PENDAHULUAN

advertisement
SUMBER DAYA IKAN PELAGIS KECIL
DAN DINAMIKA PERIKANAN PUKAT CINCIN
DI LAUT JAWA DAN SEKITARNYA
0°S
2°S
4°S
6°S
8°S
104°E
106°E
108°E
110°E
112°E
114°E
116°E
118°E
120°E
SUHERMAN BANON ATMAJA
ISBN:
Hak cipta dilindungi undang-undang
Hak cipta pada penulis
Desain sampul oleh: Suherman B.A
PUSAT RISET PERIKANAN TANGKAP
BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN
SAMBUTAN
Pengembangan usaha perikanan pukat cincin di Laut Jawa sangat
menarik perhatian karena membawa peningkatan produksi yang sangat
nyata dan masalah penting yang menyertai. Sejak pasca pelarangan pukat
harimau tahun 1980, perikanan pukat cincin telah berkembang menjadi
perikanan semi industri. Perkembangan yang sangat luar biasa, meliputi
peningkatan kapasitas penangkapan, perubahan taktik penangkapan dan
modernisasi teknologi peralatan bantu penangkapan, serta ekspansi daerah
penangkapan.
Tantangan untuk memelihara sumber daya ikan yang sehat menjadi
isu yang cukup kompleks dalam pembangunan perikanan. Kendatipun
sumber daya ikan dikategorikan sumber daya yang dapat pulih, bukan
berarti tidak terbatas. Apabila kapasitas penangkapan tidak sebanding
dengan potensi perikanan yang tersedia, maka yang akan terjadi
penyusutan sumber daya ikan dan degradasi lingkungan. Isu-isu yang
berkaitan dengan kapasitas penangkapan menjadi perhatian dalam
pengelolaan sumber daya ikan yang berkeberlajutan.
Salah satu tujuan pengkajian stok ikan adalah bagaimana otoritas
perikanan dapat menentukan dan mempertimbangkan pengelolaan
perikanan (fisheries management) berdasarkan pada masukan informasi
biologi, ekonomi, dan lingkungan. Kisaran strategi pengelolaan yang
dapat diterima dan dipertimbangkan oleh berbagai pihak (pengguna).
Sejauh mana reaksi nelayan dapat diperhitungkan dan diramalkan untuk
tercapai tujuan pengelolaan perikanan, serta memperhitungan tekanan
pihak luar yang akan mempengaruhi pengelolaan perikanan di masa
mendatang.
Buku yang disusun oleh Suherman Banon Atmaja menyajikan
sumber daya ikan pelagis kecil dan dinamika perikanan pukat cincin
secara utuh dan menyeluruh. Dalam paparan buku tersebut membahas
perkembangan perikanan pukat cincin, informasi biologi, besaran stok
ikan bersifat dinamis dan ketidakstabilan tingkat (maximum sustainable
yield). Model produksi surplus digunakan secara maksimal untuk
ii
menggambarkan situasi perikanan pukat cincin di bawah rejim open
access dan sinyal penyusutan kelimpahan stok ikan pelagis kecil
didukung oleh indikator trend keadaan stok ikan dan lain-lain
(penangkapan, ekologi, dan sosio ekonomi).
Kehadiran buku secara menyeluruh mengupas mengenai sumber
daya ikan pelagis kecil dan dinamika perikanan pukat cincin merupakan
pengisi kekosongan informasi mengenai perikanan pelagis kecil setelah
lebih 3 dekade alat tangkap pukat cincin diperkenalkan di Laut Jawa.
Penerbitan buku ini diharapkan dapat memotivasi peneliti lain untuk
mengisi kekosongan yang ada dalam perikanan di perairan tropis.
Akhir kata diucapkan selamat diterbitkan buku yang sangat
bermanfaat bagi pemerhati dan praktisi perikanan tangkap Indonesia.
Jakarta, .Januari 2006
Kepala Pusat Riset Perikanan Tangkap
Dr. Subhat Nurhakim, APU
iii
KATA PENGANTAR
Iqro (Al-Alaq ayat:1-8) dan kemerdekaan menghantar menuju ke
gerbang kesejahteraan umum dan mencedaskan kehidupan bangsa
(Pembukaan UUD 1945).
Buku ini disusun terdorong untuk menyampaikan pengalaman
selama melakukan kegiatan penelitian kajian stok ikan pelagis di Laut
Jawa. Buku ini mendeskripsikan perkembangan eksploitasi perikanan
pukat cincin semi industri, informasi biologi, usaha perikanan yang
dinamis dan aktivitas penangkapan sebagai kegiatan ekonomi, bagaimana
hasil tangkapan mempengaruhi stok ikan, bagaimana respon nelayan pada
perikanan akses terbuka, perubahan komposisi spesies, dan dibahas juga
interaksi antara biomassa dengan upaya penangkapan dalam konteks
nelayan sebagai pemangsa yang memasuki keseimbangan ekologis dari
komunitas ikan. Secara sepintas, membahas kapasitas dan situasi
perikanan pukat cincin saat ini.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih atas bantuan sehingga
buku ini dapat terwujud, terutama kepada Ayodya M.Sc. (Alm.) yang
selalu mendorong dan mengingatkan untuk membuat buku dari hasil
penelitian. Dr. Ir. Subhat Nurhakim M.S.; Prof. Dr. Ir. John Haluan
M.Sc., dan Dr. Ir. Akhmad Fauzi M.Sc. atas kritik dan saran, Ir. Duto
Nugroho M.Si. sumbangan pemikiran dan informasi akustik, Dr. Michel
Potier untuk koleksi data pukat cincin dan desertasi. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada Turhadi S.H., Sukardi, Trimanto, Simuh,
Minggu S., dan Purwadi yang telah membantu pengumpulan data.
Jakarta, 1 Januari 2006
Penulis
iv
DAFTAR ISI
1
2
2.1
2.2
3
3.1
3.1.1
3.1.2
3.2
3.3
3.3.1
3.3.2
4
4.1
4.1.1
4.1.2
4.2
4.2.1
4.2.2
5
5.1
5.2
5.3
6
6.1
6.2
Sambutan Kepala Pusat Riset Perikanan Tangkap
Kata Pengantar
Ringkasan
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Lampiran
Pendahuluan
Sumber daya Ikan Pelagis Kecil
Pengelompokan Daerah Penangkapan
Penyebaran Temporal dan Spasial
Biologi
Aspeks Reproduksi
Indeks Kematangan Gonad
Fekunditas
Pertumbuhan
Ukuran Ikan
Rata-rata Ukuran Ikan
Keberadaan Ikan Muda (Fingerlings)
Dinamika Perikanan Pukat Cincin
Kapal dan Jaring pukat cincin
Kapal Pukat Cincin
Jaring Pukat Cincin
Perkembangan Taktik dan Strategi Perikanan Pukat Cincin
Peluasan Daerah Penangkapan
Perubahan Taktik Penangkapan
Produksi Surphus
Pertumbuhan Bersih Stok Ikan Pelagis
Laju Pertumbuhan Fungsi Logistik vs Gompertz
Hasil Tangkapan Lestari
Dampak Eksploitasi terhadap Biomassa
Dinamika Biomassa
Interaksi antara Biomassa dengan Upaya penangkapan
v
Halaman
ii
iv
vii
xii
xiii
xvi
1
6
6
8
14
14
14
20
21
23
23
27
29
29
29
31
33
34
37
41
44
46
48
51
52
53
7
7.1
7.2
9
Situasi Usaha Perikanan Pukat Cincin
Kapasitas dan Produksi
Pendapatan ABK Kapal Pukat Cincin
Implikasi Pengelolaan
Daftar Pustaka
vi
61
61
63
65
72
RINGKASAN
Selama ini, kerangka pengelolaan sumber daya ikan berdasarkan
pada titik acuan nilai angka potensi dan kriteria maksimum (maximum
sustainable yield), mengabaikan laju pertumbuhan stok ikan dan tanpa
memperhatikan dinamika perikanan yang terjadi. Dugaan nilai potensi
ikan pelagis kecil adalah bersifat konstan 340.000 ton per tahun, angka
potensi tersebut diperoleh dari kajian sebelum pelarangan alat tangkap
trawl (runtun waktu tahun 1975 sampai dengan 1979) (Bailey et al.,
1987) dan hasil perhitungan dari sumber data runtun waktu tahun 1975
sampai dengan 1981, dan produksi tertinggi (227.700 ton) (Dwipongggo,
1983). Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2004) mengatakan laju
eksploitasi ikan pelagis kecil sekitar 1,5 (potensi=340.000 ton dan
produksi=507.530 ton. Dari kajian tersebut tidak terlihat nyata kenaikan
produksi lebih dari 2 kali lipat dan perubahan yang terjadi pada perikanan
pukat cincin baik kapasitas penangkapan (ukuran kapal dan termasuk
kekuatan mesin), maupun ekspansi daerah penangkapan dan peningkatan
efisiensi penangkapan melalui penggunaan cahaya (lampu sorot) sebagai
alat bantu pengumpul ikan menggantikan peranan rumpon. Walaupun
pada kajian sebelum telah diperoleh kenaikan tingkat maximum
sustainable yield ikan pelagis berkisar 2,3 sampai dengan 2,8 kali lipat
(Nurhakim et al., 1995). Berdasarkan pada data perikanan pukat cincin
semi industri dari Pekalongan menunjukkan bahwa tingkat maximum
sustainable yield periode tahun 1991 sampai dengan 2001 meningkat
hampir 2 kali lipat dibandingkan pada periode tahun 1985 sampai dengan
1990 (Atmaja, 2002).
Pengembangan usaha perikanan pukat cincin di Laut Jawa sangat
menarik perhatian karena membawa peningkatan produksi yang sangat
nyata dan masalah penting yang menyertai. Sejak pasca pelarangan pukat
harimau tahun 1980, perkembangan perikanan pukat cincin sangat luar
biasa, yang meliputi kapasitas penangkapan (ukuran kapal dan termasuk
kekuatan propulsi mesin), perubahan taktik penangkapan (penggunaan
lampu sorot (merkuri dan halogen) sebagai alat bantu pengumpul ikan
menggantikan peranan rumpon) dan peningkatan kemampuan daya
tangkap melalui modernisasi teknologi peralatan bantu penangkapan
vii
seperti radio komunikasi, penentu posisi (GPS) dan fish finder
(echosounder). Ekspansi daerah penangkapan, penangkapan ikan pelagis
dilakukan di Laut Jawa dimulai pertengahan tahun 1970 sampai dengan
1983, selanjutnya armada perikanan pukat cincin memperluas daerah
penangkapan ke bagian barat sampai dengan Laut Natuna dan ke bagian
timur Laut Jawa sampai dengan Selat Makassar.
Sumber daya ikan pelagis di Laut Jawa dan sekitar terdiri atas
komunitas ikan pelagis pantai yaitu tanjan (Sardinella spp.), kembung
(Rastrelliger brachysoma), japuh (Dusumieria acuta), selar (Selar spp.);
ikan pelagis neritik dan oseanik layang (Decapterus russelli dan D.
macrosoma), bentong (Selar crumenophthalmus), banyar (Rastrelliger
kanagurta), siro atau lemuru (Amblygaster sirm), tetengkek (Megalaspis
cordyla), tenggiri (Scombermorus spp.),dan tongkol (Auxis thazard). Lima
spesies utama pelagis kecil (D. russelli, S. crumenophthalmus, R.
kanagurta, D. macrosoma, dan A. sirm) mencapai 90% dari hasil
tangkapan pukat cincin semi industri dan ikan layang merupakan
komponen utama.
Pada umumnya, hasil tangkapan pukat cincin didominasi oleh ikan
muda (berumur < 1 tahun) dan reproduksi tidak aktif (80 sampai dengan
90%). Ikan dalam kondisi matang gonad, ovarium telah mengandung telur
jernih (translucent) sangat jarang ditemukan dari hasil tangkapan pukat
cincin atau kemunculan secara kebetulan (tidak tertangkap dalam bentuk
gerombolan). Ikan yang telah memijah kembali ke daerah penangkapan,
diduga bentuk ovarium akan kembali ke tingkat kematangan I, yaitu D.
russelli, S. crumenophthalmus, Selar leptolepis, dan R. kanagurta.
Komunitas ikan mendiami suatu karakteristik ekosistem yang
dikontrol oleh kaidah bio fisik, di sana hidup berdampingan pemangsa
alami (predator) dengan mangsa (prey). Saling ketergantungan antara
mangsa dan pemangsa merupakan suatu ekosistem yang cukup kompleks.
Dengan pandangan sederhana bahwa nelayan sebagai pemangsa baru
yang memasuki sistem tersebut. Dalam konteks perikanan multi species,
nelayan adalah pemangsa jenis lain yang memasuki keseimbangan
ekologis dari komunitas ikan. Kegiatan penangkapan akan menyebabkan
viii
populasi ikan mencapai keseimbangan baru pada tingkat kepadatan yang
lebih rendah. Perbedaan keseimbangan baru dengan yang lama tergantung
intensitas penangkapan.
Skema Dinamika Stok Ikan dan Perikanan
Sumber daya ikan
Output
Ct=Et*Bt*q
Bt+1=Bt+rBt (1–Bt/K)–Ct
Sumber daya ikan
bergerak dinamis,
tingkat eksploitasi
sekarang mempengaruhi
sumber daya ikan akan
datang.
Bio-fisik
Input
Dinamis bergerak terhadap keuntungan (π).
Penurunan spesies tertentu akan menyebabkan kekosongan
niche ekologi yang kerapkali digantikan sementara oleh spesies lain
(Laevastu & Favorite, 1988). Alterasi spesies dan kompetisi spesies
ikan pelagis (interspesific competition) ditunjukkan oleh perubahan
komposisi hasil tangkapan, di daerah penangkapan bagian timur Laut
Jawa sejak tahun 2002, yaitu kejadian melimpah hasil tangkapan ikan
ayam-ayaman (leather jacket, Aluterus monoceros) ketika puncak
musim ikan layang (Atmaja et al., 2003). Dengan demikian,
penurunan hasil tangkapan yang diikuti dengan kenaikan biomassa
(pulih stok) adalah bersifat semu (quasi recovery). Secara teoritis,
ix
peningkatan biomassa kapal memasuki perikanan juga meningkat,
dirangsang dengan kenaikan hasil tangkapan per satuan upaya.
Sebaliknya, rata-rata hari beroperasi cenderung terus meningkat dan
nelayan merasakan semakin sulit menemukan gerombolan ikan. Selain
itu, alterasi spesies dan kompetisi spesies merupakan sinyal yang
nyata ada penurunan biomassa ikan tertentu dan kenaikan kelimpahan
ikan lain.
Berdasarkan pada analisis produksi surplus menunjukkan
peningkatan fishing capacity dan modernisasi teknologi peralatan
bantu penangkapan telah menyebabkan perikanan pelagis dalam
kondisi lebih tangkap yang cukup serius. Penangkapan yang sangat
tidak seimbang dari beberapa stok ikan di dalam populasi keseluruhan,
komunitas ikan pelagis mencapai keseimbangan pada tingkat
kepadatan yang lebih rendah (turun 29%). Kondisi trend biomassa
ikan pelagis telah menurun sampai dengan 66% dari biomassa awal,
sedangkan biomassa ikan layang (D. russelli dan D. macrosoma)
menurun sampai dengan 75% dari biomassa awal. Estimasi aktivitas
penangkapan setelah kebijakan pengurangan subsidi bahan baker
minyak diperkirakan hanya 25% kapal yang aktif.
Suatu kenyataan yang dihadapi bahwa perairan Laut Jawa sudah
menderita kelebihan fishing capacity dan kejenuhan bagi usaha
perikanan, serta fenomena klasik tentang lebih tangkap, penggunaan
tenaga kerja dan modal secara berlebihan. Penurunan aktivitas
perikanan pukat cincin tidak hanya diakibatkan oleh kenaikan biaya
operasional, tetapi juga oleh kondisi stok ikan pelagis kecil turun
drastis. Dari sudut pandang pengelolaan perikanan, banyak kapal
pukat cincin yang menganggur berarti berkurang tekanan
penangkapan yang akan memberi peluang sumber daya ikan pulih
kembali. Tujuan efisiensi ekonomi tercapai, di mana terjadi
pengurangan keikutsertaan dari usaha perikanan yang berlebihan,
sehingga kapal yang masih aktif dapat memperoleh penerimaan
ekonomis maksimum. Akan tetapi, situasi akhir-akhir ini, banyak
kapal yang menganggur, memunculkan masalah yakni banyak para
10
nelayan anak buah kapal telah kehilangan lapangan kerja dan
kehilangan pendapatan bagi pemilik kapal.
11
DAFTAR TABEL
No.
Judul Tabel
Halaman
Tabel
1
Rata-rata nilai GSI (%) dan simpangan baku dari 5
16
spesies ikan pelagis kecil menurut wilayah
penangkapan
2
Fekunditas D. macrosoma dan A. sirm
21
3
Parameter populasi dari 5 spesies ikan pelagis
22
kecil
4
Rata ukuran ikan dari 5 spesies ikan pelagis kecil
24
menurut wilayah penangkapan
5
Muncul ikan muda (fingerlings) dari beberapa
28
daerah penangkapan
6
Catatan nelayan daerah penangkapan berdasarkan
36
pada musim
7
Persentase jenis ikan yang tertangkap oleh jaring
41
klitik yang dioperasikan di dekat dasar dan 15 m
dari atas dasar perairan
8a
Parameter fungsi produksi surplus model logistik
45
8b
Parameter fungsi produksi surplus ikan layang
48
(Decapterus spp.) dari model logistik dan
gompertz
9
Perhitungan U* (CPUE) ketika keuntungan (π=0)
55
pada perikanan pukat cincin
10
Aktivitas kapal Margo, rata-rata hasil tangkapan
63
per trip dan nilai produksi selama tahun 2002
sampai dengan 2004
11
Rata hasil tangkapan, nilai produksi dan biaya
63
eksploitasi tahun 2004 dari 88 kapal pukat cincin
12
DAFTAR GAMBAR
No.
Judul Gambar
Gambar
1
Perluasan daerah penangkapan pukat cincin
yang berbasis di Pekalongan
2
Dendogram klasifikasi hierarki wilayah
penangkapan berdasarkan pada variasi
komposisi hasil tangkapan pukat cincin besar
3a
Spesies utama hasil tangkapan pukat cincin
3b
Lokalisasi geografis dan preferensi ikan
pelagis kecil
3c
Penyebaran ikan pelagis ikan pelagis
berdasarkan pada hasil tangkapan pukat
cincin
3d
Hubungan hasil tangkapan dengan salinitas
permukaan
3e
Hubungan hasil tangkapan dengan curah
hujan
3f
Komposisi hasil tangkapan pukat cincin
3g
Ikan ayam-ayaman (A. monoceros)
4
Ikan bunting
5
Plot rata-rata diameter telor dengan nilai GSI
(%)
6
Life history triangle untuk spesies laut, tidak
semua spesies secara geografik terpisah
antara spawning dan nursery area
7
Perbandingan nilai parameter pertumbuhan
von Bertallanffy dan Mortalitas alami
8
Rata-rata ukuran ikan dari 5 spesies (D.
russelli, D. macrosoma, R. kanagurta, A.
sirm dan S. crumenophthalmus) yang
tertangkap oleh pukat cincin
9a
Kapal pukat cincin
9b
Dimensi ukuran dan kekuatan mesin kapal
pukat cincin
Halaman
7
7
9
10
11
12
13
13
14
17
17
19
23
26
30
30
13
10a
10b
11
12
13
14
15
16a
16b
17a
17b
18a
18b
19
Jaring pukat cincin
Dimensi ukuran jaring pukat cincin
Perkembangan taktik dan strategi armada
kapal pukat cincin di Laut Jawa
Pergeseran daerah penangkapan ikan pelagis
kecil oleh pukat cincin sepanjang tahun di
Laut Jawa dan sekitar
Ruaya tegak R. kanagurta
Kebiasaan makan dan makanan spesies ikan
yang tertangkap oleh pukat cincin
Plot tumpang tindih, kurva pertumbuhan
bersih stok ikan pelagis dari data periode
tahun 1976 sampai dengan 1981 (A), tahun
1985 sampai dengan 1990 (B), tahun 1991
sampai
dengan
2001
(C),
serta
perkembangan produksi pukat cincin periode
tahun 1976 sampai dengan 2001
Hubungan laju pertumbuhan intrinsik (r)
dengan kelimpahan stok ikan (K)
Kurva pertumbuhan bersih stok ikan layang
(Decapterus spp.)
Kurva hasil tangkapan lestari, perkembangan
upaya penangkapan dan hasil tangkapan
pukat cincin pada periode tahun 1976 sampai
dengan 2004, serta lintasan dinamik
Perbandingan hasil tangkapan aktual dengan
hasil tangkapan lestari ikan layang
Perubahan biomassa
Dinamika biomassa ikan layang (Decapterus
spp.) setelah FMSY diboboti dengan F=q*E
(D. macrosoma dan D. russelli) dan
perkembangan produksi
Kurva sustainable revenue dan biaya total
operasional pukat cincin (Keterangan: a.
