68 BAB IV GAMBARAN WILAYAH DAN KEHIDUPAN SUKU MAKASSAR 4.1 Gambaran Wilayah dan Penduduk Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar Pemilihan objek penelitian di Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar didasarkan fakta empiris, bahwa kedua Kabupaten tersebut memiliki tradisi lokal yang masih bertahan dibandingkan dengan wilayah Kabupaten lain yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan. Tradisi yang masih bertahan tersebut dapat ditemui di Desa Bukrung-bukrung, Kecamatan Pattalassang Kabupaten Gowa dan di Desa Pallalakang, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar dengan penggunaan bahasa penutur asli masyarakat Makassar yang bernilai religius tinggi dalam tatanan bergama, khususnya bagi pemeluk agama Islam di kedua Kabupaten tersebut. 4.1.1 Kabupaten Gowa 4.1.1.1 Sejarah Kabupaten Gowa Sebelum Kerajaan Gowa terbentuk, terdapat sembilan Negeri atau Daerah yang masing-masing dikepalai oleh seorang penguasa yang merupakan Raja Kecil. Dengan kata lain, Gowa purba terdiri atas sembilan kasuwiang (kasuwiyang salapang) mungkin pula lebih yang dikepalai oleh seorang penguasa sebagai Raja Kecil. Setelah pemerintahan Karaeng Katangka, maka sembilan Kerajaan Kecil bergabung dalam bentuk pemerintahan federasi yang diketuai oleh Paccalaya. Negeri ini ialah Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, 68 69 Agang Jekne, Bisei, Kalling, dan Sero. Pada suatu waktu Paccallayya bersama Raja-Raja Kecil masygul karena tidak mempunyai raja, sehingga mereka mengadakan perundingan dan sepakat memohon kepada dewata agar menurunkan seorang wakilnya untuk memerintah Gowa (Gowa Dalam Angka, Badan Statistik Pemprov Sul-Sel, 2011) Peristiwa ini terjadi tahun 1320 dengan diangkatnya Tumanurung menjadi Raja Gowa. Kedudukan sembilan Raja Kecil mengalami perubahan kedaulatan di daerahnya masing-masing. Daerah Gowa berada di bawah pemerintahan Tumanurung Bainea selaku Raja Gowa Pertama yang bergelar Karaeng Sombaya Ri Gowa. Masa pemerintahan Tumanurunga berlangsung tahun 1320-1345. Diriwayatkan, Tumanurunga kawin dengan Karaeng Bayo, yaitu seorang pendatang yang tidak diketahui asal usulnya, hanya dikatakan berasal dari arah selatan bersama temannya Lakipadada. Dari hasil perkawinan tersebut lahirlah Tumassalangga Baraya yang nantinya menggantikan ibunya menjadi raja Gowa kedua (1345-1370). Menjelang abad XVI, pada masa pemerintahan Raja Gowa VI, Tunatangka Lopi, membagi wilayahnya menjadi dua bagian untuk dua putranya, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe Ri Sero. Batara Gowa melanjutkan kekuasaan ayahnya yang meninggal dunia. Wilayahnya meliputi: (1) Paccelekang; (2) Patalassang; (3) Bontomanai Ilau; (4) Bontomanai Iraya; (5) Tombolo; dan (6) Mangasa (http://northmelanesian.blogspot.com/2012/08/ kerajaan-gowa.html). sejarah-singkat- 70 4.1.1.2 Masa Kerajaan Pada tahun 1320 Kerajaan Gowa terwujud atas persetujuan kelompok kaum yang disebut Kasuwiyang-Kasuwiyang dan merupakan kerajaan kecil yang terdiri atas sembilan Kasuwiyang, yaitu Kasuwiyang Tombolo, Lakiyung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Jekne, Bisei, Kalling, dan Sero. Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Gowa Pada masa kerajaan, banyak peristiwa penting yang dapat dibanggakan dan mengandung citra nasional. Masa Pemerintahan I Daeng Matanre Karaeng Imannuntungi Karaeng Tumapakrisik Kallonna berhasil memperluas Kerajaan Gowa melalui perang dengan menaklukkan Garassi, Kalling, Parigi, Siang (Pangkajekne), Sidenreng, Lempangang, Mandalle dan lain-lain kerajaan kecil, sehingga Kerajaan Gowa meliputi hampir seluruh dataran Sulawesi Selatan. Di masa kepemimpinan Karaeng Tumapakrisik Kallonna tersebutlah Daeng Pamatte sebagai Tumailalang dan merangkap sebagai Syahbandar. Ia berhasil menciptakan aksara lontarak Makassar yang terdiri atas delapan belas huruf yang disebut Lontarak Turiolo (Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki /Kesultanan_Gowa). Pada tahun 1051 H atau tahun 1605 M, Dato Ribandang menyebarkan agama Islam di Kerajaan Gowa dan pada 9 Jumadil Awal tahun 1051 H atau 20 September 1605 Raja I Mangerangi Daeng Manrabia menyatakan masuk agama Islam dan mendapat gelar Sultan Alauddin. Kemudian, Raja Tallo I Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Katangka juga memeluk agama Islam dengan gelar Sultan 71 Awwalul Islam dan beliaulah yang mempermaklumkan shalat Jum‟at untuk pertama kalinya. Raja I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Muhammad Bakir, Sultan Hasanuddin Raja Gowa XVI dengan gelar Ayam Jantan dari Timur, memproklamirkan Kerajaan Gowa sebagai kerajaan maritim yang memiliki armada perang yang tangguh dan terkuat di Kawasan Indonesia Timur. Tahun 1653 – 1670, kebebasan berdagang di laut lepas tetap menjadi garis kebijaksanaan Gowa di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin. Hal ini mendapat tantangan dari Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang menimbulkan konflik dan perseteruan dan mencapai puncaknya saat Sultan Hasanuddin menyerang posisi Belanda di Buton http://irwan- cahyadi.blogspot.com Akibat peperangan yang terus menerus antara Kerajaan Gowa dengan VOC mengakibatkan kerugian dari kedua belah pihak. Sultan Hasanuddin melalui pertimbangan kearifan dan kemanusiaan guna menghindari banyaknya kerugian dan pengorbanan rakyat, maka dengan hati yang berat menerima permintaan damai VOC. Pada 18 November 1667 dibuat perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Bungaya (Cappaya ri Bungaya). Perjanjian ini tidak berjalan langgeng karena pada 9 Maret 1668, pihak Kerajaan Gowa merasa dirugikan. Raja Gowa kembali dengan heroiknya mengangkat senjata melawan Belanda yang berakhir dengan jatuhnya Benteng Somba Opu secara terhormat. Peristiwa ini mengakar dalam kenangan setiap patriot Indonesia yang berjuang gigih membela tanah airnya. 72 Sultan Hasanuddin bersumpah tidak mau bekerja sama dengan Belanda dan pada 1 Juni 1669 meletakkan jabatan sebagai Raja Gowa XVI setelah hampir 16 tahun melawan penjajah. Pada Kamis, 12 Juni 1670 Sultan Hasanuddin mangkat dalam usia 36 tahun. Berkat perjuangan dan jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara, maka dengan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 16 Nopember 1973, Sultan Hasanuddin dianugerahi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional http://northmelanesian. blogspot.com/2012/08/sejarah-singkat-kerajaan-gowa.html. 4.1.1.3 Masa Kemerdekaan Pada tahun 1950 berdasarkan Undang-Undang nomor 44 tahun 1950 daerah Gowa terbentuk sebagai daerah Swapraja dari 30 daerah Swapraja lainnya dan membentuk 13 daerah Indonesia bagian Timur. Sejarah pemerintahan daerah Gowa berkembang sesuai dengan sistem pemerintahan negara. Setelah Indonesia Timur bubar dan negara berubah menjadi sistem Pemerintahan Parlemen berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 dan Undangundang Darurat Nomor 2 Tahun 1957, maka daerah Makassar bubar. Pada 17 Januari 1957 ditetapkan berdirinya kembali daerah Gowa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan ditetapkan sebagai daerah Tingkat II. Selanjutnya, dengan berlakunya Undang-undang nomor 1 tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah untuk seluruh wilayah Indonesia, maka 18 Januari 1957 dibentuk daerah-daerah tingkat II (Gowa Dalam Angka, Badan Statistik Pemprov Sul-Sel, 2011). 73 Berdasarkan Undang-Undang nomor 29 tahun 1957 sebagai penjabaran Undang-Undang nomor 1 tahun 1957 mencabut Undang-Undang Darurat no. 2 tahun 1957 dan menegaskan Gowa sebagai Daerah Tingkat II yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Untuk operasionalnya dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor U.P/7/2/24, 6 Pebruari 1957 yang mengangkat Andi Ijo Karaeng Lalolang sebagai Kepala Daerah yang memimpin 12 (dua belas) daerah bawahan distrik yang dibagi dalam 4 (empat) lingkungan kerja pemerintahan yang disebut koordinator, masing-masing adalah sebagai berikut. 1) Koordinator Gowa Utara, meliputi: Distrik Mangasa, Tombolo, Pattallassang, Borongloe, Manuju dan Borisallo. Koordinatornya berkedudukan di Sungguminasa. 2) Koordinator Gowa Timur, meliputi: Distrik Parigi, Inklusif Malino Kota dan Tombolopao. Koordinatonya berkedudukan di Malino. 3) Koordinator Gowa Selatan, meliputi: Distrik Limbung dan Bontonompo. Koordinatornya berkedudukan di Limbung. 4) Koordinator Gowa Tenggara, meliputi: Distrik Malakaji, koordinatornya berkedudukan di Malakaji. Pada tahun 1960 berdasarkan kebijaksanaan Pemerintah Pusat di seluruh Wilayah Republik Indonesia diadakan Reorganisasi Distrik menjadi Kecamatan. Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa yang terdiri atas 12 Distrik diubah menjadi 8 Kecamatan masing-masing: 1) Kecamatan Tamalate dari Distrik Mangasa dan Tombolo. 74 2) Kecamatan Panakkukang dari Distrik Pattallassang. 3) Kecamatan Bajeng dari Distrik Limbung. 4) Kecamatan Pallangga dari Distrik Limbung. 5) Kecamatan Bontonompo dari Distrik Bontonompo 6) Kecamatan Tinggimoncong dari Distrik Parigi dan Tombolopao 7) Kecamatan Tompobulu dari Distrik Malakaji. 8) Kecamatan Bontomarannu dari Distrik Borongloe, Manuju dan Borisallo. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 1971 tentang perluasan Kotamadya Ujung Pandang sebagai Ibukota Provinsi, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa menyerahkan 2 (dua) Kecamatan yang ada di wilayahnya, yaitu: Kecamatan Panakkukang dan sebagian Kecamatan Tamalate dan Desa Barombong Kecamatan Pallangga (seluruhnya 10 Desa) kepada Pemerintah Kotamadya Ujung Pandang. Terjadinya penyerahan sebagian wilayah tersebut, mengakibatkan samarnya jejak sejarah Gowa di masa lampau, terutama yang berkaitan dengan aspek kelautan pada daerah Barombong dan sekitarnya. Hal ini mengingat, Gowa justru pernah menjadi Kerajaan Maritim yang pernah jaya di Indoneia Bagian Timur, bahkan sampai ke Asia Tenggara. 4.1.1.4 Letak Geografis Kabupaten Gowa Kabupaten Gowa terletak di bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas wilayah 1.883,33 Km², atau setara dengan 3,01 % dari luas Provinsi Sulawesi Selatan. Keadaan geografisnya digolongkan ke dalam daerah berdimensi dua, yaitu: terdiri atas dataran tinggi seluas 80,17% yang meliputi Kecamatan Parangloe, Manuju, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya, 75 Bontolempangan, Tompobulu, dan Kecamatan Biringbulu. Dataran rendah seluas 19,83 % yang terdiri atas Sembilan Kecamatan, yaitu: Kecamatan Bontonompo, Bontonompo Selatan, Bajeng, Bajeng Barat, Pallangga, Barombong, Somba Opu dan Pattallassang. Wilayah administrasi Kabupaten Gowa tahun 2009 terdiri atas 18 Kecamatan, 122 Desa, dan 45 Kelurahan yang berbatasan dengan delapan Kabupaten/Kota, yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Kota Makassar, Maros, dan Kabupaten Bone; sebelah Timur dengan Kabupaten Sinjai, Bulukumba, dan Bantaeng; sebelah Selatan dengan Kabupaten Takalar, dan Jeneponto, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Takalar dan Kota Makassar. Kabupaten yang berada pada bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan ini berbatasan dengan tujuh kabupaten/kota lain, yaitu: sebelah Utara berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Maros. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sinjai, Bulukumba, dan Bantaeng. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Takalar dan Jeneponto sedangkan di bagian Barat berbatasan dengan Kota Makassar dan Takalar (Lembaga Swadaya Masyarakat Suara Gowa, 2011) Wilayah Kabupaten Gowa sebagian besar berupa dataran tinggi berbukitbukit, yaitu sekitar 72,26% yang meliputi sembilan kecamatan, yakni: Kecamatan Parangloe, Manuju, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya, Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu. Selebihnya 27,74% berupa dataran rendah dengan topografi tanah yang datar meliputi 9 Kecamatan, yakni: Kecamatan Somba Opu, Bontomarannu, Pattallassang, Pallangga, Barombong, Bajeng, Bajeng Barat, Bontonompo, dan Bontonompo Selatan. 76 Secara Administrasi, wilayah Kabupaten Gowa beribukota di Sungguminasa yang terbagi menjadi delapan belas Kecamatan dan 167 Desa/Kelurahan (Gambar 1). Kecamatan Tinggimoncong merupakan kecamatan terluas, yaitu 275.63 km2 atau 14.64 %, sedangkan Kecamatan Barombong adalah yang terkecil, yakni 20.67 km2. Dari luas Kabupaten Gowa, 35,30% mempunyai kemiringan tanah di atas 40 derajat, yaitu di wilayah Kecamatan Parangloe, Tinggimoncong, Bungaya, Bontolempangan, dan Tompobulu. Dengan bentuk topografi wilayah yang sebagian besar berupa dataran tinggi, wilayah Kabupaten Gowa dilalui oleh 15 sungai besar dan kecil yang potensial sebagai sumber tenaga listrik dan untuk pengairan. Salah satu di antaranya sungai terbesar di Sulawesi Selatan adalah sungai Jeneberang dengan luas 881 Km2 dan panjang 90 Km. Di atas aliran sungai Jeneberang oleh Pemerintah Kabupaten Gowa bekerjasama dengan Pemerintah Jepang, dibangun proyek multifungsi DAM BiliBili dengan luas + 2.415 Km2 yang dapat menyediakan air irigasi seluas + 24.600 Ha, komsumsi air bersih (PAM) untuk masyarakat Kabupaten Gowa dan Makassar sebanyak 35.000.000 m3 dan untuk pembangkit tenaga listrik tenaga air yang berkekuatan 16,30 Mega Watt. 77 Gambar 4.1. Peta Administrasi Kabupaten Gowa 4.1.1.5 4.1.1.3 Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Gowa tahun 2009 adalah 695.697 jiwa, Lakilaki berjumlah 344.740 jiwa dan perempuan 350.957 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut 99,18% adalah pemeluk agama Islam. Berdasarkan data BPS Kabupaten Gowa, jumlah penduduk Kabupaten tahun 2012 adalah 670.465 jiwa, yang tersebar di 18 Kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar, yakni Kecamatan Sombaopu dengan penduduk 133,784 jiwa, dan terkecil di Kecamatan Parigi dengan penduduk 13,441 jiwa. Kepadatan penduduk di Kabupaten Gowa tahun 2012 adalah 356/km2. Angka kepadatan penduduk tersebut bervariasi pada setiap Kecamatan yang ada. Penduduk yang terpadat terdapat di Kecamatan Sombaopu dengan luas wilayah 28,09 km2 dihuni oleh 133,784 jiwa penduduk, memiliki kepadatan 4,763 jiwa/km2 (Tabel di atas). Kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk rendah adalah Kecamatan 78 Parangloe, yaitu 77 jiwa/km2. Angka tersebut berada jauh di bawah kepadatan penduduk Kabupaten Gowa secara keseluruhan. Sebagian besar penduduk di Kabupaten Gowa bekerja di sektor pertanian (43,23%), baik yang berjenis kelamin laki-laki (41,12%) mapun yang perempuan (47,24%). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian di Kabupaten Gowa masih merupakan roda penggerak ekonomi utama.(Gowa Dalam Angka, 2011) Kabupaten Gowa memiliki potensi unggulan di sektor pertanian terutama tanaman pangan dan perkebunan. Sektor pertambangan berupa tanah urug/timbunan, jenis batuan, pasir dan batu, serta pasir kwarsa. Sektor pariwisata yang telah berkembang dan berlangsung saat ini adalah wisata alam (seperti Malino yang memiliki nilai investasi dan konstribusi terhadap PAD Kabupaten Gowa. 4.1.2 Kabupaten Takalar 4.1.2.1 Sejarah Kabupaten Takalar hari jadinya 10 Pebruari 1960. Proses pembentukannya melalui perjuangan yang panjang. Sebelumnya, Takalar sebagai Onder afdeling yang tergabung dengan daerah Swatantra Makassar bersama-sama dengan Onder afdeling Makassar, Gowa, Maros, Pangkajene Kepulauan, dan Jeneponto. Onder afdeling Takalar, membawahi beberapa district (adat gemen chap), yaitu: District Polombangkeng, District Galesong, District Topejawa, District Takalar, District Laikang, District Sanrobone. Setiap District diperintah oleh seorang Kepala Pemerintahan yang bergelar Karaeng, kecuali District Topejawa 79 diperintah oleh Kepala Pemerintahan yang bergelar Lo‟mo (Team Info Takalar dan Yayasan Al-Muttahid, 2007) Upaya memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Takalar, dilakukan bersama antara pemerintah, politisi dan tokoh masyarakat Takalar. Melalui kesepakatan antara ketiga komponen ini, disepakati dua pendekatan/cara yang ditempuh untuk mencapai cita-cita perjuangan terbentuknya Kabupaten Takalar, yaitu: 1) Melalui Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Swatantra Makassar. Perjuangan melalui legislatif ini, dipercayakan sepenuhnya kepada empat orang anggota DPRD utusan Takalar, masing-masing: H. Dewakang Dg. Tiro, Daradda Dg. Ngambe, Abu Dg. Mattola, dan Abd. Mannan Dg. Liwang. 2) Melalui pengiriman delegasi dari unsur pemerintah bersama tokoh masyarakat. Mereka menghadap Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan di Makassar menyampaikan aspirasi, agar harapan terbentuknya Kabupaten Takalar segera terwujud. Mereka yang menghadap Gubernur Sulawesi adalah H. Makkaraeng Dg. Manjarungi, Bostan Dg. Mamajja, H. Mappa Dg. Temba, H. Achmad Dahlan Dg. Sibali, Nurung Dg. Tombong, Sirajuddin Dg. Bundu, dan beberapa tokoh masyarakat lainnya. Upaya ini dilakukan tidak hanya sekali jalan. Titik terang sebagai tanda keberhasilan perjuangan tersebut sudah mulai tampak, namun belum mencapai hasil yang maksimal. Dengan keluarnya Undang-Undang RI nomor 2 tahun 1957 (LN No. 2 Tahun 1957), maka terbentuklah Kabupaten Jeneponto-Takalar dengan 80 Ibukotanya Jeneponto. Sebagai Bupati Kepala Daerah yang pertama adalah H. Mannyingarri Dg. Sarrang dan Abd. Mannan Dg. Liwang sebagai ketua DPRD. 4.1.2.2 Letak Geografis Kabupaten Takalar Kabupaten Takalar berada antara 5.3 - 5.33 derajat Lintang Selatan dan 119.22-118.39 derajat Bujur Timur. Kabupaten Takalar dengan ibukota Pattalasang terletak 29 km ke arah selatan dari Kota Makassar ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayah Kabupaten Takalar sekitar 566,51 km2 dan 240,88 km2 di antaranya merupakan wilayah pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 74 km (Buku Putih Sanitasi Kabupaten Takalar, Prov Sul-Sel, 2013). Batas wilayah Kabupaten Takalar sebagai berikut: 1) Bagian Utara Kabupaten Takalar berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Gowa, 2) Bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Jeneponto dan Gowa, 3) Bagian Selatan dibatasi oleh Laut Flores, 4) Bagian Barat dibatasi oleh Selat Makassar. Wilayah Kabupaten Takalar terdiri atas sembilan Kecamatan masingmasing: Kecamatan Manggarabombang, Kecamatan Mappakasunggu, Kecamatan Polombangkeng Selatan, Kecamatan Polombangkeng Utara, Kecamatan Galesong Selatan, Kecamatan Galesong Utara, Kecamatan Pattalassang Kecamatan Galesong, dan Kecamatan Sanrobone. Topologi wilayah Kabupaten Takalar terdiri atas daerah pantai, daratan dan perbukitan. Bagian barat adalah pantai dan dataran rendah dengan kemiringan 0-3 derajat. Ketinggian ruang bervariasi antara 0-25, derajat, dengan batuan 81 penyusun geomorfologi dataran didominasi pantai, batu gemping, terumbu dan tula serta beberapa tempat batuan lelehan basal. Kabupaten Takalar beriklim tropis dengan dua musim, yaitu: musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan biasa terjadi antara Oktober sampai Maret. Rata-rata curah hujan bulanan pada musim hujan berkisar antara 122,7 mm hingga 653,6 mm dengan curah tertinggi rata-rata 27,9 C (Oktober) dan terendah 26,5 C (Januari – Februari). Temperatur udara terendah rata-rata 22,2 hingga 20,4 C pada bulan Februari-Agustus dan tertinggi 30,5 hingga 33,9 C pada bulan September Januari. Berdasarkan letak geografisnya, Kabupaten Takalar dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu sebagai berikut. 1) Kabupaten Takalar bagian Timur (meliputi wilayah Palombangkeng Utara dan Palombangkeng Selatan) adalah sebagian dataran rendah yang cukup subur dan sebagian merupakan daerah bukit-bukit (Gunung Bawakaraeng). Wilayah ini merupakan daerah yang cocok untuk pertanian dan perkebunan. 2) Kabupaten Takalar bagian Tengah (wilayah Pattalassang; ibukota Takalar) merupakan dataran rendah dengan tanah relatif subur sehingga cocok untuk pertanian, perkebunan dan pertambakan. 3) Kabupaten Takalar bagian Barat (meliputi Mangarabombang, Galesong Utara, Galesong Selatan, Galesong Kota, Mappakasunggu dan Sanrobone) merupakan dataran rendah yang cukup subur untuk pertanian dan perkebunan, sebagian merupakan daerah pesisir pantai yang cocok untuk pertambakan dan 82 perikanan laut. Potensi ikan terbang, telur ikan terbang, dan rumput laut di wilayah ini diduga potensial untuk dikembangkan. Potensi sumber daya alam Kabupaten Takalar meliputi: perikanan laut, pertanian, perkebunan dan peternakan. Luas areal budidaya ikan tahun 2006 sekitar 4.856 ha, budidaya tambak dengan luas 4.343 ha yang tersebar di hampir setiap Kecamatan Produksi ikan laut di Kabupaten Takalar tahun 2006 mencapai 26.776 ton. Selain itu, Kabupaten Takalar dikenal sebagai penghasil ikan terbang dan rumput laut. Dalam Program Gerbang Emas Kabupaten Takalar potensial dijadikan sebagai pusat inkubator pengembangan rumput laut (Takalar dalam angka, 2013). Kabupaten Takalar adalah salah satu dari wilayah penyanggah kota Makassar. Kota Makassar adalah ibu kota sekaligus pusat ekonomi Sulawesi Selatan dan kawasan Indonesia Timur. Wilayah penyanggah bagi Kabupaten Takalar dapat bernilai positif secara ekonomis, jika Kabupaten Takalar dapat mengantisipasi dengan baik kejenuhan perkembangan kegiatan industri Kota Makassar, yaitu dengan menyediakan lahan alternatif pembangunan kawasan industri yang representatif, kondusif, dan strategis. Sebagian dari wilayah Kabupaten Takalar merupakan daerah pesisir pantai, yaitu sepanjang 74 km meliputi: Kecamatan Mangarabombang, Mappakasunggu, Sanrobengi, Galesong Selatan, Kecamatan Galesong Kota dan Galesong Utara. Sebagai wilayah pesisir yang juga telah difasilitasi dengan pelabuhan walaupun masih pelabuhan sederhana, maka Kabupaten Takalar memiliki akses perdagangan regional, nasional bahkan internasional. Keunggulan 83 geografis ini menjadikan Takalar sebagai alternatif terbaik untuk investasi atau penanaman modal. Dengan fasilitas pelabuhan yang ada, Takalar memiliki potensi akses regional maupun nasional sebagai pintu masuk untuk kegiatan industri dan perdagangan di kawasan Indonesia Timur setelah Makassar mengalami kejenuhan. Demikian pula, Takalar memiliki sarana dan prasarana transportasi darat, seperti: akses jalan menuju kota Makassar, jarak yang relatif tidak jauh dari pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar, jalan beraspal dan sarana transportasi laut yang memadai berupa pelabuhan atau dermaga, Takalar siap menunjang aktivitas berdagangan dalam taraf internasional. Gambar 4.2. Peta Administrasi Kabupaten Takalar 84 4.1.2.3 Kependudukan Penduduk Kabupaten Takalar berdasarkan hasil Penghitungan Dana Alokasi Umum 2012 (DAU2012) berjumlah 275.034 jiwa yang tersebar di 9 kecamatan, dengan jumlah penduduk terbesar berada di Kecamatan Polombangkeng Utara, yakni 46.748 jiwa (Takalar Dalam Angka, 2013). Rasio jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki perkabupaten, yakni 132.325 jiwa laki-laki dan 142.709 jiwa perempuan. Dengan angka rasio jenis kelamin 92,72 (93), dapat diartikan bahwa setiap 100 orang perempuan terdapat 93 orang laki-laki. Kepadatan penduduk di Kabupaten Takalar tahun 2012 mencapai 485 jiwa/km2. Kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Galesong Utara, dengan kepadatan mencapai 2.428 jiwa/km2, dan Kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah berada di Kecamatan Polombangkeng Utara dengan kepadatan 220 jiwa/km2. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar, jumlah penduduk Kabupaten pada tahun 2012 adalah 275.034 jiwa, yang tersebar di 9 Kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar yakni Kecamatan Polombangkeng Utara dengan penduduk 46.748 jiwa, dan terkecil di Kecamatan Sanrobone dengan penduduk 13,543 jiwa. Kepadatan penduduk di Kabupaten Takalar tahun 2012 adalah 485 /km2. Angka kepadatan penduduk tersebut bervariasi pada setiap Kecamatan yang ada. Daerah yang terpadat adalah di Kecamatan Galesong Utara dengan luas wilayah 15,11 km2 dihuni oleh 36.691 jiwa penduduk, memiliki kepadatan 2.428 jiwa/km2 (Tabel di atas). Kecamatan yang memiliki kepadatan 85 penduduk rendah adalah Kecamatan Polombangkeng Utara, yaitu 220 jiwa/km2. Angka tersebut berada jauh di bawah kepadatan penduduk Kabupaten Takalar secara keseluruhan. Salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan yang menjadikan sektor perikanan sebagai sektor andalan bagi pertumbuhan ekonomi masyarakatnya adalah Kabupaten Takalar. Mata pencaharian penduduknya sebagian besar sebagai nelayan dan sebagai petani yang aktifitasnya dilakukan baik secara paruh waktu maupun penuh waktu. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa pengusahaan sektor perikanan di Kabupaten Takalar didominasi oleh perikanan laut dan tambak yang ada di pesisir. Kecamatan yang masayarakatnya menjadi nelayan adalah kecamatan Mangarabombang, Mappakasunggu, Sanrobone, Galesong Selatan, Galesong, dan Galesong Utara (Takalar Dalam Angka, 2013). 4.2 Gambaran Kehidupan Suku Makassar Dalam konteks keberagaman suku dan budaya, setiap wilayah provinsi di Indonesia memiliki ciri khas suku dan kebudayaan masing-masing. Salah satunya adalah Sulawesi Selatan yang merupakan provinsi di Indonesia yang terletak di bagian Selatan pulau Sulawesi, Kota Makassar sebagai ibukota. Secara umum, terdapat empat suku bangsa di provinsi Sulawesi Selatan, yakni: Suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Dalam lingkup Kota Makassar, Suku Bugis dan Makassar lebih dominan kuantitasnya jika dibandingkan dengan Suku Mandar dan Toraja. 86 Suku Makassar terdiri atas beberapa sub suku yang tersebar luas di Selatan pulau Sulawesi. Tersebar dari kota Makassar, kabupaten Gowa, Takalar, Je‟neponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar, Maros, dan Pangkep. Sub suku itu seperti: suku Makassar Lakiung, Turatea (Suku Je‟neponto dan Bantaeng), Suku Konjo (Bulukumba dan Sebagian Maros), dan Suku Selayar. Sub suku ini memiliki dialek bahasa yang berbeda-beda, tetapi masih dalam rumpun bahasa Makassar. Diperkirakan jumlah populasi orang suku Makassar sekitar 1,8 juta jiwa (bangsabugis.blogspot.com: asal mula suku makassar). 4.2.1 Suku Makassar dan Maritim Secara khusus, suku bangsa Makassar menempati daerah Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Pangkajene, Maros, Gowa, dan selayar. Suku Makassar adalah nama Melayu untuk etnis yang mendiami pesisir Selatan pulau Sulawesi. Lidah Makassar menyebutnya Mangkasarak berarti "Mereka yang Bersifat Terbuka." Etnis Makassar adalah etnis yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah, gemar berperang dan jaya di laut. Abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang besar dan membentuk imperium bernafaskan Islam, mulai dari keseluruhan pulau Sulawesi, kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua, dan Australia bagian Utara. Mereka menjalin Traktat dengan Bali, Kerjasama Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini juga menghadapi perang yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adu domba Belanda terhadap kerajaan taklukannya. 