Aspek Hukum Dalam MalaPraktik

advertisement
Aspek Hukum Dalam Malapraktek
Yoni A Setyono, SH.MH
A. Pendahuluan
Akhir-akhir ini sebagaimana yang sering kita baca di beberapa harian
dan dilihat di media elektronik
nampaknya mulai bertimbulan tuntutan
terhadap dokter dan rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan. Tuntutan pada umumnya dari para pemekai jasa pelayanan
kesehatan baik dari masyarakat umum, artis bahkan sampai kepada istri
pengacara.
Hal ini merupakan suatu fenomena yang menarik bila kita berpikir positif
maka
mau tidak mau akan membuat pihak-pihak yang terkait dalam
pelayanan kesehatan terutama dalam pemberian jasa pelayanan preventif
dan kuratif menjadi lebih berhati-hati dan cermat. Tentunya peran pelayanan
kesehatan tidak hanya di dua hal tersebut namun meliputi upaya promotif
dan rehabilitatif.1 Tapi yang mempunyai risiko yang membawa aspek hukum
adalah upaya preventif dan kuratif..2
Disisi lain kita juga sering mendengar bila para dokter bila mereka sering
dituntut akan membuat mereka akan menjadi takut dan bahkan berlaku
terlalu berhati-hati dalam menangani pasien. Tentu saja sikap yang takuttakut dan terlalu berhati-hati akan membuat pelayanan menjadi lamban dan
ini dapat membuat sakit pasien menjadi semakin parah bahkan mungkin
meninggal dunia. Tindakan yang lamban dan dianggap lalai ini dalam
kacamata hukum dianggap dapat juga sebagai suatu perbuatan melawan
hukum.
Oleh karena ini dalam pelayanan terhadap pasien baik oleh pihak dokter
dan rumah sakit nampak terlihat sebagai buah seolah “simalakama”.
1
Pasal 4 RUU Tentang Kesehatan.
Preventif adalah upaya penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat sakit,
atau mengendalikan penyakit atau kecacadan agar kualitas hidup penderita dapat terjaga
seoptimal mungkin, sedang kuratif mencakup upaya penyembuhan penyakit, pengurangan
penderitaan akibat sakit, atau mengendalikan penyakit atau kecacadan agar kualitas hidup
penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.
2
1
Sebenarnya hal ini tidak akan terjadi bila semua pihak memahami peta
hukum terutama dalam pelayanan kesehatan.
B. Pengertian dan ruang lingkup
Pengertian malapraktek tidak dijumpai secara limitatif dalam peraturan
perundangan. Pengertian tersebut dapat dipahami dari beberapa sumber
yaitu:
1. “Malpractice” diartikan sebagai “ Professionanl mis-conduct on the part
of a professional such as physician, engineer, lawyer, accountant,
dentist or vetenarian. Malpractice may be the result of ignorance,
neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional
duties; intentional wrong doing; or illegal or un ethical practice.”3
2. What is Malpractice? Iin a general sense malpractice is “bad “practice,
a failure to comply with the standard set by the profession. From the
stand point of a patient who has sustained in juries, it may cover the
range on incident from diagnosis through operation and after
treatment.
4
3. Menurut Ninik Mariyanti, SH.;
3.1 Dalam arti umum: suatu praktek (khususnya praktek dokter) yang
buruk, yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh
profesi;
3.2 Dalam arti khusus (dilihat dari sudut pasien), malapaktek dapat
terjadi dalam:
a. Menentukan diagnosis, misalnya diagnosisnya sakit maag,
ternyata pasien sakit liver;
b. Menjalankan operasi, misalnya seharusnya yang dioperasio
mata sebelah kanan, tapi yang dioperasi mata sebelah kiri;
c. Selama menjalankan perawatan;
d. Sesudah perawatan tentu saja dalam batas waktu yang telah
ditentukan;
4. “Malpractice Crisis” di Pengadilan Amerika Serikat antara lain meliputi:
George Coulin, President Bar Association, New York State, 1982.
