HASIL PENELITIAN Otonomi Daerah, Kesejahteraan Masyarakat, dan Kerjasama Pembangunan Antar Daerah OLEH: TIM PENELITI UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA KERJASAMA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA DAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2009 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ....…………………………………………………………………. 1 1.2. Rumusan Permasalahan . ………………………………………………………… 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hakekat Otonomi Daerah Dalam NKRI .............................................................. 4 2.2. Penegrtian Pemerintah Dan Pemerintah Daerah ……………………………… 22 2.3. Kejahteraan Masyarakat Dan Kerjasama Antar Daerah ................................... 31 BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1. Tujuan Penelitian ................................................................................................... 38 3.2. Manfaat Penelitian ................................................................................................. 39 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian ....................................................................................................... 40 4.2. Tipe Penelitiaan ...................................................................................................... 41 4.3. Data Dan Sumber Data .......................................................................................... 41 4.4. Metode Pengumpulan Data ................................................................................... 42 4.5. Analisis Data ........................................................................................................... 42 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Konstruksi Konsepsional Otonomi Daerah Sebagai Salah Satu Instrumen Peningkatan Laju Pertumbuhan Kesejahteraan Masyarakat Di Indonesia ... 43 5.2. Format Ideal Kerjasama Pembangunan Antar Daerah Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ....................................... 65 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ............................................................................................................. 77 6.2. Saran ....................................................................................................................... 78 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang terdiri dari provinsi-provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan daerah otonom dan memiliki hak otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Hak otonomi bukan berarti untuk memecah daerah-daerah yang ada di Indonesia melainkan untuk lebih memajukan daerah dengan melibatkan peran aktif masyarakat daerah. Peran aktif masyarakat di daerah dapat dilakukan dengan cara pemberian otonomi tersebut. Sebagai daerah otonom yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, setiap daerah memiliki kewenangan menyusun Peraturan Daerah (Perda) sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Perda sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dibahas bersama dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama.1 Dalam praktik perda itu bisa berasal dari eksekutif atau kepala daerah atau inisiatif dari anggota DPRD. Otonomi sendiri diharapkan dapat mempercepat laju pertumbuhan masyarakat di daerah dalam berbagai bidang, terutama dengan adanya asas 1 Lihat UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 1 ayat (7). 1 desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan sehingga kesejahteraan masyarakat dan kerjasama pembangunan di daerah semakin meningkat. Otonomi daerah akan mempunyai makna daerah diberikan wewenang membuat peraturan daerah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya. Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari daerah-daerah baik provinsi, kabupaten/kota mempunyai hubungan yang erat dalam pelaksanaan otonomi. Otonomi yang melibatkan daerah-daerah diseluruh Indonesia diharapkan akan berdampak baik dalam menjalin hubungan kerjasama daerah di Indonesia, selain untuk memotivasi prestasi-prestasi daerah di bidang pembangunan daerahnya masing-masing. Untuk itu Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten tertarik untuk melakukan penelitian untuk mencari format mengenai hal tersebut dengan judul “Otonomi Daerah Sebagai Instrumen Pendorong Laju Pertumbuhan Kesejahteraan Masyarakat dan Peningkatan Kerjasama Pembangunan Antar Daerah di Indonesia” 1.2. Rumusan Permasalahan Dari apa yang sudah dipaparkan tersebut, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur bahwa hakekat dari otonomi daerah adalah untuk kesejahteraan masyarakat dan dapat terlaksananya pembangunan kerjasama antar daerah, maka yang menjadi permasalahan adalah : 1. Bagaimanakah konstruksi konsepsional otonomi daerah sebagai salah satu instrumen peningkatan laju pertumbuhan kesejahteraan masyarakat di Indonesia ? 2 2. Bagaimanakah format ideal kerjasama pembangunan antar daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004? 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hakekat Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Di dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 1 ayat (1), menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”2. Istilah Negara Kesatuan (bersusun tunggal), adalah bahwa susunan negaranya hanya terdiri dari satu negara. Dengan kata lain Indonesia tidak mengenal konsep negara bagian di dalam penyelenggaraan pemerintahan negaranya. Dengan demikian dalam “negara kesatuan” hanya ada satu pemerintah, yaitu Pemerintahan Pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.3 Walaupun konsep negara Indonesia sebagai negara kesatuan jika dilihat dari luas wilayah kurang cocok. Namun, dengan pemberian otonomi inilah kita semua dapat meringankan tugas-tugas pemerintahan pusat. Sebab, jika menelaah sejarah sentralisasi yang pernah dipraktikan di Indonesia sendiri kurang cocok. Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Kekuasaan negara kesatuan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah, walaupun dalam implementasinya, negara kesatuan bisa berbentuk sentralisasi, 2 3 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Op Cit Lebih jelas baca Soehino, Ilmu Negara, (Penerbit liberty, Yogyakarta: 2000), hal. 224 4 yang segala kebijaksanaan dilakukan secara terpusat ataupun berbentuk desentralisasi, yang segala kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara (pemerintahan) dipencarkan. Ciri yang melekat pada negara kesatuan, yaitu (1) adanya supremasi dari parlemen atau lembaga perwakilan rakyat pusat dan (2) tidak adanya badan-badan bawahan yang mempunyai kedaulatan (the absencee of subsidiary soveriegn bodies). Kedaulatan yang terdapat dalam negara kesatuan tidak dapat dibagi-bagi, bentuk pemerintahan desentralisasi dalam negara kesatuan adalah sebagai usaha mewujudkan pemerintahan demokrasi, di mana pemerintahan daerah dijalankan secara efektif, guna pemberdayaan kemaslahatan rakyat. Menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, yang dimaksud dengan negara kesatuan adalah: “Disebut negara kesatuan apabila kekuasaan Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah tidak sama dan tidak sederajat. Kekuasaan Pemerintahan Pusat merupakan kekuasaan yang menonjol dalam negara dan tidak ada saingannya dari Badan Legislatif Pusat dalam membentuk undang-undang. Kekuasaan yang di daerah bersifat derivatif (tidak langsung) dan sering dalam bentuk otonomi yang luas”.4 Sedangkan makna berbentuk Republik dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah ditujukan pada bentuk Pemerintahan Negara Indonesia. Menurut George Jellinek, Republik adalah sebagai lawan dari Monarki. Perbedaan antara monarki dan republik, benar-benar mengenai perbedaan dari pada sistim pemerintahannya. Untuk 4 Titik Tri Wulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, cet.1, (Jakarta: Prestasi pustaka, 2006), hal.177-178. 5 membedakannya digunakan kriteria suatu pertanyaan tentang bagaimana terbentuknya “kemauan” negara5. Kemauan negara dipergunakan oleh Jellinek sebagai kriteria untuk mengklasifikasikan negara, oleh karena negara itu dianggap sebagai sesuatu kesatuan yang mempunyai dasar-dasar hidup dan dengan demikian negara itu mempunyai kehendak atau kemauan. Kemauan negara ini sifatnya abstrak, sedangkan dalam bentuknya yang kongkrit kemauan negara itu menjelma sebagai hukum atau undang-undang6. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 7Dalam menyelenggarakan pemerintahannnya dianut 3 (tiga) asas yaitu: 1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 1. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 2. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. 5 Ibid., hal. 174 Ibid., hal. 174-175 7 Republik Indonesia, UU No 32 Tahun 2004, Op.Cit. 6 6 Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.8 Pengertian otonomi yang luas menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih tersebut itulah yang dimaknai sebagai otonomi daerah. Istilah otonomi sendiri secara etimologi berasal dari kata bahasa Yunani, yaitu auto (sendiri), dan nomos (peraturan) atau “undang-undang”9. Oleh karena itu menurut Muslimin bahwa “otonomi”diartikan sebagai pemerintahan sendiri.10 Sedangkan pengertian otonomi daerah menurut Fernandez adalah pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah yang memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.11 Pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah sebagaimana yang diungkapkan oleh Fernandez apabila dikaitkan dengan pemaknaan negara kesatuan menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, maka yang memberikan 8 Republik Indonesia Ibid Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya, cet. 2, (Bandung: Djambatan, 2004), hal.88. 10 Ibid. 11 Ibid., hal. 89. 9 7 hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah yaitu berasal dari Pemerintah Pusat atau yang disebut juga sebagai pelaksanaan asas desentralisasi. Penguatan pelaksanaan otonomi daerah oleh Pemerintahan Daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia secara historis sudah ada sejak lahirnya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1945 sampai lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai dampak dari reformasi konstitusi (Constitutional Reform) yang terjadi di Indonesia. Pengejawantahan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Baik dalam definisi daerah otonom maupun otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi daerah otonomi yang diselenggarakan secara konseptual oleh Pemerintah Daerah. Untuk lebih mempertajam bahasan tentang definisi desentralisasi, di bawah ini beberapa definisi yang diungkapkan oleh beeberapa pendapat para ahli “doktrin” yaitu: a. Menurut Joniarto, dalam negara kesatuan semua urusan negara menjadi wewenang sepenuhnya dari pemerintah (Pusat)-nya. Kalau negara yang bersangkutan mempergunakan asasa desentralisasi di mana di daerah-daerah dibentuk pemerintah lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, kepadanya dapat diserahkan urusan tertentu untuk diurus sebagai rumah tangganya sendiri.12 b. Menurut Philipus M. Hadjon, mengemukakan: 12 Titik Tri Wulan Tutik, Ibid., hal. 178. 8 “Desentralisasi mengandung makna bahwa wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh Pemerintah Pusat, melainkan dilakukan juga oleh satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam bentuk satuan teritorial maupun fungsional. Satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan dibiarkan mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan”.13 c. Menurut Rondinelli, desentralisasi merupakan sebagai transfer tanggng jawab dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agennya kepada unit kementerian pemerintah pusat, unit yang ada di bawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonom, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemerintah dan organisasi nirlaba.14 d. Menurut Shahid Javid Burki dkk, menggunakan istilah desentralisasi untuk menunjukan adanya proses perpindahan kekuasaan politik, fiskal dan administrasi kepada unit pemerintah sub nasional. Oleh karena itu yang terpenting adalah adanya pemerintah daerah yang terpilih melalui pemilihan lokal (elected sub-national government).15 e. Menurut M. Turner dan D. Hulme berpandangan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen pemerintah pusta 13 Ibid., hal. 185. Dede Rosyada et al.,Demokrasi, Hak Asasi Manusia &Masyarakat Madani, cet. 2, ( Jakarta: Tim Icce Uin Jakarta dan Prenada Media: 2005), hal. 150. 15 Ibid., hal. 150. 14 9 kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat ke publikyang dilayani.16 Dari pemaknaan asas desentralisasi tersebut dapat diklasifikasi dalam beberapa hal, diantaranya: (1) desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan dan kekuasaan; (2) desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan; (3) desentralisasi sebagai pembagian, penyebaran, pemencaran, dan pemberian kekuasaan dan kewenangan; serta (4) desentralisasi sebagai sarana dalam pembagian dan pembentukan daerah pemerintahan.17 Bagir Manan berpandangan bahwa desentralisasi dilihat dari hubungan pusat dan daerah yang mengacu pada UUD 1945, maka: pertama, bentuk hubungan antara pusat dan daerah tidak boleh mengurangi hak-hak rakyat daerah untuk turut serta (secara bebas) dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kedua, bentuk hubungan antara pusat dan daerah tidak boleh mengurangi hak-hak (rakyat) daerah untuk berinisiatif atau berprakarsa. Ketiga, bentuk hubungan antara pusat dan daerah dapat berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Keempat, bentuk hubungan antara pusat dan daerah adalah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial di daerah.18 16 Ibid., hal. 151. Agussalim Andi Gadjong. Pemerintahan Daerah, Kajian Politik dan Hukum (Analisis Perundang-undangan Pemerintah Daerah dan Otonomi Daerah Semenjak Tahun 1945 sampai dengan 2004). Ciawi-Bogor. Ghalia Indonesia. Cet-I. 2007. hlm. 79. 