Bertani - Google Sites

advertisement
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usaha-usaha pokok yang dilakukan pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan
pertanian sesuai dengan wawasan yang telah digariskan, antara lain adalah diversifikasi,
ekstensifikasi, dan intensifikasi
Dalam melaksakan usaha-usaha tersebut seringkali dijumpai beberapa kendala,
misalnya dalam diversifikasi terbatasannya ketersediaan karbohidrat dalam bentuk siap
saji, baik dalam bentuk macam hidangan yang diolah, harga yang dapat dijangkau
masyarakat maupun sebagai bahan industri. Hal ini terjadi karena dewasa ini orientasi
pangan masyarakat masih betitik berat pada beras. Usaha ekstensifikasi atau perluasan
lahan pertanian dihadapkan pada semakin berkurangnya lahan-lahan produktif dari
tahun ketahun akibat dari pemanfaatan lahan untuk keperluan non pertanian, seperti
untuk perumahan, industri perkantoran dan sebagainya. Sedangkan usaha intensifikasi
sering mengalami kendala, akibat dari penerapan paket teknologi yang kurang tepat
dalam penggunaan pupuk kimia dan pestisida dengan dosis jauh lebih tinggi dari dosis
anjuran, sehingga dapat menurunkan efesiensi usahatani dan menimbulkan dampak
negatif bagi lingkungan.
Dalam usaha intensifikas, anggapan petani bahwa penggunaan bahan kimia
buatan baik pupuk maupun pestisida adalah satu-satunya alat yang dapat meningkatan
produksi pertanian sangatlah berbahaya, karena bagaimanapun juga bahan-bahan kimia
ini dapat merusak ekosistem pertanian. Menurut Muntoyoh (1994), pupuk kimia dan
pestisida pada kenyataannya memang dapat meningkatkan produksi pertanian. Namun
hal ini hanya berlangsung dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang
bahan-bahan tersebut dapat menurunkan produksi pertanian baik secara kualitas mapun
kuantitas. Dampak yang lebih parah adalah mengakibatkan kerusakan pada tanah
hingga tidak dapat lagi dipergunakan untuk kehidupan tanaman sebagai akibat dari
akumulasi residu kimia di dalam tanah, serta timbulnya hama dan penyakit baru yang
menyerang tanaman.
Dalam kaitannya dengan efesiensi usahatani dan menanggulangi bahaya-bahaya
yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia tersebut, dewasa ini
banyak ahli pertanian mencoba menerapkan kembali prinsip-prinsip pertanian alami
yang pernah diterapkan oleh nenek moyang dahulu yang dikenal dengan cara bertani
akrab lingkungan.
Petanian akrab lingkungan (Natural Farming) adalah suatu cara bertani yang tidak
merusak ekosistem alami untuk menghasilkan produk pertanian yang sehat dan cara
berkesinambungan, tanpa atau dengan mengurangi penggunan pestisida, pupuk kimia
dan zat-zat kimia lainnya. Pandangan dari cara bertani ini adalah sistematis dengan
tujuan untuk mengenal jaringan yang berfungsi yang terdapat didalamnya. Dengan
demikian, dalam menilai kondisi ekologis tidak hanya skala ekologis yang berlaku akan
tetapi hubungan antara manusia dan alam yang sifatnya normatif – kultural, hiegenis –
medis, politis dan teknologis haruslah diperhitungkan dalam tingkat yang sama (Egger,
1987).
Organissasi yang bergerak dalam pertanian yang berwawasan lingkungan dikenal
dengan berbagai nama, diantaranya dikenal dengan : pertanian organik, pertanian
alternatif, pertanian biaya rendah, pertanian berkelanjutan, pertanian terpadu, pertanian
akrab lingkungan (Wididana, 1994), low sustainable agriculture atau yang lebih dikenal
dengan LISA (Silitonga, 1994), bertani selaras alam (ekofarming)
Produktivitas dapat diartikan sebagai suatu keluaran dari setiap produk persatuan (baik
satuan total maupun tambahan) terhadap setiap masukan atau faktor produksi tertentu,
misalnya sebagai hasil per satuan benih, tenaga kerja, atau air selain terhadap satuan
luas lahan (Hildebran, 1987).
