PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BILINGUAL PADA RINTISAN

advertisement
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BILINGUAL
PADA RINTISAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
BERTARAF INTERNASIONAL
Edy Supriyadi ([email protected])
(Dosen Jurusan Pendidikan Teknik Elektro FT. UNY)
Abstract
As an effort to improve the quality of human resources who are able to compete in
international level, Department of National Education has been developing piloting of
international standard schools or rintisan sekolah bertaraf internasional at vocational high school
(SMK RSBI). RSBI’s have been implementing teaching & learning process for some subjects by
using English or Billingual Education. The biggest problem still faced by RSBI’s is teachers
who have no sufficient knowledge and skills in English.
Universities that have study program of teacher training or college of education basically
have responsibility to overcome the problem by providing qualified teachers for RSBI’s. In
relation to that, universities should conduct some programs as follows: developing competency
standards of teachers for RSBI relevant to their subject matters; developing curriculum relevant
to the competency standards of teachers; selecting qualified lecturers who have sufficient
knowledge and skills both in subject matter and English; developing teaching resources (text
books, job sheet, lab sheet, teaching modules, etc) especially written in two languages (English
and bahasa Indonesia); developing facilities to support teaching & learning activities in
billingual; conducting bilingual teaching & learning activities, using methods relevant to student
and subject matter characteristics; and assessing student achievement and evaluating teaching
program.
Kata Kunci: Pembelajaran Bilingual, SMK RSBI
Tata Latar
Kenggulan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki daya saing tinggi pada tingkat
internasional akan menjadi daya tawar tersendiri dalam era globalisai ini. Pendidikan diyakini
merupakan faktor paling dominan dalam pengembangan kualitas SDM. Berkaitan dengan hal
tersebut, pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) memiliki
peran yang sangat penting dalam memenuhi SDM yang mampu berkompetisi di tingkat
internasional.
1
Hampir semua negara selalu memprioritaskan programnya pada sektor pendidikan. Pemerintah
Indonesia, meskipun tidak segencar negara-negara maju, juga berusaha keras untuk membenahi
sistem pendidikannya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan
pada semua jenjang. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dilakukan melalui
program pengembangan rintisan sekolah menengah kejuruan bertaraf internasional (SMK RSBI).
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 ayat (3)
menyatakan bahwa “pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi
satuan pendidikan bertaraf internasional”. Sebagai realisasi dari amanah undang-undang
tersebut, Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah dalam waktu kurang lebih tiga tahun terakhir ini mengembangkan RSBI, baik untuk
jenjang SD, SMP, dan SMU/SMK.
Penetapan beberapa sekolah sebagai RSBI didasarkan atas berbagai pertimbangan dan alasan,
yaitu: dalam upaya penjaminan mutu penyelenggaraan SBI beserta hasil pendidikan nantinya
yang setara dengan mutu sekolah dari negara-negara maju atau diantara negara anggota
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD); didasarkan pada
pemenuhan persyaratan/kriteria sebagai rintisan SBI dari hasil evaluasi kepada seluruh sekolah
yang telah ditetapkan dan menjalankan kebijakan sebagai Sekolah Standar Nasional (SSN);
keterbatasan kemampuan pemerintah pusat dan daerah dalam beberapa hal, khususnya mengenai
pembiayaan rintisan SBI (Depdiknas, 2007).
Proses pembelajaran dan penilaian pada SMK RSBI harus bercirikan internasional, yang antara
lain menerapkan pembelajaran dalam bahasa Inggris (bilingual). Pengembangan beberapa
sekolah yang sudah ada (existing schools) melalui SMK RSBI mengalami berbagai kendala. Hal
ini mengingat SMK RSBI yang saat ini ada tidak dirancang sejak awal secara khusus untuk
sekolah bertaraf internasional. Penyempurnaan perlu dilakukan dalam semua komponen
pendidikan, termasuk dalam pembelajaran bilingual, meliputi tenaga pengajar, kurikulum, sarana
prasarana, pembelajaran, manajemen, dan komponen terkait lainnya. Menurut hasil evaluasi
Depdiknas (2009), sebagian besar tenaga pengajar RSBI belum memiliki kompetensi yang
memadai, terutama kemampuan berbahasa asing (Inggris).
2
Pembahasan
Konsep Sekolah Bertaraf Internasional
Sesuai dengan Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada
Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah (Depdiknas, 2007), Sekolah/Madrasah Bertaraf
Internasional (SBI) merupakan Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar
Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu
negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development dan/atau negara
maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki
daya saing di forum internasional.
Dengan konsepsi ini, SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi dan melaksanakan standar
nasional pendidikan yang meliputi: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan,
standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan,
standar pembiayaan, dan standar penilaian. Selanjutnya aspek-aspek SNP tersebut diperkaya,
diperkuat, dikembangkan, diperdalam, diperluas melalui adaptasi atau adopsi standar
pendidikan dari salah satu anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai
keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan serta diyakini telah memiliki reputasi mutu yang
diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. SBI
harus mampu memberikan jaminan bahwa baik dalam penyelenggaraan maupun hasil-hasil
pendidikannya lebih tinggi standarnya daripada SNP. Penjaminan ini dapat ditunjukkan kepada
masyarakat
nasional
maupun
internasional
melalui
berbagai
strategi
yang
dapat
dipertanggungjawabkan.
Sesuai dengan konsepsi SBI di atas, dalam upaya mempermudah sekolah dalam memahami dan
menjabarkan secara operasional dalam penyelenggraan pendidikan yang mampu menjamin
mutunya bertaraf internasional, maka dirumuskan bahwa SBI pada dasarnya merupakan
pelaksanaan dan pemenuhan delapan unsur SNP sebagai indikator kinerja kunci minimal dan
ditambah (dalam pengertian ditambah atau diperkaya/ dikembangkan/diperluas/diperdalam)
dengan
x
yang
isinya
merupakan
penambahan
atau
pengayaan/pemdalaman/
penguatan/perluasan dari delapan unsur pendidikan tersebut serta sistem lain sebagai indikator
kinerja kunci tambahan yang berstandar internasional dari salah satu anggota OECD dan/atau
negara maju lainnya.
3
Dalam kerangka pencapaian standar mutu internasional, tiap sekolah yang telah menjadi SBI
mandiri harus memenuhi indikator kinerja kunci minimal (IKKM) (delapan unsur SNP) dan
indikator kinerja kunci tambahan (IKKT) (terdiri berbagai unsur x). Sedangkan selama sebagai
rintisan SBI (RSBI) diharapkan dapat berupaya memenuhi SNP dan mulai merintis untuk
mencapai IKKT sesuai dengan kemampuan dan kondisi sekolah. Pencapaian pemenuhan IKKT
sangat ditentukan oleh kemampuan kepala sekolah, guru, komite sekolah, pemerintah daerah,
dan pemangku kepentingan yang lain.
Untuk dapat memenuhi karakteristik dari konsepsi SBI tersebut, yaitu sekolah telah
melaksanakan dan memenuhi delapan unsur SNP sebagai pencapaian indikator kinerja kunci
minimal ditambah dengan (x) sebagai indikator kinerja kunci tambahan, maka sekolah dapat
melakukan minimal dengan dua cara, yaitu: adaptasi, dan adopsi.
