Materi 1-Etika Filsafat

advertisement
Materi 1 : Filsafat dan Etika Komunikasi
PENGANTAR AWAL MEMAHAMI FILSAFAT
Oleh : St. Tri Guntur Narwaya, M.Si
“...Seorang filsuf adalah seorang manusia
yang sadar akan ketidakpastian dan
ketidaktuntasan pengetahuan dan dunianya...”
(Eran Dorfman)
Manusia dan Realitas :
Selayang Pandang tentang Berkembangnya Nalar Filsafat
Manusia hidup dalam bentangan realitas kehidupannya yang maha luas. Sebuah dunia tempat tinggal
yang mengandung banyak hal yang bisa dirasakan dan dihayati. Begitu maha luasnya kenyataan ini,
membuat tak satupun pendekatan, pemahaman, dan penafsiran atasnya tuntas menyelesaikan
semuanya. Tidak terhitung berbagai pemikiran itu hidup bersama tumbuh dan berkembangnya
masyarakat. Pada banyak hal, manusia ingin menjawab berbagai pertanyaan-pertanyaan yang hadir di
depan mereka, dan pada saat perkembangan itu pula, jawaban-jawaban itu selalu tidak mencukupi untuk
menghimpun dan menyusun sebuah definisi yang sempurna. Apa yang tidak berhasil dijawab kadang terus
memunculkan rasa penasaran dan atau juga sebaliknya melahirkan keputusasaan dan frustasi. Dunia
menyimpan tak terhitung pertanyaan dan sekaligus juga tak terhitung usaha-usaha untuk menjawabnya.
Saat kita kecil tentu perlahan rasa penasaran akan perjumpaan dengan realitas terus bertumbuh. Seorang
anak terbiasa akan menayakan apa ini? Apa itu? Mengapa ini? Mengapa bisa begitu? Rasa
keingintahuannya membuat ia selalu bergairah untuk mencoba menyusun cara bertanya dan sekaligus
tafsiran untuk menjawabnya. Usia makin berkembang tak berarti pertanyaan-pertanyaan dan jawabanjawaban itu berhenti. Justru interaksi manusia yang makin meluas dan kompleks, selalu saja situasi
keresahan akan realitas itu hadir. Menghentikan insting, nalar dan potensi dasar semacam itu diam-diam
justru bisa menjadi akan ‘membunuh’ manusia sendiri. Apakah ada kemampuan manusia untuk bisa
menghentikan manusia untuk ‘berpikir’ dan ‘berefleksi’? Sulit untuk membayangkan. Kalau ya, tentu
hanya kematian.
Manusia diberi sekian nalar fikiran untuk berelasi dengan sekian problem realitas diri dan lingkungan di
luarnya. Sulit untuk membayangkan jika proses itu berhenti. Sebuah kemustahilan, karena manusia pada
prinsipnya ‘hidup’ dan karenanyalah, maka hidup sebagai yang konkrit bisa dirasakan dan dimaknai dalam
relasinya dengan totalitas yang dihadapi. Pada banyak hal jawaban-jawaban itu akan melahirkan
‘pengertian’, ‘pemahaman’ atau juga ‘pengetahuan’. Berbeda dengan anak kecil yang sering puas, seiring
kedewasaan, paham itu juga kemudian selalu bisa dipertanyakan kembali.1 Setiap batu tahapan satu akan
1
Bdk, Adelbert Snijders, Seluas Segala Kenyataan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009, hal. 4. Menurut
Snijders, manusia menuju ‘paham’ dengan melihat suatu ‘kesatuan’ dalam banyak hal yang secara ‘individual’
berbeda. Tentu, jenis paham ini akan selalu ditemukan dalam berdialog dan berinteraksinya manusia dengan sekian
pengalaman berjumpa dengan realitas.
1|Page
menggairahkan untuk mencari batu pijakan berikutnya. Setiap pernyataan tertentu akan
mengembangkan berbagai pertanyaan yang lainnya.
