PENERAPAN SISTEM TIGA STRATA (STS) SEBAGAI BARRIER REMOVAL DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT (TNBB) Istiyarto Ismu Pendahuluan Sistem Tiga Strata (STS) merupakan suatu cara penanaman dan pemangkasan rumput, legumenosa, semak dan pohon, sehingga hijauan makanan ternak tersedia sepanjang tahun. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Dr. I Made Nitis, seorang pakar nutrisi hewan dari Universitas Udayana, Bali, bersama tim dari Balai Informasi Pertanian Bali, Departemen Pertanian. Dalam penerapannya, STS ini terjadi integrasi antara tanaman pangan, tanaman perkebunan, dan ternak. Sistem Tiga Strata ini biasanya diterapkan pada pertanian lahan kering yang memiliki curah hujan kurang dari 1.500 mm per tahun dengan 8 bulan musim kering, dan 4 bulan musim hujan, atau bisa juga pada pertanian lahan kering dengan topografi yang datar ataupun miring, yang kurang produktif untuk pertanian pangan. Pengadopsian sistem integrasi tanaman dan ternak sudah sejak dulu dilaksanakan oleh peternak Bali. Hanya, komoditi pertanian yang biasanya dikembangkan di lahan kering tersebut belum bisa mencapai produktivitasnya yang maksimal. Hal ini disebabkan tidak tersedianya lahan khusus bagi hijauan makanan ternak. Gambaran Umum Kawasan TNBB Kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) sebagian besar berupa lahan kering. Masyarakat sekitar kawasan mata pencahariannya sebagai petani lahan kering yang mampu berproduksi sekali dalam setahun. Kondisi lahan pertanian topografinya adalah dataran landai. Mereka hanya bisa melakukan budidaya di musim hujan sedangkan di musim kemarau lahan dibiarkan terlantar karena kekurangan air. Jenis tanaman yang dibudidayakan antara lain jagung, cabe, kacang tanah dan ketela pohon. Rata-rata mereka memelihara hewan ternak berupa sapi, kambing dan babi. Mereka masih menggunakan kayu bakar untuk kebutuhan dapur (memasak). Selama ini masyarakat sekitar kawasan TNBB melaksanakan kegiatan pertanian di lahan milik Dinas Kehutanan dengan model Hutan Kemasyarakatan (HKM). Sedangkan lahan milik pribadi (atau yang biasa disebut kebun) dibiarkan terlantar hanya berisi tanaman kelapa yang sudah tua dan kurang produktif. Di sela-sela pohon kelapa belum dimanfaatkan sama sekali sehingga hanya ditumbuhi semak belukar yang tidak bermanfaat. Selama ini kebutuhan kayu bakar dan pakan ternak diambil dari hutan baik di hutan Produksi maupun di dalam kawasan TNBB. Hal ini menimbulkan permasalahan terutaman dengan TNBB karena lokasi yang dijadikan sebagai sumber kayu bakar dan pakan ternak adalah habitat Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) yang merupakan spesies terancam punah dan dilindungi oleh Undang-Undang. STS sebagai Barrier Removal Permasalahan tersebut diatas apabila tidak segera ditangani dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang serius bagi kelestarian keanekaragaman hayati, khususnya habitat Jalak Bali. Salah satu solusi potensial yang dapat mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mengadopsi Sistem Tiga Strata (STS). Namun demikian harus ada modifikasi terhadap jenis tanaman yang digunakan dalam STS, yaitu pada pemilihan jenis-jenis tanaman yang menghasilkan kayu bakar dalam waktu cepat. Beberapa alasan yang dapat dikemukakan kenapa sistem tersebut dapat menjadi Barrier Removal didasarkan pada beberapa hal, yaitu: 1. Ketersediaan lahan milik masyarakat Selama ini lahan milik masyarakat (kebun) hanya dibiarkan terlantar (tak terurus), berisi pohon kelapa yang sudah tua tanpa ada peremajaan. Sedangkan disekitar tanaman kelapa tidak dimanfaatkan sama sekali. Rata-rata luas kebun milik masyarakat adalah 0.5 – 1 hektar. 