Analisis Real Khaeroni, S.Si [email protected] Lisensi Dokumen: Copyleft on khaeroni.net Seluruh dokumen di khaeroni.net dapat digunakan, dimodifikasi dan disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersial (nonprofit) atau akademis (kenaikan pangkat, sertifikasi, dan sebagainya). Dibolehkan melakukan penulisan ulang, dengan tanpa mendapatkan ijin terlebih dahulu dari khaeroni.net. Karena sifatnya bukan referensi, maka diperkenankan juga untuk tidak menyertakan link dari dokumen ini. Tentang Dokumen: Dokumen ini dibuat untuk kepentingan pribadi dan golongan, sehingga segala kesalahan dan ‘ketersesatan’ yang diakibatkan oleh penggunaan dokumen ini, penulis tidak bertanggung jawab. Ketersediaannya di internet bukan berarti ditujukan untuk penggunaan umum, ketersediaan tersebut dimaksudkan sebagai dokumentasi on‐line yang dimiliki penulis dan diperbolehkan dimiliki oleh siapa saja. Tulisan ini merupakan salinan ulang dari catatan perkuliahan Analisis Real di Institut Pertanian Bogor Sekolah Pascasarjana Program Magister Sains Mayor Matematika Terapan yang diampu oleh Bapak Dr. Jaharuddin, MS dan Ibu Berlian (Bu Anggi) Outline: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Teori Himpunan Sistem Bilangan Real Ukuran Lebesgue Integral Lebesgue Turunan dan Integral Ruang Banach Referensi: 1. H.L. Royden, 1988, Real Analysis, Mc. Milan Pub, New York 2. Bartle, R.G., & D.R. Sherbert, 2000, Introduction to Real Analysis, John Wiley, New York 3. Goldberg, Richard R., 1976, Methods of Real Analysis, John Wiley, New York Thank’s To: Allah swt atas hidayah‐Nya dan nikmat waktu luang, Nabi Muhammad saw atas bimbingan beliau mengenalkan kita kepada rabb kita. Bapak Dr. Jaharuddin, MS dan Ibu Anggi. Rekan‐rekan senasib dan sependeritaan menghadapi Analisis Real dan Aljabar Linear. My Tiny Web Site, My Wonderfull laptop yang sangat setia. Serta Al‐Hafidz Munsyari Rasyid yang senantiasa menemani telinga ini dengan lantunan ayat‐ayat‐Nya yang menggugah semangat. Dan tak lupa, Istri‐ku tercinta dan kusayangi atas dukungannya. Bagi setiap lisan yang telah terkunci, bahkan sampai kepada hatinya…Maka izinkan dan biarkanlah selembar pengaduan ini menjadi kata maaf yang sangat tulus…Namun, jika ia terlambat, maka biarkanlah lembaran ini hanya menjadi baris yang memperindah keranjang sampah. Gunakanlah, jika ia berkenan memaafkan…dan buanglah, jika memang tidak berkenan… Bab 1 Teori Himpunan 1.1. Pendahuluan Salah satu dari sekian banyak alat-alat yang penting dalam matematika modern adalah mengenai teori himpunan. Dalam tulisan ini, jika dituliskan himpunan X, maka yang dimaksud adalah himpunan bilangan real. Bagian pertama, dijelaskan beberapa simbol-simbol dari teori himpunan yang akan sangat berguna nantinya. Definisi : Himpunan didefinisikan sebagai kumpulan objek-objek. Objek dari suatu himpunan disebut anggota/elemen dari himpunan tersebut. Definisi : Jika x anggota himpunan X, ditulis x ∈ X. Jika x bukan anggota himpunan X, ditulis x ∉X Himpunan X secara lengkap ditentukan berdasarkan anggota-anggotanya. Definisi : Jika dua himpunan X dan Y memiliki sifat x ∈X jika dan hanya jika x ∈Y untuk semua x, maka X=Y Definisi : X disebut himpunan bagian dari Y, ditulis X ⊂ Y, jika dan hanya jika untuk setiap x ∈X ⇒ x ∈ Y Dari sini, jelas bahwa setiap himpunan X merupakan himpunan bagian dari X. Definisi : Dua himpunan X dan Y dikatakan sama, yaitu X = Y, jika dan hanya jika X ⊂ Y dan Y ⊂ X Karena himpunan ditentukan oleh elemen-elemennya, salah satu cara yang sering dilakukan untuk mendefisikan sebuah himpunan adalah dengan menyatakan keanggotaannya (elemen), sebagaimana didefinisikan berikut ini: Definisi : Jika A adalah himpunan dengan anggota-angggota-nya x ∈X yang memiliki sifat P maka A dapat ditulis: A = {x ∈ X | P ( x )} Sehingga x ∈ A ⇔ x ∈ X dan P ( x ) . Karena X sudah dijelaskan sebelumnya, maka terkadang pendefinisian A bisa ditulis: A = {x : P(x)} Himpunan yang tidak mempunyai anggota dinamakan dengan himpunan kosong, dan dilambangkan dengan Ø. Teorema 1.1 : Himpunan kosong merupakan himpunan bagian dari setiap himpunan. Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si Bukti : Diketahui Ø himpunan kosong. Misalkan X adalah sebarang himpunan. Akan dibuktikan bahwa Ø ⊂ X, yaitu: x ∈ Ø ⇒ x ∈X Pernyataan di atas merupakan pernyataan implikasi dengan antesedennya bernilai salah, karena Ø tidak mempunyai anggota. Berdasarkan tabel kebenaran untuk pernyataan implikasi, pernyataan implikasi di atas selalu bernilai benar. Jadi, terbukti bahwa Ø ⊂ X. Jika x, y, dan z adalah elemen-elemen X, didefinisikan himpunan-himpunan sebagai berikut: Himpunan {x} yaitu himpunan yang anggotanya hanya x Himpunan {x, y} yaitu himpunan yang anggota-anggotanya hanya x dan y Himpunan {x, y, z} yaitu himpunan yang anggota-anggotanya hanya x, y, dan z dan sebagainya. Himpunan {x} disebut dengan unit set atau singleton atas x. Satu hal yang sebaiknya hati-hati antara x dan {x}. Sebagai contoh, kita mempunyai x ∈{x} tetapi tidak benar x ∈ x. Dalam {x, y} tidak diberlakuan urutan antara x atau y, yaitu {x, y} = {y, x}. Begitu juga dengan {x, y, z} = {x, z, y} = {y, x, z} = {y, z, x} dan sebagainya. Karena alasan inilah kita menyebut {x, y} sebagai pasangan tak terurut (unordered pair). Sementara itu, kita menuliskan <x, y> sebagai pasangan berurut (ordered pair). Dalam pasangan berurutan <x, y>, x merupakan elemen pertama dan y elemen kedua. Definisi : <x, y> = <a, b> jika dan hanya jika x = a dan y = b Dari definisi di atas, disimpulkan bahwa : x ≠ y ⇒ <x, y> ≠ <y, x>. Misalkan X dan Y adalah dua himpunan. Didefinisikan Perkalian Kartesian atau Perkalian Langsung (Cartesian, or Direct Product), X × Y sebagai berikut: Definisi : X × Y = {<x, y> | x ∈ X dan y ∈ Y} Jika X bilangan real, maka X × X merupakan himpunan pasangan berurutan-pasangan berurutan atas bilangan real dan ekuivalen dengan himpunan titik-titik pada bidang. Terkadang, kita sering menulis X2 untuk X × X, X3 untuk X × X × X, dan sebagainya. Latihan : Tunjukkan bahwa {x | x ≠ x} = Ø Bukti : Misal A = {x | x ≠ x}. Akan dibuktikan bahwa A = Ø. Andaikan A ≠ Ø, maka ada x ∈ A. Karena x ∈ A maka x ≠ x. Timbul kontradiksi. Jadi, pengandaian salah, yang benar A = Ø. 1.2. Fungsi Misalkan X dan Y adalah dua himpunan. Fungsi f dari (atau pada) X ke (atau kepada) Y diartikan sebagai aturan yang mengaitkan setiap x di X dengan tepat satu anggota y di Y sehingga y = f(x). Grafik fungsi f, ditulis G, adalah kumpulan pasangan dalam bentuk <x, f(x)> di dalam X × Y. Jadi, G ⊂ X × Y disebut grafik dari sebuah fungsi f pada X jika dan hanya jika untuk setiap x ∈ X terdapat dengan tunggal pasangan dalam G yang elemen pertamanya adalah x atau ditulis: 2 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si G = {<x, y> | y = f(x)} ⊂ X × Y Terlihat, fungsi dapat didefinisikan melalui grafiknya karena fungsi dapat ditentukan dengan grafiknya. Oleh karena itu, didefinisikan fungsi dari X ke Y adalah himpunan f dalam X × Y dimana setiap x ∈ X mempunyai tepat satu y ∈ Y sehingga <x, y> ∈ f. Dengan kata lain, Jika <x, y> ∈ f dan <x, y’> ∈ f maka y = y’ Kata ‘pemetaan’ sering kali digunakan sebagai sinonim untuk kata ‘fungsi’. Fungsi f dari X ke Y dilambangkan dengan: f:X→Y bilamana <x, y> ∈ f dengan f fungsi, maka fungsi dapat ditulis y = f(x) atau x y. Himpunan X disebut domain (atau daerah definisi) dari f. Himpunan nilai f, adalah R(f) = {y ∈ Y | y = f(x), x ∈ X} disebut range dari f. Range dari fungsi f secara umum akan lebih kecil dari Y, atau R(f) ⊂ Y. Jika R(f) = Y, maka f disebut fungsi onto (fungsi f kepada Y), atau f surjektif. Definisi : Diberikan fungsi f : X → Y, f surjektif jika dan hanya jika untuk setiap y ∈ Y terdapat x ∈ X sehingga y = f(x). Akibatnya, jika f surjektif, maka R(f) = Y. Jika A ⊂ X, didefinisikan peta (image) dari A terhadap f merupakan himpunan elemen-elemen di dalam Y sehingga y = f(x) untuk semua x di A, ditulis: f(A) = {y ∈ Y | y = f(x), x ∈ A} sehingga range dari f adalah f(X), dan f surjektif jika dan hanya jika Y = f(X). Jika B ⊂ Y, didefinisikan prapeta (invers image) dari B terhadap f merupakan himpunan elemenelemen di dalam x sehingga y = f(x) ∈ B, ditulis: f–1(B) = {x ∈ X | y = f(x), y ∈ B}. Teorema : Fungsi f : X → Y surjektif ⇔ f–1(B) ≠Ø, ∀B ⊂ Y dan B ≠ Ø (f surjektif jika dan hanya jika prapeta dari himpunan bagian tak kosong dari Y merupakan himpunan tak kosong). Bukti : (⇒) Diketahui f surjektif, sehingga Y = f(X). Akan dibuktikan bahwa ∀B ⊂ Y dan B ≠ Ø, f–1(B) ≠Ø Karena B ≠ Ø maka terdapat y ∈ B. Karena y ∈ B dan B ⊂ Y maka y ∈ Y. Karena y ∈ Y dan Y = f(X) maka y ∈ f(X). Karena y ∈ f(X) maka terdapat x ∈ X sehingga y = f(x) Karena y = f(x) dan y ∈ B, maka x ∈ f–1(B) untuk suatu x ∈ X. Jadi, f–1(B) ≠Ø. (⇐) Diketahui, ∀B ⊂ Y dan B ≠ Ø, f–1(B) ≠Ø Akan dibuktikan bahwa f surjektif, ekuivalen dengan membuktikan Y = f(X) (i) Akan dibuktikan bahwa Y ⊂ f(X) Karena f–1(B) ≠ Ø, maka terdapat x ∈ f–1(B) sehingga y = f(x) untuk suatu y ∈ B. Karena B ⊂ Y, maka y ∈ Y. Karena y = f(x) maka y ∈ f(X). 3 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si (ii) Akan dibuktikan bahwa f(X) ⊂ Y Karena f–1(B) ≠ Ø, maka terdapat x ∈ f–1(B) sehingga y = f(x) untuk suatu y ∈ B. Karena y = f(x) maka y ∈ f(X). Karena B ⊂ Y, maka y ∈ Y. Versi Pa Jaharuddin: Misal y ∈ Y. Akan dibuktikan y ∈ f(X). Andaikan y ∉ f(X), maka tidak ada x ∈ X sehingga y = f(x). Jadi, tidak ada y ∈ Y sehingga y = f(x). Karena B ⊂ Y, maka tidak ada y ∈ B sehingga y = f(x). Karena y sebarang, maka f–1(B) = Ø. Kontradiksi dengan hipotesis, jadi haruslah y ∈ f(X). (The following proof is mine) Misal y ∈ f(X). Akan dibuktikan y ∈ Y Karena y ∈ f(X) maka y = f(x) untuk suatu x ∈ X. Karena f–1(B) ≠Ø dan y = f(x) untuk suatu x ∈ X, maka x ∈ f–1(B) Karena x ∈ f–1(B) dan y = f(x), maka y ∈ B Karena y ∈ B dan B ⊂ Y, maka y ∈ Y. Definisi : Fungsi f : X → Y disebut satu-satu (injektif), jika memenuhi: f(x1) = f(x2) ⇒ x1 = x2 Untuk setiap x1, x2 ∈ X. Definisi : Fungsi yang satu-satu dari X kepada Y (injektif dan surjektif) disebut korespondensi satu-satu antara X dan Y (bijektif). Bila f bijektif, maka terdapat fungsi g : Y → X sehingga untuk setiap x dan y berlaku g(f(x)) = x dan f(g(y)) = y. Fungsi g disebut invers dari f dan ditulis f–1. Misalkan f : X → Y dan g : Y → Z, didefinisikan fungsi h : X → Z, yaitu h(x) = g(f(x)). Fungsi h disebut komposisi dari g dengan f dan ditulis g f. Jika f : X → Y dan A ⊂ X didefinisikan fungsi g : A → Y dengan rumus g(x) = f(x), x ∈ A. Fungsi g disebut batasan (restriction) f terhadap A dan ditulis f|A. Fungsi f dan g memiliki daerah hasil (range) dan prapeta yang berbeda. Barisan hingga (n-tuple) adalah suatu fungsi dimana domainnya merupakan n bilangan asli pertama, yaitu himpunan {i ∈ N | i ≤ n}. Barisan tak-hingga adalah fungsi dimana domainnya merupakan bilangan asli. Kita menggunakan istilah “barisan” untuk memahami barisan berhingga atau tak-berhingga. Jika daerah hasil dari barisan ini berada dalam himpunan X, kita sebut barisan dari atau di dalam X atau barisan dengan elemen-elemen dari X. Nilai fungsi pada i, ditulis xi dan menyebut nilai tersebut dengan elemen ke-i dari barisannya. Kita juga menggunakban notasi x i dan barisan tak-hingga dengan xi ∞ i =1 n i =1 untuk menuliskan n-tuple terurut, . Namun, terkadang kita juga menyatakan barisan secara sederhana dengan x i . Daerah hasil dari barisan x i akan dinotasikan dengan {xi}. Sehingga, daerah hasil dari n-tuple terurut x i i =1 merupakan himpunan tak-terurut n-tuple {x i }i =1 . Himpunan A dikatakan terhitung (countable) jika A sama dengan daerah hasil suatu barisan (hingga atau tak-hingga). Tetapi bilamana A sama dengan daerah hasil dari barisan hingga, maka A disebut himpunan hingga (finite). Himpunan yang bukan himpunan hingga disebut himpunan tak-hingga (infinite). Salah satu cara untuk mendapatkan barisan tak-hingga (infinite sequence) adalah sebagai n n 4 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si berikut: Prinsip Rekursif : Misalkan f : X → X dan a ∈ X, maka terdapat satu (tunggal) barisan tak-hingga x i sehingga x1 = a, dan xi + 1 = f(xi) untuk setiap i ∞ i =1 dari X Untuk setiap bilangan asli n, misalkan fn : Xn → X dan a ∈ X. Maka terdapat barisan tunggal (uniqe) x i dari X sehingga x1 = a dan xi + 1 = fi(x1,…,xi). Fungsi g : N → N dikatakan monoton, jika g(i) > g(j) untuk i > j. Fungsi h dikatakan barisan bagian tak-hingga dari f, jika terdapat pemetaan monoton g : N → N sehingga h = f g. Jika f = <fi> dan g = <gi>, maka f g ditulis <fgi>. 1.3. Gabungan, Irisan, dan Komplemen Diberikan himpunan X dan ℘(X) himpunan subset dari X. Misalkan A dan B subset dari X, didefinisikan operasi irisan, gabungan, dan komplemen sebagai berikut: Definisi : Irisan himpunan A dengan B, ditulis A ∩ B, didefinisikan sebagai: A ∩ B = {x ∈ X | x ∈ A dan x ∈ B} Gabungan himpunan A dengan B, ditulis A ∪ B, didefinisikan sebagai: A ∪ B = {x ∈ X | x ∈ A atau x ∈ B} Komplemen himpunan A, ditulis –A atau Ac, didefinisikan sebagai: –A = Ac = {x ∈ X |x ∉ A} berikut: Dari, definisi-definisi di atas, diturunkan sifat-sifat operasi pada himpunan dalam teorema Teorema : Diberikan himpunan X dan A dan B adalah subset dari X. Maka berlaku: 1. A ∩ B = B ∩ A 2. A ∪ B = B ∪ A 3. A ∩ B ⊂ A 4. A ⊂ A ∪ B 5. A ∩ B = A ⇔ A ⊂ B 6. A ∪ B = A ⇔ B ⊂ A 7. (A ∩ B) ∩ C = A ∩ (B ∩ C) = A ∩ B ∩ C 8. (A ∪ B) ∪ C = A ∪ (B ∪ C) = A ∪ B ∪ C 9. A ∩ (B ∪ C) = (A ∩ B) ∪ (A ∩ C) 10. A ∪ (B ∩ C) = (A ∪ B) ∩ (A ∪ C) Bukti : 1. x ∈ A ∩ B ⇔ x ∈ A dan x ∈ B ⇔ x ∈ B dan x ∈ A ⇔B∩A 2. x ∈ A ∪ B ⇔ x ∈ A atau x ∈ B ⇔ x ∈ B atau x ∈ A ⇔B∪A 3. x ∈ A ∩ B ⇔ x ∈ A dan x ∈ B 5 Bab 1 – Teori Himpunan 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Compiled by : Khaeroni, S.Si ⇒x∈A Jadi A ∩ B ⊂ A x ∈ A ⇒ x ∈ A atau x ∈ B Jadi A ⊂ A ∪ B A∩B=A⇔A⊂B (i) Diketahui A ∩ B = A, akan dibuktikan bahwa A ⊂ B Diambil sebarang x ∈ A. Karena A ∩ B = A dan x ∈ A, maka x ∈ A ∩ B Karena x ∈ A ∩ B, maka x ∈ A dan x ∈ B. Jadi, terbukti bahwa untuk setiap x ∈ A maka x ∈ B. (ii) Diketahui A ⊂ B, akan dibuktikan bahwa A ∩ B = A Pertama, dibuktikan A ∩ B ⊂ A. Dengan menggunakan (3) terbukti. Kedua, dibuktikan A ⊂ A ∩ B. Diambil sebarang x ∈ A. Karena A ⊂ B, maka x ∈ B. Jadi, x ∈ A dan x ∈ B, atau x ∈ A ∩ B Jadi, terbukti bahwa A ∩ B = A. A∪B=A⇔B⊂A (i) Diketahui A ∪ B = A, akan dibuktikan bahwa B ⊂ A Diambil sebarang x ∈ B. Andaikan x ∉ A, maka x ∉ A ∪ B. Karena x ∉ A ∪ B maka x ∉ A dan x ∉ B. Kontradiksi dengan diketahui x ∈ B. Jadi pengandaian salah, yang benar x ∈ A. (ii) Diketahui B ⊂ A, akan dibuktikan bahwa A ∪ B = A Pertama, dibuktikan A ∪ B ⊂ A Diambil sebarang x ∈ A ∪ B, maka x ∈ A atau x ∈ B. Karena B ⊂ A dan x ∈ B, maka x ∈ A. Jadi, untuk setiap x ∈ A ∪ B maka x ∈ A. Kedua, dibuktikan A ⊂ A ∪ B. Dengan menggunakan (4) terbukti. Jadi terbukti A ∪ B = A x ∈ (A ∩ B) ∩ C ⇔ x ∈ (A ∩ B) dan x ∈ C ⇔ x ∈ A dan x ∈ B dan x ∈ C ⇔ x ∈ (A ∩ B ∩ C) ⇔ x ∈ A dan (x ∈ B dan x ∈ C) ⇔ x ∈ A dan x ∈ (B ∩ C) ⇔ x ∈ A ∩ (B ∩ C) x ∈ (A ∪ B) ∪ C ⇔ x ∈ (A ∪ B) atau x ∈ C ⇔ x ∈ A atau x ∈ B atau x ∈ C ⇔ x ∈ (A ∪ B ∪ C) ⇔ x ∈ A atau (x ∈ B atau x ∈ C) ⇔ x ∈ A atau x ∈ (B ∪ C) ⇔ x ∈ A ∪ (B ∪ C) x ∈ A ∩ (B ∪ C) ⇔ x ∈ A dan x ∈ (B ∪ C) ⇔ x ∈ A dan (x ∈ B atau x ∈ C) ⇔ (x ∈ A dan x ∈ B) atau (x ∈ A dan x ∈ C) ⇔ x ∈ (A ∩ B) atau x ∈ (A ∩ C) ⇔ x ∈ (A ∩ B) ∪ (A ∩ C) x ∈ A ∪ (B ∩ C) ⇔ x ∈ A atau x ∈ (B ∩ C) ⇔ x ∈ A atau (x ∈ B dan x ∈ C) 6 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si ⇔ (x ∈ A atau x ∈ B) dan (x ∈ A atau x ∈ C) ⇔ x ∈ (A ∪ B) dan x ∈ (A ∪ C) ⇔ x ∈ (A ∪ B) ∩ (A ∪ C) Himpunan kosong Ø memainkan peranan yang penting di dalam ruang X, dan disebutkan melalui sifat berikut: Teorema : Jika Ø himpunan kosong, X sebarang himpunan dan A ⊂ X, maka berlaku: 1. A ∪ Ø = A 2. A ∩ Ø = Ø 3. A ∪ X = X 4. A ∩ X = A Bukti : 1. Diambil sebarang x ∈ A ∪ Ø, maka x ∈ A atau x ∈ Ø. Karena x ∈ Ø salah, maka haruslah x ∈ A. Sebaliknya, diambil sebarang x ∈ A. Maka x ∈ A atau x ∈ Ø. Jadi, x ∈ A ∪ Ø 2. Andaikan A ∩ Ø ≠ Ø maka terdapat x ∈ A ∩ Ø. Karena x ∈ A ∩ Ø maka x ∈ A dan x ∈ Ø. Dari sini timbul kontradiksi, karena x ∈ Ø salah. Jadi, pengandaian salah, yang benar adalah A ∪ Ø = Ø. 3. Diambil sebarang x ∈ A ∪ X, maka x ∈ A atau x ∈ X. Jadi, x ∈ X. Sebaliknya, diambil sebarang x ∈ X. Maka x ∈ A atau x ∈ X. Jadi, x ∈ A ∪ X. 4. Diambil sebarang x ∈ A ∩ X, maka x ∈ A dan x ∈ X. Jadi, x ∈ A. Sebaliknya, diambil sebarang x ∈ A. Karena A ⊂ X dan x ∈ A, maka x ∈ X. Jadi, x ∈ A ∩ X. Dari definisi komplemen A, diperoleh teorema sebagai berikut: Teorema : Jika Ø himpunan kosong, X sebarang himpunan dan A ⊂ X, maka berlaku: 1. Øc = X 2. Xc = Ø 3. (Ac)c = A 4. A ∪ Ac = X 5. A ∩ Ac = Ø 6. A ⊂ B ⇔ Bc ⊂ Ac Bukti : 1. Karena Ø = {x ∈ X | x ∉ X}, maka Øc = {x ∈ X | x ∈ X} = X 2. Karena X = {x ∈ X | x ∈ X}, maka Xc = {x ∈ X | x ∉ X} = Ø 3. Karena Ac = {x ∈ X | x ∉ A}, maka (Ac)c = {x ∈ X | x ∈ A} = A 4. Diambil sebarang x ∈ A ∪ Ac, maka x ∈ A atau x ∈ Ac. Karena A ⊂ X maka x ∈ X. Sebaliknya, diambil sebarang x ∈ X. Karena A ⊂ X, maka x ∈ A atau x ∉ A. Jadi, x ∈ A atau x ∈ Ac. Maka, x ∈ A ∪ Ac. 5. Andaikan A ∩ Ac ≠ Ø, maka terdapat x ∈ A ∩ Ac. Karena x ∈ A ∩ Ac maka x ∈ A dan x ∈ Ac. Akibatnya, x ∈ A dan x ∉ A. Terjadi kontradiksi. Jadi, pengandaian salah, yang benar A ∩ Ac = Ø. 6. A ⊂ B ⇔ Bc ⊂ Ac (i) Diketahui A ⊂ B, akan dibuktikan bahwa Bc ⊂ Ac. Diambil sebarang x ∈ Bc. Karena x ∈ Bc, maka x ∉ B. Karena A ⊂ B, maka x ∉ A. Jadi, x ∈ Ac. 7 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si (ii) Diketahui Bc ⊂ Ac, akan dibuktikan bahwa A ⊂ B Diambil sebarang x ∈ A. Karena x ∈ A, maka x ∉ Ac. Karena Bc ⊂ Ac, maka x ∉ Bc. Karena x ∉ Bc, maka x ∈ B. Dua hukum yang mengaitkan komplemen suatu himpunan dengan gabungan dan irisannya diberikan dalam Hukum De Morgan sebagai berikut: Teorema (Hukum De Morgan) : Jika X sebarang himpunan dan A dan B himpunan bagian dari X, maka berlaku: 1. (A ∪ B)c = Ac ∩ Bc 2. (A ∩ B)c = Ac ∪ Bc Bukti : 1. x ∈ (A ∪ B)c ⇔ x ∉ (A ∪ B) ⇔ x ∉ A dan x ∉ B ⇔ x ∈ Ac dan x ∈ Bc ⇔ x ∈ (Ac ∩ Bc) 2. x ∈ (A ∩ B)c ⇔ x ∉ (A ∩ B) ⇔ x ∉ A atau x ∉ B ⇔ x ∈ Ac atau x ∈ Bc ⇔ x ∈ (Ac ∪ Bc) Jika A dan B merupakan himpunan bagian dari X, didefinisikan beda (difference) A dan B, ditulis B ~ A atau komplemen relatif dari A di B sebagai himpunan yang elemen-elemennya di A tetapi tidak di B. Jadi, B ~ A = {x ∈ X | x ∈ A dan x ∉ B} Dari sini terlihat bahwa, B ~ A = A ∩ Bc. Beda simetri (symmetric difference) dari dua himpunan A dan B didefinisikan sebagai: A ∆ B = (A ~ B) ∪ (B ~ A) Beda simetri dari dua himpunan berisi semua elemen yang menjadi anggota dari himpunan yang satu atau yang lainnya tetapi bukan anggota keduanya. Jika irisan dari kedua himpunan adalah kosong, dikatakan kedua himpunan tersebut saling lepas atau disjoint. Koleksi himpunan-himpunan, ς dikatakan koleksi disjoint atas himpunan-himpunan jika setiap dua himpunan di ς adalah disjoint. Proses mengambil irisan atau gabungan dari dua