Peristiwa-peristiwa yang hadir di depan manusia tak hanya melintas pada persitiwa yang menyenangkan,
menggembirakan, mempesona, atau bahkan memberi kenikmatan dan kebahagiaan. Tak jarang peristiwa
itu hadir begitu mencekam, mengerikan, menakutkan, menyakitkan dan bahwa mengancam hidup
manusia. Mengapa bisa tumbuh berameka macam situasi tersebut? Apakah sesuatu sudah dengan
sendirinya hadir begitu saja? Apakah pertimbangan dan alasan orang bisa dengan mudah membunuh
orang lain? Bagaimana kita bisa memberi penjelasan sebuah kekuasaan manusia bisa tumbuh? Mengapa
manusia harus hidup? Apakah kebenaran itu? Mengapa kita bisa bisa merasakan kebahagaiaan? Apa yang
dimaksud kemudian dengan kebahagiaan? Tentu pertanyaan akan bertumpuk dan bertumbuh dengan
berbagai horisonnya dalam memandang dan menafsirkan realitas. Tak jarang berbagai horison itu ada
yang berkecenderungan serupa dan sama, tetapi tak sedikit pula yang kemudian bertentangan dan
berlawanan.
Apa yang merusak dan apa yang bersahabat itu pada dasarnya selalu hidup dalam dunia kehidupan.
Dialektika itu berkontribusi juga membentuk kesadaran manusia dan juga sebaliknya. Menjadi tugas
penting untuk selalu memahami situasi dunia dengan segala dinamikanya tersebut. Manusia
berkecenderungan untuk tidak selalu berkeinginan bahwa segala realitas itu dibiarkan begitu saja lewat
tanpa pemahaman dan pemaknaan. Ia selalu ditarik untuk memikirkan dan memaknai. Situasi itu dengan
sendirinya akan membantu kehidupan tidak ‘chaos’ dan ‘anarkhi’. Tugas untuk memahami dan
menafsirkan itu bagian cara menusia menjaga eksistensi keberadaannya. Di sisi lain segala kenyataan itu
harus dimengerti dan difahami tak hanya karena ada determinasi perintah, tetapi menjadi keniscayaan
setiap manusia untuk berhadapan dengan tugas itu.
Sebelum terdefiniskan dalam pengertian yang saat ini berkembang yang disebut sebagai apa itu “filsafat”,
sejatinya pergulatan-pergulatan ‘manusia’ di antara bentangan realitas ini tentu sudah hidup sejajar
dengan berjalannya sejarah manusia. Perbedaan-perbedaan konteks rentang sejarah akan melahirkan
berbagai perkembangan khusus cara dan model ‘berfilsafat’. Seperti secara prinsip difahami bahwa,
‘berfilsafat’ atau pergulatan manusia dan realitas tidak hadir dalam situasi vacum dan sejarah kosong,
melainkan dalam situasi kongkrit jamannya. Warna-warna inilah yang membentuk berbagai
perkembangan filsafat dikemudian hari yang saat ini juga kita pelajari. Maka berfilsafat biasa memberi arti
sebagai proses pergulatan dengan masalah-masalah dasar manusia.2 Pada dimensi yang luas bisa
dimengerti sebagai cara untuk membantu masyarakat dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan.
Fungsi dari pengertian itu bahwa tugas filsafat salah satunya adalah ‘mencari jawaban’,3 meskipun
disadari bahwa jawaban tidak akan pernah final dan puncak. Realitas akan terus merangkak dalam sejarah
manusia yang terus berkembang.
2
Lihat, Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal. 17.
Menurut Jujun S. Suriasumantri mengutip gagasan Socrates (470-399 SM), tugas falsafah (filsafat – penulis)
fungsi tugas filsafat bukanlah menjawab pertanyaan kita, namun mempersoalkan jawaban yang diberikan.
Berfilsafat merupakan cara berpikir yang radikal, menyeluruh dan mendasar. Lihat, Jujun S. Suriasumantri, Ilmu
Dalam Perspektif : Sebuah Karangan Tentang Hakikat Ilmu, Penerbit yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997, hal.
4.
3
2|Page
Mengurai Fungsi dan Tugas Filsafat
Filsafat (philosophia), sesuai namanya mengandung pengertian ‘cinta’ (philia) dan ‘kebijaksanaan”
(sophia), konon ia mengandung kesatuan pengertian sebagai “cinta pada kebijaksanaan”. Jadi para
‘philosophos’ atau para ‘filsuf’ dimengerti sebagai ‘orang yang mencintai kebijaksanaan’. Tentang relasi
antara filsafat dan kebijaksanaan ini dengan amat mendasar dijelaskan oleh St. Agustinus. Filsafat
dimengertinya sebagai suatu aktifitas, yang meliputi teknik-teknik penalaran, dan juga suatu pendekatan
menuju ‘kebijaksanaan dan ‘kebenaran-kebenaran tertinggi’ tentang kehidupan.4 Berbagai pandangan
tentang apa itu filsafat dan apa fungsi filsafat bagi kehidupan manusia telah banyak diberikan para ahli.
