View/Open - Repository Unhas

advertisement
BAB V
STRUKTUR TEKS MANTRA TULEMBANG DAN TUPAKBIRING
Struktur teks mantra berbeda dengan struktur sastra lisan yang lain, karena
di dalam mantra memuat unsur daya magis, gaib, dan pesona (Anwar, 2005: 213).
Menurut Hehahia dan Farlin (2008:274), mantra kebanyakan diucapkan dengan
menggunakan pengulangan-pengulangan bunyi yang diyakini menumbuhkan
kekuatan magis. Oleh karena itu, mantra sering dianggap atau disamakan dengan
doa. Terlepas dari itu, secara struktural teks, seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa mantra mempunyai pola bebas dan terikat. Lebih lanjut,
Hartarta (2009) menyatakan secara garis besar struktur di dalam tubuh mantra
menjadi tiga unsur, yaitu: awal/purwa, tengah/madya, dan akhir/wasana.
5.1. Struktur Teks Mantra Tulembang
5.1.1. Komposisi Naratif Teks Mantra Tulembang
Struktur teks mantra Tulembang memiliki keunikan dalam komposisi
naratif teks. Komposisi naratif teks mantra Tulembang memuat unsur daya magis.
Unsur magis tersebut terletak pada kekuatan salam pembuka, batang tubuh, dan
penutup. Berikut rincian analisis mantra Tulembang.
1) Mantra Appasuki Pakjeko (Pemasangan Bajak)
Mantra Appasuki Pakjeko ‘pemasangan bajak’ merupakan mantra yang
digunakan masyarakat petani tradisional suku Makassar untuk memulai bertani
dengan cara memasang bajak. Secara struktural teks dibagi menjadi tiga bagian,
yakni pembuka, batang tubuh, dan penutup. Berikut rincian bagian tersebut.
102
103
Kau jekne Nabbi Hillere Nabbinnu
Tulungngak na nunngammaseang
Na nupappala doangngangak ri Allah Taalah (1)
‘Engkau air Nabi Khaidir Nabimu
Tolong aku agar tumbuh rasa kasihanmu
Agar engkau mendoakan aku pada Allah Taalah’
Larik di atas tercantum sebagai pembuka dalam Mantra Appasuki Pakjeko
‘pemasangan bajak’. Pembuka tersebut terdiri atas tiga larik yang berisi
permohonan atau permintaan izin. Larik pertama terdiri atas empat kata, larik
kedua terdiri atas tiga kata. Larik ketiga kembali ada empat kata. Tiga larik
tersebut menjadi larik pembuka karena masih dalam satu rangkaian antar larik.
Secara struktur teks, kalimat di atas dikatakan sebagai pembuka karena seperti
yang diungkapkan Hartarta (2009) bahwa teks di atas memuat unsur salam
sebagai bentuk pengakuan, tunduk, takluk, dan perlindungan kepada Allah.
Komponen baris pertama mantra dimulai dengan Kau jekne Nabbi Hillere
Nabbinnu ‘engkau air Nabi Khaidir Nabimu’. Larik ini memuat unsur sugesti,
yang menunjukkan bahwa Nabi Khaidir yang menjaga air. Mantra dilanjutkan
dengan kalimat Tulungngak na nunngammaseang ‘tolong aku agar tumbuh rasa
kasihanmu’ yang menyatakan tujuan, yakni memohon kepada Nabi Khaidir untuk
mendoakan kepada Tuhan agar keinginan dikabulkan. Kalimat ketiga merupakan
penekanan dari pembuka mantra, yaitu Na nuppappalak doangnganga ri Allah
Taalah ‘agar engkau mendoakan aku pada Allah Taalah’. Maksudnya, agar Nabi
Khaidir turut membantu mendoakan kepada Allah agar apa yang diinginkan
dikabulkan Allah.
104
Jika dilihat dari segi bahasa, selain sebagai komponen salam, mantra
pembuka memuat unsur nama sasaran, niat, tujuan, dan menggunakan
pengulangan kata. Pengulangan kata nabbi yang membentuk irama (bunyi)
menunjukkan unsur kekuatan magis. Selain itu, mantra pembuka ditutup dengan
menggunakan kata ri Allah Taalah, yang artinya Allah. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pembaca mantra percaya bahwa permohonan tidak lepas dari peran Sang
Maha Kuasa (Allah).
Secara struktural, bagian pembuka diucapkan untuk memberikan sugesti
agar permohonan yang diinginkan dapat terkabul dengan tidak mengesampingkan
peran Tuhan melalui orang-orang pilihan (Nabi Khaidir) yang dianggap sebagai
penjaga alam. Secara bahasa, mantra pembuka menggunakan pengulangan kata
yang menguatkan atau memberi kepercayaan kepada mantra yang diucapkan.
Selain itu, mantra pembuka di atas menggunakan kata-kata perumpamaan yang
dapat menimbulkan suasana aneh dan gaib, seperti penggunaan nama khusus,
yaitu Nabi Khaidir. Nama Nabi tersebut dapat menciptakan efek magis.
Penggunaan nama Nabi juga memiliki makna sebagai orang yang diyakini mampu
memberi pertolongan terhadap si pembaca mantra.
Pasibuntullangak dallekku
Sarea buku magassing
Amboyai dallek hallalakku
Ri tompokna linoa (2)
‘Pertemukan aku dengan rezekiku
Beri aku kesehatan yang baik
Dalam mencari rezekiku yang halal
Di atas bumi’
105
Batang tubuh dalam mantra berjudul Appasuki Pakjeko ‘pemasangan
bajak’ terdiri atas empat larik dengan susunan larik “1, 2; 1, 2, 3; 1, 2, 3; 1, 2”.
Baris pertama dan kedua terdiri atas dua kata dan tiga kata, sementara baris ketiga
dan keempat dibalik menjadi tiga dan dua kata. Jika dilihat secara struktur teks,
larik pertama dan kedua menunjukkan kalimat perintah. Hal tersebut dibuktikan
dengan enklitik “ku”. Enklitik “ku” yang melekat pada kata dallekku dan dallek
hallalakku sebagai posesif persona pertama
digunakan sebagai penekanan
perintah dan dibuat perulangan pada kalimat ketiga untuk menambah unsur magis
dalam mantra. Larik ketiga menunjukkan tujuan pembaca mantra.
Selain tujuan, batang tubuh mantra memuat komponen harapan, yakni
pengharapan agar didoakan Nabi Khaidir untuk diberi keselamatan oleh Allah dan
mendapatkan rezeki yang halal. Tidak lupa dalam setiap mantra kebanyakan
memuat komponen sugesti, yang memuat unsur-unsur mitologi (Hartarta, 2009).
Hal ini terbukti dengan menggunakan kata Pasibuntullangak dallekku
‘pertemukan aku dengan rezekiku dan Sarea buku magassing ‘beri aku kesehatan
yang baik’.
Barakka Lailaha Illallah
Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3)
‘Barakka Lailaha Illallah.
Barakka Anna Muhammadarrasulullah’
Penutup dalam mantra Appasuki Pakjeko ‘pemasangan bajak’ hanya terdiri
dua larik, yakni ungkapan penutup doa. Mantra tersebut diadopsi dari doa
masyarakat muslim karena larik dua terakhir tersebut merupakan bahasa Arab,
bukan bahasa Makassar. Dua larik tersebut tetap menggunakan pengulangan kata
106
Barakka, untuk menambah kekuatan magis dari mantra. Hal ini menunjukkan
bahwa segala usaha dan upaya yang dilakukan oleh pembaca mantra diserahkan
sepenuhnya kepada kekuasaan Allah. Kata Lailaha Illallah berarti tidak ada
Tuhan selain Allah dan kata Muhammadarrasulullah berarti Nabi Muhammad
Sallallahu Alaihi Wasallam.
Aku/petani sebagai tokoh utama dalam Appasuki Pakjeko memohon
kepada Nabi Khaidir agar didoakan. Nabi Khaidir sebagai tokoh fiktif
memohonkan kepada Allah supaya rezeki aku/petani dimudahkan. Demikian pula,
Nabi Khaidir mendoakan agar aku/petani diberikan kesehatan yang prima dalam
beraktivitas di sawah mencari rezeki.
2) Mantra Aklesero Ase (Menurunkan Bibit)
Mantra Aklesero Ase ‘menurunkan bibit’ dibacakan oleh petani tradisional
suku Makassar ketika bercocok tanam. Mantra tersebut dapat diuraikan secara
struktural teks sebagai berikut.
Oh yaccing
Napanaungko Nabbi
Napatimboko malaekak
Malaekak patanna pakrasangang
Awalli patanna buluk
Naalleko Nabbi
Natambaiko malaekak
Barakka Lailaha Illallah
Barakka Anna Muhammadarrasulullah
Oh padi
Engkau diturunkan Nabi
Engkau ditumbuhkan Malaikat
Malaikat yang punya kampung
Wali yang punya gunung
Engkau diambil Nabi
Di tambahkan oleh Malaikat
Barakka Lailaha Illallah
Barakka Anna Muhammadarrasulullah
107
Oh yaccing
Napanaungko Nabbi
Napatimboko malaekak (1)
‘Oh padi
Engkau diturunkan Nabi
Engkau ditumbuhkan Malaikat’
Secara struktural, teks mantra di atas terdiri atas tiga larik. Ketiganya
terdiri atas dua kata. Mantra pembuka diawali oleh kata sapaan kepada padi: Oh
yaccing, kata “yaccing” dalam masyarakat petani tradisional suku Makassar
diartikan padi. Kata “padi” digunakan sebagai penanda untuk memulai bercocok
tanam. Pembuka dari mantra ini juga mengunakan nonsense, yakni kata seruan
“Oh”. Secara leksikal tidak mempunyai arti, tetapi dalam mantra ini ada
penekanan dan harapan berupa kata sapaan. Seperti mantra sebelumnya, mantra
pembuka Aklesero Ase ‘menurunkan bibit’ menggunakan kata-kata arkais sebagai
bentuk suasana menciptakan suasana magis. Ada nama yaccing ‘padi’, Nabbi
‘Nabi’, dan malaekak ‘malaikat’. Dari sudut bahasa pun, mantra ini menggunakan
pengulangan enklitik “ko” yang melekat pada kata napanaungko dan
napatimboko sebagai persona kedua yang berarti engkau.
Batang tubuh dalam mantra Aklesero Ase ‘menurunkan bibit’ terdiri atas
empat larik, seperti pada larik berikut.
Malaekak patanna pakrasangang
Awalli patanna buluk
Naalleko Nabbi
Natambaiko malaekak (2)
‘Malaikat yang punya kampung
Wali yang punya gunung
Engkau diambil Nabi
Di tambahkan oleh Malaikat’
108
Batang tubuh mantra di atas memiliki rangkaian jumlah kata yang
berbeda. Ada yang terdiri atas tiga kata, yakni baris pertama dan kedua, baris
ketiga dan keempat terdiri atas dua kata. Jumlah kata tersebut didominasi oleh
pengulangan kata Nabbi dan malaekak. Pengulangan kata tersebut merupakan
pertimbangan bunyi agar menciptakan suasana magis dari mantra. Hal ini karena
dalam tradisi sastra lisan, terutama mantra penekanannya pada bunyi. Jika
terdapat banyak pengulangan, maka akan menguatkan suasana gaib.
Alasan pengulangan karena penekanan dari larik pembuka sebelumnya.
Jika dikaitkan dengan hubungan antarkalimat, batang tubuh mantra merupakan
larik penyajian pikiran dari pembaca mantra. Hubungan larik antara pembuka dan
batang tubuh adalah sebab akibat. Pembuka menyajikan unsur asal muasal dan
batang tubuh sebagai penjelasan dari pembuka, sehingga larik batang tubuh
merupakan larik pernyataan.
Selain itu, batang tubuh mantra memuat komponen atau unsur sugesti,
tujuan, nama sasaran, visualisasi dan simbol. Gaya bahasa, mantra ini merupakan
paralelisme, yakni larik yang memiliki rangkaian maksud yang sama dari awal
sampai akhir.
Penutup dalam mantra Aklesero Ase ‘menurunkan bibit’ sama dengan
penutup mantra Appasuki Pakjeko ‘pemasangan bajak’, yakni hanya terdiri atas
dua larik yang mengungkapkan doa. Mantra tersebut menggunakan bahasa Arab.
Larik ini digunakan untuk menambah kekuatan magis dari mantra. Hal tersebut
dapat terlihat dalam teks berikut.
109
Barakka Lailaha Illallah
Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3)
‘Barakka Lailaha Illallah.
Barakka Anna Muhammadarrasulullah’
3) Mantra Akbine (Memilah Benih)
Mantra Akbine merupakan mantra ketiga yang digunakan petani
tradisional suku Makassar. Mantra ini diartikan sebagai mantra ketika mau
menanam padi. Tujuan mantra ini adalah memohon keberkahan dan keselamatan
dalam bercocok tanam. Mantra ini terdiri atas empat belas larik, yang terbagi
menjadi tiga bagian, yakni: pembuka, batang tubuh, dan penutup. Hal ini terlihat
dalam uraian berikut.
Mantra ini dibuka dengan larik Bismillahirrahmanirrahim ‘dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’. Hal ini
menunjukkan bentuk ikhtiar bahwa segala usaha yang dilakukan pembaca mantra
sepenuhnya diserahkan pada Yang Maha Kuasa (Allah). Larik ini menyebutkan
nama ‘Allah’, yang artinya Sang Pencipta. Kata ini diserap oleh masyarakat petani
tradisional suku Makassar sebagai mantra dan digunakan sebagai pengharapan
atau permohonan.
Batang tubuh mantra Akbine tertuang dalam teks berikut.
Tallasak kulamung
Tallasak kulamungang
Tallasak nilamungi
Sikontu ummakna nabbita
Anak cucunna Adam
I raya – I lau
I timboro – I wara
Battu ngaseng mako mae
Angkatekneangi
Angkarannuangi
Sabak Allah Taalah siagang nabbi Muhammad (2)
110
‘Bibit hidup kutanam
Bibit hidup kutanami
Bibit hidup kutanamkan di tanah
Semua ummat Nabi Muhammad
Anak cucunya Nabi Adam
Di timur – di barat
Di selatan – di utara
Datanglah semua di sawah ini
Membahagiakan
Menyenangi
Karena Allah bersama Nabi Muhammad’
Batang tubuh mantra Akbine terdiri atas sebelas larik. Struktur teks, tiga
larik di batang tubuh terjadi pengulangan bunyi. Pengulangan penyajian pikiran
tersebut menunjukkan penekanan maksud dan tujuan mantra. Penyajian pikiran di
larik ketiga pada batang tubuh menegaskan bahwa larik pertama dan kedua, bibit
hidup jika di tanam di tanah.
Jika dilihat hubungan antarlarik batang tubuh antara larik pertama sampai
ketiga, empat sampai delapan, sekilas tidak ada kesinambungan dalam
menyampaikan pikiran. Namun, jika dicermati antara kelompok larik satu sampai
tiga, empat sampai delapan ada korelasi makna. Larik satu sampai tiga dalam
batang tubuh merupakan pernyataan inti dan larik empat sampai delapan
merupakan larik penjelasan. Larik-larik tersebut merupakan kalimat penyampaian
berita, yang artinya kalimat penyampaian suatu keinginan atau pengharapan. Hal
ini ditunjukkan dengan menyebut nama, seperti: Nabi Muhammad, Nabi Adam,
Timur, Barat, Selatan, dan Utara, Allah. Penyebutan nama-nama tersebut
diharapkan memberikan keselamatan dan keberkahan atas tanaman yang ditanam.