18 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, Disertasi, Unpad, Bandung, 1990 17 10 Ada beberapa alasan ideal mengapa asas desentralisasi diterapkan bagi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, sebagaimana yang diungkapkan oleh The Liang Gie, diantaranya:19 a. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani. b. Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi. c. Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan Pemerintahan Daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah. d. Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya adanya perhatian dapat sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya. e. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut. Melalui penelusuran lebih dalam dinamika perkembangan konsepsi desentralisasi, dalam aktualisasinya akan terlihat dengan jelas tidak luput dari 19 Dede Rosyada et al., op.cit., hal. 153. 11 polemik antara pihak yang pro dan kontra atas konsep desentralisasi itu sendiri. Diskursus terkait dengan desentralisasi pada tataran konseptual memunculkan kerumitan-kerumitan tertentu dalam memahami konsep itu sendiri. Pemahaman konsep desentralisasi dalam pengertiannya mengandung pengertian yang beragam tergantung dari sudut pandang mana desentralisasi itu diartikan. Diantara disiplin ilmu yang telah memberikan kontribusi dalam kajian desentralisasi dan otonomi daerah tersebut adalah ilmu ekonomi, hukum, sosiologi dan antropologi. Akibatnya, dapat dimengerti bila kemudian konsep desentralisasi dan otonomi daerah telah dirumuskan dalam “bahasa” yang berbeda, sesuai dengan disiplin ilmu yang bersangkutan. Namun demikian, kompleksitas konsep desentralisasi tersebut, secara umum, dapat dikategorikan dalam 2 (dua) perspektif utama, yakni: political and administrative decentralisation perspectives (perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi). Adapun yang menjadikan perbedaan mendasar dari dua perspektif ini terletak pada rumusan definisi dan tujuan desentralisasi itu sendiri. Perspektif desentralisasi politik mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Menurut Parson (1961), desentralisasi mengandung pengertian sebagai sharing of the governmental power by a central ruling group with other groups, each having authority within a specific area of state.20 Apabila pengertian desentralisasi ditinjau dari perspektif administrasi diartikan sebagai delegasi wewenang administrasi dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Guna lebih dalam 20 Syamsuddin Haris, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, cet. 1, ( Jakarta: LIPI Press, 2006), hal. 68. 12 memahami desentralisasi administrasi, Rondinelli and Cheema (1983:18) mengatakan bahwa “Decentralisation is the transfer or planing, decision-making, or administrative authority from central government to its field organisations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organisations, local government, or non government organisations”. Adanya perbedaan diantara dua perspektif tersebut dalam mendefinisikan desentralisasi, tidak dapat dihindari, memiliki implikasi pada pebedaan dalam merumuskan tujuan utama yang hendak dicapai. Secara umum perspektif desentralisasi politik lebih menekankan tujuan yang hendak dicapai pada aspek politis, antara lain: untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggaraan pemerintah dan masyarakat, serta untuk mempertahankan integrasi nasional. Dalam formulasi yang lebih rinci Smith (1985), kemudian telah membedakan tujuan desentrslisasi tersebut berdasarkan kepentingan nasional (pemerintah pusat), dan dari sisi kepentingan Pemerintah Daerah. Dalam formulasi yang lebih rinci, Smith (1985), kemudian telah membedakan tujuan desentralisasi tersebut berdasarkan kepentingan nasional (Pemerintah Pusat), dan dari sisi kepentingan Pemerintah Daerah. Bila di lihat dari sisi kepentingan Pemerintah Pusat, menurut Smith (1985) sedikitnya ada tiga tujuan utama dari desentralisasi, yaitu:21 a. Pertama, melalui praktek desentralisasi, diharapkan masyarakat akan belajar mengenali dan memahami berbagai persoalan sosial, ekonomi dan politik yang mereka hadapi. 21 Ibid. 13 b. Kedua, to provide training in political leadership (untuk latihan kepemimpinan). Tujuan ini berangkat dari asumsi dasar bahwa Pemerintah Daerah merupakan wadah yang paling tepat untuk training bagi para politisi dan birokrat, sebelum meraka menduduki berbagai posisi penting di tingkat nasional. c. Ketiga, desentralisasi dari sisi kepentingan Pemerintah Pusat adalah to create political stability (untuk menciptakan stabilitas politik). Melalui kebijaksanaan desentralisasi akan mampu mewujudkan kehidupan sosial yang harmonis, dan kehidupan politik yang stabil. Di lihat dari sisi kepentingan Pemerintah Daerah, menurut Smith (1985) sedikitnya ada tiga tujuan utama dari desentralisasi, yaitu: a. Pertama, desentralisasi bertujuan untuk mewujudkan apa yang disebut dengan political equality. Ini berarti, melalui pelaksanaan desentralisasi, diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktifitas politik di tingkat lokal. b. Kedua, desentralisasi dari sisi kepentingan Pemerintah Daerah adalah local accountability. Maksudnya, melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan akan dapat tercipta peningkatan kemampuan Pemerintah Daerah dalam memperhatikan hak-hak dari komunitasnya, yang meliputi: hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan di daerah, serta hak untuk mengontrol pelaksanaan Pemerintahan Daerah itu sendiri. 14 c. Ketiga, desentralisasi dari sisi kepentingan Pemerintahan Daerah adalah local responsivenees. Asumsi dasar dari tujuan desentralisasi yang ketiga ini adalah: karena Pemerintahan Daerah dianggap lebih mengetahui berbagai masalah yang dihadapi oleh komunitasnya, maka melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan akan menjadi jalan yang terbaik utnuk mengatasi dan sekaligus meningkatkan akselerasi dari pembangunan sosial dan ekonomi di daerah. Tujuan desentralisasi secara umum tidak terlepas dari upaya penyelenggaraan pemeritahan di daerah lebih disesuaikan dengan keadaan daerah masing-masing. Bahasan desentralisasi baik secara konseptual maupun aktualisasi tidak terlepas dari keberadaan suatu sistem yang lebih besar, mengingat asas desentralisasi bukan merupakan suatu sistem yang berdiri sendiri melainkan rangkaian dari sistem yang sudah terbangun sebelumnya, yaitu “sentralisasi”. Menurut Herbert H Werlin, bahwa sesungguhnya desentralisasi tidak terjadi tanpa sentralistik, mengingat sentralsitik merupakan titik awal lahirnya desentralisasi.22 Menurut Laica Marzuki, dekonsentrasi merupakan ambtelijke decentralisastie atau delegatie van bevoegdheid, yakni pelimpahan kewenangan dari alat perlengkapan negara di pusat kepada instansi bawahan, guna melaksanakan pekerjaan tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah pusat tidak kehilangan kewenangannya karena instansi bawahan melaksanakan tugas atas nama pemerintah pusat. 22 Titik Tri Wulan, op.cit., hal. 186. 15 Menurut Instituut voor Bestuurswetenschappen dalam laporan penelitian tentang organisasi pemerintahan 1975 (onderzoek naar de besttuurlijke organisatie) seperti dikutip Philipus M. Hadjon, bahwa:23 “Dekonsentrasi adalah penugasan kepada pejabat atau dinas yang mempunyai hubungan hirarki dalam suatu badan pemerintahan untuk mengurus tugas-tugas tertentu yang disertai hak untuk mengatur dan membuat keputusan dalam maslahmasalah tertentu, pertanggungjawaban terakhir tetap pada badan pemerintahan yang bersangkutan”. Adapun menurut Bagir Manan, dekonsentrasi hanya bersangkutan dengan penyelenggaraan administrasi negara, karena itu bersifat kepegawaian (ambtelijk). Kehadiran dekonsentarsi semata-mata untuk ”melancarkan” penyelenggaraan pemerintahan sentral di daerah.24 Penerapan asas dekonsentrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan mendapat legitimasi yang kuat, mengingat keberadaannya telah diatur di dalam Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi “Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayahnya.25 Pengertian delegasi menurut Philipus M.Hadjon, 26dengan mengutip Pasal 10:3 AWB, “delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat “besluit”) oleh pejabat pemerintahan (pejabat tun) kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut.” 23 Titik Tri Wulan Tutik, op.cit., hal. 181. Ibid hal.181. 25 Indonesia,Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, ps 1 ayat (8) 26 Titik Tri Wulan, op.cit., hal. 182. 24 16 J.B.J.M. ten Berge mengemukakan syarat-syarat delegasi sebagai berikut dijelaskan di bawah ini: a. Delegasi harus definitif, artinya delegasi tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dapat peraturan perundang-undangan; c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegasi berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; e. Peraturan kebijakan (bleidsregel), artinya delegasi memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.27 Philipus M. Hadjon, 28mengemukakan bahwa: “Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n pejabat tun yang memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat tun yang memberi mandat. Dengan demikian tanggung jawab dan tanggung gugat tetap ada pada pemberi mandat.” Dalam mandat ini juga tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalihtangan kewenangan. Dengan mendasarkan pada pengertian dekonsentrasi sebagai “pelimpahan wewenang dari pemerintah………”, maka dengan pengertian yang demikian berarti wewenang yang dimiliki oleh organ 27 Ibid., hal,183. Ibid. 28 17 Pusat di daerah yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi adalah bukan suatu mandat. Dalam suatu dekonsentrasi tidak terdapat pembentukan lembaga baru yang terpisah drai organ Pemerintah Pusat. Artinya dalam dekonsentrasi, lembaga yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi adalah merupakan unsur Pemerintah Pusat. Menurut Bagir Manan,29 mengemukakan bahwa: “Pengaturan dekonsentrasi, dengan demikian inheren dalam administrasi negara. Pengaturan dekonsentrasi baru menjadi pembentuk undang-undang apabila administrasi negara “mengalihkan” wewenang itu pada badan-badan di luar administrasi bersangkutan”. wewenang wewenang bermaksud negara yang Kaitan tugas antara tugas pembantuan dengan desentralisasi dalam melihat hubungan pemerintah pusat dan daerah, seharusnya bertolak dari : (1) Tugas pembantuan adalah bagian dari desentralisasi, (2) Tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas pembantuan karena dalam tugas pembantuan terkandung unsur otonomi, (3) Tugas pembantuan sama halnya dengan otonomi yang mengandung unsur penyerahan bukan penugasan. Kalau otonomi adalah penyerahan penuh sedangkan tugas pembantuan penyerahan tidak penuh.30 Pendelegasian wewenang dalam desentralisasi juga berlangsung antara lembaga-lembaga di pusat dengan lembaga-lembaga otonom di daerah. Sementara, pendelegasian dalam dekonsentrasi berlangsung antara petugas perorangan pusat di pusat kepada petugas perorangan pusat di daerah.31 29 Ibid., hal.184. Op Cit Agussalim Andi Gadjong, hal 93 31 Ibid, Dr. Agussalim Andi Gadjong,. hlm. 100. 30 18 Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 untuk menyelenggarakan Pemerintahan antara Pusat dan Daerah dikenal dengan pembagian urusan pemerintahan yang meliputi : Pasal 10 (1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. (4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di 19 daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa. (5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat: a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Kekuasaan (Kewenangan) Negara diberikan secara atributif oleh konstitusi, yang dijabarkan melalui peraturan perundang-undangan organik dalam rangka pendelegasian, delegasi menyentuh dalam aspek pembagian kewenangan antara lembaga-lembaga Negara dan antara pemerintahan pusat dengan pemerintah daerah. Pembagian kewenangan dalam pelaksanaan pemerintahan bias mengacu pada pola general competence,ultravires, dan campuran. Kewenangan pemerintah Pusat secara antribusi dari konstitusi, kemudian didelegasikan kepada pemerintah daerah dalam konsep delegasi dan mandat supaya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah dapat berjalan dengan baik. Delegasi kewenangan kepada daerah bisa berbentuk penyerahan (otonomi)pelimpahan (dekonsentrasi) dan penugasan (medebewind) bias berwujud penyerahan secara penuh dan secara tidak penuh yang harus dilandasi suatu aturan supaya mendapat legitimasi formalistik dalam bingkai hukum, seperti kewenangan melalui unddang-undang organik pemerintahan daerah, undang- 20 undang pembentukan daerah serta peraturan pemerintah penyerahan kewenangan sebagai penjabaran dari amanat undang-undang. Pedelegasian kewenangan dalam menjalankan republik ini mengalami pasang surut dalam implementasinya,yang disebabkan oleh beberapa hal berikut. a. Penyerahan kewenangan secara formal, namun tidak ditangani sepenuhnya oleh daerah karena berbagai alasan b. Suatu kewenangan yang telah diserahkan secara formal, namun tidak ditangani sepenuhnya oleh daerah karena berbagai alasan. c. Suatu kewenangan sudah diserahkan,baik secara