Tentu masing-masing selalu mempunyai variasi penekannnya. Namun secara garis umum, filsafat juga
bisa dimengerti sebagai “upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan secara sistematik serta
lengkap tentang seluruh realitas”. Filsafat juga bisa mengandung pengertian sebuah penyelidikan kritis
atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang
pengetahuan.5
Tugas filsafat adalah menemukan ‘hakikat’ segala sesuatu, namun apa yang disebut sebagai ‘hakikat’ tidak
pernah dapat dideskripsikan sebagaimana adanya. Hakikat realitas tidak dapat secara tuntas
dideskripsikan; ia tidak dapat diperikan dan tak terkatakan. Namun dalam berbagai hal, cara manusia
untuk bisa mengartikan dan memahami sesuatu kemudian dimunculkan melalui ungkapan-ungkapan
‘simbol’, ‘kata’ dan ‘bahasa’. Sebuah bahasa yang diharapkan membantu untuk bisa memahami dan
merepresentasikan pikiran tentang “apa itu kenyataan?”. Fungsi ‘membantu’ ini penting untuk tidak
linglung dalam berdialog dengan realitas. Walaupun kadang ia hanya berdiri sebagai ‘antara’, karena apa
yang sudah ‘terdefinsikan’ dan ‘terbahasakan’ tidak menunjuk pada ‘hakikat’ itu sendiri’. Kita bisa
mengambil contoh saat manusia menyebut ‘air’ sebagai ‘air’, tidak menunjukkan tiba-tiba bahwa kata
tersebut sama dengan apa yang ada dalam ‘realitas air secara keseluruhan’. Ada jarak antara manusia
dengan realitas. Ada jarak kita dengan dunia.6 Karena jarak itulah yang memungkinakan manusia melihat
realitas, namun realitas yang berhasil dilihat bukanlah realitas yang sebagaimana adanya, melainkan
realitas sebagai yang manusia lihat.
Bisa jadi, tafsiran kalimat di atas masih bisa terbuka untuk diperdebatkan dan didiskusikan. Sebagai kita
akan dapat melihat bentangan cara nalar berpikir itu yang menunjukan berbagai sudut perspektifnya
masing-masing. Pada tugas membahas secara khusus tentang keragaman pikiran itu tentu bukan
kepentingan pengantar tulisan ini. Kajian kusus tentang studi filsafat saya kira tepat untuk ini. Terpenting
adalah menyadari berbagai aspek fungsi yang amat penting bagi tugas filsafat bagi manusia dalam
menjawab realitas yang maha luas tersebut. Setidaknya dari titik ini kita akan bisa melebar
membincangkan prinsip-prinsip penting yang kemudian dipakai dalam kajian-kajian disiplin ilmu yang lain.
Bagi kepentingan yang amat praktis tentu bisa memberi dasar relevansi dan korelasi kepentingan kajian
pengantar ini dengan cara membaca realitas kemanusiaan yang hari-hari ini kita bersama hadapi.
Filsafat dalam posisi ini menjadi lebih dekat dengan nalar berpikir dasar yang kerab disebut sebagai ‘ibu
dari segala ilmu pengetahuan’. Apa yang berkembang dalam berbagai pemikiran ‘filsafat’ tak jauh dari
usaha untuk menjangkau yang ‘esensial’ yakni ‘menyentuh hakikat kenyataan’; yang ‘fundamental’ yakni
4
Lihat, Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat (terj : Saut Pasaribu), Penerbit Yayasan
Bentang Budaya, Yogyakarta, 2002, hal. 249.
5
Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal. 242. Bdk, Louis
O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996.
6
Lihat, Frank Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2007, hal. 14.
3|Page
‘menyentuh dasar kenyataan’; dan yang ‘radikal’ yakni usaha untuk ‘menyentuh akar kenyataan’.7
Dimulai dari kecenderungan ‘rasa heran’ maka filsafat menyeruak ingin mempertanyakan dan menjawab
sesuatu dari yang esensial, fundamental dan radikal. Untuk bisa masuk dalam kesadaran berpikir filsafat
itu, meminjam tulisan F. Budi Hardiman8, maka harus dibangun beberapa prinsip prosedur seperti:
Pertama, menjadi pemula yang baru melihat dengan segala keheranannya; Kedua, tidak mudah untuk
percaya begitu saja atas realitas yang ada; Ketiga, bongkar dan lucuti sesuatu yang kongkrit untuk terusmenerus bisa memahami ciri-ciri keumumannya; Keempat, carilah titik pangkal dari segala sesuatu yang
anda alami dan amati; dan terakhir yang kelima adalah pikirkanlah bagian-bagian tanpa melepaskannya
dari keseluruhan.
