diskusi kasus: edema

advertisement
DISKUSI KASUS: EDEMA
Disusun oleh:
KELOMPOK C
Karina Maharani
0906487865
Dwi Wicaksono
0906487764
Elisabet Lana A.K.
0906507993
Naela Himayati
0906508333
Vhiolen Christin S.
0906639966
Rizka Ramadhani
0906508485
Biyan Maulana
0906507886
MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
NOVEMBER 2013
BAB I
ILUSTRASI KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama
: Ny. K
Usia
: 55 tahun
Alamat
: Citayem, Bogor
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Tidak bekerja
Pendidikan
: Tamat SMA
No. RM
: 388-31-xx
Masuk Tanggal
: 20 September 2013
1.2 Anamnesis (Autoanamnesis, 31 Oktober 2013)
Keluhan Utama
Lemas-lemas sejak 3 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengalami keluhan lemas sejak 3 hari SMRS. Keluhan tersebut membuat
pasien sempat pingsan. Keluhan disertai buang-buang air dirasakan sebanyak 10 x dalam
1 hari, sebanyak 1 gelas aqua, dan terdiri dari air dan ampas. Pasien sempat minum obat
diare dan membaik. Sejak 3 hari yang lalu, pasien merasa sulit makan. Pasien awalnya
dibawa ke RS Citamah, tetapi kemudian dirujuk ke RSCM karena dikatakan
membutuhkan perawatan ruang ICU. Tidak ada demam, tidak ada sesak napas. Terdapat
mual, tetapi tidak ada muntah.
Pasien memiliki bengkak di kaki yang memberat sejak 3 bulan SMRS. Terdapat
nyeri pada kaki kanan saat 3 hari setelah pasien masuk rumah sakit. Tidak ada riwayat
trauma. Sakit dirasakan dari lutut hingga paha bagian atas kaki kanan. Awalnya terasa
panas, bengkak, kemerahan, dan sulit digerakkan. Pasien dikatakan terdapat penyumbatan
pembuluh darah pada kaki kanan. Bengkak di kaki kanan tersebut berkurang setelah
dilakukan pembalutan pada seluruh kaki kanan. Pasien sudah pernah diberikan heparin,
tetapi dihentikan karena urin pasien menjadi berwarna merah.
Pasien memiliki keluhan sesak napas sejak 2 tahun SMRS. Sesak napas dirasakan
seperti sedang capek dan dirasakan semakin berat selama 2 tahun ini. Sesak napas
2
dirasakan setelah beraktivitas seperti jalan ke kamar mandi dan akhir-akhir ini pasien
sering merasa sesak saat tiduran saja. Pasien tidur dengan 2 bantal yang dirasakan sejak 1
bulan yang lalu. Pasien sering terbangun karena sesak sejak 1 tahun yang lalu. Tidak ada
nyeri dada. Sesak napas kembali dirasakan pasien sejak 1 minggu SMRS. Sesak napas
disertai keringat yang banyak, tetapi tidak terdapat nyeri dada.
Pasien memiliki bengkak yang muncul di seluruh tubuh sejak 2 tahun SMRS dan
dirasakan muncul hilang timbul. Pasien dikatakan bahwa fungsi ginjalnya menurun sejak
2 tahun SMRS saat pasien dirawat akibat mual dan muntah. BAK dirasakan sering, tetapi
jumlahnya sedikit. Tidak ada nyeri saat BAK. BAB dirasakan tidak ada gangguan.
Pasien memiliki kencing manis sejak 15 tahun SMRS, tetapi tidak teratur minum
obat. Obat yang digunakan pasien adalah glibenclamid. Pasien merasa sering BAK pada
malam hari sebanyak 5-6 kali, merasa banyak makan dan banyak minum. Pasien sudah
pernah diberikan obat insulin, tetapi tidak cocok. Pasien merasakan ada rasa baal dan
kesemutan pada kedua kaki sejak 2 tahun SMRS.
Saat ini, pasien merasa sedikit sesak, terdapat bengkak terutama pada kedua kaki.
Kaki kanan masih terasa nyeri, tegang, dan hangat. Tidak ada diare, tidak ada demam.
Pasien sudah dilakukan cuci darah sejak dirawat. Bengkak dan sesak dirasakan berkurang
setelah cuci darah.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki diabetes melitus sejak 15 tahun SMRS. Tidak ada hipertensi,
tidak ada asma, tidak ada alergi. Pasien tidak pernah memiliki sakit jantung. Pasien
memiliki riwayat sakit paru pada 20 tahun yang lalu, diberikan obat selama 6 bulan dan
BAK pasien menjadi merah. Pasien sudah dilakukan pemeriksaan dahak dan foto dada
pada akhir pengobatan dan dikatakan tuntas.
Pasien memiliki riwayat operasi kaki karena DM pada 7 tahun lalu.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluhan serupa pada keluarga. Tidak ada riwayat hipertensi, tidak ada
riwayat DM, tidak ada asma, tidak ada alergi. Tidak ada riwayat sakit jantung maupun
sakit paru.
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kebiasaan
3
Pasien merupakan ibu rumah tangga, tinggal dengan suami yang saat ini tidak
bekerja. Pasien tinggal di daerah Citayem yang menurut pasien bukan lingkungan yang
padat.
1.3 Pemeriksaan Fisik (23 Oktober 2013)
Status Generalis
Kesadaran
: Kompos mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 109 x/menit
Suhu
: 37,9 oC
Napas
: 16 x/menit
Kepala
: Normosefal, tidak ada deformitas
Mata
: Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Hidung
: Lubang hidung lapang, tidak ada sekret
Telinga
: Kedua liang telinga lapang, tidak ada sekret, refleks cahaya
positif, nyeri tekan tragus dan mastoid tidak ada
Mulut-Tenggorok : Mukosa tidak kering, lidah tidak kotor, gigi berlubang tidak ada,
faring hiperemis, tonsil tidak membesar (ukuran T1-T1)
Leher
: JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB, tiroid tidak teraba
Paru
: Vesikuler (+/+), rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung
: S1 S2 normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Perut
: Datar, supel, nyeri tekan tidak ada, nyeri ketok ginjal tidak ada,
hepar dan lien tidak teraba, bising usus normal
Ekstremitas
: Akral hangat, tidak ada edema, capilarry refill time <2 detik,
terdapat petekie, tes Rumpel-Leed positif
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (Minggu, 20-10-2013, 23.30 WIB)
Hb
: 9,35
MCV
: 75,8
Ht
: 26%
MCH
: 28,2
Leukosit
: 22.000
MCHC
: 36
Trombosit
: 475.000
pH
: 7,327
4
pCO2
: 24,4
Cr
: 4,7
pO2
: 82,9
Na
: 133
PT
: 12,1/11,8
K
: 4,3
APTT
: 44/34,9
Cl
: 106
Ur
: 163,9
GDS
: 256
Laboratorium (Selasa, 22-10-2013, 15.15 WIB)
Hb
: 8,4
MCHC
: 34,7
Ht
: 24,2%
pH
: 7,228
Eritrosit
: 3,04 x 106
pCO2
: 51,4
Leukosit
: 15.120
pO2
: 83,1
Trombosit
: 364.000
Cr
: 3,4
MCV
: 79,6
eGFR
: 14,6
MCH
: 27,6
Na
: 136
Laboratorium (Rabu, 23-10-2013, 11.53 WIB)
pH
: 7,239
Na
: 144
pCO2
: 39,5
K
: 3,6
pO2
: 88,7
Cl
: 95,7
Laboratorium (Kamis, 24-10-2013, 18.31 WIB)
Hb
: 8,7
pH
: 7,169
Ht
: 25,2%
pCO2
: 46
Eritrosit
: 3,16 x 106
pO2
: 54,6
Leukosit
: 10.490
PT
: 12/11,3
Trombosit
: 424.000
APTT
: 34,1/31,2
MCV
: 79,7
Fibrin
: 413,9
MCH
: 27,5
D-Dimer : 600
MCHC
: 34,5
Laboratorium (Jumat, 25-10-2013, 15.01 WIB)
Hb
: 8,3
Leukosit : 12.530
Ht
: 24,3%
Tromb
: 382.000
Eritrosit
: 3,04 x 106
MCV
: 79,9
5
MCH
: 27,3
Na
: 132
MCHC
: 34,2
K
: 4,36
Cr
: 3,1
Cl
: 91,1
eGFR
: 16,3
Laboratorium (Minggu, 27-10-2013, 13.59 WIB)
Hb
: 8,7
Ht
: 25,3%
Eritrosit
: 3,12.106
Leukosit
: 13.780
Trombosit
: 420.000
pH
: 7,297
pCO2
: 44,1
pO2
: 117,7
Cr
: 2,8
eGFR
: 18,4
Na
: 132
K
: 4,13
Cl
: 93,2
6
Laboratorium (Rabu, 30-10-2013, 23.27 WIB)
pH
: 7,302
pCO2
: 40,4
pO2
: 168,9
Na
: 142
K
: 3,33
Cl
: 103,7
1.5 Daftar Masalah
1. CHF f.c. IV
2. CKD stage V
3. DVT kaki kanan
4. DM tipe II
1.6 Rencana Diagnosis
1. Pemeriksaan darah perifer lengkap/24 jam
2. IgM / IgG anti dengue
1.7 Tatalaksana
1. Tramadol 3 x 500 mg
2. Lantus 1 x 12 IU
3. Novorapid 3 x 8 IU
4. Domperidone 3 x 100 mg
5. Omeprazole 1 x 10 mg
6. Captopril 3 x 25 mg
7. Amlodipin 1 x 5 mg
1.8 Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam
: dubia ad malam
Ad functionam
: dubia ad malam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Edema
Edema merupakan keadaan klinis di mana terdapat peningkatan volume cairan
interstitial. Edema dapat terjadi di ruang interstitial seluruh tubuh, kavitas pleura, atapun
kavitas peritoneum. Terdapat dua jenis edema, yaitu edema pitting dan edema nonpitting.
Edema pitting ditandai dengan adanya bekas penekanan pada edema yang menghilang
dalam beberapa waktu. Sedangkan, edema nonpitting merupakan edema yang tidak
meninggalkan bekas akibat penekanan. Edema dapat terjadi secara lokal maupun
keseluruhan. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan mengenai patogenesis edema
tersebut.1