B. Permasalahan
Peningkatan input energi seperti pupuk kimia, pestisida maupun bahan-bahan kimia
lainnya dalam pertanian dengan tanpa melihat kompleksitas lingkungan disamping
membutuhkan biaya usahatani yang tinggi, juga merupakan penyebab utama terjadinya
kerusakan lingkungan. Penggunaan pupuk dan pestisida di luar kontrol akan dapat
merusak tanah dan tolerannya suatu jenis hama dan penyakit tertentu terhadap pestisida
disamping juga dapat menghilangkan jenis predator dan parasitoid yang bermanfaat.
Bahan-bahan kimia tersebut dapat tetap tinggal sebagai residu pada hasil tanaman,
tanah tercuci ke dalam air sungai akibatnya dapat berbahaya bagi kehidupan manusia
maupun hewan. Di lain pihak, lahan pertanian produktif semakin sempit akibat
dimanfaatkan untuk keperluan non pertanian.
Dari uraian di atas, maka dapat diketahui permasalahan-permasalahan yang ada dan
akan muncul dalam usaha peningkatan produksi pertanian selama ini, yaitu dintaranya :
1. Penggunaan paket teknologi seperti pupuk anorganik dan pestisida secara tidak
terkontrol dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan, disamping
dibutuhkan biaya usahatani yang tinggi.
2. Lahan pertanian produktif semakin sempit sementara pergeseran ke arah lahan
marginal dibutuhkan penambahan paket teknologi yang khusus, yang berrti
diperlukan kemampuan (skill) dan input yang lebih tinggi.
3. Sistem pertanian secara monokultur akibat terpaku pada usahatani padi
menyebabkan terkuranya unsur-unsur hara tertentu yang dapat menyebabkan
kerusakan pada tanah, disamping juga kenutuhan keragaman pangan tidak terpenuhi.
Melihat permasalahan-permasalahan tersebut, guna mempertahankan dan meningkatkan
produksi pertanian sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, maka pengelaolaan
sumberdaya secara efektif dari segi ekologi maupun ekonomi mutlak dilakukan.
Pertanyaan yang timbul kiranya langkah-langkah apa saja yang mungkin dapat
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut ?
C. Tujuan
Sehubungan dengan permasahan-permasalahan yang dihadapi dalam usaha
pembangunan petanian yang berwawasan lingkunga, dikaitkan dengan beberapa
alternatif pemecahan masalah yang akan dikemukan pada bab II berikut, maka tujuan
dari penulisan ini adalah untuk mengkaji lebih jauh peluang-peluang yang mungkin
dapat dilakukan dalam usaha meningkatkan produktivitas lahan dengan sistem
pertanian yang berwawasan lingkungan.
II. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH
Beberapa alternatif yang dapat dikemukakan dalam usaha peningkatan
produktivitas lahan pertanian dengan sistem akrab lingkungan menurut Fukoka (1994),
adalah tanpa pengolahan tanah, tanpa pupuk kimia, tanpa mengholangkan gulma
dengan mengerjakan tanah atau dengan herbisida, dan tidak tergantung pada bahanbahan kimia. Hal ini dapat dilakuan melalui penanaman secara tumpangsari,
penggunaan biofertilizer, dan pemanfaatan bahan organik :
A. Bercocok Tanam Secara Tumpangsari
Bertani secara tumpangsari adalah penanaman dua atau lebih jenis tanaman
sekaligus pada sebidang tanah yang sama dan pada hakekatnya merupakan usaha tani
yang intensif berdasarkan pemanfaatan waktu dan ruang tumbuh (Andrews dan
Kassam, 1979).
Intensifikasi dengan cara ini dapat meningkatkan hasil per satuan luas pahan
persatuan waktu, mengurangi resiko kegagalan panen, serta meningkatkan produksi
lahan, tenaga, waktu dan sumber usahatani yang tersedia selama satu musim tanam
(Thahir dan Hatmadi, 1986).