87 Dalam perkembangannya, Suku bangsa Bugis-Makassar mempunyai kehidupan yang akrab dengan perahu dan laut. Hal tersebut dapat diketahui dengan adanya kisah-kisah pelaut Bugis-Makassar yang gagah berani, tidak hanya menghiasi buku bahari Indonesia, tetapi mampu berlayar hingga ke Semenanjung Malaka, Brunei Darussalam, Philipina, Australia Utara, Kanada, bahkan sampai ke Mexico. Paeni (1984:131) mengatakan sebagai berikut: “… Armada-armada Bugis Makassar sejak beraad-abad yang lalu sampai sekarang dengan setia mengarungi Nusantara, meramaikan jalur-jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau di negeri ini. Data-data demografis yang ada juga memperlihatkan bukti yang kuat atas kehadiran mereka sampai ke segala penjuru tanah air, bahkan di bandar-bandar pelabuhan dan pusat-pusat-pusat nelayan tidak sulit menemukan perkampungan Bugis Makassar, baik yang masih utuh ke Bugis-Makassarannya maupun yang telah berasimilasi dengan penduduk setempat….” Pelaut-pelaut Bugis-Makassar di masa lalu memiliki keahlian kebaharian dan mempunyai reputasi sebagai pedagang sukses dan jujur, berkepribadian dan berperilaku baik, pemimpin yang baik, dan senang berpetualang. Setelah kemerdekaan para pelaut Bugis-Makassar dengan semangat kebahariannya mengembara ke daerah-daerah bagian Barat dan Timur, demikian halnya ke Selatan dan Utara. Mereka bukan hanya memperkaya pengetahuan ruang perairan dan Kepulauan Nusantara dengan kota-kota pantainya, tetapi juga memperluas hubungan sosial melalui transaksi bisnis dengan para pedagang, terutama pedagang antarpulau, di setiap tempat tujuan. 88 4.2.2 Bahasa dan Sastra Suku Makassar Bahasa Makassar, juga disebut sebagai bahasa Makassar atau Mangkasara' adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Makassar, penduduk Sulawesi Selatan. Bahasa ini dimasukkan ke dalam suatu rumpun bahasa Makassar yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Sulawesi Selatan dalam cabang Melayu-Polinesia dari rumpun bahasa Austronesia. Dari segi bahasa, bahasa Makassar sudah banyak berubah karena terpengaruh bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Bugis dan bahasa Melayu. Penutur bahasa Makassar yang asli dapat ditemukan di daerah Gowa bagian Selatan, tepatnya di kaki Gunung Lompobattang. Di desa Lompobattang ini, keaslian bahasa Makassar masih terjamin karena belum terkontaminasi oleh perkembangan bahasa modern maupun bahasa-bahasa suku yang lain. Selain itu, penutur bahasa Makassar murni bisa ditemukan di daerah Gowa (Sungguminasa, Lembang Bu`ne, Malino dan Malakaji), Takalar, Jeneponto (Bontosunggu, Tolo dan Rumbia), Bantaeng (Dampang), dan Bulukumba (Tanete). Bahasa ini mempunyai abjadnya sendiri, yang disebut Lontara. Namun sekarang banyak juga ditulis menggunakan huruf Latin. Huruf Lontarak berasal dari huruf Brahmi kuno dari India. Seperti banyak turunan dari huruf ini, masingmasing konsonan mengandung huruf hidup "a" yang tidak ditandai. Huruf-huruf hidup lainnya diberikan tanda baca di atas, di bawah, atau di sebelah kiri atau kanan dari setiap konsonan. Kesusastraan Makassar sudah ada sejak berabad-abad lamanya, utamanya dalam naskah-naskah kesusastraan lontarak. Naskah-naskah kuno yang ditulis di 89 daun lontarak, kini sulit didapatkan. Naskah kuno yang ada kini, hanya yang tertulis di atas kertas maupun lidi ijuk (kallang). Buku terpenting dalam kesusastraan suku Makassar adalah buku sure‟ galigo, suatu himpunan besar dari mitologi yang bagi kebanyakan orang mempunyai nilai yang keramat. Ada juga himpunan kesusastraan yang isinya sebagai pedoman dan tata kelakuan untuk setiap individu, seperti himpunan amanat dari nenek moyang (paseng), himpunan undang-undang, keputusan dan peraturan pemimpin adat (rappang). Kemudian, himpunan kesusasteraan yang mengandung sejarah, seperti: silsilah raja-raja (attoriolog) dan cerita mengenai para pahlawan yang dibubuhi cerita legenda (pau-pau), serta banyak lagi yang berisi syair, nyanyian, dan teka-teki. 4.2.3 Sistem dan Nilai Sosial Suku Makassar Sistem sosial masyarakat etnis Makassar adalah dikenal adanya penggolongan / strata sosial yang menggolongkan masyarakat ke dalam tiga golongan utama yang masing-masing di dalamnya terbagi lagi menjadi beberapa jenis. Penggolongan tersebut, yaitu: golongan Karaeng, To Maradeka, dan Ata/Budak/Hamba Sahaya. Selain itu, Masyarakat etnis Makassar juga sejak dahulu mengenal adanya aturan tata hidup yang berkenaan dengan sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan, dan sistem kepercayaan, yang mereka sebut sebagai pangadakang. Dalam hal kepercayaan, masyarakat etnis Makassar percaya kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah Turei Akrana (kehendak yang tinggi). Dalam sistem sosial, dikenal adanya hubungan kekerabatan dalam masyarakat, seperti: Sipa‟anakang/sianakang, Sipamanakang, Sikalu-kaluki, serta 90 Sambori. Kesemua kekerabatan yang disebut di atas terjalin erat antar satu dengan yang lain. Mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Oleh karena itu, jika seorang membutuhkan yang lain, bantuan dan harapannya akan terpenuhi, bahkan mereka bersedia untuk segalanya. Sirik na pacce juga merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Sering di dengar ungkapan suku Makassar berbunyi Punna tena siriknu, paccenu seng paknia (kalau tidak ada siri‟mu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila sirikna pacce sebagai pandangan hidup tidak dimiliki seseorang, akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur kepedulian sosial, dan hanya mau menang sendiri. Di daerah Sulawesi Selatan perasaan kekeluargaan menonjol. Hal ini mungkin didasarkan oleh anggapan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan berasal dari satu rumpun. Raja-raja di Sulawesi Selatan telah saling terikat dalam perkawinan, sehingga ikatan hubungan kekeluargaan semakin erat. Menurut Sure‟ Lagaligo (catatan surat Lagaligo dari Luwu) bahwa keturunan raja berasal dari Batara Guru yang kemudian beranak cucu. Keturunan Barata Guru tersebar ke daerah lain. Oleh karena itu, perasaan kekeluargaan tumbuh dan mengakar secara menyeluruh di kalangan raja di Sulawesi Selatan karena mereka merasa memiliki akar yang sama. 91 Untuk nilai sosial, sebagian besar suku Makassar yang tinggal di daerah pedesaan masih memegang teguh norma-norma yang keramat dan sifatnya sakral yang biasa disebut panngaderreng. Sistem adat ini terbagi menjadi 5 unsur: 1. Ade/Ada, terbagi menjadi dua. Ade akkalabinengeng/Ada akkalabine, unsur ini mengenai hal ikhwal perkawinan serta hubungan kekerabatan dan sopan santun dalam pergaulan antarkerabat dan Ade tana/ada tana, unsur ini mengenai hal ikhwal bernegara dan memerintah suatu negara berwujud hukum negara, hukum antarnegara, serta etika dan pembinaan insan politik. 2. Bicara, adalah konsep yang bersangkut paut dengan paradilan atau kurang lebih sama dengan hukum acara serta hak-hak dan kewajiban seseorang yang mengajukan kasusnya ke pengadilan. 3. Rapang, berarti contoh, perumpamaan, kias, atau anologi. Unsur ini menjaga kepastian dari suatu hukum tak tertulis, dalam masa lampau sampai sekarang. Selain itu, rapang juga berisi pandangan-pandangan keramat untuk mencegah tindakan-tindakan yang bersifat gangguan terhadap hak milik, serta ancaman terhadap warga negara. 4. Wari, adalah unsur yang mengklasifikasikan segala benda, peristiwa, dan aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, untuk memelihara tata susunan dan tata penempatan benda di kehidupan bermasyarakat, untuk memelihara jalur keturunan yang mewujudkan pelapisan sosial, untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja suatu negara dengan raja negara lain. 92 5. Sarak, unsur yang mengandung pranata-pranata dan hukum Islam, serta unsur yang melengkapi keempat unsur lainnya. 4.2.4 Sistem Kekerabatan 1) Pernikahan Pernikahan suku Bugis-Makassar adalah salah satu cara untuk melanjutkan keturunan berdasarkan cinta kasih. Selanjutnya, pernikahan juga memperat hubungan antar keluarga, antar suku, bahkan antar bangsa. Dengan hubungan pernikahan dapat membuat suatu ikatan yang disebut massedi siri/sekre sirik berarti bersatu dalam mendukung dan mempertahankan kehormatan keluarga. Pernikahan ideal yakni terjadi apabila mereka mendapat jodoh dalam lingkup keluarganya sendiri seperti: (a) siala massappisiseng/siassala Samposikali yakni pernikahan antarsepupu sekali; dan (b) siala massappokadua/siassala antarsepupu kedua kali, sampopinruang c) siala yakni pernikahan massappokatellu/siassala sampopintallung yakni pernikahan antara sepupu ketiga kali 2) Pembatasan jodoh Dalam masyarakat Bugis dikenal adanya pelapisan sosial golongan. Terjadi pembatasan jodoh dalam hubungan pernikahan. Pada zaman lampau anak keturunan bangsawan dilarang berhubungan dengan orang biasa. Jika dilanggar, maka pasangan ini dikenakan hukuman riladung, artinya pelanggar dikenakan hukuman berat, yaitu keduanya akan ditenggelamkan ke dalam air (Mattulada 1997:55). 93 4.2.5 Agama Islam di Sulawesi Selatan Pengaruh agama dalam sastra dapat dilihat bagaimana peran dan fungsi sastra terhadap masyarakat. Fungsi sastra dalam masyarakat masih lebih wajar dan langsung terbuka untuk penelitian ilmiah. Hubungan antara fungsi estetik dengan fungsi lain (agama, sosial) dalam variasi dan keragamannya dapat diamati dari dekat dengan dominan tidaknya fungsi estetik; demikian pula kemungkinan perbedaan fungsi untuk golongan kemasyarakatan tertentu. Fungsi-fungsi estetik yang menonjol itu perlu dikaji pada bentuk dan isinya, misalnya pemakaian kata atau kalimat yang berhubungan dengan agama Islam dan yang berkaitan dengan isi ajaran Islam atau yang berhubungan dengan Nabi Muhammad, para sahabatnya, serta pejuang Islam. Fungsi seperti itu, merupakan kekayaan sastra lisan yang besar manfaatnya bagi masyarakat sekarang. Dalam sastra lisan, terungkap kreativitas berbahasa Bangsa Indonesia. Di dalam sastra, masyarakat Indonesia terdahulu berusaha mewujudkan hakikat mengenai dirinya sendiri, sehingga sampai saat ini ciptaan itu tetap mempunyai nilai dan fungsi bagi masyarakat Indonesia modern (Teeuw, 1984:9-10) Pengaruh Islam terhadap sastra lisan Makassar, berkembang seirama dengan perkembangan masyarakat Makassar yang mayoritas muslim. Pada umumnya, Islam berkembang di Sulawesi Selatan dengan damai, sebab budaya juga di tingkat yang bersifat unik dan khas. Pada tahun 1511, Portugis datang dan menyerang Malaka. Setelah kejatuhan Malaka, arus niaga di pulau Jawa menurun. Pusat perdagangan Nusantara berpindah ke Makassar di bawah pemerintahan kembar Gowa-Tallo. 94 Sebelum agama Islam masuk ke Tana Luwuk, masyarakat mulanya menganut Animisme. Pada tahun 1593 (abad ke-16) Kerajaan Luwuk merupakan kerajaan pertama di Sulawesi Selatan yang menganut agama Islam. Agama Islam dibawa ke Tana Luwuk oleh Dato Sulaiman, Dato ri Bandang, dan Dato ri Tiro yang berasal dari Aceh. Dato Sulaeman (Patimang) menyebarkan agama lebih menekankan pada pengetahuan tauhid, Dato ri Bandang pada pengetahuan syariah dan Dato ri Tiro pada pengetahuan tasawuf. Dato Patimang menyebarkan agama Islam di Wajo, Dato ri Bandang di Gowa Tallo, dan Dato ri Tiro di Bulukumba. Awal Masjid Di Luwu. Dato Sulaeman, Dato ri Bandang dan Dato ri Tiro, ketiganya bersama masyarakat setempat membangun sebuah masjid di desa Tana Rigella. Masjid Jami di Palopo, dibangun oleh Pong Mante tahun 1604 M. Katangka, adalah awal Masjid di Gowa. Sulawesi Selatan merupakan salah satu lambang sejarah pengaruh Islam di nusantara. Konon masjid Katangka yang terletak di Kabupaten Gowa merupakan tonggak sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Barzanji adalah nama suatu kampung, sudah menjadi kelaziman bahwa Barazanji diartikan membaca sejarah atau riwayat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Di Sulawesi Selatan, sumber kisah maulid yang dibaca ialah kitab berjudul “Majmuu‟at Mauluud Sharf Al Anam“ yang lebih terkenal sebagai kitab Barazanji. Zikir Maulid dalam kehidupan sosial masyarakat Islam Sulawesi Selatan dapat dijumpai sepanjang hidup mereka, mulai dari kelahiran (haqiqah), peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja (sunatan), perkawianan, meninggal dunia. Dapat pula dilihat, pada saat yang akan menunaikan ibadah haji, 95 tamat mengaji, tamat di Perguruan Tinggi, usahanya berhasil, membeli mobil baru, mobil bekas, mendirikan rumah dan lain sebagainya (Teng, 2014). Sesuai dengan telaah historis tersebut, sejarah Islam mempengaruhi tradisi lisan di Makassar, Sulawesi Selatan. Bahkan, dalam setiap bentuk sastra lisan Makassar, tampak adanya kata-kata dan istilah yang berasal dari ayat suci al Quran. Nilai universal Islam adalah sifat moral yang ditandai dengan pembedaan yang baik dan yang buruk. Nilai yang mempertentangkan yang baik dan buruk ini umumnya muncul dalam tema-tema sastra (Tuloli, 1994:87). Berbudaya, berseni dan bersastra dengan azas Islam dapat diinterpretasikan sebagai suatu wujud beribadah kepada Allah SWT. Dalam bab tersendiri, Bayyati (2014:111) menyebut bahwa sastra yang diciptakan karena Allah guna kepentingan hidup manusia tersebut pada dasarnya diturunkan melalui bentuk tawasul atau perantara oleh para Nabi. Sebab, Nabi dan keluarganya yang mulia menjadi tempat bertawassul para nabi kepada Allah ta‟ala. Dalam setiap kesulitan yang dialami para Nabi, washi, wali shalawatullah „alaihim, begitu pula kaumnya, mereka akan langsung bertawasul kepada Muhammad dan keluarga Muhammad shalawatullah wa salamuhu‟alaihi wa „alaihim agar terbebas dari marabahaya. Mereka akan berdoa demi kedudukan agung serta kemuliaan mereka di sisi Allah tabaraka wa ta‟ala. Dengan demikian, nilai-nilai universal agama Islam di Makassar menjadi patokan atau tema utama karya sastra pengaruh Islam sendiri. Jadi, sastra diciptakan karena Allah Subhanawataalah, untuk kepentingan manusia yang terarah kepada kesejahteraan dan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat (Ahmad, 1981:3). 96 Ciri-ciri konsep sastra Islam yang menonjol adalah masalah akhlak, moral, etika, dan hidup kemanusiaan (Ahmad, 2003:7). Sastra lisan pada umumnya mengandung aspek-aspek moral dan akhlak. Kemunculannya bisa dikaji dalam penokohannya, ide dan temanya, serta ungkapan-ungkapan yang bernilai ajaran Islam. Dalam “puisi Melayu tradisional” terdapat puisi berbentuk dzikir, yang berisi puji-pujian kepada Allah dan Nabi, pantun berisi ajaran dan mantra serta doa (Tuloli, 1984:91). Dari hasil penelitian di Afrika, Ben-Annos memberikan beberapa ciri sastra yang berhubungan dengan agama. Ciri-ciri itu adalah: (1) isinya berkaitan dengan agama, yaitu Ketuhanan dan ajaran (syariat); (2) penceritanya ahli agama; (3) dilakukan dalam upacara agama. Hal ini sama dengan pendapat Ben-Annos (dalam Finnegan, 1978:167-170) bahwa makna sastra lisan harus dilihat dari konteks budayanya. Maknanya bisa dirujuk pada tempat dan situasi pengucapannya. Uraian di atas dijadikan pijakan makna dan kehadiran unsur Islam dalam teks mantra melalui: (1) ciri-ciri konvensional baik yang ada hubungannya dengan konvensi bahasa maupun konvensi sastra (tata sastra), yang muncul dari setiap karya (korpus) dan sastra. Hal ini dapat dilihat dari isi ajaran Islam atau yang berhubungan dengan Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam (SAW), para sahabatnya, serta pejuang Islam; (2) menghubungkannya dengan latar belakang sosial, budaya, termasuk pendapat tokoh-tokoh adat; dan (3) penggunaan karya sastra itu dalam berbagai peristiwa (upacara) yang bernuansa Islam. 97 Dalam hal kepercayaan, masyarakat Suku Makassar pada zaman dahulu menganut kepercayaan animisme, yaitu Turei Akrana (kehendak yang tinggi). Orang Makassar percaya kepada dewa yang disebut Dewata Seuwae (dewa yang tunggal) atau Turei Akrana (kehendak yang tinggi). Orang Makassar purba percaya adanya dewa yang bertakhta di tempat-tempat tertentu, seperti kepercayaan mereka tentang dewa yang berdiam di Gunung Latimojong. Dewa tersebut mereka sebut dengan Dewata Mattanrue. Dihikayatkan bahwa dewa tersebut kawin dengan Enyikliktimok, kemudian melahirkan Patotoe. Dewa Patotoe kawin dengan Palingo dan melahirkan Batara Guru. Batara Guru dipercaya oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan sebagai Dewa Penjelajah, yang telah menjelajahi seluruh kawasan Asia dan bermarkas di puncak Himalaya. Kira-kira satu abad SM, Batara Guru menuju ke Cerekang Malili dan membawa empat kasta. Keempat kasta tersebut adalah: kasta Puang, kasta Pampawa Opu, kasta Attana Lang, dan kasta orang kebanyakan. Setelah itu, masuklah agama Islam ke dalam komunitas masyarakat Makassar. Mayoritas orang Makassar memeluk agama Islam. Pada agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan awal ke-17, ajaran agama Islam mudah diterima oleh masyarakat. Sejak dahulu mereka telah percaya pada dewa tunggal. Proses penyebaran Islam dipercepat dengan adanya kontak terus menerus antara masyarakat setempat dengan para pedagang melayu Islam yang telah menetap di Makassar. Ahmad M. (2003:80) menyebutkan bahwa menurut teori yang dikembangkan oleh Noordyn, proses Islamisasi di Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, yaitu melalui tiga tahap. 98 Pertama, kedatangan Islam, kedua penerimaan Islam dan ketiga penyebarannya lebih lanjut. Pendapat yang senada dikemukakan oleh H.J. de Graaf. Namun, ia lebih menekankan pada pelaku Islamisasi di Asia Tenggara yang analisisnya didasarkan pada buku-buku Melayu. Graaf berpendapat bahwa Islam didakwakan di Asia Tenggara melalui tiga metode yaitu: oleh para pedagang muslim dalam proses perdagangan yang damai, para dai dan orang suci (wali) yang datang dari India atau Arab yang sengaja bertujuan mengislamkan orang-orang kafir dan meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman. Terakhir dengan kekerasan dan memaklumkan perang terhadap negara-negara penyembah berhala. Sejak mereka memeluk Islam, segala bentuk kepercayaan agama purba mereka pun ditinggalkan. Agama Islam telah hadir di kalangan masyarakat orang Makassar sejak berabad-abad yang lalu. Mereka adalah penganut Islam yang kuat. Agama Islam menjadi agama rakyat bagi suku Makassar sehingga beberapa tradisi adat, budaya, dan kehidupan sehari-hari suku Makassar banyak dipengaruhi oleh tradisi dan budaya yang mengandung unsur Islami. Pada abad ke-20, karena banyak gerakan pemurnian ajaran Islam seperti Muhammadiyah, maka ada kecondongan untuk menganggap banyak bagian dari panngaderreng sebagai syirik, tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, karena itu sebaiknya ditinggalkan. Islam di Sulawesi Selatan telah mengalami proses pemurnian. Sekitar 90% penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama Islam, sedangkan hanya 10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik, Hindu, Budha. Umat Kristen Katolik, dan Hindu umumnya terdiri atas pendatang yang berasal dari Maluku, Minahasa, Bali, dan Toraja. Mereka ini 99 tinggal di kota-kota terutama di Makassar. Kegiatan da'wah Islam dilakukan oleh organisasi Islam yang aktif seperti Muhammadiyah, Daruddakwah wal Irsjad, partai-partai politik Islam dan Ikatan Mesjid dan Mushalla dengan Pusat Islamnya di Makassar. 4.2.6 Mata Pencaharian Masyarakat Bugis dan Makassar pada umumnya adalah petani seperti penduduk dari daerah-daerah lain di Indonesia. Mereka menanam padi bergiliran dengan palawija di sawah. Teknik bercocok tanamnya juga seperti di tempattempat lain di Indonesia masih berisfat tradiosonal berdasarkan cara-cara intensif dengan tenaga manusia. Di berbagai tempat di pegunungan, di pedalaman dan tempat-tempat terpencil lainnya di Sulawesi Selatan, banyak penduduk masih melakukan bercocok tanam dengan teknik peladangan (Takalar Dalam Angka, 2013). Mereka yang tinggal di desa daerah pantai, mencari ikan merupakan mata pencarian hidup yang penting. Orang Bugis dan Makassar menangkap ikan dengan perahu-perahu layar sampai jauh di laut. Orang Bugis dan Makassar terkenal sebagai suku-bangsa pelaut di Indonesia yang telah mengembangkan suatu kebudayaan maritim sejak beberapa abad lamanya. Perahu-perahu layar mereka dari tipe penisi dan lambo telah mengarungi perairan Nusantara sampai ke Srilangka dan Filipina untuk berdagang. Kebudayaan maritim dari orang BugisMakassar tidak hanya mengembangkan perahu-perahu layar dan kepandaian berlayar yang cukup tinggi, tetapi juga meninggalkan suatu hukum niaga dalam pelayaran, yang disebut Ade' Allopi-loping Bicaranna Pabbalu'e dan yang tertulis 100 pada lontar oleh Amanna gappa dalam abad ke-17. Bakat berlayar yang telah ada pada orang Bugis dan Makassar, akibat dari kebudayaan maritim abad-abad yang telah lampau. Sebelum Perang Dunia II, daerah Sulawesi Selatan merupakan daerah surplus bahan makanan. Daerah ini mengirim beras dan jagung ke tempattempat lain di Indonesia. Kerajinan rumah-tangga yang khas dari Sulawesi Selatan adalah tenunan sarung sutera dari Mandar dan Wajo serta tenunan sarung Samarinda dari Bulukumba. 101 BAB V STRUKTUR TEKS MANTRA TULEMBANG DAN TUPAKBIRING Struktur teks mantra berbeda dengan struktur sastra lisan yang lain, karena di dalam mantra memuat unsur daya magis, gaib, dan pesona (Anwar, 2005: 213). Menurut Hehahia dan Farlin (2008:274), mantra kebanyakan diucapkan dengan menggunakan pengulangan-pengulangan bunyi yang diyakini menumbuhkan kekuatan magis. Oleh karena itu, mantra sering dianggap atau disamakan dengan doa. Terlepas dari itu, secara struktural teks, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa mantra mempunyai pola bebas dan terikat. Lebih lanjut, Hartarta (2009) menyatakan secara garis besar struktur di dalam tubuh mantra menjadi tiga unsur, yaitu: awal/purwa, tengah/madya, dan akhir/wasana. 5.1. Struktur Teks Mantra Tulembang 5.1.1. Komposisi Naratif Teks Mantra Tulembang Struktur teks mantra Tulembang memiliki keunikan dalam komposisi naratif teks. Komposisi naratif teks mantra Tulembang memuat unsur daya magis. Unsur magis tersebut terletak pada kekuatan salam pembuka, batang tubuh, dan penutup. Berikut rincian analisis mantra Tulembang. 1) Mantra Appasuki Pakjeko (Pemasangan Bajak) Mantra Appasuki Pakjeko „pemasangan bajak‟ merupakan mantra yang digunakan masyarakat petani tradisional suku Makassar untuk memulai bertani dengan cara memasang bajak. Secara struktural teks dibagi menjadi tiga bagian, yakni pembuka, batang tubuh, dan penutup. Berikut rincian bagian tersebut. 101 102 Kau jekne Nabbi Hillere Nabbinnu Tulungngak na nunngammaseang Na nupappala doangngangak ri Allah Taalah (1) „Engkau air Nabi Khaidir Nabimu Tolong aku agar tumbuh rasa kasihanmu Agar engkau mendoakan aku pada Allah Taalah‟ Larik di atas tercantum sebagai pembuka dalam Mantra Appasuki Pakjeko „pemasangan bajak‟. Pembuka tersebut terdiri atas tiga larik yang berisi permohonan atau permintaan izin. Larik pertama terdiri atas empat kata, larik kedua terdiri atas tiga kata. Larik ketiga kembali ada empat kata. Tiga larik tersebut menjadi larik pembuka karena masih dalam satu rangkaian antar larik. Secara struktur teks, kalimat di atas dikatakan sebagai pembuka karena seperti yang diungkapkan Hartarta (2009) bahwa teks di atas memuat unsur salam sebagai bentuk pengakuan, tunduk, takluk, dan perlindungan kepada Allah. Komponen baris pertama mantra dimulai dengan Kau jekne Nabbi Hillere Nabbinnu „engkau air Nabi Khaidir Nabimu‟. Larik ini memuat unsur sugesti, yang menunjukkan bahwa Nabi Khaidir yang menjaga air. Mantra dilanjutkan dengan kalimat Tulungngak na nunngammaseang „tolong aku agar tumbuh rasa kasihanmu‟ yang menyatakan tujuan, yakni memohon kepada Nabi Khaidir untuk mendoakan kepada Tuhan agar keinginan dikabulkan. Kalimat ketiga merupakan penekanan dari pembuka mantra, yaitu Na nuppappalak doangnganga ri Allah Taalah „agar engkau mendoakan aku pada Allah Taalah‟. Maksudnya, agar Nabi Khaidir turut membantu mendoakan kepada Allah agar apa yang diinginkan dikabulkan Allah. 103 Jika dilihat dari segi bahasa, selain sebagai komponen salam, mantra pembuka memuat unsur nama sasaran, niat, tujuan, dan menggunakan pengulangan kata. Pengulangan kata nabbi yang membentuk irama (bunyi) menunjukkan unsur kekuatan magis. Selain itu, mantra pembuka ditutup dengan menggunakan kata ri Allah Taalah, yang artinya Allah. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembaca mantra percaya bahwa permohonan tidak lepas dari peran Sang Maha Kuasa (Allah). Secara struktural, bagian pembuka diucapkan untuk memberikan sugesti agar permohonan yang diinginkan dapat terkabul dengan tidak mengesampingkan peran Tuhan melalui orang-orang pilihan (Nabi Khaidir) yang dianggap sebagai penjaga alam. Secara bahasa, mantra pembuka menggunakan pengulangan kata yang menguatkan atau memberi kepercayaan kepada mantra yang diucapkan. Selain itu, mantra pembuka di atas menggunakan kata-kata perumpamaan yang dapat menimbulkan suasana aneh dan gaib, seperti penggunaan nama khusus, yaitu Nabi Khaidir. Nama Nabi tersebut dapat menciptakan efek magis. Penggunaan nama Nabi juga memiliki makna sebagai orang yang diyakini mampu memberi pertolongan terhadap si pembaca mantra. Pasibuntullangak dallekku Sarea buku magassing Amboyai dallek hallalakku Ri tompokna linoa (2) „Pertemukan aku dengan rezekiku Beri aku kesehatan yang baik Dalam mencari rezekiku yang halal Di atas bumi‟ 104 Batang tubuh dalam mantra berjudul Appasuki Pakjeko „pemasangan bajak‟ terdiri atas empat larik dengan susunan larik “1, 2; 1, 2, 3; 1, 2, 3; 1, 2”. Baris pertama dan kedua terdiri atas dua kata dan tiga kata, sementara baris ketiga dan keempat dibalik menjadi tiga dan dua kata. Jika dilihat secara struktur teks, larik pertama dan kedua menunjukkan kalimat perintah. Hal tersebut dibuktikan dengan enklitik “ku”. Enklitik “ku” yang melekat pada kata dallekku dan dallek hallalakku sebagai posesif persona pertama digunakan sebagai penekanan perintah dan dibuat perulangan pada kalimat ketiga untuk menambah unsur magis dalam mantra. Larik ketiga menunjukkan tujuan pembaca mantra. Selain tujuan, batang tubuh mantra memuat komponen harapan, yakni pengharapan agar didoakan Nabi Khaidir untuk diberi keselamatan oleh Allah dan mendapatkan rezeki yang halal. Tidak lupa dalam setiap mantra kebanyakan memuat komponen sugesti, yang memuat unsur-unsur mitologi (Hartarta, 2009). Hal ini terbukti dengan menggunakan kata Pasibuntullangak dallekku „pertemukan aku dengan rezekiku dan Sarea buku magassing „beri aku kesehatan yang baik‟. Barakka Lailaha Illallah Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3) „Barakka Lailaha Illallah. Barakka Anna Muhammadarrasulullah‟ Penutup dalam mantra Appasuki Pakjeko „pemasangan bajak‟ hanya terdiri dua larik, yakni ungkapan penutup doa. Mantra tersebut diadopsi dari doa masyarakat muslim karena larik dua terakhir tersebut merupakan bahasa Arab, bukan bahasa Makassar. Dua larik tersebut tetap menggunakan pengulangan kata 105 Barakka, untuk menambah kekuatan magis dari mantra. Hal ini menunjukkan bahwa segala usaha dan upaya yang dilakukan oleh pembaca mantra diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan Allah. Kata Lailaha Illallah berarti tidak ada Tuhan selain Allah dan kata Muhammadarrasulullah berarti Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam. Aku/petani sebagai tokoh utama dalam Appasuki Pakjeko memohon kepada Nabi Khaidir agar didoakan. Nabi Khaidir sebagai tokoh fiktif memohonkan kepada Allah supaya rezeki aku/petani dimudahkan. Demikian pula, Nabi Khaidir mendoakan agar aku/petani diberikan kesehatan yang prima dalam beraktivitas di sawah mencari rezeki. 