2. Keterpaduan sistem (tanaman pangan, tanaman keras, kayu bakar dan pakan ternak) STS terdiri dari tanaman pangan (jagung, cabe, kacang tanah dan ketela pohon), tanaman keras, kayu bakar dan pakan ternak (gamal, lamtoro) yang dapat memberikan keuntungan ganda. 3. Meningkatkan pendapatan masyarakat STS mampu mengurangi serangan hama (babi hutan) secara efektif karena “pagar hidup” akan menghalangi masuknya hama maupun hewan ternak. Hal ini akan lebih menjamin keberhasilan panen dari tanaman pangan yang dibudidayakan. Dalam menerapkan STS, lahan yang dibutuhkan adalah 2.500 meter persegi, yang terdiri dari 3 bagian, yaitu: 1. Bagian inti seluas 1.600 meter persegi, 2. Bagian selimut 900 meter persegi, 3. Bagian paling pinggir mempunyai keliling 200 meter. Sketsa layout STS adalah sebagai berikut: Bagian inti adalah lahan yang terletak di tengah-tengah unit. Lahan ini tetap ditanami tanaman pangan seperti jagung, cabe, kacang tanah. Tata cara penanaman pada bagian inti ini adalah seperti yang biasa dilakukan oleh petani. Bagian selimut adalah lahan yang berada diantara bagian inti dan bagian pinggir. Pada Bagian selimut ini ditanami rumput seperti bafel, urokloa dan panikum, serta leguminosa seperti sentrosemia, stelo verano dan stelo skabra. Bagian pinggir adalah bagian paling luar yang sekaligus menjadi batas keliling dari satu unit STS. Jenis-jenis Pohon yang biasa ditanam adalah Bunut, Santan dan Waru ditanam pada jarak 5 meter di sekeliling unit tersebut. Di antara 2 pohon tersebut ditanami 50 Gamal, dan diantara 2 pohon berikutnya ditanami Lamtoro atau akasia vilosa dengan jarak tanam 10 centimeter. Dengan demikian setiap unit STS akan dikelilingi pagar hidup yang terdiri atas 100 semak Gamal dan 1.000 semak Lamtoro, yang merupakan stratum kedua. Sedangkan sebanyak 14 pohon Bunut, 14 pohon Santan dan 14 pohon Waru merupakan stratum ketiga. Setelah semua jenis pohon tersebut ditanam sesuai dengan masing-masing stratum-nya, maka setiap 2.500 meter persegi STS akan terdapat 1.600 meter persegi tanaman pangan, 600 meter persegi rumput dan leguminosa, 2.000 semak dan 42 pohon. Ketiga stratum (lapis) yang ada dalam unit STS, masing-masing mempunyai peran atau fungsi tertentu. Stratum dua dan stratum tiga berfungsi sebagai pagar hidup, sehingga babi hutan yang selama ini menjadi hama bagi petani maupun hewan ternak sukar mengganggu tanaman pangan di dalam unit STS. Selain itu juga berfungsi sebagai penahan angin kencang yang dapat merusak tanaman pangan. Stratum satu berperan sebagai lahan penyedia makanan bagi ternak, sehingga menghalangi ternak merusak tanaman pangan kalau pagar (stratum dua) ditembus oleh ternak. Pada lahan miring, stratum ini bisa menahan laju aliran air hujan sehingga kesuburan tanah dapat dipertahankan (bintil-bintil nitrogen pada akar leguminosa ikut menambah kesuburan tanah). Manfaat STS Meningkatkan persediaan dan mutu hijauan makanan ternak Setiap unit STS terdapat 900 meter persegi rumput dan leguminosa, 2.000 semak dan 42 pohon. Dengan demikian, setiap unit STS akan meningkatkan persediaan hijauan sebesar 48 persen. Daun legumenosa sentrosema, stelo skabra dan stelo verano pada stratum satu; daun gamal, akasia velosa dan lamtoro pada stratum dua mengandung protein 18–25 persen. Secara keseluruhan untuk tiap unit, mutu pakan hijauan kan meningkat 10–15 persen. Menyediakan hijauan sepanjang tahun Dengan memotong stratum satu pada musim hujan, stratum dua pada pertengahan musim kering dan stratum tiga pada akhir musim