Polimorfisme gen pengkode protein membran peritrofik (PM-48) Screwworm fly (Chrysomya bezziana) asal Bandung dan Makassar Oleh : Rosana Agus* Djoko T. Iskandar** dan Maelita R. Moeis** *Jurusan Biologi FMIPA UNHAS ** Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB Abstrak Telah dilakukan penelitian tentang polimorfisme gen pengkode protein membran peritrofik PM-48 Chrysomya bezziana yang berasal dari Bandung dan Makassar. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan gen pengkode membran peritrofik PM-48 asal Bandung dan Makassar. Membran peritrofik dihasilkan oleh kardia larva Crysomya bezziana dan merupakan suatu kandidat vaksin yang ideal untuk mencegah penyakit miasis pada sapi. Salah satu dari protein membran peritrofik tersebut adalah PM-48, yang telah berhasil diklon dan diurutkan pasangan basanya. Metode yang digunakan adalah isolasi DNA genom, mengamplifikasi dengan PCR menggunakan primer spesifik SW PM-48. Selanjutnya produk PCR dipotong dengan enzim restriksi Hinf I, Kpn I dan EcoR I. Hasil ampifikasi dengan PCR pada 60 sampel diperoleh fragmen berukuran 1,2 kb. Setelah dilakukan pemotongan dengan Hinf I diperoleh tiga larik ukuran 0,1 kb, 0,3 kb, dan 0,8 kb sedangkan dengan Kpn I dihasilkan dua larik dengan ukuran 0,3 kb dan 0,9 kb. Pemotongan dengan EcoR I menghasilkan dua larik dengan ukuran 0,5 kb dan 0,7 kb. Dari pola restriksi yang dihasilkan setiap individu lalat, diketahui bahwa tidak terdapat polimorfisme gen pengkode protein membran peritrofik Chrysomya bezziana yang berasal dari Bandung dan Makassar Kata kunci : membran peritrofik, Chrysomya bezziana, polimorfisme 1. Pendahuluan Chrysomya bezzina atau screwworm fly (SWF) adalah serangga yang dapat menyebabkan penyakit miasis. Penyakit ini ditandai dengan adanya luka akibat aktivitas larva, sehingga inang yang diserang akan menderita anemi, kehilangan nafsu makan, cacat, mandul bahkan kematian. SWF dapat menyerang semua jenis hewan berdarah panas termasuk hewan ternak, bahkan manusia (Spradbery, 1980). Di Indonesia lalat ini pertama kali ditemukan pada tahun 1938 di Sulawesi Utara, kemudian dijumpai pula di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Sumba. Larva SWF dilaporkan telah menyerang 10-20 % ternak di Sulawesi Selatan dan Sumba. Hewan inang yang disukai adalah sapi Ongole, domba, kambing, kuda, dan babi (Sukarsih et al.,1989). Beberapa cara telah ditempuh untuk menanggulangi serangan SWF, antara lain dengan penggunaan pestisida dan iridiasi dengan sinar gamma. Hasil penelitian yang telah dilakukan, memperlihatkan bahwa kedua cara tersebut kurang efektif. Vaksinasi merupakan cara yang paling efektif untuk memberantas SWF. Berbagai metode vaksinasi telah dilakukan, namun antigen yang paling efektif adalah yang dibuat dari ekstrak membran peritrofik lalat tersebut. Membran peritrofik dihasilkan secara kontinu oleh kardia yang melapisi daerah usus bagian tengah dari larva (Eisemann & Binnington, 1994). Para peneliti di CSIRO Australia telah berhasil mengklon beberapa gen pengkode protein membran peritrofik Lucilia cuprina (blowfly). Urutan DNA tersebut telah disekuens, dan protein yang dihasilkan dikenal sebagai PM-44, PM-48, dan PM 95 (Willadsen et al., 1993). Gen pengkode protein membran peritrofik PM-48 Chrysomya bezzina diperoleh dari pustaka cDNA larva instar I SWF, DNA pengkode membran peritrofik tersebut telah berhasil disekuens, yang terdiri dari 1080 pasang basa dan merupakan kandidat vaksin untuk membunuh SWF. Dengan dihasilkannya antigen untuk pembuatan vaksin, maka diharapkan kerugian yang ditimbulkan oleh SWF dapat dikurangi. Sehubungan dengan efektifitas dari vaksin tersebut, maka perlu untuk mengetahui ada tidaknya polimorfisme dari gen PM-48 SWF yang berasal dari beberapa daerah khususnya Bandung dan Makassar 2. Bahan dan Metode Kerja 2.1 Bahan dan alat yang digunakan SWF dewasa sebanyak 60 individu berasal dari Makassar dan Bandung, yang dtangkap