Modul Pendidikan Agama Islam [TM6]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Etos Kerja
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Informatika
Online
06
Kode MK
Disusun Oleh
90002
Yayah Hidayah, Dra, M.Si
Abstract
Kompetensi
Etos Kerja dapat diartikan sebagai
pandangan bagaimana melakukan
kegiatan yang bertujuan mendapatkan
hasil atau mencapai kesuksesan. Bagi
umat Islam, bekerja di dunia
merupakan bekal di akhirat kelak.
Hidup di surga kelak merupakan tujuan
dan impian kesuksesan setiap umat
Islam. Kesuksesan di akhirat tersebut
juga tidak terlepas dari kesuksesan di
dunia melalui ibadah dan amalan
sebagaimana diajarkan dan
mengharapkan rida dari Allah swt.
Mahasiswa diharapkan mampu: (1)
mengetahui pengertian perintah Allah
agar umat Islam bekerja keras dan tidak
boleh bermalas-malasan; (2)
menguraikan etos kerja Islam dalam
kehidupan sehari-hari; (3) membuat
tugas kreativitas sesuai dengan etos
kerja Islam; (4) memahami etos kerja
yang diajarkan Islam.
Produktivitas
Yang dimaksud dengan produktivitas di sini meliputi produktivitas dalam aspek yang
bersifat ekonomis dan material ataupun yang bersifat immateri (spiritual). Ada orang yang
memiliki persepsi bahwa iman dan akidah akan menghambat produktivitas dan prestasi
kerja, atau sebagai faktor penghalang bagi keduanya. Dia beranggapan bahwa seandainya
iman itu telah merasuk ke dalam hati seseorang, maka dia akan merasa bahwa hidupnya
telah ditentukan, serta ruang geraknya menjadi terpagari. Dikatakan bahwa orang yang telah
beriman itu tidak lagi berpikir tentang kerja demi kehidupan dunia serta yang terkait
dengannya, menjadi masyarakat yang merugi dan kehidupan akan mengalami kemunduran.
Persepsi semacam ini muncul akibat kurangnya pemahaman orang yang bersangkutan
perihal agama dan iman.
Sesungguhnya iman adalah pendorong yang amat besar untuk meningkatkan
produktivitas. Telah dimaklumi bahwa produktivitas tidak akan meningkat tanpa adanya
kerja. Bekerja dengan sempurna merupakan langkah yang paling efektif untuk
mengoptimalkan produksi, yakni kerja yang didasari oleh kejujuran dan keikhlasan.
Sedangkan pendorong yang paling kuat dalam melahirkan kejujuran dan keikhlasan adalah
iman.
Iman dan Amal Perbuatan
Keimanan yang sebenarnya tidak cukup hanya sekadar pembenaran pikiran atau
kepercayaan dalam hati, melainkan harus diwujudkan dalam perbuatan riil. Iman adalah
kepercayaan, kerja dan keikhlasan. Sejauh apa pun perbedaan pendapat para ahli ilmu
kalam (teolog) mengenai hubungan antara iman dan amal perbuatan; adakah amal
perbuatan merupakan bagian dari iman, ataukah dia merupakan syarat dari iman, ataukah
buah dari iman; akan tetapi mereka tetap sepakat bahwa amal perbuatan merupakan faktor
yang tak bisa dipisahkan dari keimanan yang sempurna.
Mengenai hakikat iman, Rasulullah saw menyatakan,
Artinya, "Iman itu bukanlah merupakan harapan dan bukan pula perhiasan lahir,
melainkan yang tertanam dalam hati dan dibuktikan oleh perbuatan" (HR. Ibnu Majah
dan Dailami).
2016
2
Pendidikan Agama Islam
Dra Yayah Hidayah M,Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Lebih dari 70 kali Al-Quran menyatakan bahwa iman itu terkait dengan amal
perbuatan. Adapun amal perbuatan di sini tidak sembarang amal perbuatan, akan tetapi
yang bernilai baik dalam arti yang luas: baik untuk dunia dan akhirat, individu dan
masyarakat, jasmani dan rohani.