Hukum starling1
Hukum starling menjelaskan bahwa terdapat tekanan yang mengatur aliran cairan
pada komponen ekstraseluler, yaitu antara vaskular dan ruang interstitial. Perpindahan
cairan dari vaskular menuju ruang interstitial dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik
pada vaskular dan tekanan koloid onkotik pada ruang interstitial. Sedangkan,
perpindahan cairan dari ruang interstitial menuju vaskular dipengaruhi oleh tekanan
koloid onkotik pada protein plasma di vaskular dan tekanan hidrostatik pada cairan
interstitial. Adanya edema disebabkan oleh adanya gangguan pada salah satu proses
tersebut.
Cairan akan mengalir dari ruang interstitial menuju vaskular pada vena kapiler distal
dan melalui saluran limfa. Edema yang disebabkan oleh peningkatan tekanan kapiler
dapat terjadi pada peningkatan tekanan vena akibat obstruksi atau peningkatan
tekanan akibat gagal jantung. Selain itu, adanya penurunan tekanan onkotik juga
dapat terjadi akibat hipoalbuminemia, yang juga menyebakan edema.

Kerusakan kapiler1
Adanya kerusakan endotel kapiler menyebabkan peningkatan permeabilitas sehingga
terjadi peningkatan transfer protein dari vaskular menuju ruang interstitial. Kerusakan
endotel kapiler dapat disebabkan oleh obat-obatan, infeksi, reaksi hipersensitivitas,
atau trauma mekanik atau termal. Edema akibat kerusakan endotel kapiler biasanya
bersifat terlokalisasi, nonpitting, dan biasanya disertai tanda-tanda inflamasi.

Penurunan volume arteri efektif1
8
Volume arteri efektif merupakan parameter yang menunjukkan pengisian arterial
tree. Adanya penurunan volume arteri efektif tersebut menyebakan tubuh memicu
peningkatan retensi air dan NaCl untuk mengembalikan volume tersebut menjadi
normal. Namun, hal tersebut juga menyebabkan edema.

Sistem RAAS (Renin-Angiotensin-Aldosteron System)1
Sistem RAAS merupakan mekanisme yang distimulus oleh sel juxtaglomerulus pada
ginjal untuk meningkatkan volume darah dengan meningkatkan retensi NaCl dan air.
Aktivasi sistem tersebut menyebabkan peningkatan produksi angiotensin II yang
menyebabkan vasokonstriksi arteriol eferen ginjal, menyebabkan penurunan tekanan
hidrostatik pada kapiler peritubular, meningkatkan fraksi filtrasi yang menyebabkan
peningkatan tekanan koloid onkotik pada pembuluh darah ginjal, dan menyebabkan
peningkatan reabsorpsi garam dan air. Angiotensin II menyebabkan stimulasi
produksi aldosteron yang menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium pada tubulus
kolektivus.