Charles Wendell Carnahan. The Dentist and The Law. Mosby Company, second ed., USA,
1955, page.121-122
3
4
2
a. Salah Diagnosa (misdiagnosis) yaitu kegagalan untuk memakai
pemeriksan yang sesuai sehingga suatu diagnosa yang tepat dapat
ditegakkan merupakan subyek dari banyak sekali keputusan;
contoh seorang pasien menjalani pengangkatan rahim. Pada waktu
dilakukan operasi, saluran kencingnya terjahit. Waktu timbul gejalagejala kesukaran ginjal, tertuduh tidak melaksanakan apa yang
tertera dalam petunjuk pasien bahwa suatu IVP harus dikerjakan.
Mereka tidak minta konsul pada seorang ahli ginjal atau berbuat
sesuatu,kecuali
memberinya
antibiotik
berdasarkan
perkiraan
diagnosis pasien menderita infeksi. Enam hari setelah operasi,
akhirnya dibuatkan IVP, tetapi saluran kencingnya telah rusak
kemudian pasien tersebut kehilangan satu ginjalnya;5 Dalam kasus
diatas pengadilan mempelajarai keputusan-keputusan lama yang
menyatakan bahwa kesalahan diagnosa tidak perlu menunjukkan
kecerobohan tetapi menyatakan terdapat suatu perbedaan besar
antara kesalahan dalam penilaian kecerobohan dan mengumpulkan
data yang penting, untuk sampai kesimpulan data yang tepat.
Apabila dokter gagal dalam menggunakan cara-cara ilmiah untuk
mengumpulkan data-data yang penting agar dapat memberikan
diagnosis yang tepat maka hal ini bukanlah suatu kesalahan dalam
penilaian tetapi merupakan kecerobohan untuk mendapatkan data
yang penting yang dijadikan dasar diagnosisnya.Standar profesi
medis6
b. Pengobatan yang salah atau tidak sesuai (Incorrect or adequate
treatment)
Definisi kecerobohan dalam memberikan obat adalah sama dengan
salah diagnosa. Setelah menentukan data-data yang diderita pasien
maka dokter berkewajiban dengan segala kemampuannya dan
kecermatan sebagaimana yang dilakukan dokter lain yang setaraf
pendidikan dalam situasi dan kondidsi yang sama;
5
Holder Roddey Angela.LL.M. Medical Malpractice Law. (USA, 1978), page.77.
Standar Profesi Medis adalah penggunaan keahlian, kecermatan dan penegetahuan yang sama, yang
dipergunakan oleh rata-rata dokter yang bijaksana dalam kondisi dan siatuasi yang sama.
6
3
Dalam kasus Derr versus Bonney maka kecerobohan yang
dituduhkan adalah mengenai kegagalan menyambung tulang mata
kaki yang patah dengan baik;
pengadilan
salah
satu pertimbangan hukum
yang menarik adalah dokter yang menerima pasien
untuk suatu pengobatan menggap dirinya mampu untuk membuat
suatu diagnosa yang cermat dan membuat suatu rencana
pengobatan serta menggunakan pertimbangan yang baik, dalam
melaksanakan pengobatan tersebut. Dokter tidak boleh mengira
bahwa dirinya sebagai pembawa mukjijat. Dengan perkataan lain
dia
tidak
dapat
bertanggung
jawab
hanya
karena
hasil
pengobatannya memberi hasil yang jelek.7
c. Tanggung Jawab Dokter Disebabkan Luka-Luka Karena Suatu Alat
(Injuries From Equipment & Premises)
Tuntutan dilakukan tidak terhadap kecerobohan dokter dalam
pengobatan tapi dengan tuduhan bahwa doter seharusnya sadar
ada kesrusakan pada alat yang dipakainya.
Contoh : Alat sinar X dokter gigi yang dipasang didinding dengan
baut. Doter tersebut menarik alat sinar X diatas wajah si pasien
untuk memotret giginya. Alat tersebut lepas dari dinding dan jatuh
diatas wajah pasien dan mengakibatkan luka berat. Kemudian
ditentukan bahwa baut itu yang putus, karenanya pasien berhak
mendapat ganti rugi. Pengadilan menentukan bahwa dokter gigi
seharusnya memeriksa alat-alatnya terlebih dahulu.8
C. Ketentuan Hukum yang berkaitan dengan Malapraktek:
C.1 Dalam KUHPidana :
Dalam beberapa kasus ada kecenderungan pasien yang merasa
dirugikan membawa kasusnya ke pidana. Artinya dia melaporkan baik
terhadap rumah sakit maupun dokter ke pihak kepolisian dengan
pasal tertentu tergantung dari kasusnya. Pasal pidana tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut:
7
8
Holder Roddey Angela.LL.M., op.cit. page 175.