himpunan dapat diperluas dengan melakukan perulangan untuk memberikan irisan atau gabungan dari sebarang koleksi berhingga atas himpunan. Kita bisa memberikan definisi dari irisan untuk sebarang koleksi ς atas himpunan-himpunan. Irisan dari koleksi ς adalah himpunan yang elemen-elemen dari X merupakan anggota untuk setiap anggota dari ς. Kita menuliskan irisan ini dengan ∩ A atau ∩{ A | A ∈ ς } . Jadi, A∈ς ∩ A = ∩{ A| A ∈ ς } = {x ∈ X | x ∈ A, untuk setiap A ∈ ς } A∈ς Secara sama, definisi dari gabungan sebagai berikut: ∪ A = ∪{ A| A ∈ ς } = {x ∈ X | x ∈ A, untuk suatu A ∈ ς } A∈ς Teorema (Hukum De Morgan) : c ⎡ ⎤ 1. ⎢ ∩ A ⎥ = ∪ A c ⎣ A∈ς ⎦ A∈ς 8 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si c ⎡ ⎤ 2. ⎢ ∪ A ⎥ = ∩ A c ⎣ A∈ς ⎦ A∈ς Bukti : ⎡ ⎤ 1. Diambil sebarang x ∈ ⎢ ∩ A ⎥ ⎣ A∈ς ⎦ c c ⎡ ⎤ x ∈ ⎢ ∩ A⎥ . ⇔ x ∉ ∩ A A∈ς ⎣ A∈ς ⎦ . ⇔ x ∉ A , untuk suatu A ∈ ς . ⇔ x ∈ A c , untuk suatu A ∈ ς . ⇔ x ∈ ∪ Ac A∈ς ⎡ ⎤ 2. Diambil sebarang x ∈ ⎢ ∪ A ⎥ ⎣ A∈ς ⎦ c c ⎡ ⎤ x ∈ ⎢ ∪ A⎥ . ⇔ x ∉ ∪ A A∈ς ⎣ A∈ς ⎦ . ⇔ x ∉ A , ∀A ∈ ς . ⇔ x ∈ A c , ∀A ∈ ς . ⇔ x ∈ ∩ Ac A∈ς Teorema (Hukum Distributif) : ⎡ ⎤ 1. B ∩ ⎢ ∪ A ⎥ = ∪ ( B ∩ A ) ⎣ A∈ς ⎦ A∈ς ⎡ ⎤ 2. B ∪ ⎢ ∩ A ⎥ = ∩ ( B ∪ A ) ⎣ A∈ς ⎦ A∈ς Bukti : ⎡ ⎤ 1. Diambil sebarang x ∈ B ∩ ⎢ ∪ A ⎥ , diperoleh: ⎣ A∈ς ⎦ ⎡ ⎤ x ∈ B ∩ ⎢ ∪ A ⎥ . ⇔ x ∈ B dan x ∈ ∪ A A∈ς ⎣ A∈ς ⎦ . ⇔ x ∈ B dan x ∈ A untuk suatu A ∈ ς . ⇔ x ∈ ( B ∩ A ) untuk suatu A ∈ ς . ⇔ x ∈ ∪ (B ∩ A) A∈ς ⎡ ⎤ 2. Diambil sebarang x ∈ B ∪ ⎢ ∩ A ⎥ , diperoleh: ⎣ A∈ς ⎦ 9 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si ⎡ ⎤ x ∈ B ∪ ⎢ ∩ A ⎥ . ⇔ x ∈ B atau x ∈ ∩ A A∈ς ⎣ A∈ς ⎦ . ⇔ x ∈ B atau x ∈ A untuk setiap A ∈ ς . ⇔ x ∈ ( B ∪ A ) untuk setiap A ∈ ς . ⇔ x ∈ ∩ (B ∪ A) A∈ς Barisan pada himpunan bagian dari X kita artikan barisan dari ℘(X), yaitu sebuah pemetaan dari N ke ℘(X). Jika <Ai> adalah sebuah barisan tak-hingga pada himpunan bagian dari X, kita ∞ menotasikan ∪A i i =1 untuk gabungan dari daerah hasil (range) barisannya. Sehingga, ∞ ∪A i i =1 = {x ∈ X | x ∈ Ai , untuk suatu i } ; dan ∞ ∩A Secara sama, jika Bi i =1 n i =1 i = {x ∈ X | x ∈ Ai , untuk setiap i } merupakan barisan hingga pada himpunan bagian dari X, kita n menuliskan ∩B i =1 i sebagai irisan dari daerah hasil barisannya, oleh karena itu: n ∩B i =1 i = B1 ∩ B2 ∩ ∩ Bn Himpunan bagian dari X yang berindex adalah suatu fungsi pada himpunan indeks Λ ke X atau ke himpunan bagiannya. Jika Λ himpunan bilangan asli, maka notasi himpunan berindeks sama dengan notasi bilangan asli. Biasanya menggunakan notasi xλ dari pada x(λ) dan menuliskan indeks-nya dengan {xλ} atau {xλ : λ ∈Λ}. Berikut ini definisi irisan dan gabungan dari himpunan berindeks: ∩ Aλ = {x ∈ X |x ∈ Aλ , untuk setiap λ ∈ Λ} λ∈Λ ∪ Aλ = {x ∈ X |x ∈ Aλ , untuk suatu λ ∈ Λ} λ∈Λ Bilamana Λ = N maka diperoleh ∞ ∩ A =∩A i ∈N i i =1 i (serupa juga untuk gabungan) Jika f memetakan X kepada Y dan {Aλ} koleksi himpunan bagian dari X, maka: ⎡ ⎤ ⎡ ⎤ f ⎢∪ Aλ ⎥ = ∪ f [ Aλ ] dan f ⎢∩ Aλ ⎥ ⊂ ∩ f ( Aλ ) ⎣λ ⎦ λ ⎣λ ⎦ λ Bukti : Versi Pa Jaharuddin: ⎡ ⎤ (i) Diambil sebarang y ∈ f ⎢∪ Aλ ⎥ , maka terdapat x ∈ ∪ Aλ sehingga y = f(x). λ ⎣λ ⎦ Karena x ∈ ∪ Aλ , maka x ∈ Aλ untuk suatu λ ∈ Λ. Karena x ∈ Aλ sehingga y = f(x), λ maka y ∈ f ( Aλ ) untuk suatu λ. Jadi, y ∈ ∪ f [ Aλ ] λ (ii) Left as an exercise! My Version: 10 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si ⎡ ⎤ y ∈ f ⎢∪ Aλ ⎥ . ⇒ y = f ( x ), ∀x ∈ Aλ untuk suatu λ ⎣λ ⎦ . ⇒ y ∈ f ( Aλ ), untuk suatu λ . ⇒ y ∈ ∪ f ( Aλ ) λ y ∈ ∪ f ( Aλ ) ⇒ y ∈ f ( Aλ ), untuk suatu λ λ ⇒ y = f ( x ), ∀x ∈ Aλ , untuk suatu λ ⎡ ⎤ ⇒ y ∈ f ⎢∪ Aλ ⎥ ⎣λ ⎦ ⎡ ⎤ Selanjutnya, akan dibuktikan bahwa : f ⎢∩ Aλ ⎥ ⊂ ∩ f ( Aλ ) . ⎣λ ⎦ λ ⎡ ⎤ y ∈ f ⎢∩ Aλ ⎥ . ⇒ y = f ( x ), ∀x ∈ Aλ , ∀λ ⎣λ ⎦ . ⇒ y ∈ f ( Aλ ), ∀λ . ⇒ y ∈ ∩ f ( Aλ ) λ Untuk prapeta, misalkan {Bλ} koleksi himpunan bagian dari Y, maka ⎡ ⎤ ⎡ ⎤ f −1 ⎢∪ Bλ ⎥ = ∪ f −1( Bλ ) dan f −1 ⎢∩ Bλ ⎥ = ∩ f −1( Bλ ) ⎣λ ⎦ λ ⎣λ ⎦ λ Bukti : ⎡ ⎤ Akan dibuktikan bahwa f −1 ⎢∪ Bλ ⎥ = ∪ f −1( Bλ ) . ⎣λ ⎦ λ ⎡ ⎤ Pertama, dibuktikan bahwa f −1 ⎢∪ Bλ ⎥ ⊂ ∪ f −1( Bλ ) ⎣λ ⎦ λ ⎡ ⎤ x ∈ f −1 ⎢∪ Bλ ⎥ . ⇒ ∀x ∈ Bλ , y = f ( x ), untuk suatu λ ⎣λ ⎦ . ⇒ x ∈ f −1( Bλ ), untuk suatu λ . ⇒ x ∈ ∪ f −1( Bλ ) λ ⎡ ⎤ ( Bλ ) ⊂ f −1 ⎢∪ Bλ ⎥ ⎣λ ⎦ −1 −1 f ( Bλ ). ⇒ x ∈ f ( Bλ ), untuk suatu λ Kedua, dibuktikan bahwa x ∈∪ λ ∪λ f −1 . ⇒ ∀x ∈ Bλ , y = f ( x ), untuk suatu λ ⎡ ⎤ . ⇒ x ∈ f −1 ⎢∪ Bλ ⎥ ⎣λ ⎦ Selanjutnya akan dibuktikan bahwa, ⎡ ⎤ f −1 ⎢∩ Bλ ⎥ = ∩ f −1( Bλ ) ⎣λ ⎦ λ 11 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si ⎡ ⎤ Pertama, dibuktikan bahwa f −1 ⎢∩ Bλ ⎥ ⊂ ∩ f −1( Bλ ) ⎣λ ⎦ λ ⎡ ⎤ x ∈ f −1 ⎢∩ Bλ ⎥ . ⇒ ∀x ∈ Bλ , y = f ( x ), ∀λ ⎣λ ⎦ . ⇒ x ∈ f −1( Bλ ), ∀λ . ⇒ x ∈ ∩ f −1( Bλ ) λ ⎡ ⎤ ( Bλ ) ⊂ f −1 ⎢∩ Bλ ⎥ ⎣λ ⎦ −1 −1 f ( Bλ ). ⇒ x ∈ f ( Bλ ), ∀λ Kedua, dibuktikan bahwa x ∈∩ λ ∩λ f −1 . ⇒ ∀x ∈ Bλ , y = f ( x ), ∀λ ⎡ ⎤ . ⇒ x ∈ f −1 ⎢∩ Bλ ⎥ ⎣λ ⎦ 1.4. Aljabar Himpunan Koleksi himpunan B disebut aljabar himpunan atau aljabar Boolean, jika untuk setiap A, B ∈ B berlaku A ∪ B ∈ B dan Ac ∈ B. Dalam, bilangan real, koleksi himpunan bagian A dari X disebut aljabar himpunan atau aljabar Boolean jika ∀A, B ∈ A berlaku: (i) A ∪ B ∈ A (ii) Ac ∈ A Dari hukum De Morgan, (iii) (A ∪ B)c ∈ A ⇔ A ∩ B ∈ A Terlihat, jika koleksi himpunan bagian A dari X memenuhi (iii) dan (ii), maka dengan hukum De Morgan (i) juga dipenuhi, sehingga merupakan aljabar himpunan. Dengan mengambil gabungan himpunan-himpunan, terlihat bahwa: A1, … , An himpunan-himpunan di A maka A1 ∪ A2 ∪ … ∪ An juga berada di A. Contoh : Himpunan B = {{1}, {2, 3, 4}, {1, 2, 3, 4}, ∅} adalah aljabar himpunan. Proposisi : Misalkan C koleksi himpunan bagian dari X, maka terdapat aljabar himpunan terkecil A yang memuat C; yaitu, jika terdapat aljabar himpunan A yang memuat C sehingga jika B sebarang aljabar yang memuat C maka B memuat A. Bukti : Misalkan F koleksi himpuan bagian dari X yang berupa aljabar himpunan yang memuat C. Didefinisikan, R = ∩B B∈F Karena R ⊂ B, ∀B ∈ F dan B aljabar himpunan yang memuat C maka R memuat C. Selanjutnya dibuktikan R suatu aljabar himpunan. Misalkan A, B ∈ R maka A, B ∈ B, ∀B ∈ F. Karena B aljabar himpunan, maka A ∪ B ∈ B, 12 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si ∀B ∈ F, dan Ac ∈ B, ∀B ∈ F. Karena A ∪ B ∈ B dan Ac ∈ B, ∀B ∈ F maka A ∪ B ∈ ∩ B dan A c ∈ ∩ B B∈F B∈F Karena A ∪ B ∈ ∩ B dan A c ∈ ∩ B maka B∈F B∈F A ∪ B ∈ ∩{ B|B ∈ F } = R dan A c ∈ ∩{ B|B ∈ F } = R Jadi R aljabar himpunan. Aljabar terkecil yang memuat C disebut aljabar yang dibangun oleh C. Proposisi : Misalkan Ai adalah barisan himpunan pada (atau di dalam) aljabar himpunan R, maka terdapat barisan himpunan Bi pada R sehingga: Bn ∩ Bm = ∅, n ≠ m dan ∞ ∞ i =1 i =1 ∪ Bi = ∪ Ai Bukti : Misalkan B1 = A1, B2 = A2, dan untuk setiap bilangan asli n > 1, didefinisikan: Bn = An ~ ( A1 ∪ A2 ∪ ... ∪ An −1 ) = An ∩ ( A1 ∪ A2 ∪ ... ∪ An −1 ) c = An ∩ A1c ∩ A2c ∩ ... ∩ Anc −1 Sebagai ilustrasi, perhatikan diagram berikut: A2 A1 B2 B1 B3 A3 Bn ⊂ An dan Ai barisan himpunan pada aljabar himpunan R, maka Bn ∈ R ∀n. Jadi, barisan Bi pada R. Karena Bn ⊂ An ∀n, maka untuk m < n, Bm ⊂ Am. Jadi, Bm ∩ Bn ⊂ Am ∩ Bn = Am ∩{ An ∩ A1c ∩ A2c ∩ ... ∩ Amc ... ∩ Anc −1} = ( Am ∩ Amc ) ∩ { An ∩ A1c ∩ A2c ∩ ... ∩ Anc −1} = ∅ ∩{ An ∩ A1c ∩ A2c ∩ ... ∩ Anc −1} =∅ Selanjutnya, karena Bi ⊂ Ai ∀i, maka ∞ ∞ ∞ ∞ ∪ B ⊂ ∪ A . Akan dibuktikan ∪ A ⊂ ∪ B . Misalkan i =1 i i =1 i i =1 i i =1 i ∞ x ∈ ∪ Ai , maka x ∈ Ai untuk suatu i. Jika n nilai terkecil dari {i | x ∈ Ai}, maka x ∈ Bn, untuk i =1 ∞ suatu n. Jadi x ∈ ∪ Bi . i =1 Aljabar himpunan R dikatakan aljabar-σ atau lapangan Borel, jika gabungan dari setiap koleksi 13 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si himpunan terhitung di R juga terdapat di R. Yaitu, jika Ai barisan himpunan pada aljabar R, maka ∞ ∪A i =1 i juga berada di R. Sehingga R aljabar-σ. Dari hukum De Morgan, diperoleh juga bahwa irisan dari setiap koleksi himpunan terhitung di R juga terdapat di R. Dengan melakukan sedikit modifikasi pada Proposisi di atas (pertama), diperoleh proposisi sebagai berikut. Proposisi : Misalkan C koleksi himpunan bagian dari X, maka terdapat aljabar-σ terkecil R yang memuat C. Bukti : Misalkan F koleksi himpuan bagian dari X yang berupa aljabar-σ yang memuat C. Didefinisikan, R = ∩B B∈F Karena R ⊂ B, ∀B ∈ F dan B aljabar-σ yang memuat C maka R memuat C. Selanjutnya dibuktikan R suatu aljabar-σ. Misalkan Ai barisan himpunan pada R. Karena Ai setiap B ∈ F. Karena Ai berada di R, maka Ai ∈ B untuk setiap B ∈ F dan B aljabar-σ, maka ∈ B untuk ∞ ∪ A ∈ B untuk i i =1 setiap B ∈ F. Jadi, ∞ ∪ A ∈ ∩ B = {B|B ∈ F} = R i =1 i B∈F Aljabar-σ terkecil yang memuat C disebut aljabar-σ yang dibangun oleh C. 1.5. Aksioma Pilihan dan Perkalian Langsung Aksioma Pilihan : Misal C sebarang koleksi himpunan-himpunan tak kosong. Maka terdapat fungsi F yang didefinisikan pada C yang memetakan setiap A ∈ C, sehingga suatu elemen di F(A) terletak di A. Fungsi F disebut fungsi pilihan dan bergantung pada pemilihan himpunan A ∈ C, sehingga suatu elemen di F(A) terletak di A. Misal C = {Xλ} merupakan koleksi himpunan yang diindeks oleh himpunan index Λ. Didefinisikan perkalian langsung (direct product): XX λ λ merupakan koleksi dari semua himpunan {xλ} yang diindeks oleh Λ sehingga xλ∈ Xλ. Sebagai contoh, jika Λ = {1, 2}, maka diperoleh definisi awal perkalian langsung X1 x X2 dari dua himpunan X1 dan X2. Jika z = {xλ} adalah elemen dari XX λ λ maka xλ disebut koordinat ke-λ dari z. Jika salah satu dari Xλ kosong maka XX λ λ adalah kosong. Aksioma pilihan ekuivalen dengan pernyataan konversnya, yaitu: Jika tidak ada Xλ yang kosong maka XX λ λ tidak kosong. Atas dasar ini Bertrand Russell menyebut Aksioma Pilihan dengan Aksioma Perkalian (multiplicative axiom). 14 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si Problem : Misal f : X → Y adalah fungsi onto (pada) Y. Tunjukkan bahwa ada fungsi g : Y → X sehingga f g merupakan fungsi identitas pada Y. Bukti : Misalkan C = {A | ∃y ∈ Y dengan A = f–1[{y}]} Pertama, ditunjukkan A tidak kosong untuk setiap A ∈ C. Diambil sebarang A ∈ C, maka A = f–1[{y}] untuk suatu y ∈ Y. Karena A = f–1[{y}] maka A = {x ∈ X | y = f(x), untuk suatu y ∈ Y} Karena f onto dan y ∈ Y maka terdapat x ∈ X sehingga y = f(x). Artinya, A tidak kosong. Kedua, dengan axioma pilihan, karena C koleksi himpunan-himpunan tak kosong maka terdapat fungsi g pada C sehingga untuk suatu y’ ∈ g(A) maka y’ ∈ A untuk setiap A ∈ C. Untuk setiap A ∈ C, dipilih fungsi g : Y → X dengan definisi g(y) = x, dengan y = f(x) ∀y ∈ Y dan x ∈ X. Dari definisi tersebut, diperoleh: g ( A ) = {x ∈ A | y = f ( x )} ⊂ A Sehingga, jika y’ ∈ g(A) maka y’ ∈ A untuk setiap A ∈ C. Jadi, fungsi g memenuhi aksioma pilihan. Artinya, fungsi ini keberadaannya dijamin oleh aksioma tersebut. Terakhir, ditunjukkan f g fungsi identitas. Diambil sebarang setiap y ∈ Y dengan g(y) = x, maka y = f(x) dan berlaku: ( f g )( y ) = f ( g ( y )) = f (x ) = y Terlihat bahwa f g merupakan fungsi identitas pada Y. 1.6. Himpunan Terhitung Pada bagian sebelumnya telah didefinisikan bahwa suatu himpunan dikatakan terhitung (countable) jika himpunan tersebut merupakan daerah hasil dari suatu barisan. Jika daerah hasil barisan tersebut berhingga (finite), maka himpunan tersebut berhingga (finite). Tetapi, jika daerah hasil hasil barisan tersebut tak-berhingga (infinite), maka himpunan tersebut mungkin hingga (atau mungkin takberhingga). Kenyataannya setiap himpunan tak kosong yang berhingga merupakan daerah hasil dari suatu barisan tak hingga. Sebagai contoh, himpunan berhingga {x1, …, xn} merupakan daerah hasil dari barisan tak hingga yang didefinisikan dengan xi = xn untuk i > n1. Sebuah himpunan dikatakan terhitung tak-berhingga jika himpunan tersebut sama dengan daerah hasil suatu barisan tak hingga tetapi bukan merupakan daerah hasil semua barisan berhingga. Himpunan bilangan asli N adalah salah satu contoh himpunan terhitung tak-berhingga. Himpunan kosong bukan merupakan daerah hasil dari semua barisan. Himpunan hingga yang terhitung adalah himpunan kosong. Jadi perlu didefinisikan mengenai himpunan berhingga dan terhitung sehingga himpunan kosong merupakan himpunan berhingga dan terhitung. Definisi : Suatu himpunan dikatakan hingga (finite) jika himpunan tersebut kosong atau merupakan daerah hasil suatu barisan hingga. Suatu himpunan dikatakan terhitung (countable or denumerable) jika himpunan tersebut kosong atau merupakan daerah hasil suatu barisan (hingga atau tak hingga). Dari definisi di atas diperoleh bahwa peta dari sebarang himpunan terhitung adalah terhitung. Artinya, daerah hasil dari sebarang fungsi dengan daerah asal berupa himpunan terhitung adalah 1 Daerah hasil barisannya adalah : {x1, x2, …, xn, xn, xn, xn, ….} 15 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si terhitung. Problem : Misal f : X → Y fungsi dan A ⊂ X. Jika A terhitung buktikan bahwa f(A) terhitung. Bukti : Karena A terhitung, maka A himpunan kosong atau A sama dengan daerah hasil suatu barisan. (i) Jika A = ∅, cukup dibuktikan f(A) = ∅ Andaikan f(A) ≠ ∅, maka terdapat y ∈ f(A) sehingga y = f(x) untuk suatu x ∈ A. Kontradiksi dengan diketahui A = ∅. Jadi, f(A) = ∅. (ii) Jika A ≠ ∅. Karena A terhitung, maka A = {xi}. Dari sini, maka f ( A ) = f ({x i } ) = { y i | y i = f ( x i ), x i ∈ A} = { y i } Jadi, f(A) sama dengan daerah hasil suatu barisan, yaitu {yi} dengan yi = f(xi) dan xi ∈ A. Karena f(A) sama dengan daerah hasil suatu barisan, maka f(A) terhitung. Berikut ini konsep terhitung diperkenalkan berdasarkan ada atau tidaknya suatu korespondensi satu-satu. Yang perlu dicatat adalah setiap himpunan yang berkorespondensi satu-satu dengan himpunan berhingga adalah berhingga dan setiap himpunan yang berkorespondensi satu-satu dengan himpunan terhitung adalah terhitung. Karena himpunan bilangan asli N adalah himpunan terhitung tetapi tak hingga, setiap himpunan yang berkorespondensi satu-satu dengan N haruslah terhitung dan tak hingga. Jadi, himpunan tak hingga A terhitung jika dan hanya jika terdapat korespondensi satu-satu antara A dan N. Jika himpunan tak hingga E merupakan daerah hasil dari barisan <xn>, maka E berkorenspondensi satu-satu dengan N. Didefinisikan fungsi ϕ : N → N dengan prinsip rekursi berikut: ϕ(1) = 1 ϕ(n + 1) = bilangan terkecil m sehingga xm ≠ xi untuk setiap i ≤ ϕ(n). Karena E tak hingga sehingga selalu terdapat m dan dengan prinsip well-ordering untuk N, maka xϕ ( n ) adalah korespondensi satuselalu terdapat bilangan yang lebih kecil dari m. Korespondensi n satu antara N dan E. Sehingga, disimpulkan bahwa sebuah himpunan terhitung dan tak hingga jika dan hanya jika terdapat korespondensi satu-satu dengan N. Proposisi : Setiap himpunan bagian dari himpunan terhitung adalah terhitung. Bukti : Misalkan E = {xn} terhitung. Diambil A ⊂ E. Jika A = ∅, maka dari definisi A terhitung Jika A ≠ ∅, maka ∃x ∈ A. Kemudian didefinisikan <yn> sebagai berikut: ⎧ x jika x n ∉ A yn = ⎨ ⎩x n jika x n ∈ A Jelas bahwa A merupakan daerah hasil dari <yn>. Jadi A terhitung. Proposisi : Misalkan A himpunan terhitung, maka himpunan semua barisan hingga dari A juga terhitung. Bukti : Karena A terhitung maka terdapat korespondensi satu-satu dengan N atau himpunan bagiannya. Jadi cukup dibuktikan bahwa S himpunan semua barisan hingga dari N adalah terhitung. Misalkan <2, 3, 5, 7, 11, …, Pk, …> barisan bilangan prima, maka ∀n ∈ N terdapat faktorisasi tunggal dari n, n = 2 x1 .3x 2 .5x 2 ...Pkx k 16 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si dengan xi ∈ N0 = N ∪ {0} dan xk > 0. Didefinisikan fungsi f pada N yang memetakan bilangan asli n ke barisan hingga <x1, …., xk> dari N0. Maka S merupakan himpunan bagian dari daerah hasil dari f. Dengan menggunakan proposisi 4, S terhitung. Proposisi : Himpunan semua bilangan rasional adalah terhitung Bukti : ⎧p ⎫ Misal Q = ⎨ ; p , q ∈ Z , q ≠ 0 ⎬ himpunan bilangan rasional dan C koleksi barisan hingga dari ⎩q ⎭ N. Karena N terhitung, maka menurut proposisi sebelumnya setiap barisan hingga dari N adalah terhitung. Jadi C adalah koleksi barisan hingga dan terhitung. Karena, { C = A | A = {x ji didefinisikan barisan A j ∞ j =1 } n i =1 , x ji ∈ N } dengan { } A j = x ji Terlihat C sama dengan daerah hasil barisan n i =1 ∞ Aj j =1 , jadi C terhitung. Misalkan X ⊂ C. Karena C terhitung, menurut proposisi 4, X terhitung. Misalkan X = A | A = {x pq , x pq , p , q ∈ N } . Selanjutnya didefinisikan pemetaan f : X → Q { sebagai berikut: } p , q ,1 → p / q p, q , 2 → − p / q 1,1, 3 → 0 Terlihat, pemetaan tersebut merupakan pemetaan dari himpunan pasangan berurutan (dari bilangan asli) <p, q, i>, i = 1, 2, 3 ke bilangan rasional Q. Karena himpunan pasangan berurutan dari bilangan asli terhitung, maka Q terhitung. Proposisi : Gabungan koleksi terhitung dari himpunan terhitung adalah terhitung Bukti : Misalkan C koleksi terhitung dari himpunan terhitung. Jika himpunan dalam C semuanya kosong, maka gabungannya kosong dan juga terhitung. Selanjutnya, diasumsikan himpunan di C tidak semua kosong, dan karena himpunan kosong tidak memberikan pengaruh pada gabungan himpunan-himpunan di C maka dapat diasumsikan himpunan-himpunan di C tidak kosong. Sehingga C merupakan daerah hasil dari barisan tak hingga An ∞ n =1 dan setiap An merupakan ∞ daerah hasil dari barisan tak hingga x nm m =1 . Tetapi, pemetaan dari <n, m> ke xnm adalah pemetaan dari himpunan pasangan berurutan atas bilangan asli ke (pada) gabungan dari C. Karena himpunan pasangan dari bilangan asli adalah terhitung maka gabungan dari koleksi C juga terhitung. 