen matriks) dan Wajradhatu (elemen halilintar). Garbadhatu mempunyai karakter (a) Mahasamadhi, (b) Kebijaksanaan, dan (c) Kasih. Masing-masing sifat ini ditunjukkan pada Buddha, Wajra dan Padma. Buddha sesuai dengan Tathagata Maha Wairocana yang mempunyai arti pengetahuan sempurna. Yang kedua sesuai dengan Wajra Sattwa yang mempunyai arti kebijaksanaan dan kuat dalam alamnya dan merupakan pemusnah segala bentuk nafsu. Yang ketiga sesuai dengan Awalokiteswara yang mempunyai arti pikiran yang murni (pure thought) pada rohani dari makhluk yang hidup18. Dhatu yang kedua, yaitu Wajradhatu mempunyai lima aspek; yang tiga termasuk ketiga sifat-sifat tadi di atas dan dua lainnya termasuk Ratnasambhawa untuk memperlihatkan kebenaran dan kebebasan yang sempurna dari Buddha tanpa batas dan yang lima Karmanubhawa memperlihatkan penyelesaian dari semua pekerjaan19. Dengan demikian Shingon Buddhism mengajarkan delapan penjelasan mengenai Adi Buddha Maha Wairocana (Dainici-Nyorai), yaitu lima dari Wajradhatu dan tiga dari Garbhadhatu. Akan tetapi pada kedua golongan ini Maha Wairocana memperlihatkan dirinya sebagai yang terpenting. Keterangan 9 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra mengenai kedua dhatu memberi pada kita suatu pengertian dari karakternya yang dinamis dan mempunyai potensi. Wajradhatu menurut keterangan ini adalah tidak berubah dan merupakan unsur tathata; statis dan mempunyai potensi, jadi tergolong pada Dharma kaya. Dhatu yang kedua, yaitu Garbha dhatu yang berdiri dari Buddha (Maha Wairocana), Wajra-satwa (Wajra) Awalokiteswara (kelas Padma) adalah aspek yang dinamis dari kebenaran. Prof. Mantra menempatkan Garbhadhatu sebagai inti sari dari ketiga kelas tadi dan sebagai rahim yang berisi benih-benih dari semua makhluk. Anggota yang pertama ditempatkan Buddha dalam Dharma kaya sebagai kepala dari Tatha gata20. Dalam tradisi Buddhisme di Nepal yang bersifat theistik disebutkan bahwa Buddha historis adalah representasi dari penyebab pertama, tidak terciptakan, mengada dengan sendirinya (swayambhu)... Ia tidak dapat dilihat; ia adalah nirwana. Walaupun demikian ia adalah sinar murni, dari alam Sunya ia mengeluarkan/menciptakan, nama beliau banyak tak terhitung. Melalui kekuatan kontemplatifnya (dhyana) ia menciptakan lima Jina atau Dhyani Buddha, yaitu (1) Wairocana (yang cerdas), (2) Aksobhya , (3) Ratnasambhawa (kelahiran permata), (4) Amogasiddhi (kesuksesan) dan (5) Amitabha (sinar tak hingga); mereka adalah pencipta bentuk-bentuk jasmani (skanda)21. Dari sini, lanjut Prof. Mantra menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan tiga kelas tadi sebenarnya adalah tiga kaya. Jika demikian, maka Wajra satwa merupakan inti sari dari semua dewa dalam Sambhoga kaya. Ini rupanya benar jika diperhatikan sistem ketuhanan Saiwa Siddhanta yang mempunyai kemiripan dalam beberapa hal. Yang agak membingungkan, menurut Prof. Mantra, karena di dalam tradisi Buddhisme di Nepal, Wajra Satwa dianggap sebagai Purohito dari kelima Dhyani Buddha. Jika demikian, maka ia adalah berada di dalam Dharma kaya. Akan tetapi hal ini dapat diabaikan jika kita memikirkan karakternya yang dapat mengatasi segalanya. 