Definisi dan Karakteristik Filsafat

advertisement
DEFINISI DAN KARAKTERISTIK FILSAFAT
Definisi filsafat sangat terkait dari konteks zaman atau masa
yang mengitarinya, di samping juga terkait filsuf yang
mendefinisikan.
Di antara para filsuf sendiri berbeda soal mendifiniskan
filsafat..
Menurut Filsuf Pra Sokratik: Filsafat adalah Ilmu yg
berusaha memahami hakikat alam berdasar akal budi (bukan
mitos).
Menurut Plato: Filsafat adalah Ilmu yg berusaha meraih
kebenaran asli dan murni.
Menurut Rene Descartes: Filsafat adalah Himpunan segala
pengetahuan yang pokok penyelidikannya adalah Tuhan,
Alam dan Manusia
FILSAFAT SESUNGGUHNYA ADALAH KERANGKA BERPIKIR (MODE OF
THOUGT) MENDALAM MENGENAI SEGALA HAL YANG ADA, YANG
MELIPUTI TUHAN,



ALAM DAN MANUSIA
Filsafat juga dipahami sebagai suatu perenungan
yang mendalam mengenai realitas untuk diungkap
hakikatnya.
Hakikat tentang segala hal, hakikat tentang hidup,
hakikat cinta, hakikat negara, hakikat keadilan,
bahkan kalau mungkin hakikat mengenai Tuhan.
Filsafat mencari makna, segala realitas yang
nampak secara inderawi pasti mempunyai sisi yang
tak terbaca, sesuatu dibalik realitas. Oleh karena
itu, filsafat berambisi untuk menelisik secara
mendalam kenyataan dibalik realitas itu.






Filsafat juga memberi makna akan segala hal yang ada, pada
level ini filsafat lebih produktif sifatnya karena telah mencoba
memberi tafsir baru atau pemahaman yang menyegarkan yang
sesuai dengan kondisi sekarang.
Lebih dari itu, bermula dari filsafatlah dunia akan berubah.
Kritik dewasa ini yang ‘menuduh’ filsafat hanya hidup di menara
gading serta merta tertolak karena pada kenyataannya sistem
pemikiran filsafat berubah bentuk menjadi ideologi, lalu ideologi
menjadi pengarah dalam sebuah tindakan.
Artinya, secara tidak langsung filsafatlah yang mengubah dunia
itu.
Hasrat filsafat yang ingin mengubah dunia serta merta berisiko
pada nalar yang mendekonstruksi atas kenyataan. Ini sangat
wajar sebab jika sebuah gagasan telah menjadi ideologi dan
keyakinan maka akan sangat membahayakan bagi masa depan
rasio.
Lalu, sebuah hal yang tidak terbayangkan kalau rasio atau akal
berhenti mempertanyakan segala macam konsep yang menjadi
ideologis dan terus menerus diakui kebenarannya.




Maka, berfilsafat harus dimulai dari menyangsikan
segala hal, dari persoalan yang paling sederhana
hingga sampai pada sesuatu yang sangat prinsipil
atau fundamental.
Dari persoalan ‘perut’ hingga persoalan kelaparan
dan kemiskinan, atau bahkan ekonomi Pancasila,
dari persoalan musyawarah tingkat desa hingga
persoalan demokrasi,
dari persoalan kewajiban beribadah hingga
persoalan keberagamaan atau pluralitas.




Berfilsafat juga harus bermula dari keheranan.
Mengapa kalau tidak makan bisa lapar?,
Mengapa kalau jatuh cinta itu indah?,
Mengapa orang kalau beribadah merasa tenang dalam
diri sendiri?
Ini semua adalah pertanyaan epistemologis dan
jawabannya tentu saja harus rasional dan filosofis.
PEMIKIRAN FILOSOFIS TIDAK HANYA SEKEDAR
BERPIKIR, TETAPI PALING TIDAK MEMPUNYAI 4
KARAKTER (MOHAMAD ANAS, 2009):
1. rasional, inilah karakter utama dalam
berfilsafat.
 2. kritis;
 3. radikal
 4. komprehensif