1.7. Relasi dan Ekuivalensi Dua elemen x dan y bisa ‘direlasikan’ satu sama lain dalam banyak cara seperti x = y, x ∈ y, x ⊂ y, atau untuk bilangan x < y. Secara umum, misalkan R menyatakan relasi jika diberikan x dan y, x berelasi R dengan y ditulis x R y, atau x tidak berelasi R dengan y. R dikatakan relasi pada himpunan X 17 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si jika ∀x ∈ X dan ∀y ∈ Y, x R y. Jika R relasi pada himpunan X, didefinisikan grafik dari R sebagai: {<x, y> | x R y} Dua relasi R dan S dikatakan sama jika (x R y) ⇔ (x S y), karena relasi ditentukan secara tunggal oleh grafiknya, dan sebaliknya setiap himpunan bagian dari X × X merupakan grafik dari suatu relasi pada X. Jadi, relasi R pada X dapat didefinisikan R ⊂ X × X sedangkan relasi R antara himpunan X dan Y adalah R ⊂ X × Y. Relasi R pada X dikatakan: 1. Transitif, jika untuk setiap x, y ∈ R, x R y dan y R z ⇒ x R z 2. Simetri, jika untuk setiap x, y ∈ R, x R y ⇒ y R x 3. Refleksi, jika untuk setiap x ∈ R, x R x 4. Ekuivalen, jika relasi tersebut transitif, simetri, dan refleksi. Relasi yang ekuivalen pada X sering disebut ekuivalen pada X. Misalkan ≡ relasi ekuivalen pada X. Untuk setiap x ∈ X, misalkan Ex adalah himpunan yang anggota-anggotanya ekuivalen dengan x (oleh relasi ≡). Jadi, Ex = {y | y ≡ x}, ∀x ∈ X Jika y, z ∈ Ex maka y ≡ x dan z ≡ x. Karena ≡ ekuivalen, maka dengan menggunakan sifat transitif dan simetri dari ≡ diperoleh z ≡ y. Sehingga, setiap dua elemen dalam Ex adalah ekuivalen. Jika y ∈ Ex dan z ≡ y, maka z ≡ y dan y ≡ x, yang berakibat z ≡ x dan juga z ∈ Ex. Jadi setiap elemen X ekuivalen dengan suatu elemen Ex, yang berakibat elemen tersebut juga elemen Ex, X = ∪ Ex x ∈X Lebih lanjut, untuk setiap elemen x dan y di X, 1. Jika x ≡ y, himpunan Ex dan Ey sama (identik) atau 2. Jika x ≡/ y, himpunan Ex dan Ey saling lepas Himpunan {Ex | x ∈ X} disebut himpunan ekuivalen atau kelas ekuivalen dari X terhadap relasi ≡. Sehingga X saling asing dengan gabungan kelas-kelas ekuivalen terhadap relasi ≡. Sebagai catatan, karena x ∈ Ex maka tidak ada kelas ekuivalen yang kosong. Koleksi kelas-kelas ekuivalen terhadap relasi ekuivalen ≡ disebut quotien dari X terhadap ≡, dan terkadang dituliskan dengan X/≡. Pemetaan x Ex disebut pemetaan alami (natural mapping) dari X pada (onto) X/≡. Operasi biner pada himpunan X adalah pemetaan dari X × X ke X. Relasi ekuivalen ≡ disebut kompatibel (compatible) dengan operasi biner + jika x ≡ x’ dan y ≡ y’ maka (x + y) ≡ (x’ + y’). Dalam hal ini + mendefinisikan operasi pada quotient Q = X/≡ sebagai berikut: Jika E dan F anggota Q, dipilih x ∈ E dan y ∈ F dan didefinisikan E + F sebagai E(x + y). Karena ≡ ekuivalen, terlihat E + F hanya bergantung pada E dan F dan tidak bergantung pada pemilihan x atau y. 1.8. Urutan Parsial dan Prinsip Maksimal Relasi R pada himpunan X dikatakan 1. Transitif, jika untuk setiap x, y ∈ R, x R y dan y R z ⇒ x R z 2. Simetri, jika untuk setiap x, y ∈ R, x R y ⇒ y R x 3. Refleksi, jika untuk setiap x ∈ R, x R x 4. Ekuivalen, jika relasi tersebut transitif, simetri, dan refleksi. 5. Antisimetri, jika untuk setiap x, y ∈ R, x R y dan y R x ⇒ x = y Relasi ≺ dikatakan urutan parsial pada himpunan X (atau mengurutkan X secara parsial) jika relasi tersebut transitif dan antisimetri. Sebagai contoh, ≤ merupakan urutan parsial pada bilangan real, dan ⊂ merupakan urutan parsial pada koleksi himpunan ℘. Jika ≺ urutan parsial pada X dan jika a ≺ b, kita sering mengatakan bahwa a mendahului b (a precedes b) atau b mengikuti a (b follows a). Terkadang kita mengatakan bahwa a kurang dari b atau b lebih dari a. 18 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si Jika E ⊂ X, elemen a ∈ E disebut 1. Elemen pertama (first elemens) atau elemen terkecil dari E jika ∀x ∈ E, x ≠ a, a ≺ x 2. Elemen terakhir (last element) atau elemen terbesar dari E jika ∀x ∈ E, x ≠ a, x ≺ a 3. Elemen minimal (minimal element) dari E jika tidak ada x ∈ E, x ≠ a, x ≺ a 4. Elemen maksimal (maximal element) dari E jika tidak ada x ∈ E, x ≠ a, a ≺ x Jika ≺ urutan linear, elemen minimal pasti merupakan elemen terkecil. Tetapi secara umum sangat memungkinkan untuk memiliki elemen minimal yang bukan elemen terkecil. Relasi ≺ pada himpunan X dikatakan, 1. Urutan linear atau urutan sederhana, jika ∀x, y ∈ X, x ≺ y atau y ≺ x (salah satu). Sebagai contoh, ≤ merupakan urutan linear pada himpunan bilangan real, sementara ⊂ bukan urutan linear pada koleksi himpunan ℘, sebab jika x ∩ y = ∅ (saling asing) maka kedua syarat tersebut tidak dipenuhi, yaitu x ⊄ y dan y ⊄ z. 2. Urutan parsial yang refleksi, jika x ≺ x, ∀x ∈ X. Sebagai contoh, ≤ merupakan urutan linear yang refleksi pada himpunan bilangan real. 3. Urutan parsial yang kuat, jika tidak pernah x ≺ x. Sebagai contoh, < merupakan urutan parsial yang kuat pada R. Untuk setiap urutan parsial ≺ terdapat dengan tunggal urutan parsial yang kuat dan urutan parsial yang refleksi. Problems : Misalkan M = {a ∈ | a ≥ 1} Relasi R didefinisikan pada M sebagai berikut: a R b ⇔ b dapat dibagi oleh a 1. Apakah R relasi urutan linear? Jawab : Pertama ditunjukkan apakah R relasi urutan parsial? i) R antisimetris x R y ⇔ y dapat dibagi oleh x ⇔ ∃k ∈ M sehingga y = kx y R x ⇔ x dapat dibagi oleh y ⇔ ∃l ∈ M sehingga x = ly Jadi, x = klx Diperoleh kl = 1, yang berakibat k = –1 dan l = –1 atau k = 1 dan l = 1 Karena a ≥ 1, ∀a ∈ M maka haruslah k = 1 dan l = 1. Sehingga y = x atau x = y. Jadi R simentris. ii) R transitif x R y ⇔ y dapat dibagi oleh x ⇔ ∃k ∈ M sehingga y = kx y R z ⇔ z dapat dibagi oleh y ⇔ ∃l ∈ M sehingga z = ly Jadi, z = lkx atau z = px dengan p = lk ∈ Dengan kata lain z dapat dibagi oleh x. Sehingga x R z. Jadi R transitif Dari (i) dan (ii) R adalah relasi urutan parsial. Kedua diambil sebarang x, y ∈ M dengan x ≠ y, dibuktikan bahwa x R y atau y R x Jika x > y, maka dapat ditulis x = py + r1, dengan 0 ≤ r1 < y Jika y > x, maka dapat ditulis y = qx + r2, dengan 0 ≤ r2 < x 19 Bab 1 – Teori Himpunan Compiled by : Khaeroni, S.Si Jika x dan y bilangan-bilangan prima, maka r1 dan r2 tidak keduanya nol. Akibatnya x R y dan y R x . Jadi, R bukan relasi urutan linear. 2. Tentukan elemen terkecil a elemen terkecil ⇔ ∀x ∈ M, x ≠ a, a R x ⇔ x dapat dibagi a (semua bilangan dapat dibagi oleh a) Jadi, a = 1 merupakan elemen terkecil. 3. Tentukan elemen minimal a elemen minimal ⇔ Tidak ada x ∈ M, x ≠ a, x R a ⇔ Tidak ada x ∈ M sehingga a dapat dibagi x (bilangan-bilangan yang tidak dapat dibagi oleh bilangan lain kecuali oleh bilangan yang sama) Jadi a bilangan prima dan a = 1 merupakan elemen minimal Contoh : R=< A= • a = 1 merupakan elemen terkecil, sebab ∀x ∈ A, x ≠ 1 maka 1 < x • a = 1 merupakan elemen minimal, sebab tidak ada x ∈ A, x ≠ 1 sehingga x < 1 Prinsip berikut ini ekuivalen dengan aksioma pilihan dan lebih sering digunakan. Prinsip Maksimal Hausdörf : Misal ≺ urutan parsial pada X. Maka terdapat himpunan bagian maksimal dari X yang terurut linear oleh ≺ . Dengan kata lain, himpunan bagian S dari X yang terurut linear oleh ≺ dan memiliki sifat jika S ⊂ T ⊂ X dan T terurut linear oleh ≺ maka S = T. 1.9. Urutan Rapi dan Ordinal Terhitung Suatu relasi urutan linear kuat < pada himpunan X disebut urutan rapi (well ordering) untuk X atau dikatakan mengurutan X dengan rapi jika setiap himpunan bagian tak kosong dari X memuat suatu elemen pertama (elemen terkecil). Jika diambil X = N dan < berarti ‘kurang dari’, maka N terurut rapi dengan <. Di sisi lain, himpuan semua bilangan real R tidak terurut rapi dengan relasi “kurang dari”. Prinsip berikut ini merupakan akibat dari aksioma pilihan dan dapat ditunjukkan juga ekuivalen dengannya (bagaimana ya?) Prinsip urutan rapi : Setiap himpunan X dapat terurut rapi. Dengan kata lain, terdapa relasi < yang mengurutkan X dengan rapi Proposisi : Terdapat himpunan tak terhitung X yang terurut rapi oleh relasi < sehingga: (i) Terdapat elemen terakhir Ω di X (ii) Jika x ∈ X dan x ≠ Ω maka himpunan {y ∈ X | y < x} terhitung Pada proposisi di atas, elemen terakhir Ω di X dikatakan ordinal tak terhitung pertama (first uncountable ordinal) dan X disebut himpunan dengan ordinal kurang dari atau sama dengan ordinal tak terhitung pertama. Elemen-elemen x < Ω disebut ordinal-ordinal terhitung (countable ordinals). 20 Bab 2 Sistem Bilangan Real 2.1. dari Aksioma Bilangan Real Misalkan adalah himpunan bilangan real, P himpunan bilangan positif dan fungsi ‘+’ dan ‘.’ × ke dan asumsikan memenuhi aksioma-aksioma berikut: Aksioma Lapangan Untuk semua bilangan real x, y, dan z berlaku: A1. x + y = y + x A2. (x + y) + z = x + (y + z) A3. ∃0 ∈ sehingga x + 0 = x, untuk setiap x ∈ A4. ∀x ∈ , ∃! w ∈ sehingga x + w = 0 A5. xy = yx A6. (xy)z = x(yz) A7. ∃1 ∈ sehingga 1 ≠ 0, dan x.1 = x ∀x ∈ A8. ∀x ∈ , x ≠ 0, ∃w ∈ sehingga xw = 1 A9. x(y + z) = xy + xz Himpunan yang memenuhi aksioma di atas disebut lapangan (terhadap operasi + dan .). Diperoleh dari A1 bahwa elemen 0 adalah tunggal. Elemen w pada A4 juga tunggal dan dinotasikan dengan ‘–x’. Elemen 1 pada A7 unik dan elemen w pada A8 juga unik dan dinotasikan dengan ‘x–1’ Kemudian didefinisikan pengurangan dan pembagian sebagai berikut: x x – y = x + (–y) dan = xy −1 y Aksioma Urutan Misalkan P adalah himpunan bilangan real positif, P memenuhi aksioma berikut: B1. x, y ∈ P ⇒ x + y ∈ B2. x, y ∈ P ⇒ x.y ∈ B3. x ∈ ⇒ (x = 0) atau (x ∈ P) atau (x ∈ P) Suatu sistem yang memenuhi aksioma lapangan dan aksioma urutan disebut lapangan terurut (ordered field). Sehingga bilangan real adalah lapangan terurut. Begitu juga dengan himpunan bilangan rasional merupakan lapangan terurut. Dalam lapangan terurut didefinisikan x < y yang berarti x – y ∈ P. Kita menuliskan ‘x ≤ y’ untuk ‘x < y’ atau ‘x = y’. Himpunan bilangan real dengan relasi < merupakan himpunan terurut linear. Berdasarkan aksioma urutan diperoleh: a. (x < y) & (z < w) ⇒ x + z < y + w b. (0 < x < y) & (0 < z < w) ⇒ xz < yw c. Tidak ada x sehingga x < x. Bukti : a. Untuk membuktikan x + z < y + w cukup dibuktikan (y + w) – (x + z) ∈ P. Karena x < y maka y – x ∈ P Karena z < w maka w – z ∈ P Bab 2 – Sistem Bilangan Real Compiled by : Khaeroni, S.Si Karena y – x, w – z ∈ P maka berdasarkan aksioma B1 diperoleh y – x + w – z = y + w – x – z = (y + w) – (x + z) ∈ P. b. Untuk membuktikan xz < yw cukup dibuktikan yw – xz Karena 0 < x < y maka y – x ∈ P dan x – 0 = x ∈ P Karena 0 < z < w maka w – z ∈ P dan w – 0 = w ∈ P Karena y – x, y, w – z, dan w ∈ P maka berdasarkan B1 dan B2 diperoleh: w(y – x) + x(w – z) = yw – wx + wx – xz = yw – xz ∈ P c. Andaikan ada x sehingga x < x. Karena x < x maka x – x ∈ P. Akibatnya 0 ∈ P. Kontradiksi dengan diketahui P himpunan bilangan positif. Jadi pengandaian salah yang benar tidak ada x sehingga x < x. Definisi (Supremum dan Infimum) : Misalkan S ⊂ . 1. a* batas atas S, jika x ≤ a* untuk setiap x ∈ S 2. a batas atas terkecil dari S, jika (i) a batas atas S (ii) Jika b batas atas maka a ≤ b Notasi : a = sup(S) = sup x = sup{x | x ∈ S} x ∈S * 3. c batas bawah S, jika c ≤ x untuk setiap x ∈ S 4. c batas bawah terbesar dari S, jika (i) c batas bawah S (ii) Jika d batas bawah maka d ≤ c Notasi : c = inf(S) = inf x = inf{x | x ∈ S} * x ∈S Perhatikan ilustrasi berikut: a–ε x0 a Jika a batas atas terkecil, maka untuk setiap ε > 0 akan selalu ada x0 sehingga x0 > a – ε. Artinya, a – ε bukan batas atas karena ada x0 yang nilainya lebih besar (atas) darinya. c x0 c+ε Jika c batas bawah terbesar, maka untuk setiap ε > 0 akan selalu ada x0 sehingga x0 < c + ε. Artinya c + ε bukan batas bawah karena ada x0 yang nilainya lebih kecil (bawah) darinya. Dari dua ilustrasi di atas, maka definisi supremum dan infimum dapat dinyatakan dalam notasi matematis sebagai berikut: 1. a batas atas terkecil dari S, jika (i) ∀x ∈ S, x ≤ a (ii) ∀ε > 0, ∃x0 ∈ S, ∋ x0 > a – ε 2. c batas bawah terbesar dari S, jika (i) ∀x ∈ S, c ≤ x (ii) ∀ε > 0, ∃x0 ∈ S, ∋ x0 < c + ε 22 Bab 2 – Sistem Bilangan Real Compiled by : Khaeroni, S.Si Contoh Soal : Misalkan A dan B terbatas. Buktikan bahwa sup(A + B) = sup(A) + sup(B) dengan A + B = {a + b | a ∈ A dan b ∈ B} Jawab : Misal p = sup(A) dan q = sup(B). Karena p = sup( A ) ⇔ .( i ) p ≥ a , ∀a ∈ A .( ii ) ∀ε > 0, ∃a 0 ∈ A ∋ a 0 > p − ε2 dan q = sup( B ) ⇔ .( iii ) q ≥ b , ∀b ∈ B .( iv ) ∀ε > 0, ∃b0 ∈ B ∋ b0 > q − ε2 Dari (i) dan (iii) diperoleh p + q ≥ a + b, ∀a ∈ A dan b ∈ B. Jadi, p + q ≥ a + b, ∀a + b ∈ A + B ……………….. (*) Jadi p + q batas atas dari A + B Dari (ii) dan (iv) diperoleh ∀ε > 0, ∃a0 ∈ A dan b0 ∈ B sehingga a0 + b0 > (p + q) – ε ……………………………. (**) Dari (*) dan (**) terbukti bahwa p + q = sup(A + B) Aksioma Kelengkapan Setiap himpunan bagian dari terkecil (supremum). Setiap himpunan bagian dari bawah terbesar (infimum). yang tidak kosong dan terbatas di atas mempunyai batas atas yang tidak kosong dan terbatas di bawah mempunyai batas 2.2. Bilangan Real yang Diperluas Untuk memperluas sistem bilangan real , maka ditambahkan elemen ∞ dan –∞. Himpunan baru ini disebut himpunan bilangan real yang diperluas * . Relasi < diperluas definisinya pada * menjadi –∞ < x < ∞ untuk setiap x ∈ . Kemudian didefinisikan ∀x ∈ . x + ∞ = ∞, x – ∞ = –∞ x.∞ = ∞ jika x > 0 x.–∞ = –∞ jika x > 0 dan ∞ + ∞ = ∞, –∞ – ∞ = –∞ ∞.(±∞) = ±∞, –∞.(±∞) = ∓ ∞ Sedangkan operasi ∞ – ∞ tidak didefinisikan. Tetapi, 0.∞ = 0. Salah satu kegunaan * adalah untuk mendefinisikan sup(S) dan inf(S) untuk semua S himpunan himpunan bagian dari yang tidak kosong S. Jika S tidak terbatas di atas, maka sup(S) = ∞ Jika S tidak terbatas di bawah, maka inf(S) = –∞ Jadi, didefinisikan sup(∅) = –∞. 2.3. Bilangan Asli dan Bilangan Rasional sebagai Subset dari Bilangan Real Kita telah menggunakan simbol 1 bukan hanya untuk menyatakan bilangan asli pertama tetapi juga bilangan real ‘spesial’ seperti yang dituliskan dalam aksioma A7. Pertama, didefinisikan bilangan real 3 sebagai 1 + 1 + 1. Dengan demikian kita dapat mendefinisikan bilangan real yang berkorespondensi dengan sembarang bilangan asli. Berdasarkan prinsip rekursif maka terdapat sebuah fungsi ϕ : → yang memetakan bilangan asli ke bilangan real dengan definisi sebagai berikut: 23 Bab 2 – Sistem Bilangan Real Compiled by : Khaeroni, S.Si ϕ(1) = 1 ϕ(n + 1) = ϕ(n) + 1 (Catatan: 1 menyatakan bilangan real pada sisi kanan dan bilangan asli pada sisi kiri) Kita harus menunjukkan bahwa fungsi ϕ adalah fungsi satu-satu. Untuk menunjukkannya cukup ditunjukkan bahwa fungsi ϕ monoton. Bukti : Akan dibuktikan ϕ monoton naik. Artinya, jika p < q maka ϕ(p) < ϕ(q) dengan p , q ∈ . Karena p < q maka q = p + n untuk setiap n ∈ Akan dibuktikan bahwa ϕ(p) < ϕ(p + n) Bukti dengan induksi Untuk n = 1, diperoleh ϕ(p) < ϕ(p + 1) = ϕ(p) + 1 Jadi, pernyataan benar untuk n = 1. Asumsikan pernyataan benar untuk n = k, yaitu berlaku ϕ(p) < ϕ(p + k) Akan dibuktikan pernyataan benar untuk n = k + 1, ϕ(p + (k + 1)) = ϕ((p + k) + 1) = ϕ(p + k) + 1 > ϕ(p) + 1 > ϕ(p) Jadi, ϕ(p) < ϕ(p + (k + 1)). Artinya pernyataan benar untuk n = k + 1. Berdasarkan induksi di atas, terbukti ϕ monoton. Dengan kata lain, terbukti ϕ satu-satu. Selanjutnya, juga dapat dibuktikan (dengan induksi matematika) bahwa ϕ(p + q) = ϕ(p) + ϕ(q) dan ϕ(pq) = ϕ(p) ϕ(q) Bukti : Pertama: Misalkan q = n , ∀n ∈ . Diperoleh ϕ(p + n) = ϕ(p) + ϕ(n) Untuk n = 1 ϕ ( p + 1) = ϕ ( p ) + 1 = ϕ ( p ) + ϕ (1) Jadi pernyataan benar untuk n = 1. Asumsikan pernyataan benar untuk n = k, yaitu ϕ(p + k) = ϕ(p) + ϕ(k) Akan dibuktikan pernyataan benar untuk n = k + 1, yaitu: ϕ ( p + ( k + 1)) = ϕ (( p + k ) + 1) = ϕ( p + k ) + 1 = ϕ( p ) + ϕ( k ) + 1 = ϕ ( p ) + ϕ ( k + 1) Jadi pernyataan benar n = k + 1. Berdasarkan prinsip induksi, terbukti bahwa ϕ(p + q) = ϕ(p) + ϕ(q) Kedua: Misalkan q = n , ∀n ∈ . Diperoleh ϕ(pn) = ϕ(p) ϕ(n) 24 Bab 2 – Sistem Bilangan Real Compiled by : Khaeroni, S.Si Untuk n = 1 ϕ(p1) = ϕ(p) = ϕ(p)1 = ϕ(p)ϕ(1) Jadi pernyataan benar untuk n = 1. Asumsikan pernyataan benar untuk n = k, yaitu: ϕ(pk) = ϕ(p)ϕ(k) Akan dibuktikan pernyaaan berlaku untuk n = k + 1, yaitu: ϕ ( p( k + 1)) = ϕ ( pk + p ) = ϕ ( pk ) + ϕ ( p ) = ϕ ( p )ϕ ( k ) + ϕ ( p ) = ϕ ( p ) (ϕ ( k ) + 1) = ϕ ( p )ϕ ( k + 1) Jadi pernyataan benar n = k + 1. Berdasarkan prinsip induksi, terbukti bahwa ϕ(pq) = ϕ(p) ϕ(q) Sehingga ϕ memberikan korespondensi satu-satu antara himpunan bilangan asli dengan subset bilangan real. Artinya ada korespondensi satu-satu antara himpunan bilangan asli dengan himpunan dapat bagian dari bilangan real yang mengawetkan operasi penjumlahan, perkalian, dan relasi <. Jadi dipandang sebagai himpunan bagian dari . Dengan mendefinisikan selisih bilangan-bilangan asli, maka diperoleh himpunan bilangan bulat yang merupakan subset dari . Kemudian mendefinisikan pembagian bilangan-bilangan bulat diperoleh himpunan bilangan rasional . Jadi himpunan bilangan real isomorf1 dengan , , dan . Proposisi : Setiap himpunan terurut isomorf dengan , , dan . Aksioma Archimedes : Untuk setiap x ∈ , ada n ∈ sehingga x < n (Setiap bilangan real yang disebutkan, pasti ada bilangan bulat yang lebih besar darinya) Bukti : Jika x < 0, diambil n = 0. Jika tidak demikian, didefinisikan himpunan S = {k ∈ |k ≤ x } , x ≥ 0 Sehingga himpunan S mempunyai batas atas yaitu x. Dari definisi di atas, S tidak kosong karena paling tidak S memuat 1 elemen yaitu x. Karena S tidak kosong dan terbatas di atas maka S mempunyai supremum (aksioma kelengkapan). Misalkan y = sup(S) 1 Karena y supremum, maka y − 2 bukan batas atas. Oleh karena itu ada k ∈ S sehingga k > y − 21 Jika kedua ruas ditambah 1, diperoleh k + 1 > y + 21 > y Karena y supremum, maka k + 1 ∉ S . Karena k + 1 bilangan bulat yang bukan elemen S, maka k+1>x Jadi dipilih n = k + 1 ∈ . (cool!!) Akibat : Terdapat suatu bilangan rasional diantara dua bilangan real sembarang Dengan kata lain, jika x < y maka ∃r ∈ sehingga x < r < y. 1 Ekuivalen, ada korespondensi 1-1 25 Bab 2 – Sistem Bilangan Real Compiled by : Khaeroni, S.Si Konstruksi bukti : Diketahui x < r < y, berarti dicari bilangan n , q ∈ sehingga r = n n n dengan x < dan < y . q q q ⎧ ⎫ n Didefinisikan2 himpunan S = ⎨n ∈ + | ≥ y ⎬ . Dari sini jelas S memiliki batas bawah, yaitu y. q ⎩ ⎭ Karena S terbatas ke bawah dan S tidak kosong maka S memiliki batas bawah terbesar3, p p misalkan p = inf(S) dan p ∈ + . Karena p ∈ S maka ≥ y atau y ≤ . Selain itu p – 1∉ S. q q p −1 p −1 < y atau y > . Oleh karena itu q q p p −1 p p −1 < y . Jadi −( y − x ) < atau Di lain pihak x = y − ( y − x ) < − ( y − x ) < q q q q p p −1 1 − < ( y − x ) ⇔ y − x > ⇔ q > ( y − x )−1 . Bilangan q inilah yang diambil sebagai q q q 4 bilangan bulat yang lebih besar dari (y – x)–1 Bukti : Jika x ≥ 0, maka untuk setiap bilangan real (y – x)–1 ada q ∈ sehingga 1 1 q > ( y − x )−1 atau y − x > ⇔ < y − x q q Misalkan ⎧ ⎫ n S = ⎨n ∈ + | ≥ y ⎬ q ⎩ ⎭ S ≠ ∅ karena paling tidak y ∈ S. Dari definisi S tersebut S terbatas ke bawah. Karena S ≠ ∅ dan terbatas ke bawah maka S memiliki infimum, misalkan p = inf(S). Karena p ∈ S maka p p ≥ y atau y ≤ q q Karena p ∈ S maka p – 1∉ S. Oleh karena itu, p −1 p −1 < y atau y > q q Sehingga p −1 p p 1 p −1 < y ≤ dan x = y − ( y − x ) < − = q q q q q Jadi, p −1 p −1 x< < y. dan q q p −1 ∈ yang jelas terletak diantara x dan y. Dari sini dipilih r = q Jika x < 0, diambil n ∈ sehingga n > –x atau n + x > 0. Jadi, menurut pembuktian di atas, ada r ∈ dengan n + x < r < y < y + n atau x < r – n < y. Jelas r – n bilangan rasional. 2 Pendefinisian ini didasarkan pada hipotesis bahwa y paling besar. Jadi, dibentuk himpunan dengan anggota-anggota bilangan rasional dan bernilai lebih besar dari y. Idenya adalah agar himpunan mempunyai infimum, misalkan p. 3 Berdasarkan Aksioma Kelengkapan 4 Berdasarkan Aksioma Archimedes 26 Bab 2 – Sistem Bilangan Real Compiled by : Khaeroni, S.Si 2.4. Barisan Bilangan Real Barisan bilangan real <xn> adalah suatu fungsi yang memetakan setiap bilangan asli n ke bilangan real xn. Bilangan real l dikatakan limit barisan <xn> jika untuk setiap ε positif terdapat bilangan N sehingga untuk setiap n ≥ N berlaku |xn – l| < ε. Secara matematis, l = lim x n ⇔ ( ∀ε > 0 )( ∃N ) ∋ ( n ≥ N ) ( x n − l < ε ) Barisan bilangan real <xn> disebut barisan Cauchy jika untuk setiap ε positif terdapat bilangan N sehingga untuk setiap n, m ≥ N berlaku |xn – xm| < ε. Jadi x n barisan Cauchy ⇔ ( ∀ε > 0 )( ∃N ) ∋ ( n , m ≥ N ) ( x n − x m < ε ) Kriteria Cauchy : Barisan bilangan real <xn> konvergen5 jika dan hanya jika <xn> barisan Cauchy. Notasi limit ini diperluas untuk memasukkan bilangan ∞ (pada * )sebagai berikut. lim x n = ∞, jika ∀∆ > 0, ∃N ∋ ∀n ≥ N , x n > ∆ lim x n = −∞, jika ∀∆ > 0, ∃N ∋ ∀n ≥ N , x n < −∆ Misalkan S(l, ε) = {x ∈ : |x – l| < ε}, maka l = lim xn, jika ∀ε > 0, ∃N, ∋ xn ∈ S(l, ε), ∀n ≥ N Pada kasus ini l adalah titik limit (cluster point) dari <xn>. Jadi titik l dikatakan titik limit (Cluster Point) dari barisan <xn> jika ∀ε > 0, terdapat sedikitnya satu titik xN sehingga |xN – l| < ε. Bilamana konsep ini diperluas pada * , l = ∞ titik limit dari barisan <xn>, jika ∀∆ > 0 terdapat paling sedikit satu titik xN sehingga xN ≥ ∆. Jika <xn> adalah suatu barisan, didefinisikan limit superior sebagai lim x n = lim sup x n = inf sup x k = inf{sup{x 1 , x 2 ,....