IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 A Latar Belakang Kebijakan implementasi Kurikulum 2013 (K-13) tertuang dalam Permendikbud No. 81A Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum.Selanjutnya, dalam Per mendikbud No. 160 Tahun 2014 Tentang Pemberlakuan Kurikulum Tahun 2006 dan Kurikulum 2013 dinyatakan bahwa satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang telah melaksanakan K-13 selama 3 (tiga) semester tetap menggunakan K-13. Satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah dapat melaksanakan Kurikulum Tahun 2006 paling lama sampai dengan tahun pelajaran 2019/2020. Dengan demikian, K13 secara serentak akan diimplementasikan tahun pelajaran 2020/2021. Ada dua faktor besar dalam keberhasilan implementasi kurikulum.Pertama, faktor penentu, yaitu kesesuaian kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) dengan kurikulum dan buku teks. Kedua, faktor pendukung yang terdiri dari tiga unsur, yakni: (1) ketersediaan buku sebagai bahan ajar dan sumber belajar yang mengintegrasikan standar pembentuk kurikulum, (2) penguatan peran pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan, dan (3) penguatan manajemen dan budaya sekolah. Sementara, dalam implementasi K-13, Kemdikbud telah melakukan berbagai kegiatan, yakni: penyiapan buku, pelatihan guru, dan pendampingan. B Dukungan Empiris 1. Kompetensi Guru Kompetensi guru SD maupun SMP dalam implementasi K-13 dilihat dari tingkat pengetahuan guru tentang K-13 serta keterampilan guru menyusun RPP dan alat evaluasi hasil pembelajaran. a. Pengetahuan Guru tentang K-13 Terdapat tiga materi yang diteskan untuk mengetahui pengetahuan guru tentang K-13 yakni: konsep K-13, analisis materi ajar dan perancangan model pembelajaran. Tingkat pengetahuan guru SD dan SMP tentang K-13 masih kurang, baik yang sudah mengikuti pelatihan K-13 secara khusus (52 jam pelajaran) dengan skor rata-rata 51,38 dari skala 100 maupun yang mengikuti PLPG tahun 2013 (materi K-13 hanya sebagai tambahan) dengan skor rata-rata 48,98. Data secara rinci tertera dalam table 2. Mengacu pada Penilaian Acuan Patokan dalam Panduan Diklat K-13, maka tingkat pengetahuan guru termasuk dalam kategori “kurang sekali” (rerata nilai ≤ 54). Salah satu penyebab rendahnya tingkat pengetahuan guru tentang K-13 ini adalah kurang mampunya instruktur dalam menyampaikan materi K-13 dalam pelatihan yang dinyatakan oleh 56,3 persen guru SD dan 68,7 persen guru SMP. 1 Tabel 1. Rerata Nilai Pengetahuan Guru Tentang Kurikulum 2013 No 1 2 3 4 5 6 7 8 Jenis Guru Rerata Nilai Pengetahuan Guru Tentang Kurikulum 2013 N Guru kelas I SD Guru kelas IV SD Guru Bahasa Indonesia kelas VII SMP Guru Bahasa Inggris kelas VII SMP Guru Matematika kelas VII SMP Guru IPA kelas VII SMP Guru IPS kelas VII SMP Guru PPKn kelas VII SMP 70 69 48 51 46 47 46 45 48.32 46.49 47.60 59.46 49.62 53.30 55.98 46.06 Perancangan model pembelajaran merupakan materi K-13 yang paling rendah capaiannya pada guru SD maupun guru SMP kelas VII matapelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan PPKn, sedangkan untuk guru SMP kelas VII matapelajaran IPA dan IPS adalah