BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat komunikasi antar manusia. Bahasa adalah salah satu ciri paling khas yang manusiawi yang membedakannya dari makhlukmakhluk lain (Nababan, 1984:1). Secara tradisional bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan (Chaer dan Agustina, 1995:19). Jadi, fungsi bahasa yang paling mendasar adalah sebagai alat komunikasi, yakni sebagai alat pergaulan antarsesama dan alat untuk menyampaikan pikiran. Berdasarkan bentuknya, bahasa dibedakan menjadi dua macam, yaitu bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa, baik lisan maupun tulis, terdiri dari katakata yang dirangkai menjadi kalimat. Kata-kata tersebut tentunya mengisi fungsi yang berbeda-beda dalam kalimat. Beberapa fungsi dalam kalimat yaitu subjek, predikat, objek, keterangan, pelengkap, dan yang lain. Nomina (kata benda) biasanya mengisi fungsi subjek atau objek dalam kalimat. Verba (kata kerja) seringkali mengisi fungsi predikat dalam kalimat. Keterangan biasanya diisi oleh adjektiva (kata sifat). Teori ini tentunya sudah umum diketahui oleh pengguna bahasa. Tetapi coba lihat contoh berikut: 1 2 (1) Bukunya dibawa Adi tuh! (2) Baju kamu kok basah sih? (3) Dia sudah sembuh kan? Dari ketiga contoh diatas ada kata-kata yang sulit sekali kita identifikasi fungsinya dalam kalimat. Kata ‘tuh’, ‘kok’, ‘sih’, dan ‘kan’ sering kita jumpai dalam percakapan sehari-hari. Akan tetapi jika sudah dimasukkan dalam kalimat tentunya kita sedikit mengalami kesulitan untuk mengidentifikasinya. Kita juga sulit menentukan maknanya secara leksikal. Kata-kata tersebut dalam istilah kebahasaan disebut partikel. Partikel biasanya muncul dalam bahasa lisan ragam informal. Hal ini yang menyebabkan partikel dapat bervariasi dalam setiap bahasa. Hal tersebut yang menjadi latar belakang penelitian ini. Keragaman partikel dalam setiap bahasa dapat menjadikannya sebagai salah satu penanda identitas suatu bahasa pada komunitas tertentu. Berdasarkan peta bahasa yang dibuat oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dengan jumlah penutur Indonesia mempunyai + 726 buah bahasa daerah setiap bahasa berkisar antara 100 orang (ada di Irian Jaya) sampai dengan lebih dari 50 juta (penutur bahasa Jawa) (Chaer dan Agustina, 1995:294). Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa daerah dengan jumlah penutur yang besar. Hal ini dapat dilihat dari wilayah tuturan bahasa Jawa tersebut. Bahasa Jawa digunakan di daerah Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur kecuali Madura. Selain itu, bahasa Jawa juga tersebar di beberapa wilayah di Sumatra dan Kalimantan yang dibawa oleh pendatang dari suku Jawa ke 3 daerah tersebut. Luasnya wilayah tuturan bahasa Jawa tersebut menyebabkan bahasa Jawa memiliki beberapa dialek yang berbeda di setiap wilayahnya. Beberapa dialek bahasa Jawa yang banyak penggunanya yaitu dialek Jogja-Solo, dialek Banyumasan, dan dialek Jawa Timuran. Bahasa Jawa dialek Jawa Timur terdiri atas berbagai macam dialek, diantaranya dialek Tuban, Gresik, Surabaya, Probolinggo, Malang, dan Banyuwangi (Soedjito, 1981). Perbedaan tersebut terjadi karena dalam setiap ragam bahasa yang dipergunakan di suatu daerah tertentu, lambat laun terbentuklah anasir kebahasaan yang berbeda-beda, seperti dalam lafal, tata bahasa, tata arti, dan sikap yang mempergunakan salah satu bentuk khusus. Perbedaannya antara lain : 1. Perbedaan fonetik, polimorfisme atau alofonik (fonologi) 2. Perbedaan semantik yaitu dengan terciptanya kata-kata baru, berdasarkan fonologi dan geseran bentuk (sinonim & homonim) 3. Perbedaan