Sekolah yang akan melakukan adaptasi ataupun adopsi untuk memenuhi IKKT, perlu mencari
mitra internasional, misalnya sekolah-sekolah dari negara-negara anggota OECD yaitu:
Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark, Finland, France, Germany,
Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Korea, Luxembourg, Mexico, Netherlands, New
Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey,
United Kingdom, United States dan negara maju lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia,
Slovenia, Singapore dan Hongkong. Ataupun dapat juga bermitra dengan pusat-pusat pelatihan,
industri, lembaga-lembaga tes/sertifikasi internasional seperti misalnya Cambridge, IB,
TOEFL/TOEIC, ISO, pusat-pusat studi dan organisasi-organisasi multilateral seperti UNESCO,
UNICEF, SEAMEO, dan sebagainya.
Esensi lainnya dari konsep tentang SBI adalah adanya daya saing pada forum internasional
terhadap komponen-komponen pendidikan seperti output/outcomes pendidikan, proses
penyelenggaraan dan pembelajaran, serta input SBI harus memiliki daya saing yang kuat/tinggi.
Masing-masing komponen tersebut harus memiliki keunggulan yang diakui secara internasional,
yaitu berkualitas internasional dan telah teruji dalam berbagai aspek sesuai dengan
karakteristiknya masing-masing.
4
Konsep Pembelajaran Bilingual
Proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan SBI harus bercirikan internasional, yaitu:
(1) pro-perubahan yaitu proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan
daya kreasi, inovasi, nalar dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan
baru, a joy of discovery; (2) menerapkan model pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan; student centered; reflective learning; active learning; enjoyble dan joyful
learning; cooperative learning; quantum learning; learning revolution; dan contextual learning,
yang kesemuanya itu telah memiliki standar internasional; (3) menerapkan proses pembelajaran
berbasis TIK pada semua mata pelajaran; (4) proses pembelajaran menggunakan bahasa Inggris
(bilingual) khususnya mata pelajaran sains, matematika, dan TIK; (5) proses penilaian dengan
menggunakan model-model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau
negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan.
Pembelajaran dalam bahasa Inggris atau pembelajaran bilingual merupakan salah satu aspek
esensial yang harus dikembangkan dan diterapkan di SMK RSBI.
Pembelajaran bilingual adalah suatu pembelajaran pada mata pelajaran-mata pelajaran yang
dilakukan menggunakan dua bahasa yang berbeda (WWW.id.wikipedia.org/billingual, 2009). Di
Amerika Serikat, pembelajaran bilingual umumnya menggunakan bahasa Inggris, dan satu
bahasa minoritas, yaitu bahasa Perancis, Cina, atau bahasa minoritas lainnya. Senada dengan
pendapat tersebut, Depdiknas (2007) memberikan batasan pembelajaran bilingual sebagai
pembelajaran yang materi pelajaran, proses belajar mengajar, dan penilaiannya menggunakan
bahasa Inggris.
Terdapat beberapa jenis pembelajaran bilingual, yaitu: transisional (transitional), dua bahasa
(dual language), dan pengembangan (developmental). Pada jenis transisional, pembelajaran
menggunakan bahasa asli dari siswa. Hal ini terutama untuk menjamin agar siswa tidak
ketinggalan dalam menguasai materi-materi pelajaran Matematika, IPA, dan IPS pada saat siswa
sedang belajar bahasa Inggris. Tujuan pola bilingual ini untuk membantu siswa menyiapkan diri
memasuki pembelajaran yang sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris.
Pembelajaran bilingual jenis dual language dirancang untuk membantu siswa penutur asli atau
bukan penutur asli bahasa Inggris menguasai dua bahasa, yang pada umumnya bahasa Inggris
5
dan bahasa Perancis atau Cina. Jenis pembelajaran bilingual ini jarang diterapkan di Amerika
Serikat.
Pembelajaran bilingual jenis pengembangan merupakan pembelajaran dalam bahasa asli siswa
(non-english) yang dilaksanakan pada jam tambahan tersendiri. Pembelajaran utamanya
menggunakan bahasa Inggris. Pembelajaran ini diperuntukkan bagi siswa yang bahasa aslinya
bukan bahasa Inggris.
Pembelajaran bilingual di Indonesia, terutama yang akhir-akhir ini dikembangkan di pendidikan
menengah (SMP, SMU/SMK) diterapkan untuk pembelajaran beberapa mata pelajaran, antara
lain: Matematika, IPA, dan IPS. Pembelajaran bilingual ini tetap menggunakan kurikulum
nasional yang berlaku. Dengan demikian, pengembangan silabus, pengembangan sistem
penilaian, dan perangkat pembelajaran lainnya juga mengacu pada kurikulum tersebut. Namun
demikian, sekolah dapat menambah, memperluas, dan memperdalam kurikulum yang berlaku
sesuai dengan perkembangan kurikulum internasional dalam bidang mata pelajaran tersebut
dengan tetap memperhatikan nilai-nilai dan budaya Indonesia.
Pembelajaran bilingual bertujuan untuk: menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi yang
tinggi dalam Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam sesuai dengan perkembangan ilmu-ilmu
tersebut; menghasilkan lulusan yang memiliki kemahiran berbahasa Inggris yang tinggi;
meningkatkan penguasaan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dalam bahasa Inggris sesuai
dengan perkembangan internasional; meningkatkan kemampuan daya saing secara internasional
tentang Ilmu Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam sebagai ilmu dasar bagi perkembangan
teknologi (manufaktur, komunikasi, transportasi, konstruksi, bio dan energi); meningkatkan
kemahiran berbahasa Inggris siswa; menempatkan Indonesia dalam posisi perkembangan
internasional terdepan di bidang Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, informasi, dan teknologi.
Model pembelajaran bilingual yang baik adalah model yang memfasilitasi pencapaian
kompetensi yang tinggi dalam bidang studi dan dalam bahasa Inggris (subject matter and
language). Keduanya diberi perhatian secara proporsional. Focus on language sangat penting
untuk menghindarkan siswa dari fosilisasi, yaitu pemerolehan bahasa yang tidak sesuai dengan
kaidah bahasa Inggris sebagaimana digunakan oleh penutur asli bahasa Inggris. Berikut adalah
contoh model penyelenggaraan pembelajaran (Dit PSMP, 2008).
6
Terpisah (parallel): perkembangan bahasa siswa difasilitasi melalui kegiatan penunjang di luar
pembelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dalam Bahasa Inggris yang diikuti siswa
di sekolah. Siswa menerima pelajaran tambahan berupa English for Mathematics and Science
yang dilakukan oleh guru bahasa Inggris dan/atau guru MIPA. Materi pelajaran tambahan ini
didasarkan pada kebutuhan dan urutan penyajian tema-tema pelajaran yang ada pada
pembelajaran MIPA dalam bahasa Inggris. Idealnya sebelum siswa mempelajari pokok bahasan
tertentu, siswa sudah diperkenalkan dengan bahasa (kosa kata, tata bahasa, ekspresi, dsb.) yang
akan dipergunakan dalam mempelajari pokok bahasan tersebut. Model ini cocok bagi sekolah
yang guru MIPA-nya memiliki pengetahuan kebahasaan yang terbatas dan team-teaching antara
guru bahasa Inggris dan guru MIPA tidak dapat berjalan dengan baik. Dalam model ini
pembelajaran MIPA dalam bahasa Inggris berlangsung dengan tahapan-tahapan pembelajaran
seperti pada pembelajaran MIPA pada umumnya. Model ini agak mahal dan memerlukan waktu
cukup banyak tetapi efektif dalam pencapaian tujuan (peningkatan kemahiran berbahasa Inggris).
Terpadu (integrated): perkembangan bahasa siswa difasilitasi secara terpadu dalam
pembelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dalam bahasa Inggris. Artinya, siswa
menerima materi English for Mathematics and Science bersamaan ketika mereka menerima
pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dalam bahasa Inggris. Model ini cocok/sesuai
untuk guru MIPA dengan pengetahuan kebahasaan tinggi. Secara umum, pembelajaran terbagi
menjadi tiga tahap utama, yaitu tahap persiapan (preparation), tahap pembelajaran (the lesson),
dan tahap penguatan/pengayaan (reinforcement/ enrichment).