RASIONAL







rasio menjadi panglima atau pemimpin dalam filsafat.
Dalam batas-batas rasio, perenungan filsafat haruslah rasional.
Rasionalitas yang dimaksudkan di sini tentu rasio yang bersifat
obyektif (Mazhab Frankfurt).
Rasio obyektif adalah rasio yang setiap orang memilikinya (alJabiri), rasio yang mengedapankan berpikir imaginative, bebas dan
mengagungkan kebebasan berpikir.
Hal ini berbeda dengan rasio yang bersifat subyektif, sebuah
penalaran yang telah dipatok oleh aturan-aturan yang
membingkainya sehingga rasio terbelenggu.
Masyarakat modern kini tidak mampu lagi berpikir konsep-konsep
obyektif, malah mengingkarinya karena dianggap khayalan belaka,
ia dikosongkan dari isi pengetahuan dan semata-mata bersifat
formal, inilah formalisasi akal.
Karakteristik formalisasi akal tercermin dalam bangunan logika
modern, logika modern berkeyakinan bahwa ia harus menjauhi isi
pengetahaun yang diandaikan begitu saja, bangunan logika
semacam ini menghalangi penemuan struktur pengetahuan manusia
sejati.
Tugas logika modern hanya menghitung, mengklasifikasi,
menverifikasi, seperti yang dilakukan dalam ilmu alam dan
matematika. Akal dilarang berpikir bebas, berandai, berimaginasi
dan bahkan berspekulasi.








Bagi Marcuse, logika tersebut adalah logika establishment, logika
yang dominatif, karena membatasi setiap proses pemikiran pada
hukum-hukum formal belaka.
Hal ini justru berbeda dengan pemikiran sebelumnya yang lebih
menekankan isi pengetahuan dengan lebih memberi ruang gerak
berpikir dialektis.
Singkatnya, logika formal mengkanonisasikan dan
mengorganisasikan penalaran dalam bentuk rangkaian kerangka
kerja di luar jangkauan yang tidak satupun hukum sillogisme
mampu menjebolnya.
Akibatnya, akal seakan tinggal kulitnya saja, dan kehilangan
isinya lalu ia semata-mata menjadi formal.
Sifat kenetralan yang melekat padanya dapat dipakai sebagai alat
apa saja;
formalisasi akal yang demikian memudahkan terjadinya akal
bergeser dan melulu bersifat instrumental, dikotomik, dan
positivistik.
Nalar yang bersifat dikotomik ini lalu membedakan segala
realitas, termasuk membedakan realitas filsafat dan agama secara
ekstrim.
Pada tingkat epistemologis, rasio intrumental mengejawantah
secara konseptual berupa teori tradisional, teori ini menjadi
kerangka rujukan epistemologis dalam membangun metode ilmiah
CIRI MENDASAR TEORI TRADISIONAL:




Pertama, ia bersifat ahistoris, artinya bahwa ilmu tidak
menyejarah, teori tradisional mengklaim dirinya
mandiri dan berdikari yang terlepas dari kehidupan
sehari-hari.
Lebih ektrim lagi, teori tradisional memutlakkan ilmu
sebagai satu-satunya unsur yang mampu
“menyelamatkan” manusia, itu artinya bersifat ideologis
serta secara tidak sadar melakukan penipuan ideologis.
Kedua, ia bersifat netral, artinya bangunan teori adalah
suatu diskripsi tentang fakta, pengetahuan demi
pengetahuan, di satu pihak teori tidak mempengaruhi
obyek, sementara di pihak lain teori merupakan sesuatu
yang tidak berubah, beku dan mati, dengan kata lain
bersifat obyektif.
Ketiga, bertolak dari netralitasnya, nampak bahwa teori
tradisional memisahkan antara teori dan praxis, teori
demi teori, serta tiadanya dimensi nilai (aksiologi)
dalam bangunan ilmu-ilmu modern.
DALAM FILSAFAT, PATOKAN-PATOKAN YANG MEMBATASI BERPIKIR HARUS
DISINGKIRKAN







segala yang tidak rasional tidak masuk dalam kategori berfilsafat.
Segala yang berbau klenik tidak rasional, segala hal yang berbau
tahayul juga tidak rasional.
Dalam sejarah pemikiran filsafat, rasionalitas selalu dihadapkan
pada mitos-mitos.
Mitos dalam pandangan Levi-Strauss adalah dongeng. Dongeng
merupakan sebuah kisah atau ceritera yang lahir dari hasil
imaginasi manusia, dari khayalan manusia, walaupun unsur-unsur
khayalan itu berasal dari apa yang ada dalam kehidupan manusia
sehari-hari.
Tidak ada larangan manusia untuk menciptakan dongeng, karena
itu kebebasan manusia mutlak. Sehingga, bisa saja ditemukan halhal yang tidak masuk akal,
oleh karena itu upaya penghancuran mitos yang tumbuh subur di
sekitar kita harus dihancurkan.
Sebagai catatan, mitos dalam kehidupan modern berubah bentuk,
karena itu filsafat tetap mengawal untuk bersikap kritis
terhadapnya. Maka kalau rasio menjadi ‘pemimpin’ dalam
penghancurannya, inilah yang disebut renaissance, sebuah
pencerahan.
KRITIS, APAKAH KRITIS ITU?





