RACUN TIKUS ANTIKOAGUOLAN DAN RISIKO KERACUNANNYA Rodentisida merupakan jenis pestisida yang digunakan untuk membunuh hewan pengerat, seperti tikus dan musang2, masyarakat awam sering menyebut sebagai racun tikus. Hewan pengerat, manusia, anjing dan kucing merupakan kelompok mamalia sehingga tubuhnya bekerja dengan cara yang sama. Rodentisida memberikan efek yang sama ketika mamalia menelan suatu produk rodentisida. Rodentisida atau yang lebih dikenal sebagai racun tikus dapat diperoleh dalam berbagai merk dagang dan sediaan dan umumnya dapat ditemukan di rumah dalam bentuk serbuk, butiran, atau pellet8. Rodentisida diformulasikan sebagai umpan yang dibentuk sedemikian rupa untuk menarik perhatian hewan pengerat, seringkali ditambahkan penambah rasa (flavoring) seperti minyak ikan, mentega, dan lain-lain. Selain itu, bentuk dan warnanya juga diformulasikan seperti makanan sehingga dapat menarik perhatian anak-anak dan binatang peliharaan. Untuk itu perlu perhatian dan kewaspadaan dalam menggunakan rodentisida untuk meracuni tikus atau binatang pengerat lainnya. Rodentisida Antikoagulan Tingkat keparahan keracunan rodentisida/racun tikus tergantung dari kandungan bahan aktifnya dan jumlah bahan yang masuk ke dalam tubuh. Kandungan bahan aktif (bahan kimia) dalam sediaan racun tikus terdapat dalam berbagai jenis. Bahan aktif tersebut dikelompokkan menurut cara kerjanya. Beberapa rodentisida akan menghentikan pembekuan darah atau sering disebut sebagai antikoagulan dan ada beberapa yang tidak termasuk dalam kelompok antikoagulan dengan cara kerja yang berbeda, seperti misalnya zinc fosfida, brometalin, cholecalciferol dan strikhnin. Rodentisida yang mengandung antikoagulan merupakan kelompok terbesar pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hewan pengerat. Antikoagulan ditemukan pada awal abad 20 setelah ternak memakan semanggi manis “Sweet Clover” yang terkontaminasi dengan bishydroxicoumarin dan mengalami kematian setelah perdarahan. Warfarin merupakan rodentisida antikoagulan generasi pertama, kandungan warfarin dalam racun tikus sekitar 0,025% atau sebanyak 25 mg warfarin dalam 100 gram produk racun tikus. Warfarin memiliki dosis fatal lebih besar dari 5 sampai 20 mg/hari untuk lebih dari 5 hari. Dapat mengakibatkan perdarahan dan memiliki onset antara 12 sampai 48 jam5. Senyawa generasi pertama memerlukan pemberian umpan yang terus-menerus untuk mengendalikan hewan pengerat yang berakibat berkembangnya hewan pengerat yang resisten terhadap warfarin. Untuk mengatasi hal tersebut maka dikembangkan struktur kimia baru untuk rodentisida antikoagulan yang dikenal sebagai generasi kedua (superwarfarin), lebih toksik daripada generasi pertama, umumnya LD50 nya 0,2-3,9 mg/Kg BB dan sifatnya lebih lama (Long Acting). Senyawa yang termasuk ke dalam superwarfarin adalah golongan indandione (chlorophacinone, diphacinone, pindone) dan beberapa senyawa 4-Hydroxycoumarin (brodifacoum, difenacoum, bromadiolone)4. Sebagian besar senyawa yang termasuk superwarfarin dapat mengakibatkan perdarahan yang lebih serius dan dapat berlangsung berbulan-bulan jika tertelan pada manusia7. Tanda dan gejala keracunannya akan muncul setelah beberapa hari 5. Superwarfarin diabsorbsi utamanya melalui saluran gastrointestinal. Hampir 90% superwarfarin diabsorbsi oleh tubuh dengan kosentrasi paling tinggi dalam plasma darah terjadi pada 12 jam setelah tertelan. Eliminasi superwarfarin dengan rute paparan tertelan, terutama melalui feses. Sedangkan yang paling sedikit adalah melalui urin3. Rodentisida antikoagulan baik generasi pertama maupun kedua memiliki mekanisme aksi menghambat vitamin K 2,3-epoksida reduktase dan vitamin K quinine reduktase, yaitu 2 enzim yang bertanggungjawab untuk merubah vitamin K menjadi bentuk aktifnya, yang diperlukan dalam proses pembekuan darah (koagulasi) 6. Akibat penghambatan dalam pembekuan darah dapat menyebabkan timbulnya perdarahan. Tanda dan gejala klinis dari keracunan rodentisida antikoagulan secara umum dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu perdarahan ringan dan berat. Perdarahan ringan dapat mengakibatkan perdarahan pada hidung atau gusi, mimisan, darah pada feses, nyeri pada bagian perut. Perdarahan berat atau serius dapat mengakibatkan hematoma (lebam), hematemesis, hematuria, sampai terjadinya shok dan kematian3,9. Perdarahan internal dan eksternal adalah gejala klinis yang paling sering terjadi yang diikuti oleh takikardia dan hipotensi, serta kerusakan beberapa organ yang disebabkan kehilangan darah yang banyak3. Pertolongan Pertama Secara Umum Untuk Keracunan Racun Tikus1 1. Jika kontak dengan kulit, lepaskan pakaian yang terkena rodentisida. Irigasi kulit yang terkontaminasi dengan air mengalir selama 15 – 20 menit dan dibersihkan dengan sabun. Bersihkan sela-sela kuku jari tangan dan kuku jari kaki. 2. Jika kontak dengan mata, bersihkan mata dengan membuka kelopak mata. Lakukan irigasi dengan air bersih selama minimal 15 menit. Sampai dirasakan tidak ada lagi bahan yang tertinggal. Segera bawa ke dokter mata. 3. Jika tertelan, berikan air sebanyak 250 ml (dewasa) atau 15 ml/kg Berat Badan (Anak), dan jangan merangsang muntah. Segera bawa ke Rumah Sakit. 