Aspek-aspek Karma Kanda dan Jnana Kanda dalam Siwaratri Oleh I.B. Putu Suamba 1. Pendahuluan Siwaratri, malam pemujaan Siwa sebagai sebuah peristiwa keagamaan senantiasa menarik terus dimaknai dalam konteks kekinian dan juga yang akan datang; menggali nilai-nilai yang terselubung di dalamnya di dalam rangka pecerahan rohani. Kesemarakan umat Hindu memuja Siwa di malam ini boleh dikatakan suatu fenomena keagamaan yang menggembirakan yang perlu dipelihara, namun yang lebih penting adalah pemujaan yang dilakukan agar juga memperhatikan aspek kualitas sebagai cermin kesadaran diri untuk terus mengembangkan kesucian, kesadaran diri. Siwaratri dirayakan oleh umat Hindu di seluruh dunia. Di India, pada malam ini dilakukan Siwalinggam Puja, menghaturkan persembahan, atau festival kesenian di kuilkuil Siwa. Kaum ibu mempersiapkan persembahan (sesajen) berisi kembang, buah, beras kuning, lampu dengan mentega, susu, dan manisan yang dibuat khusus Siwaratri. Setelah disucikan melalui mantra-mantra pandit, sesajen tersebut ditempatkan di hadapan Siwalinggam. Diyakini apabila kaum wanita memuja Siwalinggam pada hari ini, ia akan mendapatkan jodoh sesuai keinginannya. Perayaan ditandai dengan sembahyang kepada Siwalinggam dan upavasa. Di areal kuil Siwa terkenal di Khajuraho di wilayah Madya Pradesh festival Siwaratri berlangsung selama sebulan. Berbagai atraksi kesenian dan pameran yang bernafaskan Siwa dipentaskan di sini. Umat Hindu di sana merayakan hari suci ini dengan penuh kesucian, suka cita dan kemeriahan. Makalah ini mencoba membahas aspek upacara dan tattwa-jnana di dalam Siwa Puja dalam Siwaratri, malam Siwa. Yang pertama dikenal dengan istilah Karma Kanda, yang terakhir dengan Jnana Kanda1. Penekanan pembahasan diberikan pada aspek Jnana Kanda. Diharapkan pembahasan ini memberikan wawasan yang lebih luas dan juga pendalaman atas nilai-nilai terkandung di dalamnya bagi sidang pembaca sehingga 1 perasaan dan pikiran menjadi semakin mantap melaksanakan Siwa Puja di dalam Siwaratri. Pendalaman ini senantiasa kita perlukan di tengah-tengah semaraknya pelaksanakaan upacara yajna di Bali dan juga luar Bali sehingga keduanya berjalan seimbang, yaitu antara upacara yajna (Karma Kanda) dan Jnana (Jnana Kanda). 2. Lubdhaka: Sosok Kontroversial Setiap umat Hindu akan melaksanakan Siwa Puja dalam Siwaratri, maka kita diingatkan dengan kisah seorang pemburu, Lubdhaka2 yang berhasil memasuki Siwa Loka berkat perbuatan melek (jagra) semalam suntuk pada hari panglong ping-14 sasih kepitu/catur dasi kresnapaksa maghamasa, pada hal dalam kesehariannya Lubdhaka3 pekerjaannya hanyalah berburu, membunuh (himsa karma) binatang buruannya tidak pernah nangun dharma atau yasa-kerti apalagi mapunya. Sepertinya sulit bisa diterima, artinya Bhatara Siwa nampaknya sangat mudah menganugrahkan hadiah (anugraha) yang luar biasa kepada seorang Lubdhaka, sementara orang lain yang rajin dan tekun melaksanakan dharma, yajna, yasa-kerti belum tentu mendapatkan phahala diijinkan memasuki Siwa Loka disambut oleh bidadari surga. Bhatara Siwa bersabda: “…hanang nisadatma sudhira ring brata/ika papag denta wawan mare nghulun” (11.6cd). Bhatara Yama menjadi bingung atas keadaan ini karena menurut catatan hidup Lubdhaka tidak pantas