Dorongan dari Dalam
Orang beragama pada umumnya dan orang yang memercayai akidah Islam
khususnya, dalam melakukan amal perbuatan tidak disertai perasaan terpaksa, bukan
karena tekanan penguasa, intimidasi dari luar. Orang beriman melakukan suatu amal
perbuatan karena kehendak jiwa dan dorongan hatinya, karena seruan dan perintah dari
dalam dirinya, bukan karena dihalau dengan cemeti dari belakang. Mereka bekerja dengan
dorongan semangat dari dalam, yaitu memercayai Allah dan risalah-Nya, karena menyadari
akan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya, yakni memakmurkan bumi dan
mengelola alam.
Orang mukmin merasa yakin bahwa kebahagiaan di hari akhir dan sukses dalam
kehidupan dunia hanya bisa diperoleh dengan melakukan amal perbuatan. Surga di hari
akhirat tidak diperuntukkan bagi para pemalas dan mereka yang ogah-ogahan, akan tetapi
buat orang-orang yang bekerja dengan rajin dan sempurna, sebagaimana firman Allah swt
berikut.
Artinya, "Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang
dahulu kamu kerjakan" (QS. Az-Zukhruf [43]:72);
Artinya, "Tak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah
dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan" (QS. AsSajdah [32]:17).
Kebutuhan Akhirat Dicapai dengan Amal Perbuatan
2016
3
Pendidikan Agama Islam
Dra Yayah Hidayah M,Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Akidah Islam tidak memberikan tempat bagi lamunan dan harapan kosong, yang
menyebabkan sebagian manusia mengira bahwa surga merupakan pemberian gratis
(majjanan), atau bagai harta benda yang diwarisi oleh nenek moyang, atau berhak
menerimanya karena semata-mata menyandang agama tertentu atau tinggal dalam
komunitas tertentu. Islam telah membatalkan pendapat semacam ini dan mengembalikan
hak memperoleh surga itu kepada iman yang benar dan perbuatan yang baik, sebagaimana
firman Allah swt,
Artinya, "Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, 'Sekali-kali tidak akan masuk
surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.' Demikian itu
(hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, 'Tunjukkanlah bukti
kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.' (Tidak demikian) bahkan barang
siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka
baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati" (QS. Al-Baqarah [2]:111-112).
Bukan sekadar orang-orang Yahudi dan Nasrani saja yang memiliki pendapat
semacam ini, melainkan di antara orang-orang Islam pun ada yang mempunyai anganangan kosong pula. Mereka mengira bahwa dengan semata-mata mengucapkan dua
kalimat syahadat atau telah disebut sebagai orang Islam, secara otomatis terbuka pintu
surga, lalu mereka masuk ke dalamnya dengan selamat tanpa hambatan. Al-Quran telah
menegaskan bahwa surga itu hanyalah diperuntukkan bagi orang yang menyerahkan
jiwanya kepada Allah dan mengerjakan amal kebaikan.
Sejumlah ahli tafsir mengisahkan, pernah terjadi sesuatu pertemuan, yang di situ ada
golongan Yahudi, Nasrani dan Islam. Masing-masing golongan menyatakan bahwa
golongannyalah yang berhak masuk surga. Orang Yahudi mengatakan, "Kami pengikut
Musa yang telah dipilih Allah untuk menerima risalah dan perkataan-Nya." Yang Nasrani
mengatakan, "Kami pengikut Isa, Ruhullah dan Kalam-Nya." Sementara yang Islam
mengatakan, "Kami pengikut Muhammad, Penutup seluruh nabi dan kamilah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk kebaikan umat manusia." Maka turunlah ayat yang
memberikan putusan secara adil, disampaikan kepada kaum muslim dengan jelas dan
terang:
Artinya, "(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan
tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan
kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak
2016
4
Pendidikan Agama Islam
Dra Yayah Hidayah M,Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. Barang siapa
yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang
yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya
walau sedikit pun" (QS. Al-Baqarah [2]:123-124).