formal maupun secara material. Daerah telah melaksanakan sebagaimana mestinya (sepenuhnya) tetapi dengan berbagai kebijakan pemerintah pusat mengakibatkan urusan tersebut ditarik secara tersirat d. Suatu kewenangan belum diserahkan kepada daerah sebagai wewenangnya, namun kenyataannya sudah lama diselenggarakan oleh daerah secara nyata,seolah-olah urusan itu sudah menjadi menjadi wewenang daerah. e. Suatu wewenang sudah lama diserahkan secara formal kepada daerah, tetapi dengan adanya perubahan dengan perkembangan zaman, urusan tersebut sudah tidak sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan atau urusan tersebut tidak faktual lagi ditangan daerah. f. Suatu kewenangan sesuai dengan perkembangan daerah sudah selayaknya menjadi urusan pemerintah pusat32 32 Masalah mendasar yang sering terjadi selama ini, mulai terbitnya UU No.1 Tahun 1945 sampai 2005 dengan terbitnya UU No.32/2004 belum secara menyeluruh diterbitkan peraturan pnjabaran seperti yang diamanatkan oleh undang-undang yang mengatur secara langsung mengenai 21 2.2. Pengertian Pemerintah Dan Pemerintahan Daerah Secara konseptual dan empirik di berbagai negara, kata local dalam kaitannya dengan local government dan local autonomy tidak dicerna sebagai daerah, tetapi merupakan masyarakat setempat. Urusan dan kepentingan yang menjadi perhatian local government dan tercakup dalam local autonomy bersifat locality. Basis politiknya adalah lokalitas dan bukan bangsa. Pemerintahan lokal adalah representasi dari eksistensi lokalitas, sekaligus sebagai agen negara (pemerintah pusat)33. Seperti yang tampak pada pengertian local government yang diberikan oleh United Nation bahwa daerah otonom mengelola local affairs sebagaimana dikemukakan oleh Hampton bahwa : local authority are elected bodies and expected to develop policies appropriate to their localities whitin the framework of national legislation. juga ditegaskan bahwa daerah otonom harus diberikan hak untuk mengatur urusan-urusan yang bersifat lokal34. Daerah otonom adalah daerah di dalam suatu negara yang memiliki kekuasaan otonom, atau kebebasan dari pemerintah di luar daerah tersebut. Biasanya suatu daerah diberi sistem ini karena keadaan geografinya yang unik atau penduduknya merupakan minoritas negara tersebut, sehingga diperlukan hukum-hukum yang khusus, yang hanya cocok diterapkan untuk daerah tersebut. pelaksanaan pemerintah daerah sehingga membuat pemerintah daerah dalam menafsirkan pelaksanaan undang-undang tidak secara sistematis dan menyeluruh. 33 Ibid, hal.361 34 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Indonesia, FISIPOL UGM, Jogjakarta, 2003 hal. 23 22 Menurut jenisnya, daerah otonom dapat berupa otonomi teritorial, otonomi kebudayaan, dan otonomi lokal. Pengertian "otonom" secara etimologis adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri".35 Sedangkan daerah otonom36 adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari pengertian diatas, dapat diketahui bahwa otonomi daerah adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Dengan kata lain, otonomi daerah memberikan keleluasan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri yang disesuaikan dengan kondisi dalam daerah tersebut. Pemerintah daerah, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah pembagian politik suatu bangsa yang diberi kuasa oleh undang-undang, yang mempunyai kewenangan mengontrol secara substansi terhadap urusan-urusan lokal, yang merupakan badan hasil pemilihan atau seleksi secara lokal. Mathur menyatakan bahwa definisi pemerintahan daerah yang diberikan oleh PBB memberikan dasar bahwa pemerintah lokal adalah tingkat pemerintahan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pemerintahan negara. Pemerintah lokal 35 36 Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pustaka, Jakarta, 1999 hal. 542 Pasal 1 ayat (6), UU No.32 tahun 2004 Pemerintahan Daerah 23 dibentuk dengan undang-undang, memiliki tanggung jawab dan biasanya dihasilkan dalam suatu pemilihan lokal.37 Pemerintah daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Sedangkan Pemerintahan daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 38 Secara historis, asal usul dari struktur pemerintahan daerah berasal dari Eropa di abad ke-11 dan ke-12. beberapa istilah yang digunakan untuk pemerintahan daerah masih termasuk lama, berasal dari Junani dan Latin kuno. Koinotes (komunitas) dan demos (rakyat atau distrik) adalah istilah-istilah pemerintahan daerah yang digunakan di Yunani sampai sekarang. Municipality (kota atau kotamadya) dan varian-variannya berasal dari istilah hukum Romawi municipium. City (kota besar) berasal dari istilah Romawi civitas, yang juga berasal dari kata civis (penduduk). County (kabupaten) berasal dari comutates, yang berasal dari kata comes, kantor dari seorang pejabat kerajaan. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik 37 S.N. Jha dan P.C. Mathur, Decentralization and Local Politics, 1st Published, New Delhi: Sage Publications India Ltd., 1999, hlm. 58. “…a local government as a political devision of nation (or, in a federal system, a state) wich is constituted by law and has substansial control of local affair, including the powers to impose taxes or to extract labour for prescribed purposes”. 38 Lihat Pasal 1 angka 2 dan 3 UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 24 Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.39 Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.40 Terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah itu sendiri ada beberapa ajaran yang menentukan pembagian penyelenggaraan pemerintahan negara dalam rangka sistim desentaralisasi. yaitu : 1. Ajaran rumah tangga materil; 2. Ajaran rumah tangga formil; 3. Ajaran rumah tangga riil41. Menurut ajaran rumah tangga materil untuk mengetahui urusan manakah yang termasuk urusan rumah tangga daerah atau pusat, harus melihat dahulu kepada materi yang akan diurus oleh pemerintah masing-masing. Titik beratnya terletak pada macam-macamnya urusan yang akan diselenggarakan oleh pemerintahan dan sangat tergantung pada kemampuannya. Ukuran-ukuran tersebut tentunya bersifat sangat subyektif. Sedangkan menurut ajaran rumah tangga formil, bahwa segala urusan menjadi urusan rumah tangga pemerintah pusat dan hal yang lain dapat menjadi 39 Ibid Op Cit, UU No 32 Tahun 2004 41 Moh.Kusnadi dan Harmaily Ibrahim. , Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarata. 1985, Hlm. 253 40 25 urusan rumah tangga daerah didasarkan kepada daya guna (efektifitas). Penyerahan tersebut dilakukan secara formil berdasarkan mekanisme yang diatur melalui undang-undang. Lain halnya menurut ajaran rumah tangga riil, bahwa sesuatu hal menjadi urusan pemerintah pusat atau daerah didasarkan kepada kebutuhan dan keadaan senyatanya. Akan tetapi kewenangan untuk mengatur sesuatu hal menjadi urusan pemerintah daerah dengan mengingat manfaat dan hasil yang akan dicapai. haruslah diatur dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya. Disamping ajaran mengenai rumah tangga pemerintahan juga dikenal asasasas penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu asas dekonsentrasi dan asas desentralisasi. Disamping kedua asas tersebut, terdapat juga asas yang dipergunakan dalam sistim pemerintahan daerah yang dikenal tugas pembantuan (medebewind) atau asas yang dipergunakan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan berbagai urusan yang sebenarnya merupakan urusan pemerintah pusat. Menurut CST Kansil, asas desentralisasi adalah “asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu”42 Sedangkan asas dekonsentarasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat. kepala wailayah. atau kepala instansi vertikal tingkat yang lebih tinggi kepada pejabatpejabatnya di daerah. 42 C.S.T. Kansil dan Cristine S.T. Kansil. Sistim Pemerintahan Indonesia. Bumi Aksara. Jakarta. 2003. hlm. 142 26 Tanggung jawab tetap ada pada pemerintah pusat baik perencanaan maupun pelaksanaannya maupun pembiayaannya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Unsur pelaksanaannya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil pemerintah pusat. Latar belakang dilaksanakannya sistim penyelenggaraan pemerintaaan yang dekonsentratif adalah karena tidak semua urusan pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah menurut asas desentralisasi. Hal ini juga dianut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nonor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.43 Perbedaan (medebewind) pelaksanaan pemerintahan menurut tugas pembantuan dengan asas desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah. adalah tugas pembantuan (medebewind) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah menurut garis kebijaksanaan pusat. oleh karena pada dasarnya urusan tersebut sebenarnya adalah menjadi urusan pemerintah pusat, namun oleh karena pelaksanaan urusan dilaksanakan di daerah. maka pemerintahan daerah membantu pelaksanaannya.44 Oleh karena itu, ada beberapa tujuan dan manfaat yang biasa dinisbatkan dengan kebijakan desentralisasi dan dekonsentrasi, yaitu: 43 44 Lihat Pasal 10 ayat (2) juncto pasal 20 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Soehino.Op. Cit hlm. 149 27 1) Dari segi hakikatnya, desentralisasi dapat mencegah terjadinya penumpukan (concentration of power) dan pemusatan kekuasaan (centralised power) yang dapat menimbulkan tirani; 2) Dari sudut politik, desentralisasi merupakan wahana untuk pendemokratisasian kegiatan pemerintahan; 3) Dari segi teknis organisatoris, desentralisasi dapat menciptakan pemerintahan yang lebih efektif dan efisien; 4) Dari segi sosial, desentralisasi dapat membuka peluang partisipasi dari bawah yang lebih aktif dan berkembangnya kaderisasi kepemimpinan yang bertanggungjawab karena proses pengambilan keputusan tersebar di pusatpusat kekuasaan di seluruh daerah; 5) Dari sudut budaya, desentralisasi diselenggarakan agar perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkah kepada kekhususan-kekhususan yang terdapat di daerah, sehingga keanekaragaman budaya dapat terpelihara dan sekaligus didayagunakan sebagai modal yang mendorong kemajuan pembangunan dalam bidang-bidang lainnya; 6) Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, karena pemerintah daerah dianggap lebih banyak tahu dan secara langsung berhubungan dengan kepentingan di daerah, maka dengan kebijakan desentralisasi, pembangunan ekonomi dapat terlaksana dengan lebih tepat dan dengan ongkos yang lebkih murah. Sedangkan dalam konteks otonomi daerah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah menurut kebijakan daerah masing-masing. 28 asal tidak menyimpang dari kepentingan pemerintah pusat. hal ini disebabkan wewenang untuk menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri ada pada pemerintah daerah yang berarti membiarkan bagi daerah untuk berinisiatip sendiri dan merealisir apa yang sudah menjadi urusannya itu. Oleh karena urusan tersebut adalah urusan rumah tangga sendiri. maka pemerintah daerah memerlukan alat-alat perlengkapannya sendiri, termasuk didalamnya berbagai hal yang berkaitan dengan tata kepegawaian maupun yang berkaitan dengan persoalan keuangan. Adapun asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik berpedoman pada asas umum penyelenggaraan negara yang dalam hukum administrasi negara dikenal dengan asas-asas umum pemerintahan yang layak. Asas-asas hukum tersebut tumbuh dan berkembang secara khusus di Negeri Belanda dan pada masa selanjutnya asas-asas umum pemerintahan yang layak tersebut sudah diterima sebagai norma hukum tidak tertulis”45 yang meliputi : (1) Asas Kepastian Hukum (principle of legal security); (2) Asas Keseimbangan (principle of proportionality); (3) Asas Kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality); (4) Asas bertindak cermat (principle of carefulness); (5) Asas motifasi untuk setiap keputusan (principle of motivation); (6) Asas tidak mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of competence); (7) 45 Asas Permainan yang layak (principle of fair play); Ridwan. HR.. Hukum Administrasi Negara. UII Press. Yogyakarta. 2003. hlm. 189 - 192 29 (8) Asas Keadilan dan kewajaran (principle of reasonable or prohibition of arbitrariness); (9) Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation); (10) Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annuled decision); (11) Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi (principle of protecting the personal may of life); (12) Asas Kebijaksanaan (sapientia); (13) Asas Penyelenggaraan kepentingan umum (principle of publik service). Di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, asas-asas tersebut juga sudah mulai diterima. walaupun secara formal belum diakui sebagai norma hukum yang tertulis, yang harus ditaati oleh penyelenggara pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada bagian Kedua Pasal 20 yang menyatakan bahwa: (1) Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas : a. asas kepastian hukum; b. asas tertib penyelenggara negara; c. asas kepentingan umum; d. asas keterbukaan; e. asas proporsionalitas; 30 (2) f. asas profesionalitas; g. asas akuntabilitas; h. asas efisiensi; dan i. asas efektifitas. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentarasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Berdasarkan ketentuan sebagaimana tersaebut di atas jelaslah bahwa asas penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam pelaksanaanya adalah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. 