Dari sudut gaya bahasa, mantra ini adalah simploke. Menurut Nurhayati
(2013) gaya bahasa ini merupakan jenis repetisi yang menggabungkan antara
111
anafora dan epistrofa seperti kata: Tallasak kulamung/ Tallasak kulamungang/
Tallasak nilamungi.
Penutup dalam mantra Akbine sama seperti mantra pertama dan kedua,
yakni hanya terdiri dua larik yang mengungkapkan doa. Mantra penutup
menggunakan bahasa Arab. Larik ini digunakan untuk menambah kekuatan magis
dari mantra. Hal tersebut dapat terlihat dalam teks berikut.
Barakka Lailaha Illallah
Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3)
‘Barakka Lailaha Illallah.
Barakka Anna Muhammadarrasulullah’
4) Mantra Pammula Annanang Ase (Permulaan Menanam Padi)
Mantra Pammula Annanang Ase ‘permulaan menanam padi’ merupakan
mantra keempat yang digunakan oleh petani tradisional suku Makassar. Mantra
ini diartikan sebagai mantra permulaan menanam padi. Tujuan mantra ini adalah
memohon keselamatan dalam bercocok tanam. Mantra ini terdiri atas delapan
larik, yang terbagi menjadi tiga bagian, yakni: pembuka, batang tubuh, dan
penutup. Hal ini terlihat dalam uraian berikut.
Yukkung, yakkung, yaccing (1)
“Ya Allah, Hambamu dan Padiku ini”.
Kupasicinik mako anne yaccing
Anrong tumallasukkannu
Mangge tumappajarinu
Nakammiko patampulo malaekak
Sicinikki ritallu bulanga (2)
‘Aku mempertemukan engkau padi
Bunda yang melahirkanmu
Ayah yang membuatmu
112
Engkau dijaga empat puluh malaikat
Sampai jumpa tiga bulan mendatang’
“Hambamu memohon Padimu ini, Maha Agung yang melahirkan Padi ini, Maha
Kuasa yang membuatmu ini, Ya Allah jagalah padiku ini dengan empat puluh
Malaikat, hingga panen datang pada tiga bulan mendatang.” Tokoh utama adalah
petani memohon agar Allah memberkahi padinya/yaccing yang ditanam di tanah
persawahan. Petani mengandaikan dirinya sebagai ayah menanam bibit padi dan
tanah sebagai ibu melahirkan padi yang berisi bulir padi. Petani meyakini dengan
pertolongan Allah dan empat puluh maikatnya bibit padinya sehat dan cepat
pertumbuhannya.
Barakka Lailaha Illallah
Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3)
“Semoga barokah dan Allah meridhoi”.
Pembuka mantra Pammula Annanang Ase ‘permulaan menanam padi’
terdiri atas satu baris dan satu kalimat. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Yukkung, yakkung, yaccing (1)
‘Engkau, aku, padi’
Pembuka mantra di atas terdiri atas tiga kata, yakni
menunjukkan
keberadaan “engkau”, “aku”, “padi”. Kata tersebut menyajikan kata sapaan dan
penyajian pikiran yang berisi penegasan kekuatan mantra. Larik tersebut berisi
informasi bahwa jika ingin menanam padi, ada tiga unsur yang perlu diperhatikan,
yakni pemilik padi, yang menanam, dan padi. Larik ini merupakan metonimi,
yakni menggunakan bahasa kiasan dengan menggunakan nama atau ciri orang
untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya. Selain itu, secara struktural
menggunakan komponen nama sasaran sebagai penguat mantra atau menambah
unsur magis dalam pengucapan.
Batang tubuh mantra Pammula Annanang Ase ‘permulaan menanam padi’
terdiri atas lima larik yang tidak beraturan. Hal ini terlihat dalam teks berikut:
113
Kupasicinik mako anne yaccing
Anrong tumallasukkannu
Mangge tumappajarinu
Nakammiko patampulo malaekak
Sicinikkik ri tallu bulanga (2)
‘Aku mempertemukan Engkau padi
Bunda yang melahirkanmu
Ayah yang membuatmu
Engkau dijaga empat puluh malaikat
Sampai jumpa tiga bulan mendatang’
Batang tubuh mantra di atas merupakan larik yang digolongkan dalam
unsur sugesti. Terlihat dalam larik Nakammiko patampulo malaekak ‘engkau
dijaga empat puluh malaikat’. Secara denotasi kalimat tersebut tidak akan terjadi
dalam kondisi sebenarnya. Namun, ungkapan tersebut diyakini oleh masyarakat
petani tradisional suku Makassar bahwa padi-padi mereka dijaga oleh empat
puluh malaikat. Mantra dilanjutkan dengan kalimat Sicinikkik ri tallu bulanga
‘sampai jumpa tiga bulan mendatang’ yang menyatakan tujuan bahwa tanaman
yang ditanam akan dapat dipanen tiga bulan mendatang. Hal ini karena secara
konvensional jika menanam padi, akan dapat dipanen tiga bulan mendatang.
Penutup mantra Pammula Annanang Ase ‘permulaan menanam padi’ sama
dengan mantra-mantra Tulembang sebelumnya. Mantra ini ditutup dengan nama
Allah dan Nabi Muhammad dengan harapan padinya tumbuh atas lindungan
kedua nama tersebut. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Barakka Lailaha Illallah
Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3)
‘Barakka Lailaha Illallah.
Barakka Anna Muhammadarrasulullah’
114
5) Mantra Annanang Ase (Menanam Padi)
Mantra Annanang Ase merupakan mantra pada saat proses menanam padi.
Mantra ini berisi sebelas larik, terdiri atas pembuka, batang tubuh, dan penutup.
Hal tersebut terlihat dalam teks berikut.
Oh yaccingku nakutanangko ri jekne
Kupatimboko ri butta (1)
“Padiku yang kutanam dalam air, dan kusemaikan ke dalam tanah”
Bintoeng palliserannu
Bulang papa kaciknongnu
Alloa pangnyappuruknu
Nairik-irikko anging
Anging battu ri Makka
Nakarenai anging battu ri Madina
Ritallung bulang kisicinik (2)
Bintang isi padimu
Bulan menjadi kejernihanmu
Matahari menyinarimu
Angin sepoi-sepoi menggoyangmu
Angin datang dari Mekkah
Dipermainkan anging dari Medinah
Tiga bulan mendatang kita bertemu
Barakka Lailaha Illallah
Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3)
“Semoga Alllah memberkahi dan dirodhio nya”.
Larik pembuka dalam Annanang Ase ‘menanam padi’ terdiri atas dua
baris. Seperti mantra pembuka sebelumnya, mantra pembuka juga terdiri atas
“engkau”, dan “padi”. Kata-kata tersebut menyajikan kata sapaan dan penyajian
pikiran yang berisi penegasan akan kekuatan mantra. Larik ini merupakan
metonimi, yakni menggunakan bahasa kiasan dengan menggunakan nama atau
ciri orang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya.
115
Batang tubuh mantra Annanang Ase ‘menanam padi’ berisi tujuh larik.
Larik mantra dimulai dengan larik Bintoeng palliserannu, Bulang papa
kaciknongnu, Alloa pangnyappuruknu, Nairik-irikko anging, Anging battu ri
Makka, Nakarenai anging battu ri Madina, dan Ritallung bulang kisicini. Baris
pertama, petani mengharapkan bulir padinya seperti biji-biji bintang di langit.
Baris kedua, sinar bulan menyinari bibit padi agar bulir padi jernih. Baris ketiga,
sinar matahari membantu mengeringkan batang bibit padi agar proses penyerapan
berlangsung dengan baik. Baris keempat dan kelima, hembusaan angin dari tanah
suci Mekkah dan Medinah mempercepat pertumbuhan bibit padi. Baris keenam,
dilanjutkan dengan Ritallung bulang kisicini yang berisi pengharapan bahwa tiga
bulan ke depan padi siap dipanen. Dengan kata lain, baris pertama sampai enam
dalam batang tubuh memuat unsur sugesti.
Penutup dalam mantra Annanang Ase ‘menanam padi’ sama dengan
mantra-mantra Tulembang sebelumnya. Penutup menggunakan bahasa Arab
dengan memuat unsur doa secara islami. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Barakka Lailaha Illallah
Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3)
‘Barakka Lailaha Illallah.
Barakka Anna Muhammadarrasulullah’
6) Mantra Rappo Ase (Bulir Padi)
Mantra Rappo Ase ‘bulir Padi’ merupakan mantra ketika proses
memasukkan padi ke lahan atau tanah. Mantra ini berisi sembilan larik. Seperti
mantra sebelumnya, mantra ini memuat tiga struktur, yakni pembuka, batang
tubuh, dan penutup. Hal ini terlihat dalam teks berikut:
116
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu (1)
‘Assalama Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu’
Battungasengmako mae sumanga asengku
I timboro - I wara
I raya - I lau
I rawa – I rate
Narurunga malaikak pakdoangnganna
Awalli passombalinna (2)
Datanglah semua semangat padiku
Di Selatan – di Utara
Di Timur – di Barat
Di atas – di bawah
Doa para malaikat menyertaimu
Wali menjagamu
Barakka Lailaha Illallah
Barakka Anna Muhammadarrasulullah
“Semoga Allah memberi barakah dan diridhoi Nabi Muhammad.”
Pembuka mantra Rappo Ase ‘bulir padi’ hanya ada satu larik, yakni
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu. Larik pembuka berupa salam
yakni larik sapaan, yang digunakan untuk memulai sesuatu yang baik. Kata salam
berisi pengharapan agar tujuan dapat tercapai.
Batang tubuh mantra Rappo Ase ‘bulir padi’ berisi enam larik. Batang
tubuh berisi larik sugesti. Mantra yang terucap menggunakan larik metonimi,
yakni menggunakan bahasa kiasan dengan menggunakan nama atau ciri orang
atau suatu barang untuk menyebutkan hal yang bertautan dengannya, seperti
Selatan, Utara, Timur, Barat, atas, bawah, malaikat, dan wali. Hal ini terlihat
dalam teks berikut.
Battungasengmako mae sumanga asengku
I timboro – I wara
I raya - I lau
117
I rawa – I rate
Narurunga malaikak pakdoangnganna
Awalli passombalinna (2)
‘Datanglah semua semangat padiku
Di selatan – di Utara
Di timur – di Barat
Di atas – di bawah
Doa para malaikat menyertaimu
Wali menjagamu’
Penutup yang digunakan dalam mantra Rappo Ase ‘bulir padi’ sama
dengan mantra-mantra Tulembang sebelumnya, yakni berisi dua kalimat. Antara
penutup yang selalu digunakan adalah bahasa Arab dengan memuat unsur doa
secara Islami. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Barakka Lailaha Illallah
Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3)
‘Barakka Lailaha Illallah.
Barakka Anna Muhammadarrasulullah’
7) Mantra Appa Sulapa Nikutanang (Empat Arah Ditanya)
Mantra Appa Sulapa Nikutanang ‘empat arah ditanya’ sebagai mantra
pamungkas yang dibaca oleh pemantra. Mantra ini berisi delapan belas larik.
Mantra ini termasuk mantra terpanjang dari mantra-mantra Tulembang
sebelumnya.
Sebagai pembuka, mantra ini ada dua kalimat, yang terlihat dalam teks
berikut.
Oh yaccingku nia aseng jako ilalang
Tenamo tumaboyanu (1)
“Padiku yang ada di semua alam, akau hendak mencarimu”
118
Dua kalimat mantra di atas dikatakan pembuka karena dua kalimat
tersebut merupakan kalimat tanya. Kalimat tanya mengindikasikan adanya
masalah yang ingin disampaikan pemantra. Kalimat tanya dibuat di awal
mengindikasikan pengharapan jawaban dari yang ditanya. Dimunculkan
pengulangan kata tanya ini untuk menambah unsur magis dalam pengucapan
mantra, mengingat mantra ini adalah mantra pamungkas dalam proses bercocok
tanam (bertani).
Kalimat pembuka di atas kemudian dilanjut kalimat yang secara struktural
sebagai batang tubuh, yakni sebagai berikut.
Iraya kalauko mae
Ilauka anraikko mae
Timboroka warakko mae
Waraka timborokko mae
Irateya naungko mae
Irawayya naikko mae
Kusalayya kusabbu
Kariolo mako battu
Naku panaimako anne yaccing
Ridulang-dulang pallunu
Ripallakka bulaengnu
Lao-lao pole
Tanairikmako anging
Tanararangko allo (2)
‘Yang di Timur silahkan datang ke Barat
Yang di Barat silahkan datang ke Timur
Yang di Selatan silahkan datang ke Utara
Yang di Utara silahkan datang di Selatan
Yang di atas silahkan turun ke bawah
Yang di bawah silahkan naik ke atas
Yang tidak sempat kusebut
Karena Engkau datang mendahului
Aku turunkan Engkau padi
Di atas nampang tempat masakmu
Di atas peraduan emasmu
Pergi-pergi lagi
119
Engkau tidak disertai angin
Engkau juga tidak disinari matahari’
“Jika pergi ke timur aku akan hendak ke barat, jika ke barat akupun hendak ke
timur. Jika pergi ke selatan aku akan hendak ke utara, jika ke utara akupun hendak
ke selatan. Jika naik ke atas aku akan hendak ke bawah, jika hendak turun ke
bawah aku naik ke atas. Aku tidak ingin menyebut kesalahan, sebab Padilah yang
datang mendahuluiku, Padilah yang datang kepadaku telah kuletakkan di atas
nampang tempat istirahatmu, di atas dulang emasmu, di atas semua rezekiku,
namun padiku kutempatkan engkau di atas plafon/tempat tertinggi dalam rumahku
dan tidak ada angin yang bermain bersamamu, dan tidak juga disinari matahari
maka istirahatlah.”
Larik batang tubuh di atas terdiri atas empat belas larik. Larik-larik yang
disampaikan digolongkan dalam ungkapan sugesti karena memuat seruan.
Kalimat batang tubuh ini terdiri atas larik berita. Larik ini diindikasikan berisi
sanjungan dan biasanya menandakan harapan dan keinginan serta kerelaan atas
apa yang terjadi.
Batang tubuh lebih banyak memuat pengulangan-pengulangan bunyi, yang
menjadi ciri mantra. Jika dilihat, terdapat pengulangan kata mae yang diulang
enam kali, dan partikel ma- serta enklitik -ko ‘engkau’. Hal ini menimbulkan
bunyi yang berirama, dan beriringan.
Seperti mantra-mantra Tulembang sebelumnya, mantra Appa Sulapa
Nikutanang ‘empat arah ditanya’, ditutup dengan dua kalimat seperti sahadat,
sebagai bentuk pengakuan kepada Allah dan Nabi Muhammad bahwa segala
keberkahan dan kemakmuran adalah kehendak yang Maha Kuasa. Hal ini terlihat
dalam teks berikut:
Barakka Lailaha Illallah
Barakka Anna Muhammadarrasulullah (3)
‘Barakka Lailaha Illallah.
Barakka Anna Muhammadarrasulullah’
120
Berdasarkan seluruh analisis struktur teks dalam mantra Tulembang
ditemukan bahwa komponen pembangun unsur mantra meliputi komponen
pembuka yang memuat unsur pengakuan dan permohonan perlindungan Allah
penguasa alam semesta. Ada niat atau keinginan yang hendak dicapai.