Yang dimaksud dengan angan-anganmu di sini ada yang mengartikan dengan kaum
muslim dan ada pula yang mengartikan kaum musyrik. Maksudnya ialah pahala di akhirat
bukanlah menuruti angan-angan dan cita-cita mereka, tetapi sesuai dengan ketentuanketentuan agama.
Sukses di Dunia dengan Bekerja
Salah sekali jika ada orang yang menduga bahwa keberuntungan yang terkait dengan
amal adalah hanya mengenai urusan ukhrawi. Tidak! Sunatullah mengenai pembalasan itu
berlaku secara umum, karena Dia-lah Tuhan dunia dan juga Tuhan akhirat.
Artinya, "Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak
akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan
yang baik" (QS. Al-Kahf [18]: 30);
Artinya, "Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di
dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah
sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal" (QS. Ali 'Imran [3]:136);
Artinya, "Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya Dia
akan melihat (balasan)nya. Dan Barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
zarrah pun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula" (QS. Az-Zalzalah [99]: 7-8).
Sunatullah itu berlaku secara umum. Orang yang menganggur, memperturutkan
lamunan dan berpangku tangan, dia tidak akan pernah menggapai apa yang dia cita-citakan
dan dambakan. Yang bekerja akan memperoleh upah, yang berdiam diri tak mendapatkan
apa-apa. Sunatullah ini berlaku untuk semua orang, tanpa memandang agama ataupun
keyakinannya. Dengan memiliki pandangan semacam inilah orang mukmin akan bekerja
dengan tekun dan bersungguh-sungguh, mengikuti sunatullah yang berlaku di alam ini.
2016
5
Pendidikan Agama Islam
Dra Yayah Hidayah M,Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Mengerjakan Sesuatu dengan Sebaik-baiknya
Orang mukmin bekerja karena adanya dorongan dari dalam. Tidak asal bekerja,
melainkan dia bekerja secara terencana dan terkonsep serta dilaksanakan dengan sebaikbaiknya.
Dicurahkannya
segenap
tenaga
dan
kesanggupannya,
karena
dengan
keyakinannya dia sadar bahwa Allah senantiasa memerhatikannya, pun ketika dia
mengerjakan suatu pekerjaan. Allah melihat dan mengawasinya ketika dia berada di
perusahaan, di sawah, di dalam kantor, kapan dan di mana pun. Inilah ihsan, sebagaimana
diterangkan oleh Rasulullah saw:
Artinya, "Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya.
Dan kalau engkau tidak bisa seolah-olah melihat-Nya, maka hendaklah engkau sadari
bahwa Dia melihatmu" (HR. Bukhari dan Muslim).
Bekerja karena Allah dan perasaan yakin bahwa Allah senantiasa melihat inilah yang
terasa dan tumbuh dalam jiwa orang mukmin, saat dia mengerjakan apa pun. Saat dia
melaksanakan suatu pekerjaan, maka prinsip yang selalu dia pegangi adalah: "Keridaan
Allah itu baru bisa kuperoleh apabila aku mengerjakan pekerjaanku dengan baik dan
sempurna." Sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah saw:
Artinya, "Sesungguhnya Allah menyukai, apabila salah seorang di antara kalian
mengerjakan suatu pekerjaan, maka dikerjakannya dengan baik dan sempurna" (HR.
Baihaqi).
