Kekuasaan dan Dominasi Wacana

advertisement
Materi Kuliah ke-9 : Komunikasi Politik
Kekuasaan dan Dominasi Wacana
Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si
“mempelajari ideologi berarti mempelajari
cara-cara yang bagaimaana makna diarahkan untuk
membangun dan mempertahankan relasi dominasi”
(John B. Thompson)
Selama ini perbincangan tentang ‘kekuasaan’ merupakan sebuah tema yang cukup ramai
didiskusikan di kalangan para praktisi politik maupun para intelektual ahli yang bergulat dengan
berbagai persoalan tersebut. Agak cukup sulit untuk melepaskan tema ini ketika kita berhadapan
dengan kajian manusia dan masyarakat. Mengapa bisa demikian? Apakah kekuasaan merupakan
unsur hakiki yang hidup menyatu dengan kehidupan masyarakat sendiri? Apakah ia bisa
ditempatkan sebagai sebuah kenyataan yang memang selalu hadir dalam kehidupan manusia?
Ataukah ia merupakan sebuah defian gejala buruk yang menjadikan problem-problem tertentu
dalam hidup manusia dan masyarakat.Tentu jika ‘problem kekuasaan’ tak lagi hanya berada dalam
bidang dan fokus kajian tertentu saja, maka sejatinya perbincangan tentangnya amatlah luas hampir
meliputi segala dimensi dan konteks hidup manusia. Untuk kepentingan paper ini, tentunya akan
dibatasi hanya pada kajian kekuasaan dengan relasinya dengan wacana terutama tentang tema
berkait ‘dominasi’. Perkembangan komunikasi massa hari-hari ini juga menjadi sebuah cakupan
khusus yang menarik untuk didiskusikan.1 Dalam ‘dimensi massa’ inilah perbincangan tentang
kekuasaan, ideologi maupun dominasi menjadi sesuatu persoalan yang semakin penting. Kata-kata
kunci yang amat penting untuk dibahas dalam peper ini adalah : ‘ideologi’, ‘kekuasaan’ dan ‘wacana’
dan ‘dominasi’.2
Keterkaitan antara persoalan ‘ideologi’ dan ‘kekuasaan’ sejatinya ada dalam keyakinan kritis bahwa
berbagai bentuk ‘bahasa’, ‘percakapan’ dan ‘diskursus’ yang ada merupakan bentuk praktik ideologi
yang nampak. Pada banyak hal wacana dan percakapan tertentu bisa menjadi sarana untuk melihat
bagaimana ideologi kepentingan akan dibentuk dan diarahkan. Kekuasaan dominan dengan berbagai
kemampuannya akan selalu menggunakan strategi dan upaya untuk melanggengkan kekuasaannya.
Salah satu cara yakni tentu adalah menguasai medium wacana. Dengan begitu wacana yang
diproduksi dan direproduksi akan diarahkan untuk membangun dan mempertahankan relasi
asimetris kekuasaan tersebut. Kepentingan utamanya akan membangun citra dan rasionalisasi
bahwa apa yang dilakukan dan dikerjakan oleh kekuasaan adalah ‘benar’ dan ‘absah’. Ketika sasaran
wacana yakni ‘massa’, ‘komunita’s atau ‘masyarakat umum’ kemudian bisa mengamini bahwa
1
Memang harus dimengerti bahwa dimensi ‘komunikasi massa’ hanyalah satu dari sekian dimensi
berkait persoalan kekuasaan. Tetapi harus juga diakui bahwa ‘komunikasi massa’ merupakan sarana utama
dari perbincangan tentang dominasi wawana di abad modern ini yang amat penting dan berpengaruh. Lihat,
John B. Thompson, Kritik Ideologi: Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa, Penerbit
Ircisod, Yogyakarta, 2004, hal. 36.