2.3. Kesejahteraan Masyarakat Dan Kerjasama Antar Daerah Desentralisasi (politik, administratif dan fiskal) adalah penyerahan kekuasaan, kewenangan, sumberdaya, keuangan dan tanggungjawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah mempunyai “hak” jika berhadapan dengan pusat, sebaliknya ia mempunyai “tanggungjawab” mengurus barang-barang publik untuk dan kepada rakyat. Secara teoretis tujuan antara desentralisasi adalah menciptakan pemerintahan yang efektif-efisien, membangun demokrasi lokal dan menghargai keragaman lokal. Tujuan akhirnya adalah menciptakan kesejahteraan rakyat. 46 46 Sutoro Eko, Menuju Kesejahteraan Rakyat Melalui Rute Desentralisasi, [email protected] 31 Di Indonesia, desentralisasi dan otonomi daerah telah berjalan sejak 1999, setelah daerah menunggu dan menuntut otonomi dan keadilan selama beberapa dekade. Selama tujuh tahun terakhir daerah menikmati bulan madu otonomi daerah, yakni bergulat dengan keleluasaan daerah, keragaman lokal dan “pesta” demokrasi lokal. Daerah terus-menerus sibuk melakukan penataan kelembagaan secara internal, sekaligus bertempur dengan pusat yang mereka nilai tidak rela menjalankan otonomi daerah. Harapan dan tuntutan masyarakat yang melambung tinggi. Di tempat lain kalangan aktivis dan organisasi masyarakat sipil menyambut otonomi daerah dengan cara berbicara tentang demokrasi lokal, transparansi, akuntabilitas, partisipasi dan pemberdayaan rakyat. Mereka terusmenerus melakukan kajian dan kritik terhadap buruknya penyelenggaraan otonomi daerah. Tetapi pada saat yang sama, publik bahkan orang awam terus bertanya (jika tidak bisa disebut kecewa) apa relevansi otonomi daerah dan demokrasi lokal bagi kesejahteraan rakyat.47 Negara merupakan aktor pertama dan utama yang bertanggungjawab mencapai janji kesejahteraan. Pemerintah daerah, sebagai representasi negara, dapat menggandeng swasta (sektor kedua) untuk memacu pertumbuhan ekonomi sekaligus memfasilitasi elemen-elemen masyarakat lokal dalam menggerakkan ekonomi rakyat untuk menciptakan pemerataan. Pertumbuhan dan pemerataan itu merupakan dua skema untuk membangun kemakmuran. Di sisi lain pemerintah daerah dapat melancarkan reformasi pelayanan publik dan kebijakan (pembangunan) sosial untuk mencapai kesejahteraan sosial. Pelayanan publik 47 Ibid, hal 1 32 yang paling dasar adalah pendidikan dan kesehatan, sementara pengurangan kemiskinan merupakan aksi mendasar dalam kebijakan sosial. Menurut Besley desentralisasi juga relevan dengan agenda pengurangan kemiskinan ke dalam dua alternatif: technocratic atau institutional. Yang pertama menekankan target dan menyelidiki bentuk program yang mencoba untuk mengarahkan sumberdaya-sumberdaya yang terbatas kepada rakyat miskin. Pendekatan kedua mencatat, bahwa rakyat miskin kekurangan kekuasaan politik (powerless), dan bahwa ketidakcakapan administratif dan penyakit korupsi mengganggu penyelenggaraan pelayanan pemerintah. Oleh karena itu pengurangan kemiskinan memerlukan pengembangan institusi, dan perubahan struktur politik, perbaikan tata pemerintahan, dan perubahan sikap terhadap rakyat miskin. 48 Desentralisasi mungkin memfasilitasi bentuk program technocratic yang lebih efektif, seperti mempermudah penargetan daerah, memperkuat akuntabilitas birokrasi, dan peningkatan pengelolaan program pengurangan kemiskinan. Desentralisasi juga dapat menawarkan kerangka kerja legal dan bertindak sebagai sebuah alat pendekatan institusi terhadap pengurangan kemiskinan., seperti halnya desentralisasi meningkatkan kekuasaan politik (empowerment) rakyat miskin melalui partisipasi yang meningkat. Agusman Effendi mengemukakan : Pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi yang menjadi penggerak utama di dalam wilayah tersebut. Indonesia sebagai negara kepulauan, masing- 48 Ibid, hal 3 33 masing memiliki karakter berupa potensi dan kendala. Perbedaan potensi dan kendala ini turut menentukan kegiatan ekonomi utama di masing-masing wilayah. Dengan demikian, masing-masing wilayah memiliki kegiatan ekonomi utama yang berbeda. 49 Menurut Dunn Willian Keberhasilan pembangunan manusia yang akan berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan demokrasi, juga tidak lepas`dari kajian analisis kebijakan. Namun penggunaan berbagai methode untuk mendapatkan informasi dan argumen yang masuk akal tidak menjadi jaminan bahwa hasil analisis kebijaksanaan akan digunakan oleh para pengambil kebijaksanaan. Analisis kebijaksanaan pada dasarnya merupakan proses kognitif, sementara pembuatan kebijaksanaan merupakan proses politik. Banyak faktor selain metodologi yang menentukan apakah suatu analisis kebijaksaan akan dimanfaatkan oleh pengambil kebijaksanaan, seperti struktur kekuasaan politik, fisibilitas politik dan alternatif kebijaksaan yang disarankan serta karakteristik dari mengambil keputusan itu sendiri.50 Namun demikian, Mustopadidjaja berpendapat apapun keputusan politik yang diambil, tentu harus mengarah pada upaya perwujudan good governance. Upaya mewujudkan good governance hanya dapat dilakukan apabila terjadi keseimbangan (alligment) peran-peran kekuasaan yang dimainkan oleh setiap ranah(domain) yang ada dalam governance. State, sebagai unsur pertama, memainkan peran menjalankan peran menciptakan lingkungan politik dan hukum 49 Ketut Janapria, Kerjasama Antar Daerah Dalam Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Bali dan Nusa Tenggara, Makalah Seminar Nasional ”Pulang Kampung”Alumni Dalam Rangka Dies Natalies Ke-41 Fakultas Pertanian, Unram, 2008, hal 24 50 Ibid, hal 25 34 yang kondusif bagi unsur-unsur lain dalam governance. Private sector sebagai unsur kedua, menciptakan lapangan kerja dan pendapatan. Society, unsur ketiga, berperan menciptakan interaksi sosial, ekonomi dan politik.51 Pengembangan wilayah merupakan suatu upaya untuk mendorong terjadinya perkembangan wilayah secara harmonis melalui pendekatan yang bersifat komperhensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial dan budaya. Menurut Ruchyat Deni Djakapermana (2004), pada dasarnya pendekatan pengembangan wilayah digunakan untuk lebih mengefisienkan pembangunan, dan konsepsi ini terus berkembang disesuaikan dengan tuntutan waktu, teknologi dan kondisi wilayah. Dengan mengutip beberapa sumber, ia menyebutkan : banyak cara untuk mengembangkan wilayah mulai dari konsep pembangunan sektoral, Basic Need Approach” “Development poles” (poles de croissance) yang digagas oleh F.Perroux (1955), “growth center” yang digagas oleh Friedman (1969) sampai dengan pengaturan ruang secara terpadu sinergi antara pemanfaatan SDA, SDM dan lingkungan hidup.52 Pada prinsipnya penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi telah diberikan ruang yang cukup untuk melaksanakan kerjasama antardaerah yang didasarkan atas prinsip efisiensi dan efektivitas. Pengelolaan kerjasama antardaerah tersebut dapat dilaksanakan oleh badan pengelola yang pengaturan dan pembentukannya dapat diatur dengan keputusan bersama antardaerah 51 52 Ibid, hal 26 Ibid 35 tersebut. Pemerintah pusat dapat menyediaan pelayanan publik tersebut, jika daerah belum/tidak melakukan kerjasama antar daerah. Kerjasama akan terjadi ketika pihak yang berkerjasama mendapatkan keuntungan dari kerjasama tersebut (simbiose mutualisme) atau paling tidak ada pihak yang diuntungkan tetapi tidak ada pihak yang dirugikan (simbiose komensalisme). Karena itu, bentuk kerjasama itu juga dipengaruhi keunggulan komparatif (kepemilikan sumber) dan keunggulan kompetitif (efisiensi). Kerjasama akan saling menguntungkan jika terjadi kesesuaian pada kedua keunggulan tersebut antarapihak yang bekerjasama. Sebaliknya sifat saling menggantikan (substitution) memunculkan persaingan (competition) antarpihak, sehingga bentuk kerjasamanya adalah spesialisasi yang merupakan kesepakatan antar pihak. Kerjasama antar daerah tersebut dapat juga dilakukan dalam rangka pengelolaan urusan pemerintahan yang memberikan dampak lintasdaerah, Dengan demikian masyarakat akan mendapatkan manfaat yang sebesar besarnya dari pengelolaan urusan pemerintahan secara bersama. Beberapa substansi penting yang diatur dalam pasal 2 PP 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, antara lain : Kerjasama daerah dilakukan dengan prinsip: efesiensi, efektivitas, sinergi, saling menguntungkan, kesepakatan bersama, itikad baik, mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kesamaan kedudukan, transparansi, keadilan dan kepastian hukum. Sedangkan pasal 4 mengatur tentang Obyek kerja sama daerah adalah 36 seluruh urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonomi dan dapat berupa penyediaan pelayanan publik. Dalam pasal 5 PP 50 Tahun 2007 bahwa kerja sama daerah dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja sama : (1) Dalam rangka membantu kepala daerah melakukan kerja sama dengan daerah lain yang dilakukan secara terus menerus atau diperlukan waktu paling singkat 5 (lima) tahun, kepala daerah dapat membentuk badan kerja sama. (2) Badan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan perangkat daerah. Sedangkan dalam pasal 24 di atur mengenai : (1) Pembentukan dan susunan organisasai badan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. (2) Badan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 mempunyai tugas : (a) membantu melakukan pengelolaan, monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan kerja sama, (b) memberikan masukan dan saran kepada kepala daerah masing-masing mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan apabila ada permasalahan; (c) melaporkan pelaksanaan tugas kepada kepala daerah masing-masing, Untuk biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas badan kerja sama menjadi tanggung jawab bersama kepala daerah yang melakukan kerja sama (pasal 25). 37 BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1.Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang hendak dicapai agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat secara umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sehingga penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar pengambilan kebijakan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang dapat mensejahterakan masyarakat serta membangun kerjasama antar daerah di Indonesia. Selain tujuan khusus yang hendak dicapai tersebut juga diharapkan dapat bermanfaat secara khusus untuk memberikan informasi yang baru kepada pengamat dan pengajar dibidang hukum pemerintahan daerah khususnya mengenai otonomi daerah. Tujuan khusus dari penelitian ini juga memiliki tujuan untuk jangka pendek dan jangka panjang yang antara lain : a. Tujuan Jangka Pendek : Memberikan masukan kepada Pemerintah melalui Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) mengenai format otonomi daerah yang dapat mensejahterakan masyarakat serta membangun kerjasama antar daerah di Indonesia. b. Tujuan Jangka Panjang : 38 Menemukan teori yang baru berkaitan mengenai format otonomi daerah yang dapat mensejahterakan masyarakat serta membangun kerjasama antar daerah di Indonesia. 3.2. Manfaat Penelitian Urgensi atau keutamaan dalam penelitian ini adalah terletak pada pelaksanaan otonomi di daerah yang ada di Indonesia berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan apakah sudah berjalan maksimal dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat di daerahnya serta apakah dengan adanya otonomi daerah juga meningkatkan kerjasama pembangunan antar daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk melihat itu semua perlu adanya pengkajian mengenai otonomi daerah, kesejahteraan masyarakat dan kerjasama pembangunan daerah di Indonesia. Sehingga tujuan khusus, tujuan jangka pendek dan jangka panjang dari penelitian ini dapat tercapai. 39 BAB IV METODE PENELITIAN Metode merupakan suatu bentuk atau cara yang dipergunakan dalam pelaksanaan suatu penelitian guna mendapatkan, mengolah dan menyimpulkan data yang dapat memecahkan suatu permasalahan53. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.54 Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu. Sistematis adalah berdasarkan suatu sistem. Konsisten berarti tidak adanya hal yang bertentangan dalam kerangka tertentu.55 Dengan demikian maka dengan mempergunakan metode penelitian yang tepat peneliti bermaksud untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan melahirkan pemikiran baru melalui serangkaian cara yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. 4.1. Jenis Penelitian Dalam hubungannya dengan penelitian, maka digunakan metode deskriptif analitis melalui pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan dengan melakukan kajian terhadap kaedah-kaedah hukum atau peraturan perundangundangan yang memiliki hubungan dengan masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya dalam konteks Otonomi Daerah Sebagai 53 54 55 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Rajawali Pers, Jakarta:2003) Cet-5. Hal 25 Bambang Sunggono, Ibid , Hal:25 Bambang Sunggono, Loc.Cit 40 Instrumen Pendorong Laju Pertumbuhan Kesejahteraan Masyarakat dan Peningkatan Kerjasama Pembangunan Antar Daerah di Indonesia . 4.2. Tipe Penelitian Tipe penelitian bersifat eksploratif yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu atau untuk mendapatkan ide-ide baru mengenai suatu gejala tertentu tersebut.56 4.3. Data dan Sumber Data (1) Bahan hukum primer, terdiri dari : a) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Republik Indonesia Pasca Amandemen; b) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; c) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah; d) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. (2) Bahan hukum sekunder, yaitu berupa penjelasan mengenai bahan hukum primer, pandangan dan pendapat para ahli (pakar), akademisi, maupun para praktisi melalui penelurusan dokumen-dokumen, buku-buku, maupun literatur lainnya yang relevan dengan permasalahan yang akan di bahas. 