Ibid., page 117.
4
Pasal 340:
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih
dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun.
Pasal 344:
Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sungguh
sungguh dari orang itu sendiri, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
Pasal 345:
Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya
untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
kalau orang itu jadi bunuh diri.
Pasal 359:
Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan
orang lain meninggal, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 360:
(1)
Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang lain mendapat luka berat, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.
(2)
Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang lain luka sedemikian rupa sehingga orang
itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan
jabatan atau pekerjaannya sementara, diancam dengan
5
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling
tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 361:
Bila kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pekerjaan, maka pidana ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak yang bersalah untuk
menjalankan pekerjaan dalam mana dilakukan kejahatan itu dan
hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan. (KUHP
10, 35, 43, 92.)
C.2 Dalam KUHPerdata
Rumah Sakit termasuk dokter didalamnya dalam memberikan
pelayanan kesehatan terhadap pasien disamping mempunyai risiko atas
tuntutan secara pidana sebagaimna diatas maka aspek hukum lainnya
yang harus diperhatikan dengan seksama adalah adanya tuntutan secara
perdata. Tuntutan secara perdata atau gugatan secara perdata ini
diajukan oleh pihak yang merasa haknya dilanggar.
Sebagaimana lazimnya hubungan hukum antara satu pihak dengan
pihak lainnya menurut ketentuan pasal 1233 KUHPerdata adalah lahir
karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Kalau antara
Rumah Skit, Dokter dengan pasien dalampelayanan kesehatan tersebut
dilakukan atas dasar anya sutu perjanjian diantara mereka. Maka hak
dan kewajiban antara pihak Rumah Sakit dengan pasien seyogyanya
dituangkan dalam suatu perjanjian, termasuk pilihan penyelesaian bila
ada sengketa diantara mereka.Bila ada salah satu pihak yang dinggap
melanggar janji atau prestas yaitu melakukan tapi terlambat , melakukan
tapi tidak sesuai dengan kesepakatan, melakukan apa yang dilarang atau
sama sekali tidak melakukan. Maka pihak yang merasa dirugikan
tersebut dapat melakukan gugatan di Pengadilan atau lembaga lain yang
telah disepakati dalam perjanjian tersebut.
6
Namun dalam hal-hal yang khusus terutama bila pasien dalam
keadaan gawat darurat maka person in charge yang muncul dan
membantu menangani adalah dokter. Penanganan oleh dokter ini kalau
membuat pasien sembuh tentunya tidak akan muncul tuntutan. Namun
bila penangan terhadap pasien tersebut menimbulkan sakitnya tambah
parah bahkan meninggal dunia, bila tidak mendapat penjelasan yang baik
dan diterima baik oleh pasien maupun keluarganya dan tidak ada
perjanjian sebelumnya maka hal ini akan membawa konsekwensi adanya
tuntutan secara perdata. Dengan perkataan lain walau tidak ada
perjanjian sebelumnya tapi karena ada salah satu pihak yang merasa
dilanggar haknya. Dan pelanggran tersebut dianggap merugikan maka dia
biasanya akan melakukan gugatan secara perdata didasarkan pasal 1365
atau 1366 KUHPerdata. Disini munculnya hubungan hukum yaitu
perjanjian yang lahir karena UU sebagaimana yang dimaksud pasal 1233
KUHPerdata.
Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa tiap perbuatan
melawan hukum
yang mengakibatkan kerugian pada orang lain,
mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti
kerugian.9 Oleh karena itu Mariam Darus Badrulzaman dalam Rancangan
UU (RUU) Perikatan berusaha mematerialisasikannya dengan rumusan
lengkap dalam undang-undang, sebagai berikut : 10
(1) Suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahan atau
kelalaiannya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
(2) Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar hak orang
lain atau bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan
dalam pergaulan kemasyarakatan terhadap pribadi atau harta benda
orang lain.