U*=0,6 ton, b. U*=0,7 ton (sudut 45°), dan c.
U*=1 ton)
32
32
34
35
38
39
46
47
48
49
50
53
53
56
14
20
21
22
23
24
25
26
Plot tumpang tindih kurva pertumbuhan
bersih stok (a), hubungan antara dinamik
hasil tangkapan dengan biomassa, nilai U*=1
(b), U*=0,6 (c), dan hubungan antara
biomassa dengan hasil tangkapan aktual (d)
Trajektori dinamis antara upaya penangkapan
dan biomasa
Isocline biomassa dan upaya penangkapan
dalam kondisi keseimbangan
Hubungan GT dengan NT kapal pukat cincin
(a) dan hasil tangkapan tertinggi dengan ratarata GT dan NT (b) lintasan dinamika hasil
tangkapan dan upaya penangkapan
Hubungan hasil tangkapan dengan nilai
produksi per trip pada tahun 2004
Hubungan antara pendugaan stok ikan,
tujuan pengelolaan, strategi, dan regulasi
Empat bagian isu berbeda bagi pengelolaan
dan pendugaan stok ikan menurut Hilborn &
Waters (1992)
57
58
60
61
64
67
69
15
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Lampiran
1
2
3
4
5
Judul lampiran
Salinitas permukaan Laut Jawa
Suhu permukaan Laut Jawa
Rumpon
Pengoperasian jaring pukat cincin
Sebaran nilai GSI menurut ukuran ikan
(FL)
Halaman
83
84
85
85
86
16
1. PENDAHULUAN
Perairan pesisir utara Pulau Jawa adalah salah satu daerah padat
nelayan di Indonesia, di sana telah beroperasi berbagai alat tangkap
dengan jumlah nelayan mencapai lebih dari 500.000 orang, baik
sebagai sumber lapangan tenaga kerja dan pendapatan nelayan
maupun yang terlibat dalam kegiatan usaha perikanan tangkap. Usaha
perikanan pukat cincin di Laut Jawa termasuk padat modal dan padat
karya, memperkerjakan 35 sampai dengan 45 orang setiap trip.
Demikian pula, kegiatan pasca panen dari hasil tangkapan pukat
cincin menyerap banyak tenaga kerja, dikarenakan sifat ikan pelagis
kecil yang melimpah (bulky) dan terdiri atas banyak spesies yang
harus dipisahkan menurut kategori jenis komersial dan ukuran ikan.
Hal ini, menunjukkan penting Laut Jawa sebagai tumpuan mata
pencaharian banyak orang. Sebagian besar jenis ikan pelagis kecil
merupakan salah satu sumber protein ikan yang dikomsumsi oleh
kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Sumber daya ikan pelagis telah lama dieksploitasi oleh berbagai
alat tangkap, salah satu adalah payang. Payang (danish seine) telah
beroperasi di dekat pantai utara Laut Jawa dari Kepulauan Seribu
(Jakarta) sampai dengan Kepulauan Kangean di bagian timur Laut
Jawa (Rossendaal, 1910). Verloop (1904) mengatakan hasil tangkapan
payang yang didaratkan di sepanjang pantai utara Jawa mencapai
17
sekitar 28.000 ton. Pada 1909, alat ini menghasilkan sekitar 9.000 ton
di sekitar Kepulauan Kangean yang didominasi oleh jenis ikan layang
(Decapterus spp.) (Kampen, 1922).
Alat tangkap pukat cincin sebagai alat utama pemanfaatan
sumber daya ikan pelagis kecil pertama kali diperkenalkan di
Indonesia pada tahun 1970, perairan pantai utara Jawa merupakan
wilayah awal introduksi teknologi tersebut. Perkembangan historis
memperlihatkan bahwa eksploitasi terhadap populasi ikan pelagis
kecil berkembang ke lepas pantai Laut Jawa sampai dengan Selat
Makassar sejalan dengan dinamika perikanan yang dicirikan oleh
peningkatan kapasitas dan kemampuan mesin kapal, serta perubahan
taktik penangkapan dari rumpon ke lampu sorot sebagai alat bantu
utama penangkapan.
Konsekuensi peningkatan kapasitas kapal dan perluasan daerah
penangkapan telah meningkatkan biaya operasional dan lama operasi
penangkapan lebih dari 20 hari. Oleh karena itu, penanganan hasil
tangkapan pada minggu awal menggunakan garam sebagai pengawet,
sedangkan es digunakan untuk hasil tangkapan setelah separuh trip.
Penggunaan garam per trip meningkat dari 0,4 ton pada tahun 1985
menjadi 5,6 ton pada tahun 1988 dan rata-rata pendapatan nelayan
cenderung menurun (McElroy, 1991). Ikan segar disimpan
menggunakan es hanya bertahan 9 sampai dengan 13 hari, itu sebagai
bahan untuk pindang, sedangkan kualitas ikan segar yang baik
disimpan dengan es kurang dari 7 hari. Perbandingan antara ikan segar
dan asin yang didaratkan di Juwana 60:40%, sedangkan di Pekalongan
berkisar 70:30%, dan sekitar 30 sampai dengan 50% dari ikan segar
diolah menjadi pindang (Clucas & Reilly, 1992; Clucas & Basmal,
1998). Penggaraman ikan di atas kapal menggunakan metode
penggaraman kering dengan perbandingan garam terhadap ikan 10
sampai dengan 15% selama 3 minggu akan kehilangan bobot sekitar 25
sampai dengan 37% (Wikanta & Basmal, 1998). Di Pekalongan, harga
jual ikan asin 34% lebih rendah dari harga jual ikan segar, sedangkan di
Juwana sekitar 14% lebih rendah dari harga jual ikan segar (Potier,
1998). Pada tahun 1988 sampai dengan 1994 memperlihatkan
18
fenomena berlawanan antara rata-rata harga ikan per kg dengan
kenaikan produksi, di mana harga ikan cenderung menurun dengan
kenaikan produksi ikan (Roch et al., 1995).
Berdasarkan pada kajian stok ikan di perairan yang dieksploitasi
oleh perikanan pukat cincin. Potensi sumber daya ikan pelagis kecil di
3 wilayah pengelolaan perikanan, yaitu Laut Cina Selatan (luas
sebaran 550.000 km2) 506.000 ton tahun-1 dan tingkat pemanfaatan
38%, Laut Jawa (luas sebaran 400.000 km2) 340.000 ton tahun-1, dan
tingkat pemanfaatan telah mencapai maksimum 130%, Selat Makassar
dan Laut Flores (luas sebaran 473.000 km2) 468.000 ton tahun-1 dan
tingkat pemanfaatan 54% (Sumadiharga, 2000). Angka potensi di Laut
Jawa tidak jauh berbeda dari hasil dugaan (Bailey, et al., 1987), yaitu
290.000 sampai dengan 391.000 ton per tahun, angka potensi tersebut
adalah kisaran nilai maximum sustainable yield yang dihitung dengan
model Schaefer dan Gulland–Fox. Hasil perhitungan dengan model
yang sama (dari sumber data runtun waktu tahun 1975 sampai dengan
1981 dan produksi tertinggi (227.700 ton) terjadi pada tahun 1981)
diperoleh kisaran nilai (maximum sustainable yield) 261.000 sampai
dengan 312.000 ton (Dwipongggo, 1983). Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap (2004) mengatakan laju eksploitasi ikan pelagis
kecil sekitar 1,5 (potensi=340.000 ton dan produksi=507.530 ton. Dari
kajian tersebut tercermin bahwa stok ikan bersifat konstan dan tidak
terlihat nyata kenaikan produksi lebih dari 2 kali lipat dan dampak
dinamika perikanan, yaitu perubahan yang terjadi pada perikanan
pukat cincin baik kapasitas penangkapan (ukuran kapal dan termasuk
kekuatan mesin), maupun ekspansi daerah penangkapan dan
peningkatan efisiensi penangkapan melalui penggunaan cahaya
(lampu sorot) sebagai alat bantu pengumpul ikan menggantikan
peranan rumpon.
Berdasarkan pada statistik data tahun 1969 sampai dengan 1976,
hasil tangkapan lestari (maximum sustainable yield) 76.000 ton
(Sudjastani, 1978). Perhitungan melalui model komposit pada daerah
penangkapan tradisional Laut Jawa (luas lahan 91.000 km2 pada tahun
1976 sampai dengan 1982) memberikan besar nilai hasil tangkapan
19
optimum 79.000 sampai dengan 81.000 ton tahun-1 dengan upaya hari
laut pada nilai 62.000 sampai dengan 84.000 tahun-1, pada tahun 1983
sampai dengan 1984 (luas lahan 179.000 km2) nilai hasil tangkapan
optimum 155.000 sampai dengan 159.000 ton tahun-1 dengan upaya
hari laut pada nilai 123.000 sampai dengan 165.000 tahun-1, dan pada
tahun 1985 sampai dengan 1986 (luas lahan 202.000 km2) nilai hasil
tangkapan optimum 175.000 sampai dengan 180.000 ton tahun-1
dengan upaya hari laut pada nilai 138.000 sampai dengan 187.000
tahun-1 (Nurhakim et al., 1995). Tingkat maximum sustainable yield
menggunakan metode CLIMPROD diperoleh kisaran 108.000 sampai
dengan 200.000 ton dengan tingkat upaya penangkapan berkisar
antara 95.000 sampai dengan 120.000 hari (Potier, 1998). Dari kajian
stok ikan di atas terlihat besaran stok ikan bersifat dinamis yang
ditunjukkan oleh tingkat maximum sustainable yield yang meningkat
berkisar 2,3 sampai dengan 2,8 kali lipat.
Indikasi lebih tangkap telah banyak dikatakan oleh peneliti
terdahulu. Kenaikan aktivitas penangkapan setelah motorisasi payang
pada tahun 1955 telah menurunkan hasil tangkapan dari 4 ton per
perahu per tahun pada tahun 1940 menjadi 2,6 ton per perahu per
tahun pada tahun 1967. Penurunan ini disebabkan oleh eksploitasi
berlebihan dan salah mengelola atas daerah penangkapan ikan
sepanjang pesisir utara Pulau Jawa. Pendistribusian upaya
penangkapan yang tidak merata, di mana penggunaan teknologi
penangkapan yang modern (perahu motor bertambah) dan sebaliknya
perahu layar tradisional mengalami penurunan (Collier, 1981).
Sujastani (1978); Nurhakim et al. (1995) mengatakan bahwa
perikanan pelagis di daerah penangkapan tradisional telah mencapai
tingkat eksploitasi yang mengarah lebih tangkap. McElroy (1991)
menyimpulkan bahwa spesies ikan pelagis kecil yang merupakan hasil
tangkapan pukat cincin telah lebih tangkap hampir di seluruh Laut Jawa.
Tingkat eksploitasi perikanan pukat cincin telah mencapai
ambang krisis, yang lebih bersifat sosial ekonomi dari pada bersifat
biofisik akibat eksploitasi, yaitu perluasan daerah penangkapan telah
mencapai hampir seluruh daerah penangkapan di Laut Jawa dan Laut
20
Cina Selatan, pendapatan per kapal menurun (tidak seimbang kenaikan
biaya pembekalan dengan nilai jual ikan yang tidak berubah banyak),
kesulitan peremajaan nelayan handal (Durand & Widodo, 1997).
Mereka mengatakan bahwa stagnasi hasil tangkapan pada periode
tahun 1992 sampai dengan 1995 mempunyai 2 arti, yaitu 1)
menegaskan bahwa seluruh daerah penangkapan telah dieksploitasi
dan hasil tangkapan telah mencapai keseimbangan (maximum sustainable yield), dan 2) usaha perlindungan, untuk kejenuhan
eksploitasi tidak dapat menangkap pada semua spesies. Lebih lanjut
mengusulkan tingkat pengelolaan hasil tangkapan melalui pada
ukuran maksimum kapal (ukuran jaring dan unit upaya penangkapan
dan jumlah kapal) yang efisien. Hal ini, dapat dikombinasikan dengan
keluaran pengelolaan melalui kuota individu.
Kajian perubahan populasi menggunakan model dynamic pool
dan Jone’s length cohort analysis telah dibahas oleh beberapa peneliti
terdahulu (Widodo, 1988; Nurhakim, 1995; Potier, 1998; Sadhotomo,
1998). Dari hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa nilai indeks
laju eksploitasi (E)<0,5; sedangkan nilai indeks eksploitasi
(E0,1=tingkat laju kematian penangkapan pada kenaikan laju
eksploitasi 10% dari awal usaha penangkapan terhadap suatu stok
ikan) berkisar antara 0,32 sampai dengan 0,47. Kecuali Widodo
(1991a; 1991b) mengatakan bahwa status eksploitasi untuk D.
macrosoma telah melebihi tingkat E0,1 dan panjang ikan pertama kali
tertangkap (Lc=16,25 cm) lebih besar dari panjang ikan pertama kali
matang gonad (Lm=15,5 cm). Pada model analitik, pada umumnya
peremajaan tidak diketahui, dinyatakan dalam (yield per recruitment)
dan Fmax (indeks kematian penangkapan pada tingkat maksimum)
diperoleh dari yield per recruitment sering membingungkan dengan
tingkat Fmsy karena kurva yield per recruitment pada berapa spesies
ikan pelagis kecil cenderung berbentuk asimptotik atau Fmsy tidak
dapat ditentukan, serta kelemahan utama tidak dapat menggambarkan
penurunan peremajaan sehubungan dengan penurunan besaran stok
dan juga tidak menditeksi secara kuat pengaruh dinamika perikanan,
yaitu eksploitasi terhadap populasi ikan pelagis kecil berkembang ke
lepas pantai Laut Jawa sampai dengan Selat Makassar.
21
Buku ini disusun dari rangkuman hasil penelitian dan tesis
penulis, sebagai upaya mengungkapkan realitis usaha perikanan pukat
cincin dan evaluasi stok ikan pelagis di Laut Jawa dan sekitar. Tingkah
laku pengusaha atau nelayan dapat dipakai sebagai dasar untuk
merumuskan suatu hipotesis tentang reaksi nelayan terhadap bentuk
peraturan yang akan diberlakukan.
2. SUMBER DAYA IKAN PELAGIS KECIL
Sejak pasca pelarangan alat tangkap trawl, perikanan pukat
cincin berkembang sangat dinamis. Sekarang, populasi ikan pelagis
telah dieksploitasi di hampir seluruh bagian selatan perairan paparan
Sunda, dari sekitar perairan Pulau Pejantan dan Kepulauan Natuna
(bagian selatan Laut Cina Selatan) sampai dengan ke sekitar perairan
Balikpapan (bagian barat Selat Makassar) atau 3 bagian wilayah
pengelolaan perikanan, yaitu Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat
Makassar dan Laut Flores.
2.1. Pengelompokkan Daerah Penangkapan
Perluasan daerah penangkapan ke bagian timur Laut Jawa
(Pulau Masalembo dan Pulau Matasiri) dan bagian selatan Laut
Natuna (sekitar Pulau Pejantan dan Kepulauan Natuna) sejalan dengan
investasi kapal baru yang lebih besar (>80 GT) pada tahun 1982 atau
1983. Sekarang, perikanan pukat cincin telah mengeksploitasi sumber
daya ikan pelagis di 9 daerah penangkapan dari sekitar perairan Pulau
Pejantan dan Kepulauan Natuna (bagian Laut Natuna) sampai dengan
ke sekitar perairan Balikpapan (bagian barat Selat Makassar).
Berdasarkan pada hasil analisis hierarki terhadap variasi
komposisi hasil tangkapan pukat cincin besar, daerah penangkapan
tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 wilayah penangkapan
22
(Potier, 1998), yaitu I. pantai utara Jawa Tengah (utara Tegal sampai
dengan Kepulauan Karimunjawa), II. bagian timur Laut Jawa (Pulau
Bawean, Kepulauan Masalembo, Pulau Kangean, dan Pulau Matasiri),
III. bagian barat Selat Makassar (Pulau Samber gelap, Pulau Lumulumu, dan Pulau Lari-Larian), dan IV. Laut Natuna (Gambar 1 dan 2).
Definisi Laut Jawa dan sekitar dalam buku ini adalah perairan yang
meliputi Laut Jawa sampai dengan bagian barat Selat Makassar.
Gambar 1.
Perluasan daerah penangkapan pukat cincin semi
industri.
23
W
a
rd
'sM
e
th
o
d
E
u
c
lid
e
a
n
d
is
ta
n
c
e
s
T
g
l
K
r
j
N
tn
P
jt
FishingZone
K
n
g
B
w
n
M
s
l
M
ts
M
k
s
0
1
0
2
0
3
0
4
0
5
0
L
in
k
a
g
eD
is
ta
n
c
e
Gambar 2.
Dendogram klasifikasi hierarki wilayah penangkapan
berdasarkan pada variasi komposisi hasil tangkapan
pukat cincin besar (Potier, 1998).
Keterangan: Tgl = utara Tegal, Krj = Kepulauan Karimunjawa, Bwn
= Pulau Bawean, Msl = Pulau Masalembo, Mts = Pulau Matasiri,
Kng = Kepulauan Kangean, Mks = Selat Makassar, Pjt = Pulau
Pejatan, Ntn = Kepulauan Natuna
2.2. Penyebaran Temporal dan Spasial
Berbeda dengan sumber daya mineral yang lebih bersifat
menetap, ikan yang hidup di air akan selalu mencari lingkungan yang
sesuai dengan kondisi dan metabolisme tubuh sebagai makluk hidup
teresterial yang selalu bergerak atau beruaya dalam menyesuaikan diri
dengan alam lingkungan. Pada umumnya sumber daya ikan pelagis
sangat peka terhadap perubahan kondisi lingkungan. Perubahan
kondisi lingkungan sangat nyata terhadap kelimpahan sediaan baik
positif maupun negatif. Fluktuasi hasil tangkapan musiman
diasosiasikan dengan perubahan salinitas antara musim hujan dan
musim kemarau.
Karakteristik massa air dan iklim Laut Jawa dipengaruhi
langsung oleh 2 angin muson, yaitu angin muson barat yang
berlangsung antara bulan September sampai dengan Pebruari dan
angin muson timur yang berlangsung antara bulan Maret sampai
dengan Agustus. Pada muson timur, massa air bersalinitas tinggi
(>34‰) memasuki Laut Jawa melalui Selat Makassar dan Laut Flores,
24
sedangkan pada muson barat, selain terjadi pengenceran oleh air
sungai, juga masuk massa air bersalinitas rendah (<32‰) yang berasal
dari Laut Cina Selatan mendorong massa air bersalinitas tinggi ke
bagian timur Laut Jawa (Lampiran 1) (Veen, 1953; Wyrtki, 1961).
Fluktuasi suhu permukaan relatif kecil, perbedaan antara maksimum
dan minimum suhu di Laut Jawa kurang dari 2°C dengan nilai rata–
rata berkisar antara 27° sampai dengan 29°C. Distribusi suhu
permukaan secara horisontal dihubungkan dengan fenomena
musiman. Pada musom angin timur terlihat jelas suhu permukaan
lebih dingin akibat masuk massa air bagian laut dalam ke Laut Jawa.
Pada angin muson barat suhu permukaan Laut Jawa relatif lebih
panas, pengaruh curah hujan pada suhu air laut dekat pantai sangat
nyata (Lampiran 2) (Potier, 1998).
Sumber daya ikan pelagis di perairan ini terdiri atas komunitas
ikan pelagis pantai (Sardinella spp., Rastrelliger brachysoma,
Dusumieria acuta, dan Selar spp.), ikan pelagis neritik, dan oseanik
(Decapterus russelli, Selar crumenophthalmus, Rastrelliger
kanagurta, Decapterus macrosoma, Amblygaster sirm, Megalaspis
cordyla, Scombemorus spp., dan Auxis thazard). Enam spesies
merupakan komponen utama hasil tangkapan pukat cincin (Gambar
3a).
25
Gambar 3a.
Spesies utama hasil tangkapan pukat cincin.
Variabilitas beberapa ikan pelagis (D. russelli, D. macrosoma,
dan R. kanagurta) berasosiasi dengan perubahan salinitas massa air
salinitas yang datang dari Laut Flores dan Selat Makassar pada musim
kemarau (Hardenberg, 1938). Kelompok ikan kostal spesies seperti
Sardinella spp., teri (Steloporus spp. dan Encraicholine spp.) dan
juwana ikan pelagis berasosiasi dengan perubahan suhu. Dua jenis
ikan yang mempunyai respon berbeda terhadap lingkungan
digambarkan oleh hasil tangkapan ikan layang dan juwi di perairan
utara Bonang-Sarang, pada musim peralihan dari musim timur ke
musim barat (bulan September sampai dengan Nopember) sebagian
26
besar hasil tangkapan pukat cincin didominasi oleh ikan layang, pada
musim timur (bulan Maret sampai dengan Mei) ikan juwi
menggantikan ikan layang (Atmaja & Ecoutin, 1995). Potier (1998)
mengatakan bahwa stok ikan pelagis sangat peka terhadap perubahan
lingkungan, terutama penyebaran salinitas secara spasial yang
dibangkitkan oleh 2 angin muson barat laut dan tenggara. Pada tahun
basah (curah hujan di atas normal) akan mengurangi penetrasi ikanikan yang bersifat oseanik ke Laut Jawa, akibat pengaruh massa air
oseanik menurun di bagian timur Laut Jawa. Hubungan hasil
tangkapan dengan salinitas permukaan menunjukkan berkorelasi
positif (Gambar 3d) dan hasil tangkapan berkorelasi negatif dengan
curah hujan (Gambar 3e).
