(Filsafat dan Etika ) Materi Kuliah 5

advertisement
Materi 5 : Filsafat dan Etika Komunikasi
Model-Model Pendekatan Etika
Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si
“Setiap kebijaksanaan harus bersedia dipertanyakan
dan dikritik oleh ‘kebijaksanaan-kebijaksanaan’ lain...
Keberlakuan universal harus dapat membuktikan diri
dalam konfrontasi dengan mereka yang berpikir lain”
(Benezet Bujo)
Secara prinsip ‘etika’ tidaklah sama dengan sebuah ajaran atau norma. Etika mempunyai tugas untuk
memahami dan menjelaskan mengapa norma dan nilai nilai tertentu bisa diberlakukan. Etika juga
menjelaskan mengapa pilihan moral tertentu harus diambil. Berbagai eksplorasi tentang penjelasan
mengapa sebuah ‘moralitas’ tertentu tidak harus diterapkan secara imperatif adalah tugas dari etika.
Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar pendapatpendapat moral yang dikemukakan bisa dipertanggungjawabkan.1 Dalam penjelasan lain, etika
merupakan usaha untuk menjernihkan permasalahan moral.2 Cara untuk mendekatai permasalahanpermasalahan moral itu tentu saja dalam perkembangan etika hadir beragam. Maka kita akan
banyak disuguhkan dengan berbagai model pendekatan etika yang ada. Masing-masing mempunyai
rujukan pertimbangan dan juga pendasarannya.
Sebuah ‘model’ dan ‘tipe pendekatan’ bisa berarti merupakan tolok ukur. Ketika etika bertugas
untuk membuat pendapat moral bisa ‘dipertanggungjawabkan”, maka kita akan ditarik pada
sebentuk pertanyaan mendasar: Tolak ukur apa yang kita pakai sebagai sebuah
pertanggungjawaban? Sebuah pertanggungjawaban tentu mempunyai isi dan tidak hadir dalam
ungkapan kosong. Ia akan merujuk pada norma yang kemudian kita pilih untuk diterapkan. Setiap
model mempunyai dasar-dasar pertimbangan ini. Tentu tugas etika lebih jauh untuk mencari dasar
objektif sebuah pertanggungjawaban moral. Dasar objektif di sini bisa berarti prinsip-prinsip yang
mendasari semua norma moral yang lebih kongkrit.
Mengapa Penting Memahami Model?
Ketika kita menghadapi satu masalah tentang ‘pilihan moral ‘yang harus kita ambil kebanyakan dari
kita akan merujuk pada dua pendekatan yang umum. Ketika ada sebuah pertanyaan apa yang
mendasari tindakan kita untuk berjalan seperti: Tindakan apa yang seharusnya kita ambil biar kita
bisa bertanggungjawabn secara moral ? Kebanyakan kita akan menghadirkan jawaban yakni dari
‘norma yang diberikan masyarakat’ atau ‘dari suara hati’. Kedua jawaban ini tentu saja masih bisa
bermasalah dan keliru. Bagaimana kita kemudian bisa menemukan jawaban-jawaban itu secara
objektif dan benar? Apakah ada peertimbangan moralitas yang memang benar-benar bisa tidak
1
Lihat, Franz Magnis Suseno, Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1985, hal. 18.
2
Seperti yang juga dimengerti bahwa “norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan
betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya ‘sebagai manusia’ dan bukan sebagai
pelaku peran tertentu dan terbatas. Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk
mengukur kebaikan seseorang. Lihat, Franz Magnis Suseno, Ibid, hal. 19.
1
keliru? Mungkin di titik inilah tugas membangun prinsip etika secara universal dan objektif menjadi
penting.
Pada titik tertentu dalam membaca dan berpengalaman langsung dengan problem etika ini, kita
sering banyak akan menemukan ketegangan-ketegangan mengenai bagaimana membangun
pendasaran moral atas tindakan-tindakan yang dipilih manusia. Kita memahami bahwa masyarakat
juga terbangun tidak hanya dalam plihan-pilihan tindakan yang begitu saja dianggap semua rasional.