9
R.Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.Pradnya
Paramita, 2003) hal.346.
10
St.Remy Sjahdeini dkk., Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan tentang
Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman RI,
1993/1994) hal.18.
7
(3) Seorang yang sengaja tidak melakukan suatu perbuatan yang wajib
dilakukannya, disamakan dengan seorang yang melakukan suatu
perbuatan terlarang dan karenanya melanggar hukum.
Upaya
perumusan
norma
dalam
konsep
Mariam
Darus
Badrulzaman ini telah mengabsorbsi perkembangan pemikiran yang baru
mengenai perbuatan melawan hukum, karena dalam konsepnya tersebut
pengertian melawan hukum tidak hanya diartikan sebagai melawan
undang-undang (hukum tertulis) tetapi juga bertentangan dengan
kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat (hukum
tidak tertulis).
Secara historis perbuatan melawan hukum dalam pasal 1365
KUHPerdata pada awalnya mengandung pengertian yang sempit sebagai
pengaruh dari ajaran legisme, yaitu perbuatan yang bertentangan
dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Ajaran
Legisme
mengatakan
bahwa
perbuatan
melawan
hukum
(onrechtmatigedaad) sama dengan perbuatan melawan undang-undang
(onwetmatigedaad). Aliran ini ditandai dengan Arrest Hoge Raad 6
Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. Perkara bermula dari
seorang pedagang menjual mesin jahit dengan nama mesin jahit Singer
yang telah disempurnakan. Padahal mesin itu sama sekali bukan produk
dari Singer. Kata-kata “Singer” ditulis dengan huruf-huruf yang besar,
sedang kata-kata yang lain ditulis kecil-kecil sehingga sepintas yang
terbaca adalah ‘Singer’nya saja. Ketika pedagang itu digugat di muka
Pengadilan, oleh H.R. antara lain dikatakan bahwa perbuatan pedagang
itu bukanlah merupakan tindakan melawan hukum karena tidak setiap
tindakan dalam dunia usaha, yang bertentangan dengan tata krama
dalam masyarakat dianggap sebagai tindakan melawan hukum.11
Berikutnya
Arrest Hoge Raad, tanggal 10 Juni 1910 dalam
perkara Zutphense Juffrouw. Perkaranya bermula dari sebuah gudang di
11
Mr.M.F..H.J.Bolweg, Pitlo Het Nederlands Burgerlijk Wetboek, Deel 3 Algemeen deel van
het Verbintenissen recht (Arnhem: Gouda Quint BV., 1979) hal.308.
8
Zutphen karena iklim yang sangat dingin pipa air dalam gudang tersebut
pecah. Sementara kran induknya berada dalam rumah di tingkat atas
namun penghuninya tidak bersedia memenuhi permintaan untuk
menutup kran induk (mematikan) tersebut; sekalipun padanya telah
dijelaskan bahwa dengan tidak ditutupnya kran induk maka akan timbul
kerusakan besar pada barang yang tersimpan dalam gudang
karena
tergenang air. Akhirnya barang-barang dalam gudang itu tergenang air.
Maatschappij pertanggungan telah membayar ganti
kerugian dan
kemudian menuntut penghuni rumah tingkat atas di muka Pengadilan,
tapi
ditolak oleh H.R. dengan alasan bahwa tidak terdapat suatu
ketentuan Undang-undang yang mewajibkan penghuni dari rumah
tingkat atas tersebut untuk mematikan kran induk untuk kepentingan
pihak ketiga.12 Dengan kata lain Hoge Raad di Belanda memandang
perbuatan melawan hukum secara legistis. Pengertian legistis itu
kemudian berubah pada tahun 1919 dengan putusan H.R. 31 Januari
1919 dalam perkara Cohen melawan Lindenbaum yang dikenal sebagai
Drukkers Arrest. Dalam perkara ini, seorang pengusaha percetakan
bernama Cohen telah membujuk karyawan pengusaha percetakan
Lindenbaum
untuk
memberikan
copy-copy
pesanan-pesanan
dari
langganan-langganannya. Cohen memanfaatkan informasi ini sehingga
Lindenbaum mengalami kerugian karena para langganannya lari ke
perusahaan Cohen. Selanjutnya, Cohen dituntut membayar ganti
kerugian kepada Lindenbaum. Tuntutan tersebut dikabulkan oleh
Pengadilan Negeri (Rechtbank). Pengadilan Tinggi (Hof) sebaliknya
membatalkan keputusan Pengadilan Negeri dengan mempertimbangkan
bahwa
sekalipun
karyawan
tersebut
melakukan
perbuatan
yang
bertentangan dengan undang-undang, yakni telah melanggar suatu
kewajiban hukum, namun tidak berlaku bagi Cohen karena Undangundang tidak melarang dengan tegas bahwa mencuri informasi adalah
melanggar hukum. Hoge Raad membatalkan keputusan tersebut atas
dasar pertimbangan bahwa dalam keputusan Pengadilan Tinggi makna
12
Ibid.
