tugas filsafat dita

advertisement
TUGAS FILSAFAT
Arthur Schopenhauer
NAMA
: DITA RAHMANDA
NIM
: 201471003
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
2015
A. Riwayat hidup Arthur Schopenhauer
Arthur Schopenhauer lahir pada 22 Februari 1788 di Danzig Polandia. Keluarga
Schopenhauer sangat kental dengan tradisi Belanda. Nama Arthur Schopenhauer
mencerminkan luasnya jaringan sang ayah dalam perdagangan internasional, sehingga ia
memilihkan nama untuk anak pertamanya itu dengan kolaborasi kosa kata Jerman,
Perancis, dan Inggris. Pada bulan Maret 1793, ketika Schpenhauer masih berusia 5 tahun,
keluarga pindah ke Hamburg, setelah Danzig diduduki oleh Prussia.
Lahir di tengah keluarga pengusaha kaya, Schopenhauer sering melakukan
kunjungan wisata ke berbagai negara di Eropa. Pada tahun 1797 – 1799 ia tinggal di
Perancis, dan sebentar tinggal di Inggris di tahun 1803. Kondisi inilah yang
memungkinkan Schopenhauer mempelajari bahasa Negara-negara yang dikunjunginya.
Schopenhauer dalam diarynya mengatakan, tinggal di Perancis adalah pengalaman paling
menyenangkan. Meskipun sejak kecil sang ayah telah mendidiknya dengan bisnis, dan
selama dua tahun ia mengikuti kursus dan magang bisnis di Hamburg, namun
Schopenhauer merasa bisnis bukanlah jalan hidup yang cocok baginya. Pada usia 19
tahun, ia memutuskan untuk mempersiapkan diri masuk perguruan tinggi. 20 April 1805
adalah hari menyedihkan bagi Schopenhauer, karena sang ayah meninggal dunia, yang
diduga kuat akibat bunuh diri.
Pada tahun 1809, Schopenhauer memulai studi di University of Gottingen di
bidang Kedokteran, kemudian mengambil Filsafat. Di Gottingen, dia terpikat dengan
pandangan seorang “skeptical philosopher”, Gottlob Ernst Schulze (1761 – 1833). Lewat
Schulze-lah Schopenhauer mengenal pemikiran Plato dan Immanuel Kant. Setelah
melewati masa studi 2 tahun di Gottingen, Schopenhauer kemudian mendaftarkan diri di
Universitu of Berlin. Di sana ia diajar oleh Johann Gottlieb Fichte (1762 – 1814), dan
Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Di dua universitas ini, Schopenhauer mempelajari
banyak bidang keilmuan, antara lain: fisika, psikologi, astronomi, zoology, arkeologi,
fisiologi, sejarah, sastra dan syair. Pada umur 25 tahun ia berhasil menyelesaikan
disertasi dengan judul “The Fourfold Root of the Principle of Sufficient Reason”. Pada
tahun 1813, ia memutuskan pindah ke Rudolstadt, dan pada tahun yang sama ia
menyampaikan disertasinya di University of Jena, kemudian dianugerahi gelar doktor
filsafat in absentia.