Penggunaan nama-nama penting dalam mantra, seperti: Nabi Khaidir, Allah,
Muhammad, yaccing ‘padi’, Nabi-nabi, wali, malaikat, arah mata angin, bintang
matahari dan bulan. Komponen sugesti didominasi sentuhan mitologi, seperti
Narurungang malaikak pakdoangnganna ‘doa para malaikat menyertaimu’ dan
lain-lain. Komponen visualisasi dan simbol Nairik-irikko anging ‘angin sepoisepoi menggoyangmu’, Nakammiko patampulo malaekak ‘engkau dijaga empat
puluh malaikat’.
5.1.2. Satuan Wacana Naratif Teks Mantra Tulembang
Wacana naratif merupakan rangkaian tuturan yang menekankan unsur
melalui penonjolan unsur cerita penting, seperti: unsur waktu, pelaku, dan
peristiwa dengan maksud memperluas pengetahuan pesapa (Djajasudarma, 1994).
Kekuatan wacana ini terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu dan cara-cara
bercerita yang diatur melalui plot. Wacana narasi dapat dibedakan menjadi narasi
ekspositoris dan sugestif. Narasi eksporitoris merupakan jenis narasi yang
bertujuan memberikan informasi kepada pembaca agar pengetahuannya
bertambah luas. Narasi sugestif merupakan jenis narasi yang disusun sedemikian
rupa untuk menyampaikan sebuah makna kepada para pembaca, sehingga mampu
menimbulkan daya khayal para pembaca (Rani dkk., 2006). Menurut Maknun
121
(2012), wacana naratif teks mantra paling tidak memuat unsur medan wacana,
pelibat wacana, dan sarana wacana.
1) Mantra Appasuki Pakjeko (Pemasangan Bajak)
Mantra Appasuki Pakjeko secara wacana naratif menceritakan permohonan
bantuan kepada Nabi Khaidir untuk berkenan mendoakan kepada Allah agar
pemasangan bajak direstui dan dipertemukan dengan rezeki yang halal, serta
diberi kesehatan. Wacana narasi mantra ini berbentuk narasi sugestif, yakni
memberikan makna kekuatan dan kesehatan serta keselamatan bagi pembaca
mantra.
Medan wacana dalam mantra ini adalah penyampaian permohonan seperti
doa yang diujarkan pada saat pemasangan bajak di sawah. Suasana pada saat
penuturan mantra penuh khusuk dan hening, menggambarkan tingkat kepasrahan
dan pengharapan yang tinggi pada Allah. Waktu pembacaan mantra dilakukan
berdasarkan musim.
Pelibat wacana dalam mantra ini adalah para petani yang mau membajak
sawah. Mantra ini ditujukan kepada Nabi Khaidir, air, dan Allah, serta Nabi
Muhammad SAW. Sarana wacana yang disampaikan berupa monolog. Dikatakan
monolog seperti pernyataan Maknun (2012), bahwa penyampaian mantra
berwujud
monolog,
pembaca
mantra
hanya
sebagai
penyapa,
pesapa
berkedudukan implisit (tidak tampak) sehingga tidak terjadi interaksi.
Penggunaan bahasa dalam mantra cenderung analogis dengan penekanan
sentuhan mitologi, serta bersifat lebih bebas dalam hal suku kata, baris, ataupun
122
persajakan. Seperti dikatakan Jalil dan Elmustian (2002:49) bahwa mantra lebih
bebas, sehingga hampir tidak ada suatu bentuk apapun.
2) Mantra Aklesero Ase (Menurunkan Bibit)
Mantra Aklesero Ase secara wacana naratif diujarkan pada saat
menurunkan bibit padi ke tanah. Mantra ini merupakan jenis komponen sasaran.
Nama yang menjadi sasaran adalah yaccing ‘padi’. Wacana narasi mantra ini
berbentuk narasi sugestif, yakni mantra ini sebuah pengharapan agar padi yang
ditanam menjadi subur dan tumbuh dengan baik. Suasana yang terbangun ketika
pembacaan mantra sakral dan khusuk.
Pelibat wacana dalam mantra adalah para petani yang mau membajak
sawah. Mantra ini ditujukan kepada padi, Nabi, malaikat, wali dan Allah, serta
Nabi Muhammad SAW. Sarana wacana yang disampaikan berupa monolog.
Penggunaan bahasa dalam mantra ini cenderung analogis dengan penekanan
sentuhan mitologi serta bersifat lebih bebas dalam hal suku kata, baris, ataupun
persajakan.
3) Mantra Akbine (Mencabut Benih)
Mantra Akbine secara wacana naratif diucapkan pada saat mencabut bibit
padi. Suasana yang terbangun dalam pengucapan mantra dalam keadaan sakral
dan khusuk. Mantra ini merupakan permohonan kepada Nabi Muhammad dan
anak cucu Adam untuk memberikan safaat ketika bercocok tanam. Wacana narasi
mantra ini berbentuk narasi sugestif, yakni mantra ini adalah permohonan agar
diberi keberkahan, kebahagiaan dan kesenangan karena Allah bersama Nabi
Muhammad. Pelibat wacana dalam mantra ini adalah para petani yang menanam
123
padi. Mantra ini ditujukan kepada padi, Nabi Muhammad, arah mata angin, dan
Allah SWT. Sarana wacana yang disampaikan berupa monolog. Penggunaan
bahasa analogis dengan penekanan sentuhan mitologi.
4) Mantra Pammula Annanang Ase (Menanam Bibit Padi)
Mantra Pammula Annanang Ase dibaca pada permulaan menanam bibit
padi. Mantra ini mengungkapkan tiga hal, yakni: Tuhan, petani, dan padi. Padi
dipertemukan dengan Tuhan melalui petani. Padi dilahirkan bunda, dibuat ayah
dan dijaga empat puluh malaikat. Pengharapan bahwa tiga bulan mendatang padi
dapat dipanen dengan hasil yang baik.
Mantra ini dibacakan dalam suasana sakral dan khusuk dan dibaca oleh
seorang pinati/pawang atau pemuka masyarakat dan didengarkan secara khidmat
oleh para petani di sawah. Penyampaian mantra ini bersifat monolog dan dialog.
Monolog karena pendengar mantra berperan implisit. Dialog karena menimbulkan
respon interaksi secara batin bagi pembaca dan sesuatu yang dianggap ada.
Terbukti, dengan penyebutan: yukkung, yakkung, yaccing ‘engkau, aku, padi’.
Penyampaiannya berupa dialog antara petani, Tuhan, dengan padi. Dialog lain
adalah pengucapan Na kammiko patampulo malaekak/ Sicinikki ritallu bulanga
‘engkau dijaga empat puluh malaikat’/ ‘sampai jumpa tiga bulan mendatang’.
5) Mantra Annanang Ase (Permulaan Menanam Padi)
Mantra Annanang Ase merupakan mantra pada saat prosesi menanam
benih. Mantra ini mengungkapkan padi akan ditanam di tanah, diisi oleh bintang,
dijernihkan oleh bulan, dan disinari matahari. Padi tertiup angin yang datang dari
Mekkah dan Medinah dan dinanti tiga bulan mendatang dan digunakan metafora
124
dengan sentuhan mitologi. Hal ini terbukti dengan penggunaan simbol bintang,
bulan, dan matahari, serta angin sebagai sarana menumbuhkan dan menyuburkan
benih. Kekuatan mantra ini terletak pada penutup dengan pengucapan doa kepada
Allah dan Nabi Muhammad.
Penyampaian mantra tergolong monolog dan dialog. Monolog karena yang
diajak komunikasi implisit dan dialog karena ada interaksi batin bagi pembaca
dan sesuatu yang dianggap ada. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan pronomina
persona pertama dan kedua ko ‘engkau’, nu ‘mu’, dan ku ‘aku’. Suasana
pembacaan dalam kondisi khidmat dan sakral untuk menambah unsur magis
dalam mantra.
6) Mantra Rappo Ase (Bulir Padi)
Mantra Rappo Ase merupakan mantra untuk menyugesti isi padi agar
berkembang dengan sempurna. Mantra ini diawali oleh salam, untuk
mendatangkan semangat dalam padi dari segala penjuru mata angin dan disertai
doa para malaikat. Mantra ini ditujukan kepada Allah, padi, malaikat, wali dan
Nabi Muhammad sebagai penutup mantra. Pelibat wacana juga orang yang
dianggap tetuah adat/penati sebagai pembaca mantra dan petani sebagai pesapa.
Penyampaian bahasa secara monolog dan dialog, serta penggunaan bahasa secara
metaforis dengan sentuhan mitologi dan religi.
7) Mantra Appa Sulapa Nikutanang (Empat Arah Ditanya)
Mantra Appa Sulapa Nikutanang merupakan mantra menanyakan empat
arah mata angin agar menurunkan keberkahan kepada padi yang dipanen.
Diungkapkan bahwa penyapa (pembaca mantra) meminta kepada seluruh penjuru
125
mata angin untuk mendatangi padi dan menanyakan padi tentang kerelaan untuk
dipanen. Hal ini disebutkan dalam teks Tenamo tumaboyanu ‘apa engkau tak ada
yang mencarimu’. Mantra ini ditujukan kepada padi dan ditutup dengan doa
kepada Allah dan Nabi Muhammad.
Penyampaian mantra berbentuk monolog dan dialog. Monolog karena
pesapa hadir secara implisit, dialog karena menggunakan kalimat tanya.
Penggunaan bahasa tetap secara metaforis dengan sentuhan mitologi dan religi.
5.1.3 Karakteristik Kesatuan Teks Mantra Tulembang
Pembahasan karakterisrik kesatuan didasarkan pada permainan bunyi
(rima), permainan kata, paralelisme, majas, dan simbol. Rima merupakan
permainan unsur bunyi. Bentuk rima yang sering muncul ialah aliterasi, asonansi,
dan rima akhir. Aliterasi adalah repetisi bunyi awal pada kata-kata yang berbeda,
biasanya berupa konsonan (Badrun, 2014).
1) Mantra Appasuki Pakjeko
Pembahasan karakteristik kesatuan mantra Appasuki Pakjeko dimulai dari
permainan bunyi (rima). Analisis rima dengan beberapa contoh yang ditandai
huruf tebal, seperti terlihat dalam teks berikut.
Kau jekne Nabbi Hillere Nabbinu (1)
Tulungngak na nunngammaseang (2)
Nanu pappala doangngangak RiAllah Taalah (3)
....
‘Engkau air Nabi Khaidir Nabimu (1)
Tolong aku agar tumbuh rasa kasihanmu (2)
Agar Engkau mendoakan aku pada Allah (3)
....
126
Bentuk yang ditebalkan dalam mantra Appasuki Pakjeko di atas terdapat
repetisi dan paraleisme semantis. Pada larik pertama terdapat kesamaan kata
Nabbi ‘Nabi’ dan Nabbinnu ‘Nabimu’. Larik kedua paralelisme verbal pada kata
Tulungngak ‘tolong aku’ dan nunngammaseang ‘rasa kasihmu’ dan nupappala
doangngangak ‘mendoakan aku’.
Larik pertama, kata Nabbi berada di urutan ketiga dan Nabbinnu pada
urutan kelima suku kata pertama. Rima kalimat pertama ini merupakan rima tidak
sempurna dan rima dalam. Tidak sempurna karena kata-kata tidak sama dan
dalam karena dalam satu larik. Selain itu, rima ini berupa aliterasi, yakni berupa
perulangan bunyi konsonan tunggal ‘n’ dan geminasi ‘bb’.
Mantra Appasuki Pakjeko secara keseluruahn menggunakan diksi denotasi
seperti pada larik pertama menggunakan kata jekne ‘air’, diawali kata kau
‘engkau’ dan selanjutnya diikuti kata nabbi. Kata Tulungngak ‘tolong aku’,
RiAllah Taalah ‘Allah’, dan sebagainya.
Bentuk dalam mantra Appasuki Pakjeko terjadi pada larik keempat dan
larik keenam seperti pada teks berikut:
...
Pasibungtullangak dallekku (4)
...
Amboyai dallek hallalakku (6)
....
‘...
Pertemukan aku dengan rezekiku (4)
...
Dalam mencari rezekiku yang halal (6)
....’
127
Paralelisme bentuk dari contoh larik di atas merupakan paralelisme
berselang, yakni paralelisme yang sudah diselingi kalimat lain. Struktur yang
tampak adalah paralelisme berselang berupa kata. Kata tersebut adalah dallekku
dan kata dallek. Selain paralelisme berselang juga terdapat paralelisme dua kata
atau frasa yang berulang, seperti larik kesembilan dan kesepuluh berikut.
Barakka Lailaha Illallah (9)
Barakka Anna Muhammadarrasulullah (10)
Majas yang tertera dalam mantra ini adalah majas metonimia. Menurut
Moeliono (dalam Badrun, 2014), majas metonimia adalah majas yang
menggunakan pemakaian nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang,
barang, atau hal lain dengan penggantinya. Seperti tertera dalam contoh kalimat
berikut.
Kau jekne Nabbi Hillere Nabbinnu (1)
Tulungngak na nunngammaseang (2)
‘Engkau air Nabi Khaidir Nabimu
Tolong aku dan tumbuh rasa kasihanmu’
Mantra di atas dikatakan majas metonimia karena menggunakan kata jekne ‘air’
dihubungkan dengan Nabi Khaidir dan ‘air’ diminta sebuah pertolongan dan belas
kasihan. Simbol yang tampak dalam mantra ini terletak pada kata jekne ‘air’. Air
disimbolkan sebagai perantara doa kepada Allah agar dipertemukan dengan rezeki
dan diberi kesehatan. Pemakaian simbol tersebut berkaitan dengan tema mantra,
yakni untuk menanam padi. Air adalah sumber kehidupan dan air yang mampu
menyuburkan tanaman.
128
2) Mantra Aklesero Ase
Permainan bunyi (rima), dalam mantra Aklesero Ase dengan ditandai
dengan huruf tebal, seperti: Napanaungko Nabbi ‘engkau diturunkan Nabi’.
Cetakan tebal dalam contoh ini terdapat pasangan bunyi yang mirip. Pasangan
tersebut tidak berupa larik karena susunan pada mantra ini rata-rata dua kata (larik
pendek). Hal ini tampak pada prefiks Na untuk Napanaungko dan Na untuk
Nabbi. Rima pada kalimat tersebut terdapat pada awal kata. Hal ini ada juga pada
larik keenam Naalleko Nabbi ‘engkau diambil Nabi’. Rima yang muncul pada
mantra ini tergolong rima tidak sempurna karena kata-kata tidak sama dan dalam
karena dalam satu larik.
Diksi (permainan kata) di dalam mantra Aklesero Ase secara keseluruhan
menggunakan diksi denotasi seperti pada kalimat pertama menggunakan kata
yaccing ‘padi’, nabbi ‘nabi’, malaekak ‘malaikat’, pakrasangang ‘kampung’, dan
buluk ‘gunung’, dan sebagainya. Paralelisme dalam mantra Aklesero Ase terjadi
pada larik kedua dan ketiga seperti pada teks berikut.
Oh yaccing (1)
Napanaungko Nabbi (2)
Napatimboko malaekak (3)
‘Oh padi
Engkau diturunkan Nabi
Engkau ditumbuhkan Malaikat’
Paralelisme larik di atas merupakan paralelisme bentuk. Struktur terbentuk
dari gramatikal yang hampir sama.
Larik tersebut terlihat tidak sama, tetapi
secara esensi sama sebagai larik penjelas. Larik bercetak tebal tersebut merupakan
kalimat berita, subjek kedua larik implisit. Kedua larik menekankan larik pertama
129
yakni padi. Selain paralelisme struktur, juga terdapat paralelisme dua kata atau
frasa yang berulang, seperti pada contoh larik kedelapan dan sembilan berikut.