Gambar 3b.
Lokalisasi geografis dan preferensi ikan pelagis kecil
(Hardenberg, 1938; Potier, 1998).
27
Gambar 3c.
Penyebaran ikan pelagis ikan pelagis berdasarkan pada
hasil tangkapan pukat cincin.
Komposisi hasil tangkapan pukat cincin di Laut Jawa dan
sekitar, yaitu Layang (D. russelli dan D. macrosoma), bentong (S.
crumenophthalmus), banyar atau kembung lelaki (R. kanagurta), siro
(A. sirm), dan juwi (S. gibosa). Keenam spesies tersebut memberi
kontribusi lebih dari 90%, kelompok jenis ikan layang (D. russelli dan
D. macrosoma) menduduki peringkat teratas mencapai separuh dari
total hasil tangkapan (Gambar 3f).
Berdasarkan pada wilayah penangkapan dan musim, ikan layang
D. russelli berkonsentrasi di bagian barat Laut Jawa dan Laut Cina
Selatan sepanjang tahun, sedangkan D. macrosoma berkonsentrasi di
bagian timur Laut Jawa dan Selat Makassar terjadi pada bulan
September sampai dengan Pebruari, R. kanagurta konsentrasi tertinggi
terjadi pada bulan Juni sampai dengan Agustus dan A. sirm
konsentrasi tertinggi pada bulan Desember sampai dengan Mei
(Atmaja & Sadhotomo, 2000).
Alterasi spesies pada perikanan multi spesies umum terjadi.
Selain dominasi ikan pelagis kecil yang disebut di atas, kerapkali
tertangkap spesies yang tidak dalam jumlah banyak, seperti ikan
swanggi (Priacanthus sp.) pada tahun 1991 sampai dengan 1992, ikan
cekong (Sardinella sp.) di daerah penangkapan tradisional pesisir
pantai Selat Sunda–Utara Indramayu pada tahun 1997 sampai dengan
1998, dan terakhir kemunculan ikan ayam-ayaman (Aluterus
monoceros) di daerah tangkapan pukat cincin di bagian timur Laut
28
Jawa (Gambar 3g). Jenis ikan ini merupakan ikan yang mempunyai
nilai ekonomis setelah ada permintaan dari Korea. Sejauh ini,
kemunculan spesies tersebut belum diketahui secara pasti, namun
dugaan awal berkaitan dengan perubahan lingkungan yang anomali.
Dengan demikian, komposisi spesies pada kondisi komunitas ikan
berubah maka biomassa dibagi kembali di antara spesies. Perikanan
pukat cincin didukung oleh 1) sumber daya ikan yang telah dikenal, 2)
sumber daya ikan yang telah diketahui sejak beberapa lama tetapi
belum ada pasaran pada masa sebelum, dan 3) sumber daya ikan
memang belum dikenal tidak dikenal sebelum atau sumber daya ikan
yang kelimpahan meningkat karena penangkapan spesies lain dalam
ekosistem sama.
Gambar 3d.
Hubungan hasil tangkapan dengan salinitas permukaan.
Gambar 3e.
Hubungan hasil tangkapan dengan curah hujan.
29
Gambar 3f.
Komposisi hasil tangkapan pukat cincin.
Perubahan lingkungan, terutama anomali lingkungan selain akan
mempengaruhi proses biologi, juga akan menyebabkan runtuh
perikanan akibat kegagalan peremajaan, terutama pada kelompok ikan
Clupeidae (Anchovy di perairan Peru, Sardine di beberapa perairan,
herring) (Cushing diacu dalam King, 1998). Di perairan Maroko, pada
saat produksi ikan sardine (Sardina pilchardus) menurun, produksi
beberapa spesies ikan pelagis lain, seperti mackerel (Scomber colias)
dan horse mackerel (Trachurus trachurus) menjadi meningkat
(Belbeze & Erzini, 1983). Di Teluk Bengala, pada saat produksi
Sardinella longicep menurun, sebaliknya produksi mackrerel
(Rastrelliger spp.) meningkat (Bal & Rao, 1984). Radovich (1982)
diacu dalam Laevastu & Favorite (1988) mengatakan bahwa dominasi
ikan pelagis tertentu dapat digantikan oleh jenis ikan pelagis lain yang
meneliti sifat ekologis hampir sama. Ada pergantian spesies ini diduga
berkaitan erat dengan kompetisi makanan yang disukai.
30
Gambar 3g.
Ikan ayam-ayaman (leather jacket, Aluterus
monoceros).
3. BIOLOGI
3.1. Aspek Reproduksi
3.1.1. Indeks Kematangan Gonad (Gonado Somatic Index)
Untuk keseragaman dalam penentuan kriteria kematangan,
indikator pertumbuhan gonad menggunakan gonado somatic index
dan verifikasi berdasarkan pada perkembangan diameter telor untuk
menghindari subyektivitas dalam penentuan tingkat kematangan
gonad di lapangan. Pertumbuhan gonad sacara teratur atau besar
gonad menempati ruang rongga perut dikatakan secara kuantitatif
dalam persentase pebandingan bobot gonad (wg) dengan bobot ikan
(W) tanpa gonad (wg), sebagai berikut GSI(%)=wg/(W-wg)*100.
Penentuan gonado somatic index adalah salah satu pengetahuan
dasar dari biologi reproduksi suatu spesies ikan guna menggambarkan
siklus reproduksi, life history ikan yang sangat diperlukan dalam
mempelajari dinamika populasi ikan, seperti pendugaan umur atau
ukuran ikan mencapai matang seksual, waktu dan tempat pemijahan.
Informasi ini dapat digunakan perencanaan strategi dan taktik
31
penangkapan, untuk melindungi dan menjamin kelangsungan sediaan
induk ikan dari eksploitasi.
Sering dalam studi biologi hanya ovarium betina yang dipelajari,
sebab ukuran lebih besar dan mudah diamati secara visual dan
mikroskopis daripada testis jantan. Diasumsikan bahwa
perkembangan ovarium dan testis adalah berbarengan (synchronous).
Ovarium diamati secara mikroskopis dapat diklasifikasikan ke dalam
berbagai tingkat perkembangan. Kejadian penting dalam siklus
reproduksi dari spesies adalah waktu pemijahan, ketika perkembangan
penuh gamet direalisasikan (King, 1998).
Kriteria ovarium matang berdasarkan pada diameter telor
terdapat 2 kelompok, yaitu rata-rata diameter telor buram (opaque)
berkisar 0,50 sampai dengan 0,75 mm dan telor yang jernih
(translucent) rata-rata berdiameter 0,6 sampai dengan 0,95 mm
dengan nilai gonado somatic index berkisar antara 8 sampai dengan
22% (Gambar 5). Nilai gonado somatic index tersebut lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai gonado somatic index dari D. macrosoma
dan D. russelli yang diperoleh oleh Widodo (1988). Bal & Rao (1984)
menetapkan ovarium matang termasuk kriteria tingkat kematangan
gonad IV berdiameter 0,47 sampai dengan 0,56 untuk R. kanagurta
dan 0,51 sampai dengan 0,57 untuk S. longiceps. Ovarium yang siap
memijah secara makroskopik dicirikan perut buncit, rongga perut diisi
dengan ovarium, di mana telor jernih mudah dilihat dari dinding
ovarium (Gambar 4). Fenomena ini umum dalam perkembangan
ovarium dan sebagian spesies mempunyai telor jernih untuk
mengurangi pemangsaan (Johannes, 1978 diacu dalam Bailey &
Houde, 1989). Nilai gonado somatic index Clupea harengus pada
tingkat siap memijah berkisar antara 20 sampai dengan 23% (Iles,
1984). Rata-rata nilai gonado somatic index Scomber scombrus 25%
(Morse, 1980) dan Engraulis mordax 18% (Laroche & Richardson,
1980).
32
Tabel 1.
Rata-rata nilai gonado somatic index (%) dan
simpangan baku dari 5 spesies ikan pelagis kecil
menurut wilyah penangkapan
Spesies
D. Russelli
D. macrosoma
R. kanagurta
A. sirm
S. crumenophthalmus
Rata-rata
SD
N
Rata-rata
SD
N
Rata-rata
SD
N
Rata-rata
SD
N
Rata-rata
SD
N
I
2,24
1,44
299
1,17
0,94
38
3,08
2,13
223
0,81
0,60
136
2,11
1,13
681
II
1,98
1,82
680
1,05
2,54
385
1,40
1,81
992
2,02
2,18
1.282
1,67
1,12
950
III
1,54
1,45
99
1,36
1,81
147
1,22
1,58
437
3,17
3,29
403
1,18
1,02
177
Keterangan: I=Laut Jawa bagian tengah, II=Laut Jawa bagian timur, III=Selat
Makassar, SD=Simpangan baku, N=Jumlah contoh
Gambar 4.
Ciri ikan siap memijah,
ovarium matang dan
tahapan berkembang
ikan bunting
Gambar 5.
Plot rata-rata diameter
telor dengan nilai
gonado somatic
index (%)
33
Ikan telah melakukan pemijahan terdapat 2 bentuk ovarium,
yaitu seperti kantong kosong (total spawner) ditemukan D. russelli
dan ovarium berisi telor buram dan beberapa sisa telor jernih (partial
spawner) ditemukan pada D. macrosoma dan A. sirm. D. russelli dan
R. kanagurta diperoleh spesimen yang telah memijah dan ovarium
hampir pulih tetapi dapat dibuktikan ikan tersebut telah memijah pada
bulan Nopember sampai dengan Januari (Atmaja et al., 1995). Pada
ovarium hampir pulih (sisa telor belum diserap sempurna) dari D.
russelli dan R. kanagurta menunjukkan bahwa bentuk ovarium dan
ujung berwarna hitam dengan nilai gonado somatic index sekitar 0,5
sampai dengan 0,7%. De Jong (1940) telah melakukan studi
pendahuluan tentang kebiasaan pemijahan beberapa jenis ikan di
perairan utara Jakarta dan sekitar. Ia menyimpulkan ikan yang matang
seksual sulit ditemukan kendati pada musim pemijahan dan D. russelli
mempunyai 1 kelompok telor yang matang dan pada kondisi ovarium
salin, bentuk ovarium menyerupai kantong kosong dengan kulit
ovarium berwarna merah. Hal ini, memberi petunjuk bahwa setelah
sisa telor diserap sempurna oleh dinding ovarium, selanjutnya
ovarium akan kembali pada tingkat kematangan I. Atmaja & Nugroho
(1995) mengatakan bahwa induk A. sirm siap memijah tertangkap
secara gelombolan, terutama pada tahun 1993. Sedangkan spesimen
induk D. macrosoma sulit ditemukan, dari nilai rata-rata gonado
somatic index menunjukkan sebagian besar ikan tersebut masuk Laut
Jawa merupakan ikan yang belum dewasa atau reproduksi tidak aktif.
Sebaran nilai gonado somatic index menurut ukuran ikan (FL)
memperlihatkan kisaran nilai gonado somatic index meningkat sejalan
dengan ukuran ikan, median dan 75% dari sebaran nilai gonado
somatic index tidak mencapai 4% (Lampiran 5). Rata-rata nilai gonado
somatic index dari ukuran lebih besar dari 16 cm menurut wilayah
penangkapan kurang dari 4% dan nilai gonado somatic index
mempunyai kecenderungan semakin ke bagian timur Laut Jawa
semakin kecil, kecuali A. sirm (Tabel 1). Dengan demikian, nilai
gonado somatic index 5 jenis ikan pelagis ini mencerminkan sangat
jarang individu ikan yang tertangkap oleh pukat cincin pada kondisi
matang gonad ditemukan dari hasil tangkapan pukat cincin. Rendah
nilai gonado somatic index D. russelli dan R. kanagurta diduga
disebabkan sebagian individu-individu ikan dewasa pada kondisi
ovarium telah pulih kembali. Dengan demikian, spesifik daerah
pemijahan ikan berdasarkan pada hasil tangkapan pukat cincin sulit
ditentukan, terutama berkaitan dengan penutupan daerah pemijahan
untuk melindungi induk ikan pemijah dari eksploitasi. Dengan
demikian, pemikiran tentang ikan diberi kesempatan bertelor paling
sedikit 1 kali selama hidup, secara harfiah akan melarang seluruh
usaha perikanan tangkap.
Aktivitas reproduksi di perairan tropis dibangkitkan oleh suhu
dan salinitas yang spesifik dari kondisi musim (Weber, 1976 diacu
dalam Saila, 1979). Beberapa jenis ikan mempunyai pemilihan habitat
berbeda pada setiap fase daur hidup, daerah makan dan daerah
pemijahan sering berada pada daerah berbeda, sebagian besar ikan laut
merealisasikan pembuahan telor dan menetas di lahan terbuka
(Gambar 6) (King, 1998). Spesies ikan pelagis pantai neritik di
perairan tropis banyak berpijah di perairan lepas pantai untuk
mengurangi tekanan pemangsaan terhadap larva (Johannes, 1978
diacu dalam Saila, 1979). Sebagian besar individu ikan di perairan
tropis memijah sepanjang tahun dengan puncak musim 1 kali atau 2
kali 1 tahun (Erdman, 1976 diacu dalam Saila, 1979). Ursin (1984)
mengatakan bahwa ikan mempunyai periode pemijahan yang
beradabtasi dengan variasi ketersedian makanan untuk larva, seperti
yang telah didokumentasikan di perairan sub tropis. Raja (1969) diacu
dalam Longhust & Pauly (19987) mengatakan bahwa ikan Sardinella
longicep di perairan Teluk Bengala, pada curah hujan kurang dari 10
mm di bulan Juni akan menyebabkan ovarium ikan tersebut kegagalan
berkembang (atresia).
35
Gambar 6.
Life history triangle untuk spesies laut, tidak semua
spesies secara geografik terpisah antara spawning dan
nursery area (King, 1998).
Ikan yang mempunyai nilai GSI=5%–10% sering ditemukan di
Laut Jawa, tertutama untuk ikan banyar (R. kanagurta). Djamali
(1977) mengatakan bobot gonad ikan banyar lebih besar 8 g atau nilai
gonado somatic index lebih besar dari 6% ditemukan di perairan
sekitar Pulau Panggang (Kepulauan Seribu) dan di perairan utara
Indramayu (Atmaja & Sadhotomo, 1992). Akan tetapi ovarium yang
telah mengandung telor berwana jernih belum pernah diperoleh.
Hardenberg (1938) mengatakan kelompok ikan layang memasuki Laut
Jawa bersama massa air oseanik dari Laut Flores, melakukan aktivitas
pemijahan di sekitar perairan Pulau Bawean. Venema (1996)
mengatakan bahwa ikan layang tidak memijah di Laut Jawa, ikan ini
memijah di sekitar lekukan (slope) perairan laut dalam.
3.1.2. Fekunditas
Fekunditas disini ditentukan sebagai jumlah telor matang yang
segera dipijahkan, di sana hanya 1 kelompok telor matang (telor
jernih), jelas terpisah dengan telor yang lebih kecil (telor buram) yang
dikenal dengan batch fecundity (de Jong, 1940; Fontana 1969). Pried
& Walsh (1991) mengatakan bahwa batch fecundity adalah jumlah
telor yang direalisasikan dalam 1 pemijahan, ditentukan dalam
perhitungan fekunditas mutlak. Pendugaan jumlah telor dalam
kelompok terakhir dari sebaran diameter telor dihitung dari subcontoh
36
dari ovarium yang berdiameter lebih besar dari 0,5 mm. Sub contoh
berkisar antara 0,1 sampai dengan 0,3 g, diukur dan dihitung dengan 2
atau 3 ulangan, di bawah mikroskop binocular dengan pembesaran
100 kali. Batch fecundity ditentukan dengan metode gravimetric
(Bagenal, 1978a), yang diduga menurut persamaan diberikut:
F=(Wg/ws)*n
di mana:
F = batch fecundity
Wg = bobot gonad (g)
ws = bobot sub contoh (0,1 – 0,3 g)
n = jumlah telor dalam sub contoh dari kelompok terakhir dalam
sebaran diameter telor
Ovarium matang (tingkat kematangan gonad V dan VI) secara
mikroskopik, frekuensi sebaran diameter telur menunjukkan hanya 1
kelompok telur jernih dan jelas terpisah dengan telur buram. Pola
tersebut ditunjukkan pula oleh beberapa peneliti, pada D. Russelli
(Atmaja et al., 1982), Scombermorus sp. (de Jong, 1940), Sardinella
sirm (Lazarus, 1990), dan R. kanagurta (Rao & Bal,1984).
Fekunditas D. macrosoma berkisar antara 43.000 sampai dengan
80.000 telor dengan rata-rata sekitar 60.380 telor, sedangkan A. sirm
mempunyai fekunditas berkisar antara 17.000 sampai dengan 34.000
telor dengan rata-rata sekitar 21.440 telor (Tabel 2). Di perairan
Philipina, fekunditas D. macrosoma sekitar 68.000 sampai dengan
10.6000 telor dan S. longiceps di Teluk Bengala mempunyai
fekunditas sekitar 37.000 sampai dengan 38.000 telor (Raja, 1972).
A. sirm yang siap memijah ditemukan dalam jumlah banyak di
sekitar perairan Masalembo dan Lumu-lumu, kemungkinan ikan ini
memijah di daerah bagian timur Laut Jawa dan Selat Makassar. D.
russelli telah memijah ditemukan di sekitar perairan barat Pulau
Matasiri pada bulan Nopember 1993 (Atmaja et al., 1995) dan ikan
yang matang telor di sekitar Karimunjawa pada bulan Oktober 1981
(Atmaja et al., 1982). Sedangkan R. kanagurta dengan kondisi gonad
37
yang hampir pulih (spent with recovery) ditemukan di perairan sekitar
Pulau Matasiri dan Lumu-lumu pada bulan Nopember sampai dengan
Januari, ikan dewasa yang matang telor (tingkat kematangan gonad
IV, telor buram (opaque) ditemukan dari hasil tangkapan mini pukat
cincin di sekitar perairan Indramayu dan Lasem pada bulan Desember
(Atmaja & Sadhotomo, 1993). S. crumenophthalmus ditemukan di
perairan utara Tegal pada bulan Oktober 1993. D. macrosoma yang
matang telor (tingkat kematangan gonad V dan VI) di sekitar Sumber
Geleng pada bulan Mei dan Juni (Atmaja, 1999).
Tabel 2.
Fekunditas D. macrosoma dan A. sirm
D. macrosoma
Rata-rata
Minimum
Maksimum
SD
FL
(cm)
GSI(%)
20,1
19,3
20,5
0,45
14,64
10,60
22,60
3,70
A. sirm
Fekunditas
FL
(cm)
GSI(%)
Fekunditas
60.380
43.000
80.000
1.289
19,26
17,50
20,40
0,88
10,03
7,10
13,74
1,75
21.440
17.000
34.100
45,60
3.2. Pertumbuhan
Model produksi surplus Schaefer pada perikanan multi spesies
di perairan tropis, yang mempunyai keanekaragaman tinggi dan
mendiami suatu ekosistem yang kompleks sering tidak memadai.
Aplikasi model ini didasarkan pada konsep sistem unit tunggal dari
gabungan beberapa spesies yang mempunyai karakteristik biologi
sama dan tidak ada hubungan pemangsa-mangsa. Pendugaan
pertumbuhan lebih ditekankan untuk menguji asumsi di atas.
Pendugaan (K, L) melalui nilai rata-rata indeks empiris Φ’
(Pauly & Munro, 1984), sebagai berikut:
Φ’=Log10 K+2 Log10 L …………………………………………... (1
di mana:
Φ’ = perkiraan distribusi normal untuk stok ikan berbeda pada spesies
sama
38
Φ’=(1/n)* Φi atau Φ’=(1/n)(Log10 Ki+2 Log10 Li) ......................... (2
Log10 K=Φ’-2 Log10 L ................................................................... (3
dimana:
i = 1, 2, 3,…n
Tabel 3.
Parameter populasi dari 5 spesies ikan pelagis kecil
Spesies
D. russelli
D. macrosoma
R. kanagurta
A. sirm
S. crumenophthalmus
Φ’
2,8037
2,7775
2,8899
2,8075
2,9119
K (tahun-1)
0,96
0,92
1,18
0,94
1,20
L∞ (cm)
26,67
26,24
28,67
23,90
26.15
L∞
Gambar 7.