Arthur Schopenhauer adalah filsuf yang aktif menghasilkan karya. Adapun
tulisan-tulisan itu adalah:
1. 1813, Über die vierfache Wurzel des Satzes vom zureichenden Grunde (On
the Fourfold Root of the Principle of Sufficient Reason)
2. 1816, Über das Sehn und die Farben (On Vision and Colors)
3. 1819 [1818], Die Welt als Wille und Vorstellung (The World as Will and
Representation) [first edition, one volume]
4. 1836, Über den Willen in der Natur (On the Will in Nature)
5. 1839, “Über die Freiheit des menschlichen Willens” (“On Freedom of the
Human Will”)
6. 1840, “Über die Grundlage der Moral” (“On the Basis of Morality”)
7. 1841 [1840], Die beiden Grundprobleme der Ethik (The Two Fundamental
Problems of Ethics) [joint publication of the 1839 and 1840 essays in book
form]
8. 1844, Die Welt als Wille und Vorstellung (The World as Will and
Representation) [second edition, two volumes]
9. 1847, Über die vierfache Wurzel des Satzes vom zureichenden Grunde (On
the Fourfold Root of the Principle of Sufficient Reason) [second edition,
revised]
10. 1851, Parerga und Paralipomena
11. 1859, Die Welt als Wille und Vorstellung (The World as Will and
Representation) [third edition, two volumes]
B. Pandangan filsafat Arthur schopenhauer
Schopenhauer dikenal dengan sifat pesimisme dan gayanya yang tidak ramah. Tidaklah,
seseorang dikatakan sebagai filsuf, ketika memiliki pemikiran yang sama persis dengan filsuf
sebelumnya. Penyandangan gelar filsuf amat terkait dengan originalitas dan kreativitas
berpikir. Oleh karena itu, Schopenhauer mengatakan filsafatnya sebagai koreksi dan upaya
melengkapi filsafat Kant. Menurutnya, Kant benar dalam membagi realitas menjadi dua, tapi
Kant keliru saat menjelaskan apa yang dimaksud kedua dunia itu.
Untuk dunia fenomenal, ada kesalahan yang dilakukan Kant. Meskipun Kant mengatakan
semua pengetahuan manusia harus diderivasikan dari pengalaman, dalam kenyataannya Kant
malah mengarahkan sebagai besar kerja investigasinya bukan pada hakikat pengalaman, tapi
kepada hakikat berpikir konseptual. Dalam mengkoreksi kesalahan ini, Schopenhauer
kemudian berupaya mencari jalan keluar dengan melakukan investigasi mengenai bagaimana
manusia manusia menyadari kenyataan mengalami, mengetahui, dan mengomunikasikan
realitas yang spesifik dan unik.
Terkait dengan dunia fenomenal, Schopenhauer menilai filsafat Kant memiliki dua
kekeliruan mendasar. Pertama, Kant memandang dunia noumena terdiri dari hal-hal dalamdirinya-sendiri (jamak). Kedua, Kant menganggap noumena sebagai penyebab dari persepsi
manusia.
Bagi Schopenhauer, manusia mendapatkan ide tentang pembedaan (diferensiasi) jika
dilingkupi oleh penerimaan akan konsep ruang dan waktu. Sementara Kant menunjukkan
bahwa ruang dan waktu merupakan bentuk-bentuk sensibilitas manusia. Jadi, konsep ruang
dan waktu tidak akan bisa ada dalam sebuah realitas tanpa subjek karena dalam realitas itu,
semua yang-eksis, eksis dalam-dirinya-sendiri (Das Ding an sich) yang bersifat independen
dari pengalaman. Oleh karena itu, diferensiasi hanya bisa dilakukan dalam dunia pengalaman
dan tidak bisa dilakukan dalam dunia realitas noumena. Karena itu pula, tak mungkin ada
benda-benda (jamak) dalam-dirinya- sendiri yang berbeda-beda dan eksis secara
indenpenden dari subjek yang mengalaminya.
Pengetahuan pada hakikatnya bersifat dualistis, yaitu sesuatu yang menjadi isi dari
pengetahuan itu dan sesuatu yang mengetahui. Jadi, jika ada sesuatu yang eksis secara tak
terdiferensiasi (tak terbedakan dari yang lain), maka sesuatu itu tak akan bisa mengenali
dirinya sendiri, karena pengenalan akan diri sendiri mengandaikan pembedaan dengan diri
yang lain.
Schopenhauer memandang bahwa dalam realitas total terdapat realitas yang bersifat
immaterial, tak terdiferensiasi, tak berwaktu, dan tak beruang, yang terhadapnya manusia
tidak akan pernah bisa memiliki pengetahuan yang bersifat langsung, dan realitas itu
memanifestasikan dirinya pada manusia dalam bentuk dunia fenomenal dari objek-objek
materiil (termasuk manusia sendiri) yang terdiferensiasi dalam ruang dan waktu. Kesimpulan
ini sama persis dengan arus utama agama Hindu dan Budha.