Barakka Lailaha Illallah (8)
Barakka Anna Muhammadarrasulullah (9)
Majas yang tertera dalam mantra di atas adalah majas metonimia. Mantra
ini menggunakan pemakaian nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan
orang, barang, atau hal lain dengan penggantinya, seperti terlihat dalam contoh
larik pertama dan dua di atas. Namun demikian, terdapat juga majas metafora,
seperti kalimat Malaekak patanna pakrasangang ‘malaikat yang punya
kampung’. Metafora ini penggambaran penegasan kalimat sebelumnya yakni
Napatimboko malaekak ‘engkau ditumbuhkan malaikat’. Dianalogikan bahwa
padi telah ditumbuhkan malaikat karena malaikat yang memiliki kampung
tersebut, sehingga dipercaya oleh masyarakat petani tradisional suku Makassar
bahwa tidak perlu ragu kalau padi nantinya tumbuh dengan sempurna karena
dijaga malaikat.
Simbol yang tampak dalam mantra ini terlihat dalam kalimat berikut.
Malaekak patanna pakrasangang (4)
Awalli patanna buluk (5)
‘Malaikat yang punya kampung
Wali yang punya gunung’
Simbol yang tampak bahwa malaikat punya kampung tersebut dan Wali
yang mempunyai Gunung. Secara harfiah hal tersebut tidak mungkin terjadi.
Pemebentukan simbol dalam mantra ini bertujuan sebagai ucapan penguat
sehingga membentuk unsur magis atau gaib.
130
3) Mantra Akbine
Permainan bunyi (rima), di dalam mantra Akbine dalam satu larik tidak
tersurat dengan jelas. Hal ini karena larik yang terbangun rata-rata hanya dua kata.
Namun, ada rima pada larik kelima yang berbunyi Sikontu ummakna nabbita
‘semua ummat nabi Muhammad’. Namun, pasangan bunyi tersebut kurang
menonjol atau tidak terlihat dominan karena bunyi tersebut satu rangkaian kata
yang umum yakni ummat Nabi Muhammad. Artinya, mantra ini tidak
menonjolkan rima, sehingga rima ini berjenis rima tidak sempurna.
Diksi (permainan kata) mantra Akbine menggunakan denotasi seperti pada
kalimat pertama menggunakan kata Iraya ‘timur, dan nabbita ‘nabi Muhammad’.
Penggunaan diksi denotasi dimungkinkan sebagai upaya mempermudah pembaca
mantra untuk memaknai dan meyakini mantra yang diucapkan.
Paralelisme dalam mantra Akbine terjadi pada contoh larik 2, 3 dan 4 pada
teks berikut.
Tallasak kulamung (2)
Tallasak kulamungang (3)
Tallasak nilamungi (4)
‘Bibit hidup kutanam (2)
Bibit hidup kutanami (3)
Bibit hidup kutanam’ (4)
Paralelisme larik di atas merupakan paralelisme struktur. Struktur terbentuk
dari gramatikal yang sama Tallasak kulamung, Tallasak kulamungang, Tallasak
nilamungi. Selain itu, juga merupakan paralelisme dengan perulangan frasa
dengan posisi yang sama, contoh angkateangi, angkarannuangi.
131
Majas yang tertera dalam mantra ini adalah majas metonimia. Mantra ini
memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal
lain dengan penggantinya, seperti larik Sikontu ummakna nabbita ‘semua ummat
Nabi Muhammad’. Kata nabbita digunakan sebagai pengganti nama nabi
Muhammad, yang pada larik kedua belas diperjelas dengan ungkapan Sabak
Allah Taalah siagang nabbi Muhammad ‘karena Allah bersama Nabi
Muhammad’.
Tanda dapat berupa ikonis yang tampak dalam kata Tallasak ‘bibit hidup’
yang merupakan tanda ikonis bermakna benih kehidupan. Larik Sabak Allah
Taalah siagang nabbi Muhammad ‘karena Allah bersama Nabi Muhammad’ juga
merupakan indeksikal, yang dimaknai bahwa segala urusan dimudahkan jika
mendekatkan diri kepada Nabi Muhammad karena Nabi Muhammad dekat
dengan Allah. Allah disimbolkan sebagai penguasa alam semesta. Artinya, jika
mau mendekatkan diri kepada Allah dan Nabi Muhammad, akan mendapat
pertolongan dan memberikan kebahagiaan dan kesenangan serta kesuburan pada
sawah yang ditanami padi.
4) Mantra Pammula Annanang Ase
Permainan bunyi (rima) mantra Pammula Annanang Ase terlihat pada larik
pertama, yakni yukkung, yakkung, yaccing ‘engkau, aku, padi’. Permainan bunyi
yang dilakukan adalah pengucapan bunyi ng dengan diiringi vokal u dan i.
Namun, tidak ditemukan dalam kalimat lain. Tampak pada mantra ini permainan
bunyi tidak menonjol. Rima yang tampak adalah rima dalam tetapi tidak
sempurna karena pengucapan bunyi tidak sama persis.
132
Diksi (permainan kata) mantra Pammula Annanang Ase rata-rata
menggunakan denotasi. Penggunaan diksi denotasi dimungkinkan sebagai upaya
mempermudah pembaca mantra untuk memaknai dan meyakini mantra yang
diucapkan, contohnya Yukkung ‘engkau’, Yakking ‘aku’, Yaccing ‘padi’.
Paralelisme dengan perulangan dalam mantra Pammula Annanang Ase
terjadi pada contoh kalimat 1 pada teks berikut.
Yukkung, yakkung, yaccing (1)
Kupasicini mako anne yaccing (2)
‘Engkau, Aku, Padi (1)
Aku mempertemukan Engkau padi’ (2)
Paralelisme larik di atas merupakan paralelisme perulangan satu kata pada
posisi yang sama. Struktur terbentuk dari gramatikal yang sama. Selain itu,
terdapat paralelisme struktur, seperti pada larik 3 dan 4 berikut:
Anrong tumallasukkannu (3)
Mangge tumappajarinu (4)
‘Bunda yang melahirkanmu (3)
Ayah yang membuatmu’ (4)
Paralelisme dalam larik 3 dan 4 merupakan paralelisme semantis. Secara
gramatikal tidak sama, namun kedua frasa tersebut mempunyai makna yang sama.
Contohnya: anrong ‘bunda’ dan mangge ‘ayah’, tumallasukkannu ‘melahirkan’,
tumappajarinu ‘membuatmu’.
Majas yang tertera dalam mantra ini adalah majas metonimia. Mantra ini
memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal
lain dengan penggantinya, seperti morfem yukkung, yakkung, yaccing ‘engkau,
aku, padi’. Morfem yakkung ‘aku’ dalam ungkapan tidak disebutkan sampai akhir
133
mantra itu siapa. Namun, jika mengacu pada larik Kupasicinik mako anne yaccing
‘aku mempertemukan engkau padi’. Jadi, ‘aku’ merupakan Sang Pencipta yang
memberikan rahmat atas hasil bumi. Ketiga bentuk sapaan tersebut digunakan
sebagai pengganti nama karena pemali menyebut nama yang dikeramatkan.
Simbol dalam mantra ini menggunakan kata Anrong ‘bunda’ dan Mangge
‘ayah’. Bunda disimbolkan sebagai kelahiran dan yang melahirkan, sebagai
simbol kesuburan. Ayah disimbolkan sebagai pembuat, sebagai pemberi jalan
untuk menjadikan kelahiran. Selain itu, kata malaekak ‘malaikat’ dianalogikan
sebagai penjaga.
5) Mantra Annanang Ase
Permainan bunyi (rima) mantra Annanang Ase menggunakan rima akhir.
Dalam setiap akhir kalimat diakhiri oleh sukukata nu dan ah. Dalam mantra ini
rima juga ditemukan dalam bentuk aliterasi ng didahului vokal u dan a. Hal ini
terlihat dalam kalimat Ritallung bulang kisicinik ‘tiga bulan mendatang kita
bertemu’. Pada larik ini terjadi proses asimilasi yaitu Ritallum bulang kisicinik.
Diksi (permainan kata) mantra Annanang Ase menggunakan denotasi.
Penggunaan diksi denotasi dimungkinkan sebagai upaya mempermudah pembaca
mantra untuk memaknai dan meyakini mantra yang diucapkan.
Paralelisme dengan perulangan dalam mantra Annanang Ase terjadi pada
contoh kalimat 3 sampai 5 berikut.
Bintoeng pakliserannu (3)
Bulang pappa kaciknongnu (4)
Alloa pangnyappuruknu (5)
134
‘Bintang bulir padimu (3)
Bulan menjadi kejernihanmu (4)
Matahari menyinarimu’ (5)
Paralelisme dalam larik 3, 4, dan 5 merupakan paralelisme bentuk
palliserannu
‘bulir
pangnyappuruknu
padi’,
pappa
kaciknongnu
‘menjadi
kejernihanmu’,
‘menyinarimu’. Paralellisme semantik bintoeng ‘bintang’,
bulang ‘bulan’, allo ‘matahari’. Secara gramatikal sama, dan kedua larik tersebut
mempunyai makna yang sama dan memperjelas larik sebelumnya. Selain itu,
secara gramatikal juga tersurat prefiks “pa-“ pada kata seperti pakliserannu/ papa
kaciknongnu/ pangnyappuruknu.
Majas yang tertera dalam mantra ini adalah majas metafora. Hal ini terlihat
dalam contoh frasa Bulang papa kaciknongnu ‘bulan yang menjadikan benih padi
putih/bening’
merupakan
metafora
dari
perwujudan
bentuk.
Bintoeng
pakliserannu bintang jika dilihat dari kejauhan bentuknya seperti padi, putih, dan
bening. Oleh karena itu, bintoeng/bintang menjadi simbol dalam mantra ini.
6) Mantra Rappo Ase
Di dalam Mantra Rappo Ase menggunakan rima asonansi, contohnya I
rawa – I rate ‘di atas – di bawah’. Asonansi berupa vokal ‘I’ dan dilanjutkan
konsonan ‘r’. Diksi mantra Rappo Ase menggunakan denotasi. Penggunaan diksi
denotasi dimungkinkan sebagai upaya mempermudah pembaca mantra untuk
memaknai dan meyakini mantra yang diucapkan.
Paralelisme dengan perulangan dalam mantra Annanang Ase terjadi pada
contoh kalimat 3 sampai 5 berikut:
I timboro – I wara (3)
I raya - I lau (4)
135
I rawa – I rate (5)
‘Di selatan – di Utara (3)
Di timur – di Barat (4)
Di atas – di bawah (5)
Paralelisme dalam kalimat 3, 4, dan 5 merupakan paralelisme semantik.
Larik-larik tersebut memperlihatkan totalitas dari seluruh arah. Secara gramatikal
tidak sama, namun kedua kalimat tersebut mempunyai makna yang sama dan
memperjelas larik sebelumnya.
Majas yang tertera dalam mantra ini adalah majas metonimia. Mantra ini
menggunakan pemakaian nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang,
barang, atau hal lain dengan penggantinya, seperti kata I timboro – I wara ‘di
selatan – di utara’. Larik tersebut metafora dari arah mata angin yang dipercayai
sebagai pembawa keberkahan kepada padi. Angin mampu membawa oksigen dan
dapat membuat padi tumbuh subur.
Simbol di dalam mantra ini menggunakan kata malaekak ‘malaikat’ dan
Awalli ‘Wali’, yang diumpamakan sebagai sosok yang dekat dengan Allah. Kedua
nama orang suci ini diharapkan memberi bantuan atas permohonan yang telah
dibacakan melalui mantra Rappo Ase.
7) Mantra Appa Sulapa Nikutanang
Permainan bunyi (rima) mantra Appa Sulapa Nikutanang menggunakan
rima aliterasi, contohnya Oh yaccingku nia aseng jako ilalang ‘Oh padi apakah
Engkau ada semua di dalam’. Aliterasi berupa konsonan ng dengan didahului
vokal i, e, dan a. Selain itu, aliterasi k dalam Warakka timborokko mae ‘kalau di
Utara silahkan datang di Selatan’
136
Diksi mantra Rappo Ase menggunakan denotasi. Penggunaan diksi
konotasi hanya pada kata kusalayya kusabbu ‘kesalahan yang tidak sempat
kusebut’. Hal ini dimaknai sesuatu yang jahat sehingga tidak pantas untuk
disebutkan namanya. Pemanfaatan kata dalam mantra ini cenderung lugas untuk
mempermudah pemahaman penyapa dan pesapa.
Paralelisme bentuk di dalam mantra Annanang Ase terjadi pada contoh
larik 15 sampai 16 berikut.
Tanairikmako anging (15)
Tanararangko allo (16)
‘Engkau tidak ditiup angin’ (15)
‘Engkau tidak disinari matahari’ (16)
Paralelisme di atas merupakan perulangan frasa. Perulangan pada larik 16
merupakan perumpamaan sebagai penjelasan pada larik 15. Pengulangan tersebut
sebagai paralelisme bentuk. Secara gramatikal tidak sama, namun kedua kalimat
tersebut mempunyai makna yang sama dan saling menjelaskan.
Majas di dalam mantra ini adalah majas perumpamaan dengan
menggunakan kata I raya kalaukko mae ‘kalau di timur silahkan datang ke barat’/
I Laukka anraikko mae ‘kalau di Barat silahkan datang ke timur’/ Timboroka
warakko mae ‘kalau di selatan silahkan datang ke utara’/ Warakka timborokko
mae ‘kalau di utara silahkan datang ke selatan’. Ada gaya bahasa antitesis, yakni
melakukan pertentangan kelompok kata yang berlawanan maksudnya. Simbol
yang digunakan di dalam mantra ini adalah padi, yang disimbolkan sebagai
penghantar keberkahan. Padi disimbolkan sebagai makhluk bernyawa yang dapat
diajak bicara.
137
5.2. Struktur Teks Mantra Tupakbiring
5.2.1. Komposisi Naratif Teks Mantra Tupakbiring
Mantra Tupakbiring bagi masyarakat suku Makassar, khususnya
masyarakat nelayan tradisonal menurut Maknun (2012), merupakan mantra
keselamatan dan harapan. Tujuan pengucapan mantra adalah agar terhindar dari
marabahaya dan memperoleh rezeki yang berlimpah. Mantra Tupakbiring
dilakukan bertahap mulai dari menaiki perahu sampai berlayar di laut. Berikut
beberapa mantra utama Tupakbiring yang sering diucapkan para nelayan.
1) Mantra Pappalakku (Permohonanku)
Mantra Pappalakku ‘permohonanku’ merupakan mantra yang digunakan
oleh masyarakat nelayan tradisional suku Makassar untuk mulai menaiki perahu.
Secara struktural teks dibagi menjadi tiga bagian, yakni: pembuka, batang tubuh,
dan penutup. Berikut rincian bagian tersebut.
Oh yamming palakkangak
Na nupabatuangak
Dallekk hallalakku battu ri Allah Taalah (1)
“Ya Allah aku memohon kepada-Mu, berikanlah rezeki halal bagiku yang
Engkau ridhai."
Mantra pembuka terdiri atas tiga larik dengan kata yang bervariasi dari
masing-masing larik. Mantra pembuka diawali oleh kata yamming dan diakhiri
oleh kata Allah Taalah. Penyebutan yamming merupakan kepercayaan masyarakat
untuk menyugesti dirinya sendiri (bayangan si pembaca mantra). Kata dallekk
‘rezeki’ merupakan pengharapan yang diinginkan. Kata Allah Taalah merupakan
wujud kepasrahan bahwa semua kuasa ada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Mantra ini secara struktural menggunakan komponen nama mantra untuk
138
mengawali, dengan menggunakan nama yamming. Komponen lain adalah niat dan
sugesti.