Karena ketidakletihannya untuk selalu mempertanyakan tentang realitas dan bahkan realitas dunia yang
sudah dianggap mapan maka filsafat selalu berhadapan dengan tugasnya yang beresiko dan kadang
melelahkan. Filsafat juga tidak sedikit sering dianggap sebagai berwatak sekuler, subversif dan politis
karena watak dasarnya yang serba ingin memahami dan mengetahui. Tetapi bukan semata bahwa filsafat
memang diperuntukan untuk itu, dalam konsekuensinya sifat ‘kritis’ filsafat mengandung resiko dalam
dirinya berhadapan dengan pemahaman-pemahaman yang mapan bahkan absolut. Untuk menghindari
‘chaotic pikiran’ yang berkembang, maka filsafat biasanya akan merumuskan pengandaian-pengandaian
dan kepesatian-kepastian jawaban melalui rumusan-rumusan yang bisa dipertanggungjawabkan. Filsafat
selanjutnya dapat dipandang sebagai usaha manusia untuk menangani pertanyaan-pertanyaan yang
fundamental tersebut secara bertanggungjawab.9 Bertanggungjawab bisa diartikan sebagai sikap terbuka
terhadap verifikasi, perdebatan dan dialog dalam membahas tentang kebenaran-kebenaran sebuah
pernyataan filsafat.
Sikap filsafat yang tidak pernah puas diri dan selalu membangun usaha pertanyaan pada segala seuatu
kenyataan yang dianggap final, terbuka pada setiap perdebatan dan membangun nalarnya yang dialektis
inilah yang menempatkan fungsi filsafat sebagai ilmu yang kritis. Pada kenyataan kesadaran berfilsafat
secara kritis akan banyak menyumbang pada hadirnya perkembangan pengetahuan. Setiap pengetahuan
dan kebenaran tidak akan berhenti menjadi mapan, absolut dan atau tiran melainkan selalu terbuka pada
perjalanan dan perkembangannya. Ia selalu bersikap progresif. Menemukan ruang untuk tidak
menghindar dari kritik dan otokritik, Terbangun melalui kerja dialektik tesis antitesis dan sintesis baru dan
terbuka terhadap segala pertautan dan relasi dengan dimensi pemikiran lain. Dengan fungsi sikap ini tentu
kenyataan realitas tidak dilihat dari satu kacamata sempit dan sudut pandang yang diseragamkan tetapi
mengurai dalam pluralitas yang saling berdinamika dan menggenapi.
7
Lihat, Frank Budi Hardiman, Filsafat Modern : Dari Machiaveli sampai Nietzsche, Penerbit Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hal. xiii.
8
Lihat, Frank Budi Hardiman, Ibid, hal. xiii. Bdk, Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Komunikasi, Simbiosa
Rekatama Media, Bandung, 2010, hal. 86. Dalam buku Syam ini disebutkan sebagai “prinsip-prinsip berfilsafat” yang
bisa diringkas sebagai berikut : Pertama, Meniadakan sifat kecongkakan maha tahu sendiri; Kedua, sikap mental
kesetiaan pada kebenaran; Ketiga, memahami sungguh-sungguh persoalan filsafati serta berusaha untuk
memikirkan jawabannnya; Keempat, latihan intelektual terus menerus; dan kelima, adanya sikap keterbukaan diri.
9
Lihat, Franz Magnis Suseno, Op.Cit, hal 19. Menurut Magnis Suseno, Ini lebih menjelaskan bahwa tanpa
pertanggungjawaban secara benar seringkali pertanyaan-pertanyaan hanya akan sering dijawab dengan ‘spontan’
dan dengan demikian senantiasa ada ‘bahaya’ bahwa jawaban-jawaban mudah untuk didistorsikan oleh ‘selera
subjektif’, segala macam ‘rasionalisasi’ dan ‘kepentingan ideologis’.