4. Jika terhirup, pastikan pernapasan korban lancar dan bawa korban ke tempat dengan udara yang segar. Penatalaksanaan Keracunan Rodentisida Antikoagulan Untuk Tenaga Medis3 1. Pemberian Arang Aktif Pada pasien yang berpotensi mengalami keracunan dan masih dalam kondisi sadar dengan pernapasan yang masih baik, arang aktif dapat diberikan dengan melarutkan ke dalam air sebelum pasien dibawa ke rumah sakit. Pemberian arang aktif lebih efektif dilakukan 1 jam setelah tertelan dan direkomendasikan dilarutkan ke dalam air sebanyak 240 ml air dalam 30 gram arang aktif. Pasien yang berpotensi mengalami kejang mendadak atau dpresi, maka pemberian arang aktif harus dilakukan oleh petugas medis. 2. Tindakan Gastric Lavage (Kumbah Lambung) Tindakan kumbah lambung direkomendasikan dilakukan antara 1 – 2 jam setelah tertelan. Jika waktu tertelan sudah lama (kronis), tidak direkomendasikan tindakan kumbah lambung karena dapat menyebabkan perdarahan pada pasien dewasa dengan koagulopati (gangguan pembekuan darah). 3. Monitoring Laboratorium Nilai dari uji Prothrombine Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT) harus didapatkan 24 jam dan 48 jam setelah tertelan, pada pasien anak – anak tanpa gejala keracunan tetapi tertelan rodentisida dalam jumlah banyak. Pada pasien dewasa yang sengaja menelan rodentisida dan pasien anak-anak yang menunjukkan gejala klinis terjadi perdarahan, harus diuji Prothrombine Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT), kemudian diulang 24 jam dan 48 jam setelah tertelan dengan diikuti verifikasi golongan darah. Jika terjadi perdarahan dalam jangka waktu lama, maka uji Prothrombine Time (PT) harus diulang setiap 6 – 12 jam. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit harus dilakukan pada pasien yang sudah terbukti secara klinis mengalami perdarahan atau koagulopati. Hematokrit harus dimonitoring paling sedikit setiap 4 jam sampai pasien dalam kondisi stabil. 4. Antidotum Antidotum untuk keracunan rodentisida antikoagulan adalah vitamin K1 (Phytonadione). Vitamin K1 adalah antidot yang spesifik dan harus diberikan pada pasien yang memiliki waktu prothrombin (Prothrombine Time) yang panjang. Pemberian darah dan plasma yang segar atau beku direkomendasikan untuk kondisi yang parah. Pemberian vitamin K1 secara intravena dalam jumlah kecil dengan dosis sebesa 1 - 5 mg untuk mengembalikan Prothrombine Time (PT) pada batas terapetik. Pada pasien anemia, hematokrit harus dimonitoring setiap 4 jam samapai pasien stabil. Feses dan muntah juga harus di tes menggunakan Hematest. Pemberian vitamin K1 secara oral mungkin dapat diberikan dalam dosis kecil pada pasien yang sudah stabil. Dosis yang direkomendasikan sebesar 15 – 25 mg untuk orang dewasa dan 5 – 10 mg untuk anak – anak. DAFTAR PUSTAKA 1. British Columbia: Ministry of Agriculture, Pesticide Emergencies: Pesticide Poisoning, http://www.agf.gov.bc.ca/pesticides/g_1.htm, diakses pada tanggal 28 Des 2015 2. Conant, Jeff., 2010, Pesticides are poison, diunduh dari: http://hesperian.org/wpcontent/uploads/pdf/environmental/EHB_pesticides_EN_watermark.pdf, diakses pada 11 Desember 2015, Hal 3,5 3. Gupta, Ramesh.C., 2015,Handbook of Toxicology of Chemical Warfare Agents, Second Edition, Hal.228, Academic Press 4. Nelson, Austin T., Hartzell, Joshua D., More,Kenneth., Durning, Steven J., 2006, Ingestion of Superwarfarin Leading to Coagulopathy: A Case Report and Review of the Literature, diunduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1868388/, diakses pada tanggal 13 Desember 2016 5. Nelson, Lewis S., Lewin, Neal A., Howland, Mary Ann, Hoffman, Robert S., Goldfrank, Lewis R., Flomenbaum, Neal E. 2011. Goldfrank’s Toxicologic Emergencies, 9th edition, Pesticides: An Overview of Rodenticides And A Focus on Principles, US: The McGraw-Hill. Hal. 1423-1427, 866 6. Olson, Kent R., 2012, Poisoning and Drug Overdose, Sixth edition, Hal. 409 – 410, Mc Graw Hill 7. Patocka, Jiri., Petroianu, Georg., Kuca, Kamil, 2013, Toxic Potential of Superwarfarin: Brodifacum, Diunduh dari: http://mmsl.cz/viCMS/soubory/pdf/MMSL_2013_1_3_WWW.pdf, diakses pada tanggal 15 Desember 2015 8. Sentra Informasi Keracunan Badan POM, Bahaya Keracunan Pestisida di Rumah Tangga, Diunduh dari: http://ik.pom.go.id/v2015/artikel/KERACUNAN-PESTISIDADI-RUMAH-TANGGA.pdf, diakses pada 11 Desember 2015 9. www.toxinz.com