2) Mantra Aklesero Ase (Menurunkan Bibit) Mantra Aklesero Ase „menurunkan bibit‟ dibacakan oleh petani tradisional suku Makassar ketika bercocok tanam. Mantra tersebut dapat diuraikan secara struktural teks sebagai berikut. Oh yaccing Napanaungko Nabbi Napatimboko malaekak Malaekak patanna pakrasangang Awalli patanna buluk Naalleko Nabbi Natambaiko malaekak Barakka Lailaha Illallah Barakka Anna Muhammadarrasulullah Oh padi Engkau diturunkan Nabi Engkau ditumbuhkan Malaikat Malaikat yang punya kampung Wali yang punya gunung Engkau diambil Nabi Di tambahkan oleh Malaikat Barakka Lailaha Illallah Barakka Anna Muhammadarrasulullah 106 Oh yaccing Napanaungko Nabbi Napatimboko malaekak (1) „Oh padi Engkau diturunkan Nabi Engkau ditumbuhkan Malaikat‟ Secara struktural, teks mantra di atas terdiri atas tiga larik. Ketiganya terdiri atas dua kata. Mantra pembuka diawali oleh kata sapaan kepada padi: Oh yaccing, kata “yaccing” dalam masyarakat petani tradisional suku Makassar diartikan padi. Kata “padi” digunakan sebagai penanda untuk memulai bercocok tanam. Pembuka dari mantra ini juga mengunakan nonsense, yakni kata seruan “Oh”. Secara leksikal tidak mempunyai arti, tetapi dalam mantra ini ada penekanan dan harapan berupa kata sapaan. Seperti mantra sebelumnya, mantra pembuka Aklesero Ase „menurunkan bibit‟ menggunakan kata-kata arkais sebagai bentuk suasana menciptakan suasana magis. Ada nama yaccing „padi‟, Nabbi „Nabi‟, dan malaekak „malaikat‟. Dari sudut bahasa pun, mantra ini menggunakan pengulangan enklitik “ko” yang melekat pada kata napanaungko dan napatimboko sebagai persona kedua yang berarti engkau. Batang tubuh dalam mantra Aklesero Ase „menurunkan bibit‟ terdiri atas empat larik, seperti pada larik berikut. Malaekak patanna pakrasangang Awalli patanna buluk Naalleko Nabbi Natambaiko malaekak (2) „Malaikat yang punya kampung Wali yang punya gunung Engkau diambil Nabi Di tambahkan oleh Malaikat‟ 107 Batang tubuh mantra di atas memiliki rangkaian jumlah kata yang berbeda. Ada yang terdiri atas tiga kata, yakni baris pertama dan kedua, baris ketiga dan keempat terdiri atas dua kata. Jumlah kata tersebut didominasi oleh pengulangan kata Nabbi dan malaekak. Pengulangan kata tersebut merupakan pertimbangan bunyi agar menciptakan suasana magis dari mantra. Hal ini karena dalam tradisi sastra lisan, terutama mantra penekanannya pada bunyi. Jika terdapat banyak pengulangan, maka akan menguatkan suasana gaib. Alasan pengulangan karena penekanan dari larik pembuka sebelumnya. Jika dikaitkan dengan hubungan antarkalimat, batang tubuh mantra merupakan larik penyajian pikiran dari pembaca mantra. Hubungan larik antara pembuka dan batang tubuh adalah sebab akibat. Pembuka menyajikan unsur asal muasal dan batang tubuh sebagai penjelasan dari pembuka, sehingga larik batang tubuh merupakan larik pernyataan. Selain itu, batang tubuh mantra memuat komponen atau unsur sugesti, tujuan, nama sasaran, visualisasi dan simbol. Gaya bahasa, mantra ini merupakan paralelisme, yakni larik yang memiliki rangkaian maksud yang sama dari awal sampai akhir. Penutup dalam mantra Aklesero Ase „menurunkan bibit‟ sama dengan penutup mantra Appasuki Pakjeko „pemasangan bajak‟, yakni hanya terdiri atas dua larik yang mengungkapkan doa. Mantra tersebut menggunakan bahasa Arab. Larik ini digunakan untuk menambah kekuatan magis dari mantra. Hal tersebut dapat terlihat dalam teks berikut. 108 Barakka Lailaha Illallah Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3) „Barakka Lailaha Illallah. Barakka Anna Muhammadarrasulullah‟ 3) Mantra Akbine (Memilah Benih) Mantra Akbine merupakan mantra ketiga yang digunakan petani tradisional suku Makassar. Mantra ini diartikan sebagai mantra ketika mau menanam padi. Tujuan mantra ini adalah memohon keberkahan dan keselamatan dalam bercocok tanam. Mantra ini terdiri atas empat belas larik, yang terbagi menjadi tiga bagian, yakni: pembuka, batang tubuh, dan penutup. Hal ini terlihat dalam uraian berikut. Mantra ini dibuka dengan larik Bismillahirrahmanirrahim „dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang‟. Hal ini menunjukkan bentuk ikhtiar bahwa segala usaha yang dilakukan pembaca mantra sepenuhnya diserahkan pada Yang Maha Kuasa (Allah). Larik ini menyebutkan nama „Allah‟, yang artinya Sang Pencipta. Kata ini diserap oleh masyarakat petani tradisional suku Makassar sebagai mantra dan digunakan sebagai pengharapan atau permohonan. Batang tubuh mantra Akbine tertuang dalam teks berikut. Tallasak kulamung Tallasak kulamungang Tallasak nilamungi Sikontu ummakna nabbita Anak cucunna Adam I raya – I lau I timboro – I wara Battu ngaseng mako mae Angkatekneangi Angkarannuangi Sabak Allah Taalah siagang nabbi Muhammad (2) 109 „Bibit hidup kutanam Bibit hidup kutanami Bibit hidup kutanamkan di tanah Semua ummat Nabi Muhammad Anak cucunya Nabi Adam Di timur – di barat Di selatan – di utara Datanglah semua di sawah ini Membahagiakan Menyenangi Karena Allah bersama Nabi Muhammad‟ Batang tubuh mantra Akbine terdiri atas sebelas larik. Struktur teks, tiga larik di batang tubuh terjadi pengulangan bunyi. Pengulangan penyajian pikiran tersebut menunjukkan penekanan maksud dan tujuan mantra. Penyajian pikiran di larik ketiga pada batang tubuh menegaskan bahwa larik pertama dan kedua, bibit hidup jika di tanam di tanah. Jika dilihat hubungan antarlarik batang tubuh antara larik pertama sampai ketiga, empat sampai delapan, sekilas tidak ada kesinambungan dalam menyampaikan pikiran. Namun, jika dicermati antara kelompok larik satu sampai tiga, empat sampai delapan ada korelasi makna. Larik satu sampai tiga dalam batang tubuh merupakan pernyataan inti dan larik empat sampai delapan merupakan larik penjelasan. Larik-larik tersebut merupakan kalimat penyampaian berita, yang artinya kalimat penyampaian suatu keinginan atau pengharapan. Hal ini ditunjukkan dengan menyebut nama, seperti: Nabi Muhammad, Nabi Adam, Timur, Barat, Selatan, dan Utara, Allah. Penyebutan nama-nama tersebut diharapkan memberikan keselamatan dan keberkahan atas tanaman yang ditanam. Dari sudut gaya bahasa, mantra ini adalah simploke. Menurut Nurhayati (2013) gaya bahasa ini merupakan jenis repetisi yang menggabungkan antara 110 anafora dan epistrofa seperti kata: Tallasak kulamung/ Tallasak kulamungang/ Tallasak nilamungi. Penutup dalam mantra Akbine sama seperti mantra pertama dan kedua, yakni hanya terdiri dua larik yang mengungkapkan doa. Mantra penutup menggunakan bahasa Arab. Larik ini digunakan untuk menambah kekuatan magis dari mantra. Hal tersebut dapat terlihat dalam teks berikut. Barakka Lailaha Illallah Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3) „Barakka Lailaha Illallah. Barakka Anna Muhammadarrasulullah‟ 4) Mantra Pammula Annanang Ase (Permulaan Menanam Padi) Mantra Pammula Annanang Ase „permulaan menanam padi‟ merupakan mantra keempat yang digunakan oleh petani tradisional suku Makassar. Mantra ini diartikan sebagai mantra permulaan menanam padi. Tujuan mantra ini adalah memohon keselamatan dalam bercocok tanam. Mantra ini terdiri atas delapan larik, yang terbagi menjadi tiga bagian, yakni: pembuka, batang tubuh, dan penutup. Hal ini terlihat dalam uraian berikut. Yukkung, yakkung, yaccing (1) “Ya Allah, Hambamu dan Padiku ini”. Kupasicinik mako anne yaccing Anrong tumallasukkannu Mangge tumappajarinu Nakammiko patampulo malaekak Sicinikki ritallu bulanga (2) „Aku mempertemukan engkau padi Bunda yang melahirkanmu Ayah yang membuatmu 111 Engkau dijaga empat puluh malaikat Sampai jumpa tiga bulan mendatang‟ “Hambamu memohon Padimu ini, Maha Agung yang melahirkan Padi ini, Maha Kuasa yang membuatmu ini, Ya Allah jagalah padiku ini dengan empat puluh Malaikat, hingga panen datang pada tiga bulan mendatang.” Tokoh utama adalah petani memohon agar Allah memberkahi padinya/yaccing yang ditanam di tanah persawahan. Petani mengandaikan dirinya sebagai ayah menanam bibit padi dan tanah sebagai ibu melahirkan padi yang berisi bulir padi. Petani meyakini dengan pertolongan Allah dan empat puluh maikatnya bibit padinya sehat dan cepat pertumbuhannya. Barakka Lailaha Illallah Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3) “Semoga barokah dan Allah meridhoi”. Pembuka mantra Pammula Annanang Ase „permulaan menanam padi‟ terdiri atas satu baris dan satu kalimat. Hal ini terlihat dalam teks berikut. Yukkung, yakkung, yaccing (1) „Engkau, aku, padi‟ Pembuka mantra di atas terdiri atas tiga kata, yakni menunjukkan keberadaan “engkau”, “aku”, “padi”. Kata tersebut menyajikan kata sapaan dan penyajian pikiran yang berisi penegasan kekuatan mantra. Larik tersebut berisi informasi bahwa jika ingin menanam padi, ada tiga unsur yang perlu diperhatikan, yakni pemilik padi, yang menanam, dan padi. Larik ini merupakan metonimi, yakni menggunakan bahasa kiasan dengan menggunakan nama atau ciri orang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya. Selain itu, secara struktural menggunakan komponen nama sasaran sebagai penguat mantra atau menambah unsur magis dalam pengucapan. Batang tubuh mantra Pammula Annanang Ase „permulaan menanam padi‟ terdiri atas lima larik yang tidak beraturan. Hal ini terlihat dalam teks berikut: 112 Kupasicinik mako anne yaccing Anrong tumallasukkannu Mangge tumappajarinu Nakammiko patampulo malaekak Sicinikkik ri tallu bulanga (2) „Aku mempertemukan Engkau padi Bunda yang melahirkanmu Ayah yang membuatmu Engkau dijaga empat puluh malaikat Sampai jumpa tiga bulan mendatang‟ Batang tubuh mantra di atas merupakan larik yang digolongkan dalam unsur sugesti. Terlihat dalam larik Nakammiko patampulo malaekak „engkau dijaga empat puluh malaikat‟. Secara denotasi kalimat tersebut tidak akan terjadi dalam kondisi sebenarnya. Namun, ungkapan tersebut diyakini oleh masyarakat petani tradisional suku Makassar bahwa padi-padi mereka dijaga oleh empat puluh malaikat. Mantra dilanjutkan dengan kalimat Sicinikkik ri tallu bulanga „sampai jumpa tiga bulan mendatang‟ yang menyatakan tujuan bahwa tanaman yang ditanam akan dapat dipanen tiga bulan mendatang. Hal ini karena secara konvensional jika menanam padi, akan dapat dipanen tiga bulan mendatang. Penutup mantra Pammula Annanang Ase „permulaan menanam padi‟ sama dengan mantra-mantra Tulembang sebelumnya. Mantra ini ditutup dengan nama Allah dan Nabi Muhammad dengan harapan padinya tumbuh atas lindungan kedua nama tersebut. Hal ini terlihat dalam teks berikut. Barakka Lailaha Illallah Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3) „Barakka Lailaha Illallah. Barakka Anna Muhammadarrasulullah‟ 113 5) Mantra Annanang Ase (Menanam Padi) Mantra Annanang Ase merupakan mantra pada saat proses menanam padi. Mantra ini berisi sebelas larik, terdiri atas pembuka, batang tubuh, dan penutup. Hal tersebut terlihat dalam teks berikut. Oh yaccingku nakutanangko ri jekne Kupatimboko ri butta (1) “Padiku yang kutanam dalam air, dan kusemaikan ke dalam tanah” Bintoeng palliserannu Bulang papa kaciknongnu Alloa pangnyappuruknu Nairik-irikko anging Anging battu ri Makka Nakarenai anging battu ri Madina Ritallung bulang kisicinik (2) Bintang isi padimu Bulan menjadi kejernihanmu Matahari menyinarimu Angin sepoi-sepoi menggoyangmu Angin datang dari Mekkah Dipermainkan anging dari Medinah Tiga bulan mendatang kita bertemu Barakka Lailaha Illallah Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3) “Semoga Alllah memberkahi dan dirodhio nya”. Larik pembuka dalam Annanang Ase „menanam padi‟ terdiri atas dua baris. Seperti mantra pembuka sebelumnya, mantra pembuka juga terdiri atas “engkau”, dan “padi”. Kata-kata tersebut menyajikan kata sapaan dan penyajian pikiran yang berisi penegasan akan kekuatan mantra. Larik ini merupakan metonimi, yakni menggunakan bahasa kiasan dengan menggunakan nama atau ciri orang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya. 114 Batang tubuh mantra Annanang Ase „menanam padi‟ berisi tujuh larik. Larik mantra dimulai dengan larik Bintoeng palliserannu, Bulang papa kaciknongnu, Alloa pangnyappuruknu, Nairik-irikko anging, Anging battu ri Makka, Nakarenai anging battu ri Madina, dan Ritallung bulang kisicini. Baris pertama, petani mengharapkan bulir padinya seperti biji-biji bintang di langit. Baris kedua, sinar bulan menyinari bibit padi agar bulir padi jernih. Baris ketiga, sinar matahari membantu mengeringkan batang bibit padi agar proses penyerapan berlangsung dengan baik. Baris keempat dan kelima, hembusaan angin dari tanah suci Mekkah dan Medinah mempercepat pertumbuhan bibit padi. Baris keenam, dilanjutkan dengan Ritallung bulang kisicini yang berisi pengharapan bahwa tiga bulan ke depan padi siap dipanen. Dengan kata lain, baris pertama sampai enam dalam batang tubuh memuat unsur sugesti. Penutup dalam mantra Annanang Ase „menanam padi‟ sama dengan mantra-mantra Tulembang sebelumnya. Penutup menggunakan bahasa Arab dengan memuat unsur doa secara islami. Hal ini terlihat dalam teks berikut. Barakka Lailaha Illallah Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3) „Barakka Lailaha Illallah. Barakka Anna Muhammadarrasulullah‟ 6) Mantra Rappo Ase (Bulir Padi) Mantra Rappo Ase „bulir Padi‟ merupakan mantra ketika proses memasukkan padi ke lahan atau tanah. Mantra ini berisi sembilan larik. Seperti mantra sebelumnya, mantra ini memuat tiga struktur, yakni pembuka, batang tubuh, dan penutup. Hal ini terlihat dalam teks berikut: 115 Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu (1) „Assalama Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu‟ Battungasengmako mae sumanga asengku I timboro - I wara I raya - I lau I rawa – I rate Narurunga malaikak pakdoangnganna Awalli passombalinna (2) Datanglah semua semangat padiku Di Selatan – di Utara Di Timur – di Barat Di atas – di bawah Doa para malaikat menyertaimu Wali menjagamu Barakka Lailaha Illallah Barakka Anna Muhammadarrasulullah “Semoga Allah memberi barakah dan diridhoi Nabi Muhammad.” Pembuka mantra Rappo Ase „bulir padi‟ hanya ada satu larik, yakni Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu. Larik pembuka berupa salam yakni larik sapaan, yang digunakan untuk memulai sesuatu yang baik. Kata salam berisi pengharapan agar tujuan dapat tercapai. Batang tubuh mantra Rappo Ase „bulir padi‟ berisi enam larik. Batang tubuh berisi larik sugesti. Mantra yang terucap menggunakan larik metonimi, yakni menggunakan bahasa kiasan dengan menggunakan nama atau ciri orang atau suatu barang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya, seperti Selatan, Utara, Timur, Barat, atas, bawah, malaikat, dan wali. Hal ini terlihat dalam teks berikut. Battungasengmako mae sumanga asengku I timboro – I wara I raya - I lau 116 I rawa – I rate Narurunga malaikak pakdoangnganna Awalli passombalinna (2) „Datanglah semua semangat padiku Di selatan – di Utara Di timur – di Barat Di atas – di bawah Doa para malaikat menyertaimu Wali menjagamu‟ Penutup yang digunakan dalam mantra Rappo Ase „bulir padi‟ sama dengan mantra-mantra Tulembang sebelumnya, yakni berisi dua kalimat. Antara penutup yang selalu digunakan adalah bahasa Arab dengan memuat unsur doa secara Islami. Hal ini terlihat dalam teks berikut. Barakka Lailaha Illallah Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3) „Barakka Lailaha Illallah. Barakka Anna Muhammadarrasulullah‟ 7) Mantra Appa Sulapa Nikutanang (Empat Arah Ditanya) Mantra Appa Sulapa Nikutanang „empat arah ditanya‟ sebagai mantra pamungkas yang dibaca oleh pemantra. Mantra ini berisi delapan belas larik. Mantra ini termasuk mantra terpanjang dari mantra-mantra Tulembang sebelumnya. Sebagai pembuka, mantra ini ada dua kalimat, yang terlihat dalam teks berikut. Oh yaccingku nia aseng jako ilalang Tenamo tumaboyanu (1) “Padiku yang ada di semua alam, akau hendak mencarimu” 117 Dua kalimat mantra di atas dikatakan pembuka karena dua kalimat tersebut merupakan kalimat tanya. Kalimat tanya mengindikasikan adanya masalah yang ingin disampaikan pemantra. Kalimat tanya dibuat di awal mengindikasikan pengharapan jawaban dari yang ditanya. Dimunculkan pengulangan kata tanya ini untuk menambah unsur magis dalam pengucapan mantra, mengingat mantra ini adalah mantra pamungkas dalam proses bercocok tanam (bertani). Kalimat pembuka di atas kemudian dilanjut kalimat yang secara struktural sebagai batang tubuh, yakni sebagai berikut. Iraya kalauko mae Ilauka anraikko mae Timboroka warakko mae Waraka timborokko mae Irateya naungko mae Irawayya naikko mae Kusalayya kusabbu Kariolo mako battu Naku panaimako anne yaccing Ridulang-dulang pallunu Ripallakka bulaengnu Lao-lao pole Tanairikmako anging Tanararangko allo (2) „Yang di Timur silahkan datang ke Barat Yang di Barat silahkan datang ke Timur Yang di Selatan silahkan datang ke Utara Yang di Utara silahkan datang di Selatan Yang di atas silahkan turun ke bawah Yang di bawah silahkan naik ke atas Yang tidak sempat kusebut Karena Engkau datang mendahului Aku turunkan Engkau padi Di atas nampang tempat masakmu Di atas peraduan emasmu Pergi-pergi lagi Engkau tidak disertai angin Engkau juga tidak disinari matahari‟ 118 “Jika pergi ke timur aku akan hendak ke barat, jika ke barat akupun hendak ke timur. Jika pergi ke selatan aku akan hendak ke utara, jika ke utara akupun hendak ke selatan. Jika naik ke atas aku akan hendak ke bawah, jika hendak turun ke bawah aku naik ke atas. Aku tidak ingin menyebut kesalahan, sebab Padilah yang datang mendahuluiku, Padilah yang datang kepadaku telah kuletakkan di atas nampang tempat istirahatmu, di atas dulang emasmu, di atas semua rezekiku, namun padiku kutempatkan engkau di atas plafon/tempat tertinggi dalam rumahku dan tidak ada angin yang bermain bersamamu, dan tidak juga disinari matahari maka istirahatlah.” Larik batang tubuh di atas terdiri atas empat belas larik. Larik-larik yang disampaikan digolongkan dalam ungkapan sugesti karena memuat seruan. Kalimat batang tubuh ini terdiri atas larik berita. Larik ini diindikasikan berisi sanjungan dan biasanya menandakan harapan dan keinginan serta kerelaan atas apa yang terjadi. Batang tubuh lebih banyak memuat pengulangan-pengulangan bunyi, yang menjadi ciri mantra. Jika dilihat, terdapat pengulangan kata mae yang diulang enam kali, dan partikel ma- serta enklitik -ko „engkau‟. Hal ini menimbulkan bunyi yang berirama, dan beriringan. Seperti mantra-mantra Tulembang sebelumnya, mantra Appa Sulapa Nikutanang „empat arah ditanya‟, ditutup dengan dua kalimat seperti sahadat, sebagai bentuk pengakuan kepada Allah dan Nabi Muhammad bahwa segala keberkahan dan kemakmuran adalah kehendak yang Maha Kuasa. Hal ini terlihat dalam teks berikut: Barakka Lailaha Illallah Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3) „Barakka Lailaha Illallah. Barakka Anna Muhammadarrasulullah‟ 119 Berdasarkan seluruh analisis struktur teks dalam mantra Tulembang ditemukan bahwa komponen pembangun unsur mantra meliputi komponen pembuka yang memuat unsur pengakuan dan permohonan perlindungan Allah penguasa alam semesta. Ada niat atau keinginan yang hendak dicapai. Penggunaan nama-nama penting dalam mantra, seperti: Nabi Khaidir, Allah, Muhammad, yaccing „padi‟, Nabi-nabi, wali, malaikat, arah mata angin, bintang matahari dan bulan. Komponen sugesti didominasi sentuhan mitologi, seperti Narurungang malaikak pakdoangnganna „doa para malaikat menyertaimu‟ dan lain-lain. Komponen visualisasi dan simbol Nairik-irikko anging „angin sepoisepoi menggoyangmu‟, Nakammiko patampulo malaekak „engkau dijaga empat puluh malaikat‟. 5.1.2. Satuan Wacana Naratif Teks Mantra Tulembang Wacana naratif merupakan rangkaian tuturan yang menekankan unsur melalui penonjolan unsur cerita penting, seperti: unsur waktu, pelaku, dan peristiwa dengan maksud memperluas pengetahuan pesapa (Djajasudarma, 1994). Kekuatan wacana ini terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu dan cara-cara bercerita yang diatur melalui plot. Wacana narasi dapat dibedakan menjadi narasi ekspositoris dan sugestif. Narasi eksporitoris merupakan jenis narasi yang bertujuan memberikan informasi kepada pembaca agar pengetahuannya bertambah luas. Narasi sugestif merupakan jenis narasi yang disusun sedemikian rupa untuk menyampaikan sebuah makna kepada para pembaca, sehingga mampu menimbulkan daya khayal para pembaca (Rani dkk., 2006). Menurut Maknun 120 (2012), wacana naratif teks mantra paling tidak memuat unsur medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. 1) Mantra Appasuki Pakjeko (Pemasangan Bajak) Mantra Appasuki Pakjeko secara wacana naratif menceritakan permohonan bantuan kepada Nabi Khaidir untuk berkenan mendoakan kepada Allah agar pemasangan bajak direstui dan dipertemukan dengan rezeki yang halal, serta diberi kesehatan. Wacana narasi mantra ini berbentuk narasi sugestif, yakni memberikan makna kekuatan dan kesehatan serta keselamatan bagi pembaca mantra. Medan wacana dalam mantra ini adalah penyampaian permohonan seperti doa yang diujarkan pada saat pemasangan bajak di sawah. Suasana pada saat penuturan mantra penuh khusuk dan hening, menggambarkan tingkat kepasrahan dan pengharapan yang tinggi pada Allah. Waktu pembacaan mantra dilakukan berdasarkan musim. Pelibat wacana dalam mantra ini adalah para petani yang mau membajak sawah. Mantra ini ditujukan kepada Nabi Khaidir, air, dan Allah, serta Nabi Muhammad SAW. Sarana wacana yang disampaikan berupa monolog. Dikatakan monolog seperti pernyataan Maknun (2012), bahwa penyampaian mantra berwujud monolog, pembaca mantra hanya sebagai penyapa, pesapa berkedudukan implisit (tidak tampak) sehingga tidak terjadi interaksi. Penggunaan bahasa dalam mantra cenderung analogis dengan penekanan sentuhan mitologi, serta bersifat lebih bebas dalam hal suku kata, baris, ataupun 121 persajakan. Seperti dikatakan Jalil dan Elmustian (2002:49) bahwa mantra lebih bebas, sehingga hampir tidak ada suatu bentuk apapun. 2) Mantra Aklesero Ase (Menurunkan Bibit) Mantra Aklesero Ase secara wacana naratif diujarkan pada saat menurunkan bibit padi ke tanah. Mantra ini merupakan jenis komponen sasaran. Nama yang menjadi sasaran adalah yaccing „padi‟. Wacana narasi mantra ini berbentuk narasi sugestif, yakni mantra ini sebuah pengharapan agar padi yang ditanam menjadi subur dan tumbuh dengan baik. Suasana yang terbangun ketika pembacaan mantra sakral dan khusuk. Pelibat wacana dalam mantra adalah para petani yang mau membajak sawah. Mantra ini ditujukan kepada padi, Nabi, malaikat, wali dan Allah, serta Nabi Muhammad SAW. Sarana wacana yang disampaikan berupa monolog. Penggunaan bahasa dalam mantra ini cenderung analogis dengan penekanan sentuhan mitologi serta bersifat lebih bebas dalam hal suku kata, baris, ataupun persajakan. 3) Mantra Akbine (Mencabut Benih) Mantra Akbine secara wacana naratif diucapkan pada saat mencabut bibit padi. Suasana yang terbangun dalam pengucapan mantra dalam keadaan sakral dan khusuk. Mantra ini merupakan permohonan kepada Nabi Muhammad dan anak cucu Adam untuk memberikan safaat ketika bercocok tanam. Wacana narasi mantra ini berbentuk narasi sugestif, yakni mantra ini adalah permohonan agar diberi keberkahan, kebahagiaan dan kesenangan karena Allah bersama Nabi Muhammad. Pelibat wacana dalam mantra ini adalah para petani yang menanam 122 padi. Mantra ini ditujukan kepada padi, Nabi Muhammad, arah mata angin, dan Allah SWT. Sarana wacana yang disampaikan berupa monolog. Penggunaan bahasa analogis dengan penekanan sentuhan mitologi. 4) Mantra Pammula Annanang Ase (Menanam Bibit Padi) Mantra Pammula Annanang Ase dibaca pada permulaan menanam bibit padi. Mantra ini mengungkapkan tiga hal, yakni: Tuhan, petani, dan padi. Padi dipertemukan dengan Tuhan melalui petani. Padi dilahirkan bunda, dibuat ayah dan dijaga empat puluh malaikat. Pengharapan bahwa tiga bulan mendatang padi dapat dipanen dengan hasil yang baik. Mantra ini dibacakan dalam suasana sakral dan khusuk dan dibaca oleh seorang pinati/pawang atau pemuka masyarakat dan didengarkan secara khidmat oleh para petani di sawah. Penyampaian mantra ini bersifat monolog dan dialog. Monolog karena pendengar mantra berperan implisit. Dialog karena menimbulkan respon interaksi secara batin bagi pembaca dan sesuatu yang dianggap ada. Terbukti, dengan penyebutan: yukkung, yakkung, yaccing „engkau, aku, padi‟. Penyampaiannya berupa dialog antara petani, Tuhan, dengan padi. Dialog lain adalah pengucapan Na kammiko patampulo malaekak/ Sicinikki ritallu bulanga „engkau dijaga empat puluh malaikat‟/ „sampai jumpa tiga bulan mendatang‟. 5) Mantra Annanang Ase (Permulaan Menanam Padi) Mantra Annanang Ase merupakan mantra pada saat prosesi menanam benih. Mantra ini mengungkapkan padi akan ditanam di tanah, diisi oleh bintang, dijernihkan oleh bulan, dan disinari matahari. Padi tertiup angin yang datang dari Mekkah dan Medinah dan dinanti tiga bulan mendatang dan digunakan metafora 123 dengan sentuhan mitologi. Hal ini terbukti dengan penggunaan simbol bintang, bulan, dan matahari, serta angin sebagai sarana menumbuhkan dan menyuburkan benih. Kekuatan mantra ini terletak pada penutup dengan pengucapan doa kepada Allah dan Nabi Muhammad. Penyampaian mantra tergolong monolog dan dialog. Monolog karena yang diajak komunikasi implisit dan dialog karena ada interaksi batin bagi pembaca dan sesuatu yang dianggap ada. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan pronomina persona pertama dan kedua ko „engkau‟, nu „mu‟, dan ku „aku‟. Suasana pembacaan dalam kondisi khidmat dan sakral untuk menambah unsur magis dalam mantra. 6) Mantra Rappo Ase (Bulir Padi) Mantra Rappo Ase merupakan mantra untuk menyugesti isi padi agar berkembang dengan sempurna. Mantra ini diawali oleh salam, untuk mendatangkan semangat dalam padi dari segala penjuru mata angin dan disertai doa para malaikat. Mantra ini ditujukan kepada Allah, padi, malaikat, wali dan Nabi Muhammad sebagai penutup mantra. Pelibat wacana juga orang yang dianggap tetuah adat/penati sebagai pembaca mantra dan petani sebagai pesapa. Penyampaian bahasa secara monolog dan dialog, serta penggunaan bahasa secara metaforis dengan sentuhan mitologi dan religi. 7) Mantra Appa Sulapa Nikutanang (Empat Arah Ditanya) Mantra Appa Sulapa Nikutanang merupakan mantra menanyakan empat arah mata angin agar menurunkan keberkahan kepada padi yang dipanen. Diungkapkan bahwa penyapa (pembaca mantra) meminta kepada seluruh penjuru 124 mata angin untuk mendatangi padi dan menanyakan padi tentang kerelaan untuk dipanen. Hal ini disebutkan dalam teks Tenamo tumaboyanu „apa engkau tak ada yang mencarimu‟. Mantra ini ditujukan kepada padi dan ditutup dengan doa kepada Allah dan Nabi Muhammad. Penyampaian mantra berbentuk monolog dan dialog. Monolog karena pesapa hadir secara implisit, dialog karena menggunakan kalimat tanya. Penggunaan bahasa tetap secara metaforis dengan sentuhan mitologi dan religi. 5.1.3 Karakteristik Kesatuan Teks Mantra Tulembang Pembahasan karakterisrik kesatuan didasarkan pada permainan bunyi (rima), permainan kata, paralelisme, majas, dan simbol. Rima merupakan permainan unsur bunyi. Bentuk rima yang sering muncul ialah aliterasi, asonansi, dan rima akhir. Aliterasi adalah repetisi bunyi awal pada kata-kata yang berbeda, biasanya berupa konsonan (Badrun, 2014). 1) Mantra Appasuki Pakjeko Pembahasan karakteristik kesatuan mantra Appasuki Pakjeko dimulai dari permainan bunyi (rima). Analisis rima dengan beberapa contoh yang ditandai huruf tebal, seperti terlihat dalam teks berikut. Kau jekne Nabbi Hillere Nabbinu (1) Tulungngak na nunngammaseang (2) Nanu pappala doangngangak RiAllah Taalah (3) .... „Engkau air Nabi Khaidir Nabimu (1) Tolong aku agar tumbuh rasa kasihanmu (2) Agar Engkau mendoakan aku pada Allah (3) .... 