mendapatkan tempat terhormat seperti itu. Nerakalah (tambra gohmukha) yang pantas menurut Yama, sehingga Yamabala berusaha menghalangi dan mengejar roh Lubdhaka. Lubdhaka dilukiskan sebagai “sangkan-sangkan alit taman hanang ulah dharmeriya mwang yasa/anghing lot maburu gawaynya mamati ng mong wek gaja mwang warak/…” (2.2. ab). Ia juga dinyatakan “satata turung mapunya yasa dharma len brata gantinya kasmala dahat”/ (5.6c) “satatamuwuki sakaseneng ning indriya” (8.7d). Lubdhaka memegang kartu yang sangat menentukan karena keutamaan brata (wara brata) yang ia lakukan pada saat yang tepat. Ia teguh dalam brata (sudhira ring brata). Kisah seorang pemburu ini termuat di dalam sumber sastra berupa teks kakawin Siwaratrikalpa atau di masyarakat juga dikenal dengan nama kakawin Lubdhaka gubahan Mpu Tanakung4 pada masa Majapahit akhir (kuartal ke-3 abad ke-15). Ada juga sejumlah sumber yang dijadikan pegangan dalam melaksanakan Siwaratri antara lain Puja Siwaratri 2 dan Aji Brata yang berbahasa Jawa Kuno; sementara dalam bahasa Sanskerta: Agni Purana, Padma Purana, Siwa Purana, Lingga Purana dan Skanda Purana. 3. Karma Kanda Karma Kanda memandang ajaran Weda dari perspektif karma atau tindakan. Karma di sini dimaknai sebagai persembahan berupa materi-materi ke dalam api pemujaan (Agni Hotra), sementara Kanda adalah ‘bagian’ dari Weda. Dengan demikian agama dalam perspektif ini adalah tindakan ber-yajna secara ritual dengan mempersembahkan doa-doa dan materi-materi kepada dewa-dewa yang dipuja dan dimohonkan anugrahnya. Dalam Karma Kanda ini agama diwarnai dengan penggunaan mantra, materi upakara/upacara ke dalam api persembahan, penggunaan lembaga kependetaan (rsi), termasuk di dalamnya penentuan hari, dan tempat upacara. Fase ini juga dikenal dengan agama Brahmana (Brahmanic religion) yang dibedakan dengan agama purana (puranic religion). Dalam konteks Siwaratri eksistensi ritual berupa persembahan yajna kepada Siwa dalam wujud Siwa Agni dilakukan pada upacara pemujaan Siwa pada hari pertama dilanjutkan malam harinya dan besoknya pada tilem sasih kepitu. Dalam kakawin Siwaratrikalpa disebutkan: “ring enjing iuwus ning anggelar anusmarana”, bahwa upacara Siwaratri dilakukan sejak pagi hari setelah melakukan pemujaan kepada SuryaRaditya. Sebelum melaksanakan brata dan pemujaan kepada Siwa, maka terlebih dahulu mengunjungi rumah guru, mohon ijin dan anugrah dari guru nabe atau guru kerohkanian dengan menjunjung kesucian kaki guru agar pelaksanaan brata dan upacara yajna berjalan lancar dan berhasil. Datenga ring gurugrha manembaha jugamwitanglekasaken brata sumuhuna pada sang guru”. Setelah itu dilakukan asuci laksana atau penyucian diri lahirbathin, “ri sampun ika madyusasisiga” (setelah itu mandi dan menggosok gigi). Setelah penyucian diri dilanjutkan dengan pemujan kepada Siwa, “manggelaraken i siwanalarcana”. Di sini berbagai media atau sarana dapat digunakan seagai media konsentrasi kepada Siwa, yaitu Siwa Agni atau Siwanala atau juga Siwalingga. Setelah itu disertai pantangan-pantangan (brata), “teher duluranopawasa saha mona” (disertai dengan pantang makan dan minum dan pantang bicara) yang dilaksanakan pada malam harinya. Pada malam hari kegiatan adalah pantang tidur alias melek (jagra), “ri