TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM BIDANG KEPERDATAAN KARENA PENCEMARAN NAMA BAIK DAN KEHORMATAN ( STUDI KASUS: ANALISIS PUTUSAN NO. 134/Pdt. G/2010/PN.Jkt.Ut ) Rizky Adhyaksa Prabowo, Rosa Agustina dan Abdul Salam Program Kekhususan Hukum tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat, Fakultas Hukum, Depok, 16424 Abstrak Skripsi ini membahas mengenai perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan karena pencemaran nama baik. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif normative legal research dengan studi kepustakaan. Metode penelitian tersebut digunakan untuk menjawab permasalahan: pertama, teori dan pengaturan perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan serta teori dan pengaturan tentang pencemaran nama baik. Perbuatan melawan hukum diatur di dalam Pasal 1365 sampai 1380 KUH Perdata, sedangkan pencemaran nama baik diatur di dalam Pasal 1372 sampai 1380 KUH Perdata dan Pasal 27 ayat 3 UU ITE jo Pasal 310 sampai 320 KUH Pidana. Kedua, perlu atau tidaknya putusan pidana untuk mengajukan gugatan perdata karena pencemaran nama baik. Tidak adanya pengaturan mengenai kewajiban tersebut menimbulkan perbedaan pendapat di putusan Hakim. Ketiga, analisis terhadap pertimbangan hakim di dalam Putusan No. 134/Pdt. G/2010/PN.Jkt.Ut. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa: i Definisi “penghinaan” dalam bidang Hukum Perdata perlu dibuat, sehingga tidak menimbulkan ambiguitas dengan menggunakan terminologi Hukum Pidana; ii Pengaturan mengenai tidak perlunya putusan pidana dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik perlu diatur sehingga menimbulkan kepastian hukum dan tidak terjadi perbedaan pendapat diantara hakim; iii Penggugat seharusnya meminta kepada hakim untuk rehabilitasi nama baik dan kehormatan dengan cara penempelan putusan di muka umum dan agar Tergugat membuat pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah fitnah. Abstract This thesis discusses the unlawful act in the field of civil cases for defamation. This research is a juridical-normative legal normative research with a literature study. The research methods used to answer the problems: first, the theory of unlawful act and its regulation as Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 well as the theory and the regularion of defamation. Unlawful act is regulated in Article 1365 until 1380 Civil Code, while defamation is regulated in Article 1372 to the 1380 Civil Code and Article 27 paragraph 3 ITE Law in conjunction with Article 310 to 320 of Penal Code. Second, is criminal verdict necessary or not to file a civil lawsuit for defamation. This lack of regulation caused diifferent opinion in the Judge's decision. Third, analysis of the judges' considerations in the Verdict No. 134/Pdt. G/2010/PN.Jkt.Ut. The result of this study suggest that: i Definition of "defamation" in the field of civil law needs to be made, because to avoid ambiguity by using the terminology of the Penal Code, ii There is need the regulation that criminal verdict is not necessary to file a civil lawsuit for defamation, in order to certainty of law and no different of opinion among the judges; iii Plaintiff's should request for rehabilitation of the reputation and honor by way of settlement decisions in public and that defendant made a statement that his act of doing is defamation. Keywords: act ; civil law ; defamation ; reputation ; unlawful Pendahuluan Di Indonesia pembagian bidang-bidang hukum dibagi menjadi 2, yaitu Hukum Material dan Hukum Formal. Hukum Material dibagi menjadi Hukum Publik dan Hukum Privat. Pembahasan di dalam skripsi ini berkaitan dengan hukum privat yaitu hukum dalam bidangnya yang mengutamakan pengaturan kehidupan/kepentingan pribadi dan antarpribadi warga secara langsung dan secara tidak langsung juga mengatur kehidupan kepentingan umum yang merupakan himpunan dari kepentingan pribadi dan antarpribadi itu.1 Hukum privat dikenal juga sebagai hukum perdata. Di dalam skripsi ini akan dibahas mengenai perbuatan melawan hukum karena pencemaran nama baik dalam lingkup hukum perdata. Istilah "perbuatan melawan hukum" yang akan dibahas dalam bahasa Belanda disebut dengan "onrechtmatige daad" atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah "tort".2 Perbuatan melawan hukum yang dimaksudkan di dalam skripsi yang akan ditulis ini adalah perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan. Hal ini dikarenakan untuk perbuatan melawan hukum dalam bidang pidana memiliki pengertian dan pengaturan hukum yang juga berbeda. Demikian juga dengan perbuatan melawan hukum oleh penguasa negara atau yang 1 A. Ridwan Halim, Pengantar Hukum Indonesia Dalam Tanya Jawab(Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 5-­‐6. Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 2. 2 Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 disebut dengan "onrechtmatige overheidsdaad" juga memiliki arti, konotasi dan pengaturan hukum yang juga berbeda.3 Pengaturan mengenai perbuatan melawan hukum dibidang keperdataan diatur di dalam pasal 1365 sampai pasal 1380 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Namun, pengaturan mengenai perbuatan melawan hukum karena pencemaran nama baik serta ganti rugi dan rehabilitasi diatur di dalam pasal 1372 sampai pasal 1380 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Yang dimaksud dengan penghinaan dalam pasal 1372 KUH Perdata dan seterusnya adalah kejahatan yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUH Pidana) diancam dengan pidana. Pasal 1372 KUH Perdata hanya menyebutkan ”tuntutan perdata” tentang hal penghinaan, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut tentang istilah ”penghinaan”. Pada waktu menentukan Pasal 1372 KUH Perdata dan seterusnya pada tahun 1833 perhatian memang ditujukan pada kejahatan-kejahatan yang oleh Code Penal dirangkum sebagai penghinaan.4 Sudah merupakan yurisprudensi tetap bahwa yang dimaksud dengan perkataan penghinaan dalam Pasal 1372 KUH Perdata dan seterusnya adalah perbuatan-perbuatan yang dalam Bab XVI Buku II KUH Pidana diancam dengan pidana. Didalamnya termasuk berbagai bentuk penghinaan; menista, menista