kering, maka akan tersedia hijauan makanan ternak sepanjang tahun. Mempercepat pertumbuhan dan reproduksi ternak STS mampu mengurangi waktu memelihara ternak. Karena pakan selalu tersedia, maka ternak tidak perlu digembalakan lagi sehingga waktu yang digunakan untuk menggembala selama 20– 25 menit per harinya dapat digunakan untuk kegiatan lainnya. Meningkatkan daya tampung Dengan banyaknya persediaan hijauan makanan ternak, maka ternak yang dipelihara bisa bertambah banyak. Satu unit STS dapat menampung satu ekor sapi atau 6 ekor kambing. Meningkatkan kesuburan tanah Pada sistem peternakan tradisional, sapi digembalakan pada waktu siang hari, sehingga kotorannya tersebar tidak teratur. Sedangkan STS, sapi dikandangkan sehingga kotorannya dapat disebarkan merata pada lahan yang ditentukan. Akar-akar sentrosema, stelo verano, stelo skabra, gamal, lamtoro dan akasia vilosa mengandung bintil-bintil nitrogen, yang dapat melepaskan nitrogen untuk tanaman di sekitarnya. Sedangkan akar dan daun rumput, semak dan pohon yang melapuk juga bisa meningkatkan humus tanah. Mengurangi erosi Bagian selimut dan pinggir dari STS dapat menahan air hujan di atas tanah sehingga tidak mengalir dengan deras. Dengan demikian tanah dan batu-batu kecil tidak dihanyutkan oleh air, sehingga erosi pada tanah miring dapat dikurangi sebesar 45 persen. Menyediakan bibit untuk perluasan STS Cabang-cabang semak dan pohon yang baik dapat dijadikan stek, rumput dan leguminosa dapat disapih, atau yang meluas ke bagian inti dapat dicabuti untuk membuat STS yang baru. Pada tahun ketiga, setiap unit STS dapat dikembangkan menjadi 1–2 STS lagi. Merangsang timbulnya kegiatan penunjang Rumput dan legumenosa pada stratum satu, semak pada stratum dua, dan pohon pada stratum tiga berbunga secara bergantian. Bunga ini menyediakan tepung sari dan nektar untuk peternakan lebah madu. Menyediakan Kayu Bakar dan kayu STS juga berfungsi sebagai penyedia kayu bakar bagi kebutuhan rumah tangga. Setiap pemangkasan semak ataupun pepohonan, daun-daunnya bisa digunakan untuk pakan ternak sedangkan cabang-cabangnya dikeringkan untuk dijadikan kayu bakar. Satu unit STS mampu menyediakan kayu bakar sebanyak 1,6–4,2 ton per tahun. Di samping itu, semak maupun pohon merupakan tanaman keras (berkayu) yang baik untuk pagar permanen dan sebagai bahan untuk pembuatan rumah. Analisa SWOT Sistem Tiga Strata Dalam menerapkan STS di kawasan TNBB perlu dilakukan analisa SWOT untuk mengetahui kekuatan dan peluang serta kelemahan dan ancaman dari STS sehingga ketika diterapkan tingkat keberhasilannya akan tinggi dalam menekan ancaman terhadap kawasan TNBB. Strength (Kekuatan) Weakness (Kelemahan) - Opportunity (Peluang) - Threath (Ancaman) - Meminimalisir gangguan hama (babi hutan) dan ternak Sebagai penyedia pakan ternak (hijauan) sepanjang tahun Penghasil kayu bakar untuk kebutuhan rumah tangga Kesuburan tanah meningkat Hasil kayu bernilai ekonomis tinggi Waktu lama (tanaman keras yang berfungsi sebagai tanaman pinggir/pagar hidup) Ketersediaan pakan ternak tidak mencukupi untuk 1 STS Ketersediaan kayu bakar hanya mencukupi untuk kebutuhan rumah tangga Pemilihan jenis tanaman tidak cocok dengan kondisi lahan Ketersediaan lahan (Masyarakat memiliki lahan sendiri/kebun) Meningkatkan pendapatan masyarakat Dapat dikembangkan sebagai agrowisata dan agrobisnis Berkurangnya tekanan terhadap habitat jalak Bali (Pengambilan kayu bakar dan pakan ternak) Kurangnya dukungan dari pihak terkait (Dinas Kehutanan, TNBB) untuk mengembangkan STS Lemahnya komunikasi dengan pakar STS (Jarak jauh, waktu terbatas)