10 Kadang-kadang di Nepal ia memakai gambar Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra Aksobhya pada mahkotanya. Simbul ini menyebabkan beberapa orang mengerti ia muncul dari Aksobhya sebagai bentuk yang lain dari Wajrapani. Namun umumnya pada penganut ajaran Buddha menganggap ia sebagai yang tertinggi di antara dunia dewata. Jadi, Wajra Satwa dianggap sebagai satu dari Buddha22. Menilik anggota yang ketiga dari Garbhadhatu dapat dipastikan bahwa Awalokiteswara tergolong pada Nirmana kaya. Dalam tradisi Nepal kita menemukan pandangan yang sama. K.J. Sounders dalam karyanya Epochs in Buddhist History mengatakan bahwa Sakhyamuni merupakan refleksi dari Awalokiteswara yang merupakan Dhyani Boddhi sattwa dari Amitabha yang di dalamnya merupakan Adi Buddha dilahirkan. Pendapat ini cukup beralasan bahwa kadang-kadang kita jumpai dari Samantabhadra, Boddhisatwa dari Wairocana dengan Adi Buddha. Pertimbangan ini mungikin terjadi bahwa intisari dari Adi Buddha adalah juga didapati di dalam Samantabhadra. Jadi, atas pertimbangan ini Samantabhadra adalah juga pada dasarnya Buddha. Begitu halnya dengan Awalokiteswara. Dengan ini dapat memberi keterangan singkat mengenai Mahayana Buddhisme di Jepang (Shingon) dan juga di Nepal. Hal penting yang di dapatkan di sini adalah adanya persamaan-persamaan antara sistem-sistem ini dengan apa yang dapat kita lihat di dalam ajaran Buddha di Indonesia23. 5. Saiwa Siddhanta dan Buddha Mahayana: Paralelisme Jika diperhatikan kedua tradisi ini terdapat sejumlah persamaan yang menarik diperhatikan. Pada Saiwa Siddhanta terdapat Tri Tunggal, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Maheswara yang masing-masing berada di dalam Niskala, Niskala-Sakala, dan Sakala. Sementara itu, di dalam Mantra Buddhisme yang dimaksud Tri Tunggal ini adalah Buddha, Wajrasatwa dan Awalokiteswara yang masing-masing berada pada Dharma kaya, Sambhoga kaya dan Nirmaya kaya. Di dalam Buddhisme Adi Buddha diyakini selalu mengada dalam keadaan ketenangan sempurna. Bagian aktifnya yang direpresentasikan sebagai alam semesta diwujudkan melalui lima aktivitas penciptaan terpisahnya, yaitu lima Dhyani Buddha sebagai emanasi dari dirinya 11 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra sendiri. Buddha-buddha ini disebut dengan Buddha-buddha ketuhanan karena mereka lahir langsung dari Adi Buddha. Kelima Buddha tersebut adalah Wairocana, Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha dan Amogasiddhi. Di Jepang kelima ini disebut agak berbeda pengertiannya. Hal tersebut dapat dibandingkan dengan kelima Sakti dari Siwa tattwa. Dikatakan bahwa Purusotattama yang tidak mempunyai awal dan akhir, kekal, maha suskma, tidak dapat dipahami dan lain-lainnya, adalah niskala. Akan tetapi di dalam cinta kasihnya yang memenuhi dunia, keluarlah dari sebagian kecil dirinya lima sakti, yaitu Para Sakti, Adi Sakti, Ichcha Sakti, Jnana Sakti dan Kriya Sakti. Dengan mengetahui kedudukan dari masing-masing Sakti tersebut di atas dan kemudian membandingkan dengan lima Dhyani Buddha, maka kita dapat mengerti suatu dasar persamaannya. Kita juga menyaksikan bahwa dari lima Dhyani Buddha atau Tathagata muncul lima Bodhhisattwa, yaitu Samantabhadara, Wajrapani, Awalokiteswara (Padmapani), Ratnasambhawa, dan Wiswapani. Tiap-tiap dari Boddhisatwa ini merupakan bayangan cermin dari Dhyani Buddha. Pengertain