Banyak hal dalam kehidupan kita hal-hal yang tidak rasional juga dipakai sebagai pilihan rujukan itu.
Misalnya kita bisa bicara pada fenomena ‘etika wahyu’ yang berkembang pada keyakinan-keyakinan
primodial yang dimiliki oleh agama dan keyakinan-keyakinan tertentu. Banyak unsur unsur tindakan
manusia yang didasarkan atas etika ini. Asal dalam teks wahyu tertentu mengatakan demikian maka
manusia harus mengatakan demikian.
Pemakaian secara ‘fundamental’ dan literer’ semacam ini seringkali menciptakan nalar pikir yang
‘tertutup’ dan ‘beku’ jika tidak juga dikembangkan dengan nalar akal budi manusia yang barangkali
lebih membuka cakrawala lebih luas. Tidak berarti pada kesadaran etika wahyu tidak penting, tetapi
menempatkannya sebagai satu-satunya rujukan moralitas sering kali mengalami ironi dan dilema
pada kenyataan hidup manusia yang sifatnya kongkrit. Maka pentingnya pemahaman ajaran wahyu
dengan keterbukaan akal budi kritis kita menjadi penting untuk memahami semua realitas hidup
manusia. Kesadaran literer fundamental ini juga kadang kita temukan dalam kesadaran-kesadaran
ideologis yang beku. Di luar dari kesadaran ideologi itu adalah kekeliruan. Sikap ini tentu merupakan
pemahaman kesadaran ideologi yang tertutup dan totaliter.
Pentingnya membentangkan berbagai model pendekatan etika ini adalah bermaksud untuk
membuka cakrawala kesadaran bahwa dalam setiap konteks sosial budaya dan lingkungan tertentu
memiliki berbagai kondisi dan dinamika pilihan moral yang beragam. Tidak berarti bawa apa yang
menjadi cita-cita kebenaran universal itu kemudian dianggap ‘nisbi’ dan ‘naif’ dan juga ‘utopis’.
Barangkali justru keterbukaan menyadari berbagai pertemuan dan dinamika antara ‘yang universal’
dan ‘yang partikular’ akan menjadikan sikap berpikir akan makin terbuka dan berkembang.
‘Universalisasi’ ataupun ‘partikulasisasi’ jika dipakai sebagai kesadaran dogma dan absolut juga akan
bermasalah bagi kehidupan peradaban manusia.
Menjadi relefan apa yang menjadi catatan etika dari Benezet Bujo bahwa “keberlakukan universal
harus dapat membuktikan diri dalam konfrontasi dengan mereka yang berpikir lain” dan juga
catatannya yang memberi garis merah bahwa “konteks adalah tempat di mana apa yang universal
hadir secara potensial”.3 Apa yang dipikirkan oleh Bujo mungkin juga senada dengan apa yang
dikembangkan oleh Jurgen Habermas dalam ‘etika diskursusnya’ yang meletakkan kunci
keterbukaan dialog dan kesediaan diri untuk terbuka pada kritik validasi merupakan unsur penting
dalam membangun etika komunikasi.4 Tentu saja premis dari Habermas ini juga mengandaikan
bahwa sebuah dialog (komunikasi) dalam ruang publik yang demokratis harus melepaskan diri
dengan segala unsur yang ‘dominatif’ dan ‘manipulatif’.
3
Catatan Benezet Bujo ini dikutip dalam bukunya Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis,
Penerbit kanisius, Yogyakarta, 1992, hal. 52
4
Dalam tulisannya tentang ‘etika diskursus Habermas’, Frank Budi Hardiman mencatat bahwa “Dalam
sebuah masyarakat yang demokratis, praksis diskursus itu akan membangun sikap yang menghargai kekuatan
argumentasi yang lebih baik sehingga berbagai manipulasi “ideologis” itu sendiri pada gilirannnya akan
diperiksa secara publik dalam arena diskurus rasional yang bersifat publik”. Lihat, Frank Budi Hardiman,
Filsafat Fragmentaris, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2007, hal. 117.