125 Bentuk yang ditebalkan dalam mantra Appasuki Pakjeko di atas terdapat repetisi dan paraleisme semantis. Pada larik pertama terdapat kesamaan kata Nabbi „Nabi‟ dan Nabbinnu „Nabimu‟. Larik kedua paralelisme verbal pada kata Tulungngak „tolong aku‟ dan nunngammaseang „rasa kasihmu‟ dan nupappala doangngangak „mendoakan aku‟. Larik pertama, kata Nabbi berada di urutan ketiga dan Nabbinnu pada urutan kelima suku kata pertama. Rima kalimat pertama ini merupakan rima tidak sempurna dan rima dalam. Tidak sempurna karena kata-kata tidak sama dan dalam karena dalam satu larik. Selain itu, rima ini berupa aliterasi, yakni berupa perulangan bunyi konsonan tunggal „n‟ dan geminasi „bb‟. Mantra Appasuki Pakjeko secara keseluruahn menggunakan diksi denotasi seperti pada larik pertama menggunakan kata jekne „air‟, diawali kata kau „engkau‟ dan selanjutnya diikuti kata nabbi. Kata Tulungngak „tolong aku‟, RiAllah Taalah „Allah‟, dan sebagainya. Bentuk dalam mantra Appasuki Pakjeko terjadi pada larik keempat dan larik keenam seperti pada teks berikut: ... Pasibungtullangak dallekku (4) ... Amboyai dallek hallalakku (6) .... „... Pertemukan aku dengan rezekiku (4) ... Dalam mencari rezekiku yang halal (6) ....‟ 126 Paralelisme bentuk dari contoh larik di atas merupakan paralelisme berselang, yakni paralelisme yang sudah diselingi kalimat lain. Struktur yang tampak adalah paralelisme berselang berupa kata. Kata tersebut adalah dallekku dan kata dallek. Selain paralelisme berselang juga terdapat paralelisme dua kata atau frasa yang berulang, seperti larik kesembilan dan kesepuluh berikut. Barakka Lailaha Illallah (9) Barakka Anna Muhammadarrasulullah (10) Majas yang tertera dalam mantra ini adalah majas metonimia. Menurut Moeliono (dalam Badrun, 2014), majas metonimia adalah majas yang menggunakan pemakaian nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal lain dengan penggantinya. Seperti tertera dalam contoh kalimat berikut. Kau jekne Nabbi Hillere Nabbinnu (1) Tulungngak na nunngammaseang (2) „Engkau air Nabi Khaidir Nabimu Tolong aku dan tumbuh rasa kasihanmu‟ Mantra di atas dikatakan majas metonimia karena menggunakan kata jekne „air‟ dihubungkan dengan Nabi Khaidir dan „air‟ diminta sebuah pertolongan dan belas kasihan. Simbol yang tampak dalam mantra ini terletak pada kata jekne „air‟. Air disimbolkan sebagai perantara doa kepada Allah agar dipertemukan dengan rezeki dan diberi kesehatan. Pemakaian simbol tersebut berkaitan dengan tema mantra, yakni untuk menanam padi. Air adalah sumber kehidupan dan air yang mampu menyuburkan tanaman. 127 2) Mantra Aklesero Ase Permainan bunyi (rima), dalam mantra Aklesero Ase dengan ditandai dengan huruf tebal, seperti: Napanaungko Nabbi „engkau diturunkan Nabi‟. Cetakan tebal dalam contoh ini terdapat pasangan bunyi yang mirip. Pasangan tersebut tidak berupa larik karena susunan pada mantra ini rata-rata dua kata (larik pendek). Hal ini tampak pada prefiks Na untuk Napanaungko dan Na untuk Nabbi. Rima pada kalimat tersebut terdapat pada awal kata. Hal ini ada juga pada larik keenam Naalleko Nabbi „engkau diambil Nabi‟. Rima yang muncul pada mantra ini tergolong rima tidak sempurna karena kata-kata tidak sama dan dalam karena dalam satu larik. Diksi (permainan kata) di dalam mantra Aklesero Ase secara keseluruhan menggunakan diksi denotasi seperti pada kalimat pertama menggunakan kata yaccing „padi‟, nabbi „nabi‟, malaekak „malaikat‟, pakrasangang „kampung‟, dan buluk „gunung‟, dan sebagainya. Paralelisme dalam mantra Aklesero Ase terjadi pada larik kedua dan ketiga seperti pada teks berikut. Oh yaccing (1) Napanaungko Nabbi (2) Napatimboko malaekak (3) „Oh padi Engkau diturunkan Nabi Engkau ditumbuhkan Malaikat‟ Paralelisme larik di atas merupakan paralelisme bentuk. Struktur terbentuk dari gramatikal yang hampir sama. Larik tersebut terlihat tidak sama, tetapi secara esensi sama sebagai larik penjelas. Larik bercetak tebal tersebut merupakan kalimat berita, subjek kedua larik implisit. Kedua larik menekankan larik pertama 128 yakni padi. Selain paralelisme struktur, juga terdapat paralelisme dua kata atau frasa yang berulang, seperti pada contoh larik kedelapan dan sembilan berikut. Barakka Lailaha Illallah (8) Barakka Anna Muhammadarrasulullah (9) Majas yang tertera dalam mantra di atas adalah majas metonimia. Mantra ini menggunakan pemakaian nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal lain dengan penggantinya, seperti terlihat dalam contoh larik pertama dan dua di atas. Namun demikian, terdapat juga majas metafora, seperti kalimat Malaekak patanna pakrasangang „malaikat yang punya kampung‟. Metafora ini penggambaran penegasan kalimat sebelumnya yakni Napatimboko malaekak „engkau ditumbuhkan malaikat‟. Dianalogikan bahwa padi telah ditumbuhkan malaikat karena malaikat yang memiliki kampung tersebut, sehingga dipercaya oleh masyarakat petani tradisional suku Makassar bahwa tidak perlu ragu kalau padi nantinya tumbuh dengan sempurna karena dijaga malaikat. Simbol yang tampak dalam mantra ini terlihat dalam kalimat berikut. Malaekak patanna pakrasangang (4) Awalli patanna buluk (5) „Malaikat yang punya kampung Wali yang punya gunung‟ Simbol yang tampak bahwa malaikat punya kampung tersebut dan Wali yang mempunyai Gunung. Secara harfiah hal tersebut tidak mungkin terjadi. Pemebentukan simbol dalam mantra ini bertujuan sebagai ucapan penguat sehingga membentuk unsur magis atau gaib. 129 3) Mantra Akbine Permainan bunyi (rima), di dalam mantra Akbine dalam satu larik tidak tersurat dengan jelas. Hal ini karena larik yang terbangun rata-rata hanya dua kata. Namun, ada rima pada larik kelima yang berbunyi Sikontu ummakna nabbita „semua ummat nabi Muhammad‟. Namun, pasangan bunyi tersebut kurang menonjol atau tidak terlihat dominan karena bunyi tersebut satu rangkaian kata yang umum yakni ummat Nabi Muhammad. Artinya, mantra ini tidak menonjolkan rima, sehingga rima ini berjenis rima tidak sempurna. Diksi (permainan kata) mantra Akbine menggunakan denotasi seperti pada kalimat pertama menggunakan kata Iraya „timur, dan nabbita „nabi Muhammad‟. Penggunaan diksi denotasi dimungkinkan sebagai upaya mempermudah pembaca mantra untuk memaknai dan meyakini mantra yang diucapkan. Paralelisme dalam mantra Akbine terjadi pada contoh larik 2, 3 dan 4 pada teks berikut. Tallasak kulamung (2) Tallasak kulamungang (3) Tallasak nilamungi (4) „Bibit hidup kutanam (2) Bibit hidup kutanami (3) Bibit hidup kutanam‟ (4) Paralelisme larik di atas merupakan paralelisme struktur. Struktur terbentuk dari gramatikal yang sama Tallasak kulamung, Tallasak kulamungang, Tallasak nilamungi. Selain itu, juga merupakan paralelisme dengan perulangan frasa dengan posisi yang sama, contoh angkateangi, angkarannuangi. 130 Majas yang tertera dalam mantra ini adalah majas metonimia. Mantra ini memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal lain dengan penggantinya, seperti larik Sikontu ummakna nabbita „semua ummat Nabi Muhammad‟. Kata nabbita digunakan sebagai pengganti nama nabi Muhammad, yang pada larik kedua belas diperjelas dengan ungkapan Sabak Allah Taalah siagang nabbi Muhammad „karena Allah bersama Nabi Muhammad‟. Tanda dapat berupa ikonis yang tampak dalam kata Tallasak „bibit hidup‟ yang merupakan tanda ikonis bermakna benih kehidupan. Larik Sabak Allah Taalah siagang nabbi Muhammad „karena Allah bersama Nabi Muhammad‟ juga merupakan indeksikal, yang dimaknai bahwa segala urusan dimudahkan jika mendekatkan diri kepada Nabi Muhammad karena Nabi Muhammad dekat dengan Allah. Allah disimbolkan sebagai penguasa alam semesta. Artinya, jika mau mendekatkan diri kepada Allah dan Nabi Muhammad, akan mendapat pertolongan dan memberikan kebahagiaan dan kesenangan serta kesuburan pada sawah yang ditanami padi. 4) Mantra Pammula Annanang Ase Permainan bunyi (rima) mantra Pammula Annanang Ase terlihat pada larik pertama, yakni yukkung, yakkung, yaccing „engkau, aku, padi‟. Permainan bunyi yang dilakukan adalah pengucapan bunyi ng dengan diiringi vokal u dan i. Namun, tidak ditemukan dalam kalimat lain. Tampak pada mantra ini permainan bunyi tidak menonjol. Rima yang tampak adalah rima dalam tetapi tidak sempurna karena pengucapan bunyi tidak sama persis. 131 Diksi (permainan kata) mantra Pammula Annanang Ase rata-rata menggunakan denotasi. Penggunaan diksi denotasi dimungkinkan sebagai upaya mempermudah pembaca mantra untuk memaknai dan meyakini mantra yang diucapkan, contohnya Yukkung „engkau‟, Yakking „aku‟, Yaccing „padi‟. Paralelisme dengan perulangan dalam mantra Pammula Annanang Ase terjadi pada contoh kalimat 1 pada teks berikut. Yukkung, yakkung, yaccing (1) Kupasicini mako anne yaccing (2) „Engkau, Aku, Padi (1) Aku mempertemukan Engkau padi‟ (2) Paralelisme larik di atas merupakan paralelisme perulangan satu kata pada posisi yang sama. Struktur terbentuk dari gramatikal yang sama. Selain itu, terdapat paralelisme struktur, seperti pada larik 3 dan 4 berikut: Anrong tumallasukkannu (3) Mangge tumappajarinu (4) „Bunda yang melahirkanmu (3) Ayah yang membuatmu‟ (4) Paralelisme dalam larik 3 dan 4 merupakan paralelisme semantis. Secara gramatikal tidak sama, namun kedua frasa tersebut mempunyai makna yang sama. Contohnya: anrong „bunda‟ dan mangge „ayah‟, tumallasukkannu „melahirkan‟, tumappajarinu ‘membuatmu‟. Majas yang tertera dalam mantra ini adalah majas metonimia. Mantra ini memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal lain dengan penggantinya, seperti morfem yukkung, yakkung, yaccing „engkau, aku, padi‟. Morfem yakkung „aku‟ dalam ungkapan tidak disebutkan sampai akhir 132 mantra itu siapa. Namun, jika mengacu pada larik Kupasicinik mako anne yaccing „aku mempertemukan engkau padi‟. Jadi, „aku‟ merupakan Sang Pencipta yang memberikan rahmat atas hasil bumi. Ketiga bentuk sapaan tersebut digunakan sebagai pengganti nama karena pemali menyebut nama yang dikeramatkan. Simbol dalam mantra ini menggunakan kata Anrong „bunda‟ dan Mangge „ayah‟. Bunda disimbolkan sebagai kelahiran dan yang melahirkan, sebagai simbol kesuburan. Ayah disimbolkan sebagai pembuat, sebagai pemberi jalan untuk menjadikan kelahiran. Selain itu, kata malaekak „malaikat‟ dianalogikan sebagai penjaga. 5) Mantra Annanang Ase Permainan bunyi (rima) mantra Annanang Ase menggunakan rima akhir. Dalam setiap akhir kalimat diakhiri oleh sukukata nu dan ah. Dalam mantra ini rima juga ditemukan dalam bentuk aliterasi ng didahului vokal u dan a. Hal ini terlihat dalam kalimat Ritallung bulang kisicinik „tiga bulan mendatang kita bertemu‟. Pada larik ini terjadi proses asimilasi yaitu Ritallum bulang kisicinik. Diksi (permainan kata) mantra Annanang Ase menggunakan denotasi. Penggunaan diksi denotasi dimungkinkan sebagai upaya mempermudah pembaca mantra untuk memaknai dan meyakini mantra yang diucapkan. Paralelisme dengan perulangan dalam mantra Annanang Ase terjadi pada contoh kalimat 3 sampai 5 berikut. Bintoeng pakliserannu (3) Bulang pappa kaciknongnu (4) Alloa pangnyappuruknu (5) 133 „Bintang bulir padimu (3) Bulan menjadi kejernihanmu (4) Matahari menyinarimu‟ (5) Paralelisme dalam larik 3, 4, dan 5 merupakan paralelisme bentuk palliserannu „bulir pangnyappuruknu padi‟, pappa kaciknongnu „menjadi kejernihanmu‟, „menyinarimu‟. Paralellisme semantik bintoeng „bintang‟, bulang „bulan‟, allo „matahari‟. Secara gramatikal sama, dan kedua larik tersebut mempunyai makna yang sama dan memperjelas larik sebelumnya. Selain itu, secara gramatikal juga tersurat prefiks “pa-“ pada kata seperti pakliserannu/ papa kaciknongnu/ pangnyappuruknu. Majas yang tertera dalam mantra ini adalah majas metafora. Hal ini terlihat dalam contoh frasa Bulang papa kaciknongnu „bulan yang menjadikan benih padi putih/bening‟ merupakan metafora dari perwujudan bentuk. Bintoeng pakliserannu bintang jika dilihat dari kejauhan bentuknya seperti padi, putih, dan bening. Oleh karena itu, bintoeng/bintang menjadi simbol dalam mantra ini. 6) Mantra Rappo Ase Di dalam Mantra Rappo Ase menggunakan rima asonansi, contohnya I rawa – I rate „di atas – di bawah‟. Asonansi berupa vokal „I‟ dan dilanjutkan konsonan „r‟. Diksi mantra Rappo Ase menggunakan denotasi. Penggunaan diksi denotasi dimungkinkan sebagai upaya mempermudah pembaca mantra untuk memaknai dan meyakini mantra yang diucapkan. Paralelisme dengan perulangan dalam mantra Annanang Ase terjadi pada contoh kalimat 3 sampai 5 berikut: 134 I timboro – I wara (3) I raya - I lau (4) I rawa – I rate (5) „Di selatan – di Utara (3) Di timur – di Barat (4) Di atas – di bawah (5) Paralelisme dalam kalimat 3, 4, dan 5 merupakan paralelisme semantik. Larik-larik tersebut memperlihatkan totalitas dari seluruh arah. Secara gramatikal tidak sama, namun kedua kalimat tersebut mempunyai makna yang sama dan memperjelas larik sebelumnya. Majas yang tertera dalam mantra ini adalah majas metonimia. Mantra ini menggunakan pemakaian nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal lain dengan penggantinya, seperti kata I timboro – I wara „di selatan – di utara‟. Larik tersebut metafora dari arah mata angin yang dipercayai sebagai pembawa keberkahan kepada padi. Angin mampu membawa oksigen dan dapat membuat padi tumbuh subur. Simbol di dalam mantra ini menggunakan kata malaekak „malaikat‟ dan Awalli „Wali‟, yang diumpamakan sebagai sosok yang dekat dengan Allah. Kedua nama orang suci ini diharapkan memberi bantuan atas permohonan yang telah dibacakan melalui mantra Rappo Ase. 7) Mantra Appa Sulapa Nikutanang Permainan bunyi (rima) mantra Appa Sulapa Nikutanang menggunakan rima aliterasi, contohnya Oh yaccingku nia aseng jako ilalang „Oh padi apakah Engkau ada semua di dalam‟. Aliterasi berupa konsonan ng dengan didahului 135 vokal i, e, dan a. Selain itu, aliterasi k dalam Warakka timborokko mae „kalau di Utara silahkan datang di Selatan‟ Diksi mantra Rappo Ase menggunakan denotasi. Penggunaan diksi konotasi hanya pada kata kusalayya kusabbu „kesalahan yang tidak sempat kusebut‟. Hal ini dimaknai sesuatu yang jahat sehingga tidak pantas untuk disebutkan namanya. Pemanfaatan kata dalam mantra ini cenderung lugas untuk mempermudah pemahaman penyapa dan pesapa. Paralelisme bentuk di dalam mantra Annanang Ase terjadi pada contoh larik 15 sampai 16 berikut. Tanairikmako anging (15) Tanararangko allo (16) „Engkau tidak ditiup angin‟ (15) „Engkau tidak disinari matahari‟ (16) Paralelisme di atas merupakan perulangan frasa. Perulangan pada larik 16 merupakan perumpamaan sebagai penjelasan pada larik 15. Pengulangan tersebut sebagai paralelisme bentuk. Secara gramatikal tidak sama, namun kedua kalimat tersebut mempunyai makna yang sama dan saling menjelaskan. Majas di dalam mantra ini adalah majas perumpamaan dengan menggunakan kata I raya kalaukko mae „kalau di timur silahkan datang ke barat‟/ I Laukka anraikko mae „kalau di Barat silahkan datang ke timur‟/ Timboroka warakko mae „kalau di selatan silahkan datang ke utara‟/ Warakka timborokko mae „kalau di utara silahkan datang ke selatan‟. Ada gaya bahasa antitesis, yakni melakukan pertentangan kelompok kata yang berlawanan maksudnya. Simbol yang digunakan di dalam mantra ini adalah padi, yang disimbolkan sebagai 136 penghantar keberkahan. Padi disimbolkan sebagai makhluk bernyawa yang dapat diajak bicara. 5.2. Struktur Teks Mantra Tupakbiring 5.2.1. Komposisi Naratif Teks Mantra Tupakbiring Mantra Tupakbiring bagi masyarakat suku Makassar, khususnya masyarakat nelayan tradisonal menurut Maknun (2012), merupakan mantra keselamatan dan harapan. Tujuan pengucapan mantra adalah agar terhindar dari marabahaya dan memperoleh rezeki yang berlimpah. Mantra Tupakbiring dilakukan bertahap mulai dari menaiki perahu sampai berlayar di laut. Berikut beberapa mantra utama Tupakbiring yang sering diucapkan para nelayan. 1) Mantra Pappalakku (Permohonanku) Mantra Pappalakku „permohonanku‟ merupakan mantra yang digunakan oleh masyarakat nelayan tradisional suku Makassar untuk mulai menaiki perahu. Secara struktural teks dibagi menjadi tiga bagian, yakni: pembuka, batang tubuh, dan penutup. Berikut rincian bagian tersebut. Oh yamming palakkangak Na nupabatuangak Dallekk hallalakku battu ri Allah Taalah (1) “Ya Allah aku memohon kepada-Mu, berikanlah rezeki halal bagiku yang Engkau ridhai." Mantra pembuka terdiri atas tiga larik dengan kata yang bervariasi dari masing-masing larik. Mantra pembuka diawali oleh kata yamming dan diakhiri oleh kata Allah Taalah. Penyebutan yamming merupakan kepercayaan masyarakat untuk menyugesti dirinya sendiri (bayangan si pembaca mantra). Kata dallekk 137 „rezeki‟ merupakan pengharapan yang diinginkan. Kata Allah Taalah merupakan wujud kepasrahan bahwa semua kuasa ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Mantra ini secara struktural menggunakan komponen nama mantra untuk mengawali, dengan menggunakan nama yamming. Komponen lain adalah niat dan sugesti. Batang tubuh mantra Pappalakku „permohonanku‟ terdiri atas delapan kalimat, dengan diawali oleh larik perintah kata Oh. Kata Oh atau kata seru tidak ada maknanya tetapi dalam mantra kata tersebut merupakan penekanan untuk menambah suasana magis pembaca mantra. Hal ini terlihat dalam teks berikut. Oh yamming pabattuangma Na nupakangkangngimma tippa-tippa dallekku Kunyik-kunyik - eja-eja – tekne-tekne, minnyak-minnyak Na kutippa todong angkarannuangi angkatekneangi O yamming kiokkangngak dallekku I raya – I lau – I timborok – I wara – I rate – I rawa Na kualle kupantama ri “Ha” lompoku Ri gaddonna Allah Taalah (2) Oh yamming sampaikanlah Dan berikanlah secepatnya rezekiku dalam genggamanku Kuning-kuning-merah-merah-manis-manis-minyak-minyak Agar cepat juga kurasakan manisnya rezeki itu Oh yamming panggilkan rezekiku Di Timur – di Barat – di Selatan – di Utara – di atas – di bawah Lalu kuambil kumasukkan ke peti uangku yang paling besar Di kamarnya Allah Taalah Secara struktural, batang tubuh mantra ini menggunakan simbol-simbol, seperti: larik kunyik-kunyik - eja-eja – tekne-tekne, minnyak-minnyak. Larik tersebut menunjukkan simbol telur ikan terbang. Ikan ini banyak tersebar di wilayah Makassar dan diyakini memiliki komoditi dan harga yang tinggi. Secara 138 struktural pula, batang tubuh ini menggunakan pengulangan bunyi, seperti: yamming, dan Allah Taalah. Penutup mantra Pappalakku „permohonanku‟ terdiri atas dua kalimat, seperti terlihat dalam teks berikut. Tenapa ri Allah Taalah Natena todong rinakke (3) „Nanti tidak ada pada Allah Taalah Barulah Tidak ada juga padaku‟ Mantra di atas dikatakan penutup mantra Pappalakku „permohonanku‟ karena dianggap pamungkas dari doa mantra ini. Tertulis tenapa dan na tena serta kata ri (ri Allah...) dan ri nakke. Artinya, secara struktural menggunakan kata yang mirip secara bunyi. Dua larik ini sebagai penegasan dari larik-larik sebelumnya bahwa semua permohonan atas kehendak Allah Taalah dan manusia tidak mempunya daya apapun. 2) Mantra Dallekku (Rezekiku) Mantra Dallekku „rezekiku‟ merupakan mantra ketika proses akan melaut. Mantra ini diucapkan seperti mantra sebelumnya, yaitu berisi pengharapan agar dimudahkan rezeki. Mantra ini terdiri atas sepuluh larik, yang terbagi menjadi dua larik bersambung yang disebut kalimat majemuk dan tampak sebagai dua klausa, seperti: bebas/independent close seperti esappi tamparanga, Na esak todong dallekku, Taenapa rammang ri langika, Na taena todong dallekku. Hal ini dapat dilihat teks lengkap sebagai berikut. Oh yamming (1) esappi tamparanga Na esak todong dallekku Taenapa rammang ri langika Na taena todong dallekku 139 Labbusukpi bintoengnga Na labbusuk todong dallekku ri Allah Taalah Tumbangpi bobokaraeng Na tumbang todong dallekku Runtungpi lompobattang Na runtung todong dallekku (2) Battu ri Allah Taalah (3) Oh yamming nanti surut laut Baru surut juga rezekiku Nanti tidak ada awan di langit Baru tidak ada juga rezekiku Nanti habis bintang di langit Baru habis juga rezekiku dari Allah Taalah Nanti tumbang gunung Bawakaraeng Barulah tumbang juga rezekiku Nanti runtuh gunung Lompobattang Barulah runtuh juga rezekiku dari Allah Taalah Pembuka mantra Dallekku „rezekiku‟ diawali oleh ungkapan oh yamming. Ungkapan sebagai penyemangat pembaca mantra. Sebenarnya, mantra ini tidak menggunakan pembuka seperti mantra sebelumnya. Terlihat dari struktur mantra yang mempunyai susunan larik yang sama sampai akhir mantra. Namun, pembuka mantra ini adalah Oh yamming karena larik selanjutnya tidak menggunakan ungkapan itu lagi. Batang tubuh mantra Dallekku „rezekiku‟ terdiri atas seluruh larik mantra yang diucapkan karena memiliki susunan hampir sama. Mantra ini juga terdiri atas larik-larik yang bersambung sampai akhir. Hal ini terlihat dalam teks berikut. ... esappi tamparanga Na esak todong dallekku Taenapa rammang ri langika Na taena todong dallekku Labbusukpi bintoengnga Na labbusuk todong dallekku ri Allah Taalah Tumbangpi bobokaraeng Na tumbang todong dallekku Runtungpi lompobattang Na runtung todong dallekku Battu ri Allah Taalah 140 „... nanti kering laut Barulah kering juga rezekiku Nanti tidak ada awan di langit Baru tidak ada juga rezekiku Nanti habis bintang di langit Barulah habis juga rezekiku dari Allah Taalah Nanti runtuh gunung Bawakaraeng Barulah runtuh juga rezekiku Nanti runtuh gunung Lompobattang Barulah runtuh juga rezekiku dari Allah Taalah‟ Batang tubuh mantra di atas menggunakan analogi sebagai simbol gunung Bawakaraeng dan gunung Lompobattang. Artinya, di area manapun para nelayan melaut asalkan menyebut kedua nama gunung tersebut banyak mendatangkan rezeki. Sebenarnya, mantra Dallekku „rezekiku‟ tidak menggunakan penutup jika dilihat secara keseluruhan bacaan mantra. Namun, jika dicermati penutup mantra ini terletak pada kata baku Allah Taalah. Kata baku ini menyimbolkan sebagai zat pemberi rezeki dan tidak ada kuasa manusia pun atas rezeki tersebut selain Allah. 3) Mantra Songka Bala (Tolak Bala) Mantra Songka Bala merupakan mantra yang diucap ketika perahu berada di laut. Mantra ini diucapkan untuk pengharapan agar dilindungi dan diberi keselamatan dengan diibaratkan perahu yang dinaiki, kuat seperti kapal Nabi Nuh. Mantra ini berisi empat belas kalimat. Dua larik pembuka, sembilan larik inti, dan tiga larik penutup, berikut rinciannya. Pembuka dalam Songka Bala seperti yang disebutkan sebelumnya terdiri atas dua larik, seperti tertera dalam teks berikut. Eh.., Imanrembassang Dongkokanna nabbi Nuhung (1) 141 “Wahai Imanrembassang, bahtera yang digunakan Nabi Nuh.” Larik di atas sebagai pembuka karena dianggap mewakili isi yang ingin disampaikan dalam mantra bahwa perahu yang dinaiki dapat selamat dan kokoh seperti perahu Nabi Nuh. Bagian pembuka menekankan bunyi Eh kata seru/interjection untuk menambah kekuatan magis dalam pengucapan. Selain itu, pembuka mantra ini menggunakan nama sebagai penanda, yakni penggunaan nama Imanrembassang (nama perahu Nabi Nuh) dan nabbi Nuhung „Nabi Nuh‟. Batang tubuh mantra Songka Bala ini terdiri atas empat belas larik. Mantra ini menggunakan konjungsi “na” dihampir semua larik. Hal ini memperindah bunyi dan lebih menekankan agar permohonan dikabulkan. Berikut teks dalam mantra tersebut. Eh.., Imanrembassang Assengnga na kuassengtongko Cinikka na kuciniktongko Jangjangak na kujangjang tongko Katutuiya na kukatutui tongko Ngaiya na kungai tongko Na nuboyanga dallekku Na nusongka sikamma bala nantattabayya Inakke sibatu biseang (2) Eh Imanrembassang Perahu yang digunakan Nabi Nuh Eh Imanrembassang Kenalilah diriku agar kumengenali juga dirimu Lihatlah diriku agar kudapat juga melihatmu Pandanglah diriku agar kudapat juga memandangmu Sayangilah diriku agar kudapat juga menyayangimu Sukailah diriku agar kusukai juga dirimu Dan carikanlah rezekiku Dan lindungilah dari segala marah bahaya yang akan datang Diriku dan semua bagian perahuku 142 Penutup mantra Songka Bala ini terdiri atas tiga larik. Larik-larik ini dikatakan penutup karena merupakan larik penjelasan dari larik-larik sebelumnya. Hal ini terlihat dalam teks berikut. Na punna ta nupakamma kanangku Ka pallakko ri Muhammad Rasullullah Ka inakke minne Muhammad (3) “Ya Allah ridhailah semua apa yang hamba tuturkan pada-Mu, Engkau yang memberikan kami jalan lurus kepada Muhammad sebagai Rasul, dan hambamu sebagai pengikutnya.” Larik-larik di atas sebagai penutup karena menggunakan konjungsi bersyarat Na punna yang artinya „kalau‟ dan menggunakan nama orang suci yakni Muhammad Rasulullah, yang digunakan sebagai penekanan dalam mantra ini supaya doa terkabul. 4) Mantra Loloanna Sombalakku (Tali Layarku) Mantra Loloanna Sombalakku „tali layarku‟ merupakan mantra yang diucapkan ketika berada di laut. Mantra ini terdiri atas delapan larik, yang terbagi menjadi dua larik kelompok besar yang berkesinambungan. Secara struktural, mantra ini tidak ada larik pembukanya. Semua merupakan isi atau batang tubuh mantra. Mantra ini diawali oleh larik Tepokpi anne terak-terasakku „nanti patah tulang keringku‟ dan disambung oleh larik Na tepok todong lekok gulingku „baru patah juga daun kemudiku‟. Larik tersebut menjelaskan maksud pengharapan keselamatan. Hal ini karena larik selanjutnya mengungkapkan hal yang sama, yakni larik Na polongpi bonggangku „nanti patah pahaku‟, disambung oleh larik keempat Na polong todong bongga gulingku „baru patah batang kemudiku‟. Larik tersebut membuktikan bukan larik pembuka, 143 karena sama-sama menggunakan istilah „kemudi‟ baik di larik kedua maupun keempat. Berdasarkan pembacaan teks, bagian pembuka mantra ini seluruhnya memuat isi pengharapan. Semua larik menggunakan bahasa metafora. Mantra ini juga memakai ungkapan yang berhubungan satu larik dengan larik lainnya. Leksikon-leksikon yang digunakan dalam hampir sama, misalnya tepokpi… na tepok todong/ polongpi… napolong todong/ tappukpi… natakpuk todong. Hal ini tampak seperti tertera dalam teks berikut. Tepokpi anne terak-teraksakku Na tepok todong lekok gulingku Polongpi bonggangku Na polong todong bongga gulingku Tepokpi paling-palingku Na tepok todong bauku Tappukpi nyawaku Na tappu todong loloanna sombalakku Nanti patah tulang keringku Baru patah juga daun kemudiku Nanti patah pahaku Baru patah pula batang kemudiku Nanti patah lenganku Baru patah juga tiang layarku Nanti putus nyawaku Baru putus juga tali layarku Mantra di atas mulai awal sampai larik ketujuh menggunakan partikel (-pi) Tepokpi „nanti patah‟. Selain itu, pada setiap larik terdapat ungkapan yang berhubungan satu dengan yang lainnya. Hal ini menunjukkan mantra tersebut keseluruhan berupa isi. Meskipun mantra Loloanna Sombalakku „tali layarku‟ terlihat keseluruhan berupa isi, namun jika dicermati, penutup dari mantra ini adalah larik terakhir, 144 yakni Na tappu todong loloanna sombalakku „baru putus juga tali layarku‟. Hal ini terlihat pada dua kata terakhir yang mengungkapkan judul mantra ini, yaitu loloanna sombalakku. Dua kata tersebut merupakan ikonik dari maksud mantra yang diucapkan, yakni pengharapan bahwa perahu yang digunakan tidak mengalami musibah dan selamat sampai ke daratan. 5) Mantra Gosse (Rumput Laut) Mantra Gosse „rumput laut‟ merupakan mantra untuk mendapatkan hasil tangkapan dalam melaut. Gosse diartikan sebagai rumput laut karena potensi sumber daya laut di wilayah Makassar sebagian besar adalah rumput laut. Mantra ini terdiri atas tiga belas larik, yang terbagi menjadi: pembuka, batang tubuh, dan penutup. Pembuka mantra Gosse ada tiga larik, seperti yang tertera dalam teks berikut. Assalama Alaikum Ikau gosse Irapang jintu arengnu Ri Allah Taalah „Assalama Alaikum, wahai rumput laut Irapang yang diciptakan Allah ta‟ala.” Larik-larik di atas sebagai pembuka mantra karena memuat unsur larik sapaan, yakni Assalama Alaikum. Salam merupakan simbol pembuka dalam setiap kegiatan bagi umat Islam. Setelah itu diperjelas dengan larik Ikau gosse Irapang jintu arengnu „engkau rumput laut Irapang itu namamu‟ sebagai maksud pengucapan mantra. Batang tubuh mantra Gosse ada sembilan larik seperti yang terlihat dalam teks berikut. 