56 Ibid. 41 (3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus; ensiklopedia; jurnal dan browsing (pencarian) data internet. 4.4. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Kajian pustaka (library research) Yaitu melakukan analisa terhadap peraturan perundang-undangan serta mempelajari buku atau sumber-sumber yang menghimpun pendapat para ahli baik di perpustakaan maupun melalui internet sesuai dengan masalah yang diteliti. 4.5. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis secara kualitiatif, yaitu dengan cara menerangkan suatu keadaan sesuai dengan pokok bahasan, tujuan dan konsep atau teori yang berkenaan dengan hal tersebut. Selanjutnya hasil analisis tersebut disajikan dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas dan rinci sehingga memudahkan dalam pemberian arti terhadap data tersebut. Dalam hal mengolah dan menganalisa data dilakukan dengan cara analisa kualitatif berdasarkan sajian konstruksi data (penyajian hasil penelitian) bersifat deskriftif.57 57 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI-Press, Jakarta, 1986) Cet Ketiga, hal. 6 42 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Konstruksi Konsepsional Otonomi Daerah Sebagai Salah Satu Instrumen Peningkatan Laju Pertumbuhan Kesejahteraan Masyarakat Di Indonesia Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia , konsep otonomi daerah sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Semenjak awal kemerdekaan sampai sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluasluasnya. Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. Sedangkan saat ini di bawah UU 22/1999 dianut prinsip otonoi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Otonomi Daerah yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah Otonomi daerah yang dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk menatur dan mengurus 43 kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelengarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah. sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung-jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 22/1999 adalah : 1. Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah. 44 2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab. 3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. 4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah. 5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administratif. 6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administratis untuk melaksanakan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah. 8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. 45 Dalam implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang dilaksanakan mulai 1 Januari 2001 terdapat beberapa permasalahan yang perlu segera dicarikan pemecahannya. Namun sebagian kalangan beranggapan timbulnya berbagai permasalahan tersebut merupakan akibat dari kesalahan dan kelemahan yang dimiliki oleh UU 22/1999, sehingga merekapun mengupayakan dilakukannya revisi terhadap UU 22/1999 tersebut. Jika kita mengamati secara obyektif terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang baru berjalan memasuki bulan kesepuluh bulan ini, berbagai permasalahan yang timbul tersebut seharusnya dapat dimaklumi karena masih dalam proses transisi. Timbulnya berbagai permasalahan tersebut lebih banyak disebabkan karena terbatasnya peraturan pelaksanaan yang bisa dijadikan pedoman dan rambu-rambu bagi implementasi kebijakan Otonomi Daerah tersebut. Jadi bukan pada tempatnya jika kita langsung mengkambinghitamkanbahkan memvonis bahwa UU 22/1999 tersebut keliru. Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 22/1999 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang pernah ada di Republik ini. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah. 46 Secara konstitusional, dasar penyelenggaraan dan pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia. adalah : 1. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen; 2. Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan dasar sebagaimana tersebut di atas kemudian dijabarkan lebih lanjut kedalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah58 yang merupakan perubahan dan penyempurnaan dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang permerintahan daerah di Indonesia pada masa sebelumnya. Jadi regulasi yang mengatur tentang tata penyelenggaraan pemerintahan daerah yang saat ini sebagai hukum positif59 adalah UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 juncto Undang–Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi 58 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437 59 J.B. Daliyo. Pengantar Hukum Indonesia. PT. Prenhallindo. Jakarta. 2001. hlm.7 47 urusan pemerintah pusat. Secara garis besar, pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman60. Jika kita memperhatikan prinsip-prinsip pemberian dan penyelenggaraan Otonomi Daerah dapat diperkirakan prospek ke depan dari Otonomi Daerah tersebut. Untuk mengetahui prospek tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang kita gunakan disini adalah aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Dari aspek ideologi , sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan pandangan, falsafah hidup dan sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara lain pengakuan Ketuhanan, semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak azasi manusia, demokrasi, dan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat diterima dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia . Dari aspek politik , pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah merupakan suatu wujud dari pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada Daerah. Pengakuan Pusat terhadap eksistensi Daerah serta kepercayaan dengan memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah akan menciptakan hubungan yang harmonis antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya kondisi akan mendorong tumbuhnya dukungan Derah terhadap Pusat dimana akhirnya akan dapat 60 Yossef Riwu Kaho, Op.Cit, hal. 65. 48 memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Kebijakan Otonomi Daerah sebagai upaya pendidikan politik rakyat akan membawa dampak terhadap peningkatan kehidupan politik di Daerah. Dari aspek ekonomi , kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global. Dari aspek sosial budaya , kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan terhadap keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilainilai sosial dan budaya serta potensi lainnya yang terkandung di daerah. Pengakuan Pusat terhadap keberagaman Daerah merupakan suatu nilai penting bgi eksistensi Daerah. Dengan pengakuan tersebut Daerah akan merasa setara dan sejajar dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa dan negara. Pelestarian dan pengembangan nilainilai budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan budaya lokal akan memperkaya khasanah budaya nasional. 49 Selanjutnya dari aspek pertahanan dan keamanan , kebijakan Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada masing-msing daerah untuk memantapkan kondisi Ketahanan daerah dalam kerangka Ketahanan Nasional. Pemberian kewenangan kepada Daerah akan menumbuhkan kepercayaan Daerah terhadap Pusat. Tumbuhnya hubungan dan kepercayaan Daerah terhadap Pusat akan dapat mengeliminir gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia . Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek ideologi, politik, sosal budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan Otonomi Daerah mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasya-rakat, berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: (i) eksternalitas, (ii) akuntabilitas, dan (iii) efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Pertama, kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional 50 menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah. Kedua, Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. Ketiga, kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna bila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah. Untuk itu pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang 51 Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan konstitusional, kepentingan kepada nasional, Daerah untuk kesejahteraan perlindungan masyarakat, hak serta ketenteraman dan ketertiban umum dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional. Elaborasi dari urusan wajib yang harus dilakukan oleh Pemda meliputi: a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; 52 h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Urusan ini dalam pelaksanaan otda akan berkonsekuensi pada, pertama, penentuan organisasi perangkat daerah dan kedua, standar pelayanan minimal. Dua hal tersebut saling berkaitan, dimana bidang-bidang yang menjadi kewajiban pemda dilaksanakan oleh perangkat daerah dan dilain pihak pelaksanaan tugas perangkat daerah harus dilakukan dengan memenuhi standar pelayanan minimal. Perangkat daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Satuan Polisi Pamong Praja sesuai dengan kebutuhan daerah. Organisasi Perangkat Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan; (i) kewenangan pemerintah yang dimiliki oleh Daerah, (ii) karakteristik, potensi, dan kebutuhan Daerah, (iii) kemampuan keuangan Daerah, (iv) ketersediaan sumber daya aparatur, dan (v) pengembangan pola kerja sama antar Daerah dan/atau dengan pihak ketiga. Dalam melaksanakan urusan (wajib) pemerintah harus 53 memenuhi standar pelayanan minimal yaitu ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Yang dimaksud pelayanan dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan. Dengan demikian otda dan penyelenggaran urusan wajib pemda ditujukan agar warga kota memperoleh pemenuhan kebutusan sosial, ekonomi dan pemerintahan. Prinsip standar pelayanan minimal yang dilaksanakan oleh pemda harus menjami akses dan mutu pelayanan masyarakat secara merata. Partisipasi publik memiliki peran penting untuk menjaga pelaksanaan otda dapat memenuhi standar pelayanan minimal. Faktor-faktor dan strategi dalam pelaksanaan otonomi daerah antara lain : 1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Otonomi Daerah Banyak faktor dan variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan ontomoni daerah. Tidak sedikit pula para pakar yang mengidentifikasikan faktor-faktor dan variabel-variabel yang mempengaruhi kebehasilan pelaksanaan otonomi daerah itu. Disamping terdapat perbedaanperbedaan dalam mengidentifikasikan faktor-faktor dan variabel-variabel itu. Pada umumnya faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan otonomi daerah adalah kemampuan keuangan (finansial), kemampuan manajemen, kondisi sosial budaya masyarakat dan karakteristik ekologis, meskipun setiap pakar itu meletakkan tata urut nomornya sering berlainan. Dalam hal ini, ada 54 beberapa pakar yang menidentifikasikan faktor-faktor dan atau variabelvariabel yang mempengaruhi keberhasilan otonomi daerah. Riwo Kaho mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi dan sangat menentukan penyelenggaraan otonomi daerah, antara lain:61 1) Sumber daya manusia dan kemampuan aparatur serta partisipasi masyarakat. 2) Keuangan yang stabil, terutama pendapatan asli daerah. 3) Peralatan yang lengkap. 4) Organisasi dan manajemen yang baik. Menurut Smith62, ia mengidentifikasikan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah fungsi atau tugas pemerintahan, kemampuan pemungutan pajak daerah, bidang tugas administrasi, jumlah pelimpahan wewenang, besarnya anggaran belanja, wilayah, ketergantungan keuangan, dan personil. 2. Keefektifan Strategi Pelaksanaan Otonomi Daerah Strategi dikatakan sebagai karakteristik yang paling mendasar dan terpadu dari apa yang ingin dicapai organisasi terhadap nilai-nilai dan sumber daya yang ada dari lingkungannya. Menurut Epstein, paling tidak ada empat kriteria untuk mengukur keefektifan suatu pemerintahan daerah,63 diantaranya: a) Kebutuhan masyarakat secara implisit dapat dikontrol. 61 Dharma Setyawan Salam, op.cit., hal.108. Ibid, hal.109. 63 Ibid. 62 55 b) Adanya program layanan khusus yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. c) Mengukur kualitas layanan pemerintahan daerah terutama dengan ukuran kepuasan dan persepsi masyarakat. d) Pemberian pelayanan harus dapat menyesuaikan diri dengan masalahmasalah yang ada di masyarakat. Sejak tahun 1970 pembangunan ekonomi mengalami redefinisi. Sejak tahun tersebut muncul pandangan baru yaitu tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi tidak lagi menciptakan tingkat pertumbuhan GNP yang setinggi-tingginya, melainkan penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang (Todaro 2004: 21). Sesuai dengan tujuan pembangunan tersebut pembangunan suatu negara boleh dikatakan tidak berhasil apabila tidak dapat mengurangi kemiskinan, memperkecil ketimpangan pendapatan serta menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi penduduknya. Untuk mengukur keberhasilan pembangunan tidak cukup hanya menggunakan tolok ukur ekonomi saja melainkan juga harus didukung oleh indikator-indikator sosial (non ekonomi), antara lain seperti tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, kondisi-kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan akan kebutuhan perumahan . 56 Selanjutnya menurut Todaro, ada tiga nilai inti dari pembangunan yaitu : 1. Kecukupan yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan dasar (basic needs) yang meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan dan keamanan. 