2
Berbagai Model Pendekatan Etika
Etika Peraturan
Dalam ranah pembacaan tentang etika, kita minimal menemukan tiga model pendekatan yang
secara umum sering dipakai dalam kehidupan masyarakat. Penting unhtuk memeriksa faham
beberapa catatan etika ini terutama tentang hakikat kewajiban moral. Pertama, “etika peraturan”.
Etika peraturan bukan merupakan definisi tentang pendekatan khusus tertentu tetapi hanya
gambaran dari berbagai kecenderungan dalam konteks tertentu. Yang dimaksud dengan ‘etika
peraturan’ adalah etika-etika yang melihat hakikat moralitas dalam ketaatan terhadap sejumlah
peraturan.5 Dalam etika semcam ini ‘apa yang dimaksud baik adalah sikap yang menuruti perintahperintah yang termuat dalam peraturan-peraturan tersebut’. Bentuk etika peraturan ini bisa
berbentu peraturan-peraturan dalam keluarga, sebuah lingkungan tertentu, adat istiadat atau juga
peraturan yang ada dalam agama. Dalam ‘etika peraturan’ manusia tidak lebih daripada mengetahui
peraturan-peraturan moral itu dan hidup sesuai dengannnya.6 Misal kita bisa ambil contoh
peraturan dalam keluarga seperti ‘hormat kepada orang tua’, peraturan dalam masyarakat seperti
hubungan sesama jenis dilarang, atau peraturan agama mengenai menikah dianggap resmi, sah dan
baik jika melalui lembaga perkawinan.
Problem dan kesulitan yang seringkali muncul pada praktik penerapan ‘etika peraturan’ adalah
bahwa ‘etika peraturan’ tidak bisa menyediakan bahan jawabanmemadahi dan memusakan ketika
diberikan pertanyaan tentang “apa yang menjadi dasar dari keberlakukan pilihan moral tertentu
yang ada dalam peraturan tersebut”. Kebanyakan akan kembali lagi pada bahwa itu memang sudah
demikian adanya ada dalam kewajiban moral yang harus dianut. Etika peraturan kiebanyakan gagal
untuk menjawab segala pertanyaan tersebut. Kebanyakan dari prinsip ‘etika peraturan’ adalah
bahwa yang dituntut bukan agar kita menjunjung tinggi nilai-nilai tertentu, melainkan agar
peraturan-peraturan itu ditaati.7 Apa yang menjadi landasan dan rujukan pertimbangan mengapa
sebuah nilai tertentu harus ditaati memang tidak ada. Hal yang kedua yang sering ada dalam
penerapan ‘etika peraturan’ ini adalah bahwa ia tidak menyediakan rujukan arti penting sebuah
‘tanggung jawab’. Akibat yang bisa menjadi konsekuensi tindakan manusia tidak mendapatkan
tempat. Padahal secara mendasar ‘etika tanggung jawab’ menuntut pada semua orang bahwa
dalam perilaku dan tindak tanduk harus dilandasi pada sikap ‘bertanggungjawab’ terhadap akibat
perbuatan yang dilakukan. Apa yang dimaknai sebagai ‘moralitas’ hanya berhenti menjadi ‘hukum’.
Etika Situasi
Pendekatan kedua, kita akan mengenal dengan ‘etika situasi’. Etika situasi ini pada pendasaran
pemikiran banyak dipengaruhi oleh cara pandang dan filsafat ‘eksistensialisme’8 dan ‘personalisme’.
Eksistensialisme selalu menekankan keunikan dan tanggungjawab tiap-tiap orang, bahwa tiap-tiap
orang itu khas dan tidak dapat dimasukan di dalam ‘kerangka-kerangka’, ‘skema-skema’ dan ‘normanorma umum’, melainkan harus menentukan diri sendiri berdasarkan penghayatan yang otentik.9
5
Lihat, Franz Magnis Suseno, Ibid, hal. 102.
Lihat, Franz Magnis Suseno, Ibid, hal. 103.