Pengembangan Pembelajaran Bilingual di SMK
Beberapa hal perlu disiapkan sebelum menerapkan program pembelajaran dalam bahasa Inggris
di SMK RSBI agar tujuan pembelajaran dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan.
Sekolah yang akan melaksanakan program ini harus memiliki guru yang mampu dan sanggup
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengajar dalam pembelajaran bilingual. Khususnya
menggunakan bahasa Inggris. Oleh karena itu perlu dilakukan seleksi terhadap guru-guru yang
ada di sekolah tersebut untuk mengetahui tingkat kesiapan mereka dalam pembelajaran bilingual.
Guru bahasa Inggris perlu dilibatkan dalam pembinaan program pembelajaran bilingaul agar
dapat mendukung dan membantu memecahkan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh guru mata
7
pelajaran dalam menjalankan program. Sekolah dapat melakukan seleksi terhadap guru bahasa
Inggris di sekolah tersebut.
Siswa yang dapat mengikuti program ini adalah siswa-siswa yang memiliki kemampuan yang
tinggi, yaitu siswa-siswa yang berpotensi. Siswa-siswa tersebut dapat diindikasikan antara lain
dengan kriteria sebagai berikut: memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang memadai, dan
memiliki pemahaman materi mata pelajaran dalam bahasa Inggris di atas rata-rata. Untuk itu
perlu dilakukan seleksi untuk mengetahui siswa yang memiliki potensi yang tinggi untuk
mengikuti program ini.
Sekolah memberitahu semua siswa dan orangtua/wali murid mengenai pelaksanaan
pembelajaran dalam bahasa Inggris dengan surat edaran kepada semua orangtua/wali siswa.
Dalam surat edaran ini sebaiknya disebutkan bahwa karena berbagai keterbatasan, untuk
sementara pada awal dilaksanakan program, sekolah baru akan menyelenggarakan pembelajaran
dalam bahasa Inggris bagi siswa yang sudah dianggap siap mengikuti program.
Sekolah minta pernyataan tertulis dari orangtua/wali murid yang menyatakan mengijinkan
anaknya untuk mengikuti pembelajaran
dalam bahasa Inggris untuk mata pelajaran-mata
pelajaran tertentu apabila yang bersangkutan lolos seleksi.
Perlu dipersiapkan dan difikirkan tentang program-program tambahan yang menunjang atmosfer
yang mendukung dan mendorong siswa untuk dapat secara terus-menerus mempraktekkan
bahasa Inggris selama mereka berada di lingkungan sekolah. Termasuk jika siswa mengalami
kesulitan dalam pencapaian target yang sudah ditetapkan.
Agar implementasi pembelajaran dalam bahasa Inggris berjalan dengan baik, sekolah perlu
memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Suasana ruang kelas dan laboratorium hendaknya
dibuat kondusif bagi pembelajaran sehingga dapat mendorong dan mendukung siswa untuk
belajar dengan menyenangkan, kreatif, aktif, dan efektif. Kalau memungkinkan, ruang kelas
dan/atau laboratorium yang ada dirancang tersendiri sehingga tidak menimbulkan kesan kaku
bagi mobilitas siswa dan guru. Susunan meja kursi yang ada di dalamnya tidak selalu harus
mengikuti aturan baku yang selama ini ada, yaitu susunan yang menempatkan guru sebagai
pusat. Selain itu penempatan papan tempat menempelkan karya-karya siswa di ruangan tersebut
juga sangat dianjurkan. Pada prinsipnya, sebaiknya suasana kelas diupayakan dalam kondisi
yang benar-benar menyenangkan bagi siswa untuk mengikuti pembelajaran.
8
Selain itu, hal penting lainnya yang sebaiknya ada di kelas yang digunakan untuk
mengimplementasikan program ini diantaranya adalah: Tersedianya perpustakaan mini yang
menyediakan segala buku-buku teks/referensi dalam bahasa Inggris dan perangkat pembelajaran
pendukung lainnya; Tersedianya perangkat multimedia yang digunakan untuk mendukung
implementasi program, misalnya laptop, LCD, screen, TV, VCD player, tape recorder, dsb;
Akses internet yang mudah akan sangat mendukung keterlaksanaan program ini dengan baik,
mengingat mudahnya pencarian sumber-sumber belajar. Dengan demikian diharapkan tersedia
sumber-sumber belajar yang dapat mengikuti perkembangan matematika dan IPA secara global.
Termasuk diantaranya adalah mudahnya akses internet bagi guru dan siswa baik di perpustakaan
maupun di beberapa tempat tertentu di sekolah tersebut; Perpustakaan pusat di sekolah yang
menyediakan berbagai buku-buku pendukung, cerita, majalah berbahasa Inggris yang sesuai
untuk tingkatan siswa SMK.
Hal yang memberikan peranan penting lainnya adalah ketersediaan laboratorium bahasa dan
laboratorium komputer yang memadai sesuai dengan kebutuhan sekolah termasuk dengan
laboran yang berkompeten dalam bidangnya (laboran laboratorium IPA, laboran laboratorium
bahasa, dan laboran laboratorium komputer). Selain itu, di sekolah juga dituntut menyediakan
sarana dan prasarana untuk terciptanya lingkungan sosial dan akademis yang mendukung
terlaksananya program di sekolah tersebut.
Kepala sekolah yang tangguh sangat menentukan keberhasilan implementasi program. Artinya
kepala sekolah yang mengetahui dengan benar bagaimana konsep manajemen berbasis sekolah
(MBS) dapat diterapkan di sekolah. Kepala sekolah harus memahami visi dan misi sekolah,
sehingga arah dan target pengembangan sekolah juga jelas. Termasuk di dalamnya adalah
bagaimana pemenuhan 8 (delapan) komponen standar sesuai dengan PP 19/2005 dapat dicapai.
Peran Perguruan Tinggi
Lembaga penghasil calon tenaga guru, termasuk untuk guru pengajar program pembelajaran
bilingual RSBI adalah perguruan tinggi, terutama beberapa perguruan tinggi (PT) yang secara
khusus menyelenggarakan program kependidikan. Agar lulusan PT memiliki kompetensi sesuai
yang dibutuhkan oleh sekolah, maka PT harus melakukan pengkajian dan mengembangkan
9
program kependidikan untuk RSBI. Beberapa hal yang perlu dilakukan setidaknya adalah
sebagai berikut:
Pertama, melalui penelitian yang komprehensif, PT perlu mengkaji dan mengembangkan profil
atau standar kompetensi guru pembelajaran bilingual RSBI sesuai bidang studinya. Setiap
program studi atau jurusan di lingkungan universitas perlu mengembangkan standar kompetensi
secara rinci yang harus dimiliki oleh calon guru RSBI, terutama untuk jenjang SMK.
Pengembangan dilakukan dengan tetap mempertimbangkan PP 19 tahun 2005 yang berkaitan
dengan kompetensi guru. Pengkajian referensi juga perlu dilakukan, terutama untuk sekolah
bertaraf internasional yang ada di dalam maupun di luar negeri.
Ke dua, PT perlu melakukan pengembangan kurikulum yang secara khusus untuk
mengakomodasikan program calon guru pembelajaran bilingual RSBI. Setiap program studi atau
jurusan
mengembangkan
kurikulum
RSBI
sesuai
jenjang
pendidikan
yang
akan
diselenggarakannya. Kurikulum untuk program RSBI bisa dikembangkan secara tersendiri jika
akan dibuka program RSBI secara khusus, atau terintegrasi dengan kurikulum reguler.