Segala macam konsep belum tentu mengandung kebenaran
yang mutlak yang diterima begitu saja.
Segala konsep harus dipertanyakan kembali, tidak boleh
hanya sekedar mengekor, mengikuti begitu saja pemahaman
konvensional yang berlaku selama ini. Pahadal bisa saja
konsep-konsep tersebut sudah tak lagi relevan dalam konteks
sekarang atau bahkan menyesatkan.
Kata ‘kritis’ juga mengarah pada upaya mendorong manusia
untuk berpikir sendiri, Sapare Aude!
Berpikirlah sendiri, inilah sebuah kata kebebasan manusia
otonom yang dinyatakan oleh seorang filsuf besar Immanuel
Kant.
Dalam konteks ini, otonomi diri sangatlah diagungkan, tidak
ada seorang pun yang dapat memaksakan pendapatnya pada
orang lain, tak seorang pun dapat memaksakan sebuah
kebenaran kepada orang lain. Sebab manusia dengan segala
potensinya sesungguhnya mempunyai kekuatan yang dahsyat
untuk bisa berjalan di dunia ini secara mandiri, tangguh,
tanpa ketergantungan kepada yang lain.
RADIKAL.







Seringkali orang hanya melihat kenyataan itu bersifat empiris
semata, hanya sisi luarnya semata, padahal kenyataan itu ada
yang tidak dapat dicerap oleh indera, dibutuhkan akal dan
intuisi untuk bisa memahami realitas secara mendalam.
Menurut Immanuel Kant, realitas itu terbagi menjadi dua:
fenomena dan noumena.
Indrawi manusia hanya dapat melihat fenomena semata, oleh
karenanya filsafat, dengan ciri khasnya yang bersifat radikal,
harus ‘menembus batas-batas empiris/fenomena tersebut.
Karena itu arah radikalnya mengarah pada upaya pencarian
hakikat.
Mencari hakikat tidak harus mengabaikan form/bentuk.
Sebagai catatan dari Aristoteles, bahwa segala realitas
mempunyai dua dimensi, yakni substansi dan aksidensi.
Adalah hal yang tidak mungkin kalau mencari hakikat tanpa
keberadaan/eksistensi/form, sebaliknya sebuah hakikat dari
sesuatu dapat diketemukan hanya melalui bentuk. Penemuan
akan hakikat dari segala realitas akan menjadikan sesuatu itu
bermakna dan menjadi ruh serta penggerak.






Dengan demikian, antara substansi dan aksidensi
merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan satu
sama lain.
Dalam konteks bernegara, misalnya, pembicaraan mengenai
demokrasi pasti memuat aspek formal-prosedural dan aspek
hakikatnya.
Tetapi kenyataannya di Indonesia, aspek formal-prosedural
yang lebih dikedepankan.
Dalam ranah hukum juga demikian, selama ini yang lebih
ditekankan adalah sisi legalistik-formal, padahal substansi
hukum juga tak kalah penting, hingga terkadang orang
hanya terjebak pada paradigma positivistik semata, sebuah
cara pandang yang menekankan dimensi fisik semata.
Maka pola berpikir radikal harus dilakukan untuk
mengatasi kaburnya sebuah hakikat, makna dan
seterusnya.
Pola berpikir radikal ini mengarah pada upaya dekonstruksi,
yakni pembongkaran terhadap kemapanan.
KOMPREHENSIF.
Dalam berfilsafat, pola berfikirnya harus menyeluruh,
tidak lagi parsial atau sepotong-potong.
Kalau hendak membicarakan mengenai konsep
kamanusiaan, maka sesungguhnya harus kembali
pada konsep manusia itu sendiri.
Kenyataannya, manusia itu beragam dari sisi etnik,
suku, budaya dan sosial.
Terdapat manusia Sunda dengan segala macam
pengetahuan dan habitus (Bourdiue) yang
dimilikinya, ada manusia Madura juga demikian, tak
terkecuali manusia Dayak dan begitu seterusnya.
Berpikir secara komprehensif berarti mendefinsikan
manusia yang tidak lagi bersifat lokal, tapi melihat
manusia secara utuh, melihat manusia sebagai
manusia itu sendiri.
Kecenderungan desawa ini, ilmu pengetahuan
yang berkembang pesat melihat manusia dari
satu sisi saja, misalnya ilmu biologi melihat
manusia yang terdiri sel atau lainnya, atau ilmu
psikologi yang melihat manusia dari sisi psikis
semata, atau ilmu antropologi yang melihat
manusia dari sisi budaya dan seterusnya.
 Maka filsafat, mencari hakikat manusia itu
sendiri.
 Inilah pola berpikir integral, yakni berpikir
dalam konteks kesatuan.


