SUMBER DAYA IKAN PELAGIS KECIL DAN DINAMIKA PERIKANAN PUKAT CINCIN DI LAUT JAWA DAN SEKITARNYA 0°S 2°S 4°S 6°S 8°S 104°E 106°E 108°E 110°E 112°E 114°E 116°E 118°E 120°E SUHERMAN BANON ATMAJA ISBN: Hak cipta dilindungi undang-undang Hak cipta pada penulis Desain sampul oleh: Suherman B.A PUSAT RISET PERIKANAN TANGKAP BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN SAMBUTAN Pengembangan usaha perikanan pukat cincin di Laut Jawa sangat menarik perhatian karena membawa peningkatan produksi yang sangat nyata dan masalah penting yang menyertai. Sejak pasca pelarangan pukat harimau tahun 1980, perikanan pukat cincin telah berkembang menjadi perikanan semi industri. Perkembangan yang sangat luar biasa, meliputi peningkatan kapasitas penangkapan, perubahan taktik penangkapan dan modernisasi teknologi peralatan bantu penangkapan, serta ekspansi daerah penangkapan. Tantangan untuk memelihara sumber daya ikan yang sehat menjadi isu yang cukup kompleks dalam pembangunan perikanan. Kendatipun sumber daya ikan dikategorikan sumber daya yang dapat pulih, bukan berarti tidak terbatas. Apabila kapasitas penangkapan tidak sebanding dengan potensi perikanan yang tersedia, maka yang akan terjadi penyusutan sumber daya ikan dan degradasi lingkungan. Isu-isu yang berkaitan dengan kapasitas penangkapan menjadi perhatian dalam pengelolaan sumber daya ikan yang berkeberlajutan. Salah satu tujuan pengkajian stok ikan adalah bagaimana otoritas perikanan dapat menentukan dan mempertimbangkan pengelolaan perikanan (fisheries management) berdasarkan pada masukan informasi biologi, ekonomi, dan lingkungan. Kisaran strategi pengelolaan yang dapat diterima dan dipertimbangkan oleh berbagai pihak (pengguna). Sejauh mana reaksi nelayan dapat diperhitungkan dan diramalkan untuk tercapai tujuan pengelolaan perikanan, serta memperhitungan tekanan pihak luar yang akan mempengaruhi pengelolaan perikanan di masa mendatang. Buku yang disusun oleh Suherman Banon Atmaja menyajikan sumber daya ikan pelagis kecil dan dinamika perikanan pukat cincin secara utuh dan menyeluruh. Dalam paparan buku tersebut membahas perkembangan perikanan pukat cincin, informasi biologi, besaran stok ikan bersifat dinamis dan ketidakstabilan tingkat (maximum sustainable yield). Model produksi surplus digunakan secara maksimal untuk ii menggambarkan situasi perikanan pukat cincin di bawah rejim open access dan sinyal penyusutan kelimpahan stok ikan pelagis kecil didukung oleh indikator trend keadaan stok ikan dan lain-lain (penangkapan, ekologi, dan sosio ekonomi). Kehadiran buku secara menyeluruh mengupas mengenai sumber daya ikan pelagis kecil dan dinamika perikanan pukat cincin merupakan pengisi kekosongan informasi mengenai perikanan pelagis kecil setelah lebih 3 dekade alat tangkap pukat cincin diperkenalkan di Laut Jawa. Penerbitan buku ini diharapkan dapat memotivasi peneliti lain untuk mengisi kekosongan yang ada dalam perikanan di perairan tropis. Akhir kata diucapkan selamat diterbitkan buku yang sangat bermanfaat bagi pemerhati dan praktisi perikanan tangkap Indonesia. Jakarta, .Januari 2006 Kepala Pusat Riset Perikanan Tangkap Dr. Subhat Nurhakim, APU iii KATA PENGANTAR Iqro (Al-Alaq ayat:1-8) dan kemerdekaan menghantar menuju ke gerbang kesejahteraan umum dan mencedaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945). Buku ini disusun terdorong untuk menyampaikan pengalaman selama melakukan kegiatan penelitian kajian stok ikan pelagis di Laut Jawa. Buku ini mendeskripsikan perkembangan eksploitasi perikanan pukat cincin semi industri, informasi biologi, usaha perikanan yang dinamis dan aktivitas penangkapan sebagai kegiatan ekonomi, bagaimana hasil tangkapan mempengaruhi stok ikan, bagaimana respon nelayan pada perikanan akses terbuka, perubahan komposisi spesies, dan dibahas juga interaksi antara biomassa dengan upaya penangkapan dalam konteks nelayan sebagai pemangsa yang memasuki keseimbangan ekologis dari komunitas ikan. Secara sepintas, membahas kapasitas dan situasi perikanan pukat cincin saat ini. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih atas bantuan sehingga buku ini dapat terwujud, terutama kepada Ayodya M.Sc. (Alm.) yang selalu mendorong dan mengingatkan untuk membuat buku dari hasil penelitian. Dr. Ir. Subhat Nurhakim M.S.; Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc., dan Dr. Ir. Akhmad Fauzi M.Sc. atas kritik dan saran, Ir. Duto Nugroho M.Si. sumbangan pemikiran dan informasi akustik, Dr. Michel Potier untuk koleksi data pukat cincin dan desertasi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Turhadi S.H., Sukardi, Trimanto, Simuh, Minggu S., dan Purwadi yang telah membantu pengumpulan data. Jakarta, 1 Januari 2006 Penulis iv DAFTAR ISI 1 2 2.1 2.2 3 3.1 3.1.1 3.1.2 3.2 3.3 3.3.1 3.3.2 4 4.1 4.1.1 4.1.2 4.2 4.2.1 4.2.2 5 5.1 5.2 5.3 6 6.1 6.2 Sambutan Kepala Pusat Riset Perikanan Tangkap Kata Pengantar Ringkasan Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran Pendahuluan Sumber daya Ikan Pelagis Kecil Pengelompokan Daerah Penangkapan Penyebaran Temporal dan Spasial Biologi Aspeks Reproduksi Indeks Kematangan Gonad Fekunditas Pertumbuhan Ukuran Ikan Rata-rata Ukuran Ikan Keberadaan Ikan Muda (Fingerlings) Dinamika Perikanan Pukat Cincin Kapal dan Jaring pukat cincin Kapal Pukat Cincin Jaring Pukat Cincin Perkembangan Taktik dan Strategi Perikanan Pukat Cincin Peluasan Daerah Penangkapan Perubahan Taktik Penangkapan Produksi Surphus Pertumbuhan Bersih Stok Ikan Pelagis Laju Pertumbuhan Fungsi Logistik vs Gompertz Hasil Tangkapan Lestari Dampak Eksploitasi terhadap Biomassa Dinamika Biomassa Interaksi antara Biomassa dengan Upaya penangkapan v Halaman ii iv vii xii xiii xvi 1 6 6 8 14 14 14 20 21 23 23 27 29 29 29 31 33 34 37 41 44 46 48 51 52 53 7 7.1 7.2 9 Situasi Usaha Perikanan Pukat Cincin Kapasitas dan Produksi Pendapatan ABK Kapal Pukat Cincin Implikasi Pengelolaan Daftar Pustaka vi 61 61 63 65 72 RINGKASAN Selama ini, kerangka pengelolaan sumber daya ikan berdasarkan pada titik acuan nilai angka potensi dan kriteria maksimum (maximum sustainable yield), mengabaikan laju pertumbuhan stok ikan dan tanpa memperhatikan dinamika perikanan yang terjadi. Dugaan nilai potensi ikan pelagis kecil adalah bersifat konstan 340.000 ton per tahun, angka potensi tersebut diperoleh dari kajian sebelum pelarangan alat tangkap trawl (runtun waktu tahun 1975 sampai dengan 1979) (Bailey et al., 1987) dan hasil perhitungan dari sumber data runtun waktu tahun 1975 sampai dengan 1981, dan produksi tertinggi (227.700 ton) (Dwipongggo, 1983). Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2004) mengatakan laju eksploitasi ikan pelagis kecil sekitar 1,5 (potensi=340.000 ton dan produksi=507.530 ton. Dari kajian tersebut tidak terlihat nyata kenaikan produksi lebih dari 2 kali lipat dan perubahan yang terjadi pada perikanan pukat cincin baik kapasitas penangkapan (ukuran kapal dan termasuk kekuatan mesin), maupun ekspansi daerah penangkapan dan peningkatan efisiensi penangkapan melalui penggunaan cahaya (lampu sorot) sebagai alat bantu pengumpul ikan menggantikan peranan rumpon. Walaupun pada kajian sebelum telah diperoleh kenaikan tingkat maximum sustainable yield ikan pelagis berkisar 2,3 sampai dengan 2,8 kali lipat (Nurhakim et al., 1995). Berdasarkan pada data perikanan pukat cincin semi industri dari Pekalongan menunjukkan bahwa tingkat maximum sustainable yield periode tahun 1991 sampai dengan 2001 meningkat hampir 2 kali lipat dibandingkan pada periode tahun 1985 sampai dengan 1990 (Atmaja, 2002). Pengembangan usaha perikanan pukat cincin di Laut Jawa sangat menarik perhatian karena membawa peningkatan produksi yang sangat nyata dan masalah penting yang menyertai. Sejak pasca pelarangan pukat harimau tahun 1980, perkembangan perikanan pukat cincin sangat luar biasa, yang meliputi kapasitas penangkapan (ukuran kapal dan termasuk kekuatan propulsi mesin), perubahan taktik penangkapan (penggunaan lampu sorot (merkuri dan halogen) sebagai alat bantu pengumpul ikan menggantikan peranan rumpon) dan peningkatan kemampuan daya tangkap melalui modernisasi teknologi peralatan bantu penangkapan vii seperti radio komunikasi, penentu posisi (GPS) dan fish finder (echosounder). Ekspansi daerah penangkapan, penangkapan ikan pelagis dilakukan di Laut Jawa dimulai pertengahan tahun 1970 sampai dengan 1983, selanjutnya armada perikanan pukat cincin memperluas daerah penangkapan ke bagian barat sampai dengan Laut Natuna dan ke bagian timur Laut Jawa sampai dengan Selat Makassar. Sumber daya ikan pelagis di Laut Jawa dan sekitar terdiri atas komunitas ikan pelagis pantai yaitu tanjan (Sardinella spp.), kembung (Rastrelliger brachysoma), japuh (Dusumieria acuta), selar (Selar spp.); ikan pelagis neritik dan oseanik layang (Decapterus russelli dan D. macrosoma), bentong (Selar crumenophthalmus), banyar (Rastrelliger kanagurta), siro atau lemuru (Amblygaster sirm), tetengkek (Megalaspis cordyla), tenggiri (Scombermorus spp.),dan tongkol (Auxis thazard). Lima spesies utama pelagis kecil (D. russelli, S. crumenophthalmus, R. kanagurta, D. macrosoma, dan A. sirm) mencapai 90% dari hasil tangkapan pukat cincin semi industri dan ikan layang merupakan komponen utama. Pada umumnya, hasil tangkapan pukat cincin didominasi oleh ikan muda (berumur < 1 tahun) dan reproduksi tidak aktif (80 sampai dengan 90%). Ikan dalam kondisi matang gonad, ovarium telah mengandung telur jernih (translucent) sangat jarang ditemukan dari hasil tangkapan pukat cincin atau kemunculan secara kebetulan (tidak tertangkap dalam bentuk gerombolan). Ikan yang telah memijah kembali ke daerah penangkapan, diduga bentuk ovarium akan kembali ke tingkat kematangan I, yaitu D. russelli, S. crumenophthalmus, Selar leptolepis, dan R. kanagurta. Komunitas ikan mendiami suatu karakteristik ekosistem yang dikontrol oleh kaidah bio fisik, di sana hidup berdampingan pemangsa alami (predator) dengan mangsa (prey). Saling ketergantungan antara mangsa dan pemangsa merupakan suatu ekosistem yang cukup kompleks. Dengan pandangan sederhana bahwa nelayan sebagai pemangsa baru yang memasuki sistem tersebut. Dalam konteks perikanan multi species, nelayan adalah pemangsa jenis lain yang memasuki keseimbangan ekologis dari komunitas ikan. Kegiatan penangkapan akan menyebabkan viii populasi ikan mencapai keseimbangan baru pada tingkat kepadatan yang lebih rendah. Perbedaan keseimbangan baru dengan yang lama tergantung intensitas penangkapan. Skema Dinamika Stok Ikan dan Perikanan Sumber daya ikan Output Ct=Et*Bt*q Bt+1=Bt+rBt (1–Bt/K)–Ct Sumber daya ikan bergerak dinamis, tingkat eksploitasi sekarang mempengaruhi sumber daya ikan akan datang. Bio-fisik Input Dinamis bergerak terhadap keuntungan (π). Penurunan spesies tertentu akan menyebabkan kekosongan niche ekologi yang kerapkali digantikan sementara oleh spesies lain (Laevastu & Favorite, 1988). Alterasi spesies dan kompetisi spesies ikan pelagis (interspesific competition) ditunjukkan oleh perubahan komposisi hasil tangkapan, di daerah penangkapan bagian timur Laut Jawa sejak tahun 2002, yaitu kejadian melimpah hasil tangkapan ikan ayam-ayaman (leather jacket, Aluterus monoceros) ketika puncak musim ikan layang (Atmaja et al., 2003). Dengan demikian, penurunan hasil tangkapan yang diikuti dengan kenaikan biomassa (pulih stok) adalah bersifat semu (quasi recovery). Secara teoritis, ix peningkatan biomassa kapal memasuki perikanan juga meningkat, dirangsang dengan kenaikan hasil tangkapan per satuan upaya. Sebaliknya, rata-rata hari beroperasi cenderung terus meningkat dan nelayan merasakan semakin sulit menemukan gerombolan ikan. Selain itu, alterasi spesies dan kompetisi spesies merupakan sinyal yang nyata ada penurunan biomassa ikan tertentu dan kenaikan kelimpahan ikan lain. Berdasarkan pada analisis produksi surplus menunjukkan peningkatan fishing capacity dan modernisasi teknologi peralatan bantu penangkapan telah menyebabkan perikanan pelagis dalam kondisi lebih tangkap yang cukup serius. Penangkapan yang sangat tidak seimbang dari beberapa stok ikan di dalam populasi keseluruhan, komunitas ikan pelagis mencapai keseimbangan pada tingkat kepadatan yang lebih rendah (turun 29%). Kondisi trend biomassa ikan pelagis telah menurun sampai dengan 66% dari biomassa awal, sedangkan biomassa ikan layang (D. russelli dan D. macrosoma) menurun sampai dengan 75% dari biomassa awal. Estimasi aktivitas penangkapan setelah kebijakan pengurangan subsidi bahan baker minyak diperkirakan hanya 25% kapal yang aktif. Suatu kenyataan yang dihadapi bahwa perairan Laut Jawa sudah menderita kelebihan fishing capacity dan kejenuhan bagi usaha perikanan, serta fenomena klasik tentang lebih tangkap, penggunaan tenaga kerja dan modal secara berlebihan. Penurunan aktivitas perikanan pukat cincin tidak hanya diakibatkan oleh kenaikan biaya operasional, tetapi juga oleh kondisi stok ikan pelagis kecil turun drastis. Dari sudut pandang pengelolaan perikanan, banyak kapal pukat cincin yang menganggur berarti berkurang tekanan penangkapan yang akan memberi peluang sumber daya ikan pulih kembali. Tujuan efisiensi ekonomi tercapai, di mana terjadi pengurangan keikutsertaan dari usaha perikanan yang berlebihan, sehingga kapal yang masih aktif dapat memperoleh penerimaan ekonomis maksimum. Akan tetapi, situasi akhir-akhir ini, banyak kapal yang menganggur, memunculkan masalah yakni banyak para 10 nelayan anak buah kapal telah kehilangan lapangan kerja dan kehilangan pendapatan bagi pemilik kapal. 11 DAFTAR TABEL No. Judul Tabel Halaman Tabel 1 Rata-rata nilai GSI (%) dan simpangan baku dari 5 16 spesies ikan pelagis kecil menurut wilayah penangkapan 2 Fekunditas D. macrosoma dan A. sirm 21 3 Parameter populasi dari 5 spesies ikan pelagis 22 kecil 4 Rata ukuran ikan dari 5 spesies ikan pelagis kecil 24 menurut wilayah penangkapan 5 Muncul ikan muda (fingerlings) dari beberapa 28 daerah penangkapan 6 Catatan nelayan daerah penangkapan berdasarkan 36 pada musim 7 Persentase jenis ikan yang tertangkap oleh jaring 41 klitik yang dioperasikan di dekat dasar dan 15 m dari atas dasar perairan 8a Parameter fungsi produksi surplus model logistik 45 8b Parameter fungsi produksi surplus ikan layang 48 (Decapterus spp.) dari model logistik dan gompertz 9 Perhitungan U* (CPUE) ketika keuntungan (π=0) 55 pada perikanan pukat cincin 10 Aktivitas kapal Margo, rata-rata hasil tangkapan 63 per trip dan nilai produksi selama tahun 2002 sampai dengan 2004 11 Rata hasil tangkapan, nilai produksi dan biaya 63 eksploitasi tahun 2004 dari 88 kapal pukat cincin 12 DAFTAR GAMBAR No. Judul Gambar Gambar 1 Perluasan daerah penangkapan pukat cincin yang berbasis di Pekalongan 2 Dendogram klasifikasi hierarki wilayah penangkapan berdasarkan pada variasi komposisi hasil tangkapan pukat cincin besar 3a Spesies utama hasil tangkapan pukat cincin 3b Lokalisasi geografis dan preferensi ikan pelagis kecil 3c Penyebaran ikan pelagis ikan pelagis berdasarkan pada hasil tangkapan pukat cincin 3d Hubungan hasil tangkapan dengan salinitas permukaan 3e Hubungan hasil tangkapan dengan curah hujan 3f Komposisi hasil tangkapan pukat cincin 3g Ikan ayam-ayaman (A. monoceros) 4 Ikan bunting 5 Plot rata-rata diameter telor dengan nilai GSI (%) 6 Life history triangle untuk spesies laut, tidak semua spesies secara geografik terpisah antara spawning dan nursery area 7 Perbandingan nilai parameter pertumbuhan von Bertallanffy dan Mortalitas alami 8 Rata-rata ukuran ikan dari 5 spesies (D. russelli, D. macrosoma, R. kanagurta, A. sirm dan S. crumenophthalmus) yang tertangkap oleh pukat cincin 9a Kapal pukat cincin 9b Dimensi ukuran dan kekuatan mesin kapal pukat cincin Halaman 7 7 9 10 11 12 13 13 14 17 17 19 23 26 30 30 13 10a 10b 11 12 13 14 15 16a 16b 17a 17b 18a 18b 19 Jaring pukat cincin Dimensi ukuran jaring pukat cincin Perkembangan taktik dan strategi armada kapal pukat cincin di Laut Jawa Pergeseran daerah penangkapan ikan pelagis kecil oleh pukat cincin sepanjang tahun di Laut Jawa dan sekitar Ruaya tegak R. kanagurta Kebiasaan makan dan makanan spesies ikan yang tertangkap oleh pukat cincin Plot tumpang tindih, kurva pertumbuhan bersih stok ikan pelagis dari data periode tahun 1976 sampai dengan 1981 (A), tahun 1985 sampai dengan 1990 (B), tahun 1991 sampai dengan 2001 (C), serta perkembangan produksi pukat cincin periode tahun 1976 sampai dengan 2001 Hubungan laju pertumbuhan intrinsik (r) dengan kelimpahan stok ikan (K) Kurva pertumbuhan bersih stok ikan layang (Decapterus spp.) Kurva hasil tangkapan lestari, perkembangan upaya penangkapan dan hasil tangkapan pukat cincin pada periode tahun 1976 sampai dengan 2004, serta lintasan dinamik Perbandingan hasil tangkapan aktual dengan hasil tangkapan lestari ikan layang Perubahan biomassa Dinamika biomassa ikan layang (Decapterus spp.) setelah FMSY diboboti dengan F=q*E (D. macrosoma dan D. russelli) dan perkembangan produksi Kurva sustainable revenue dan biaya total operasional pukat cincin (Keterangan: a. U*=0,6 ton, b. U*=0,7 ton (sudut 45°), dan c. U*=1 ton) 32 32 34 35 38 39 46 47 48 49 50 53 53 56 14 20 21 22 23 24 25 26 Plot tumpang