onomasiologis yang menunjukkan nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda 4. Perbedaan semasiologis yang merupakan kebalikan dari perbedaan onomasiologis yaitu pemberian nama untuk beberapa konsep yang berbeda 5. Perbedaan morfologis yang dibatasi adanya sistem tata bahasa oleh krekuensi morfem-morfem yang berbeda, oleh kegunaannya yang berkerabat, oleh wujud fonetisnya, oleh daya rasanya dan oleh sejumlah faktor lainnya lagi (Ayatrohaedi dalam Soedjito, 1981) 4 Dalam penelitian ini, objek penelitian yang dipilih adalah bahasa Jawa dialek Surabaya. Dialek Surabaya dipilih menjadi objek penelitian karena banyak leksikon-leksikon yang berbeda dengan bahasa Jawa standar. Hal ini mungkin disebabkan karena letak Surabaya yang jauh dari pusat budaya Jawa (Keraton Jogja-Solo). Surabaya juga tidak hanya ditempati oleh suku Jawa saja. Adanya suku/etnis lain di Surabaya memungkinkan adanya pengaruh terhadap bahasa Jawa di Surabaya. Untuk lebih jelasnya perhatikan dialog berikut: X : Bulik, rujake loro ya! ‘Bibi, rujaknya dua ya!’ Y : Dipangan kene ta bungkus? ‘Dimakan sini atau bungkus?’ X : Nang kene ae. Lomboke aja akeh-akeh ya, loro ae. ‘Di sini saja. Lomboknya jangan banyak-banyak ya, dua saja’ Y : Iya. ‘Iya’ X : Cingure tambahana pa’a. Mosok mek petang iris? ‘Cingurnya ditambah kenapa! Masa Cuma empat iris?’ Y : Walah... tak tambahi siji ae ya. Isa bangkrut aku suwe-suwe. ‘Walah... tambah satu saja ya. Bisa bangkrut saya lama-lama’ X : Mbok medite rek! Ditambahi mek siji thok e... ‘Mbok pelitnya rek! Ditambahnya cuma satu saja...’ 5 Dari dialog tersebut dapat kita temukan beberapa leksikon yang berbeda dengan bahasa Jawa standar. Seperti kata mek yang dalam bahasa Jawa standar lebih dikenal dengan kata mung ‘tetapi’. Kemudian muncul kata-kata rek, pa’a, dan e, yang jarang sekali kita dengar pada bahasa Jawa standar. Keunikankeunikan leksikon dan fonetis dalam bahasa Jawa dialek Surabaya juga menjadi daya tarik tersendiri untuk dapat diteliti lebih dalam lagi. Keragaman penduduk di Surabaya tersebut yang dianggap memberikan pengaruh terhadap bahasa Jawa dialek Surabaya ini. Oleh karena itu diharapkan data yang diperoleh nanti sangat beragam dan menambah kekayaan pengetahuan kita tentang bahasa daerah, terutama bahasa Jawa dialek Surabaya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana bentuk partikel kalimat yang terdapat dalam bahasa Jawa dialek Surabaya? b. Bagaimana fungsi dan makna partikel kalimat dalam bahasa Jawa dialek Surabaya dalam kalimat ? c. Bagaimana klasifikasi partikel kalimat dalam bahasa Jawa dialek Surabaya berdasarkan pragmatisnya? distribusi dalam kalimat dan makna 6 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan merupakan sasaran yang ingin dicapai dalam setiap penelitian agar kegiatan yang terencana mempunyai arah yang jelas. Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: a. Mengidentifikasi bentuk partikel kalimat yang terdapat dalam bahasa Jawa dialek Surabaya. b. Mendeskripsikan fungsi dan makna partikel kalimat bahasa Jawa dialek Surabaya dalam kalimat. c. Mengklasifikasikan partikel kalimat bahasa Jawa dialek Surabaya. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan menghasilkan dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada bidang morfologi dan sintaksis, khususnya pada Bahasa Jawa, tentang jenis, bentuk dan fungsi partikel kalimat. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sedikit gambaran tentang karakteristik sintaksis bahasa Jawa dialek Surabaya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memperbaiki dan memperluas teori-teori tentang partikel kalimat yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan kepada para penutur bahasa, terutama Bahasa Jawa, tentang penggunaan partikel dalam percakapan sehari-hari. Dengan demikian, masyarakat 7 Jawa maupun para pembaca lainnya memperoleh wawasan tentang partikel kalimat bahasa Jawa Dialek Jawa Timur. Sehingga diharapkan para penutur bahasa dapat menggunakan partikel ini secara tepat dan benar. 1.5 Ruang Lingkup Ruang lingkup permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini,eliputi partikel-partikel kalimat bahasa Jawa dialek Surabaya dilihat dari segi bentuk, fungsi dan makna yang ditimbulkan oleh partikel tersebut dengan berbagai konteks dan klasifikasi partikel kalimat bahasa Jawa dialek Surabaya. 1.6 Tinjauan Pustaka Penelitian yang mengkaji struktur bahasa Jawa sudah banyak dilakukan. Dalam beberapa buku yang mengupas tentang morfologi dan sintaksis bahasa Jawa, namun sedikit sekali buku yang menyinggung tentang partikel kalimat di dalamnya, berikut beberapa diantaranya: Uhlenbeck (1982) tidak menyinggung tentang partikel sama sekali. Jenis kata yang dibahasnya adalah jenis kata yang biasa mengisi fungsi dalam kalimat, yaitu kata kerja, kata benda, kata bilangan, dan kata ganti. Sebelumnya, Antunsuhono (1953) membagi kelas kata bahasa Jawa menjadi sembilan, yaitu (1) kata kerja, (2) kata benda, (3) kata sifat, (4) kata keterangan, (5) kata ganti, (6) kata bilangan, (7) kata depan, (8) kata penghubung, dan (9) kata seru. Dari kesembilan jenis kata tersebut, kata seru dapat dimasukkan ke dalam jenis partikel 8 kalimat. Akan tetapi dalam buku tersebut hanya diberikan contoh penggunaannya dalam kalimat tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut tentang makna. Poedjosoedarmo (1979) juga menyebutkan kata seru. Contoh yang diberikan berbentuk frasa karena kata seru yang disebutkan merupakan salah satu contoh dari kata majemuk. Penelitian tentang partikel dalam bahasa Jawa yang lebih lengkap dari penelitian-penelitian sebelumnya yaitu oleh Wedhawati, dkk (2006) dalam Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Dalam buku tersebut ada tiga jenis partikel yang disebutkan, yaitu partikel pelunak (kok, mbok), partikel pelengkap (dhing, je, ya, ta), dan partikel pementing (ta). Tetapi penelitian tersebut pada saat sekarang ini dianggap kurang relevan karena muncul partikel-partikel yang lain yang mempunyai makna yang sama ataupun berbeda dengan ketiga jenis partikel tersebut. Penelitian partikel pernah dilakukan oleh Malabar (2012) yang berjudul Partikel Wacana dalam Bahasa Melayu Gorontalo. Penelitian tersebut berbentuk tesis yang meneliti tentang partikel wacana bahasa Melayu Gorontalo. Penelitian yang dilakukan meliputi bentuk, fungsi, makna pragmatis dan klasifikasi partikel wacana bahasa Melayu Gorontalo. Ada satu penelitian yang memiliki topik hampir sama dengan penelitian ini yaitu Kategori Fatis Bahasa Jawa Dialek Lamongan oleh Windarti (1991). Dalam penelitiannya yang berbentuk skripsi ini, Windarti mendeskripsikan bentuk, jenis dan fungsi kategori fatis bahasa Jawa dialek Lamongan. Meskipun judul yang diusung oleh Windarti adalah kategori fatis, tetapi data yang dianalisis merupakan partikel-partikel yang terdapat dalam bahasa Jawa dialek Lamongan. 