sampun i 3 telas nikla ng rahina ring wengi niyata matanghya tan mrema”. Jika siang hari pemujaan kepada Siwa Agni atau Siwa Nala, maka malam hari pemujaan dilakukan kehadapan Siwa Lingga yang bersemaam di dalam Suralaya. Secara simbolis dalam tata pelaksanaannya dibuatkan lingga terbuat dari daun bila. Pemujaan juga dilakukan kehadapan Bhatara Kumara dan terutama kepada Bhatara Gana. “bhatara siwalingga kewala sirarcanan i dalem ikang suralaya kumara nguniweh gajendrawadana ruhunana sira kapwa pujanem”. Begitu juga dilakukan kepada dewa-dewa lain. Oleh karena itu pemujaan ini disertai penggunaan upakara banten sebagai wujud dari Dewa Yajna. Dalam kakawin Siwaratrikalpa juga menyebutkan saji-sajian (ikang caru) yang dipersembahkan kepada para dewa berupa bubur susu (bubur pehan) dan bubur gula (bubur gulu) beserta nasi bercampur kacang ijo (liwet acarub atak wilis). Itulah merupakan sesajen utama (ya teka pinakadi ning caru). Dapat juga disertai (yadin dulurana) dengan buah-buahan (phala), minuman (pana) dan lauk (matsyaka). Ini semua dikerjakan dengan penuh pengendalian diri tanpa lupa (samangkana keta ng kramolahakeneng sawengi saka sayaya tan lupa). Disamping saji-sajian (caru) disebutkan kembang yang juga boleh dignakan dalam saji-sajian (sahananing kusumalapen ing samangkan): menur, kenyiri, gambir, kecubung, waduri putih, pudak, asokam, nagasari, tangguli, bakul, kalak, cempaka, teratai biru, merah dan putih. Bunga yang digunakan untuk menyembah adalah bunga sulasih dan tunas muda daun maja (makadi semi ning majarja sulasih sinekeran ing angracane sira). Segala macam haruman dapat digunakan sebagai asap kemenyan (lawan sahana ning sudandha paka dhupa), juga digunakan mentega encer untuk menghidupkan api suci pada malam harinya (sahaghrta sudipa ring kulem). Untuk menghalau rasa kantuk juga dapat dilakukan kesenian dan permainan yang dapat dinikamati dengan mata dan telinga. Genderang dan segala macam bunyi-bunyian yang menyenangkan dapat digunakan sebagai penawar rasa kantuk (mrdangga sahonyanunya samenaka panalimurarip ing mata); atau dengan mengumandangkan lagu-lagu pujian (kekidung) (yadin pengucapakidung), membaca kekawin (rumacanakakawin), mementaskan kesenian arja (apasang raja) dan menggelar permainan (len nita). Semuanya dilakukan dalam spirit Siwaratri untuk menjaga agar brata bisa lulus. 4 Tingkatan upacara dapat diklasifikasikan menurut kemampuan: nista, madya, dan uttama5. Ada perbedaan dalam upacara dan brata antara sadhaka dan walaka. Besok harinya dilanjutkan dengan upacara ngelebar brata (namun jagra tetap dilanjutkan hingga matahari terbenam) dan mempersembahkan punya kepada masyarakat khususnya kepada para pendeta menurut kemampuan. Punya dilakukan dalam rangkaian brata Siwaratri. Punya dilaksanakan pada pagi hari (pada tilem). Punya diberikan oleh penguasa (raja zaman dulu) kepada seluruh rakyat (masanga dana ring sabha), sedangkan kepada para maha-pandita dipersembahkan “suwarna siwalingga ri mahadwija paramasusila wedawit” (siwalingga terbuat dari dipersembahkan kepada pendeta utama yang menguasai ajaran Weda); dan dilanjutkan dengan tidak tidur pada siang harinya dan jangan bekerja tanpa kesadaran (teher kaluputeng turu ri rahinanya sagawaya hayo kurang tutur”) hingga matahari terbenam. Jadi, jagra dilaksanakan selama 36 jam mulai pada pagi hari pada panglong ping 14 sampai senja hari (matahari terbenam) panglong ping 15 (tilem), keesokan harinya; upavasa dan mono brata dilaksanakan selama 24 jam mulai pagi hari panglong ping 14 sampai panglong ping 15 (tilem). 