Peningkatan hormon1
Beberapa hormon yang dapat menyebabkan edema yaitu hormon vasopressin dan
endothelin. Peningkatan hormon vasopressin menyebakan peningkatan konsentrasi
osmotik intrasel, dan meningkatkan reabsorpsi air pada tubulus distal dan tubulus
kolektivus. Peningkatan hormon endothelin menyebabkan vasokonstriksi pada
pembuluh darah ginjal, sehingga terjadi retensi natrium dan menyebabkan edema.
Terdapat beberapa penyakit yang menunjukkan gejala salah satunya edema, baik
edema lokal maupun edema keseluruhan. Beberapa diagnosis yang memiliki edema
sebagai salah satunya yaitu:1

Edema lokal
Edema lokal biasanya disebabkan oleh obstruksi pada vena atau saluran limfa, yang
dapat ditemukan pada beberapa penyakit seperti thromboflebitis, limfangitis kronik,
reseksi nodus limfa regional, filariasis, dan lain-lain. Adanya sumbatan menyebabkan
peningkatan tekanan hidrostatik pada area proksimal sumbatan, sehingga peningkatan
cairan pada area proksimal sumbatan tersebut menyebabkan perpindahan cairan dari
vaskular menuju ruang interstitial. Saluran limfatik dapat terjadi sumbatan juga atau
memiliki isi cairan yang penuh, sehingga terjadi peningkatan volume cairan
interstitial pada kedua ekstremitas. Adanya perpindahan cairan tersebut menyebabkan
penurunan volume darah efektif dan memicu mekanisme retensi NaCl dan air.
9

Edema keseluruhan
Edema yang terjadi pada seluruh tubuh sebagian besar disebabkan oleh gangguan
pada organ jantung, hepar, atau ginjal. Gagal jantung kongestif merupakan keadaan di
mana terdapat edema keseluruhan. Adanya gangguan pengosongan ventrikel pada
fase sistolik (gagal jantung sistolik) atau gangguan relaksasi ventrikel saat fase
diastolik (gagal jantung diastolik) menyebabkan peningkatan tekanan diastolik
ventrikel jantung, yang menyebabkan pengumpulan darah pada sirkulasi vena
sehingga tekanan vena meningkat dan terjadi edema. Pada gangguan yang terjadi pada
ventrikel kanan, terjadi peningkatan tekanan vena sistemik dan vena kapiler, sehingga
terjadi pengumpulan transudat cairan dan menunju ruang interstitial dan
menyebabkan edema perifer. Sedangkan, gangguan yang terjadi pada ventrikel kiri
menyebabkan peningkatan tekanan pada vena pulmonalis dan kapiler. Hal tersebut
menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonal dan menyebabkan peningkatan
beban pada fase pengosongan di ventrikel kanan. Terjadi peningkatan tekanan
diastolik pada ventrikel kanan, kemudian peningkatan tekanan vena sistemik dan
kapiler, dan menyebabkan edema perifer. Selain itu, peningkatan tekanan vena
pulmonalis menyebabkan edema pulmonal yang dapat mengganggu pertukaran udara.
Hipoksemia yang terjadi akibat edema pulmonal tersebut kemudian akan semakin
mengganggu fungsi jantung.
Edema yang diakibatkan penyakit jantung dapat dicurigai bila terdapat penyakit
jantung, yang ditandai dengan pembesaran jantung, adanya gallop, dan tanda-tanda gagal
jantung seperti sesak napas saat aktivitas, adanya ronkhi basah halus, adanya distensi
vena yang dapat dinilai melalui JVP (jugular venous pressure), dan adanya hepatomegali.
Dapat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mencari tanda-tanda penyakit
jantung atau gagal jantung. Biasanya, edema akibat penyakit jantung lebih terlihat pada
ekstremitas bawah dan terlihat lebih berat pada sore hari akibat pengaruh postur.
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan yaitu ekokardiografi.
Edema yang disebabkan oleh organ hati biasanya merupakan akibat dari sirosis
hati. Keadaan sirosis menyebabkan gangguan atau blokade pada aliran vena hepatikum,
sehingga terjadi peningkatan volume darah splanknik dan peningkatan volume limfa di
hati. Peningkatan tekanan di hati menyebabkan hipertensi intrahepatikum, yang dapat
memicu retensi natrium dan penurunan volume darah arteri efektif. Selain itu, adanya
hipoalbuminemia akibat penurunan sintesis oleh hari menyebabkan perburukan pada
retensi cairan dan menurunkan volume darah arteri efektif. Penurunan volume darah
10
tersebut memicu aktivasi sistem RAAS, saraf simpatis ginjal, yang menyebabkan
peningkatan aktivitas retensi garam dan air. Penurunan fungsi pada hati juga berdampak
pada penurunan metabolisme hormon aldosteron, sehingga terjadi peningkatan hormon
tersebut dan memicu retensi cairan. Retensi cairan tersebut menyebabkan edema. Selain
itu, sirosis menyebabkan obstruksi pada saluran limfatik hati, seperti pada kavitas
peritoneal, yang menyebabkan asites.
Penilaian pasien dengan edema yang dicurigai asites yaitu mencari adanya tandatanda penyakit hati, seperti adanya jaundice, tampakan spider nevi, venektasi, adanya
asites. Pada keadaan edema dengan asites, dapat ditemukan edema yang lebih berat pada
kedua ekstremitas bawah, karena cairan asites menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen dan menghambat aliran darah vena dari ekstremitas bawah.
Edema yang disebabkan oleh gangguan pada ginjal merupakan akibat dari
beberapa penyakit, seperti sindrom nefrotik, glomerulonefritis, gagal ginjal, dan lain-lain.
Adanya gangguan pada ginjal menyebabkan peningkatan ekskresi protein dalam urin,
sehingga terjadi penurunan tekanan koloid onkotik pada pembuluh darah. Hal tersebut
menyebabkan kandungan NaCl dan air tidak dapat dipertahankan di dalam pembuluh
darah dan berpindah ke ruang interstitial, yang juga menyebabkan penurunan volume
darah efektif. Adanya penurunan volume darah memicu aktivasi RAAS dan memicu
retensi cairan dalam tubuh, yang menyebabkan edema.
Pada edema yang terjadi di fase akut glomerulonefritis, ditandai dengan
hematuria, proteinuria, dan hipertensi. Gagal ginjal menyebabkan edema akibat adanya
hipertensi arterial, yang juga menyebabkan kongesti pulmonal. Sedangkan, sindrom
nefrotik yang menyebabkan edema ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, dan
hiperkolesterolemia. Edema yang disebabkan oleh gangguan ginjal biasanya akibat proses
retensi NaCl dan air, dan tidak terdapat gangguan pada fungsi jantung.
Selain gangguan pada ketiga organ tersebut, terdapat etiologi lain yang juga
menyebabkan edema, yaitu:1