Atas pemikirannya ini, Schopenhauer diduga terpengaruh dengan tradisi Budha. Namun,
jika melihat latar belakangnya sebagai seseorang yang bukan religius, tidak mempercayai
kehidupan setelah mati, bahkan tidak mempercayai Tuhan atau ruh, maka pendapat yang
benar adalah, Schopenhauer menemukan kesimpulan tersebut melalui argumentasi rasional
dalam kerangka tradisi utama filsafat Barat. Baru setelah ia mengetahui bahwa para pemikir
Hindu dan Budha telah mencapai kesimpulan yang sama dengan Kant dan dirinya sendiri, ia
kemudian mempelajari karya-karya pemikir Hindu dan Budha dengan antusias dan
ketertarikkan yang luar biasa.
Aspek lain yang berseberangan antara Schopenhauer dan Kant adalah terkait dasar etika.
Menurut Schopenhauer, dalam dunia fenomena, manusia eksis sebagai individu-individu.
Manusia eksis sebagai objek-objek materiil yang menempati ruang dan berada dalam suatu
waktu. Diferensiasi sebagai individu ini hanya bisa diamati dalam dunia fenomena.
Sedangkan secara noumena, tidak mungkin untuk mendiferensiasi diri sendiri. Oleh karena
itu, manusia semuanya pastilah “yang satu”. Jadi, ada sebuah perasaan puncak bahwa jika
aku melukaimu, maka aku melukai diri sendiri. Atas dasar itulah etika dibangun atas dasar
kasih sayang, rasa persaudaraan, perhatian tanpa pamrih yang tumbuh dari dalam diri
manusia itu sendiri, bukan lahir atas dasar rasionalitas sebagaimana yang disampaikan oleh
Immanuel Kant.
Schopenhauer mengatakan, jika manusia memang ingin memahami hakikat batin, dan
signifikansi dunia luar, maka ia harus melakukan investigasi atas proses yang dijalani atas
proses yang dijalani oleh batin dan menelusuri pengalaman luar dirinya. Schopenhauer
berpandangan, penjelasan-penjelasan hakiki mengenai realitas tidak bisa ditemukan dalam
sains. Bukan berarti, manusia harus meninggalkan sains. Bahkan Schopenhauer mengatakan,
dalam upaya memahami dunia, manusia harus memanfaatkan semaksimal mungkin dan
penuh antusias semua sumber daya sains, tetapi jangan melupakan sumber-sumber selain
sains.
Untuk karena itu, Schopenhauer mengajak pembacanya untuk memandang seni sebagai
instrumen untuk memahami realitas yang tak semata-mata materiil tapi juga immaterial.
Dalam buku catatannya Schopenhauer mengatakan, “Filsafat telah sejak lama menjalani
proses pencariannya secara sia-sia karena ia memang lebih cendrung mencari dengan cara
sains daripada dengan cara seni.” Pengalaman manusia tidak bisa diartikulasikan dalam
bahasa universal yang berbentuk konsep-konsep. Namun, pengalaman bisa diartikulasikan
dalam karya-karya seni.
Terkait pemikiran terkait dengan seni ini, Schopenhauer dipengaruhi oleh ide-ide Platonis
tentang dunia ide dan dunia ini, dimana Plato berpandangan dunia ini adalah dunia semu dari
dunia sebenarnya yang ada di dunia ide. Atas dasar inilah kemudian, ia membuat hierarkhi
seni, yakni:
1. Seni yang bertemakan tahap pertama dan terendah dari objektivikasi kehendak, yaitu
unsur-unsur anorganik dari alam (sekumupulan batu besar, tanah, air, dan
sebagainya). Seni ini adalah arsitektur.
2. Seni yang mengambil tema objek kedua dari objektivikasi kehendak, seperti bungabunga, pohon-pohon, kehidupan tumbuh-tumbuhan secara umum. Seni ini adalah
lukisan.
3. Seni yang mengambil tema objek ketiga dari objektivikasi kehendak, yaitu kehidupan
binatang yang terkait dengan bobot tubuh, ukuran, bentuk tubuh, dan gerak-geriknya.