9 Beberapa partikel yang dianalisis adalah ta, lho, po, je, kok, dan mbok. Dari partikel-partikel tersebut, ada beberapa partikel dialek Lamongan yang juga terdapat dalam dialek Surabaya. Akan tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa data dalam penelitian ini sama dengan penelitian tersebut, karena terbukti banyak sekali partikel-partikel yang ada pada dialek Surabaya tetapi tidak terdapat dalam dialek Lamongan. Suwadji (1991) juga meneliti tentang partikel kalimat dalam bahasa Jawa. Akan tetapi objek penelitiannya hanya dikhususkan pada partikel wong. Suwadji hanya mengkhususkan pada partikel wong saja karena adanya persamaan penggunaan kata orang pada bahasa Indonesia. Hal tersebut diperkirakan adanya proses peminjaman antara kedua bahasa tersebut. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah ditemukan, belum ada yang membahas partikel dalam bahasa Jawa dialek Surabaya. Selain itu, penelitian terdahulu hanya memberikan sedikit informasi tentang makna partikel tersebut dalam kalimat. Seharusnya makna partikel tersebut beragam karena banyak sekali partikel yang ditemukan dan penggunaannya bervariasi dalam setiap tuturan. Oleh karena itu, penelitian ini layak dilakukan demi menambah pengetahuan tentang bahasa, terutama bahasa Jawa. 1.7 Landasan Teori Bentuk atau satuan lingual di dalam tata kalimat atau sintaksis terdiri atas kalimat, klausa, frasa dan kata. Kata merupakan satuan lingual bebas terkecil. Kebebasan itu ditentukan oleh kriteria mobilitas posisi kata di dalam kalimat 10 tanpa perubahan identitasnya. Beberapa ahli bahasa mengidentifikasi kata menjadi beberapa jenis atau bentuk yang lebih dikenal dengan pembagian kelas kata. Penggolongan kelas kata selalu menarik untuk disimak karena antara para ahli satu dengan yang lain memiliki pendapat yang berbeda. Pembagian kelas kata bahasa Melayu dan Indonesia disajikan dalam dua macam yaitu dalam tata bahasa pedagogis dan tata bahasa teknis (Kridalaksana, 2007:9). Dalam menyajikan pembagian kelas kata kedua tata bahasa tersebut tentu memperlihatkan ciri yang berbeda. Dalam bahasa teknis si penulis berusaha untuk mencari kriteria untuk tiap-tiap kelas sehingga jelas perbedaan diantaranya, sedangkan dalam tata bahasa pedagogis usaha semacam itu tidak ada. Keraf dan Macdonald adalah beberapa ahli bahasa yang melakukan pembagian kelas kata berdasarkan tata bahasa pedagogis. Sedangkan para ahli yang melakukan pembagian kelas kata berdasarkan tata bahasa teknis diantaranya Slamet Muljana, Anton M. Moeliono, S. Wojowasito, M. Ramlan, Samsuri dan banyak lagi para ahli lainnya. Pembagian kelas kata bahasa Jawa sudah banyak dikemukakan oleh beberapa ahli. Beberapa pembagian kelas kata dituliskan dalam buku Paramasastra Jawa. Beberapa ahli yang telah membagi kelas kata bahasa Jawa yaitu Uhlenbeck, Antunsuhono, Padmosoekotjo, Soepomo Poedjosoedarmo, Wedhawati dan masih banyak lagi para ahli yang lainnya. Pembagian kelas kata dalam bahasa Jawa tidak jauh berbeda dengan pembagian kelas kata dalam bahasa Indonesia. Perbedaannya hanya terletak pada penggunaan istilah untuk masingmasing jenis kata. 11 Dalam pembagian kelas kata bahasa Jawa hanya sedikit saja pembahasan tentang partikel kalimat. Oleh karena itu sebelum masuk pada inti pembahasan ada baiknya kita mengetahui landasan teori penelitian ini yaitu bahasa Jawa dialek Surabaya dan partikel. 