BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zaman orde baru saat Soeharto memerintah, politik menjadi hal yang kadangkala tabu untuk dibicarakan. Politik hanya menjadi konsumsi pembicaraan di kalangan elit saja. Peserta pemilu hanya dibatasi menjadi tiga partai saja yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golongan Karya (GOLKAR). Namun semenjak reformasi tahun 1998, ketika keran demokrasi terbuka lebar, peserta pemilu tidak dibatasi lagi. Banyak elit-elit poltik nasional membuat partai baru. Tercatat ada 48 partai politik yang menjadi peserta pemilu pada pemilu tahun 1999. Kemudian pada pemilu 2004, peserta pemilu menyusut menjadi 24 partai politik, dan pada pemilu yang barusan dihelat secara akbar april tahun lalu bertambah lagi dan diikuti oleh 44 partai politik. Kondisi diatas memberikan gambaran praktek demokrasi multi partai yang terjadi di Indonesia sampai sekarang ini. Pemilu 2009 meski masih bertahan dengan sistem multi partai, tercatat 48 partai yang lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tampil pada pemilu, termasuk beberapa partai lama dan mapan masih bertahan dan 1 mendominasi legislatif, akan tetapi Pemilu 2009, memiliki karakteristik tersendiri dimana nomor urut calon legislatif tidak lagi menentukan caleg yang terpilih. Tentu saja antusiasme akan perubahan tersebut semakin membuka ruang seluas-luasnya bagi kemunculan pelaku-pelaku politik baru dalam pentas poltik nasional maupun lokal. Perubahan dari nomor urut menjadi suara terbanyak tersebut pun berdampak pula pada terfragmentasinya aktor-aktor dominan di berbagai partai mapan yang lari ke beberapa partai menengah seperti Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat (PD) dan baru Partai Gerindra dan Partai Hanura untuk mengejar peluang yang sebesar-besarnya untuk duduk di kursi dewan perwakilan rakyat maupun dewan perwakilan rakyat daerah. Selama lima tahun terakhir, proses demokratisasi di Indonesia telah menyusutkan kapasitas politik Negara. Sebagian kekuasaannya telah direbut oleh masyarakat, sementara peranan sentralnya sebagian juga dialihkan ke lembaga politik tingkat lokal. Lokalisasi akibat dinamika politik dan desentralisasi itu membuat politik lokal menjadi ruang politik baru yang mengandung banyak kemungkinan. Hal itu terlihat dari menguatnya kecenderungan para petinggi partai di tingkat lokal menempatkan keluarga pada posisi strategis dalam struktur kepengurusan partai maupun dalam daftar calon anggota legislatif. Fenomena politik keluarga ini tidak hanya 2 terjadi di pusat, tetapi juga di tingkat calon legislatif DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Fenomena politik dinasti ini setidaknya disebabkan lima hal. Pertama, imbas dari sistem pemilu dan persaingan yang kian liberal. Karena itu, nama besar dari ketokohan sejumlah keluarga petinggi partai politik diyakini dapat menjadi modal meraup suara. Kedua, potret kegagalan partai politik dalam mengikat konstituennya. Karena itu, elite parpol cenderung mencari siasat untuk menarik konstituennya dengan menempatkan caleg yang layak jual. Cara instan yang digunakan adalah melirik figur terkenal dari kalangan keluarga elite partai. Ketiga, lemahnya sistem kaderisasi dan pola rekuitmen di internal partai politik, terutama mekanisme dalam penentuan caleg. Keempat, terlalu besarnya daya cengkeram kekuasaan para elite partai politik, terutama elite ditingkat pusat. Kelima, menguatnya pragmatisme politik dan merosotnya militansi kader yang menyebabkan mesin organisasi partai tidak dapat berjalan optimal dan dapat mendorong suburnya politik uang dan politik dinasti. 1 Berdasarkan, kelima faktor disebutkan diatas maka kelimanya dapat berpotensi menyuburbiakkan politik uang dan politik dinasti. 