2. Jati diri, menjadi manusia seutuhnya, yaitu diartikan sebagai adanya dorongan-dorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk menghargai diri sendiri, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu. 3. Kebebasan dari sikap menghamba, kemerdekaan atau kebebasan di sini hendaknya diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudak oleh pengejaran aspek- aspek materiil dalam kehidupan Lebih lanjut Todaro menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi nasional, di samping mengejar akselarasi pertumbuhan ekonomi, penangananketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Menurut Sen dalam Ackerman (2000: 154-155) berpendapat bahwa kapabilitas untuk dapat berfungsi (capabilities to function) adalah yang paling menentukan status miskin atau tidaknya seseorang. Selanjutnya menurut Sen pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya tidak dapat dianggap sebagai tujuan akhir. Pembangunan haruslah lebih memperhatikan peningkatan kualitas kehidupan yang dijalani dan kebebasan yang dinikmati. Dengan demikian tingkat kemiskinan tidak dapat diukur dari tingkat pendapatan atau bahkan dari utilitas seperti pemahaman konvensional; yang paling penting bukanlah apa yang dimiliki 57 seseorang ataupun kepuasan yang ditimbulkan dari barang-barang tersebut, melainkan apakah yang dapat dilakukan oleh seseorang dengan barang- barang tersebut. yang berpengaruh terhadap kesejahteraan bukan hanya karakteristik komoditi yang dikonsumsi, seperti dalam pendekatan utilitas, tetapi manfaat apa yang dapat diambil oleh konsumen dari komoditi-komoditi tersebut (Todaro, 2004: 22). Selanjutnya Todaro mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh 3 nilai pokok, yaitu : 1. Berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs) 2. Meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai manusia, dan 3. Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude). Sementara itu Swasono (2004 a.: 13) dalam bukunya berjudul Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan mengatakan Pembangunan ekonomi berdasarkan Demokrasi Ekonomi adalah pembangunan yang partisipatori dan sekaligus emansipatori. Selanjutnya Swasono mengatakan bahwa pembangunan ekonomi bukan saja berarti kenaikan pendapatan, tetapi juga kenaikan pemilikan (entitlement). Pembangunan ekonomi bukan hanya koelie yang naik upah / gajinya, tetapi adalah meningkat / meluasnya pemartabatan, pengingkatan nilaitambah ekonomi dan sekaligus nilai tambah sosial-kultural, sang koelie menjadi mitra usaha dalam system triple co, yaitu co-owwnership (ikut memiliki), 58 codetermination (ikut menggariskan wisdom) dan co-responsibility (ikut bertanggungjawab) Dengan demikian : “Development is social progress. Development is growth and resdistribution., Development is expansion of people’s partici- pation and emancipation, development is expansion of people’s creativity, development is people’s entitlement. Developmentproduces economic added- value and at once sociocultural addedvalue as well" Menurut Human Development Report (2000: 3 b.) menyatakan: “Development should begin with the fulfillment of the basic material needs of an individual including food, clothing, and shelter, and gradually reach the highest level of self-fulfillment. The most critical form of self-fulfillment include leading a long and healthy life, being educated, and enjoying a decent standard of living. Human development is a multidimensional concept comparising four demension, economic, social-psyhological, political and spiritual. Oleh karena itu pembangunan manusia tidak hanya mencakup pemenuhan kebutuhan pokok saja, melainkan merupakan konsep multidemensi; yaitu gabungan antara 4 demensi; demensi ekonomi, sosial-psichologi, politik dan spiritual. Pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi dan institusional, demi mencapai kehidupan yang serba lebih baik. Untuk mencapai “kehidupan yang serba lebih baik” semua masyarakat minimal harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut (Todaro, 2000: 24) : 1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok , seperti pangan , sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan. 2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan 59 kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilainilai kultural dan kemanusiaan, yang kesemua itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil , melainkan juga menumbuhkan jati diri pribadi dan bangsa yang bersangkutan. 3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara, bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka. Dalam relevansinya dengan Pembangunan Nasional Dimensi Pembangunan Nasional menurut Swasono, (2005: 22) adalah merupakan suatu prosesdaridemokrasi baik secara politik (political democratization), sosial maupun ekonomi (economic democratization) untuk mencapai kemajuan (progress), kebebasan (freedom) serta mengurangi hambatan (elimination of freedom), di mana proses ini juga merupakan proses dari humanisasi.Di samping itu menumbuhkan pendapatan nasional (Growth) melalui penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi bahkan menghapus pengangguran dan kemiskinan. Dengan demikian masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pokoknya / basic needs (ILO, 1976, dalam World Development Report,1995) serta negara mampu menjamin hajad hidup orang banyak (Hatta, 1967). Sementara itu menurut Rostow dalam Arief (1998: 21) pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menimbulkan perubahan dalam kehidupan perekonomian, politik dan sosial masyarakat. Adapun proses pembangunan menurut Rostow terdiri dari 5 tahap 60 yaitu: 1. tahap masyarakat tradisional. 2 tahap prasayarat tinggal landas (precondation to take of), 3 tahap tinggal landas (take off), 4 Tahap gerakan kearah kedewasaan (maturity), 5 Tahap konsumsi tinggi (mass consumption). Selanjutnya Rostow memfokuskan anlisisnya pada tahap tinggal landas. Proses tinggal landas terjadi pada dua situasi system kemasyarakatan; yaitu pada sistem masyarakat yang sudah ada dan teratur (settled society) dan pada sistem kemasyarakatan yang baru saja berdiri (newly settled society) Menurut Swasono (2005: 23) dasar strategi pembangunan nasional Indonesia meliputi: - Transformasi sosial ekonomi, Pasal 33 dan Pasal 27 (Ayat 2) UUD 1945 - Meraih nilai-tambah ekonomi, dan sekaligus nilai-tambah sosial-kultural dan nilai-tambah ketahanan nasional. - Dignity, proses mencapai kecerdasan hidup bangsa. - Memperkukuh national intergration Pancasilanisasi: Menjadi Tuan di Negeri Sendiri (bukan lagi ein Nation von Kuli und Kuli unter den Nationen). Sejak dideklarasikan pada KTT Perserikatan Bangsa Bangsa, pada tahun 2000, Tujuan Pembangunan Milennium (Milennium Development Goal /MDG) menjadi acuan bagi pembangunan baik oleh negara maju maupun negara berkembang. Adapun tujuan Pembangunan Milennium yang diterapkan di Indonesia meliputi 8 tujuan (Laporan Perkembangan Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia 2005: 45) yaitu : 1. Menanggulangi Kemiskinan Dan Kelaparan. Dengan target : Menurunkan proporsi penduduk yang tingkatannya di bawah $ 1 per hari menjadi 61 setengahnya antara tahun 1990-2015, Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015 2. Mencapai Pendidikan Dasar Untuk Semuanya. Dengan target : Memastikan pada tahun 2015 semua anak di manapun, laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar. 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Dengan target : Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015 4. Menurunkan Angka Kematian Anak Dengan target : Menurunkan angka kematian balita sebesar dua pertiganya, antara tahun 1990 dan 2015 5. Meningkatkan Kesehatan Ibu. Dengan target : Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya antara tahun 1990-2015. 6. Memerangi HIV / AIDS dan Penyakit Menular Lainnya Dengan target : Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada 2015, Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit lainnya. 7. Memastikan Keberlanjutan Lingkungan Hidup Dengan target : Memadukan prisip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional. Penurunan sebesar separuh penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada tahun 2015. Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2020 8. Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan 62 Sen, (2002: 8) mengatakan bahwa welfare economics merupakan suatu proses rasional ke arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan. Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingkat kehidupan (levels of living), pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs fulfillment), kualitas hidup (quality of life) dan pembangunan manusia (human development). Selanjutnya Sen, A. (1992: 39-45) lebih memilih capability approach didalam menentukan standard hidup. Sen mengatakan: the freedom or ability to achieve desirable “functionings” is more importance than actual outcomes. Nicholson (1992:177), mengemukakan prinsipnya mengenai kesejahteraan sosial; yaitu keadaan kesejahteraan sosial maksimum tercapai bila tidak ada seorangpun yang dirugikan. Sementara itu Bornstein dalam Swasono, mengajukan “ performance criteria “ untuk social welfare dengan batasan- batasan yang meliputi ; output, growth, efficiency, stability, security, inequality, dan freedom, yang harus dikaitkan dengan suatu social preference.(Swasono 2004, b: 23). Sedangkan Etzioni, A. (1999: 15) , mengatakan bahwa privacy is a societal licence, yang artinya privivacy orang-perorangan adalah suatu mandated privacy dari masyarakat, dalam arti privacy terikat oleh kaidah sosial. Dengan demikian kedudukan individu adalah sebagai makhluk sosial yang harus ditonjolkan dalam ilmu ekonomi utamanya dalam pembangunan ekonomi yang bertujuan menuju kesejahteraan masyarakat. Menurut BKKBN (Badan koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Kesejahteraan keluarga digolongan kedalam 3 golongan; yaitu : 63 Keluarga Sejahtera Tahap I dengan kriteria sebagai berikut : 1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama 2. Pada umumnya anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih. 3. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda dirumah / pergi/bekerja / sekolah. 4. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah. 5. Anak sakit ataupun pasangan usia subur (PUS) yang ingin ber KB dibawa kesarana kesehatan. Keluarga Sejahtera Tahap II, meliputi : 1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama secara teratur 2. Paling kurang sekali seminggu lauk daging / ikan / telur 3. Setahun terakhir anggota keluarga menerima satu stel pakaian baru 4. Luas lantai paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni 5. Tiga bulan terakhir anggota keluarga dalam keadaan sehat dan dapat melaksanakan tugas 6. Ada anggota keluarga umur 15 tahun keatas berpenghasilan tetap. 7. Anggota keluarga umur 10 – 60 th. bisa baca tulis latin 8. Anak umur 7 – 15 th. Bersekolah 9. PUS dengan anak hidup 2 atau lebih saat ini memakai alat kontrasepsi Keluarga Sejahtera Tahap III, meliputi 1. Keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agama 2. Sebagian penghasilan keluarga ditabung 3. Keluarga makan bersama paling kurang sekali sehari untuk berkomunikasi 4. Keluarga sering ikut dalam kegiatan mesyarakat dilingkungan tempat tinggal. 64 5. Keluarga rekreasi bersama paling kurang sekali dalam enam bulan. 6. Keluarga memperoleh berita dari surat kabar/majalah/TV/radio. 7. Anggota keluarga menggunakan sarana transportasi setempat. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus, meliputi : 1. Keluarga secara teratur memberikan sumbangan 2. Ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus yayasan / institusi masyarakat 5.2. Format Ideal Kerjasama Pembangunan Antar Daerah Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tujuan utama penyelenggaraan pemerintahan daerah, sesungguhnya adalah pengembangan semangat demokrasi, peningkatan peran serta dan pemberdayaan masyarakat, dan pemerataan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian andasan filosofi yang melatarbelakangi lahirnya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun harus diakui bahwa penyusunan UU tersebut dipengaruhi euforia demokrasi yang tidak terkendali dan dipacu perubahan kondisi politik yang begitu cepat. Akibatnya, upaya mengatur kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah kurang sempurna, baik dalam menafsirkan isi dan substansi UU tersebut, maupun pada implementasinya di lapangan. Dari pelaksanaan di lapangan, muncul berbagai persoalan yang cenderung kompleks dan multidimensional. Berbagai kalangan telah memprediksi akan terjadi kesimpangsiuran pemahaman dan pengkotak-kotakan dalam 65 penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan inefisiensi pengelolaan pemerintahan daerah, kemudian hubungan serasi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota tidak terpelihara. Akhirnya persatuan dan kesatuan bangsa melemah dan menimbulkan disintegrasi bangsa. Fenomena-fenomena tersebut menjadi isu penting yang pantas mendapat perhatian serius. Masih banyak isu strategis dalam konteks kerjasama sektoral dan daerah. Karena itu isu-isu tersebut mesti diletakkan dalam kerangka kerjasama pembangunan sektoral dan daerah dan dikaji secara mendalam. Pertimbangannya adalah, pertama, pembangunan di masa lalu sarat dengan sentralisme; semua otoritas pembangunan berada di tangan dan diatur sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Kedua, disadari bahwa kelembagaan kerjasama pembangunan sektoral dan daerah memiliki urgensi tinggi, tetapi kerjasama tersebut sebenarnya belum memiliki format ideal. Ketiga, ketidakjelasan arah kerjasama pembangunan sektoral dan daerah dapat menjadi ancaman nyata tehadap masa depan integrasi nasional dan prospek otonomi daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004 sesungguhnya telah memberikan peluang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peranserta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah. Dalam kaitan dengan upaya tersebut, undang-undang memfasilitasi dilakukannya kerjasama antarpemerintah daerah dan dengan pihak ketiga, sejauh kerjasama itu 66 dilakukan dan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan yang dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama yang diatur dengan Keputusan Bersama. Di samping itu pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas Daerah dan untuk menciptakan efisiensi, Daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan Daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat. Di dalam Pasal 195 ayat (1), (2), (3), (4) UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi: a. Ayat (1), berbunyi ”Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, dearah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan”. b. Ayat (2), berbunyi “Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama”. c. Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerja sama dengan pihak ketiga”. d. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan (DPRD)”. Kerja sama antar daerah dapat terealisasi dengan setidaknya memperhatikan dua motovasi utama dalam perwujudannya, yaitu: (1) Pertama, sebagai usaha untuk mengurangi kemungkinan adanya kemajuan pembangunan yang pesat di satu daerah dengan membawa akibat distruktif 67 terhadap daerah-daerah sekitarnya, langsung maupun tidak langsung. Dalam hubungan ini titik berat perhatian ditujukan pada usaha untuk mewujudkan keserasian perkembangan wilayah dari daerah-daerah yang berdekatan. (2) Kedua, sebagai usaha untuk memecahkan maslah bersama dan atau untuk mewujudkan tujuan-tujuan bersama, terlepas dari kenyataan apakah daerahdaerah itu secara geografis berdekatan atau tidak. Jadi motivasi yang pertama dientuk melalui kenyataan tidak seimbangnya kemampuan daerah yang satu terhadap yang lain, sehingga perlu langkah-langkah penyesuaian. Motivasi yang kedua dibentuk melalui kesadaran bahwa suatu tujuan tertentu yang hendak diwujudkan tidak mungkin tercapai secara berdaya guna dan hasil guna tanpa melalui kerja sama antar daerah. Dalam konteks yuridis, amanat UU No.32/2004 tersebut kendati baru ditindaklanjuti pengaturannya dengan Peraturan Pemerintah No.50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah, namun demikian secara empiris telah cukup banyak daerah yang melaksanakan kerjasama ini, bahkan termasuk kerjasama dengan Luar Negeri karena terlebih dahulu telah diatur dalam UU No.24/2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam PP dimaksud di atas, yang dimaksud dengan kerjasama daerah adalah “...kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/walikota atau antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau gubernur, bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban.” (Ps.1). Selanjutnya, berdasarkan PP tersebut kerjasama dimaksud haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip: efisiensi, efektivitas, sinergi, saling 68 menguntungkan, kesepakatan bersama, itikad baik, mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, persamaan kedudukan, transparansi, keadilan, dan kepastian hukum (Ps.2); yang dilaksanakan pada objek kerja sama daerah yang mencakup seluruh urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonom dan dapat berupa penyediaan pelayanan publik. (Ps.4). Di samping itu, dengan terbitnya PP No.7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, pemerintah provinsi pun dapat memberikan penugasan dari pemerintah provinsi kepada kabupaten, atau kota dan/atau desa, untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan (Ps.11). Melalui mekanisme tugas pembantuan ini maka paling tidak pelaksana dan pelaksanaan pekerjaan dapat semakin dekat dengan pengguna/pemanfaat kegiatan sehingga discrepancy antara hasil kegiatan dengan kebutuhan pengguna dapat relatif diminimalisir. Selain itu, tugas pembantuan dapat lebih mengikat hubungan antara yang menugaskan dengan yang diberi tugas sehingga hasil-hasil pekerjaan dapat lebih terukur, tepat guna dan berhasil guna. Pemerintahan daerah otonom akan mengoptimalkan kinerja daerah. Pada tahap awal akan memaksimalkan kinerja (dan dampak positif) pada lingkup yurisdiksinya. Tetapi hal ini akan menimbulkan eksternalitas, baik positif maupun negatif kepada daerah yang lain. Perhatian yang terfokus kepada yurisdiksinya akan dikoreksi ketika terjadi kerugian yang cukup signifikan. Maka daerah akan masuk tahap lanjut untuk melakukan kerjasama. Terdapat dua titik kritis yang 69 dapat diobservasi. Pertama, apakah kesadaran kerjasama bisa berlangsung sejak tahap awal? Bila tidak, apakah penundaan tersebut tidak akan berdampak pada perangkap kesulitan penyesuaian, misalnya relokasi fasilitas umum, dsb.? Kedua, bila kesadaran kerjasama bisa muncul, apakah sertamerta ada kapasitas untuk mengenali spektrum pilihan kerjasama dan bagaimana mengimplementasikannya? Yurisdiksi administrasi pemerintahan tidak sama dengan wilayah fungsional, maka seringkali bisa diobservasi ketergantungan antar daerah. Ketergantungan ini bisa dikenali dari jenis-jenis interaksi antar daerah, seperti: arus barang, arus keuangan masyarakat, arus keuangan pemerintah, ketergantungan administrasi, mobilitas penduduk, ketergantungan fisik geografis, ketergantungan kultural, dsb. Salah satu langkah penting pertama dalam mendorong sinergi sektoral dan daerah adalah monitoring perkembangan sektoral dan daerah. Hasil monitoring adalah informasi keadaan daerah. Monitoring memerlukan kerangka yang harus disusun berdasarkan orientasi untuk mendorong sinergi sektoral dan daerah. Lebih spesifik, yang harus dimonitor adalah indikator-indikator agregat keadaan sektoral (nilai tambah ekonomi, jumlah tenaga kerja, pertumbuhan, dsb.), indikator disagregat (struktur skala), struktur sektoral (peran pemerintah, peran swasta, peran lokal, peran daerah lain/hubungan antar daerah, peran luar negeri, keterkaitan intersektoral dan inter sub-sektoral, dsb.), permasalahan sektoral, kedudukan tiap sektor dalam perkembangan daerah, dsb. Termasuk yang perlu dimonitor adalah aspek-aspek perilaku sosial, seperti commuting, migrasi, pola 70 wisata, mobilitas tahuan atau semitahunan (mudik dan implikasi sosialekonominya, dsb.), disamping produk-produk dan dampak tata pemerintahan. Analisis kebutuhan kerjasama sektoral dan daerah ditujukan untuk menghasilkan informasi pada tingkat lebih bernilai, dalam konteks perumusan kebijakan, dibanding nilai informasi hasil monitoring. Analisis ini untuk memperoleh informasi mengenai; (1) persoalan atau potensi ketidakserasian sektoral dan daerah; (2) pemahaman permasalahan ketidakserasian tsb.; (3) potensi atau peluang untuk menggunakan instrumen kerjasama sektoral dan daerah dalam rangka mengatasi persoalan atau meningkatkan sinergi. Kerjasama antar daerah meliputi berbagai skema sangat luas. Mulai dari kerjasama bersifat mikro (misalnya penempatan TPA di daerah lain), transfer fiscal antar daerah (telah ada contoh, misalnya antara Denpasar dan Kabupaten Badung dengan beberapa daerah disekitarnya; hal ini disebabkan oleh kesadaran eksternalitas ekstra yurisdiksi kegiatan pariwisata), kerjasama ekonomi antar daerah (misalnya kasus kerjasama antar provinsi se-Sumatra), hingga kerjasama tata pemerintahan antar daerah (misalnya pembentukan Supra DPRD dengan kewenangan tertentu pada tingkat regional/beberapa daerah, akan tetapi belum pernah terjadi hingga saat ini di Indonesia). Koordinasi sektoral untuk keserasian antar daerah bisa dilakukan oleh pemerintahan pada tingkat lebih tinggi, sepanjang tersedia kerangka analisis dan instrumennya. Contohnya adalah kerangka Multiregional Input-Output dan kewenangan perencanaan dan alokasi anggaran sektoral oleh Bappenas pada masa lalu.Kerjasama antar daerah sering tidak terjadi dengan sendirinya, meskipun 71 terdapat potensi sinergi. Hal ini terjadi karena ada satu atau lebih hambatan. Salah satu bentuk hambatan paling nyata yang sering dijumpai adalah infrastruktur perhubungan antar daerah. Stimulan sektor infrastruktur bisa merupakan langkah awal untuk mendorong perkembangan kerjasama antar daerah pada tahap berikutnya. Tetapi stimulan ini juga bisa berupa sesuatu yang tidak fisik, melainkan bantuan teknis dalam tata pemerintahan, misalnya mendorong skema transfer fiskal antar daerah untuk menyerasikan wilayah pinggiran perkotaan. Berdasarkan beberapa ketentuan diatas, sesungguhnya terdapat pilihanpilihan yang dapat diambil oleh provinsi guna mengoptimalkan kinerja pembangunannya, khususnya dalam mencapai target-target makro pembangunan daerah sebagaimana tertuang dalam dokumen RPJMD 2007-2012, yaitu: 1. membentuk kerjasama daerah uni-sektoral guna melakukan drilling terhadap satu atau lebih isu strategis dalam bidang/sektor tertentu. Misalnya isu strategis rendahnya tingginya buta aksara, ARLS, APK/APM sekolah, hingga isu sekolah roboh atau bangunan pendidikan rusak di daerah tertentu, atau isu strategis tingginya kematian bayi/ibu melahirkan di daerah tertentu, tingginya balita gizi buruk, dll; dapat ditangani melalui kerjasama uni-sektoral antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Sebagai forum kerjasama, maka dalam prakteknya diikat oleh kesepakatan tertentu (MoU) antar kepala daerah, yang diinisiasi dan difasilitasi oleh satuan kerja terkait. Kemudian mengingat sifat kerjasama yang uni-sektoral, maka kerjasama ini dilakukan pada sektor tertentu mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan. Perencanaan dilakukan oleh salah kedua level pemerintahan daerah, sementara pembiayaan 72 dan pelaksanaan kegiatan dapat di-share berdasarkan urusan daerah atau berdasarkan komitmen politik tertentu. Mekanisme pelaksanaannya dapat saja dilakukan melalui mekanisme hibah untuk tujuan tertentu (spesific grants), melalui tugas pembantuan (bila domain urusan ada pada level pemerintahan yang lebih tinggi), atau melalui sharing peran dan pembiayaan antarpemerintahan daerah. Dengan bentuk kerjasama ini, maka pengentasan masalah-masalah pada sektor tertentu yang terkait dengan penurunan atau peningkatan indikator tertentu dapat secara terukur dan feasible dilakukan secara efisien dan efektif. 2. membentuk forum kerjasama daerah multi-sektoral guna melakukan drilling terhadap satu atau lebih isu strategis lintas bidang/sektor. Misalnya isu strategis rendahnya IPM di daerah tertentu. IPM merupakan isu strategis lintas sektor mengingat indeks pembangunan manusia merupakan hasil dari indikator pembangunan bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Realisasi forum kerjasama ini dapat dilakukan secara massal (seluruh kabupaten/kota dan provinsi) maupun terbatas (sebagian), melalui kesepakatan kerjasama dalam bentuk forum kerjasama daerah.Wujud nyata dari kerjasama ini dapat diwujudkan dalam bentuk forum kerjasama tahunan di luar agenda Musyawarah Perencanaan Pembangunan (musrenbang), seperti yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. Sebagaimana kerjasama uni-sektoral di atas, output kerjasama multi-sektoral dapat diwujudkan dalam bentuk spesific grants maupun tugas pembantuan. 73 Guna memfasilitasi terlaksananya kedua hal di atas, pemerintah daerah perlu memfasilitasi pengaturannya melalui Peraturan Daerah, yang akan menjadi payung hukum bagi setiap pelaksanaan kerjasama daerah, khususnya memfasilitasi terwujudnya spesific grants untuk menangani isu uni-sektoral maupun multi-sektoral. Pilihan pada spesific grants, secara obyektif sesungguhnya paling akuntabel dan rasional, mengingat dengan hibah spesifik tersebut maka target kinerja pencapaian prioritas daerah provinsi dapat lebih terarah, terukur, dan terpadu; sejauh beberapa prakondisinya terpenuhi, yaitu: 1. perencanaan pekerjaan/kegiatan pada sektor prioritas dan menjadi isu strategis di kabupaten/kota, dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan; 2. hasil perencanaan disampaikan, dimatangkan, dan diputuskan bersama dalam forum kerjasama daerah yang difasilitasi pemerintah provinsi; 3. pelaksanaan pekerjaan diserahkan/dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota (bila menjadi urusan kabupaten/kota), namun bila kegiatan tersebut adalah urusan provinsi maka dapat diwujudkan melalui tugas pembantuan; Konsekuensi dari beberapa hal di atas adalah, bahwa besaran dan tema hibah spesifik antar daerah akan berbeda-beda mengingat permasalahan pada sektor tertentu di tiap daerah memiliki bobot prioritas yang berbeda-beda. Besaran bantuan pun akan berbeda, tidak flat sama, dan tidak pula proporsional berdasarkan proporsi kontribusi daerah terhadap pendapatan provinsi sebagaimana yang selama ini menjadi diskursus antarpemerintahan daerah di provinsi Banten. 