Tumpangsari tanaman leguminosa dengan serelia merupakan suatu kombinasi yang
telah umum dilakukan oleh petani. Menurut Trenbath (1976), penggunaan tanaman
leguminosa seeprti kacang-kacangan sebagai tanaman sela dapat menguntungkan bagi
tanaman pokok, karena banyak menghasilkan nitrogen, dapat memperbaiki struktur
tanah serta dapat menekan tumbuhnya rumput-rumputan. Selanjutnya Lingga (1986)
menyatakan, bintil-bintil akar yang umumnya erdapat pada tanaman leguminosa juka
bersimbiose dengan tanaman lain mempunyai kemampuan mengikat unsur nitrogen dari
udara bebas. Hal ini sangat menguntungkan, selain dapat menambah nitrogen dalam
tanah juga dapat memenuhi kebutuhan nitrogen bagi tanaman lain (Munandar, 1984).
Seperti diktahui, unsur nitrogen merupakan unsur makro yang paling menonjol diantara
unsur-unsur yang diprlukan oleh tanaman. Menurut Gardner, Pearce dan Mitchell
(1985) pertanian sangat tergantung pada nitrogen yang dihasilkan oleh organisme yang
mampu menambat nitrogen untuk produksi tanaman budidaya.
Chapman dan Myers (1987) menyatakan bahwa hasil fiksasi nitrogen oleh legum
dalam tumpangsari dapat tersedia bagi tanaman nono legum yang berada di sekitarnya
selama musim pertumbuhannya. Pembususkan akar dan nodul erupakan hal penting
dalam tranfer nitrogen, walaupun organ-organ tersebut umumnya mengandung hanya
sebagian kecil dari total tanaman. Sebagai contoh, hanya 3 – 40 kg nitrogen per hektar
mungkin yang terdapat dalam bintil akar legum yang ditumbuhkan di lapangan.
Selain keuntungan dalam bentuk kontribusi nitrogen yang dapat diberikan dalam
penanaman secara tumpangsari, juga dapat mematahkan siklus hidup dari patgen atau
hama tertentu melalui rotasi tanaman (Palaniappan, 1988). Dengan adanya rotasi
tanaman berarti sumber makanan inang hama maupun penyakit menjadi tidak ada atau
berkurang sehingga perkembangan dari organisme pengganggu tanaman tersebut
menjadi terhambat (Alexander, 1977). Masih banyak keunggulan-keunggulan yang lain
didapat dari penanaman secara tumpangsari seperti keanekaragaman hasil panen,
efesiensi dalam tenaga, modal dan sebagainya.
B. Pemanfaatan Biofertilizer
Beberapa penelitian untuk menghasilkan teknologi yang dapat meningkatkan
kesuburan tanah dengan tanpa menggunakan pupuk kimia buatan telah banyak di
lakukan. Salah satu teknologi yang saat ini dikembangkan adalaha pengelolaan hara
terpadu yang mendukung pemupukan organik dan pemanfaatan biofertilizer.
Pengertian biofertilizer secara umum adalah pemanfaatan strain-strain unggul
baik berupa sel hidup ataupun dalam bentuk laten dari mikroba penambat nitrogen (N),
mikroba pelarut phosphat (P), atau mikroba perombak selulosa yang diberikan ke biji,
tanah ataupun tempat pengomposan dengan tujuan meningkatkan jumlah mikroba dan
mempercepat proses terjadinya hara bagi tanaman. Biofertilizer yang umum digunakan
adalah effective microorganisms (EM), inokulum Rhizogin, Azotobacter, Pseudomonas,
Bacillus, Trichoderma, dan VA Mycorrhiza. Pemanfaatan biofertilizer yang
dikombinasikan dengan pupuk anorganik dan organik memberikan prospek cukup baik
untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas tanah (Prihatini, Kentjanasari, dan
Sri Adiningsih, 1966).