2
Tema-tema tentang ‘ideologi’ dan ‘kekuasaan’ merupakan tema sentral yang banyak dikaji dalam
analisis wacana kritis. Kekuasaan tidak dipandang sebagai sesuatu ‘netral’, ‘wajar’ atau ‘alamiah’ semata.
Kekuasaan dimengerti sebagai sesuatu proses yang dinamis. Pada dirinya maka akan terlihat ketegangan terusmenerus dan membentuk berbagai formasi wacana dalam masyarakat. Lihat, Eriyanto, Analisis Wacana:
Pengantar Analisis Teks Media, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2011, hal 11.
1
praktik wacana yang dilakukan kekuasan itu benar dan absah maka sejatinya hegemoni dan
dominasi wacana itu sudah berjalan dan berhasil.
Ambilah sebuah kasus tentang praktik kekuasaan yang memakai medium bahasa dan wacana.
Contoh misal tentang pernyataan-pernyataan resmi pemerintah mengenai pentingnya pemotongan
subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) dengan jargon alasan ‘efisiensi’ dan ‘pemandirian ekonomi
‘masyarakat. Wacana itu kemudian bisa saja diterima oleh masyarakat dan dianggap sebagai
kebenaran yang memang absah dilakukan, Problem masyarakat kecil yang kemudian kesusahan
untuk membeli BBM dan mengalami dampak ekonomi yang memprihatinkan, tidak lagi dianggap
penting dan bahkan dilupakan. Pada titik ini makia dominasi wacana sudah menjalar menjadi
kesadaran yang hegemonik. Kekuatan diskursus kekuasaan melalui mesin-mesin media yang
dikuasainya merupakan praktik sosial langsung dalam membentuk berbagai makna, mengontrol dan
menentukan makna. Artinya kontrol kekuasaan melalui mekanisme ini tidak hanya berhenti secara
determinan, melainkan kemudian meresap dan menyebar menjadi identitas kontrol diri yang hidup
dalam kesadaran doksa masyarakat.
Contoh praktik sosial media yang amat kentara berkait dengan tema ini adalah tentang kebudayaan
konsumerisme yang dibangun dan dikembangkan oleh mesin-mesin kekuasaan tanda yakni media
massa melalui praktik komodifikasi iklannya. Dalam logika kekuasaan tanda ini, berbagai simbol
digerakan untuk mengarahkan praktik kosumsi. Kemampuan lebih dari mesin hasrat media iklan
adalah mampu mengubah apa yang sejatinya bukannya kebutuhan menjadi sesuatu yang harus
menjadi kebutuhan penting bagi masyarakat. Menurut Pierre Bourdieu, logika sosial kosumsi
kemudian tidak tercermin dari kepemilikan secara individual ‘nilai guna’ barang atau pelayanan
(logika kepuasaan), tetapi harus dilihat dari logika produksi dan manipulasi yang berwatak sosial.3
Korporatokrasi sebagai gambaran kekuasaan mampu mengolah kekuasan dan kepentingannya
melalui media-media propaganda iklannya. Tak hanya memberikan propaganda bahwa barang yang
diproduksi pantas dan layak dibeli tetapi juga sekaligus mengarahkan nalar dan juga habitus bahwa
kebudayaan konsumerisme adalah sesuatu benar adanya dan tidak harus dipersoalkan.