tindih kurva pertumbuhan bersih stok (a), hubungan antara dinamik hasil tangkapan dengan biomassa, nilai U*=1 (b), U*=0,6 (c), dan hubungan antara biomassa dengan hasil tangkapan aktual (d) Trajektori dinamis antara upaya penangkapan dan biomasa Isocline biomassa dan upaya penangkapan dalam kondisi keseimbangan Hubungan GT dengan NT kapal pukat cincin (a) dan hasil tangkapan tertinggi dengan ratarata GT dan NT (b) lintasan dinamika hasil tangkapan dan upaya penangkapan Hubungan hasil tangkapan dengan nilai produksi per trip pada tahun 2004 Hubungan antara pendugaan stok ikan, tujuan pengelolaan, strategi, dan regulasi Empat bagian isu berbeda bagi pengelolaan dan pendugaan stok ikan menurut Hilborn & Waters (1992) 57 58 60 61 64 67 69 15 DAFTAR LAMPIRAN No. Lampiran 1 2 3 4 5 Judul lampiran Salinitas permukaan Laut Jawa Suhu permukaan Laut Jawa Rumpon Pengoperasian jaring pukat cincin Sebaran nilai GSI menurut ukuran ikan (FL) Halaman 83 84 85 85 86 16 1. PENDAHULUAN Perairan pesisir utara Pulau Jawa adalah salah satu daerah padat nelayan di Indonesia, di sana telah beroperasi berbagai alat tangkap dengan jumlah nelayan mencapai lebih dari 500.000 orang, baik sebagai sumber lapangan tenaga kerja dan pendapatan nelayan maupun yang terlibat dalam kegiatan usaha perikanan tangkap. Usaha perikanan pukat cincin di Laut Jawa termasuk padat modal dan padat karya, memperkerjakan 35 sampai dengan 45 orang setiap trip. Demikian pula, kegiatan pasca panen dari hasil tangkapan pukat cincin menyerap banyak tenaga kerja, dikarenakan sifat ikan pelagis kecil yang melimpah (bulky) dan terdiri atas banyak spesies yang harus dipisahkan menurut kategori jenis komersial dan ukuran ikan. Hal ini, menunjukkan penting Laut Jawa sebagai tumpuan mata pencaharian banyak orang. Sebagian besar jenis ikan pelagis kecil merupakan salah satu sumber protein ikan yang dikomsumsi oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Sumber daya ikan pelagis telah lama dieksploitasi oleh berbagai alat tangkap, salah satu adalah payang. Payang (danish seine) telah beroperasi di dekat pantai utara Laut Jawa dari Kepulauan Seribu (Jakarta) sampai dengan Kepulauan Kangean di bagian timur Laut Jawa (Rossendaal, 1910). Verloop (1904) mengatakan hasil tangkapan payang yang didaratkan di sepanjang pantai utara Jawa mencapai 17 sekitar 28.000 ton. Pada 1909, alat ini menghasilkan sekitar 9.000 ton di sekitar Kepulauan Kangean yang didominasi oleh jenis ikan layang (Decapterus spp.) (Kampen, 1922). Alat tangkap pukat cincin sebagai alat utama pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1970, perairan pantai utara Jawa merupakan wilayah awal introduksi teknologi tersebut. Perkembangan historis memperlihatkan bahwa eksploitasi terhadap populasi ikan pelagis kecil berkembang ke lepas pantai Laut Jawa sampai dengan Selat Makassar sejalan dengan dinamika perikanan yang dicirikan oleh peningkatan kapasitas dan kemampuan mesin kapal, serta perubahan taktik penangkapan dari rumpon ke lampu sorot sebagai alat bantu utama penangkapan. Konsekuensi peningkatan kapasitas kapal dan perluasan daerah penangkapan telah meningkatkan biaya operasional dan lama operasi penangkapan lebih dari 20 hari. Oleh karena itu, penanganan hasil tangkapan pada minggu awal menggunakan garam sebagai pengawet, sedangkan es digunakan untuk hasil tangkapan setelah separuh trip. Penggunaan garam per trip meningkat dari 0,4 ton pada tahun 1985 menjadi 5,6 ton pada tahun 1988 dan rata-rata pendapatan nelayan cenderung menurun (McElroy, 1991). Ikan segar disimpan menggunakan es hanya bertahan 9 sampai dengan 13 hari, itu sebagai bahan untuk pindang, sedangkan kualitas ikan segar yang baik disimpan dengan es kurang dari 7 hari. Perbandingan antara ikan segar dan asin yang didaratkan di Juwana 60:40%, sedangkan di Pekalongan berkisar 70:30%, dan sekitar 30 sampai dengan 50% dari ikan segar diolah menjadi pindang (Clucas & Reilly, 1992; Clucas & Basmal, 1998). Penggaraman ikan di atas kapal menggunakan metode penggaraman kering dengan perbandingan garam terhadap ikan 10 sampai dengan 15% selama 3 minggu akan kehilangan bobot sekitar 25 sampai dengan 37% (Wikanta & Basmal, 1998). Di Pekalongan, harga jual ikan asin 34% lebih rendah dari harga jual ikan segar, sedangkan di Juwana sekitar 14% lebih rendah dari harga jual ikan segar (Potier, 1998). Pada tahun 1988 sampai dengan 1994 memperlihatkan 18 fenomena berlawanan antara rata-rata harga ikan per kg dengan kenaikan produksi, di mana harga ikan cenderung menurun dengan kenaikan produksi ikan (Roch et al., 1995). Berdasarkan pada kajian stok ikan di perairan yang dieksploitasi oleh perikanan pukat cincin. Potensi sumber daya ikan pelagis kecil di 3 wilayah pengelolaan perikanan, yaitu Laut Cina Selatan (luas sebaran 550.000 km2) 506.000 ton tahun-1 dan tingkat pemanfaatan 38%, Laut Jawa (luas sebaran 400.000 km2) 340.000 ton tahun-1, dan tingkat pemanfaatan telah mencapai maksimum 130%, Selat Makassar dan Laut Flores (luas sebaran 473.000 km2) 468.000 ton tahun-1 dan tingkat pemanfaatan 54% (Sumadiharga, 2000). Angka potensi di Laut Jawa tidak jauh berbeda dari hasil dugaan (Bailey, et al., 1987), yaitu 290.000 sampai dengan 391.000 ton per tahun, angka potensi tersebut adalah kisaran nilai maximum sustainable yield yang dihitung dengan model Schaefer dan Gulland–Fox. Hasil perhitungan dengan model yang sama (dari sumber data runtun waktu tahun 1975 sampai dengan 1981 dan produksi tertinggi (227.700 ton) terjadi pada tahun 1981) diperoleh kisaran nilai (maximum sustainable yield) 261.000 sampai dengan 312.000 ton (Dwipongggo, 1983). Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2004) mengatakan laju eksploitasi ikan pelagis kecil sekitar 1,5 (potensi=340.000 ton dan produksi=507.530 ton. Dari kajian tersebut tercermin bahwa stok ikan bersifat konstan dan tidak terlihat nyata kenaikan produksi lebih dari 2 kali lipat dan dampak dinamika perikanan, yaitu perubahan yang terjadi pada perikanan pukat cincin baik kapasitas penangkapan (ukuran kapal dan termasuk kekuatan mesin), maupun ekspansi daerah penangkapan dan peningkatan efisiensi penangkapan melalui penggunaan cahaya (lampu sorot) sebagai alat bantu pengumpul ikan menggantikan peranan rumpon. Berdasarkan pada statistik data tahun 1969 sampai dengan 1976, hasil tangkapan lestari (maximum sustainable yield) 76.000 ton (Sudjastani, 1978). Perhitungan melalui model komposit pada daerah penangkapan tradisional Laut Jawa (luas lahan 91.000 km2 pada tahun 1976 sampai dengan 1982) memberikan besar nilai hasil tangkapan 19 optimum 79.000 sampai dengan 81.000 ton tahun-1 dengan upaya hari laut pada nilai 62.000 sampai dengan 84.000 tahun-1, pada tahun 1983 sampai dengan 1984 (luas lahan 179.000 km2) nilai hasil tangkapan optimum 155.000 sampai dengan 159.000 ton tahun-1 dengan upaya hari laut pada nilai 123.000 sampai dengan 165.000 tahun-1, dan pada tahun 1985 sampai dengan 1986 (luas lahan 202.000 km2) nilai hasil tangkapan optimum 175.000 sampai dengan 180.000 ton tahun-1 dengan upaya hari laut pada nilai 138.000 sampai dengan 187.000 tahun-1 (Nurhakim et al., 1995). Tingkat maximum sustainable yield menggunakan metode CLIMPROD diperoleh kisaran 108.000 sampai dengan 200.000 ton dengan tingkat upaya penangkapan berkisar antara 95.000 sampai dengan 120.000 hari (Potier, 1998). Dari kajian stok ikan di atas terlihat besaran stok ikan bersifat dinamis yang ditunjukkan oleh tingkat maximum sustainable yield yang meningkat berkisar 2,3 sampai dengan 2,8 kali lipat. Indikasi lebih tangkap telah banyak dikatakan oleh peneliti terdahulu. Kenaikan aktivitas penangkapan setelah motorisasi payang pada tahun 1955 telah menurunkan hasil tangkapan dari 4 ton per perahu per tahun pada tahun 1940 menjadi 2,6 ton per perahu per tahun pada tahun 1967. Penurunan ini disebabkan oleh eksploitasi berlebihan dan salah mengelola atas daerah penangkapan ikan sepanjang pesisir utara Pulau Jawa. Pendistribusian upaya penangkapan yang tidak merata, di mana penggunaan teknologi penangkapan yang modern (perahu motor bertambah) dan sebaliknya perahu layar tradisional mengalami penurunan (Collier, 1981). Sujastani (1978); Nurhakim et al. (1995) mengatakan bahwa perikanan pelagis di daerah penangkapan tradisional telah mencapai tingkat eksploitasi yang mengarah lebih tangkap. McElroy (1991) menyimpulkan bahwa spesies ikan pelagis kecil yang merupakan hasil tangkapan pukat cincin telah lebih tangkap hampir di seluruh Laut Jawa. Tingkat eksploitasi perikanan pukat cincin telah mencapai ambang krisis, yang lebih bersifat sosial ekonomi dari pada bersifat biofisik akibat eksploitasi, yaitu perluasan daerah penangkapan telah mencapai hampir seluruh daerah penangkapan di Laut Jawa dan Laut 20 Cina Selatan, pendapatan per kapal menurun (tidak seimbang kenaikan biaya pembekalan dengan nilai jual ikan yang tidak berubah banyak), kesulitan peremajaan nelayan handal (Durand & Widodo, 1997). Mereka mengatakan bahwa stagnasi hasil tangkapan pada periode tahun 1992 sampai dengan 1995 mempunyai 2 arti, yaitu 1) menegaskan bahwa seluruh daerah penangkapan telah dieksploitasi dan hasil tangkapan telah mencapai keseimbangan (maximum sustainable yield), dan 2) usaha perlindungan, untuk kejenuhan eksploitasi tidak dapat menangkap pada semua spesies. Lebih lanjut mengusulkan tingkat pengelolaan hasil tangkapan melalui pada ukuran maksimum kapal (ukuran jaring dan unit upaya penangkapan dan jumlah kapal) yang efisien. Hal ini, dapat dikombinasikan dengan keluaran pengelolaan melalui kuota individu. Kajian perubahan populasi menggunakan model dynamic pool dan Jone’s length cohort analysis telah dibahas oleh beberapa peneliti terdahulu (Widodo, 1988; Nurhakim, 1995; Potier, 1998; Sadhotomo, 1998). Dari hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa nilai indeks laju eksploitasi (E)<0,5; sedangkan nilai indeks eksploitasi (E0,1=tingkat laju kematian penangkapan pada kenaikan laju eksploitasi 10% dari awal usaha penangkapan terhadap suatu stok ikan) berkisar antara 0,32 sampai dengan 0,47. Kecuali Widodo (1991a; 1991b) mengatakan bahwa status eksploitasi untuk D. macrosoma telah melebihi tingkat E0,1 dan panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc=16,25 cm) lebih besar dari panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm=15,5 cm). Pada model analitik, pada umumnya peremajaan tidak diketahui, dinyatakan dalam (yield per recruitment) dan Fmax (indeks kematian penangkapan pada tingkat maksimum) diperoleh dari yield per recruitment sering membingungkan dengan tingkat Fmsy karena kurva yield per recruitment pada berapa spesies ikan pelagis kecil cenderung berbentuk asimptotik atau Fmsy tidak dapat ditentukan, serta kelemahan utama tidak dapat menggambarkan penurunan peremajaan sehubungan dengan penurunan besaran stok dan juga tidak menditeksi secara kuat pengaruh dinamika perikanan, yaitu eksploitasi terhadap populasi ikan pelagis kecil berkembang ke lepas pantai Laut Jawa sampai dengan Selat Makassar. 21 Buku ini disusun dari rangkuman hasil penelitian dan tesis penulis, sebagai upaya mengungkapkan realitis usaha perikanan pukat cincin dan evaluasi stok ikan pelagis di Laut Jawa dan sekitar. Tingkah laku pengusaha atau nelayan dapat dipakai sebagai dasar untuk merumuskan suatu hipotesis tentang reaksi nelayan terhadap bentuk peraturan yang akan diberlakukan. 2. SUMBER DAYA IKAN PELAGIS KECIL Sejak pasca pelarangan alat tangkap trawl, perikanan pukat cincin berkembang sangat dinamis. Sekarang, populasi ikan pelagis telah dieksploitasi di hampir seluruh bagian selatan perairan paparan Sunda, dari sekitar perairan Pulau Pejantan dan Kepulauan Natuna (bagian selatan Laut Cina Selatan) sampai dengan ke sekitar perairan Balikpapan (bagian barat Selat Makassar) atau 3 bagian wilayah pengelolaan perikanan, yaitu Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat Makassar dan Laut Flores. 2.1. Pengelompokkan Daerah Penangkapan Perluasan daerah penangkapan ke bagian timur Laut Jawa (Pulau Masalembo dan Pulau Matasiri) dan bagian selatan Laut Natuna (sekitar Pulau Pejantan dan Kepulauan Natuna) sejalan dengan investasi kapal baru yang lebih besar (>80 GT) pada tahun 1982 atau 1983. Sekarang, perikanan pukat cincin telah mengeksploitasi sumber daya ikan pelagis di 9 daerah penangkapan dari sekitar perairan Pulau Pejantan dan Kepulauan Natuna (bagian Laut Natuna) sampai dengan ke sekitar perairan Balikpapan (bagian barat Selat Makassar). Berdasarkan pada hasil analisis hierarki terhadap variasi komposisi hasil tangkapan pukat cincin besar, daerah penangkapan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 wilayah penangkapan 22 (Potier, 1998), yaitu I. pantai utara Jawa Tengah (utara Tegal sampai dengan Kepulauan Karimunjawa), II. bagian timur Laut Jawa (Pulau Bawean, Kepulauan Masalembo, Pulau Kangean, dan Pulau Matasiri), III. bagian barat Selat Makassar (Pulau Samber gelap, Pulau Lumulumu, dan Pulau Lari-Larian), dan IV. Laut Natuna (Gambar 1 dan 2). Definisi Laut Jawa dan sekitar dalam buku ini adalah perairan yang meliputi Laut Jawa sampai dengan bagian barat Selat Makassar. Gambar 1. Perluasan daerah penangkapan pukat cincin semi industri. 23 W a rd 'sM e th o d E u c lid e a n d is ta n c e s T g l K r j N tn P jt FishingZone K n g B w n M s l M ts M k s 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 L in k a g eD is ta n c e Gambar 2. Dendogram klasifikasi hierarki wilayah penangkapan berdasarkan pada variasi komposisi hasil tangkapan pukat cincin besar (Potier, 1998). Keterangan: Tgl = utara Tegal, Krj = Kepulauan Karimunjawa, Bwn = Pulau Bawean, Msl = Pulau Masalembo, Mts = Pulau Matasiri, Kng = Kepulauan Kangean, Mks = Selat Makassar, Pjt = Pulau Pejatan, Ntn = Kepulauan Natuna 2.2. Penyebaran Temporal dan Spasial Berbeda dengan sumber daya mineral yang lebih bersifat menetap, ikan yang hidup di air akan selalu mencari lingkungan yang sesuai dengan kondisi dan metabolisme tubuh sebagai makluk hidup teresterial yang selalu bergerak atau beruaya dalam menyesuaikan diri dengan alam lingkungan. Pada umumnya sumber daya ikan pelagis sangat peka terhadap perubahan kondisi lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan sangat nyata terhadap kelimpahan sediaan baik positif maupun negatif. Fluktuasi hasil tangkapan musiman diasosiasikan dengan perubahan salinitas antara musim hujan dan musim kemarau. Karakteristik massa air dan iklim Laut Jawa dipengaruhi langsung oleh 2 angin muson, yaitu angin muson barat yang berlangsung antara bulan September sampai dengan Pebruari dan angin muson timur yang berlangsung antara bulan Maret sampai dengan Agustus. Pada muson timur, massa air bersalinitas tinggi (>34‰) memasuki Laut Jawa melalui Selat Makassar dan Laut Flores, 24 sedangkan pada muson barat, selain terjadi pengenceran oleh air sungai, juga masuk massa air bersalinitas rendah (<32‰) yang berasal dari Laut Cina Selatan mendorong massa air bersalinitas tinggi ke bagian timur Laut Jawa (Lampiran 1) (Veen, 1953; Wyrtki, 1961). Fluktuasi suhu permukaan relatif kecil, perbedaan antara maksimum dan minimum suhu di Laut Jawa kurang dari 2°C dengan nilai rata– rata berkisar antara 27° sampai dengan 29°C. Distribusi suhu permukaan secara horisontal dihubungkan dengan fenomena musiman. Pada musom angin timur terlihat jelas suhu permukaan lebih dingin akibat masuk massa air bagian laut dalam ke Laut Jawa. Pada angin muson barat suhu permukaan Laut Jawa relatif lebih panas, pengaruh curah hujan pada suhu air laut dekat pantai sangat nyata (Lampiran 2) (Potier, 1998). Sumber daya ikan pelagis di perairan ini terdiri atas komunitas ikan pelagis pantai (Sardinella spp., Rastrelliger brachysoma, Dusumieria acuta, dan Selar spp.), ikan pelagis neritik, dan oseanik (Decapterus russelli, Selar crumenophthalmus, Rastrelliger kanagurta, Decapterus macrosoma, Amblygaster sirm, Megalaspis cordyla, Scombemorus spp., dan Auxis thazard). Enam spesies merupakan komponen utama hasil tangkapan pukat cincin (Gambar 3a). 25 Gambar 3a. Spesies utama hasil tangkapan pukat cincin. Variabilitas beberapa ikan pelagis (D. russelli, D. macrosoma, dan R. kanagurta) berasosiasi dengan perubahan salinitas massa air salinitas yang datang dari Laut Flores dan Selat Makassar pada musim kemarau (Hardenberg, 1938). Kelompok ikan kostal spesies seperti Sardinella spp., teri (Steloporus spp. dan Encraicholine spp.) dan juwana ikan pelagis berasosiasi dengan perubahan suhu. Dua jenis ikan yang mempunyai respon berbeda terhadap lingkungan digambarkan oleh hasil tangkapan ikan layang dan juwi di perairan utara Bonang-Sarang, pada musim peralihan dari musim timur ke musim barat (bulan September sampai dengan Nopember) sebagian 26 besar hasil tangkapan pukat cincin didominasi oleh ikan layang, pada musim timur (bulan Maret sampai dengan Mei) ikan juwi menggantikan ikan layang (Atmaja & Ecoutin, 1995). Potier (1998) mengatakan bahwa stok ikan pelagis sangat peka terhadap perubahan lingkungan, terutama penyebaran salinitas secara spasial yang dibangkitkan oleh 2 angin muson barat laut dan tenggara. Pada tahun basah (curah hujan di atas normal) akan mengurangi penetrasi ikanikan yang bersifat oseanik ke Laut Jawa, akibat pengaruh massa air oseanik menurun di bagian timur Laut Jawa. Hubungan hasil tangkapan dengan salinitas permukaan menunjukkan berkorelasi positif (Gambar 3d) dan hasil tangkapan berkorelasi negatif dengan curah hujan (Gambar 3e). Gambar 3b. Lokalisasi geografis dan preferensi ikan pelagis kecil (Hardenberg, 1938; Potier, 1998). 