dengan menggunakan jaring, dan diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi dari Spradbery (1991). Pnelitian ini menggunakan pula klon PM-48 yang diperoleh dari pustaka cDNA kardia larva instar I SWF. Sedang alat yang digunakan adalah tabung homogenizer, mesin PCR, elektroforesis, inkubator, mikropipet, centrifuge, waterbath 2.2 Metode Kerja 2.2.1 Isolasi DNA genom SWF Isolasi DNA genom dilakukan menurut Zyskind & Bernstein (1989). Satu persatu lalat digerus dalam tabung homogenisasi dengan bufer homogenisasi (0,1 M Tris-Cl, 0,1 M NaCl, 0,2 M Sukrosa, 0,05 M EDTA dan 0,5 % SDS) sebanyak 1 ml. Pengendapan SDS dan debris sel dilakukan dengan penambahan 8 M potasium asetat sebanyak 75 μl, didiamkan dalam es dan disentrifugasi. Selanjutnya diektraksi dengan 400 μl fenol kloroform, dan dalam 800 μl kloroform. Resupensi DNA dilakukan dengan penambahan 50 μl bufer TE. 2.2.2 Isolasi DNA Plasmid dari Klon PM-48 DNA Klon PM-48 diperlukan sebagai pembanding dengan DNA genom. Isolasi DNA plasmid dilakukan dengan metode lisis alkali skala kecil menurut Sambrook et. al., (1989). 2.2.3 Amplifikasi DNA dengan PCR Komponen PCR dicampurkan ke dalam satu tabung eppendorf sebagai ”master mix”. Satu kali reaksi PCR dengan volume 50 μl terdiri dari DNA templat 1 μl dan ditambahkan dengan 49 μl ”master-mix”. Primer yang digunakan adalah ”forward” SWPM48 dengan urutan nukleotida 5’-GAC TAC GAT GTT GCC AGC TAT TG-3’ dan ”reverse” SW-PM 48 dengan urutan 5’- TTA CCG GTG GCT AGA TGT AGT-3’ 2.2.4 Pemotongan dengan Enzim Restriksi Penelitian ini menggunakan 3 macam enzim restriksi yaitu Kpn I, EcoR I, dan Hinf I. Pemotongan dilakuakan dengan cara mencampurkan 10 μl DNA genom hasil amplifikasi, 2 μl bufer restriksi 10 X dan 1 μl enzim restriksi (konsentrasi 12 unit/μl) dengan volume total 20 μl. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Isolasi DNA genom SWF Hasil elektroforesis dari isolasi DNA genom SWF asal Bandung dan Makassar, dapat dilihat dalam gambar 3.1. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa hasil isolasi DNA genom SWF yang berasal dari Bandung dan Makassar diperoleh larik dengan ukuran sekitar 23 kb. Pemakaian RNAse dapat menghilangkan RNA yang tampak pada bagian gel, Gambar 1. Hasil elektroforesis DNA genom SWF. Notasi : A, B, C = SWF asal Bandung. D, E, F, G = SWF asal Makassar. H = marka λ Hind III 3.2 Isolasi DNA Plasmid dari Klon PM-48 Hasil isolasi DNA klon PM-48 setelah elektroforesis dengan gel agarosa dapat dilihat pada gambar 3.2. Dari hasil isolasi DNA plasmid terlihat bahwa setiap plasmid menghasilkan tiga larik yang menunjukkan tiga bentuk konformasi DNA plasmid. Larik DNA yang paling bawah adalah ‘super coiled monomer DNA’. Larik ditengah merupakan larik yang ‘open circled DNA’ dan larik paling atas adalah ‘super coiled dimer DNA’ (Old & Primrose, 1989). Gambar 2. Hasil elektroforesis DNA plasmid klon PM-48. Notasi : A-F = DNA klon PM-48. G = marka λ Hind III 3.3 Amplifikasi DNA dan PCR Amplifikasi dilakukan terhadap DNA genom 60 individu lalat yang berasal dari Bandung, Makassar dan terhadap DNA plasmid klon PM-48. Hasil amplifikasi DNA genom SWF asal Bandung dan Makassar serta DNA klon PM-48, dapat dilihat dalam gambar 3. Gambar 3. Hasil elektroforesis amplifikasi DNA genom SWF dan plasmid PM-48. Notasi : A, B, C = DNA klon PM-48. D,E = DNA genom SWF asal Bandung. F, G = DNA genom SWF asal Makassar. H = marka λ Hind III Dari gambar 3 terlihat bahwa hasil amplifikasi DNA genom setiap lalat diperoleh satu larik dengan ukuran 1,2 kb. Sedangkan hasil amplifikasi terhadap DNA klon PM-48, diperoleh pula satu larik dengan ukuran 1,1 kb. Pada gambar tersebut dapat dilihat adanya larik dengan ukuran 0,3 kb. Larik tersebut diduga berasal dari adanya homologi antara DNA klon PM-48 dengan primer yang digunakan. Pada jalur E tampak pula adanya larik dengan ukuran 0,1 kb. Larik tersebut merupakan kelebihan primer yang tidak diperpanjang