},sup{x 2 , x 3 ,...},...} 6 n k ≥n Simbol lim dan lim sup keduanya digunakan untuk limit superior. Bilangan real l dikatakan limit superior dari barisan <xn> jika dan hanya jika : (i) ∀ε > 0, ∃n ∋ ∀k ≥ n, xk < l + ε (ii) ∀ε > 0 dan ∀n, ∃k ≥ n, xk > l – ε (ada paling sedikit satu titik xk sehingga xk > l – ε Untuk bilangan real yang diperluas ∞ adalah limit superior <xn> jika dan hanya jika ∀∆ dan n terdapat k ≥ n sedemikian sehingga xk ≥ ∆. Bilangan real –∞ adalah limit superior <xn> jika dan hanya jika –∞ = lim xn. Limit inferior didefinisikan sebagai lim x n = lim inf x n = sup inf x k = sup{inf{x 1 , x 2 ,....}, inf{x 2 , x 3 ,...},...} k ≥n n Sifat-sifat: 1) lim ( −x n ) = −lim x n 2) lim x n ≤ lim x n 3) lim x n = l (pada * ) ⇔ l = lim x n = lim x n 4) lim x n + lim y n ≤ lim ( x n + y n ) ≤ lim x n + lim y n ≤ lim ( x n + y n ) ≤ lim x n + lim y n 2.5. Himpunan Terbuka dalam Bilangan Real Selang buka (a, b) = {x | a < x < b}. Notasi B(x, δ) = {y | |x – y| < δ} = (x – δ, x + δ) menyatakan bola yang berpusat di x dan berjari-jari δ. Dalam bilangan real, B(x, δ) adalah selang buka. 5 6 Limitnya ada Diantara supremum-supremum tersebut, manakah infimumnya? 27 Bab 2 – Sistem Bilangan Real Compiled by : Khaeroni, S.Si Definisi : Himpunan O dikatakan terbuka di jika ∀x ∈ O , ∃δ > 0 ∋ B( x , δ ) ⊂ O Dengan kata lain, ∀x ∈ O selalu terdapat selang buka I yang memuat x sehingga I ⊂ O. Selang buka adalah contoh dari himpunan terbuka. Himpunan kosong dan himpunan terbuka. juga contoh dari Proposisi : Jika O1 dan O2 terbuka maka O1 ∩ O2 terbuka. Bukti : Diambil sebarang x ∈ O1 ∩ O2. Akan ditunjukkan ∃δ > 0 sehingga B(x, δ) ⊂ O1 ∩ O2. Karena x ∈ O1 ∩ O2, maka x ∈ O1 dan x ∈ O2. Karena O1 dan O2 terbuka maka ∃δ1, δ2 > 0 sehingga B(x, δ1) ⊂ O1 dan B(x, δ2) ⊂ O2. Artinya |t – x| < δ1 dan |t – x| < δ2 Dengan mengambil δ = min(δ1, δ2), diperoleh |t – x| < δ < δ1 dan |t – x| < δ < δ2 Dengan kata lain, ∀t ∈ B(x, δ) berlaku t ∈ B(x, δ1) dan t ∈ B(x, δ2), dengan δ = min{δ1, δ2}. Jadi B(x, δ) ⊂ O1 dan B(x, δ) ⊂ O2. Sehingga B(x, δ) ⊂ O1 ∩ O2. Akibat : Irisan sejumlah berhingga himpunan terbuka adalah terbuka. Bukti : n Misal Oi , i = 1, …, n himpunan terbuka. Akan dibuktikan ∩O i =1 terbuka. Maka, i n x ∈ ∩ Oi ⇔ .x ∈ Oi , i = 1, ,n i =1 ⇔ .∃δ i > 0 ∋ B( x , δ i ) ⊂ Oi , i = 1, ,n ⇔ .B( x , δ ) ⊂ Oi , δ = min{δ i }, i = 1, ,n n Jadi, ∩O i =1 i terbuka. Another version (alternate soln) : n Diambil sebarang x ∈ ∩ Oi , maka x ∈ Oi dengan Oi terbuka ∀i. i =1 Karena x ∈ O1 dan O1 terbuka, maka terdapat δ1 > 0 sehingga B(x, δ1) ⊂ O1 Karena x ∈ O2 dan O2 terbuka, maka terdapat δ2 > 0 sehingga B(x, δ2) ⊂ O2 Demikian seterusnya. Karena x ∈ On dan On terbuka, maka terdapat δn > 0 sehingga B(x, δn) ⊂ On Diambil δ = min{δ1, δ2, . . ., δn}, jelas bahwa δ > 0. Maka B(x, δ) ⊂ B(x, δi) ⊂ Oi, i = 1, 2, …, n n yang berakibat bahwa B( x , δ ) ⊂ ∩ Oi . Jadi terbukti bahwa i =1 n ∩O i =1 i terbuka Konvers dari proposisi di atas diberikan pada proposisi sebagai berikut 28 Bab 2 – Sistem Bilangan Real Compiled by : Khaeroni, S.Si Proposisisi : Setiap himpunan terbuka di merupakan gabungan terhitung dari selang-selang terbuka yang saling asing. Bukti : Misalkan O sebarang himpunan terbuka di . Karena O terbuka, maka untuk setiap x ∈ O terdapat y > x sedemikian sehingga (x, y) ⊂ O. Misalkan b = sup {y | (x, y) ⊂ O}, dan a = inf {z | (z, x) ⊂ O} maka a < x < b dan Ix = (a, b) adalah selang terbuka yang memuat x. Klaim Ix ⊂ O. Diambil sebarang w ∈ Ix, sebut x < w < b, berdasarkan definisi b di atas, maka diperoleh bilangan y > w sehingga (x, y) ⊂ O. Jadi w ∈ O. Klaim b ∉ O. Andaikan b ∈ O, maka ada ε > 0 sehingga (b – ε, b + ε) ⊂ O atau (x, b + ε) ⊂ O. Kontradiksi dengan definisi b. Secara sama dapat dibuktikan bahwa a ∉ O. Himpunan {Ix}, x ∈ O merupakan koleksi selang-selang buka. Karena setiap x di O termuat di Ix dan setiap Ix termuat di O, diperoleh O = ∪ I x . Misalkan (a, b) dan (c, d) sebarang dua selang di O dengan beberapa titik yang sama. Maka haruslah c < b dan a < d. Karena c ∉ O, maka c ∉ (a, b). Diperoleh c ≤ a. Karena a ∉ O, maka c ∉ (c, d). Diperoleh a ≤ c. Jadi a = c. Secara sama, diperoleh b = d. Akibatnya (a, b) = (c, d). Sehingga setiap dua selang yang berbeda di {Ix} pasti saling asing. Jadi, O merupakan gabungan selang-selang buka yang saling asing. Terakhir tinggal ditunjukkan O terhitung. Setiap selang buka memuat bilangan rasional7. Karena O gabungan selang-selang buka yang saling asing dan setiap interval buka memuat bilangan rasional maka terdapat korespondensi 1-1 antara O dengan himpunan bilangan rasional atau himpunan bagiannya. Jadi O terhitung. Proposisi : Jika C koleksi himpunan terbuka di , maka ∪ O himpuan terbuka di . O∈C Bukti : x ∈ ∪ O ⇔ .x ∈ O , untuk suatu O ∈ C O∈C ⇔ .∃δ > 0 ∋ B( x , δ ) ⊂ O , untuk suatu O ∈ C ⇔ .∃δ > 0 ∋ B( x , δ ) ⊂ ∪O O∈C Jadi, ∪ O himpunan terbuka di . O∈C Another version (with countable revision) : Diambil sebarang x ∈ ∪ O , maka terdapat O ∈ C sehingga x ∈ O. Karena O terbuka maka O∈C ∪ O . Jadi terbukti bahwa untuk setiap ∪ O yang berarti ∪ O terbuka. terdapat δ > 0 sehingga B(x, δ) ⊂ O ⊂ O∈C terdapat δ > 0 sehingga B(x, δ) ⊂ O∈C 7 O∈C Aksioma Archimedes 29 x ∈∪O O∈C Bab 2 – Sistem Bilangan Real Compiled by : Khaeroni, S.Si Perlu diperhatikan bahwa, jika C koleksi himpunan terbuka di ⎛ 1 1⎞ . Sebagai contoh, On = ⎜ − , ⎟ selang terbuka, tetapi ⎝ n n⎠ himpunan terbuka di himpunan hingga di maka ∩O 8 O∈C ∞ ∩O n =1 n belum tentu = {0} bukan . Proposisi (Lindelöf) : Misalkan C koleksi himpunan terbuka di sedemikian sehingga , maka terdapat {Oi} subkoleksi terhitung dari C ∞ ∪ O = ∪ Oi O∈C Bukti : Misal i =1 U = ∪{O |O ∈ C } Diambil sebarang x ∈ U. Maka terdapat himpunan O ∈ C, dengan x ∈ O. Karena O terbuka, maka terdapat selang buka Ix sehingga x ∈ Ix ⊂ O. Diperoleh9 bahwa terdapat selang buka Jx dengan titik akhir bilangan rasional sehingga x ∈ Jx ⊂ Ix. Karena koleksi semua selang buka dengan titik akhir bilangan rasional adalah terhitung, maka himpunan {Jx}, x ∈ U terhitung dan U = ∪ J x . x ∈U Untuk setiap selang di {Jx} pilih himpunan O di C yang memuat Jx. Diperoleh subset terhitung {Oi }i =1 dari C, dan U = ∞ 2.6. ∞ ∪ O = ∪ Oi O∈C i =1 Himpunan Tertutup Penutup himpunan E dinotasikan E Definisi : x ∈ E ⇔ ∀δ > 0, ∃y ∈ E ∋| x − y |< δ Dengan kata lain, x ∈ E , jika setiap selang buka yang memuat x juga memuat suatu titik di E10. Jadi, jelas E ⊂ E . Contoh : E = (0, 1]. Tentukan E . Apakah x = 0 ∈ E ? ∀δ > 0, ∃y ∈ E = (0,1] ∋ | x − y |< δ Perhatikan bahwa yn = 1 →0 n ∀δ > 0, ∃n0 ∈ N, ∋ |yn – 0| < δ, ∀n ≥ n0 atau, ∀δ > 0, |yn – 0| < δ 1 1 Pilih y n0 = ∈ (0,1] . Karena → 0 , maka ∀δ > 0, |yn – 0| < δ. Sehingga x = 0 ∈ E . n0 n Jadi, E = [0,1] . Irisan tak berhingga himpunan-himpunan terbuka Lihat proposisi : Jika x dan y bilangan real dan x < y maka terdapat bilangan rasional r sehingga x < r < y 10 |x – y| < δ, berarti y ∈ (x – δ, x + δ). Sehingga ∀δ > 0, y ∈ (x – δ, x + δ). Jadi, setiap selang terbuka yang memuat x, juga memuat suatu titik (yaitu y) di E. 8 9 30 Bab 2 – Sistem Bilangan Real Compiled by : Khaeroni, S.Si Proposisi : 1. Jika A ⊂ B maka A ⊂ B 2. A ∪ B = A ∪ B Bukti : 1. Diambil sebarang δ > 0 dan x ∈ A . Karena x ∈ A , maka ∃y ∈ A ∋ |y – x| < δ. Karena A ⊂ B, maka y ∈ B ∋ |y – x| < δ. Menurut definisi, x ∈ B . Jadi terbukti A ⊂ B . 2. Karena A ⊂ A ∪ B, berdasar 1) di atas maka A ⊂ A ∪ B . Hal yang sama, karena B ⊂ A ∪ B maka B ⊂ A ∪ B . Jadi, A ∪ B ⊂ A ∪ B . Kemudian, akan dibuktikan bahwa A ∪ B ⊂ A ∪ B . Disini dibuktikan kontraposisinya, yaitu jika x ∉ A ∪ B maka x ∉ A ∪ B . Karena x ∉ A ∪ B , maka x ∉ A dan x ∉ B . x ∉ A ⇒ ∃δ 1 > 0 ∋ tidak ada y ∈ A dengan | x − y |< δ 1 x ∉ B ⇒ ∃δ 2 > 0 ∋ tidak ada y ∈ B dengan | x − y |< δ 2 Diambil δ = min{δ1, δ2}, maka tidak ada y ∈ A ∪ B dengan |y – x| < δ. Jadi, x ∉ A ∪ B . Ini berarti, jika x ∉ A ∪ B maka x ∉ A ∪ B . Bukti lain : Diambil sebarang δ > 0 dan x ∈ A ∪ B . x ∈ A ∪ B ⇒ ∀δ > 0, ∃y ∈ A ∪ B ∋| y − x |< δ Karena y ∈ A ∪ B, maka y ∈ A atau y ∈ B. Untuk y ∈ A dengan |y – x| < δ diperoleh x ∈ A Untuk y ∈ B dengan |y – x| < δ diperoleh x ∈ B Jadi, x ∈ A ∪ B . Definisi : Himpunan F disebut tertutup (closed) jika F = F Menurut definisi F ⊂ F , maka himpunan F disebut tertutup jika F ⊂ F , yaitu jika F memuat semua titik-titik clusternya. Contoh : 1) F = (0, 1] bukan himpunan tertutup, sebab F = [0,1] ≠ F 2) F = [0, 1] himpunan tertutup, sebab F = [0,1] = F 3) Selang [a, b] dan [1, ∞] adalah himpunan tertutup adalah himpunan tertutup 4) 5) F = ∅. Akan dibuktikan bahwa ∅ = ∅ Bukti : Dari definisi, ∅ ⊂ ∅ . Jadi, tinggal dibuktikan ∅ ⊂ ∅ . x ∈∅ ⇔ .∀δ > 0, ∃y ∈∅, ∋| y − x |< δ ⇔ .∀δ > 0, ∃y ∈ ∅, ∋ y ∈ B( x , δ ) ⇔ .x ∈ ∅ Jadi, ∅ ⊂ ∅ . Oleh karena itu terbukti bahwa ∅ ⊂ ∅ . Proposisi : Penutup himpunan E adalah tertutup. 31 Bab 2 – Sistem Bilangan Real Compiled by : Khaeroni, S.Si Bukti : Akan dibuktikan E = E . Dari definisi, E ⊂ E . Jadi, tinggal dibuktikan E ⊂ E . Misalkan x ∈ E . x ∈ E ⇔ ∀δ > 0, ∃y ∈ E , ∋| y − x |< δ 2 Karena y ∈ E maka untuk δ di atas, terdapat z ∈ E sehingga |z − y |< δ 2 . Jadi, untuk δ di atas, terdapat z ∈ E sehingga |z − x |. =|z − y + y − x | . <|z − y | +| y − x | . < δ 2 +δ 2 = δ Ini berarti x ∈ E Proposisi : Jika F1 dan F2 tertutup, maka F1 ∪ F2 tertutup. Bukti : Akan dibuktikan bahwa F1 ∪ F2 = F1 ∪ F2 . Dari definisi, jelas bahwa F1 ∪ F2 ⊂ F1 ∪ F2 sehingga cukup dibuktikan F1 ∪ F2 ⊂ F1 ∪ F2 Diambil sebarang x ∈ F1 ∪ F2 . Akan dibuktikan bahwa x ∈ F1 ∪ F2 . Menurut proposisi sebelumnya, x ∈ F1 ∪ F2 = F1 ∪ F2 . Karena F1 dan F2 tertutup, maka x ∈ F1 ∪ F2 . Proposisi : Irisan koleksi himpunan tertutup adalah tertutup Bukti : Misalkan C koleksi himpunan-himpunan tertutup. Akan dibuktikan bahwa ∩{F | F ∈ C } ∩{F | F ∈ C } = ∩{F | F ∈ C } . Menurut definisi, cukup dibuktikan ∩{F | F ∈ C } ⊂ ∩{F | F ∈ C } . Diambil sebarang x ∈ ∩{F | F ∈ C } . Maka untuk setiap δ > 0 terdapat y ∈ ∩{F | F ∈ C } tertutup, yaitu sehingga |y – x| < δ. Karena y ∈ ∩{F | F ∈ C } maka y ∈ F untuk setiap F ∈ C dengan |y – x| < δ. Menurut definisi, diperoleh bahwa x ∈ F untuk setiap F ∈ C. Karena F ∈ C maka F tertutup. Karena F tertutup maka F = F akibatnya x ∈ F, untuk setiap F ∈ C. Dari sini maka, x ∈ ∩{F | F ∈ C } . Jadi terbukti bahwa ∩{F | F ∈ C } ⊂ ∩{F | F ∈ C } . Sehingga ∩{F | F ∈ C } tertutup. Proposisi : 1. Komplemen himpunan terbuka adalah tertutup 2. Komplemen himpunan tertutup adalah terbuka Bukti : 1. Misalkan O himpunan terbuka. Akan dibuktikan bahwa O c = O c . Dari definisi O c ⊂ O c . Jadi cukup dibuktikan O c ⊂ O c . Akan dibuktikan kontraposisinya. Karena O terbuka, maka ∀x ∈ O, ∃δ > 0 sehingga B(x, δ) ⊂ O. Karena x ∈ O, maka x ∉ Oc. Misalkan y ∈ B(x, δ). Karena B(x, δ) ⊂ O maka y ∈ O. 32 Bab 2 – Sistem Bilangan Real Compiled by : Khaeroni, S.Si Sehingga, jika |y – x| < δ maka y ∈ O. Artinya, tidak ada y ∈ Oc sehingga |y – x| < δ. Sesuai definisi penutup, x ∉ O c 2. Misalkan F himpunan tertutup. Akan dibuktikan bahwa Fc terbuka. Diambil sebarang x ∈ Fc, akan dibuktikan bahwa terdapat δ > 0 sehingga B(x, δ) ⊂ Fc. Jika δ > 0 diambil sembarang, maka cukup dibuktikan B(x, δ) ⊂ Fc. Akan dibuktikan kontraposisinya. Karena x ∈ Fc maka x ∉ F. Karena F tertutup, maka x ∉ F = F . Artinya, tidak ada y ∈ F sehingga untuk setiap δ > 0 yang diberikan berlaku |y – x| < δ. Sehingga, untuk setiap y ∈ F berlaku y ∉ B(x, δ). Jadi, untuk setiap y ∉ Fc maka y ∉ B(x, δ). Koleksi himpunan C disebut selimut (covers) dari himpunan F jika F ⊂ ∪{O : O ∈ C } dalam hal ini koleksi himpunan C disebut menyelimuti (covering) F. Jika setiap O ∈ C terbuka, maka koleksi C disebut selimut terbuka (open covering) dari F. Jika C hanya memuat sejumlah berhingga himpunan-himpunan, maka koleksi C disebut selimut hingga (finite covering). Dalam hal ‘selimut terbuka’, kata sifat ‘terbuka’ tersebut menunjukkan sifat himpunan-himpunan dalam selimut dan tidak bermakna ‘diselimuti oleh himpunan terbuka’. Demikian juga dengan istilah ‘selimut hingga’ tidak menunjukkan bahwa selimutnya merupakan himpunan berhingga. Teorema (Heine-Borel) : Misalkan F tertutup dan terbatas pada . Maka setiap selimut terbuka dari F mempunyai selimut bagian yang berhingga. Dengan kata lain, jika C adalah koleksi himpunan terbuka sehingga F ⊂ ∪{O : O ∈ C } n maka ada koleksi berhingga {O1, O2, . . ., On} pada C sehingga F ⊂ ∪ Oi . i =1 Bukti : (see ‘Real Analysis’, 3rd ed., H.L. Royden, page 45) 2.7. Fungsi Kontinu Misalkan f fungsi bernilai real dengan domain E merupakan himpunan bilangan real. Berikut ini definisi-definisi kontinu di titik, kontinu pada E, dan kontinu seragam pada E11. Definisi : Fungsi f dikatakan kontinu di titik (continuous at the point) x ∈ E jika ∀ε > 0, ∃δ > 0 sehingga ∀y ∈ E, dengan |y – x| < δ maka |f(x) – f(y)| < ε. Fungsi f dikatakan kontinu pada (contiuous on) A subset dari E jika f kontinu di setiap titik dari A. Fungsi f dikatakan kontinu seragam pada (uniformly continuous on) E, jika ∀ε > 0, ∃δ > 0 sehingga ∀x, y ∈ E, dengan |y – x| < δ maka |f(x) – f(y)| < ε. Untuk selanjutnya, jika disebutkan f kontinu, maka yang dimaksud adalah f kontinu pada domainnya. Proposisi : Misalkan f fungsi bernilai real yang kontinu dan didefinisikan pada F. Jika F kontinu dan terbatas, maka f terbatas pada F dan mempunyai titik maksimum dan minimum pada F. Artinya ada titik x1 dan x2 di dalam F sehingga f(x1) ≤ f(x) ≤ f(x2), ∀x ∈ F. Bukti : 11 Pembedaan ini hanya terlihat dari bagaimana ketergantungan pemilihan δ terhadap yang lain (x, y, atau δ) 33 Bab 2 – Sistem Bilangan Real Compiled by : Khaeroni, S.Si (see ‘Real Analysis’, 3rd ed., H.L. Royden, page 47) Proposisi : Misalkan f fungsi bernilai real yang didefinisikan pada . Fungsi f kontinu pada hanya jika f–1(O) terbuka untuk setiap O himpunan terbuka di . Bukti : (see ‘Real Analysis’, 3rd ed., H.L. Royden, page 47–48) jika dan Teorema (Teorema Nilai Antara) : Misalkan f fungsi bernilai real dan kontinu pada [a, b]. Jika f(a) ≤ f(y) ≤ f(b) atau f(b) ≤ f(y) ≤ f(a) maka ada c ∈ [a, b] sedemikian sehingga f(c) = y. Proposisi : Jika f fungsi bernilai real dan kontinu pada himpunan tertutup dan terbatas F maka f kontinu seragam pada F. Bukti : (see ‘Real Analysis’, 3rd ed., H.L. Royden, page 48) Definisi : Misalkan <fn> barisan fungsi pada E. Barisan <fn> dikatakan konvergen titik demi titik (converge pointwise) pada E ke fungsi f, jika ∀x ∈ E dan ε > 0, ∃N12 sehingga |f(x) – fn(x)| < ε, ∀n ≥ N. Barisan <fn> dikatakan konvergen seragam (converge uniformly) pada E ke fungsi f, jika ∀ε > 0, ∃N13 sehingga ∀x ∈ E, |f(x) – fn(x)| < ε, ∀n ≥ N. 2.8. Himpunan Borel Walaupun irisan dari sebarang koleksi himpunan tertutup adalah tertutup dan gabungan dari koleksi berhingga dari himpunan tertutup juga tertutup, tetapi gabungan dari koleksi terhitung himpunan-himpunan tertutup tidak harus tertutup. Sebagai contoh, himpunan bilangan rasional adalah gabungan dari koleksi terhitung himpunanhimpunan tertutup yang setiap himpunannya memuat tepat satu anggota. Definisi : Koleksi himpunan Borel B adalah aljabar-σ terkecil yang memuat semua himpunan-himpunan terbuka. Eksistensi aljabar-σ ini dijamin oleh proposisi14 3 di Bab I. Lebih lanjut, aljabar-σ terkecil ini juga memuat semua himpunan-himpunan tertutup dan memuat pula semua selang-selang buka. Himpunan yang merupakan gabungan terhitung dari himpunan-himpunan tertutup disebut Fσ atau dikatakan memiliki tipe Fσ (F untuk tertutup, σ untuk jumlah). Sehingga, himpunan D dikatakan ∞ memiliki tipe Fσ jika dapat ditulis D = ∪ Fn untuk setiap himpunan tertutup Fn di R. n =1 Jika F himpunan tertutup, maka F memiliki tipe Fσ sebab F dapat ditulis menjadi ∞ F = ∪ Fn n =1 dengan F1 = F; F2 = F3 = F4 = . . . = ∅ yang merupakan himpunan tutup. Juga, selang buka (a, b) memiliki tipe Fσ, sebab Pemilihannya bergantung pada x Pemilihannya tidak bergantung pada x 14 Proposisi : Misalkan C koleksi himpunan bagian dari X, maka terdapat aljabar-σ terkecil R yang memuat C. 12 13 34 Bab 2 – Sistem Bilangan Real Compiled by : Khaeroni, S.Si ∞ 1⎤ ⎡ 1 ( a , b ) = ∪ ⎢a + , b − ⎥ n n⎦ n =1 ⎣ Dari sini diperoleh bahwa setiap himpunan terbuka memiliki tipe Fσ. Sebab, jika O buka maka : ∞ 1⎤ ⎡ 1 O = ∪ ⎢a + , b − ⎥ n n⎦ n =1 ⎣ Dengan a = batas bawah O, dan b = batas atas O. Irisan terhitung dari semua himpunan terbuka dikatakan memiliki tipe Gδ. Jadi, suatu himpunan dikatakan memiliki tipe Gδ jika himpunan tersebut merupakan irisan terhitung dari semua himpunan terbuka. Jadi, komplemen dari himpunan yang memiliki tipe Fσ adalah himpunan yang memiliki tipe Gδ dan demikian juga sebaliknya. Sebab, c ∞ ⎛ ⎞ ⎛∞ ⎞ c Fσ = ∪ Fn ⇒ ⎜ Fσ = ∪ Fn ⎟ ⇔ ( Fσ ) . = ⎜ ∪ Fn ⎟ n =1 n =1 ⎝ ⎠ ⎝ n =1 ⎠ ∞ c ∞ . = ∩ Fnc n =1 Karena Fn tertutup untuk setiap Fn di maka menurut proposisi, Fnc terbuka. Terlihat (Fσ)c merupakan irisan terhitung dari himpunan-himpunan terbuka. Jadi terbukti bahwa (Fσ)c memiliki tipe Gδ. Bukti sebaliknya analog. Himpunan yang memiliki tipe Fσ dan Gδ adalah contoh himpunan Borel, yaitu aljabar-σ terkecil yang memuat semua himpunan terbuka dan tertutup. 