analisis materi ajar. Data secara lengkap disajikan dalam tabel 2. Tabel 2. Rerata Nilai Pengetahuan Guru Tentang Kurikulum 2013 Menurut Materi Kurikulum 2013 No 1 2 3 4 5 6 7 8 Jenis Guru Guru kelas I SD Guru kelas IV SD Guru kelas VII SMP Bahasa Indonesia Guru kelas VII SMP Bahasa Inggris Guru kelas VII SMP Matematika Guru kelas VII SMP IPA Guru kelas VII SMP IPS Guru kelas VII SMP PPKn N 70 69 48 51 46 47 46 45 Rerata Nilai Pengetahuan Guru Tentang Kurikulum 2013 Menurut Materi Kurikulum 2013 Konsep Analisis Perancangan Kurikulum Materi Model 2013 Ajar Pembelajaran 53.63 50.26 42.68 53.51 46.51 40.76 62.18 45.83 37.50 61.99 66.67 54.03 54.85 56.52 39.57 60.72 47.14 52.13 59.36 52.37 55.71 63.93 39.56 36.21 b. Keterampilan Guru menyusun RPP Pembelajaran dan Alat Evaluasi Hasil Keterampilan guru SD maupun SMP dalam menyusun RPP dan alat evaluasi hasil pembelajaran menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Dalam menyusun RPP guru SD mencapai skor rata-rata 66,80 dan guru SMP 69,85, sedangkan untuk menyusun alat evaluasi hasil pembelajaran guru SD mencapai skor rata-rata 54,40 dan guru SMP 68,55. Data tertera dalam gambar 1 dibawah ini. Masih belum 2 optimalnya ketrampilan guru dalam menyusun RPP dan alat evaluasi hasil pembelajaran disebabkan antara lain kurang lengkapnya materi dalam Buku Guru. Ini disampaikan oleh 53,00 persen guru SD dan 58,40 persen guru SMP. Gambar 1. Rata-Rata Nilai Kemampuan Guru Menyusun RPP dan Alat Evaluasi Hasil Pembelajaran 100.00 75.00 69.85 66.80 68.55 Kemampuan guru menyusun RPP 54.40 Kemampuan guru menyusun alat evaluasi hasil pembelajaran 50.00 25.00 0.00 SD SMP Capaian kompetensi profesional dan pedagogik guru SMA dapat diketahui dari rerata skor nilai UKG di daerah sampel, di mana pada tahun 2013 dan 2014 ternyata masih di bawah rata-rata UKG nasional. Rerata skor UKG tertinggi ada di Kota Yogyakarta (58.51) dan Kabupaten Badung (57,46). Sedangkan rerata skor terendah terdapat di Kota Ternate (39,38) dan Kendari (48,96). Untuk capaian kompetensi sosial, nampak di kota Bekasi dan kota Yogyakarta lebih tinggi, sedangkan capaian kompetensi kepribadian yang tertinggi ditemui di Kabupaten Badung dan Kota Ternate. Capaian kompetensi sosial dan kepribadian yang lebih rendah ditemui di kota Pekanbaru dan Ternate. Kompetensi kepribadian guru relatif baik, di mana guru dapat menghargai perbedaan agama (92,8%) dan budaya (88,6%). Perilaku guru dapat menjadi teladan bagi siswa dan masyarakat (95,4%), serta guru bangga dengan profesinya (83,1%). Sebagian besar guru SMA yang mengikuti pelatihan K-13 telah memahami konsep K-13 secara umum, namun belum dapat menerapkannya di dalam pembelajaran dikarenakan materi yang diberikan fasilitator tentang konsep K-13 dinilai belum tuntas (hanya bersifat teoritis). Hal ini mengakibatkan tidak semua guru yang mengikuti pelatihan K-13 mampu menjelaskan hubungan antara elemen-elemen kurikulum 2013 dengan kompetensi yang dibutuhkan; kemampuan menganalisis kaitan antara kompetensi dasar, kompetensi inti, dan kompetensi lulusan; serta 3 tahapan dan kegiatan yang harus dilakukan untuk menguasai ke tiga