Agar hasil suatu pekerjaan mencapai kesempurnaan dan kebaikan, maka diperlukan
kejujuran dan keikhlasan. Dua sifat yang bertemu dalam jiwa orang mukmin. Apabila orang
mukmin itu bekerja, misalnya dalam suatu perusahaan, maka tujuannya bukan semata-mata
untuk memperoleh hasil atau menyenangkan hati pemilik perusahaan, agar gaji dan
pangkatnya naik. Dia bekerja dengan jujur dan bersungguh-sungguh adalah karena dia
sadar bahwa Allah senantiasa melihatnya dan secara moril dia merasa berkewajiban untuk
memelihara apa yang dimiliki oleh sesamanya. Jadi, yang diharapkan dari kejujuran, sikap
konsisten dan penuh keikhlasan ini adalah balasan yang baik dari Allah, Zat Yang
Menguasai Hari Pembalasan. Allah swt berfirman,
2016
6
Pendidikan Agama Islam
Dra Yayah Hidayah M,Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Artinya, "Dan Katakanlah, 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orangorang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada
(Allah) yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada
kamu apa yang telah kamu kerjakan'" (QS. At-Taubah [9]:105).
Cukup sering kita membaca berita dalam surat kabar, mendengar dari orang lain,
menyaksikan lewat tayangan tv atau bahkan menyaksikan sendiri secara langsung
mengenai proyek-proyek yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum berhenti di
tengah jalan, tak diketahui bagaimana nasib selanjutnya, padahal sudah sedemikian banyak
uang negara dikeluarkan demi terealisasinya proyek tersebut. Sebabnya jelas: Tak ada
kejujuran dan keikhlasan dari pihak-pihak yang terlibat dalam proyek-proyek tersebut.
Dampak Kedamaian bagi Prestasi Kerja
Kita mengetahui bahwa orang mukmin itu jiwanya merasa damai, tidak merasa risau
serta selalu lapang, optimis dan saling menaruh rasa kasih sayang dengan sesama mukmin
lainnya. Keadaan semacam ini jelas memberi dampak yang cukup besar bagi prestasi kerja.
Sebaliknya, orang-orang yang selalu gelisah, banyak mengeluh, putus asa, atau menyimpan
rasa dendam terhadap orang lain, maka harapan untuk bekerja dengan baik amatlah kecil,
sehingga apa yang dihasilkannya pun juga tak memuaskan. Ini amat logis, tak perlu
dicarikan alasan lagi.
Orang yang benar-benar beriman, hidup dan bekerja dalam batas-batas yang telah
ditentukan oleh Allah. Dia hindari perbuatan yang dilarang oleh Allah, tak mau hidup dengan
bergumul dosa dan maksiat, dapat mengendalikan nafsunya, sehingga tak terseret ke dalam
lembah yang merugikan, seperti mengonsumsi minuman yang memabukkan, berjudi,
mengumbar nafsu hingga mencabik-cabik nilai-nilai kemanusiaan dan akhlak karimah.
Karena itu, kehidupan orang mukmin senantiasa terpelihara, demikian pula kesehatan fisik
dan psikisnya. Dalam kondisi demikian, sudah semestinya dia menjadi insan produktif yang
mempercepat lahirnya kemakmuran.
Menghargai Waktu
2016
7
Pendidikan Agama Islam
Dra Yayah Hidayah M,Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Orang mukmin menyadari betapa berharga nilai waktu. Kelak, di hari Kiamat Allah
akan memeriksa tentang umurnya, untuk apa dia habiskan; mengenai masa mudanya, untuk
apa dia pergunakan. Karena itu, dia sangat menghargai waktu dan tidak dibiarkan berlalu
tanpa diisi dengan hal-hal yang positif. Waktu adalah modal satu-satunya. Lalu, bagaimana
kalau dia mesti menyia-nyiakannya? Waktu adalah nikmat yang wajib disyukuri, diisi dengan
melakukan kegiatan-kegiatan yang baik secara optimal. Tak boleh dibiarkan berlalu tanpa
makna. Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, "Malam dan siang, keduanya bekerja untuk
kamu. Maka bekerjalah kamu dalam kedua waktu itu!"