35 Bab 3 Ukuran Lebesgue 3.1. Pendahuluan Panjang l(I) dari interval I didefinisikan sebagai selisih antara kedua titik ujungnya yang hasilnya berupa bilangan real. Panjang selang adalah salah satu contoh fungsi himpunan. Fungsi himpunan adalah suatu fungsi yang memetakan antara bilangan real yang di perluas * dengan setiap himpunan di dalam suatu koleksi himpunan-himpunan. Dalam hal ini, domain dari fungsi-nya adalah koleksi semua interval-interval (selang). Kita hendak memperluas konsep panjang ini menjadi tidak hanya pada interval melainkan himpunan yang cukup rumit. Secara sederhana, kita dapat mendefinisikan ‘panjang’ dari suatu himpunan terbuka sebagai jumlahan panjang dari selang-selang terbuka yang menyusun himpunan terbuka tersebut. Karena kelas dari himpunan terbuka masih terlalu rumit, kita akan mengkonstruksi fungsi himpunan m yang memetakan setiap himpunan E di dalam suatu koleksi himpunan bilangan real M yang diperluas dengan suatu bilangan real diperluas yang tak negatif m(E). Fungsi m ini disebut ukuran dari himpunan E (measure of E). Tujuan yang diharapkan adalah agar m memenuhi sifat-sifat berikut: i. m(E) terdefinisi untuk setiap himpunan bilangan real E, yaitu M = ℘( ). ii. m(I) = l(I), untuk setiap selang I iii. Jika <En> barisan himpunan saling lepas dan m(En) terdefinisi, m ∪ En = ∑ m( En ) ( ) iv. m merupakan fungsi translasi invariant, yaitu jika E himpunan dimana m terdefinisi dan jika E + y = {x + y | x ∈ E}, diperoleh dengan mengganti setiap titik di E dengan x + y : m(E + y) = m(E) Sayangnya, tidak mungkin untuk membuat sebuah fungsi himpunan yang memiliki keempat sifat di atas, dan juga tidak diketahui apakah ada fungsi himpunan yang memenuhi tiga sifat yang pertama. Sebagai akibatnya, salah satu dari sifat-sifat di atas harus ditiadakan. Akan lebih mudah jika meniadakan sifat yang pertama dan mengambil ketiga sifat yang lain. Sehingga m(E) tidak perlu terdefinisi untuk semua himpunan bilangan real E, cukup hanya beberapa saja. Tentu saja, kita ingin agar m(E) terdefinisi untuk sebanyak-banyaknya himpunan yang mungkin. Kita akan memilih M, yaitu koleksi (family) himpunan dimana m terdefinisi, yang merupakan aljabar-σ. Maka ukuran m yang diperoleh disebut ukuran aditif yang terhitung (countably additive measure), jika m merupakan fungsi bernilai real tak negatif yang definisi domainnya merupakan aljabar-σ M (himpunan bilangan real) dan berlaku: m ∪ En = ∑ m( En ) ( ) untuk setiap <En> barisan himpunan saling lepas di M. Tujuan kita dalam sub-bab berikutnya adalah akan mengkonstruksi sebuah ukuran aditif terhitung yang translasi invariant dan memiliki sifat m(I) = l(I) untuk setiap selang I. 3.2. Ukuran Luar Untuk setiap himpunan bilangan real A, pandang koleksi terhitung selang-selang buka {In} yang menyelimuti A. Yaitu, koleksi yang memenuhi A ⊂ ∪ In Contoh: A = (0,1] Bab 3 – Ukuran Lebesgue 1. Compiled by : Khaeroni, S.Si {I 1 , I 2 } , I 1 = ⎛⎜ − {I 1 , I 2 } 1 ⎞ ⎛3 ⎞ ,1 ⎟ , I 2 = ⎜ , 2 ⎟ ⎝ 2 ⎠ ⎝4 ⎠ selimut buka. A ⊂ I1 ∪ I 2 2. l ( I1 ) + l ( I 2 ) = 2 3 4 {I 1} , I 1 = ⎛⎜ 0,1 {I 1 } 1⎞ ⎟ 2⎠ ⎝ selimut buka. A ⊂ I1 l ( I1 ) = 1 1 2 Dan untuk setiap koleksi, pandang jumlahan panjang masing-masing selang di dalam koleksi tersebut. Karena panjang adalah bilangan positif, maka jumlahan tersebut didefinisikan secara tunggal dan independen dari urutan barisannya. Misalkan F koleksi selimut buka A. Didefinisikan ukuran luar (outer measure) m*(A) dari A sebagai infimum dari semua jumlahan-jumlahan tersebut. Dinotasikan sebagai m * ( A ) = inf ∑ l ( I n ) = inf ∑ l ( I n ) {I n }∈F A ⊂∪ I n Akibat : 1. m*(∅) = 0 2. jika A ⊂ B maka m*(A) ≤ m*(B) 3. m*({a}) = 0, ∀ a ∈ R Bukti : 1. Terlihat langsung dari definisi bahwa m*(∅) ≥ 0. 2ε ⎛ ε ε⎞ = ε dan In Ambil sebarang ε > 0. Pilih I n = ⎜ − , ⎟ . Dari sini maka l ( I n ) = 2 ⎝ 2 2⎠ merupakan selimut buka untuk ∅ . Jadi, ∅ ⊂ I n ⇔ m * ( ∅ ) ≤ l ( I n ) = ε . Sehingga, m * ( ∅ ) ≤ ε , ∀ε > 0 ⇒ m * ( ∅ ) = 0 2. Diambil FA = {{I n } : {I n } selimut buka untuk A} dan FB = {{I n } : {I n } selimut buka untuk B} Karena A ⊂ B ⊂ ∪ I n , maka berlaku {I n } ∈ FB ⇒ {I n } ∈ FA (setiap selimut B juga bisa dipakai sebagai selimut untuk A). Jadi, FB ⊂ FA . Akibatnya, inf FA ≤ inf FB Begitu juga dengan jumlahannya. Menurut definisi, m*(A) ≤ m*(B) 3. Diambil sebarang a ∈ R, ε > 0 dan F{a } = {{I n } : {I n } selimut buka untuk {a}} maka, ∑ l (I ε <ε 2 Karena ε > 0 sebarang maka m*({a}) = 0. m * ({a}) = inf { I n }∈F{ a } n )≤ 37 Bab 3 – Ukuran Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si Proposisi : Ukuran luar dari suatu selang sama dengan panjang selang tersebut. Sebagai contoh, jika A = [0,2] maka m*(A) = 2. Bukti : Kasus 1 : Misalkan [a, b] (Versi Mr. Royden) Karena [a, b] ⊂ (a – ε, b + ε), ∀ε > 0 maka m*([a, b]) ≤ l((a – ε, b + ε)) = b – a + 2ε Karena m*([a, b]) ≤ b – a + 2ε, ∀ε > 0 maka m*([a, b]) ≤ b – a Selanjutnya, akan dibuktikan m*([a, b]) ≥ b – a. Hal ini sama saja dengan membuktikan bahwa jika {In} sembarang koleksi terhitung dari selang buka yang menyelimuti [a, b] maka ∑ l ( In ) ≥ b − a n Sebab, inf ∑ l ( I n ) ≥ b − a . Karena infimum, maka ∑ l ( I n ) ≥ b − a . A ⊂∪ I n n Dengan Teorema Heine-Borel, setiap koleksi selang terbuka yang menyelimuti [a, b] memuat subkoleksi berhingga yang juga menyelimuti [a, b], dan karena jumlahan panjang selang dari subkoleksi berhingga tidak lebih besar dari jumlahan panjang selang dari koleksi aslinya, maka pertidaksamaan di atas terbukti untuk koleksi berhingga {In} yang menyelimuti [a, b]. Karena a termuat di dalam ∪ I n maka ada k sehingga Ik memuat a. Misalkan Ik = (a1, b1). Diperoleh a1 < a < b1 Jika b1 ≤ b, maka b1 ∈ [a, b] dan karena b1 ∉ (a1, b1) maka terdapat interval (a2, b2) di dalam {In} sedemikian sehingga b1 ∈ (a2, b2). Jadi, a2 < b1 < b2. Demikian seterusnya, sehingga diperoleh barisan (a1, b1), (a2, b2), . . ., (ak, bk) Dari koleksi {In} sedemikian sehingga ai < bi – 1 < bi. Karena {In} koleksi berhingga, proses di atas pasti berhenti pada suatu interval (ak, bk). Tetapi proses ini hanya akan berhenti jika b ∈ (ak, bk), yaitu jika ak < b < bk. Karena ai < bi – 1, maka ∑ l ( I n ) ≥ ∑ l ( a i , bi ) = ( bk − a k ) + ( bk −1 − a k −1 ) + + ( b1 − a1 ) = bk − ( a k − bk −1 ) − ( a k −1 − bk − 2 ) − − ( a 2 − b1 ) − a1 > bk − a1 Tetapi bk > b dan a1 < a. Akibatnya, bk – a1 > b – a. Jadi, ∑l (I n )>b −a . Terbukti bahwa m*([a, b]) ≥ b – a (Versi Mrs. Anggi) Karena [a, b] ⊂ (a – ε, b + ε), ∀ε > 0 maka m*([a, b]) ≤ l((a – ε, b + ε)) = b – a + 2ε Karena m*([a, b]) ≤ b – a + 2ε, ∀ε > 0 maka m*([a, b]) ≤ b – a Selanjutnya, akan dibuktikan m*([a, b]) ≥ b – a. Hal ini sama saja dengan membuktikan bahwa jika {In} sembarang koleksi terhitung dari selang buka yang menyelimuti [a, b] maka ∑ l ( In ) ≥ b − a n Sebab, inf ∑ l ( I n ) ≥ b − a . Karena infimum, maka ∑ l ( I n ) ≥ b − a . A ⊂∪ I n n Dengan Teorema Heine-Borel, setiap koleksi selang terbuka yang menyelimuti [a, b] memuat 38 Bab 3 – Ukuran Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si subkoleksi berhingga yang juga menyelimuti [a, b], dan karena jumlahan panjang selang dari subkoleksi berhingga tidak lebih besar dari jumlahan panjang selang dari koleksi aslinya, maka pertidaksamaan di atas terbukti untuk koleksi berhingga {In} yang menyelimuti [a, b]. Karena a termuat di dalam ∪ I n maka ada k sehingga Ik memuat a. Misalkan Ik = (a1, b1). Diperoleh a1 < a < b1 Jika b1 ≤ b, maka b1 ∈ [a, b] dan karena b1 ∉ (a1, b1) maka terdapat interval (a2, b2) di dalam {In} sedemikian sehingga b1 ∈ (a2, b2). Jadi, a2 < b1 < b2. Demikian seterusnya, sehingga diperoleh barisan (a1, b1), (a2, b2), . . ., (ak, bk) Dari koleksi {In} sedemikian sehingga ai < bi – 1 < bi. Karena {In} koleksi berhingga, proses di atas pasti berhenti pada suatu interval (ak, bk). Tetapi proses ini hanya akan berhenti jika b ∈ (ak, bk), yaitu jika ak < b < bk. Karena ai < bi – 1, maka ∑ l ( I n ) ≥ ∑ l ( a i , bi ) = ( bk − a k ) + ( bk −1 − a k −1 ) + + ( b1 − a1 ) = bk − ( a k − bk −1 ) − ( a k −1 − bk − 2 ) − − ( a 2 − b1 ) − a1 > bk − a1 Tetapi bk > b dan a1 < a. Akibatnya, bk – a1 > b – a. Jadi, ∑l (I n )>b −a . Terbukti bahwa m*([a, b]) ≥ b – a Kasus 2 : Misalkan I selang berhingga sebarang, maka untuk ε > 0 yang diberikan, terdapat selang tertutup J ⊂ I sehingga l(J) > l(I) – ε Diperoleh, l(I) – ε < l(J) = m*(J) ≤ m*(I) ≤ m * ( I ) = l ( I ) = l ( I ) Sehingga untuk setiap ε > 0, l(I) – ε < m*(I) ≤ l(I) Jadi, m*(I) = l(I). Kasus 3 : Misalkan I interval tak hingga, maka untuk setiap bilangan real ∆ yang diberikan terdapat selang tertutup J ⊂ I sehingga l(J) = ∆. Diperoleh m*(I) ≥ m*(J) = l(J) = ∆ Karena m*(I) ≥ ∆ untuk setiap ∆, maka m*(I) = ∞ = l(I). Proposisi : Misalkan {An} koleksi terhitung pada , maka m * ∪ An ≤ ∑ m * ( An ) ( ) Bukti : Jika salah satu himpunan An memiliki ukuran luar tak hingga (∞), maka ke-taksamaan di atas dipenuhi. Misalkan m*(An) berhingga, maka terdapat koleksi terhitung dari selang buka {In,i}i sehingga An ⊂ ∪ I n ,i Juga, untuk setiap ε > 0 berlaku i ∑l (I n ,i ) < m * ( An ) + 2 − n ε i Selanjutnya, karena koleksi {I n ,i }n ,i = ∪{I n ,i }i terhitung, merupakan gabungan terhitung dari n 39 Bab 3 – Ukuran Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si ∪ A , maka ) = ∑∑ l ( I ) < ∑ ( m * ( A ) + 2 ε ) = ∑ m * ( A ) + ε koleksi terhitung, dan menyelimuti m* (∪ A ) ≤ ∑ l ( I n n −1 n ,i n ,i n ,i n n i m* (∪ A ) ≤ ∑ m * ( A ) Karena ε > 0 sebarang, maka n n n n Akibat : Jika A terhitung, m*(A) = 0 (lihat tutorial #6) Akibat : Himpunan [0, 1] tidak terhitung Bukti : Karena m*([0,1]) = 1 ≠ 0 maka [0,1] tidak terhitung. Proposisi : Jika E ⊂ dan y ∈ . Didefinisikan E + y = {x + y : x ∈ E} maka, m*(E+y) = m*(E) Bukti : Diambil FE = {{I n } : {I n } selimut buka untuk E} dan FE + y = {{I n } : {I n } selimut buka untuk E + y } Berdasarkan kenyataan bahwa (nb: l ( I n ) = l ( a , b ) = b − a dan l ( I n + y ) = l ( a + y , b + y ) = b − a ) {I n } ∈ FE ⇒ {I n + y} ∈ FE + y dan {I n } ∈ FE + y ⇒ {I n − y} ∈ FE Jadi ada korespondensi 1-1 antara FE dan FE+y, atau FE ∼ FE + y Dari sini maka, m * ( E ) = inf ∑ l ( I n ) (menurut definisi) { I n }∈FE ∑ l ( I + y ) (setiap I inf ∑ l ( I + y ) = inf { I n }∈FE = { I n + y }∈FE + y n n ada korespondensi 1-1 antara FE dan FE+y) n = m *(E + y) Proposisi : Diberikan sebarang himpunan A dan ε > 0, maka : 1. Terdapat himpunan terbuka O sedemikian sehingga A ⊂ O dan m*(O) ≤ m*(A) + ε 2. Terdapat G ∈ Gδ sedemikian sehingga A ⊂ G dan m*(A) = m*(G) Bukti : Misalkan ε > 0 diberikan. 1. Untuk kasus pertama, misalkan m*(A) = ∞ diambil O = dan berlaku m*(O) = ∞ ≤ ∞ + ε = m*(A) + ε 40 Bab 3 – Ukuran Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si Untuk kasus kedua, misalkan m*(A) < ∞. Menurut definisi ukuran luar, ada {In} koleksi terhitung dari selang-selang buka dengan sifat A ⊂ ∪ In dan (karena m*(A) infimum, maka digeser sedikit bukan lagi infimum). ∑ l (I n ) ≤ m * ( A ) + ε Berdasar proposisi 1 dan 2, diperoleh m * ∪ In ≤ ∑ m * ( In ) = ∑ l ( In ) ≤ m * ( A ) + ε ( ) Jika dipilih O = ∪ I n , maka O memenuhi A⊂O dan m * (O ) ≤ m * ( A ) + ε Karena In buka, maka O = ∪ I n buka. maka G ∈ Gδ. 2. Kasus pertama, jika m*(A) = ∞ dipilih G = maka A ⊂ G dan m*(A) = ∞ = m*(G). Karena G = Kasus kedua, m*(A) < ∞. Menurut bukti bagian 1), terlihat bahwa untuk setiap bilangan asli n ∈ buka On dengan sifat A ⊂ On dan m * (On ) ≤ m * ( A ) + n −1 Didefinisikan G = ∩ On . Karena On buka untuk setiap n ∈ ada himpunan , maka G buka. Sehingga G ∈ Gδ Karena A ⊂ On dan G = ∩ On untuk setiap n ∈ maka A⊂G Karena A ⊂ G maka m*(A) ≤ m*(G) ………………………………. (1) Di lain pihak, karena G = ∩ On untuk setiap n ∈ maka G ⊂ On Karena G ⊂ On untuk setiap n ∈ , maka m * (G ) ≤ m * (On ) ≤ m * ( A ) + n −1 Dari sini diperoleh m*(A) ≥ m*(G) ……………………………… (2) Dari (1) dan (2) diperoleh m*(A) = m*(G) Sampai di sini, ukuran luar yang didefinisikan di atas sudah memenuhi asumsi-asumsi yang diinginkan kecuali asumsi yang ke-3. Oleh karena itu perlu diperbaiki. 3.3. Himpunan Terukur Ukuran luar yang didefinisikan sebelumnya terdefinisi untuk sebarang himpunan, akan tetapi bukan merupakan ukuran aditif yang terhitung. Untuk menjadi ukuran aditif terhitung maka perlu himpunan pada koleksi himpunan yang merupakan aljabar-σ. Definisi : Himpunan E dikatakan terukur (measurable) jika untuk setiap himpunan A berlaku m*(A) = m*(A ∩ E) + m*(A ∩ Ec) 41 Bab 3 – Ukuran Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si Karena selalu berlaku m*(A) ≤ m*(A ∩ E) + m*(A ∩ Ec), terlihat bahwa E terukur jika untuk setiap A berlaku m*(A) ≥ m*(A ∩ E) + m*(A ∩ Ec). Berdasarkan definisi, jika E terukur maka Ec juga terukur. Contoh himpunan terukur adalah ∅ dan . Lemma : Jika m*(E) = 0 maka E terukur Bukti : Misalkan A himpunan sebarang. Karena A ∩ E ⊂ E, maka m*( A ∩ E) ≤ m*(E) = 0 Sehingga m*( A ∩ E) = 0 Karena A ⊃ A ∩ Ec, maka m*(A) ≥ m*( A ∩ Ec) = 0 + m*( A ∩ Ec) = m*( A ∩ E) + m*( A ∩ Ec) Jadi E terukur. Lemma : Jika E1 dan E2 terukur maka E1 ∪ E2 terukur. Bukti : Misalkan A sembarang himpunan. Karena E2 terukur maka m*(A ∩ E1c) = m*(A ∩ E1c ∩ E2) + m*(A ∩ E1c ∩ E2c) Karena (A ∩ E1) ∪ (A ∩ E2 ∩ E1c) = A ∩ (E1 ∪ (E1 ∩ E1c)) = A ∩ ((E1 ∪ E2) ∩ (E1 ∪ E1c)) = (A ∩ (E1 ∪ E2)) ∩ = (A ∩ (E1 ∪ E2)) maka m*(A ∩ (E1 ∪ E2)) ≤ m*(A ∩ E1) + m*(A ∩ E2 ∩ E1c) Sehingga, m*(A ∩ (E1 ∪ E2)) + m*(A ∩ (E1 ∪ E2)c) = m*(A ∩ (E1 ∪ E2)) + m*(A ∩ E1c ∩ E2c) ≤ m*(A ∩ E1) + m*(A ∩ E2 ∩ E1c) + m*(A ∩ E1c ∩ E2c) = m*(A ∩ E1) + m*(A ∩ E1c) = m*(A) Akibat : Koleksi himpunan-himpunan terukur M merupakan aljabar himpunan Lemma : Misalkan A himpunan sembarang dan E1, . . ., En barisan hingga dari himpunan terukur yang saling lepas (disjoint), maka ⎛ ⎡n ⎤⎞ n m * ⎜ A ∩ ⎢∪ Ei ⎥ ⎟ = ∑ m * ( A ∩ Ei ) ⎣ i =1 ⎦ ⎠ i =1 ⎝ Bukti : Bukti menggunakan induksi pada n. Pernyataan jelas benar untuk n = 1 Asumsikan bahwa pernyataan benar untuk n – 1, yaitu : ⎛ ⎡ n −1 ⎤ ⎞ n −1 m * ⎜ A ∩ ⎢∪ Ei ⎥ ⎟ = ∑ m * ( A ∩ Ei ) ⎣ i =1 ⎦ ⎠ i =1 ⎝ Karena Ei saling lepas, maka 42 Bab 3 – Ukuran Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si ⎡n ⎤ A ∩ ⎢∪ Ei ⎥ ∩ En = ( A ∩ En ) ⎣ i =1 ⎦ dan ⎡n ⎤ ⎡ n −1 ⎤ A ∩ ⎢∪ Ei ⎥ ∩ Enc = A ∩ ⎢∪ Ei ⎥ ⎣ i =1 ⎦ ⎣ i =1 ⎦ Karena Ei terukur maka ⎛ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎡n ⎤⎞ ⎡n ⎤ ⎡n ⎤ m * ⎜ A ∩ ⎢∪ Ei ⎥ ⎟ = m * ⎜ A ∩ ⎢∪ Ei ⎥ ∩ En ⎟ + m * ⎜ A ∩ ⎢∪ Ei ⎥ ∩ Enc ⎟ ⎣ i =1 ⎦ ⎠ ⎣ i =1 ⎦ ⎣ i =1 ⎦ ⎝ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ Dari sini, maka ⎛ ⎛ ⎡n ⎤⎞ ⎡ n −1 ⎤ ⎞ m * ⎜ A ∩ ⎢∪ Ei ⎥ ⎟ = m * ( A ∩ En ) + m * ⎜ A ∩ ⎢∪ Ei ⎥ ⎟ ⎣ i =1 ⎦ ⎠ ⎣ i =1 ⎦ ⎠ ⎝ ⎝ n −1 = m * ( A ∩ En ) + ∑ m * ( A ∩ Ei ) i =1 n = ∑ m * ( A ∩ Ei ) i =1 Akibat : Koleksi himpunan-himpunan terukur M merupakan aljabar-σ Bukti : (see ‘Real Analysis’, 3rd ed., H.L. Royden, page 60) Lemma : Selang (a, ∞) terukur Bukti : Misalkan A sembarang himpunan dan ε > 0 diberikan. A1 = A ∩ (a, ∞) A2 = A ∩ (–∞, a] Akan dibuktikan bahwa m*(A1) + m*(A2) ≤ m*(A) Jika m*(A) = ∞, maka bukti selesai. Jika m*(A) < ∞, maka terdapat koleksi terhitung himpunan buka {In} yang menyelimuti A dan berlaku : ∑ l (In ) ≤ m * ( A) + ε Misalkan I n' = I n ∩ ( a , ∞ ) dan I n'' = I n ∩ ( −∞, a ] maka I n' dan I n'' merupakan selang (atau kosong) dan l(In) = l(I’n) + l(I’’n) = m*(I’n) + m*(I’’n) ' Karena A1 ⊂ ∪ I n , maka m * ( A1 ) ≤ m * (∪ I ) ≤ ∑ m * ( I ' n ) m * ( A2 ) ≤ m * (∪ I ) ≤ ∑ m * ( I '' n ) Karena A2 ⊂ ∪ I n'' , maka Sehingga, m * ( A1 ) + m * ( A2 ) ≤ ∑ ( m * ( I n' ) + m * ( I n'' )) ≤ ∑ l ( In ) ≤ m * ( A ) + ε 43 ' n '' n Bab 3 – Ukuran Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si Karena ε > 0 sembarang, maka m*(A1) + m*(A2) ≤ m*(A) Teorema : Setiap himpunan Borel terukur Bukti : (see ‘Real Analysis’, 3rd ed., H.L. Royden, page 61) Berkaitan dengan teorema di atas, M merupakan aljabar-σ yang memuat setiap selang yang berbentuk (a, ∞) dan B aljabar-σ terkecil yang memuat selangselang seperti itu. Dalam teorema juga diperoleh bahwa setiap himpunan buka dan tutup terukur. 3.4. Ukuran Lebesgue Jika E himpunan terukur, didefinisikan ukuran Lebesgue (Lebesgue Measure) m(E) sebagai ukuran luar dari E. sehingga m adalah fungsi himpunan yang diperoleh dengan membatasi fungsi himpunan m* ke koleksi himpunan terukur M. Jadi, jika M adalah koleksi himpunan terukur dan E ∈ M. Ukuran Lebesgue dari E, adalah m(E) = m*(E) Dua sifat penting dari ukuran Lebesgue diringkas dalam proposisi-proposisi berikut: Proposisi : Misalkan <Ei> barisan himpunan terukur, maka (i) m ∪ Ei ≤ ∑ m( Ei ) (ii) ( ) m ( ∪ E ) = ∑ m( E ) , jika <E > saling lepas. i i i Bukti : (i) Jelas dari proposisi1 pada sub-bab 3.2 (ii) Jika <Ei> barisan hingga yang saling lepas, maka menurut lemma2 pada sub-bab 3.3 dengan memilih A = diperoleh : ⎛ ⎡n ⎤⎞ n ⎛ n ⎞ n m * ⎜ ∩ ⎢∪ Ei ⎥ ⎟ = ∑ m * ( ∩ Ei ) ⇔ m * ⎜ ∪ Ei ⎟ = ∑ m * ( Ei ) ⎣ i =1 ⎦ ⎠ i =1 ⎝ i =1 ⎠ i =1 ⎝ Jika <Ei> barisan takhingga yang saling lepas, maka n ∞ i =1 i =1 ∪ Ei ⊂ ∪ Ei dan ⎛∞ ⎞ ⎛ n ⎞ n m ⎜ ∪ Ei ⎟ ≥ m ⎜ ∪ Ei ⎟ = ∑ m( Ei ) ⎝ i =1 ⎠ ⎝ i =1 ⎠ i =1 Karena ruas kiri pada ketidaksamaan di atas tidak bergantung pada n, diperoleh ⎛∞ ⎞ ∞ m ⎜ ∪ Ei ⎟ ≥ ∑ m( Ei ) ⎝ i =1 ⎠ i =1 Kebalikan dari ketaksamaan di atas diperoleh dari (i). Proposisi : Misalkan <En> barisan himpunan terukur yang monoton turun. Jika m(E1) hingga, maka 1 2 Misalkan {An} koleksi terhitung pada , maka… (lihat hal. 38) Misalkan A himpunan sembarang dan E1, . . ., En barisan hingga dari himpunan terukur yang saling lepas maka… (lihat hal. 39) 44 Bab 3 – Ukuran Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si ⎛∞ ⎞ m ⎜ ∩ Ei ⎟ = lim m( En ) ⎝ i =1 ⎠ n →∞ Penjelasan : Monoton turun artinya Ei+1 ⊂ Ei Ukuran dari-nya sama dengan limitnya. Fi F2 F3 F1 Bukti : ∞ Misal E = ∩ Ei dan Fi = Ei – Ei+1. Maka E1 – E = i =1 ∞ ∪F i =1 i dan Fi saling lepas. Jadi, ⎛∞ ⎞ ∞ m ⎜ ∪ Fi ⎟ = ∑ m( Fi ) ⎝ i =1 ⎠ i =1 ∞ m( E1 − E ) = ∑ m( Fi ) i =1 ∞ = ∑ m( Ei − Ei +1 ) i =1 Karena E ⊂ E1, maka E1 = E ∪ (E1 – E). Jadi, m(E1) = m(E) + m(E1 – E) Ù m(E1 – E) = m(E1) – m(E) Karena Ei+1 ⊂ Ei, maka Ei = Ei+1 ∪ (Ei – Ei+1). Jadi, m(Ei) = m(Ei+1) + m(Ei – Ei+1) Ù m(Ei – Ei+1) = m(Ei) – m(Ei+1) Dari sini maka, ∞ m (E1 ) − m (E ) = ∑ m ( Ei ) − m ( Ei +1 ) i =1 n −1 = lim ∑ m (Ei ) − m ( Ei +1 ) n →∞ i =1 = lim m (E1 ) − m ( En ) n →∞ = m ( E1 ) − lim m ( En ) n →∞ m (E) = lim m (En ) n →∞ Proposisi : Misalkan E suatu himpunan. Lima pernyataan berikut adalah ekuivalen. 1. E himpunan terukur 2. ∀ε > 0, ada himpunan buka O ⊃ E sehingga m*(O – E) < ε 3. ∀ε > 0, ada himpunan tutup F ⊂ E sehingga m*(E – F) < ε 4. Terdapat G di Gδ dengan E ⊂ G sehingga m*(G – E) = 0 5. Terdapat F di Fσ dengan F ⊂ E sehingga m*(E – F) = 0 Jika m*(E) hingga, maka kelima pernyataan di atas ekuivalen dengan 6. ∀ε > 0 terdapat himpunan U, yaitu gabungan hingga dari beberapa selang buka sehingga m*(U ∆ E) < ε 45 Bab 3 – Ukuran Lebesgue 3.5. Compiled by : Khaeroni, S.Si Fungsi Terukur Proposisi : Misalkan f fungsi real dengan daerah asal himpunan terukur. Keempat pernyataan berikut ekuivalen. 