KOMUNIKASI SIMBOLIK SEBAGAI IMPLIKASI TRANSFORMATIF MASYARAKAT CYBERDEMOCRACY DI INDONESIA Sih Natalia Sukmi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga [email protected] ABSTRAK Anak muda memiliki kecenderungan apolitis dan anarkis. Apolitis, bukan hanya di Indonesia, di negaranegara maju, anak mudanya pun enggan berkutat dengan politik. Realitas itu tak dapat dinafikan jika kemudian seringkali angka golput tinggi. Hal tersebut terjadi karena anak-anak muda yang tak gemar berpolitik, juga memiliki hak suara. Anarkis karena idealisme dan emosi yang meluap tak tersalur dalam ruang-ruang yang tepat. Namun, pemilu 2014 di Indonesia membawa diskursus berbeda. Data KPU menunjukkan adanya perubahan jumlah pemilih (pemula) yang meningkat dibanding pemilu tahun 2009. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Hasil rekapitulasi KPU pilpres 2009 mencatat jumlah pemilih yang golput sebanyak 49.212.158 orang atau 27,77 persen. Sementara jumlah pemilih yang menggunakan haknya dalam pilpres 2009 tercatat 127.999.965 orang atau setara dengan 72,24 persen. Dibanding tahun 2009, pemilu tahun 2014 mencatat jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya sebanyak 78,6 persen. Fenomena tersebut disinyalir karena ada polarisasi dua pasangan kuat yang maju ke kontestasi pemilihan capres cawapres. Selain bahwa keberadaan new media dianggap mampu memberi ruang demokrasi bagi anak muda dengan implikasi cara dan gaya berdiskusi ala dunia maya untuk mendiskusikan topik-topik politik. Penelitian ini hendak mengkaji bagaimana bentuk komunikasi dalam budaya digital khususnya anak muda untuk membangun common interest dan mengkomunikasikan gagasan-gagasan politik mereka melalui new media. Deskriptif eksploratif merupakan metode yang diterapkan untuk menggali lebih dalam atas media-media yang diciptakan anak muda terkait pemilu 2014. Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa komunikasi simbolik adalah cara bagi anak muda kini untuk mendiskusikan gagasan mereka terkait realitas yang tengah berlangsung. New media sebagai budaya digital memberi ruang kepada mereka untuk berbagi gagasan dalam bentuk simbolsimbol, baik visual maupun audio visual. Wujud komunikasi tersebut mungkin dapat menjadi embrio lahirnya cara baru dalam kehidupan cyberdemocracy di Indonesia. Kata kunci: anak muda, budaya digital, komunikasi simbolik, cyberdemocracy Latar Belakang Kekerasan tidak mengembangkan kausa-kausa, tidak pula sejarah atau revolusi, tidak pula kemajuan atau reaksi; tetapi ia dapat berfungsi untuk mendramatisasi keluhan dan membawanya guna mendapatkan perhatian publik (Arendt, 2003: 79). Kalimat diatas tentu dapat menjadi adagium yang tepat jika dikorelasikan dengan kondisi sosial yang ada. Apabila kita menilik beberapa kejadian ke belakang, sering kita membaca, mendengar atau melihat bahwa perubahan sosial yang terjadi sering digerakkan oleh kaum muda. Masih ingat di benak kita bagaimana revolusi 98 menjadi penanda runtuhnya rezim orde baru. Tragedi tersebut menyisakan kenangan pahit bahwa demokrasi terkadang perlu dibayar dengan nyawa dan darah. Bukan hanya kejadian tersebut, adu hantam dengan aparat sering pula terjadi dalam bentrokan dan demo-demo Ͷ mahasiswa sebagai reaksi penolakan mereka terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, seperti kenaikan harga BBM, kenaikan upah buruh, atau kebijakan yang dianggap tidak pro rakyat. Sayangnya, anak muda seringkali menggunakan kekerasan untuk menyuarakan aspirasinya. Entah itu adalah ekspresi diri, luapan emosi yang memuncak dan tak tersalurkan, atau memang negara tak memberi mereka ruang untuk dapat bersuara. Arendt memahami tujuan kekerasan adalah sebuah dramatisasi untuk mendapatkan perhatian publik. Itulah mengapa kekerasan dianggapnya sebagai