Batang tubuh mantra Pappalakku ‘permohonanku’ terdiri atas delapan
kalimat, dengan diawali oleh larik perintah kata Oh. Kata Oh atau kata seru tidak
ada maknanya tetapi dalam mantra kata tersebut merupakan penekanan untuk
menambah suasana magis pembaca mantra. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Oh yamming pabattuangma
Na nupakangkangngimma tippa-tippa dallekku
Kunyik-kunyik - eja-eja – tekne-tekne, minnyak-minnyak
Na kutippa todong angkarannuangi angkatekneangi
O yamming kiokkangngak dallekku
I raya – I lau – I timborok – I wara – I rate – I rawa
Na kualle kupantama ri “Ha” lompoku
Ri gaddonna Allah Taalah (2)
Oh yamming sampaikanlah
Dan berikanlah secepatnya rezekiku dalam genggamanku
Kuning-kuning-merah-merah-manis-manis-minyak-minyak
Agar cepat juga kurasakan manisnya rezeki itu
Oh yamming panggilkan rezekiku
Di Timur – di Barat – di Selatan – di Utara – di atas – di bawah
Lalu kuambil kumasukkan ke peti uangku yang paling besar
Di kamarnya Allah Taalah
Secara struktural, batang tubuh mantra ini menggunakan simbol-simbol,
seperti: larik kunyik-kunyik - eja-eja – tekne-tekne, minnyak-minnyak. Larik
tersebut menunjukkan simbol telur ikan terbang. Ikan ini banyak tersebar di
wilayah Makassar dan diyakini memiliki komoditi dan harga yang tinggi. Secara
struktural pula, batang tubuh ini menggunakan pengulangan bunyi, seperti:
yamming, dan Allah Taalah.
Penutup mantra Pappalakku ‘permohonanku’ terdiri atas dua kalimat,
seperti terlihat dalam teks berikut.
139
Tenapa ri Allah Taalah
Natena todong rinakke (3)
‘Nanti tidak ada pada Allah Taalah
Barulah Tidak ada juga padaku’
Mantra di atas dikatakan penutup mantra Pappalakku ‘permohonanku’
karena dianggap pamungkas dari doa mantra ini. Tertulis tenapa dan na tena serta
kata ri (ri Allah...) dan ri nakke. Artinya, secara struktural menggunakan kata
yang mirip secara bunyi. Dua larik ini sebagai penegasan dari larik-larik
sebelumnya bahwa semua permohonan atas kehendak Allah Taalah dan manusia
tidak mempunya daya apapun.
2) Mantra Dallekku (Rezekiku)
Mantra Dallekku ‘rezekiku’ merupakan mantra ketika proses akan melaut.
Mantra ini diucapkan seperti mantra sebelumnya, yaitu berisi pengharapan agar
dimudahkan rezeki. Mantra ini terdiri atas sepuluh larik, yang terbagi menjadi dua
larik bersambung yang disebut kalimat majemuk dan tampak sebagai dua klausa,
seperti: bebas/independent close seperti esappi tamparanga, Na esak todong
dallekku, Taenapa rammang ri langika, Na taena todong dallekku. Hal ini dapat
dilihat teks lengkap sebagai berikut.
Oh yamming (1) esappi tamparanga
Na esak todong dallekku
Taenapa rammang ri langika
Na taena todong dallekku
Labbusukpi bintoengnga
Na labbusuk todong dallekku ri Allah Taalah
Tumbangpi bobokaraeng
Na tumbang todong dallekku
Runtungpi lompobattang
Na runtung todong dallekku (2) Battu ri Allah Taalah (3)
140
Oh yamming nanti surut laut
Baru surut juga rezekiku
Nanti tidak ada awan di langit
Baru tidak ada juga rezekiku
Nanti habis bintang di langit
Baru habis juga rezekiku dari Allah Taalah
Nanti tumbang gunung Bawakaraeng
Barulah tumbang juga rezekiku
Nanti runtuh gunung Lompobattang
Barulah runtuh juga rezekiku dari Allah Taalah
Pembuka mantra Dallekku ‘rezekiku’ diawali oleh ungkapan oh yamming.
Ungkapan sebagai penyemangat pembaca mantra. Sebenarnya, mantra ini tidak
menggunakan pembuka seperti mantra sebelumnya. Terlihat dari struktur mantra
yang mempunyai susunan larik yang sama sampai akhir mantra. Namun, pembuka
mantra ini adalah Oh yamming karena larik selanjutnya tidak menggunakan
ungkapan itu lagi.
Batang tubuh mantra Dallekku ‘rezekiku’ terdiri atas seluruh larik mantra
yang diucapkan karena memiliki susunan hampir sama. Mantra ini juga terdiri
atas larik-larik yang bersambung sampai akhir. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
... esappi tamparanga
Na esak todong dallekku
Taenapa rammang ri langika
Na taena todong dallekku
Labbusukpi bintoengnga
Na labbusuk todong dallekku ri Allah Taalah
Tumbangpi bobokaraeng
Na tumbang todong dallekku
Runtungpi lompobattang
Na runtung todong dallekku Battu ri Allah Taalah
‘... nanti kering laut
Barulah kering juga rezekiku
Nanti tidak ada awan di langit
Baru tidak ada juga rezekiku
Nanti habis bintang di langit
Barulah habis juga rezekiku dari Allah Taalah
Nanti runtuh gunung Bawakaraeng
Barulah runtuh juga rezekiku
141
Nanti runtuh gunung Lompobattang
Barulah runtuh juga rezekiku dari Allah Taalah’
Batang tubuh mantra di atas menggunakan analogi sebagai simbol gunung
Bawakaraeng dan gunung Lompobattang. Artinya, di area manapun para nelayan
melaut asalkan menyebut kedua nama gunung tersebut banyak mendatangkan
rezeki.
Sebenarnya, mantra Dallekku ‘rezekiku’ tidak menggunakan penutup jika
dilihat secara keseluruhan bacaan mantra. Namun, jika dicermati penutup mantra
ini terletak pada kata baku Allah Taalah. Kata baku ini menyimbolkan sebagai zat
pemberi rezeki dan tidak ada kuasa manusia pun atas rezeki tersebut selain Allah.
3) Mantra Songka Bala (Tolak Bala)
Mantra Songka Bala merupakan mantra yang diucap ketika perahu berada
di laut. Mantra ini diucapkan untuk pengharapan agar dilindungi dan diberi
keselamatan dengan diibaratkan perahu yang dinaiki, kuat seperti kapal Nabi Nuh.
Mantra ini berisi empat belas kalimat. Dua larik pembuka, sembilan larik inti, dan
tiga larik penutup, berikut rinciannya.
Pembuka dalam Songka Bala seperti yang disebutkan sebelumnya terdiri
atas dua larik, seperti tertera dalam teks berikut.
Eh.., Imanrembassang
Dongkokanna nabbi Nuhung (1)
“Wahai Imanrembassang, bahtera yang digunakan Nabi Nuh.”
Larik di atas sebagai pembuka karena dianggap mewakili isi yang ingin
disampaikan dalam mantra bahwa perahu yang dinaiki dapat selamat dan kokoh
seperti perahu Nabi Nuh. Bagian pembuka menekankan bunyi Eh kata
142
seru/interjection untuk menambah kekuatan magis dalam pengucapan. Selain itu,
pembuka mantra ini menggunakan nama sebagai penanda, yakni penggunaan
nama Imanrembassang (nama perahu Nabi Nuh) dan nabbi Nuhung ‘Nabi Nuh’.
Batang tubuh mantra Songka Bala ini terdiri atas empat belas larik. Mantra
ini menggunakan konjungsi “na” dihampir semua larik. Hal ini memperindah
bunyi dan lebih menekankan agar permohonan dikabulkan. Berikut teks dalam
mantra tersebut.
Eh.., Imanrembassang
Assengnga na kuassengtongko
Cinikka na kuciniktongko
Jangjangak na kujangjang tongko
Katutuiya na kukatutui tongko
Ngaiya na kungai tongko
Na nuboyanga dallekku
Na nusongka sikamma bala nantattabayya
Inakke sibatu biseang (2)
Eh Imanrembassang
Perahu yang digunakan Nabi Nuh
Eh Imanrembassang
Kenalilah diriku agar kumengenali juga dirimu
Lihatlah diriku agar kudapat juga melihatmu
Pandanglah diriku agar kudapat juga memandangmu
Sayangilah diriku agar kudapat juga menyayangimu
Sukailah diriku agar kusukai juga dirimu
Dan carikanlah rezekiku
Dan lindungilah dari segala marah bahaya yang akan datang
Diriku dan semua bagian perahuku
Penutup mantra Songka Bala ini terdiri atas tiga larik. Larik-larik ini
dikatakan
penutup
karena
merupakan
larik
sebelumnya. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Na punna ta nupakamma kanangku
Ka pallakko ri Muhammad Rasullullah
Ka inakke minne Muhammad (3)
penjelasan
dari
larik-larik
143
“Ya Allah ridhailah semua apa yang hamba tuturkan pada-Mu, Engkau yang
memberikan kami jalan lurus kepada Muhammad sebagai Rasul, dan hambamu
sebagai pengikutnya.”
Larik-larik di atas sebagai penutup karena menggunakan konjungsi
bersyarat Na punna yang artinya ‘kalau’ dan menggunakan nama orang suci yakni
Muhammad Rasulullah, yang digunakan sebagai penekanan dalam mantra ini
supaya doa terkabul.
4) Mantra Loloanna Sombalakku (Tali Layarku)
Mantra Loloanna Sombalakku ‘tali layarku’ merupakan mantra yang
diucapkan ketika berada di laut. Mantra ini terdiri atas delapan larik, yang terbagi
menjadi dua larik kelompok besar yang berkesinambungan.
Secara struktural, mantra ini tidak ada larik pembukanya. Semua
merupakan isi atau batang tubuh mantra. Mantra ini diawali oleh larik Tepokpi
anne terak-terasakku ‘nanti patah tulang keringku’ dan disambung oleh larik Na
tepok todong lekok gulingku ‘baru patah juga daun kemudiku’. Larik tersebut
menjelaskan maksud pengharapan keselamatan. Hal ini karena larik selanjutnya
mengungkapkan hal yang sama, yakni larik Na polongpi bonggangku ‘nanti patah
pahaku’, disambung oleh larik keempat Na polong todong bongga gulingku ‘baru
patah batang kemudiku’. Larik tersebut membuktikan bukan larik pembuka,
karena sama-sama menggunakan istilah ‘kemudi’ baik di larik kedua maupun
keempat.
Berdasarkan pembacaan teks, bagian pembuka mantra ini seluruhnya
memuat isi pengharapan. Semua larik menggunakan bahasa metafora. Mantra ini
juga memakai ungkapan yang berhubungan satu larik dengan larik lainnya.
144
Leksikon-leksikon yang digunakan dalam hampir sama, misalnya tepokpi… na
tepok todong/ polongpi… napolong todong/ tappukpi… natakpuk todong. Hal ini
tampak seperti tertera dalam teks berikut.
Tepokpi anne terak-teraksakku
Na tepok todong lekok gulingku
Polongpi bonggangku
Na polong todong bongga gulingku
Tepokpi paling-palingku
Na tepok todong bauku
Tappukpi nyawaku
Na tappu todong loloanna sombalakku
Nanti patah tulang keringku
Baru patah juga daun kemudiku
Nanti patah pahaku
Baru patah pula batang kemudiku
Nanti patah lenganku
Baru patah juga tiang layarku
Nanti putus nyawaku
Baru putus juga tali layarku
Mantra di atas mulai awal sampai larik ketujuh menggunakan partikel (-pi)
Tepokpi ‘nanti patah’. Selain itu, pada setiap larik terdapat ungkapan yang
berhubungan satu dengan yang lainnya. Hal ini menunjukkan mantra tersebut
keseluruhan berupa isi.
Meskipun mantra Loloanna Sombalakku ‘tali layarku’ terlihat keseluruhan
berupa isi, namun jika dicermati, penutup dari mantra ini adalah larik terakhir,
yakni Na tappu todong loloanna sombalakku ‘baru putus juga tali layarku’. Hal
ini terlihat pada dua kata terakhir yang mengungkapkan judul mantra ini, yaitu
loloanna sombalakku. Dua kata tersebut merupakan ikonik dari maksud mantra
yang diucapkan, yakni pengharapan bahwa perahu yang digunakan tidak
mengalami musibah dan selamat sampai ke daratan.
145
5) Mantra Gosse (Rumput Laut)
Mantra Gosse ‘rumput laut’ merupakan mantra untuk mendapatkan hasil
tangkapan dalam melaut. Gosse diartikan sebagai rumput laut karena potensi
sumber daya laut di wilayah Makassar sebagian besar adalah rumput laut. Mantra
ini terdiri atas tiga belas larik, yang terbagi menjadi: pembuka, batang tubuh, dan
penutup.
Pembuka mantra Gosse ada tiga larik, seperti yang tertera dalam teks
berikut.
Assalama Alaikum
Ikau gosse Irapang jintu arengnu
Ri Allah Taalah
‘Assalama Alaikum, wahai rumput laut Irapang yang diciptakan Allah ta’ala.”
Larik-larik di atas sebagai pembuka mantra karena memuat unsur larik
sapaan, yakni Assalama Alaikum. Salam merupakan simbol pembuka dalam setiap
kegiatan bagi umat Islam. Setelah itu diperjelas dengan larik Ikau gosse Irapang
jintu arengnu ‘engkau rumput laut Irapang itu namamu’ sebagai maksud
pengucapan mantra.
Batang tubuh mantra Gosse ada sembilan larik seperti yang terlihat dalam
teks berikut.
Nabbi pahara nabbinu
Inakke iyukkung arengku
Ri Allah Taalah
Nabbi Muhammad nabbiku
Na battu ulunnajako antu
Nabbi Adam ajjari batu
Na labbi Uk pammantangngannajako
Antu nabbi Hawa ajjari gosse
Na alleko Ali
146
Nabi pemelihara rumput laut nabimu
Aku bernama yukkung
Dari Allah Taalah
Nabi Muhammad nabiku
Engkau berasal dari kepala
Itu Nabi Adam menjadi batu
Hanya lebih rambutnya saja
Itu nabi Hawa menjadi rumput laut
Engkau diambil oleh Ali
Larik-larik di atas dikatakan sebagai batang tubuh karena saling berkaitan
dan satu rangkaian. Mantra tersebut mengutarakan kata Nabbi ‘Nabi’ berkali-kali.
Bagian, batang tubuh lebih banyak mengungkapkan metonimi, yakni bahasa
kiasan dengan memakai nama atau ciri orang untuk menyebutkan hal yang
bertautan dengannya.
Jika dilihat secara utuh, mantra Gosse tidak terlihat adanya kalimat
penutup mantra. Namun, jika dicermati terlihat penggunaan ungkapan sebagai
penutup mantra, yakni Na pabarakkako Nabbi Muhammad ‘diberkati oleh Nabi
Muhammad’. Ungkapan ini sebagai penutup karena dikaitkan dengan kalimat
pembuka dan penggunaan kata Allah. Dalam ajaran Islam, penyebutan Allah
dalam pengucapan doa sering diiringi oleh mengucap Nabi Muhammad.
6) Mantra Bunoanna Jukuka (Pengawetan Ikan)
Mantra Bunoanna Jukuka terdiri atas tiga belas larik. Mantra ini
merupakan mantra memohon keberkahan atas hasil laut yang diperoleh. Mantra
ini terdiri atas tiga susunan, yakni: pembuka, batang tubuh, dan penutup.