1. ∀α ∈ , {x | f ( x ) > α } himpunan terukur 2. ∀α ∈ , {x | f ( x ) ≥ α } himpunan terukur 3. ∀α ∈ , {x | f ( x ) < α } himpunan terukur 4. ∀α ∈ , {x | f ( x ) ≤ α } himpunan terukur Keempat pernyataan di atas mengakibatkan 5. ∀α ∈ , {x | f ( x ) = α } himpunan terukur Bukti : Bukti iii) ⇔ iv) Diambil sebarang bilangan real α. Karena ∞ 1 {x | f ( x ) ≤ α } = ∩ ⎧⎨x | f ( x ) < α + ⎫⎬ n⎭ n =1 ⎩ dan irisan dari barisan himpunan terukur adalah terukur maka himpunan {x | f(x) ≤ α} terukur. Sebaliknya, karena ∞ 1 {x | f ( x ) < α } = ∪ ⎧⎨x | f ( x ) ≤ α − ⎫⎬ n⎭ n =1 ⎩ dan gabungan dari barisan himpunan terukur adalah terukur maka himpunan {x| f(x) < α} terukur. Bukti i) ⇔ ii) Diambil sebarang bilangan real α. Karena ∞ 1 {x | f ( x ) ≥ α } = ∩ ⎧⎨x | f ( x ) > α − ⎫⎬ n⎭ n =1 ⎩ dan irisan dari barisan himpunan terukur adalah terukur maka himpunan {x | f(x) ≥ α} terukur. Sebaliknya, karena ∞ 1 {x | f ( x ) > α } = ∪ ⎧⎨x | f ( x ) ≥ α + ⎫⎬ n⎭ n =1 ⎩ dan gabungan dari barisan himpunan terukur adalah terukur maka himpunan {x| f(x) > α} terukur. (the rest, see ‘Real Analysis’, 3rd ed., H.L. Royden, page 65 – 66) Definisi : Fungsi f dikatakan terukur (Lebesgue), jika daerah asal fungsi f terukur dan salah satu dari keempat pernyataan dalam proposisi di atas berlaku. Contoh : Diketahui f : D → fungsi terukur. Didefinisikan f + = max(0, f ) dan f − = max(0, − f ) Dengan menggunakan definisi fungsi terukur, buktikan bahwa f+ dan f– terukur. Bukti : Karena f terukur, maka D = D f + = D f − terukur. Misalkan, {x : f + ( x ) > α } = A . α <0⇒ A=D α ≥ 0 ⇒ { x : f + ( x ) > α } = {x : f ( x ) > α } 46 Bab 3 – Ukuran Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si Misalkan, {x : f − ( x ) > α } = B . α <0⇒B=D α ≥ 0 ⇒ {x : f − ( x ) > α ≥ 0} = {x : − f ( x ) > α } = {x : f ( x ) < −α } Menurut definisi, terbukti bahwa f+ dan f– terukur. Perlu dicatat bahwa, f fungsi kontinu dengan daerah asal yang terukur adalah fungsi terukur. Bukti : Misalkan f : D → dengan D himpunan terukur dan f fungsi kontinu. Karena D himpunan terukur, maka Df = D himpunan terukur. Akan dibuktikan bahwa ∀α ∈ berlaku {x : f ( x ) > α } terukur adalah himpunan terukur. Diambil sebarang α ∈ karena {x : f ( x ) > α } = {x : f ( x ) ∈ (α , ∞ )} = f −1((α , ∞ )) ⊆ D . Berdasarkan teorema, diperoleh f −1((α , ∞ )) Interval (α , ∞ ) adalah himpunan buka di merupakan himpunan buka di D. Karena f −1((α , ∞ )) = ∪ ( a k , bk ) k dan setiap interval/selang adalah himpunan terukur maka {x : f ( x ) > α } himpunan terukur. Setiap fungsi tangga merupakan fungsi terukur. Jika f fungsi terukur dan E himpunan terukur dalam daerah asal, maka batasan f terhadap E, f|E juga terukur. Proposisi : Misalkan c suatu konstanta, f dan g dua fungsi real yang terukur dalam daerah asal yang sama, maka fungsi f + c, cf, f + g, f – g, dan fg juga terukur Bukti : (see ‘Real Analysis’, 3rd ed., H.L. Royden, page 66) Teorema : Misalkan <fn> barisan fungsi terukur, maka sup{ f 1 , f 2 , , f n } , inf{ f 1 , f 2 , , f n } , sup{ f n } , inf{ f n } , lim f n , dan lim f n n n adalah fungsi-fungsi terukur. Bukti : Pertama, dibuktikan bahwa sup{ f 1 , f 2 , , f n } fungsi terukur. Karena fi, i = 1, 2, . . ., n terukur maka D f i terukur. Misal f = sup{ f 1 , f 2 , , f n } dan n D f = ∩ D fi maka Df terukur. Diambil sebarang α ∈ Jika f ( x ) = sup{ f 1( x ), f 2 ( x ), i =1 . Akan dibuktikan bahwa {x : f ( x ) > α } . , f n ( x )} > α maka ada i, 1 ≤ i ≤ n sehingga fi(x) > α. Jadi, {x : n f ( x ) > α } ⊆ ∪ {x : f i ( x ) > α } i =1 Jika fi(x) > α untuk suatu i, 1 ≤ i ≤ n maka sup{ f 1( x ), f 2 ( x ), 47 , f n ( x )} > α ⇔ f ( x ) > α . Jadi, Bab 3 – Ukuran Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si n ∪{x : f ( x ) > α } ⊆ {x : f ( x ) > α } i =1 i Kesimpulannya {x : n f ( x ) > α } = ∪ {x : f i ( x ) > α } i =1 Karena fi terukur maka {x : f i ( x ) > α } terukur. Karena gabungan terhitung dari himpunan- himpunan terukur adalah terukur maka {x : f ( x ) > α } terukur. Jadi terbukti f terukur. (sisanya lihat ‘Real Analysis’, 3rd ed., H.L. Royden, page 67) Definisi : (i) f = g a.e jika f dan g mempunyai daerah asal yang sama dan m{x| f(x) ≠ g(x)} = 0 (ii) fn konvergen ke g hampir di mana-mana, jika terdapat himpunan E yang berukuran nol sehingga fn(x) konvergen ke g(x) untuk setiap x ∉ E. Proposisi : Jika f fungsi terukur dan f = g a.e, maka g fungsi terukur. Bukti : Karena f = g (ae) maka m({x: f(x) ≠ g(x)}) = 0. Misalkan f(a) ≠ g(a), maka m({a}) = 0. Jadi, f ( x ) = g ( x ), ∀x ∈ D f = D g − {a} Diambil sebarang α ∈ . Akan dibuktikan {x : g(x) > α} terukur. i) Jika f(a) < g(a) • Jika α < f(a) < g(a) {x : g ( x ) > α } = {x : f ( x ) > α } terukur • Jika f(a) < α < g(a) {x : g ( x ) > α } = {x : f ( x ) > α } ∪{a} terukur • Jika f(a) < g(a) < α {x : g ( x ) > α } = {x : f ( x ) > α } terukur ii) Jika f(a) > g(a) • Jika α > f(a) > g(a) {x : g ( x ) > α } = {x : f ( x ) > α } terukur • Jika f(a) > α > g(a) {x : g ( x ) > α } = {x : f ( x ) > α } − {a} terukur • Jika f(a) > g(a) > α Proposisi : Misalkan f fungsi terukur pada [a,b], dan f bernilai ±∞ hanya pada himpunan yang berukuran nol, maka untuk setiap ε > 0, terdapat fungsi tangga g dan suatu fungsi kontinu h yang memenuhi |f – g| < ε dan |f – h| < ε Kecuali pada himpunan yang berukuran lebih kecil dari ε, yaitu : m{x| |f(x) – g(x) ≥ ε} < ε, dan m{x| |f(x) – h(x)| ≥ ε} < ε Sebagai catatan, jika m ≤ f ≤ M, pilih fungsi g dan h yang memenuhi m ≤ g ≤ M dan m ≤ h ≤ M Bukti : Bukti dibagi menjadi dua bagian 48 Bab 3 – Ukuran Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si 1) Misalkan f fungsi terukur yang didefinisikan pada [a, b] dan m ({x : f ( x ) = ±∞} ) = 0. Akan dibuktikan bahwa ∀ε > 0, ∃M ∋ f ≤ M kecuali pada himpunan yang ukurannya kurang dari ε . Ekuivalen dengan menujukkan ada M sehingga m ({x ∈ [ a , b ] : f ( x ) > M } ) < ε . Misalkan n ∈ sebarang. Didefinisikan En = {x ∈ [ a , b ] : f ( x ) > n} yaitu, E1 = {x ∈ [ a , b ] : f ( x ) > 1} E2 = {x ∈ [ a , b ] : f ( x ) > 2} En = {x ∈ [ a , b ] : f ( x ) > n} En +1 = {x ∈ [ a , b ] : f ( x ) > n + 1} Karena En = {x ∈ [ a , b ] : f ( x ) > n} = {x ∈ [ a , b ] : f ( x ) > n ∨ f ( x ) < −n } = {x ∈ [ a , b ] : f ( x ) > n} ∪ {x ∈ [ a , b ] : f ( x ) < −n} dan f terukur, maka En terukur. Karena ∀n ∈ berlaku n + 1> n sehingga jika f ( x ) > n + 1 maka f ( x ) > n . Akibatnya En +1 = {x ∈ [ a , b ] : f ( x ) > n + 1} ⊂ {x ∈ [ a , b ] : f ( x ) > n} = En Perhatikan bahwa E1 = {x ∈ [ a , b ] : f ( x ) > 1} , maka m ( E1 ) ≤ m ([ a , b ]) ⇔ m ( E1 ) ≤ b − a < +∞ Jadi, m( E1 ) berhingga. Karena En barisan himpunan terukur dengan En +1 ⊂ En , ∀n ∈ maka diperoleh ⎛∞ ⎞ m ⎜ ∩ En ⎟ = lim m ( En ) = 0 ⎝ n =1 ⎠ n →∞ Akibatnya berlaku ( dan m( E1 ) berhingga ) ∀ε > 0, ∃M ∋ m ( EM ) < ε ⇔ m {x ∈ [ a , b ] : f ( x ) > M } < ε Hal ini berarti f ( x ) ≤ M kecuali pada himpunan {x ∈ [ a , b ] : f ( x ) > M } yang ukurannya kurang dari ε . 2) Misalkan f fungsi terukur yang didefinisikan pada [a, b] dan m ({x : f ( x ) = ±∞} ) = 0. Akan dibuktikan bahwa ∀ε > 0 dan M, ada fungsi sederhana ϕ sehingga f ( x ) − ϕ ( x ) < ε , ∀x sedemikan sehingga f ( x ) ≤ M M Misalkan ε > 0 dan M diberikan. Pilih N bilangan asli sehingga < ε . Didefinisikan N ∀k ∈{− N , − N + 1,… , N − 1} 49 Bab 3 – Ukuran Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si M⎫ ⎧ M⎫ ⎧ Ek = ⎨x ∈ [ a , b ] : f ( x ) ≥ k ⎬ ∩ ⎨x ∈ [ a , b ] : f ( x ) < ( k + 1) ⎬ N⎭ ⎩ N⎭ ⎩ Karena f terukur, maka Ek terukur. Didefinisikan fungsi ϕ , yaitu ⎧ N −1 M ⎪∑k ϕ ( x ) = ⎨k =− N N ⎪0 ⎩ , x ∈ Ek , x ∉ Ek Jika x ∈ [ a , b ] sehingga f ( x ) < M maka x ∈ Ek untuk suatu k sehingga M M k ≤ f ( x ) < ( k + 1) N N M Karena x ∈ Ek maka ϕ ( x ) = k . Akibatnya N M M M f ( x ) − ϕ ( x ) < ( k + 1) − k = <ε N N N Misalkan A sembarang himpunan, dan didefinisikan fungsi karakteristik dari himpunan A, yaitu χA sebagai berikut: ⎧1 , x ∈ A χA(x ) = ⎨ ⎩0 , x ∉ A Fungsi χ A terukur jika dan hanya jika A terukur. Definisi : Fungsi bernilai real ϕ dikatakan sederhana (simple), jika ϕ terukur dan memiliki hanya sejumlah berhingga nilai. n Jika ϕ sederhana (simple) dan bernilai α1, α2, . . ., αn maka ϕ = ∑ α i χ Ai dengan i =1 Ai = {x : f ( x ) = α i } . Penjumlahan dan pengurangan dua fungsi sederhana adalah sederhana. Contoh : Fungsi tangga ⎧1, 0 < x < 1 ⎪ f ( x ) = ⎨2, 1 < x < 3 ⎪3, 3 < x < 4 ⎩ dapat ditulis menjadi dengan f ( x ) = 1.χ A1 + 2.χ A2 A1 = (0,1) ∪ (3, 4) dan A2 = (1, 3) 3.6. Tiga Prinsip Littlewood J. E. Littlewood mengatakan bahwa terdapat tiga prinsip dalam teori fungsi real yang banyak digunakan, yaitu: 1. Hampir setiap himpunan (terukur) merupakan gabungan berhingga selang-selang 2. Hampir setiap fungsi (terukur) merupakan fungsi kontinu 3. Hampir setiap barisan fungsi (terukur) yang konvergen adalah konvergen seragam Prinsip pertama dan kedua telah ditemui dalam pembahasan sebelumnya. Bentuk-bentuk untuk 50 Bab 3 – Ukuran Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si prinsip pertama dan dapat dilihat pada proposisi sebelumnya. Contoh prinsip ketiga diberikan pada proposisi berikut ini: Proposisi : Misalkan E memiliki ukuran hingga, <fn> barisan fungsi terukur pada E, dan f fungsi bernilai real. Jika untuk setiap x di E berlaku fn(x) → f(x), maka untuk ε > 0 dan δ > 0 yang diberikan terdapat himpunan terukur A ⊂ E dengan m(A) < δ dan bilangan asli N sedemikian sehingga untuk setiap x ∉ A dan setiap n ≥ N berlaku |fn(х) – f(х)| < ε Bukti : Diberikan ε , δ > 0 sebarang ∀n ∈ didefinisikan Gn = {x ∈ E : f n ( x ) − f ( x ) ≥ ε } dan ∀n ∈ didefinisikan En = ∪ Gk k ≥n = {x ∈ E : f n ( x ) − f ( x ) ≥ ε , untuk suatu k ≥ n} Sehingga E1 ⊃ E2 ⊃ E3 → {En } turun menuju Perhatikan bahwa ∀x ∈ E , lim f n ( x ) = f ( x ) ∩E n . n →∞ x ∈ E , ∀ε > 0, ∃n0 ∈ sehingga untuk n ≥ n0 ⇒ f n ( x ) − f ( x ) < ε Jadi, x ∈ Enc 0 ⇒ x ∉ En0 . Sehingga ∩E n =∅. Jadi, En turun menuju ∅. Sehingga lim m( En ) = 0 n →∞ Karena lim m( En ) = 0 maka untuk δ > 0 di atas, ∃N ∈ n →∞ sehingga untuk n ≥ N berlaku: m( En ) − 0 < δ ⇔ m( En ) < δ Ambil A = En ⊂ E terukur dan m( A ) < δ . A c = Enc = {x ∈ E : f n ( x ) − f ( x ) < ε , ∀n ≥ N } Jika didalam hipotesis proposisi di atas fn(x) → f(x) untuk setiap x, dikatakan bahwa <fn> konvergen titik-demi-titik (converges pointwise) ke f pada E. Jika ada himpunan B ⊂ E dengan m(B) = 0 sedemikian sehingga fn → f titik-demi-titik pada E – B, dikatakan bahwa fn → f a.e pada E. Proposisi : Misalkan E himpunan terukur dan ber-ukuran hingga, dan <fn> barisan fungsi terukur yang konvergen ke fungsi bernilai real f a.e pada E. Maka, untuk untuk ε > 0 dan δ > 0 yang diberikan, terdapat himpunan A ⊂ E dengan m(A) < δ, dan bilangan asli N sedemikian sehingga untuk setiap x ∉ A dan setiap n ≥ N berlaku, |fn(х) – f(х)| < ε 51 Bab 4 Integral Lebesgue 4.1. Integral Riemann Kita akan sedikit mengulang kembali beberapa definisi pamartisian dalam Integral Riemann. Misalkan f fungsi bernilai real yang terbatas dan terdefinisi pada interval [a, b] dan misalkan [a, b] dipartisi menjadi n bagian, yaitu: p : a = ξ 0 < ξ1 < < ξ n = b Untuk setiap partisi p tersebut, didefinisikan Jumlah Atas: n S = Jumlah Atas = ∑ (ξ i − ξi −1 ) M i i =1 dan n s = Jumlah Bawah = ∑ (ξi − ξ i −1 )mi dimana, M i = sup x ∈( ξi −1 ,ξi ) i =1 f ( x ) dan m i = inf f (x ) . x ∈( ξi −1 ,ξi ) Dari pendefinisian ini terlihat bahwa untuk setiap partisi p berlaku, dan S ( p ) . s ( p ) ≤ S( p ) dan s ( p ) Karena partisi-partisi tersebut tidak tunggal, maka dapat didefinsikan b Integral Atas Riemann = R ∫ f = inf S a p b Integral Bawah Riemann = R ∫ f = sup s a p Karena ≤ S( p ) s( p ) maka , ∀p sup s ( p ) ≤ S ( p ), ∀p sup s ( p ) ≤ inf S ( p ) b b a a R∫ f ≤ R∫ f Sehingga Integral Atas selalu lebih dari atau sama dengan Integral Bawah. Jika, b b a a R∫ f = R∫ f maka f disebut terintegral Riemann (Riemann Integrable) pada [a, b] dan menyebut nilai integral keduanya dengan Integral Riemann dari f dan dilambangkan b R ∫ f ( x ) dx a untuk membedakannya dengan Integral Lebesgue yang akan kita tinjau kemudian. Fungsi Tangga Fungsi tangga ψ adalah fungsi yang didefinisikan oleh ψ ( x ) = c i , untuk ξ i −1 < x < ξ i Dari pendefinisian ini maka, Bab 4 – Integral Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si ∫ b a n ψ ( x ) d ( x ) = ∑ c i ( ξ i − ξ i −1 ) i =1 Perhatikan bahwa b b R ∫ f ( x ) d ( x ) = inf ∫ ψ ( x ) d ( x ) ψ≥f a a b b a a R ∫ f ( x ) d ( x ) = sup ∫ ψ ( x ) d ( x ) ψ≤f b b a a karena ψ ( x ) = M i , x ∈ (ξi −1 , ξ i ) ⇒ S = ∫ ψ ( x ) dx dan ϕ ( x ) = m i , x ∈ (ξ i −1 , ξ i ) ⇒ s = ∫ ϕ ( x ) dx 4.2. Integral Fungsi Terbatas Kita mulai pembahasan pada sub-bab ini dengan mendefinsikan suatu fungsi yang bernilai 1 pada suatu himpunan terukur dan nol selainnya yang terintegralkan dan memiliki integral sama dengan ukuran dari himpunannya. Fungsi Karakteristik Misalkan E ⊂ himpunan terukur. Didefinisikan fungsi karakterisitik dari E dengan aturan ⎧1 x ∈ E χE ( x ) = ⎨ ⎩0 x ∉ E Sedangkan kombinasi linear n ϕ( x ) = ∑ ai χ E ( x ) i i =1 disebut fungsi sederhana jika himpunan Ei terukur. Contoh: ϕ ( x ) = 1.χ( 0,2 ) + 2.χ(1,2 ) + 2 χ( 2,3) ϕ juga dapat ditulis ϕ ( x ) = 1.χ( 0,1) + 3.χ(1,2 ) + 2 χ( 2,3) Jadi, representasi ϕ tidak tunggal. Definisi (Bentuk Kanonik) Jika ϕ adalah fungsi sederhana dan {a1, a2, . . ., an} adalah himpunan nilainya dengan ai ≠ 0, maka n ϕ( x ) = ∑ a i χ A ( x ) i =1 i dengan Ai = {x : ϕ ( x ) = a i } disebut representasi bentuk kanonik dari ϕ. Catatan : 1. ai semua beda dan ai ≠ 0. 2. Ai saling lepas 3. Bentuk kanonik dari suatu fungsi sederhana bersifat tunggal Dari sini A = {ϕ : ϕ fungsi tangga} dan B = {ϕ : ϕ fungsi sederhana} ⇒ A ⊂ B Definisi (Integral Fungsi Sederhana) : n Jika ϕ adalah fungsi sederhana dan mempunyai bentuk kanonik ϕ ( x ) = ∑ a i χ Ai ( x ) i =1 didefinisikan 53 Bab 4 – Integral Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si n ∫ ϕ( x ) dx = ∑ ai m( Ai ) i =1 Notasi : ∫ ϕ Contoh: ϕ ( x ) = 1.χ( 0,1) + 3.χ(1,2 ) + 2 χ( 2,3) ∫ ϕ( x ) dx = 1.m(0,1) + 3.m(1, 2) + 2.m(2, 3) = 1.1 + 3.1 + 2.1 =6 Lemma berikut ini mengatakan bahwa definisi di atas berlaku juga untuk fungsi sederhana yang tidak direpresentasikan dalam bentuk kanonik-nya. Lemma : n Misalkan ϕ = ∑ a i χ Ei dengan Ei ∩ E j = ∅ untuk i ≠ j . Misalkan Ei terukur dan m( Ei ) < ∞ i =1 ∀i , maka n ∫ ϕ = ∑ ai m( Ei ) i =1 (ai tidak harus beda) Bukti : Didefinisikan himpunan Aa = {x : ϕ ( x ) = a} . Dari pendefinisian ini, diperoleh bahwa Aa = ∪ Ei ai =a Jadi, semua Ei yang memiliki nilai yang sama, sebut a, digabung ke dalam himpunan Aa. Akibatnya, Aa saling asing. Sehingga, ⎛ ⎞ m( Aa ) = m ⎜ ∪ Ei ⎟ = ∑ m( Ei ) ⎜ a =a ⎟ a =a ⎝i ⎠ i Dari sini, maka ∫ ϕ( x ) dx = ∫ ∑ a χ Aa ( x ) a i =a = ∑ am( Aa ) a i =a = ∑ a ∑ m( Ei ) a i =a a i =a = ∑ a i m( Ei ) i Proposisi : Jika ϕ dan ψ adalah dua fungsi sederhana dan a , b ∈ , maka 1. 2. ∫ aϕ + bψ = a ∫ ϕ + b ∫ψ Jika ϕ ≥ ψ (ae) maka ∫ ϕ ≥ ∫ψ Bukti : Diketahui ϕ , ψ fungsi sederhana. a , b ∈ . Akan dibuktikan ∫ aϕ + bψ = a ∫ ϕ + b ∫ψ . Misalkan representasi kanonik dari kedua fungsi tersebut adalah 54 Bab 4 – Integral Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si n1 ϕ = ∑ ai χ A i i =1 dan n2 ψ = ∑ bi χ B i i =1 Dengan Ai dan Bi saling lepas, ai semua berbeda dan bi semua berbeda untuk setiap i. Misalkan {Ek }1 = { Ai ∩ B j }i =1 j =1 n1 n 2 n ( n = n1 × n 2 ) Tuliskan n n ϕ = ∑ a k* χ E dan ψ = ∑ bk* χ E k k =1 k =1 k dengan a k* atau bk* mungkin ada yang sama. Jadi, n n * * ∫ aϕ + bψ = ∫ a ∑ ak χ Ek + ∫ b ∑ bk χ Ek k =1 k =1 n n k =1 k =1 = ∫ ∑ aa k* χ Ek + ∫ ∑ abk* χ Ek n = ∫ ∑ ( aa k* + bbk* ) χ Ek k =1 n = ∑ ( aa k* + bbk* ) m( Ek ) k =1 n n = ∑ aa k* m( Ek ) + ∑ bbk* m( Ek ) k =1 k =1 n n k =1 k =1 = a ∑ a k* m( Ek ) + b ∑ bk* m( Ek ) = a ∫ ϕ +b ∫ψ Kedua, karena ϕ ≥ ψ (ae) maka m {x : ϕ ( x ) < ψ ( x )} = 0 . Sehingga integral-nya tidak diperhitungkan. Jadi, cukup ditinjau untuk ϕ ≥ ψ . Karena ϕ ≥ ψ , dengan menggunakan hasil pada bagian pertama, diperoleh ϕ − ψ ≥ 0 ⇔ ∫ ϕ − ψ ≥ ∫ 0 ⇔ ∫ ϕ − ∫ψ ≥ 0 ⇔ ∫ ϕ ≥ ∫ ψ Akibat : n Jika ϕ = ∑ a i χ Ei dengan Ei tidak saling lepas, maka i =1 n n ∫ ϕ = ∑ ai ∫ χ E = ∑ a i m( Ei ) i i =1 i =1 Jadi restriksi Lemma di atas agar Ei saling lepas tidak lagi diperlukan. Misalkan E adalah himpunan yang terukur dengan m( E ) < ∞ . Fungsi f adalah fungsi bernilai real yang terbatas dan terdefinisi pada E. Bandingkan besaran inf ∫ ψ ( x ) dx dan inf ∫ ϕ ( x ) dx ψ≥f ϕ≤ f E dimana ψ dan ϕ adalah fungsi sederhana. 55 E Bab 4 – Integral Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si Proposisi : Misalkan f adalah fungsi yang terdefinisi dan terbatas pada himpunan terukur E dengan m( E ) < ∞ . inf ∫ ψ ( x ) dx = sup ∫ ϕ ( x ) dx ⇔ f adalah fungsi terukur ψ≥f E ϕ≤ f E dimana ψ dan ϕ adalah fungsi sederhana. Bukti : ⇒ sebarang. Karena f terbatas maka ada M > 0 sehingga f ( x ) ≤ M , ∀x ∈ E . Ambil n ∈ Didefinisikan ∀k = −n ,..., n k −1 k ⎫ ⎧ Ek = ⎨x ∈ E : M ≤ f (x ) ≤ M⎬ n n ⎭ ⎩ Sebagai ilustrasi, misalkan n = 2. Maka k = –2, . . ., 2 dengan f seperti pada gambar berikut: M 3 ⎧ ⎫ E−2 = ⎨x ∈ E : − M ≤ f ( x ) ≤ − M ⎬ 2 ⎩ ⎭ 1 ⎫ ⎧ E−1 = ⎨x ∈ E : − M ≤ f ( x ) ≤ − M ⎬ 2 ⎭ ⎩ 1 ⎧ ⎫ E0 = ⎨x ∈ E : − M ≤ f ( x ) ≤ 0⎬ 2 ⎩ ⎭ k=2 M/2 E2 E1 E0 k=1 E1 k=0 –M/2 1 ⎫ ⎧ E1 = ⎨x ∈ E : 0 ≤ f ( x ) ≤ M ⎬ 2 ⎭ ⎩ 1 ⎧ ⎫ E2 = ⎨x ∈ E : M ≤ f ( x ) ≤ M ⎬ 2 ⎩ ⎭ k = –1 –M k = –2 –3M/2 Terlihat Ek terukur (himpunan buka), Ek saling lepas dan ∪ Ek = E . Sehingga {Ek } adalah partisi. Misalkan hampiran atas : ψ n , dan hampiran bawah : ϕn . Pemilihan kedua fungsi ini bergantung pada n (banyak partisi). Dari sini, didefinisikan: n k M n ψ n ( x ) = ∑ M χ Ek ( x ) = ∑ k χ Ek ( x ) n k =− n k =− n n dan n ( k − 1) M n M χ Ek ( x ) = ϕn ( x ) = ∑ ∑ ( k − 1)χ Ek ( x ) n n k =− n k =− n Terlihat ψ n ( x ) ≥ f dan ϕn ( x ) ≤ f . Karena ψ n ( x ) ≥ f , maka ∫ψ n = M n ∫ ϕn = M n Karena ϕn ( x ) ≤ f , maka n ∑ km( E k k =− n ) ≥ inf ∫ψ . . . . . . . . .(1) ψ≥f n ∑ ( k − 1)m( E k k =− n ) ≤ sup ∫ ϕ . . . . (2) ϕ≤ f Karena sup ∫ ϕ ≤ inf ∫ψ ψ≥f ϕ≤ f maka, dari (1) dan (2) diperoleh: 56 Bab 4 – Integral Lebesgue ∫ϕ n Compiled by : Khaeroni, S.Si ≤ sup ∫ ϕ ≤ inf ∫ψ ≤ ∫ψ n . ψ≥f ϕ≤ f ⇔ 0 ≤ inf ∫ψ − sup ∫ ϕ ≤ ∫ψ n − ∫ ϕn . = ψ≥f ϕ≤ f M n n ∑ km( Ek ) − k =− n M n n ∑ ( k − 1)m( E k =− n k ) M n ∑ ( k − ( k − 1)) m( Ek ) n k =− n M n .= ∑ m( Ek ) n k =− n M m( E ), ∀n .= n Dengan mengambil limit-nya diperoleh sup ∫ ϕ − inf ∫ψ = 0 . .