Edema yang diinduksi obat
Obat yang menyebabkan edema merupakan obat yang menimbulkan vasokonstriksi
pada ginjal seperti NSAID dan siklosporin, dilatasi arteri seperti obat-obatan
vasodilator, peningkatan reabsorpsi natrium pada ginjal seperti obat steroid, dan obat
yang menyebabkan kerusakan kapiler seperti IL-2. Beberapa obat antihipertensi yang
dapat menyebabkan edema yaitu:
11
o Vasodilator arteri, seperti hidralazin, klonidin, metildopa, guanetidin, dan
minodixil
o Calcium channel antagonists
o Α-adrenergic antagonist
o Thiazolidinedion

Gangguan nutrisi
Asupan nutrisi yang kurang protein dalam jangka waktu yang lama menyebabkan
hipoproteinemia, yang juga menyebabkan edema. Edema yang disebabkan
hipoproteinemia biasanya lebih terlihat pada jaringan lunak seperti kelopak mata dan
wajah, dan lebih terlihat pada pagi hari akibat posisi. Penyakit jantung beriberi yang
didasari oleh etiologi nutrisi memiliki fistula arteriovenosus perifer yang
menyebabkan penurunan volume arteri efektif dan penurunan perfusi sistemik, yang
juga memicu terjadinya edema. Kurangnya asupan albumin, kalium, dan kurangnya
asupan kalori dapat menyebabkan edema akibat starvasi. Namun, asupan makanan
yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan asupan natrium yang kemudian
diserap tubuh bersama dengan air. Selain itu, adanya peningkatan sekresi insulin juga
menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium pada tubulus ginjal.

Hipotiroidisme, hipertiroidisme; edema pada keadaan ini bersifat nonpitting dan
diakibatkan oleh penumpukan asam hialuronat

Hiperadrenokortisme eksogenus

Kehamilan
2.2 Congestive Heart Failure (CHF)
Gagal jantung merupakan suatu sindrom klinis berupa kumpulan gejala (sesak
napas dan mudah lelah) dan tanda klinis yang dapat disebabkan oleh kelainan kongenital
atau bawaan dari struktur atau fungsi jantung.1,5 Gagal jantung menjadi sebuah beban
penyakit yang mendunia dimana 20 juta orang di dunia dikatakan mengalami gagal
jantung. Di negara maju, prevalensi gagal jantung pada orang dewasa sebesar 2%.
Prevalensi ini banyak ditemukan seiring dengan peningkatan usia dimana 6-10% terjadi
pada usia di atas 65 tahun.1
Setiap kondisi yang menyebabkan perubahan struktur atau fungsi ventrikel kiri
menjadi predisposisi timbulnya gagal jantung. Salah satu predisposisi timbulnya gagal
jantung di negara-negara industry adalah coronary artery disease (CAD) yang berperan
12
dalam 60-75% dari keseluruhan kasus gagal jantung. Hipertensi juga berkontribusi dalam
perkembangan gagal jantung pada 75% pasien. Baik hipertensi maupun CAD berinteraksi
meningkatkan risiko timbulnya gagal jantung, sama halnya dengan diabetes melitus.1
Berdasarkan studi komunitas, 30-40% pasien meninggal setelah didiagnosis
mengalami gagal jantung dalam kurun waktu 1 tahun, sedangkan 60-70% pasien
meninggal dalam 5 tahun. Klasifikasi status fungsional berdasarkan New York Heart
Association (NYHA) menjadi salah satu prediktor penting untuk memperkirakan
prognosis pasien dengan gagal jantung. Pasien gagal jantung dengan NYHA kelas IV
memiliki laju mortalitas tahunan sebesar 30-70%, sedangkan pasien dengan NYHA kelas
II sebesar 5-10%.1
Tabel 1. Klasifikasi Status Fungsional berdasarkan New York Heart Association (NYHA).1
Gagal jantung sistolik dan gagal jantung diastolik merupakan dua jenis gagal
jantung yang saling tumpang-tindih dan tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan fisik,
foto toraks, ataupun pemeriksaan EKG, tetapi hanya dapat dibedakan dengan
pemeriksaan Doppler-ekokardiografi. Gagal jantung sistolik merupakan ketidakmampuan
kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan akhirnya menyebabkan
kelemahan, mudah lelah (fatik), kemampuan aktivitas menurun, dan gejala hipoperfusi
lainnya. Gagal jantung diastolik merupakan gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel
dengan fraksi ejeksi >50%. Tiga macam gangguan fungsi diastolik berupa gangguan
relaksasi, pseudo-normal, dan tipe restriktif.5
13
Gagal jantung sistolik disebabkan oleh suatu penyakit miokardium yang
mengakibatkan remodeling struktural dan kemudian diperberat oleh progresivitas
penyakit
tersebut.
Mekanisme kompensasi
terhadap remodeling
struktural
ini
menyebabkan fungsi jantung terlihat relatif normal yang dikatakan dengan gagal jantung
asimtomatik. Bila timbul faktor predisposisi (infeksi, aritmia, infark jantung, anemia,
hipertiroid, kehamilan, aktivitas berlebihan, emosi, konsumsi garam berlebih, emboli
paru, hipertensi, miokarditis, virus, demam reumatik, endokarditis infektif), timbullah
gagaj jantung simtomatik.5
Gambar 1. Patogenesis Gagal Jantung.1
Penurunan curah jantung pada gagal jantung menyebabkan “unloading” dari
baroresesptor dalam ventrikel kiri, sinus karotis, dan arkus aorta. Keadaan ini
menyebabkan hilangnya hambatan parasimpatettik terhadap sistem saraf pusat sehinga
terjadi peningkatan tonus simpatetik eferen dan pelepasan arginine vasopressin (AVP)
dari pituitari. AVP atau ADH merupakan suatu vasokonstriktor kuat yang meningkatkan
permeabilitas duktus kolektivus ginjal sehingga menyebabkan reabsorbsi air. Sinyal
aferen ke sistem saraf pusat juga mengaktivasi jalur persarafan simpatetik eferen yang
menginervasi jantung, ginjal pembuluh darah perifer, dan otot-otot rangka.1
Stimulasi simpatetik terhadap ginjal menyebabkan pelepasan renin dengan
peningkatan kadar angiotensin II dan aldosteron di sirkulasi. Akivasi sistem renin,
angiotensin, aldosteron menyebabkan retensi garam dan air sehingga terjadi
14
vasokonstriksi pembuluh darah perifer, hipertrofi miosit, kematian miosit, dan fibrosis
miokardium.1
Diagnosis gagal jantung dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, foto
toraks, EKG, Doppler-ekokardiografi, dan kateterisasi. Pada anamnesis dan pemeriksaan
fisik, dapat ditemukan cepat capek, sesak napas (dyspneu on effort, orthopneu),
kardiomegali, peningkatan tekanan vena jugularis, aistes, hepatomegali, dan edema. Jika
gejala dan tanda tersebut tidak jelas ditemukan, diagnosis ditopang dengan pemeriksaan
lain seperti yang telah disebutkan sebelumnya.1,5
Diagnosis gagal jantung kongestif dapat dibuat berdasarkan kriteria Framingham
dengan ketentuan minimal terdapat 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Berikut adalah
pembagian kriteria tersebut.5