aksi politis. Semua politik adalah perjuangan untuk mencapai kekuasaan; jenis kekuasaan tertinggi adalah kekerasan (C. Wright Mills dalam Arendt, 2003:31). Demikian mungkin yang menjadi alasan mengapa seringkali dalam proses peraihan tujuan (kekuasaan) kelompok masyarakat (termasuk juga anak muda di dalamnya) menggunakan kekerasan. Kekerasan dipilih sebagai alternatif penyelesai masalah karena terminologi kita tidak membedakan kata-kata kunci seperti “kekuasaan” (power), “kekuatan” (strength), “daya” (force), “otoritas” (authority), dan terakhir “kekerasan” (violence)-yang kesemuanya merujuk pada fenomenafenomena yang khas dan berbeda dan nyaris tidak akan ada kecuali istilah-istilah tersebut ada. (Arendt, 2003:39). Sehingga pemberdayaan kekuatan seringkali dipahami sebagai upaya kekerasan. Begitu pula pemaksimalan sebuah daya yang dimiliki kelompok, juga ditafsirkan sama. Secara fenomenologis, kekerasan dekat dengan kekuatan, karena alat-alat kekerasannya, seperti semua alat yang lain, dimaksudkan dan digunakan untuk melipatgandakan kekuatan alamiahnya hingga, pada tahapan akhir perkembangannya, alat-alat itu dapat menggantikannya. Kekerasan (violence) oleh Arendt (2003: 42-43) sebenarnya dapat dibedakan oleh karakter instrumentalnya (alat-alatnya). Kekerasan oleh anak muda sering dianggap sebagai trigger supaya kelompok yang dituju mau mendengar dan kemudian berubah pikiran hingga sikap seperti yang dikehendaki. Sumber: www.hukumonline.com Kekerasan dilakukan anak muda tidak melulu melalui aktivitas fisik seperti yang tergambar di atas. Kekerasan dilakukan pula oleh anak muda melalui dunia maya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis sebelumnya, ditemukan bahwa terdapat kekerasan dalam bentuk verbal dan simbolik terjadi di aktivitas dunia maya. Mereka menggunakan kata-kata yang tidak patut, kalimatkalimat satir ekstrim yang dikuatkan dengan tanda baca penegas, dlsb. Selain anarkis, label apolitis sering pula tertancap pada anak muda. Anak muda termasuk ke dalam kelompok masyarakat yang berkontribusi besar terhadap hasil pemilihan umum (pemilu). Jumlah anak muda yang memiliki hak pilih di Indonesia dalam pemilu 2014 sebanyak 30 persen dari total jumlah pemilih. Rentang usia anak muda menurut KPU berada di antara usia 17 hingga 30 tahun. Dalam rentang tersebut pemilih pemula masuk di dalamnya. Sikap apolitis bukan hanya di Indonesia. Dari data yang diambil dari merdeka.com ditemukan fakta bahwa negara-negara lain seperti Thailand, Lithuania, Nigeria, Haiti, dan Gambia merupakan negara-negara yang tinggi angka golputnya. Thailand adalah negara paling rendah tingkat partisipasi warganya dalam pemilihan umum di benua Asia. Data yang diperoleh menunjukkan hanya 43 juta atau sekitar 46,79 persen pemilih dari total 67 juta warga yang menggunakan hak suaranya. Lithuania pun demikian, dalam pemilu 2012 hanya 35,91 persen warganya yang berpartisipasi dalam pemilu. Selain Eropa Timur, Haiti di Amerika Utara juga mencatat rendahnya angka keikutsertaan warga dalam pemilu. Hanya 28,31 persen dari 3,5juta masyarakat menggunakan hak pilih mereka dalam pemilu 2006. Sementara di Nigeria, pemillih terdaftar kurang dari separuh total penduduk, 155,2 juta jiwa. Hanya 28,9 persen yang berminat menggunakan hak pilihnya. Dan tahun 2012 di Afrika tepatnya di Gambia hanya 19,44 persen saja warga yang mencoblos. Ͷͺ Selain di negara-negara tersebut, Indonesia juga memiliki kecenderungan angka golput yang tinggi. Sumbangan besar bagi angka golput ada di kalangan anak muda terutama pemilih pemula yang mencapai 40 persen dari total jumlah anak muda. Pemilih pemula merupakan sebuah konsep bagi seorang, berumur dari 17 hingga 21 tahun yang baru mengikuti kegiatan politik. Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada November 2009 melalui wawancara telepon dengan pemilih pemula terungkap bahwa mayoritas (86,4 persen) menyatakan akan menggunakan hak suara dalam pemilu. Kondisi tersebut lebih baik daripada antusiasme kelompok usia 22-29 tahun dan 30-40 tahun yang tercatat lebih rendah sekitar 5 persen. Dan 79,3 persen bagi kelompok usia 41 tahun ke atas. Dalam jajak pendapat tersebut dipahami bahwa alasan mereka untuk mengikuti bermula dari anggapan bahwa keikutsertaan mereka dalam pemilu akan menentukan masa depan negara. Namun fenomena baru muncul pada Pemilu tahun 2014. Data KPU menunjukkan adanya perubahan jumlah pemilih (pemula) yang meningkat dibanding pemilu tahun 2009. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Hasil rekapitulasi KPU pilpres 2009 mencatat jumlah pemilih yang golput sebanyak 49.212.158 orang atau 27,77 persen. Sementara jumlah pemilih yang menggunakan haknya dalam pilpres 2009 tercatat 127.999.965 orang atau setara dengan 72,24 persen. Dibanding tahun 2009, pemilu tahun 2014 mencatat jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya sebanyak 78,6 persen.Fenomena naiknya angka partisipasi masyarakat khususnya anak muda dalam pemilu 2014 mengundang berbagai telaah untuk menjawab mengapa hal tersebut dapat terjadi. Selain itu, aktivitas dunia maya dianggap sebagai fenomena baru yang ikut menggerakkan diskursus-diskursus politik bagi anak muda. Berdasarkan.........pengguna new media sebagian besar adalah anak muda. Berbagai dialog melalui sosial media, blog, dan aktivitas siber lainnya membuat politik menjadi topik yang tak terlalu tabu diperbincangan. Tidak melulu menggunakan literatureliterature kaku untuk menjelaskan isu-isu politik yang tengah bergulir, namun seolah anak-anak muda memiliki gaya dan cara untuk mendiskusikan politik. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk komunikasi dalam budaya digital khususnya anak muda untuk membangun common interest dan mengkomunikasikan gagasangagasan politik mereka melalui new media? Interaksionisme Simbolik dalam Cyberdemocracy Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Interaksionisme Simbolik. Interaksi simbolik dapat dipahami melalui kalimat berikut,“ ….masyarakat meliputi individu-individu yang memiliki kedirian mereka sendiri yaitu menciptakan indikasi bagi diri mereka sendiri, tindakan individu tersebut adalah suatu konstruksi dan bukan sesuatu yang lepas begitu saja, yakni keberadaannya dibangun oleh individu melalui catatan dan penafsiran situasi dimana dia bertindak, sehingga kelompok atau tindakan kolektif itu terdiri dari beberapa susunan tindakan individu yang disebabkan oleh penafsiran individu terhadap setiap tindakan yang lainnya”. (Zetlin, 1995:332). Asumsi dasar dari teori ini bahwa seseorang akan termotivasi untuk bertindak berdasarkan makna yang mereka tandai dari orang lain, sesuatu dan peristiwa-peristiwa. Makna-makna ini diciptakan dari bahasa yang mereka gunakan baik dalam komunikasi dengan yang lain ataupun dengan diri termasuk pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri. Bahasa akan semakin berkembang dalam kepekaan mereka atas diri dan interaksi mereka dengan yang lain dalam sebuah komunitas. Pekanan teori interaksionisme simbolik diambil dari premis dasar yang dibangun oleh Ralp LaRosa dan Donald C Reitzes (1993) dalam West&Turner, (2007:96-98). Mereka mengemukakan asumsi bahwa teori ini merefleksikan tiga sentral tema yaitu: (1) Pentingnya makna bagi tindakan manusia, (2) Pentingnya konsep diri dan (3) Hubungan antara individu dan masyarakat. Teori interaksionisme simbolik membangun gagasan bahwa individu-individu mengkonstruksi makna melalui proses komunikasi karena makna bukanlah hal yang intrinsik untuk segala sesuatu. Seseorang membutuhkan proses intepretatif untuk membuat