4. Jnana Kanda Jnana Kanda sering dikontraskan dengan Karma Kanda. Keduanya mempunyai ciri dan tujuan yang berbeda. Dalam tradisi Weda di India, justru kehadiran Jnana Kanda sebagai akibat ketidak puasan atas praktek agama Brahmana yang terlalu ritualistik dan kurang merakyat. Boleh dikatakan inilah sebuah bentuk reformasi spiritual yang sangat besar sekaligus pertanda agama Hindu memberikan keleluasan spiritual dan intelektual di dalam mencari hakikat tertinggi. Namun dalam pelaksanaan agama Hindu di Indonesia keduanya berjalan secara sinergis dan seimbang untuk mencapai tujuan kehidupan tertinggi, yaitu jagaddhita dan moksa. Artinya, keduanya dipraktekkan sesuai dengan tingkat kemampuan umat dan kondisi setempat. Dalam konteks Indonesia, Karma Kanda adalah upacara atau ritual sebagai aspek luar dari agama Hindu; sementara Jnana Kanda adalah aspek yang lebih dalam, menyangkut Upasana Kanda dan Jnana Kanda: yaitu etika (susila) dan tattwa. Kondisi ini juga nampak dalam Siwa Puja Siwaratri seperti diungkapkan dalam sumber-sumber disebutkan di atas. Pelaksanaan Jnana Kanda di Indonesia tidak berdiri sendiri namun berkaitan dengan Karma Kanda, begitu juga 5 sebaliknya. Namun aspek ini sangat halus dan baru nampak dalam tindakan dan ekspresi kegamaan baik dalam sikap maupun tindakan yajna. Upacara Siwaratri mengimplikasikan adanya tindakan ritual. Namun di dalamnya terkandung tindakan yang bersifat adhyatmika, pemaknaan yang lebih sublim dan simbolis di balik semua tindakan atau persembahan yajna. Rangkaian upacara Siwaratri ditandai dengan brata, yaitu upavasa (pantang makan dan minum), mono brata (diam tidak berkata-kata) dan jagra (melek). Brata ini diklasifikasikan menjadi tingkat uttama melaksanakan jagra, upavasa, dan mono brata; tingkat madya melaksanakan jagra dan mono brata; dan tingkat nista melaksanakan jagra saja. Di sini, jagra merupakan brata yang paling dipentingkan karena dipersyaratkan pada semua tingkatan. Dari sumber-sumber sastra kita mengetahui bahwa brata merupakan landasan melaksanakan yoga. Kata-kata kunci: tapa, brata, yoga dan semadhi bukanlah deretan kata-kata klise yang tanpa makna. Kata-kata ini sungguh mengandung pengertian yang sangat dalam di dalam melaksanakan yoga terlebih-lebih di dalam melaksanakan Siwa Puja Siwaratri. Mengenai keutamaan brata disebutkan di dalam Siwaratrikalpa: “huwus pwa katekan prasiddha mangulah brata winuwusaken tekap mami/ kasorsaphala ning mayajna-tapa-dana nguni-unin atirtha de nika/ ri purwa ni dadinya yadyapi sahasra niyuta ya mamuktya pataka/ tathapi ya hilang tekap ning umulah brata saphala Siwadisarwari// (Setelah mereka berhasil melaksanakan brata sesuai dengan ajaran-Ku; phahala yajna, tapa, dana (amal kebajikan) terlebih lagi melaksanakan tirthayatra dikalahkan olehnya; dalam penjelmaan kembali walaupun seribu hingga sejuta kali ia menemukan sengsara; namun bagi orang yang melakukan brata Siwaratrikalpa akan terbebas dari semua penderitaan). Ini mengandung harapan dan sekaligus janji betapa Bhatara Siwa akan menganugrahkan phahala yang luar biasa bagi seseorang yang memang tekun dan lulus dalam melaksanakan brata pada saat yang tepat. Seorang Lubdhaka adalah sebuah contoh. 