Orang mukmin menyadari dan merasakan, setiap datang waktu pagi, di mana fajar di
ufuk timur mulai merekah, sementara dengan berbinar sang matahari memancarkan
cahayanya, seolah dia berkata dengan lantangnya, "Hai manusia! Aku makhluk baru dan
menjadi saksi bagi perbuatanmu. Maka, pergunakan aku untuk keperluanmu dan ambilah
aku sebagai kesempatan untuk mengerjakan perbuatan baik! Sebab sekali aku pergi, maka
takkan pernah kembali untuk selamanya...." Kesadaran semacam ini menyebabkan orang
mukmin tidak mau membiarkan harinya menjadi kosong dari bekerja dan berproduksi. Tak
juga menangguhkan pekerjaan hari ini sampai besok, karena besok pagi kerja yang lain
telah menanti. Tak mungkin sempurna jika waktu sehari harus dipergunakan untuk
menyelesaikan tugas berhari-hari.
Orang mukmin sangat berharap agar hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok
lebih baik daripada saat ini. Besar keinginannya untuk hidup terus sesudah matinya, dengan
memperbanyak amal dan sedekah jariah, mewariskan ilmu yang bisa diambil manfaatnya
oleh orang lain, serta memiliki anak keturunan yang saleh yang senantiasa membingkiskan
doa kepadanya. Pendeknya dengan segala kesanggupan, dia berusaha untuk mewariskan
hal-hal yang berguna sesudah matinya. Dan itu diharapkan akan menjadi pahala yang terus
mengalir meski dia sudah berada di sisi Ilahi.
Semangat inilah yang mendorong Abu Darda', salah seorang sahabat Rasulullah,
menanam pohon yang tak cepat berbuah, padahal ketika itu usianya sudah cukup tua.
Kontan ada yang bertanya kepadanya, "Mengapa engkau tanam pohon ini, padahal usiamu
telah begitu lanjut? Bukankah pohon ini baru bisa berbuah setelah usianya sekian puluh
tahun?" Abu Darda' menjawab, "Kenapa harus dipermasalahkan sementara aku akan
memperoleh pahala karenanya dan orang lain akan menikmati buahnya?"
2016
8
Pendidikan Agama Islam
Dra Yayah Hidayah M,Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Demikian pula sahabat yang lain menanam pohon Zaitun dan mengucapkan, "Para
pendahulu kita telah menanam untuk kita, dan kita telah memakan buahnya. Sekarang
saatnya kita menanam, agar generasi setelah kita dapat memakan buahnya."
Ibadah tidak Mengurangi Produksi
Ada yang mengatakan bahwa kepercayaan keagamaan mewajibkan kepada
pemeluknya sejumlah macam peribadatan dan aktivitas-aktivitas tertentu, yang sedikit atau
banyak tentu akan menyita waktu. Seperti salat fardu yang menurut ajaran Islam dikerjakan
lima kali dalam sehari. Mereka bertanya, "Apakah ini tidak mengganggu kerja dan tidak
merugikan, apalagi di zaman yang serbacepat ini?" Memang benar, ibadah yang dikerjakan
oleh orang-orang beragama memerlukan waktu tersendiri. Tetapi waktu yang diperlukan
cukup sedikit asalkan dia tidak membuat tambahan-tambahan yang tidak diperintahkan
Allah dan hanya memberatkan diri sendiri.
Perlu dicatat bahwa sedikit waktu yang dipergunakan untuk beribadah ini bukan berarti
kerugian bagi kehidupan dan merugikan pendapatan. Ibadah menimbulkan kekuatan baru,
kemauan baru dan menempa jiwa hingga menjadi kuat dan sanggup terjun kembali ke
tengah medan perjuangan hidup. Adalah hal yang tidak tepat jika mengukuri sesuatu hanya
dengan aspek material yang bisa dilihat saja, dengan melupakan kesan dan pengaruh
aspek-aspek immateri yang memberi keteguhan hati dan kekuatan untuk bekerja.