Kriteria Mayor
o Paroksismal nokturnal dispnea
o Distensi vena leher
o Ronki paru
o Kardiomegali
o Edema paru akut
o Gallop S3
o Peninggian tekanan vena jugularis
o Refluks hepatojugular

Kriteria Minor
o Edema ekstremitas
o Batuk malam hari
o Dyspneu on effort
o Hepatomegali
o Efusi pleura
o Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
o Takikardia (>120 x/menit)

Kriteria Mayor atau Minor
o Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
15
Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Gagal Jantung Kongestif.1
Diuretik merupakan pengobatan gagal jantung yang penting sampai edema atau
asites menghilang. ACE-inhibitor atau ARB dosis kecil dapat mulai diberikan setelah
euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat mulai
diberikan setelah diuretik dan ACE-inhibitor diberikan. Digitalis diberikan bila terdapat
aritmia supraventrikular atau ketiga obat sebelumnya belum memberikan hasil yang
memuaskan. Aldosteron antagonis diberikan untuk meperkuat efek diuretik atau pada
pasien dengan hipokalemia.1,5
Pemakaian alat bantu (Cardiac Resychronization Theraphy, pembedahan,
pemasangan Intra-Cardiac Defibrillator) belum banyak digunakan karena mahal.
Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard masih dalam penelitian lanjut.5
2.3 Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik ditandai dengan adanya gangguan fungsi ginjal dan
penurunan progresif dari laju filtrasi glomerulus (GFR). Penurunan fungsi ginjal pada
CKD berlangsung ireversibel. Penyakit CKD diklasifikasikan ke dalam 5 stadium
berdasarkan besar GFR.1,2
A. Etiologi
16
Menurut Harrison (2012)1, terdapat lima penyakit yang menjadi etiologi
terbanyak dari penyakit ginjal kronik, yaitu penyakit glomerulus diabetik,
glomerulonefritis, nefropati hipertensif, penyakit ginjal polikistik, dan nefropati
tubulointerstitial. Namun, penyebab tersebut dapat berbeda-beda tergantung areanya.
Di Indonesia, terdapat lima penyakit yang sering menyebabkan penyakit ginjal kronik,
yaitu glomerulonefritis, Diabetes Mellitus, obstruksi dan infeksi, hipertensi, dan
penyebab lainnya. Beberapa keadaan yang digolongkan dalam penyebab lain yaitu
nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal,
dan penyebab yang tidak diketahui.2
Terdapat dua macam individu yang dibedakan berdasarkan etiologi dari CKD,
yaitu:1

Individu dengan glomerulopati primer, seperti glomerulosklerosis segmental
fokal, tanpa adanya manifestasi kelainan glomerulus berupa sindrom nefrotik atau
nefritik.

Individu dengan adanya nefrosklerosis progresif dan hipertensi, yang biasanya
juga memiliki kelainan pada pembuluh darah jantung dan otak.
B. Patofisiologi
Terdapat 2 mekanisme utama yang menyebabkan penyakit ginjal kronik,
yaitu:1

Mekanisme spesifik berdasarkan etiologi
Beberapa etiologi yang mendasari terjadinya penyakit ginjal kronik yaitu adanya
abnormalitas pembentukan ginjal atau kelainan struktur ginjal, adanya deposisi
kompleks imun, inflamasi pada ginjal seperti pada glomerulonefritis, dan pajanan
terhadap toksin pada tubulus dan interstitial ginjal.

Mekanisme progresif pada jaringan ginjal
Mekanisme awal yang terjadi yaitu adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron
fungsional, yang dipicu penurunan fungsi beberapa nefron sehingga ginjal
melakukan mekanisme kompensasi yang dimediasi hormon vasoaktif, sitokin, dan
growth factors. Adaptasi tersebut hanya berlangsung sebentar, kemudian terjadi
maladaptasi nefron fungsional. Peningkatan tekanan dan aliran menuju nefron
menyebabkan perubahan struktur glomerulus, yang menimbulkan penurunan
17
fungsi nefron tersebut. Selain itu, adanya peningkatan aktivitas sistem RAAS
intrarenal menyebabkan hiperfiltrasi, hipertrofi, serta sklerosis.
Gambar 3. Patofisiologi CKD.1
C. Komplikasi pada CKD
Terdapat beberapa komplikasi akibat CKD, yaitu:1

Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa, yang berupa gangguan
keseimbangan natrium, air, kalium, dan risiko asidosis metabolik. Keadaan CKD
menyebabkan gangguan pada keseimbangan pengaturan NaCl dan air pada
struktur glomerulotubular, sehingga ekskresi natrium kurang dari asupan natrium.
Hal tersebut dapat memicu terjadinya hipertensi, di mana hipertensi juga dapat
menyebabkan kerusakan nefron. Terjadi gangguan keseimbangan sekresi kalium
pada tubulus distal ginjal. Asidosis metabolik muncul akibat kurangnya produksi
amonia sehingga sulit untuk mengekskresikan proton dalam tubuh. Keadaan
hiperkalemia dapat lebih menurunkan produksi amonia.

Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat, yang dapat menyebabkan gangguan
metabolisme tulang, peningkatan mortalitas kardiovaskular akibat peningkatan
kalsifikasi pembuluh darah, dan adanya arteriolopati uremik kalsifik.

Gangguan kardiovaskular, yang dapat berupa penyakit vaskular iskemik, gagal
jantung, dan hipertensi. Faktor risiko dan keadaan pada CKD, seperti anemia,
18
hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme, dan inflamasi secara keseluruhan. Gagal
jantung merupakan manifestasi yang muncul akibat iskemia myokardium,
hipertrofi ventrikel kiri, dan kardiomiopati yang disertai dengan retensi natrium
dan air akibat CKD. Selain itu, hipertensi juga merupakan komplikasi CKD.

Gangguan hematologi, yaitu anemia. Anemia yang biasanya terdapat pada CKD
stadium 3 atau 4 yaitu anemia normositik nomrokrom, yang diakibatkan oleh
penurunan produksi eritropoietin. Beberapa faktor lain, seperti defisiensi besi,
inflamasi kronik atau akut, hiperparatiroidisme berat, dan keadaan uremikum, juga
dapat menyebabkan anemia pada CKD. Selain itu, juga terdapat pemanjangan
bleeding time, penurunan aktivitas faktor platelet III, gangguan agregasi platelet,
dan gangguan penggunaan protrombin. Pasien CKD lebih berisiko memiliki
tromboembolisme.

Gangguan neuromuskular, yang dapat berupa neuropati pada sistem saraf pusat,
sistem saraf perifer, dan saraf otonom.

Gangguan gastrointestinal yang dapat dikenali yaitu uremic fetor, yaitu bau pada
napas yang seperti urin, yang terbentuk akibat pemecahan urea ke amonia di
saliva. Gejala tersebut juga disertai dengan adanya pengecapan rasa metalik
(disgeusia).

Gangguan metabolik endokrin, seperti gangguan metabolisme glukosa, rendahnya
kadar hormon estrogen dan testoteron.

Gangguan kulit, berupa pruritus, adanya urokrom, dan dermopati fibrosis
nefrogenik.
D. Diagnosis CKD
Anamnesis
Anamnesis ditujukan untuk mencari penyakit komorbid dari CKD, faktor
risiko maupun etiologinya. Perlu ditanyakan mengenai riwayat hipertensi, Diabetes
Mellitus, urinasi yang abnormal, dan adanya keluhan pada saat hamil. Selain itu, perlu
ditanyakan mengenai riwayat pemakaian obat, terutama obat yang rutin dikonsumsi
sejak lama. Perlu dicari kemungkinan adanya sindrom uremik, seperti adanya
penurunan nafsu makan, berat badan yang menurun, nausea, edema perifer, kram otot,
pruritus, dan tungkai yang sulit diam. Riwayat keluarga tentang penyakit ginjal, dan
penilaian terhadap penyakit di organ lain perlu ditanyakan untuk menentukan CKD
19
yang diturunkan. Selain itu, perlu ditanyakan mengenai agen nefrotoksik yang berada
di lingkungan rumah maupun lingkungan kerja.1
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan terkait dengan faktor risiko dan penyakit
lainnya. Tekanan darah, pemeriksaan prekordial, funduskopi, perlu dilakukan.
Funduskopi terutama dilakukan pada pasien DM, karena adanya retinopati biasanya
terkait dengan nefropati. Selain itu, perlu diperiksa mengenai edema dan polineuropati
sensorik.1
Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:1

Pemeriksaan laboratorium, yang bertujuan untuk mencari etiologi progresivitas
penurunan fungsi ginjal. Beberapa pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan
hepatitis B dan C, HIV, pengukuran konsentrasi serum ion Ca, P, vitamin D, dan
PTH, yang penting untuk menilai penyakit tulang metabolik.

Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang paling bermanfaat adalah USG ginjal. Pemeriksaan
ultrasonografi tersebut dapat menentukan kesimetrisan ginjal, mengukur ginjal,
dan menyingkirkan massa di ginjal.

Biopsi ginjal
Staging CKD
Menurut Suwitra (2010), terdapat kriteria penyakit ginjal kronik, yaitu:2

Kerusakan ginjal yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan, yang berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan/tanpa penurunan GFR, dengan
manifestasi berupa kelainan patologis dan tanda kelainan ginjal.

GFR yang kurang dari 60 ml/menit/1,73mm2 yang terjadi selama 3 bulan,
dengan/tanpa kerusakan ginjal.
Klasifikasi dari CKD dilakukan berdasarkan stadium penyakit dan etiologinya.
Klasifikasi berdasarkan stadium ditentukan berdasarkan besar GFRnya, yang dihitung
dengan rumus Cockcroft-Gault, yaitu:2
𝐺𝐹𝑅 =
(140 − 𝑢𝑠𝑖𝑎)𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔)
72 𝑥 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 (𝑚𝑔/𝑑𝑙)
20
Pada rumus tersebut, perlu dikalikan 0,85 pada individu perempuan.
Tabel 2. Stadium CKD berdasarkan GFR.1
Tabel 3. Klasifikasi CKD berdasarkan Etiologi.2
ginjal Diabetes Mellitus tipe 1 dan 2
Penyakit
diabetes
ginjal Penyakit glomerular, seperti penyakit autoimun, infeksi sistemik,
Penyakit
obat, dan neoplasia
nondiabetes
Penyakit vaskular, seperti penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, dan mikroangiopati
Penyakit tubulointerstitial, seperti pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, dan keracunan obat
Penyakit kistik, seperti ginjal polikistik
pada Rejeksi kronik
Penyakit
transplantasi
Keracunan obat
Penyakit reccurent pada glomerulus
Transplant glomerulopathy
E. Tatalaksana CKD
Tatalaksana terhadap CKD yaitu menangani penyakit lain yang menjadi
etiologi CKD, kemudian memperlambat progresivitas CKD tersebut. Beberapa
tatalaksana dalam memperlambat progresivitas tersebut yaitu:1
21

Menurunkan hipertensi intraglomerular dan proteinuria. Obat yang dapat
digunakan yaitu ACE-inhibitor atau ARB, yang berperan dalam menghambat
vasokonstriksi pada arteriol eferen yang disebabkan angiotensin. Inhibisi tersebut
menyebabkan penurunan tekanan filtrasi intraglomerular dan proteinuria.