Seni ini adalah seni pahat.
4. Seni yang mengambil tema pasang-surut perasaan manusia, perkembangan emosi,
karakter, hubungan sosial, konflik, penciptaan, takdir, dan penyelesaian krisis. Seni
ini adalah puisi dan drama.
Kecendrungan Schopenhauer untuk menelisik misteri batin manusia membuat ia
sampai pada pemikiran bahwa manusia itu tetap eksis karena adanya kehendak untuk
hidup (will of life). Semakin manusia menyelidiki berbagai perasaan dan emosinya, maka
ia akan semakin melihat bahwa semua itu merupakan modifikasi dari kehendak.
Schopenhauer tidak mengklaim pandangan ini original dari dirinya. Tapi sebenarnya
sudah direnungkan oleh para pemikir hebat sejak St. Augustinus. Dalam “The City of
God”, Augustinus mengatakan,
“Kehendak ada dalam semua perasaan ini; bahkan, perasaan-perasaan itu tak lain
adalah
kecendrungan-kecendrungan
sang
kehendak.
Oleh
karena
itu,
apakah
sesungguhnya hasrat dan kegembiraan itu jika bukan kehendak yang mencapai
keharmonisan dengan hal-hal yang kita hasratkan? Dan apakah rasa takut dan sedih itu
jika bukan kehendak yang tengah berada dalam keadaan tidak selaras dengan hal-hal
yang tidak kita sukai.”
Atas inspirasi dari St. Augustinus inilah Schopenhauer berpandangan bahwa intelek
sebagai pelayan, bukan tuan bagi kehendak, dan dengan begitu, segenap kehidupan batin
manusia terdiri atas, atau didominasi oleh kehendak dalam berbagai manifestasinya.
Melangkah lebih jauh. Schopenhauer mencoba terus menelusuri tesis kehendak ini pada
realitas fenomena dan noumena.
Bagi Schopenhauer, pikiran adalah sesuatu yang merujuk kepada sebuah subkelas
kecil dari benda-benda objektif. Pikiran lebih terkait dengan yang materiil daripada
dengan yang noumenal, dan pikiran muncul sebagai aktivitas ataupun sebagai
epifenomena dari materi. Semua pikiran yang diketahui manusia adalah pembayangan
dari objek-objek materiil. Dunia noumenal sebagai sumber manifestasi dunia fenomenal
digerakkan oleh dorongan metafisis yang bersifat primitif dan memanifestasikan dirinya
dalam eksistensi dengan sebutan “kehendak”. Kehendak di sini tidak sama dengan
kehendak manusia berkaitan dengan kesadaran diri. Kehendak yang bersifat metafisis ini
(metaphysical will) tak ada hubungannya dengan tujuan-tujuan, keinginan-keinginan,
atau maksud-maksud. Kehendak ini berkonotasi pada sesuatu yang bukan saja
mendahului kehidupan, melainkan juga mendahului materi. Kehendak metafisis ini
merupakan sebuah daya yang buta, nonmaterial, nonpersonal, dan nonbernyawa.
Alam semesta merupakan kehendak yang bersifat metafisis ini. Kehendak mengada
dan bertahan hidup yang dimiliki oleh manusia bukanlah kehendak noumenal dalam
dirinya sendiri, tetapi manifestasi dari kehendak noumenal itu dalam dunia fenomena.
Oleh karena itu, dia bisa menjadi objek dari pengetahuan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Magee, Bryan. Cetakan I Juni 2005. Memoar Seorang Filosof: Pengembaraa di Belantara
Filsafat. Penerbit Mizan. Bandung.
Solomon, Robert C. dan Kathleen M. Higgins. Cetakan I April 2002. Sejarah Filsafat.
Penerbit Bentang: Yogyakarta.
https://grelovejogja.wordpress.com/2009/12/31/profil-arthur-schopenhauer-1788-1860
Editor. First published Mon May 12, 2003; substantive revision Sat Nov 17, 2007. Arthur
Schopenhauer. http://plato.stanford.edu/entries/schopenhauer/. Didownload pada tanggal
31 Desember 2009
Download