Perbandingan nilai parameter pertumbuhan
Bertallanffy dan Mortalitas alami.
von
39
Analisis parameter populasi (laju pertumbuhan dan L) untuk 5
jenis ikan pelagis kecil (D, russelli, D. macrosoma, R. kanagurta, A.
sirm, dan S. crumenophthalmus) menggunakan empiris Φ’, parameter
pertumbuhan von Bertallanfy yang diterakan pada Tabel 3 dan kisaran
parameter populasi tersebut (Gambar 7). Nilai empiris Φ’ dan
parameter laju pertumbuahan von Bertalanffy (K) dari 5 spesies
dominan hasil tangkapan pukat cincin menunjukkan mempunyai
karakteristik biologi relatif sama.
3.3. Ukuran Ikan
3.3.1. Rata-Rata Ukuran Ikan
Rata-rata ukuran ikan yang tertangkap dicerminkan oleh 50%
kumulatif frekuensi sebaran ukuran ikan masing-masing wilayah
penangkapan menunjukkan rata-rata ukuran ikan bertambah panjang
dari bagian barat ke bagian timur Laut Jawa, dan ikan besar cenderung
tertangkap di Selat Makassar (Tabel 4). Secara umum, rata-rata
ukuran ikan berkisar antara 15 sampai dengan 17 cm, hasil ini relatif
sama dengan hasil penelitian sebelum (Dwiponggo et al., 1987;
Widodo, 1988; Sadhotomo & Potier, 1995; Potier, 1998). Rata-rata
ukuran ikan ini lebih kecil dari nilai Lm (ukuran ikan pertama
mencapai matang seksual) (Atmaja et al., 1995).
Tabel 4.
Rata ukuran ikan dari 5 spesies ikan pelagis kecil
menurut wilayah penangkapan
Spesies
D. Russelli
D. macrosoma
R. kanagurta
Wilayah
L25
L50
L75
L25
L50
L75
L25
L50
I
12,94
14,73
16,41
11,98
14,32
16,52
13,45
16,19
II
12,85
15,30
17,28
15,31
16,45
17,47
15,41
18,36
III
14,34
15,93
17,16
14,41
15,46
16,46
18,91
19,81
40
A. sirm
S. crumenophthalmus
L75
L25
L50
L75
L25
L50
L75
18,55
15,88
16,54
17,81
13,33
15,80
17,21
19,44
15,74
16,75
17,55
15,80
17,21
18,55
20,51
16,11
17,02
17,84
16,47
17,90
18,66
Keterangan: L25, L50, L75 = 25, 50, dan 75% dari kurva-kurva logistik baku: F(li)=
(1+ae-bli)-1
Sebagian besar hasil tangkapan pukat cincin terdiri atas ikan
muda (umur < 1 tahun), kelompok ukuran FL (panjang cagak) antara
12 sampai dengan 19 cm mencapai lebih dari 80%. Dari struktur
ukuran ikan menunjukkan bahwa ikan layang (D. russelli) berukuran
lebih kecil dari 12 cm sekitar 12,4% dan ikan banyar (R. kanagurta)
sekitar 2,4% (Widodo, 1988; Nurhakim, 1995). Sadhotomo (1998)
mengatakan bahwa pada umumnya ikan besar cenderung berasosiasi
dengan sub lahan Matasiri dan Selat Makassar (Lumu-lumu) pada
periode akhir musim timur (bulan Nopember sampai dengan
Desember) dan awal musim barat (bulan Januari sampai dengan
Maret). Sementara itu, ikan berukuran kecil cenderung berada di sub
lahan pantai utara Jawa Tengah, Kepulauan Karimunjawa, dan Pulau
Bawean selama puncak musim Timur (bulan Mei sampai dengan
Agustus).
Penggunaan L25 atau L50 merupakan nilai untuk penentukan
regulasi ukuran mata jaring kantong, keputusan optimasi dan ukuran
minimum ikan yang dieksploitasi harus berdasarkan pada yustifikasi
biologi dan pertimbangan ekonomi.
Spesies-spesies yang menjadi tujuan penangkapan pada
umumnya mempunyai tendensi membentuk kawanan yang terdiri atas
ikan berukuran sama, atau tidak semua kelas ukuran (umur) berada di
suatu daerah penangkapan. Ada kecenderungan nelayan mencari dan
mengarahkan kapal ke daerah penangkapan yang mengandung spesies
dan ukuran ikan tertentu (seleksi manusia), ikan-ikan ukuran kecil
41
bukan merupakan sasaran utama penangkapan dan ikan tersebut
tertangkap secara kebetulan bersama ikan berukuran besar. Dari studi
biologi tidak alasan kuat untuk regulasi mata jaring kantong pukat
cincin. Dengan demikian, pendekatan selektivitas pada pukat cincin
melalui regulasi ukuran mata jaring tidak akan efektif, tetapi melalui
operasi penangkapan (ruang dan waktu daerah penangkapan, serta
konsentrasi ikan.
Rata-rata ukuran ikan relatif tetap menunjukkan bahwa
perbedaan tingkah laku pada daur hidup, di mana ada pemisahan
secara geografis antara daerah pemijahan, asuhan dan stok ikan yang
dapat dieksploitasi. Spesies-spesies yang menjadi tujuan penangkapan
pada umumnya mempunyai tendensi membentuk kawanan yang
terdiri atas ikan berukuran sama, atau tidak semua kelas ukuran
(umur) berada di suatu daerah penangkapan. Nelayan telah
mengetahui dengan baik daerah penangkapan yang menguntungkan
dan memilih pada kisaran sempit dari spesies dan ukuran ikan.
Sedangkan ikan berukuran kecil bukan merupakan sasaran utama
penangkapan dan ikan tersebut tertangkap secara kebetulan bersama
ikan berukuran besar. Asumsi dasar bahwa laju tangkap adalah
sebanding terhadap kelimpahan stok ikan (C=qEB), nelayan
menentukan atau memilih daerah penangkapan secara acak.
42
19
Rata-rata ukuran ikan (cm)
18
17
16
15
14
13
85-87
92
93
94
95
98/99
Tahun
Gambar 8.
Rata-rata ukuran ikan dari 5 spesies (D. russelli, D.
macrosoma, R. kanagurta, A. Sirm, dan S.
crumenophthalmus) yang tertangkap oleh pukat cincin.
Beberapa aspek perilaku nelayan akan menyebabkan CPUE
tidak sebanding terhadap kelimpahan stok ikan, seperti efisiensi
pencarian ikan (pencarian ikan tidak secara acak), interaksi nelayan
akan menyebabkan jarang bekerja secara bebas (pemberian informasi
akan menuju pencarian tidak acak). Oleh karena itu, asumsi laju
tangkap sebanding terhadap kelimpahan stok ikan sulit terpenuhi atau
CPUE mungkin tidak langsung berhubungan dengan kelimpahan stok
ikan.
3.3.2. Keberadaan Ikan Muda (Fingerling)
Dari survei akustik menunjukkan bahwa perikanan hanya
mengeksploitasi kisaran panjang yang sempit atau beberapa spesies
dan ukuran panjang yang terseleksi dari populasi ikan yang ada di
laut. Sebaran data populasi akustik menunjukkan kisaran panjang
(target strength) -60 sampai dengan -30 dB, sedangkan kisaran
panjang ikan yang tertangkap oleh perikanan berkisar antara -45
43
sampai dengan -40dB (Nugroho et al., 2003). Hubungan target
strength dengan panjang ikan, target strength pada kawanan ikan yang
berkumpul di sekitar cahaya dan rumpon berkisar antara -38,1 sampai
dengan -47,5 dB dengan rata-rata nilai target strength -44,7dB dan
rata-rata panjang ikan berkisar 17,8 sampai dengan 19,6 cm
(Hermawan et al., 1998). Cotel & Petit (1997) mengatakan bahwa
target strength D. russelli -47,7 dB=16 cm (FL), target strength S.
crume-nophthalmus -44,9 dB=16 cm (FL) dan target strength R.
kanagurta -50 dB=11 cm (FL). Hal ini, dapat diartikan bahwa
perikanan hanya memanfaatkan sebagian kecil dari struktur populasi
ikan yang ada di laut.
Keberadaan juvenil dan ikan muda berkaitan dengan penyebaran
telor dan larva secara pasif yang terbawa oleh pasang dan arus dari
tempat pemijahan ke tempat nursery, serta keberhasilan mulai sejak
larva. Muncul ikan muda pada perikanan bersamaan muncul ikan yang
telah matang gonad, yaitu pada bulan April sampai dengan Juni.
Namun, ikan muda yang tertangkap pada suatu daerah penangkapan
tidak selalu tertangkap bersamaan. Hal ini, diduga berkaitan dengan
mekamisme dan proses biologi terhadap kondisi lingkungan yang
cocok berbeda dari setiap jenis ikan. Penelitian ikhtioplankton telah
dilakukan oleh Delsman (1926), ia menemukan telor dan larva dari
beberapa jenis ikan di sekitar Bawean dan Pemanukan (Madura),
seperti D. russelli, D. Macrosoma, dan S. crumenophthalmus.
Catatan muncul ikan muda (fingerlings) pada kelompok ukuran
4 sampai dengan 11 cm dari kegiatan penelitian di beberapa tempat
yang berbeda (Tabel 5). Dengan demikian, karakteristik penyebaran
ikan muda cukup luas dan mudah ditemukan di daerah penangkapan
adalah R. kanagurta. Ikan muda tersebut merupakan hasil tangkapan
sampingan dari alat tangkap yang menggunakan waring pada jaring
bagian kantong dan dioperasikan di perairan pesisir. Hasil tangkapan
dalam jumlah relatif sangat sedikit jika dibandingkan dengan total
hasil tangkapan pukat cincin.
44
Tabel 5.
Spesies
D. macrosoma
D. russelli
A. sirm
S.
crumenophthal
mus
R. kanagurta
Muncul ikan muda (fingerlings) dari beberapa daerah
penangkapan
Ukuran
Ikan (cm)
7–9
3–7
5–9
4–5,5
5–7
8–11
3,5-5
4–6,5
5-8
3–5,5
3,5-7
3,5–5,5
4–8
4–9
Daerah
penangkapan
Lumu-lumu
Balikpapan
Bau-bau
Karimunjawa
Bawean
Lumu-lumu
Bau-bau
Karimunjawa
Bawean
Bau-bau
Karimunjawa
Selat Belitung
Alas Roban
Pemalang
Keterangan
Pukat cincin, Peb 1995
Midwater trawl, Peb 1995
Pukat cincin, Sept 1993
Bagan, Juni 1992
Bagan, Juni 1994
Pukat cincin, 1995
Bouke Ami, Sept1993
Bagan, Juni 1992
Pukat cincin, Des 1993
Bouke Ami, Sep 1993
Bagan, Juni 1992
Midwater trawl, April
1993
Payang gemblo, Mei 1995
Payang gemblo, Oktober
2003
4.
DINAMIKA PERIKANAN PUKAT CINCIN
4.1.
Kapal dan Jaring Pukat Cincin
4.1.1. Kapal Pukat Cincin
45
Karakteristik kapal pukat cincin yang mengeksploitasi sumber
daya ikan pelagis kecil di perairan ini, terutama kapal yang
berpangkalan di Pekalongan dan Juwana adalah kapal pukat cincin
besar dan sedang, sesuai dengan tipologi kapal pukat cincin yang
dikatakan oleh Potier & Sadhotomo (1995). Panayotou (1982)
membandingkan perikanan skala kecil dan skala besar (perikanan
industri) dengan melihat teknologi yang digunakan, tingkat modal,
tenaga kerja yang digunakan dan kepemilikan. Ia lebih lanjut
menerangkan bahwa perikanan skala kecil biaya rendah, rendah
teknologi, rendah modal, dan kapal dioperasikan sendiri oleh pemilik.
Kapal pukat cincin telah menggunakan peralatan dengan tingkat
teknologi lebih maju, jarak jangkau ke daerah penangkapan lebih luas
sehingga nelayan tinggal di laut berhari-hari. Potier (1998)
mengatakan bahwa kapal pukat cincin besar dan sedang termasuk
perikanan semi industri.
Gambar 9a. Kapal pukat cincin
Berdasarkan pada tahun pembuatan kapal, antara tahun 1985
dan 1989 menunjukkan rata-rata dimensi kapal menurun, dan juga
sejak tahun 1992 cenderung menurun, tetapi rata-rata kekuatan mesin
46
meningkat terus (propulsi mesin dari 90 PK menjadi 320 PK)
(Gambar 1b).
Gambar 9b.
Perkembangan dimensi ukuran dan propulsi mesin
kapal pukat cincin.
4.1.2. Jaring Pukat Cincin
Jaring pukat cincin adalah jenis alat tangkap yang berbentuk
trapisium, dilengkapi dengan tali kolor dilewatkan melalui cincin yang
dipasang pada bagian tali ris bawah. Dengan penarikan tali kolor,
maka bagian bawah dapat dikuncupkan sehingga kawanan ikan akan
terkurung di dalam jaring. Alat tangkap ini terdiri atas 2 bagian utama,
yaitu bagian sayap dan kantong, bagian kantong berada di tengah
diapit oleh bagian sayap pada ke-2 sisi. Panjang jaring 200 sampai
dengan 700 m dan dalam jaring 50 sampai dengan 110 m dengan
ukuran mata jaring bagian kantong 3/4 inci.
Bahan jaring adalah nylon multifilament dengan nomor benang
dan mata jaring yang berbeda. Bagian kantong menggunakan nomor
benang 210d/12 dengan ukuran mata jaring 19 mm, bagian sayap
menggunakan nomor benang 210d/9 dengan ukuran mata jaring 25,4
mm. Bagian badan sayap dan bagian di bawah kantong menggunakan
nomor benang 210d/6 dengan ukuran mata jaring 25,4 mm (Susanto,
1991).
47
Gambar 10a. Jaring pukat cincin.
40
Frekuensi (%)
Frekuensi (%)
35
28
21
14
30
20
10
7
0
0
250 350 450 550 650
Panjang Jaring (m)
50 60
70
80 90 100
Dalam Jaring (m)
Gambar 10b. Dimensi ukuran jaring pukat cincin.
48
4.2. Perkembangan Taktik dan Strategi Perikanan Pukat Cincin
Selama 3 dekade pukat cincin mengeksploitasi sumber daya
ikan pelagis kecil di Laut Jawa dan sekitar telah berkembang dengan
sangat dinamis. Berdasarkan pada dinamika perkembang, perikanan
pukat cincin dapat dikelompokan menjadi 3 runtun waktu, yaitu
runtun waktu tahun 1976 sampai dengan 1981, tahun 1982 sampai
dengan 1990, dan tahun 1991 sampai dengan 2004. Runtun waktu
tahun 1976 sampai dengan 1981 merupakan periode sebelum
pelarangan alat tangkap trawl, di mana sebagian besar nelayan pukat
cincin beroperasi di daerah penangkapan tradisional, rata–rata
kekuatan propulsi mesin sekitar 120 PK, panjang jaring berkisar 200
sampai dengan 400 m, dan taktik penangkapan menggunakan rumpon
yang di tanam di laut. Runtun waktu tahun 1982 sampai dengan 1990
merupakan periode nelayan pukat cincin sudah memperluas daerah
operasi ke bagian timur Laut Jawa dan Selat Makassar dengan taktik
penangkapan menggunakan rumpon, sebagian kapal mulai
menggunakan lampu sorot halogen dan mercuri (3.100 sampai dengan
5.100 watt) sebagai alat bantu utama menggantikan rumpon. Propulsi
mesin berkisar 120 sampai dengan 330 PK, panjang jaring berkisar
400 sampai dengan 750 m. Runtun waktu tahun 1991 sampai dengan
2004 adalah periode di mana sebagian besar taktik penangkapan telah
menggunakan lampu sorot sebagai alat bantu utama menggantikan
rumpon. Penggunaan lampu sorot meningkat menjadi 7.500 sampai
dengan 20.000 watt (Gambar 11). Potier (1998) mengatakan bahwa
sejak pasca pelarangan pukat harimau (1980), perikanan pukat cincin
berkembang menjadi perikanan menjadi semi industri.
Berdasarkan pada pembagian tahapan perkembangan perikanan
secara ekonomi (Hilborn & Waters, 1992), perkembangan hasil
tangkapan dan upaya penangkapan pukat cincin pada periode tahun
1976 sampai dengan 2001 dapat disimpulkan bahwa tahap tumbuh
dan turun merupakan aktivitas perluasan daerah penangkapan (periode
tahun 1976 sampai dengan 1987) dan selama periode tahun 1988
sampai dengan 2001 merupakan fase introduksi teknologi yang lebih
maju (penentu posisi (GPS), fish finder, dan pemanfaatan informasi
49
posisi lintang bujur daerah lumbung ikan dari hasil analisis data
satelit). Introduksi teknologi tersebut, hambatan terhadap operasional
kapal dan cuaca akan semakin berkurang. Penggunaan fish finder,
selain dapat meningkatkan efisiensi, juga dapat menditeksi dasar
perairan sehingga kemungkinan jaring tersangkut karang dapat
terhidari atau semakin luas perairan yang dieksploitasi (Atmaja et al.,
2003).
Gambar 11.
Perkembangan taktik dan strategi armada kapal pukat
cincin di Laut Jawa.
4.2.1. Perluasan Daerah Penangkapan
Perubahan daerah penangkapan armada kapal pukat cincin
mengikuti kondisi lingkungan dan keberadaan ikan. Pada dasarnya,
50
nelayan pukat cincin di Tegal, Pekalongan, dan Juwana telah
melakukan penentuan daerah penangkapan berpedoman pada siklus
pergerakkan ikan pelagis berdasarkan pada musim dan ukuran ikan.
Serial pengalaman dari nakhoda kapal telah membentuk pengetahuan
mengenai fenomena alam (perubahan kondisi lingkungan, ruaya, dan
musim) terhadap daerah penangkapan yang dianggap potensial untuk
memberikan peluang mendapatkan hasil tangkapan yang cukup besar
pada masa-masa tertentu, demikian pula perubahan komposisi jenis
ikan menurut daerah penangkapan.
Gambar 12.
Pergeseran daerah penangkapan ikan pelagis kecil oleh
pukat cincin sepanjang tahun di Laut Jawa dan sekitar.
Keterangan: Bulatan menunjukkan daerah penangkapan, anak
panah menunjukkan arah, dan angka menunjukkan bulan
Daerah penangkapan utama yang semula berada di Laut Jawa
telah berkembang semakin luas, ke arah timur mencapai Selat
Makassar dan ke arah barat di sekitar Laut Natuna. Namun, secara
umum, terdapat pergeseran pola penangkapan yang disesuaikan
dengan musim (Gambar 12 dan Tabel 6). Pada musim barat (bulan
51
Desember sampai dengan Pebruari) konsentrasi penangkapan ikan
pelagis berlangsung di Selat Makassar bagian barat. Pada puncak
musim timur (bulan Mei sampai dengan Juli) adalah musim paceklik
di Laut Jawa, konsentrasi penangkapan sekitar Laut Natuna. Daerah
penangkapan tradisional di Laut Jawa (Kepulauan Karimunjawa dan
perairan utara Pekalongan-Tegal) berlangsung pada musim peralihan
pada musim peralihan antara musim barat ke musim timur (bulan
Maret sampai dengan Mei). Antara bulan Juli sampai dengan
September, penangkapan di Laut Jawa, yaitu sekitar Pulau Bawean
dan Kepulauan Masalembo. Pada puncak musim ikan di Laut Jawa,
yang berlangsung pada musim peralihan antara musim timur ke
musim barat (bulan September sampai dengan Nopember),
penangkapan ikan pelagis kecil banyak dilakukan di Laut Jawa
sebelah timur, yaitu sekitar Pulau Kelembau, Pulau Matasiri, dan
Kepulauan Kangean). Aktivitas penangkapan terus berlangsung
sampai dengan bulan Desember.
Tabel 6.
a.
Catatan nelayan daerah penangkapan berdasarkan pada
musim
Bulan
Juli-September
b.
Oktober–
Nopember
c.
DesemberPebruari
d.
Maret–April
e.
Mei-Juli
Daerah penangkapan
Pulau Bawean, Kepulauan
Masalembo
Pulau Matasiri, Pulau
Kelembau, dan Pulau
Samber geleng
Selat Makassar (Pulau
Lumu-lumu, Pulau Larilarian, dan Pulau Sumber
Gelap)
Pulau Bawean, Kepulauan
Masalembo, Pulau
Matasiri, dan Pulau
Kelambau
Laut Natuna (Kepulauan
Tujuh, Pejatan)
Keterangan
Ikan layang
berukuran kecil-kecil
Ikan layang
berukuran sedang
Ikan layang
berukuran besar
Ikan layang
berukuran besar
(kawanan ikan relatif
kecil)
Ikan layang
berukuran besar
52
4.2.2. Perubahan Taktik Penangkapan
Investasi kapal baru, selain penggunaan kekuatan mesin induk
yang telah ditingkatkan, juga efisiensi dan taktik penangkapan dengan
menambah kekuatan generator (jumlah lampu 30 sampai dengan 40
buah).