(Sumber : Mohamad Anas)
SPESIALISASI DLM KEHIDUPAN
SEHARI-HARI DAN ILMU
PIKIRAN YANG SELALU MENGKHUSUSKAN
PADA BIDANG-BIDANG TERTENTU DARI
PADA YG UMUM. Bahkan dari sudah
merupakan bagian-bagian itu, masih
dispesialisasikan. (Kedokteran : Spesialis…;
Kedokteran hewan : ……. Hukum….
 Memahami hakikat hukum (sudah lama
dilakukan oleh para filusuf) ttp belum
dipisahkan mana yang Filsafat, filsafat hukum,
teori, dogmatik hukum dsb.
 Tetapi dapatkah seorang ilmuwan ahli dalam
segala-galanya ? Termasuk dibidang Hukum???

PENGEMBANGAN HUKUM TEORETIKAL: MENCAKUP
FILSAFAT
HUKUM
•Apakah hukum itu? Quid ius?
•Hubungam hukum, moral,
kekuasaan, keadilan,hukum
kodrat, kepastian
META -DISIPLIN
-ONTOLOGI HUKUM
-AKSIOLOGI HUKUM
-IDEOLOGI HUKUM
-TELEOLOGI HUKUM
LOGIKA
•Mensintesiskan
•Analisis hukum, metodologi
hukum, dan kritik ideologi
AJARAN
NILAI
•2 MASALAH FUNDAMENTAL
DALAM HUKUM:
1.Apa landasan mengukat dari hukum
2.Apa kriteria keadilan dari hukum
* Konsep fundamental dalam hukum
AJARAN
ILMU
-SEJARAH HUKUM
-SOSIOLOGI HUKUM
-ANTROPOLOGI HUKUM
-PSIKOLOGI HUKUM
-PERBANDINGAN HUKUM
META-TEORI
•Inventarisasi,pemaparan, dan
sistematisasi kaidah hukum
mempedomani
ILMU-ILMU
MANUSIA
TEORI HUKUM
-LOGIKA DEONTIK
LOGIKA HUKUM
-ILMU ILMU LAIN
- AJARAN PENGETAHUAN
- AJARAN ILMU
SESUANGGUHNYA
(Hermeneutik)
Ilmu Praktikal
•Masalah inti: menetapkan apa hukumnya
bagi sistuasi konkret tertentu
Masukan bahan empirikal untuk diolah
ILMU HUKUM
PENGEMBANGAN HUKUM PRAKTIKAL
Mencakup kegiatan:
•PEMBENTUKAN HUKUM (PROSES POLITIK +KRYA YURIDIK
•PENERAPAN HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM
•PENEMUAN HUKUM DAN INTERPRETASI HUKUM
KARYA
YURIDIK
SUMBER : ILMU, TEORI DAN FILSAFAT HUKUM
(B. ARIEF SIDARTA)