kompetensi tersebut. Hambatan implementasi K-2013 yang paling banyak dirasakan oleh guru adalah karena kurang pengawasan Pengawas (57,4%) dan pendapingan guru 51,1%. Hambatan lainnya adalah karena kurang faktor Media Pembelajaran Kurang, Siswa Kurang Motivasi, dan Ketidakpahaman Kepsek terhadap K-2013 dan ketersediaan Buku Guru, Buku Siswa. Kesulitan lainnya adalah menyamakan persepsi guru terhadap konsep pelaksanaan K13 juga dirasakan, hal ini terjadi karena guru mendapat pelatihan dari sumber yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil FGD, walaupun guru sudah mengikuti pelatihan kurikulum 2013, guru masih mengalami kesulitan dalam menjelaskan konsep, maupun melaksanakan proses pembelajaran serta penilaian hasil belajar. Kesulitan yang paling banyak dirasakan oleh guru adalah tentang penilaian sikap. Guru juga mengalami kesulitan dalam memahami buku pegangan guru. Hal tersebut wajar karena apabila dilihat dari evaluasi penyelenggaraan pelatihan kurikulum 2013, peserta menyatakan waktu pelatihan terlalu singkat, materi terlalu banyak dan dirasakan kurang praktek dan instruktur juga ada yang masih belum menguasai ketika pelatiahan K-13. Memperhatikan hal tersebut dapat di duga bahwa berpengaruh terhadap peserta dalam memahami materi pelatihan kurikulum 2013. Dengan demikian akan berdampak dalam pelaksanaan proses belajar dan kemampuan melakukan penilaian hasil belajar. Standar penilaian yang berkaitan dengan penilaian oleh guru perlu diperhatikan. Dalam kurikulum 2013 jenis penilaian sangat beragam. Data menunjukkan instrumen yang dianggap paling sulit untuk penilaian pengetahuan adalah aspek penugasan dibandingkan dengan penilaian tes lisan dan tes tulis. Hal ini diduga pada penilaian peugasan penilaian bersifat isei dan subyektif sehingga guru kesulitan membuat ukuran penilaian yang tepat. Dalam penilaian keterampilan, Sebagian besar guru menunjukkan mengalami kesulitan dalam aspek penilaian Tes Praktik, Projek dan Penilaian Portofolio. Artinya aspek penilaian ini menjadi kendala bagi guru dalam melaksanakan penilaian pada kurikulum 2013. Sistem penilaian yang baru menurut sebagian besar guru memerlukan waktu ekstra sehingga menambah beban bagi guru. Selain itu sebagian besar guru merasa kesulitan dalam melaksanakan penilaian karena tidak adanya pedoman penilaian otentik dan portofolio. 2. Ketersediaan Buku dan Sumber Belajar Kepemilikan Buku pegangan Guru bagi guru merupakan suatu hal yang tidak bisa dinafikan. Ketersediaan Buku Pegangan Guru K-13 di sekolah yang mengimplementasikan K-13 mulai tahun 2013/2014 dan tahun 2014/2015 masih belum sepenuhnya tercapai, pada tahun 2014/2015 buku yang belum terpenuhi masih tinggi. 