145 Nabbi pahara nabbinu Inakke iyukkung arengku Ri Allah Taalah Nabbi Muhammad nabbiku Na battu ulunnajako antu Nabbi Adam ajjari batu Na labbi Uk pammantangngannajako Antu nabbi Hawa ajjari gosse Na alleko Ali Nabi pemelihara rumput laut nabimu Aku bernama yukkung Dari Allah Taalah Nabi Muhammad nabiku Engkau berasal dari kepala Itu Nabi Adam menjadi batu Hanya lebih rambutnya saja Itu nabi Hawa menjadi rumput laut Engkau diambil oleh Ali Larik-larik di atas dikatakan sebagai batang tubuh karena saling berkaitan dan satu rangkaian. Mantra tersebut mengutarakan kata Nabbi „Nabi‟ berkali-kali. Bagian, batang tubuh lebih banyak mengungkapkan metonimi, yakni bahasa kiasan dengan memakai nama atau ciri orang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya. Jika dilihat secara utuh, mantra Gosse tidak terlihat adanya kalimat penutup mantra. Namun, jika dicermati terlihat penggunaan ungkapan sebagai penutup mantra, yakni Na pabarakkako Nabbi Muhammad „diberkati oleh Nabi Muhammad‟. Ungkapan ini sebagai penutup karena dikaitkan dengan kalimat pembuka dan penggunaan kata Allah. Dalam ajaran Islam, penyebutan Allah dalam pengucapan doa sering diiringi oleh mengucap Nabi Muhammad. 146 6) Mantra Bunoanna Jukuka (Pengawetan Ikan) Mantra Bunoanna Jukuka terdiri atas tiga belas larik. Mantra ini merupakan mantra memohon keberkahan atas hasil laut yang diperoleh. Mantra ini terdiri atas tiga susunan, yakni: pembuka, batang tubuh, dan penutup. Pembuka mantra Bunoanna Jukuka sama seperti mantra Gosse, yakni menggunakan salam sebagai awal ucapan mantra. Salam tersebut disambung oleh ucapan yang mengandung unsur sugesti dan berisi penyampaian maksud, seperti terlihat dalam teks berikut. Assalama Alaikum Iyakking jintu areng tojeng-tojengmu Ri Allah Taallah nuing karaengnu (1) „Assalamu Alaikum, Iyakking adalah namumu, Allah ta‟ala adalah Tuhanku. Larik-larik di atas sebagai pembuka karena dimulai salam dan menggunakan kata Iyakking sebagai penekanan maksud dan kata Allah sebagai simbol Sang Maha Penguasa Rezeki. Batang tubuh mantra Bunoanna Jukuka terdiri atas delapan kalimat dengan leksikon teks yang tidak tetap (tidak beraturan). Hal ini terlihat dalam teks berikut. Nabbi Sulaimana nabbinu Inakke iyukkung ampatinroko Nuttinromo naung ri katoang majannannu Rikasorok malannyinnu Ritappere matangkasaknu Nukamma todong tinrona bunting berua Lebbak junnuko – lebbak satinjaiko Nuktambung nukbumbung (2) Nabi Sulaiman nabimu Akulah iyukkung menidurkanmu Tidurlah saja di tempayan ketenanganmu Di kasur empukmu Di tikar bersihmu 147 Seperti juga tidurnya pengantin baru Telah mandi junub – dan telah bersih Bertumpuk dan menggunung Larik-larik di atas menjadi batang tubuh karena berisi tujuan pengharapan dari rezeki yang diperoleh. Bagian ini banyak menggunakan kata metonimi, seperti Nabbi Sulaimana „Nabi Sulaiman‟, I yukkung, ri kasoro‟ „kasur‟, dan ri tappere „tikar‟. Hal ini menunjukkan bahwa mantra ini dikuatkan oleh unsurunsur nama dan analogi-analogi religi. Penutup mantra Bunoanna Jukuka hanya ada dua larik terakhir. Mantra penutup menggunakan analogi gunung Lompabattang dan gunung Bawakaraeang sebagai penguat mantra. Komponen visualisasi dan simbol digunakan sebagai pengharapan agar hasil lautnya berlimpah. Hal ini terlihat pada teks berikut. Kamma todong pattambunnu Lompobattang Nukbumbung kamma todong pabbumbunnu Bobokareang “Bertumpuk seperti gunung Lompobattang yang tinggi, juga bagai gunung Bawakaraeang.” 7) Mantra Appasuluki Kodia (Mengeluarkan yang Jahat) Mantra Appasuluki Kodia „mengeluarkan yang jahat‟ berjumlah sembilan belas larik, yang terbagi menjadi dua larik pembuka, lima belas larik batang tubuh, dan dua larik penutup. Mantra ini memiliki jumlah larik paling banyak dibandingkan dengan mantra Tupakbiring sebelumnya. Mantra ini dianggap mantra pamungkas dari mantra-mantra Tupakbiring sebelumnya karena isinya mewakili semua mantra sebelumnya. Hal ini dapat dianalisis melalui uraian komposisi naratif berikut. Bismillahirrahmanirrahim 148 Kuniakkanngi Abubakara – Umara – Usman – Ali (1) „Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, disamping niatku kepada para sahabat Nabi, Abubakar – Umar – Usman – Ali‟ Larik di atas sebagai pembuka karena memuat unsur salam pembuka berupa kata Basmalah lalu disusul oleh kalimat berita Kuniakkanngi Abubakara – Umara – Usman – Ali „kuniatkan Abubakar – Umar – Usman – Ali‟. Larik-larik ini digunakan sebagai komponen niat agar seluruh keinginan dapat terkabul dan agar hal-hal yang jahat menghindar dari perahu yang ditumpangi. Jadi, mantra pembuka menggunakan simbol agama sebagai tujuan agar pengharapan dapat tercapai. Batang tubuh mantra Appasuluki Kodia „mengeluarkan yang jahat‟ terdiri atas limabelas kalimat. Hal ini terlihat dalam teks berikut. Ammenteng ri sulapak Appakna biseangku Anjagai panraka Ampantamaki bajika Appasuluki kodia Pattantanna Rasulullah Punna nia tausalah atekakna anlaloi Taenami tallasana nakana Allah Taalah Ruhu Ilapi anmmenteng ripoccina biseangku Angjagai panraka Ampamtamai bajika Appasuluki kodia Punna nia tausalah atekakna angkira-kirai biseangku Labboro kamma tongi ceklaya Nasabak Allah Taalah Berdiri di empat bagian penting Dalam perahuku Menjaga yang rusak Memasukkan yang baik Mengeluarkan yang jahat Pelindungnya Rasulullah Kalau ada orang salah niatnya yang melewati 149 Telah hilang hidupnya menurut Allah Taalah Ruh Ilahi berdiri di pusat perahuku Menjaga yang akan rusak Memasukkan yang baik Mengeluarkan yang jahat Kalau ada orang salah niatnya membidik perahuku Mencairlah seperti juga garam terkena air Sebab Allah Taalah Beberapa larik di atas secara komponen memuat unsur niat, yakni niat agar hal baik masuk dan hal jahat pergi dari perahu. Terbukti dari kalimat Punna nia tausalah atekakna anlaloi „kalau ada orang salah niatnya yang melewati‟. Maksudnya, mantra ini berniat mengusir hal yang jahat yang mungkin mendatangi perahu. Komponen lain dalam batang tubuh adalah komponen sugesti. Komponen ini didominasi oleh mitologi, seperti Ammenteng ri sulapa‟ „berdiri di empat bagian penting‟, artinya alam memiliki empat penjuru arah mata angin yang diharapkan menjaga perahu mereka ketika di tengah laut. Contoh mitologi lainnya adalah Ruhu Ilapi anmmenteng ri poccikna biseangku „Ruh Ilahi berdiri di pusat perahuku‟. Maksudnya, segala pertolongan dan kekuatan selalu dalam perlindungan dan milik Allah semata. Mantra ini juga memuat komponen visualisasi dan simbol, seperti pada teks punna nia tausalah atekakna angkirakirai biseangku/ Labboro kamma tongi ceklaya „kalau ada orang salah niatnya membidik perahuku/ mencairlah seperti juga garam‟. Larik ini menvisualisasikan bahwa jika ada gangguan jahat mendatangi perahu mereka, akan lebur dan hilang seperti larutnya garam karena air. Penutup mantra ada dua kalimat, seperti terlihat dalam teks berikut: 150 Barakkah Lailaha Illallah Barakkah Anna Muhammadarrasulullah (3) „Barakkah Lailaha Illallah, Barakkah Anna Muhammadarrasulullah‟ Dua larik di atas sebagai penutup karena memuat unsur penutup, yakni berupa larik akhir. Dikatakan larik akhir karena mengadopsi dari simbol agama Islam bahwa untuk menutup kegiatan dilakukan dengan mengucap syukur atau permohonan kepada Allah dan Nabi Muhammad. Berdasarkan keseluruhan analisis komposisi naratif teks mantra Tupakbiring, ditemukan bahwa mantra ini memiliki komponen-komponen, di antaranya: salam pembuka, niat, sugesti, harapan, visualisasi, simbol, serta penutup. Namun, dari ketujuh mantra tidak semua menggunakan simbol agama Islam sebagai pembuka, seperti mantra pappalakku, Dallekku, Songka Bala, Loloanna Sombalakku, tetapi menggunakan nama bayangan si pembaca mantra. Ada tiga yang menggunakan simbol yakni mantra Gosse, Bunoanna Junuka, dan Appasuluki Kodia. Dari ketujuh mantra tersebut kebanyakan menggunakan komponen sugesti dan visualisasi simbol sebagai penguatan unsur magis dan gaib dalam mantra. Gaya bahasa lebih banyak menggunakan analogi (metaforis) dalam penyampaian dan pengulangan bunyi. Perbandingan komposisi naratif antara mantra Tulembang dengan Tupakbiring ditemukan persamaan, antara lain: secara unsur pembangun komponen menggunakan salam pembuka melalui salam kepada Allah dan penyebutan bayangan si pembaca mantra (yukkung, yakkung, yaccing untuk mantra Tulembang dan yamming untuk Tupakbiring). Persamaan lainnya, 151 keduanya mempunyai judul mantra. Secara isi, komponen sugesti didominasi oleh sentuhan mitologi Nabi, arah mata angin, bulan bintang matahari. Perbedaannya, yakni mantra Tupakbiring menggunakan mitologi gunung di dalam mantranya dan itu disebut di dua mantra dari tujuh mantra yang ada. 5.2.2. Satuan Wacana Naratif Teks Mantra Tupakbiring Satuan wacana naratif teks mantra Tupakbiring, seperti juga mantra Tulembang menekankan unsur waktu, pelaku, dan peristiwa. Kekuatan wacana ini terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu dan cara-cara bercerita yang diatur melalui plot. 1) Mantra Pappalakku (Permohonanku) Mantra Pappalakku digunakan oleh para nelayan tradisional suku Makassar, ketika turun ke laut. Mantra ini mengungkapkan permohonan kepada Allah agar diberi rezeki yang halal, yaitu telur ikan terbang. Mantra ini diawali oleh ungkapan yamming, yang menggambarkan bayangan si pembaca mantra. Permohonan disampaikan kepada yamming agar dapat merasakan manisnya rezeki yang halal dari Allah. Penyampaian mantra ini secara monolog dan dialog. Monolog karena pesapa implisit dan dialog karena ada nama sasaran yang jadi pengungkapan mantra. Penggunaan bahasa analogis dengan sentuhan mitologi. Mantra ini ditujukan kepada yamming dan Allah SWT. 152 2) Mantra Dallekku (Rezekiku) Mantra Dallekku merupakan mantra yang diucapkan pada saat berlayar atau melakukan pelayaran. Mantra ini mengungkapkan pengharapan kepada yamming, agar diberi rezeki yang berlimpah. Pengharapan agar laut tidak kering, ada awan, bintang, gunung Bawakaraeng dan Lompobattang tidak runtuh sehingga rezeki yang diperoleh juga tidak kering atau hilang. Penyampaian mantra berupa monolog dan dialog. Monolog karena tidak ada objek konkret yang diajak bicara (implisit) dan dialog karena ada komunikasi secara batiniah antara penyapa dan pesapa. Hal ini dibuktikan adanya komponen nama sasaran yamming dan kata seruan Oh. Penggunaan bahasa tetap secara analogis dengan sentuhan mitologi dan religi. Mantra ini ditujukan kepada yamming, awan, bintang, gunung Bawakaraeng dan Lompobattang, serta Allah Taalah. 3) Mantra Songka Bala (Tolak Bala) Mantra Songka Bala merupakan mantra yang diucapkan pada saat akan berlayar atau melakukan pelayaran. Mantra ini mengungkapkan permohonan kepada Imanrembassang, sebutan nama untuk kapal Nabi Nuh. Mantra ini merupakan permohonan perlindungan agar diberi kekuatan dan keselamatan dalam melaut. Pengharapan bahwa Imanrembassang mengenali diri pembaca mantra, menyayangi, dan memandangi, menyukai, agar terlindungi dari marabahaya. Mantra ini juga menyampaikan ancaman bahwa jika tidak memenuhi kata-kata pembaca mantra, sama artinya tega kepada Nabi Muhammad. Inilah 153 kekuatan mantra Songka Bala. Pernyataan tersebut mampu memberikan unsur magis bagi pembaca mantra. Penyampaian mantra berupa monolog dan dialog. Monolog karena tidak ada objek konkret yang diajak bicara (implisit) dan dialog karena ada komunikasi secara batiniah antara penyapa dan pesapa. Hal ini dibuktikan adanya komponen nama sasaran dan kata sapaan. Penggunaan bahasa secara analogis dengan sentuhan mitologi dan religi. Mantra ini ditujukan kepada Imanrembassang dan Nabi Muhammad. 4) Mantra Loloanna Sombalakku (Tali Layarku) Mantra Loloanna Sombalakku dibacakan pada saat akan berlayar. Mantra ini digunakan sebagai permohonan keselamatan baik perahu maupun penggunanya. Mantra ini seperti bentuk pantun karena menggunakan persamaan bunyi (rima). Wacana narasi berbentuk sugestif dan disampaikan secara monolog karena penyampaian tidak mengajak interaksi dengan pesapa. Penggunaan bahasa secara metaforis dan bersifat terikat. 5) Mantra Gosse (Rumput Laut) Mantra Gosse merupakan mantra yang dibacakan pada saat mencari rumput laut. Mantra ini diawali oleh salam dan dilanjut pernyataan memanggil rumput laut bahwa rumput laut ciptaan Allah dan dipelihara Nabi. Lalu rumput laut diibaratkan uk „rambut‟ berasal dari kepala, Nabi Hawa, diambil Ali, dan diberkahi Nabi Muhammad. Berdasarkan ungkapan tersebut mantra ditujukan kepada rumput laut, yukkung, Allah, Nabi Adam, Hawa, dan Ali, serta Nabi Muhammad. Suasana 154 sakral dan khidmat. Pelibat wacana adalah orang yang ditetuakan/pinati. Sarana wacana berupa monolog dan dialog. Monolog karena pesapa implisit dan dialog karena ada interaksi komunikasi batiniah antara penyapa dan pesapa. Penggunaan bahasa bersifat metaforis dengan sentuhan mitologi dan religi. 6) Mantra Bunoanna Jukuka (Pengawetan Ikan) Mantra Bunoanna Jukuka merupakan mantra yang diucapkan pada saat menangkap ikan terbang. Mantra ini mengungkapkan hubungan Iyakking dan iyukkung yang diibaratkan hubungan pasangan pengantin yang diciptakan Allah dan umat Nabi Sulaiman. Pelibat wacana ini adalah para nelayan yang menangkap ikan terbang. Mantra ini ditujukan kepada Iyakking, Iyukkung, Allah, Nabi Sulaiman, gunung Bawakaraeang dan Lompobattang. Sarana wacana berupa monolog dan dialog. Monolog karena pesapa berbentuk abstrak dan dialog karena ada salam pembuka dan menggunakan kata sapaan. Penggunaan bahasa bersifat metaforis dengan sentuhan mitologi. 7) Mantra Appasuluki Kodia (Mengeluarkan yang Jahat) Mantra Appasuluki Kodia merupakan mantra yang dibaca pada saat berlayar atau melaut. Mantra ini menceritakan permohonan dan berhadap mendapatkan safaat dari empat sahabat Nabi (Abubakar – Umar – Usman – Ali), yang sebelumnya diawali dengan Basmalah. Empat sahabat tadi dianalogikan dengan berdiri di empat penjuru perahu agar menjaga perahu tidak rusak, didatangi kebaikan dan dihindarkan dari kejahatan. Dengan pengharapan, jika ada 155 hal jahat dapat larut seperti garam dan ditutup Barakkah Lailaha Illallah/ Barakkah Anna Muhammadarrasulullah. Mantra ini ditujukan kepada Abubakar – Umar – Usman – Ali, Rasulullah, Allah, perahu. Sarana wacana berupa monolog. Penggunaan bahasa terlihat analogis (metaforis) dengan sentuhan mitologi dan religi. Wacana ini bersifat bebas dalam suku kata, baris, ataupun persajakan. 5.2.3. Karakteristik Kesatuan Teks Mantra Tupakbiring Pembahasan karakteristik kesatuan teks mantra Tupakbiring sama dengan pembahasan mantra Tulembang. Karakteristik kesatuan dianalisis melalui rima, diksi, paralelisme, majas, serta simbol. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan karakteristik kesatuan antara mantra Tulembang dengan Tupakbiring 1) Mantra Pappalakku Permainan bunyi (rima) mantra Pappalakku diambil beberapa contoh dengan ditandai oleh huruf tebal. Pasangan bunyi tidak berupa kalimat karena susunan mantra ini pada umumnya dua kata (larik pendek). Hal ini tampak pada larik Naku tippa todong angkarannuangi angkate„neangi „agar cepat juga kurasakan manisnya rezeki itu‟. Di dalam larik tersebut terdapat rima dengan bunyi kata ng yang didahului oleh vokal o untuk todong dan ng untuk angkarannuangi didahului oleh vokal a dan diakhiri oleh vokal i, serta ng untuk angkatekneangi didahului oleh vokal a dan diakhiri oleh vokal i biasanya objek mengacu pada rezeki. Rima pada larik tersebut beriringan dan terdapat pada kata ke-3 sampai 5. Rima juga tampak pada larik-larik yang menggunakan preposisi I 156 raya – I lau – I timborok – I yara – I rate – I rawa „di Timur – di Barat – di Selatan – di Utara – di atas – di bawah‟. Rima ini menggunakan permainan bunyi i di awal kata. Rima-rima tersebut tergolong rima tidak sempurna karena kata-kata tidak sama dan rima dalam karena dalam satu larik. Mantra Pappalakku menggunakan diksi denotasi seperti pada kata dallek „rezeki‟. Namun, ada beberapa makna konotasi seperti pada kata yamming. Kata ini tidak ada makna harfiah, namun kata ini merupakan bayangan dari pembaca mantra sebagai sugesti bagi penyapa dan pesapa. Hal ini didukung juga oleh larik kunyik-kunyik - eja-eja – tekne-tekne, minnyak-minnyak „kuning-kuning..-merahmerah..-manis-manis..-minyak-minyak‟. Larik ini dimaknai sebagai telur ikan terbang yang memiliki nilai ekonomis tinggi bagi masyarakat nelayan tradisional suku Makassar. Hal ini menunjukkan bahwa mantra ini mengombinasikan antara diksi denotasi dengan konotasi untuk penekanan agar mantra memiliki nilai magis bagi penyapa dan pesapa. Paralelisme dalam mantra Pappalakku tergolong paralelisme berselang. Hal ini dibuktikan dalam teks berikut. Oh yamming palakkangak (1) Na nupabatuanga (2) Dallek hallalakku battu ri Allah Taalah (3) Oh yamming pabattuangma (4) „Oh yamming mohonkanlah (1) Dan sampaikanlah (2) Rezeki halalku dari Allah Taalah (3) Oh yamming sampaikanlah‟ (4) 157 Paralelisme larik di atas merupakan paralelisme berselang karena diselingi dengan larik lain. Larik tersebut menggunakan kata Oh yamming di larik pertama dan diulang di larik keempat. Hal ini juga didukung oleh larik berikutnya. Na kutippa todong angkarannuangi angkatekneangi (7) O yamming kiokkangnga dallekku (8) I raya – I lau – I timborok – I yara – I rate – I rawa (9) Na kualle kupantamak ri “Ha” lompoku (10) „Agar cepat juga kurasakan manisnya rezeki itu Oh yamming panggilkan rezekiku Di Timur – di Barat – di Selatan – di Utara – di atas – di bawah Lalu kumasukkan ke lubuk hatiku yang paling dalam/ peti yang besar‟ Berdasarkan analisis di atas, paralelisme di dalam mantra ini diselingi oleh 2 larik lain. Hal ini tampak, seperti dalam teks berikut. Na nupabatuangak (2) Dallek hallalakku battu ri Allah Taalah (3) Oh yamming pabattuangma (4) Na nupakangkangngimma tippa-tippa dallekku (5) „Dan sampaikanlah Rezeki halalku dari Allah Taalah Oh yamming sampaikanlah Dan berikanlah secepatnya rezekiku dalam genggamanku‟ Majas yang tertera dalam mantra ini adalah majas metonimia. Mantra ini menggunakan nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal lain dengan penggantinya, seperti penggunaan kata yamming. Kata ini tidak punya arti, tetapi punya nilai magis bagi masyarakat suku Makassar, khususnya bagi nelayan tradisional. Simbol dalam mantra ini menggunakan kiasan berupa telur ikan terbang yang dianalogikan sebagai kunyik-kunyik - eja-eja – tekne-tekne, minnyakminnyak „kuning-kuning-merah-merah-manis-manis-minyak-minyak‟. Simbol 158 tersebut dimunculkan karena faktor lingkungan. Kebanyakan hasil laut di wilayah tersebut adalah ikan terbang yang bernilai ekonomis tinggi dan sebagai simbol kemakmuran. Pembentukan simbol dalam mantra ini sebagai ucapan penguat sehingga membentuk unsur magis atau gaib. 2) Mantra Dallekku Permainan bunyi (rima) mantra Dallekku sama seperti mantra Pappalakku, yakni didominasi konsonan ng. Hal ini tampak pada larik Tumbangpi bobokaraeng/ Natumbang todong dallekku „Nanti runtuh gunung Bawakaraeng/ Barulah runtuh juga rezekiku‟. Rima dalam mantra ini cenderung aliterasi, yakni permainan bunyi konsonan. Hal ini didukung oleh larik Oh yamming esappi tamparanga „Oh yamming nanti kering laut‟. Mantra Dallekku menggunakan diksi denotasi seperti kata Dallek „rezeki‟, Rampang „awan‟, bintoengnga „bintang‟, bobokaraeang „gunung Bawakaraeang‟, dan lompobattang „gunung Lompobattang‟. Namun, tetap ada makna konotasi seperti pada kata yamming. Kata ini tidak ada makna harfiah, namun kata ini merupakan bayangan dari pembaca mantra sebagai sugesti bagi penyapa dan pesapa. Hal ini menunjukkan bahwa mantra ini mengombinasikan antara diksi denotasi dengan konotasi untuk penekanan agar mantra memiliki nilai magis bagi penyapa dan pesapa. Paralelisme dalam mantra Dallekku tergolong paralelisme berselang. Hal ini dibuktikan dalam teks berikut. Oh yamming esappi tamparanga (1) Naesa todong dallekku (2) Taenapa rammang rilangika (3) Nataena todong dallekku (4) 159 Labbusu‟pi bintoengnga (5) Na labbusu’ todong dallekku ri Allah Taalah (6) Tumbangpi bobokaraeng (7) Natumbang todong dallekku (8) Runtungpi lompobattang (9) Naruntung todong dallekku Battu ri Allah Taalah (10) „Oh yamming nanti kering laut (1) Barulah kering juga rezekiku (2) Nanti tidak ada awan di langit (3) Baru tidak ada juga rezekiku (4) Nanti habis bintang di langit (5) Barulah habis juga rezekiku dari Allah Taalah (6) Nanti runtuh gunung Bawakaraeng (7) Barulah runtuh juga rezekiku (8) Nanti runtuh gunung Lompobattang (9) Barulah runtuh juga rezekiku dari Allah Taalah‟ (10) Paralelisme kalimat di atas merupakan paralelisme berselang karena diselingi oleh kalimat lain. Kalimat tersebut menggunakan konjugasi na di larik kedua dan diulang di larik keempat sampai kesepuluh. Berdasarkan analisis, paralelisme di dalam mantra ini merupakan penekanan atau analogi dengan paralelisme berselang. Majas yang tertera dalam mantra ini adalah majas metonimia. Mantra ini menggunakan pemakaian nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal lain dengan penggantinya, seperti penggunaan kata yamming. Kata ini tidak punya arti, tetapi punya nilai magis bagi masyarakat suku Makassar, khususnya bagi nelayan tradisional. Selain itu, digunakan majas perumpamaan dengan menggunakan kata „nanti‟ dan dilanjut oleh kata „baru‟ Simbol dalam mantra ini menggunakan ikonis „gumpalan awan‟, „kerumunan bintang‟, „membumbung gunung Bawakaraeng‟, dan „membumbung gunung Lompobattang‟. Hal ini dianalogikan sebagai rezeki. Simbol tersebut juga 160 mempunyai arti penting bagi masyarakat nelayan karena berkaitan dengan wilayah teritorial hasil laut yang dicari. Pembentukan simbol dalam mantra ini sebagai sugesti sehingga membentuk unsur magis atau gaib. 3) Mantra Songka Bala Permainan bunyi perulangan kata mantra Songka Bala sama seperti mantra Pappalakku dan Dallekku, yakni didominasi oleh konsonan ng. Hal ini tampak pada kalimat Assengngak na kuassengtongko „kenalilah diriku agar kumengenali juga dirimu‟ dan Jangjangak na kujangjang tongko „pandanglah diriku agar kudapat juga memandangmu‟. Jadi, rima dalam mantra ini, yakni permainan bunyi konsonan. Mantra Songka Bala menggunakan diksi denotasi seperti kata Dallek „rezeki‟, Dongkokanna „perahu‟, Muhammad. Namun, tetap ada makna konotasi seperti pada kata Imanrembassang. Kata ini berasal dari kata dasar rembasak „terobos‟, manrembassang memiliki sifat selalu menerobos sehingga dikatakan sebagai „Sang Penerobos‟. Namun demikian, kata Imanrembassang ini disimbolkan dengan perahu Nabi Nuh sebagai sugesti bagi penyapa dan pesapa. Hal ini menunjukkan bahwa mantra ini mengombinasikan antara diksi denotasi dengan konotasi untuk penekanan agar mantra memiliki nilai magis bagi penyapa dan pesapa. Paralelisme dalam mantra Songka Bala tergolong paralelisme berselang. Hal ini dibuktikan dalam teks berikut. Eh Imanrembassang (1) Dongkokanna nabbi Nuhung (2) Eh Imanrembassang (3) 161 „Eh Imanrembassang (1) Perahu yang digunakan Nabi Nuh (2) Eh Imanrembassang (3) Paralelisme kutipan larik di atas merupakan paralelisme berselang karena diselingi oleh larik lain. Larik tersebut menggunakan gramatikal yang sama dan menggunakan kata seru eh di kalimat 1 dan diulang di kalimat 3. Berdasarkan analisis, paralelisme di dalam mantra ini merupakan mantra paralelisme berselang. Namun demikian, mantra ini juga menggunakan paralelisme struktur dan paralelisme perulangan kata. Hal ini tampak pada teks berikut. Na nuboyangak dallekku (9) Na nusongka sikamma bala nantattabayya (10) „Dan carikanlah rezekiku (9) Dan lindungilah dari segala marah bahaya yang akan datang‟ (10) Paralelisme struktur kalimat di atas hampir sama secara makna. Penekanan larik di atas bukan pada teks, tetapi pada makna yang tersirat. Dikatakan paralelisme perulangan karena di atas ada pengulangan konjungsi na „dan‟. Majas di dalam mantra ini adalah majas metonimia. Mantra ini menggunakan pemakaian nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal lain dengan penggantinya, seperti penggunaan kata Imanrembassang. Kata ini punya arti sebagai „penerobos‟ dan punya nilai magis bagi masyarakat suku Makassar, khususnya bagi nelayan tradisional. Kata ini merupakan simbol kekuatan dan keselamatan, serta kekokohan perahu. Nama tersebut diambil dari perahu yang dipercaya punya Nabi Nuh. 162 Simbol dalam mantra ini menggunakan ikonis „Muhammad‟sebagai orang disayangi oleh Allah dan Imanrembassang sebagai kekuatan sang penerobos. Simbol tersebut mempunyai arti penting bagi masyarakat nelayan karena berkaitan dengan keselamatan dan Muhammad sebagai nama Nabi yang ditugaskan oleh Allah sebagai juru selamat. 4) Mantra Loloanna Sombalakku Permainan bunyi (rima) mantra Loloanna Sombalakku sama seperti pantun. Hal tersebut terlihat jumlah suku kata tiap baris tetap dalam pola persajakan tiap baitnya. Hal ini terlihat dalam teks berikut. Tepokpi anne terak-terasakku (1) Natepok todong lekok gulingku (2) Napolongpa bonggangku (3) Napolong todong bongga gulingku (4) Natepok todong baukku (5) Tepokpi paling-palingku (6) Tappukpi nyawaku (7) Natappuk todong loloanna sombalakku (8) „Nanti patah tulang keringku (1) Baru patah juga daun kemudiku (2) Nanti patah pahaku (3) Baru patah pula batang kemudiku (4) Nanti patah lenganku (5) Baru patah juga tiang layarku (6) Nanti putus nyawaku (7) Baru putus juga tali layarku (8) Rima di dalam mantra di atas selain berbentuk pantun, juga diselingi oleh sebuah kata kiasan dan dipenuhi oleh perulangan. Munculnya kiasan membuat bunyi menjadi teratur dan menjadikan hubungan antar pasangan kata mengalami pemadatan. Hal ini tidak terlihat di dalam mantra-mantra sebelumnya. 163 Mantra Loloanna Sombalakku menggunakan diksi denotasi. Hal ini menunjukkan bahwa mantra ini mempunyai penekanan dalam hal nilai magis bagi penyapa dan pesapa. Misalnya, Tepokpi paling-palingku „nanti patah lenganku‟/ Natepok todong baukku „baru patah juga tiang layarku‟ / Tappukpi nyawaku „nanti putus nyawaku‟ /Natappu todong loloanna sombalakku „baru putus juga tali layarku‟. Paralelisme dalam mantra Loloanna Sombalakku tergolong paralelisme struktur dan perulangan frasa. Hal ini terlihat dalam teks di atas, bahwa tiap kalimat mempunyai struktur gramatikal yang sama, baik sebagian maupun keseluruhan. Dikatakan paralelisme perulangan karena terdapat perulangan kata dan frasa pada posisi yang sama. Majas di dalam mantra ini adalah majas metafora dan perumpamaan. Mantra ini menggunakan metafora untuk konkretisasi makna larik sebelumnya, seperti halnya pantun. Majas mantra ini menggunakan partikel ‟-pi„ „nanti‟ dan di larik berikutnya menggunakan konjungsi „na-„ „baru‟. Simbol di dalam mantra ini menggunakan analogi, seperti: „tulang keringku‟ diumpamakan „daun kemudi‟, „pahaku‟ diumpamakan „batang kemudi‟, dan seterusnya. 