yang sama juga terdapat di dalam Saiwa Siddhanta, dimana pancarannya diwakili oleh Isana, Tatpurusa, Sadyojata, Aghora dan Wama Dewa24. Jadi di dalam Wajrayana Buddhisme, Adi Buddha dianggap sebagai dewa tertinggi dan yang menjadikan kelima Dhyani Buddha. Ia diwakili oleh Yub-Yan yang memeluk Prajnaparamita25. Lanjut Prof. Mantra, jika kita melihat persamaan dari kedua sekte ini maka keyakinan kita bertambah-tambah bahwa kedua susunan ilmu pengetahuannya sebenarnya dibuat atas dasar yang sama. Dari persamaan tersebut tidak diragukan lagi adanya keharmonisan26. Penyelidikan terhadap konsep Sakti di dalam Buddhisme memperlihatkan sejumlah paralelisme dengan Siwaisme. Bentuk Yub-Yan ini di dalam Siwaisme diwakili oleh konsep Siwa dan Sakti (Parwati). Penyatuan dari dua bentuk Siwa dan Sakti ini dikenal dengan sebuat Ardhanareswari murti. Di sini Siwa pasif, namun Sakti-nya aktif/dinamis dalam membebaskan jiwa dalam ikatan yang disebabkan oleh karma-nya. 12 Di sini kita melihat pengertian Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra dualisme di dalam non-dualisme. Di dalam Wajrayana Buddhisme juga dikatakan bahwa Adi Buddha (Prajna) adalah suci (pure) dan pasif. Inspirasi keagamaan datang dari Sakti (Karuna). Karuna adalah emosi yang aktif dari kasih yang begerak sebagai kekuatan yang dinamis untuk kesadaran dari tujuan yang tertinggi27. Di dalam kedua tradisi ini ditekankan pada prinsip dari jiwa yang tunggal (duality in non-duality). Keduanya mempunyai dua aspek yaitu negatif dan positif (Niwrti dan Prawrti); yang statis dan dinamsi. Dalam agama Hindu kedua aspek ini diwakili oleh Siwa dan Sakti-nya dan di dalam Buddhisme diwakili oleh Sunyata dan Karuna. Di dalam Tantra, Siwa-Sakti diwujudkan di dunia ini dalam bentuk laki dan perempuan. Pandangan yang sama juga ditemukan di dalam Buddhisme. Kedua prisip tadi berjuang dalam hidupnya untuk persatuan yang sempurna, yaitu tunggalnya kebenaran tadi. Jika mempelajari sistem susunan ilmu ketuhanannya kita jumpai bahwa kedua ini berdasarkan yang sama. Jadi, ada pandangan yang harmonis antara kedua agama, yaitu Bauddha dan Saiwa. Inilah keadaannya Buddhisme sewaktu mengalami proses persatuan dengan Saiwaisme di Indonesia (baca: Jawa Timur). Untuk mengetahui bagaimana proses penyatuan agama Saiwa dan Bauddha di Indonesia perlu memeriksa sumber-sumber yang merekam perjalanannya, seperti naskah-naksah tutur atau kakawin di dalam bahasa Jawa Kuno dan prasasti baik berbahasa Jawa Kuno maupun Bali Kuno. Teks Sang Hyang Kamahayanikan, misalnya, merupakan salah satu sumber penting yang membahas ajaran Buddha Mahayana di Indonesia. Menurut naskah ini, Bhatara Buddha adalah kebenaran tertinggi dan sakti-Nya adalah Bhatari Prajnyaparamita, keduanya masing-masing Adwaya dan Adwaya jnana. Meskipun di sini dua bentuk akan tetapi keduanya pada dasarnya adalah tunggal. Dalam ketunggalannya sebagai persatuannnya dengan kosmos. Dia disebut dengan nama Bhatara Diwarupa yang tidak mempunyai awal dan akhir. Ini disebut dengan Dharma kaya. Mengenai perwujudannya dikatakan bahwa 13 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra Bhatara Buddha meliputi Bhatara Ratnatraya dan lima Tathagata. Bhatara Ratnatraya mengambil tiga wujud, yaitu Buddha, Lokeswara dan Bajrapani (Wajrapani). Pada teks-teks lain lima Tathagata atau Dhyani Buddha adalah Wairocana, Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha dan Amogasiddhi28. Yang penting diperhatikan di sini adalah keterangan mengenai Dharma kaya dan prinsip Dwi tunggal. Kedua mewujudkan dirinya dalam delapan bentuk, yaitu tiga Ratnatraya dan lima Tathagata. Di dalam semuan ini kita melihat persamaan antara Budhsime di Indonesia dan Buddhisme di Jepang (pada mazab Shingon). Hanya namanya saja berbeda, esensinya sama. Dengan demikian kita dapat menyamakan Bhatara Buddha dengan Garbhadhatu dan Wajradhatu. Jika sekarang kembali ke Indonesia dalam sejarah Mantra Budhisme, kita mengetahui sistem dari perwujudan yang sama sebagaimana terdapat di Jepang. Di Jepang Dharmadhatu meliputi dua dhatu. Garbha dari tiga Tathagata dan Wajradhatu dari lima Tathagata. Budhisme di Indonesia meliputi Ratnatraya dan lima Tathagata29. Demikian pula naskah-naskah lain, seperti teks Korawasrama, Tantu Panggelaran, Sutasoma, Arjuna Wijaya, dan lain-lain. Prasasti-prasasti baik di Sumatra, Jawa Bali ada yang mengungkapkan penyatuan Siwa dan Buddha. Perkembangan sejarah evolusi kedua agama ini terkristalisasi dalam sejumlah sumber. Kakawin Sutasoma menyuratkan: Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha Wiswa/ bhineka rakwa ring apan kena parwanosen/ mangka ng Jinatwa kalawan Siwatwa tunggal/ bhinneka tunggal ika tana hana dharma mangrwa// (Disebutkan dua perwujudan Beliau itu Buddha dan Siwa/ berbeda konon, tapi kapan dapat dibagi dua/ demikianlah kebenaran Buddha dan kebenaran Siwa itu satu/ berbeda itu satu itu tidak ada dharma yang mendua//30 6. Refleksi Pemikiran Prof. Mantra memberikan penjelasan analitik penyatuan Siwa dan Buddha terasa sangat tepat di tengah-tengah suasana kehidupan keagamaan Hindu Bali yang sedang memperjuangkan status formal di dalam kehidupan 14 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra berbangsa dan bernegara. Ketetapan hatinya terhadap ajaran Siwa-Buddha ini terus mengakar, terbukti dari ditulisnya artikel ke-dua dalam selang waktu 33 tahun dari artikel pertama. Keyakinannya terus memberikan inspirasi membangun Bali. Pelinggih Padmasama sebagai sthana Bhatara Siwa dan Bhatara Buddha telah memberikan inspirasi untuk menata dan membina umat Hindu di seluruh Indonesia. Model seperti ini tentu tidak dijumpai di tempat lain di dunia. Mungkin percaya benar dengan konsep pluralisme Mpu Tantular dalam Sutasoma, nilai-nilai atau spirit Siwa-Buddha beliau pakai di dalam menata pembangunan lahiriah dan spiritual masyarakat bangsa. Banyak ide-ide atau gagasan Prof. Mantra dapat dilacak ke dalam ajaran Saiwa dan Bauddha. Keragu-raguan umat Hindu terhadap agama yang dipeluknya terasa ketika tradisi agama yang dipeluknya secara turun menurun diperjuangkan agar diakui secara formal oleh pemerintah pusat, mendapatkan berbagai tanggapan dari internal umat Hindu Bali saat itu. Masalah penting waktu itu menyangkut “nama” agama yang akan diakui secara syah oleh pemerintah pusat. Hal ini beralasan karena sejak waktu yang panjang tradisi keagamaan di Bali relatif aman dan damai dibalut oleh tradisi setempat. Di bawah kepemimpinan para raja dalam masa penjajahan Belanda dan Jepang, kehidupan beragama bisa berjalan dengan relatif