5. Siwasmerti Siwasmerti artinya ingat dengan Siwa sebagai sangkan paraning dumadi sekaligus tujuan dari semua tindakan manusia. Beliaulah yang tidak pernah berubah di tengahtengah dunia yang terus berubah. Beliaulah Siwa-Raditya, pusat kosmis dunia dimana 6 semua planet berputar pada orbitnya mengeliling matahari. Ingat atau eling bermakna sadar akan kejati dirian kita sebagai terbentuk oleh suksma sarira, sthula sarira dan antah karana. Belenggu sthula dan suksma sarira menyebabkan sang diri mengalami penderitaan dan kelahiran yang berulang-ulang. Badan-badan ini harus dihancurkan melalui Karma Kanda dan Jnana Kanda. Manusia dibelenggu oleh raga atau indriyaindriyanya (ragadwesa) sehingga ia nampak melek namun sesungguhnya ia aturu (tidur) atau lupa. Karena lupa dengan jati dirinya sebagai roh yang suci, murni, dan cerdas, maka hidupnya menjadi papa, apalagi tidak pernah membangun dharma atau yasa-kerti selama hidupnya. Pemujaan Siwa pada malam Siwa atau Siwaratri dapat mengenyahkan ke-papaan manusia (Siwaratri wijneya sarwapapa paharini, atau tesam papani nasyanti siwaratri prajagarat) dan selanjutnya mendapatkan punya. Dalam teks Wrehaspati Tattwa ada menguraikan masalah papa dan atutur. Bagaimana seorang yang papa dapat terlepas dari papa-neraka (... atyanta kasyasih ning atma sajna Bhatara, ndya teka luputa ring papa, matangnyan lepasa sangken papa-neraka). Jawaban Bhatara Siwa, “... yan matutur ikang atma ri jatinya” artinya kalau Sang Hyang Atma sadar akan jati dirinya. Dengan demikian kesadaran akan sang diri merupakan hakikat ajaran Bhatara Siwa yang disampaikan kepada Bhagawan Wrehaspati dalam teks tersebut di atas. Kesadaran akan jati diri akan mendorong seseorang mengetahui jati dirinya lebih jauh lagi. Diri bukanlah badan ini saja. Diri dalam pengertian adhyatmika adalah jiva yang bersemayam di dalam diri, suatu kekuatan yang membuat tubuh ini hidup dan beraktivitas. Tanpa sang diri (jiva) ini badan kasar (sthula sarira) ini dapat berfungsi sebagaimana mestinya: mata bisa melihat, telinga bisa mendengar, kulit dapat merasakan dan seterusnya. Di atas dijelaskan belenggu raga atau indriya membuat sang diri lupa dengan jati dirinya. Dalam pada itu diperlukan kesadaran akan eksistensi Siwa (Siwasmerti) secara intens dan terus menerus agar kesadaran sang diri secara bertahap mekar dari kedasaran yang terbatas pada diri menjadi kesadaran kosmis. 6. Brata dan Yoga Jika di dalam kakawin Siwaratrikalpa lebih banyak menakankan pada brata, teksteks tattwa menekankan pada tattwa jnana dan yoga. Brata ini sesunguhnya merupakan fondasi yang sangat diperlukan di dalam mengembangkan kesadaran Siwa (Siwasmrti). 