4 Tabel 4. Persentase Kepemilikan buku guru tahun 2014/2015 (%) Memiliki Buku Guru Satuan Pendidikan Tahun Ajaran 2013/2014 SD SMP Tahun Ajaran 2014/2015 SD SD Klas I SD Kelas IV SMP Bahasa Indonesia. Matematika IPA Bahasa Inggris IPS SMA Agama Bahasa Indonesia. Matematika Bahasa Inggris Sejarah PKn Penjasorkes Prakarya Senibudaya Fisika Kimia Biologi Matematika N 139 283 Ya Tidak 96,4 96,8 3,6 3,2 48 48 50 49 50 51 47 47 26 30 74 70 49 48 49 29 27 29 71 73 71 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 17,5 29,6 30,4 22,8 25,7 18,9 19,4 11,3 19,6 17,3 22 22,2 23,7 82,5 70,4 69,9 77,2 74,3 81,1 80,6 88,7 80,4 82,7 78 77,8 76,3 Ketersediaan Buku Pegangan Siswa K-13 di sekolah yang mengimplementasikan K-13 pada tahun 2014/2015 masih belum sepenuhnya tercukupi, untuk jenjang SD tingkat belum ketercukupannya lebih tinggi dibanding pada jenjang SMP. Ketersediaan buku wajib di SMA lebih tinggi dibandingkan dengan ketersediaan buku peminatan (tabel 4). 5 Tabel 5. Persentase Kepemilikan buku Siswa SD dan SMP tahun 2014/2015 Satuan Pendidikan N Memiliki Buku siswa SD Ya Tidak Kelas I 48 50 50 Kelas IV 48 49 51 SMP Bahasa Indonesia 49 26 74 Matematika 50 30 70 IPA 49 29 71 Bahasa Inggris 49 27 73 IPS 49 29 71 Tabel 6 Persentase Kepemilikan buku Siswa tahun 2014/2015 Kelas X Kelas XI SMA N Ya Tidak Ya Tidak Agama Bahasa Indonesia. Matematika Bahasa Inggris Sejarah PKn Penjasorkes Prakarya Senibudaya Fisika Kimia Biologi Matematika Sosiologi Geografi Ekonomi Sejarah 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 160 39,1 73,2 77,1 61,4 72,7 52,9 53,7 50,4 48,7 42,4 41,1 43 31 41,4 40,7 40,8 27,7 60,9 26,8 22,8 38,7 26,4 47,1 46,4 49,7 51.3 57,6 58,9 57 69 58,6 59,2 59,2 72,3 27,7 53,4 55,7 55,4 52 52,6 51 42,7 51,4 29,1 29,3 28,6 22,8 27,8 27,8 28,5 20,9 72,3 46,7 44,3 44,6 48 47,4 49 57,2 48,7 70,9 70,7 71,3 77,2 72,2 72,2 71,5 79,1 Bagi sekolah yang belum mendapatkan buku, maka digunakan CD buku yang dibagikan oleh Pemerintah sebelum buku turun dari percetakan yang dipesan. Guru memperbanyak bagian Kompetensi Dasar yang akan diajarkan kepada siswa. Sekolah yang belum memiliki CD buku menggunakan silabus sebagai acuan dalam pembelajaran. Sedangkan referensi buku dicari dari buku-buku lama yang tersedia sesuai dengan KD yang diajarkan. Pada jenjang SD dan SMP, kekurangan buku pegangan tersebut dipenuhi oleh sekolah dengan cara memfotocopy yang memerlukan biaya sangat besar sehingga melebihi dana BOS yang tersedia. Bagi sekolah swasta, biaya penggandaan dibebankan kepada orangtua siswa. 6 Sumber belajar selain buku teks adalah perpustakaan dan laboratorium. Ketersediaan sarana di perpustakaan pada sebagian besar SMP (53,97 persen) yang mengimplementasikan K-13 pada tahun 2013/2014 mencapai lebih dari 50 persen. Sedangkan di laboratorium SMP adalah 50-86 persen. Bagi sekolah-sekolah yang mulai menerapkan K-13 tahun 2014/2015, alat IPA yang ada tidak seluruhnya berfungsi karena rusak, kurang perawatan, atau sudah usang, sementara alat yang baru belum dapat disediakan oleh sekolah. Selain itu, masih ditemukan sekolah-sekolah yang tidak memiliki ruang penyimpanan alat, sehingga alat tersebut tidak tertata dengan baik, cepat rusak, bahkan hilang. Berdasarkan grafik 1, ketersediaan paling rendah adalah laboratorium bahasa Inggris. Sekolah yang pernah memiliki laboratorium bahasa dan rusak dialihfungsikan menjadi kelas. Agar praktek bahasa Inggris dapat berjalan maka dilakukan praktek di kelas dengan menggunakan tape recorder dan kaset. Gambar 2. Ketersediaan ruang laboratorium dan Perpustakaan di SMA Ruang