Mengontrol gula darah bagi pasien CKD dengan DM.

Restriksi protein, yang bertujuan untuk mengurangi gejala akibat uremia dan
memperlambat perburukan ginjal. Menurut Harrison, batasan asupan protein
dalam sehari yaitu 0,6-0,75 g/kgBB. Sedangkan, pada CKD stadium 5, jumlah
protein yang perlu dikonsumsi yaitu 0,9 g/kgBB per hari.
Salah satu tatalaksana terhadap CKD yaitu terapi pengganti ginjal. Terdapat
dua jenis terapi pengganti ginjal, yaitu dialisis dan transplantasi ginjal. Beberapa
indikasi dalam penggunaan terapi pengganti ginjal yaitu adanya ensefalopati,
perikarditis uremikum, kram otot, anoreksia, dan nausea. Terapi pengganti ginjal
dapat dimulai pada CKD stadium 5 dimana GFR kurang dari 15 ml/menit/1,73mm2.
Selain itu, perlu dilakukan pencegahan dan tatalaksana pada penyakit
komorbid, penyakit kardiovaskular, dan komplikasi. Perencanaan tatalaksana pada
CKD dapat dilakukan sesuai dengan derajatnya, seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. Rencana Tatalaksana CKD berdasarkan GFR.1
Pada pasien CKD, terutama yang dilakukan terapi pengganti ginjal, perlu
diberikan edukasi dan dukungan yang cukup untuk bersedia melakukan terapi, salah
satunya dialisis. Perlu dukungan dari lingkungan sekitar untuk dapat menerima dan
memahami kondisi pasien, serta mendukung kesembuhannya. Selain itu, pasien juga
perlu diedukasi untuk dapat beraktivitas dengan baik dan menjaga asupan nutrisinya.
22
2.4 Deep Vein Thrombosis (DVT)1
Venatromboembolisme (VTE), yang meliputi trombosis vena dalam (DVT) dan
embolisme pulmonar (PE), merupakan salah satu dari tiga penyebab kematian
kardiovaskular bersamaan dengan infak miokardium dan stroke. Akibat lanjut dari DVT
dikenal dengan sindrom postflebitik yang timbul pada lebih dari ½ jumlah pasien DVT.
Sindrom postflebitik menyebabkan katup vena dari tungkai bawah menjadi inkompeten
dan terjadi eksudasi cairan interstisial. Pasien akan mengeluhkan pembengkakkan kronik
dari ankle atau calf dan nyeri tungkai bawah, khususnya setelah berdiri dalam jangka
waktu lama. Dalam bentuk yang lebih parah, sindrom ini menyebabkan ulserasi kulit,
terutama pada maleolus medialis tungkai bawah.
Dalam menegakkan diagnosis DVT, dapat ditanyakan keluhan-keluhan seperti
pada sindrom posflebitik yang telah dijelaskan di atas. Selain itu, pasien dengan DVT
biasanya mengalami kram di daerah lower calf yang menetap selama beberapa hari dan
menjadi semakin tidak nyaman seiring dengan progresivitasnya. Kemudian dapat
dilakukan pemeriksaan laboratorium D-Dimer. Selanjutnya, pemeriksaan pencitraan
dilakukan untuk menunjang penegakan diagnosis DVT.
Gambar 4. Algoritma Diagnosis DVT.1
23
Tabel 5. Penilaian Klinis DVT dan PE.1
Tatalaksana awal terhadap DVT adalah disolusi bekuan dengan trombolisis atau
menghilangkan PE dengan embolektomi. Antikoagulasi dengan heparin dan warfarin atau
penempatan inferior vena caval filter merupakan cara pencegahan sekunder dari
timbulnya PE rekuren.
Gambar 5. Algoritme Penatalaksanaan PE.1
24
BAB III
DISKUSI
3.1 Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, didapatkan pada pasien terdapat bengkak di kaki yang
memberat sejak 3 bulan SMRS. Bengkak tersebut awalnya muncul di seluruh tubuh sejak
2 tahun SMRS, dirasakan muncul hilang timbul. Berdasarkan pemeriksaan fisik,
didapatkan adanya edema terutama pada kedua tungkai yang bersifat pitting. Hal tersebut
menandakan bahwa terdapat edema pada seluruh tubuh pasien, yang mengarahkan pada
beberapa kelainan, seperti kelainan organ jantung, hepar, ginjal, dan kelainan lain.
Kelainan organ jantung dapat dipikirkan pada pasien ini karena pasien memiliki
riwayat sesak napas yang dirasakan seperti sedang capek, dirasakan setelah beraktivitas
dan membaik dengan istirahat. Namun, saat ini sesak dirasakan pasien sudah muncul saat
istirahat. Sesak tersebut dirasakan semakin berat. Selain itu, terdapat riwayat penggunaan
2 bantal sejak 1 bulan yang lalu dan pasien sering terbangun akibat sesak. Keluhan sesak
napas disertai dengan keringat yang banyak. Hal tersebut dapat mengarahkan bahwa
pasien memiliki gagal jantung berdasarkan kriteria mayor dan minor. Dalam menegakkan
diagnosis CHF, pasien memenuhi kriteria mayor berupa paroksismal nokturnal dispnea
dan kriteria minor berupa edema ekstremitas dan dyspneu on effort. Adapun klasifikasi
status fungsional CHF pada pasien ini adalah NYHA kelas IV.
Keluhan saat ini berupa adanya bengkak yang memberat pada kedua kaki juga
mengarahkan pada penyakit ginjal. Pasien diketahui fungsi ginjal menurun sejak 2 tahun
SMRS dan pasien memiliki penyakit gula sejak 15 tahun SMRS. Buang air kecil pasien
pun dirasakan sedikit. Hal ini dapat mengarahkan penyebab lainnya dari bengkak pada
kedua kaki, yaitu CKD. Klasifikasi CKD pada pasien ini, yaitu stadium CKD 5
berdasarkan hasil eGFR (14,6 ml/menit/1,73mm2 (<15 ml/menit/1,73mm2,)) dan
dipikirkan bahwa keadaan ini merupakan penyakit ginjal diabetes.
Pembengkakkan yang terjadi pada kaki kanan pasien dikatakan juga terjadi akibat
adanya penyumbatan pembuluh darah pada kaki kanan dimana hal ini ditegakkan dari
hasil pemeriksaan radiologi berupa USG. Berdasarkan skor penilaian klinis DVT,