1.7.1 Bahasa Jawa Bahasa Jawa merupakan bahasa pertama bagi masyarakat suku Jawa yang tinggal di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, banten, Lampung, sekitar Medan, daerah-daerah transmigrasi di Indonesia dan beberapa tempat di luar negeri yaitu Suriname, Belanda, New Caledonia, dan Pantai Barat Johor. Jumlah penuturnya sekarang 75,5 juta. Bahasa jawa menempati urutan ke-11 dalam hal jumlah penutur terbanyak dari 6703 bahasa yang ada di dunia (Wedhawati dkk, 2006:1). Bahasa Jawa termasuk rumpun bahasa Austronesia. Rumpun bahasa Austronesia terbagi menjadi dua yaitu sebelah barat dan timur. Bahasa Jawa termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia sebelah barat bersamaan dengan bahasa Indonesia (Melayu), Sunda, Bali, Madura, Bugis, bahasa-bahasa di Sulawesi dan di kepulauan Filipina. Bahasa Jawa sedikit berbeda dengan bahasa lain dikarenakan bahasa Jawa memiliki tingkat tutur. Hal ini juga yang melandasi mengapa bahasa Jawa tidak menjadi bahasa nasional di Indonesia meskipun jumlah penuturnya paling banyak daripada bahasa daerah lain yang ada di Indonesia. Tingkat tutur adalah 12 variasi bahasa yang perbedaannya ditentukan oleh sikap pembicara kepada mitra bicara atau orang ketiga yang dibicarakan (Wedhawati dkk, 2006:10). Yang melandasi tingkat tutur dalam bahasa Jawa yaitu perbedaan umur, derajat tingkat sosial dan jarak keakraban antara pembicara dengan mitra bicara. Dulu, pembagian tingkat tutur sangat rumit dan rinci dalam penggunaannya. Beberapa tingkat tutur bahasa Jawa yaitu ngoko, madya, krama, krama inggil, krama-desa, kedhaton, kramantara, dan masih banyak lagi. Namun beberapa tahun terakhir tingkat tutur bahasa Jawa diringkas menjadi dua macam yaitu ngoko dan krama. Keduanya kemudian dibagi lagi dalam bentuk lugu dan alus. Jumlah penutur yang banyak dan wilayah persebaran yang luas mengakibatkan bahasa Jawa mengalami perubahan. Perubahan tersebut merupakan variasi pemakaian yang dilakukan oleh para penutur yang biasa disebut dengan dialek. Chambers dan Trudgill (1980:3) mengungkapkan bahwa dialek merupakan bahasa yang dibawah standar, berstatus rendah, bahasa yang kasar yang biasa digunakan oleh para petani, kelas pekerja atau kelompok lain yang kurang berprestise. Dialek juga merupakan sebuah penyimpangan bahasa dari bahasa standar atau baku. Dialek dapat dibagi menjadi tiga jenis menurut kelompok pemakaiannya, yaitu dialek regional, dialek sosial dan dialek temporal (Nadra & Reniwati, 2009:2). Dialek regional yaitu variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal atau wilayah penutur. Dialek sosial yaitu variasi bahasa yang digunakan golongan tertentu. Sedangkan dialek temporal yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh golongan atau kelompok pada masa tertentu. 13 Bahasa Jawa memiliki beberapa dialek diantaranya dialek bahasa Jawa standar yaitu Dialek Yogya-Solo, dialek Banyumas, dan dialek Jawa Timur. Dalam bahasa Jawa dialek Jawa Timur dibedakan menjadi dua macam yaitu dialek non-Osing dan dialek Osing. Penutur bahasa Jawa dialek non-Osing wilayahnya meliputi daerah Tuban, Gresik, Surabaya, Mojokerto, Lamongan, Probolinggo, Malang. Sedangkan penutur bahasa Jawa dialek Osing berada di daerah Banyuwangi. Soedjito (1981) menerangkan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena dalam setiap ragam bahasa yang dipergunakan di suatu daerah tertentu, lambat laun terbentuklah anasir kebahasaan yang berbeda-beda, seperti dalam lafal, tata bahasa, tata arti, dan sikap yang mempergunakan salah satu bentuk khusus. Perbedaannya antara lain : 1. perbedaan fonetik, polimorfisme atau alofonik (fonologi) 2. perbedaan semantik yaitu dengan terciptanya kata-kata baru, berdasarkan fonologi dan geseran bentuk (sinonim & homonim) 3. perbedaan onomasiologis yang menunjukkan nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda 4. perbedaan semasiologis yang merupakan kebalikan dari perbedaan onomasiologis yaitu pemberian nama untuk beberapa konsep yang berbeda 5. perbedaan morfologis yang dibatasi adanya sistem tata bahasa oleh krekuensi morfem-morfem yang berbeda, oleh kegunaannya