Pembuka mantra Bunoanna Jukuka sama seperti mantra Gosse, yakni
menggunakan salam sebagai awal ucapan mantra. Salam tersebut disambung oleh
147
ucapan yang mengandung unsur sugesti dan berisi penyampaian maksud, seperti
terlihat dalam teks berikut.
Assalama Alaikum
Iyakking jintu areng tojeng-tojengmu
Ri Allah Taallah nuing karaengnu (1)
‘Assalamu Alaikum, Iyakking adalah namumu, Allah ta’ala adalah Tuhanku.
Larik-larik di atas sebagai pembuka karena dimulai salam dan menggunakan kata
Iyakking sebagai penekanan maksud dan kata Allah sebagai simbol Sang Maha
Penguasa Rezeki.
Batang tubuh mantra Bunoanna Jukuka terdiri atas delapan kalimat
dengan leksikon teks yang tidak tetap (tidak beraturan). Hal ini terlihat dalam teks
berikut.
Nabbi Sulaimana nabbinu
Inakke iyukkung ampatinroko
Nuttinromo naung ri katoang majannannu
Rikasorok malannyinnu
Ritappere matangkasaknu
Nukamma todong tinrona bunting berua
Lebbak junnuko – lebbak satinjaiko
Nuktambung nukbumbung (2)
Nabi Sulaiman nabimu
Akulah iyukkung menidurkanmu
Tidurlah saja di tempayan ketenanganmu
Di kasur empukmu
Di tikar bersihmu
Seperti juga tidurnya pengantin baru
Telah mandi junub – dan telah bersih
Bertumpuk dan menggunung
Larik-larik di atas menjadi batang tubuh karena berisi tujuan pengharapan
dari rezeki yang diperoleh. Bagian ini banyak menggunakan kata metonimi,
seperti Nabbi Sulaimana ‘Nabi Sulaiman’, I yukkung, ri kasoro’ ‘kasur’, dan ri
148
tappere ‘tikar’. Hal ini menunjukkan bahwa mantra ini dikuatkan oleh unsurunsur nama dan analogi-analogi religi.
Penutup mantra Bunoanna Jukuka hanya ada dua larik terakhir. Mantra
penutup menggunakan analogi gunung Lompabattang dan gunung Bawakaraeang
sebagai penguat mantra. Komponen visualisasi dan simbol digunakan sebagai
pengharapan agar hasil lautnya berlimpah. Hal ini terlihat pada teks berikut.
Kamma todong pattambunnu Lompobattang
Nukbumbung kamma todong pabbumbunnu Bobokareang
“Bertumpuk seperti gunung Lompobattang yang tinggi, juga bagai gunung
Bawakaraeang.”
7) Mantra Appasuluki Kodia (Mengeluarkan yang Jahat)
Mantra Appasuluki Kodia ‘mengeluarkan yang jahat’ berjumlah sembilan
belas larik, yang terbagi menjadi dua larik pembuka, lima belas larik batang
tubuh, dan dua larik penutup. Mantra ini memiliki jumlah larik paling banyak
dibandingkan dengan mantra Tupakbiring sebelumnya. Mantra ini dianggap
mantra pamungkas dari mantra-mantra Tupakbiring sebelumnya karena isinya
mewakili semua mantra sebelumnya. Hal ini dapat dianalisis melalui uraian
komposisi naratif berikut.
Bismillahirrahmanirrahim
Kuniakkanngi Abubakara – Umara – Usman – Ali (1)
‘Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, disamping niatku
kepada para sahabat Nabi, Abubakar – Umar – Usman – Ali’
Larik di atas sebagai pembuka karena memuat unsur salam pembuka
berupa kata Basmalah lalu disusul oleh kalimat berita Kuniakkanngi Abubakara –
Umara – Usman – Ali ‘kuniatkan Abubakar – Umar – Usman – Ali’. Larik-larik
149
ini digunakan sebagai komponen niat agar seluruh keinginan dapat terkabul dan
agar hal-hal yang jahat menghindar dari perahu yang ditumpangi. Jadi, mantra
pembuka menggunakan simbol agama sebagai tujuan agar pengharapan dapat
tercapai.
Batang tubuh mantra Appasuluki Kodia ‘mengeluarkan yang jahat’ terdiri
atas limabelas kalimat. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Ammenteng ri sulapak
Appakna biseangku
Anjagai panraka
Ampantamaki bajika
Appasuluki kodia
Pattantanna Rasulullah
Punna nia tausalah atekakna anlaloi
Taenami tallasana nakana Allah Taalah
Ruhu Ilapi anmmenteng ripoccina biseangku
Angjagai panraka
Ampamtamai bajika
Appasuluki kodia
Punna nia tausalah atekakna angkira-kirai biseangku
Labboro kamma tongi ceklaya
Nasabak Allah Taalah
Berdiri di empat bagian penting
Dalam perahuku
Menjaga yang rusak
Memasukkan yang baik
Mengeluarkan yang jahat
Pelindungnya Rasulullah
Kalau ada orang salah niatnya yang melewati
Telah hilang hidupnya menurut Allah Taalah
Ruh Ilahi berdiri di pusat perahuku
Menjaga yang akan rusak
Memasukkan yang baik
Mengeluarkan yang jahat
Kalau ada orang salah niatnya membidik perahuku
Mencairlah seperti juga garam terkena air
Sebab Allah Taalah
150
Beberapa larik di atas secara komponen memuat unsur niat, yakni niat agar
hal baik masuk dan hal jahat pergi dari perahu. Terbukti dari kalimat Punna nia
tausalah atekakna anlaloi ‘kalau ada orang salah niatnya yang melewati’.
Maksudnya, mantra ini berniat mengusir hal yang jahat yang mungkin mendatangi
perahu.
Komponen lain dalam batang tubuh adalah komponen sugesti. Komponen
ini didominasi oleh mitologi, seperti Ammenteng ri sulapa’ ‘berdiri di empat
bagian penting’, artinya alam memiliki empat penjuru arah mata angin yang
diharapkan menjaga perahu mereka ketika di tengah laut. Contoh mitologi lainnya
adalah Ruhu Ilapi anmmenteng ri poccikna biseangku ‘Ruh Ilahi berdiri di pusat
perahuku’. Maksudnya, segala pertolongan dan kekuatan selalu dalam
perlindungan dan milik Allah semata. Mantra ini juga memuat komponen
visualisasi dan simbol, seperti pada teks punna nia tausalah atekakna angkirakirai biseangku/ Labboro kamma tongi ceklaya ‘kalau ada orang salah niatnya
membidik perahuku/ mencairlah seperti juga garam’. Larik ini menvisualisasikan
bahwa jika ada gangguan jahat mendatangi perahu mereka, akan lebur dan hilang
seperti larutnya garam karena air.
Penutup mantra ada dua kalimat, seperti terlihat dalam teks berikut:
Barakkah Lailaha Illallah
Barakkah Anna Muhammadarrasulullah (3)
‘Barakkah Lailaha Illallah, Barakkah Anna Muhammadarrasulullah’
Dua larik di atas sebagai penutup karena memuat unsur penutup, yakni
berupa larik akhir. Dikatakan larik akhir karena mengadopsi dari simbol agama
151
Islam bahwa untuk menutup kegiatan dilakukan dengan mengucap syukur atau
permohonan kepada Allah dan Nabi Muhammad.
Berdasarkan
keseluruhan
analisis
komposisi
naratif
teks
mantra
Tupakbiring, ditemukan bahwa mantra ini memiliki komponen-komponen, di
antaranya: salam pembuka, niat, sugesti, harapan, visualisasi, simbol, serta
penutup. Namun, dari ketujuh mantra tidak semua menggunakan simbol agama
Islam sebagai pembuka, seperti mantra pappalakku, Dallekku, Songka Bala,
Loloanna Sombalakku, tetapi menggunakan nama bayangan si pembaca mantra.
Ada tiga yang menggunakan simbol yakni mantra Gosse, Bunoanna Junuka, dan
Appasuluki Kodia.
Dari ketujuh mantra tersebut kebanyakan menggunakan komponen sugesti
dan visualisasi simbol sebagai penguatan unsur magis dan gaib dalam mantra.
Gaya bahasa lebih banyak menggunakan analogi (metaforis) dalam penyampaian
dan pengulangan bunyi.
Perbandingan komposisi naratif antara mantra Tulembang dengan
Tupakbiring ditemukan persamaan, antara lain: secara unsur pembangun
komponen menggunakan salam pembuka melalui salam kepada Allah dan
penyebutan bayangan si pembaca mantra (yukkung, yakkung, yaccing untuk
mantra Tulembang dan yamming untuk Tupakbiring).
Persamaan lainnya,
keduanya mempunyai judul mantra. Secara isi, komponen sugesti didominasi oleh
sentuhan mitologi Nabi, arah mata angin, bulan bintang matahari. Perbedaannya,
yakni mantra Tupakbiring menggunakan mitologi gunung di dalam mantranya
dan itu disebut di dua mantra dari tujuh mantra yang ada.
152
5.2.2. Satuan Wacana Naratif Teks Mantra Tupakbiring
Satuan wacana naratif teks mantra Tupakbiring, seperti juga mantra
Tulembang menekankan unsur waktu, pelaku, dan peristiwa. Kekuatan wacana ini
terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu dan cara-cara bercerita yang diatur
melalui plot.
1) Mantra Pappalakku (Permohonanku)
Mantra Pappalakku digunakan oleh para nelayan tradisional suku
Makassar, ketika turun ke laut. Mantra ini mengungkapkan permohonan kepada
Allah agar diberi rezeki yang halal, yaitu telur ikan terbang. Mantra ini diawali
oleh ungkapan yamming, yang menggambarkan bayangan si pembaca mantra.
Permohonan disampaikan kepada yamming agar dapat merasakan manisnya rezeki
yang halal dari Allah.
Penyampaian mantra ini secara monolog dan dialog. Monolog karena
pesapa implisit dan dialog karena ada nama sasaran yang jadi pengungkapan
mantra. Penggunaan bahasa analogis dengan sentuhan mitologi. Mantra ini
ditujukan kepada yamming dan Allah SWT.
2) Mantra Dallekku (Rezekiku)
Mantra Dallekku merupakan mantra yang diucapkan pada saat berlayar
atau melakukan pelayaran. Mantra ini mengungkapkan pengharapan kepada
yamming, agar diberi rezeki yang berlimpah. Pengharapan agar laut tidak kering,
ada awan, bintang, gunung Bawakaraeng dan Lompobattang tidak runtuh
sehingga rezeki yang diperoleh juga tidak kering atau hilang.
153
Penyampaian mantra berupa monolog dan dialog. Monolog karena tidak
ada objek konkret yang diajak bicara (implisit) dan dialog karena ada komunikasi
secara batiniah antara penyapa dan pesapa. Hal ini dibuktikan adanya komponen
nama sasaran yamming dan kata seruan Oh. Penggunaan bahasa tetap secara
analogis dengan sentuhan mitologi dan religi. Mantra ini ditujukan kepada
yamming, awan, bintang, gunung Bawakaraeng dan Lompobattang, serta Allah
Taalah.
3) Mantra Songka Bala (Tolak Bala)
Mantra Songka Bala merupakan mantra yang diucapkan pada saat akan
berlayar atau melakukan pelayaran. Mantra ini mengungkapkan permohonan
kepada Imanrembassang, sebutan nama untuk kapal Nabi Nuh. Mantra ini
merupakan permohonan perlindungan agar diberi kekuatan dan keselamatan
dalam melaut. Pengharapan bahwa Imanrembassang mengenali diri pembaca
mantra, menyayangi, dan memandangi, menyukai, agar terlindungi dari
marabahaya. Mantra ini juga menyampaikan ancaman bahwa jika tidak memenuhi
kata-kata pembaca mantra, sama artinya tega kepada Nabi Muhammad. Inilah
kekuatan mantra Songka Bala. Pernyataan tersebut mampu memberikan unsur
magis bagi pembaca mantra.
Penyampaian mantra berupa monolog dan dialog. Monolog karena tidak
ada objek konkret yang diajak bicara (implisit) dan dialog karena ada komunikasi
secara batiniah antara penyapa dan pesapa. Hal ini dibuktikan adanya komponen
nama sasaran dan kata sapaan. Penggunaan bahasa secara analogis dengan
154
sentuhan mitologi dan religi. Mantra ini ditujukan kepada Imanrembassang dan
Nabi Muhammad.
4) Mantra Loloanna Sombalakku (Tali Layarku)
Mantra Loloanna Sombalakku dibacakan pada saat akan berlayar. Mantra
ini
digunakan
sebagai
permohonan
keselamatan
baik
perahu
maupun
penggunanya. Mantra ini seperti bentuk pantun karena menggunakan persamaan
bunyi (rima). Wacana narasi berbentuk sugestif dan disampaikan secara monolog
karena penyampaian tidak mengajak interaksi dengan pesapa. Penggunaan bahasa
secara metaforis dan bersifat terikat.
5) Mantra Gosse (Rumput Laut)
Mantra Gosse merupakan mantra yang dibacakan pada saat mencari
rumput laut. Mantra ini diawali oleh salam dan dilanjut pernyataan memanggil
rumput laut bahwa rumput laut ciptaan Allah dan dipelihara Nabi. Lalu rumput
laut diibaratkan uk ‘rambut’ berasal dari kepala, Nabi Hawa, diambil Ali, dan
diberkahi Nabi Muhammad.
Berdasarkan ungkapan tersebut mantra ditujukan kepada rumput laut,
yukkung, Allah, Nabi Adam, Hawa, dan Ali, serta Nabi Muhammad. Suasana
sakral dan khidmat. Pelibat wacana adalah orang yang ditetuakan/pinati. Sarana
wacana berupa monolog dan dialog. Monolog karena pesapa implisit dan dialog
karena ada interaksi komunikasi batiniah antara penyapa dan pesapa. Penggunaan
bahasa bersifat metaforis dengan sentuhan mitologi dan religi.
155
6) Mantra Bunoanna Jukuka (Pengawetan Ikan)
Mantra Bunoanna Jukuka merupakan mantra yang diucapkan pada saat
menangkap ikan terbang. Mantra ini mengungkapkan hubungan Iyakking dan
iyukkung yang diibaratkan hubungan pasangan pengantin yang diciptakan Allah
dan umat Nabi Sulaiman.
Pelibat wacana ini adalah para nelayan yang menangkap ikan terbang.
Mantra ini ditujukan kepada Iyakking, Iyukkung, Allah, Nabi Sulaiman, gunung
Bawakaraeang dan Lompobattang. Sarana wacana berupa monolog dan dialog.
Monolog karena pesapa berbentuk abstrak dan dialog karena ada salam pembuka
dan menggunakan kata sapaan. Penggunaan bahasa bersifat metaforis dengan
sentuhan mitologi.
7) Mantra Appasuluki Kodia (Mengeluarkan yang Jahat)
Mantra Appasuluki Kodia merupakan mantra yang dibaca pada saat
berlayar atau melaut. Mantra ini menceritakan permohonan dan berhadap
mendapatkan safaat dari empat sahabat Nabi (Abubakar – Umar – Usman – Ali),
yang sebelumnya diawali dengan Basmalah. Empat sahabat tadi dianalogikan
dengan berdiri di empat penjuru perahu agar menjaga perahu
tidak rusak,
didatangi kebaikan dan dihindarkan dari kejahatan. Dengan pengharapan, jika ada
hal jahat dapat larut seperti garam dan ditutup Barakkah Lailaha Illallah/
Barakkah Anna Muhammadarrasulullah.