7 Dalam teks-teks tattwa atau tutur banyak diuraikan masalah yoga dimana landasannya adalah ajaran Yama dan Niyama Brata. Yama: (1) Ahimsa (tidak menyakiti, tidak membunuh, tidak melakukan kekerasan), (b) Satya (kebenaran dalam pikiran, perkataan, perbuatan), (c) Asetya (pantang mengingini sesuatu yang bukan miliknya atau pantang mencuri), (d) Brahmacarya (pantang penikmatan seksual atau pengendalian hawa nafsu), dan (e) Aparigraha (tidak menerima pemberian yang tidak penting dari orang lain). Niyama: (a) Sauca (suci lahir bathin), (b) Santosa (puas dengan apa yang datang dengan wajar), (c) Tapa (tahan uji terhadap gangguan melalui pantangan), (d) Swadhyaya (mempelajari buku-buku agama dengan teratur), (e) Iswarapranidhana (penyerahan dan pembaktian kepada Tuhan). Inilah ajaran Dasa Sila sebagai ajaran susila dalam ajaran agama Hindu seperti termuat di dalam teks-teks tattwa seperi: Wrehaspati Tattwa, Tattwa Jnana, Jnana Sidhhanta, dan lain-lain. Yoga adalah jalan penyatuan sang diri dengan Bhatara Siwa. Di dalam kakawin Siwaratrikalpa ada disebutkan “rikang raja niyama panggelarana krama nika manuteng sakabwatan” (raja niyama hendaknya dilaksanakan untuk pemujaan sesuai dengan kemampuan). Kutipan ini memberi isyarat bahwa raja niyama mengantarkan kita kepada pelaksanaan Raja Yoga yang dalam teks-teks tattwa tersebut di atas lebih dikenal dengan Sadangga Yoga. Dalam Wrehaspati Tattwa disebutkan Sadangga Yoga: (1) Pratyahara-yoga, (2) Dhayana-yoga, (3) Pranayamayoga, (4) Dharana-yoga, (5) Tarka-yoga dan (6) Samadhi-yoga. Jalan yoga merupakan jalan menuju penunggalan dengan Bhatara Siwa. Yoga ini dilandasi oleh tattwa jnana sebagai hakikat dari prinsip tertinggi, Bhatara Siwa. 7. Siwa Puja dan Puja Wahyakara Siwa Puja dalam Siwaratri dilaksanakan baik menggunakan Karma Kanda maupun Jnana Kanda. Puja Adhyatmika dilandasi oleh Raja Niyama dan selanjutkan berkembang menjadi Astangga Yoga sementara Puja Wahyakara dilandasi dengan Saka Sayama. Raja Niyama dilakukan dengan melaksanakan Raja Yoga (Sadangga Yoga). Gabungan dari Saka Sayama dan Raja Niyama menjadi Sadangga Yoga atau Astangga Yoga dalam Yoga-sutra Patanjali. Inilah landasan pemujaan kepada Siwa mencakup Puja wahyakara dan Puja Adhyatmika. 8 Memperhatikan tata cara pelaksanaan dan sarana yang digunakan maka, eksistensi karma kanda dan Jnana Kanda sangat jelas. Upacara-upakara banten dengan saranasarananya nampak jelas digunakan baik pada hari siang pertama maupun pada malam harinya. Penggunaan daun bila sebagai nyasa dan sarana pemujaan kehadapan Siwa dalam bentuk lingga juga memperkuat bahwa Karma Kanda ini tidak dikesampingkan oleh ajara tattwa adhyatmika. Keduanya berjalan seiring, tidak ada pertentangan. Barangkali ini dilakukan untuk dapat mengakomodasi umat yang sangat heterogen di dalam kemampuan, kematangan rohani, latar belakang yang berbeda-beda. Dengan demikian Siwaratri bukanlah monopoli elit agama atau hanya dilaksanakan oleh para sadhaka, namun bagi masyarakat Hindu secara meluas. 8. Penutup Siwa Puja dalam Siwaratri dilandasi oleh sejumlah sumber sastra. Kisah perjalanan hidup seorang pemburu, Lubdhaka penuh makna simbolis yang menggugah disimak di dalam rangka pendakian rohani. Pada hakikatnya ajaran yang diuraikan di sini adalah mengajak umat manusia agar sadar dengan dirinya sebagai insan yang dibelenggu oleh raga dan indriya dan mengusahakan kesadaran akan haikat tertinggi, Siwa sebagai sangkan paraning dumadi sekaligus tujuan tertinggi dari setiap umat Hindu. Memperhatikan tata cara pelaksanaan dan saran-saran banten yang digunakan