yang berkerabat, oleh wujud fonetisnya, oleh daya rasanya dan oleh sejumlah faktor lainnya lagi (Ayatrohaedi dalam Soedjito, 1981) 14 1.7.2 Dialek Surabaya Dialek Surabaya merupakan salah satu jenis variasi dialek Jawa Timur. Bahasa Jawa dialek Surabaya banyak digunakan di Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo. Bahasa Jawa dialek Surabaya memiliki perbedaan yang mencolok apabila dibandingkan dengan bahasa Jawa Standar dialek Yogya-Solo. Perbedaan yang terlihat tidak hanya pada segi fonetis namun juga ada beberapa kosakata yang berbeda dalam penamaan sebuah benda atau keadaan. Berikut beberapa contoh perbedaan kosakata antara bahasa Jawa dialek Surabaya dengan bahasa Jawa standar dialek Yogya-Solo. 1. Sudah KOSAKATA Bahasa Jawa Standar Bahasa Jawa Dialek Yogya-Solo Dialek Surabaya Rampung Mari 2. Untuk Kanggo Gawe 3. Cepat Rikat Cepet 4. Tidak Ora Gak 5. Kalau Yen Lek NO Bahasa Indonesia Dari segi fonetis, bahasa Jawa dialek juga memiliki sedikit perbedaan dengan bahasa Jawa standar dialek Yogya-Solo. Pada bahasa Jawa dialek Surabaya cenderung muncul bunyi glotal khususnya bunyi /k/ pada kata-kata yang diakhiri dengan vokal. Selain itu perubahan vokal nada tinggi menjadi rendah pada beberapa kata yang berakhiran konsonan. Perhatikan tabel berikut : 15 NO 1. KOSAKATA BAHASA JAWA Ana PENGUCAPAN Dialek Yogya-Solo Dialek Surabaya [ n ] [ n ?] 2. Teka [tek ] [tek ?] 3. Pitik [pitI?] [pItI?] 4. Jupuk [jupU?] [jUpU?] 5. Durung [durUŋ] [dUrUŋ] Ciri khas lain yang nampak pada bahasa Jawa dialek Surabaya yaitu penghilangan fonem /w/ yang berposisi pada awal kata pada beberapa kosakata. Beberapa diantaranya yaitu kata wetan ‘timur’, weruh ‘lihat’, wutuh ‘utuh’ diucapkan menjadi etan, eruh, utuh (Wedhawati dkk, 2006:22). 1.7.3 Partikel Kalimat Kata merupakan satuan lingual terkecil. Kata dapat dibedakan menjadi dua yaitu kata gramatikal atau kata struktural dan kata leksikal. Kata leksikal mempunyai makna sendiri dan fungsi dalam kalimat, misalnya verba, nomina, atau ajektiva. Sedangkan kata gramatikal atau struktural yaitu kata yang hanya dapat berfungsi dan bermakna di dalam konstruksi sintaksis tertentu. Partikel merupakan salah satu contoh kata gramatikal. Partikel tidak dapat berdiri sendiri sebagai kalimat dan tidak dapat menduduki fungsi sintaksis tertentu tanpa bergabung dengan kata lain. Partikel jika dilihat dari segi bentuk mirip dengan imbuhan (afiks) karena hanya terdiri atas satu suku kata. Perbedaannya terlihat pada kemandirian distribusi partikel. Secara umum partikel memiliki dua ciri khas, yaitu tidak dapat 16 diderivasikan atau diinfleksikan dan tidak memiliki makna leksikal (Wedhawati dkk, 2006:404-405). Beberapa ahli mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang partikel. Dalam beberapa pembagian kelas kata, ada pula yang tidak menyebutkan partikel di dalamnya. Keraf (1984) menyebutkan bahwa dalam pembagian kelas kata secara tradisional tidak disebutkan adanya partikel. Adapun yang disebutkan adalah kata seru (interjectio). Akan tetapi dalam pembagian kelas kata modern, partikel masuk dalam kata tugas. Partikel yang disebutkan yaitu lah, kah, tah dan pun. Berdasarkan peranannya dalam frasa atau kalimat, Alwi dkk (1998) membagi kata tugas menjadi lima, yaitu preposisi, konjungtor, interjeksi, artikula dan partikel penegas. Kategori partikel penegas meliputi kata yang tidak tertakluk pada perubahan bentuk dan hanya berfungsi menampilkan unsur yang diiringinya. Partikel penegas yang disebutkan ada empat, yaitu –kah, -lah, -tah, dan pun. Tiga yang pertama merupakan klitika, sedangkan