Salat, ibadah yang disyariatkan Islam memiliki kesan dan pengaruh yang mendalam,
bukan sebatas peribadatan dan ketundukan hati saja sebagaimana yang tampak kelihatan,
melainkan juga mendidik pelakunya akan kebersihan, kebudayaan, olahraga maupun
akhlak. Salat berjamaah, yang disyariatkan oleh Islam, memberikan pendidikan bagi
persatuan, ketertiban dan kedisiplinan. Ia merupakan ibadah yang mengajarkan asas-asas
hidup bermasyarakat yang baik serta didikan yang praktis, untuk menumbuhkan perasaan
kasih sayang, persaudaraan dan persamaan derajat.
Coba kita renungkan dengan jernih, adakah merugikan atau menguntungkan kepada
prestasi kerja, apabila seseorang yang beriman, bangun dari tidurnya sebelum matahari
mulai menampakkan diri, lalu dia membersihkan dirinya dan berwudu, menyembah Yang
Mahasempurna, merendahkan diri dan berdoa kepada-Nya, setelah itu dihadapinya
pekerjaan dengan hati yang bersih, tubuh yang segar, dada yang lapang dan keyakinan
yang kuat?
2016
9
Pendidikan Agama Islam
Dra Yayah Hidayah M,Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Bandingkan dengan orang yang bangun setelah matahari meninggi, kemudian pergi ke
tempat bekerja dengan pikiran yang kacau, hati yang kesal, dada yang sempit dan tenaga
yang malas. Mana yang lebih menguntungkan antara keduanya bagi produktivitas usaha?
Juga, mengenai salat berjamaah yang disyariatkan oleh Islam kepada masyarakat
muslim. Para peneliti menggambarkan hal ini sebagai berikut.
”Sesungguhnya salat berjamaah ini merupakan nikmat yang besar yang memberi
kesempatan kepada manusia lima kali dalam sehari, menghirup udara perdamaian yang
tulus ketika dunia senantiasa diwarnai oleh pergolakan dan permusuhan, menghirup udara
persamaan ketika muncul perbedaan kepentingan dan silang pendapat, menghirup udara
kasih sayang ketika dunia dikotori oleh noda-noda kebencian, iri dan dengki, dendam
kesumat dan permusuhan.
Memakmurkan Bumi dengan Kerja
Ada pula orang yang salah dalam memaknai iman dan orang mukmin. Tergambar
dalam pikirannya bahwa orang mukmin adalah si fakir yang kerjanya meminta-minta, atau
orang yang tinggal dalam biara, yang mengisi seluruh waktunya dengan ibadah dan ibadah,
menceraikan kehidupan dunia. Kalau kenyataan memang demikian, maka benar hal itu
merugikan bagi kerja dan produktivitas usaha. Tetapi gambaran semacam ini hanya ada
dalam kelompok tertentu dari berbagai agama dan tidak dikenal dalam akidah dan
kepercayaan Islam.
Yang ada dalam Islam adalah orang beriman itu bekerja, memanfaatkan energi,
menunaikan kewajibannya dalam hidup ini, mengambil dan memberi, rela atas ketentuan
Allah yang ditetapkan bagi dirinya, dia dijadikan khalifah untuk memakmurkan bumi dan
mengambil manfaat darinya sebanyak-banyaknya bagi kepentingan kemanusiaan.
Islam tidak mengenal satu hari pun yang secara khusus hanya untuk beribadah,
sehingga di hari itu orang berhenti bekerja. Dalam Islam, setiap hari adalah hari kerja, dan
bekerja untuk urusan dunia adalah ibadah, jika dilandasi oleh niat yang benar. Hari Jumat,
sebagai hari besar dalam Islam. Meski demikian di hari itu manusia tidak diperintahkan agar
berhenti bekerja, melainkan setelah ada panggilan azan hingga salat Jumat selesai
dikerjakan. Allah swt berfirman,
2016
10
Pendidikan Agama Islam
Dra Yayah Hidayah M,Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Artinya, "Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat,
maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan salat,
maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung" (QS. Al-Jumu'ah [62]: 9-10).