27 Gambar 3c. Penyebaran ikan pelagis ikan pelagis berdasarkan pada hasil tangkapan pukat cincin. Komposisi hasil tangkapan pukat cincin di Laut Jawa dan sekitar, yaitu Layang (D. russelli dan D. macrosoma), bentong (S. crumenophthalmus), banyar atau kembung lelaki (R. kanagurta), siro (A. sirm), dan juwi (S. gibosa). Keenam spesies tersebut memberi kontribusi lebih dari 90%, kelompok jenis ikan layang (D. russelli dan D. macrosoma) menduduki peringkat teratas mencapai separuh dari total hasil tangkapan (Gambar 3f). Berdasarkan pada wilayah penangkapan dan musim, ikan layang D. russelli berkonsentrasi di bagian barat Laut Jawa dan Laut Cina Selatan sepanjang tahun, sedangkan D. macrosoma berkonsentrasi di bagian timur Laut Jawa dan Selat Makassar terjadi pada bulan September sampai dengan Pebruari, R. kanagurta konsentrasi tertinggi terjadi pada bulan Juni sampai dengan Agustus dan A. sirm konsentrasi tertinggi pada bulan Desember sampai dengan Mei (Atmaja & Sadhotomo, 2000). Alterasi spesies pada perikanan multi spesies umum terjadi. Selain dominasi ikan pelagis kecil yang disebut di atas, kerapkali tertangkap spesies yang tidak dalam jumlah banyak, seperti ikan swanggi (Priacanthus sp.) pada tahun 1991 sampai dengan 1992, ikan cekong (Sardinella sp.) di daerah penangkapan tradisional pesisir pantai Selat Sunda–Utara Indramayu pada tahun 1997 sampai dengan 1998, dan terakhir kemunculan ikan ayam-ayaman (Aluterus monoceros) di daerah tangkapan pukat cincin di bagian timur Laut 28 Jawa (Gambar 3g). Jenis ikan ini merupakan ikan yang mempunyai nilai ekonomis setelah ada permintaan dari Korea. Sejauh ini, kemunculan spesies tersebut belum diketahui secara pasti, namun dugaan awal berkaitan dengan perubahan lingkungan yang anomali. Dengan demikian, komposisi spesies pada kondisi komunitas ikan berubah maka biomassa dibagi kembali di antara spesies. Perikanan pukat cincin didukung oleh 1) sumber daya ikan yang telah dikenal, 2) sumber daya ikan yang telah diketahui sejak beberapa lama tetapi belum ada pasaran pada masa sebelum, dan 3) sumber daya ikan memang belum dikenal tidak dikenal sebelum atau sumber daya ikan yang kelimpahan meningkat karena penangkapan spesies lain dalam ekosistem sama. Gambar 3d. Hubungan hasil tangkapan dengan salinitas permukaan. Gambar 3e. Hubungan hasil tangkapan dengan curah hujan. 29 Gambar 3f. Komposisi hasil tangkapan pukat cincin. Perubahan lingkungan, terutama anomali lingkungan selain akan mempengaruhi proses biologi, juga akan menyebabkan runtuh perikanan akibat kegagalan peremajaan, terutama pada kelompok ikan Clupeidae (Anchovy di perairan Peru, Sardine di beberapa perairan, herring) (Cushing diacu dalam King, 1998). Di perairan Maroko, pada saat produksi ikan sardine (Sardina pilchardus) menurun, produksi beberapa spesies ikan pelagis lain, seperti mackerel (Scomber colias) dan horse mackerel (Trachurus trachurus) menjadi meningkat (Belbeze & Erzini, 1983). Di Teluk Bengala, pada saat produksi Sardinella longicep menurun, sebaliknya produksi mackrerel (Rastrelliger spp.) meningkat (Bal & Rao, 1984). Radovich (1982) diacu dalam Laevastu & Favorite (1988) mengatakan bahwa dominasi ikan pelagis tertentu dapat digantikan oleh jenis ikan pelagis lain yang meneliti sifat ekologis hampir sama. Ada pergantian spesies ini diduga berkaitan erat dengan kompetisi makanan yang disukai. 30 Gambar 3g. Ikan ayam-ayaman (leather jacket, Aluterus monoceros). 3. BIOLOGI 3.1. Aspek Reproduksi 3.1.1. Indeks Kematangan Gonad (Gonado Somatic Index) Untuk keseragaman dalam penentuan kriteria kematangan, indikator pertumbuhan gonad menggunakan gonado somatic index dan verifikasi berdasarkan pada perkembangan diameter telor untuk menghindari subyektivitas dalam penentuan tingkat kematangan gonad di lapangan. Pertumbuhan gonad sacara teratur atau besar gonad menempati ruang rongga perut dikatakan secara kuantitatif dalam persentase pebandingan bobot gonad (wg) dengan bobot ikan (W) tanpa gonad (wg), sebagai berikut GSI(%)=wg/(W-wg)*100. Penentuan gonado somatic index adalah salah satu pengetahuan dasar dari biologi reproduksi suatu spesies ikan guna menggambarkan siklus reproduksi, life history ikan yang sangat diperlukan dalam mempelajari dinamika populasi ikan, seperti pendugaan umur atau ukuran ikan mencapai matang seksual, waktu dan tempat pemijahan. Informasi ini dapat digunakan perencanaan strategi dan taktik 31 penangkapan, untuk melindungi dan menjamin kelangsungan sediaan induk ikan dari eksploitasi. Sering dalam studi biologi hanya ovarium betina yang dipelajari, sebab ukuran lebih besar dan mudah diamati secara visual dan mikroskopis daripada testis jantan. Diasumsikan bahwa perkembangan ovarium dan testis adalah berbarengan (synchronous). Ovarium diamati secara mikroskopis dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai tingkat perkembangan. Kejadian penting dalam siklus reproduksi dari spesies adalah waktu pemijahan, ketika perkembangan penuh gamet direalisasikan (King, 1998). Kriteria ovarium matang berdasarkan pada diameter telor terdapat 2 kelompok, yaitu rata-rata diameter telor buram (opaque) berkisar 0,50 sampai dengan 0,75 mm dan telor yang jernih (translucent) rata-rata berdiameter 0,6 sampai dengan 0,95 mm dengan nilai gonado somatic index berkisar antara 8 sampai dengan 22% (Gambar 5). Nilai gonado somatic index tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan nilai gonado somatic index dari D. macrosoma dan D. russelli yang diperoleh oleh Widodo (1988). Bal & Rao (1984) menetapkan ovarium matang termasuk kriteria tingkat kematangan gonad IV berdiameter 0,47 sampai dengan 0,56 untuk R. kanagurta dan 0,51 sampai dengan 0,57 untuk S. longiceps. Ovarium yang siap memijah secara makroskopik dicirikan perut buncit, rongga perut diisi dengan ovarium, di mana telor jernih mudah dilihat dari dinding ovarium (Gambar 4). Fenomena ini umum dalam perkembangan ovarium dan sebagian spesies mempunyai telor jernih untuk mengurangi pemangsaan (Johannes, 1978 diacu dalam Bailey & Houde, 1989). Nilai gonado somatic index Clupea harengus pada tingkat siap memijah berkisar antara 20 sampai dengan 23% (Iles, 1984). Rata-rata nilai gonado somatic index Scomber scombrus 25% (Morse, 1980) dan Engraulis mordax 18% (Laroche & Richardson, 1980). 32 Tabel 1. Rata-rata nilai gonado somatic index (%) dan simpangan baku dari 5 spesies ikan pelagis kecil menurut wilyah penangkapan Spesies D. Russelli D. macrosoma R. kanagurta A. sirm S. crumenophthalmus Rata-rata SD N Rata-rata SD N Rata-rata SD N Rata-rata SD N Rata-rata SD N I 2,24 1,44 299 1,17 0,94 38 3,08 2,13 223 0,81 0,60 136 2,11 1,13 681 II 1,98 1,82 680 1,05 2,54 385 1,40 1,81 992 2,02 2,18 1.282 1,67 1,12 950 III 1,54 1,45 99 1,36 1,81 147 1,22 1,58 437 3,17 3,29 403 1,18 1,02 177 Keterangan: I=Laut Jawa bagian tengah, II=Laut Jawa bagian timur, III=Selat Makassar, SD=Simpangan baku, N=Jumlah contoh Gambar 4. Ciri ikan siap memijah, ovarium matang dan tahapan berkembang ikan bunting Gambar 5. Plot rata-rata diameter telor dengan nilai gonado somatic index (%) 33 Ikan telah melakukan pemijahan terdapat 2 bentuk ovarium, yaitu seperti kantong kosong (total spawner) ditemukan D. russelli dan ovarium berisi telor buram dan beberapa sisa telor jernih (partial spawner) ditemukan pada D. macrosoma dan A. sirm. D. russelli dan R. kanagurta diperoleh spesimen yang telah memijah dan ovarium hampir pulih tetapi dapat dibuktikan ikan tersebut telah memijah pada bulan Nopember sampai dengan Januari (Atmaja et al., 1995). Pada ovarium hampir pulih (sisa telor belum diserap sempurna) dari D. russelli dan R. kanagurta menunjukkan bahwa bentuk ovarium dan ujung berwarna hitam dengan nilai gonado somatic index sekitar 0,5 sampai dengan 0,7%. De Jong (1940) telah melakukan studi pendahuluan tentang kebiasaan pemijahan beberapa jenis ikan di perairan utara Jakarta dan sekitar. Ia menyimpulkan ikan yang matang seksual sulit ditemukan kendati pada musim pemijahan dan D. russelli mempunyai 1 kelompok telor yang matang dan pada kondisi ovarium salin, bentuk ovarium menyerupai kantong kosong dengan kulit ovarium berwarna merah. Hal ini, memberi petunjuk bahwa setelah sisa telor diserap sempurna oleh dinding ovarium, selanjutnya ovarium akan kembali pada tingkat kematangan I. Atmaja & Nugroho (1995) mengatakan bahwa induk A. sirm siap memijah tertangkap secara gelombolan, terutama pada tahun 1993. Sedangkan spesimen induk D. macrosoma sulit ditemukan, dari nilai rata-rata gonado somatic index menunjukkan sebagian besar ikan tersebut masuk Laut Jawa merupakan ikan yang belum dewasa atau reproduksi tidak aktif. Sebaran nilai gonado somatic index menurut ukuran ikan (FL) memperlihatkan kisaran nilai gonado somatic index meningkat sejalan dengan ukuran ikan, median dan 75% dari sebaran nilai gonado somatic index tidak mencapai 4% (Lampiran 5). Rata-rata nilai gonado somatic index dari ukuran lebih besar dari 16 cm menurut wilayah penangkapan kurang dari 4% dan nilai gonado somatic index mempunyai kecenderungan semakin ke bagian timur Laut Jawa semakin kecil, kecuali A. sirm (Tabel 1). Dengan demikian, nilai gonado somatic index 5 jenis ikan pelagis ini mencerminkan sangat jarang individu ikan yang tertangkap oleh pukat cincin pada kondisi matang gonad ditemukan dari hasil tangkapan pukat cincin. Rendah nilai gonado somatic index D. russelli dan R. kanagurta diduga disebabkan sebagian individu-individu ikan dewasa pada kondisi ovarium telah pulih kembali. Dengan demikian, spesifik daerah pemijahan ikan berdasarkan pada hasil tangkapan pukat cincin sulit ditentukan, terutama berkaitan dengan penutupan daerah pemijahan untuk melindungi induk ikan pemijah dari eksploitasi. Dengan demikian, pemikiran tentang ikan diberi kesempatan bertelor paling sedikit 1 kali selama hidup, secara harfiah akan melarang seluruh usaha perikanan tangkap. Aktivitas reproduksi di perairan tropis dibangkitkan oleh suhu dan salinitas yang spesifik dari kondisi musim (Weber, 1976 diacu dalam Saila, 1979). Beberapa jenis ikan mempunyai pemilihan habitat berbeda pada setiap fase daur hidup, daerah makan dan daerah pemijahan sering berada pada daerah berbeda, sebagian besar ikan laut merealisasikan pembuahan telor dan menetas di lahan terbuka (Gambar 6) (King, 1998). Spesies ikan pelagis pantai neritik di perairan tropis banyak berpijah di perairan lepas pantai untuk mengurangi tekanan pemangsaan terhadap larva (Johannes, 1978 diacu dalam Saila, 1979). Sebagian besar individu ikan di perairan tropis memijah sepanjang tahun dengan puncak musim 1 kali atau 2 kali 1 tahun (Erdman, 1976 diacu dalam Saila, 1979). Ursin (1984) mengatakan bahwa ikan mempunyai periode pemijahan yang beradabtasi dengan variasi ketersedian makanan untuk larva, seperti yang telah didokumentasikan di perairan sub tropis. Raja (1969) diacu dalam Longhust & Pauly (19987) mengatakan bahwa ikan Sardinella longicep di perairan Teluk Bengala, pada curah hujan kurang dari 10 mm di bulan Juni akan menyebabkan ovarium ikan tersebut kegagalan berkembang (atresia). 35 Gambar 6. Life history triangle untuk spesies laut, tidak semua spesies secara geografik terpisah antara spawning dan nursery area (King, 1998). Ikan yang mempunyai nilai GSI=5%–10% sering ditemukan di Laut Jawa, tertutama untuk ikan banyar (R. kanagurta). Djamali (1977) mengatakan bobot gonad ikan banyar lebih besar 8 g atau nilai gonado somatic index lebih besar dari 6% ditemukan di perairan sekitar Pulau Panggang (Kepulauan Seribu) dan di perairan utara Indramayu (Atmaja & Sadhotomo, 1992). Akan tetapi ovarium yang telah mengandung telor berwana jernih belum pernah diperoleh. Hardenberg (1938) mengatakan kelompok ikan layang memasuki Laut Jawa bersama massa air oseanik dari Laut Flores, melakukan aktivitas pemijahan di sekitar perairan Pulau Bawean. Venema (1996) mengatakan bahwa ikan layang tidak memijah di Laut Jawa, ikan ini memijah di sekitar lekukan (slope) perairan laut dalam. 3.1.2. Fekunditas Fekunditas disini ditentukan sebagai jumlah telor matang yang segera dipijahkan, di sana hanya 1 kelompok telor matang (telor jernih), jelas terpisah dengan telor yang lebih kecil (telor buram) yang dikenal dengan batch fecundity (de Jong, 1940; Fontana 1969). Pried & Walsh (1991) mengatakan bahwa batch fecundity adalah jumlah telor yang direalisasikan dalam 1 pemijahan, ditentukan dalam perhitungan fekunditas mutlak. Pendugaan jumlah telor dalam kelompok terakhir dari sebaran diameter telor dihitung dari subcontoh 36 dari ovarium yang berdiameter lebih besar dari 0,5 mm. Sub contoh berkisar antara 0,1 sampai dengan 0,3 g, diukur dan dihitung dengan 2 atau 3 ulangan, di bawah mikroskop binocular dengan pembesaran 100 kali. Batch fecundity ditentukan dengan metode gravimetric (Bagenal, 1978a), yang diduga menurut persamaan diberikut: F=(Wg/ws)*n di mana: F = batch fecundity Wg = bobot gonad (g) ws = bobot sub contoh (0,1 – 0,3 g) n = jumlah telor dalam sub contoh dari kelompok terakhir dalam sebaran diameter telor Ovarium matang (tingkat kematangan gonad V dan VI) secara mikroskopik, frekuensi sebaran diameter telur menunjukkan hanya 1 kelompok telur jernih dan jelas terpisah dengan telur buram. Pola tersebut ditunjukkan pula oleh beberapa peneliti, pada D. Russelli (Atmaja et al., 1982), Scombermorus sp. (de Jong, 1940), Sardinella sirm (Lazarus, 1990), dan R. kanagurta (Rao & Bal,1984). Fekunditas D. macrosoma berkisar antara 43.000 sampai dengan 80.000 telor dengan rata-rata sekitar 60.380 telor, sedangkan A. sirm mempunyai fekunditas berkisar antara 17.000 sampai dengan 34.000 telor dengan rata-rata sekitar 21.440 telor (Tabel 2). Di perairan Philipina, fekunditas D. macrosoma sekitar 68.000 sampai dengan 10.6000 telor dan S. longiceps di Teluk Bengala mempunyai fekunditas sekitar 37.000 sampai dengan 38.000 telor (Raja, 1972). A. sirm yang siap memijah ditemukan dalam jumlah banyak di sekitar perairan Masalembo dan Lumu-lumu, kemungkinan ikan ini memijah di daerah bagian timur Laut Jawa dan Selat Makassar. D. russelli telah memijah ditemukan di sekitar perairan barat Pulau Matasiri pada bulan Nopember 1993 (Atmaja et al., 1995) dan ikan yang matang telor di sekitar Karimunjawa pada bulan Oktober 1981 (Atmaja et al., 1982). Sedangkan R. kanagurta dengan kondisi gonad 37 yang hampir pulih (spent with recovery) ditemukan di perairan sekitar Pulau Matasiri dan Lumu-lumu pada bulan Nopember sampai dengan Januari, ikan dewasa yang matang telor (tingkat kematangan gonad IV, telor buram (opaque) ditemukan dari hasil tangkapan mini pukat cincin di sekitar perairan Indramayu dan Lasem pada bulan Desember (Atmaja & Sadhotomo, 1993). S. crumenophthalmus ditemukan di perairan utara Tegal pada bulan Oktober 1993. D. macrosoma yang matang telor (tingkat kematangan gonad V dan VI) di sekitar Sumber Geleng pada bulan Mei dan Juni (Atmaja, 1999). Tabel 2. Fekunditas D. macrosoma dan A. sirm D. macrosoma Rata-rata Minimum Maksimum SD FL (cm) GSI(%) 20,1 19,3 20,5 0,45 14,64 10,60 22,60 3,70 A. sirm Fekunditas FL (cm) GSI(%) Fekunditas 60.380 43.000 80.000 1.289 19,26 17,50 20,40 0,88 10,03 7,10 13,74 1,75 21.440 17.000 34.100 45,60 3.2. Pertumbuhan Model produksi surplus Schaefer pada perikanan multi spesies di perairan tropis, yang mempunyai keanekaragaman tinggi dan mendiami suatu ekosistem yang kompleks sering tidak memadai. Aplikasi model ini didasarkan pada konsep sistem unit tunggal dari gabungan beberapa spesies yang mempunyai karakteristik biologi sama dan tidak ada hubungan pemangsa-mangsa. Pendugaan pertumbuhan lebih ditekankan untuk menguji asumsi di atas. Pendugaan (K, L) melalui nilai rata-rata indeks empiris Φ’ (Pauly & Munro, 1984), sebagai berikut: Φ’=Log10 K+2 Log10 L …………………………………………... (1 di mana: Φ’ = perkiraan distribusi normal untuk stok ikan berbeda pada spesies sama 38 Φ’=(1/n)* Φi atau Φ’=(1/n)(Log10 Ki+2 Log10 Li) ......................... (2 Log10 K=Φ’-2 Log10 L ................................................................... (3 dimana: i = 1, 2, 3,…n Tabel 3. Parameter populasi dari 5 spesies ikan pelagis kecil Spesies D. russelli D. macrosoma R. kanagurta A. sirm S. crumenophthalmus Φ’ 2,8037 2,7775 2,8899 2,8075 2,9119 K (tahun-1) 0,96 0,92 1,18 0,94 1,20 L∞ (cm) 26,67 26,24 28,67 23,90 26.15 L∞ Gambar 7. Perbandingan nilai parameter pertumbuhan Bertallanffy dan Mortalitas alami. von 39 Analisis parameter populasi (laju pertumbuhan dan L) untuk 5 jenis ikan pelagis kecil (D, russelli, D. macrosoma, R. kanagurta, A. sirm, dan S. crumenophthalmus) menggunakan empiris Φ’, parameter pertumbuhan von Bertallanfy yang diterakan pada Tabel 3 dan kisaran parameter populasi tersebut (Gambar 7). Nilai empiris Φ’ dan