Pengembangan kurikulum tersebut juga perlu disinkronisasi dengan rancangan Program
Pendidikan Guru (PPG) yang dalam waktu dekat ini akan diimplementasikan.
Ke tiga, PT perlu menyiapkan tenaga pengajar (dosen), dan tenaga pendukung yang memiliki
kualifikasi dan kompetensi memadai untuk program pembelajaran bilingual. Identifikasi
terhadap para dosen yang berkualitas perlu dilakukan, termasuk pembinaan dan pemantapan
kompetensi mereka. Para dosen yang berpendidikan S3, terutama lulusan dari luar negeri yang
memiliki relevansi bidang studi dan komitmen tinggi perlu diberikan tugas sampiran sebagai tim
pengajar inti untuk program calon guru RSBI. Seyogyanya, para tenaga pengajar juga memiliki
kemampuan berbahasa asing, terutama bahasa Inggris aktif, baik dalam berbicara (speaking),
menulis (writing), membaca (reading), dan mendengarkan (listening).
Ke empat, buku-buku referensi dan bahan kuliah perlu dikembangkan sesuai dengan materi
kurikulum. Buku-buku referensi yang disusun dalam bahasa Inggris perlu lebih banyak
dikembangkan. Diktat, job sheet, lab sheet, dan bentuk bahan, kuliah lainnya perlu
10
dikembangkan dengan isi dan format sesuai yang digunakan di sekolah-sekolah bertaraf
internasional. Sumber belajar hendaknya dikembangkan kearah e-Learning.
Ke lima, sarana dan prasarana perlu dikaji kembali, apakah sudah sesuai dan dapat mendukung
pembelajaran bilingual untuk program calon guru RSBI. Sarana dan prasarana memang tidak
harus mewah dan mahal, tetapi harus sesuai dan dapat mendukung proses perkuliahan.
Perpustakaan dan fasilitas e-learning merupakan komponen paling esensial yang harus
dikembangkan.
Ke enam, proses perkuliahan harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga tercipta
pembelajaran yang menyenangkan, aktif, kreatif, inovatif, dan efektif. RSBI pada jenjang SMK
dan SMA pada saat ini menyelenggarakan pembelajaran bilingual pada beberapa mata pelajaran,
terutama Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Pembelajaran menggunakan pengantar
bahasa Inggris setidaknya telah berjalan selama tiga tahun terakhir ini, khususnya untuk mata
pelajaran Matematika dan IPA. Bahkan, saat ini sedang dikembangkan pembelajaran bilingual
untuk mata pelajaran lainnya, yaitu: Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Teknologi Informasi
dan Komunikasi (TIK). Untuk mengantisipasi hal tersebut, proses perkuliahan di PT untuk
program calon guru RSBI hendaknya juga menerapkan perkuliahan bilingual. Di samping itu,
penilaian hasil belajar siswa dan evaluasi terhadap program perkuliahan harus dilakukan secara
sistematis.
Simpulan
Penyelenggaraan pembelajaran bilingual untuk beberapa mata pelajaran SMK RSBI yang telah
berjalan selama ini masih mengalami berbagai kendala hampir di setiap aspek pendidikan.
Kompetensi guru untuk pembelajaran bilingual yang masih relatif rendah merupakan kendala
utama dalam penyelenggaraan pembelajaran. Perguruan tinggi (PT) sebagai penghasil tenaga
calon guru, termasuk untuk guru pembelajaran bilingual RSBI memiliki kewajiban untuk
mengatasi masalah tersebut dengan cara menghasilkan tenaga calon guru RSBI yang memiliki
kompetensi sesuai yang dibutuhkan.
Beberapa hal yang perlu dilakukan PT untuk dapat menghasilkan calon guru RSBI antara lain:
perlu mengkaji dan mengembangkan profil atau standar kompetensi guru RSBI sesuai bidang
11
studinya; melakukan pengembangan kurikulum untuk mengakomodasikan program calon guru
RSBI; perlu menyiapkan tenaga pengajar (dosen), dan tenaga pendukung yang memiliki
kualifikasi dan kompetensi memadai; mengembangkan buku-buku referensi dan bahan kuliah
sesuai isi kurikulum; melengkapi sarana dan prasarana; mengembangkan proses perkuliahan
yang menyenangkan, aktif, kreatif, inovatif, dan efektif, serta menggunakan pengantar bahasa
Inggris (bilingual) untuk beberapa mata kuliah esensial.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional, 2008. “Panduan Pelaksanaan Sekolah Bertaraf
Internasional”. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. “Kurikulum Berbasis Kompetensi: Ketentuan Umum
Pendidikan Prasekolah, Dasar, dan Menengah Umum”. Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. ”Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah
Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah”. Jakarta:
Depdiknas.
Peraturan Pemerintan Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 16 Tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Peter Duigman. 2006. The Struggle for Billingual Education. Standford University
Telco12.com. Standar Kompetensi Guru. (www.geocities/pengembangan_sekolah, diunduh 25
September 2009)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wikipedia. Billingual Education. (WWW.id.wikipedia.org/billingual, diunduh
20 November 2009)
12
Sebagai upaya untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan
mampu berkompetisi di tingkat internasional, Departemen Nasional telah mengembangkan
sekolah menengah kejuruan rintisan bertaraf internasional (SMK RSBI). Proses pembelajaran
dan penilaian pada SMK RSBI harus bercirikan internasional, yang antara lain menerapkan
pembelajaran dalam bahasa Inggris (bilingual). Kompetensi guru SMK RSBI dalam berbahasa
Inggris yang masih relatif rendah merupakan kendala utama dalam penyelenggaraan
pembelajaran bilingual.
Perguruan tinggi (PT) sebagai penghasil tenaga calon guru, termasuk untuk guru RSBI memiliki
kewajiban untuk mengatasi masalah tersebut dengan cara menghasilkan tenaga calon guru SMK
RSBI yang memiliki kompetensi sesuai yang dibutuhkan. Terkait dengan hal tersebut beberapa
hal yang perlu dilakukan PT antara lain: perlu mengkaji dan mengembangkan profil atau standar
kompetensi guru RSBI sesuai bidang studinya; melakukan pengembangan kurikulum untuk
mengakomodasikan program calon guru RSBI; perlu menyiapkan tenaga pengajar (dosen), dan
tenaga pendukung yang memiliki kualifikasi dan kompetensi memadai; mengembangkan bukubuku referensi dan bahan kuliah sesuai isi kurikulum; melengkapi sarana dan prasarana;
mengembangkan proses perkuliahan yang menyenangkan, aktif, kreatif, inovatif, dan efektif,
serta perkuliahan menggunakan pengantar bahasa Inggris (bilingual) untuk beberapa mata kuliah
esensial.
13
Why Bilingual
Education? ERIC Digest.
ERIC Development Team
www.eric.ed.gov
The combination of first language subject matter teaching and literacy development that
characterizes good bilingual programs indirectly but powerfully aids students as they
strive for a third factor essential to their success: English proficiency. Of course, we also
want to teach in English directly, via high quality English-as-a-Second Language (ESL)
classes, and through sheltered subject matter teaching, where intermediate-level
English language acquirers learn subject matter taught in English.
The best bilingual education programs include all of these characteristics: ESL
instruction, sheltered subject matter teaching, and instruction in the first language.