dengan tulisan, fitnah, penghinaan ringan dan pengaduan yang bersifat memfitnah.5 Penulis di dalam penelitian ini ingin membahas teori-teori perbuatan melawan hukum dan pencemaran nama baik. Kemudian penulis juga ingin menganalisis teori-teori perbuatan melawan melawan hukum dan pencemaran nama baik dengan putusan perdata nomor 134/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Ut. Berdasarkan putusan tersebut, penulis ingin menganalisis pertimbangan dan putusan hakim terhadap gugatan perdata yang diajukan mengenai perbuatan melawan hukum karena pencemaran nama baik. Hal ini dikarenakan hakim di dalam pertimbangannya mengabulkan gugatan penggugat meskipun penggugat tidak menjelaskan unsur-unsur perbuatan melawan hukum di dalam gugatannya. Penggugat menggugat perbuatan melawan hukum karena pencemaran nama baik dengan berdasarkan putusan pidana. Kemudian timbul masalah lain, yaitu apakah dalam gugatan pencemaran nama baik harus didasarkan pada putusan pidana atau tidak? Hal ini dikarenakan terdapat pengaturan mengenai pencemaran nama baik dalam sistem hukum pidana Indonesia, yaitu di 3 Ibid., hal. 1. Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum (Bandung: Binacipta, 1991), hal. 49. 5 Ibid., hal. 49. 4 Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 dalam KUH Pidana, UU No. 11 Tahun 2008, UU No. 40 Tahun 1999. Sedangkan definisi mengenai pencemaran nama baik tidak terdapat di dalam KUH Perdata, sehingga para ahli biasanya menggunakan terminologi dari KUH Pidana seperti halnya pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 berdasarkan Putusan No. 2/PUU-VII/2009 Judicial Review Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengatakan " Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE tidak memberikan pengertian pencemaran nama baik, sehingga pengertian dan unsur-unsur pencemaran nama baik diambil dari pasal-pasal terkait dalam KUHP". Pembahasan Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut :6 1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat 2. Perbuatan itu harus melawan hukum 3. Ada kerugian 4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian 5. Ada kesalahan Kelima unsur tersebut harus terpenuhi agar suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan melawan hum. Apabila ada satu unsur yang tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan perbuatan melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas- luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:7 a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku berarti melanggar segala peraturan tertulis sebagaimana yang dimaksud dalam pengertian perbuatan melawan hukum secara sempit. Dengan kata lain bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sama dengan perbuatan melawan undang-undang. b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau 6 7 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 50. Munir Fuady, Op. Cit., hal.11 Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 Melanggar hak subyektif orang lain, berarti melanggar wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Yurisprudensi memberi arti hak subyektif sebagai berikut: 1. Hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik; 2. Hak atas harta kekayaan, hak kebendaan dan hak mutlak lainnya.8 c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban yang berdasarkan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis maupun tidak tertulis (termasuk dalam perbuatan ini adalah perbuatan pidana pencurian, penggelapan, penipuan dan pengrusakan).9 d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden), atau Perbuatan yang bertentangan dengan kesusialaan berarti bertentangan dengan norma-norma moral, sepanjang dalam kehidupan masyarakat diakui sebagai norma hukum. Utrecht menulis bahwa yang dimaksudkannya dengan kesusilaan ialah semua norma yang ada di dalam kemasyarakatan, yang merupakan hukum, kebiasaan atau agama.10 e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen zorgvuldigheid, welke in het maatschap-pelijk verkeer betaamt ten aanzien van anders persoon of goed). Suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum apabila salah satu kriteria terpenuhi maka dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Menurut Oemar Senoadji, pengertian penghinaan dapat diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik "aanranding of goede naam" yang dimana dapat menimbulkan klasifikasi legislatif antara pencemaran tertulis (smaadschriff) yang merupakan penghinaan secara tertulis dengan menuduhkan sesuatu hal dan/atau penghinaan ringan yang merupakan penghinaan yang tidak mengandung pencemaran (tertulis) yang dilakukan terhadap seseorang.11 8 Djuhaendah Hasan, Istilah dan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum dalam Laporan Akhir Kompendium Bidang Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1996/1997), hal.24. 9 Rosa Agustina, Op. Cit., hal. 54 10 Ibid., hal.54 11 Oemar Senoadji, Perkembangan Delik Pers di Indonesia: Profesi Wartawan, (Jakarta: Erlangga, 1991), hal. 37 Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 Berdasarkan Judicial Review Mahkamah Konstitusi Indonesia Putusan No. 2/ PUUVII/ 2009, pencemaran nama baik adalah menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Pengertian ini merupakan pengertian umum (delik genus) delik pencemaran nama baik. Sedangkan sifat khusus atau bentuk-bentuk (delik species) pencemaran nama baik antara lain; pencemaran/penistaan (Pasal 310 ayat 1); pencemaran/penistaan tertulis (Pasal 310 ayat 2); fitnah (Pasal 311); penghinaan ringan (Pasal 315); pengaduan fitnah (Pasal 317); persangkaan palsu (Pasal 318); dan penistaan terhadap orang yang meninggal (Pasal 320).12 Kehormatan adalah perasaan terhormat seseorang di mata masyarakat atau publik.Setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan sebagai anggota masyrakat yang terhormat. Menyerang kehormatan berarti melakukan perbuatan menurut penilaian secara umum menyerang kehormatan seseorang. Rasa hormat dan perbuatan yang termasuk kategori menyerang kehormatan seseorang ditentukan menurut lingkungan masyarakat dimana perbuatan tersebut dilakukan.13 Nama baik adalah penilaian