parameter laju pertumbuahan von Bertalanffy (K) dari 5 spesies dominan hasil tangkapan pukat cincin menunjukkan mempunyai karakteristik biologi relatif sama. 3.3. Ukuran Ikan 3.3.1. Rata-Rata Ukuran Ikan Rata-rata ukuran ikan yang tertangkap dicerminkan oleh 50% kumulatif frekuensi sebaran ukuran ikan masing-masing wilayah penangkapan menunjukkan rata-rata ukuran ikan bertambah panjang dari bagian barat ke bagian timur Laut Jawa, dan ikan besar cenderung tertangkap di Selat Makassar (Tabel 4). Secara umum, rata-rata ukuran ikan berkisar antara 15 sampai dengan 17 cm, hasil ini relatif sama dengan hasil penelitian sebelum (Dwiponggo et al., 1987; Widodo, 1988; Sadhotomo & Potier, 1995; Potier, 1998). Rata-rata ukuran ikan ini lebih kecil dari nilai Lm (ukuran ikan pertama mencapai matang seksual) (Atmaja et al., 1995). Tabel 4. Rata ukuran ikan dari 5 spesies ikan pelagis kecil menurut wilayah penangkapan Spesies D. Russelli D. macrosoma R. kanagurta Wilayah L25 L50 L75 L25 L50 L75 L25 L50 I 12,94 14,73 16,41 11,98 14,32 16,52 13,45 16,19 II 12,85 15,30 17,28 15,31 16,45 17,47 15,41 18,36 III 14,34 15,93 17,16 14,41 15,46 16,46 18,91 19,81 40 A. sirm S. crumenophthalmus L75 L25 L50 L75 L25 L50 L75 18,55 15,88 16,54 17,81 13,33 15,80 17,21 19,44 15,74 16,75 17,55 15,80 17,21 18,55 20,51 16,11 17,02 17,84 16,47 17,90 18,66 Keterangan: L25, L50, L75 = 25, 50, dan 75% dari kurva-kurva logistik baku: F(li)= (1+ae-bli)-1 Sebagian besar hasil tangkapan pukat cincin terdiri atas ikan muda (umur < 1 tahun), kelompok ukuran FL (panjang cagak) antara 12 sampai dengan 19 cm mencapai lebih dari 80%. Dari struktur ukuran ikan menunjukkan bahwa ikan layang (D. russelli) berukuran lebih kecil dari 12 cm sekitar 12,4% dan ikan banyar (R. kanagurta) sekitar 2,4% (Widodo, 1988; Nurhakim, 1995). Sadhotomo (1998) mengatakan bahwa pada umumnya ikan besar cenderung berasosiasi dengan sub lahan Matasiri dan Selat Makassar (Lumu-lumu) pada periode akhir musim timur (bulan Nopember sampai dengan Desember) dan awal musim barat (bulan Januari sampai dengan Maret). Sementara itu, ikan berukuran kecil cenderung berada di sub lahan pantai utara Jawa Tengah, Kepulauan Karimunjawa, dan Pulau Bawean selama puncak musim Timur (bulan Mei sampai dengan Agustus). Penggunaan L25 atau L50 merupakan nilai untuk penentukan regulasi ukuran mata jaring kantong, keputusan optimasi dan ukuran minimum ikan yang dieksploitasi harus berdasarkan pada yustifikasi biologi dan pertimbangan ekonomi. Spesies-spesies yang menjadi tujuan penangkapan pada umumnya mempunyai tendensi membentuk kawanan yang terdiri atas ikan berukuran sama, atau tidak semua kelas ukuran (umur) berada di suatu daerah penangkapan. Ada kecenderungan nelayan mencari dan mengarahkan kapal ke daerah penangkapan yang mengandung spesies dan ukuran ikan tertentu (seleksi manusia), ikan-ikan ukuran kecil 41 bukan merupakan sasaran utama penangkapan dan ikan tersebut tertangkap secara kebetulan bersama ikan berukuran besar. Dari studi biologi tidak alasan kuat untuk regulasi mata jaring kantong pukat cincin. Dengan demikian, pendekatan selektivitas pada pukat cincin melalui regulasi ukuran mata jaring tidak akan efektif, tetapi melalui operasi penangkapan (ruang dan waktu daerah penangkapan, serta konsentrasi ikan. Rata-rata ukuran ikan relatif tetap menunjukkan bahwa perbedaan tingkah laku pada daur hidup, di mana ada pemisahan secara geografis antara daerah pemijahan, asuhan dan stok ikan yang dapat dieksploitasi. Spesies-spesies yang menjadi tujuan penangkapan pada umumnya mempunyai tendensi membentuk kawanan yang terdiri atas ikan berukuran sama, atau tidak semua kelas ukuran (umur) berada di suatu daerah penangkapan. Nelayan telah mengetahui dengan baik daerah penangkapan yang menguntungkan dan memilih pada kisaran sempit dari spesies dan ukuran ikan. Sedangkan ikan berukuran kecil bukan merupakan sasaran utama penangkapan dan ikan tersebut tertangkap secara kebetulan bersama ikan berukuran besar. Asumsi dasar bahwa laju tangkap adalah sebanding terhadap kelimpahan stok ikan (C=qEB), nelayan menentukan atau memilih daerah penangkapan secara acak. 42 19 Rata-rata ukuran ikan (cm) 18 17 16 15 14 13 85-87 92 93 94 95 98/99 Tahun Gambar 8. Rata-rata ukuran ikan dari 5 spesies (D. russelli, D. macrosoma, R. kanagurta, A. Sirm, dan S. crumenophthalmus) yang tertangkap oleh pukat cincin. Beberapa aspek perilaku nelayan akan menyebabkan CPUE tidak sebanding terhadap kelimpahan stok ikan, seperti efisiensi pencarian ikan (pencarian ikan tidak secara acak), interaksi nelayan akan menyebabkan jarang bekerja secara bebas (pemberian informasi akan menuju pencarian tidak acak). Oleh karena itu, asumsi laju tangkap sebanding terhadap kelimpahan stok ikan sulit terpenuhi atau CPUE mungkin tidak langsung berhubungan dengan kelimpahan stok ikan. 3.3.2. Keberadaan Ikan Muda (Fingerling) Dari survei akustik menunjukkan bahwa perikanan hanya mengeksploitasi kisaran panjang yang sempit atau beberapa spesies dan ukuran panjang yang terseleksi dari populasi ikan yang ada di laut. Sebaran data populasi akustik menunjukkan kisaran panjang (target strength) -60 sampai dengan -30 dB, sedangkan kisaran panjang ikan yang tertangkap oleh perikanan berkisar antara -45 43 sampai dengan -40dB (Nugroho et al., 2003). Hubungan target strength dengan panjang ikan, target strength pada kawanan ikan yang berkumpul di sekitar cahaya dan rumpon berkisar antara -38,1 sampai dengan -47,5 dB dengan rata-rata nilai target strength -44,7dB dan rata-rata panjang ikan berkisar 17,8 sampai dengan 19,6 cm (Hermawan et al., 1998). Cotel & Petit (1997) mengatakan bahwa target strength D. russelli -47,7 dB=16 cm (FL), target strength S. crume-nophthalmus -44,9 dB=16 cm (FL) dan target strength R. kanagurta -50 dB=11 cm (FL). Hal ini, dapat diartikan bahwa perikanan hanya memanfaatkan sebagian kecil dari struktur populasi ikan yang ada di laut. Keberadaan juvenil dan ikan muda berkaitan dengan penyebaran telor dan larva secara pasif yang terbawa oleh pasang dan arus dari tempat pemijahan ke tempat nursery, serta keberhasilan mulai sejak larva. Muncul ikan muda pada perikanan bersamaan muncul ikan yang telah matang gonad, yaitu pada bulan April sampai dengan Juni. Namun, ikan muda yang tertangkap pada suatu daerah penangkapan tidak selalu tertangkap bersamaan. Hal ini, diduga berkaitan dengan mekamisme dan proses biologi terhadap kondisi lingkungan yang cocok berbeda dari setiap jenis ikan. Penelitian ikhtioplankton telah dilakukan oleh Delsman (1926), ia menemukan telor dan larva dari beberapa jenis ikan di sekitar Bawean dan Pemanukan (Madura), seperti D. russelli, D. Macrosoma, dan S. crumenophthalmus. Catatan muncul ikan muda (fingerlings) pada kelompok ukuran 4 sampai dengan 11 cm dari kegiatan penelitian di beberapa tempat yang berbeda (Tabel 5). Dengan demikian, karakteristik penyebaran ikan muda cukup luas dan mudah ditemukan di daerah penangkapan adalah R. kanagurta. Ikan muda tersebut merupakan hasil tangkapan sampingan dari alat tangkap yang menggunakan waring pada jaring bagian kantong dan dioperasikan di perairan pesisir. Hasil tangkapan dalam jumlah relatif sangat sedikit jika dibandingkan dengan total hasil tangkapan pukat cincin. 44 Tabel 5. Spesies D. macrosoma D. russelli A. sirm S. crumenophthal mus R. kanagurta Muncul ikan muda (fingerlings) dari beberapa daerah penangkapan Ukuran Ikan (cm) 7–9 3–7 5–9 4–5,5 5–7 8–11 3,5-5 4–6,5 5-8 3–5,5 3,5-7 3,5–5,5 4–8 4–9 Daerah penangkapan Lumu-lumu Balikpapan Bau-bau Karimunjawa Bawean Lumu-lumu Bau-bau Karimunjawa Bawean Bau-bau Karimunjawa Selat Belitung Alas Roban Pemalang Keterangan Pukat cincin, Peb 1995 Midwater trawl, Peb 1995 Pukat cincin, Sept 1993 Bagan, Juni 1992 Bagan, Juni 1994 Pukat cincin, 1995 Bouke Ami, Sept1993 Bagan, Juni 1992 Pukat cincin, Des 1993 Bouke Ami, Sep 1993 Bagan, Juni 1992 Midwater trawl, April 1993 Payang gemblo, Mei 1995 Payang gemblo, Oktober 2003 4. DINAMIKA PERIKANAN PUKAT CINCIN 4.1. Kapal dan Jaring Pukat Cincin 4.1.1. Kapal Pukat Cincin 45 Karakteristik kapal pukat cincin yang mengeksploitasi sumber daya ikan pelagis kecil di perairan ini, terutama kapal yang berpangkalan di Pekalongan dan Juwana adalah kapal pukat cincin besar dan sedang, sesuai dengan tipologi kapal pukat cincin yang dikatakan oleh Potier & Sadhotomo (1995). Panayotou (1982) membandingkan perikanan skala kecil dan skala besar (perikanan industri) dengan melihat teknologi yang digunakan, tingkat modal, tenaga kerja yang digunakan dan kepemilikan. Ia lebih lanjut menerangkan bahwa perikanan skala kecil biaya rendah, rendah teknologi, rendah modal, dan kapal dioperasikan sendiri oleh pemilik. Kapal pukat cincin telah menggunakan peralatan dengan tingkat teknologi lebih maju, jarak jangkau ke daerah penangkapan lebih luas sehingga nelayan tinggal di laut berhari-hari. Potier (1998) mengatakan bahwa kapal pukat cincin besar dan sedang termasuk perikanan semi industri. Gambar 9a. Kapal pukat cincin Berdasarkan pada tahun pembuatan kapal, antara tahun 1985 dan 1989 menunjukkan rata-rata dimensi kapal menurun, dan juga sejak tahun 1992 cenderung menurun, tetapi rata-rata kekuatan mesin 46 meningkat terus (propulsi mesin dari 90 PK menjadi 320 PK) (Gambar 1b). Gambar 9b. Perkembangan dimensi ukuran dan propulsi mesin kapal pukat cincin. 4.1.2. Jaring Pukat Cincin Jaring pukat cincin adalah jenis alat tangkap yang berbentuk trapisium, dilengkapi dengan tali kolor dilewatkan melalui cincin yang dipasang pada bagian tali ris bawah. Dengan penarikan tali kolor, maka bagian bawah dapat dikuncupkan sehingga kawanan ikan akan terkurung di dalam jaring. Alat tangkap ini terdiri atas 2 bagian utama, yaitu bagian sayap dan kantong, bagian kantong berada di tengah diapit oleh bagian sayap pada ke-2 sisi. Panjang jaring 200 sampai dengan 700 m dan dalam jaring 50 sampai dengan 110 m dengan ukuran mata jaring bagian kantong 3/4 inci. Bahan jaring adalah nylon multifilament dengan nomor benang dan mata jaring yang berbeda. Bagian kantong menggunakan nomor benang 210d/12 dengan ukuran mata jaring 19 mm, bagian sayap menggunakan nomor benang 210d/9 dengan ukuran mata jaring 25,4 mm. Bagian badan sayap dan bagian di bawah kantong menggunakan nomor benang 210d/6 dengan ukuran mata jaring 25,4 mm (Susanto, 1991). 47 Gambar 10a. Jaring pukat cincin. 40 Frekuensi (%) Frekuensi (%) 35 28 21 14 30 20 10 7 0 0 250 350 450 550 650 Panjang Jaring (m) 50 60 70 80 90 100 Dalam Jaring (m) Gambar 10b. Dimensi ukuran jaring pukat cincin. 48 4.2. Perkembangan Taktik dan Strategi Perikanan Pukat Cincin Selama 3 dekade pukat cincin mengeksploitasi sumber daya ikan pelagis kecil di Laut Jawa dan sekitar telah berkembang dengan sangat dinamis. Berdasarkan pada dinamika perkembang, perikanan pukat cincin dapat dikelompokan menjadi 3 runtun waktu, yaitu runtun waktu tahun 1976 sampai dengan 1981, tahun 1982 sampai dengan 1990, dan tahun 1991 sampai dengan 2004. Runtun waktu tahun 1976 sampai dengan 1981 merupakan periode sebelum pelarangan alat tangkap trawl, di mana sebagian besar nelayan pukat cincin beroperasi di daerah penangkapan tradisional, rata–rata kekuatan propulsi mesin sekitar 120 PK, panjang jaring berkisar 200 sampai dengan 400 m, dan taktik penangkapan menggunakan rumpon yang di tanam di laut. Runtun waktu tahun 1982 sampai dengan 1990 merupakan periode nelayan pukat cincin sudah memperluas daerah operasi ke bagian timur Laut Jawa dan Selat Makassar dengan taktik penangkapan menggunakan rumpon, sebagian kapal mulai menggunakan lampu sorot halogen dan mercuri (3.100 sampai dengan 5.100 watt) sebagai alat bantu utama menggantikan rumpon. Propulsi mesin berkisar 120 sampai dengan 330 PK, panjang jaring berkisar 400 sampai dengan 750 m. Runtun waktu tahun 1991 sampai dengan 2004 adalah periode di mana sebagian besar taktik penangkapan telah menggunakan lampu sorot sebagai alat bantu utama menggantikan rumpon. Penggunaan lampu sorot meningkat menjadi 7.500 sampai dengan 20.000 watt (Gambar 11). Potier (1998) mengatakan bahwa sejak pasca pelarangan pukat harimau (1980), perikanan pukat cincin berkembang menjadi perikanan menjadi semi industri. Berdasarkan pada pembagian tahapan perkembangan perikanan secara ekonomi (Hilborn & Waters, 1992), perkembangan hasil tangkapan dan upaya penangkapan pukat cincin pada periode tahun 1976 sampai dengan 2001 dapat disimpulkan bahwa tahap tumbuh dan turun merupakan aktivitas perluasan daerah penangkapan (periode tahun 1976 sampai dengan 1987) dan selama periode tahun 1988 sampai dengan 2001 merupakan fase introduksi teknologi yang lebih maju (penentu posisi (GPS), fish finder, dan pemanfaatan informasi 49 posisi lintang bujur daerah lumbung ikan dari hasil analisis data satelit). Introduksi teknologi tersebut, hambatan terhadap operasional kapal dan cuaca akan semakin berkurang. Penggunaan fish finder, selain dapat meningkatkan efisiensi, juga dapat menditeksi dasar perairan sehingga kemungkinan jaring tersangkut karang dapat terhidari atau semakin luas perairan yang dieksploitasi (Atmaja et al., 2003). Gambar 11. Perkembangan taktik dan strategi armada kapal pukat cincin di Laut Jawa. 4.2.1. Perluasan Daerah Penangkapan Perubahan daerah penangkapan armada kapal pukat cincin mengikuti kondisi lingkungan dan keberadaan ikan. Pada dasarnya, 50 nelayan pukat cincin di Tegal, Pekalongan, dan Juwana telah melakukan penentuan daerah penangkapan berpedoman pada siklus pergerakkan ikan pelagis berdasarkan pada musim dan ukuran ikan. Serial pengalaman dari nakhoda kapal telah membentuk pengetahuan mengenai fenomena alam (perubahan kondisi lingkungan, ruaya, dan musim) terhadap daerah penangkapan yang dianggap potensial untuk memberikan peluang mendapatkan hasil tangkapan yang cukup besar pada masa-masa tertentu, demikian pula perubahan komposisi jenis ikan menurut daerah penangkapan. Gambar 12. Pergeseran daerah penangkapan ikan pelagis kecil oleh pukat cincin sepanjang tahun di Laut Jawa dan sekitar. Keterangan: Bulatan menunjukkan daerah penangkapan, anak panah menunjukkan arah, dan angka menunjukkan bulan Daerah penangkapan utama yang semula berada di Laut Jawa telah berkembang semakin luas, ke arah timur mencapai Selat Makassar dan ke arah barat di sekitar Laut Natuna. Namun, secara umum, terdapat pergeseran pola penangkapan yang disesuaikan dengan musim (Gambar 12 dan Tabel 6). Pada musim barat (bulan 51 Desember sampai dengan Pebruari) konsentrasi penangkapan ikan pelagis berlangsung di Selat Makassar bagian barat. Pada puncak musim timur (bulan Mei sampai dengan Juli) adalah musim paceklik di Laut Jawa, konsentrasi penangkapan sekitar Laut Natuna. Daerah penangkapan tradisional di Laut Jawa (Kepulauan Karimunjawa dan perairan utara Pekalongan-Tegal) berlangsung pada musim peralihan pada musim peralihan antara musim barat ke musim timur (bulan Maret sampai dengan Mei). Antara bulan Juli sampai dengan September, penangkapan di Laut Jawa, yaitu sekitar Pulau Bawean dan Kepulauan Masalembo. Pada puncak musim ikan di Laut Jawa, yang berlangsung pada musim peralihan antara musim timur ke musim barat (bulan September sampai dengan Nopember), penangkapan ikan pelagis kecil banyak dilakukan di Laut Jawa sebelah timur, yaitu sekitar Pulau Kelembau, Pulau Matasiri, dan Kepulauan Kangean). Aktivitas penangkapan terus berlangsung sampai dengan bulan Desember. Tabel 6. a. Catatan nelayan daerah penangkapan berdasarkan pada musim Bulan Juli-September b. Oktober– Nopember c. DesemberPebruari d. Maret–April e. Mei-Juli Daerah penangkapan Pulau Bawean, Kepulauan Masalembo Pulau Matasiri, Pulau Kelembau, dan Pulau Samber geleng Selat Makassar (Pulau Lumu-lumu, Pulau Larilarian, dan Pulau Sumber Gelap) Pulau Bawean, Kepulauan Masalembo, Pulau Matasiri, dan Pulau Kelambau Laut Natuna (Kepulauan Tujuh, Pejatan) Keterangan Ikan layang berukuran kecil-kecil Ikan layang berukuran sedang Ikan layang berukuran besar Ikan layang berukuran besar (kawanan ikan relatif kecil) Ikan layang berukuran besar 52 4.2.2. Perubahan Taktik Penangkapan Investasi kapal baru, selain penggunaan kekuatan mesin induk yang telah ditingkatkan, juga efisiensi dan taktik penangkapan dengan menambah kekuatan generator (jumlah lampu 30 sampai dengan 40 buah). Penggunaan cahaya sebagai alat bantu penangkapan merupakan memanfaatkan ruaya tegak organisme laut ke arah permukaan pada malam hari. Fenomena yang berkaitan dengan sifat phototaksis hewan laut, di mana konsentrasi dan kepadatan ikan cenderung meningkat pada malam hari telah ditunjukkan oleh beberapa penelitian sebelum. Nybakken (1988) mengatakan bahwa ruaya vertikal harian zooplankton diakibatkan respon negatif bagi para migran terhadap cahaya, bergerak ke arah permukaan laut bila intensitas cahaya di permukaan menurun dan bergerak ke dasar perairan bila intensitas cahaya di permukaan meningkat. Ada ruaya tegak sebagai respon terhadap cahaya pada malam hari tidak hanya plankton dan ikan pelagis, tetapi juga ikan demersal. Ikan Pelagis Pengamatan ruaya tegak R. kanagurta dari hasil penelitian di perairan bagian utara Pulau Masalembo besar, kedalaman perairan 40 m (bulan Oktober 1992). Sarana KM. Penelitian Bawal Putih, alat bantu lampu 8 buah dengan kekuatan 500 watt yang dipasang di samping kapal (Gambar 13). Pada jam 2000 WIB, kawanan ikan berada dekat dasar perairan, sebagian telah beruaya ke dekat pemukaan pada jam 2300 WIB dan pada jam 0400 WIB hampir seluruh ikan berada dekat permukaan di kedalaman 2 sampai dengan 15 m, kemudian pada jam 0530 kawanan ikan terpencar. Zooplankton diambil dari permukaan dengan plankton net, sedangkan ikan ditangkap dengan pancing. Kawanan R. kanagurta (FL=17-19 cm) aktif memangsa kawanan krustasea yang berada di sekitar cahaya. 