Disiplin ilmiah (ilmu) : upaya rasional sistematis
metodologis terargumentasi untuk memperoleh pengetahuan
pemahaman tentang realitas atau bagian tertentu dari realitas.
dan
FILSAFAT (REFLEKSI ABSTRAKSPEKULATIF ATAS REALITAS ATAU TTG EKSISTENSI MANUSIA)–
OBYEKNYA : REALITAS SBG KESELURUHAN
B. ILMU-ILMU POSITIF : (ASPEK REALITAS TTT)
1. ILMU-ILMU FORMAL : LOGIKA, MATEMATIKA, TEORI SISTEM
2.
ILMU EMPRIK : ILMU-ILMU ALAM (BIOLOGI DAN NON BILOGI) DAN ILMUILMU MANUSIA (ILMU-ILMU SOSIAL, SEJARAH DAN BAHASA)
(ILMU-ILMU POSITIF ADALAH ILMU-ILMU TEORITIKAL BERTUJUAN HANYA
UTK MEMPEROLEH PENGETAHUAN YG BENAR TTG SUATU ASPEK
REALITAS)
3. ILMU-ILMU PRAKTIKAL : TERARAH UTK MENAWARKAN ALTERNATIF
PENYELESAIAN MASALAH KONKRIT (ILMU YG SECARA LANGSUNG
MEMPELAJARI CARA MENEMUKAN DAN MENAWARKAN PENYELESAIAN
MASALAH KONKRIT)
1.
MOMOLOGIKAL (JIKA A, MAKA B) : A. BIOLOGI : IL. KEDOKTERAN
B. MOM BILOGI : TEKNIK/TEKNOLOGI
1.2. NORMOLOGIKAL : A. OTORITATIF : ILMU HUKUM
2.B. NON-OTORITATIF : ETIKA, PEDAGOGI, MANAGEMENT, KOMUNIKASI,DSB
A.
ILMU HUKUM : --- DOGMATIK
HUKUM
INVENTARISASI/KOMPILASI,
INTERPRETASI, SISTEMATISASI DAN
EVALUASI TEKS OTORITARITATIF (BAHAN
HUKUM UTK :
 MEMPERSIAPKAN PTUTUSAN HUKUM :
UNTUK MENAWARKAN ALTERNATIF
PENYELESAIAN YURIDIKAL THDP MSLH
SOSIAL DENGAN :
 MENETAPKAN APA HUKUMNYA BG
SISTUASI KONKRTI TRTENTU, ARTINYA:
 MENETAPKAN SIAPA BERHAK
(BERKEWAJIBAN) ATAS APA THDP SIAPA
BERKENAAN DG APA DLM SIATUASI APA

SUMBER : FILSAFAT HUKUM,
PROBELEMATIK KETERTIBAN YG ADIL (PROF.
DR.BUDIONO KUSUMOHAMIDJOJO, SH.)





PERBEDAAN ANTARA FILSAFAT HUKUM DAN
TEORI HUKUM MENURUT KAUFMANN:
ORIENTASI :
FILSAT HK : LEBIH BERORIENTASI KP MUATAN
TEORI HUKUM : LEBIH KPD BENTUKNYA
WALAUPUN ABSURD UTK MEMBAYANGKAN
BENTUK TANPA ISI ATAU SEBALIKNYA ISI
TANPA BENTUK
TEORI ADALAH SUATU KONTRUKSI PEMIKIRAN
YANG BERTOLAK DARI POSTULAT-POSTULAT
(DALIL) SERTA PREMIS-PREMIS (ANGGAPAN
DASAR) TERTNTU UNTUK MELALUI METODE
TERTENTU, MENDEKATI ATAU MENERANGKAN
SUATU OBYEK ATAU MASALAH TERTNTU.






TEORI HUKUM DG DEMIKIAN MERPKN USAHA
UNTUK MENDEKATI ATAU MENERANGKAN
KOMPLEKS HUKUM SEBAGAI FENOMEN DG
BERTOLAK DARI POSTULAT-POSTULAT ATAU
PREMIS-PREMIS TERTNTU
POSTULAT-POSTULAT DAN PREMIS-PREMIS ITU
BISA BERSIFAT HISTORIS (MASHAB HISTORIS;
BERSIGAT DIALEKTIS (MASHAB DIALEKTIS)
ATAU BERTOLAK DARI KENYATAAN HUKUM
POSITIVE (MASHAB POSITIVE);
ATAU DARI AMBISI UTK MEMBEBASKAN HUKUM
DARI ANASIR-ANASIR POLITIK DAN KEKUASAAN
(MASHAB HUKUM MURNI)
DG DEMIKIAN FILSAFAT HUKUM JUGA
MEMBICARAKAN TEORI HUKUM, TETAPI FILSAFAT
HUKUM TDK MENGAJUKAN TEORI HUKUM.





SAMA HALNYA DG TEORI HUKUM, FILSAFAT
HUKUM MEMBAHAS SEGALA YANG HAKIKI YG
BERKENAAN DG HUKUM.
PERSAMAAN FILSAFAT HUKUM DAN TEORI HUKUM
ADALAH TIDAK MEMBATASI PADA HUKUM YG
BERLAKU, TTP JUGA PENCARIAN HUKUM YG
BENAR UNTUK YANG AKAN DATANG (IUS
CONTITUENDUM)
FILSAFAT HUKUM TERBUKA UNTUK
MEMPERDEBATKAN ANEKA POSTULAT, PREMIS
DAN METODE.
TEORI HUKUM CENDERUNG MENGAJUKAN SUATU
PANDANGAN YG UTUH MENGENAI HUKUM,
FILSAFAT HUKUM JUSTRU MEMPERTANYAKAN
DEGALA MAVAM PANDANGAN MENGENAI HUKUM.
Download