baik menurut anggapan umum tentang tindak-tinduk (perilaku atau kepribadian) seseorang diri sudut moralnya. Nama baik seseorang selalu dilihat dari sudut orang lain, yakni moral atau kepribadian yang baik, sehingga ukurannya ditentukan berdasarkan penilaian secara umum dalam suatu masyarakat tertentu di tempat mana perbuatan tersebut dilakukan dan konteks perbuatannya.14 Dari definisi-definisi yang telah disebutkan diatas kemudian timbul pertanyaan mengenai bagaimana definisi pencemaran nama baik menurut KUH Perdata? Pasal 1372 KUH Perdata mengatur tentang tuntutan keperdataan karena penghinaan tanpa memberikan uraian tentang apakah yang dimaksud dengan "penghinaan" (belediging) itu. Maka telah menjadi yurisprudensi tetap bahwa dengan belediging dalam Pasal 1372 s/d 1380 KUH Perdata dimaksudkan perbuatan-perbuatan yang sama sebagaimana yang dalam Bab XVI dari Buku ke- II KUHP diancam hukuman.15 Salah satu pencemaran nama baik dalam kasus perdata adalah sebagai berikut: Sidang perkara perdata antara Riau Andalan Pulp Paper (RAPP) melawan Koran Tempo. Pada salah satu bagian berkas dupliknya, Tempo yang diwakili kuasa hukumnya dari LBH Pers menyatakan bahwa gugatan yang diajukan RAPP kabur (obscuur libel) alias tidak jelas. Ketidakjelasan surat gugatan adalah karena penggugat menggunakan dua pasal dari KUH Perdata, yaitu Pasal 1365 dan 1372 secara sekaligus sebagai dasar hukum gugatannya. 12 Putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia Nomor 2/PUU-­‐VII/2009 Rosa Agustina, Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan, (Jakarta: LEIP, 2004), hal. 17 14 Ibid., hal. 17 15 Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta Pusat : Pradnya Paramita, 1979),hal. 164 13 Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 Gugatan penggugat tidak jelas atau kabur karena mencampuradukan Pasal 1365 dan Pasal 1372 KUH Perdata. Di luar persidangan, Darwin Aritonang, kuasa hukum Tempo yang lain menyitir pendapat Asser Rutten yang menegaskan bahwa kedua dasar hukum tersebut tidak dapat digunakan secara kumulatif di dalam satu gugatan. Menurut Rutten, kata Darwin, tuntutan perdata berdasarkan fitnah tidak dapat diajukan gugatan berdasarkan Pasal 1365, melainkan memakai Pasal 1372 KUH Perdata. Dengan kata lain, tindak penghinaan berdasarkan Pasal 1372 KUH Perdata adalah aturan khusus atau lex specialis dari Pasal 1365 KUH Perdata, Darwin berujar. Bahkan di dalam berkas dupliknya, kuasa hukum Tempo juga mencuplik putusan PN Jakarta Pusat bernomor 502/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST tertanggal 11 Agustus 2004 yang 'mengharamkan' Pasal 1365 dan 1372 KUH Perdata bersanding bersama di dalam gugatan. Putusan itu pun sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Namun menurut Prof. Rosa Agustina, pakar Hukum Perdata Universitas Indonesia, kalangan akademisi maupun praktisi hukum memang terbelah dalam memandang masalah penggabungan kedua pasal itu dalam sebuah gugatan. Meski begitu, Prof. Rosa berpendapat bahwa Pasal 1365 adalah genus dari Pasal 1372. Jika Pasal 1365 hanya menguraikan perbuatan melawan hukumnya secara umum. Sementara Pasal 1372 lebih khusus mengenai penghinaannya. Sehingga menurutnya tidak ada masalah ketika dua pasal itu dijadikan dasar hukum dalam satu gugatan. Kemudian menurut kuasa hukum Tempo yang lain, gugatan berdasarkan Pasal 1372 baru bisa diajukan setelah ada putusan pidana.16 Namun, Menurut Prof. Rosa Agustina dalam keterangannya di portal http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18172/belum-jelas-landasan-hukumnya, ketiadaan putusan pidana yang menyatakan telah terjadi penghinaan tidak menjadi halangan untuk menggugat secara perdata. Hal ini dikarenakan penghinaan adalah terminologi pidana. Namun bukan berarti harus menunggu putusan pidana terlebih dulu. Ketiadaan putusan pidana bisa diantisipasi dengan keberadaan Pasal 1365. Unsur-unsur penghinaan dalam Pasal 1372 bisa dilengkapi dengan unsur yang terdapat dalam Pasal 1365. Salah satu unsur Pasal 1365 adalah perbuatan yang melawan hukum. Sedangkan salah satu bentuk perbuatan yang melawan hukum adalah melanggar hak subyektif orang lain. Dengan demikian penghinaan dapat dikatakan melanggar hak subyektif orang lain. Begitu pula dalam putusan No. 307/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Sel antara Tony Winata melawan Koran Tempo. Dalam putusannya majelis hakim berpendapat bahwa gugatan perdata yang didasarkan pada pasal 1372 KUH Perdata adalah merupakan tuntutan perdata 16 Disadur dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18172/belum-­‐jelas-­‐landasan-­‐hukumnya, pada tanggal 24 Juni 2013. Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 yang menyangkut hal penghinaan, akan tetapi dalam pasal tersebut tidak dijelaskan pengertian penghinaan atau tindakan apa saja yang dikategorikan sebagai penghinaan sehingga banyak pendapat ahli hukum maupun doktrin yang memberikan arti penghinaan dalam pasal 1372 KUH Perdata sama dengan arti penghinaan yang dimaksud dalam hukum pidana termasuk pencemaran nama baik.17 Majelis juga berpendapat bahwa oleh karena kehormatan seseorang, nama baik, rasa malu dan harga diri adalah merupakan hak subyektif seseorang maka harus ada sikap hatihati dalam pergaulan hidup sesama warga untuk menghormati hak subyektif tersebut. Pelanggaran terhadap hak subyektif atau pelanggaran terhadap sikap hati-hati yang harus dimiliki setiap orang merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Walaupun pengertian penghinaan dalam pasal 1372 KUH Perdata mempunyai arti yang sama dengan penghinaan menurut hukum pidana, akan tetapi tidak ada ketentuan hukum baik formil maupun materiil yang menentukan dan memerintahkan bahwa untuk mengajukan gugatan perdata berdasarkan pasal 1372 KUH Perdata harus dibuktikan dengan adanya putusan pidana yang telah 18 mempunyai kekuatan hukum tetap mengenai penghinaan. Bahkan jika melihat ketentuan Pasal 1380 KUH Perdata, yang berbunyi: “Tuntutan dalam perkara penghinaan gugur dengan lewatnya waktu satu tahun, terhitung mulai hari dilakukannya perbuatan dan diketahuinya perbuatan itu oleh si penggugat.” Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat dikatakan bahwa jangka waktu seseorang untuk melakukan gugatan penghinaan adalah 1 tahun sejak penghinaan tersebut dilakukan dan penghinaan tersebut diketahui oleh orang yang dihina. Jika si Terhina harus menunggu putusan pidana yang menyatakan si Penghina bersalah, tentunya akan memerlukan waktu yang tidak sebentar dan bisa lewat 1 tahun sebagaimana yang diatur dalam pasal 1380 KUH Perdata. Maka sudah menjadi konsekuensi logis jika dalam mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum karena pencemeran nama baik tidak harus ada putusan pidana. Kemudian pada dasarnya isi pengaturan dari hukum pidana dan hukum perdata memiliki perbedaan. Dari segi isinya, hukum perdata mengatur mengenai hubungan hukum antar orang yang satu dengan yang lainnya dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Sedangkan hukum pidana mengatur mengenai hubungan hukum antara seorang anggota masyarakat (warga negara) dengan negara yang menguasai tata tertib masyarakat.19 17 Rosa Agustina, Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan, hal. 41 Ibid., hal. 42 19 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 46 18 Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 Di dalam hukum pidana, penghinaan atau pencemaran nama baik, secara khusus diatur di dalam Bab XVI Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang terdiri atas 12 pasal, yakni Pasal 310 sampai Pasal 321. Tindak kejahatan "menghina'', menurut R. Soesilo adalah tindakan menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Akibatnya yang diserang merasa malu. Sementara itu Tindak pidana atau perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilakukan oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum yang dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan,sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungannya yang erat, oleh karena itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungannya yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.20 Selain itu, pencemaran nama baik juga diatur di dalam Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008. Namun, Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE tidak memberikan pengertian pencemaran nama baik, sehingga pengertian dan unsur-unsur pencemaran nama baik diambil dari Pasal pasal terkait dalam KUHP. Hal demikian merupakan konsekuensi logis dari dijadikannya KUHP sebagai sistem pemidanaan atau dasar bagi penyusunan perundang-undangan di luar KUHP, termasuk UU ITE. Di dalam KUHP delik pencemaran nama baik secara eksplisit diatur mulai Pasal 310 sampai dengan Pasal 321. Terkait dengan hal ini, pertanyaan pokok yang perlu diajukan adalah apa makna pencemaran nama baik? Secara singkat dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik adalah menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Pengertian ini merupakan pengertian umum (delik genus) delik pencemaran nama baik. Sedangkan sifat khusus atau bentuk-bentuk (delik species) pencemaran nama baik antara lain; pencemaran/penistaan (Pasal 310 ayat 1); pencemaran/penistaan tertulis (Pasal 310 ayat 2); fitnah (Pasal 311); penghinaan ringan (Pasal 315); pengaduan fitnah (Pasal 317); persangkaan palsu (Pasal 318); dan penistaan terhadap orang yang meninggal (Pasal 320).21 20 Djoko Prakoso, Hukum Penitentiere di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal 95. Mahrus Ali, Pencemaran Nama Baik Melalui Sarana Informasi dan Transaksi Elektronik (Kajian Putusan MK No. 2/PUU-­‐VII/2009), (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010), hal. 133 21 Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 Di dalam Pasal 27 (3) UU ITE pengertian penghinaan dan pencemaran nama baik tidak dijelaskan, namun demikian dapat disimpulkan secara logik (sistematik) bahwa yang dimaksud pencemaran nama baik adalah yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP yang dihubungkan dengan Pasal 310 ayat (2) dan Pasal 315 KUHP. Secara eksplisit rumusan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE berbunyi sebagai berikut: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ataupencemaran nama baik dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 miliar".22 Berdasarkan rumusan Pasal ini pengertian pencemaran atau penghinaan merujuk pada pengertian yang sama dalam KUHP. Hal ini karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP baik berupa aturan umum Buku I maupun aturan khusus Buku II dan III pada hakikatnya merupakan satu kesaturan sistem pemidanaan, sehingga menjadi pedoman bagi peraturan perundang-undangan pidana di luar KUHP. Untuk menjerat pelaku dengan Pasal 27 ayat (3) di atas, terdapat dua hal yang perlu diperhatikan aparat penegak hukum agar eksistensi Pasal tersebut tidak dijadikan sebagai alat politik untuk memberangus kreativitas dunia Pers. Pertama, terbuktinya unsur subyektif dan unsur objektif tentang Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik bersifat komulatif. Artinya, aparat penegak hukum tidak serta merta menyatakan pelaku bersalah melanggar Pasal 27 ayat (3) bila unsur subyektif terbukti, tapi masih harus membuktikan apakah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik memang melanggar nilai-nilai di masyarakat atau tidak.23 Menurut hukum perdata, orang yang dihina dapat menuntut:24 1) Ganti rugi atas kerugian materiil. 2) Ganti rugi dalam bentuk uang terhadap kerugiaan idiil. 3) Pernyataan, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah fintah atau penghinaan. 4) Menempelkan putusan Hakim ditempat umum, dengan biaya dari pelaku. Mengenai "pemulihan" atau rehabilitasi terdapat 2 pendapat yaitu :25 22 Ibid., hal. 134 Ibid., hal. 135 24 Moegni Djojodirdjo, Op. Cit., hal. 168-­‐169 25 Ibid., hal. 172 23 Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 1. Pendapat yang antara lain dianut oleh Land menyatakan bahwa pemulihan tersebut merupakan penggantian sejumlah uang untuk kerugian moral dan untuk pencemaran kehormatan. Menurut pendapat ini maka orang yang dihina mempunyai 3 macam tuntutan: a) Tuntutan untuk penggantian kerugian berupa sejumlah uang. b) Tuntutan untuk pemulihan kehormatan dan nama baik berupa penggantian sejumlah uang c) Tuntutan untuk memperoleh keterangan dan penempelan di tempat umum sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 1373 KUH Perdata. 