53 Analisis isi lambung ikan yang tertangkap oleh pukat cincin sebagian besar telah berisi organisme dengan volume berkisar 3 sampai dengan 22 ml. R. kanagurta pada umumnya berisi plankton, sedangkan D. russelli selain berisi plankton, juga ikan-ikan kecil. Organisme yang berada dalam lambung ikan terkait dengan organisme berada di sekitar cahaya. Isi lambung ikan yang tertangkap oleh pukat cincin di perairan bagian utara Pulau Masalembo, R. kanagurta, A. sirm, dan D. macrosoma telah terisi oleh jenis krustasea. Kecuali isi lambung D. russelli dan S. crumenophthalmus, selain krustasea, juga berisi oleh jenis ikan kecil (Bregmaceros spp., Gloerfelt-Tarp & Koilola, 1982). Kebiasaan makan dan makanan, spesies-spesies tertangkap oleh alat tangkap pukat cincin adalah zooplankton. Potier (1998) telah meringkas kebiasaan makan berdasarkan pada fase berbeda dari daur hidup (Gambar 14). D. russelli dan S. crumenophthalmus dewasa lebih bersifat pemangsa terhadap ikan-ikan kecil, sedangkan D. macrosoma utama adalah zooplankton (Tiews et al., 1970). Gambar 13. Ruaya tegak R. Kanagurta. Keterangan: warna merah adalah awanan ikan 54 Phytoplankton Zooplankton Macroplankton Nekton (ikan) Juvenil Dewasa Juvenil Decapterus macrosoma Dewasa Decapterus russelli Juvenil Selar crumenophthalmus Dewasa Rastrelliger kanagurta Juvenil Dewasa Amblygaster sirm Dewasa Sardinella gibbosa Dewasa adultes Makanan utama Makanan kedua Makanan tambahan Gambar 14. Kebiasaan makan dan makanan spesies ikan yang tertangkap oleh pukat cincin. Respon ikan terhadap intensitas cahaya telah ditunjukkan oleh beberapa penelitian sebelum. Pola reaksi Sadinella spp. ketika lampu menyala, ikan cenderung berada pada kedalaman 10 sampai dengan 12 m dan membentuk kawanan dekat dasar perairan. Sedangkan ketika lampu dimatikan ikan berada 5 sampai dengan 8 m dekat permukaan (Lévénez et al, 1990). Reaksi ikan bentong (S. crumenophthalmus) pada waktu lampu dinyalakan cenderung menghindari sumber cahaya dan membentuk kawanan pada bagian gelap, serta aktivitas renang berkurang, sedangkan pada saat lampu dimatikan, ikan menyebar dan aktivitas renang aktif (Cotel & Petit, 1997). Ikan bentong (S. crumenophthalmus), ikan banyar (R. kanagurta) datang ke sekitar cahaya untuk makan. Mereka aktif memakan mangsa yang berkumpul di sekitar cahaya, kemudian berenang keluar dari lahan cahaya. Sebaliknya cumi-cumi, teri, dan sardine merupakan spesies yang tertarik pada cahaya. Mereka datang ke sekitar cahaya untuk waktu yang lama (Baskoro, 1999). Rata-rata kepadatan pada siang hari kurang dari setengah kepadatan pada malam hari (Petit et al., 1995). Kepadatan ikan di sekitar kelompok pukat cincin menunjukkan 2 kali lebih tinggi daripada di luar kelompok pukat cincin (Potier & Petitgas, 1997). 55 Ikan Demersal Untuk mengetahui ikan demersal yang tertarik oleh cahaya telah dilakukan pengambilan contoh dengan menggunakan jaring klitik yang dioperasikan pada kedalaman yang bervariasi 2 kali dioperasikan di dekat dasar dan 2 kali dioperasikan 15 m dari atas dasar) di perairan bagian timur Pulau Matasiri pada bulan Nopember 1993, kedalaman perairan 40 m, alat bantu lampu 8 buah dengan kekuatan 500 watt yang di pasang di samping kapal. Spesies ikan yang mempunyai respon positif terhadap cahaya tidak hanya ikan pelagis, tetapi juga ikan demersal. Ikan demersal mencapai lebih dari 90% dari total hasil tangkapan (dioperasikan di dekat dasar perairan) dan berkisar antara 42 sampai dengan 46% (dioperasikan 15 m dari atas dasar perairan). Ikan demersal berada di sekitar cahaya, yaitu ikan manyung (Arius spp.), ikan beloso (Saurida sp.), dan Priacanthus sp., sedangkan ikan pelagis, yaitu D. russelli, D. macrosoma, S. crumenophthalmus, Caranx sp., A. Thazzard, dan dan R. kanagurta (Tabel 7). Hasil pengamatan ini dapat menerangkan bahwa ikan pelagis bergerombol di lapisan dalam yang gelap pada kedalaman 5 sampai dengan 25 m dan ikan demersal cenderung naik ke arah permukaan pada malam hari. Burczynski et al. (1987) mengatakan ikan demersal pada siang hari pada umumnya berkumpul di dasar perairan dan pada malam hari menyebar di daerah midwater secara merata. Ikan demersal tidak selalu hadir dalam tangkapan pukat cincin diduga kawanan ikan tersebut tidak mengikuti hanyut rumpon yang dilepas bersama bangkrak lampu petromak pada saat akan tawur, atau kemungkinan terpencar setelah lampu induk di kapal dimatikan. Ikan demersal kerapkali tertangkap dalam jumlah banyak oleh pukat cincin adalah Priacanthus spp., terutama terjadi pada tahun 1992 dan 1993. 56 Tabel 7. Taxonomi Demersal Arius spp. Saurida spp. Priacanthus sp. Pari (Ray) Sciaenidae lain-lain Pelagis D. russelli D. macrosoma S. crumenophthalmus Caranx sp. A. thazzard R. kanagurta lain-lain Total Persentase jenis ikan yang tertangkap oleh jaring klitik yang dioperasikan di dekat dasar dan 15 m dari atas dasar perairan Bobot 55,0 14,0 10,1 6,2 0,7 6,3 Dasar perairan % Bobot 53,8 36,4 13,6 17,7 9,9 5,2 6,1 6,3 0,7 5,0 6,1 5,5 6,4 0,1 1,1 6,2 2,5 % 43,9 21,4 6,3 7,5 6,0 6,6 15 m di atas dasar perairan Bobot Bobot % % 10,3 35,3 0,8 10,0 5,6 19,2 1,4 17,6 0,3 3,8 0,2 4,1 0,7 14,0 0,6 0,9 4,2 2,9 9,9 1,1 0,5 0,75 3,5 0,5 1,7 2,4 1,9 2,2 0,2 82,9 0,2 3,7 1,5 0,1 0,3 29,2 12,6 5,1 0,3 1,0 102,3 0,9 10,7 0,1 0,6 1,3 1,3 7.5 16,4 1,5 18,7 1,1 13,8 7,65 5. PRODUKSI SURPLUS Konsep hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield) yang diperoleh dari aplikasi model produksi surplus Schaefer telah digunakan untuk pengelolaan perikanan lebih dari 2 dekade terakhir. Model tersebut berkembang untuk menghadapi spesies tunggal di daerah sub tropis. Model ini juga memperlakukan setiap stok spesies ikan sebagai unit pengelolaan terpisah, mengabaikan interaksi spesies yang mungkin terjadi seperti hubungan pemangsa-mangsa dan interaksi teknologi antar tipe alat berbeda yang mentargetkan spesies sama. Ketika, model ini diterapkan pada perikanan multi species sering tidak memadai. Hal ini, sebagai kenyataan bahwa tidak hanya perikanan tropis mempunyai keanekaragaman yang tinggi, juga mendiami suatu ekosistem yang kompleks. Salah satu alternatif model perikanan multi species adalah konsep sistem unit tunggal sebagai landasan dengan beberapa 57 penyesuaian dan tambahan asumsi pada model (Martosubroto, 1982; Fauzi, 1999). Ahli perikanan (Pauly, 1979; Panayotou, 1982) menggunakan asumsi stok ikan dari perikanan tropis, yaitu 1) stok ikan dari spesies berbeda mempunyai karakteristik biologi sama, 2) stok ikan sebagai satu sistem unit stok tunggal, 3) tidak ada hubungan pemangsamangsa. Dengan demikian, model surplus produksi didasarkan pada anggapan bahwa stok sebagai sistem unit tunggal dari gabungan dari beberapa spesies, tanpa memperhatikan struktur populasi, mengabaikan proses biologi yang benar. Pada biomassa yang tidak dieksploitasi, stok ikan cenderung meningkat dengan berbagai kecepatan tergantung besaran dan akan tumbuh menuju bobot maksimum dari keseimbangan alami. Faktor abiotik dan biotik yang mempengaruhi pertumbuhan stok ikan dianggap konstan. Tiga komponen dalam kecepatan pertumbuhan stok ikan, yaitu peremajaan (ikan berukuran kecil memasuki stok), pertambahan individu (individu ikan dalam stok siap tumbuh menjadi besar), mortalitas alami (bobot biomassa ikan berkurang sehubungan mortalitas alami dan pemangsaan). Model produksi surplus Schaefer mengasumsikan bahwa kenaikan bersih biomassa adalah fungsi dari besar populasi. Konsep surplus produksi, perubahan biomassa populasi dari suatu waktu ke waktu berikut dengan mengabaikan ada emigrasi dan imigrasi dapat ditulis sebagai berikut: Bt+1=Bt+R+G–C–M ……………………………………………... (1 Peremajaan dan pertumbuhan merupakan parameter yang meningkatkan populasi, penggambungan ke-2 parameter ini menjadi produksi, maka persamaan 4 dapat ditulis: 58 Bt+1=Bt+Produksi–C–M ........................................................... (2 Istilah produksi surplus digunakan mewakili perbedaan antara produksi dengan mortalitas alami, sehingga persamaan 2 dapat ditulis kembali menjadi: Bt+1=Bt+Produksi surplus–C .................................................... (3 Dalam kajian stok ikan, laju pertumbuhan stok (produksi surplus) dapat digambarkan sebagai fungsi logistik atau fungsi gompertz, yaitu: fungsi logistik: F(B)=rBt(1–Bt/K) ..................................................................... (4 fungsi gompertz: F(B)=rBtLn (K/Bt) .................................................................... (5 Nilai parameter biologi K (enviromental carrying capacity), q (koefisien daya tangkap) dan r (laju pertumbuhan intrinsik) diduga melalui fungsi gompertz dan fungsi logistik, sebagai berikut: Fungsi gompertz menggunakan prosedur (Clarke, Yoshimoto, & Pooley, 1992): Ln(Ut+1)=2r/(2+r) Ln (qK)+(2-r)/(2+r) ln (Ut)–q/(2+r) Et+Et+1) atau Y=β0+β1X1-β2 X2 .............................................................. (6 Fungsi logistik menggunakan prosedur Walters & Hilborn (197) diacu dalam Hilborn & Walters (1992): (Ut+1/Ut)-1=r–r/(q*K) Ut-q Et atau Y=β0-β1 X1-β2 X2 ............................................................... (7 Pendugaan nilai biomassa pada tahun awal eksploitasi (tahun 1976) sebagai titik acuan dengan asumsi bahwa F(B)=C, yaitu: 59 (r/K)B2–rB+C=0 ....................................................................... (8 B=BMSY (1+r-1*SQRT(r2-8*r* BMSY-1*C) di mana: BMSY = biomassa pada tingkat maximum sustainable yield E = upaya penangkapan U = hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) 5.1. Pertumbuhan Bersih Stok Ikan Pelagis Dalam kajian stok ikan akan menghadapi besaran nilai stok ikan yang bersifat dinamis dan ketidakpastian populasi yang benar, maka hasil dan kesimpulan yang diperoleh dari beberapa peneliti akan berbeda-beda. Charles (2001) mengatakan bahwa sumber ketidakpastian dalam sistem perikanan, yaitu sumber alam (besaran stok dan struktur umur, kematian alami, migrasi, dan parameter stok rekruitmen, interaksi dari multi spesies, interaksi lingkungan dengan ikan), sumber manusia (perubahan teknologi, harga ikan dan struktur pasar, biaya operasional dan opportunity, dan persepsi status stok). Caddy & Mcgarney (1996) telah menyimpulkan bahwa komponen ketidakpastian dialamatkan terhadap tingkat kepercayaan struktur model dan pendugaan parameter. Variabel digunakan dalam pendugaan perikanan adalah tidak pasti, seperti biomassa atau kelimpahan populasi, kematian alami dan penangkapan, kemampuan tangkap (q), yang menyebabkan ketidakstabilan tingkat hasil tangkapan lestari (maximum sustainable yield). Hilborn & Walters (1992) menyarankan bahwa maximum sustainable yield sebagai titik sasaran acuan pengelolaan hanya dapat digunakan dalam jangka pendek. Jika diberlakukan untuk jangka panjang tanpa mempertimbangkan dinamika perikanan akan menghasilkan a false summit dari dugaan besaran hasil tangkapan lestari ikan. Garcia (1986) mengungkapkan bahwa mengunakan serial data yang lama, tidak melibatkan perilaku nelayan dan dinamika kecepatan penangkapan akan menjadi sumber bias. Hilborn & Peterman (1996) diacu dalam Seijo et al. (1998) mengidentifikasi 7 sumber ketidakpastian dalam pendugaan stok perikanan, yaitu pendugaan kelimpahan stok, struktur model matematik pada perikanan, kapan 60 pendugaan parameter model, kondisi lingkungan masa depan, respon pengguna terhadap regulasi, sasaran pengelolaan masa depan dan kondisi ekonomi, politik, dan sosial. Tabel 8 dan Gambar 15 adalah contoh hasil analisis fungsi produksi surplus (logistik) diperoleh dari pukat cincin semi industri berasal di Pekalongan dan Juwana. Nilai K (carrying capacity) meningkat dari 55.000 ton (periode tahun 1976 sampai dengan 1981) menjadi 18.000 ton (periode tahun 1984 sampai dengan 1990) dan pada periode tahun 1991 sampai dengan 1998 menjadi 284.000 ton. Tingkat maximum sustainable yield periode tahn 1991 sampai dengan 1998 meningkat hampir 4 kali lipat dibandingkan pada periode tahun 1976 sampai dengan 1981, kemudian pada periode tahun 1999 sampai dengan 2004 menurun 30%. Tabel 8a. Periode 19761981 19841990 19911998 19992004 19912004 Parameter fungsi produksi surplus model logistik r q (10-5) K (Ton) CMSY(Ton) Koefisien determinasi (R2) 2,344 1,41 55.000 32.000 0,79 1,703 1,09 180.000 77.000 0,49 1,760 1,10 284.000 125.000 0,65 1,756 0,90 204.000 89.500 0,84 1,438 1,08 348.000 125.000 0,90 61 Gambar 15. Plot tumpang tindih, kurva pertumbuhan logistik ikan pelagis berdasarkan pada perkembangan armada dan produksi perikanan pukat cincin di Laut. Keterangan: a = runtun waktu tahun 1976 sampai dengan 1981; b = runtun waktu tahun 1984 sampai dengan 1990; c = runtun waktu tahun 1991 sampai dengan 1998; d = runtun waktu tahun 1999 sampai dengan 2004; dan e = runtun waktu tahun 1991 sampai dengan 2004 5.2. Laju Pertumbuhan Fungsi Logistik vs Gompertz Perubahan kelimpahan stok ikan dipengaruhi 3 parameter dari produksi surplus, yaitu pertumbuhan intrinsik (r), carring capacity (K), dan koefisen kemampuan tangkap (q), ke-3 parameter ini sangat menentukan besaran stok ikan dan hasil tangkapan. Dari kombinasi data tahun 1988 sampai dengan 2004 diperoleh nilai laju pertumbuhan intrinsik (r) dan kelimpahan stok ikan (K) sangat bervariasi, di mana ke-2 parameters tersebut merupakan pasangan yang saling berkaitan. Kelimpahan stok ikan yang semakin besar akan diikuti dengan laju pertumbuhan intrinsik semakin kecil dan sebaliknya (Gambar 16a). 62 Kedua metode (Logistik dan Gompertz) menunjukkan bahwa besaran biomassa (Gompertz) lebih tinggi dibandingkan dengan biomassa (Logistik) dan ketidakstabilan tingkat maximum sustainable yield. Nilai r dan K pada model produksi surplus lebih berassosiasi dengan osilasi perkembangan produksi daripada laju pertumbuhan populasi yang benar. Pertumbuhan organisme adalah hasil proses sangat kompleks yang berkaitan dengan faktor abiotik dan biotik lingkungan. Laju pertumbuhan alami stok tergantung pada besaran stok ikan dan parameter lingkungan. Pada kondisi perairan tanpa dipengaruhi faktor exogeneous dan endogeneous, secara biologi kombinasi r dan K dapat menerangkan persaingan ruang dan makanan yang tersedia. Gambar 16a. Hubungan laju pertumbuhan intrinsik (r) dengan kelimpahan stok ikan (K), Logistik: 345.000<K<766.000 dan 0,65<r<1,44; Gompertz: 679.000<K<2.430.000 dan 0,2<r<0,64 (Atmaja, 2006). Hasil perhitungan pendugaan parameter produksi surplus ikan layang (Decapterus spp.) yang diperoleh dari ke-2 metode (laju pertumbuhan logistik dan partumbuhan gompertz) diterakan pada Tabel 8b dan Gambar 16b. 63 Tabel 8b. Parameter fungsi produksi surplus dari model logistik dan gompertz berdasarkan pada sumber data Pekalongan dan Juwana Parameter Dm r K (x1000 ton) q (x10-5) EMSY (x1000 hari) CMSY (x1000 ton) BMSY (x1000 ton) FMSY 0,62 174,3 0,42 Logistik Decapter Dr us spp. 0,7 0,97 165,8 228 0,51 0,68 0,46 141,1 0,89 Gompertz Decapterus Dr spp. 0,41 0,52 176 262,2 0,91 1,05 73,2 68,6 70,9 51,2 45,1 49,4 26,8 29,7 55,3 23,8 26,5 50 87 82,9 114 51,9 64,7 96,5 0,31 0,35 0,48 0,23 0,41 0,52 Dm Sumber: Atmaja (2006) Gambar 16b. Kurva pertumbuhan (Decapterus spp.). bersih stok ikan layang Keterangan: Bscads = Decapterus spp., Bdm = D. macrosoma, dan Bdr = D. russelli 5.3. Hasil Tangkapan Lestari Hasil tangkapan ditentukan oleh upaya penangkapan dengan berpatokan bahwa mortalitas penangkapan sebanding upaya penangkapan, yaitu: 64 F=q*E, C=qBE atau C/B=q*E ................................................. (9 Hasil tangkapan lestari dihitung berdasarkan pada fungsi logistik berikut: C=E-* E2, di mana =qK dan =q2K/r .............................. (10 EMSY=/2*=r/2q, CMSY=2/4*=rK/4 FMSY=r/2 dan BMSY=K/2=2CMSY/r Untuk mengetahui status perikanan pelagis kecil di Laut Jawa, mengunakan nilai parameter fungsi produksi K=405.000 ton, r=1,05 dan q=6,9 10-6 (Atmaja & Nurhakim, 2005), tingkat maximum sustainable yield 106.300 ton dengan tingkat upaya penangkapan 76.100 hari (Gambar 17a) dan status ikan layang (Decapterus spp.) (Gambar 17b). 150000 94 92 Hasil tangkapan (ton) 95 120000 93 97 91 90000 85 01 86 90 89 87 88 83 60000 30000 80 76 77 78 79 98 96 99 00 02 03 04 84 82 81 0 0 30800 61600 92400 123200 154000 Upaya penangkapan (hari) Gambar 17a. Kurva hasil tangkapan lestari, perkembangan upaya penangkapan, dan hasil tangkapan pukat cincin pada periode tahun 1976 sampai dengan 2004, serta lintasan dinamik. 