dan juga brata Siwaratri, maka pada dasarnya kedua aspek penting dalam ajaran Weda, yaitu Karma Kanda dan Jnana Kanda dilaksanakan secara sinergis dan harmonis, tidak ada kontradiksi satu dengan yang lainnya, malahan saling mendukung apalagi dengan memperhatikan kemampuan umat Hindu yang sangat heterogen. Karma Kanda adalah puja wahyakarana yang menekankan pada sarana fisik eksternal; Jnana Kanda menekankan pada aspek tattwa jnana dan yoga atau puja adhyatmika sebagai jalan pembebasan sang diri dari belenggu raga dan indriya. Siwasmerti berarti selalu ingat selalu kepada Siwa. Ingat atau eling atau atutur membuat seseorang terhindar dari turu dan papa. Batubulan, 25 Januari 2006 9 Catatan dan Referensi 1 Istilah ini dipinjam dari kosa kata Catur Weda Samhita, khususunya Rg Weda. Dua bagian pertama Weda, yaitu Mantra dan Brahmana dikenal juga dengan istilah Karma Kanda, karena menekankan pada aspek ritual yajna; sementara dua bagian terakhir yaitu Aranyaka dan Upanisad dikenal dengan istilah Jnana Kanda karena menekankan pada aspek jnana, yaitu pengetahuan intuitif Brahman. Pada yang terakhir upacara yajna secara ritual tidak lagi diperlukan melainkan pencarian kekuatan tertinggi yang disebut Brahman yang ada di dalam diri melalui kekuatan jnana dan yoga. 2 Pemburu ini juga bernama Nisada. Di dalam kitab-kitab purana juga bernama Sambhara. Ida Pedanda Ketut Sidemen asal Gerya Taman Sanur memaknai kata ‘lubdhaka’ secara adhyatmika atau simbolis: ‘lubdhaka’ = ‘lubda’ (lupa). Sementara harimau = ‘momo’ (nafsu), ron bila = ‘bilasa’ (pelaksanaan), kayu = ‘kahyun’ (kemauan, pemikiran), ‘latri’ = ‘wengi’ (malam, kegelapan), ‘tan aturu’ = ‘tan sirep’ (tidak tidur) dan selanjutnya menjadi ‘atutur’ (ingat). Maka ‘lubdhaka’ takut kepada nafsu (momo), khususnya para musuh yang ada di dalam diri manusia (sad ripu). Kemudian pada tilem kepitu Lubdhaka melarikan diri dari “kegelapan tujuh” (sapta timira). Waktu dia memetik daun-daun bila dan menjatuhkannya dari tempat persembunyiannya dia sebenarnya sedang menghitung semua perbuatan baik dengan maksud menguasai kegelapan (latri) yang menyelimuti atma-nya. Maka begadangnya tidak hanya merupakan melek belaka, tetapi berupa cara untuk ingat terus kepada kenyataan rahaniah yang terkandung dalam bathin seorang diri [Lihat T.M. Hunter, “Apakah Melek Cukup untuk Menebus Dosa? Siwaratri dalam Teks dan Konteks” (paper) dalam Seminar Perayaan Siwaratri dan Penyadaran Moral diselenggarakan oleh Lembaga Pernaskahan Bali dan Lombok, 31 Januari 1997 di Denpasar] 3 4 Disamping Siwaratrikalpa, ada sejumlah karya sastra Mpu Tanakung: Wrettasancaya, kekawin liris pendek (bhasa), yaitu Bhasa Sadhanayoga, Bhasa Amretamasa, Bhasa Sangutangis, Bhasa Kinalisan, Bhasa Tanakung, Bhasa Gumuringsing dan Bhasa Banawa Sekar.Kakawin Patibrata dan Kakawin Pujaning Smara diduga juga dikarang oleh Mpu Tanakung [Lihat I.B.G. Agastia (Pentj), Siwaratrikalpa Karya Mpu Tanakung, (Denpasar: Yayasan Dharma Sastra, 2001)], hal. 2. 5 Tata cara pelaksanaan dan Upacara Siwaratri dapat dilihat lebih jauh dan rinci dalam I.B. Wijaya Kusuma, Materi Bahasan Paruman Sulinggih Provinsi Bali Tahun 1995, Proyek Pembinaan dan Penyuluhan Kehidupan Beragama tersebar di 9 (sembilan) Daerah Tingkat II. *** 10