dalam proses pembentukan DNA rantai baru. 3.4 Pemotongan dengan Enzim Restriksi Pemotongan dengan enzim restriksi, dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya polimorfisme dalam fragmen DNAyang mengkode membran peritrofik (PM-48). Pemotongan dilakukan dengan 3 macam enzim restriksi yaitu Kpn I, EcoR I dan Hinf I. Hasil pemotongan dengan enzim restriksi Kpn I dapat dilihat dalam gambar 4. Gambar 4. Hasil elektroforesis dari produk PCR dengan enzim Kpn I. Notasi : A = DNA ladder 100 bp. B, C, D = produk PCR DNA genom SWF asal Bandung. E, F, G, H = produk PCR DNA genom SWF asal Makassar. Setelah dilakukan dengan pemotongan Kpn I diperoleh ukuran 0,3 kb dan 0,9 kb. Hal ini menunjukkan bahwa DNA genom SWF hasil amplifikasi hanya mempunyai satu sisi pengenalan terhadap enzim Kpn I. Dilakukan pula pemotongan dengan enzim restriksi EcoRI terhadap setiap fragmen DNA inidividu lalat yang mengkode PM-48. Hasil pemotongan tersebut menghasilkan 2 larik dengan ukuran 0,5 dan 0,7 kb, yang dapat dilihat dalam gambar 5. Gambar 5. Hasil elektroforesis dari produk PCR dengan enzim EcoR I. Notasi : A, B, C = produk PCR DNA genom SWF asal Bandung. D, E, F = produk PCR DNA genom SWF asal Makassar. G= DNA ladder 100 bp Selanjutnya dilakukan pula pemotongan dengan enzim restriksi Hinf I terhadap produk amplifikasi DNA genom SWF. Hasil pemotongan tersebut dapat dilihat pada gambar 6. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa hasil pemotongan dengan enzim restriksi Hinf I, menghasilkan tiga larik dengan ukuran 0,1 ; 0,3 dan 0,8 kb. Hal ini berarti DNA produk PCR mempunyai dua daerah sisi pengenalan terhadap enzim Hinf I. Gambar 6. Hasil elektroforesis dari produk PCR dengan enzim Hinf I. Notasi : A, B, C = produk PCR DNA genom SWF asal Bandung. D, E = produk PCR DNA genom SWF asal Makassar. F= DNA ladder 100 bp Hasil pemotongan produk PCR dengan menggunakan tiga enzim restriksi sebanyak 60 individu menghasilkan pola dan ukuran yang sama. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak terdapat polimorfisme dalam gen pengkode membran peritrofik PM-48 dari genom SWF yang berasal dari Bandung dan Makassar. Hal ini berarti bahwa PM-48 sebagai kandidat vaksin untuk membunuh larva SWF dapat dipakai pada berbagai daerah. 3.5 Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan: 1. Hasil amplifikasi PCR setiap genom SWF dengan primer PM-48 menghasilkan satu fragmen dengan ukuran 1,2 kb. 2. Tidak terdapat polimorfisme dari gen pengkode protein membran peritrofik (PM48) SWF yang berasal dari Bandung dan Makassar. Ucapan terima kasih Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada CSIRO Australia yang telah mendanai penelitian ini. Daftar Pustaka Eisemann, C.H and Binnington, K.C., 1994. The Peritorphic Membrane Its Formation, Structure, Chemical Composition and Permeability in Relation to Vaccination Againts Ectoparasitic Arthropods. Int. Journal Parasitology. 24:15-26. Old R.W and Primrose S.B.1989. Principles of Gene Manipulation. An Intoduction to Genetic Engineeiring. 4nd. Ed, Blackwell Scientific Publications. Sambrook, J., Fritsch, E.F and Maniatis, T. 1989. Molecular Cloning a Laboratory Manual, Book 1,2 and 3 nd Ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York. Spradbery, J.P and Vanniasingham, J.A. 1980. Incidince of The Screwworm Fly, Chrysomya bezzina, at The Zoo Negara Malaysian. Vetenirary Journal. 7:28-32. Spradbery, J.P,1991. A Manual for The Diagnosis of Screwworm Fly. CSRIO Division of Entomology. Canberra Australia. Sukarsih, Tozer R.S and Knox M.R. 1989. Collection and Case Incident of The Old World Screwworm Fly, Chrysomya bezzina, In Three Localities in Indonesia. Penyakit Hewan. 38:114-117 Willadsen, P. Eisemann C. H and R.L Tellam.1993.“Conclead Antigens : Expanding The Range of Immunological targets. Parasitology Today. 9 :132-135. Zyskind, J.W and Bernstein S.I. 1989. Recombinant DNA Laboratory Manual. Academic Press, Inc.