yang keempat bukan. Menurut posisinya dalam suatu konteks, kata partikel dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu preposisi dan postposisi (Wedhawati dalam Suwadji, 1991). Dalam bahasa Jawa, contoh preposisi yaitu ing, saka, kanggo dan sebagainya. Sedangkan contoh postposisi hanya disebutkan ta dan banget. Teori yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini yaitu teori dari Wedhawati dkk (2006) dalam buku Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Wedhawati menyebutkan bahwa partikel merupakan kata yang tidak dapat ditelusuri maknanya secara leksikal, sehingga harus dilakukan secara gramatikal dalam 17 konteks kalimat. Partikel juga mempunyai ciri tidak dapat diinfleksikan atau diderivasikan. Partikel bahasa Jawa ada tiga golongan besar, yaitu partikel pelunak (kok, mbok), partikel pelengkap (dhing, je, ya, ta), dan partikel pementing (ta). Dalam bahasa Jawa dialek Surabaya tentunya ada partikel yang berfungsi sebagai pelunak, pelengkap dan pementing. Akan tetapi kami menganggap bahwa variannya tidak hanya seperti yang telah disebutkan, namun masih banyak lagi. Selain itu fungsinya tentu saja lebih luas dan tidak hanya terpaku pada ketiga fungsi tersebut. Bahkan kemungkinan satu partikel kalimat mempunyai dua fungsi yang berbeda. Hal ini bisa saja terjadi karena makna partikel dapat diketahui dari penggunaannya dalam kalimat. Teori tersebut digunakan sebagai acuan dasar dalam penelitian ini sehingga dapat diperoleh hasil analisis yang maksimal. 1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Metode Penelitian ini bersifat sinkronis. Hal ini dikarenakan penelitian ini hanya meneliti fenomena suatu bahasa pada waktu tertentu (Mahsun, 2007:85). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Ciri-ciri dari metode ini yaitu menggunakan teori dasar, konsep dasar, model, juga rancangan penelitian tentang bahasa pada umumnya. Metode ini digunakan karena memungkinkan peneliti untuk menggali informasi mengenai sebuah fenomena secara komperehensif. 18 Penelitian ini dibagi dalam tiga tahapan, yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. 1.8.2 Sumber Data Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan terdiri atas dua jenis yaitu data lisan dan tulis. Data lisan merupakan hasil rekaman percakapan seharihari masyarakat Surabaya. Data lisan berasal dari percakapan informal karena penggunaan partikel kalimat bahasa Jawa dialek Surabaya sering sekali digunakan pada situasi tersebut. Sedangkan data tulis merupakan wacana humor khas Surabaya yang di download dari beberapa blog humor khas Surabaya dan artikel rubrik “Surabayan” pada website majalah bahasa Jawa Panjebar Semangat. Data tulis diambil dari wacana humor dan artikel rubrik “Surabayan” karena wacana tersebut menggunakan bahasa Jawa dialek Surabaya sehari-hari dan bersifat informal sehingga sering kali ditemukan partikel kalimat bahasa Jawa dialek Surabaya di dalamnya. 1.8.3 Teknik Penyediaan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis karena data yang digunakan juga terdiri atas dua macam yang berbeda. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data lisan yaitu metode simak. Disebut metode simak karena cara yang dilakukan untuk memperoleh data yaitu dengan menyimak pemakaian bahasa (Mahsun, 2007:92). Metode ini memiliki teknik 19 dasar yang berwujud teknik sadap. Teknik sadap dilakukan dengan cara menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang informan. Sebagai teknik lanjutan, peneliti menggunakan teknik simak bebas libat cakap dan teknik rekam. Peneliti merekam percakapan informan dengan menggunakan tape recorder. Peneliti sengaja tidak ikut di dalam percakapan untuk menjaga agar data yang diperoleh merupakan data yang seasli mungkin. Data yang diperoleh dalam rekaman kemudian ditranskripsikan secara ortografis sehingga menjadi data tertulis yang siap untuk diteliti. Data tulisan diambil dengan menggunakan metode pustaka. Metode pustaka merupakan metode pengumpulan data yang bersumber dari data yang berupa tulisan (Moleong,1989:124). Teknik yang digunakan dalam metode ini yaitu teknik dokumentasi. Teknik dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data melalui dokumen atau tulisan pada waktu itu yang berupa kalimat-kalimat dalam wacana humor dan artikel rubrik “Surabayan” yang telah ditentukan sebagai data penelitian. 1.8.4 Teknik Analisis Data Data yang telah terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan metode agih (Sudaryanto,1993:13) atau distribusional (Djajasudarma,1993:121). Metode agih atau distribusional dilakukan dengan cara mengolah data yang berupa bahasa dengan menggunakan bagian-bagian dari bahasa itu sendiri sebagai alat penentunya. 20 Teknik yang digunakan dalam menganalisis data ada tiga, yaitu teknik ganti (substitusi), teknik perluas (ekspansi), dan teknik ubah ujud (parafrasa). Teknik ganti yaitu teknik analisis data yang dilakukan dengan cara mengganti satuan kebahasaan tertentu di dalam suatu konstruksi dengan satuan kebahasaan yang lain di luar konstruksi yang bersangkutan (Jati Kesuma, 2007:58). Teknik perluas dilakukan dengan cara memperluas satuan kebahasaan yang dianalisis dengan menggunakan satuan satuan kebahasaan tertentu (Jati Kesuma, 2007:59). Teknik ubah ujud dilakukan dengan cara mengubah wujud atau bentuk satuan kebahasaan yang dianalisis (Jati Kesuma, 2007:63). 1.8.5 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Dalam penelitian ini data yang telah dianalisis kemudian akan disajikan dalam dua cara yaitu secara formal dan informal. Dalam penyajiannya dilakukan secara deskriptif. Dalam penyajian bentuk formal, hasil analisis akan dirumuskan dengan menggunakan kata-kata atau kalimat secara ortografis serta digunakan lambang-lambang atau kode-kode dalam linguistik. Sedangkan dalam penyajian bentuk informal penyajian hasil analisis data dilakukan dengan cara menuliskan data-data dalam bahasa Jawa dialek Surabaya yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan penulisan secara ortografis. 1.9 Sistematika Penulisan Penelitian tentang Partikel Kalimat dalam Bahasa Jawa Dialek Surabaya ini akan disajikan dalam tujuh bab. Bab pertama adalah “Pendahuluan” yang 21 berisikan latar belakang, rumusan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua adalah “Bentuk Partikel Kalimat Bahasa Jawa Dialek Surabaya” yang berisikan beberapa macam partikel kalimat bahasa Jawa dialek Surabaya yang ditemukan oleh penulis dan beberapa contoh penggunaannya dalam kalimat. Bab ketiga adalah “Fungsi dan Makna Partikel Kalimat Bahasa Jawa Dialek Surabaya” yang berisikan penjelasan tentang fungsi dan makna partikel kalimat bahasa Jawa dialek Surabaya yang ditemukan oleh penulis dan beberapa contoh penggunaannya dalam kalimat. Bab keempat adalah “Klasifikasi Partikel Kalimat Bahasa Jawa Dialek Surabaya” yang berisikan klasifikasi partikel kalimat bahasa Jawa dialek Surabaya yang ditemukan oleh penulis berdasarkan distribusi dalam kalimat dan makna pragmatisnya serta ditambahkan beberapa contoh penggunaannya dalam kalimat. Bab kelima “Penutup” yang berisi kesimpulan dari keseluruhan penelitian yang dilakukan serta saran untuk penelitian selanjutnya.