Penggunaan cahaya sebagai alat bantu penangkapan merupakan
memanfaatkan ruaya tegak organisme laut ke arah permukaan pada
malam hari. Fenomena yang berkaitan dengan sifat phototaksis hewan
laut, di mana konsentrasi dan kepadatan ikan cenderung meningkat
pada malam hari telah ditunjukkan oleh beberapa penelitian sebelum.
Nybakken (1988) mengatakan bahwa ruaya vertikal harian
zooplankton diakibatkan respon negatif bagi para migran terhadap
cahaya, bergerak ke arah permukaan laut bila intensitas cahaya di
permukaan menurun dan bergerak ke dasar perairan bila intensitas
cahaya di permukaan meningkat. Ada ruaya tegak sebagai respon
terhadap cahaya pada malam hari tidak hanya plankton dan ikan
pelagis, tetapi juga ikan demersal.
Ikan Pelagis
Pengamatan ruaya tegak R. kanagurta dari hasil penelitian di
perairan bagian utara Pulau Masalembo besar, kedalaman perairan 40 m
(bulan Oktober 1992). Sarana KM. Penelitian Bawal Putih, alat bantu
lampu 8 buah dengan kekuatan 500 watt yang dipasang di samping
kapal (Gambar 13). Pada jam 2000 WIB, kawanan ikan berada dekat
dasar perairan, sebagian telah beruaya ke dekat pemukaan pada jam
2300 WIB dan pada jam 0400 WIB hampir seluruh ikan berada dekat
permukaan di kedalaman 2 sampai dengan 15 m, kemudian pada jam
0530 kawanan ikan terpencar.
Zooplankton diambil dari permukaan dengan plankton net,
sedangkan ikan ditangkap dengan pancing. Kawanan R. kanagurta
(FL=17-19 cm) aktif memangsa kawanan krustasea yang berada di
sekitar cahaya.
53
Analisis isi lambung ikan yang tertangkap oleh pukat cincin
sebagian besar telah berisi organisme dengan volume berkisar 3
sampai dengan 22 ml. R. kanagurta pada umumnya berisi plankton,
sedangkan D. russelli selain berisi plankton, juga ikan-ikan kecil.
Organisme yang berada dalam lambung ikan terkait dengan organisme
berada di sekitar cahaya. Isi lambung ikan yang tertangkap oleh pukat
cincin di perairan bagian utara Pulau Masalembo, R. kanagurta, A.
sirm, dan D. macrosoma telah terisi oleh jenis krustasea. Kecuali isi
lambung D. russelli dan S. crumenophthalmus, selain krustasea, juga
berisi oleh jenis ikan kecil (Bregmaceros spp., Gloerfelt-Tarp &
Koilola, 1982). Kebiasaan makan dan makanan, spesies-spesies
tertangkap oleh alat tangkap pukat cincin adalah zooplankton. Potier
(1998) telah meringkas kebiasaan makan berdasarkan pada fase
berbeda dari daur hidup (Gambar 14). D. russelli dan S.
crumenophthalmus dewasa lebih bersifat pemangsa terhadap ikan-ikan
kecil, sedangkan D. macrosoma utama adalah zooplankton (Tiews et
al., 1970).
Gambar 13.
Ruaya tegak R. Kanagurta.
Keterangan: warna merah adalah awanan ikan
54
Phytoplankton
Zooplankton
Macroplankton
Nekton (ikan)
Juvenil
Dewasa
Juvenil
Decapterus macrosoma Dewasa
Decapterus russelli
Juvenil
Selar crumenophthalmus Dewasa
Rastrelliger kanagurta
Juvenil
Dewasa
Amblygaster sirm
Dewasa
Sardinella gibbosa
Dewasa
adultes
Makanan utama
Makanan kedua
Makanan tambahan
Gambar 14.
Kebiasaan makan dan makanan spesies ikan yang
tertangkap oleh pukat cincin.
Respon ikan terhadap intensitas cahaya telah ditunjukkan oleh
beberapa penelitian sebelum. Pola reaksi Sadinella spp. ketika lampu
menyala, ikan cenderung berada pada kedalaman 10 sampai dengan
12 m dan membentuk kawanan dekat dasar perairan. Sedangkan
ketika lampu dimatikan ikan berada 5 sampai dengan 8 m dekat
permukaan (Lévénez et al, 1990). Reaksi ikan bentong (S.
crumenophthalmus) pada waktu lampu dinyalakan cenderung
menghindari sumber cahaya dan membentuk kawanan pada bagian
gelap, serta aktivitas renang berkurang, sedangkan pada saat lampu
dimatikan, ikan menyebar dan aktivitas renang aktif (Cotel & Petit,
1997). Ikan bentong (S. crumenophthalmus), ikan banyar (R.
kanagurta) datang ke sekitar cahaya untuk makan. Mereka aktif
memakan mangsa yang berkumpul di sekitar cahaya, kemudian
berenang keluar dari lahan cahaya. Sebaliknya cumi-cumi, teri, dan
sardine merupakan spesies yang tertarik pada cahaya. Mereka datang
ke sekitar cahaya untuk waktu yang lama (Baskoro, 1999). Rata-rata
kepadatan pada siang hari kurang dari setengah kepadatan pada
malam hari (Petit et al., 1995). Kepadatan ikan di sekitar kelompok
pukat cincin menunjukkan 2 kali lebih tinggi daripada di luar
kelompok pukat cincin (Potier & Petitgas, 1997).
55
Ikan Demersal
Untuk mengetahui ikan demersal yang tertarik oleh cahaya telah
dilakukan pengambilan contoh dengan menggunakan jaring klitik
yang dioperasikan pada kedalaman yang bervariasi 2 kali dioperasikan
di dekat dasar dan 2 kali dioperasikan 15 m dari atas dasar) di perairan
bagian timur Pulau Matasiri pada bulan Nopember 1993, kedalaman
perairan 40 m, alat bantu lampu 8 buah dengan kekuatan 500 watt
yang di pasang di samping kapal.
Spesies ikan yang mempunyai respon positif terhadap cahaya
tidak hanya ikan pelagis, tetapi juga ikan demersal. Ikan demersal
mencapai lebih dari 90% dari total hasil tangkapan (dioperasikan di
dekat dasar perairan) dan berkisar antara 42 sampai dengan 46%
(dioperasikan 15 m dari atas dasar perairan). Ikan demersal berada di
sekitar cahaya, yaitu ikan manyung (Arius spp.), ikan beloso (Saurida
sp.), dan Priacanthus sp., sedangkan ikan pelagis, yaitu D. russelli, D.
macrosoma, S. crumenophthalmus, Caranx sp., A. Thazzard, dan dan
R. kanagurta (Tabel 7). Hasil pengamatan ini dapat menerangkan
bahwa ikan pelagis bergerombol di lapisan dalam yang gelap pada
kedalaman 5 sampai dengan 25 m dan ikan demersal cenderung naik
ke arah permukaan pada malam hari. Burczynski et al. (1987)
mengatakan ikan demersal pada siang hari pada umumnya berkumpul
di dasar perairan dan pada malam hari menyebar di daerah midwater
secara merata. Ikan demersal tidak selalu hadir dalam tangkapan pukat
cincin diduga kawanan ikan tersebut tidak mengikuti hanyut rumpon
yang dilepas bersama bangkrak lampu petromak pada saat akan tawur,
atau kemungkinan terpencar setelah lampu induk di kapal dimatikan.
Ikan demersal kerapkali tertangkap dalam jumlah banyak oleh pukat
cincin adalah Priacanthus spp., terutama terjadi pada tahun 1992 dan
1993.
56
Tabel 7.
Taxonomi
Demersal
Arius spp.
Saurida spp.
Priacanthus sp.
Pari (Ray)
Sciaenidae
lain-lain
Pelagis
D. russelli
D. macrosoma
S.
crumenophthalmus
Caranx sp.
A. thazzard
R. kanagurta
lain-lain
Total
Persentase jenis ikan yang tertangkap oleh jaring klitik
yang dioperasikan di dekat dasar dan 15 m dari atas
dasar perairan
Bobot
55,0
14,0
10,1
6,2
0,7
6,3
Dasar perairan
%
Bobot
53,8
36,4
13,6
17,7
9,9
5,2
6,1
6,3
0,7
5,0
6,1
5,5
6,4
0,1
1,1
6,2
2,5
%
43,9
21,4
6,3
7,5
6,0
6,6
15 m di atas dasar perairan
Bobot
Bobot
%
%
10,3
35,3
0,8
10,0
5,6
19,2
1,4
17,6
0,3
3,8
0,2
4,1
0,7
14,0
0,6
0,9
4,2
2,9
9,9
1,1
0,5
0,75
3,5
0,5
1,7
2,4
1,9
2,2
0,2
82,9
0,2
3,7
1,5
0,1
0,3
29,2
12,6
5,1
0,3
1,0
102,3
0,9
10,7
0,1
0,6
1,3
1,3
7.5
16,4
1,5
18,7
1,1
13,8
7,65
5. PRODUKSI SURPLUS
Konsep hasil tangkapan maksimum lestari (maximum
sustainable yield) yang diperoleh dari aplikasi model produksi surplus
Schaefer telah digunakan untuk pengelolaan perikanan lebih dari 2
dekade terakhir. Model tersebut berkembang untuk menghadapi
spesies tunggal di daerah sub tropis. Model ini juga memperlakukan
setiap stok spesies ikan sebagai unit pengelolaan terpisah,
mengabaikan interaksi spesies yang mungkin terjadi seperti hubungan
pemangsa-mangsa dan interaksi teknologi antar tipe alat berbeda yang
mentargetkan spesies sama. Ketika, model ini diterapkan pada
perikanan multi species sering tidak memadai. Hal ini, sebagai
kenyataan bahwa tidak hanya perikanan tropis mempunyai
keanekaragaman yang tinggi, juga mendiami suatu ekosistem yang
kompleks. Salah satu alternatif model perikanan multi species adalah
konsep sistem unit tunggal sebagai landasan dengan beberapa
57
penyesuaian dan tambahan asumsi pada model (Martosubroto, 1982;
Fauzi, 1999).
Ahli perikanan (Pauly, 1979; Panayotou, 1982) menggunakan
asumsi stok ikan dari perikanan tropis, yaitu 1) stok ikan dari spesies
berbeda mempunyai karakteristik biologi sama, 2) stok ikan sebagai
satu sistem unit stok tunggal, 3) tidak ada hubungan pemangsamangsa. Dengan demikian, model surplus produksi didasarkan pada
anggapan bahwa stok sebagai sistem unit tunggal dari gabungan dari
beberapa spesies, tanpa memperhatikan struktur populasi,
mengabaikan proses biologi yang benar.
Pada biomassa yang tidak dieksploitasi, stok ikan cenderung
meningkat dengan berbagai kecepatan tergantung besaran dan akan
tumbuh menuju bobot maksimum dari keseimbangan alami. Faktor
abiotik dan biotik yang mempengaruhi pertumbuhan stok ikan
dianggap konstan. Tiga komponen dalam kecepatan pertumbuhan stok
ikan, yaitu peremajaan (ikan berukuran kecil memasuki stok),
pertambahan individu (individu ikan dalam stok siap tumbuh menjadi
besar), mortalitas alami (bobot biomassa ikan berkurang sehubungan
mortalitas alami dan pemangsaan). Model produksi surplus Schaefer
mengasumsikan bahwa kenaikan bersih biomassa adalah fungsi dari
besar populasi.
Konsep surplus produksi, perubahan biomassa populasi dari
suatu waktu ke waktu berikut dengan mengabaikan ada emigrasi dan
imigrasi dapat ditulis sebagai berikut:
Bt+1=Bt+R+G–C–M ……………………………………………... (1
Peremajaan dan pertumbuhan merupakan parameter yang
meningkatkan populasi, penggambungan ke-2 parameter ini menjadi
produksi, maka persamaan 4 dapat ditulis:
58
Bt+1=Bt+Produksi–C–M ........................................................... (2
Istilah produksi surplus digunakan mewakili perbedaan antara
produksi dengan mortalitas alami, sehingga persamaan 2 dapat ditulis
kembali menjadi:
Bt+1=Bt+Produksi surplus–C .................................................... (3
Dalam kajian stok ikan, laju pertumbuhan stok (produksi
surplus) dapat digambarkan sebagai fungsi logistik atau fungsi
gompertz, yaitu:
fungsi logistik:
F(B)=rBt(1–Bt/K) ..................................................................... (4
fungsi gompertz:
F(B)=rBtLn (K/Bt) .................................................................... (5
Nilai parameter biologi K (enviromental carrying capacity), q
(koefisien daya tangkap) dan r (laju pertumbuhan intrinsik) diduga
melalui fungsi gompertz dan fungsi logistik, sebagai berikut:
Fungsi gompertz menggunakan prosedur (Clarke, Yoshimoto, &
Pooley, 1992):
Ln(Ut+1)=2r/(2+r) Ln (qK)+(2-r)/(2+r) ln (Ut)–q/(2+r) Et+Et+1)
atau Y=β0+β1X1-β2 X2 .............................................................. (6
Fungsi logistik menggunakan prosedur Walters & Hilborn (197)
diacu dalam Hilborn & Walters (1992):
(Ut+1/Ut)-1=r–r/(q*K) Ut-q Et
atau Y=β0-β1 X1-β2 X2 ............................................................... (7
Pendugaan nilai biomassa pada tahun awal eksploitasi (tahun
1976) sebagai titik acuan dengan asumsi bahwa F(B)=C, yaitu:
59
(r/K)B2–rB+C=0 ....................................................................... (8
B=BMSY (1+r-1*SQRT(r2-8*r* BMSY-1*C)
di mana:
BMSY = biomassa pada tingkat maximum sustainable yield
E
= upaya penangkapan
U
= hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE)
5.1. Pertumbuhan Bersih Stok Ikan Pelagis
Dalam kajian stok ikan akan menghadapi besaran nilai stok ikan
yang bersifat dinamis dan ketidakpastian populasi yang benar, maka
hasil dan kesimpulan yang diperoleh dari beberapa peneliti akan
berbeda-beda. Charles (2001) mengatakan bahwa sumber
ketidakpastian dalam sistem perikanan, yaitu sumber alam (besaran
stok dan struktur umur, kematian alami, migrasi, dan parameter stok
rekruitmen, interaksi dari multi spesies, interaksi lingkungan dengan
ikan), sumber manusia (perubahan teknologi, harga ikan dan struktur
pasar, biaya operasional dan opportunity, dan persepsi status stok).
Caddy & Mcgarney (1996) telah menyimpulkan bahwa komponen
ketidakpastian dialamatkan terhadap tingkat kepercayaan struktur
model dan pendugaan parameter. Variabel digunakan dalam
pendugaan perikanan adalah tidak pasti, seperti biomassa atau
kelimpahan populasi, kematian alami dan penangkapan, kemampuan
tangkap (q), yang menyebabkan ketidakstabilan tingkat hasil
tangkapan lestari (maximum sustainable yield). Hilborn & Walters
(1992) menyarankan bahwa maximum sustainable yield sebagai titik
sasaran acuan pengelolaan hanya dapat digunakan dalam jangka
pendek. Jika diberlakukan untuk jangka panjang tanpa
mempertimbangkan dinamika perikanan akan menghasilkan a false
summit dari dugaan besaran hasil tangkapan lestari ikan. Garcia
(1986) mengungkapkan bahwa mengunakan serial data yang lama,
tidak melibatkan perilaku nelayan dan dinamika kecepatan
penangkapan akan menjadi sumber bias. Hilborn & Peterman (1996)
diacu dalam Seijo et al. (1998) mengidentifikasi 7 sumber
ketidakpastian dalam pendugaan stok perikanan, yaitu pendugaan
kelimpahan stok, struktur model matematik pada perikanan, kapan
60
pendugaan parameter model, kondisi lingkungan masa depan, respon
pengguna terhadap regulasi, sasaran pengelolaan masa depan dan
kondisi ekonomi, politik, dan sosial.
Tabel 8 dan Gambar 15 adalah contoh hasil analisis fungsi
produksi surplus (logistik) diperoleh dari pukat cincin semi industri
berasal di Pekalongan dan Juwana. Nilai K (carrying capacity)
meningkat dari 55.000 ton (periode tahun 1976 sampai dengan 1981)
menjadi 18.000 ton (periode tahun 1984 sampai dengan 1990) dan
pada periode tahun 1991 sampai dengan 1998 menjadi 284.000 ton.
Tingkat maximum sustainable yield periode tahn 1991 sampai dengan
1998 meningkat hampir 4 kali lipat dibandingkan pada periode tahun
1976 sampai dengan 1981, kemudian pada periode tahun 1999 sampai
dengan 2004 menurun 30%.
Tabel 8a.
Periode
19761981
19841990
19911998
19992004
19912004
Parameter fungsi produksi surplus model logistik
r
q (10-5) K (Ton) CMSY(Ton)
Koefisien
determinasi
(R2)
2,344
1,41
55.000
32.000
0,79
1,703
1,09
180.000
77.000
0,49
1,760
1,10
284.000
125.000
0,65
1,756
0,90
204.000
89.500
0,84
1,438
1,08
348.000
125.000
0,90
61
Gambar 15. Plot tumpang tindih, kurva pertumbuhan logistik ikan
pelagis berdasarkan pada perkembangan armada dan
produksi perikanan pukat cincin di Laut.
Keterangan: a = runtun waktu tahun 1976 sampai dengan 1981; b =
runtun waktu tahun 1984 sampai dengan 1990; c = runtun waktu
tahun 1991 sampai dengan 1998; d = runtun waktu tahun 1999
sampai dengan 2004; dan e = runtun waktu tahun 1991 sampai
dengan 2004
5.2. Laju Pertumbuhan Fungsi Logistik vs Gompertz
Perubahan kelimpahan stok ikan dipengaruhi 3 parameter dari
produksi surplus, yaitu pertumbuhan intrinsik (r), carring capacity
(K), dan koefisen kemampuan tangkap (q), ke-3 parameter ini sangat
menentukan besaran stok ikan dan hasil tangkapan. Dari kombinasi
data tahun 1988 sampai dengan 2004 diperoleh nilai laju pertumbuhan
intrinsik (r) dan kelimpahan stok ikan (K) sangat bervariasi, di mana
ke-2 parameters tersebut merupakan pasangan yang saling berkaitan.
Kelimpahan stok ikan yang semakin besar akan diikuti dengan laju
pertumbuhan intrinsik semakin kecil dan sebaliknya (Gambar 16a).
62
Kedua metode (Logistik dan Gompertz) menunjukkan bahwa besaran
biomassa (Gompertz) lebih tinggi dibandingkan dengan biomassa
(Logistik) dan ketidakstabilan tingkat maximum sustainable yield.
Nilai r dan K pada model produksi surplus lebih berassosiasi
dengan osilasi perkembangan produksi daripada laju pertumbuhan
populasi yang benar. Pertumbuhan organisme adalah hasil proses
sangat kompleks yang berkaitan dengan faktor abiotik dan biotik
lingkungan. Laju pertumbuhan alami stok tergantung pada besaran
stok ikan dan parameter lingkungan. Pada kondisi perairan tanpa
dipengaruhi faktor exogeneous dan endogeneous, secara biologi
kombinasi r dan K dapat menerangkan persaingan ruang dan makanan
yang tersedia.
Gambar 16a. Hubungan laju pertumbuhan intrinsik (r) dengan
kelimpahan
stok
ikan
(K),
Logistik:
345.000<K<766.000 dan 0,65<r<1,44; Gompertz:
679.000<K<2.430.000 dan 0,2<r<0,64 (Atmaja, 2006).
Hasil perhitungan pendugaan parameter produksi surplus ikan
layang (Decapterus spp.) yang diperoleh dari ke-2 metode (laju
pertumbuhan logistik dan partumbuhan gompertz) diterakan pada
Tabel 8b dan Gambar 16b.
63
Tabel 8b.
Parameter fungsi produksi surplus dari model logistik
dan gompertz berdasarkan pada sumber data
Pekalongan dan Juwana
Parameter
Dm
r
K (x1000 ton)
q (x10-5)
EMSY (x1000
hari)
CMSY (x1000
ton)
BMSY (x1000
ton)
FMSY
0,62
174,3
0,42
Logistik
Decapter
Dr
us spp.
0,7
0,97
165,8
228
0,51
0,68
0,46
141,1
0,89
Gompertz
Decapterus
Dr
spp.
0,41
0,52
176
262,2
0,91
1,05
73,2
68,6
70,9
51,2
45,1
49,4
26,8
29,7
55,3
23,8
26,5
50
87
82,9
114
51,9
64,7
96,5
0,31
0,35
0,48
0,23
0,41
0,52
Dm
Sumber: Atmaja (2006)
Gambar 16b. Kurva pertumbuhan
(Decapterus spp.).
bersih
stok
ikan
layang
Keterangan: Bscads = Decapterus spp., Bdm = D. macrosoma, dan
Bdr = D. russelli
5.3. Hasil Tangkapan Lestari
Hasil tangkapan ditentukan oleh upaya penangkapan dengan
berpatokan bahwa mortalitas penangkapan sebanding upaya
penangkapan, yaitu:
64
F=q*E, C=qBE atau C/B=q*E ................................................. (9
Hasil tangkapan lestari dihitung berdasarkan pada fungsi logistik
berikut:
C=E-* E2, di mana =qK dan =q2K/r .............................. (10
EMSY=/2*=r/2q, CMSY=2/4*=rK/4
FMSY=r/2 dan BMSY=K/2=2CMSY/r
Untuk mengetahui status perikanan pelagis kecil di Laut Jawa,
mengunakan nilai parameter fungsi produksi K=405.000 ton, r=1,05
dan q=6,9 10-6 (Atmaja & Nurhakim, 2005), tingkat maximum
sustainable yield 106.300 ton dengan tingkat upaya penangkapan
76.100 hari (Gambar 17a) dan status ikan layang (Decapterus spp.)