baik, walaupun misionaris Kristen mulai masuk Bali. Masuknya Islam ke Bali pada zaman Raja Waturenggong di Gelgel tidak begitu berpengaruh terhadap kehidupan agama Hindu waktu ini. Ini berkat kemampuan raja di dalam mengelola kebhinekaan. Berbeda dari kehidupan agama Hindu di India yang telah mengalami beberapa reformasi, perombakan akibat adanya tantangan baik internal maupun eksternal. Kehadiran agama-agama Buddha, Islam dan Kristen membawa dampak yang serius terhadap agama Hindu di sana. Akibat reformasi dalam rentang waktu yang panjang ini wajah, bentuk, praktek agama Hindu yang ada sekarang di India sudah tidak sama lagi dengan agama awal Weda. Wajar saja Umat Hindu di Bali tidak begitu merasa tertantang untuk memformulasikan teologi ketuhananya secara baku. Sejumlah sarjana India menilai tradisi agama 15 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra Hindu yang diwarisi di Bali Lombok masih kuno. Namun sekarang dengan arus informasi dan komunikasi semakin intensif dengan dunia luar, khususnya India, kehidupan agama Hindu di Bali mulai terasa tertantang. Pola fikir generasi muda sudah tidak lagi sama dengan generasi lama yang dibesarkan dalam tradisi agraris. Diakui kompetisi internal yang ada berlanjut dengan konversi internal melalui berbagai jalan sehingga menuntut umat Hindu yang masih setia dengan tradisi Bali dan Lombok terutama kelompok elitnya harus berfikir dan mencari jalan untuk tetap menegakkan ajaran Hindu seperti yang diwarisi. Penegakkan tersebut tidak bisa dilakukan secara gegabah apalagi emosional melainkan kembali kepada sumber-sumber yang merekam sejarah perkembangan agama Buddha dan Siwa sejak hadir di Indonesia (baca: Jawa) dan mampu memformulasikan sesuai dengan perkembangan zaman. Prof. Mantra kira-kira berfikir bahwa ajaran Siwa-Buddha merupakan inti dari ajaran Hindu yang hendak beliau gagas, yaitu agama Hindu yang bisa mengayomi semua tradisi Hindu yang tersebar di seluruh Indonesia. Nilai-nilai Hindu universal, mengapa lantas hanya bisa diterima di Bali saja? Namun sejumlah masalah muncul di sini menyangkut teologi, etika, upacara agama “bikinan” baru ini, apakah sesuai atau berlandaskan dengan teologi, etika dan ritual ajaran Siwa-Buddha? Dengan mengamati latar belakang sosiologis, budaya dan alam Indonesia, Prof. Mantra kira-kira mencita-cita satu agama monotehisme sebagai amanat Pancasila yang bisa mengayomi seluruh tradisi Hindu di Nusantara. Pembangunan Padmasana di selruh Nusantara jelas membuktikan cita-cita tersebut. Namun hal ini sangat sulit bisa diwujudkan karena, secara teologis yang disebut sebagai agama “Hindu” sesungguhnya konglemerasi agama-agama atau sekte-sekte yang mengakui Weda sebagai otoritas tertinggi. Disamping itu di dalam tradisi Hindu tidak ada otoritas/lembaga tertinggi yang bisa memberikan semacam Bhisama atau Fatwa yang bisa diterima oleh semua sekte/mazab, hal ini menyulitkan usaha-usaha ke arah satu agama Hindu nasional. Bercermin dari kehidupan kegamaan di India, masing-masing mengembangkan tradisi tersendiri, misalnya, kitab suci, sistem ketuhanan, etika, hari-hari suci, surga, neraka, moksa, dan lain-lain. Kelompok16 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra kelompok spiritual yang sampai penyebarannya ke Indonesia, umumnya