Effective microorganisms (EM) merupakan salah satu jenis biofertolizer yang
dikemas dalam larutan sebagai EM-3, EM-4, dan EM-5. Namun yang paling dikenal
dikalangan petani adalah EM-4. EM-4 diformulasikan dalam bentuk cairan dengan
warna coklat kekuning-kuningan, berbau asam mengandung 90% bakteri Lactobacillus
sp dan tiga jenis mikroorganisme lainnya, yaitu bakteri fotosintetik, streptomyces sp,
dan yeast (mikroorganisme fermentasi). Mikroorganisme tersebut dalam fase istirahat
dan bila diaplikasikan dapat dengan cepat menjadi aktif merombak bahan organik
dalam tanah. Hasil rombakan bahan organik tersebut berupa senyawa organik,
antibiotik (alkohol dan asam laktat) vitamin (A dan C), dan polisakarida (Higa dan
Wididana, 1994). Selain menghasilkan senyawa-senyawa organik tersebut, EM-4 juga
dapat merangsang perkembangan dan pertumbuhan mikroorganisme lain yang
menguntungkan seperti bakteri pengikat nitrogen, bakteri pelarut fosfat,
mikroorganisme yang bersifat antagonis terhadap patogen, serta dapat, menekan
pertumbuhan jamur patagen tular tanah (Wididana dan Higa, 1993; Muntoyah, 1994).
Penggunaan effective microorganisms di dalam tanah hampir sama pengarunya
dengan rotasi tanaman. Penerapan rotasi tanaman dapat memberikan kesempatan bagi
mikrooganisme yang menguntungkan untuk beregenerasi sehingga dapat menekan
mikroorganisme yang merugikan tanaamn. Dengan penambahan microorganisme
kedalam tanah berarti pola tanam monokultur secara kontinyu dapat dilakukan tanpa
mengakibatkan penurunan produksi tanaman (Higa, 1994)
Pencampuran bahan organik seperti pupuk kandang atau limbah rumah tangga
dan limbah pertanian dengan EM-4 merupakan pupuk organik yang sangat efektif untuk
meningkatkan produksi pertanian. Campuran ini disamping dapat sebagai starter
mikroorganisme yang menguntungkan yang ada di dalam tanah juga dapat memberikan
respon positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Wididana,
Wigenasantana dan Higa, 1994)
C. Bahan Organik
Bahan organik dihasilkan oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis, sehingga
unsur C merupakan penyususn utama dari bahan organik tersebut yang berada dalam
bentuk senyawa-senyawa polisakarida. Melaui penambahan bahan organik, tanah yang
mulanya berat menjadi berstruktur remah yang realtif lebih ringan. Infiltrasi dapat
diperbaiki dan tanah dapat menyerap air lebih cepat, sehingga aliran permukaan dan
erosi dapat diperkecil, demikian pula aerasi tanah dapat lebih baik karena ruang pori
bertambah akibat dari terbentuknya agregat (Sugito, Nuraini, dan Nurhayati). Bahan
organik juga berfungsi sebagai bahan nutrisi bagi makro dan mikro fauna (Prihatini,
Kentjanasari, dan Sri Adiningsih, 1996).Kondisi demikian ini pada akhirnya akan dapat
memacu pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang diusahakan.
III. P E N U T U P
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam rangka usaha peningkatan produktivitas lahan
melalui sitem bertani akrab lingkungan, masih banyak kiranya permasalahanpermasalahan yang berlum terungkap, sebagai contoh dalam penerapan sistem
tumpangsari kejelian pemilihan antar jenis tanaman yang akan ditumpangsarikan,
kesesuain waktu tanam, jarak tanam, pola penanaman, populasi tanaman, dan
sebagainya. Demikian halnya dengan penggunaan biofertilizer maupun bahan organik,
ketepatan dosis, macam atau jenis biofertilizer atau bahan organik, dan waktu
aplikasinya kesenuanya itu akan sangat berpengaruh terhadap hasil tanaman yang
diusahakan, sehingga diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam.
Secara ringkas dapat dikemukakan kesimpulan dari tulisan ini, yaitu :
1.
Pemanfaatan teknologi bahan-bahan kimia, seperti pupuk dan pestisida dapat
menurunkan produktivitas lahan dan pencemaran lingkungan.
2.
Usaha peningkatan produktivitas lahan yang berorientasi akrab lingkungan
dapat ditempuh melalui perbaikan cara bercocok bertanam, diantaranya dengan cara
tumpangsari, penggunaan biofertilizer, dan penggunaan pupuk organik.