2. Pendapat yang dianut antara lain oleh Diephuis yang menyatakan bahwa dengan istilah "pemulihan" dimaksudkan bahwa pernyataan dari perbuatan tersebut adalah menista atau memfitnah. Menurut pendapat Diephuis dan De Savornin Lohman, orang yang dihina berdasarkan pasal 1372 ayat 1 KUH Perdata mempunyai dua tuntutan yaitu penggantian berupa sejumlah uang dan tuntutan untuk pemulihan sebagaimana yang diatur dalam pasal 1373 KUH Perdata. Penggugat pada dasarnya menggugat Tergugat I dan Tergugat II dengan mendasarkan kepada Pasal 1365 KUH PERDATA yaitu mengenai Perbuatan Melawan Hukum. Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3191/K/Pdt/1984 tanggal 08 Feburari 1986, Menurut hakim, suatu perbuatan dapat dikatakan merupakan Perbuatan Melawan Hukum jika telah memenuhi 4 kriteria, yaitu : 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku 2. Melanggar hak subyektif orang lain 3. Melanggar kaedah tata susila 4. Bertentangan dengan azas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan masyarakat. Keempat kriteria tersebut tidak harus dipenuhi secara serentak, tetapi salah satu saja telah terbukti ada dalam suatu perbuatan maka dianggap telah ada suatu Perbuatan Melawan Hukum. Kemudian Perbuatan Melawan Hukum juga mengandung unsur-unsur yang mana keempat kriteria harus dipenuhi secara serentak yaitu : 1. Adanya perbuatan melawan hukum 2. Adanya suatu kerugian 3. Adanya suatu kesalahan Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian Berdasarkan teori yang telah penulis paparkan sebelumnya, yang dimaksud melanggar hak orang lain ialah melanggar hak subyektif orang lain. Menurut Meiyers, hak subyektif menunjuk kepada suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang secara khusus untuk melindungi kepentingannya. Hak-hak subyektif yang penting berkenaan dengan perbuatan melawan hukum yang diakui oleh yurisprudensi ialah hak-hak pribadi seperti hak atas kebebasan, nama baik dan kehormatan, dan hak-hak harta kekayaan.26 Adakalanya pelanggaran hak subyektif selain terjadi karena perbuatan melawan hukum, dapat juga disebabkan oleh peristiwa-peristiwa lainnya, misalnya karena perbuatan pihak ketiga. Dalam hal ini adalah tidak tepat untuk menerapkan ukuran dari sifat melawan hukum pelanggaran hak subyektif. Pelanggaran tersebut dimasukkan sebagai kriteria perbuatan melawan hukum, karena pelanggaran tersebut pada umumnya sudah dengan sendirinya merupakan perbuatan melawan hukum. Seseorang yang merusak barang orang lain atau melukainya dianggap ipso facto telah melakukan perbuatan melawan hukum.27 Berdasarkan teori tersebut, menurut penulis hak subyektif menunjuk kepada suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang secara khusus untuk melindungi kepentingannya. Hak-hak subyektif yang penting berkenaan dengan perbuatan melawan hukum yang diakui oleh yurisprudensi ialah hak-hak pribadi seperti hak atas kebebasan, nama baik dan kehormatan, dan hak-hak harta kekayaan. Dalam pertimbangan ini, pada dasarnya pelanggaran terhadap kehormatan dan nama baik merupakan pelanggaran dari hak subyektif seseorang. Meskipun tanpa putusan pidana, jika dalam pembuktiannya dapat dibuktikan telah terjadi pelanggaran terhadap kehormatan dan nama baik seseorang, kriteria "melanggar hak subyektif" orang lain sudah dapat terpenuhi. Meskipun demikian, dengan adanya putusan pidana akan semakin menguatkan bahwa telah terjadi pelanggaran hak subyektif yang dilakukan oleh para Tergugat. Dengan demikian dalam hal ini menurut penulis pertimbangan hakim sudah tepat karena putusan pidana tersebut membuktikan adanya pelanggaran hak subyektif seseorang. Dengan terpenuhi salah satu kriteria, yakni "melanggar hak subyektif" seseorang maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Meskipun tanpa harus menjabarkan unsur-unsur dari Perbuatan Melawan Hukum itu sendiri. Kemudian menurut Hakim, terhadap kerugian materiil harus ada bukti yang jelas dan terperinci yang dialami oleh Penggugat dari perbuatan tersebut, tidak boleh hanya menyebut 26 Rachmat Setiawan, Op. Cit., hal.12 Ibid., hal. 12 27 Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 begitu saja tanpa didukung bukti yang jelas secara terperinci. Bukti yang diajukan Penggugat yakni bukti P-2 hanya merupakan hitung-hitungan kasar dan tidak didukung dengan buktibukti surat lainnya sehingga hal tersebut menurut hukum bukanlah merupakan bentuk dari kerugian materiil. Terhadap bukti P-3 yang berupa penghitungan pesangon seluruh karyawan yang telah dibayarkan sesuai dengan masa kerja karyawan, didukung dengan keterangan saksi Agus Suyanto dan saksi Endjon Suhendri, maka menurut Majelis Hakim sudah merupakan bentuk kerugian materiil yang diderita oleh Penggugat yakni sebesar Rp. 5.508.032.003,-. Terhadap kerugian immateriil, Penggugat meminta ganti rugi berupa kerugian immateriil sebesar Rp. 30.000.000.000,-. Penggugat merupakan pengusaha yang sangat tergantung dengan nama baik dan kepercayaan dibidangnya. Meskipun terhadap kerugian immateriil tidak dapat diukur dan dinilai secara nyata dan terang mengenai berapa besarnya, dengan mempertimbangkan kedudukan dan status serta nama baik Penggugat sebagai Pengusaha, menurut Majelis Hakim layak jika nilai kerugian immateriil tersebut ditentukan sebesar Rp. 2.000.000.000,-. Tiap perbuatan melawan hukum tidak hanya mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.28 Hal ini selalu menjadi perdebatan para ahli hukum apakah si pelaku juga harus mengganti kerugian idiil atau tidak. Berdasarkan putusan Hoge Raad tanggal 21 Maret 1943 dalam perkara W.P. Kreuningen v van Bessum cs. Dipertimbangkan sebagai berikut : "Dalam menilai kerugian yang dimaksudkan oleh pasal 1371 KUH Perdata harus juga dipertimbangkan kerugian yang bersifat idiil, sehingga Hakim adalah bebas untuk menentukan penggantian untuk kesedihan (smart) dan kesenangan hidup, yang sesungguhnya dapat diharapkan dinikmatinya (gederfdelevensvreugde)." Menurut Rutten, konsekuensi dari arrest ini tersebut bahwa dalam menerapkan pasal 1365 KUH Perdata juga dapat dituntut penggantian kerugian idiil. Kerugian kekayaan (vermogenschade) pada umumnya mencakup kerugian yang diderita oleh penderita dan keuntungan yang dapat diharapkan diterimanya.29 Menurut Moegni Djojodirdjo di dalam bukunya, orang yang dihina dapat menuntut:30 1) Ganti rugi atas kerugian materiil. 