9
tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) dipandang
secara
sempit sehingga yang termasuk di dalamnya hanyalah
perbuatan-perbuatan yang secara langsung dilarang oleh undangundang. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang tidak dilarang oleh
undang-undang,
sekalipun
perbuatan-perbuatan
ini
bertentangan
dengan keharusan dan kepatutan, yang diharuskan dalam pergaulan
masyarakat bukan merupakan perbuatan melawan hukum.13
Dengan adanya Arrest ini maka pengertian perbuatan melawan
hukum menjadi lebih luas. Perbuatan melawan hukum diartikan setiap
perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis yaitu bersifat bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku dan melanggar hak subyektif orang lain.
Termasuk didalamnya suatu perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak
tertulis, yaitu kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian dan
kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup
dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga masyarakat.
Penilaian apakah suatu perbuatan termasuk perbuatan melawan
hukum (ataukah tidak), tidak cukup apabila hanya didasarkan pada
pelanggaran terhadap kaidah hukum, tetapi, perbuatan tersebut harus juga
dinilai dari sudut pandang kepatutan. Fakta bahwa seseorang telah
melakukan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum dapat menjadi faktor
pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan yang menimbulkan kerugian
tadi sesuai atau tidak dengan kepatutan yang seharusnya dimiliki seseorang
dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat.14
Terminologi perbuatan melawan hukum merupakan terjemahan dari
kata onrechtmatigedaad, yang di diatur dalam KUHPerdata Buku III tentang
Perikatan, pasal 1365 sampai dengan pasal 1380. Beberapa sarjana ada yang
mempergunakan istilah ‘melanggar’ dan ada yang mempergunakan istilah
‘melawan’. Wirjono Projodikoro menggunakan istilah Perbuatan Melanggar
hukum, dengan mengatakan : “Istilah ‘onrechtmatige daad’ dalam bahasa
L.E.H. Rutten, Mr.C.Asser ‘s Handleiding Tot De Bedefening Van Het Nederlands
Burgerlijk Recht, Derde Deel verbintenissenrecht (Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1968) hal.418.
14
Setiawan, Empat Kriteria Perbuatan Melanggar Hukum dan Perkembangannya Dalam
Yurisprudensi, (Varia Peradilan No.16, Desember 1986).
13
10
Belanda lazimnya mempunyai arti yang sempit, yaitu arti yang dipakai dalam
pasal 1365 Burgelijk Wetboek dan yang hanya berhubungan dengan
penafsiran dari pasal tersebut, sedang kini istilah Perbuatan Melanggar
Hukum ditujukan kepada hukum yang pada umumnya berlaku di Indonesia
dan yang sebagian terbesar merupakan Hukum Adat.
15
Subekti juga
menggunakan istilah Perbuatan Melanggar Hukum16.
Terminologi
Perbuatan
Melawan
Hukum
menurut Mariam Darus
Badrulzaman. Mariam Darus Badrulzaman adalah sebagai berikut :
“Pasal 1365 KUH Perdata menentukan bahwa setiap perbuatan yang
melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain
mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian ini mengganti
kerugian tersebut’”17
Selanjutnya dikatakan bahwa :
“Pasal 1365 KUH Perdata ini sangat penting artinya karena melalui pasal
ini hukum yang tidak tertulis diperhatikan oleh Undang-Undang.”18
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan19 dan I.S. Adiwimarta20 dalam
menerjemahkan bukunya H.F.A. Vollmar juga mempergunakan istilah
perbuatan melawan hukum.