= ψ≥f ϕ≤ f ⇐ Diketahui sup ∫ ϕ = inf ∫ψ . Akan dibuktikan f fungsi terukur. Ekuivalen dengan membuktikan ψ≥f ϕ≤ f ada fungsi terukur ψ * sehingga f = ψ * (ae). Karena sup ∫ ϕ = inf ∫ψ maka ∀n ∈ ψ≥f ϕ≤ f ada fungsi sederhana ϕn dan ψ n sehingga: 1) ϕn ≤ f ≤ ψ n 1 n Terlihat ϕn naik dan ψ n turun. Didefinisikan 2) ∫ψ − ∫ ϕ n n < ϕ * = sup ϕn dan ψ * = inf ψ n n n Karena ϕn ≤ f , ∀n maka ϕ * = sup ϕn ≤ f Karena f ≤ ψ n , ∀n maka f ≤ supψ n = ψ * Jadi, ϕ * ≤ f ≤ ψ * dengan ϕ * dan ψ * fungsi terukur. ( ) ( ) Selanjutnya, akan dibuktikan m {x : ϕ * ( x ) ≠ ψ * ( x )} = m {x : ϕ * ( x ) < ψ * ( x )} = 0 . Misal, ∆ = {x : ϕ * ( x ) < ψ * ( x )} Karena ϕ * ( x ) < ψ * ( x ) maka ada bilangan v ∈ sehingga ϕ * ( x ) < ψ * ( x ) − Misal 1 v 1⎫ ⎧ ∆v = ⎨x : ϕ * ( x ) < ψ * ( x ) − ⎬ v⎭ ⎩ dan ∆ = ∪ ∆v v∈ Terlihat 1⎫ ⎧ 1⎫ ⎧ ∆v = ⎨x : ϕ * ( x ) < ψ * ( x ) − ⎬ ⊂ ⎨x : ϕn ( x ) < ψ n ( x ) − ⎬ = ∆v* v⎭ ⎩ v⎭ ⎩ dan ∫ ∆v* ψ n − ϕn > ∫ ∆v* Jadi, 57 1 1 = m ( ∆v* ) v v Bab 4 – Integral Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si 1 1 m ( ∆v* ) < ∫ * ψ n − ϕn ≤ ∫ ψ n − ∫ ϕn < E E ∆ v v n v ⇒ m ( ∆v* ) < , ∀n n * ⇒ m ( ∆v ) = 0 ⇒ m (∆) = 0 Definisi (Integral Fungsi Terbatas) : Misalkan f adalah fungsi terukur dan terbatas yang terdefinisi pada himpunan E yang terukur dengan m( E ) < ∞ . Didefinisikan Integral Lebesgue dari f pada E sebagai berikut: ∫ E f ( x ) d ( x ) = inf ∫ ψ ( x ) dx ψ≥f E dimana ψ adalah fungsi sederhana. Definisi di atas bisa ditulis ∫ E f ( x ) d ( x ) = sup ∫ ϕ ( x ) dx . ϕ≤ f E Notasi: 1) ∫ f ( x ) d ( x ) = ∫ f E E 2) Jika E = [a, b] maka ∫ E b f =∫ f a 3) Jika f adalah fungsi yang terukur dan terbatas serta f bernilai nol di luar himpunan E yang terukur dengan m( E ) < ∞ , maka ∫ f = ∫ f E 4) ∫ E f = ∫ f χE Hubungan antara Integral yang didefinisikan di atas dengan Integral Riemann yang didefinisikan sebelumnya diberikan dalam proposisi berikut: Proposisi : Misalkan f adalah fungsi terbatas yang terdefinisi pada [a, b]. Jika f terintegralkan Riemann pada [a, b] maka f terukur dan b b a a R ∫ f (x ) d(x ) = ∫ f (x ) d(x ) Bukti : Misalkan A = koleksi fungsi tangga B = koleksi fungsi sederhana Karena f terintegral(kan) Riemann, maka b b a a sup ∫ ϕ = R ∫ f = R ∫ f = inf ∫ ϕ ϕ∈ A ϕ≤ f Karena A ⊂ B maka, ϕ∈ A ϕ≤ f inf A ≥ inf B sup A ≤ sup B Jadi, b b R ∫ f = sup ∫ ϕ ≤ sup ∫ ϕ ≤ inf ∫ ϕ ≤ inf ∫ ϕ = R ∫ f a ϕ∈ A ϕ≤ f ϕ∈B ϕ≤ f ϕ∈B ϕ≤ f Kesimpulan: 58 ϕ∈ A ϕ≤ f a Bab 4 – Integral Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si sup ∫ ϕ = inf ∫ ϕ , menurut proposisi sebelumnya f terukur ϕ∈B ϕ≤ f ϕ∈B ϕ≤ f dan, ∫ b a b f = sup ∫ ϕ = R ∫ f a ϕ∈B ϕ≤ f Sifat Integral Fungsi Terukur dan Terbatas Sifat-sifat fungsi terukur dan terbatas diberikan dalam 3 proposisi berikut: Proposisi : Misalkan f dan g adalah fungsi terukur, terbatas dan terdefinisi pada himpunan terukur E dengan m( E ) < ∞ , maka: 1. ∫ E ( af + bg ) = a ∫ f + b ∫ g E E 2. Jika f = g (ae) maka ∫ E 3. Jika f ≤ g (ae) maka f =∫ g E ∫ f ≤ ∫ g dan akibatnya E E ∫ E f ≤∫ f E 4. Jika A ≤ f ( x ) ≤ B (ae) maka Am( E ) ≤ ∫ f ≤ Bm( E ) E 5. Jika A dan B adalah himpunan terukur dan A ∩ B = ∅ , dengan m( A ), m( B ) < ∞ maka ∫ f =∫ f +∫ f A ∪B A B Bukti : 1. Akan dibuktikan bahwa: i) ∫ af = a ∫ f E ii) ∫ E E f + g =∫ f +∫ g E Pertama, ∫ E E f = inf ∫ ϕ dengan ϕ fungsi sederhana. ϕ≥ f Jika a > 0 maka ∫ E af = inf ∫ aϕ = inf a ∫ ϕ = a inf ∫ ϕ = a ∫ f aϕ ≥ af aϕ ≥ af ϕ≥ f E Jika a < 0 maka ∫ E af = inf ∫ aϕ = inf a ∫ ϕ = a sup ∫ ϕ = a ∫ f aϕ ≥ af ϕ≤ f E ϕ≤ f Kedua, misalkan A = {ϕ, ψ fungsi sederhana : ϕ ≤ f dan ψ ≤ g} B = {ϕ fungsi sederhana : f + g ≤ ϕ} Diambil ϕ ,ψ ∈ A sehingga f + g ≤ ϕ + ψ . Menggunakan sifat infimum dan sifat integral fungsi sederhana diperoleh ∫ f + g = inf ∫ ϕ ≤ ∫ ϕ +ψ = ∫ ϕ + ∫ψ ≤ inf ∫ ϕ + inf ∫ψ = ∫ f + ∫ g …… (*) ϕ≥ f + g ϕ∈B E ϕ≥ f ϕ∈ A ψ≥f ψ ∈A E E Kemudian, misalkan C = {ϕ, ψ fungsi sederhana : ϕ ≥ f dan ψ ≥ g} D = {ϕ fungsi sederhana : f + g ≥ ϕ} Diambil ϕ ,ψ ∈ C sehingga f + g ≥ ϕ + ψ . Menggunakan sifat supremum dan sifat integral fungsi sederhana diperoleh ∫ f + g = sup ∫ ϕ ≥ ∫ ϕ +ψ = ∫ ϕ + ∫ψ ≥ sup ∫ ϕ + sup ∫ψ = ∫ f + ∫ g …… (**) E ϕ≤ f + g ϕ∈D ϕ≤ f ϕ∈C 59 ψ≤f ψ ∈C E E Bab 4 – Integral Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si Dari (*) dan (**) diperoleh ∫ f + g =∫ f +∫ g E E E Dari hasil pertama dan kedua ini, diperoleh ∫ af + bg = ∫ af + ∫ bg = a ∫ f + b ∫ g E E E E E 2. Karena f = g (ae) maka f – g = 0 (ae) Misalkan ψ fungsi sederhana dengan ψ ≥ f – g. Karena f – g = 0 (ae) maka ψ ≥ 0 (ae). Karena ψ ≥ 0, maka ∫ψ ≥ 0 . Oleh karena itu, ∫ f − g = inf ψ ≥ f −g E ∫ψ ≥ 0 Kemudian, misalkan ϕ fungsi sederhana dengan ϕ ≤ f – g. Karena f – g = 0, maka ϕ ≤ 0 (ae). Karena ϕ ≤ 0 maka ∫ψ ≤ 0 . Oleh karena itu, ∫ f − g = sup ∫ψ ≤ 0 E ϕ≤ f − g Dari sini maka, ∫ E f −g =0 Dengan menggunakan hasil pada bagian 1, diperoleh ∫ f − g =0⇔ ∫ f −∫ g =0⇔ ∫ f = ∫ g E E E E E 3. Diketahui f ≤ g (ae) maka f − g ≤ 0 (ae). Misalkan ϕ fungsi sederhana dengan ϕ ≤ f − g ≤ 0 maka ϕ ≤ 0 . Karena ϕ ≤ 0 maka ∫ E ϕ ≤ 0 . Menurut definisi ∫ E ∫ Karena E f − g = sup ∫ϕ ϕ≤ f − g E ϕ ≤ 0 maka begitu juga dengan supremum-nya dan dengan menggunakan hasil pada bagian 1, diperoleh ∫ E f − g ≤0⇔ ∫ f −∫ g ≤0⇔ ∫ f ≤ ∫ g E ∫ Kemudian, akan dibuktikan bahwa E E E E f ≤ ∫ f atau ekuivalen dengan menunjukkan E −∫ f ≤ ∫ f ≤ ∫ f E E E Dari kenyataan bahwa f ≤ f dan − f ≤ f maka menurut hasil sebelumnya dan bukti pada bagian 1 diperoleh ∫ f ≤ ∫ f dan ∫ − f ≤ ∫ f ⇔ −∫ f ≤ ∫ f E E E E E E 4. Karena A ≤ f ( x ) ≤ B maka menurut bukti pada bagian 3, diperoleh ∫ E A ≤ ∫ f ( x ) ≤ ∫ B ⇔ A ∫ 1 ≤ ∫ f ( x ) ≤ B ∫ 1 ⇔ Am( E ) ≤ ∫ f ( x ) ≤ Bm( E ) E E E E E E 5. Pertama, dibuktikan bahwa jika A ∩ B = ∅ maka χ A ∪B = χ A + χ B ⎧1 x ∈ A ∪ B χ A ∪B ( x ) = ⎨ ⎩0 x ∉ A ∪ B Kasus I: Untuk x ∈ A ∪ B maka χ A ∪B ( x ) = 1 . Karena x ∈ A ∪ B maka x ∈ A atau x ∈ B Diketahui A ∩ B = ∅ , sehingga jika x ∈ A maka x ∉ B . Akibatnya: χ A ( x ) + χ B ( x ) = 1 + 0 = 1 = χ A ∪B ( x ) Sebaliknya, jika x ∉ A maka x ∈ B . Akibatnya: 60 Bab 4 – Integral Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si χ A ( x ) + χ B ( x ) = 0 + 1 = 1 = χ A ∪B ( x ) Kasus II : Untuk x ∉ A ∪ B maka χ A ∪B ( x ) = 0 . Karena x ∉ A ∪ B maka x ∉ A dan x ∉ B . Akibatnya: χ A ( x ) + χ B ( x ) = 0 + 0 = 0 = χ A ∪B ( x ) Jadi terbukti χ A ∪B = χ A + χ B . Selanjutnya, diperhatikan bahwa: ∫ A ∪B f = ∫ f .χ A ∪B = ∫ f . ( χ A + χB ) = ∫ f χ A + f χB Dengan menggunakan hasil pada bagian 1, diperoleh ∫ f = ∫ f χ A + ∫ f χB A ∪B =∫ f +∫ f A B Proposisi (Teorema Kekonvergenan Terbatas) : Misalkan { f n } adalah barisan fungsi terukur yang terdefinisi pada himpunan terukur E, dengan m( E ) < ∞ . Misalkan terdapat M sehingga f n ( x ) ≤ M , ∀n dan ∀x . Jika f ( x ) = lim f n ( x ) , n →∞ ∀x ∈ E, maka ∫ E f = lim ∫ f n n →∞ E Bukti : Diambil ε > 0 sebarang. Menurut prinsip Littlewood, untuk 0 < ε 1 ≤ ε 2 m( E ) dan 0 < δ ≤ ε 4M terdapat himpunan terukur A ⊂ E dan N ∈ sehingga 1. m( A ) < δ 2. f n ( x ) − f ( x ) < ε 1 , ∀n ≥ N , ∀x ∈ A c Dari sini, maka ∫ E fn − ∫ f = E ∫ ≤∫ =∫ E E A fn − f f n − f , E = A ∪ Ac fn − f + ∫ Ac fn − f ..........................................(1) Karena f ( x ) = lim f n ( x ) dan f n ( x ) ≤ M , ∀n dan ∀x maka f ( x ) ≤ M . Sehingga ∀n ∈ n →∞ berlaku, f n − f ≤ f n + f ≤ M + M = 2 M .....................................................(2) Jadi, dari (1), (2), 1, dan 2 untuk setiap n ≥ N berlaku ∫ E f n − ∫ f ≤ ∫ 2 M + ∫ c ε 1 = 2 M .m( A ) + ε 1 .m( A c ) < 2 Mδ + ε 1 .m( E ) E A < 2M A ε 4M + ε 2 m( E ) m( E ) = ε 2 + ε 2 =ε Proposisi : Fungsi f terbatas pada [a, b], terintegral Riemann ⇔ m ({x : x titik diskontinu f } ) = 0 61 Bab 4 – Integral Lebesgue 4.3. Compiled by : Khaeroni, S.Si Integral Fungsi Tak Negatif Definisi (Integral Fungsi tak Negatif) : Misalkan f fungsi terukur tak negatif yang terdefinisi pada himpunan terukur E. Didefinisikan ∫ f = sup ∫ h E E h≤ f dengan h fungsi terukur dan terbatas sehingga m ({x : h( x ) ≠ 0} ) < ∞ . Sifat Integral Fungsi tak Negatif Sifat-sifat integral fungsi tak negatif diberikan dalam proposisi-proposisi dan lemma berikut: Proposisi : Misalkan f dan g adalah fungsi terukur tak negatif, maka 1. ∫ cf = c ∫ f , c > 0 E 2. ∫ E E f + g =∫ f +∫ g E E 3. Jika f ≤ g (ae) maka ∫ E f ≤∫ g E Bukti : 1. Misalkan h fungsi terukur dan terbatas sehingga m ({x : h( x ) ≠ 0} ) < ∞ . Menurut definisi, ∫ E cf = sup ∫ ch = sup c ∫ h = c sup ∫ h = c ∫ f ch ≤cf E h≤ f E h≤ f E E 2. Diambil h dan k fungsi terukur dan terbatas sehingga h ≤ f dan k ≤ g . Dari sini diperoleh h + k ≤ f + g dan h + k juga merupakan fungsi terukur dan terbatas pada E. Sehingga, ∫ E ∫ h + k ≤ sup E h +k≤ f + g h +k = ∫ f + g E ⇔ sup ∫ h + sup ∫ k ≤ ∫ h + ∫ k ≤ ∫ f + g h≤ f E E k≤ g E E E ⇔ ∫ E f +∫ g ≤∫ f + g E E Selanjutnya, diambil l fungsi terukur dan terbatas pada E dengan m ({x : l ( x ) ≠ 0} ) < ∞ dan l≤ f +g Didefinisikan fungsi h dan k dengan aturan h = min( f , l ) dan k = l − h Diperoleh, h ≤ f dan h ≤ l . Karena l terukur dan terbatas dan h ≤ l maka h terukur dan terbatas. Untuk x ∈ E sebarang. Jika f ( x ) ≤ l ( x ) maka h( x ) = f ( x ) . Jadi, k( x ) = l ( x ) − h( x ) = l ( x ) − f ( x ) ≤ f ( x ) + g ( x ) − f ( x ) ≤ g ( x ) Jika f ( x ) > l ( x ) maka h( x ) = l ( x ) . Jadi, k( x ) = l ( x ) − h( x ) = l ( x ) − l ( x ) = 0 ≤ g ( x ) Sehingga k fungsi terukur dan terbatas. Akibatnya ∫ l = ∫ h + k = ∫ h + ∫ k ≤ sup ∫ h + sup ∫ k = ∫ f + ∫ g E E E E h≤ f E k≤ g E E E dan sup l≤ f +g ∫ E l ≤∫ l ≤∫ f +∫ g ⇔ ∫ f + g ≤∫ f +∫ g E E E 62 E E E Bab 4 – Integral Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si Dari sini maka ∫ f + g =∫ f +∫ g E E E 3. Misal A = {h : h ≤ f } , h fungsi terukur dan terbatas B = {h : h ≤ g } Karena h∈ A ⇒ h ≤ f ≤ g ⇒ h ≤ g ⇒ h∈B maka A ⊂ B . Oleh karena itu, ∫ f = sup ∫ h ≤ ∫ g = sup ∫ h E E h≤ f h∈ A E h≤ f h∈B E Jadi, ∫ E f ≤∫ g E Lemma Fatou : Misalkan {fn} adalah barisan fungsi terukur tak negatif dan lim f n ( x ) = f ( x ) hampir dimanan →∞ mana di E, maka ∫ f ≤ lim ∫ f n E E Bukti : Diambil h, fungsi terukur dan terbatas pada E sebarang sehingga h ≤ f . ⎧ h( x ), f n ( x ) ≥ h( x ) hn ( x ) = ⎨ ⎩ f n ( x ), f n ( x ) < h( x ) Dari definisi ini, karena h dan fn terukur ∀n maka hn terukur ∀n. Juga diperoleh bahwa dan lim hn = h hn ≤ h , ∀n hn ≤ f , ∀n n →∞ Karena hn terbatas oleh h, maka hn terbatas seragam. Karena hn terbatas seragam oleh h, dan lim hn = h pada E maka (Teorema Kekonvergenan Terbatas) n →∞ ∫ E Karena hn ≤ f n , ∀n maka ∫ E h = ∫ lim hn = lim ∫ hn E n →∞ n →∞ E hn ≤ ∫ f n , ∀n . Dari sini, ∀n , ∫ h = lim ∫ hn = lim ∫ hn ≤ lim ∫ f n E n →∞ E E E E Sehingga, ∫ E f = sup ∫ h = lim ∫ hn ≤ lim ∫ f n E h≤ f E E Teorema (Kekonvergenan Monoton): Misalkan {fn} barisan fungsi terukur tak negatif yang monoton naik dan lim f n ( x ) = f ( x ) (a.e) n →∞ maka ∫f Bukti : Diketahui {fn} barisan fungsi terukur, ∫f = lim ∫ f n f n ≥ 0, ∀n , = lim ∫ f n . Menggunakan Lemma Fatou diperoleh ∫f 63 ≤ lim ∫ f n fn f pada E. Akan dibuktikan Bab 4 – Integral Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si Karena lim ∫ f n ≤ lim ∫ f n , maka cukup dibuktikan lim ∫ f n ≤ ∫ f Karena f n ≤ f , ∀n maka ∫ f ≤∫ f n ⇔ lim ∫ f n ≤ ∫ f Akibat : Misalkan {un} barisan fungsi terukur tak negatif. Misalkan ∞ f = ∑ un n =1 maka ∫ ∞ f = ∑ ∫ un n =1 Bukti : Didefinisikan n f n = ∑ ui i =1 Terlihat {fn} barisan naik monoton tak negatif. Dari sini maka, n ∞ i =1 i =1 lim f n = lim ∑ u i = ∑ u i = f n →∞ n →∞ Jadi, lim f n = f . Berlaku teorema kekonvergenan monoton: n →∞ ∫ n n ∞ i =1 i =1 f = ∫ lim f n = lim ∫ f n = lim ∫ ∑ u i = lim ∑ ∫ u i =∑ ∫ u i n →∞ n →∞ n →∞ i =1 n →∞ Proposisi : Misalkan f fungsi tak negatif dan <Ei> barisan himpunan terukur yang saling asing. Misalkan E = ∪ Ei . Maka ∫ E Bukti : Diambil f = ∑∫ f Ei u i = f . χ Ei maka ∑u = f .χ E Dengan menggunakan hasil pada akibat di atas, diperoleh ∫ E i ∞ ∞ i =1 i =1 f = ∫ f . χ E = ∑ ∫ f .χ Ei = ∑ ∫ f Ei Definisi : Fungsi terukur tak negatif f disebut terintegralkan pada himpunan terukur E jika ∫ f <∞. E Sifat-sifat fungsi terintegralkan diberikan pada dua proposisi berikut Proposisi : Misalkan f dan g dua fungsi terukur tak negatif. Jika f terintegralkan pada himpunan E dan g ( x ) < f ( x ) pada E, maka g juga terintegralkan pada E, dan 64 Bab 4 – Integral Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si ∫ E f − g = ∫ f −∫ g E E Bukti : Diketahui f terintegralkan maka ∫ f = ∫ ( f − g)+ g = ∫ f − g + ∫ g < ∞ E Jadi, ∫ f − g < ∞ . Akibatnya, E E ∫ E E E g < ∞ , yang berarti g terintegralkan pada E. Juga, ∫ E f = ∫ f − g +∫ g ⇔ ∫ f −∫ g = ∫ f − g E E E E E Proposisi : Misalkan f adalah fungsi tak negatif yang terintegralkan pada E. Maka untuk sebarang ε > 0 , terdapat δ > 0 sehingga untuk setiap A ⊂ E dengan m( A ) < δ berlaku ∫ A f <ε Bukti : Diambil sebarang ε > 0 . Jika f terbatas dan f ≥ 0 maka ada M > 0 sehingga f ≤ M . Pilih δ > 0 dengan δ < Mε sehingga untuk setiap A ⊂ E dengan m( A ) < δ berlaku ∫ A f ≤ ∫ M = M .m ( A ) < M δ < M A ε M <ε . Jika f tidak terbatas. Didefinisikan f n = min( f , n ), ∀n ∈ Dengan pendefinisian ini diperoleh bahwa fn naik dan konvergen ke f, f n ≤ n , ∀n ∈ itu f n ≥ 0 dan f ≥ 0 . Dari sini maka, (teorema kekonvergenan monoton) ∫ E ∫ Karena E f = lim ∫ f n n →∞ E f = lim ∫ f n maka untuk ε > 0 di atas, ada N ∈ n →∞ E ∫ E , selain sehingga untuk n ≥ N berlaku: f n − ∫ f < ε2 . E Jika diambil n = N, ∫ Diambil 0 < δ < ∫ A ε 2N A fN − ∫ f = A ∫ A f − ∫ f N < ε2 ⇒ ∫ f − ∫ f N < A A A ε 2 sehingga ∀A ⊂ E dengan m( A ) < δ , maka f = ∫ f − fN + fN A = ∫ f − fN + ∫ fN A A < 2 +∫ N ε A ( ↑ terbatas oleh N ) < ε2 + N .m( A ) < ε2 + N . 2εN < ε2 + ε2 = ε Contoh Soal (Problem 4.6) Misalkan <fn> adalah barisan fungsi terukur yang tak negatif yang konvergen ke f, dan misalkan fn ≤ f untuk setiap bilangan asli n. Buktikan bahwa ∫ f = lim ∫ f n 65 Bab 4 – Integral Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si Jawab : Diambil <fn> barisan fungsi terukur dan tak negatif yang konvergen ke f dan untuk setiap bilangan asli n, berlaku fn ≤ f. Dengan menggunakan lemma Fatou diperoleh (1) ∫ f ≤ lim ∫ f n ≤ lim ∫ f n Karena fn tak negatif, dan fn ≤ f maka f tak negatif. Karena lim f n = f dan fn terukur untuk n →∞ setiap n, maka f terukur. Akibatnya, dengan menggunakan proposisi 8, karena fn ≤ f maka ∫ fn ≤ ∫ f Sehingga dengan mengambil limit superiornya diperoleh lim ∫ f n ≤ lim ∫ f ≤ ∫ f (2) Dari (1) dan (2) disimpulkan lim ∫ f n ≤ lim ∫ f n ≤ ∫ f ≤ lim ∫ f n ≤ lim ∫ f n Akibatnya lim ∫ f n = ∫ f = lim ∫ f n Jadi, ∫f 4.4. = lim ∫ f n Integral Lebesgue (General Integral Lebesgue) Misalkan f suatu fungsi bernilai real. Didefinisikan f + ( x ) = max(0, f ( x )) dan f − ( x ) = max(0, − f ( x )) Maka, f + , f − ≥ 0 , f = f + − f − , dan f = f + + f − . Sehingga diperoleh | f |+ f | f |− f dan f − = . f+= 2 2 Jika f fungsi terukur maka f+ dan f– juga terukur. Definisi : Fungsi terukur f disebut terintegralkan pada E jika f+ dan f– terintegralkan pada E dan didefinisikan + − ∫ f = ∫ f −∫ f E E E Perlu dicatat bahwa, fungsi f terukur dan terintegralkan jika dan hanya jika f+ dan f– terintegralkan. Jadi f terintegralkan jika dan hanya jika ∫ f + < ∞ dan ∫ f − < ∞ . E E Sifat-sifat Integral Lebesgue diberikan pada proposisi dan teorema-teorema berikut: Proposisi : Misalkan f dan g adalah fungsi terintegralkan pada E, maka: 1. Fungsi cf terintegralkan pada E untuk setiap bilangan real c dan 2. Fungsi f + g terintegralkan pada E dan 3. Jika f ≤ g (ae) maka ∫ E ∫ E f ≤∫ g E 66 f + g =∫ f +∫ g E E ∫ E cf = c ∫ f E Bab 4 – Integral Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si 4. Jika A dan B adalah himpunan terukur dan A ∩ B = ∅ , dengan A , B ⊂ E maka ∫ f =∫ f +∫ f A∪B A B Bukti : 1. Jika c > 0 maka ( cf )+ = max(0, cf ) = c . max(0, f ) = cf + ( cf )− = max(0, −cf ) = c . max(0, − f ) = cf − Menurut definisi cf = ( cf )+ − ( cf )− . Jadi ∫ E cf = ∫ ( cf )+ − ∫ ( cf )− = ∫ cf + − ∫ cf − = c ∫ f + − c ∫ f − = c E E E E E E (∫ E ) f + − ∫ f − = c∫ f E E Jika c < 0 maka ( cf )+ = max(0, cf ) = −c . max(0, − f ) = −cf − ( cf )− = max(0, −cf ) = −c . max(0, f ) = −cf + Menurut definisi ∫ E cf = ∫ ( cf )+ − ∫ ( cf )− = ∫ −cf − − ∫ −cf + = −c ∫ f − + c ∫ f + = c E E E E ∫ Karena f terintegralkan, maka E E E (∫ E ) f + − ∫ f − = c∫ f E E f < ∞ . Akibatnya ∫ E cf = c ∫ f < ∞ E yang berarti cf terintegralkan 2. Menurut definisi ∫ E f + g = ∫ ( f + g )+ + ∫ ( f + g )− E E Pada dasarnya ( f + g )+ ≠ f + + g + . Sehingga perlu menggunakan bantuan bukti yang lain. Misalkan f = f 1 − f 2 dengan f 1 , f 2 ≥ 0 maka f = f1 − f 2 f + − f − = f1 − f 2 f + + f 2 = f1 + f − ∫ E ∫ ∫ E E f + + f 2 = ∫ f1 + f − E f + ∫ f 2 = ∫ f1 + ∫ f − + E E E f + − ∫ f − = ∫ f1 − ∫ f 2 E E ∫ E E f = ∫ f1 − ∫ f 2 E E Jadi, ∫ E f + g = ∫ ( f + − f − )+( g+ − g− ) E = ∫ ( f + + g+ )−( f − + g− ) E = ∫ ( f + + g+ )− ∫ ( f − + g− ) E E = ∫ f + ∫ g − ∫ f − − ∫ g− + + E E E E = ∫ f + − ∫ f − + ∫ g+ − ∫ g− E E =∫ f +∫ g <∞ E 67 E E E Bab 4 – Integral Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si Jadi f + g terintegralkan. 3. Karena f ≤ g maka g − f ≥ 0 . Dengan menggunakan hasil pada 2) diperoleh ∫ E g − f = ∫ g −∫ f ≥0⇔ ∫ g ≥ ∫ f E E E 4. Karena A ∩ B = ∅ maka χ A ∪B = χ A + χ B . Jadi, ∫ E f = ∫ f .χ A ∪B = ∫ f .χ A + ∫ f .χ B = ∫ f + ∫ f A ∪B A B Teorema (Teorema Kekonvergenan Lebesgue) : Misalkan g fungsi terintegralkan pada E dan <fn> barisan fungsi terukur sedemikian sehingga f n ≤ g pada E ∀n dan lim f n ( x ) = f ( x ) (ae) di E. Maka n →∞ ∫ E f = lim ∫ f n E Bukti : Karena f n ≤ g pada E ∀n maka g ≥ 0 dan − g ≤ f n ≤ g . Jadi, g − f n ≥ 0 dan f n + g ≥ 0 i) g − f n ≥ 0 , ∀n lim g − f n = g − lim f n = g − f n →∞ n →∞ Lemma Fatou ∫ E f − ∫ g = ∫ f − g ≤ lim ∫ g − f n = lim ∫ g − ∫ f n = ∫ g − lim ∫ f n E E E E E E E Jadi, − ∫ f ≤ − lim ∫ f n ⇔ ∫ f ≥ lim ∫ f n ………………….. (*) E ii) E E f n + g ≥ 0 , ∀n lim f n + g = lim f n + g = f + g n →∞ E n →∞ Lemma Fatou ∫ E f + ∫ g = ∫ f + g ≤ lim ∫ f n + g = lim ∫ f n + ∫ g E E E E E Jadi, ∫ E f ≤ lim ∫ f n ………………….. (**) E Dari (*), (**), dan lim ∫ f n ≤ lim ∫ f n E E diperoleh lim ∫ f n ≤ lim ∫ f n ≤ ∫ f ≤ lim ∫ f n ≤ lim ∫ f n E E E E E Jadi, ∫ E f = lim ∫ f n = lim ∫ f n = lim ∫ f n E E E Teorema di atas mensyaratkan bahwa barisan <fn> didominasi oleh fungsi tetap g yang terintegralkan. Ternyata, dari pembuktian di atas syarat ini tidak begitu diperlukan. Jika kita mengganti setiap g pada bukti di atas dengan gn maka kita mendapatkan perumuman dari Teorema Kekonvergenan Lebesgue sebagai berikut: Teorema (General Lebesgue Convergence Theorem): Misalkan <gn> barisan fungsi terintegralkan yang konvergen ke fungsi terintegralkan g hampir dimana-mana. Misalkan <fn> barisan fungsi terukur sedemikian sehingga |fn| ≤ gn untuk setiap n dan <fn> konvergen ke f hampir di mana-mana. Jika ∫ g = lim ∫ g n maka 68 Bab 4 – Integral Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si ∫f = lim ∫ f n Karena |fn| ≤ gn untuk setiap n maka –gn ≤ fn ≤ gn untuk setiap n. Dari sini untuk setiap n berlaku: (i) gn + fn ≥ 0, dan (ii) gn – fn ≥ 0. Jelas gn + fn dan gn – fn terukur dan lim ( g n ± f n ) = lim g n ± lim f n = g ± f n →∞ n →∞ n →∞ Dengan menggunakan Lemma Fatou dan sifat-sifat limit superior dan inferior diperoleh ∫ ( g + f ) ≤ lim ∫ ( g n + f n ) ⇔ ∫ g + ∫ f = ∫ ( g + f ) ≤ lim ∫ ( g + f n ) ≤ lim ∫ g n + lim ∫ f n = ∫ g + lim ∫ f n n ⇔ ∫f dan ≤ lim ∫ f n ∫ ( g − f ) ≤ lim ∫ ( g n − fn ) ⇔ ∫ g − ∫ f = ∫ ( g − f ) ≤ lim ∫ ( g n − f n ) ≤ lim ∫ g n + lim ∫ ( − f n ) = ∫ g − lim ∫ f n ⇔ − ∫ f ≤ −lim ∫ f n ⇔ ∫ f ≥ lim ∫ f n Dari sini diperoleh, ∫f Sehingga, ≤ lim ∫ f n ≤ lim ∫ f n dan lim ∫ f n ≤ lim ∫ f n ≤ ∫ f lim ∫ f n ≤ lim ∫ f n ≤ ∫ f ≤ lim ∫ f n ≤ lim ∫ f n Akibatnya, ∫f = lim ∫ f n = lim ∫ f n = lim ∫ f n Contoh Soal (Problem 4.10) Tunjukkan bahwa jika f terintegralkan pada E, maka |f| juga terintegralkan dan ∫ E f ≤∫ f E Apakah juga berlaku sebaliknya? Jawab : Karena f terintegralkan, maka f+ dan f– juga terintegralkan. Akibatnya |f| = f+ + f– terintegralkan pada E dan ∫ E f = ∫ E f+− f− = ∫ E f + −∫ f − ≤ E Bagaimana dengan sebaliknya? Jika |f| terintegralkan pada E, maka ∫ E ∫ E f+ + ∫ E f − =∫ f + +∫ f − =∫ f + + f − =∫ f E f + ≤ ∫ | f | < ∞ dan E + E ∫ E + dan f f − + terintegralkan = max(0, f ) = f = f + + f − 69 E f − ≤ ∫ | f | < ∞ . Sehingga f+ dan f– juga terintegralkan pada E. Akibatnya f = f – f– terintegralkan. Cara lain : f terintegralkan ⇔ f Dari definisi, E E Bab 4 – Integral Lebesgue Compiled by : Khaeroni, S.Si dan − f = max(0, − f ) = 0 maka, ∫ E f + =∫ f + + f − =∫ f + +∫ f − <∞ E E dan, ∫ E Jadi, f + dan f − f − =∫ 0=0<∞ E terintegralkan. 