28 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum,hal. 76 Ibid., hal. 76 30 Moegni Djojodirdjo, Op. Cit., hal. 168-­‐169 29 Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 2) Ganti rugi dalam bentuk uang terhadap kerugiaan idiil. 3) Pernyataan, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah fintah atau penghinaan. 4) Menempelkan putusan Hakim ditempat umum, dengan biaya dari pelaku. Pasal 1372 KUH Perdata menentukan bahwa tuntutan keperdataan tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik, kemudian pasal 1373 KUH Perdata menambahkan bahwa orang yang dihina berhak pula menuntut supaya dalam keputusan tersebut juga dinyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan bersifat memfitnah atau menghina dan selanjutnya agar keputusan tersebut atas biaya-biaya orang yang dihukum ditempelkan di tempat umum.31 Berdasarkan teori-teori yang telah disebutkan, menurut penulis adanya kerugian bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasar Pasal 1365 KUH Perdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenai kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum disamping kerugian materil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immateril, yang juga akan dinilai dengan uang. Tiap perbuatan melawan hukum tidak hanya mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup. Berdasarkan putusan Hoge Raad tanggal 21 Maret 1943 dalam perkara W.P. Kreuningen v van Bessum cs. menurut Rutten, konsekuensi dari arrest tersebut bahwa dalam menerapkan pasal 1365 KUH Perdata juga dapat dituntut penggantian kerugian idiil. Kerugian kekayaan (vermogenschade) pada umumnya mencakup kerugian yang diderita oleh penderita dan keuntungan yang dapat diharapkan diterimanya. Kemudian dalam gugatan pencemaran nama baik orang yang dihina dapat menuntut: 1) Ganti rugi atas kerugian materiil. 2) Ganti rugi dalam bentuk uang terhadap kerugiaan idiil. 3) Pernyataan, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah fintah atau penghinaan. 4) Menempelkan putusan Hakim ditempat umum, dengan biaya dari pelaku. Berdasarkan gugatan Penggugat, hakim memutuskan untuk mengabulkan sebagian dari gugatan ganti rugi atas kerugian materil karena Penggugat tidak dapat menunjukkan bukti kuat yang secara jelas dan terperinci terkait keuntungan yang akan diperoleh di masa yang akan datang. Oleh karenanya hakim hanya mengabulkan gugatan ganti kerugian materiil terhadap pesangon yang dibayarkan Penggugat terhadap karyawan sejumlah Rp. 5.508.032.003,-. Terhadap kerugian immateriil, penulis juga sependapat dengan 31 Ibid., hal.169 Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 pertimbangan Hakim. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 1372 ayat (2) KUH Perdata menyatakan bahwa dalam menilaikan satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat ringannya penghinaan, pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, serta pada keadaan. Penilaian Hakim dimaksudkan untuk menentukan besarnya ganti kerugian yang berupa uang baik atas kerugian materiil dan imateriil. Dalam kasus ini, Hakim mempertimbangkan kedudukan dari Penggugat selaku pengusaha yang sangat tergantung dengan nama baik dan kepercayaan dibidangnya, sehingga Hakim mengabulkan ganti kerugian immateriil sebesar Rp. 2.000.000.000,-. Meskipun jumlah tersebut tidak sebesar dari yang diminta oleh Penggugat. Namun, Penggugat seharusnya juga meminta untuk rehabilitasi terhadap nama baik dan kehormatannya. Hal ini bisa dilakukan dengan meminta Hakim untuk menyatakan penempelan putusan ataupun pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh para Tergugat merupakan fitnah ditempat umum Kemudian terkait dengan perlu atau tidaknya putusan pidana untuk menggugat pencemaran nama baik, penulis membandingkan 3 putusan. Pada putusan pertama si Penggugat menggunakan putusan pidana dalam menggugat Tergugat karena melakukan pencemaran nama baik. Hakim pada putusan pertama mengabulkan gugatan Penggugat sebagian. Pada putusan kedua, si Penggugat tidak menyertakan putusan pidana sebagaimana yang dilakukan pada putusan pertama. Hakim mempertimbangkan bahwa yang menjadi dasar/ alasan Penggugat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Para Tergugat adalah masalah tindak pidana penghinaan/ pencemaran nama baik terhadap Penggugat, yang menurut Penggugat telah dilakukan oleh Para Tergugat, maka oleh karenanya sudah selayaknya untuk membuktikan ada tidaknya kesalahan dari pihak Para Tergugat , yaitu apakah benar Para Tergugat terbukti bersalah atau tidak melakukan tindak pidana penghinaan/ pencemaran nama baik terhadap Penggugat, maka harus dibuktikan terlebih dahulu dalam perkara pidana. Hal ini berakibat perlunya kekuatan hukum yang tetap putusan perkara pidana yang telah (in kracht) yang menyatakan bahwa mempunyai Para Tergugat bersalah melakukan tindak pidana penghinaan/ pencemaran nama baik terhadap Penggugat mutlak diperlukan dalam perkara ini karena gugatan Penggugat adalah mengenai gugatan perbuatan melawan hukum akibat tindak pidana penghinaan/ pencemaran nama baik terhadap Penggugat, yang menurut dalil Penggugat telah dilakukan oleh Para Tergugat, sehingga tanpa adanya putusan perkara pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht) yang menyatakan bahwa Para Tergugat bersalah melakukan tindak pidana Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 penghinaan/ pencemaran nama baik terhadap Penggugat maka gugatan Penggugat tersebut adalah prematur; Kemudian menurut pendapat Ahli yang diajukan oleh Penggugat di persidangan, yaitu Pof. Dr. NUR BASUKI MINAMO, S.HAL., M.Hum, yang pada pokoknya menyatakan gugatan Penggugat mengenai perbuatan/tindak pidana perbuatan melawan hukum akibat penghinaan/ pencemaran nama baik adalah prematur karena gugatan tersebut diajukan sebelum ada putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yang menyatakan kesalahan Tergugat. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan Majelis Hakim menyatakan gugatan Penggugat adalah prematur dan dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijk Verklaard); Pada putusan ketiga, gugatan diajukan tanpa menyertakan putusan pidana yang menyatakan si Tergugat/Terhina bersalahal. Hakim dalam Mahkamah Agung pun memberikan pendapat bahwa sudah merupakan pendapat umum dan diterima oleh umum terutama pendapat di kalangan sarjana (doktrin) penghinaan secara perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1372 KUH Perdata adalah sama dengan penghinaan sebagaimana dimaksud sebagai tindak pidana dalam KUH Pidana termasuk pencemaran nama baik. Dalam hukum perdata yang mengacu kepada Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tidak ada satu pasal pun yang menentukan definisi dari penghinaan. Hal ini sejalan dan selaras dengan pendapat ahli hukum (doktrin) J. Satrio, S.HAL., dalam bukunya berjudul Gugatan Perdata Atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan Hukum Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung tahun 2005 halaman 19, 20, dan 21 yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut : "Dan selanjutnya telah menjadi pendapat umum di antara para sarjana (di dalam doktrin) bahwa yang dimaksud dengan penghinaan secara perdata adalah dalam arti "penghinaan" sebagai tindak pidana. Dengan perkataan lain "penghinaan" dalam KUH Perdata diberikan arti yang sama dengan "penghinaan" sebagai tindak pidana”. Bahwa dalam literatur ilmu hukum juga diakui bahwa tidak ada ketentuan hukum baik formil maupun materiil yang menentukan dan memerintahkan bahwa untuk mengajukan gugatan perdata berdasarkan Pasal 1372 KUH Perdata harus dibuktikan adanya putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap mengenai penghinaan. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut hakim mengabulkan gugatan Penggugat sebagian. Pada bab sebelumnya penulis telah memaparkan teori-teori mengenai perlu atau tidaknya putusan pidana dalam mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum karena Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 pencemaran nama baik. Penulis akan mengulas kembail untuk kemudian dikaitkan dengan pertimbangan ketiga putusan yang telah dipaparkan. Berdasarkan teori yang penulis terangkan sebelumnya, terdapat beberapa alasan bahwa dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik tidak harus ada putusan pidana terlebih dahulu. 1. Penghinaan yang digunakan dalam menggugat pencemaran nama baik dalam perdata hanya berupa terminologi dari hukum pidana saja. Berarti dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik secara perdata tidak harus ada putusan pidana terlebih dahulu. 2. Tanpa adanya putusan pidana yang menyatakan bersalahnya si Penghina, pada dasarnya pencemaran nama baik yang dilakukan sudah termasuk ke dalam pelanggaran hak subyektif sebagaimana perluasan makna yang terkandung di dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Majelis Hakim dapat menilai langsung pembuktian yang diajukan tanpa harus menunggu terlebih dahulu putusan pidana yang menyatakan si Penghinan bersalahal. 3. Hukum pidana dan hukum perdata memiliki ranah hukum yang berbeda. Hukum pidana merupakan hukum publik yang bertujuan mempidanakan seseorang yang melanggar ketentuan hukum pidana. Sedangkan hukum perdata merupakan hukum privat yang bertujuan untuk meminta ganti kerugian atas perbuatan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. 4. Dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik dalam perdata memiliki jangka waktu 1 tahun sejak penghinaan tersebut dilakukan dan penghinaan tersebut diketahui oleh orang yang dihina. Jika si Terhina harus menunggu putusan pidana yang menyatakan si Penghina bersalah, tentunya akan memerlukan waktu yang tidak sebentar dan bisa lewat 1 tahun sebagaimana yang diatur dalam pasal 1380 KUH Perdata. Maka sudah menjadi konsekuensi logis jika dalam mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum karena pencemeran nama baik tidak harus ada putusan pidana. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa putusan majelis hakim untuk tidak menerima gugatan pada putusan kedua karena tidak disertakannya putusan pidana yang menyatakan bahwa si Penghina bersalah adalah tidak tepat. Dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik tidak harus menunggu adanya putusan pidana yang menyatakan bahwa si Penghina bersalah. Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 Kesimpulan 1. Pengaturan mengenai perbuatan melawan hukum perdata di Indonesia diatur di dalam Pasal 1365 sampai Pasal 1380 KUH Perdata Indonesia. Sebelum tahun 1919 unsur-unsur perbuatan melawan hukum terdiri dari 5 unsur, yaitu adanya suatu perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan dari pihak pelaku, adanya kerugian bagi korban, adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Kelima unsur tersebut harus terpenuhi secara bersamaan. Namun setelah tahun 1919, pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dan terdapat 5 kriteria, yaitu perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku, yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain. Kelima kriteria tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri tanpa harus diikuti kriteria lainnya. Pengaturan mengenai pencemaran nama baik diatur menurut hukum perdata dan hukum pidana Indonesia. Pencemaran nama baik menurut Judicial Review Mahkamah Konstitusi adalah suatu tindakan penyerangan terhadap kehormatan dan nama baik. Pengaturan menurut hukum Pidana Indonesia terdapat pada KUH Pidana dan UU ITE. Pengaturan mengenai tindakan penyerangan terhadap kehormatan dan nama baik menurut KUH Pidana antara lain : pencemaran/penistaan (Pasal 310 ayat 1), pencemaran/penistaan tertulis (Pasal 310 ayat 2), fitnah (Pasal 311), penghinaan ringan (Pasal 315), pengaduan fitnah (Pasal 317), persangkaan palsu (Pasal 318) dan penistaan terhadap orang yang meninggal (Pasal 320) yang mana kesemua pasal tersebut ditujukan kepada semua orang yang melanggar dan dengan ancaman hukuman 4 bulan hingga 4 tahun penjara. Pencemaran nama baik menurut KUH Pidana ini dilakukan tanpa melalui media internet. Di dalam UU ITE, pengaturan mengenai pencemaran nama baik diatur di dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan ancaman hukuman pidana 6 tahun penjara. Pencemaran nama baik menurut UU ITE ini harus melalui media internet. Perbedaan antara kedua undang-undang tersebut adalah dari ancaman hukuman, media, serta unsur-unsurnya. Kemudian, pengaturan menurut hukum Perdata diatur di dalam Pasal 1372 sampai 1380 KUH Perdata. Si terhina dapat meminta ganti kerugian materiil dan imateriil, rehabilitasi berupa uang serta penempelan keterangan bahwa si terhina merupakan orang yang terhormat. Namun KUH Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 Perdata tidak mendefinisikan unsur-unsur pencemaran nama baik sehingga memerlukan terminologi pidana untuk menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan pencemaran nama baik atau tidak. 