2 Maraknya politik keluarga di tubuh partai politik akan mengarah pada dinastokrasi 1 Hanta Yuda AR, Penyimpangan Partai Politik, dikutip di http://nasional.kompas.com/read/2010/06/28/08244331/Penyimpangan.Partai.Politik 2 Ibid, Penyimpangan Partai Politik, 2010 3 hal web politik. Pada saat itu, suatu partai dikuasai dan dikelola sebuah keluarga besar. Partai politik seolah menjadi kerajaan keluarga yang dikuasai dan dikelola turun temurun. Kondisi ini akan membahayakan proses demokrasi yang dibangun karena akan memengaruhi kelembagaan politik internal partai. Partai politik pun tidak akan kunjung terlembaga sebagai organisasi modern dan demokratis. Sesuai permasalahan diatas penulis mencoba menggambarkan salah satu bentuk fenomena politik keluarga yang ada di Indonesia yaitu bagaimana timbulnya sebuah jaringan politik keluarga dalam penempatan jabatan strategis struktur politik baik itu informal dan formal di daerah lokal dikarenakan timbul dari peran seorang penguasa. Contoh kasus mengenai hal tersebut adalah Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, suaminya Hikmat Tomet sekarang menjabat sebagai anggota DPR 2009-2014, anaknya Andika Azrumy adalah anggota DPD 2009-2014, menantunya Ade Rossi Khairunisa anggota DPRD kota Serang periode 2009-2014, sedangkan adiknya Ratu Tatu Chasanah merupakan anggota DPRD Banten 2009-2014.3 Berbicara penguasa saat ini Syahrul Yasin Limpo di Sulawesi Selatan tampak memperlihatkan sebuah fenomena yang berbeda pada konteks Tempo Jakarta, “Politik Dinasti Dalam Pilkada Masih Mungkin Dipraktikkan” dikutip di halaman web http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1053:dinastipolitik-masih-kental&catid=12:refleksi&Itemid=82 3 4 jaringan keluarga ini. Kuatnya jaringan politik keluarga justru menyuburbiakkan pola penguatan kekuasaan, meskipun historisasinya telah terbentuk sejak orde baru menancapkan kekuasaannya. Pada masa orde baru, semangat sentralisme dan otoriterisme membuat pola pengaruh jaringan keluarga Yasin Limpo memanfaatkan ranah birokrasi sebagai ruang politik untuk menguatkan keluarganya. Tercatat, Syahrul Yasin Limpo sendiri kemudian di sekolahkan ke APDN oleh bapaknya sedangkan beberapa saudaranya yang lain Irman Yasin Limpo di kuliahkan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Ichsan Yasin Limpo sebagai mahasiswa Universitas Muslim Indonesia. Pasca Orde baru seiring dengan penguatan otonomi daerah dan terbukanya ranah politik, pengaruh keluarga ini semakin berdiaspora. Tarikan politik dinasti membawa pengaruh keluarga ini pada puncak kekuasaan. Syahrul Yasin Limpo dengan pengalaman dan pendidikannya dalam pemerintahan dianggap merupakan representasi etnis Makassar, sehingga pada Pilkada Gubernur 2004 ia dipilih menjadi wakil Gubernur mendampingi H. M Amin Syam. Sementara pada Pilkada Gowa beberapa tahun setelahnya. Dominasi keluarga ini semakin menguatkan simbolitas keluarganya sebagai representasi makassar dengan terpilihnya Ichsan Yasin Limpo sebagai Bupati Gowa berturut-turut selama 2 periode. Pemilu 2009 adalah tahun diaspora politik keluarga Yasin Limpo. Keterbukaan ranah politik pemilu, dengan simbolitas keluarga dan modalitas 5 ekonomi maupun politik dari anggota-anggota keluarga lainnya kembali membuktikan kuatnya pengaruh simbolitas keluarga ini dengan terpilihnya Adnan Purichta Ikhsan Yasin Limpo di DPRD Provinsi Sulawesi Selatan dan Chunda Thita Yasin Limpo di DPR Pusat. Selain itu ada juga Dewi Yasin Limpo, yang karena sesuatu dan lain hal ia pernah gagal meraih kursi di DPR- RI di tahun 2009 lalu dan yang akan datang ia juga mencalonkan menjadi walikota Makassar 2014, akan tetapi catatan penting bahwa ke tiganya memilki pengaruh yang strategis di partai Demokrat, PAN dan Hanura, adapula Haris Yasin Limpo merupakan seorang organisatoris yang mampu membantu Syahrul memberi peran penting bagi Syahrul dan juga memiliki peran penting di tubuh Partai Golkar dan organisasi lainnya di Kota Makassar. Tidak hanya sampai itu saja jaringan keluarga Yasin Limpo, adik Syahrul yaitu Irman Yasin Limpo yang menjabat Kepala Badan Penanaman Modal Propinsi Daerah Sulawesi Selatan merupakan salah satu bagian keluarga yang juga memiliki peran besar terhadap Syahrul Yasin Limpo pada pilkada Gubernur 2013 mendatang. Jaringan politik keluarga Yasin Limpo yang ada sampai saat ini mampu memberi peran penting bagi Syahrul sebagai Gubernur dan akan sangat mempengaruhi untuk membuat Syahrul kokoh di kursi kekuasaannya dan dengan leluasa Syahrul Yasin Limpo melenggang kuat pada panggung politik di Sulawesi Selatan yang akan datang. 