Non-English-speaking children initially receive core instruction in the primary language
along with ESL instruction. As children grow more proficient in English, they learn
subjects using more contextualized language (e.g., math and science) in sheltered
classes taught in English, and eventually in mainstream classes. In this way, the
sheltered classes function as a bridge between instruction in the first language and in
the mainstream. In advanced levels, the only subjects done in the first language are
those demanding the most abstract use of language (social studies and language arts).
Once full mainstreaming is complete, advanced first language development is available
as an option. Gradual exit plans, such as these, avoid problems associated with exiting
children too early (before the English they encounter is comprehensible) and provide
instruction in the first language where it is most needed. These plans also allow children
to have the advantages of advanced first language development.
Bilingual education has done well, but it can do much better. The biggest problem, in
this author's view, is the absence of books--in both the first and second languages--in
the lives of students in these programs.
14
http://gurukreatif.wordpress.com/2008/07/16/tren-pendidikan-internasional-sekolahsekolah-yang-berwawasan-internasional-oleh-ian-hill/
Trend Pendidikan Internasional: Oleh Ian Hill
internasional tidak selalu merupakan dominasi sekolah-sekolah internasional. Sejumlah besar
sekolah negeri menawarkan program yang sejenis dengan apa yang ditawarkan oleh institusi
sekolah internasional. Sebagai konsekwensinya, upaya untuk merumuskan apa yang disebut
pendidikan inetrnasional akan terjawab jika kita membedakan usaha untuk merumuskan apa
sebenarnya arti sekolah internasional, atau bagaimana seharusnya sekolah internasional itu, dan
sebagai gantinya mamusatkan pemikiran kita kepada sekolah-sekolah yang berwawasan
internasional. Dr. Hill mendeskripsikan sejumlah besar tipe sekolah berwawasan internasional
yang menawarkan program tersebut, terutama sekolah-sekolah negeri atau sekolah-sekolah yang
dibiayai oleh pemerintah. Ia menyuguhkan contoh praktis apa yang menjadi dasar dan aspekaspek utamasebuah sekolah yang berwawasan internasional, terutama pemahaman inter-kultural
dan bagaimana hal tersebut dapat diajarkan di sekolah manapun baik nasional maupun
internasional.
Sekolah-sekolah internasional bukanlah satu-satunya jenis sekolah yang menyuguhkan
pendidikan internasional. Sekolah-sekolah nasional, baik negeri maupun swasta, juga dapat
menjadi partner setara. Hal ini mulai nampak pada dekade ‘90-andan melalui beberapa penulis,
seperti misalnya Peels (1998 halaman 12), telah mengarah kepada hal tersebut. Walker (1995
halaman 14) berkata: “Sekarang ini sejumlah besar sekolah negeri nasional…menggalakkan
perkembangan jalur pendidikan internasional”. Menarik untuk disimak bahwasanya 1080
sekolah-sekolah International Baccalaureate Organization (IBO) di bulan Mei 2000, 43%
diantaranya adalah sekolah negeri. 57% dari sisanya, sepertiga adalah sekolah swasta nasional.
Dengan demikian berarti hanya sepertiga dari seluruh sekolah yang menyelenggarakan program
IBO merupakan sekolah-sekolah internasional independen milik swasta. Diskusi menawarkan
deskripsi sekolah-sekolah internasional, sekolah-sekolah nasional dan pendidikan internasional;
yang dikatakan bahwasanya konsep sekolah-sekolah “international-minded” (berwawasan
internasional) lebih cocok dengan peningkatan pendidikan internasional dan upaya untuk
mengilustrasikan hal ini melalui sebuah contoh pengajaran yang berupaya membangun
pemahaman inter-kultural.
Ciri-Ciri Sekolah Nasional
Sebuah sekolah nasional biasanya mengajarkan kurikulum yang ditetapkan oleh kementrian
pendidikan dari negeri yang bersangkutan dan memiliki baik siswa maupun staff dari dalam
negeri. Sebagian besar adalah sekolah negeri yang dibiayai oleh pemerintah (tanpa uang
sekolah), dan sejumlah besar sekolah swasta (yang menerapkan uang sekolah). Kebanyakan
sekolah ini berlokasi di dalam negeri, sebagian di luar negeri yang didirikan untuk warga Negara
negeri yang bersangkutan, seprti misalnya sejumlah sekolah Amerika, Inggris dan Perancis.
15
Dalam beberapa kasus, sekolah nasional akan mengajarkan program pendidikan nasionalnya,
program negeri lain atau sebuah program internasional. Beberapa sekolah swasta, seperti sekolah
nasional di Afrika Selatan, mengajarkan CCE “A” level sebagai tambahan pembelajaran
matrikulasi nasional. Sebagian besar negeri-negeri di Afrika yang berbahasa Perancis memiliki
sejumlah kecil sekolah swasta-nasional yang mengajarkan baccalaureat Perancis bersamaan
dengan baccaulaureate lokal dimana sekolah itu berada. City Technology College, Kinghust,
Birmingham, adalah sebuah sekolah negeri yang manawarkan Program IB Diploma dan tidak
menyelenggarakan “A” level (namun menyuguhkan program nasional Inggris lainnya yang
berorientasi pada pendidikan vokasional/keterampilan).
Sebuah contoh lain, banyak dari sekolah-sekolah di Amerika Utara yang ada di luar Amerika,
menawarkan Program IB sebagai tambahan dari diploma SMA dan ujian Advanced Placement;
beberapa diantaranya diberi nama “The American International School of…” yang menandakan
bahwasanya mereka mempertahankan etos ke-Amerika-annya namun juga menawarkan dimensi
internasional. Sekarang ini, banyak sekolah sekolah Amerika yang berkedudukan di luar negeri
yang hanya memiliki sejumlah kecil siswa yang berasal dari Amerika dan sisanya datang dari
budaya yang berbeda-beda, namun staffnya sebagian besar adalah warga negara Amerika. Di
satu sisi, mereka ini memiliki kualifikasi sebagai sekolah-sekolah internasional, namun mereka
mempromosikan budaya dan system pendidikan Amerika dan dengan demikian merupakan
sekolah nasional ditinjau dari asal-usul dan etosnya.
Sekolah Internasional – apa artinya?
Sebuah sekolah internasional biasanya melayani siswa yang berasal dari sejumlah besar budaya
yang berbeda. Mereka sering berpindah berpindah dari satu negera ke negera lainnya, karena
biasanya mereka adalah pegawai salah satu organisasi PBB atau perusahaan swasta
multinasional. Staffnya juga terdiri dari orang-orang berbagai bangsa tanpa memiliki satu budaya
yang dominan. Sekolah-sekolah sejenis ini biasanya menawarkan satu atau lebih program
internasional (namun biasanya bukanlah program dari negeri dimana sekolah ini berada) atau
merupakan kombinasi dari keduanya. Sekolah-sekolah ini adalah sekolah swasta yang
menerapkan sistem uang sekolah dan tersebar di seluruh dunia. Mereka juga melayani orang tua
(kebanyakan orang asing dan juga lokal) yang menginginkan putera-puterinya menerima
pendidikan yang berbeda dari program lokal (walaupun ada juga sejumlah kecil sekolah yang
tetap menawarkan program lokal, seperti misalnya International School of Geneva yang juga
mengajarkan maturite Swiss). Orang tua siswa lokal terkadang juga tertarik oleh percampuran
budaya yang terjadi di sekolah yang bersangkutan.