2. Ketika mengajukan gugatan pencemaran nama baik tidak harus ada putusan pidana terlebih dahulu. Alasannya antara lain: 1. Penghinaan yang digunakan dalam menggugat pencemaran nama baik dalam perdata hanya berupa terminologi dari hukum pidana saja. 2. Tanpa adanya putusan pidana yang menyatakan bersalahnya si Penghina, pada dasarnya pencemaran nama baik yang dilakukan sudah termasuk ke dalam pelanggaran hak subyektif sebagaimana perluasan makna yang terkandung di dalam Pasal 1365 KUH Perdata. 3. Hukum pidana dan hukum perdata memiliki ranah hukum yang berbeda. Hukum pidana merupakan hukum publik yang bertujuan mempidanakan seseorang yang melanggar ketentuan hukum pidana. Sedangkan hukum perdata merupakan hukum privat yang bertujuan untuk meminta ganti kerugian atas perbuatan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. 4. Berdasarkan Pasal 1380 KUH Perdata, dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik dalam perdata hanya memiliki jangka waktu 1 tahun sejak penghinaan tersebut dilakukan dan penghinaan tersebut diketahui oleh orang yang dihina. 3. Pertimbangan hakim untuk menerima gugatan tersebut meskipun tanpa perlu membuktikan unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum yang salah satunya adalah unsur melawan hukum, sudah tepat. Tergugat telah melanggar hak subyektif Penggugat sehingga tidak perlu membuktikan unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum. Hal ini dikarenakan sejak tahun 1919, Hoge Raad memperluas arti dari Perbuatan Melawan Hukum yang salah satunya adalah perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain. Hak-hak subyektif yang penting berkenaan dengan perbuatan melawan hukum yang diakui oleh yurisprudensi ialah hak-hak pribadi seperti hak atas kebebasan, nama baik dan kehormatan, dan hak-hak harta kekayaan. Namun Penggugat tidak meminta rehabilitasi nama baik dan kehormatan yang telah diatur hak tersebut di dalam Pasal 1373 KUH Perdata. Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 Saran Berikut adalah saran yang Penulis rekomendasikan berdasarkan analisis masalah dan pembahasan dalam penjabaran bab-bab sebelumnya: 1. Menurut penulis perlu definisi tersendiri mengenai pencemaran nama baik menurut hukum perdata. Hal ini dikarenakan sering kali terjadi ambiguitas mengenai arti dari kata “penghinaan” yang tercantum di dalam Pasal 1372 KUH Perdata. Ambiguitas ini berdampak kepada penggunaan terminologi serta unsur-unsur di dalam KUH Pidana untuk menentukan apakah seseorang telah melakukan pencemaran nama baik atau tidak. Jadi definisi tersendiri mengenai pencemaran nama baik menurut hukum perdata sangat diperlukan. 2. Menurut penulis perlu diatur mengenai tidak perlunya putusan pidana dalam menerima gugatan pencemaran nama baik. Hal ini dikarenakan menimbulkan ketidakpastian hukum karena seringkali terjadi perbedaan pendapat antara para hakim dalam menerima gugatan pencemaran nama baik tanpa putusan pidana yang telah berkuatan hukum tetap. Padahal sudah disebutkan di dalam Pasal 1380 KUH Perdata untuk gugatan pencemaran nama baik hanya memiliki jangka waktu 1 tahun, sehingga jika menunggu putusan pidana akan memerlukan waktu yang lama dan dapat melebihi jangka waktu daluarsa. 3. Menurut penulis, Penggugat seharusnya juga meminta rehabilitasi kepada Hakim dengan cara penempelan putusan di muka umum dan agar Tergugat membuat pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah fitnah. Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan derajat dari nama baik dan kehormatan si Penggugat, sehingga khalayak umum mengetahui bahwa yang dilakukan oleh Tergugat merupakan kebohongan dan nama baik Penggugat menjadi “bersih”. Kepustakaan Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Agustina, Rosa dkk. Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan. Jakarta: LEIP, 2004. Ali, Mahrus. Pencemaran Nama Baik Melalui Sarana Informasi dan Transaksi Elektronik Kajian Putusan MK No. 2/PUU-VII/2009. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010. C.S.T Kansil. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013 Djojodirdjo, A. Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta Pusat : Pradnya Paramita, 1979. Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Halim, A. Ridwan. Pengantar Hukum Indonesia Dalam Tanya Jawab. Bogor: Ghalia Indonesia, 2007. Hasan, Djuhaendah. Istilah dan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum dalam Laporan Akhir Kompendium Bidang Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1996/1997. Mamuji, Sri. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Prakoso, Djoko. Hukum Penitentiere di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1988. Senoadji, Oemar. Perkembangan Delik Pers di Indonesia: Profesi Wartawan. Jakarta: Erlangga, 1991. Setiawan, Rachmat. Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Binacipta, 1991. Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam Penelitian Hukum. Jakarta: Pusat Dokumentasi UI, 1979. "Belum jelas landasan hukumnya," //www.hukumonline.com/berita/baca/hol18172/belum-jelas-landasan-hukumnya. pada tanggal 24 Juni 2013 Putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia Nomor 2/PUU-VII/2009 Undang-undang Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia Indonesia, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013