7
Lihat, Franz Magnis Suseno, Ibid, hal. 103
8
Eksistensialisme adalah ‘filsafat yang memandang bahwa segala gejala dengan berpangkal pada
eksistensi. Ia bisa dimengerti sebagai faham yang menentang ‘esensialisme’. Dalam pandangan
eksistensialisme, ‘eksistensi’ selalu mendahulu ‘esensi.’ Motif pokok dari eksistensialisme adalah keyakinan
bahwa hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Lihat, Lorens bagus,
Kamus Filsafat, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal. 185. Sedang filsafat pandangan
‘personalisme’ adalah cara pandang yang menekankan bahwa manusia adalah ‘person’, bukan sekedar nomor
dalam kolektif, melainkan bernilai pada dirinya sendiri. Sebagai persoan ia mempunyai kehendak sendiri dan
sekaligus juga kebebasan untuk bertindak dan bertanggungjawab.
9
Lihat, Franz Magnis Suseno, Ibid, hal. 104.
6
3
Dalam praktiknya ‘etika situasi’ selalu menolak hadirnya keberadaan norma-norma dan peraturanperaturan moral yang berlaku umum. Norma dalam pandangan ini tidak berlaku universal. Semua
kondisi lingkungan adalah unik, demikian juga dengan manusia. Antara ‘etika situasi’ dan ‘etika
peraturan’ memang pada prinsipnya betolak belakang dan bertentangan. Etika peraturan menuntut
loyalitas tindakan pada hukum peraturan dan menghilangkan kebebasan otentik dan unik dari setiap
manusia, sedang 'etika situasi’ justru berjalan sebaliknya. Ia justru menolah determinasi hukum
peraturan tersebut.
Marilah kita mencoba membaca lebih kritis nalar ‘etika situasi’ ini. Prinsip keunikan bahwa setiap
situasi adalah unik barangkali memang bisajadi benar, tetapi apakah semua kemudian kita anggap
unik dan tidak membuka diri dengan apa yang dimaksud dengan sesuatu yang universal? Apakah
tidak ada garis-garis kesamaan pada setiap situasi? Jika tidak ada kesamaan, kenapa manusia dan
masyarakat bisa menyepakati dalam beberapa hal tentang etika hidup bersama? Apa yang kemudian
disebut sebagai ‘yang universal’ tidaklah mungkin bisa tercapai? Beberapa keresahan pertanyaan ini
menarik untuk kita diskusikan.
Apa yang sebenarnya membuat kesamaan dalam setiap relasi sosial sehingga kita mulai dan bisa
faham dalam kesapakatan? Tentu sangat sadar harus dipahami bahwa kesamaan pandangan itu
karena manusia sejatinya adalah bukan sekedar mahluk personal melainkan juga mahluk sosial yang
selalu membangun interaksi sosialnya dengan orang lain dalam struktur sosial. Situasi yang ada
barangkali bisa dinterpretasi dan difahami secara berbeda, tetapi ia juga membuka dialog
pemahaman karena pada fakta kenyataannya situasi yang ditempoati adalah sama. Bumi yang
dihuni manuisa ini adalah sama. Yang lebih penting lagi bahwa manusia harus menyadari bahwa
manusia tidak bisa melepaskan dengan kenyataan objektif atas dinamika relasi-relasi tersebut. Pada
titik inilah, ‘etika situasi’ gagal dan cenderung melupakan kenyataan objektif itu.