5) Mantra Gosse Permainan bunyi (rima) mantra Gosse didominasi oleh kata nabbi. Hal ini tampak pada kalimat Nabbi pahara nabbinu „Nabi pemelihara rumput laut Nabimu‟ dan Nabbi Muhammad nabbiku „Nabi Muhammad Nabiku‟. Rima dalam mantra ini merupakan rima akhir dan rima dalam. Rima akhir karena 164 mantra ini menggunakan suku kata terakhir yang mempunyai bunyi sama. Rima dalam karena terdapat persamaan bunyi dalam satu larik (kalimat). Mantra Gosse didominasi oleh diksi majas, yakni pemakaian kata melebihi makna harfiah yang lazim, seperti kata yukkung „Tuhan‟, batu „batu‟. Kata yukkung tidak ada makna harfiah, tetapi hanya sebagai bayangan bagi pembaca mantra untuk sugesti. Kata ulu „kepala‟ dimaknai bukan sebagai makna harfiah tetapi mengarah kepada asal tumbuh dari rumput laut. Kepala dianalogikan sebagai tempat tertinggi karena berkaitan dengan nilai. Paralelisme dalam mantra Gosse tergolong paralelisme berselang dan perulangan. Hal ini dibuktikan dalam teks berikut. Ri Allah Taalah (3) Nabbi pahara nabbinu (4) Inakke iyukkung arengku (5) Ri Allah Taalah (6) „Dari Allah Taalah (3) Nabi pemelihara rumput laut nabimu (4) Aku bernama yukkung (5) Dari Allah Taalah‟ (6) Paralelisme mantra di atas merupakan paralelisme berselang karena diselingi oleh dua kalimat lain. Kalimat tersebut menggunakan gramatikal yang sama dan menggunakan preposisi/kata depan ri- pada kalimat 1 dan diulang pada kalimat 3. Dikatakan perulangan karena menggunakan frasa yang sama. Berdasarkan analisis, paralelisme di dalam mantra ini merupakan mantra paralelisme berselang dan perulangan. Namun, mantra ini juga tampak paralelisme struktur dan perulangan. Hal ini terlihat pada teks berikut. Nabbi Muhammad nabbiku (7) Nabattu ulunnajako antu (8) 165 Nabbi Adam ajjari batu (9) Nalabbi uk pammantangngannajako (10) Antu nabbi Hawa ajjari gosse (11) „Nabi Muhammad Nabiku (7) Engkau berasal dari kepala (8) Nabi Adam menjadi batu (9) Hanya lebih rambutnya saja (10) Itu nabi Hawa menjadi rumput laut‟ (11) Paralelisme struktur mantra di atas sama secara makna. Penekanan larik bukan pada teks tetapi pada makna yang tersirat. Dikatakan paralelisme perulangan karena di atas ada pengulangan kata nabbi „Nabi‟. Majas di dalam mantra ini adalah majas metonimia. Mantra ini memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal lain dengan penggantinya, penggunaan kata yukkung. Kata ini digunakan sebagai sapaan kepada yang dikeramatkan dan punya nilai magis bagi masyarakat suku Makassar, khususnya bagi nelayan tradisional. Kata ini merupakan simbol bayangan pembaca mantra. Contoh lain kata ‟labbi uk najako „lebih rambutnya saja‟. Kata ini menegaskan pada ciri „rumput laut‟. Simbol di dalam mantra ini menggunakan ikonis irapang, yukkung, ulu „kepala‟, dan batu „batu‟. Simbol tersebut mempunyai arti penting bagi masyarakat nelayan karena berkaitan dengan rumput laut yang segar dan bernilai ekonomis tinggi. 6) Mantra Bunoanna Jukuka Permainan bunyi (rima) mantra Bunoanna Jukuka merupakan rima alterasi karena didominasi oleh konsonan ng. Hal ini tampak pada kalimat Iyakking jintu areng tojeng-tojengnu „iyakking itu nama sesungguhmu‟. Tergolong juga rima 166 akhir karena setiap kalimat menggunakan vokal u pada akhir katanya. Jadi, rima dalam mantra ini adalah rima akhir dan rima alterasi. Mantra Bunoanna Jukuka didominasi oleh diksi majasi, yakni pemakaian kata melebihi makna harfiah yang lazim, dan diksi konotasi. Misalnya, kata iyakking, iyukkung, ampatinroko „menidurkanmu‟, dan Rikasoro‟ malannyinnu „di kasur empukmu‟, dan sebagainya. Kata-kata tersebut tidak ada makna harfiah atau makna sebenarnya tetapi sebagai penekanan sugesti. Paralelisme dalam mantra Gosse tergolong paralelisme berselang, struktur, dan perulangan. Hal ini dibuktikan dalam teks berikut. Nuttinromo naung ri katoang majannannu (6) Ri kasorok malannyinnu (7) Ri tapperek matangkasa‟nu (8) Nukamma todong tinrona bunting berua (9) Tidurlah saja ditempayan ketenanganmu (6) Di kasur empukmu (7) Di tikar bersihmu (8) Seperti tidurnya pengantin baru (9)‟ Paralelisme mantra di atas merupakan paralelisme berselang karena diselingi oleh dua kalimat lain, yang diwakili kata Nuttinromo dan Nukamma. Larik tersebut menggunakan gramatikal yang sama dan menggunakan suku kata Nu di larik 6 dan diulang di larik 9. Dikatakan perulangan karena menggunakan frasa yang sama. Namun, tampak paralelisme bentuk, seperti larik baris 7 dan 8 yang menggunakan kata ri kasorok lalu dilanjut kata ri tapperek pada kalimat selanjutnya. Paralelisme bentuk karena kalimat di atas hampir sama secara makna. Penekanan kalimat di atas bukan pada teks, tetapi pada makna yang tersirat. 167 Majas yang tertera dalam mantra ini adalah majas metonimia dan metafora. Mantra ini menggunakan majas metonimia karena memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal lain dengan penggantinya, seperti penggunaan kata iyakking dan yukkung. Secara leksikal kata ini tidak mempunyai arti, tetapi secara pragmatis sebagai sapaan. Kedua kata di atas punya nilai magis bagi masyarakat nelayan tradisional suku Makassar, khususnya bagi nelayan. Kata ini merupakan simbol bayangan pembaca mantra. Majas metafora terlihat sebagai perbandingan, misalnya nukamma todong tinronu bunting berua kalimat ini merupakan rayuan atau bujukan kepada ikan terbang agar mereka datang dengan tenang. Dengan kata lain, semakin banyak ikan terbang yang datang semakin banyak rezeki. Simbol dalam mantra ini menggunakan ikonis iyakking, yukkung, Lompobattang „gunung Lompobattang, dan Bobokareang „gunung Bawakareang‟. Simbol tersebut mempunyai arti penting bagi masyarakat nelayan karena kemana pun nelayan mencari ikan, asal menyebut nama gunung Bawakaraeng dan Lompobattanng pasti mendapatkan hasil yang memadai. 7) Mantra Appasuluki Kodia Permainan bunyi (rima) mantra Appasuluki Kodia lebih banyak menggunakan rima asonansi karena didominasi oleh vokal a. Hal ini tampak pada kalimat: Anjagai panraka (5) Ampantamaki bajika (6) Appasuluki kodia (7) „Menjaga yang rusak (5) Memasukkan yang baik (6) Mengeluarkan yang jahat‟ (7) 168 Asonansi dalam mantra ini lebih didominasi oleh persamaan bunyi di awal dan di akhir. Asonansi dalam mantra ini menimbulkan efek halus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Badrun (2014), bahwa asonansi lebih memberikan efek halus dari pada aliterasi. Hal ini berkaitan dengan lambang rasa dan selera pembaca mantra. Mengingat mantra ini adalah mantra pamungkas, maka rima yang dibangun terlihat berat karena menggunakan vokal a. Ditegaskan Badrun (2014) bahwa vokal a menggambarkan perasaan gundah, sedih, dan murung. Jika dikaitkan dengan mantra ini terlihat mantra ini merupakan upaya pengusiran hal jahat yang akan mendatangi para nelayan yang sedang melaut. Hal ini karena mantra ini diucapkan ketika sudah berada di laut (saat pelayaran). Mantra Bunoanna Jukuka didominasi oleh diksi denotasi. Hal ini menunjukkan bahwa mantra ini mempunyai penekanan dalam hal nilai magis bagi penyapa dan pesapa. Diksi dalam mantra ini lebih lugas seperti yang disampaikan Badrun (2014) bahwa sastra lisan cenderung prosesnya lebih cepat dan tidak berulang. Paralelisme dalam mantra Bunoanna Jukuka tergolong paralelisme bentuk. Hal ini dibuktikan dalam teks berikut. Anjagai panraka (5) Ampantamaki bajika (6) Appasuluki kodia (7) „Menjaga yang rusak (5) Memasukkan yang baik (6) Mengeluarkan yang jahat‟ (7) Paralelisme mantra di atas merupakan paralelisme bentuk karena larik hampir sama secara makna, misalnya an jaga i, amp antama i, appa suluk i. 169 Penekanan larik bukan pada teks, tetapi lebih pada makna yang tersirat. Hal ini juga didukung oleh larik kedelapan dan sembilan berikut. Pattantanna Rasulullah (8) Punna nia tausalah atekakna anlaloi (9) „Pelindungnya Rasulullah (8) „Kalau ada orang salah niatnya, lewat begitu saja‟ (9) Majas di dalam mantra ini adalah majas metonimia dan metafora. Mantra ini menggunakan majas metonimia karena memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal lain dengan penggantinya. Hal ini terlihat dalam penggunaan kata Kuniakkanngi Abubakara – Umara – Usman – Ali „Kuniatkan Abubakar – Umar – Usman – Ali‟. Kata ini punya nilai magis bagi masyarakat suku Makassar, khususnya bagi nelayan tradisional, mengingat masyarakat sebagian besar muslim dan mempercayai kesaktian empat sahabat Nabi Muhammad. Empat sahabat tersebut merupakan pilar sebagai simbol kekuatan perjuangan Nabi Muhammad dalam berdakwa menyebarkan agama Islam. Mantra tersebut diucapkan untuk menegaskan bahwa dalam melaut agar diberi kekuatan dan keselamatan sampai pulang dengan selamat. Simbol dalam mantra ini menggunakan ikonis, seperti: mantra-mantra Tupakbiring, yamming, dan iyukkung sebelumnya. Simbol tersebut mempunyai arti penting bagi masyarakat nelayan karena berkaitan dengan permohonan keselamatan, kekuatan, dan kemakmuran bagi masyarakat setempat. Kajian terhadap struktur teks mantra Tulembang dan Tupakbiring, dianalisis dapat menggunakan komposisi naratif teks, satuan wacana naratif teks, dan karakteristik kesatuan teks. Komposisi naratif terbangun dari struktur teks 170 yang terdiri atas pembuka, batang tubuh, dan penutup. Satuan wacana naratif teks terbangun dari rangkaian tuturan yang menekankan unsur melalui penonjolan tokoh dan unsur penting, seperti: unsur waktu, pelaku, dan peristiwa dengan maksud memperluas pengetahuan pesapa. Kekuatan wacana ini terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu dan cara-cara bercerita yang diatur melalui plot. Karakteristik kesatuan teks terbangun dari permainan bunyi, permainan kata, paralelisme, dan majas, serta simbol yang muncul. Komposisi naratif mantra Tulembang mempunyai susunan pembuka, batang tubuh, dan penutup. Mantra ini didominasi oleh komponen salam pembuka, nama sasaran, sugesti, visualisasi, dan simbol. Salam pembuka berupa salam kepada Allah dan Nabi Muhammad yang merupakan unsur pengakuan dan permohonan perlindungan Allah penguasa semesta, dan harapan yang ingin dicapai. Nama sasaran digunakan dengan tujuan tercapai keinginan sekaligus menambah kekuatan magis mantra. Komponen sugesti menjadi daya magis agar penyapa dan pesapa lebih meyakini bahwa mantra yang diucapkan ada unsur gaib dan aneh. Komponen visualisasi dan simbol digunakan untuk meyakinkan pesapa dan sebagai interaksi batiniah agar mantra mempunya daya magis. Penggunaan bahasa didominasi oleh analogis (metafora) dengan sentuhan mitologi dan religi. Wacana naratif, mantra Tulembang didominasi oleh wacana sugestif dengan suasana sakral dan khidmat sebagai sarana berupa percakapan monolog dan dialog. Sifat mantra cenderung lebih bebas dalam suku kata, baris, maupun persajakan. 171 Karakteristik kesatuan teks mantra Tulembang didominasi oleh rima tidak sempurna dan dalam, serta rima alterasi. Mantra ini didominasi oleh konsonan ng dalam setiap kalimatnya. Pada mantra tertentu menggunakan rima asonansi. Artinya, mantra Tulembang memperhatikan aspek bunyi dengan pasangan suku kata yang sama dan cenderung didominasi oleh vokal a dan u yang memberikan efek perlambangan pengharapan yang tinggi. Diksi yang menonjol berbentuk denotasi. Paralelisme yang terbangun berupan paralelisme bentuk dan semantis. Majas yang terbentuk didominasi oleh majas metonimia. Simbol yang menonjol adalah nama Nabi, arah mata angin, dan bulan bintang. Komposisi mantra Tupakbiring tidak mempunyai salam pembuka dan penutup secara Islami. Kekuatan mantra terletak pada muatan isi (makna). Komponen yang sering muncul hampir sama dengan mantra Tulembang, yakni komponen nama sasaran, sugesti, dan visualisasi dan simbol. Namun, penekanan dalam mantra ini adalah komponen nama sasaran dan tujuan. Penggunaan bahasa berupa metaforis (analogis) dengan sentuhan mitologi. Wacana naratif mantra Tupakbiring didominasi oleh wacana sugestif dengan suasana sakral dan khidmat. Sarana wacana lebih banyak dialog. Sifat mantra lebih terikat dalam hal suku kata, baris, maupun persajakan. Karakteristik kesatuan teks mantra Tupakbiring didominasi oleh rima tidak sempurna dan dalam, serta rima alterasi. Mantra ini didominasi oleh konsonan ng dalam setiap kalimatnya. Pada mantra tertentu menggunakan rima asonansi. Mantra Tupakbiring memperhatikan aspek bunyi dengan pasangan suku kata yang sama dan didominasi oleh vokal u yang memberikan efek berat, yang berarti 172 pelambangan rasa gundah atau pengharapan yang tinggi. Diksi yang menonjol berbentuk denotasi dan majasi. Paralelisme berupa paralelisme berselang dan struktur. Majas yang terbentuk didominasi oleh majas metonimia, metafora, dan perumpamaan. Namun, mantra ini lugas karena tiap larik tergolong larik pendek. Simbol yang menonjol adalah nama Nabi, nama bayangan, gunung, serta arah mata angin. 173 BAB VI FUNGSI DAN VARIASI TEKS MANTRA TULEMBANG DAN TUPAKBIRING Fungsi dalam sastra lisan bergantung pada kondisi, sikap, dan pandangan masyarakat setempat. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat intelektual masyarakat (Badrun, 2014). Secara teoretis, fungsi mantra seperti yang dikembangkan oleh Bascom (http//www.jstor.org/stable/536411/accessed :20/07/2011), yakni sebagai bentuk hiburan; alat pengesahan pranata-pranata atau lembaga-lembaga kebudayaan; alat pendidikan anak; dan alat pemaksa dan pengawas agar normanorma masyarakat selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya. Dalam konteks mantra Tulembang dan Tupakbiring, fungsi mantra terbagi menjadi fungsi teologi, sosial, dan budaya. Variasi teks dikatakan sebagai proses penciptaan. Menurut Badrun (2014), dalam sastra lisan, khususnya mantra bergantung pada kebiasaan masyarakat pemilik tradisi. Secara teoritis, proses penciptaan mengandung unsur hafalan, pola rima, dan formulaik. Dikatakan hafalan karena mantra diturunkan dengan syarat tertentu dan pola rima karena mantra penekanan pada permainan bunyi. Dikatakan formulaik karena mantra diberikan dengan pembiasaan diri untuk mendengar. 6.1. Fungsi Teologi 6.1.1 Fungsi Teologi Teks Mantra Tulembang Mantra Tulembang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Pembacaan mantra ini disakralkan dengan menggunakan perhitungan bulan atau 173 174 disebut bilang appak-appak/pitika. Para petani tradisional suku Makassar memadukan perhitungan bilang appak-appak/pitika dan nama-nama bulan Islam, misalnya Muharram, Shafar, Rabi‟al Awwal. Robi‟uts Tsani/Akhir, Jumadil Ula/Awwal, Jumadil Akhir, Rojab, Sya‟ban, Romadhon, Syawwal, Dzulqo‟dah, dan Dzulhijjah. Para petani tradisional suku Makassar melakukan upacara ritual dan pembacaan mantra-mantra mempunyai aturan-aturan, mekanisme dan proses yang telah ditentukan secara adat yang harus dipatuhi. Pelanggaran ketentuan akan merusak kosmologi kehidupan para petani tradisional di Pattallassang, Kabupaten Gowa. Hal ini disebabkan oleh adanya pandangan kosmologi bahwa perilaku keseharian adalah bagian dari ritual yang tidak terpisahkan dengan upacara ritual yang dilakukan dalam setiap fase bertani. Siklus aktivitas petani tradisional suku Makassar tidak mengenal keterputusan ritual, tetapi merupakan suatu rangkaian ritual yang berkesinambungan dan totalitas. Artinya, upacara ritual dilakukan dalam waktu-waktu tertentu sesuai dengan ketetapan adat, tetapi pada dasarnya dimensi filosofisnya mewarnai keseluruhan perilaku dan aktivitas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Gambar 6.1 Melihat hari baik dengan menggunakan Pitika yang dipercayai oleh para petani dan para nelayan 175 Gambar 6.1 di atas digunakan oleh masyarakat Bugis-Makassar baik petani maupun nelayan dalam melihat waktu yang baik dan buruk. Bulan bagi kehidupan masyarakat Bugis-Makassar bukan hanya sekedar dihayati sebagai ratu malam yang memberikan cahaya terang dalam kegelapan, tetapi dipandang pula sebagai pedoman yang sangat bermanfaat dalam proses kegiatan atau aktivitas hidup. Menurut petani Baso Daeng Sila bahwa konsepsi peredaran bulan masyarakat Bugis-Makassar mengikuti kalender Islam. Satu tahun dibagi ke dalam 12 bulan. Dalam setiap bulan ada hari-hari tertentu yang dianggap naas atau tidak baik untuk melakukan segala bentuk kegiatan. Hari-hari naas tersebut adalah sebagai berikut: (1) hari keduapuluh delapan pada bulan Muharram, (2) hari kesepuluh pada bulan Safar, (3) hari kesepuluh pada bulan Rabiul Awal, (4) hari keempat pada bulan Rabiul Akhir, (5) hari kedua pada bulan Jumadil Awal, (6) hari keduapuluh pada bulan Jumadil Akhir, (7) hari keduabelas pada bulan Rajab, (8) hari keduapuluh sembilan pada bulan Sa'ban, (9) hari keduapuluh tujuh pada bulan Ramadhan, (10) hari keduapuluh delapan pada bulan Zulkaidah, dan (11) Hari kedelapan terbitnya bulan Zulhijjah. Dalam pergeseran bulan dalam setahun, leluhur orang Bugis-Makassar mengenal pula pengetahuan tentang pergeseran haluan kepala naga dalam setiap bulan. Dalam pada itu naga adalah binatang hayal yang dianggap sakral dan dipercaya selalu berubah haluan 4 kali dalam satu bulan. Berkenaan dengan itu, pantang bagi siapapun juga untuk berhadapan dengan kepala naga pada waktu melakukan segala bentuk kegiatan dalam hidupnya. 176 Sehubungan dengan arah kepala naga, leluhur orang Bugis-Makassar tidak menjelaskannya lebih lanjut, akan tetapi ada arah-arah tertentu bagi orang BugisMakassar yang menjadi pedoman untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari. Pada bulan Muharram, Safar, dan Rabi'ul Awal arah yang dijadikan pedoman adalah barat daya. Pada bulan Rabi'ul Akhir. Ju-madil Awal, dan Jumadil Akhir adalah tenggara. Pada bulan Rajab, Sya'ban, dan Ramadhan adalah timur laut. Sedangkan pada bulan Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijjah arah yang tepat untuk memulai kegiatan adalah barat laut (Hamid, 1989:32-33). Apabila larangan dan aturan yang ada dalam konsepsi budaya BugisMakassar dilanggar secara tidak sengaja atau karena tidak tahu, maka secara bersama-sama segenap warga harus melakukan upacara tolak bala. Dengan demikian, peredaran bulan itu berbagai pantangan dan tabu harus dihindari oleh masyarakat, agar kehidupan mereka berjalan baik. 1) Mantra Appasuki Pakjeko Fungsi teologi terlihat dalam mantra Appasuki Pakjeko „pemasangan bajak‟. Hal ini karena di dalamnya berisi puji-pujian kepada Allah dan Nabi. Secara harfiah, mantra diyakini mempunyai kekuatan sebagai sarana komunikasi dengan sang Maha Pencipta dan bermanfaat untuk tujuan pembacaannya. Hal ini memberikan fungsi secara umum, yaitu alat berkomunikasi dengan sang Maha Pencipta melalui Nabi Khaidir. Hal ini terbukti pada teks Na nupappala doangngangak ri Allah Taalah „agar Engkau mendoakan aku pada Allah Taalah‟. Fungsi teologi juga muncul secara tersirat di dalam mantra ini, yang diyakini mempunyai kekuatan sebagai sarana komunikasi dengan sang Maha 177 Pencipta dan bermanfaat untuk tujuan permohonan kesuburan dan kesehatan. Hal ini terlihat dalam teks berikut: Pasibungtullangak dallekku (4) Sarea buku magassing (5) „Pertemukan aku dengan rezekiku (4) Beri aku kesehatan yang baik‟ (5) Ungkapan mantra di atas mempunyai fungsi sebagai media permohonan kepada Allah untuk memudahkan rezeki. Tidak ada kuasa satupun yang mampu memberikan rezeki kecuali Allah. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan mantra dipengaruhi oleh pemikiran tentang ketuhanan. Kepercayaan adanya kekuasaan yang melebih kemampuan manusia menjadi pondasi menciptakan mantra ini. Kenyataan ini menunjukkan bahwa cara berpikir masyarakat setempat lebih rasional. Artinya, untuk mencapai sesuatu bergantung pada Allah melalui cara bertawasul. Sastra yang diciptakan karena Allah untuk kepentingan hidup. Manusia pada dasarnya diturunkan melalui bentuk tawasul atau perantara oleh para Nabi. Nabi dan keluarganya yang mulia menjadi tempat bertawasul para nabi kepada Allah ta‟ala. Dalam setiap kesulitan yang dialami para Nabi, washi, wali shalawatullah „alaihim, dan kaumnya, akan langsung bertawasul kepada Muhammad dan keluarga Muhammad shalawatullah wa salamuhu‟alaihi wa „alaihim agar terbebas dari marabahaya. Mereka akan berdoa demi kedudukan agung serta kemuliaan mereka di sisi Allah tabaraka wa ta‟ala. Hadist riwayat Ibnu Sunni dalam „Amal al-Yaum wa al-Lailah dan dihasankan oleh al-Albani dalam ash-Shahîhah yang berbunyi: 178 Wahai Dzat Yang Maha Hidup Kekal, Wahai Dzat Yang terusmenerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah semua urusanku dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku walaupun hanya sekejap mata”. (Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Sunni dalam „Amal al-Yaum wa al-Lailah dan dihasankan oleh al-Albani dalam ash-Shahîhah) Memiliki fungsi teologi Islam yang kuat dalam benak masyarakat. Kondisi demikian menambah keyakinan masyarakat dalam pengucapan mantra, sehingga menimbulkan unsur magis di dalamnya. Variasi teks secara teologi dalam mantra ini terlihat dalam penutup mantra dengan menggunakan pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad „Barakka Lailaha Illallah, Barakka Anna Muhammadarrasulullah‟. Selain itu, digunakan pengulangan bunyi Nabbi seperti dalam kalimat Kau jekne Nabbi Hillere Nabbinnu „engkau air Nabi Khaidir Nabimu‟. Mantra Appasuki Pakjeko „pemasangan bajak‟ dapat pula berfungsi sebagai teologi seperti larik-larik berikut. Kau jekne Nabbi Hillere Nabbinnu (1) Tulungngak nanu ngammaseang (2) Nanu pappala doangngangak Ri Allah Taalah (3) Pasibungtullangak dallekku (4) Sarea buku magassing (5) Amboyai dallek hallalakku (6) „Engkau air Nabi Khaidir Nabimu (1) Tolong aku agar tumbuh rasa kasihanmu (2) Agar Engkau mendoakan aku pada Allah (3) Pertemukan aku dengan rezekiku (4) Beri aku kesehatan yang baik (5) Dalam mencari rezekiku yang halal‟ (6) Fungsi teologi pada mantra di atas dapat dilihat dari kata-kata yang dicetak tebal. Penyapa (punggawa) memohon kepada air yang dijaga Nabi Khaidir untuk mau memberikan belas kasihan dan mendoakan kepada Allah agar dipertemukan 179 rezeki, dijaga kesehatannya agar dapat mencari rezeki yang halal. Istilah halal menunjukkan tingkat religiusitas perilaku. Artinya, agar rezeki mendapat keberkahan dari Allah, maka diperintahkan untuk mencari rezeki yang halal. Variasi teks secara fungsi teologi terlihat pada kata ri Allah Taalah. Kata Allah pada larik tersebut mengimplikasikan betapa pentingnya dan besarnya kekuasaan yang dimiliki Allah SWT, sehingga setiap permohonan dan usaha para petani selalu dikembalikan kepadaAllah. Larik selanjutnya, menggunakan kata Lailaha Illallah. Penyebutan yang berbeda hanya merupakan permainan bunyi (pola rima) untuk memperindah pengucapan. 2) Mantra Aklessoro Ase Fungsi teologi mantra Aklessoro Ase „menurunkan bibit‟ terletak pada larik penutup, seperti terlihat dalam teks berikut: Barakka Lailaha Illallah (8) Barakka Anna Muhammadarrasulullah (9) Larik di atas menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aspek ketuhanan. Hal ini karena berisi puji-pujian kepada Allah dan Nabi. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Pattallassang memiliki religiusitas yang tinggi, terutama pembaca mantra yakin bahwa kekuatan terbesar hanya milik Allah dan permohonan terkabul jika mengikutkan atau melibatkan Allah dan Nabi dalam setiap aktivitasnya. Hal ini terlihat dalam teks berikut. Malaekak patanna pakrasangang (4) Awalli patanna buluk (5) Na alleko nabbi (6) Na tambaiko Malaekak (7) 180 Malaikat yang punya kampung (4) Wali yang punya gunung (5) Engkau diambil Nabi (6) Ditambahkan oleh Malaikat (7) Ungkapan Mantra memperlihatkan nama-nama suci yang akan menjaga dan mendoakan daerah persawahan pembaca mantra. Petani meyakini bahwa bibit padinya tumbuh dan cepat berkembang atas doa Nabi, Malaikat, dan Wali. Dengan kata lain, Kepercayaan datangnya kekuatan gaib dari nama-nama suci tersebut membuat petani lebih meyakini kemampuan mantra ini. Hal ini membuktikan bahwa mantra ini memiliki fungsi teologi Islam yang kuat dalam benak masyarakat. Kondisi demikian menambah keyakinan masyarakat dalam pengucapan mantra, sehingga menimbulkan unsur magis di dalamnya. Mantra tersebut menunjukkan adanya hubungan antara Tuhan dengan alam semesta dan manusia. Selain itu, mantra ini memuat hubungan dengan utusan Allah sebagai perantara manusia, meliputi: Malaikat, Nabi/Rasul, dan Wali. Variasi teks dalam mantra ini tergolong pewarisan karena diturunkan dengan syarat tertentu. Selain itu, mantra ini menggunakan pengulangan bunyi Nabbi „Nabi‟ pada larik dua dan diulang pada larik enam dan secara implisit pada penutup mantra. Mantra Aklessoro Ase „menurunkan bibit‟ berfungsi teologi terlihat dalam setiap larik. Larik-larik tersebut menyebutkan bahwa padi diturunkan melalui Nabi, ditumbuhkan malaikat, dijaga malaikat dan wali. Pada suatu saat akan diambil oleh Nabi dan ditambahkan oleh malaikat seperti dalam larik Awalli patanna buluk ‟wali yang punya gunung‟/ Naalleko Nabbi ‟engkau diambil Nabi‟/ Natambaiko malaekak ‟ditambahkan oleh Malaikat‟. Pernyataan ini dimaksudkan 181 penyapa agar kesuburan dan keselamatan mendapat safaat dan wasilah dari orangorang yang dekat dengan Tuhan. Hal ini dikuatkan oleh adanya upacara ritual pada saat menurunkan bibit padi karena religiusitas masyarakat petani tradisional tinggi. Upacara ritual dilakukan secara sakral dan khidmat yang menunjukkan keseriusan masyarakat untuk mendapatkan hasil bumi yang berkah. Proses upacara ritual menanam padi dimulai dari menyiapkan umba-umba atau kelepon dan leko rappo atau daun sirih serta rappo atau buah pinang. Kelepon dipercaya oleh para petani tradisional suku Makassar akan membawa keberuntungan dengan melihat latar pembuatannya yang muncul dipermukaan air apabila sudah masak. Daun sirih dan buah pinang dipercaya sebagai penolak bala oleh para petani tradisional di Pattallassang, Kabupaten Gowa. Variasi teks dari fungsi teologi mengandung unsur pola rima dan formulaik. Permainan bunyi ditunjukkan dengan penyebutan Nabi tiga kali, malaikat dua kali, dan tidak lupa menyebutkan Allah SWT serta Nabi Muhammad SAW. Penyebutan yang berulang tersebut dimaksudkan sebagai penekanan agar mantra mengandung kekuatan magis. 3) Mantra Akbine Fungsi teologi terlihat dalam mantra Akbine „memilah bibit‟. Salam pembuka, terlihat dalam teks Bismillahirrahmanirrahim. Ucapan Basmallah mengandung arti pengakuan antar seorang hamba dengan Tuhannya. Larik di atas jelas menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada aspek ketuhanan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat, terutama pembaca mantra yakin bahwa kekuatan terbesar hanya milik Allah dan permohonan terkabul jika 182 melibatkan Allah di dalamnya. Pemanggilan nama Allah sebagai bentuk perwujudan keimanan masyarakat. Secara tersirat diyakini mempunyai kekuatan sebagai sarana komunikasi dengan Sang Maha Pencipta dan bermanfaat untuk tujuan permohonan kebahagiaan, kesenangan, dan hadir di dalam sawah yang ditanami. Hal ini terlihat dalam teks berikut. Battu ngaseng mako mae (9) Angkatekneangi (10) Angkarannuangi (11) Sabak Allah Taalah siagang nabbi Muhammad (12) „Datanglah semua di sawah ini (9) Membahagiakan (10) Menyenangi (11) Karena Allah Taalah bersama Nabi Muhammad‟ (12) Ungkapan mantra mempunyai fungsi sama dengan mantra pertama dan kedua, sebagai permohonan kepada Allah untuk kesuburan tanah dan kesempurnaan bibit yang ditanam. Kepercayaan adanya kekuasaan melebihi kemampuan manusia menjadi pondasi dalam menciptakan mantra ini. Kondisi demikian menambah keyakinan masyarakat dalam pengucapan mantra, sehingga menimbulkan unsur magis di dalamnya. Variasi teks dalam mantra ini tergolong pewarisan. Selain itu, mantra ini menggunakan pengulangan bunyi Tallasak „bibit hidup‟ diulang berurutan tiga kali yakni kalimat dua, tiga, dan empat yang tetapi mempunyai makna yang sama. Hal ini terlihat dalam larik Angkatekneangi „membahagiakan‟ dan Angkarannuangi „menyenangi‟. Selain itu, mantra ini menggunakan penutup dengan pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad. Mantra Akbine „memilah bibit‟ berfungsi teologi. Hal ini dapat dilihat dalam teks berikut. 