lahir dan berkembang masih relatif baru, pasca India merdeka. Ada kecendrungan ajaran Siwa-Buddha yang menjadi inti metafisika ajaran agama yang disebut dengan “Hindu Dharma Indonesia” terpinggirkan akibat belum adanya kesatuan pandangan di dalam pembinaan agama ini baik oleh Parisadha maupun pemerintah. Belum lagi keragu-raguan terhadap agama Hindu yang sedang diperjuangkan bersama-sama tokoh lainnya, inti dasar pembentuk agama ini (maksudnya Saiwa-Bauddha) juga belum jelas. Artinya belum ada formulasi yang tegas atas sistem ketuhanannya, sekalipun banyak sumber menyebutkan demikian. Sarjana-sarjana asing yang telah membuka jalan ke arah terkuatnya misteri Siwa-Buddha ini beliau ikuti pemikirannya. Namun Prof. Mantra ingin menukik ke inti pokok ajaran agama, yaitu metafisika (tattwa)-nya, dalam hal ini dua tradisi besar, yaitu Saiwa Siddhanta (di India Selatan) dan Buddha Mahayana (di India, Nepal dan Jepang). Sejarah evolusi kedua agama ini diperhatikan dengan seksama untuk dapat menjelaskan fenomena Siwa-Buddha di Indonesia. Diyakini pemahaman yang benar terhadap tattwa agama, pelaksanaan ritual agama akan lebih mudah dipahami, karena sesungguhnya ritual yang mengada di dalam tiga dimensi, pada dasarnya adalah bentuk tattwa yang mudah diindera. Ke-indonesia-an ajaran Saiwa-Bauddha nampak berbeda dari yang ditradisikan di India. Di India Buddha dipandang sebagai awatara Wisnu, sehingga “penggabungan” antara agama Hindu dan Buddha bisa diterima. Dengan cara ini tidak ada masalah lagi jika menilik kehadiran agama Buddha yang hampir saja “menghabisi” agama Brahmana sebelum Sankaracarya muncul pada abad ke-7 Masehi. Di Indonesia Siwa dan Buddha dianggap sebagai kakak-beradik seperti dilukiskan di dalam teks Bubuksah Gagakaking. Sikap kakak-beradik ini nampak diperlihatkan antara Pedanda Siwa dan Pedanda Buddha. Kondisi ini tidak dijumpai di India. Hidup bersandingan bisa saja terjadi secara religius namun penyatuan di dalam teologi belum pernah ada. 17 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra Reliefnya dapat pula dilihat pada candi Panataran di Jawa Timur. Tidak ada permusuhan apalagi saling menghilangkan di dalam sejarah pertemuannya di Indonesia. Jika diperhatikan di India Selatan di mana tradisi Saiwa Siddhanta yang berkembang pesat pada abad ke-XII-XIII (ketika India Selatan diperintah oleh Dinasti Cola), kehadiran Saiwa Siddhanta justru sebagai akibat menguatnya pengaruh agama-agama Sramana, yaitu Jaina dan Bauddha. Dalam perkembangannya tradisi Saiwa Siddhanta bisa mengimbangi bahkan menghilangkan pengaruh agama-agama ini di India Selatan hingga saat ini. Ada sesuatu yang hilang pada masyarakat India Selatan waktu itu ketika agamaagama Sramana berkembang, yaitu rasa bhakti kepada Tuhan melalui ekspresi ritual, karena agama-agama Sramana tidak menggunakan bentuk-bentuk ritual. Setelah berkembang agama Saiwa Siddhanta, tradisi ritual berkembang sangat pesat hingga sekarang. Kehidupan agama dan kesenian berpusat di kuil. Ketika Weda tidak lagi dipahami sebagai Karma Kanda, masyarakat Tamil Nadu menggantikannya ritual-ritual Weda seperti Srauta dan Grihya melalui ritual khas Saiwa Siddhanta di India Selatan. Jika analisis Prof. Mantra memang benar ada persamaaan antara Saiwa Siddhanta dan Buddha Mahayana, mengapa agama Buddha lenyap dari bumi Tamil Nadu? Mungkin saja Buddha yang berkembang saat itu bukan Mahayana melainkan Hinayana. Dan, jika pernyataan Prof. Mantra benar bahwa Saiwa Siddhanta juga sampai di Indonesia, mengapa di sini tradisi ini bisa bersatu dengan Buddha Mahayana bahkan juga ada unsur-unsur lain yang ikut membentuk tradisi ini, seperti tradisi Saiwa Pasupata, Waisnawa, Tantrayana disamping Sankhya, Yoga, Weda, Purana, Dharma sastra? 