(Gambar 17b).
150000
94
92
Hasil tangkapan (ton)
95
120000
93 97
91
90000
85
01
86
90
89
87
88
83
60000
30000
80
76 77
78
79
98
96
99
00
02
03
04
84
82
81
0
0
30800
61600
92400
123200
154000
Upaya penangkapan (hari)
Gambar 17a. Kurva hasil tangkapan lestari, perkembangan upaya
penangkapan, dan hasil tangkapan pukat cincin pada
periode tahun 1976 sampai dengan 2004, serta lintasan
dinamik.
65
Pada Gambar 17b memperlihatkan perbandingan hasil
tangkapan dengan hasil tangkapan lestari. Hasil tangkapan lestari
(Cles1) yang dihitung dari upaya penangkapan aktual dengan hasil
tangkapan aktual pada perkembangan awal perikanan pukat cincin dan
pada saat hasil tangkapan menurun, terlihat kontradiktif hasil
tangkapan aktual di bawah hasil tangkapan lestari. Pada posisi ini
dapat diartikan bahwa peningkatan upaya penangkapan belum
membahayakan kelestarian sumber daya ikan layang. Sedangkan hasil
tangkapan lestari (Cles2) dari upaya penangkapan yang telah diboboti
mortalitas penangkapan dan koefisien kemampuan tangkap (q)
(Atmaja, 2006). Dengan cara ini diperoleh tingkat produksi hampir
berimpitan dengan hasil tangkapan lestari, kecuali dari tahun 1992
sampai dengan 1997 memperlihatkan hasil tangkapan di atas hasil
tangkapan lestari, kemudian dari tahun 1998 sampai dengan 2001
hasil tangkapan di bawah hasil tangkapan lestari dan selanjutnya hasil
tangkapan kembali di atas hasil tangkapan lestari. Dengan demikian,
indikasi sangat nyata bahwa setelah tahun 1992, tingkat eksploitasi
telah melapaui hasil tangkapan lestari (maximum sustainable yield).
Kendatipun sumber daya ikan dikategorikan sumber daya yang dapat
pulih, bukan berarti tidak terbatas. Apabila kapasitas penangkapan
tidak sebanding dengan potensi perikanan yang tersedia, maka yang
akan terjadi penyusutan sumber daya ikan dan degradasi lingkungan.
Gambar 17b. Perbandingan hasil tangkapan aktual dengan hasil
tangkapan lestari ikan laying.
Keterangan: Caktual = hasil tangkapan aktual, Cles1 = hasil
tangkapan lestari dengan upaya penangkapan actual, dan Cles2 =
hasil tangkapan lestari setelah upaya penangkapan diboboti
F=q*E)
66
6. DAMPAK EKSPLOITASI TERHADAP BIOMASSA
Karakteristik usaha perikanan tangkap merupakan jenis usaha
yang menghadapi ketidakpastian, di mana hasil tangkapan tidak
menentu, keberhasilan ditentukan oleh kekuatan yang tidak dapat
dikendalikan dan belum penuh dipahami manusia. Sebagian besar
nakhoda kapal pukat cincin berkeyakinan bahwa keberhasilan
aktivitas penangkapan merupakan suatu untung-untungan, walaupun
telah akhli.
Komunitas ikan mendiami suatu karakteristik ekosistem yang
dikontrol oleh kaidah biofisik, di sana hidup berdampingan pemangsa
alami (predator) dengan mangsa (prey). Dengan pandangan sederhana
bahwa nelayan sebagai pemangsa baru yang memasuki sistem
tersebut. Dalam konteks perikanan multi species, nelayan benar adalah
pemangsa jenis lain yang memasuki keseimbangan ekologis dari
komunitas ikan. Kegiatan penangkapan akan menyebabkan populasi
ikan mencapai keseimbangan baru pada tingkat kepadatan yang lebih
rendah. Perbedaan keseimbangan baru dengan yang lama tergantung
intensitas penangkapan. Penurunan spesies tertentu akan
menyebabkan kekosongan niche ekologi yang kerapkali digantikan
sementara oleh spesies lain (Laevastu & Favorite, 1988). Suatu
fenomena alami yang umum terjadi dari hubungan antara pemangsa
dengan mangsa, penurunan mangsa akan diikuti dengan penurunan
pemangsa. Alterasi spesies dan kompetisi spesies ikan pelagis
(interspesific competition) ditunjukkan oleh perubahan komposisi
hasil tangkapan di daerah penangkapan bagian timur Laut Jawa sejak
tahun 2002, yaitu kejadian melimpah hasil tangkapan ikan ayamayaman (leather jacket, Aluterus monoceros) ketika puncak musim
ikan layang (Atmaja et al., 2003).
Hilborn & Walters (1992) telah mengembangkan dinamika
biomassa untuk mengamati tingkah laku populasi terhadap eksploitasi.
Nelayan adalah komponen penting dari sistem dinamis yang disebut
perikanan. Lebih lanjut mengatakan pendugaan stok ikan harus
mengingat bagaimana nelayan akan merespon dan perikanan dalam
67
kondisi kritis ketika pendapatan nelayan menurun di bawah normal.
6.1. Dinamika Biomassa
Pendekatan tradisional pengelolaan perikanan beranggapan ikan
yang mempunyai karakteristik biologi, umur pendek, dan fekunditas
tinggi akan tahan dan dapat mendukung tingkat upaya penangkapan
tinggi, tanpa mengganggu peremajaan ikan kecil memasuki perikanan.
Dengan semakin rumit metode penangkapan dari berbagai alat
tangkap dan peningkatan efisiensi penangkapan, serta dorongan harga
ikan yang tinggi dapat menurunkan stok induk ikan pemijah.
Penurunan stok ikan drastis dapat terjadi jika digabungkan dengan
faktor lingkungan yang anomali.
Hubungan antara hasil tangkapan dengan biomassa
memperlihatkan trend biomassa dan hasil tangkapan yang berlawanan,
pada kondisi turun hasil tangkapan akan diikuti dengan kenaikan
biomassa. Trend biomassa mulai meningkat setelah kejadian turun
biomassa pada tahun 1998 sekitar 66% dari biomassa awal (Gambar
18a). Secara teoritis, peningkatan biomassa harus kapal memasuki
perikanan juga meningkat, dirangsang dengan kenaikan hasil
tangkapan per satuan upaya. Sebaliknya, rata-rata hari beroperasi
cenderung terus meningkat dan nelayan merasakan semakin sulit
menemukan gerombolan ikan. Selain itu, penurunan hasil tangkapan
bukan sebagai kebijakan regulasi kuota hasil tangkapan. Situasi
perikanan pukat cincin telah mengalami penurunan hasil tangkapan
yang drastis. Dengan demikian, kenaikan biomassa (pulih stok) diduga
bersifat semu (quasi recovery).
Berdasarkan pada mortalitas penangkapan dan upaya
penangkapan yang telah diboboti koefisien kemampuan tangkap.
Mortalitas penangkapan ikan layang (Decapterus spp.) setelah FMSY
(mortalitas penangkapan pada tingkat maximum sustainable yield)
disesuaikan kembali (F=q*E). Dengan cara ini, mortalitas
penangkapan meningkat dan biomassa turun drastis tersisa kurang dari
25% dari biomassa awal (Gambar 18b).
68
160000
Biomassa (ton)
324000
120000
243000
80000
162000
40000
B90-04
81000
Hasil tangkapan (ton)
405000
Hasil Tangkapan
0
1975
1980
1985
1990 1995
Tahun
2000
0
2005
Gambar 18a. Perubahan biomassa.
Gambar 18b. Dinamika biomassa ikan layang (Decapterus spp.)
setelah FMSY diboboti dengan F=q*E.
6.2. Interaksi antara Biomassa dengan Upaya Penangkapan
Analisis dinamik dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 cara,
yaitu 1) Model Willen’s open access dynamic ditulis sebagai berikut:
∂B/∂t=rBt (1–Bt/B)–qBtE ...................................................... (11
∂E/∂t=s (pqBt-c)E ................................................................... (12
69
Kondisi keseimbangan terjadi pada perpotongan dari hubungan
biomassa dengan upaya penangkapan besifat linear (∂B/∂t=0) dan
garis ∂E/∂t=0. 2) Perilaku biomassa yang bereaksi terhadap eksploitasi
berdasarkan pada Hilborn & Walters (1992) sebagai berikut:
Et+1=Et (1+s (Ut–U*) .............................................................. (13
Dalam perikanan open access, suatu perikanan akan mencapai
titik keseimbangan pada tingkat upaya penangkapan (E*), di mana
penerimaan total (TR=p*C) sama dengan biaya total (TC=c*E),
berdasarkan pada persamaan sebagai berikut:
π=p*C-c*E .............................................................................. (14
di mana:
C = hasil tangkapan (ton)
E = upaya penangkapan (hari)
p = harga ikan (Rp per ton)
c = biaya eksploitasi (Rp per hari)
U* = CPUE pada saat keuntungan (π)=0
Ut = CPUE pada tahun ke-t
s = respond kenaikan upaya pengakapan terhadap Ut (dipatok
15% per tahun)
Kedua nilai Et (nilai awal) dan s sangat kuat pengaruh terhadap
gerakkan periodik yang menuju kondisi kestabilan baru. Sedangkan
nilai s sebagai konstanta tetap, yang tidak diketahui nilai eksak.
Perhitungan bagaimana hasil tangkapan mempengaruhi populasi ikan
mengikuti dinamika perilaku biomassa. Perubahan kelimpahan stok
ikan dipengaruhi 3 parameter dari produksi surplus Schaefer, yaitu
pertumbuhan intrinsik (r), carring capacity (K), dan koefisien
kemampuan tangkap (q). Untuk mengetahui interaksi antara biomassa
dengan upaya penangkapan menggunakan nilai parameter produksi
surplus kurun waktu tahun 1990 sampai dengan 2004 yaitu
r=1,05,q=6,9 10-6, dan K=405.000 ton. Status perikanan pelagis kecil
telah memasuki tahap melingkar (cycle) pada posisi setelah tingkat
maximum sustainable yield (Gambar 17a). Secara teoritis, tingkat
70
keuntungan (π=0) pada perikanan pukat cincin terjadi pada U*=0,6
ton per hari yang diperoleh dari rasio harga ikan dengan biaya
eksploitasi (Tabel 9).
Tabel 9.
Ratarata
SD
N
Perhitungan U* (CPUE) ketika keuntungan (π=0) pada
perikanan pukat cincin
Harga
ikan
(Rp.
Juta per
ton)
Biaya
eksploita
si (Rp.
Juta per
hari)
B*=
c/pq
(ton)
E* =
r/q(1B*/K)
(hari)
C*=
rB*(1B*/K)
(ton)
U*=C
*/E*
(ton
per
hari)
2,95
1,87
92000
118000
74000
0,63
1,02
88
0,86
88
B* (Biomassa) dan E* (upaya penangkapan)
U* (CPUE) pada saat π=0
Dengan mengalikan hasil tangkapan lestari (dari fungsi logistik)
dengan harga ikan diperoleh kurva sustainable revenue (TR=p*C, di
mana C adalah hasil tangkapan lestari). Demikian pula dengan
mengalikan biaya per satuan input dengan upaya penangkapan
diperoleh total biaya (TC=c*E) yang linier terhadap upaya
penangkapan. Penggabungan kurva sustainable revenue dan total
biaya tersebut dalam suatu gambar, akan diperoleh sebagaimana
diterakan pada Gambar 19. Titik perpotongan menerangkan titik
keseimbangan, di mana penerimaan total (TR) sama dengan biaya
total (TR) atau tingkat keuntungan (π)=0. Tingkat upaya penangkapan
(E*) pada posisi ini tingkat upaya penangkapan keseimbangan yang
oleh Gordon dalam Fauzi (2000) disebut sebagai bioeconomic
equilibrium of open access, di mana pada tingkat upaya penangkapan
(E*) keseimbangan tercapai sehingga entry dan exit tidak terjadi.
Pada Gambar 19 terdapat 3 titik keseimbangan, yaitu a) titik
keseimbangan berdasarkan pada Tabel 9 (U*=0,6 ton per hari), b)
perpotongan kurva sustainable revenue (TR) dengan biaya total pada
sudut 45°, terjadi pada U*=0,7 ton per hari. c) titik keseimbangan
realitis perikanan yang benar berada (U*=1 ton per hari). Kondisi
71
keseimbangan (U*=0,6 ton per hari) kemungkinan tidak pernah
tercapai, karena berdasarkan pada aktivitas penangkapan armada
pukat cincin yang cenderung menurun, terutama rata-rata trip pada
kapal dan jumlah hari operasi semakin lama. Penurunan rata-rata trip
per kapal dapat diartikan semakin banyak kapal yang tidak melaut
(hanya bertambat di pelabuhan) (Atmaja et al., 2002).
Gambar 19.
Kurva sustainable revenue dan biaya total operasional
pukat cincin.
Keterangan: a) U*=0,6 ton, b) U*=0,7 ton (sudut 45°), dan c)
U*=1 ton
Plot tumpah tindih kurva pertumbuhan bersih dan hubungan
biomassa hasil tangkapan (Gambar 20) menunjukkan titik
perpotongan antara kurva pertumbuhan bersih (a) dengan hasil
tangkapan tahun 1998 sampai dengan 1999 berada pada posisi hasil
tangkapan 99.000 ton dan biomassa 140.000 ton (35% dari biomassa
awal).
72
Gambar 20.
Plot tumpang tindih kurva pertumbuhan bersih stok (a);
hubungan antara dinamik hasil tangkapan dengan
biomassa, nilai U*=1 (b), dan hubungan antara
biomassa dengan hasil tangkapan actual (c).
Trajektori dinamik hasil tangkapan U*=0,6 ton per hari (b) dan
U*=1 ton per hari (c) (Gambar 20), dapat lihat lintasan dinamik hasil
tangkapan melingkar berbentuk spiral tertutup dan berpotongan
dengan kurva pertumbuhan bersih. Trajektori dinamis antara upaya
penangkapan dan biomassa disajikan pada Gambar 21. Dari Gambar
21 tersebut juga dapat dilihat interaksi berlawanan antara upaya
penangkapan dengan biomassa. Ketika upaya penangkapan
meningkat, biomassa mulai mengalami penurunan sampai dengan
tersisa 34% dari biomassa awal, tetapi penurunan upaya penangkapan
sangat lambat 5%, begitu juga pulih biomassa sangat lambat (4,6%).
Trend biomassa (B90-04) memperlihatkan setelah terjadi penurunan
biomassa sekitar 66% pada tahun 1998 (tahun ke-23), biomassa
cenderung pulih sangat cepat. Bagi trajektori trend biomassa (U*=1)
terus mengalami penurunan sampai dengan tahun ke-25 dan untuk
biomassa (U*=0,6) terus mengalami penurunan sampai dengan tahun
73
ke-34. Kepulihan biomassa terlihat sangat lambat, maka kenaikan
biomassa (B90-04) setelah tahun 1998 adalah bersifat semu (quasi
recovery).
Secara teoritis, peningkatan biomassa harus kapal memasuki
perikanan juga meningkat, dirangsang dengan kenaikan hasil
tangkapan per satuan upaya. Sebaliknya, rata-rata hari beroperasi
cenderung terus meningkat dan nelayan merasakan semakin sulit
menemukan gerombolan ikan.
Gambar 21.
Trajektori dinamis antara upaya penangkapan dan
biomassa.
Keterangan: E = upaya penangkapan aktual
Perkembangan rata-rata trip per kapal cenderung menurun,
tetapi jumlah hari operasi terus meningkat (Atmaja et al., 2003).
Penurunan upaya penangkapan, terutama hari operasi sulit dilakukan
karena pemilik atau nakhoda kapal lebih berorientasi terhadap
keuntungan tiap trip. Walaupun demikian, penurunan hasil tangkapan
telah menyebabkan beberapa kapal pukat cincin diubah alat tangkap
menggunakan cantrang. Dengan demikian, pada kondisi sumber daya
ikan yang semakin terbatas, maka tingkat pemanfaatan akan dibatasi
74
oleh tingkat keuntungan. Apabila biaya eksploitasi dan beban biaya
kerja yang harus ditanggung lebih besar daripada nilai hasil
tangkapan, maka beberapa pengusaha akan keluar dari usaha
penangkapan atau untuk sementara kapal berhenti beroperasi.
Selanjutnya, untuk menganalisis interaksi biomassa dengan
upaya penangkapan dilakukan melalui pendekatan model Willen’s
open access dynamic. Dengan asumsi, bahwa alat tangkap pukat
cincin adalah standar dengan kemampuan daya tangkap (koefisien q)
yang konstan dan CPUE adalah indeks kelimpahan stok ikan di alam.
CPUE proporsional dengan biomassa (C=qEB atau C/E=qB), maka
penurunan CPUE mengindikasikan juga penurunan biomassa. Dengan
demikian, kenaikan biomassa sejak tahun 1998 dikoreksi dengan
F=qE dan B=C/F. Selanjutnya, upaya penangkapan diboboti dengan
koefisien q dari hasil analisis produksi surplus, yaitu E=F/q.
Kondisi stabilitas terjadi pada perpotongan kurva yang besifat
linear (isocline ∂B/∂t=0) dengan garis isocline ∂E/∂t=0. Perpotongan
ke-2 garis tersebut pada titik F menunjukkan tidak akan ada kapal
masuk atau keluar dari usaha perikanan (Gambar 22). Pada Gambar
tersebut menerangkan ada respon yang berlawanan antara upaya
penangkapan (input) dan kontraksi sumber daya ikan. Pada kondisi
ekspansi upaya penanngkapan setelah mencapai titik keseimbangan,
maka akan terjadi kontraksi dari sumber daya ikan yang cenderung
menurun. Pergerakkan dari variabel biomassa dan upaya penangkapan
dibagi menjadi 4 kuadran, yaitu 1) kuadran I, apabila jika upaya
penangkapan naik, maka biomassa akan biomassa akan menurun
(anak panah horisontal bergerak ke sebelah kiri). 2) kuadran II,
apabila
biomassa<biomasa
pada
titik
F
dan
upaya
penangkapan>upaya penangkapan pada titik F, maka stok tidak
menguntungkan untuk diusahakan, dengan demikian akan terjadi
armada keluar dari usaha perikanan. Penurunan upaya penangkapan
(arah anak panah vertikal turun dan anak panah horisontal bergerak ke
sebelah kiri (∂E/∂t=0). Pada kondisi stok ikan telah mengalami
overfishing,
maka
penurunan
upaya
penangkapan
tidak
memungkinkan stok untuk pulih. 3) kuadran III, penurunan upaya
75
penangkapan menyebabkan biomassa akan meningkat kembali. 4)
kuadran IV, kenaikan upaya penangkapan tidak akan menyebabkan
menurunkan biomassa, karena pada kondisi hasil tangkapan di bawah
laju pertumbuhan bersih (anak panah horisontal di bawah garis
(∂B/∂t=0) bergerak ke sebelah kanan).
Gambar 22.
Isocline Biomassa dan upaya penangkapan dalam
kondisi keseimbangan.
Dari uraian di atas dan situasi perikanan pukat cincin semi
industri sudah berada di posisi kuadran II. Penurunan upaya
penangkapan pada tahun 2000 sampai dengan 2001 dan biomassa
mulai sedikit pulih, kembali ekspansi terjadi. Dengan membiarkan
perikanan dalam kondisi upaya penangkapan saat ini dan peningkatan
efisiensi penangkapan melalui modernisasi teknologi penangkapan
dalam bentuk peralatan bantu penangkapan lampu sorot, GPS, dan
echosounder, sulit meningkatan hasil tangkapan dalam jangka pendek.
Bagaimanapun perikanan pelagis kecil di Laut Jawa telah mengalami
76
kelebihan kapasitas penangkapan dan kondisi stok ikan pelagis telah
menurun drastis. Hal ini, berarti bahwa kebijakan pengurangan
kapasitas segera dilakukan oleh otoritas perikanan.