Secara tegas pula Bourdieu menyampaikan bahwa komunikasi sendiri merupakan pertukaran bahasa
yang berlangsung sebagai hubungan kekuasaan simbolis di mana terwujud hubungan kekuatan
antara pembicara dan mitra atau atau lawan bicara dalam suatu komunitas. Dalam domain seperti
ini maka sejatinya segala praktik sosial selalu mengandung domain wacana dan selanjutnya segalam
domain wacana selalu mengandaikan adanya relasi kekuasaan. Maka hubungan-hubungan sosial
sekecil apapun jika dipahami sebagai ‘praktik sosial’4 selalu akan sarat dengan gambaran interaksi
kekuasaan. Interaksi yang dimaksud diatas berlangsung dalam domain simbolis melalui medium
kebahasaan dan wacana. Dimensi penting untuk kita meletakkan pemahaman wacana dalam segala
pendiskusian tadi yakni bahwa ada empat kata kunci penting dalam wacana yakni: ada subjek yang
mengatakan; ada dunia yang mau direpresentasikan; kepada siapa disampaikan; dan temporalitas
atau konteks waktu. Di dalam 4 (empat) dimensi penting itu tentu saja bahwa untuk membedakan
dengan ‘bahasa’ semata yakni bahwa ‘wacana’ mempunyai nilai ‘intensionalitas’ tertentu dalammaksud-maksud yang disampaikan. ‘Intensionalitas’ yang dimaksudkan adalah isi kepentingan dan
3
Dikutip dari buku Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat : Akar Kekerasan dan Diskriminasi,
Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal 21. Bahasa dalam pengertian yang diamaksud di sini
tidak hanya dimaknai semata sebagai ‘instrumen komunikasi’ tetapi merupakan instrumen tindakan dan
kekuasaan.
4
Praktik sosial di sini dimengerti sebagai hubungan dialektis antara peristiwa diskursus dengan
‘situasi’, ‘institusi’ dan ‘struktur sosial’ yang membentuknya. Lihat, Norman Fairclough dan Ruth Wodak,
“Critical Discourse Analysis”, dalam Teun A Van Dijk (ed), Discourse as Social Interaction: Discourse Studies A
Multidisiplinary Introduction, Vol. 2, London, Sage Publication, 1997, hal. 258.
2
tujuan-tujuan wacana. Intensional juga mengartikan bahwa bahasa yang diungkapkan adalah
diproduksi oleh subjek dan untuk sasaran subjek lain.
Cara membaca bagaimana wacana yang merupakan tindakan kekuasaan melalui bentuk-bentuk
simbol makna ini menarik untuk dieksplorasi. Artinya bawa praktik kekuasaan dan juga kepentingan
ideologi bisa dilihat dengan membuka modus operandi atau model-model bagaiamana praktik
wacana itu dikerjakan.
Sebagaimana banyak telah dikembangkan terutama oleh pemikiran-pemikiran kritis struktural
terdahulu bahwa kekuasaan pada praktiknya bisa dikembangkan melalui dua jalan sekaligus yakni
melalui mesin-mesin represi yang lebih terlihat pada praktik institusi dan juga bisa dibaca melalui
mesin –mesin aparatus ideologis yang dikembangkan melalui wacana dan bahasa. Namunpun
demikian, praktik produksi wacana inipun tidak terlepas dari empat dimensi penting dalam pilar
wacana yang sudah tersebut di atas. Untuk poin yang kedua adalah tugas dan maksud dari
pemaparan paper ini. Dengan memahami bagaimana wacana dan dominasi wacana diproduksi
sekaligus sebenarnya bisa menjawab ‘cara kerja ideologi’. Tentu banyak pemikir yang telah
mengelaborasi tentang tema ini baik para pemikir klasik mapun kontemporer kritis saat ini lihat saja
karya-karya seperti Karl Marx, Jurgen Habermas, Louis Althuser, Antonio Gramsci, Anthony Giddens
dll.5 Apa yang dikembangkan oleh pemikiran-pemikiran kristis tentang wacana dan ideologi tersebut
adalah lebih ingin keluar dari anggapan mapan yang meletakkan pengertian ideologi dan wacana
sebagai sesuatu konsepsi yang ‘netral’.6 Mempelajari ideologi bagi konsepsi ‘kritis’ adalah
merupakan cara mempelajari bagaimana cara makna dan pembangunan makna secara terus
menerus menjalankan relasi dominasi.7
Pada paper ini akan dikenalkan dengan sebuah pendekatan kritis yang dielaborasi oleh Joh B.