Selain itu terminologi perbuatan melawan hukum juga digunakan oleh M.A.
Moegni Djojodirdjo,21 dan Setiawan22. M.A. Moegni Djojodirdjo mengatakan :
“Pasal 1365 KUH Perdata tidaklah memberikan perumusan melainkan
hanya mengatur bilakah seseorang yang mengalami kerugian karena
perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh orang lain terhadap
15
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum (Bandung: Sumur Bandung, 1993),
hal.7.
16
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 1970.
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata – Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan
(Bandung : Alumni, 1983) hal.146.
18
Ibid.
19
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perutangan, (Yogyakarta: Seksi Hukum Perdata
Fakultas Hukum UGM, 1980) hal.55.
20
H.F.A. Vollmar, Pengantar /Studi Hukum Perdata Jilid II (Jakarta: C.V. Rajawali, 1984),
hal.183.
21
M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982)
hal.17.
22
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: Alumni,
1982) hal.8
17
11
dirinya,
akan
dapat
mengajukan
tuntutan
ganti
kerugian
pada
Pengadilan Negeri dengan succes”.
Mengapa menggunakan terminologi Melawan Hukum bukan Melanggar
Hukum, menurut M.A. Moegni Djojodirdjo dalam kata “melawan” melekat sifat
aktif dan pasif.23
Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan sebagai sifat
positif dan negatif.24
Dalam Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek,25 konsep onrechtmatigedaad
terdapat dalam buku 6 titel 3 artikel 162.
dirumuskan sebagai :
Perbuatan Melawan Hukum
“Als onrechtmatige daad worden aangemerkt een
inbreuk op een recht en een doen of nalaten in strijd met een wettelijke plicht
of met hetgeen volgens ongeschreven recht in het maatschappelijk verkeer
betaamt,
een
ander
behoudens
de
aanwezigheid
van
een
rechtvaardigingsgrond”.
(Terjemahannya bebasnya yaitu
: Perbuatan melawan hukum adalah
perbuatan yang melanggar hak (subyektif) orang lain atau perbuatan (atau
tidak berbuat) bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau
bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang
seharusnya dijalankan oleh seorang dalam pergaulannya dengan sesama
warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenar menurut
hukum).
Code Civil Perancis mengaturnya dalam titel IV Chapter II artikel 1382
sampai dengan artikel 1386 dengan judul Delicts and Quasi-Delicts26.
Dalam artikel 1382 dikatakan bahwa :
‘Any act whatever of man which causes damage to another obliges
him by whose fault it accorred to make reparatio’
Kemudian mengenai tanggung jawab terhadap kelalaian atau kurang hati-hati
di atur dalam artikel 1383 sebagai berikut :
23
M.A. Moegni Djojodirdjo, Ibid.
Mariam Darus Badrulzaman, Ibid.
25
P.P.C. Haanapel, Ejan Mackaay, Nieuw Nederlands Bugerlijk Wetboek, Het Vermogensrecht
(Deventer: Kluwer Law and Taxation, 1990) hal.298.
26
John H.Crabb, The French Civil Cod, (as amanded to July 1, 1976) Translated with an
Introduction, (New Jersey: Fred B.Rothman & co., 1977) P.253.
24
12
‘Each one is liable for the damage which he causes not only by his
own act but also by his negligence or imprudence’
Selanjutnya artikel 1384 menentukan :
‘He is liable not only for the damage which he caused by his own act
, but also for that which is caused by the act of persons for whom he
is responsible, or by things which he has in his keeping’
Artikel 1382, 1383 dan 1384 Code Civil Perancis tersebut sama persis
bunyinya dengan pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata.