perpustakaan di sekolah berakreditasi C ketersediaannya tinggi, namun dilihat dari tingkat ketercukupan buku dan kelengkapan perpustakaan, maka sekolah akreditasi C sangat minim yakni 63,6% perpustakaan di sekolah berakreditasi C tingkat ketercukupan bukunya di bawah 25%. Berikut ini gambaran ketersediaan ruang laboratorium dan perpustakaan di SMA. SMA dengan peringkat akreditasi C, memiliki tingkat ketersediaan laboratorium Fisika dan Kimia paling rendah, hanya 27,3%. Tingkat ketercukupan alat dan bahan juga rendah. Sebagian besar sekolah 81,6% memiliki ketercukupan alat dan bahan praktek di bawah 25%, terutama di sekolah swasta yang memilliki Nilai UN rendah. Di sekolah dengan peringkat akreditasi A tingkat ketersediaan laboratorium Fisika paling tinggi 76,6%, namun tingkat ketercukupan alat dan bahan juga banyak yang belum memadai. Sekolah dengan peringkat akreditasi C, sangat membutuhkan perhatian. Laboratorium Kimia di sekolah yang berakredtasi 7 A, ketercukupan alat dan bahannya belum sesuai dengan jumlah siswa. 40,4% sekolah berakreditasi A ketercukupan alat dan bahan praktek antara 26% - 50%. Ketersediaan laboratorium Biologi di SMA secara umum sebesar 79,4%. Berdasarkan status akreditasi, sekolah dengan akreditasi A dan B memiliki ketersediaan laboratorium Biologi di atas 75% dengan total jumlah sekolah yang tersedia sebanyak 121 sekolah baik negeri maupun swasta. Pada sekolah dengan Akreditasi C tingkat ketersediaannya 50%. Berdasarkan peringkat akreditasi. 54,5% sekolah berakreditasi C memiliki ketercukupan yang rendah yakni 25 %, sedangkan untuk ketercukupan tertinggi pada kategori 75 % hanya sebanyak 1 sekolah 0,8 % yang sudah sangat cukup sarana laboratorium Biologi. Intensitas pemanfaatan laboratorium Fisika, Kimia, dan Biologi di 40%-52% SMA sebanyak 4 – 7 kali setahun. Sebanyak 5% - 12% sekolah yang tidak memanfaatakan laboratorium Fisika, Kimia dan Biologi. Berdasarkan pengukuran terhadap kreativitas guru berkaitan dengan pemanfaatan laboratorium ditemukan 58,28% guru memiliki kreativitas yang tergolong rendah sampai kurang, untuk semua unsur fluency, elaborasi, fleksibilitas dan orisinalitas. Dikaitkan dengan pelaksanaan pemanfaatan sarana belajar, dapat dikatakan sebagian besar guru kurang kreatif. terutama apabila menemui kendala seperti tidak tersedianya sarana belajar di sekolah, sebagian besar tidak memanfaatkan sarana lain atau cara lain untuk mengganti sarana yang tidak tersedia. Dapat dikatakan, guru-guru ini hanya memanfaatkan sarana belajar yang tersedia di sekolah dan tidak berupaya memanfaatkan sarana lain yang dapat dijadikan sebagai pengganti. 3. Penguatan Peran Pemerintah Peran pendampingan dalam pelaksanaan kurikulum 2013 dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah dan guru. Di SD dan SMP pendampingan lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan di SMA. Berdasarkan hasil FGD peran pendampingan oleh pengawas dan kepala sekolah dirasakan masih kurang (tabel 7). Tabel 7. Keberadaan Pendamping Bagi Guru Mendapatkan pendampingan dari … SD SMP No Pendamping Ya Tidak Ya Tidak N % N % N % N % 1 Pengawas sekolah (PS) 128 92,1 