Mantra ini ditujukan kepada Abubakar – Umar – Usman – Ali, Rasulullah,
Allah, perahu. Sarana wacana berupa monolog. Penggunaan bahasa terlihat
156
analogis (metaforis) dengan sentuhan mitologi dan religi. Wacana ini bersifat
bebas dalam suku kata, baris, ataupun persajakan.
5.2.3. Karakteristik Kesatuan Teks Mantra Tupakbiring
Pembahasan karakteristik kesatuan teks mantra Tupakbiring sama dengan
pembahasan mantra Tulembang. Karakteristik kesatuan dianalisis melalui rima,
diksi, paralelisme, majas, serta simbol. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
perbandingan
karakteristik
kesatuan
antara
mantra
Tulembang
dengan
Tupakbiring
1) Mantra Pappalakku
Permainan bunyi (rima) mantra Pappalakku diambil beberapa contoh
dengan ditandai oleh huruf tebal. Pasangan bunyi tidak berupa kalimat karena
susunan mantra ini pada umumnya dua kata (larik pendek). Hal ini tampak pada
larik Naku tippa todong angkarannuangi angkate‘neangi ‘agar cepat juga
kurasakan manisnya rezeki itu’. Di dalam larik tersebut terdapat rima dengan
bunyi kata ng yang didahului oleh vokal o untuk todong dan ng untuk
angkarannuangi didahului oleh vokal a dan diakhiri oleh vokal i, serta ng untuk
angkatekneangi didahului oleh vokal a dan diakhiri oleh vokal i biasanya objek
mengacu pada rezeki. Rima pada larik tersebut beriringan dan terdapat pada kata
ke-3 sampai 5. Rima juga tampak pada larik-larik yang menggunakan preposisi I
raya – I lau – I timborok – I yara – I rate – I rawa ‘di Timur – di Barat – di
Selatan – di Utara – di atas – di bawah’. Rima ini menggunakan permainan bunyi
i di awal kata. Rima-rima tersebut tergolong rima tidak sempurna karena kata-kata
tidak sama dan rima dalam karena dalam satu larik.
157
Mantra Pappalakku menggunakan diksi denotasi seperti pada kata dallek
‘rezeki’. Namun, ada beberapa makna konotasi seperti pada kata yamming. Kata
ini tidak ada makna harfiah, namun kata ini merupakan bayangan dari pembaca
mantra sebagai sugesti bagi penyapa dan pesapa. Hal ini didukung juga oleh larik
kunyik-kunyik - eja-eja – tekne-tekne, minnyak-minnyak ‘kuning-kuning..-merahmerah..-manis-manis..-minyak-minyak’. Larik ini dimaknai sebagai telur ikan
terbang yang memiliki nilai ekonomis tinggi bagi masyarakat nelayan tradisional
suku Makassar. Hal ini menunjukkan bahwa mantra ini mengombinasikan antara
diksi denotasi dengan konotasi untuk penekanan agar mantra memiliki nilai magis
bagi penyapa dan pesapa.
Paralelisme dalam mantra Pappalakku tergolong paralelisme berselang.
Hal ini dibuktikan dalam teks berikut.
Oh yamming palakkangak (1)
Na nupabatuanga (2)
Dallek hallalakku battu ri Allah Taalah (3)
Oh yamming pabattuangma (4)
‘Oh yamming mohonkanlah (1)
Dan sampaikanlah (2)
Rezeki halalku dari Allah Taalah (3)
Oh yamming sampaikanlah’ (4)
Paralelisme larik di atas merupakan paralelisme berselang karena diselingi
dengan larik lain. Larik tersebut menggunakan kata Oh yamming di larik pertama
dan diulang di larik keempat. Hal ini juga didukung oleh larik berikutnya.
Na kutippa todong angkarannuangi angkatekneangi (7)
O yamming kiokkangnga dallekku (8)
I raya – I lau – I timborok – I yara – I rate – I rawa (9)
Na kualle kupantamak ri “Ha” lompoku (10)
158
‘Agar cepat juga kurasakan manisnya rezeki itu
Oh yamming panggilkan rezekiku
Di Timur – di Barat – di Selatan – di Utara – di atas – di bawah
Lalu kumasukkan ke lubuk hatiku yang paling dalam/ peti yang besar’
Berdasarkan analisis di atas, paralelisme di dalam mantra ini diselingi oleh
2 larik lain. Hal ini tampak, seperti dalam teks berikut.
Na nupabatuangak (2)
Dallek hallalakku battu ri Allah Taalah (3)
Oh yamming pabattuangma (4)
Na nupakangkangngimma tippa-tippa dallekku (5)
‘Dan sampaikanlah
Rezeki halalku dari Allah Taalah
Oh yamming sampaikanlah
Dan berikanlah secepatnya rezekiku dalam genggamanku’
Majas yang tertera dalam mantra ini adalah majas metonimia. Mantra ini
menggunakan nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau
hal lain dengan penggantinya, seperti penggunaan kata yamming. Kata ini tidak
punya arti, tetapi punya nilai magis bagi masyarakat suku Makassar, khususnya
bagi nelayan tradisional.
Simbol dalam mantra ini menggunakan kiasan berupa telur ikan terbang
yang dianalogikan sebagai kunyik-kunyik - eja-eja – tekne-tekne, minnyakminnyak
‘kuning-kuning-merah-merah-manis-manis-minyak-minyak’.
Simbol
tersebut dimunculkan karena faktor lingkungan. Kebanyakan hasil laut di wilayah
tersebut adalah ikan terbang yang bernilai ekonomis tinggi dan sebagai simbol
kemakmuran. Pembentukan simbol dalam mantra ini sebagai ucapan penguat
sehingga membentuk unsur magis atau gaib.
159
2) Mantra Dallekku
Permainan bunyi (rima) mantra Dallekku sama seperti mantra Pappalakku,
yakni didominasi konsonan ng. Hal ini tampak pada larik Tumbangpi
bobokaraeng/ Natumbang todong dallekku ‘Nanti runtuh gunung Bawakaraeng/
Barulah runtuh juga rezekiku’. Rima dalam mantra ini cenderung aliterasi, yakni
permainan bunyi konsonan. Hal ini didukung oleh larik Oh yamming esappi
tamparanga ‘Oh yamming nanti kering laut’.
Mantra Dallekku menggunakan diksi denotasi seperti kata Dallek ‘rezeki’,
Rampang ‘awan’, bintoengnga ‘bintang’, bobokaraeang ‘gunung Bawakaraeang’,
dan lompobattang ‘gunung Lompobattang’. Namun, tetap ada makna konotasi
seperti pada kata yamming. Kata ini tidak ada makna harfiah, namun kata ini
merupakan bayangan dari pembaca mantra sebagai sugesti bagi penyapa dan
pesapa. Hal ini menunjukkan bahwa mantra ini mengombinasikan antara diksi
denotasi dengan konotasi untuk penekanan agar mantra memiliki nilai magis bagi
penyapa dan pesapa.
Paralelisme dalam mantra Dallekku tergolong paralelisme berselang. Hal
ini dibuktikan dalam teks berikut.
Oh yamming esappi tamparanga (1)
Naesa todong dallekku (2)
Taenapa rammang rilangika (3)
Nataena todong dallekku (4)
Labbusu’pi bintoengnga (5)
Na labbusu’ todong dallekku ri Allah Taalah (6)
Tumbangpi bobokaraeng (7)
Natumbang todong dallekku (8)
Runtungpi lompobattang (9)
Naruntung todong dallekku Battu ri Allah Taalah (10)
160
‘Oh yamming nanti kering laut (1)
Barulah kering juga rezekiku (2)
Nanti tidak ada awan di langit (3)
Baru tidak ada juga rezekiku (4)
Nanti habis bintang di langit (5)
Barulah habis juga rezekiku dari Allah Taalah (6)
Nanti runtuh gunung Bawakaraeng (7)
Barulah runtuh juga rezekiku (8)
Nanti runtuh gunung Lompobattang (9)
Barulah runtuh juga rezekiku dari Allah Taalah’ (10)
Paralelisme kalimat di atas merupakan paralelisme berselang karena
diselingi oleh kalimat lain. Kalimat tersebut menggunakan konjugasi na di larik
kedua dan diulang di larik keempat sampai kesepuluh. Berdasarkan analisis,
paralelisme di dalam mantra ini merupakan penekanan atau analogi dengan
paralelisme berselang.
Majas yang tertera dalam mantra ini adalah majas metonimia. Mantra ini
menggunakan pemakaian nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang,
barang, atau hal lain dengan penggantinya, seperti penggunaan kata yamming.
Kata ini tidak punya arti, tetapi punya nilai magis bagi masyarakat suku Makassar,
khususnya bagi nelayan tradisional. Selain itu, digunakan majas perumpamaan
dengan menggunakan kata ‘nanti’ dan dilanjut oleh kata ‘baru’
Simbol dalam mantra ini menggunakan ikonis ‘gumpalan awan’,
‘kerumunan bintang’, ‘membumbung gunung Bawakaraeng’, dan ‘membumbung
gunung Lompobattang’. Hal ini dianalogikan sebagai rezeki. Simbol tersebut juga
mempunyai arti penting bagi masyarakat nelayan karena berkaitan dengan
wilayah teritorial hasil laut yang dicari. Pembentukan simbol dalam mantra ini
sebagai sugesti sehingga membentuk unsur magis atau gaib.
161
3) Mantra Songka Bala
Permainan bunyi perulangan kata mantra Songka Bala sama seperti mantra
Pappalakku dan Dallekku, yakni didominasi oleh konsonan ng. Hal ini tampak
pada kalimat Assengngak na kuassengtongko ‘kenalilah diriku agar kumengenali
juga dirimu’ dan Jangjangak na kujangjang tongko ‘pandanglah diriku agar
kudapat juga memandangmu’. Jadi, rima dalam mantra ini, yakni permainan
bunyi konsonan.
Mantra Songka Bala menggunakan diksi denotasi seperti kata Dallek
‘rezeki’, Dongkokanna ‘perahu’, Muhammad. Namun, tetap ada makna konotasi
seperti pada kata Imanrembassang. Kata ini berasal dari kata dasar rembasak
‘terobos’, manrembassang memiliki sifat selalu menerobos sehingga dikatakan
sebagai ‘Sang Penerobos’. Namun demikian, kata Imanrembassang ini
disimbolkan dengan perahu Nabi Nuh sebagai sugesti bagi penyapa dan pesapa.
Hal ini menunjukkan bahwa mantra ini mengombinasikan antara diksi denotasi
dengan konotasi untuk penekanan agar mantra memiliki nilai magis bagi penyapa
dan pesapa.
Paralelisme dalam mantra Songka Bala tergolong paralelisme berselang.
Hal ini dibuktikan dalam teks berikut.
Eh Imanrembassang (1)
Dongkokanna nabbi Nuhung (2)
Eh Imanrembassang (3)
‘Eh Imanrembassang (1)
Perahu yang digunakan Nabi Nuh (2)
Eh Imanrembassang (3)
162
Paralelisme kutipan larik di atas merupakan paralelisme berselang karena
diselingi oleh larik lain. Larik tersebut menggunakan gramatikal yang sama dan
menggunakan kata seru eh di kalimat 1 dan diulang di kalimat 3.
Berdasarkan analisis, paralelisme di dalam mantra ini merupakan mantra
paralelisme berselang. Namun demikian, mantra ini juga menggunakan
paralelisme struktur dan paralelisme perulangan kata. Hal ini tampak pada teks
berikut.
Na nuboyangak dallekku (9)
Na nusongka sikamma bala nantattabayya (10)
‘Dan carikanlah rezekiku (9)
Dan lindungilah dari segala marah bahaya yang akan datang’ (10)
Paralelisme struktur kalimat di atas hampir sama secara makna.
Penekanan larik di atas bukan pada teks, tetapi pada makna yang tersirat.
Dikatakan paralelisme perulangan karena di atas ada pengulangan konjungsi na
‘dan’.
Majas di dalam mantra ini adalah majas metonimia. Mantra ini
menggunakan pemakaian nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang,
barang,
atau hal
lain dengan penggantinya,
seperti
penggunaan kata
Imanrembassang. Kata ini punya arti sebagai ‘penerobos’ dan punya nilai magis
bagi masyarakat suku Makassar, khususnya bagi nelayan tradisional. Kata ini
merupakan simbol kekuatan dan keselamatan, serta kekokohan perahu. Nama
tersebut diambil dari perahu yang dipercaya punya Nabi Nuh.
Simbol dalam mantra ini menggunakan ikonis ‘Muhammad’sebagai orang
disayangi oleh Allah dan Imanrembassang sebagai kekuatan sang penerobos.
163
Simbol tersebut mempunyai arti penting bagi masyarakat nelayan karena
berkaitan dengan keselamatan dan Muhammad sebagai nama Nabi yang
ditugaskan oleh Allah sebagai juru selamat.
4) Mantra Loloanna Sombalakku
Permainan bunyi (rima) mantra Loloanna Sombalakku sama seperti
pantun. Hal tersebut terlihat jumlah suku kata tiap baris tetap dalam pola
persajakan tiap baitnya. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Tepokpi anne terak-terasakku (1)
Natepok todong lekok gulingku (2)
Napolongpa bonggangku (3)
Napolong todong bongga gulingku (4)
Natepok todong baukku (5)
Tepokpi paling-palingku (6)
Tappukpi nyawaku (7)
Natappuk todong loloanna sombalakku (8)
‘Nanti patah tulang keringku (1)
Baru patah juga daun kemudiku (2)
Nanti patah pahaku (3)
Baru patah pula batang kemudiku (4)
Nanti patah lenganku (5)
Baru patah juga tiang layarku (6)
Nanti putus nyawaku (7)
Baru putus juga tali layarku (8)
Rima di dalam mantra di atas selain berbentuk pantun, juga diselingi oleh
sebuah kata kiasan dan dipenuhi oleh perulangan. Munculnya kiasan membuat
bunyi menjadi teratur dan menjadikan hubungan antar pasangan kata mengalami
pemadatan. Hal ini tidak terlihat di dalam mantra-mantra sebelumnya.
Mantra Loloanna Sombalakku menggunakan diksi denotasi. Hal ini
menunjukkan bahwa mantra ini mempunyai penekanan dalam hal nilai magis bagi
penyapa dan pesapa. Misalnya, Tepokpi paling-palingku ‘nanti patah lenganku’/
164
Natepok todong baukku ‘baru patah juga tiang layarku’ / Tappukpi nyawaku ‘nanti
putus nyawaku’ /Natappu todong loloanna sombalakku ‘baru putus juga tali
layarku’.
Paralelisme dalam mantra Loloanna Sombalakku tergolong paralelisme
struktur dan perulangan frasa. Hal ini terlihat dalam teks di atas, bahwa tiap
kalimat mempunyai struktur gramatikal yang sama, baik sebagian maupun
keseluruhan. Dikatakan paralelisme perulangan karena terdapat perulangan kata
dan frasa pada posisi yang sama.
Majas di dalam mantra ini adalah majas metafora dan perumpamaan.
Mantra ini menggunakan metafora untuk konkretisasi makna larik sebelumnya,
seperti halnya pantun. Majas mantra ini menggunakan partikel ’-pi‘ ‘nanti’ dan di
larik berikutnya menggunakan konjungsi ‘na-‘ ‘baru’. Simbol di dalam mantra ini
menggunakan analogi, seperti: ‘tulang keringku’ diumpamakan ‘daun kemudi’,
‘pahaku’ diumpamakan ‘batang kemudi’, dan seterusnya.