Satu kelemaham dari ‘etika situasi’ adalah bahwa ia jatuh pada nalar ‘individualisme ekstrem’ yang
hanya melihat keunikan tanggungjawab individual, tetapi melupakan bahwa tanggungjawab itu baru
menjadi nyata berhubungan dengan denhgan kedudukan kita dalam ‘kesatuan’ kehidupan
masyarakat.10 Pada banyak hal melahirkan sikap ‘anarkisme’ yang mendorong sikap penolakan
secara ekstrem segala bentuk peraturan dan hukum yang diberlakukan secara umum.11 Apakah
memang ‘anarkisme’ ini kenyataannya bisa dipraktikan? Apakah sejatinya sikap ini juga akan
membentur problem yang sama bahwa ia sendiri diam-diam justru juga menjadi aturan dan norma
dalam dirinya sendiri? Dalam bukunya tentang ‘Radikal itu Menjual’ yang memberi peran penting
dan optimisme pada berfungsinya peraturan, Joseph Heath & Andrew Potter bahkan memberi
catatan yang bernada metaforis bahwa “Kebanyakan orang tidak siap untuk dicabut. Dan banyak
diantara mereka yang begitu betah, begitu mati-matian bergantung pada sistem , sampai mereka
akan berjuang untuk melindunginya”12
Etika Utilitarisme
Model pembagian lain dari cara pendekatan etika yang masih mainstream diperdebatkan hari-hari
ini adalah apa yang kerap dikenal sebagai ‘Utilitarisme’ yang merupakan contoh khas dari tipe ‘etika
10
Lihat, Franz Magnis Suseno, Ibid, hal. 106.
Riset yang lebih populer tentang bagaimana kecenderungan ‘anarkisme’ ini hadir pada model dan
strategi wacana tanding yang beberapa tahun dan hingga akhir ini dipakai. Dalam beberapa hal gerakan
perlawanan wacana tandig memakai prinsip penolakjn terhadap apa yang disebut sebagai ‘universalisasi’ atau
kebijakan penerapan norma secara umum. Namun dalam praktiknya ‘wacana tanding’ selalu gagal ketika
berhadapan dengan kenyataan bahwa masyarakat hidup dalam relasi-relasi hubungan yang akan melahirkan
atiran-aturan hidup bersama. Lihat, Joseph Heath & Andrew Potter, Radikal itu Menjual: Budaya Perlawanan
atau Budaya Pemasaran, Penerbit Antipasti, Jakarta, 2009.
12
Lihat, Joseph Heath & Andrew Potter, Ibid, hal. 10.
11
4
teleologis’, yang menentukan baik buruknya tindakan dari baik buruknya akibat yang menjadi
tujuannya.13 Aliran ini lebih bersifat ‘libera’l karena yang terpenting bukan prinsip nilai yang hadir
dalam nalar moralitas itu sendiri tetapi dampak yang ditimbulkan dari pilihan-pilihan moral yang
diambil. Sebagai pendasaran etika, ‘utilitarisme’ berangkat dari asumsi yang persis diandaikan oleh
‘etika situasi’ yakni yang melihat bahwa konteks tindakan dan situasi lingkungan serba unik dan tidak
bisa diasumsikan dalam prinsip-prinsip umum yang baku. Berbeda dengan , ‘etika deontologis’ yang
berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan melekat pada tindakan itu sendiri.
Prinsip pengandaian kedua dari etika jenis ini adalah apa yang dimaksud manfaat bukanlah
sembarang manfaat tetapi ‘kegunaan’ dalam menunjang apa yang bernilai pada dirinya sendiri, yang
baik pada dirinya sendiri. Dalam nalar pertama ‘utilitarisme’, apa yang disebut baik ‘adalah yang
berguna’. Dan yang baik pada dirinya sendiri adalah ‘kebahagiaan’. Faham eudemonisme lebih sering
dianggap ‘hedonis’ dan ‘egois’. Maka banyak orang juga menyebutkannya sebagai pandangan ‘etika
egois’. Menurut salah satu penggagas ‘etika utilitarisme’, John Stuart Mill, apa yang disebut
‘membahagiakan’ adalah ‘nikmat’ dan ‘kebebasan’ dari perasaan tidak enak karena itulah yang
selalu diinginkan manusia. Kecenderungan hedonistik ini yang berakar dalam asumsi bahwa apa
yang dianggap untuk mengusahakan kebahagiaan dianggap sama dengan mengusahakan
pengalaman nikmat dan menghindari pengalaman yang menyakiti.