74 Besaran dana kerjasama pada prakteknya akan sangat bergantung pada hasil perencanaan dan kebutuhan yang disepakati bersama. Dengan demikian maka terdapat sinergi yang nyata dalam pelaksanaan pembangunan di daerah antar seluruh pemerintahan daerah. Harus diakui bahwa penyaluran block grants seperti yang selama ini dilakukan sesungguhnya kurang fokus dan terukur, kurang akuntabel, dan kurang mencerminkan keadilan mengingat persoalan proporsionalitas pasti akan selalu muncul dan diklaim sebagai sebuah keniscayaan. Block grants itu sendiri bukan tidak dapat dilakukan, namun tentu dengan besaran yang terbatas dan cenderung bersifat charity, sehingga secara normatif tidak boleh dijadikan agenda tetap melainkan temporer, guna membantu mengatasi permasalahan yang muncul sewaktu-waktu dan temporer sifatnya, seperti: bencana alam, wabah penyakit, dll. Otonomi daerah seperti yang di atur dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan dan mencapai kesejahteraan rakyat, termasuk pelaksanaan kerjasama luar negeri oleh pemerintah daerah. Salah satu cara pemecahan masalah pensejahteraan rakyat dan pemberdayaan daerah, tentu harus ada bentuk dan sistem wewenangnya. Kerjasama luar negeri merupakan salah satu bentuk kerjasama internasional dengan kata lain berarti ikut meletakkan kerjasama luar negeri sebagai salah satu unsur wewenang pemerintah eksekutif, termasuk daerah dapat berwenang untuk itu. Kerjasama dimaksud bisa berupa kerjasama di Bidang ekonomi, seperti: Perdagangan, kerjasama ekonomi regional/sub-regional, 75 pinjaman luar negeri, penanaman modal asing, ekspor inpor investasi, ketenagakerjaan, kelautan dan perikanan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lain-lain. Kerjasamasosial dan budaya: kerjasama di bidang pendidikan, kesehatan, bantuan kemanusiaan, kepemudaan dan lain-lain. Kerjasama kota kembar (Sister city), kerjasama tehnik dan masih banyak bentuk kerjasama serupa lainnya termasuk dalam kategori hubungan atau urusan dan bidang atau objek ranah treaty of contract, termasuk pula semua urusan, bidang-bidang atau objek yang telah menjadi wewenang daerah otonom/otonomi daerah64. Bagi kerjasama luar negeri oleh pemerintah daerh menurut Oppenheim Lauterpaht di rumuskan kedalam: “conventions of contracts between to or more states concerning various matters of interes”65. Dari itu menunjukkan urusan/bidang/objek kerjasama tersebut berada dalam ranah convention of contract, lazimnya corak kesepakatan tersebut dapat berupa ekecuty aggrement/ perjanjian sederhana sifatnya yang dilakukan aktor non state pelaku hubungan/kerjasama internasional, seperti Pemerintah daerah bertindak atas kekuasaan negara melakukan kerjasama hubungan luar negeri/kerjasama internasional terhadap objek tertentu, biasanya bentuk kesepakatan trety of contract ditemukan dengan bentuk; aggrement, memorandum of understanding, Arrangement, Modus Vivendi66. 64 Azmi, makalah tentang bentuk wewenang pemerintah daerah dalam melakukan kerjasama hubungan luar negeri untuk mewujudkan konsep negara kesejahteraan, Serang, 2009 65 Oppenheim L dan H. Lauterpacth, International law treaties, Longmans Green & co, London, 1961. hlm. 791. 66 Boer Mauna, Hukum Internasional, Alumni Bandung, 2001, hlm.90-96 76 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dari apa yang telah dipaparkan dalam pembahasan maka dapat disimpulkan : 1. Otonomi Daerah dapat menjadi salah satu instrumen peningkatan laju pertumbuhan kesejahteraan masyarakat di Indonesia apabila pembangunan di daerah mengacu pada potensi daerah atau geografis, tata pemerintahan, terutama yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan itu sendiri, dengan melaksanakan prinsip standar pelayanan minimal yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang menjamin peningkatan mutu pelayanan masyarakat secara merata sehingga kesejahteraan masyarakat menjadi semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah dengan Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Format ideal kerjasama pembangunan antar daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan, dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama tanpa membebani masyarakat dan harus mendapatkan persetujuan DPRD.Setiap daerah berani bertukar pengalaman dengan daerah lain tanpa 77 memandang rasa primodial yang berlebihan. Sehingga, aturan yang ideal haruslah mengacu pada budaya, subtansi, struktur, dengan tidak menghilangkan ruh kebangsaan. 6.2. Saran Saran dalam penelitian ini adalah : 1. Setiap daerah memiliki peraturan daerah yang mengatur mengenai kerjasama pembangunan antar daerah sebagai landasan norma dalam melaksanakan kerjasama antar daerah. 2. Selain kerjasama pembangunan antar daerah bisa dirintis kerjasama daerah dengan luar negeri. 78 DAFTAR PUSTAKA Bahan perundang-undangan : Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amandemen Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Bahan Literatur : Agussalim Andi Gadjong. Pemerintahan Daerah, Kajian Politik dan Hukum (Analisis Perundang-undangan Pemerintah Daerah dan Otonomi Daerah Semenjak Tahun 1945 sampai dengan 2004). Ciawi-Bogor. Ghalia Indonesia. Cet-I. 2007. Azmi, makalah tentang bentuk wewenang pemerintah daerah dalam melakukan kerjasama hubungan luar negeri untuk mewujudkan konsep negara kesejahteraan, Serang, 2009 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Rajawali Pers, Jakarta:2003Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, Disertasi, Unpad, Bandung, 199Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2003 Cet-5 Boer Mauna, Hukum Internasional, Alumni Bandung, 2001. C.S.T. Kansil. SH. Dan Christine S.T. Kansil. Sistim Pemerintahan Indonesia. Bumi Aksara. Jakarta. 2003 D.H.M. Meuwissen. Teori Hukum Arief Sidharta (penerjemah). Dalam Pro justicia. Jurnal Hukum UNPAR. No.2. Bandung, April 1994. Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya, cet. 2, Bandung: Djambatan, 2004. Dede Rosyada et al.,Demokrasi, Hak Asasi Manusia &Masyarakat Madani, cet. 2, Jakarta: Tim Icce Uin Jakarta dan Prenada Media: 2005. 79 Jha S.N. dan P.C. Mathur, Decentralization and Local Politics, 1st Published, New Delhi: Sage Publications India Ltd., 1999. J.B. Daliyo. Pengantar Hukum Indonesia. PT. Prenhallindo. Jakarta. 2001. Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Indonesia, FISIPOL UGM, Jogjakarta, 2003. Ketut Janapria, Kerjasama Antar Daerah Dalam Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Bali dan Nusa Tenggara, Makalah Seminar Nasional ”Pulang Kampung”Alumni Dalam Rangka Dies Natalies Ke-41 Fakultas Pertanian, Unram, 2008. Moh.Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarata. 1985. Oppenheim L dan H. Lauterpacth, International law treaties, Longmans Green & co, London, 1961. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pustaka, Jakarta, 1999. Ridwan. HR.. Hukum Administrasi Negara. UII Press. Yogyakarta. 2003. Soehino, Ilmu Negara, Penerbit liberty, Yogyakarta, 2000. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet ketiga UI-Press, Jakarta, 1986. Soehino, Ilmu Negara, Penerbit liberty, Yogyakarta: 2000. Syamsuddin Haris, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, cet. 1, ( Jakarta: LIPI Press, 2006. S.N. Jha dan P.C. Mathur, Decentralization and Local Politics, 1st Published, New Delhi: Sage Publications India Ltd., 1999. Titik Tri Wulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, cet.1, Jakarta: Prestasi pustaka, 2006. Bahan internet : Sutoro Eko, Menuju Kesejahteraan Rakyat Melalui Rute Desentralisasi, [email protected] 80 LAMPIRAN BIODATA PENELITI Nama Lengkap : H. Achmad Surkarti, S.H., M.H. Jenis Kelamin : Laki-Laki NIP : 130902905 Jabatan Struktural : Dekan FH Untirta Jabatan fungsional : Lektor Kepala Fakultas/Jurusan : Hukum/Hukum Tata Negara Alamat Kantor : Jl. Raya Jakarta km 4 Pakupatan Serang Banten Telp/Faks Kantor : (0254)280330 Ext 218/(0254)281585 Alamat Rumah : Perum Banjar Agung blok f 17 no 7 Pakupatan Telp/Faks/e-mail : 283931 Status Keluarga a. Nama Istri b. Nama Anak : Menikah : Lili Suriyanti, SH, MH : Putri Juliarti Riwayat Pendidikan : a. S1 Fakultas Hukum UII b. S2 Magister Hukum STIH IBLAM c. S3 Univ. Jayabaya On going Serang, 31 Agustus 2009 H. Achmad Surkarti, SH, MH 81 BIODATA PENELITI Nama Lengkap : Aceng Asnawi Rohani, S.H., M. H. Jenis Kelamin : Laki-Laki NIP : 131915913 Jabatan Struktural : Pembantu Dekan I FH Untirta Jabatan fungsional : Lektor Kepala Fakultas/Jurusan : Hukum/Hukum Perdata Alamat Kantor : Jl. Raya Jakarta km 4 Pakupatan Serang Banten Telp/Faks Kantor : (0254)280330 Ext 218/(0254)281585 Alamat Rumah : Taman Graha Asri B4/3 Rt 004/019 Serang Telp/Faks/e-mail : 08131095456/ 280303 Status : Menikah Riwayat Pendidikan : a. S1 Fakultas Hukum UII b. S2 Magister Hukum STIH IBLAM c. S3 Univ. Jayabaya On going Serang, 31 Agustus 2009 Aceng Asnawi Rohani, S.H., M. H. 82 BIODATA PENELITI Nama Lengkap Jenis Kelamin NIP Jabatan fungsional Fakultas/Jurusan Alamat Kantor Telp/Faks Kantor Alamat Rumah Telp/e-mail Status Keluarga a. Nama Suami b. Nama Anak : : : : : : : : Lia Riesta Dewi, SH Perempuan 132313232 Asisten Ahli Hukum/Hukum Tata Negara Jl. Raya Jakarta km 4 Pakupatan Serang Banten (0254)280330 Ext 218/(0254)281585 Puri Kartika Banjarsari Blok B 5 No 11 Cipocok Jaya Serang : 08129785251/[email protected] : Menikah : Yhannu Setyawan, SH, MH : Alief Risyawan Pandunagara Barra Alfikar Risyawan Prakarsa Tamam Risyawan Tertia Riwayat Pendidikan : a. S1 Fakultas Hukum Universitas Lampung Lulus Tahun 1998 b. S2 Magister Hukum Universitas Lampung on going Penelitian Yang relevan dengan penelitian yang diajukan : 1. Tinjauan Hukum Pembatalan Peraturan Daerah Oleh Pemerintah Republik Indonesia Dikaitkan Dengan Hakikat Otonomi Daerah (Sebagai Ketua Peneliti) 2. Kewenangan Gubernur Dalam Membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Dikaitkan dengan Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Sebagai Anggota Peneliti) Serang, 31 Agustus 2009 Lia Riesta Dewi, SH 83 BIODATA PENELITI Nama Lengkap : Lili Suriyanti, S.H., M.H. Jenis Kelamin : Perempuan NIP : 132300662 Jabatan Struktural : Ketua Bidang HTN Jabatan fungsional : Lektor Fakultas/Jurusan : Hukum/Hukum Tata Negara Alamat Kantor : Jl. Raya Jakarta km 4 Pakupatan Serang Banten Telp/Faks Kantor : (0254)280330 Ext 218/(0254)281585 Alamat Rumah : Perum Banjar Agung blok f 17 no 7 Pakupatan Telp/Faks/e-mail : 087871146883/ 283931 Status Keluarga a. Nama Suami b. Nama Anak : Menikah : H. Achmad Surkati, SH, MH : Putri Juliarti Riwayat Pendidikan : d. S1 Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung Lulus tahun e. S2 Magister Hukum Universitas Jaya Baya Lulus tahun Penelitian Yang relevan dengan penelitian yang diajukan : Kewenangan Gubernur Dalam Membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Dikaitkan dengan Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Sebagai Ketua Peneliti) Serang, 31 Agustus 2009 Lili Suriyanti, SH, MH 84 BIODATA PENELITI Nama Lengkap : H. Prahyawati Halimi, S.H., M.H. Jenis Kelamin : Perempuan NIP : 132102805 Jabatan Struktural : Pembantu Dekan II FH Untirta Jabatan fungsional : Lektor Kepala Fakultas/Jurusan : Hukum/Hukum Perdata Alamat Kantor : Jl. Raya Jakarta km 4 Pakupatan Serang Banten Telp/Faks Kantor : (0254)280330 Ext 218/(0254)281585 Alamat Rumah : Komplek Untirta Permai A2 no 8 Serang Telp/Faks/e-mail : 081319727273/ 280422 Status : Menikah Keluarga a. Nama Suami : H. Moch. Fasyehhudin, SH, MH Riwayat Pendidikan : a. S1 Fakultas Hukum Unpas Bandung b. S2 Magister Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Serang, 31 Agustus 2009 H. Prahyawati Halimi, S.H., M.H. 85 BIODATA PENELITI Nama Lengkap : Aan Asphianto, S.Si., M.H. Jenis Kelamin : Laki-Laki NIP : 132302403 Jabatan Struktural : Pembantu Dekan III FH Untirta Jabatan fungsional : Lektor Fakultas/Jurusan : Hukum/Hukum Perdata Alamat Kantor : Jl. Raya Jakarta km 4 Pakupatan Serang Banten Telp/Faks Kantor : (0254)280330 Ext 218/(0254)281585 Alamat Rumah : Taman Widya Asri Blok E 10 No 4 Cikulur Serang Telp/Faks/e-mail : 08176813457/ 824807 Status : Menikah Riwayat Pendidikan : a. S1 Fakultas Hukum UNISBA Bandung b. S2 Magister Hukum UNISBA Bandung c. S3 UNISBA On going Serang, 31 Agustus 2009 Aan Asphianto, S.Si., M.H. 86 BIODATA PENELITI Nama Lengkap : Agus Prihartono P S, S.H., M.H. Jenis Kelamin : Laki-Laki NIP : 132302052 Jabatan Struktural : Ketua Bidang Hukum Perdata FH Untirta Jabatan fungsional : Lektor Kepala Fakultas/Jurusan : Hukum/Hukum Perdata Alamat Kantor : Jl. Raya Jakarta km 4 Pakupatan Serang Banten Telp/Faks Kantor : (0254)280330 Ext 218/(0254)281585 Alamat Rumah : Taman Widya Asri Cikulur Serang Telp/Faks/e-mail : 08188873343/ 208184 Status Keluarga a. Nama Istri : Menikah : Rani Sri Agustina, SH, MH Riwayat Pendidikan : a. S1 Fakultas Hukum UNISBA Bandung b. S2 Magister Hukum STIH IBLAM c. S3 UNISBA On going Serang, 31 Agustus 2009 Agus Prihartono P S, S.H., M.H. 87 BIODATA PENELITI Nama Lengkap : Mirdedi, S.H. Jenis Kelamin : Laki-Laki NIP : 132316368 Jabatan Struktural : Kepala Laboratorium FH Untirta Jabatan fungsional : Lektor Fakultas/Jurusan : Hukum/Hukum Tata Negara Alamat Kantor : Jl. Raya Jakarta km 4 Pakupatan Serang Banten Telp/Faks Kantor : (0254)280330 Ext 218/(0254)281585 Alamat Rumah : Komplek Prima Sepang Permai Blok D3 No 1 Serang Telp/Faks/e-mail : 08881210064 Status : Menikah Riwayat Pendidikan : a. S1 Fakultas Hukum Univ. Mataram b. S2 Magister Hukum Univ. Jayabaya On going Serang, 31 Agustus 2009 Mirdedi, S.H. 88 BIODATA PENELITI Nama Lengkap : Eva Johan, S.H. Jenis Kelamin : Perempuan NIP : 132318805 Jabatan fungsional : Asisten Ahli Fakultas/Jurusan : Hukum/Hukum Tata Negara Alamat Kantor : Jl. Raya Jakarta km 4 Pakupatan Serang Banten Telp/Faks Kantor : (0254)280330 Ext 218/(0254)281585 Alamat Rumah : Jln. Gunung Gede 18 Komplek Damkar Cilegon Telp/Faks/e-mail : 0818987323/ 394322 Status : Menikah Riwayat Pendidikan : a. S1 Fakultas Hukum Univ. Jendral Sudirman b. S2 Magister Hukum Univ. Pajajaran On going Serang, 31 Agustus 2009 Eva Johan, S.H. 89