11 7,9 231 81,6 52 18,4 2 Kepala sekolah (KS) 120 86,3 19 13,7 207 73,1 76 26,9 3 Guru Inti (GI) 90 64,7 49 35,3 187 66,1 96 33,9 8 4. Penguatan manajemen dan budaya sekolah Berdasarkan hasil FGD, peran kepala sekolah sebagai manajer sangat menentukan keberhasilan implementasi K-13 antara lain berkaitan dengan sosialisasi K-13 kepada warga sekolah dan orangtua peserta didik, mengaktifkan KKG/MGMP di sekolah, pembinaan profesionalisme guru, dan pemenuhan kebutuhan sarana pendidikan. Kepala sekolah dapat memanfaatkan dana yang bersumber dari BOS, DAK, dan sumber lainnya untuk memenuhi kebutuhan sarana. C Opsi Kebijakan Untuk mengoptimalkan implementasi K-13 di seluruh satuan pendidikan, maka upaya yang harus dilakukan yaitu: 1. Peningkatan kompetensi guru a. Lakukan pelatihan: Analisis kebutuhan materi pelatihan (waktu disesuaikan dengan materi, strategi pembelajaran). Pelatihan yang berkaitan langsung dengan standar yang baru yakni standar Isi, standar Proses, dan standar penilaian Re-manajemen pelatihan K-13 yang dimaksudkan dalam hal ini adalah untuk memperbaiki pengelolaan penyelenggaraan pelatihan kurikulum 2013 bagi guru agar mereka tidak hanya paham namun juga dapat menerapkan pembelajaran dan penilaian berbasis K-13. Karakteristik dari manajemen ini bersifat kesinambungan, integrated, efektif, sinkron. Pelaksanaan pelatihan guru: berjenjang (instruktur pusat, instruktur propinsi, instruktur kab/kota, instruktur kecamatan). Penerapan sistem penghargaan di dalam pelatihan (penghargaan diberikan secara berjenjang berdasarkan tingkat penguasaan materi yang dikaitkan dengan penilaian kinerja guru). Penyiapan instruktur yang kompeten: seleksi, pelatihan, penghargaan secara berjenjang sesuai kompetensi instruktur. Mengadakan Workshop pemanfaatan sarana bagi guru sesuai materi berdasarkan pengalaman mengajar guru Evaluasi penyelenggaraan pelatihan b. Lakukan pendampingan: Pendampingan berjenjang (pusat (puskurbuk), regional, provinsi, kab/kota) Pelibatan Tim Pengembang Kurikulum (TPK) di tingkat daerah (provinsi, kab/kota) Pelibatan pendamping yang menguasai K-13 menyeluruh (LPTK) 9 c. Lakukan penyediaan fasilitas Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB): Penyediaan layanan internet/jaringan Pengaktifan/pemberdayaan organisasi profesi seperti KKG/MGMP, PGRI, dll. Penyediaan pusat sumber (resources center) 2. Pemenuhan Ketercukupan sarana pendidikan Pemenuhan ketercukupan sarana pendidikan dapat dilakukan melalui: Analisis kebutuhan sarana (jumlah dan jenis sarana yang ada dan yang diperlukan); Pengadaan sarana sesuai dengan kebutuhan (jumlah, jenis, dan waktu) yang disertai dengan panduan dan pelatihan penggunaannya; Pemerintah fokus pada pemenuhan ketersediaan alat dan bahan yang dibutuhkan oleh sekolah untuk praktek. Dapat berupa kita sesuai dengan kompetensi dasar yang diajarkan. Utamakan pada sekolah dengan akreditasi B dan C dengan nilai UN rendah. Pemeliharaan, perawatan, dan penyimpanan sesuai dengan panduannya; Penetapan penanggung jawab pengelolaan sarana; Fleksibilitas pemanfaatan dana BOS, DAK, dan bantuan sejenis yang disertai dengan pengawasan. 10