Konsep perbuatan melawan hukum dalam sistem Common Law disebut
the law of tort. Beberapa sarjana Inggris memberikan definisi Tort sebagai
berikut :
Sir John Salmond mengatakan bahwa :
27
“A. Tort is a civil wrong for which the remedy is a common law action for
unliquidated damages and which is not exclusivey the breach of contract
or a breach of a trust or other merely equitable obligation”
Sir P. Wienfield mengatakan bahwa :28
“Tortious liability arises from the breach of duty primarily fixed by law,
such duty is towards persons generally and its breach is redressible by
an action for unliquidated damages”
L.B. Curzon memberikan definisi Tort sebagai berikut :29
“The Law of Tort is concerned with the determination of disputes which
arise where one person
alleges wrong conduct against another. It
should be noted that some torts, e.g. assault and battery are tort and
crime”.
27
P.W.D. Redmond, General Principles of English Law, (Plymouth: Mac. Donald and Evans,
1974), hal.164.
28
Ibid.
29
L.B. Curzon, Basic Law, (Plymouth: Mac Donald and Evans, 1981), hal.113.
13
Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tort
adalah suatu kesalahan perdata, dimana seseorang melakukan suatu
perbuatan tertentu yang mengakibatkan kerugian pada orang lain dengan
melanggar hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh hukum yang bukan
timbul dari contract atau trust, yang dapat dimintakan ganti rugi terhadap
kerugian yang diakibatkannya.
Oleh karenanya
dalam mengajukan gugatan berdasarkan tort law
harus ada perbuatan aktif dan pasif yang dilakukan oleh tergugat yang
mengakibatkan kerugian terhadap kepentingan penggugat yang dilindungi
oleh hukum.
Tort Law memberikan perlindungan hukum terhadap berbagai
kepentingan, seperti keamanan pribadi, harta benda dan kepentingan
ekonomi. Perlindungan tersebut diberikan melalui system kompensasi berupa
ganti rugi secara perdata. Berdasarkan teori klasik tort law, ganti rugi
diberikan untuk mengembalikan
penggugat kepada posisi ketika perbuatan
melawan hukum itu belum terjadi.
Hal ini berbeda dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan hubungan
kontraktual dimana ganti rugi itu bertujuan untuk menempatkan si penggugat
pada posisi seandainya perjanjian itu terlaksana. Berdasarkan hubungan
kontraktual, penggugat dapat menuntut kehilangan keuntungan yang
diharapkan atau Expectation loss. Teori klasik ini telah mengalami perubahan,
karena sekarang gugatan tort law juga dapat diajukan untuk economic lost.30
Konsep perbuatan melawan hukum di Indonesia telah dimasukkan dalam satu
kitab undang-undang yang terkodifikasi yaitu dalam KUH Perdata. Sedangkan
Tort, konsep dan pengaturannya tersebar dalam yurisprudensi-yurisprudensi
dan dalam undang-undang tertentu seperti Occupier’s Liability Act 1957,
Defective Premises Act 1972 dan sebagainya. Perbedaan pengaturan konsep
tersebut dipengaruhi oleh perbedaan sistem hukum yang dianut KUH Perdata
dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontinental yang cenderung pada
paham kodifikasi (Enacted Law) sedangkan Inggris menganut Sistem
30
DR. Rosa Agustina, SH.MH. Perbuatan Melawan Hukum. (Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal.14.
14
Common
Law
dimana
hukumnya
berkembang
dari
kebiasaan
dan
yurisprudensi.
Konsep perbuatan melawan hukum Indonesia yang merupakan
bagian hukum Eropa Kontinental diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata
sampai dengan pasal 1380 KUH Perdata. Dalam pasal-pasal tersebut diatur
bentuk tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang terbagi atas:
Pertama, Tanggung jawab tidak hanya atas perbuatan melawan hukum diri
sendiri tetapi juga atas perbuatan melawan hukum orang lain dan terhadap
barang.
Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa:
“Seseorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya sendiri tetapi juga disebabkan karena
perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan
oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.
Berdasarkan ketentuan pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata, yang merupakan
rumusan umum, maka pertanggung jawaban dibagi menjadi:
a. Tanggung jawab terhadap perbuatan orang lain
(1)
Tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan
oleh orang yang menjadi tanggungannya secara
umum;
(2)
Tanggung jawab orang tua dan wali terhadap
anak-anak yang belum dewasa (pasal 1367
ayat 2 KUH Perdata);
(3)
Tanggung jawab majikan dan orang yang
mewakilkan
urusannya terhadap orang yang
diperkerjakannya (pasal 1367 ayat 3 KUH
Perdata);
(4)
Tanggung jawab guru sekolah dan kepala
tukang terhadap murid dan tukangnya (pasal
1367 ayat 4 KUH Perdata).