5) Mantra Gosse
Permainan bunyi (rima) mantra Gosse didominasi oleh kata nabbi. Hal ini
tampak pada kalimat Nabbi pahara nabbinu ‘Nabi pemelihara rumput laut
Nabimu’ dan Nabbi Muhammad nabbiku ‘Nabi Muhammad Nabiku’. Rima
dalam mantra ini merupakan rima akhir dan rima dalam. Rima akhir karena
mantra ini menggunakan suku kata terakhir yang mempunyai bunyi sama. Rima
dalam karena terdapat persamaan bunyi dalam satu larik (kalimat).
Mantra Gosse didominasi oleh diksi majas, yakni pemakaian kata melebihi
makna harfiah yang lazim, seperti kata yukkung ‘Tuhan’, batu ‘batu’. Kata
165
yukkung tidak ada makna harfiah, tetapi hanya sebagai bayangan bagi pembaca
mantra untuk sugesti. Kata ulu ‘kepala’ dimaknai bukan sebagai makna harfiah
tetapi mengarah kepada asal tumbuh dari rumput laut. Kepala dianalogikan
sebagai tempat tertinggi karena berkaitan dengan nilai.
Paralelisme dalam mantra Gosse tergolong paralelisme berselang dan
perulangan. Hal ini dibuktikan dalam teks berikut.
Ri Allah Taalah (3)
Nabbi pahara nabbinu (4)
Inakke iyukkung arengku (5)
Ri Allah Taalah (6)
‘Dari Allah Taalah (3)
Nabi pemelihara rumput laut nabimu (4)
Aku bernama yukkung (5)
Dari Allah Taalah’ (6)
Paralelisme mantra di atas merupakan paralelisme berselang karena
diselingi oleh dua kalimat lain. Kalimat tersebut menggunakan gramatikal yang
sama dan menggunakan preposisi/kata depan ri- pada kalimat 1 dan diulang pada
kalimat 3. Dikatakan perulangan karena menggunakan frasa yang sama.
Berdasarkan analisis, paralelisme di dalam mantra ini merupakan mantra
paralelisme berselang dan perulangan. Namun, mantra ini juga tampak
paralelisme struktur dan perulangan. Hal ini terlihat pada teks berikut.
Nabbi Muhammad nabbiku (7)
Nabattu ulunnajako antu (8)
Nabbi Adam ajjari batu (9)
Nalabbi uk pammantangngannajako (10)
Antu nabbi Hawa ajjari gosse (11)
‘Nabi Muhammad Nabiku (7)
Engkau berasal dari kepala (8)
Nabi Adam menjadi batu (9)
Hanya lebih rambutnya saja (10)
166
Itu nabi Hawa menjadi rumput laut’ (11)
Paralelisme struktur mantra di atas sama secara makna. Penekanan larik
bukan pada teks tetapi pada makna yang tersirat. Dikatakan paralelisme
perulangan karena di atas ada pengulangan kata nabbi ‘Nabi’.
Majas di dalam mantra ini adalah majas metonimia. Mantra ini memakai
nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal lain
dengan penggantinya, penggunaan kata yukkung. Kata ini digunakan sebagai
sapaan kepada yang dikeramatkan dan punya nilai magis bagi masyarakat suku
Makassar, khususnya bagi nelayan tradisional. Kata ini merupakan simbol
bayangan pembaca mantra. Contoh lain kata ’labbi uk najako ‘lebih rambutnya
saja’. Kata ini menegaskan pada ciri ‘rumput laut’.
Simbol di dalam mantra ini menggunakan ikonis irapang, yukkung, ulu
‘kepala’, dan batu ‘batu’. Simbol tersebut mempunyai arti penting bagi
masyarakat nelayan karena berkaitan dengan rumput laut yang segar dan bernilai
ekonomis tinggi.
6) Mantra Bunoanna Jukuka
Permainan bunyi (rima) mantra Bunoanna Jukuka merupakan rima alterasi
karena didominasi oleh konsonan ng. Hal ini tampak pada kalimat Iyakking jintu
areng tojeng-tojengnu ‘iyakking itu nama sesungguhmu’. Tergolong juga rima
akhir karena setiap kalimat menggunakan vokal u pada akhir katanya. Jadi, rima
dalam mantra ini adalah rima akhir dan rima alterasi.
Mantra Bunoanna Jukuka didominasi oleh diksi majasi, yakni pemakaian
kata melebihi makna harfiah yang lazim, dan diksi konotasi. Misalnya, kata
167
iyakking, iyukkung, ampatinroko ‘menidurkanmu’, dan Rikasoro’ malannyinnu ‘di
kasur empukmu’, dan sebagainya. Kata-kata tersebut tidak ada makna harfiah atau
makna sebenarnya tetapi sebagai penekanan sugesti.
Paralelisme dalam mantra Gosse tergolong paralelisme berselang, struktur,
dan perulangan. Hal ini dibuktikan dalam teks berikut.
Nuttinromo naung ri katoang majannannu (6)
Ri kasorok malannyinnu (7)
Ri tapperek matangkasa’nu (8)
Nukamma todong tinrona bunting berua (9)
Tidurlah saja ditempayan ketenanganmu (6)
Di kasur empukmu (7)
Di tikar bersihmu (8)
Seperti tidurnya pengantin baru (9)’
Paralelisme mantra di atas merupakan paralelisme berselang karena
diselingi oleh dua kalimat lain, yang diwakili kata Nuttinromo dan Nukamma.
Larik tersebut menggunakan gramatikal yang sama dan menggunakan suku kata
Nu di larik 6 dan diulang di larik 9. Dikatakan perulangan karena menggunakan
frasa yang sama. Namun, tampak paralelisme bentuk, seperti larik baris 7 dan 8
yang menggunakan kata ri kasorok lalu dilanjut kata ri tapperek pada kalimat
selanjutnya. Paralelisme bentuk karena kalimat di atas hampir sama secara makna.
Penekanan kalimat di atas bukan pada teks, tetapi pada makna yang tersirat.
Majas yang tertera dalam mantra ini adalah majas metonimia dan metafora.
Mantra ini menggunakan majas metonimia karena memakai nama ciri atau nama
hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal lain dengan penggantinya,
seperti penggunaan kata iyakking dan yukkung. Secara leksikal kata ini tidak
mempunyai arti, tetapi secara pragmatis sebagai sapaan. Kedua kata di atas punya
168
nilai magis bagi masyarakat nelayan tradisional suku Makassar, khususnya bagi
nelayan. Kata ini merupakan simbol bayangan pembaca mantra. Majas metafora
terlihat sebagai perbandingan, misalnya nukamma todong tinronu bunting berua
kalimat ini merupakan rayuan atau bujukan kepada ikan terbang agar mereka
datang dengan tenang. Dengan kata lain, semakin banyak ikan terbang yang
datang semakin banyak rezeki. Simbol dalam mantra ini menggunakan ikonis
iyakking, yukkung, Lompobattang ‘gunung Lompobattang, dan Bobokareang
‘gunung Bawakareang’. Simbol tersebut mempunyai arti penting bagi masyarakat
nelayan karena kemana pun nelayan mencari ikan, asal menyebut nama gunung
Bawakaraeng dan Lompobattanng pasti mendapatkan hasil yang memadai.
7) Mantra Appasuluki Kodia
Permainan bunyi (rima) mantra Appasuluki Kodia lebih banyak
menggunakan rima asonansi karena didominasi oleh vokal a. Hal ini tampak pada
kalimat:
Anjagai panraka (5)
Ampantamaki bajika (6)
Appasuluki kodia (7)
‘Menjaga yang rusak (5)
Memasukkan yang baik (6)
Mengeluarkan yang jahat’ (7)
Asonansi dalam mantra ini lebih didominasi oleh persamaan bunyi di awal
dan di akhir. Asonansi dalam mantra ini menimbulkan efek halus. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Badrun (2014), bahwa asonansi lebih memberikan efek halus
dari pada aliterasi. Hal ini berkaitan dengan lambang rasa dan selera pembaca
mantra. Mengingat mantra ini adalah mantra pamungkas, maka rima yang
169
dibangun terlihat berat karena menggunakan vokal a. Ditegaskan Badrun (2014)
bahwa vokal a menggambarkan perasaan gundah, sedih, dan murung. Jika
dikaitkan dengan mantra ini terlihat mantra ini merupakan upaya pengusiran hal
jahat yang akan mendatangi para nelayan yang sedang melaut. Hal ini karena
mantra ini diucapkan ketika sudah berada di laut (saat pelayaran).
Mantra Bunoanna Jukuka didominasi oleh diksi denotasi. Hal ini
menunjukkan bahwa mantra ini mempunyai penekanan dalam hal nilai magis bagi
penyapa dan pesapa. Diksi dalam mantra ini lebih lugas seperti yang disampaikan
Badrun (2014) bahwa sastra lisan cenderung prosesnya lebih cepat dan tidak
berulang.
Paralelisme dalam mantra Bunoanna Jukuka tergolong paralelisme bentuk.
Hal ini dibuktikan dalam teks berikut.
Anjagai panraka (5)
Ampantamaki bajika (6)
Appasuluki kodia (7)
‘Menjaga yang rusak (5)
Memasukkan yang baik (6)
Mengeluarkan yang jahat’ (7)
Paralelisme mantra di atas merupakan paralelisme bentuk karena larik
hampir sama secara makna, misalnya an jaga i, amp antama i, appa suluk i.
Penekanan larik bukan pada teks, tetapi lebih pada makna yang tersirat. Hal ini
juga didukung oleh larik kedelapan dan sembilan berikut.
Pattantanna Rasulullah (8)
Punna nia tausalah atekakna anlaloi (9)
‘Pelindungnya Rasulullah (8)
‘Kalau ada orang salah niatnya, lewat begitu saja’ (9)
170
Majas di dalam mantra ini adalah majas metonimia dan metafora. Mantra
ini menggunakan majas metonimia karena memakai nama ciri atau nama hal yang
ditautkan dengan orang, barang, atau hal lain dengan penggantinya. Hal ini
terlihat dalam penggunaan kata Kuniakkanngi Abubakara – Umara – Usman – Ali
‘Kuniatkan Abubakar – Umar – Usman – Ali’. Kata ini punya nilai magis bagi
masyarakat suku Makassar, khususnya bagi nelayan tradisional, mengingat
masyarakat sebagian besar muslim dan mempercayai kesaktian empat sahabat
Nabi Muhammad. Empat sahabat tersebut merupakan pilar sebagai simbol
kekuatan perjuangan Nabi Muhammad dalam berdakwa menyebarkan agama
Islam. Mantra tersebut diucapkan untuk menegaskan bahwa dalam melaut agar
diberi kekuatan dan keselamatan sampai pulang dengan selamat.
Simbol dalam mantra ini menggunakan ikonis, seperti: mantra-mantra
Tupakbiring, yamming, dan iyukkung sebelumnya. Simbol tersebut mempunyai
arti penting bagi masyarakat nelayan karena berkaitan dengan permohonan
keselamatan, kekuatan, dan kemakmuran bagi masyarakat setempat.
Kajian terhadap struktur teks mantra Tulembang dan Tupakbiring,
dianalisis dapat menggunakan komposisi naratif teks, satuan wacana naratif teks,
dan karakteristik kesatuan teks. Komposisi naratif terbangun dari struktur teks
yang terdiri atas pembuka, batang tubuh, dan penutup. Satuan wacana naratif teks
terbangun dari rangkaian tuturan yang menekankan unsur melalui penonjolan
tokoh dan unsur penting, seperti: unsur waktu, pelaku, dan peristiwa dengan
maksud memperluas pengetahuan pesapa. Kekuatan wacana ini terletak pada
urutan cerita berdasarkan waktu dan cara-cara bercerita yang diatur melalui plot.
171
Karakteristik kesatuan teks terbangun dari permainan bunyi, permainan kata,
paralelisme, dan majas, serta simbol yang muncul.
Komposisi naratif mantra Tulembang mempunyai susunan pembuka,
batang tubuh, dan penutup. Mantra ini didominasi oleh komponen salam
pembuka, nama sasaran, sugesti, visualisasi, dan simbol. Salam pembuka berupa
salam kepada Allah dan Nabi Muhammad yang merupakan unsur pengakuan dan
permohonan perlindungan Allah penguasa semesta, dan harapan yang ingin
dicapai. Nama sasaran digunakan dengan tujuan tercapai keinginan sekaligus
menambah kekuatan magis mantra. Komponen sugesti menjadi daya magis agar
penyapa dan pesapa lebih meyakini bahwa mantra yang diucapkan ada unsur gaib
dan aneh. Komponen visualisasi dan simbol digunakan untuk meyakinkan pesapa
dan sebagai interaksi batiniah agar mantra mempunya daya magis. Penggunaan
bahasa didominasi oleh analogis (metafora) dengan sentuhan mitologi dan religi.
Wacana naratif, mantra Tulembang didominasi oleh wacana sugestif dengan
suasana sakral dan khidmat sebagai sarana berupa percakapan monolog dan
dialog. Sifat mantra cenderung lebih bebas dalam suku kata, baris, maupun
persajakan.
Karakteristik kesatuan teks mantra Tulembang didominasi oleh rima tidak
sempurna dan dalam, serta rima alterasi. Mantra ini didominasi oleh konsonan ng
dalam setiap kalimatnya. Pada mantra tertentu menggunakan rima asonansi.
Artinya, mantra Tulembang memperhatikan aspek bunyi dengan pasangan suku
kata yang sama dan cenderung didominasi oleh vokal a dan u yang memberikan
efek perlambangan pengharapan yang tinggi. Diksi yang menonjol berbentuk
172
denotasi. Paralelisme yang terbangun berupan paralelisme bentuk dan semantis.
Majas yang terbentuk didominasi oleh majas metonimia. Simbol yang menonjol
adalah nama Nabi, arah mata angin, dan bulan bintang.
Komposisi mantra Tupakbiring tidak mempunyai salam pembuka dan
penutup secara Islami. Kekuatan mantra terletak pada muatan isi (makna).
Komponen yang sering muncul hampir sama dengan mantra Tulembang, yakni
komponen nama sasaran, sugesti, dan visualisasi dan simbol. Namun, penekanan
dalam mantra ini adalah komponen nama sasaran dan tujuan. Penggunaan bahasa
berupa metaforis (analogis) dengan sentuhan mitologi. Wacana naratif mantra
Tupakbiring didominasi oleh wacana sugestif dengan suasana sakral dan khidmat.
Sarana wacana lebih banyak dialog. Sifat mantra lebih terikat dalam hal suku kata,
baris, maupun persajakan.
Karakteristik kesatuan teks mantra Tupakbiring didominasi oleh rima tidak
sempurna dan dalam, serta rima alterasi. Mantra ini didominasi oleh konsonan ng
dalam setiap kalimatnya. Pada mantra tertentu menggunakan rima asonansi.
Mantra Tupakbiring memperhatikan aspek bunyi dengan pasangan suku kata yang
sama dan didominasi oleh vokal u yang memberikan efek berat, yang berarti
pelambangan rasa gundah atau pengharapan yang tinggi. Diksi yang menonjol
berbentuk denotasi dan majasi. Paralelisme berupa paralelisme berselang dan
struktur. Majas yang terbentuk didominasi oleh majas metonimia, metafora, dan
perumpamaan. Namun, mantra ini lugas karena tiap larik tergolong larik pendek.
Simbol yang menonjol adalah nama Nabi, nama bayangan, gunung, serta arah
mata angin.
Download