United World Colleges adalah contoh yang tepat untuk sekolah-sekolah internasional, seperti
halnya sekolah-sekolah yang didirikan oleh PBB, misalnya: International School of Geneva, the
UN International School (New York) dan Bienna International School. Ada juga sekolah-sekolah
Uni Eropa (EU) yang untuk pertama kalinya menawarkan European Baccalaureate pada tahun
1959, yang sebagian besar merupakan representasi pembauran berbagai budaya negara-negara
anggota Uni Eropa. Program-program sekolah ini menyatukan berbagai aspek kurikulum
nasional sehingga setiap siswanya ter-ekspos dengan paling sedikit dua bahasa nasional dan
budaya secara mendalam.
16
Sebuah sekolah internasional murni dapat dikatakan sebagai sebuah sekolah yang tidak
melakukan penekanan pada budaya dan sistem pendidikan dari sebuah negara tertentu.
Sekolah Negeri Internasional – jenis ini benar-benar ada
Sebuah institusi hybrid adalah sekolah nasional dengan bagian internasional khusus. Jenis
sekolah semacam ini dapat ditemukan di Belanda, Negara-negara Scandinavia seperti (Swedia,
Denmark, Norwegia , Finlandia dan Iceland) dan dari Eropah Timur; ada sekitar 75 institusi
dengan kurang lebih 45 berada di Negara -negaea Scandinavia. Dari sekolah-sekolah negeri ini
yang mengajarkan bahasa nasional, ada bagian khusus yang mengajarkan bahasa Inggris dan
menawarkan program eksklusif IB-biasanya untuk tingkat diploma namun secara berkala juga
menawarkan Middle Years Programme (MYP). Semuanya, termasuk staff pengajar, disediakan
oleh Negara. Di Belanda, seksi internasional sebagian besar dipadati oleh siswa-siswi asing
dengan beberapa siswa Belanda yang pernah tinggal di luar negeri. Orang tua membayar uang
sekolah yang jumlahnya tidak banyak ditambah dengan uang ujian IB. Di negeri-negeri
Scandinavia dan Eropah Timur, seksi internasional ini biasanya melayani siswa-siswi dari dalam
negeri tanpa perlu membayar uang sekolah namun tetap membayar ujian IB. Dalam setiap kasus,
staff sekolah didominasi oleh orang-orang lokal, dengan sejumlah kecil native speakers bahasa
Inggris dari luar negeri.
Perancis juga memiliki 8 lycees (sekolah) negeri yang menawarkan program internasional
dengan seksi ingternasional bilingual yang mengajarkan bahasa Inggris dan sebuah bahasa lain.
Bergantung pada ukuran sekolah, dapat terjadi bahwa sekolah yang bersangkutan memiliki satu
atau lebih seksi internasional, masing-masing dengan bahasa keduanya sendiri contohnya:
Bahasa Inggris, Spanyol, Portugis, Jerman, Itali, Jepang, Swedia. Sarana dan fasilitas serta
materi disediakan oleh pemerintah Perancis, termasuk guru-guru yang mengajar dalam bahasa
Perancis. Program IB Diploma ditawarkan oleh salah satu lycess ini, atau program yang dipakai
adalah baccalaureat francais a option internationale (yang dipersiapkan oleh kementrian
pendidikan) yang diuji untuk pertama kalinya pada tahun 1984 (terinspirasi oleh IB Diploma).
Program ini identik dengan baccalaureate nasional dengan perkecualian bahasa asing yang
digantikan dengan kelas sastra pada tingkatan siswa native speakers yang dilaksanakan enam
kali seminggu dan 3 kali seminggu untuk sejarah/geografi dalam bahasa lain. Guru-guru
pelajaran yang menggunakan bahasa asing (kecuali Inggris) disediakan oleh pemerintah dari
negeri yang bahasanya diajarkan., melalui persetujuan bi-lateral dengan kementerian pendidikan
Perancis. Native Speakers bahasa Inggris direkrut oleh seksi yang bersangkutan dan dibiayai oleh
pembayaran yang ditarik dari orang tua. Seksi-seksi internasional mayoritas terdiri dari siswa
asing dengan sejumlah siswa Perancis.
Pengecualian dapat terjadi, namun typolog sekolah ini dapat dipahami jika kita tidak secara
otomatis mengasosiasikan pendidikan internasional hanya diberilkan oleh sekolah-sekolah
internasional dan sekolah nasional hanya memeberikan pendidikan nasional.
Apa yang dimaksud dengan pendidikan internasional?
Banyak pendidik internasional telah berusaha merumuskan ‘pendidikan internasional’ selama
bertahun-tahun. Deskripsi di bawah ini berisi pendekatan-pendekatan yang dimengerti oleh
17
sebagian orang tentang apa itu pendidikan internasional dan menjadi topik utama dalam artikel
ini.
Definisi UNESCO tentang pendidikan internasional menekankan kepada pendidikan bagi
perdamaian, hak azasi dan demokrasi (UNESCO 1974). Definisi ini dipertegas dengan adanya
deklarasi pada konferensi internasional dalam hal pendidikan (ICE), Geneva, 1994 dan disokong
oleh konferensi umum UNESCO di Paris tahun berikutnya. ICE dikelola oleh Biro Pendidikan
Internasional (UNESCO) dan mengajak serta Menteri Pendidikan dari seluruh Negara. TUjuan
dari pendidikan internasional ini diperkenalkan dengan deklarasi ini (UNESCO, 1996, p. 90
untuk mengembangkan :







Nilai yang universal bagi adanya budaya perdamaian,
Kemampuan untuk menghargai kebebasan dan tanggung jawab warganegara yang ada
didalamnya,
Pemahaman antar budaya yang mendorong pemersatuan ide dan solusi untuk
memperkuat perdamaian,
Kemampuan untuk memecahkan konflik tanpa kekerasan,
Kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan,
Menghargai warisan budaya dan pemeliharaan lingkungan,
Rasa solidaritas dan keadilan pada tingkat nasional dan internasional
Sangat jelas bahwa deklarasi ini dapat diterima oleh para Menteri Pendidikan, yang tentunya
merupakan program pendidikan nasional. Harapan UNESCO selalu adalah sistim pendidikan
nasional akan memasukkan juga prinsip-prinsip diatas pendidikan internasional yang telah
disebutkan diatas.
Bagaimana prinsip-prinsip ini diterjemahkan dalam tindakan ditingkat sekolah? Pendidikan
Internasional memiliki kekhawatiran akan keseluruhan pengalaman formal (pembelajaran yang
terencana) maupun pengalaman sekolah informal yang didapat.
Hal ini yaitu :



Isi mata pelajaran yang menyediakan sudut pandang internasional (termasuk isu global
dan bahasa asing), pendidikan kewarganegaraan (lewat pelayanan masyarakat,
contohnya): isu global termasuk kesadaran akan lingkungan, penyebab konflik, sangsi
dari tidak bertoleransi bahaya gerombolan orang banyak dan membuat etika dalam
bidang sains, teknologi dan ekonomi:
Mengenali bahwa dunia meningkatan pendekatan pedagogi yang bertergantungan yang
dapat mengembangkan sikap keterbukaan kearah semua budaya, training dalam
memecahkan konflik tanpa kekerasan pada semua budaya, dan ketrampilan menganalisa
secara kritis untuk membuat pilihan-pilihan
Aktivitas yang dapat membawa siswa untuk berhubungan dengan orang dari budaya lain
dan bagi yang mungkin kurang beruntung, untuk mengembangkan solidaritas pada
tingkat lokal maupun internasional dan
18

Mengetahui bahwa perdamaian dunia hanya akan datang bila banyak budaya belajar
hidup selaras dalam saling memahami dan menghormati yang didasari oleh gkaian nilai
kemanusiaan yang universal.