4|Page
Filsafat dan Ilmu
Sudah dijelaskan bahwa tugas dan fungsi filsafat salah satunya adalah “mengurai dan mempertanyakan
berbagai pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang
pengetahuan”. Setiap ilmu pengetahuan dan pengetahuan memiliki pengandaian-pengandaian dan
rumusan-rumusan pernyataannya sendiri. Dalam tubuh ilmu pengetahuan juga mengandung berbagai
dalil, hukum, konsep, teori, perspektif dan pendekatan-pendekatan yang dikembangkan. Sebuah ilmu
pengetahuan adalah ruang yang maha luas atas berdirinya berbagai pluralitas pendekatan itu. Setiap
pengandaian tentu saja mewmbutuhkan upaya untuk membacanya secara kritis dan benar. Penting untuk
mencari berbagai landasan fundamental tentang rumusan-rumusan pernyataan yang telah dihasilkan
oleh ilmu pengetahuan. Dari titik ini maka sejak awal fungsi dan tugas filsafat menjadi penting. Dia bisa
membantu untuk membaca ilmu pengetahuian tidak hanya dalam kacamata teknis dan instrumental
semata.
Keberadaan ilmu pengetahuan tentu saja dibangun atas tiga pilar penyangga yang amat penting. Landasan
ini biasanya dikaitkan dengan hal ikwal tentang bagaimana memahami tubuh paradigma sebuah ilmu.
Tiga unsur dimensi penting itu adalah “Landasan Ontologi”, “Landasan Epistemologi” dan “Landasan
Aksiologi”.10 Landasan ontologi menyangkut pertanyaan tentang ‘ada’ atau apa hakikat ilmu. Epistemologi
berkaitan dengan pertanyaan tentang ‘bagaimana, yaitu aspek-aspek metodologi ilmu dan sarana
berpikir? dan terakhir landasan aksiologi berkaitan dengan pertanyaan tentang ‘apa manfaat ilmu bagi
manusia?’, ‘untuk apa ilmu itu digunakan?’, ‘apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak?’ dan juga banyak
mengeksplorasi tentang kedudukan etika dalam frungsi pengetahuan
Dalam setiap paradigma pengetahuan akan terdapat berbagai premis-premis teoritis dan metodologis
yang menentukan atau mendefinisikan suatu studi ilmiah kongkrit, dan ini melekat pada praktik ilmiah
tertentu.11 Paradigma bisa berarti pula merupakan sistem cara pandang sesuatu (the way looking at
thing), yaitu semacam ‘intelektual gestal’ yang hidup dalam diri seseorang dan mempengaruhi orang
tersebutdalam memandang realitas di sekitarnya.12 Paradigma juga dapat dilihat sebagai seperangkat
asumsi, nilai atau gagasan yang akan mempengaruhi persepsi dan interpretasi ilmuwan dan pada akhirnya
akan mempengaruhi cara bertindak dan bekerja dalam setiap penelitian.13 Pengertian paradigma akhirnya
merujuk pada pada sistem asumsi-asumsi teoritik yang digunakan sebagai alat bantu untuk membantu
pernyataan dan rumusan-rumusan masalah tentang realitas dunia pengetahuan yang ada.
Fungsi penting filsafat dalam pengkajian ilmu akan lebih banyak membuat cakrawala berpikir semakin luas
dan dengan sendirinya akan mengembangkan ilmu pengetahuan. Pengetahuan tidak berdiri stagnan,
tetapi justru akan terus bergerak dalam perkembangannnya. Beberapa asumsi pemikiran tidak berhenti,
beku dan mengeras menjadi dogma atau mitos baru dengan begitu ia secara rasional juga dapat dicerna
dan dipertanggungjawabkan pada setiap dimensi pengetahuan yang diangkat. Wawasan baru akan
bertumbuh mekar. Wawasan lama yang sudah tidak relevan dengan sendirinya akan tidak lagi relevan
untuk digunakan. Lebih jauh dengan filsafat, maka ilmu pengetahuan tidak menjadi ‘kering makna’ tetapi
selalu menjadi karya yang bisa diabdikan bukan hanya untuk pengetahuan semata, tetapi bagi
‘kebermanfaatan’ dan ‘kebermaknaan’ peradaban manusia.
Selamat Belajar !
10
Lihat, Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Komunikasi, Op.Cit, hal 89.
Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Op.Cit, hal. 779.
12
Lihat, Prasetyo Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian, STIA Press, Jakarta, 1999, hal. 56.
13
Lihat, Tri Guntur Narwaya, Matinya Ilmu Komunikasi, Penerbit Resist, Yogyakarta, 2006, hal. 111.
11
5|Page
Download