7. Penutup Penulusuran pemikiran-pemikiran yang mirip pada tradisi-tradisi Saiwa Siddhanta di India Selatan dan Bauddha baik di India, Nepal, maupun Jepang telah memperlihatkan banyaknya ada unsur yang serupa atau sama pada tataran metafisika. Kesamaan ini bertindak sebagai penyedia kondisi kondusif sehingga 18 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra penyatuan antara ajaran Saiwa dan Bauddha bisa dilaksanakan. Walaupun demikian penyatuan tersebut baru bisa diwujudkan dengan pasti di Indonesia, yaitu pada era Jawa Timur (pada abad X s/d XV Masehi). Tradisi ini selanjutnya berkembang di Bali pasca kerajaan Majapahit runtuh, walaupun pada masa Bali kuno dua agama ini sudah hidup berdampingan. Kondisi ini memberikan landasan yang kuat untuk bisa menjelaskan keberadaan SaiwaBauddhagama di Indonesia. Sila Candra, 23 Juni 2014 Catatan dan Referensi Makalah disampaikan dalam “Diskusi Pendalaman Pemikiran Filsafat dan Budaya Prof. Dr. Ida Bagus Mantra”, Minggu, 29 Juni 2014 di Griha Giri Sunya, Br. Umah Anyar, Mambal, Abiansemal, Badung, Bali. 2 Mengenai pemikiran-pemikiran sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, agama, dan lain-lain, silakan baca Prof.Dr. I.B. Mantra, Bali: Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi (Denpasar: Upada Sastra, 1990); Landasan Kebudayaan Bali (Denpasar: Yayasan Dharma Sastra, 1996); dan I.B.G. Agastia, Menemuai Diri Sendiri: Percikan Pemikiran Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (Denpasar: Yayasan Dharma Sastra, 2006). 3 Lihat I.B. Putu Suamba, “Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha I Gusti Bagus Sugriwa” (Makalah) disampaikan dalam “Diskusi Sastra Memperingati 36 Tahun Wafatnya I Gusti Bagus Sugriwa”, Minggu, 24 November 2013 di Griha Giri Sunya, Br. Umah Anyar, Mambal, Abiansemal, Badung, Bali. 4 Prof. Dr. I.B. Mantra, Biografi Seorang Budayawan (1928-1995). Denpasar: Upada Sastra, 1998. 5 Kajian yang lebih detail, dipersilakan membaca kedua sumber yang diacu di dalam makalah ini. 6 I.B. Mantra, “Pengertian Siwa-Buddha dalam Sejarah Indonesia” dalam Siwa-Buddha Puja di Indonesia (Denpasar: Yayasan Dharma Sastra, 2002), hal. ? 7 Ibid., hal. 3. 8 Ibid., hal. 3-5. 9 Ibid., hal. 4. 10 Ibid .hal. 6-7. 11 Ibid., hal. 7. 12 Ibid., hal. 6. 13 Ibid., hal. 8. 14 Ibid. 15 Ibid. 16 Ibid.,hal. 9. 17 Ibid.,hal. 10. 18 Ibid.,hal. 10-11. 19 Ibid.,hal. 11. 20 Ibid.,hal. 12. 21 Ibid.,hal. 12-13. 22 Ibid.,hal. 13. 23 Ibid.,hal. 14. 24 Ibid., hal. 14-15. 25 Ibid.,hal. 17. 26 Ibid.,hal. 15-16. 27 Ibid.,hal. 17. 28 Ibid.,hal. 18-19. 29 Ibid.,hal. 19. i 19 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra 30 I.B.G. Agastia; Sagara Giri Kumpulan Esei Sastra Jawa Kuna (Denpasar, Wyasa Sanggraha, 1987), hal.70. *** 20 Pemikiran-pemikiran Siwa-Buddha Prof.Dr. I.B. Mantra