Tujuan utama dari organisasi “Internasional Baccalaurate ” (IBO) adalah menyediakan program
pendidikan internasional, kearah mana kriteria diatas dapat dikembangkan , hal ini semua ada
diseluruh proram IB namun bukanlah objek diskusi kali ini. Cukuplah dikatakan bahwa George
Walker, Direktur Umum IBO yang baru-baru ini diangkat, telah memecahkan pertanyaan rumit
mengenai nilai universal dalam sebuah tulisan yang tidak diterbitkan (Walker 1999) dan dalam
Jurnal Sekolah Internsional (April 2000). Walaupun mata pelajaran resmi tentang pemecahan
konflik tanpa kekerasan hanya sedikit (Atlantic College, Wales telah mengembangkan Sekolah
IB diploma berdasarkan silabus yang disebut ‘Pembelajaran tentang perdamaian dan konflik
beberapa tahun lalu), prinsip dasar akan timbul ketika siswa menghormati pandangan-pandangan
dari pihak lain, sebagai hasilnya mereka memodifikasi pandanagan mereka sendiri, dan berusaha
keras untuk mendapatkan konsensus atau berkompromi dimana tidak ada yang menah atau kalah.
Penyataan misi IBO menyebutkan komponen-komponen yang ada dalam pendidikan
internasional, seperti yang sudah dijabarkan UNESCO, hanya dalam bentuk yang berbeda.
Untuk kepentingan artikel ini, diasumsikan bahwa The Primary years Programme (PYP), The
Middle years Programme (MYP) dan The Diploma Programme (DP) dari IBO mewakili
program pendidikan internasional sejajar dengan definisi diatas, seperti ketidak sempurnaan
program-program diatas mungkin dalam memahami tujuan-tujuan yang dimaksud
Program IBO bukan satu-satunya program menuju gerbang pendidikan internasional walaupun
hal itu menjadi prinsip utama dan filosofi mereka.
Secara jelas program nasional, patut dihargai, dapat memasukkan komponen-komponen yang
ada dalam pendidikan internasional. Memang beberapa pemerintahan telah berusaha untuk
memasukkan dimensi internasional kedalam sistem sekolah negara bagian mereka seperti yang
dinyatakan dalam diskusi sekolah negeri bertaraf internasional. Program nasional bagaimanapun
dapat ditundukkan oleh paksaan politik Negara tersebut. Dan tekananpun muncul, sebagai
contoh, pengajaran sejarah harus sejajar dengan pemahaman pemerintah, dimana sebuah bahasa
dibebankan atau ditekankan pada alasan politik atau dimana kesusasteraan tidak dapat diajarkan
karena bertentangan dengan ideologi dari sebuah pemerintahan. Di beberapa negara pendekatan
pedagogi menekankan pada hafalan dengan sedikit atau bahkan tidak sama sekali diberikan
dorongan untuk bertanya dan berdiskusi tentang sudut pandang yang berbeda. Nyata benar,
bahwa siswa dapat dihukum bila mereka tidak menjawab test yang diberikan sesuai dengan
jawaban yang diharapkan.
Sulit untuk membayangkan bagaimana ketrampilan berpikir kritis- yang penting kaitannya
dengan keterbukaan pandangan dari pendidikan internasional- dapat diciptakan dalam keadaan
dan situasi seperti tersebut di atas.
Sekolah internasional versus Pendidikan internasional
19
Hayden dan Thompson telah menulis sebuah artikel yang sangat membantu dalam
menyimpulkan literatur yang memiliki kekhawatiran tentang pemahaman akan sekolah
internasional dan pendidikan internasional. Mereka menyimpulkan bahwa hubungan keduanya
diatas membingungkan (Hayden & Thompson, 1995 p342). Keadaannya akan menjadi semakin
jelas jika kita menerima bahwasanya tidaklah perlu ada hubungan antara pendidikan
internasional dan sekolah internasional, dan juga berhenti untuk membuat seolah-olah hubungan
tersebut ada.
Biarkanlah itu berlaku sebagaimana mestinya. Kita sudah terlalu lama, mencoba untuk membuat
satu definisi dari pendidikan internasional melalui sekolah internasional, dan ternyata hal
tersebut tidak membuahkan solusi. Kita, berasumsi bahwa sekolah internasional menawarkan
pendidikan internasional. Kebanyakan sekolah internasional ya, tapi tidak semua. Hubungan
tersebut sangat lemah.
Adalah lebih produktif dan realistis untuk melihat pendidikan internasional dan sekolah
internasional sebagai konsep yang tidak berhubungan dan memperlakukan keduanya secara
terpisah. Haydern (2000 p 53) mengatakan bahwa di kemudian hari, lebih baik kita
mendedikasikan energi kita ‘ tidak untuk mengembangkan network (hubungan kerja) antara
sekolah internasional, tetapi lebih kepada mengembangkan hubungan kerja antara sekolahsekolah…….yang bertujuan untuk mempromosikan pendidikan internasional.
Robert Belle-Isle (1986 p30) mengatakan: ‘Sebuah sekolah tidak dapat mengklaim sebagai
sebuah institusi internasional hanya karena 70% atau 80% dari kliennya berasal dari berbagai
warganegara, ras dan budaya. Jika sekolah dapat menerima kehadiran berbagai warganegara
diatas sebagai standar yang memadai untuk label tersebut, dan kebanyakan sekolah
melakukannya, maka sekolah itu dapat dianggap sekolah internasional.
Ketidaksetujuan Robert Belle-Isle didasarkan pada ekspektasinya (yang sangat beralasan) bahwa
pembentukan institusi yang disebut ‘ sekolah internasional’ akan mengacu secara kuat pada
prinsip-prinsip dari pendidikan internasional. Merupakan satu realita dimana penggunaan kata
‘internasioanl’ didalam nama sekolah adalah untuk satu atau beberapa alasan di bawah ini,
khususnya alasan yang pertama:
1. merefleksikan populasi sekolah dengan kearagaman bangsa dan Negara;
2. mengindikasikan bahwa institusi tersebut beroperasi di luar negeri dikhususkan untuk
bangsa-bangsa dari Negara asal yang programnya diajarkan di sekolah itu.
3. karena sekolah tersebut berbagi prinsip-prinsip secara ideologi dan pedagogi dari
pendidikan internasional dan hal tersebut diperlihatkan;
4. karena istilah ‘internasional’ sangat menarik perhatian dan memberikan pemasaran yang
lebih baik dalam menjaring siswa.
Matthew (1988 p83-84) membedakan antara sekolah yang ‘berlandaskan ideologi’ dengan
sekolah yang ‘berlandaskan pemasaran’. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat kriteria diatas.
Sebuah sekolah dapat memiliki karakteristik keduanya. The United World Colleges jelas adalah
sebuah grup dari sekolah-sekolah yang ‘berlandaskan ideologi’, tidak menggunakan istilah
20
‘internasional’ didalam nama mereka tetapi mereka memberikan pendidikan internasional dan
memiliki latar budaya yang beragam, baik dilihat dari siswa maupun gurunya.
Segera setelah kita melepaskan hubungan antara pendidikan internasional dengan sekolah
internasional, maka definisi dari sekolah internasional tidak akan menjadi masalah besar, dan
sebenarnya tidak terlalu berarti (lihat Murphy, E, April 2000).
Hayden dan Thompson membuat pernyataan berikut (1995 p338): ‘Apakah kita memilih atau
tidak memilih untuk mendefinisikan sekolah-sekolah tertentu sebagai sekolah-sekolah
internasional, mungkin menjadi kurang penting bila dibandingkan dengan pendidikan itu sendiri
yang dialami siswa di sekolah-sekolah tersebut.