15
b. Tanggung jawab terhadap barang dalam pengawasannya.
(1)
Tanggung
jawab
terhadap
barang
pada
umumnya (pasal 1367 ayat 1 KUH Perdata);
(2)
Tanggung jawab terhadap binatang (pasal 1368
KUH Perdata);
(3)
Tanggung jawab pemilik terhadap gedung
(pasal 1369 KUHPerdata).
Kedua, Perbuatan melawan hukum terhadap tubuh dan jiwa
manusia. Pasal 1370 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal terjadi
pembunuhan dengan sengaja atau kelalaiannya, maka suami atau istri,
anak, orang tua korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan
korban, berhak untuk menuntut ganti rugi yang harus dinilai menurut
keadaan dan kekayaan kedua belah pihak.
Ketiga, Perbuatan melawan hukum terhadap nama baik. Masalah
penghinaan diatur dalam pasal 1372 sampai dengan pasal 1380 KUH
Perdata. Pasal 1372 menyatakan bahwa tuntutan terhadap penghinaan
adalah bertujuan untuk mendapat ganti rugi dan pemulihan nama baik,
sesuai dengan kedudukan dan keadaan para pihak.
Beberapa tuntutan yang dapat diajukan karena perbuatan melawan
hukum ialah :
1. Ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan;
2. Ganti rugi dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam keadaan
semula;
3. Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum;
4. Melarang dilakukannya perbuatan tertentu.
Dalam perspektif
RUU Kesehatan dalam pasal 14 ditegaskan
Setiap orang berhak menuntut kompensasi dan/atau ganti rugi terhadap
seseorang atau tenaga kesehatan dalam memberikan layanan kesehatan
yang menimbulkan kerugian.
Namun tuntutan ini tidak berlaku dalam hal tindakan seseorang atau
tenaga kesehatan tersebut dilakukan dalam keadaan darurat untuk
menyelamatkan jiwa atau badan orang tersebut.
16
Baru-baru ini ada berita bila salah satu rumah sakit dilaporkan ke
Polda karena dianggap menelantarkan pasiennya dan dianggap menjadi
tertular penyakit karena dimasukan dalam satu ruangan dengan penderita
penyakit menular. Dalam RUU Kesehatan (pasal 20 dan 21) akan diatur
ketentuan yang harus dipatuhi dimana setiap orang
termasuk Rumah
Sakit dan Dokter/Dokter Gigi dilarang mengabaikan atau menelantarkan
orang lain yang memerlukan pertolongan kesehatan, padahal orang
tersebut mampu memberikan pertolongan kesehatan. Hal ini tidak diatur
dalam UU No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, dalam pasal 55 hanya
diatur adanya pemberian ganti rugi bila ada pihak yang dirugikan.
Dan adanya larangan bagi setiap orang dengan sengaja untuk
melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan orang
lain atau dengan sengaja menularkan suatu penyakit yang ada pada dirinya
atau yang ada pada orang lain yang membahayakan jiwa orang tersebut.
Dengan adanya ketentuan tersebut maka pihak Rumah Sakit maupun Dokter
yang berwenang menagani pasien tersebut harus hati-hati dengan adanya
ketentuan tersebut.
D. Kesimpulan
Setiap tindakan yang dilakukan siapa pun mempunyai 2 akibat yaitu
sesuai dengan hukum atau melawan hukum. Akibat adanya tindakan
melawan hukum ini tentunya akan merugikan pihak lain. Pihak lain dapat
mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pihak yang dianggap merugikan
tersebut.
Pelayanan kesehatan yang dilakukan Rumah Sakit dan Dokter/Dokter Gigi
juga mau tidak mau harus memperhatikan hal ini.
Kurangnya penjelasan atau informasi yang kurang terhadap tindakan medis
akan menimbulkan kesalahpahaman antara pihak pemberi
pelayanan
kesehatan dengan pasien yang ujungnya dapat memberikan peluang
terjadinya sengketa baik secara pidana maupun perdata.
17
Download