6 Syahrul Yasin Limpo sendiri memiliki peluang untuk kembali maju sebagai Gubernur Sulawesi Selatan untuk periode 2013-2018. Ia memiliki kemampuan dalam memimpin sebuah pemerintahan terbukti dalam kekuasaannya pada tubuh Partai Golkar, dimana ia menjabat sebagai Ketua DPD I Sulawesi Selatan Partai Golkar. Sebagai seorang pemimpin yang akan berkuasa saat ini tidak mudah bagi Syahrul untuk dapat melenggang pada posisi paling penting di Sulawesi Selatan tersebut, maka ia memerlukan kemampuan dalam menggunakan jaringan politik yang dimilikinya untuk membantunya kelak mengalahkan lawan-lawannya pada PILGUB (Pemilihan Gubernur) yang akan datang. Melihat berbagai penjelasan di atas yang mengungkapkan bagaimana begitu kuatnya sebuah jaringan keluarga Yasin Limpo sehingga mampu memberi pengaruh kekuasaan bagi Syahrul Yasin Limpo hingga sekarang sebagai Gubernur Sulawesi Selatan, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian, kajian dan penulisan skripsi dengan judul “ JARINGAN KELUARGA YASIN LIMPO KEKUASAAN SYAHRUL YASIN LIMPO (SYL)”. 7 DALAM PENGUATAN B. RUMUSAN MASALAH Memperhatikan luasnya cakupan masalah yang menyangkut persoalan jaringan Yasin Limpo di lingkup panggung politik hingga kekuasaannya yang ada dalam pemerintahan di Propinsi Sulawesi Selatan maka penulis membatasi informan yang akan penulis wawancarai di keluarga Yasin Limpo yaitu: Tenri Olle, Dewi Yasin Limpo, Ikhsan Yasin Limpo, Irman Yasin Limpo dan Haris Yasin Limpo. Terkait dengan hal tersebut, maka pada penelitian ini akan berfokus pada fenomena menguatnya jaringan keluarga terhadap kekuasaan Syahrul Yasin Limpo, yakni pada rumusan masalah sebagai berikut : 1. Mengapa keluarga Yasin Limpo banyak menduduki posisi penting dalam struktur politik informal dan formal ? 2. Apa implikasi jaringan keluarga Yasin Limpo terhadap kekuasaan Syahrul Yasin Limpo ? C. BATASAN MASALAH Sesuai pembahasan masalah mengenai posisi penting keluarga Yasin Limpo dalam struktur formal dan informal dan implikasi jaringan keluarga Yasin Limpo terhadap kekuasaan Syahrul Yasin Limpo. Maka dalam masalah banyaknya keluarga Yasin Limpo di Sulawesi Selatan, maka penulis 8 membatasinya hanya pada keluarga kandung dari Syahrul Yasin Limpo yaitu, Tenri Olle Yasin Limpo, Dewi Yasin Limpo, Ichsan Yasin Limpo, Haris Yasin Limpo dan Irman Yasin Limpo. Namun untuk mendukung data-data yang penulis butuhkan dalam penelitian ini, maka penulis juga mewawancarai keluarga Yasin Limpo yang juga menjadi politisi dan birokrat yaitu, Adnan Purichta Ichsan (Putra Ichsan Yasin Limpo) dan Kemal Redindo Syahrul Putra (Putra Syahrul Yasin Limpo). D. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk menggambarkan dan menganalisis faktor-faktor keluarga Yasin Limpo banyak menduduki posisi penting dalam struktur politik informal dan formal. 2. Untuk menggambarkan dan menganalisis implikasi jaringan keluarga Yasin Limpo terhadap kekuasaan Syahrul YasinLimpo. E. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Akademik a. Menjawab fenomena sosial politik yang ada. b. Menunjukkan secara ilmiah implikasi jaringan keluarga Yasin Limpo dalam ranah politik dan pemerintahan di Sulawesi Selatan. 9 c. Memperkaya kahazanah kajian ilmu politik dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan. 2. Manfaat Praktis a. Sebagai prasyarat untuk memenuhi gelar sarjana ilmu politik. b. Untuk membantu para pelaku politik memahami realitas politik di Sulawesi Selatan. c. Memberi pemahaman bahwa kemunculan jaringan politik keluarga dapat memperkuat kekuatan politik. 10