Dari urain di atas diharapkan dapat membuka cakrawala berfikir kita semua baik
sebagai peneliti, petani, atau semua orang yang bergerak dalam bidang pertanian dan
penyelamat lingkungan terutama terhadap aspek-aspek yang belum dikaji, sehingga
akhirnya produksi pertanian terus dapat ditingkatkan dengan tanpa mengorbankan
kelestarian lingkungan.
DAFTAR PUSATAKA
Alexander, M., 1977. Introduction to Soil Microbiology. Second Edition. Cornel
University, USA
Andrews, D.J. and A.H. Kassam, 1976. The Importance of Multiple Cropping in
Increasing World Food Supplies. Matthias Satelly (ed). Multiple Cropping
American Society of Agronomy. Crop Science Society of America and Soil
Science of America Inc. Visconsin.
Chapmen A.L. and R.J.K Myers, 1987. Nitrogen Contribution by Grain Legumes to
Rice Growth in Rotation on the Cucunura Soil of the Ord Irigation Area West
Australia. Aust. J.Exp.Agric (27): 155 – 163.
Eggar, K., 1987. Berbagai Cara dan Kemungkinan Pelaksanaan Ekofarming di Daerah
Pegunungan Afrika Timur. Penyunting Joachim Metzner & N. Daldjoeni.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 211 – 260
Fukoka, M., 1994. Empat Azas Bertani Alami. Kyusei Nature Farming, 03 (2) : 42 – 46.
Gardner, F.P., R.B. Pearce and R.L. Mitchell, 1985. Physiology of Crop Plant. Iowa,
State University Press.
Higa, T., 1994. Effective Microorganisms. Dimensi Baru dalam Kyusei Nature
Farming, Jakarta.
Higa, T., dan G. N. Wididana,1994. Effective Microorganisms. Dimensi Baru dalam
Kyusei Nature Farming. Tumbuh, Jakarta.
Hildebrand, P. E., 1987. Sistem Bertanam Tumpang Gilir ; Segi Ekonomi dan
Agronomi Ekofarming. Penyunting Joachim Metzner & N. Daldjoeni. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta : 401 – 420
Lingga P., 1986. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya, Jakarta
Munandar, R., 1984. Tanah dan Seluk Beluknya Bagi Pertanian. Sinar Baru, Bandung.
Muntoya, 1994. Menuju Pertanian Alami dengan Teknologi Effective Microorganisms.
Tumbuh :24 – 26, Jakarta.
Palaniappan, S.P., 1988. Cropping System in The Tropic. Wiley Eastern Limited and
and Tamil Nadu Agricultural university.
Prihatini, T., A. Kentjanasari dan J. Sri Adiningsih, 1996. Peningkatan Kesuburan
Tanah Melalui Pemanfaatan Biofertilizer dan Bahan Organik. Makalah
dsampaikan dalam Seminar Nasional Pengelolaan Tanah Masam Secara
Biologi. Universitas Brawijaya, Malang.
Silitonga, C., 1994. LISA, sistem Pertanian Akrab. Buletin Kyusei Nature Farming 03
(2) : 69 - 70.
Sugito, Y., Nuraini, dan E. Nihayati, 1995. Sistem Pertanian Organik. Faperta. Unibra,
Malang.
Thahir dan Hatmadi, 1985. Tumpang Gilir (Multiple Cropping). Direktorat Penyuluhan
Pertanian Pasar Minggu, Jakarta.
Trenbath, B. R., 1976. Plant Interaction in Mixed Crop Communities. . Matthias Satelly
(ed). Multiple Cropping American Society of Agronomy. Crop Science Society
of America and Soil Science of America Inc. Visconsin.129 - 169
Wididana G.N, dan T. Higa, 1994. Effective of Microorganisms on The Growth and
Production of Crop. Buletin Kyusei Nature Farming 03 (2) : 27 - 35.
Wididana G.N, dan T. Higa1994. Penuntun Bercocok Tanam Padi dengan Teknologi
EM-4. PT. Songgolangit Persada, Jakarta
Wididana G.N, M. S Wigenasantana, dan T. Higa, 1994. Application of Effective
Microorganisms (EM) and Bokashi onNatural Farming. Buletin Kyusei Nature
Farming 03 (2) : 47 - 54.
Download