7. SITUASI USAHA PERIKANAN PUKAT CINCIN
7.1. Kapasitas dan Produksi
Pengamatan hubungan antara kapasitas penangkapan pukat
cincin berdasarkan pada dokumen perizinan (Surat Izin Penangkapan
Ikan) tahun 2004 dengan hasil tangkapan tertinggi per trip untuk
setiap kapal yang pernah tercatat di tempat pendaratan ikan
Pekalongan. Plot rata-rata GT dan NT dengan hasil tangkapan
tertinggi (Gambar 23) memberi pentunjuk bahwa sebagian besar daya
tampung kapal lebih besar daripada yang tercatat dalam dukomen. Hal
ini, mengindikasikan bahwa kapasitas kapal belum penuh dapat
terkontrol dengan baik. Kecenderungan pengekecilan GT dan NT
kapal diduga untuk menghindari pungutan hasil perikanan sesuai
ketentuan yang ditetapkan. GT dan NT kapal tersebut lebih
menggambarkan kondisi perikanan benar, di mana rata-rata hasil
tangkapan jauh di bawah daya tampung kapal (Tabel 11 dan Gambar
25). Penelitian sebelum volume kapasitas palka dihitung berdasarkan
pada jumlah basket ikan diperkirakan rata-rata volume kapasitas palka
60 ton ikan dan produktivitas kapal pukat cincin hanya sekitar separuh
kapasitas palka. Rendah produktivitas disebabkan terlalu padat pukat
cincin di suatu daerah penangkapan, beroperasi secara berkelompok
mencapai lebih dari 50 kapal di sekitar perairan pulau-pulau yang
berada di Laut Jawa dan Selat Makassar (Atmaja, 2002).
Gambar 23.
Hubungan GT dengan NT kapal pukat cincin (a) dan
Hasil tangkapan tertinggi dengan rata-rata GT dan NT
(b).
77
Nelayan merasakan bahwa semakin sulit menemukan
gerombolan ikan. Gerombolan ikan berada di suatu daerah
penangkapan hanya dalam waktu singkat, sehingga nelayan sering
berpindah-pindah daerah penangkapan atau harus tinggal laut selama
40 sampai dengan 60 hari. Atmaja & Nugroho, 2005 mengatakan
bahwa biomassa ikan pelagis kecil telah menyusut mencapai 66%,
biomassa ikan layang (D. macrosoma dan D. russelli) menurun
sampai dengan 75% dari biomassa awal (Atmaja, 2006).
Kasus keluar pengusaha dari usaha penangkapan akibat
penurunan keuntungan terjadi pada kelompok usaha perikanan Margo.
Kelompok ini adalah pelopor penggunaan alat bantu pengumpul ikan
berupa lampu sorot (cahaya) di atas 20.000 watt dengan menggunakan
kapasitas kapal yang lebih besar yaitu ukuran kapal>100 GT dan
kekuatan mesin>300 PK. Pada awal keberhasilan berkompetisi
penggunaan lampu sorot dan ditunjang dengan kemampuan kapal
untuk memperluas dan mencari daerah penangkapan baru adalah
faktor utama kesuksesan usaha perikanan kelompok Margo. Pada
tahun 1997 atau 1998 jumlah kapal kelompok Margo yang aktif 22
kapal, tahun 2002 jumlah kapal menurun menjadi 17 kapal yang aktif,
tahun 2003 hanya 10 kapal yang aktif dengan rata-rata 5,1 trip per
kapal dan selama tahun 2004 jumlah kapal yang aktif hanya tersisa 6
kapal dengan rata-rata 3 trip per kapal (Tabel 10).
Konsekuensi logis, pada perikanan akses terbuka dan eksploitasi
tidak terkendali, maka keseimbangan dari biaya operasional dan
pendapatan (tingkat keuntungan) sebagai kontrol upaya penangkapan.
Setiap individu atau pengusaha mengambil keputusan keuntungan
jangka pendek dibandingkan dengan jangka menengah dan panjang.
Akan keluar dari usaha penangkapan pada saat biaya eksploitasi dan
beban biaya kerja yang harus ditanggung semakin besar. Dengan kata
lain, kenaikan biaya eksploitasi dapat dijadikan sebagai kontrol atau
pembatasan upaya penangkapan. Hilborn & Walters (1992)
mengelompokkan alasan kapal keluar dari perikanan menjadi 4, yaitu
tenggelam (kecelakaan), penyusutan, pindah ke perikanan lain dengan
78
beberapa modifikasi alat tangkap, kapal bertambat karena jika
melakukan penangkapan tidak menguntungkan.
Tabel 10.
Aktivitas kapal Margo, rata-rata hasil tangkapan per
trip dan nilai produksi selama tahun 2002 sampai
dengan 2004
Jumlah kapal
Trip per kapal
Rata-rata hasil tangkapan (ton)
Rata-rata nilai produksi (Rp. juta)
2002
17
6,4
20,5
63,8
2003
10
5,1
19,4
65,4
2004*
6
3
38,2
97,7
Keterangan: * hanya beroperasi pada bulan September sampai dengan Januari.
Sumber: Buku mingguan PPI JUWANA
7.2. Pendapatan Anak Buah Kapal Pukat Cincin
Kelangsungan usaha perikanan pukat cincin selama ini sangat
didukung oleh sistem bagi hasil. Pada dasarnya, pola bagi hasil yang
terapkan, yaitu juragan sebagai pemilik alat produksi, anak buah kapal
(nelayan) sebagai tenaga kerja tanpa upah tetap. Pendapatan nelayan
sangat tergantung dari nilai hasil tangkapan, jika hasil tangkapan lebih
rendah dari biaya operasional, maka kerugian tersebut ditanggung
oleh nelayan, artinya anak buah kapal tetap mempunyai kewajiban
untuk membayar biaya operasional melalui pemotongan dari nilai
hasil tangkapan selanjutnya.
Tabel 11.
Rata-rata hasil tangkapan, nilai produksi, dan biaya
eksploitasi tahun 2004 dari 88 kapal pukat cincin
Rata-rata
Simpangan baku
Hasil
tangkapan
(ton)
Nilai
produksi
(Rp. juta)
36
19,2
98,3
49,2
Biaya
eksploitasi
(Rp. Juta per
trip)
53,2
8,3
79
Sistem bagi hasil yang berlaku memperlihatkan pendapatan anak
buah kapal yang diturunkan dari Tabel 11. Rincian perhitungan
sebagai berikut pengurus (5%) dan penyusutan jaring (30 sampai
dengan 35%) 29,5 sampai dengan 34,4 juta, lawuhan (2,5 sampai
dengan 3% sebagai bonus untuk nelayan) 2,5 sampai dengan 3 juta,
sisa 60,9 sampai dengan 66,3 juta dikurangi biaya eksploitasi
kemudian dibagi 2. Dengan biaya eksploitasi 53,2 juta, maka anak
buah kapal akan memperoleh bagian antara 3,85 sampai dengan 6,55
juta ditambah lawuhan. Jika jumlah anak buah kapal 30 sampai
dengan 35 orang, maka nelayan akan memperoleh bagian sekitar
200.000 sampai dengan 300.000. Pendapatan anak buah kapal relatif
kecil dibandingkan harus tinggal di laut selama 40 sampai dengan 60
hari. Pendapatan anak buah kapal mungkin lebih kecil daripada
bantuan subsidi bahan bakar minyak bagi rakyat miskin (Rp. 100.000
per bulan). Satria (2001) mencatat bahwa kelembagaan sistem bagi
hasil yang bersifat praktek eksploitasi buruh, penetapan biaya
penyusutan jaring 30 sampai dengan 35%, perbaikan mesin dan alatalat lain dibebankan kepada biaya pembekalan, dan besar biaya
opersional tidak pernah terbuka. Juru mudi sebagai wakil anak buah
kapal harus percaya dengan perhitungan juragan.
Gambar 24.
Hubungan hasil tangkapan dengan nilai produksi per
trip pada tahun 2004 dengan rata-rata 31,4 ton dan nilai
produksi Rp.90,7 juta.
80
Pada Gambar 24 menunjukkan slope adalah rasio nilai produksi
hasil tangkapan, dan rata-rata hasil tangkapan 31,4 ton trip per kapal,
serta penyebaran nilai produksi. Dari pola penyebaran nilai produksi
menunjukkan bahwa sekitar 25% trip kapal pukat cincin dalam
kondisi merugi, sekitar 35% kapal pukat cincin memperoleh nilai
produksi kurang dari Rp.100 juta per trip dan hanya memberikan
pendapatan kepada anak buah kapal kurang Rp.300.000. Pendapatan
anak buah kapal per trip memcapai lebih Rp.500.000 hanya sekitar
25%. Dari situasi ini dapat diperkirakan 75% kapal pukat cincin tidak
dapat melakukan aktivitas penangkapan akibat kebijakan pengurangan
subsidi bahan bakar minyak.
Dari sudut pandang pengelolaan perikanan, pengurangan subsidi
bahan bakar minyak membantu berkurang tekanan penangkapan dan
memberi peluang sumber daya ikan pulih kembali. Namun demikian,
rasionalisasi upaya penangkapan tersebut akan membawa konsekuensi
sosial ekonomi yakni bagaimana memindahkan sejumlah besar anak
buah kapal pukat cincin dan berimbas merosot aktivitas tempat
pelelangan ikan akibat berkurang hasil tangkapan ikan yang di
daratkan, sementara alternatif perkerjaan lain di luar sektor perikanan
sangat sulit.
8. IMPLIKASI PENGELOLAAN
Masalah utama pada perikanan tangkap di Laut Jawa, yaitu 1)
hampir sebagian besar usaha perikanan tangkap di Indonesia
mempunyai karakteristik akses terbuka tanpa pembatasan upaya
penangkapan, kompetisi bebas terjadi antara perikanan skala besar dan
kecil. 2) kondisi sumber daya laut, pesisir dan ekosistem di Laut Jawa
telah mengalami kerusakkan pada sebagian besar sumber daya hayati.
Penurunan kualitas lingkungan dari sebagian ekosistem yang ada
akibat perairan pesisir merupakan lokasi pusat-pusat penampungan air
limbah (dumping area) (pencemaran secara fisik, kimia, dan biologi)
dari aktivitas daerah hulu dan laut. Pada dasarnya, penurunan kualitas
lingkungan mempengaruhi terhadap menurun produktivitas perairan
81
sehingga akan mengurangi pertumbuhan ikan dan akhir akan
menyebabkan produksi turun drastis. Oleh karena itu, kelangsungan
dan produktivitas sumber daya perikanan laut dipengaruhi tidak hanya
oleh tekanan penangkapan, tetapi juga oleh kualitas lingkungan. 3)
pembangunan sub sektor perikanan lebih ditujukan tercapai
peningkatan produktivitas dan pendapatan nelayan.
Dengan kerangka pengelolaan hanya mengacu pada kriteria
angka potensi dan (maximum sustainable yield), mengabaikan laju
pertumbuhan stok ikan, dan variabilitas lingkungan global terhadap
sumber daya perikanan serta dinamika perikanan yang terjadi.
Instrumen pengelolaan melalui konvensional input control upaya
penangkapan dan ukuran mata jaring (mechanical selection), tidak
termasuk pembatasan berusaha (limited entry), yaitu membatasi
jumlah modal, tenaga kerja, dan taktik penangkapan, maka wajar
terjadi miss management.
Perikanan pelagis kecil di Laut Jawa telah dihadapkan pada
masalah kelebihan kapasitas penangkapan dan dinamika alokasi upaya
penangkapan. Armada perikanan pukat cincin telah berkembang
kapasitas dan ekspansi penangkapan, yaitu ukuran kapal, kekuatan
mesin, perluasan daerah penangkapan, dan individu kapal menjadi
lebih efisien dengan perubahan taktik penangkapan dari penggunaan
rumpon menjadi lampu sorot sebagai alat bantu pengumpul ikan.
Sejak tahun 1997, sebagian besar pukat cincin mini di Rembang
telah berubah taktik penangkapan dari penggunaan lampu petromak
(bangkrak) ke lampu sorot (merkuri dan halogen). Sekarang pukat
cincin mini telah menggunakan lampu sorot sekitar 7 sampai dengan 22
buah. Dari dokumen perizinan (Surat Izin Penangkapan Ikan) pada
perikanan pukat cincin skala besar (semi industri) dapat beroperasi di
tiga (wilayah pengelolaan perikanan), yaitu Laut Jawa, perairan Laut
Natuna dan Selat Karimata, serta Selat Makassar.
Kelebihan kapasitas penangkapan armada pukat cincin perlu
diangkat menjadi isu dan pokok permasalahan serius bagi otoritas
82
perikanan. Penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management)
melalui pengendalian kegiatan penangkapan pada daerah padat
tangkap, pemulihan produktivitas sumber daya ikan dan pengendalian
pemanfaatan lingkungan sumber daya ikan.
FAO merekomendasikan bahwa tiap negara harus mencegah
overfishing dan overfishing capacity, serta harus melaksanakan
langkah pengelolaan untuk menjamin bahwa upaya penangkapan
adalah sepadan dengan kapasitas produksi sumber daya perikanan dan
pemanfaatan lestari. International Plant of Action untuk pengelolaan
fishing capacity telah menguraikan kerangka kerja dari Code of
Conduct sebagai suatu elemen konservasi pengelolaan dan
pengelolaan yang berkelanjutan (sustainable) (Kirkley et al., 2002;
Joseph, 2003).
Gambar 25.
Hubungan antara pendugaan stok
pengelolaan, strategi, dan regulasi.
ikan,
tujuan
Pendugaan stok perikanan dan manajemen merupakan pekerjaan
yang sangat sulit. Hubungan antara pendugaan stok, tujuan
pengelolaan, strategi, dan regulasi diungkapkan oleh King (1998)
yang diterakan pada Gambar 25. Dalam kajian stok ikan akan
menghadapi besaran nilai stok ikan yang bersifat dinamis. Salah satu
tujuan pengkajian stok ikan adalah bagaimana otoritas perikanan dapat
menentukan dan mempertimbangkan pengelolaan perikanan (fisheries
management) berdasarkan pada masukan informasi biologi, ekonomi,
83
dan lingkungan. Kisaran strategi pengelolaan yang dapat diterima dan
dipertimbangkan oleh berbagai pihak (pengguna). Sejauhmana reaksi
nelayan dapat diperhitungkan dan diramalkan untuk tercapai tujuan
pengelolaan perikanan, serta memperhitungan tekanan pihak luar yang
akan mempengaruhi pengelolaan perikanan di masa mendatang.
Hilborn & Walters (1992) membagi menjadi 4 bagian isu
berbeda bagi pengelolaan dan pendugaan stok, yaitu daerah A adalah
perikanan baru dimulai, jumlah kapal sedikit dan ukuran kecil, stok
sangat besar dan tidak tersentuh. Daerah B, perikanan matang di mana
eksploitasi penuh, jumlah upaya penangkapan dekat nilai optimal atau
terlalu berlebihan, maka jangka panjang keadaan perikanan melewati
lebih tangkap. Daerah C, perikanan telah lebih tangkap yang runtuh,
besaran stok telah menurun di bawah optimum, nelayan banyak
merugi, kebanyakan perikanan tidak pernah mencapai kondisi ini.
Daerah D, periode pemulihan setelah lebih tangkap dan runtuh
(collapse), banyak nelayan telah meninggalkan perikanan dan stok
pulih secara bertahap. Smith (1969) diacu dalam Clark (1985)
berasumsi, bahwa jangka panjang tingkat eksploitasi sejalan dengan
keuntungan. Model dinamika dari perikanan akses terbuka dengan
asumsi, bahwa upaya penangkapan (E) mewakili jumlah kapal pada
perikanan. Jika keuntungan (π)>0, E akan cenderung meningkat dan
sebaliknya. Conrad & Clark (1987) mengatakan bahwa nelayan masuk
keluar perikanan berdasarkan pada apakah pendapatan bersih positif
atau negatif, lebih lanjut mengasumsikan bahwa nelayan masuk
perikanan berdasarkan pada myopic decision rule atau rational
expectation.
84
Gambar 26.
Empat bagian isu berbeda bagi pengelolaan dan
pendugaan stok ikan menurut Hilborn & Walters
(1992).
Selama ini, kontrol input effort pada perikanan pukat cincin
dilakukan langsung oleh nelayan dan individu pemilik kapal. Secara
alamiah, nelayan akan merespon penurunan stok ikan dengan
merekayasa peningkatan kemampuan tangkap kapal, ukuran kapasitas
kapal, jaring, dan taktik penangkapan (peningkatkan kemampuan
tangkap dengan perlengkapan teknologi yang lebih maju). Dengan
demikian, upaya penangkapan bergerak mengikuti perubahanperubahan yang terjadi pada sumber daya dan faktor eksternal lain.
Pada tingkat biomassa tidak dapat mendukung pada tingkat upaya
penangkapan yang sedang berjalan, maka upaya penangkapan akan
berkurang secara alami.
Perikanan dinamis dikelola untuk keuntungan manusia, tentu
beberapa ikan dilindungi untuk alasan konservasi dan menjamin
kelangsungan perikanan itu sendiri melalui perlindungan sebagian
stok induk pemijah. Eksploitasi sumber daya ikan pada saat sekarang,
85
tanpa merusak atau mengurangi terhadap kemampuan generasi
mendatang memenuhi kebutuhan.
Dalam usaha menjaga kelestarian sumber daya ikan dikenal
dengan tindakan pengelolaan, seperti kuota, pengaturan ukuran mata
jaring, penutupan daerah pemijahan, dan musim, bertujuan untuk
menjamin sebagian sediaan menjadi induk ikan dan menjaga sediaan
induk dari eksploitasi.
Berdasarkan pada hasil penelitian aspek reproduksi dan struktur
populasi dari 5 spesies ikan pelagis kecil (D. macrosoma, D. russelli,
R. kanagurta, A. Sirm, dan S. crumenophthalmus) dan rata-rata ukuran
ikan. Sebagian besar ikan yang tertangkap belum matang seksual dan
tingkat pemulihan (recovery stage). Dengan demikian, pendekatan
memelihara stok induk ikan (spawning stock) melalui larangan
penangkapan atau perlindungan ikan yang akan bertelor, yaitu
termasuk pembatasan upaya penangkapan untuk mengurangi
mortalitas penangkapan (F), atau penetapan penutupan daerah dan
musim penangkapan belum mempunyai alasan kuat. Pemikiran
tentang ikan diberi kesempatan bertelor paling sedikit 1 kali selama
hidup, secara harfiah akan melarang seluruh usaha perikanan tangkap.
Pendekatan selektivitas melalui regulasi ukuran mata jaring
(mechanical selection) tidak akan efektif, harus melalui operasi
penangkapan (ruang dan waktu daerah penangkapan, serta konsentrasi
ikan-ikan ukuran fingerlings). Kemunculan ikan muda (fingerlings)
dan rata–rata ukuran ikan yang tertangkap oleh perikanan pukat cincin
mempunyai perbedaan tingkah laku pada daur hidup ikan, di mana ada
pemisahan secara geografis antara daerah pemijahan, asuhan, dan stok
ikan yang dapat dieksploitasi (behaviour selection).
Pada dasarnya, nelayan telah mengetahui dengan baik daerah
penangkapan yang menguntungkan dan komposisi jenis ikan menurut
daerah penangkapan dan musim. Memilih dalam kisaran sempit dari
spesies dan ukuran ikan (human selection). Penyusutan biomassa
mendorong nelayan mencari daerah penangkapan baru.
86
Pengusaha atau nelayan kapal pukat cincin tanpa disadari telah
mengatur upaya penangkapan sendiri, tekanan penangkapan terhadap
sumber daya ikan pelagis di Laut Jawa berkurang dengan beralih
daerah penangkapan ke bagian timur Laut Jawa (termasuk Selat
Makassar) dan bagian selatan Laut Cina Selatan. Akhir-akhir ini,
ekspansi dengan memindahkan fishing base dari Pekalongan ke
Bitung dimaksudkan untuk dapat mengeksploitasi sumber daya laut
dalam di Teluk Tomini, Laut Sulawesi, dan Laut Maluku, dengan cara
menambah penggunaan lampu di bawah air (under water lamp) dan
modifikasi ukuran kedalaman jaring.
Suatu tinjauan ke masa depan, pembatasan upaya penangkapan
bertujuan untuk melindungi kelangsungan usaha perikanan tradisional
sebagai padat tenaga kerja. Selama ini, perluasan daerah penangkapan
kurang memperhatikan armada pukat cincin mini dan alat tradisional
lain yang beroperasi di perairan pesisir pantai utara Pulau Jawa,
Kalimatan Selatan, dan pulau–pulau yang berada di Laut Jawa.
Perspektif pengelolaan perikanan (fisheries management) adalah
pembatasan kuota hasil tangkapan dan upaya penangkapan dapat
mengurangi lebih tangkap (over exploitation), tetapi regulasi pada
perikanan pukat cincin juga harus memperhitungan kenyataan
perikanan saat ini seperti a) rata-rata hasil tangkapan jauh lebih rendah
dari kapasitas kapal. b) pengurangan subsidi bahan bakar minyak
berpengaruh
langsung
terhadap
aktivitas
perikanan.
c)
ketidakberdayaan nelayan keluar dari usaha perikanan akibat kesulitan
alternatif perkerjaan lain. Rasionalisasi upaya penangkapan akibat
semakin terbatas stok ikan pelagis kecil dan kenaikan biaya
operasional menimbulkan konsekuensi sosial ekonomi, bagaimana
memindahkan sejumlah besar anak buah kapal. Solusi jangka pendek
melalui regulasi tidak harus membekukan upaya penangkapan dan
jumlah kapal yang ada, tetapi membatasi akses kapal baru. Jangka
panjang melalui regulasi mengenai peningkatan taktik penangkapan
dan mengontrol penggunaan jumlah lampu sorot.