Maksudnya, apabila imam telah naik mimbar dan muazin telah azan di hari Jumat,
maka kaum muslim wajib bersegera memenuhi panggilan muazin itu dan meninggalakan
semua pekerjaannya.
Inilah kehidupan seorang muslim di hari Jumat: berjual beli atau bekerja sebelum pergi
ke masjid untuk mengerjakan ibadah Jumat, kemudian dengan cepat mengingat Allah dan
mengerjakan salat, setelah itu kembali bertebaran di muka bumi untuk mengais karunia
Allah.
Sahabat Umar bin Khattab ra pernah melihat sekumpulan orang di sudut masjid
setelah salat Jumat selesai dikerjakan. Sahabat Umar bertanya, "Siapa kalian?" Jawab
mereka, "Kami adalah orang-orang yang tawakal kepada Allah." Lalu, Umar menghalau
mereka dengan cemetinya seraya berkata, "Janganlah salah seorang di antara kalian
berhenti dari mencari rezeki dan hanya berdoa, 'Ya Allah, berilah aku rezeki,' padahal dia
mengetahui bahwa langit belum pernah menghujankan emas atau perak. Bukankah Allah
telah berfirman, 'Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian beruntung.'"
Memercayai Akhirat tak Berarti Meremehkan Urusan Dunia
Ada pula yang menduga bahwa percaya pada hari akhir dan mengarahkan tujuan ke
sana, berarti menghentikan urusan dunia dan berhenti memajukannya. Mereka berasumsi
tentang dunia dan akhirat ini sebagaimana dua anak timbangan, jika yang sebelah menurun,
maka yang sebelahnya lagi pasti naik. Tak mungkin turun bersama-sama. Atau ibarat timur
dan barat, jika seseorang menuju kepada salah satu dari ke dua arah tersebut, maka secara
otomatis dia menjauh dari arah yang lain. Atau ibarat dua wanita yang dimadu: jika yang
satu diperhatikan, yang lain pasti cemburu. Begitulah dugaan mereka; ketika seeorang
2016
11
Pendidikan Agama Islam
Dra Yayah Hidayah M,Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
mengarahkan tujuannya ke akhirat, maka pada saat yang bersamaan yang bersangkutan
mesti melalaikan persoalan dunia.
Padahal yang benar adalah Islam mengajarkan bahwa orang mukmin dituntut agar
bekerja
untuk
urusan
dunia
secara
sungguh-sungguh,
berjuang,
membangun,
mengusahakan kemakmuran dan kemajuan. Tetapi dalam niatnya, bukan sekadar untuk
memenuhi keperluan dunia, melainkan juga dengan tujuan mencari keselamatan di hari
akhir. Orang mukmin menyikapi dunia ini sebagai ladang yang dikelola sebaik mungkin.
Tetapi hasil kerjanya tidak hanya dipetik di dunia semata, melainkan panen yang paling
besar akan dinikmati di hari akhir kelak. Orang mukmin menguasai dan mengelola dunia ini
untuk dirinya, dan bukan dia yang dikuasai dan dijadikan objek oleh dunia. Orang mukmin
menjadi tuan dari dunia dan tidak terbalik; dia diperbudak oleh dunia.
Orang mukmin berusaha bahwa dirinya adalah salah satu anggota yang bekerja dari
satu kesatuan tubuh umat manusia, membantu pertumbuhan dan pergerakannya. Maka,
dalam sektor apa pun dan di tempat manapun dia bekerja, dia akan melakukannya dengan
sesempurna mungkin. Percaya pada hari akhir bukan menjadi penyebab mereka berhenti
dari mengerjakan urusan dunia. Bahkan mereka diperintahkan untuk bekerja dan berusaha
dalam keadaan bagaimanapun, sebagaimana pernah diperintahkan oleh Rasulullah saw:
Artinya, "Bila Kiamat tiba sementara di tangan salah seorang dari kalian tergenggam
bibit kurma, kalau dia masih bisa menanamnya maka hendaklah dia tetap
menanamnya" (HR. Bukhari dan Ahmad).