Pertanyaan lanjut: bagi siapa nikmat itu? Kehendak untuk mencari kenikmatan dan kebahagiaan itu
bukan untuk segelintir person (pribadi) tetapi bagi semua orang. Maka di titik ini utilitariisme lebih
bersifat universal etis. Maka secara umum pandangan ‘utilitarisme’ bisa dijelaskan sebagai
pandangan etika yang bisa dirumuskan sebagai berikut : “tindakan atau peraturan tindakan yang
secara moral betul adalah yang paling menunjang kebahagiaan semua yang bersangkutan”.14
Prinsip kegunaan ini yang akhirnya menyebutkan bahwa filsafat utilitarisme sebagai pendekatan
etika yang lebih pragmatis (etika pragmatis). Lawan dari prinsip ‘utilitarisme’ ini adalah pendekatan
etika deontologis yang meyakini bahwa untuk mengukur baik buruknya tindakan bukan dari
tujuannya, melainkan dari sifat tindakan itu sendiri. Jika pada sebuah kasus ada dua pilihan moral
yang harus diambil tetapi secara manfaat berbeda, maka bagi etika utilitarisme, pilihan moral yang
kemungkinan akan mendapatkan keuntungan dan kebahagiaan lebih tinggi harus diambil.
Etika Deontologis
Berbeda dengan ‘utilitarisme’ yang menekankan aspek kegunaan dan dampak manfaatnya bagi
manusia, Imanuel Kant mengembangkan sebuah pembahasan etika yang lebih normatif. Apa yang
dimengerti tentang moralitas yang baik bukan terletak pada kegunaannya, tetapi ada dalam prinsip
nilai tujuan itu sendiri. Kebaikan moral bagi Kant adalah kebaikan dari segala segi, tanpa
pembatasan. Baik adalah baik secara mutlak. Ia menggambarkan apa yang menjadi baik secara
mutlak adalah kehendak baik. Kehendak baik itu selalu baik dan dalam kebaikannnya tidak
tergantung pada sesuatu di luarnya. Kita melakukan pilihan moral karena memang itu baik adanya
tidak ada embel-embel prasyarat apapun. Kewajiban melakukan tindakan baik karena didorong oleh
kewajiban untuk bertindak baik adalah unsur atau karakteristik tindakan moral baik yang dimaksud
Kant. Apa yang secara moral bisa diterapkan bila ia sudah diuniversalisasikan dan tidak terjebak pada
subjektifitas masing-amsing person. Sebuah norma hanya berlaku secara moral apabila dapat
diuniversalisasikan dan berlaku umum sebagai sebuah aturan main.15
13
Lihat, Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 1997. hal. 178-179.
14
Lihat, Franz Magnis Suseno, Ibid, hal. 179.
15
Lihat, Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2000, hal.
225.
5
Etika Diskursus
Jurgen Habermas, salah satu pemikir Jerman lebih memberikan alternatif baru bagi pengembangan
etika manusia dengan penekanannya pada diskursus (dialog). Dalam etika diskursus yang terpenting
adalah ‘tindakan bahasa’. Pemusatan pentingnya bukan pada ‘subjek’ tetapi kepada ‘bahasa’. Maka
bagi Habermas unsur yang terpenting dalam etika adalah dalam dimensi bahasa dan komunikasi ini.
Bagi Habermas “Sebuah norma moral hanya boleh dianggap sah kalau ‘akibat-akibat dan efek-efek
sampingan yang diperkirakan akan mempengaruhi pemuasan kepentingan siapa saja andaikata
norma itu ditaati secara umum, dapat disetujui tanpa paksaan oleh semua”.16 Jadi sebagai cara
untuk menentukan dan memastikan bagaimana norma moral bisa sah berlaku adalah harus
diadakan sebuah diskursus yang bebas dari tekanan dan paksaan. Artinya jenis etika diskursus yang
ingin dikembangkan oleh Habermas bisa diarikan begini : “Hanya norma-norma yang disetujui (atau
dapat disetujui) oleh semua orang yang bersangkutan sebagai peserta sebuah diskursus praktis
boleh dianggap sah”
Selamat Belajar !!!
16
Lihat, Franz Magnis Suseno, Ibid, hal. 226.
6
Download