87
Regulasi pembatasan daya lampu sorot untuk mengurangi
persaingan dan konflik dengan alat tangkap, selain itu kita pikirkan
hak penggunaan wilayah (territorial use right in fisheries) sebagai
salah satu elemen pengelolaan. Isu-isu yang berkaitan dengan
kapasitas penangkapan lebih menjadi perhatian dalam pengelolaan
sumber daya ikan yang berkelanjutan. Pada dasarnya, pengelolaan
perikanan dapat terwujud hanya apabila pemborosan terhadap sumber
daya ikan dapat berkurang. Namun demikian, kesulitan–kesulitan
praktis yang dihadapi dalam rencana pengelolaan perikanan di
Indonesia khusus di Laut Jawa tidak dapat dianggap remeh, karena
daerah geografis yang cukup luas untuk melaksanakan peraturan
pengelolaan, kebanyakan nelayan tidak mempunyai sumber
pendapatan alternatif, sehingga keikutsetaan tenaga kerja yang masuk
akan terus meningkat akibat pertambahan penduduk dan Pemerintah
Daerah akan memaksimumkan kesempatan kerja bagi penduduknya.
Selain itu, pengambilan keputusan pada perikanan skala besar yang
terpusat dan belum terkoordinasi dengan baik sehingga mempersulit
dibentuk kekuatan lokal yang dibutuhkan untuk program pengelolaan
sumber daya ikan.
AFTAR PUSTAKA
Atmaja, S. B. 1988. Estimation of growth and mortality of round scad
(Decapterus macrosoma) in the Java Sea in contribution to
tropical fisheries biology: Paper by participant of FAO/Danida
Follow up Training Course (Venema, S. J. M. Christensen and D.
Pauly (eds). FAO Fish. Report (389): 324–345.
-----. 1999. Variasi geografis hasil tangkapan ikan layang (Decapterus
spp.) di perairan bagian selatan Paparan Sunda. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. Vol.V (3): 63–71.
-----.2002. Pengamatan hasil tangkapan pukat cincin pada taktik
penangkapan dengan cahaya sebagai alat bantu utama. Laporan
Praktikum Mata Kuliah Tingkah Laku Ikan. Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. 10 p.
88
-----.2002. Dinamika perikanan purse seine di Laut Jawa dan
sekitarnya. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
63 p.
------.2003. Pendugaan hasil tangkapan lestari dan tingkat eksploitasi
ikan pelagis di Laut Jawa dan sekitarnya. Makalah disajikan pada
Seminar Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional VIII. Tanggal 9
sampai dengan 11 September 2003.
Atmaja, S. B. & B. Sadhotomo. 1985. Aspek operasional kapal pukat
cincin di Laut Jawa. Laporan Penelitian Perikanan Laut. 32: 6571.
-----.1993. Beberapa catatan tentang fekunditas relatif ikan japuh
(Dusumeria acuta), tanjan (Sardinella gibbosa), dan banyar
(Rastrelliger kanagurta). Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 73:
97–102.
-----. 2000. Variasi geografis hasil tangkapan pukat cincin di bagian
selatan Paparan Sunda. Prosiding Seminar Keanekaragaman
Hayati Ikan. Pusat Studi Ilmu Hayati Institut Pertanian BogorPusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.. 221-218.
-----. 2005. Prediction of biomass of Spotted sardine (Amblygaster
Sirm) in the Java Sea.
Atmaja, S. B. & J. M. Ecoutin. 1995. Mini purse seine fisheries in
north coast of Java waters. Paper presented at the Fourth Asian
Fisheries Forum. Beijing. 16 until 20 October.
Atmaja, S. B. & D. Nugroho. 1995. Aspek reproduksi ikan layang
deles (Decapterus macrosoma) dan siro (Amblygaster sirm)
sebagai pertimbangan dalam pengelolaannya di Laut Jawa. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. Vol.I (3): 1-10.
89
-----. 2006. Standardisasi kemampuan tangkap (koefisien q) pukat
cincin di Laut Jawa dan sekitarnya.
Atmaja, S. B., B. Sadhotomo, & R. Rustam. 1982. Gonad indeks dan
perbandingan kelamin ikan layang (Decapterus maruadsi,
Termmick dan Schlegel) di Laut Ara-furu. Laporan Penelitian
Perikanan Laut. 24: 1-9.
Atmaja, S. B., B. Sadhotomo, & Suwarso. 1995. Reproduction of
main small pelagic species in Java Sea. In Potier & S. Nurhakim
(eds): Biodynex. Seminar Biology, Dynamics, and Exploitation of
small pelagic in Java Sea. Jakarta, 21 until 25 March 1994.
AARD/EEC/ORSTOM. 69-84.
Bailey K. M. & E. D. Houde. 1978. Predator on eggs and larvae of
marine fishes and the recruitment problem In Blaxter. J. H. S. &
A. J.Southward (eds): Marine biology. Academic Press. London.
Vol.25. 2–82.
Bal, D. V. & K. V. Rao. 1984. Marine fisheries. Tata Mcgraw-Hill
Pub. Com. Lim. New Delhi. 455 p.
Baskoro, M. S. 1999. Capture process of the floated bamboo platform
Liftnet with ligth attraction (Bagan). Doctoral Course of Marine
Science and Technology. Graduate School of Fisheries Tokyo
University of Fisheries.
Belvere, H. & K. Erzini. 1983. The influence of hydroclimatic factors
on the availability of the sardine (Sardina pilchardus Walbaum) in
the Maroccan Atlantic fishery. In G. D. Shap & J. Crisrke (eds.).
Proceedings of the expert consultation to examine changes of
abundance and species composition of neritic fish resources. FAO
Fish REP. 2 (291): 285–238.
Burczynski, J. J., P. H. Michaeltz, & G. M. Marrone. 1987.
Hydroacoustic assessment of the abudance and distribution of
90
rainbow smelt in Lake Oake. North American Journal Fisheries
Management. (7): 106-116.
Caddy, J. F. & R. Mcgarney. 1996. Targets or limits for management
of fisheries. North American Journal Fisheries Management.
American Fisheries Society. Vol.16. (3): 479-487.
Charles, T. A. 2001. Sustainable fishery systems. Blackwell Science
Ltd. London. 370 p.
Christy, Jr. F. T. 1987. Experience in dealing with problem of excess
fishing effort and conflict. Paper presented at the symposium on
the exploitation and management of marine fishery resources in
the Southeast Asia. IPFC. RAPA. FAO-UN. Bangkok. 324–350.
Clark, C.W. 1985. Bioeconomic modeling and fisheries management.
John Wiley & Sons. New York. 300 p.
Clarke, R. P., S.S. Yoshimoto, & S. G. Pooley. 1992. A bioeconomic
analysis of the North-Western Hawaiian Islands. Lobster Fishery.
Marine Resources Economics. 7(2): 115-140.
Clucas, I. J. & P. J. A. Reilly. 1992. Small pelagics post harvest.
Landell Mills Limited. Fourth Tech. Report o4/92.
ALA/INS/87/17. Rep. Mission. 51 p.
Clucas I. J. & J. Basmal. 1998. The processing, distribution, and
marketing of small pelagic from three fishing pots in Central Java.
In Roch, J., S. Nurhakim, J. Widodo, & A. Purnomo (eds): Seminar
Sosekima. Proceedings of socio economics, innovation, and
management of the Java Sea pelagic fisheries. Bandungan. 4 until 7
December 1995. AARD/EEC/ORSTOM. 181–190.
Collier, W. L. 1981. Budi daya ikan dan perikanan rakyat. Dalam
Marahudin & I. R. Smith (eds): Ekonomi Perikanan. Yayasan
Obor Indonesia dan PT. Gramedia. Jakarta. 281–307
91
Conrad, J. M. & C. W. Clark. 1987. Natural resource economics.
Cambridge University Press. New York. 231 p.
Cotel P. & D. Petit. 1997. Target strength measurements on three
pelagic fishes from the Java Sea. In Petit, D., P. Cotel, & D.
Nugroho
(eds).
Proceeding
of
acusticans
2).
AARD/EEC/ORSTOM. Bandungan, May 27 until 29, 1996. 109117.
de Jong, J. K. 1940. A preliminary investigation of the spawning
habits of the fishes of the Java Sea Treubia. 17: 307-330.
Delsman, H. C. 1926. Fish eggs and larvae from the Java Sea 5.
Caranx kurra, C. macrosoma, and C. crumenophthalmus. Treubia.
8 (3, 4), 199-211.
Djamali, A. 1977. Penelaahan beberapa aspek biologi ikan kembung
laki, Rastrellliger kanagurta (Cuvier) dari perairan sekitar Pulau
Panggang-Pulau Seribu. Oseanologi di Indonesia. 8: 1-10.
Durand, J. R. & J. Widodo. 1997. Final report java sea pelagic fishery
assessment project (ALA/INS/87/17). AARD/EEC/ORSTOM.
Sci. and Tech. Doc. No.26. 76 p.
Dwiponggo, A. 1983. Pengkajian sumber daya perikanan laut di Laut
Jawa. Laporan Penelitian Perikanan Laut. No.28: 13-33.
Fauzi, A. 1999. An econometric analysis of the surplus production
model and its application for Tropical Fisheries. Working paper.
Institute Fisheries Analysis. Simon Fraser University. British
Columbia. Canada. 19 p.
Fauzi, A. 2000. Teori ekonomi sumber daya perikanan. Paper dari
bagian ekonomi sumber daya alam. Institut Pertanian Bogor.
92
Fauzi, A. & Anna, S. 2005. Permodelan sumber daya perikanan dan
kelautan untuk analisis kebijakan. Gramedia. Jakarta. 335 p.
Garcia, S. 1986. Seasonal trawling bans can be very successfulin
heavily overfishing area: the Cyprus Effect. Fishbyte. Vol.4 (1): 712.
Gloerfelt-Tarp, T. dan P.J. Koilola. 1982. Trawled fishes of southern
Indonesia and North-western Australia. ADAB (Australia), DGF
(Indonesia) and GTZ (German). 384 p
Gulland, J. A. 1991. Fish stock assessment. A manual of Basic
Metodes. John Wiley & Sons. Chichester-New York-BrisbaneToronto-Singapore. 223 p.
Hardenberg, J. D. F. 1938. Theory on the migration of layang
(Decapterus spp.) in the Java Sea. Med. Inst. Zeevisscherij.
Batavia. 124-131.
Hilborn, R. & C. J. Walters. 1992. Quantitative fisheries stock
assessment: Choice, dynamics, and uncertainty. Chapman and
Hall. New York. London. 570 p.
Hermawan M., Samo Kh. & Nainggolan C. 1998. Target strength
measurement of round scad (Decapterus maruadsi) caught in
Terengganu waters by using spit beam tranducer DT 600. Octopus
Vol.2 (2): 131-135.
Iles, T. D. 1984. Allocation of resources to gonad and soma in
Atlantic Herring, Clupea harengus L. In Potts, G. W. & R. J.
Wooton (eds): Fish reproduction, strategies, and tactics. Academic
Press. London. 322–347.
Joseph, J. 2003. Managing fishing capacity of the world tuna fleet
(abstract and executive summary). SCTB16 Working paper. 16th
Meeting of Standing Committee on Tuna and Billfish. 7 pp.
93
King, M. 1998. Fisheries biology, assessment, and management.
Fishing New Books. England. 338 p.
Kirkley, J., Catherine J. M. P., & Squires D. 2002. Capacity and
capacity untilization in fishing industries: definition,
measurement, and a comparation of approaches. Verginia Institute
of Marine Sciences, College of William and Mary Gloucester
Point. Virginia. USA. 41 p.
Laevastu, T. 1993. Marine climate weathers and fisheries. Fishing
New Books. England. 205 p.
Laevastu, T. & F. Favorite. 1988. Fishing and stock fluctuation.
Fishing New Books. England. 239 p.
Laroche, J. L. & S. Richardson. 1980. Reproduction of Nothern
Anchovy, Engraulis mordax off Oregon, and Washington. Fish.
Bull. U. S. Vol.78 (3): 603–618.
Longhust, A. R. & D. Pauly. 19987. Ecology of tropical oceans.
Academic Press Inc. New York. 407 p.
Lazarus, S. 1990. Studied on the spawning biology of the trenched
sardine, Sardinella sirm (Walbaum) from Vizhimjam. South-West
coast of India. Indian Journal Fisheries. 37 (4): 335-346.
Martosubroto, P. 1982. Fishery dynamics of the demersal resources of
the Java Sea. Phd. Dessertation, Dalhousie University. Canada.
238 p.
McElroy, J. K., J. Rogers, & C. Tample. 1991. Proposed project
programme incorporating report of field visit to project area. First
technical report of 01/91. Landell Mills Limited. ALA/INS/87/17.
42 p.
94
Morse, W. W. 1980. Spawning and fecundity of Atlantic Mackerel,
Scomber scombrus in the Middle Atlantic Bright. Fish. Bull. U. S.
Vol.78 (1): 103-108.
Nagasaki, F. & S. Chicuni. 1989. Management of multispecies
resources and multigear fisheries. Fisheries Technical Paper 305.
FAO. United Nations Rome. 68 p.
Nugroho, D., B. Pasaribu, & V. P. Siregar. 2003. Studi tentang stok
ikan di bagian timur Laut Jawa berdasarkan deteksi akustik
kelautan. Seminar Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
12 p.
Nurhakim, S. 1995. Population dynamics of ikan banyar. In Potier and
S. Nurhakim (eds): Biodynex. Seminar Biology, Dynamics, and
Exploitation of small pelagic in Java Sea. Jakarta, 21 until 25
March 1994. AARD/EEC/ORSTOM. 109-123.
Nurhakim, S., B. Sadhotomo, & M. Potier. 1995. Composite model on
small pelagic resources. In Potier & S. Nurhakim (eds): Biodynex.
Seminar Biology, Dynamics, and Exploitation of small pelagic in
Java
Sea.
Jakarta,
21
until
25
March
1994.
AARD/EEC/ORSTOM. 145-153.
Nybakken, J. M. 1988. Biologi laut, suatu pendekatan ekologis. Alih
bahasa H. M. Eidman, Koesbiono, D. G. Bengen, M. Hutomo, &
S. Sukardjo. PT. Gramedia. Jakarta. 459 p.
Panayotou, T. 1982. Management concept for small–scale fisheries:
Economics and social aspects. FAO Fisheries Technical Paper
No.228. FAO-UN. Rome. 53 p.
Pauly, D. & J. L. Munro. 1984. Once more on the comparison of
growth in fish and invertebrates. Fishbyte. 2 (1):14-19.
Petterson, K. R. 1991. An overview of objectives for fisheries
95
management. Fishbite. Vol.9 (1): 31–36.
Petit, D., F. Gerlotto, & P. Petitgas. 1995. Data stratifycation and
pelagic fish density evalution in the Java Sea. Fourth Asian
Fisheries Forum. Beijing.16 until 20 October 1995. 5 p.
Potier, M. 1998. Pêcherie de layang et senneurs semi industriels Javanais: Perspective historique et approche système. Phd Thesis.
Université de Montpellier II. 280 p.
Potier, M. & B. Sadhotomo. 1995a. Exploitation of the large and
medium seiners fisheries. In Potier & Nurhakim (eds): Biodynex.
Seminar Biology, Dynamics, and Exploitation of small pelagic in
Java Sea. AARD/EEC/ORSTOM. 195–214.
Potier, M. & B. Sadhotomo. 1995b. Trends in the scad fishery of the
Java Sea exploitation of the large and medium seiners fisheries.
Fourth Asian Fisheries Forum. Beijing.16 until 20 October 1995.
Pried, I. G. & M. Walsh. 1991. Estimation of biomass of Atlantic
Mackerel (Scomber scombrus) using the annual and daily egg
production methods. Progress and problem in fish abundance
estimation. ICES. 19 p.
Raja, B. T. A. 1972. Fecundity fluctuations in the oil sardine,
Sardinella longiceps Val. Indian. Journal Fisheries. 18 (12): 8498.
Rice, J. C. & L. J. Richards. 1996. A Framework for reducing
implementation uncertainty in fisheries management. North
American Journal Fisheries Management. American Fisheries
Society. Vol.16 (3): 488-494.
Roch, J. & Sastrawidjaja. 1995. The large seiners of the Java Sea,
Fishermen incomes. Paper presented in Fourth Asian Fisheries
Forum. Beijing.16 until 20 October 1995.
96
Sadhotomo, B. 1998. Bioécologie des principales espèces pélagiques
exploitées en mer de Java. Phd Thesis. Université de Montpellier
II. 364 p.
Saila, S. B. 1979. Some environmental considerations for stock
assessment of small scale fisheries. In Saila, S. B. & P. M. Roedel
(eds): Stock assessment for tropical small scale fisheries. Inter.
Center for Marine Resource Develop. University of Rhode Island.
60-69.
Satria, A. 2001. Dinamika modernisasi perikanan formasi sosial dan
mobilitas nelayan. Humaniora Utama Press. Bandung. 153.
Sujastani, T. 1978. Perhitungan besarnya stock sumber-sumber
perikanan di Laut Jawa berdasarkan data statistik perikanan
daerah. Simposium Modernisasi Perikanan Rakyat.
Sumadiharga, O. K. 2000. Potensi sumber daya perikanan laut
Indonesia. Prosiding Seminar Kelautan. 142–157.
Susanto, K. 1991. Metode pengoperasian pukat cincin besar di daerah
Juwana, Jawa Tengah. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan
Rakyat. Jakarta 18 sampai dengan 19 Desember 1989. Buku II.
361–375.
Tiews K., Ronquillo I. A., & Caces-Borja. 1970. On the biology of
roundscad (Decapterus, Bleeker) in the Philippine waters.
Procidding IPFC. 13 (2). 82-106.
Widodo. J. 1988. Population dynamics and management of ikan
layang, scad mackerel, Decapterus spp. (Pisces Carangidae) in
the Java Sea. Ph.D. Dissertation School of Fisheries. University of
Washington. Seattle. 150 p.
97
-----.1991a. Maturity and spawning of shortfin scad (Decapterus
macrosoma, Carangidae) of the Java Sea. Asian Fish. Sci. 4: 245252.
-----.1991b. Konsep F0.1 sebagai strategi pengelolaan sumber daya
ikan layang, Decapterus spp. di Laut Jawa. Jurnal Penelitian
Perikanan Laut. 64: 1–6.
Wikanta, T. & J. Basmal. 1998. Study on the processing method and the
product quality of dried salted fish produced in Pekalongan and
Juwana. In Roch, J., S. Nurhakim, J. Widodo, & A. Purnomo (eds):
Seminar Sosekima. Proceedings of socio economics, innovation and
management of the Java Sea pelagic fisheries. Bandungan, 4 until 7
December 1995. AARD/EEC/ORSTOM. 305-312.
Wiratno, Mudiantoro, & A. Fauzi. 1993. Socio economic study of
fishermen in Pekalongan Regency. Fac. Eco. UNDIP Fac. Fish.
Institut Pertanian Bogor and AFSSRN. 35 p.
Wyrthi. K. 1961. Physical oceanography of the southeast Asian
Water. Naga Rep. 2: 1-195.
Veen P. Ch. 1953. Prelimenary charts of the Indonesian archipelago
and adjacent waters. Org. Sci. Res. Indonesia. 17. 46 p.
Venema, S. C. 1996. Result of surveys for pelagic resources in
Indonesian waters with the R/V Lemuru. December 1972 to May
1976. In Pauly & Martosubroto, (eds): Biodiversity the fish
resources of western Indonesia. ICLARM. Rev. 23:102-122.
Lampiran 1.
Salinitas permukaan Laut Jawa (Potier, 1998)
98
Januari
Maret
Mei
Juli
Februari
April
Juni
Agustus
Oktober
September
Nopember
Lampiran 2.
Desember
Suhu permukaan Laut Jawa
99
Sumber : Potier (1998)
Lampiran 3.
Rumpon
100
Lampiran 4.
Pengoperasian jaring pukat cincin
Lampiran 5.
Sebaran nilai gonad somatic index menurut ukuran ikan
(FL)
101
D. macrosoma
24
9
18
G S I (%)
G S I (%)
D. russelli
12
6
6
3
0
12
17
18
19
20
21
0
22
17
18
19
20
21
22
21
22
Panjang cagak (cm)
Panjang cagak (cm)
A. sirm
16
G S I (%)
12
8
4
0
17
18
19
20
21
22
Panjang cagak (cm)
S. crumenophthalmus
12
9
9
G S I (%)
G S I (%)
R. kanagurta
12
6
3
3
0
6
17
18
19
20
Panjang cagak (cm)
21
22
0
17
18
19
20
Panjang cagak (cm)
102
Download