183 Sikontu ummakna nabbita (5) Anak cucunna Adam (6) ... Battu ngaseng mako mae (9) ... Sabak Allah Taalah siagang nabbi Muhammad (12) „Semua ummat nabi Muhammad (5) Anak cucunya nabi Adam (6) ... Datanglah semua di sawah ini (9) ... Karena Allah bersama Nabi Muhammad‟ (12) Kata-kata yang bercetak tebal pada kutipan di atas berfungsi teologi. Mantra mengandung doa seluruh umat Nabi Muhammad serta anak cucu Adam dari segala penjuru agar sawah yang digarap memberikan keberkahan. Penggunaan atau penyebutan Nabi Muhammad berfungsi sebagai safaat karena dikatakan oleh penyapa bahwa Allah bersama Nabi Muhammad. Hal ini dikuatkan dengan adanya upacara ritual pada saat menurunkan bibit padi sebagai tradisi petani tradisional. Variasi teks dari sudut teologi mengandung unsur pola rima dan formulaik. Permainan bunyi ditunjukkan dengan penyebutan ummakna nabbita „ummat Nabi Muhammad‟ dan Anak cucunna Adam „Anak cucunya Adam‟. Penggunaan anak dan cucunya Adam ditujukan kepada seluruh umat manusia di dunia bukan hanya umat Nabi Muhammad. Hal ini merupakan penguatan dari permintaan. Formulaik tecermin dalam kata nabbita yang dimaksudkan sebagai Nabi Muhammad secara implisit. Hal ini menunjukkan kebiasaan diri dalam penyebutan. Penyebutan tersebut dimaksudkan sebagai permainan bunyi sekaligus penekanan agar mantra mengandung kekuatan gaib. 184 4) Mantra Pammula Annanang Ase Fungsi teologi terlihat dalam mantra Pammula Annanang Ase „permulaan menanam padi‟ pada kalimat penutup seperti mantra sebelumnya. Kalimat tersebut berisi puji-pujian kepada Allah dan Nabi. Hal ini menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada aspek ketuhanan. Masyarakat terutama pembaca mantra yakin bahwa kekuatan terbesar hanya milik Allah dan permohonan terkabul jika melibatkan Allah di dalamnya. Pemanggilan nama Allah sebagai bentuk keimanan masyarakat. Secara tersirat diyakini mempunyai kekuatan sebagai sarana komunikasi dengan sang Maha Pencipta dan bermanfaat untuk permohonan kebahagiaan dan kesenangan. Tuhan diharapkan hadir di dalam sawah yang ditanami. Hal ini terlihat dalam teks berikut. „Anrong tumallasukannu (3) Mangge tu mappakjarinu (4) Nakammiko patampulo Malaekak‟ (5) „Bunda yang melahirkanmu (3) Ayah yang membuatmu (4) Engkau dijaga empat puluh Malaekat‟ (5) Ungkapan tersebut memperlihatkan permohon kepada Allah agar kesuburan tanah dan kesempurnaan bibit diberkahi. Bibit padi ditanam dengan harapan tumbuh dan berkembang serta dalam tiga bulan dapat dipanen. Selain itu, anrong/bunda sebagai tanah yang melahirkan dan mangge/ayah sebagai petani menanam bibit dan menghasikan bulir padi yang subur karena dijaga oleh empat puluh malaikat. Variasi teks dalam mantra di atas juga terlihat mengandung unsur pewarisan. Mantra ini menggunakan variasi pengulangan bunyi yang artinya sama 185 tetapi secara pengucapan berbeda, seperti dalam kata yakkung „aku‟ dan kupasicinik „aku mempertemukan‟. Makna teks ini adalah Zat yang menguasai padi. Selain itu, mantra ini menggunakan penutup dengan pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad Barakka Lailaha Illallah, Barakka Anna Muhammadarrasulullah. Mantra Pammula Annanang Ase „permulaan menanam padi‟ tersurat dan tersirat sebagai fungsi teologi. Hal ini dapat dilihat dalam teks berikut ini. Kupasicini mako anne yaccing (2) Anrong tumallasukkannu (3) Mangge tumappajarinu (4) Nakammiko patampulo malaekak (5) „Aku mempertemukan Engkau padi (2) Bunda yang melahirkanmu (3) Ayah yang membuatmu (4) Engkau dijaga empat puluh malaikat‟ (5) Larik-larik mantra di atas dimaksudkan penyapa agar dalam menanam benih ada keberkahan di dalamnya. Bibit tanaman padi yang ditabur akan dijaga oleh para malaikat. Masyarakat petani tradisional suku Makassar mempercayai bahwa padi yang ditanam merupakan ciptaan Allah dan akan selalu dijaga oleh para malaikat. Variasi teks dari sudut teologi mengandung unsur pola rima dan formulaik. Permainan bunyi ditunjukkan dengan penyebutan Kupasicinik „aku mempertemukan‟. Aku dimaksudkan sebagai Allah, Sang maha Pencipta. Hal ini diperkuat dengan penyebutan kalimat yang lain dalam mantra ini, yakni Lailaha Illallah yang artinya tidak ada Tuhan selain Allah. Formulaik tercermin dalam kata malaekak yang dimaksudkan sebagai malaikat yang kadang-kadang diucapkan malaekat. 186 5) Mantra Annanang Ase Fungsi teologi dalam mantra Annanang Ase „menanam padi‟ tersurat pada kalimat penutup seperti mantra sebelumnya. Larik tersebut berisi puji-pujian kepada Allah dan Nabi, Muhammadarrasulullah. Barakka Lailaha Illallah, Barakka Anna Larik ini menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap aspek ketuhanan. Petani meyakini Allah Taalah dan Nabi Muhammad mempunyai kekuatan magis untuk membantu dalam menanam bibit padi. Petani tradisional mempunyai keyakinan bahwa pengucapan mantra akan menimbulkan unsur magis. Variasi teks dalam mantra ini berupa pengulangan bunyi yang berlawanan, tetapi artinya tetap subjek (S). Hal ini tampak pada kalimat Nairik-irikko anging „angin sepoi-sepoi menggoyangmu‟, yang berlawanan posisi dengan larik selanjutnya yang berada di awal kalimat Anging battu ri Makka „angin datang dari Mekkah‟. Selanjutnya, anging ditaruh di tengah kalimat Nakarenai anging battu ri Madinah „dipermainkan angin dari Medinah‟. Selain itu, mantra ini menggunakan penutup dengan pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad Barakka Lailaha Illallah, Barakka Anna Muhammadarrasulullah. Mantra Annanang Ase „menanam padi‟ berfungsi sebagai teologi karena dalam kalimat Kupatimboko ributta „aku tumbuhkan Engkau ditanah‟ yang dimaksud penyapa bahwa „Aku‟ adalah Allah yang menumbuhkan padi dari tanah. Diperkuat dengan peran „bintang‟, „bulan‟, „matahari‟, sebagai perantara Allah dalam menjalankan perintah-Nya. Dengan kata lain, sang penyapa menanam bibit padi di tanah untuk meminta keberkahan agar padi yang ditanam 187 tumbuh dengan baik. Para petani tradisional suku Makassar patuh pada tradisi leluhurnya sehingga mereka biasanya membuat sesajian sebelum menanam padi. Hal ini diperkuat oleh adanya sesajian umba-umba atau kelepon, leko rappo atau daun sirih, serta rappo atau buah pinang. Dimaksudkan sebagai keberuntungan dan penolak bala. Variasi teks dari sudut fungsi teologi mengandung unsur pola rima dan formulaik. Permainan bunyi ditunjukkan dengan penyebutan Kupatimboko „aku tumbuhkan engkau‟. Aku dimaksudkan sebagai Allah, Sang maha Pencipta. Hal ini diperkuat oleh penyebutan larik yang lain dalam mantra ini, yakni Lailaha Illallah yang artinya tidak ada Tuhan selain Allah. Formulaik tercermin dalam kata makka dan Madinah yang dimaksudkan sebagai jalur yang dilewati keberkahan. 6) Mantra Rappo Ase Fungsi teologi dalam mantra Rappo Ase „bulir padi‟ terletak pada kalimat salam pembuka. Kalimat ini menggunakan kalimat Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu. Salam ini merupakan bentuk teologi ketuhanan bagi umat Islam. Salam menjadi simbol pengharapan keselamatan bagi pengucap maupun pendengar. Hal ini dikuatkan oleh larik Awalli passombalinna „Wali menjagamu‟. Wali dianggap sebagai wasilah sehingga secara teologi berfungsi sebagai perlindungan atau mengharap keselamatan. Kondisi demikian menambah keyakinan masyarakat dalam pengucapan mantra, sehingga menimbulkan unsur magis di dalamnya. Fungsi teologi juga terlihat dalam kalimat penutup, yakni 188 berisi pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad, seperti pada kedua larik terakhir yang berbunyi „Barakka Lailaha Illallah/Barakka Anna Muhammadarrasulullah‟. Variasi teks dalam mantra ini menggunakan salam dalam bahasa Arab sebagai pengakuan keyakinan kepada Allah. Bagian penutup berisi pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad. Hal ini sebagai hafalan teks karena salam tersebut merupakan tuturan yang disampaikan secara turun-temurun. Fungsi mantra Rappo Ase „bulir padi‟ sebagai fungsi teologi dapat dilihat dalam kalimat salam pembuka yang menggunakan kata Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu. Kata ini dimaksudkan penyapa sebagai bentuk kata sapaan untuk mendapatkan keselamatan pada bulir padi. Hal ini diperkuat oleh kalimat Narurunga malaekak pakdoangnganna „doa para malaikat menyertaimu‟ dan Awalli passombalinna „Wali menjagamu‟. Penyapa mengucapkan kalimat tersebut dimaksudkan sebagai kekuatan magis dari mantra berupa doa bahwa bulir padi akan disertai malaikat dan dijaga oleh Wali Allah. Variasi teks dari sudut fungsi teologi mengandung unsur pola rima dan formulaik. Permainan bunyi ditunjukkan dengan penyebutan salam secara Islami. Hal ini diperkuat oleh penyebutan kalimat yang lain, yakni Lailaha Illallah yang artinya tidak ada Tuhan selain Allah. Formulaik tecermin dalam kata salam, malaikat, dan Wali yang dipercayai membawa wasilah atau mempunyai hubungan erat dengan Allah. 7) Mantra Appa Sulapa Nikutanang Fungsi teologi dalam mantra Appa Sulapa Nikutanang „empat arah ditanya‟ tampak pada larik penutup seperti mantra sebelumnya. Larik tersebut 189 berisi puji-pujian kepada Allah dan Nabi. Larik ini juga menunjukkan kepercayaan masyarakat pada aspek ketuhanan. Hal ini diyakini karena mempunyai kekuatan sebagai sarana komunikasi dengan sang Maha Pencipta dan bermanfaat untuk permohonan kebahagiaan dan kesenangan. Pemantra mengharap Tuhan dapat membantu agar padi tumbuh dengan baik. Kepercayaan adanya kekuasaan melebihi kemampuan manusia menjadi pondasi dalam menciptakan mantra ini. Kondisi demikian menambah keyakinan masyarakat dalam pengucapan mantra, sehingga menimbulkan unsur magis di dalamnya. Fungsi teologi mantra ini sebagai pengakuan dan perlindungan. Variasi teks secara teologi dalam mantra ini adalah menggunakan bagian penutup untuk melakukan pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad. Secara keseluruhan, fungsi teologi mantra Tulembang sebagai pengakuan serta perlindungan kepada Sang Maha Kuasa. Fungsi tersebut diekspresikan dalam sarana komunikasi dengan Sang Maha Pencipta. Kondisi demikian menambah keyakinan masyarakat dalam pengucapan mantra, sehingga menimbulkan unsur magis di dalamnya. Variasi teks secara teologi yang menonjol dari keseluruhan mantra Tulembang adalah adanya penutup berupa pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, yaitu „Barakka Lailaha Illallah/ Baraka Anna Muhammadarrasulullah‟. Penutup teks mantra ini dimaksudkan untuk berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan Nabi Muhammad. Hal ini juga merupakan penyerahan diri kepada Allah Taalah sebagai penguasa tunggal terhadap seluruh kehidupan di bumi beserta isinya. Variasi teks didominasi oleh unsur pola rima 190 dan formulaik. Selain kedua unsur tersebut, unsur doktrinasi Islam mewarnai mantra ini. Doktrinasi terbentuk dari formulaik ketuhanan pembuat mantra, sehingga unsur ini sudah melekat di benak pembaca dan tidak perlu diingat-ingat lagi pada saat pengucapan. Fungsi mantra Appa Sulapa Nikutanang „empat arah ditanya‟ sebagai fungsi teologi dapat dilihat dalam kalimat tanya Tenamo tumaboyanu „apa Engkau tak ada yang mencarimu‟. Penggunaan kalimat tanya dimaksudkan penyapa adanya sesuatu hal yang belum terselesaikan dan hal ini mengganggu penyapa sehingga diungkapkan dalam pertanyaan. Menurut Badrun (2014), penggunaan kalimat tanya dimaksudkan sebagai hal yang belum dijelaskan. Namun tergolong suasana monolog dan akan dijawab sendiri oleh si penyapa. Fungsi teologi yang muncul adalah hubungan Tuhan yang berada di atas dan hambanya yang berada di bawah seperti larik „I rateya naungko mae „kalau diatas silahkan turun kebawah‟ I rawayya naikko mae „kalau di bawah silahkan naik keatas‟. Perenungan bahwa dalam hidup harus selalu melangkah dalam kebaikan dan menghindari kejahatan (keburukan) sehingga kehidupan yang dijalani menjadi berkah. Larik ini juga menunjukkan adanya hubungan manusia, Allah dan para petani dalam meyakini keberadan Allah SWT. Variasi teks secara teologi mengandung unsur pola rima dan formulaik seperti mantra-mantra sebelumnya. Variasi larik ini berfungsi sebagai permainan bunyi dan tersurat sebagai kebiasaan masyarakat setempat. 6.1.2. Fungsi Teologis Teks Mantra Tupakbiring Analisis fungsi teologi teks mantra Tupakbiring mempunyai kesamaan dengan mantra Tulembang. Pembacaan mantra ini disakralkan, namun 191 menggunakan perhitungan hari, bulan, dan musim tergantung kebutuhan mantra. Ketika akan turun melaut, para nelayan tradisional suku Makassar percaya melihat hari baik untuk turun melaut. Patorani asli adalah nelayan tradisional suku Makassar pemburu ikan terbang yang gagah berani melawan ombak besar dan badai di laut dan tidak memakai perahunya selain musim berburu atau menangkap ikan terbang pada bulan April - Juni. Pada saat mempersiapkan perahu, nelayan tradisional suku Makassar mempersiapkan (apparuru) peralatan menangkap ikan selama enam hari. Fungsi mantra Tupakbiring hampir sama dengan fungsi mantra Tulembang. Fungsi teologi teks mantra Tupakbiring lebih didominasi oleh fungsi teologi Islam karena mayoritas masyarakat nelayan tradisional suku Makassar memeluk agama Islam. Fungsi teologi dibahas dalam kajian ini karena religiusitas masyarakat petani tradisional suku Makassar cukup tinggi sehingga mempengaruhi pemikiran dan perilaku, terutama mantra. 1) Mantra Pappalakku Fungsi teologi mantra Pappalakku „permohonanku‟ terlihat lugas karena menggunakan nama Allah Taalah di dalamnya. Hal ini terlihat dalam teks berikut. Rigaddonna Allah Taalah (11) Natenapa ri Allah Taalah (12) Natena todong rinakke (13) „Di kamarnya Allah Taalah (11) Nanti tidak ada pada Allah Taalah (12) Barulah Tidak ada juga padaku‟ (13) Larik-larik tersebut di atas menunjukkan kekuatan fungsi teologi pencipta mantra. Secara implisit ucapan diyakini mempunyai kekuatan sebagai sarana 192 komunikasi dengan sang Maha Pencipta. Artinya, tidak ada kuasa manusia kecuali kuasa Sang Maha Pencipta. Rezeki yang diperoleh mutlak dari Allah SWT. Teologi lain adalah pengucapan kata yamming yang berfungsi sebagai wasilah atau perantara kepada Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa doa akan terkabul jika ada perantara sesuatu yang dekat dengan Tuhan. Hal ini membuktikan bahwa mantra ini memiliki fungsi teologi yang kuat dalam benak masyarakat. Kondisi demikian menambah keyakinan masyarakat dalam pengucapan mantra, sehingga menimbulkan unsur magis di dalamnya. Variasi teks secara teologi dalam mantra ini terlihat dalam banyaknya pengucapan Allah dalam teks. Ada tiga pengucapan, namun mantra ini tidak ada pengucapan salam pada pembuka. Bagian penutup tidak menggunakan pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad seperti mantra Tulembang. Hal ini menunjukkan unsur hafalan, pola rima, dan formulaik. Fungsi mantra Pappalakku „permohonanku‟ sebagai fungsi teologi dapat dilihat dalam kalimat Dallek hallalakku battu ri Allah Taalah „rezeki halalku dari Allah Taalah‟. Kalimat ini dimaksudkan oleh penyapa bahwa rezeki semua datang dari Allah. Manusia tidak kuasa atas hal itu. Hal ini diperkuat dengan kalimat Rigaddonna Allah Taalah „di kamar Allah Taalah‟. Dimaksudkan bahwa rezeki hanya milik Allah. Fungsi religius diaplikasikan dengan membuat Balla-balla (tempat bertelutnya ikan terbang) dan Pakkaja (penangkap ikan terbang dan tempat bertelur ikan terbang). Ketika Balla-balla dan Pakkaja dibuat, nelayan tradisional suku Makassar menyiapkan sesajen berupa kelepon (umba-umba), kue lapis (kue lapisi), daun sirih (lekok), dan buah pinang (rappo). Hal ini 193 dimaksudkan agar mendapatkan rezeki yang berlimpah dan diberi keselamatan dan dijauhkan dari marabahaya. Variasi teks dari sudut teologi mengandung unsur pola rima dan formulaik. Permainan bunyi ditunjukkan oleh penyebutan yamming. Penyebutan yang dilakukan oleh penyapa tidak mengandung arti secara harfiah, namun dipercaya sebagai bayangan penyapa untuk memberikan kekuatan magis pada mantra. Selain itu, penyebutan nama Allah sebanyak tiga kali sebagai penekanan agar doa yang disampaikan dikabulkan. 2) Mantra Dallekku Fungsi teologi dalam mantra Dallekku „rezekiku‟ terlihat lugas karena menggunakan nama Allah Taalah di dalamnya. Hal ini dibuktikan dengan kalimat berikut. „Lakbusukpi bintoengnga (5) Na labbusuk todong dallekku ri Allah Taala (6) Tumbangpi bobokaraeng (7) Natumbang todong dallekku Battu ri Allah Taalah‟ (8) „Nanti habis bintang di langit (5) Baru habis juga rezekiku dari Allah Taalah (6) Nanti tumbang gunung Bawakaraeng (7) Baru tumbang juga rezekiku dari Allah Taalah‟ (8) Larik-larik di atas secara implisit mempunyai fungsi pengakuan. Artinya, tidak ada kuasa manusia kecuali kuasa Sang Maha Pencipta. Rezeki yang diperoleh mutlak dari Allah SWT. Hal ini membuktikan bahwa mantra ini memiliki fungsi teologi Islam yang kuat dalam benak masyarakat. Kondisi demikian menambah keyakinan masyarakat dalam pengucapan mantra, sehingga menimbulkan unsur magis di dalamnya. 194 Variasi teks secara teologi dalam mantra ini terlihat dalam pengucapan Allah Taallah dalam teks. Ada dua pengucapan, namun di dalam mantra ini tidak ada pengucapan salam pada pembuka dan penutup pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad seperti mantra Tulembang. Variasi teks mantra ini berupa pola rima dan formulaik. Fungsi mantra Dallekku „rezekiku‟ sebagai fungsi teologi dapat dilihat dalam kalimat Labbusukpi bintoengnga/ Na labbusuk todong dallekku ri Allah Taala „nanti habis bintang di langit/ Barulah habis juga rezkiku dari Allah Taalah‟. Hal ini dimaksudkan penyapa sebagai perlambang rasa dan pengakuan kepada Allah bahwa rezeki semua datangnya dari Allah. Perlambang rasa juga diucapkan pada kalimat penutup Runtungpi lompobattang/ Naruntung todong dallekku battu ri Allah Taalah „nanti runtuh gunung Lompobattang/ Barulah runtuh juga rezekiku dari Allah Taalah. Perlambang rasa dimaksudkan sebagai penguatan religiusitas mantra karena lambang yang disebutkan berkenaan dengan lokasi rezeki yang dicari. Variasi teks secara teologi mengandung unsur pola rima dan formulaik. Permainan bunyi ditunjukkan dengan penyebutan yamming. Formulaik dibuktikan dengan penyebutan nama gunung, bintang, awan sebagai unsur kebiasaan diri. 3) Mantra Songka Bala Fungsi teologi dalam mantra Songka Bala „tolak bala‟ terlihat pada kalimat Kapallakko ri Muhammad Rasullullah „engkau tega kepada Muhammad Rasullullah‟/ Kainakke minne Muhammad „dan akulah ini Muhammad‟. Larik tersebut menunjukkan fungsi perlindungan agar dihindarkan dari marabahaya. 195 Larik „akulah Muhammad‟ menunjukkan fungsi kepercayaan bahwa yang melindungi dari marabahaya jika mendapat safaat dari Rasulullah adalah Rasulullah sebagai pembawa peringatan. Hal ini membuktikan bahwa mantra ini memiliki fungsi teologi Islam yang kuat dalam benak masyarakat suku Makassar. Kondisi demikian menambah keyakinan masyarakat dalam pengucapan mantra, sehingga menimbulkan unsur magis di dalamnya. Variasi teks secara teologi dalam mantra ini mengandung unsur pola rima. Hal ini terlihat pada teks berikut. Assengnga naku assengtongko (4) Cinikka na kuciniktongko (5) Jangjangak na kujangjang tongko (6) Katutuiya na kukatutui tongko (7) Ngaiya na kungai tongko (8) „Kenalilah diriku agar kumengenali juga dirimu (4) Lihatlah diriku agar kudapat juga melihatmu (5) Pandanglah diriku agar kudapat juga memandangmu (6) Sayangilah diriku agar kudapat juga menyayangimu (7) Sukailah diriku agar kusukai juga dirimu‟ (8) Larik-larik mantra di atas menunjukkan pola rima yang hampir sama dalam pengucapan. Variasi teks tersebut merupakan penekanan atas permohonan keselamatan kepada Tuhan melalui simbol perahu Nabi Nuh. Fungsi mantra Songka Bala „tolak bala‟ sebagai fungsi teologi dapat dilihat dalam kalimat Eh Imanrembassang. Hal ini dimaksudkan penyapa sebagai perlambangan rasa perahu milik Nabi Nuh, yang dipercayai kokoh dan mampu menampung banyak muatan. Hal ini berfungsi sebagai alat yang mampu memberikan keselamatan dalam menghadapi ombak atau marabahaya lainnya ketika di laut. Pernyataan Nabi Nuh dalam mantra ini sebagai sarana teologi 196 tentang kepahaman Islam. Berdasarkan sejarah, Nabi Nuh menghadapi banjir bandang dan perahu yang dibuat dan ditumpangi selamat dari banjir tersebut. Variasi teks secara teologi mengandung unsur pola rima dan formulaik. Permainan bunyi dan formulaik ditunjukkan dengan penyebutan nama perahu Nabi Nuh (Imanrembassang) dan Nabi Muhammad SAW. 4) Mantra Loloanna Sombalakku Fungsi teologi dalam mantra Loloanna Sombalakku „tali layarku‟ terlihat secara implisit melalui mantra yang terucap. „Tepokpi anne terak-teraksakku/ Natepok todong lekok gulingku/ Napolongpa bonggangku/ Napolong todong bongga gulingku/ Tepokpi paling-palingku/ Natepo todong baukku/ Tappuppi nyawaku/ Natappu todong loloanna sombalakku „Nanti patah tulang keringku/ Baru patah juga daun kemudiku/ Nanti patah pahaku/ Baru patah juga batang kemudiku/ Nanti patah lenganku/ Baru patah juga tiang layarku/ Nanti putus nyawaku/ Baru putus pula tali layarku”. Dalam larik-larik mantra di atas menggunakan peribaratan kekuatan perahu seperti kekuatan anggota tubuh. Peribaratan ini menunjukkan bahwa kekuatan perahu sama pentingnya dengan si nelayan (pengguna perahu). Secara teologi, ada antara manusia dengan penciptanya. Peribaratan tersebut dianalogikan sebagai bagian perahu yang tersusun seperti anggota tubuh. Dengan demikian, bagian penyusun perahu saling melengkapi seperti anggota tubuh yang sama 197 pentingnya. Secara teologi sebagai fungsi pengharapan. Variasi teks secara teologi dalam mantra di atas jika dilihat dari kalimat, merupakan varisi teks yang memuat unsur pola rima. Pola rima tersurat seperti pola pantun. Mantra Loloanna Sombalakku „tali layarku‟ sebagai fungsi teologi dapat dilihat dalam teks Tepokpi anne terak-terasakku/ Natepok todong leko gulingku „patah tulang keringku/ baru patah juga daun kemudiku‟. Hal ini dimaksudkan penyapa sebagai peribaratan bahwa kekuatan kapal seperti halnya kekuatan anggota tubuh manusia ciptaan Allah. Peribaratan ini menunjukkan bahwa kekuatan kapal sama pentingnya dengan si nelayan (pengguna kapal). Hal ini menunjukkan, baik perahu maupun penggunanya memiliki posisi yang sama pentingnya dalam hal keselamatan. Secara teologi, para sawi mengisi perahu dengan berbagai alat tangkap ikan terbang, sesajian (papparappo), beras, kopi, gula, dan air tawar. Sorongang berisi bawang merah, bawang putih, laksa, jahe, pala, kayu manis, kalomping dan gambir. Isi sorongang ini bermanfaat sebagai obat karena akan melaut berhari-hari. Khusus papparappo berisi daun sirih (lekok), buah pinang (rappo), telur ayam kampung, dan Lilin merah (tai bani). Para nelayan tradisional suku Makassar akan singgah di pulau Sanro Bengi untuk menurunkan sesajian, diletakkan pada ombak yang turun naik dekat pulau tersebut. Selain itu, pelepasan para nelayan tradisional suku Makassar oleh para keluarga dengan lambaian tangan diiringi oleh doa bagi keberkahan dan keselamatan. Variasi teks secara teologi mengandung unsur pola rima dan formulaik. Permainan bunyi dan formulaik ditunjukkan dengan pembacaan mantra seperti 198 pantun dan formulaik karena ada penyebutan anggota tubuh dihubungkan dengan kompnen perahu sebagai hal yang sudah menjadi kebiasaan diri (dipahami) bagi nelayan tradisional suku Makassar. 5) Mantra Gosse Fungsi teologi dalam mantra Gosse „rumput laut‟ terlihat pada larik pertama, dua, dan tiga seperti berikut. „Assalamu Alaikum Ikau gosse Irapang jintu arengnu Ri Allah Taalah‟ „Assalamu Alaikum Engkau rumput laut irapang itu namamu Ri Allah Taalah‟. Larik mantra di atas menunjukkan fungsi perlindungan agar dihindarkan dari marabahaya. Larik „Ri Allah Taalah‟ juga menunjukkan fungsi kepercayaan bahwa yang melindungi dari marabahaya adalah Allah Subhana Wataala, Dalam Islam diajarkan bahwa Allah akan menolong ummatnya yang selalu mengingatNya. Hal ini membuktikan bahwa mantra memiliki fungsi teologi Islam yang kuat dalam benak masyarakat. Kondisi demikian menambah keyakinan masyarakat dalam pengucapan mantra, sehingga menimbulkan unsur magis di dalamnya. Variasi teks secara teologi dalam mantra ini terlihat pada teks berikut. „Inakke iyukkung arengku Ri Allah Taalah Nabbi Muhammad nabbiku‟ „Aku bernama yukkung Dari Allah Taalah Nabi Muhammad Nabiku‟ 199 Larik-larik mantra di atas menunjukkan bahwa yukkung berasal dari Allah Taalah dan segala perilaku dan tindakan sehari-hari sebagai nelayan selalu mengingat Sang Pencipta. Nelayan pun percaya bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Variasi teks mantra ini merupakan penekanan atas permohonan keselamatan kepada Tuhan, mengambil gosse „rumput laut‟ melalui tangan „Ali‟ sahabat Rasulullah. Sisa rambut Nabi Hawa menjadi rumput laut dan nelayan tradisional suku Makassar mempercayai hal tersebut. Mantra Gosse „rumput laut‟ berfungsi teologi yang dapat dilihat dari adanya salam pembuka dalam mantra. Selain itu, mencantumkan nama Allah di dalamnya. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk permohonan kepada Sang Pencipta agar diberi keberkahan, keselamatan, dan dihindarkan dari marabahaya karena kondisi laut tidak dapat ditebak. Secara teologi, para sawi (nelayan tradisional suku Makassar) menggunakan perhitungan hari. Nelayan tradisional suku Makassar percaya pada hari baik untuk turun melaut. Menurut perhitungan, bilang appa-appa adalah malam pertama (Sipattang) dan malam kedua (Ruang Bangngi) munculnya bulan dalam kehidupan. Hal ini baik untuk melaut dan menangkap ikan terbang (torani). Para nelayan tradisional suku Makassar juga percaya pada perhitungan menurut pitika yaitu hari baik. Nelayan tradisional suku Makassar melihat hari yang baik berpatokan pada nama hari dan menghitung bulan secara tradisional. Jika hari Jumat jatuh pada angka lima malam bulan shafar, maka bulan angka berikutnya adalah lima belas dan dua lima dikatakan siempoangngi, artinya apa yang direncanakan Allah akan merestui. 200 Variasi teks secara teologi mengandung unsur pola rima dan formulaik. Permainan bunyi dan formulaik ditunjukkan oleh pembacaan salam pembuka secara Islami, serta menggunakan nama Nabi Muhammad yang disebut tiga kali, Adam, Hawa, Ali, dan Allah SWT disebut dua kali. 6) Mantra Bunoanna Jukuka Fungsi teologi dalam mantra Bunoanna Jukuka „pengawetan ikan‟ terlihat pada kalimat salam pembuka Assalamu Alaikum yang mengandung maksud memohon keselamatan bagi yang mengucapkan mantra dan pesapa. Fungsi teologi ini diperkuat oleh kalimat Ri Allah Taallah nuing karaengnu „dari Allah Taalah menjadi Tuhanmu‟. Maksudnya, bahwa Allah satu-satunya Tuhan yang patut disembah. Tidak ada yang memiliki sesuatu di bumi kecuali kepunyaan Allah SWT. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat nelayan tradisional suku Makassar percaya adanya ketuhanan yang esa dan hanya Allah yang dapat mengabulkan setiap permohonan. Dengan kata lain, kalimat di atas menunjukkan fungsi perlindungan bagi penyapa (punggawa) dan pesapa (sawi). Variasi teks secara teologi dalam mantra ini mengandung unsur pola rima. Hal ini terlihat pada teks berikut. Iyakking jintu areng tojeng-tojengmu (2) Ri Allah Taalah nuing karaengnu (3) Nabbi Sulaimana nabbinu (4) Inakke iyukkung ampatinroko (5) Ri Allah Taalah (6) „Iyakking itu nama sesungguhmu (2) Dari Allah Taalah menjadi Tuhanmu (3) Nabi Sulaiman nabimu (4) Akulah iyukkung menidurkanmu (5) Ri Allah Taalah (6) 201 Rangkaian larik mantra di atas menunjukkan variasi teks secara teologi. Hal ini terlihat pengulangan atau permainan bunyi yang menyebut nama Allah. Hal ini dimaksudkan bahwa larik enam sebagai penegasan bahwa Allah penentu segala. Dikuatkan dengan mencantumkan nama Nabi Sulaiman sebagai penekanan bahwa rezeki atau kekayaan semua dari Allah. Jika mantra ini diucapkan, diharapkan mendapat kekayaan yang berlimpah seperti Nabi Sulaiman. Variasi teks ini berdasarkan formulaik bukan hafalan karena setiap kata yang tertuang berdasarkan pemahaman kepada ketuhanan dan pembiasaan diri untuk mendengar dan membaca. Mantra Bunoanna Jukuka „pengawetan ikan‟ berfungsi teologi yang dapat dilihat dari adanya salam pembuka dalam mantra sama seperti mantra Gosse. Selain itu, mencantumkan nama Allah di dalamnya dan Nabi Sulaiman sebagai simbol kekayaan dan kemuliaan. Hal ini dimaksudkan sebagai permohonan kepada Sang Pencipta agar diberi keberkahan, keselamatan, dan dihindarkan dari marabahaya seperti Ri Allah Taalah nuing karaengnu/Nabbi Sulaimana nabbinu. Variasi teks secara teologi mengandung unsur pola rima dan formulaik. Permainan bunyi dan formulaik ditunjukkan dengan pembacaan salam pembuka secara Islami, serta menggunakan nama Allah SWT yang disebut dua kali. 7) Mantra Appasuluki Kodia Fungsi teologi dalam mantra Appasuluki Kodia „mengeluarkan yang jahat‟ terlihat pada salam pembuka Bismillahirrahmanirrahim, yang mengandung maksud fungsi pengakuan kepada Tuhan. Kata Basmallah tersebut seperti pembacaan di dalam Al-Quran bahwa dimulai dengan membaca Basmallah. 