65 Pada Gambar 17b memperlihatkan perbandingan hasil tangkapan dengan hasil tangkapan lestari. Hasil tangkapan lestari (Cles1) yang dihitung dari upaya penangkapan aktual dengan hasil tangkapan aktual pada perkembangan awal perikanan pukat cincin dan pada saat hasil tangkapan menurun, terlihat kontradiktif hasil tangkapan aktual di bawah hasil tangkapan lestari. Pada posisi ini dapat diartikan bahwa peningkatan upaya penangkapan belum membahayakan kelestarian sumber daya ikan layang. Sedangkan hasil tangkapan lestari (Cles2) dari upaya penangkapan yang telah diboboti mortalitas penangkapan dan koefisien kemampuan tangkap (q) (Atmaja, 2006). Dengan cara ini diperoleh tingkat produksi hampir berimpitan dengan hasil tangkapan lestari, kecuali dari tahun 1992 sampai dengan 1997 memperlihatkan hasil tangkapan di atas hasil tangkapan lestari, kemudian dari tahun 1998 sampai dengan 2001 hasil tangkapan di bawah hasil tangkapan lestari dan selanjutnya hasil tangkapan kembali di atas hasil tangkapan lestari. Dengan demikian, indikasi sangat nyata bahwa setelah tahun 1992, tingkat eksploitasi telah melapaui hasil tangkapan lestari (maximum sustainable yield). Kendatipun sumber daya ikan dikategorikan sumber daya yang dapat pulih, bukan berarti tidak terbatas. Apabila kapasitas penangkapan tidak sebanding dengan potensi perikanan yang tersedia, maka yang akan terjadi penyusutan sumber daya ikan dan degradasi lingkungan. Gambar 17b. Perbandingan hasil tangkapan aktual dengan hasil tangkapan lestari ikan laying. Keterangan: Caktual = hasil tangkapan aktual, Cles1 = hasil tangkapan lestari dengan upaya penangkapan actual, dan Cles2 = hasil tangkapan lestari setelah upaya penangkapan diboboti F=q*E) 66 6. DAMPAK EKSPLOITASI TERHADAP BIOMASSA Karakteristik usaha perikanan tangkap merupakan jenis usaha yang menghadapi ketidakpastian, di mana hasil tangkapan tidak menentu, keberhasilan ditentukan oleh kekuatan yang tidak dapat dikendalikan dan belum penuh dipahami manusia. Sebagian besar nakhoda kapal pukat cincin berkeyakinan bahwa keberhasilan aktivitas penangkapan merupakan suatu untung-untungan, walaupun telah akhli. Komunitas ikan mendiami suatu karakteristik ekosistem yang dikontrol oleh kaidah biofisik, di sana hidup berdampingan pemangsa alami (predator) dengan mangsa (prey). Dengan pandangan sederhana bahwa nelayan sebagai pemangsa baru yang memasuki sistem tersebut. Dalam konteks perikanan multi species, nelayan benar adalah pemangsa jenis lain yang memasuki keseimbangan ekologis dari komunitas ikan. Kegiatan penangkapan akan menyebabkan populasi ikan mencapai keseimbangan baru pada tingkat kepadatan yang lebih rendah. Perbedaan keseimbangan baru dengan yang lama tergantung intensitas penangkapan. Penurunan spesies tertentu akan menyebabkan kekosongan niche ekologi yang kerapkali digantikan sementara oleh spesies lain (Laevastu & Favorite, 1988). Suatu fenomena alami yang umum terjadi dari hubungan antara pemangsa dengan mangsa, penurunan mangsa akan diikuti dengan penurunan pemangsa. Alterasi spesies dan kompetisi spesies ikan pelagis (interspesific competition) ditunjukkan oleh perubahan komposisi hasil tangkapan di daerah penangkapan bagian timur Laut Jawa sejak tahun 2002, yaitu kejadian melimpah hasil tangkapan ikan ayamayaman (leather jacket, Aluterus monoceros) ketika puncak musim ikan layang (Atmaja et al., 2003). Hilborn & Walters (1992) telah mengembangkan dinamika biomassa untuk mengamati tingkah laku populasi terhadap eksploitasi. Nelayan adalah komponen penting dari sistem dinamis yang disebut perikanan. Lebih lanjut mengatakan pendugaan stok ikan harus mengingat bagaimana nelayan akan merespon dan perikanan dalam 67 kondisi kritis ketika pendapatan nelayan menurun di bawah normal. 6.1. Dinamika Biomassa Pendekatan tradisional pengelolaan perikanan beranggapan ikan yang mempunyai karakteristik biologi, umur pendek, dan fekunditas tinggi akan tahan dan dapat mendukung tingkat upaya penangkapan tinggi, tanpa mengganggu peremajaan ikan kecil memasuki perikanan. Dengan semakin rumit metode penangkapan dari berbagai alat tangkap dan peningkatan efisiensi penangkapan, serta dorongan harga ikan yang tinggi dapat menurunkan stok induk ikan pemijah. Penurunan stok ikan drastis dapat terjadi jika digabungkan dengan faktor lingkungan yang anomali. Hubungan antara hasil tangkapan dengan biomassa memperlihatkan trend biomassa dan hasil tangkapan yang berlawanan, pada kondisi turun hasil tangkapan akan diikuti dengan kenaikan biomassa. Trend biomassa mulai meningkat setelah kejadian turun biomassa pada tahun 1998 sekitar 66% dari biomassa awal (Gambar 18a). Secara teoritis, peningkatan biomassa harus kapal memasuki perikanan juga meningkat, dirangsang dengan kenaikan hasil tangkapan per satuan upaya. Sebaliknya, rata-rata hari beroperasi cenderung terus meningkat dan nelayan merasakan semakin sulit menemukan gerombolan ikan. Selain itu, penurunan hasil tangkapan bukan sebagai kebijakan regulasi kuota hasil tangkapan. Situasi perikanan pukat cincin telah mengalami penurunan hasil tangkapan yang drastis. Dengan demikian, kenaikan biomassa (pulih stok) diduga bersifat semu (quasi recovery). Berdasarkan pada mortalitas penangkapan dan upaya penangkapan yang telah diboboti koefisien kemampuan tangkap. Mortalitas penangkapan ikan layang (Decapterus spp.) setelah FMSY (mortalitas penangkapan pada tingkat maximum sustainable yield) disesuaikan kembali (F=q*E). Dengan cara ini, mortalitas penangkapan meningkat dan biomassa turun drastis tersisa kurang dari 25% dari biomassa awal (Gambar 18b). 68 160000 Biomassa (ton) 324000 120000 243000 80000 162000 40000 B90-04 81000 Hasil tangkapan (ton) 405000 Hasil Tangkapan 0 1975 1980 1985 1990 1995 Tahun 2000 0 2005 Gambar 18a. Perubahan biomassa. Gambar 18b. Dinamika biomassa ikan layang (Decapterus spp.) setelah FMSY diboboti dengan F=q*E. 6.2. Interaksi antara Biomassa dengan Upaya Penangkapan Analisis dinamik dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 cara, yaitu 1) Model Willen’s open access dynamic ditulis sebagai berikut: ∂B/∂t=rBt (1–Bt/B)–qBtE ...................................................... (11 ∂E/∂t=s (pqBt-c)E ................................................................... (12 69 Kondisi keseimbangan terjadi pada perpotongan dari hubungan biomassa dengan upaya penangkapan besifat linear (∂B/∂t=0) dan garis ∂E/∂t=0. 2) Perilaku biomassa yang bereaksi terhadap eksploitasi berdasarkan pada Hilborn & Walters (1992) sebagai berikut: Et+1=Et (1+s (Ut–U*) .............................................................. (13 Dalam perikanan open access, suatu perikanan akan mencapai titik keseimbangan pada tingkat upaya penangkapan (E*), di mana penerimaan total (TR=p*C) sama dengan biaya total (TC=c*E), berdasarkan pada persamaan sebagai berikut: π=p*C-c*E .............................................................................. (14 di mana: C = hasil tangkapan (ton) E = upaya penangkapan (hari) p = harga ikan (Rp per ton) c = biaya eksploitasi (Rp per hari) U* = CPUE pada saat keuntungan (π)=0 Ut = CPUE pada tahun ke-t s = respond kenaikan upaya pengakapan terhadap Ut (dipatok 15% per tahun) Kedua nilai Et (nilai awal) dan s sangat kuat pengaruh terhadap gerakkan periodik yang menuju kondisi kestabilan baru. Sedangkan nilai s sebagai konstanta tetap, yang tidak diketahui nilai eksak. Perhitungan bagaimana hasil tangkapan mempengaruhi populasi ikan mengikuti dinamika perilaku biomassa. Perubahan kelimpahan stok ikan dipengaruhi 3 parameter dari produksi surplus Schaefer, yaitu pertumbuhan intrinsik (r), carring capacity (K), dan koefisien kemampuan tangkap (q). Untuk mengetahui interaksi antara biomassa dengan upaya penangkapan menggunakan nilai parameter produksi surplus kurun waktu tahun 1990 sampai dengan 2004 yaitu r=1,05,q=6,9 10-6, dan K=405.000 ton. Status perikanan pelagis kecil telah memasuki tahap melingkar (cycle) pada posisi setelah tingkat maximum sustainable yield (Gambar 17a). Secara teoritis, tingkat 70 keuntungan (π=0) pada perikanan pukat cincin terjadi pada U*=0,6 ton per hari yang diperoleh dari rasio harga ikan dengan biaya eksploitasi (Tabel 9). Tabel 9. Ratarata SD N Perhitungan U* (CPUE) ketika keuntungan (π=0) pada perikanan pukat cincin Harga ikan (Rp. Juta per ton) Biaya eksploita si (Rp. Juta per hari) B*= c/pq (ton) E* = r/q(1B*/K) (hari) C*= rB*(1B*/K) (ton) U*=C */E* (ton per hari) 2,95 1,87 92000 118000 74000 0,63 1,02 88 0,86 88 B* (Biomassa) dan E* (upaya penangkapan) U* (CPUE) pada saat π=0 Dengan mengalikan hasil tangkapan lestari (dari fungsi logistik) dengan harga ikan diperoleh kurva sustainable revenue (TR=p*C, di mana C adalah hasil tangkapan lestari). Demikian pula dengan mengalikan biaya per satuan input dengan upaya penangkapan diperoleh total biaya (TC=c*E) yang linier terhadap upaya penangkapan. Penggabungan kurva sustainable revenue dan total biaya tersebut dalam suatu gambar, akan diperoleh sebagaimana diterakan pada Gambar 19. Titik perpotongan menerangkan titik keseimbangan, di mana penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TR) atau tingkat keuntungan (π)=0. Tingkat upaya penangkapan (E*) pada posisi ini tingkat upaya penangkapan keseimbangan yang oleh Gordon dalam Fauzi (2000) disebut sebagai bioeconomic equilibrium of open access, di mana pada tingkat upaya penangkapan (E*) keseimbangan tercapai sehingga entry dan exit tidak terjadi. Pada Gambar 19 terdapat 3 titik keseimbangan, yaitu a) titik keseimbangan berdasarkan pada Tabel 9 (U*=0,6 ton per hari), b) perpotongan kurva sustainable revenue (TR) dengan biaya total pada sudut 45°, terjadi pada U*=0,7 ton per hari. c) titik keseimbangan realitis perikanan yang benar berada (U*=1 ton per hari). Kondisi 71 keseimbangan (U*=0,6 ton per hari) kemungkinan tidak pernah tercapai, karena berdasarkan pada aktivitas penangkapan armada pukat cincin yang cenderung menurun, terutama rata-rata trip pada kapal dan jumlah hari operasi semakin lama. Penurunan rata-rata trip per kapal dapat diartikan semakin banyak kapal yang tidak melaut (hanya bertambat di pelabuhan) (Atmaja et al., 2002). Gambar 19. Kurva sustainable revenue dan biaya total operasional pukat cincin. Keterangan: a) U*=0,6 ton, b) U*=0,7 ton (sudut 45°), dan c) U*=1 ton Plot tumpah tindih kurva pertumbuhan bersih dan hubungan biomassa hasil tangkapan (Gambar 20) menunjukkan titik perpotongan antara kurva pertumbuhan bersih (a) dengan hasil tangkapan tahun 1998 sampai dengan 1999 berada pada posisi hasil tangkapan 99.000 ton dan biomassa 140.000 ton (35% dari biomassa awal). 72 Gambar 20. Plot tumpang tindih kurva pertumbuhan bersih stok (a); hubungan antara dinamik hasil tangkapan dengan biomassa, nilai U*=1 (b), dan hubungan antara biomassa dengan hasil tangkapan actual (c). Trajektori dinamik hasil tangkapan U*=0,6 ton per hari (b) dan U*=1 ton per hari (c) (Gambar 20), dapat lihat lintasan dinamik hasil tangkapan melingkar berbentuk spiral tertutup dan berpotongan dengan kurva pertumbuhan bersih. Trajektori dinamis antara upaya penangkapan dan biomassa disajikan pada Gambar 21. Dari Gambar 21 tersebut juga dapat dilihat interaksi berlawanan antara upaya penangkapan dengan biomassa. Ketika upaya penangkapan meningkat, biomassa mulai mengalami penurunan sampai dengan tersisa 34% dari biomassa awal, tetapi penurunan upaya penangkapan sangat lambat 5%, begitu juga pulih biomassa sangat lambat (4,6%). Trend biomassa (B90-04) memperlihatkan setelah terjadi penurunan biomassa sekitar 66% pada tahun 1998 (tahun ke-23), biomassa cenderung pulih sangat cepat. Bagi trajektori trend biomassa (U*=1) terus mengalami penurunan sampai dengan tahun ke-25 dan untuk biomassa (U*=0,6) terus mengalami penurunan sampai dengan tahun 73 ke-34. Kepulihan biomassa terlihat sangat lambat, maka kenaikan biomassa (B90-04) setelah tahun 1998 adalah bersifat semu (quasi recovery). Secara teoritis, peningkatan biomassa harus kapal memasuki perikanan juga meningkat, dirangsang dengan kenaikan hasil tangkapan per satuan upaya. Sebaliknya, rata-rata hari beroperasi cenderung terus meningkat dan nelayan merasakan semakin sulit menemukan gerombolan ikan. Gambar 21. Trajektori dinamis antara upaya penangkapan dan biomassa. Keterangan: E = upaya penangkapan aktual Perkembangan rata-rata trip per kapal cenderung menurun, tetapi jumlah hari operasi terus meningkat (Atmaja et al., 2003). Penurunan upaya penangkapan, terutama hari operasi sulit dilakukan karena pemilik atau nakhoda kapal lebih berorientasi terhadap keuntungan tiap trip. Walaupun demikian, penurunan hasil tangkapan telah menyebabkan beberapa kapal pukat cincin diubah alat tangkap menggunakan cantrang. Dengan demikian, pada kondisi sumber daya ikan yang semakin terbatas, maka tingkat pemanfaatan akan dibatasi 74 oleh tingkat keuntungan. Apabila biaya eksploitasi dan beban biaya kerja yang harus ditanggung lebih besar daripada nilai hasil tangkapan, maka beberapa pengusaha akan keluar dari usaha penangkapan atau untuk sementara kapal berhenti beroperasi. Selanjutnya, untuk menganalisis interaksi biomassa dengan upaya penangkapan dilakukan melalui pendekatan model Willen’s open access dynamic. Dengan asumsi, bahwa alat tangkap pukat cincin adalah standar dengan kemampuan daya tangkap (koefisien q) yang konstan dan CPUE adalah indeks kelimpahan stok ikan di alam. CPUE proporsional dengan biomassa (C=qEB atau C/E=qB), maka penurunan CPUE mengindikasikan juga penurunan biomassa. Dengan demikian, kenaikan biomassa sejak tahun 1998 dikoreksi dengan F=qE dan B=C/F. Selanjutnya, upaya penangkapan diboboti dengan koefisien q dari hasil analisis produksi surplus, yaitu E=F/q. Kondisi stabilitas terjadi pada perpotongan kurva yang besifat linear (isocline ∂B/∂t=0) dengan garis isocline ∂E/∂t=0. Perpotongan ke-2 garis tersebut pada titik F menunjukkan tidak akan ada kapal masuk atau keluar dari usaha perikanan (Gambar 22). Pada Gambar tersebut menerangkan ada respon yang berlawanan antara upaya penangkapan (input) dan kontraksi sumber daya ikan. Pada kondisi ekspansi upaya penanngkapan setelah mencapai titik keseimbangan, maka akan terjadi kontraksi dari sumber daya ikan yang cenderung menurun. Pergerakkan dari variabel biomassa dan upaya penangkapan dibagi menjadi 4 kuadran, yaitu 1) kuadran I, apabila jika upaya penangkapan naik, maka biomassa akan biomassa akan menurun (anak panah horisontal bergerak ke sebelah kiri). 2) kuadran II, apabila biomassa<biomasa pada titik F dan upaya penangkapan>upaya penangkapan pada titik F, maka stok tidak menguntungkan untuk diusahakan, dengan demikian akan terjadi armada keluar dari usaha perikanan. Penurunan upaya penangkapan (arah anak panah vertikal turun dan anak panah horisontal bergerak ke sebelah kiri (∂E/∂t=0). Pada kondisi stok ikan telah mengalami overfishing, maka penurunan upaya penangkapan tidak memungkinkan stok untuk pulih. 3) kuadran III, penurunan upaya 75 penangkapan menyebabkan biomassa akan meningkat kembali. 4) kuadran IV, kenaikan upaya penangkapan tidak akan menyebabkan menurunkan biomassa, karena pada kondisi hasil tangkapan di bawah laju pertumbuhan bersih (anak panah horisontal di bawah garis (∂B/∂t=0) bergerak ke sebelah kanan). Gambar 22. Isocline Biomassa dan upaya penangkapan dalam kondisi keseimbangan. Dari uraian di atas dan situasi perikanan pukat cincin semi industri sudah berada di posisi kuadran II. Penurunan upaya penangkapan pada tahun 2000 sampai dengan 2001 dan biomassa mulai sedikit pulih, kembali ekspansi terjadi. Dengan membiarkan perikanan dalam kondisi upaya penangkapan saat ini dan peningkatan efisiensi penangkapan melalui modernisasi teknologi penangkapan dalam bentuk peralatan bantu penangkapan lampu sorot, GPS, dan echosounder, sulit meningkatan hasil tangkapan dalam jangka pendek. Bagaimanapun perikanan pelagis kecil di Laut Jawa telah mengalami 76 kelebihan kapasitas penangkapan dan kondisi stok ikan pelagis telah menurun drastis. Hal ini, berarti bahwa kebijakan pengurangan kapasitas segera dilakukan oleh otoritas perikanan. 7. SITUASI USAHA PERIKANAN PUKAT CINCIN 7.1. Kapasitas dan Produksi Pengamatan hubungan antara kapasitas penangkapan pukat cincin berdasarkan pada dokumen perizinan (Surat Izin Penangkapan Ikan) tahun 2004 dengan hasil tangkapan tertinggi per trip untuk setiap kapal yang pernah tercatat di tempat pendaratan ikan Pekalongan. Plot rata-rata GT dan NT dengan hasil tangkapan tertinggi (Gambar 23) memberi pentunjuk bahwa sebagian besar daya tampung kapal lebih besar daripada yang tercatat dalam dukomen. Hal ini, mengindikasikan bahwa kapasitas kapal belum penuh dapat terkontrol dengan baik. Kecenderungan pengekecilan GT dan NT kapal diduga untuk menghindari pungutan hasil perikanan sesuai ketentuan yang ditetapkan. GT dan NT kapal tersebut lebih menggambarkan kondisi perikanan benar, di mana rata-rata hasil tangkapan jauh di bawah daya tampung kapal (Tabel 11 dan Gambar 25). Penelitian sebelum volume kapasitas palka dihitung berdasarkan pada jumlah basket ikan diperkirakan rata-rata volume kapasitas palka 60 ton ikan dan produktivitas kapal pukat cincin hanya sekitar separuh kapasitas palka. Rendah produktivitas disebabkan terlalu padat pukat cincin di suatu daerah penangkapan, beroperasi secara berkelompok mencapai lebih dari 50 kapal di sekitar perairan pulau-pulau yang berada di Laut Jawa dan Selat Makassar (Atmaja, 2002). Gambar 23. Hubungan GT dengan NT kapal pukat cincin (a) dan Hasil tangkapan tertinggi dengan rata-rata GT dan NT (b). 