21
http://indosdm.com/sekolah-berstandar-internasional-vs-sekolah-jepang
Sekolah berstandar Internasional Vs Sekolah Jepang
Selama seminggu saya harus mendampingi rombongan kepsek
dari Jateng berkunjung ke sekolah-sekolah di Jepang sebaga translator. Kedatangan kepsek yang
sebagian besar adalah kepsek Rintisan SMA/SMP bertaraf internasional bertujuan untuk
menjajagi kerjasama dengan sekolah-sekolah di Jepang dalam bentuk sister school.
Saya pribadi berpendapat bahwa sister school bukan milik RSBI atau SBI semata, tetapi sekolah
dengan embel-embel nama apapun bebas untuk melakukannya. Saya mendapat kesan bahwa
Kepsek yang datang memang agak terbebani dengan keharusan untuk membentuk sister school
tersebut sebagai salah satu syarat RSBI.
Salah satu konsep RSBI yaitu mengacu kepada standar negara-negara OECD, termasuk Jepang
dianggap oleh sebagian pemikir Jepang sebagai konsep yang tidak jelas. Apalagi dengan
keinginan untuk mendapatkan akreditasi dari badan khusus di Jepang tentang status
keinternasioanalan RSBI tersebut mendapat tanggapan yang sangat kritis karena tidak ada Badan
Akreditasi Sekolah di Jepang atau lembaga akreditasi-akrediatasian di level pendidikan dasar dan
menengah, sebagaimana yg dikehendaki oleh pengelola RSBI. Pun tidak ada kurikulum
universitas semacam Cambridge yang bisa diadopsi dan dibeli hak patennya lalu lulusan RSBI
diakui setara dengan lulusan-lulusan sekolah yang menerapkan sistem Cambridge.
Jepang sama sekali tidak mengenal istilah sekolah internasional maupun nasional. Menurut
pandangan pakar pendidikan di sini, pendidikan bukanlah barang elit yang harus diberikan hanya
kepada sebagian anak yang pandai saja. Tetapi pendidikan adalah sebuah hak yang harus
diterima oleh semua anak dengan kualitas yang sama. Memang mereka mengakui bahwa anak
yang pandai peru difasilitasi secara lebih baik, tapi bukan dengan mendirikan sekolah berstandar
internasional mengikuti standar negara lain.
Seorang prof Jepang menceritakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini sama dengan
kondisi Jepang di tahun 60an-70an, saat itu APK SD dan SMP di Jepang telah mencapai 9597%, sementara APK SMA masih 50%. Yang dilakukan pemerintah Jepang bukanlah
mendirikan sekolah unggul tetapi membangun sekolah-sekolah dengan fasilitas yang sama yang
22
bisa mendidik anak-anak tanpa ada perbedaan. Yang karenanya dapat disaksikan fasilitas sekolah
Jepang hampir sama dengan kualitas yang memadai proses pembelajaran.
Professor tersebut kemudian menanyakan mengapa Indonesia tidak mencoba untuk
mempersiapkan pendidikan untuk semua warganya dengan kualitas yang sama seperti halnya
Jepang ? Seandainya dana negara sedikit, dana itu harus dinikmati bersama oleh rakyat.
Barangkali itu akan lebih baik bagi rakyat Indonesia, daripada membuat sekolah internasional.
Saya pribadi yang meneliti RSBI ini dari aspek latar belakang hukum dan penerapannya di
lapang, sungguh sepakat dengan ide beliau. Dana yang disalurkan pemerintah untuk proyek ini
sungguh besar semoga tidak menjadi sia-sia karena ketidakmatangan konsep yang kita punyai.
Saya merasa agak sedih bahwa pada kenyataannya konsep RSBI hanya menjadi pembicaraan
yang hanya dipahami oleh pembuat kebijakannya dan kepala sekolah di level pelaksana tidak
memahami latar belakang pemikiran dan apa makna kata pendidikan berstandar bagi warga
negara selain yang tertera di lembaran UU. Sedih sekali bahwa kepala sekolah ternyata belum
diberi otonomi luas selain hanya menjadi pengikut kebijakan pusat.
Kunjungan ke sekolah-sekolah Jepang yang dilakukan oleh para kepsek mudah-mudahan
menyadarkan kita bahwa sebuah sekolah yang menghasilkan lulusan yang baik di Jepang, ruang
kelasnya masih berpapantuliskan papan tulis kayu,dengan alat tulis kapur, dan tidak dilengkapi
dengan OHP. Bahwa setiap siswa belum mengakses internet secara bebas di sekolah, dan setiap
siswa tidak dapat membawa laptop sendiri-sendiri ke sekolah dan bebas mengakses internet. Di
seantero Jepang belum ada sekolah semacam ini, sebagaimana yang menjadi kriteria RSBI.
Tetapi tidak berarti bahwa pendidikan anak-anak Jepang tidak menginternasional, dan teknologi
serta kecanggihan IT tidak mereka pahami dengan baik. Dengan bangganya kita memamerkan
bahwa RSBI di Indonesia sudah memiliki ruang lab canggih, lab bahasa, pelajaran berbahasa
pengantar berbahasa Inggris, sementara guru-guru di Jepang dan pemikir di Jepang
mengernyitkan dahi, seperti apa gerangan pendidikan ala internasional itu ? Sebab fasilitas
sekolah di Jepang diadakan karena memang itu dibutuhkan, dan mereka beranggapan bahwa
fasilitas internet yang bebas akses tidak dibutuhkan di sekolah, maka tidak diadakan.
Saya menangkap kesan guru-guru di Jepang dan pemikir pendidikannya yang mendengarkan
uraian RSBI agak sulit memahami kelogisannya.
Para pemegang kebijakan di Indonesia barangkali dapat berpikir ulang tentang konsep RSBI
ini.Saya yakin bukan pendidikan mercu suar dan bukan pendidikan untuk orang berkantong tebal
yang kita usung lewat program RSBI (semoga keyakinan saya benar)
Perenungan mendalam dan rasa keberpihakan kepada anak-anak yang dididik harus kita lakukan.
Bahwa pendidikan itu adalah untuk anak-anak, agar mereka menjadi manusia dewasa dan
berakhlak di lingkungannya, bukan pendidikan agar negara diakui oleh negara lain sebagai
negara maju, atau agar diakui sebagai anggota OECD. Juga bukan barang jualan yang harus
dijual mahal kepada rakyat. Pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi pemerintah yang
didukung sepenuhnya oleh masyarakat.
23
Tulisan asli artikel ini dan artikel menarik lainnya pada tulisan ini, dapat pula diakses melalui
link ini : RSBI vs sekolah Jepang
Kontributor:
Murni Ramli. Lulusan Institut Pertanian Bogor ini pernah berprofesi sebagai tenaga pendidik di
dua sekolah berasrama (boarding school) di Bogor. Dalam kesibukannya saat ini sebagai
Kandidat Doctor (PhD) di bidang Manajemen Sekolah di Graduate School of Education and
Human Development, Nagoya University, Japan, Beliau sangat aktif menulis tentang informasi
dan pandangannya seputar manajemen & dunia pendidikan serta berbagai informasi menarik
tentang negeri, budaya dan pandangan orang-orang Jepang. Pemilik blog “Berguru” ini juga
sangat menyenangi dunia Penelitian dan Pengembangan serta mempelajari berbagai bahasa
sehingga bisa menguasainya dengan cukup baik, di antaranya: Bahasa Inggris, Jepang, Arab,
Jawa, Bugis dan sedikit Bahasa Sunda
http://www.data.org.uk/generaldocs/journals/Journal12.2.pdf
24
Download