Thompson dalam membaca cara kerja ideologi yang selanjutnya cara kerja bagaimana hegemoni dan
dominasi wacana bisa berjalan.8 Namun sebelum mengurai cara kerja dominasi wacana tersebut
perlu lebih dahulu menujukan tiga tahapan penting analisis yang harus dikerjakan9 : Pertama yakni
‘tahapan analisis sosial historis’, yakni menekuni dan mengelanorasi kondisi sosial historis di mana
masyarakat melakukan aksi dan interaksi. Tahapan ini juga sebagai cara amat penting untuk
menganalisis kondisi-kondisi sosial historis secara menyeluruh baik ciri-ciri institusional maupun
konteks kekhususan sejarah; Kedua, yakni ‘tahapan analisis diskursif’. Tahapan ini merupakan
metode untuk mempelajari serangkaian-serangkaian ungkapan , bukan sekedar kejadian yang
bersifat sosial dan sejarah, tetapi menyangkut konstruksi bahasa yang menunjukan kebermaknaan
sebuah struktur simbol; Tahapan ketiga adalah ‘tahapan interpretasi’ yakni tahapan dalam
menafsirkan berbagai diskursif dengan berbagai pendekatan yang ada. Ketiga tahapan ini akan
sama-sama digunakan untuk menjadi dasar analisis keseluruhan tentang cara kerja ideologi.
5
Untuk bacaan awal yang bisa membantu lihat, John B. Thompson, Analisis Ideologi : Kritik Wacana
Ideologi-ideologi Dunia, Penerbit Ircisod, Yogyakarta, 2003.
6
Dalam konsepsi netral, ideologi dipahami hanya sebagai istilah dan pengertian deskriptif semata
yakni sebagai ‘sistem berpikir’, ‘sistem kepercayaan’, ‘praktik-praktik simbolik’ yang berhubungan dengan
tindakan sosial dan politik. Bahasa dan wacana yang dimengeri dalam konsepsi netral ideologi ini juga hanya
dimengerti sebagai struktur yang dapat digunakan untuk komunikasi (alat) dan pertunjukan. Sedang konsepsi
kritis jauh mamandang bahwa bahasa sebagai fenomena sosial yang melibatkan konflik manusia. Lihat, John B.
Thompson, Ibid, hal. 15 – 17.
7
Lihat, John B. Thompson, Ibid, hal 18.
8
Untuk elaborasi lanjut tentang pandangan-pandangan kritis Thompson, Lihat, John B Thomposn,
Kritik Ideologi: Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa, Penerbit Ircisod, Yogyakarta,
2004
99
Lihat, John B. Thompson, Analisis Ideologi : Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, Ibid, hal. 26.
3
Berkait cara kerja ideologi, Thompson sendiri memberikan beberapa analisis yang bisa dipelajari.
Beberapa cara kerja ideologi yang bisa mampu membangun wacana yang dominatif dan asimetris ini
adalah : ‘legitimasi’, ‘penipuan’, ‘unifikasi’, ‘fragmentasi’, dan ‘reifikasi’. Tentu masih banyak model
cara kerja ideologi yang bisa dipelajari. Namun untuk fokus kajian paper ini kita mulai dengan apa
yang dikembangkan dalam buku John B. Thompson. Beberapa cara kerja ideologi ini tidak bergerak
sendiri dan dalam beberapa kasus saling berkelindan dan berkait satu dengan yang lain.10
Cara kerja ‘legitimasi’ mengandaikan bahwa kekuasaan yang dikembangkan melalui wacana ataupun
bahasa merujuk pada kepentingan untuk membangun ‘kepatutan’ dan ‘kelayakan’ dukungan. Apa
yang disasar adalah bangunan klaim wacana yang kemudian bisa dinggap absah dan patut menjadi
kebenaran yang harus diterima. Erat dan kuatnya pemaknaan pada simbol tertentu ditentukan oleh
seberapa jauh simbol sudah dianggap absah dan layak. Model kedua nakni ‘penipuan’ ingin