didapatkan adanya tirah baring >3 hari, pembengkakkan seluruh tungkai bawah,
pembengkakkan unilateral calf >3 cm, pitting edema yang totalnya bernilai 4 sehingga
menunjukkan kemungkinan ke arah penegakkan DVT sangatlah tinggi (total nilai sudah
lebih dari 3).
25
Pasien memiliki riwayat kencing manis sejak 15 tahun SMRS, tetapi tidak teratur
minum obat dan tidak teratur kontrol. Berdasarkan anamnesis, didapatkan gejala klasik
DM berupa polidipsi, polifagia, dan poliuria. Selain itu, berdasarkan hasil pemeriksaan
GDS, didapatkan jumlah GDS pasien, yaitu 256 mg/dl. Hal tersebut mengarahkan salah
satu daftar masalah pasien, yaitu DM tipe 2 yang belum terkontrol. Pada pasien ini, dapat
dipikirkan bahwa CKD pasien disebabkan oleh penyakit DM yang tidak terkontrol dan
sudah berlangsung selama 15 tahun.
Keluhan lemas-lemas pada pasien sejak 3 hari SMRS tersebut dipikirkan
disebabkan oleh penurunan nafsu makan pasien akibat mual yang dirasakan. Mual
tersebut dipikirkan merupakan komplikasi dari penyakit CKD dan DM, berupa gastropati
uremikum atau gastropati diabetikum. Keluhan tersebut dapat menyebabkan pasien tidak
nafsu makan sehingga membuat pasien lemas.
3.2 Tatalaksana
Tatalaksana yang dilakukan pada pasien edema dengan CKD stage 5, dimana
CKD tersebut merupakan penyakit ginjal diabetik yaitu kontrol gula darah, menurunkan
hipertensi intraglomerular dan proteinuria, dan restriksi asupan protein. Pada pasien ini,
kontrol gula darah dilakukan dengan insulin basal berupa insulin gargline (Lantus)
sebanyak 1 x 12 IU. Insulin basal merupakan insulin jangka panjang yang pemberiannya
1 kali sehari, dengan dosis 0,2 IU/kgBB. Pada pasien ini, diketahui berat badan pasien
yaitu 56 kg, sehingga dosis yang dibutuhkan pada penggunaan insulin glargine yaitu 56
kg x 0,2 IU = 11,2 IU per hari. Selain itu, pada pasien diberikan insulin jangka pendek
berupa insulin aspart (Novorapid) sbanyak 3 x 8 IU. Insulin jangka pendek tersebut
diberikan dengan dosis 0,1-0,2 IU/kg/hari. Pada pasien dengan berat badan 56 kg,
pemberian insulin aspart, yaitu 0,1-0,2 IU x 56 kg = 5,6 – 11,2 IU. Insulin ini diberikan
sebanyak 3 kali per hari.1
Selain itu, perlu dilakukan penanganan terhadap proteinuria dan hipertensi
intraglomerular dengan pemberian obat ACE-inhibitor atau ARB. Pada pasien ini,
diberikan obat ACE-inhibitor, berupa captopril. Dosis pemberian captopril, yaitu 25 mg
yang diberikan 3 kali perhari.1 Pemberian obat ini juga menjadi bagian dari tatalaksana
CHF f.c. IV dengan dosis yang sama seperti pemberian pada tatalaksana CKD.
Pasien ini memiliki CKD stage 5 disertai edema. Hal tersebut merupakan indikasi
untuk dilakukan terapi pengganti ginjal. Pada pasien ini, dilakukan hemodialisis sebagai
terapi pengganti ginjal.1,4
26
Gastropati uremikum atau diabetikum pada pasien ditatalaksana dengan
pemberian Domperidone dengan dosis 3 x 100 mg dan Omeprazole 1 x 10 mg.
Tatalaksana lain yang dapat dilakukan, yaitu restriksi protein. Pada pasien ini,
dilakukan restriksi asupan protein sebanyak 0,9 g x 56 kg = 49,4 g protein per harinya.
Sedangkan, jumlah asupan kalori, yaitu 840 kkal per hari (25 kkal/kg x 56kg + 10%
[istirahat] – 20% [kegemukan]). Namun, batasan jumlah kalori yang dapat diberikan per
hari, yaitu 1000-1200 kkal per hari untuk wanita sehingga asupan kalori pada pasien ini,
yaitu 1200 kkal per hari.3 Kemudian dilakukan pula restriksi garam sebesar 2-3 g/hari dan
restriksi cairan sebesar 1-2 L/hari pada pasien sebagai bagian dari tatalaksan terhadap
CHF yang dialaminya.
3.3 Prognosis
Prognosis untuk ad vitam pada pasien ini dipikirkan dubia ad bonam karena
keadaan tanda vital pasien baik dalam pengontrolan. Prognosis untuk ad functionam pada
pasien ini dipikirkan dubia ad malam karena pasien memiliki CHF f.c. IV sehingga
aktivitas ringan saja dapat menimbulkan kelelahan pada pasien. Selain itu, hal ini juga
karena adanya CKD stage 5 di mana pasien membutuhkan tatalaksana HD setiap minggu.
Hal tersebut tentu dapat mengganggu aktivitas dan fungsional pasien sehari-hari sehingga
pasien perlu beristirahat lebih banyak. Prognosis untuk ad sanationam pada pasien
dipikirkan dubia ad malam karena pada pasien ini sudah terjadi penurunan berat dari
fungsi ginjalnya sehingga akan muncul kemungkinan keadaan akut dari penyakit CKD
yang membutuhkan penanganan dalam waktu lama. Selain itu, hal ini juga karena adanya
riwayat DM tipe 2 dengan gula darah yang tidak terkontrol pada pasien.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s
principle of internal medicine. Edisi ke-18. Philadelphia: McGraw-Hill. 2012.
2. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam:
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 2. Edisi ke-5.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009; h. 1035-1040.
3. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan dm tipe 2
di Indonesia. 2011.
4. Arora
P,
Batuman
V.
Chronic
kidney
disease.
Diunduh
dari
http://emedicine.medscape.com. Diakses 7 November 2013.
5. Panggabean MM. Gagal jantung. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009.
28
Download