77 Nelayan merasakan bahwa semakin sulit menemukan gerombolan ikan. Gerombolan ikan berada di suatu daerah penangkapan hanya dalam waktu singkat, sehingga nelayan sering berpindah-pindah daerah penangkapan atau harus tinggal laut selama 40 sampai dengan 60 hari. Atmaja & Nugroho, 2005 mengatakan bahwa biomassa ikan pelagis kecil telah menyusut mencapai 66%, biomassa ikan layang (D. macrosoma dan D. russelli) menurun sampai dengan 75% dari biomassa awal (Atmaja, 2006). Kasus keluar pengusaha dari usaha penangkapan akibat penurunan keuntungan terjadi pada kelompok usaha perikanan Margo. Kelompok ini adalah pelopor penggunaan alat bantu pengumpul ikan berupa lampu sorot (cahaya) di atas 20.000 watt dengan menggunakan kapasitas kapal yang lebih besar yaitu ukuran kapal>100 GT dan kekuatan mesin>300 PK. Pada awal keberhasilan berkompetisi penggunaan lampu sorot dan ditunjang dengan kemampuan kapal untuk memperluas dan mencari daerah penangkapan baru adalah faktor utama kesuksesan usaha perikanan kelompok Margo. Pada tahun 1997 atau 1998 jumlah kapal kelompok Margo yang aktif 22 kapal, tahun 2002 jumlah kapal menurun menjadi 17 kapal yang aktif, tahun 2003 hanya 10 kapal yang aktif dengan rata-rata 5,1 trip per kapal dan selama tahun 2004 jumlah kapal yang aktif hanya tersisa 6 kapal dengan rata-rata 3 trip per kapal (Tabel 10). Konsekuensi logis, pada perikanan akses terbuka dan eksploitasi tidak terkendali, maka keseimbangan dari biaya operasional dan pendapatan (tingkat keuntungan) sebagai kontrol upaya penangkapan. Setiap individu atau pengusaha mengambil keputusan keuntungan jangka pendek dibandingkan dengan jangka menengah dan panjang. Akan keluar dari usaha penangkapan pada saat biaya eksploitasi dan beban biaya kerja yang harus ditanggung semakin besar. Dengan kata lain, kenaikan biaya eksploitasi dapat dijadikan sebagai kontrol atau pembatasan upaya penangkapan. Hilborn & Walters (1992) mengelompokkan alasan kapal keluar dari perikanan menjadi 4, yaitu tenggelam (kecelakaan), penyusutan, pindah ke perikanan lain dengan 78 beberapa modifikasi alat tangkap, kapal bertambat karena jika melakukan penangkapan tidak menguntungkan. Tabel 10. Aktivitas kapal Margo, rata-rata hasil tangkapan per trip dan nilai produksi selama tahun 2002 sampai dengan 2004 Jumlah kapal Trip per kapal Rata-rata hasil tangkapan (ton) Rata-rata nilai produksi (Rp. juta) 2002 17 6,4 20,5 63,8 2003 10 5,1 19,4 65,4 2004* 6 3 38,2 97,7 Keterangan: * hanya beroperasi pada bulan September sampai dengan Januari. Sumber: Buku mingguan PPI JUWANA 7.2. Pendapatan Anak Buah Kapal Pukat Cincin Kelangsungan usaha perikanan pukat cincin selama ini sangat didukung oleh sistem bagi hasil. Pada dasarnya, pola bagi hasil yang terapkan, yaitu juragan sebagai pemilik alat produksi, anak buah kapal (nelayan) sebagai tenaga kerja tanpa upah tetap. Pendapatan nelayan sangat tergantung dari nilai hasil tangkapan, jika hasil tangkapan lebih rendah dari biaya operasional, maka kerugian tersebut ditanggung oleh nelayan, artinya anak buah kapal tetap mempunyai kewajiban untuk membayar biaya operasional melalui pemotongan dari nilai hasil tangkapan selanjutnya. Tabel 11. Rata-rata hasil tangkapan, nilai produksi, dan biaya eksploitasi tahun 2004 dari 88 kapal pukat cincin Rata-rata Simpangan baku Hasil tangkapan (ton) Nilai produksi (Rp. juta) 36 19,2 98,3 49,2 Biaya eksploitasi (Rp. Juta per trip) 53,2 8,3 79 Sistem bagi hasil yang berlaku memperlihatkan pendapatan anak buah kapal yang diturunkan dari Tabel 11. Rincian perhitungan sebagai berikut pengurus (5%) dan penyusutan jaring (30 sampai dengan 35%) 29,5 sampai dengan 34,4 juta, lawuhan (2,5 sampai dengan 3% sebagai bonus untuk nelayan) 2,5 sampai dengan 3 juta, sisa 60,9 sampai dengan 66,3 juta dikurangi biaya eksploitasi kemudian dibagi 2. Dengan biaya eksploitasi 53,2 juta, maka anak buah kapal akan memperoleh bagian antara 3,85 sampai dengan 6,55 juta ditambah lawuhan. Jika jumlah anak buah kapal 30 sampai dengan 35 orang, maka nelayan akan memperoleh bagian sekitar 200.000 sampai dengan 300.000. Pendapatan anak buah kapal relatif kecil dibandingkan harus tinggal di laut selama 40 sampai dengan 60 hari. Pendapatan anak buah kapal mungkin lebih kecil daripada bantuan subsidi bahan bakar minyak bagi rakyat miskin (Rp. 100.000 per bulan). Satria (2001) mencatat bahwa kelembagaan sistem bagi hasil yang bersifat praktek eksploitasi buruh, penetapan biaya penyusutan jaring 30 sampai dengan 35%, perbaikan mesin dan alatalat lain dibebankan kepada biaya pembekalan, dan besar biaya opersional tidak pernah terbuka. Juru mudi sebagai wakil anak buah kapal harus percaya dengan perhitungan juragan. Gambar 24. Hubungan hasil tangkapan dengan nilai produksi per trip pada tahun 2004 dengan rata-rata 31,4 ton dan nilai produksi Rp.90,7 juta. 80 Pada Gambar 24 menunjukkan slope adalah rasio nilai produksi hasil tangkapan, dan rata-rata hasil tangkapan 31,4 ton trip per kapal, serta penyebaran nilai produksi. Dari pola penyebaran nilai produksi menunjukkan bahwa sekitar 25% trip kapal pukat cincin dalam kondisi merugi, sekitar 35% kapal pukat cincin memperoleh nilai produksi kurang dari Rp.100 juta per trip dan hanya memberikan pendapatan kepada anak buah kapal kurang Rp.300.000. Pendapatan anak buah kapal per trip memcapai lebih Rp.500.000 hanya sekitar 25%. Dari situasi ini dapat diperkirakan 75% kapal pukat cincin tidak dapat melakukan aktivitas penangkapan akibat kebijakan pengurangan subsidi bahan bakar minyak. Dari sudut pandang pengelolaan perikanan, pengurangan subsidi bahan bakar minyak membantu berkurang tekanan penangkapan dan memberi peluang sumber daya ikan pulih kembali. Namun demikian, rasionalisasi upaya penangkapan tersebut akan membawa konsekuensi sosial ekonomi yakni bagaimana memindahkan sejumlah besar anak buah kapal pukat cincin dan berimbas merosot aktivitas tempat pelelangan ikan akibat berkurang hasil tangkapan ikan yang di daratkan, sementara alternatif perkerjaan lain di luar sektor perikanan sangat sulit. 8. IMPLIKASI PENGELOLAAN Masalah utama pada perikanan tangkap di Laut Jawa, yaitu 1) hampir sebagian besar usaha perikanan tangkap di Indonesia mempunyai karakteristik akses terbuka tanpa pembatasan upaya penangkapan, kompetisi bebas terjadi antara perikanan skala besar dan kecil. 2) kondisi sumber daya laut, pesisir dan ekosistem di Laut Jawa telah mengalami kerusakkan pada sebagian besar sumber daya hayati. Penurunan kualitas lingkungan dari sebagian ekosistem yang ada akibat perairan pesisir merupakan lokasi pusat-pusat penampungan air limbah (dumping area) (pencemaran secara fisik, kimia, dan biologi) dari aktivitas daerah hulu dan laut. Pada dasarnya, penurunan kualitas lingkungan mempengaruhi terhadap menurun produktivitas perairan 81 sehingga akan mengurangi pertumbuhan ikan dan akhir akan menyebabkan produksi turun drastis. Oleh karena itu, kelangsungan dan produktivitas sumber daya perikanan laut dipengaruhi tidak hanya oleh tekanan penangkapan, tetapi juga oleh kualitas lingkungan. 3) pembangunan sub sektor perikanan lebih ditujukan tercapai peningkatan produktivitas dan pendapatan nelayan. Dengan kerangka pengelolaan hanya mengacu pada kriteria angka potensi dan (maximum sustainable yield), mengabaikan laju pertumbuhan stok ikan, dan variabilitas lingkungan global terhadap sumber daya perikanan serta dinamika perikanan yang terjadi. Instrumen pengelolaan melalui konvensional input control upaya penangkapan dan ukuran mata jaring (mechanical selection), tidak termasuk pembatasan berusaha (limited entry), yaitu membatasi jumlah modal, tenaga kerja, dan taktik penangkapan, maka wajar terjadi miss management. Perikanan pelagis kecil di Laut Jawa telah dihadapkan pada masalah kelebihan kapasitas penangkapan dan dinamika alokasi upaya penangkapan. Armada perikanan pukat cincin telah berkembang kapasitas dan ekspansi penangkapan, yaitu ukuran kapal, kekuatan mesin, perluasan daerah penangkapan, dan individu kapal menjadi lebih efisien dengan perubahan taktik penangkapan dari penggunaan rumpon menjadi lampu sorot sebagai alat bantu pengumpul ikan. Sejak tahun 1997, sebagian besar pukat cincin mini di Rembang telah berubah taktik penangkapan dari penggunaan lampu petromak (bangkrak) ke lampu sorot (merkuri dan halogen). Sekarang pukat cincin mini telah menggunakan lampu sorot sekitar 7 sampai dengan 22 buah. Dari dokumen perizinan (Surat Izin Penangkapan Ikan) pada perikanan pukat cincin skala besar (semi industri) dapat beroperasi di tiga (wilayah pengelolaan perikanan), yaitu Laut Jawa, perairan Laut Natuna dan Selat Karimata, serta Selat Makassar. Kelebihan kapasitas penangkapan armada pukat cincin perlu diangkat menjadi isu dan pokok permasalahan serius bagi otoritas 82 perikanan. Penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management) melalui pengendalian kegiatan penangkapan pada daerah padat tangkap, pemulihan produktivitas sumber daya ikan dan pengendalian pemanfaatan lingkungan sumber daya ikan. FAO merekomendasikan bahwa tiap negara harus mencegah overfishing dan overfishing capacity, serta harus melaksanakan langkah pengelolaan untuk menjamin bahwa upaya penangkapan adalah sepadan dengan kapasitas produksi sumber daya perikanan dan pemanfaatan lestari. International Plant of Action untuk pengelolaan fishing capacity telah menguraikan kerangka kerja dari Code of Conduct sebagai suatu elemen konservasi pengelolaan dan pengelolaan yang berkelanjutan (sustainable) (Kirkley et al., 2002; Joseph, 2003). Gambar 25. Hubungan antara pendugaan stok pengelolaan, strategi, dan regulasi. ikan, tujuan Pendugaan stok perikanan dan manajemen merupakan pekerjaan yang sangat sulit. Hubungan antara pendugaan stok, tujuan pengelolaan, strategi, dan regulasi diungkapkan oleh King (1998) yang diterakan pada Gambar 25. Dalam kajian stok ikan akan menghadapi besaran nilai stok ikan yang bersifat dinamis. Salah satu tujuan pengkajian stok ikan adalah bagaimana otoritas perikanan dapat menentukan dan mempertimbangkan pengelolaan perikanan (fisheries management) berdasarkan pada masukan informasi biologi, ekonomi, 83 dan lingkungan. Kisaran strategi pengelolaan yang dapat diterima dan dipertimbangkan oleh berbagai pihak (pengguna). Sejauhmana reaksi nelayan dapat diperhitungkan dan diramalkan untuk tercapai tujuan pengelolaan perikanan, serta memperhitungan tekanan pihak luar yang akan mempengaruhi pengelolaan perikanan di masa mendatang. Hilborn & Walters (1992) membagi menjadi 4 bagian isu berbeda bagi pengelolaan dan pendugaan stok, yaitu daerah A adalah perikanan baru dimulai, jumlah kapal sedikit dan ukuran kecil, stok sangat besar dan tidak tersentuh. Daerah B, perikanan matang di mana eksploitasi penuh, jumlah upaya penangkapan dekat nilai optimal atau terlalu berlebihan, maka jangka panjang keadaan perikanan melewati lebih tangkap. Daerah C, perikanan telah lebih tangkap yang runtuh, besaran stok telah menurun di bawah optimum, nelayan banyak merugi, kebanyakan perikanan tidak pernah mencapai kondisi ini. Daerah D, periode pemulihan setelah lebih tangkap dan runtuh (collapse), banyak nelayan telah meninggalkan perikanan dan stok pulih secara bertahap. Smith (1969) diacu dalam Clark (1985) berasumsi, bahwa jangka panjang tingkat eksploitasi sejalan dengan keuntungan. Model dinamika dari perikanan akses terbuka dengan asumsi, bahwa upaya penangkapan (E) mewakili jumlah kapal pada perikanan. Jika keuntungan (π)>0, E akan cenderung meningkat dan sebaliknya. Conrad & Clark (1987) mengatakan bahwa nelayan masuk keluar perikanan berdasarkan pada apakah pendapatan bersih positif atau negatif, lebih lanjut mengasumsikan bahwa nelayan masuk perikanan berdasarkan pada myopic decision rule atau rational expectation. 84 Gambar 26. Empat bagian isu berbeda bagi pengelolaan dan pendugaan stok ikan menurut Hilborn & Walters (1992). Selama ini, kontrol input effort pada perikanan pukat cincin dilakukan langsung oleh nelayan dan individu pemilik kapal. Secara alamiah, nelayan akan merespon penurunan stok ikan dengan merekayasa peningkatan kemampuan tangkap kapal, ukuran kapasitas kapal, jaring, dan taktik penangkapan (peningkatkan kemampuan tangkap dengan perlengkapan teknologi yang lebih maju). Dengan demikian, upaya penangkapan bergerak mengikuti perubahanperubahan yang terjadi pada sumber daya dan faktor eksternal lain. Pada tingkat biomassa tidak dapat mendukung pada tingkat upaya penangkapan yang sedang berjalan, maka upaya penangkapan akan berkurang secara alami. Perikanan dinamis dikelola untuk keuntungan manusia, tentu beberapa ikan dilindungi untuk alasan konservasi dan menjamin kelangsungan perikanan itu sendiri melalui perlindungan sebagian stok induk pemijah. Eksploitasi sumber daya ikan pada saat sekarang, 85 tanpa merusak atau mengurangi terhadap kemampuan generasi mendatang memenuhi kebutuhan. Dalam usaha menjaga kelestarian sumber daya ikan dikenal dengan tindakan pengelolaan, seperti kuota, pengaturan ukuran mata jaring, penutupan daerah pemijahan, dan musim, bertujuan untuk menjamin sebagian sediaan menjadi induk ikan dan menjaga sediaan induk dari eksploitasi. Berdasarkan pada hasil penelitian aspek reproduksi dan struktur populasi dari 5 spesies ikan pelagis kecil (D. macrosoma, D. russelli, R. kanagurta, A. Sirm, dan S. crumenophthalmus) dan rata-rata ukuran ikan. Sebagian besar ikan yang tertangkap belum matang seksual dan tingkat pemulihan (recovery stage). Dengan demikian, pendekatan memelihara stok induk ikan (spawning stock) melalui larangan penangkapan atau perlindungan ikan yang akan bertelor, yaitu termasuk pembatasan upaya penangkapan untuk mengurangi mortalitas penangkapan (F), atau penetapan penutupan daerah dan musim penangkapan belum mempunyai alasan kuat. Pemikiran tentang ikan diberi kesempatan bertelor paling sedikit 1 kali selama hidup, secara harfiah akan melarang seluruh usaha perikanan tangkap. Pendekatan selektivitas melalui regulasi ukuran mata jaring (mechanical selection) tidak akan efektif, harus melalui operasi penangkapan (ruang dan waktu daerah penangkapan, serta konsentrasi ikan-ikan ukuran fingerlings). Kemunculan ikan muda (fingerlings) dan rata–rata ukuran ikan yang tertangkap oleh perikanan pukat cincin mempunyai perbedaan tingkah laku pada daur hidup ikan, di mana ada pemisahan secara geografis antara daerah pemijahan, asuhan, dan stok ikan yang dapat dieksploitasi (behaviour selection). Pada dasarnya, nelayan telah mengetahui dengan baik daerah penangkapan yang menguntungkan dan komposisi jenis ikan menurut daerah penangkapan dan musim. Memilih dalam kisaran sempit dari spesies dan ukuran ikan (human selection). Penyusutan biomassa mendorong nelayan mencari daerah penangkapan baru. 86 Pengusaha atau nelayan kapal pukat cincin tanpa disadari telah mengatur upaya penangkapan sendiri, tekanan penangkapan terhadap sumber daya ikan pelagis di Laut Jawa berkurang dengan beralih daerah penangkapan ke bagian timur Laut Jawa (termasuk Selat Makassar) dan bagian selatan Laut Cina Selatan. Akhir-akhir ini, ekspansi dengan memindahkan fishing base dari Pekalongan ke Bitung dimaksudkan untuk dapat mengeksploitasi sumber daya laut dalam di Teluk Tomini, Laut Sulawesi, dan Laut Maluku, dengan cara menambah penggunaan lampu di bawah air (under water lamp) dan modifikasi ukuran kedalaman jaring. Suatu tinjauan ke masa depan, pembatasan upaya penangkapan bertujuan untuk melindungi kelangsungan usaha perikanan tradisional sebagai padat tenaga kerja. Selama ini, perluasan daerah penangkapan kurang memperhatikan armada pukat cincin mini dan alat tradisional lain yang beroperasi di perairan pesisir pantai utara Pulau Jawa, Kalimatan Selatan, dan pulau–pulau yang berada di Laut Jawa. Perspektif pengelolaan perikanan (fisheries management) adalah pembatasan kuota hasil tangkapan dan upaya penangkapan dapat mengurangi lebih tangkap (over exploitation), tetapi regulasi pada perikanan pukat cincin juga harus memperhitungan kenyataan perikanan saat ini seperti a) rata-rata hasil tangkapan jauh lebih rendah dari kapasitas kapal. b) pengurangan subsidi bahan bakar minyak berpengaruh langsung terhadap aktivitas perikanan. c) ketidakberdayaan nelayan keluar dari usaha perikanan akibat kesulitan alternatif perkerjaan lain. Rasionalisasi upaya penangkapan akibat semakin terbatas stok ikan pelagis kecil dan kenaikan biaya operasional menimbulkan konsekuensi sosial ekonomi, bagaimana memindahkan sejumlah besar anak buah kapal. Solusi jangka pendek melalui regulasi tidak harus membekukan upaya penangkapan dan jumlah kapal yang ada, tetapi membatasi akses kapal baru. Jangka panjang melalui regulasi mengenai peningkatan taktik penangkapan dan mengontrol penggunaan jumlah lampu sorot. 