menjukan bahwa makna sejatinya bisa ‘disembunyikan’, ‘diingkari’, ‘dikaburkan’ atau dihadirkan
dengan pengalihan perhatian. Modus ketiga, ‘unifikasi’ mengandaikan bahwa relasi dominasi dapat
dibangun dan dilestarikan dengan cara vmengkonstruksi tataran simbol dalam bentuk penyatuan
yang membawahi individu-individu dalam satu kesatuan identitas kolektif serta tidak mentolerir
poerbedaan-perbedaan. Makna simbol, pada dirinya mengandung kehendak untuk membangun
persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan sekaligus. Modus keempat adalah dengan
‘fragmentasi’, yakni tidak dengan menyatukan tetapi mengkotak-kotakan. Ada dua cara dalam
fragmentasi ini yakni dengan membangun pertentangan, perbedaan dan dan ketidaksamaan
(diferensiasi) sekaligus juga dengan menghilangkan sesuatu yang kemudian dianggap ‘musuh’ atau
‘other’ (ekspurgasi). Modus operandi kelima adalah ‘reifikasi’ yakni sebuah modus cara kerja ideologi
yang menganggap bahwa ‘relasi dominasi’ bisa dibangun dan dilestarikan dengan menunjukan
‘kesementaraan hubungan kesejarahan’ yang telah diangap permanen, , natural dan abadi. Praktik
reifikasi selalu menghilangkan konteks sosial historisnya. Manusia kemudian dianggap sebagai
sekumpulan identitas ‘anonim’. Bukan sebagai pribadi yang mempunyai keunikan dan identitas
tertentu tetapi hanyalah sekelompok mahluk abstrak yang seragam.11
Bentuk dominasi yang dibangun dalam nalar wacana ini merupakan bagian yang amat penting yang
harus difahamai di luar bentuk-bentuk dominasi lain yang lebih nampak. Karena bentuk strategi
myang digunakan melalui medium bahasa maka tentu saja analisis yang harus dipakai tak sekedar
bersifat instrumental belaka. ‘Interpretasi’ dan ‘reinterpretasi’ merupakan cara penting untuk
mengunkap berbagai nalar dominasi wacana tersebut. Penerimaan masyarakat atas bentuk
dominasi ataupun hegemini kekuasaan tentu saja tidak hanya dibaca dengan sederhana. Ada
interpretasi subjek yang juga berperan. Pendekatannya tidak lagi hanya institusional atau norma
aturan semata. Bagaimana orang, komunitas, massa atau publik bisa menerima apa yang sebenarnya
menjadi wacana dominan tentu tak hanya bisa tertangkap secara institusional tetapi menyangkut
peran kekuatan strategi bahasa yang kadang lebih bersifat sangat sublim dalam kesadaran manusia.
Tentu saja pemakaina berbagai analisis semisal interaksi simbolik, etnografi, psikologi, sosiologi dan
bidang yang lain amat sangat membantu dalam mengurai bentuk-bentuk dominasi dan kekuasaan
yang hadir dalam tubuh masyarakat.
Selamat belajar !
10
Lihat, Tri Guntur Narwaya, Kuasa Stigma dan Represi Ingatan, Penerbit ResistBook, Yogyakarta,
2010, hal. 76.
11
“Anonimitas” inilah yang diberbagai bentuk dominasi wacana selalu digunakan untuk membangun
nalar unifikasi yang berbahaya dan di satu sisi juga sejatinya mereduksi manusia hanya menjadi kepingankepingan tanpa nama, tanpa bentuk dan juga tanpa identitas. Banyak kasus kekerasan massa dengan
mengatasnamakan apapun dan dalam bentuk apapaun sejatinya telah memakai nalar anonimitas sehingga
harkat kemanusiaan tidak lagi mendapat tempatnya. Lihat, F. Budi Hardiman, Memahami Negatifitas:
Diskursus tentang Massa, Teror dan Trauma, Penerbit Kompas, Jakarta, 2005.
4
5
Download