Tawakal
Tawakal bukan berarti menyerah total tanpa mau berusaha. Ucapan sahabat Umar:
"Langit tidak pernah menghujankan emas atau perak," cukup memberikan pengertian
tentang arti tawakal dan berserah diri kepada Allah. Tawakal tidak berarti meninggalkan
sebab-sebab yang telah ditetapkan oleh Allah, bukan berarti menyerah dan mengharapkan
supaya Allah mengadakan sesuatu secara ajaib tanpa sebab sebagaimana yang biasa
terjadi, menengadah menantikan turunnya hujan emas atau perak dari langit, atau dari bumi
keluar hidangan siap santap, atau minyak dan madu tanpa ada kerja dan usaha, tanpa
memberdayakan pikiran.
Tawakal adalah bekerja dan mengusahakan sebab-sebab secara wajar, setelah itu
menyerahkan hasilnya kepada Allah. Benih disemai dan ditanam, sedang buahnya
2016
12
Pendidikan Agama Islam
Dra Yayah Hidayah M,Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
diharapkan kepada Allah. Dikerjakan mana yang biasa dan dalam batas kesanggupan
manusia, sedang yang di luar itu diserahkan kepada-Nya.
Pernah seorang Arab Badui datang menghadap Rasulullah saw, sementara untanya
dibiarkan begitu saja di dekat masjid tanpa tali pengikat. Dia mengira begitulah cara
bertawakal yang benar. Mendapati hal seperti ini, beliau segera bersabda kepada lelaki
Badui tersebut, "I'qilha wa tawakkal" (Ikat dulu untamu itu baru engkau bertawakal!)."
Ada satu hadis yang menerangkan tentang tawakal, dijadikan alasan oleh para
pemalas untuk tidak bekerja,
Artinya, "Jika kamu tawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya,
pasti Dia akan memberikan rezeki kepadamu sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada
burung. Berangkat di pagi hari dengan perut kosong dan kembali di sore hari dengan perut
kenyang."
Adakah hadis ini memerintahkan agar dalam mengharap rezeki dari Allah hanya
dengan menengadahkan tangan disertai bibir berkomat-kamit? Tidak! Hadis ini justru
mengisyaratkan
bahwa
dalam
bertawakal
kepada
Allah,
manusia
hendaklah
mempergunakan segala daya dan kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya.
Seekor burung yang tak memiliki akal pun harus pergi pagi-pagi dan pulang sore hari untuk
dapat mengisi perutnya. Inilah tawakal burung. Lalu bagaimana dengan manusia yang
dianugerahi akal pikiran, hati nutani, tangan, kaki, pancaindra dan nikmat-nikmat lain yang
jauh lebih sempurna daripada burung?
Daftar Pustaka
Al-Hufiy, Ahmad Muhammad. 2000. Keteladanan Akhlak Nabi Muhammad SAW. Bandung:
Pustaka Setia.
Faraj, Ahmad Mahmud. 2013. Belajar Bersahabat. Jakarta: Zaman.
Khaled, Dr. Amr. 2012. Buku Pintar Akhlak. Jakarta: Zaman.
Sudewo, Erie. 2011. Best Practice Character Building Menuju Indonesia Lebih Baik. Jakarta:
Republika Penerbit.
Susilo, Taufik Adi. 2010. Belajar Sukses dari Jepang. Jogjakarta: StarBooks.
2016
13
Pendidikan Agama Islam
Dra Yayah Hidayah M,Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2016
14
Pendidikan Agama Islam
Dra Yayah Hidayah M,Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2016
15
Pendidikan Agama Islam
Dra Yayah Hidayah M,Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download