202 Fungsi teologi ini diperkuat oleh kalimat selanjutnya, yakni Kuniakkanngi Abubakara – Umara – Usman – Ali „Kuniatkan Abubakar – Umar – Usman – Ali‟, yang mengandung maksud bahwa jika ingin doa dikabulkan oleh Allah, maka harus berwasilah kepada orang-orang yang dekat dengan Allah atau manusia pilihan Allah. Hal ini menunjukkan tingkat ketauhidan bagi masyarakat nelayan tradisional suku Makassar. Kepercayaan kepada Tuhan menjadi landasan dalam menjalani hidup terutama dalam mencari rezeki. Mantra ini juga menyebut nama Nabi Muhammad di dalamnya, seperti pada kalimat Pattantanna Rasulullah „pelindungnya Rasulullah. Maksudnya, Rasulullah sebagai pembawa safaat, penyampai berita atau peringatan. Jika berpedoman pada Allah dan Rasulullah, maka perahu yang ditumpangi akan selamat. Untuk itu, mantra ini ditutup dengan pujian kepada Allah dan Rasulullah sebagai bentuk apresiasi kepada Tuhan keagungan dan permohonan keselamatan bagi nelayan tradisional suku Makassar yang melaut. Variasi teks secara teologi dalam mantra ini mengandung unsur pola rima. Terlihat pada teks yang menyebutkan nama Allah sebanyak empat kali, Nabi Muhammad dua kali, serta para Sahabat Nabi. Hal ini dimaksudkan bahwa keselamatan hanya milik Allah dan mantra dapat memiliki kekuatan magis apabila mencantumkan Nabi Muhammad dan para Sahabat. Mantra Appasuluki Kodia „mengeluarkan yang jahat‟ berfungsi teologi dapat dilihat dari adanya salam pembuka dalam mantra menggunakan Bismillahirrahmanirrahim. Hal ini dimaksudkan penyapa agar perahu yang ditumpangi tidak retak dan dijaga oleh hal baik dan terhindar dari hal jahat. Selain 203 itu, mencantumkan nama Allah di dalamnya sebagai penolong. Hal ini dimaksudkan sebagai permohonan kepada Sang Pencipta agar diberi keselamatan sampai kembali ke darat. Variasi teks secara religius mengandung unsur pola rima dan formulaik. Permainan bunyi dan formulaik ditunjukkan dengan pembacaan salam pembuka seperti dalam bacaan Al-Quran, serta menggunakan nama Allah SWT yang disebut tiga kali, menyebut para sahabat Nabi, dan Nabi Muhammad sebagai wasilah dan safaat. Larik menggunakan nama sahabat Nabi dan Rasulullah seperti Kuniatkangi Abubakara –Umara –Usman –Ali/ Pattanna Rasullah. 6.2. Fungsi Sosial dan Fungsi Budaya 6.2.1. Fungsi Sosial dan Fungsi Budaya Mantra Tulembang Fungsi sosial mantra di dalam suatu masyarakat adat sebagai pengendali norma sosial dan fungsi proyeksi angan-angan suatu kolektif (Badrun, 2014). Namun demikian, fungsi sosial bergantung kepada sikap dan pandangan masayarakat pemiliknya, seperti halnya mantra Tulembang. Mantra ini diucapkan oleh para petani tradisional suku Makassar dengan melakukan upacara ritual. Mantra-mantra tersebut secara sosial mempunyai aturan, mekanisme dan proses yang telah ditentukan secara adat yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Pelanggaran ketentuan itu merusak kosmologi kehidupan para petani tradisional di Pattallassang, Kabupaten Gowa. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan kosmologi bahwa perilaku keseharian adalah bagian dari ritual yang tidak terpisahkan dari upacara ritual yang dilakukan dalam setiap aktivitas bertani. Siklus aktivitas petani tradisional suku Makassar tidak mengenal keterputusan 204 ritual, tetapi merupakan suatu rangkaian ritual yang berkesinambungan dan totalitas. Artinya, upacara ritual memang dilakukan dalam waktu-waktu tertentu sesuai dengan ketetapan adat. Akan tetapi, pada dasarnya dimensi filosofisnya mewarnai keseluruhan perilaku dan aktivitas masyarakat dalam kehidupan seharihari. Fungsi budaya yang tertuang dalam teks mantra Tulembang sebagai fungsi pengesahan kebudayaan atau alat pengesahan pranata-pranata dan lembagalembaga kebudayaan. Artinya, fungsi ini sebagai kegiatan rutin yang dilakukan pada kesempatan atau waktu tertentu. 1) Mantra Appasuki Pakjeko Mantra Appasuki Pakjeko „pemasangan bajak‟ berfungsi sosial dapat dilihat di dalam larik Amboyai dalle hallalakku „dalam mencari rezekiku yang halal‟. Maksudnya, penyapa sebagai pengendali norma sosial dan masyarakat diharuskan mencari rezeki dengan jalan yang halal agar hidupnya mendapat berkah. Larik kedua menunjukkan arti Tulungak na nunngamaseang‟tolong aku agar tumbuh rasa kasihanmu‟ dapat dimaknai bahwa masyarakat harus bersifat saling menolong satu sama lain (gotong royong). Selain itu, teks mantra ini berisi permohonan kepada Allah melalui Nabi Khaidir agar selalu menumbuhkan rasa belas kasihan untuk membantu orang yang membutuhkan pertolongan. Mantra Appasuki Pakjeko „pemasangan bajak‟ berfungsi pengesahan kebudayaan. Hal ini tercermin dari kata jekne „air‟. Air dianggap masyarakat sebagai simbol kehidupan. Air dipercaya mampu memberi rezeki. Dengan air masyarakat mampu menanam padi. Selain itu, mantra ini diucapkan pada saat 205 membajak sawah. Secara budaya, para petani tradisional suku Makassar masih membajak sawah dengan menggunakan kerbau (PakjekoTedong). Pada dasarnya para petani tradisional suku Makassar membajak sawah secara tradisional yang merupakan budaya turun temurun untuk mengolah sawah, sejak zaman nenek moyang mereka. Hal itu juga yang mendasari pandangan masyarakat untuk tidak beralih dari pakjeko ke mesin traktor. Petani tradisional masih menggunakan bajak sawah secara tradisional dengan kerbau karena hasil kerjanya juga lebih baik daripada hasil dari traktor. Hal ini disebabkan bagian samping dari sawah sudah tidak dapat dijangkau oleh mata kail traktor untuk membongkar tanah, sedangkan membajak sawah secara tradisional masih dapat dijangkaunya. 2) Mantra Aklessoro Ase Mantra Aklessoro Ase „menurunkan bibit‟ berfungsi sosial sebagai proyeksi harapan. Fungsi tersebut merupakan perlindungan supaya bibit padi nantinya dapat tumbuh tanpa gangguan. Hal ini terlihat dalam contoh kalimat berikut. Oh yaccing (1) Napanaungko Nabbi (2) Napatimboko malaekak (3) Malaekak patanna pakrasangang (4) „Oh padi (1) Engkau diturunkan Nabi (2) Engkau ditumbuhkan Malaikat (3) Malaikat yang punya kampung‟ (4) Larik tersebut difungsikan oleh penyapa sebagai perekat interaksi masyarakat pemiliknya agar sama-sama menjaga padi yang ditanami. Nama-nama suci, seperti Nabbi, Malaekak, Awalli berfungsi sebagai simbol yang bermakna 206 mediator atau perantara agar permohonan pemantra dikabulkan. Petani tradisional suku Makassar berharap agar padinya tumbuh dengan baik dan hasil panennya tidak ada diganggu hama atau marabahaya yang lain. Mantra Aklessoro Ase „menurunkan bibit‟ juga berfungsi sebagai pengesahan kebudayaan. Hal ini tercermin dari kata yaccing „padi‟. Mantra Aklessoro Ase ini diucapkan pada saat pemilihan benih atau menurunkan bibit padi. Secara pengesahan budaya, masyarakat diajak untuk memilih dan menurunkan bibit unggul dan diharapkan hasilnya juga bernas. Pengesahan budaya juga dikuatkan oleh kalimat Napanaungko Nabbi/ Napatimboko malaekak/ Malaekak patanna pakrasangang „engkau diturunkan Nabi/ engkau ditumbuhkan Malaikat/ Malaikat yang punya kampung‟. Larik-larik tersebut ingin mengesahkan bahwa padi bibit unggul dipercayai diturunkan oleh Nabi dan ditumbuhkan oleh malaikat karena kampung dijaga oleh malaikat. Artinya, secara pengesahan budaya ingin menyampaikan bahwa memilih bibit padi tidak boleh sembarangan, harus melalui serangkaian upacara ritual dengan menyiapkan umba-umba atau kelepon, leko rappo atau daun sirih, dan rappo atau buah pinang. Kelepon dipercaya oleh para petani tradisional suku Makassar membawa keberuntungan dengan melihat latar pembuatannya yang muncul di permukaan air bila sudah masak. 3) Mantra Akbine Mantra Akbine „memilah bibit‟ berfungsi sosial dikatakan sebagai proyeksi harapan. Fungsi tersebut merupakan proyeksi angan-angan suatu kolektif perlindungan supaya bibit padi dapat tumbuh tanpa gangguan. Fungsi pengendali 207 norma sosial, yakni mengharapkan dukungan dari seluruh komunitas masyarakat agraris mengingat keseluruhan proses penanaman padi tergantung dari sistem gotong royong. Hal ini terlihat dalam contoh kalimat berikut. Sikontu ummakna nabbita (5) Anak cucunna Adam (6) I raya – I lau (7) I timboro – I wara (8) Battu ngaseng mako mae (9) Angkatekneangi (10) Angkarannuangi (11) „Semua ummat nabi Muhammad (5) Anak cucunya nabi Adam (6) Di timur – di barat (7) Di selatan – di utara (8) Datanglah semua di sawah ini (9) Membahagiakan (10) Menyenangi‟ (11) Larik mantra di atas difungsikan oleh penyapa sebagai perekat interaksi masyarakat pemiliknya agar sama-sama mendoakan padi yang ditanami. Di Dalam mantra ini, tersurat larik mengundang orang datang dari segala arah untuk membahagiakan dan menyenangi tanah persawahannya. Orang-orang diundang untuk membantu menanam benih padi dengan perasaan senang dan bahagia. Petani tradisional suku Makassar berdoa agar padinya diberi bulir padi yang penuh, tidak puso dan disenangi oleh masyarakat sekitarnya karena itu merupakan berkah. Mantra Akbine „memilah bibit‟ berfungsi pengesahan kebudayaan. Hal ini tercermin dari kata Tallasak „bibit hidup‟. Mantra Akbine ini diucapkan pada saat menabur benih padi. Secara pengesahan budaya, masyarakat diajak untuk menabur benih yang dipercayai benih hidup yang mampu memberikan kehidupan. 208 Hal ini diperkuat oleh kalimat Battu ngaseng mako mae „datanglah semua di sawah ini‟ menunjukkan bahwa si penyapa memohon umat manusia turut mendoakan padi yang ditanam memberikan keberkahan sehingga mampu membahagiakan dan menyenangkan. 4) Mantra Pammula Annanang Ase Mantra Pammula Annanang Ase „permulaan menanam padi‟ berfungsi sosial. Fungsi tersebut merupakan proyeksi pengharapan suatu kolektif dimaksudkan penyapa sebagai proses kelahiran manusia. Fungsi pengendali norma sosial, yakni mengharapkan bersama-sama bersedia untuk merawat dan memelihara benih padi sampai panen nanti. Hal ini terlihat dalam teks berikut. Kupasicini mako anne yaccing (2) Anrong tumallasukkannu (3) Mangge tumappajarinu (4) Nakammiko patampulo malaekak (5) Sicinikki ritallung bulanga (6) „Aku mempertemukan Engkau padi (2) Bunda yang melahirkanmu (3) Ayah yang membuatmu (4) Engkau dijaga empat puluh malaikat (5) Sampai jumpa tiga bulan mendatang‟ (6) Larik mantra di atas difungsikan oleh penyapa bahwa manusia yang menanam benih padi diibaratkan hubungan ayah dan ibu sehingga dapat menumbuhkan padi yang bernas dan berguna bagi orang banyak. Dengan kata lain, kerjasama antara ayah dengan ibu dapat mendatangkan rezeki untuk keluarga dan masyarakat sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa penciptaan padi melalui proses interaksi sosial. 209 Mantra Pammula Annanang Ase „permulaan menanam padi‟ berfungsi sebagai pengesahan kebudayaan. Hal ini tercermin dari kata yukkung, yakkung, yaccing „engkau, Aku, Padi‟. Ketiga elemen tersebut dipercayai masyarakat sebagai pembangun unsur keberhasilan dalam permulaan menanam padi. Disimbolkan, ada kata anrong „bunda‟ dan mangge „ayah‟ yang melahirkan dan membuat ibarat kelahiran manusia. Namun, tidak lupa peran Allah di dalamnya, sehingga di akhir mantra diucapkan Barakka Lailaha Illallah, Barakka anna Muhammadarrasulullah. 5) Mantra Annanang Ase Mantra Annanang Ase „menanam padi‟ berfungsi sosial dimaksudkan oleh penyapa bahwa menanam padi membutuhkan dukungan semua pihak agar berjalan baik tanpa halangan, misalnya Oh yaccing nakutanangko rijekne „oh padiku aku tanam engkau di tanah‟/ kupatimboko ri butta „aku tumbuhkan engkau di tanah‟. Larik tersebut menunjukkan bahwa pada musim tanam, masyarakat tani bersatu untuk mendatangkan air dengan cara membuat irigasi dan membantu menanam padi. Petani tradisional mengutamakan bekerja secara gotong royong. Fungsi pengendali norma sosial, yakni diharapkan bersama-sama mematuhi anggota kolektifnya. Hal ini menunjukkan bahwa penciptaan padi melalui proses interaksi sosial yang selalu mengingatkan masyarakat untuk tidak melupakan untuk berdoa kepada Allah SWT. Mantra Annanang Ase „menanam padi‟ berfungsi pengesahan kebudayaan. Hal ini tercermin dari kata rijekne „di air‟ dan ributta „di tanah‟ sebagi pelambangan kesuburan dan unsur kehidupan. Hal ini dikuatkan oleh kalimat Oh 210 yaccingku nakutanangko rijekne „Oh padiku aku tanam Engkau dalam air‟. Penyapa memberitahukan bahwa padi siap ditanam dan air diharapkan memberikan kesuburan padi yang ditanam. Fungsi tersebut didukung oleh upacara ritual daun sirih serta rappo atau buah pinang sebagai simbol tolak bala. 6) Mantra Rappo Ase Mantra Rappo Ase „bulir padi‟ berfungsi sebagai proyeksi harapan. Fungsi tersebut merupakan proyeksi angan-angan suatu kolektif dimaksudkan penyapa sebagai proses permohonan agar proses pemeliharaan padi seterusnya mendapatkan perlindungan sehingga hasil panen berisi penuh tanpa ada yang puso. Hal tersebut disebabkan adanya perlindungan malaikat dan terlihat dalam larik Narurungang malaekak pakdoangnganna „doa para malaikat menyertaimu‟ dan Awalli passombalinna „wali menjagamu‟. Larik di atas juga sebagai pengendali norma sosial, yakni mengharapkan masyarakat bersedia berdoa untuk merawat dan memelihara benih padi sampai panen nanti dan selalu mengingatkan masyarakat untuk selalu tidak melupakan berdoa kepada Sang Pencipta. Petani meyakini keagungan Tuhan sehingga permohonan dan usaha pertaniannya senantiasa mendapat berkah. Mantra Rappo Ase „bulir padi‟ berfungsi sebagai pengesahan kebudayaan. Hal ini tercermin dari kalimat Battungasengmako mae sumanga asengku „datanglah semua semangat padiku‟. Hal ini dimaksudkan oleh penyapa untuk memberikan semangat bagi penanam padi agar tidak lelah dalam menanam. Ini dikuatkan oleh kalimat Narurungang malaekak pakdoangnganna „doa para 211 malaikat menyertaimu‟, difungsikan agar petani tradisional suku Makassar yang menanam padi memiliki kekuatan dan semangat yang tinggi. 7) Mantra Appa Sulapa Nikutanang Mantra Appa Sulapa Nikutanang „empat arah ditanya‟ berfungsi sosial, dimaksudkan penyapa sebagai proses kondisi seluruh bulir padi terisi dan mendapatkan hasil panen yang maksimal. Hal tersebut terlihat di dalam salam pembuka dan kalimat Oh yaccingku nia aseng jako ilalang „oh padi apakah Engkau ada semua di dalam‟. Mantra ini juga berfungsi sebagai pengendali norma sosial, yakni mengharapkan empat penjuru mata angin disimbolkan sebagai kebersamaan (gotong royong). Kebersamaan menjaga padi yang ditanam agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Mantra Appa Sulapa Nikutanang „empat arah ditanya‟ berfungsi sebagai pengesahan kebudayaan. Dalam mantra ini tercermin dari larik Oh yaccingku nia aseng jako ilalang „oh padi apakah Engkau ada semua di dalam‟. Petani mengharapkan padi berisi penuh tanpa ada yang puso. Hal ini dimaksudkan penyapa untuk memberikan mengesahkan kepada petani tradisional suku Makassar bahwa padi sudah tumbuh dan siap dipanen. Petani memberi sesajen agar roh-roh jahat tidak mendekati padi yang sudah ditanam. 6.2.2. Fungsi Sosial dan Fungsi Budaya Teks Mantra Tupakbiring Fungsi sosial mantra Tupakbiring sama seperti mantra Tulembang. Mantra-mantra tersebut secara sosial mempunyai aturan, mekanisme, dan proses yang telah ditentukan secara adat yang harus dipatuhi. Pelanggaran ketentuan itu akan merusak kosmologi kehidupan para nelayan tradisional suku Makassar 212 penangkap ikan terbang (patorani) di Pallaklakang, Galesong, Kabupaten Takalar. Artinya, upacara ritual dilakukan dalam waktu-waktu tertentu sesuai dengan ketetapan adat, tetapi pada dasarnya dimensi filosofisnya mewarnai keseluruhan perilaku dan aktivitas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi budaya yang tertuang dalam teks mantra Tupakbiring terlihat sebagai fungsi pengesahan kebudayaan atau alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Artinya, fungsi ini sebagai kegiatan rutin yang dilakukan pada kesempatan atau waktu tertentu. 1) Mantra Pappalakku Mantra Pappalakku „permohonanku‟ berfungsi proyeksi harapan. Fungsi tersebut merupakan proyeksi angan-angan suatu kolektif, dimaksudkan penyapa agar datang rezeki. Hal ini diibaratkan seperti telur ikan terbang. Pemohon berharap supaya didekatkan kepada sumber rezeki, meski berada di wilayah laut. Rezeki halal yang dimohonkan hanya pada Allah. Hal ini terlihat dari kata yamming, yang dimaksudkan agar nelayan tradisional suku Makassar bersamasama memohon agar secepatnya diberikan rezeki serta berharap supaya didekatkan kepada sumber rezeki meski berada di laut. Mantra Pappalakku „permohonanku‟ berfungsi pengesahan kebudayaan. Hal ini tercermin dari kata yamming. Larik dalam mantra ini mencerminkan yamming sebagai perantara Oh yamming palakkangak „oh yamming mohonkanlah‟/ Na nupabattuangak „dan sampaikanlah‟ Dallek hallalakku battu ri Allah Taalah „rezeki halalku dari Allah Taalah‟. Kata yamming tidak memiliki arti secara harfiah, tetapi perwujudan kepercayaan terhadap adanya kekuatan kosmik 213 yang menguasai alam semesta. Secara pengesahan budaya, penyapa mengesahkan bahwa dengan membaca nama tersebut mampu memberikan bantuan untuk memanggil dan memohon mempercepat rezeki dengan cara menyampaikan kepada Allah. 2) Mantra Dallekku Mantra Dallekku „rezekiku‟ berfungsi sebagai proyeksi harapan. Fungsi tersebut merupakan proyeksi angan-angan suatu kolektif, dimaksudkan penyapa mengharapkan datangnya rezeki. Hal ini diibaratkan seperti telur ikan terbang. Permohon berharap supaya didekatkan kepada sumber rezeki, meski berada di laut. Rezeki halal yang dimohonkan hanya pada Allah. Hal ini terlihat dari kata yamming, yang dimaksudkan bahwa para nelayan tradisional suku Makassar bersama-sama memohon agar secepatnya diberikan rezeki. Mantra Dallekku „rezekiku‟ berfungsi sebagai pengesahan kebudayaan. Hal ini tercermin dari penggunaan kata yamming dalam mantra ini. Kata tersebut dianggap sebagai perwujudan kepercayaan terhadap adanya kekuatan kosmik yang menguasai alam semesta. Secara pengesahan budaya, kata tersebut diucapkan oleh penyapa untuk mengesahkan pembawa rezeki untuk masyarakat nelayan tradisional suku Makassar. Selain itu, kekuatan alam disahkan agar dipercayai akan memberikan bantuan rezeki. Artinya, segala yang diciptakan Allah mempunyai unsur kekuatan kosmik. Hal ini terlihat dalam larik dalam mantra Labbusukpi bintoengnga „nanti habis bintang di langit‟/ Na labbusuk todong dallekku ri Allah Taaala „barulah habis juga rezekiku dari Allah Taalah‟. 214 Hal ini mengesahkan bahwa tidak ada kekuatan lain yang mampu memberikan rezeki kecuali kekuatan Allah Taalah. 3) Mantra Songka Bala Mantra Songka Bala „tolak bala‟ berfungsi sosial yang merupakan pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya. Artinya, fungsi ini dimaksudkan agar seluruh masyarakat nelayan mematuhi aturan, mekanisme, dan proses yang telah ditentukan secara adat yang harus dipatuhi. Hal ini terlihat dari kalimat Na nusongka sikamma bala nantattabayya „dan lindungilah dari segala marabahaya yang akan datang‟. Larik tersebut dikaitkan dengan kalimat Napunna tanu pakamma kanangku/ Kapallakko ri Muhammad Rasullullah „kalau engkau tidak memenuhi kata-kataku/ engkau tega kepada Muhammad Rasullullah‟. Larik ini sebagai penekanan agar masyarakat nelayan tradisional suku Makassar mematuhi aturan yang sudah ditentukan dalam konteks sosial masyarakat. Selain itu, terdapat fungsi proyeksi harapan yakni merupakan proyeksi angan-angan suatu kolektif, dimaksudkan penyapa mengharapkan datangnya rezeki. Hal ini diibaratkan dengan Imanrembassang, yakni simbol kapal Nabi Nuh, yang dipercayai kuat dan tahan dari segala marabahaya. Penyapa memberikan penekanan melalui upacara adat yang diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat nelayan tradisional suku Makassar setempat. Adanya upacara mempersiapkan peralatan menangkap ikan (annisi biseang), mengecet perahu (akparada), mengambil daun kelapa angngalle lekok kaluku), dan lain-lain yang berhubungan dengan ritual akan melaut. 215 Fungsi budaya mantra Songka Bala „tolak bala‟ sama seperti mantra Tupakbiring sebelumnya, yakni sebagai perwujudan kepercayaan terhadap adanya kekuatan kosmik yang menguasai alam semesta. Hal ini terlihat dari penggunaan kata Imanrembassang (perahu Nabi Nuh). Penyapa ingin mengesahkan bahwa membaca kata tersebut untuk menghindari segala pengaruh roh jahat dan marabahaya. Fungsi kata tersebut untuk mengenali dan menyayangi para nelayan tradisional suku Makassar, jika tidak maka dianggap tega terhadap Nabi Muhammad. Hal ini ditegaskan oleh larik Kainakke minne Muhammad „dan akulah ini Muhammad‟. Kalimat ini merupakan penegasan budaya bahwa masyarakat nelayan tradisional suku Makassar mempercayai adanya Nabi Muhammad sebagai tuntunan dalam mencari rezeki di laut. 4) Mantra Loloanna Sombalakku Mantra Loloanna Sombalakku „tali layarku‟ berfungsi sebagai proyeksi harapan, yakni mengharapkan keselamatan baik perahu maupun penggunanya. Penggunaan istilah anggota tubuh yang dikaitkan dengan elemen perahu menjadi simbol kebersamaan, bahwa jika satu sakit, maka yang lain juga akan merasakan hal yang sama. Fungsi pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya. Artinya, fungsi ini dimaksudkan agar seluruh masyarakat nelayan mematuhi aturan, mekanisme, dan proses yang telah ditentukan secara adat yang harus dipatuhi. Hal ini dilakukan agar tidak merusak kosmologi kehidupan para nelayan tradisional suku Makassar. 216 Fungsi budaya mantra Loloanna Sombalakku „tali layarku‟ sebagai pengesahan budaya. Penyapa ingin mengesahkan bahwa pengguna dan perahu itu satu jiwa yang tidak terpisah. Jika tubuh patah, maka patah juga daun kemudi perahu Tepokpi anne terak-terasakku „nanti patah tulang keringku‟ / Natepok todong lekok gulingku „baru patah juga daun kemudiku‟. Hal ini menunjukkan bahwa ketika melaut perlu adanya fisik dan psikologi yang tangguh. Untuk itu, sebelum melaut perlu dilakukan upacara ritual adat setempat agar diberi keselamatan dan rezeki yang berlimpah. Sebelumnya, para nelayan melakukan upacara accinik allo baji „melihat hari baik‟ dan kapan waktu menarik biseahg „menarik perahu‟. Selain itu, memberikan sesajen berupa dua ekor atau sepasang ayam kampung yang disembelih di pusat perahu yang masih berada di darat. Darahnya ditumpahkan di pusat perahu yang tutupnya dibuka, sehingga darahnya turun membasahi pasir di pantai. Semua anak buah perahu lalu membawa dua ekor ayam tersebut mengelilingi perahu sambil mengeluskan keperahu dan diikuti tampong tawarak. Tampong tawarak terdiri atas satu butir telur ayam kampung, satu biji kelapa setengah tua, satu kilo gula merah, satu tempat dupa berisi serabut dan kulit kelapa, kemenyan, dan satu genggam beras. 5) Mantra Gosse Mantra Gosse „rumput laut‟ berfungsi sebagai proyeksi harapan. Fungsi ini dilihat dari harapan agar hasil rumput laut berlimpah. Penggunaan kata gosse Irapang „ rumput laut Irapang‟ dimasudkan penyapa agar masyarakat nelayan tradisional suku Makassar bersama-sama mendoakan dan dapat menikmati hasil laut bersama-sama juga. 217 Fungsi budaya mantra Gosse „rumput laut‟ sebagai pengesahan budaya bahwa terdapat perwujudan kepercayaan terhadap adanya kekuatan kosmik yang menguasai alam semesta. Hal ini terlihat dari penggunaan kata yukkung. Penyapa ingin mengesahkan bahwa membaca kata tersebut akan memberikan banyak rezeki berupa rumput laut yang dinamai Irapang dan dijaga oleh Nabi Pahara. Larik kelima mempertegas Inakke iyukkung arrengku ri Allah Taalah „yukkung namaku dari Allah Taalah‟. Sebelum mengambil rumput laut, mantra Gosse dibaca oleh nelayan pembaca mantra dan didahului memberi sesajen kepada penjaga Gosse. Sesajen itu terdiri atas daun sirih, telur ayam kampung, beras segenggam yang diambil dari tempat beras di rumah. Marayya Icidda Daeng Ngalle diberi sesajen agar memudahkan urusan di laut. Batu yang tampak di sekitar pengambilan rumput laut diibaratkan sisa kepala dari Nabi Adam, sedangkan rumput laut diibaratkan sisa rambut dari Nabi Hawa. Ali mengambilmu dan diberkahi oleh Nabi Muhammad. Kemudian, nelayan menyelam untuk mengambil rumput laut yang akan digunakan menghias balla-balla dan pakkaja tempat bertelunya tuing-tuing/ ikan terbang. 6) Mantra Bunoanna Jukuka Mantra Bunoanna Jukuka „pengawetan ikan‟ berfungsi sebagai proyeksi harapan. Fungsi proyeksi harapan dilihat dari harapan agar mengharapkan hasil laut berlimpah dan diibaratkan kekayaan dimiliki Nabi Sulaiman. Para sawi mempercayai bahwa kekayaan laut adalah harta yang dimiliki Nabi Sulaiman, sehingga mendatangkan keberkahan. Selain itu, fungsi sosial dimaksudkan agar seluruh masyarakat nelayan mematuhi aturan, mekanisme, dan proses yang telah 218 ditentukan secara adat yang harus dipatuhi. Hal ini dilakukan agar tidak merusak kosmologi kehidupan para nelayan tradisional suku Makassar. Para sawi diharapkan turut menjaga hasil laut dan tidak merusaknya, dengan diibaratkan hasil laut seperti isteri yang harus dijaga dan dipelihara. Fungsi budaya mantra Bunoanna Jukuka „pengawetan ikan‟ sebagai pengesahan budaya bahwa terdapat perwujudan kepercayaan terhadap adanya kekuatan kosmik yang menguasai alam semesta. Hal ini terlihat dari penggunaan kata Iyakking. Penyapa ingin mengesahkan bahwa membaca kata tersebut akan memberikan rezeki berlimpah. Pengawetan ikan dimulai dari mengambil satu ekor ikan terbang dari balla-balla ataupun pakkaja yang masih hidup. Ikan terbang tersebut dipilih yang gemuk dan besar perutnya. Selanjutnya, ikan ini kepalanya harus mengarah ke pembaca mantra, lalu dipegang dan dibuka mulutnya untuk ditiupkan mantra bunoanna jukuka. Iyakking nama ikan terbang diibaratkan dapat terbang seperti Nabi Sulaiman, sedangkan iyukkung nama nelayan pengguna mantra patorani. Baik yukkung maupun yakking diciptakan oleh Allah dan dipertemukan di laut. Yukkung menempatkan yakking di tempat ikan yang layak. Mantra ini bermanfaat agar ikan terbang yang diawetkan tidak cepat busuk. 7) Mantra Appasuluki Kodia Mantra Appasuluki Kodia „mengeluarkan yang jahat‟ berfungsi sosial, dimaksudkan agar seluruh masyarakat nelayan mematuhi aturan, mekanisme, dan proses yang telah ditentukan secara adat yang harus dipatuhi. Hal ini dilakukan agar tidak merusak kosmologi kehidupan para nelayan tradisional suku Makassar. Kata appasuluki kodia dimaknai sebagai upaya mengusir hal jahat yang merusak kosmologis kehidupan. Untuk itu, penyapa (punggawa) menekankan secara 219 tersirat agar seluruh masyarakat nelayan tradisional suku Makassar mematuhi norma yang sudah disepakati dengan cara menjaga semua aspek sosial yang ada di masyarakat pemiliknya. Fungsi budaya mantra Appasuluki Kodia „mengeluarkan yang jahat‟ sebagai pengesahan budaya bahwa terdapat perwujudan kepercayaan terhadap adanya kekuatan kosmik yang menguasai alam semesta. Hal ini terlihat dari penggunaan larik Kuniakkanngi Abubakara – Umara – Usman – Ali „kuniatkan Abubakar – Umar – Usman – Ali‟ untuk melindungi perahu dan semua bagian perahu. Penyapa ingin mengesahkan bahwa membaca larik tersebut akan dijaga perahu yang ditumpangi, tidak rusak, terjaga dari hal baik dan terhindar dari roh jahat. Andai ada roh jahat yang mengganggu, maka diibaratkan akan melebur seperti garam di air berkat bantuan Allah Taalah.