87 Regulasi pembatasan daya lampu sorot untuk mengurangi persaingan dan konflik dengan alat tangkap, selain itu kita pikirkan hak penggunaan wilayah (territorial use right in fisheries) sebagai salah satu elemen pengelolaan. Isu-isu yang berkaitan dengan kapasitas penangkapan lebih menjadi perhatian dalam pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan. Pada dasarnya, pengelolaan perikanan dapat terwujud hanya apabila pemborosan terhadap sumber daya ikan dapat berkurang. Namun demikian, kesulitan–kesulitan praktis yang dihadapi dalam rencana pengelolaan perikanan di Indonesia khusus di Laut Jawa tidak dapat dianggap remeh, karena daerah geografis yang cukup luas untuk melaksanakan peraturan pengelolaan, kebanyakan nelayan tidak mempunyai sumber pendapatan alternatif, sehingga keikutsetaan tenaga kerja yang masuk akan terus meningkat akibat pertambahan penduduk dan Pemerintah Daerah akan memaksimumkan kesempatan kerja bagi penduduknya. Selain itu, pengambilan keputusan pada perikanan skala besar yang terpusat dan belum terkoordinasi dengan baik sehingga mempersulit dibentuk kekuatan lokal yang dibutuhkan untuk program pengelolaan sumber daya ikan. AFTAR PUSTAKA Atmaja, S. B. 1988. Estimation of growth and mortality of round scad (Decapterus macrosoma) in the Java Sea in contribution to tropical fisheries biology: Paper by participant of FAO/Danida Follow up Training Course (Venema, S. J. M. Christensen and D. Pauly (eds). FAO Fish. Report (389): 324–345. -----. 1999. Variasi geografis hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp.) di perairan bagian selatan Paparan Sunda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol.V (3): 63–71. -----.2002. Pengamatan hasil tangkapan pukat cincin pada taktik penangkapan dengan cahaya sebagai alat bantu utama. Laporan Praktikum Mata Kuliah Tingkah Laku Ikan. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 10 p. 88 -----.2002. Dinamika perikanan purse seine di Laut Jawa dan sekitarnya. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 63 p. ------.2003. Pendugaan hasil tangkapan lestari dan tingkat eksploitasi ikan pelagis di Laut Jawa dan sekitarnya. Makalah disajikan pada Seminar Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional VIII. Tanggal 9 sampai dengan 11 September 2003. Atmaja, S. B. & B. Sadhotomo. 1985. Aspek operasional kapal pukat cincin di Laut Jawa. Laporan Penelitian Perikanan Laut. 32: 6571. -----.1993. Beberapa catatan tentang fekunditas relatif ikan japuh (Dusumeria acuta), tanjan (Sardinella gibbosa), dan banyar (Rastrelliger kanagurta). Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 73: 97–102. -----. 2000. Variasi geografis hasil tangkapan pukat cincin di bagian selatan Paparan Sunda. Prosiding Seminar Keanekaragaman Hayati Ikan. Pusat Studi Ilmu Hayati Institut Pertanian BogorPusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.. 221-218. -----. 2005. Prediction of biomass of Spotted sardine (Amblygaster Sirm) in the Java Sea. Atmaja, S. B. & J. M. Ecoutin. 1995. Mini purse seine fisheries in north coast of Java waters. Paper presented at the Fourth Asian Fisheries Forum. Beijing. 16 until 20 October. Atmaja, S. B. & D. Nugroho. 1995. Aspek reproduksi ikan layang deles (Decapterus macrosoma) dan siro (Amblygaster sirm) sebagai pertimbangan dalam pengelolaannya di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol.I (3): 1-10. 89 -----. 2006. Standardisasi kemampuan tangkap (koefisien q) pukat cincin di Laut Jawa dan sekitarnya. Atmaja, S. B., B. Sadhotomo, & R. Rustam. 1982. Gonad indeks dan perbandingan kelamin ikan layang (Decapterus maruadsi, Termmick dan Schlegel) di Laut Ara-furu. Laporan Penelitian Perikanan Laut. 24: 1-9. Atmaja, S. B., B. Sadhotomo, & Suwarso. 1995. Reproduction of main small pelagic species in Java Sea. In Potier & S. Nurhakim (eds): Biodynex. Seminar Biology, Dynamics, and Exploitation of small pelagic in Java Sea. Jakarta, 21 until 25 March 1994. AARD/EEC/ORSTOM. 69-84. Bailey K. M. & E. D. Houde. 1978. Predator on eggs and larvae of marine fishes and the recruitment problem In Blaxter. J. H. S. & A. J.Southward (eds): Marine biology. Academic Press. London. Vol.25. 2–82. Bal, D. V. & K. V. Rao. 1984. Marine fisheries. Tata Mcgraw-Hill Pub. Com. Lim. New Delhi. 455 p. Baskoro, M. S. 1999. Capture process of the floated bamboo platform Liftnet with ligth attraction (Bagan). Doctoral Course of Marine Science and Technology. Graduate School of Fisheries Tokyo University of Fisheries. Belvere, H. & K. Erzini. 1983. The influence of hydroclimatic factors on the availability of the sardine (Sardina pilchardus Walbaum) in the Maroccan Atlantic fishery. In G. D. Shap & J. Crisrke (eds.). Proceedings of the expert consultation to examine changes of abundance and species composition of neritic fish resources. FAO Fish REP. 2 (291): 285–238. Burczynski, J. J., P. H. Michaeltz, & G. M. Marrone. 1987. Hydroacoustic assessment of the abudance and distribution of 90 rainbow smelt in Lake Oake. North American Journal Fisheries Management. (7): 106-116. Caddy, J. F. & R. Mcgarney. 1996. Targets or limits for management of fisheries. North American Journal Fisheries Management. American Fisheries Society. Vol.16. (3): 479-487. Charles, T. A. 2001. Sustainable fishery systems. Blackwell Science Ltd. London. 370 p. Christy, Jr. F. T. 1987. Experience in dealing with problem of excess fishing effort and conflict. Paper presented at the symposium on the exploitation and management of marine fishery resources in the Southeast Asia. IPFC. RAPA. FAO-UN. Bangkok. 324–350. Clark, C.W. 1985. Bioeconomic modeling and fisheries management. John Wiley & Sons. New York. 300 p. Clarke, R. P., S.S. Yoshimoto, & S. G. Pooley. 1992. A bioeconomic analysis of the North-Western Hawaiian Islands. Lobster Fishery. Marine Resources Economics. 7(2): 115-140. Clucas, I. J. & P. J. A. Reilly. 1992. Small pelagics post harvest. Landell Mills Limited. Fourth Tech. Report o4/92. ALA/INS/87/17. Rep. Mission. 51 p. Clucas I. J. & J. Basmal. 1998. The processing, distribution, and marketing of small pelagic from three fishing pots in Central Java. In Roch, J., S. Nurhakim, J. Widodo, & A. Purnomo (eds): Seminar Sosekima. Proceedings of socio economics, innovation, and management of the Java Sea pelagic fisheries. Bandungan. 4 until 7 December 1995. AARD/EEC/ORSTOM. 181–190. Collier, W. L. 1981. Budi daya ikan dan perikanan rakyat. Dalam Marahudin & I. R. Smith (eds): Ekonomi Perikanan. Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia. Jakarta. 281–307 91 Conrad, J. M. & C. W. Clark. 1987. Natural resource economics. Cambridge University Press. New York. 231 p. Cotel P. & D. Petit. 1997. Target strength measurements on three pelagic fishes from the Java Sea. In Petit, D., P. Cotel, & D. Nugroho (eds). Proceeding of acusticans 2). AARD/EEC/ORSTOM. Bandungan, May 27 until 29, 1996. 109117. de Jong, J. K. 1940. A preliminary investigation of the spawning habits of the fishes of the Java Sea Treubia. 17: 307-330. Delsman, H. C. 1926. Fish eggs and larvae from the Java Sea 5. Caranx kurra, C. macrosoma, and C. crumenophthalmus. Treubia. 8 (3, 4), 199-211. Djamali, A. 1977. Penelaahan beberapa aspek biologi ikan kembung laki, Rastrellliger kanagurta (Cuvier) dari perairan sekitar Pulau Panggang-Pulau Seribu. Oseanologi di Indonesia. 8: 1-10. Durand, J. R. & J. Widodo. 1997. Final report java sea pelagic fishery assessment project (ALA/INS/87/17). AARD/EEC/ORSTOM. Sci. and Tech. Doc. No.26. 76 p. Dwiponggo, A. 1983. Pengkajian sumber daya perikanan laut di Laut Jawa. Laporan Penelitian Perikanan Laut. No.28: 13-33. Fauzi, A. 1999. An econometric analysis of the surplus production model and its application for Tropical Fisheries. Working paper. Institute Fisheries Analysis. Simon Fraser University. British Columbia. Canada. 19 p. Fauzi, A. 2000. Teori ekonomi sumber daya perikanan. Paper dari bagian ekonomi sumber daya alam. Institut Pertanian Bogor. 92 Fauzi, A. & Anna, S. 2005. Permodelan sumber daya perikanan dan kelautan untuk analisis kebijakan. Gramedia. Jakarta. 335 p. Garcia, S. 1986. Seasonal trawling bans can be very successfulin heavily overfishing area: the Cyprus Effect. Fishbyte. Vol.4 (1): 712. Gloerfelt-Tarp, T. dan P.J. Koilola. 1982. Trawled fishes of southern Indonesia and North-western Australia. ADAB (Australia), DGF (Indonesia) and GTZ (German). 384 p Gulland, J. A. 1991. Fish stock assessment. A manual of Basic Metodes. John Wiley & Sons. Chichester-New York-BrisbaneToronto-Singapore. 223 p. Hardenberg, J. D. F. 1938. Theory on the migration of layang (Decapterus spp.) in the Java Sea. Med. Inst. Zeevisscherij. Batavia. 124-131. Hilborn, R. & C. J. Walters. 1992. Quantitative fisheries stock assessment: Choice, dynamics, and uncertainty. Chapman and Hall. New York. London. 570 p. Hermawan M., Samo Kh. & Nainggolan C. 1998. Target strength measurement of round scad (Decapterus maruadsi) caught in Terengganu waters by using spit beam tranducer DT 600. Octopus Vol.2 (2): 131-135. Iles, T. D. 1984. Allocation of resources to gonad and soma in Atlantic Herring, Clupea harengus L. In Potts, G. W. & R. J. Wooton (eds): Fish reproduction, strategies, and tactics. Academic Press. London. 322–347. Joseph, J. 2003. Managing fishing capacity of the world tuna fleet (abstract and executive summary). SCTB16 Working paper. 16th Meeting of Standing Committee on Tuna and Billfish. 7 pp. 93 King, M. 1998. Fisheries biology, assessment, and management. Fishing New Books. England. 338 p. Kirkley, J., Catherine J. M. P., & Squires D. 2002. Capacity and capacity untilization in fishing industries: definition, measurement, and a comparation of approaches. Verginia Institute of Marine Sciences, College of William and Mary Gloucester Point. Virginia. USA. 41 p. Laevastu, T. 1993. Marine climate weathers and fisheries. Fishing New Books. England. 205 p. Laevastu, T. & F. Favorite. 1988. Fishing and stock fluctuation. Fishing New Books. England. 239 p. Laroche, J. L. & S. Richardson. 1980. Reproduction of Nothern Anchovy, Engraulis mordax off Oregon, and Washington. Fish. Bull. U. S. Vol.78 (3): 603–618. Longhust, A. R. & D. Pauly. 19987. Ecology of tropical oceans. Academic Press Inc. New York. 407 p. Lazarus, S. 1990. Studied on the spawning biology of the trenched sardine, Sardinella sirm (Walbaum) from Vizhimjam. South-West coast of India. Indian Journal Fisheries. 37 (4): 335-346. Martosubroto, P. 1982. Fishery dynamics of the demersal resources of the Java Sea. Phd. Dessertation, Dalhousie University. Canada. 238 p. McElroy, J. K., J. Rogers, & C. Tample. 1991. Proposed project programme incorporating report of field visit to project area. First technical report of 01/91. Landell Mills Limited. ALA/INS/87/17. 42 p. 94 Morse, W. W. 1980. Spawning and fecundity of Atlantic Mackerel, Scomber scombrus in the Middle Atlantic Bright. Fish. Bull. U. S. Vol.78 (1): 103-108. Nagasaki, F. & S. Chicuni. 1989. Management of multispecies resources and multigear fisheries. Fisheries Technical Paper 305. FAO. United Nations Rome. 68 p. Nugroho, D., B. Pasaribu, & V. P. Siregar. 2003. Studi tentang stok ikan di bagian timur Laut Jawa berdasarkan deteksi akustik kelautan. Seminar Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 12 p. Nurhakim, S. 1995. Population dynamics of ikan banyar. In Potier and S. Nurhakim (eds): Biodynex. Seminar Biology, Dynamics, and Exploitation of small pelagic in Java Sea. Jakarta, 21 until 25 March 1994. AARD/EEC/ORSTOM. 109-123. Nurhakim, S., B. Sadhotomo, & M. Potier. 1995. Composite model on small pelagic resources. In Potier & S. Nurhakim (eds): Biodynex. Seminar Biology, Dynamics, and Exploitation of small pelagic in Java Sea. Jakarta, 21 until 25 March 1994. AARD/EEC/ORSTOM. 145-153. Nybakken, J. M. 1988. Biologi laut, suatu pendekatan ekologis. Alih bahasa H. M. Eidman, Koesbiono, D. G. Bengen, M. Hutomo, & S. Sukardjo. PT. Gramedia. Jakarta. 459 p. Panayotou, T. 1982. Management concept for small–scale fisheries: Economics and social aspects. FAO Fisheries Technical Paper No.228. FAO-UN. Rome. 53 p. Pauly, D. & J. L. Munro. 1984. Once more on the comparison of growth in fish and invertebrates. Fishbyte. 2 (1):14-19. Petterson, K. R. 1991. An overview of objectives for fisheries 95 management. Fishbite. Vol.9 (1): 31–36. Petit, D., F. Gerlotto, & P. Petitgas. 1995. Data stratifycation and pelagic fish density evalution in the Java Sea. Fourth Asian Fisheries Forum. Beijing.16 until 20 October 1995. 5 p. Potier, M. 1998. Pêcherie de layang et senneurs semi industriels Javanais: Perspective historique et approche système. Phd Thesis. Université de Montpellier II. 280 p. Potier, M. & B. Sadhotomo. 1995a. Exploitation of the large and medium seiners fisheries. In Potier & Nurhakim (eds): Biodynex. Seminar Biology, Dynamics, and Exploitation of small pelagic in Java Sea. AARD/EEC/ORSTOM. 195–214. Potier, M. & B. Sadhotomo. 1995b. Trends in the scad fishery of the Java Sea exploitation of the large and medium seiners fisheries. Fourth Asian Fisheries Forum. Beijing.16 until 20 October 1995. Pried, I. G. & M. Walsh. 1991. Estimation of biomass of Atlantic Mackerel (Scomber scombrus) using the annual and daily egg production methods. Progress and problem in fish abundance estimation. ICES. 19 p. Raja, B. T. A. 1972. Fecundity fluctuations in the oil sardine, Sardinella longiceps Val. Indian. Journal Fisheries. 18 (12): 8498. Rice, J. C. & L. J. Richards. 1996. A Framework for reducing implementation uncertainty in fisheries management. North American Journal Fisheries Management. American Fisheries Society. Vol.16 (3): 488-494. Roch, J. & Sastrawidjaja. 1995. The large seiners of the Java Sea, Fishermen incomes. Paper presented in Fourth Asian Fisheries Forum. Beijing.16 until 20 October 1995. 96 Sadhotomo, B. 1998. Bioécologie des principales espèces pélagiques exploitées en mer de Java. Phd Thesis. Université de Montpellier II. 364 p. Saila, S. B. 1979. Some environmental considerations for stock assessment of small scale fisheries. In Saila, S. B. & P. M. Roedel (eds): Stock assessment for tropical small scale fisheries. Inter. Center for Marine Resource Develop. University of Rhode Island. 60-69. Satria, A. 2001. Dinamika modernisasi perikanan formasi sosial dan mobilitas nelayan. Humaniora Utama Press. Bandung. 153. Sujastani, T. 1978. Perhitungan besarnya stock sumber-sumber perikanan di Laut Jawa berdasarkan data statistik perikanan daerah. Simposium Modernisasi Perikanan Rakyat. Sumadiharga, O. K. 2000. Potensi sumber daya perikanan laut Indonesia. Prosiding Seminar Kelautan. 142–157. Susanto, K. 1991. Metode pengoperasian pukat cincin besar di daerah Juwana, Jawa Tengah. Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Rakyat. Jakarta 18 sampai dengan 19 Desember 1989. Buku II. 361–375. Tiews K., Ronquillo I. A., & Caces-Borja. 1970. On the biology of roundscad (Decapterus, Bleeker) in the Philippine waters. Procidding IPFC. 13 (2). 82-106. Widodo. J. 1988. Population dynamics and management of ikan layang, scad mackerel, Decapterus spp. (Pisces Carangidae) in the Java Sea. Ph.D. Dissertation School of Fisheries. University of Washington. Seattle. 150 p. 97 -----.1991a. Maturity and spawning of shortfin scad (Decapterus macrosoma, Carangidae) of the Java Sea. Asian Fish. Sci. 4: 245252. -----.1991b. Konsep F0.1 sebagai strategi pengelolaan sumber daya ikan layang, Decapterus spp. di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 64: 1–6. Wikanta, T. & J. Basmal. 1998. Study on the processing method and the product quality of dried salted fish produced in Pekalongan and Juwana. In Roch, J., S. Nurhakim, J. Widodo, & A. Purnomo (eds): Seminar Sosekima. Proceedings of socio economics, innovation and management of the Java Sea pelagic fisheries. Bandungan, 4 until 7 December 1995. AARD/EEC/ORSTOM. 305-312. Wiratno, Mudiantoro, & A. Fauzi. 1993. Socio economic study of fishermen in Pekalongan Regency. Fac. Eco. UNDIP Fac. Fish. Institut Pertanian Bogor and AFSSRN. 35 p. Wyrthi. K. 1961. Physical oceanography of the southeast Asian Water. Naga Rep. 2: 1-195. Veen P. Ch. 1953. Prelimenary charts of the Indonesian archipelago and adjacent waters. Org. Sci. Res. Indonesia. 17. 46 p. Venema, S. C. 1996. Result of surveys for pelagic resources in Indonesian waters with the R/V Lemuru. December 1972 to May 1976. In Pauly & Martosubroto, (eds): Biodiversity the fish resources of western Indonesia. ICLARM. Rev. 23:102-122. Lampiran 1. Salinitas permukaan Laut Jawa (Potier, 1998) 98 Januari Maret Mei Juli Februari April Juni Agustus Oktober September Nopember Lampiran 2. Desember Suhu permukaan Laut Jawa 99 Sumber : Potier (1998) Lampiran 3. Rumpon 100 Lampiran 4. Pengoperasian jaring pukat cincin Lampiran 5. Sebaran nilai gonad somatic index menurut ukuran ikan (FL) 101 D. macrosoma 24 9 18 G S I (%) G S I (%) D. russelli 12 6 6 3 0 12 17 18 19 20 21 0 22 17 18 19 20 21 22 21 22 Panjang cagak (cm) Panjang cagak (cm) A. sirm 16 G S I (%) 12 8 4 0 17 18 19 20 21 22 Panjang cagak (cm) S. crumenophthalmus 12 9 9 G S I (%) G S I (%) R. kanagurta 12 6 3 3 0 6 17 18 19 20 Panjang cagak (cm) 21 22 0 17 18 19 20 Panjang cagak (cm) 102