70 E Bab 5 Turunan dan Integral Pada bagian ini kita memandang turunan sebagai invers dari integral. Secara sederhana, kita perlu menjawab beberapa pertanyaan berikut: Kapankah ∫ b a f '( x ) dx = f ( b ) − f ( a ) ? Kapankan d x f ( y ) dy = f ( x ) ? dx ∫a Dari teori integral Riemann telah diketahui bahwa hubungan kedua akan dipenuhi jika f kontinu di x. Kita perlu menunjukkan bahwa hubungan ini secara umum dipenuhi hampir dimana-mana. Sehingga turunan merupakan invers/kebalikan dari integral. Pertanyaan pertama, jauh lebih sulit walaupun menggunakan Integral Lebesgue, dan bernilai benar hanya untuk beberapa kelas fungsi. Pada Integral Riemann, turunan suatu fungsi di titik tertentu merupakan kemiringan (gradien) garis singgung di titik tersebut. Perhatikan ilustrasi berikut: f(a) k f(a+h) f(a–h) l a–h Untuk garis l, a a+h ml = f (a + h ) − f (a ) f (a + h ) − f (a ) ; m garis singgung di a = lim h 0 → h h mk = f (a ) − f (a − h ) f (a ) − f (a − h ) ; m garis singgung di a = lim → h 0 h h Untuk garis k, 5.1. Turunan Fungsi Monoton Misalkan ℑ = {I1, . . .} adalah koleksi interval-interval. Koleksi ℑ disebut selimut Vitali untuk E jika untuk setiap ε > 0 dan apapun x ∈ E , terdapat interval I ∈ ℑ sedemikian sehingga x ∈ I dan l ( I ) < ε . Interval-interval ini mungkin buka, tutup, atau setengah tutup. Yang jelas, interval tersebut tidak boleh hanya terdiri dari satu titik. Lemma Vitali : Jika ℑ adalah selimut Vitali untuk E dengan m * ( E ) < ∞ maka untuk setiap ε > 0 ada koleksi berhingga interval di ℑ yang saling lepas {I1, I2, . . ., IN} sehingga N ⎡ ⎤ m * ⎢E ~ ∪ In ⎥ < ε n =1 ⎣ ⎦ Bab 5 – Turunan dan Integral Compiled by : Khaeroni, S.Si Bukti: (see ‘Real Analysis’, H.L. Royden, 3rd ed, page 98–99) Dari Lemma di atas, N ⎡ ⎤ ⎛N ⎞ ⎛N ⎞ m * ⎢E ~ ∪ In ⎥ < ε ⇒ m * ( E ) − m * ⎜ ∪ In ⎟ < ε ⇔ m * ⎜ ∪ In ⎟ > m * ( E) − ε n =1 ⎣ ⎦ ⎝ n =1 ⎠ ⎝ n =1 ⎠ Selanjutnya, dalam tujuan kita membahas mengenai turunan (derivatif) dari suatu fungsi f, kita perlu mendefinisikan 4 macam turunan dari fungsi f di x sebagai berikut: f (x + h ) − f (x ) D + f ( x ) = lim+ h →0 h f (x + h ) − f (x ) D+ f ( x ) = lim + h h →0 f ( x ) − f (x − h ) D − f ( x ) = lim+ h →0 h f (x ) − f (x − h ) D− f ( x ) = lim h h →0 + + Dari pendefinisian di atas, jelas bahwa D f ( x ) ≥ D+ f ( x ) dan D − f ( x ) ≥ D− f ( x ) . Jika D + f ( x ) = D+ f ( x ) = D − f ( x ) = D− f ( x ) ≠ ±∞ maka f dikatakan terturunkan (differentiable) di x dan kita menuliskan f’(x) sebagai nilai turunan f di titik x. Jika D + f ( x ) = D+ f ( x ) maka f dikatakan memiliki turunan kanan (right-hand derivates) di x dan menuliskan f’+(x) sebagai nilai turunan kanan f di x. Demikian juga untuk yang lain, dituliskan f’–(x) sebagai nilai turunan kiri f di x. Proposisi : Jika f kontinu pada [a, b] dan salah satu turunannya tak negatif pada (a, b) maka f adalah fungsi tak turun pada [a, b] Bukti : Misalkan f kontinu pada [a, b] dan salah satu turunannya, katakan D+ f ( x ) ≥ 0, ∀x ∈ ( a , b ) . Dari definisi, f (x + h ) − f (x ) f (x + h ) − f (x ) D+ f ( x ) = lim = sup inf h h h →0+ δ > 0 0 <h <δ Karena D+ f ( x ) ≥ 0, ∀x ∈ ( a , b ) maka f (x + h ) − f (x ) inf ≥0 0 <h <δ h Karena h > 0, maka haruslah f (x + h ) − f (x ) ≥ 0 f (x + h ) ≥ f (x ) Jadi, untuk setiap x ≤ x + h berlaku f (x ) ≤ f (x + h ) Bukti lain: Misalkan f kontinu pada [a, b] dan salah satu turunannya, katakan D + f ( x ) ≥ 0, ∀x ∈ ( a , b ) . Diambil sebarang x ∈ ( a , b ) . Dari definisi, f (x + h ) − f (x ) D + f ( x ) = lim+ ≥0 h →0 h Diambil y = x + h, diperoleh h = y − x dan jika h → 0 + maka y − x > 0 ⇔ y > x . Maka, ⎛ f ( y ) − f (x ) ⎞ inf ⎜ sup ⎟≥0 δ > 0 x < y < x +δ y −x ⎝ ⎠ 72 Bab 5 – Turunan dan Integral Compiled by : Khaeroni, S.Si Jadi, untuk setiap δ > 0 ada x < y < x + δ sehingga f ( y ) − f (x ) ≥ 0 ⇒ f ( y ) − f (x ) ≥ 0 ⇒ f (x ) ≤ f ( y ) y −x Contoh Soal (Problem 5.1) : Misalkan f fungsi yang didefinisikan dengan f(0) = 0 dan f(x) = x sin(1/x) untuk x ≠ 0. Tentukan D+f(0), D+f(0), D–f(0), D–f(0) Jawab : Pertama, perlu ditunjukkan bahwa limit-nya ada. Digunakan prinsip apit: x → 0+ , x ≠ 0 −1 ≤ sin ( x1 ) ≤ 1 − x ≤ x .sin ( x1 ) ≤ x Karena lim+ ( − x ) = 0 dan lim+ x = 0 maka lim+ x .sin ( x1 ) = 0 . x →0 x →0 x →0 x → 0− , x ≠ 0 −1 ≤ sin ( x1 ) ≤ 1 − x ≥ x .sin ( x1 ) ≥ x Karena lim− ( − x ) = 0 dan lim− x = 0 maka lim− x .sin ( x1 ) = 0 . x →0 Jadi, x →0 x →0 lim x .sin ( x1 ) = lim− x .sin ( x1 ) = lim x .sin ( x1 ) = f (0) = 0 x →0+ x →0 x →0 Selanjutnya, diambil sembarang δ > 0 . 0 <h <δ ⇒ 1 1 > h δ ⎛ ⎛ 1⎞ ⎛ 1 ⎞⎞ Maka sup ⎜ sin ⎟ = 1 . Akibatnya inf ⎜ sup ⎜ sin ⎟ ⎟ = 1 . Dari hasil ini diperoleh, ⎝ h⎠ ⎝ h ⎠⎠ ⎝ h .sin( h1 ) f (0 + h ) − f (0) = lim+ = lim+ sin ( h1 ) = 1 D + f (0) = lim+ → h →0 h h →0 0 h h 1 h .sin( h ) f (0 + h ) − f (0) = lim = lim sin ( h1 ) = −1 D+ f (0) = lim + + h h h →0 h →0 h → 0+ 1 h .sin( − h ) f (0) − f (0 − h ) = lim+ = lim+ sin ( −1h ) = 1 D − f (0) = lim+ h →0 h →0 h →0 h h 1 h .sin( − h ) f (0) − f (0 − h ) = lim = lim sin ( −1h ) = −1 D− f (0) = lim + + h h h →0 h →0 h →0+ Contoh Soal (Problem 5.2) : a. Tunjukkan bahwa D+[–f(x)] = –D+f(x) b. Jika g(x) = f(–x), maka D+g(x) = –D–f(–x) Jawab : [ − f ( x + h )] − [ − f ( x )] a. D + [ − f ( x )] = lim+ h →0 h f (x + h ) − f (x ) ⎛ f (x + h) − f (x ) ⎞ = − lim = − D+ f ( x ) D + [ − f ( x )] = lim+ − ⎜ ⎟ h →0 h h h →0 + ⎝ ⎠ g( x + h ) − g( x ) b. D + g ( x ) = lim+ h →0 h 73 Bab 5 – Turunan dan Integral Compiled by : Khaeroni, S.Si f ( −x − h ) − f ( −x ) f ( −x ) − f ( −x − h ) f ( −x ) − f ( −x − h ) = lim+ − = − lim + h → 0 h h h h →0 = − D− f ( − x ) D + f ( x ) = lim+ h →0 Teorema : Jika f fungsi naik dan bernilai real pada [a, b] maka f terturunkan hampir di mana-mana dan ∫ b a f '( x ) d ( x ) ≤ f ( b ) − f ( a ) Bukti : (Buktinya ada 10 kasus) Pertama, akan dibuktikan bahwa D + f ( x ) = D+ f ( x ) = D − f ( x ) = D− f ( x ) . Akan dibuktikan untuk satu kasus, misalkan D + f ( x ) = D− f ( x ) hampir dimana-mana. Hal ini ekuivalen dengan ( ) membuktikan m * {x : D + f ( x ) > D− f ( x )} = 0 . Misalkan E = {x ∈ [ a , b ] : D + f ( x ) > D− f ( x )} Dengan menggunakan aksioma Archimedes, E dapat ditulis sebagai E = ∪ {x ∈ [ a , b ] : D + f ( x ) > u > v > D− f ( x )} u ,v ∈ Misalkan, untuk suatu u, v Eu ,v = {x ∈ [ a , b ] : D + f ( x ) > u > v > D− f ( x )} maka, E= ∪E u ,v ∉ u ,v Jadi, cukup dibuktikan m * ( Eu ,v ) = s = 0 . Dari D + f ( x ) > u > v > D− f ( x ) ditinjau kasus berikut i) ∀x ∈ Eu ,v ⇒ D− f ( x ) < v f (x ) − f (x − h ) <v h h →0+ Karena supremum, maka ada h cukup kecil sehingga pada [x – h, h] berlaku f (x ) − f (x − h ) < v ⇒ f ( x ) − f ( x − h ) < vh ……………………. (1) h Karena m * ( Eu ,v ) < ∞ maka ada himpunan terbuka O sehingga Eu ,v ⊂ O dan m * (O ) < s + ε lim Karena m * ( Eu ,v ) < ∞ maka menurut Lemma Vitali, ada koleksi berhingga interval {I1, I2, …, IN} yang saling lepas dan A ⊂ Eu ,v sehingga a) A ⊂ ∪ I n b) m * ( A ) > s − ε Misalkan I n = [ x n − hn , x n ] , n = 1, 2,..., N Dari (1), f ( x n ) − f ( x n − hn ) < vhn . Sehingga N ∑ n =1 Karena ∪I n ⊂ O maka m N ∑ f (x n =1 n N N n =1 n =1 f ( x n ) − f ( x n − hn ) < ∑ vhn = v ∑ hn (∪ I ) ≤ ∑ l ( I n n ) = ∑ hn < m(O ) . Jadi, ) − f ( x n − hn ) < vm(O ) < v ( s + ε ) ……………………(2) 74 Bab 5 – Turunan dan Integral Compiled by : Khaeroni, S.Si ii) ∀x ∈ A ⇒ D + f ( x ) > u f (x + h ) − f (x ) >u h →0 h Karena infimum, maka ada h cukup kecil sehingga pada [x, x + h] berlaku f (x + h ) − f (x ) > u ⇒ f ( x + h ) − f ( x ) > uh ……………………. (3) h Karena m * ( A ) < ∞ maka menurut Lemma Vitali, ada koleksi berhingga interval {J1, J2, …, JM} yang saling lepas dan B ⊂ A sehingga lim+ M a) B ⊂ ∪ J i i =1 b) m * ( B ) > s − 2ε c) Karena x ∈ B ⇒ x ∈ J i untuk suatu i ⇔ x ∈ A ⇒ x ∈ I n untuk suatu n maka J i ⊂ I n Misalkan J n = [ y n , y n + kn ] , n = 1, 2,..., M Dari (3), f ( y n + kn ) − f ( y n ) > ukn . Sehingga M ∑ f( y n =1 n M M n =1 n =1 + kn ) − f ( y n ) > ∑ ukn = v ∑ kn > u ( s − 2ε ) ……………(4) Sekarang, misalkan J 1 , J 2 , J 3 ⊂ I 1 f(x1) – f(x1+h1) J1 x1–h1 J2 y2 J3 y3 y4 x1 I1 Jadi, M u( s − 2ε ) < ∑ f ( y n + kn ) − f ( y n ) n =1 N ≤ ∑ f ( x n ) − f ( x n − hn ) n =1 ≤ v ( s + ε ), Maka, u( s − 2 n1 ) ≤ v ( s + n1 ), ∀ε > 0 ∀n ∈ us ≤ vs ( u − v )s ≤ 0 Karena u – v > 0, maka s ≤ 0. Padahal s ≥ 0. Jadi haruslah s = 0. Kedua, akan dibuktikan bahwa ∫ b a Misalkan g ( x ) = lim h →0 Didefinisikan f '( x ) d ( x ) ≤ f ( b ) − f ( a ) . f (x + h ) − f (x ) = f '( x ) terdefinisi (ae) h 75 Bab 5 – Turunan dan Integral Compiled by : Khaeroni, S.Si f ( x + n1 ) − f ( x ) gn ( x ) = 1 n dan f ( x ) = f ( b ) untuk x > b Jadi, lim g n = g (ae) dan karena f fungsi naik maka gn ≥ 0. Lemma Fatou, n →∞ ∫ b a b b a n →∞ a b f ' = ∫ g ≤ lim ∫ g n . = lim n ∫ f ( x + n1 ) − f ( x ) n →∞ a . = lim n n →∞ (∫ b a (∫ . = lim n ( ∫ . = lim n ( ∫ . = lim n b f ( x + n1 ) − ∫ f ( x ) a b + n1 b f (x ) − ∫ f (x ) a + n1 n →∞ b a + n1 n →∞ n →∞ a f (x ) + ∫ b + n1 b b + n1 f (x ) − ∫ b a + n1 a ) ) f (x ) − ∫ f (x ) ) a + n1 f (x ) − ∫ b a + n1 a f (x ) ) Karena f fungsi naik, maka ∀x ∈ [ a , a + n1 ] berlaku f ( a ) ≤ f ( x ) ⇔ − f ( x ) ≤ − f ( a ) . Akibatnya ∫ b a f ' ≤ lim n n →∞ (∫ b + n1 b f (b ) − ∫ a + n1 a ) f ( a ) = lim n ( f ( b ).(b + n1 − b ) − f ( a ).( a + n1 − a )) = f (b ) − f ( a ) n →∞ 5.2. Fungsi Bervariasi Terbatas Misalkan f fungsi bernilai real yang didefinisikan pada interval [a, b] dan misalkan a = x0 < x1 < . . . < xk = b merupakan sebarang partisi dari [a, b]. Didefinisikan k p = ∑ [ f ( x i ) − f ( x i −1 )] + i =1 k n = ∑ [ f ( x i ) − f ( x i −1 )] − i =1 k t = p + n = ∑ f ( x i ) − f ( x i −1 ) i =1 + − dimana r = max(0, r ) , r = max(0, −r ) , dan |r |= r + + r − . Dari pendefinisian ini diperoleh, k k p − n = ∑ [ f ( x i ) − f ( x i −1 )] − ∑ [ f ( x i ) − f ( x i −1 )] + i =1 − i =1 k = ∑ f ( x i ) − f ( x i −1 ) i =1 = f (xk ) − f (x0 ) = f (b ) − f ( a ) Kemudian, didefinisikan P = sup p, N = sup n, T = sup t, yaitu mengambil supremum dari semua partisi-partisi yang mungkin pada [a, b]. Karena, k k p = ∑ [ f ( x i ) − f ( x i −1 )] ≤ ∑ f ( x i ) − f ( x i −1 ) = t + i =1 maka, i =1 sup p ≤ sup t = sup( n + p ) ≤ sup p + sup n Akibatnya P ≤T ≤P +N P, N, dan T masing-masing disebut positif, negatif, dan variasi total dari f pada [a, b]. Variasi total dari f 76 Bab 5 – Turunan dan Integral Compiled by : Khaeroni, S.Si pada [a, b] ditulis Tab ( f ) atau Tab . Contoh : Jika f fungsi terukur dan naik monoton pada [a, b], maka k k p = ∑ [ f ( x i ) − f ( x i −1 )] = ∑ f ( x i ) − f ( x i −1 ) = f ( x 1 ) − f ( x 0 )... + f ( x k ) − f ( x k −1 ) = f (b ) − f ( a ) i =1 k + i =1 k n = ∑ [ f ( x i ) − f ( x i −1 )] = ∑ 0 = 0 − i =1 k k i =1 i =1 i =1 t = ∑ f ( x i ) − f ( x i −1 ) = ∑ f ( x i ) − f ( x i − 1 ) = f ( b ) − f ( a ) T = sup t = f(b) – f(a) N = sup n = 0 P = sup p = f(b) – f(a) T=N+P Definisi (Fungsi Bervariasi Terbatas): Fungsi f dikatakan bervariasi terbatas pada [a, b] jika Tab < ∞ dan dinotasikan dengan f ∈ BV . Lemma : Jika f bervariasi terbatas pada [a, b] maka Tab = Pab + N ab dan f ( b ) − f ( a ) = Pab − N ab Bukti : Diambil sebarang partisi pada [a, b]. Menurut definisi, p − n = f (b ) − f ( a ) ⇔ p = n + f (b ) − f ( a ) Dari sini, maka sup p = sup( n + f ( b ) − f ( a )) = sup n + f ( b ) − f ( a ) ⇔ P = N + f (b ) − f ( a ) ⇔ P − N = f (b ) − f ( a ) Juga, t = p + n = p + p − { f ( b ) − f ( a )} Maka, sup t = sup( p + p − { f ( b ) − f ( a )} ) = sup 2 p − { f (b ) − f ( a )} ⇔ T = 2 P − { f ( b ) − f ( a )} ⇔ T = 2P − P + N = P + N Teorema : Fungsi f bervariasi terbatas pada [a, b] jika dan hanya jika f merupakan selisih dua fungsi monoton dan bernilai real pada [a, b] Bukti : ⇒) Diketahui f ∈ BV . Akan dibuktikan bahwa f = g − h dengan g dan h fungsi monoton. Karena f ∈ BV maka Tab ( f ) < ∞ . Dari Lemma di atas, f ( x ) = Pax − N ax + f ( a ) Diambil 77 Bab 5 – Turunan dan Integral Compiled by : Khaeroni, S.Si g ( x ) = Pax dan h( x ) = N ax Terlihat bahwa, ∀x < y ⇒ Pax ≤ Pa y yang berarti g ( x ) = Pax tak turun; dan ∀x < y ⇒ N ax ≤ N ay yang berarti h( x ) = N ax tak turun ⇐) Diketahui f = g – h dengan g dan h fungsi monoton. Akan dibuktikan f ∈ BV ⇔ Tab < ∞ k t ab ( f ) = ∑ f ( x i ) − f ( x i −1 ) i =1 k = ∑ ( g ( x i ) − h( x i )) − ( g ( x i −1 ) + h( x i −1 )) i =1 k k i =1 i =1 ≤ ∑ g ( x i ) − g ( x i −1 ) + ∑ h( x i ) + h( x i −1 ) Karena g(x) dan h(x) fungsi monoton, maka t ab ( f ) ≤ g ( b ) − g ( a ) + h(b ) − h( a ) Dari sini maka, Tab ( f ) ≤ g ( b ) − g ( a ) + h( b ) − h( a ) < ∞ Jadi, f ∈ BV Akibat : Jika f fungsi bervariasi terbatas pada [a, b] maka f’(x) ada hampir di mana-mana pada [a, b] Bukti : f ∈ BV . ⇒ f = g − h , g dan h fungsi monoton . ⇒ f ' = ( g − h )' = g '− h ' (teorema turunan fungsi monoton) Jadi, f’ ada (ae) pada [a, b]. 5.3. Turunan Integral Jika f fungsi terintegralkan pada [a, b] didefinisikan indefinit integral (integral tak tentu) dari f yaitu F yang didefinisikan pada [a, b] dengan aturan b F ( x ) = ∫ f ( t ) dt a Dalam sub-bab ini kita akan melihat bagaimana turunan dari indefinit integral dari suatu fungsi terintegralkan adalah sama dengan integralnya hampir dimana-mana. Kita mulai pembahasan ini dengan melihat beberapa lemma. Lemma : Jika f terintegralkan pada [a, b] maka fungsi F dengan b F ( x ) = ∫ f ( t ) dt a adalah fungsi kontinu dan bervariasi terbatas pada [a, b]. Bukti : Ambil sebarang c ∈ [ a , b ] . Akan dibuktikan F kontinu di c. Ekuivalen dengan membuktikan ∀ε > 0, ∃δ > 0 sehingga | x − c |< δ ⇒ f ( x ) − f ( c ) < ε . Diambil sebarang ε > 0 . Karena f terintegralkan pada [a, b] maka |f| terintegralkan pada [a, b] Karena |f| ≥ 0 dan terintegralkan pada [a, b] maka ada δ > 0 sehingga untuk setiap A ⊂ [ a , b ] dengan m( A ) < δ maka ∫ | f |< ε . A Ambil A = {x ∈ [ a , b ] :| x − c |< δ / 3} 78 Bab 5 – Turunan dan Integral c–δ/3 Compiled by : Khaeroni, S.Si c+δ/3 c c=a c+δ/3 c–δ/3 c=b Jadi, secara umum m( A ) ≤ 23 δ < δ . Sehingga | x − c |< δ ⇒ F ( x ) − F ( c ) = ∫ x a c f (t ) − ∫ f (t ) = a ∫ c x c f (t ) ≤ ∫ f (t ) < ∫ f (t ) < ε x A Selanjutnya, akan dibuktikan f ∈ BV . Ekuivalen dengan membuktikan T ( F ) < ∞ b a k t ab ( F ) = ∑ F ( x i ) − F ( x i −1 ) i =k k =∑ i =k k =∑ i =k k ∫ xi ∫ xi a x i −1 ≤ ∑∫ i =k xi x i −1 f (t ) − ∫ x i −1 a f (t ) f (t ) f (t ) = ∫ x1 x0 f (t ) + ∫ x2 x1 f ( t ) + ... + ∫ xk x k −1 b f (t ) = ∫ f (t ) a Karena f terintegralkan maka |f| terintegralkan. Karena ruas kanan tidak bergantung pada partisi, maka b Tab ( F ) = sup t ab ( F ) ≤ ∫ f ( t ) < ∞ a b Selanjutnya, dengan mendefinisikan F ( x ) = ∫ f ( t ) dt , ∀x ∈ [ a , b ] ternyata diperoleh bahwa a fungsi F kontinu dan bervariasi terbatas pada [a, b]. Kita akan melihat bahwa F mempunyai turunan. Artinya F’(x) ada. Sehingga juga berlaku: d b F '( x ) = f ( t ) dt = f ( x ) 1) dx ∫a 2) ∫ b a f ( t ) dt = f ( b ) − f ( a ) Untuk itu, kita perlu meninjau beberapa lemma berikut: Lemma : Jika f terintegralkan pada [a, b] dan ∫ x a f ( t ) dt = 0 , ∀x ∈ [ a , b ] maka f(t) = 0 (ae) di [a, b]. Bukti : (see ‘Real Analysis’, H.L. Royden, 3rd ed, page 105-106). Lemma : Jika f fungsi terbatas dan terukur pada [a, b] dan x F ( x ) = ∫ f ( t ) dt + F ( a ) a maka F’(x) = f(x) (ae) pada [a, b]. Bukti : (see ‘Real Analysis’, H.L. Royden, 3rd ed, page 106-107). Teorema : Jika f fungsi terintegralkan pada [a, b] dan 79 Bab 5 – Turunan dan Integral Compiled by : Khaeroni, S.Si x F ( x ) = ∫ f ( t ) dt + F ( a ) a maka F’(x) = f(x) (ae) pada [a, b]. Bukti : x Diketahui f terintegralkan pada [a, b] dan F ( x ) = ∫ f ( t ) dt + F ( a ) . Akan dibuktikan F’(x) = f(x) a Dari dua lemma di atas, cukup dibuktikan x ∫ x F '( t ) dt = ∫ f ( t ) dt , ∀x ∈ [ a , b ] . a a Karena f = f – f dengan f , f ≥ 0 (tanpa mengurangi keumuman bukti) maka f ≥ 0. Didefinisikan barisan {fn} sebagai berikut: ⎧ f ( x ), f ( x ) < n fn (x ) = ⎨ f (x ) ≥ n ⎩ n, Dari pendefinisian ini diperoleh f n ≥ 0 , ∀n ∈ ; f n f ; f n ≤ n , ∀n ∈ dan fn terbatas dan terukur. Menurut lemma kedua di atas, maka d x f n ( t ) dt = f n ( x ) , ∀n ∈ dx ∫a Kemudian didefinisikan ∀n ∈ Gn = f − f n ≥ 0 Sehingga, + – + – x x x < y ⇒ ∫ f − f n ≤ ∫ f n − f ⇔ Gn ( x ) ≤ Gn ( y ) a a Jadi Gn monoton tak turun. Akibatnya G ( x ) ≥ 0 , ∀x ∈ ( a , b ) . Dari hipotesis d x F '( x ) = f n ( t ) dt dx ∫a d x = ( f − fn ) + fn dx ∫a d x d x = f − fn ) + ∫ fn ( ∫ dx a dx a ' = Gn ( x ) + f n ( x ) ≥ 0 + fn (x ) = f n ( x ), ∀n Jadi, f n ( x ) ≤ F '( x ), ∀x ∈ [ a , b ], ∀n ⇔ f n ≤ F ', ∀n ⇔ lim f n ≤ F ' ⇔ f ≤ F ' 1 ' n n →∞ Dari hipotesis diperoleh Karena f ≥ 0 maka x x a a F ( x ) − F ( a ) = ∫ f ≤ ∫ F ' ……………………… (1) x y x< y⇒∫ f ≤∫ f a a Jadi F tak turun, akibatnya ∫ x a x F ' ≤ F ( x ) − F ( a ) = ∫ f ……………………… (2) a Dari (1) dan (2) diperoleh 1 Lihat proposisi di halaman 72. 80 Bab 5 – Turunan dan Integral Compiled by : Khaeroni, S.Si ∫ x x f ( t ) dt = ∫ F '( t ) dt = F ( x ) − F ( a ) a a Akibatnya, ∫ x a x x a a f ( t ) dt − ∫ F '( t ) dt = 0 ⇔ ∫ Diperoleh [ f ( t ) − F ' t )] dt = 0, ∀x f(t) – F’(t) = 0 ⇔ f(t) = F’(t), ∀t. Dari teorema terakhir ini, terjawab sudah pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan di awal bab ini. Yaitu bahwa Teorema Dasar Kalkulus I dan II berlaku: 1) F '( x ) = f ( x ) 2) ∫ b a F '( t ) dt = F ( b ) − F ( a ) Latihan (Soal Quis) : Misalkan f fungsi tak negatif dan terintegralkan (ae) pada [a, b]. Didefinisikan x F ( x ) = ∫ f ( t ) dt a buktikan bahwa ∫ b a b F '( t ) dt ≤ ∫ f ( t ) dt a Jawab : Pertama ditunjukkan bahwa F tak turun. Karena f ≥ 0, maka x y x < y ⇒ [a, x ) ⊂ [a, y ) ⇔ ∫ f ≤ ∫ f ⇔ F (x ) ≤ F( y ) a Jadi, F tak turun. Maka2 ∫ b a a b b a a F '( t ) dt ≤ F ( b ) − F ( a ) = ∫ f ( t ) dt − 0 = ∫ f ( t ) dt Contoh : Diketahui f(x) = sin x, x ∈ [0, π]. Apakah f ∈ BV pada [0, π]? Jawab : Misalkan L sebarang partisi dari [0, π]. Maka L : 0 = x 0 < x 1 < ... < x k = π . Ditinjau dua kasus. Kasus I: Jika π2 ∈ L , maka ∃n0 , 0 ≤ n 0 ≤ n sehingga n0 t 0 ( f ) = ∑ f ( x i ) − f ( x i −1 ) + π i =1 k ∑ i = n 0 +1 f ( x i ) − f ( x i −1 ) = n0 = ∑ f ( x i ) − f ( x i −1 ) + i =1 k ∑ i = n0 +1 f ( x i −1 ) − f ( x i ) = f ( x n0 ) − f ( x 0 ) + f ( x n0 ) − f ( x k ) = f ( π2 ) − f (0) + f ( π2 ) − f (π ) = sin π2 − sin 0 + sin π2 − sin π =2 Kasus 2 : Jika π2 ∉ L , maka ∃n1 , 0 ≤ n1 ≤ k sehingga x n1 −1 < π2 < x n1 . 2 Lihat Teorema halaman 74 81 Bab 5 – Turunan dan Integral Compiled by : Khaeroni, S.Si n1 −1 t 0π ( f ) = ∑ f ( x i ) − f ( x i −1 ) + f ( x n1 ) − f ( x n1 −1 ) + i =1 k ∑ i = n1 +1 f ( x i ) − f ( x i −1 ) n1 −1 = ∑ f ( x i ) − f ( x i −1 ) + f ( x n1 ) − f ( π2 ) + f ( π2 ) − f ( x n1 −1 ) + i =1 n1 −1 k ≤ ∑ f ( x i ) − f ( x i −1 ) + f ( x n1 ) − f ( 2 ) + f ( 2 ) − f ( x n1 −1 ) + π π i =1 = = f ( π2 ) − f (0) + f ( π2 ) − f (π ) = sin π2 − sin 0 + sin π2 − sin π Jadi, =2 ⎧ 2, π2 ∈ L t 0π ( f ) = ⎨ π ⎩≤ 2, 2 ∉ L Sehingga T0π ( f ) = 2 < ∞ . Jadi terbukti f ∈ BV pada [0, π] 82 ∑ i =n1 +1 k ∑ i =n1 +1 f ( x i ) − f ( x i −1 ) f ( x i ) − f ( x i −1 )