makna. Proses pemaknaan semakin dalam apabila terdapat pertukaran makna antar individu. Manusia bertindak berdasarkan atas dasar makna yang dipertukarkan dalam kelompok mereka, dengan kata lain makna tercipta dari hasil interaksi antar individu dengan individu yang lain. Premis yang kedua dalam teori ini adalah pentingnya self-concept. Konsep diri cenderung stabil dari persepsi orang-orang atas diri mereka. Seseorang cenderung mengembangkan konsep diri mereka melalui interaksi mereka dengan yang lain. Konsep diri juga membutuhkan motif untuk bertindak dan hal tersebut dapat berkembang lebih melalui interaksi dengan yang lain.Dalam premis yang ketiga dipahami bahwa individu memiliki hubungan yang kuat dengan masyarakat mereka. Ͷͻ Kelompok atau komunitas begitu mempengaruhi seseorang dalam proses pemaknaan dan tindakan mereka secara kultural.Makna didapat dari pertukaran simbol yang dibangun bersama. Pertukaran makna atas simbol-simbol yang tercipta dalam penelitian ini akan ditinjau dalam keberadaannya di dunia siber. Konsep yang kemudian coba diterapkan adalah cyberdermocracy. Hartley (2010:43-45) mengemukakan bahwa cyberdemocracy adalah komunitas virtual yang memiliki aturan sendiri. Demokrasi di ruang maya ini adalah konsep yang melihat internet sebagai terknologi yang memiliki pengaruh transformatif terhadap masyarakat: partisipasi meluaskan demokarasi (aturan dibuat oleh mereka yang terlibat di dalamnya) dalam lingkup sosialnya sendiri atau dalam masyarakat luas. Cyberdemocracy merupakan konsep optimis yang muncul ke permukaan di awal munculnya internet. Hal ini terkait dengan konsep awal ‘demokrasi elektronik’. Pada awal 1970, Robert Paul Wollf menyatakan bahwa ‘tantangan untuk menegakkan demokrasi adalah melulu masalah teknis’ dan mengusulkan bahwa mesin pemilihan suara elektronikk ditempatkan di setiap rumah, melekat pada satu set peralatan televisi (Wollf, 1970:34). Cyberdemocracy sangat menekankan prinsip pada kebebasan mengakses dan bertukar informasi. Sifat keterjangkauan dan partisipatif dari internet bisa membuatnya ruang demokrasi yang ideal dimana orang dapat berkomunikasi dengan bebas dan berpartisipasi dalam forum yang dibentuk untuk pengambilan keputusan kolektif. Nicholas Negopronte pada 1995 menulis akses, mobilitas, dan kemampuan untuk menyebabkan perbedaan adalah yang akan membuat masa depan begitu berbeda dari masa kini’, dan informasi digital akan menjadi kekuatan ‘hebat’ melebihi ekspektasi orang (1995: 231). Cyberdemocracy mendorong adopsi teknologi internet dan mempromosikan etos pertukaran bebas atas informasi yang tampaknya berlanjut paling tidak pada proporsi aktivitas internet. Menurut Mark Poster ketika ditanya mengenai apa pengaruh yang mungkin ditimbulkan oleh internet terhadap masyarakat, budaya dan politik adalah mengajukan pertanyaan yang salah. Internet lebih mirip seperti Jerman (ruang sosial yang mengubah orang menjadi orang Jerman) daripada seperti palu (alat yang memiliki pengaruh besar pada paku, akan tetapi tidak mengubah orang menjadi palu) (Poster, 2000:403). Jika kita memandang internet sebagai sebagai alat untuk memperbaiki efeknya terhadap demokrasi, melihatnya sebagai pemberi pengaruh terhadap permukaan sosial yang ada.Bagi Poster hal ini menyangkal kemungkinan bahwa internet membawa ruang sosial baru dimana identitas dan komunitas bisa hidup; akibatnya mengubah orang menjadi ‘netizens’(warga negara republik internet). Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metodologi deskriptif eksploratif. Penelitian deskriptif menurut Rakhmat (2010: 25) merupakan penelitian yang ditujukan untuk: (1) mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2) mengindentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3) membuat perbandingan dan evaluasi, (4) menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu mendatang. Unit kajian dalam penelitian ini adalah media-media yang diciptakan anak muda khususnya meme-meme politik terkait pemilu 2014. Meme adalah sebuah ide, perilaku, atau gaya yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah kebudayaan. Meme merupakan sebuah unit yang membawa gagasan-gagasan, simbol atau praktekpraktek budaya yang disalurkan dari satu pikiran ke orang lain melalui tulisan, pidato, gerak tubuh, ritual atau fenomena yang lain sesuai dengan tema yang diusung. Kata meme berasal dari kata mimeme yang berasal dari Yunani kuno yang berarti imitasi sesuatu. Meme adalah sebuah karya hasil reproduksi dari sesuatu ke hal lain bahkan bisa menjadi baru. Analisis Meme Politik 2014 Analisis dalam penelitian ini akan dilakukan terhadap beberapa meme politik dalam konteks pemilu 2014. Akun meme memiliki kemampuan difusi pesan yang begitu cepat. Kemampuannya untuk terkoneksi sangat ditunjang sistem jejaring yang menjadi ciri dari network society. Bagi Castells, network society melahirkan dualisme jaring (net) dan diri (self). Masyarakat ditandai melalui keterikatan mereka satu dengan yang lain dalam jaring yang diciptakan. Di sisi lain tatanan ini menghadirkan hasrat seseorang secara individu untuk terjaring, berlomba-lomba mendefinisikan diri bahkan memupuk identitas sebagai wujud eksistensinya. Meme yang pertama adalah meme yang berjudul “Jangan berantem ya pak dhe..” ͷͲ Sumber: ngonoo.com Dalam meme tersebut tampak foto Joko Widodo (Jokowi) hendak berangkulan dengan Aburizal Bakrie (Ical). Diketahui bahwa ketika masa kampanye, masing-masing dari mereka mencalonkan diri sebagai calon presiden. JokoWi kandidat presiden dari PDI Perjuangan sementara Ical adalah kandidat presiden dari Partai Golkar. Isu yang santer terdengar bahwa mereka adalah rival dalam perebutan kursi kepresidenan setelah Ical diberitakan ditolak Megawati untuk berkoalisi, sehingga meme ini dibuat dengan judul “Jangan berantem ya pak dhe..” Foto Jokowi dan Ical tersebut kemudian diedit dengan tambahan kata-kata dari Ical, “Dek..Kamu Jangan Nyapres Dulu.” dan dijawab oleh Jokowi, “Ngapunten Mas, Ini Mandat. Meme tersebut mencoba menyatir kekhawatiran Ical tentang kekuatan Jokowi sebagai pemenang di Pemilu 2014, sedangkan Jokowi diibaratkan sebagai “calon presiden boneka” bentukan Megawati yang digambarkan melalui pilihan kata “mandat”. Perebutan kursi capres dan cawapres 2014 yang panas digambarkan dalam meme tersebut dengan guyonan melalui skrip yang santai. Fenomena tersebut juga ditanggapi akun lain dengan membuat meme yang berjudul “Ayoo tebak siapa Capres Boneka?” Sumber: www.solopos.com Akun meme di atas menggambarkan bagaimana Surya Paloh Ketua Umum Nasdem, Rhoma Irama Capres PKB, Hatta Radjasa dari PAN, Megawati Soekarno Putri PDIP, Prabowo Gerindra, Wiranto Hanura, Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla digambarkan sebagai orang-orang yang diparodikan melalui tebak-tebakan dengan pertanyaan “siapa capres boneka?” Dalam gambar yang dikemas lucu tersebut tampak bahwa Ical adalah aktor yang diserang melalui posenya membawa boneka beruang teddy. Serangan terhadap Ical juga ditunjukkan dari pilihan icon-icon para politisi yang lain melalui tunjukkan tangan mereka yang mengarah ke Ical. Gurauan adalah pendekatan yang digunakan pembuat meme-meme di Indonesia. Hampir sekian banyak meme yang kini dihasilkan menggunakan pendekatan “plesetan” untuk mengekspresikan ide mereka. Selain kejenakaan, anak muda pembuat meme juga seringkali mengkaitkan isu politik dari sudut pandang mereka yang asyik dengan tren budaya popular yang tengah marak. Seperti yang tergambar dari meme berikut. ͷͳ Sumber: www.selasar.com Meme di atas adalah hasil gabungan dari olah wajah dan tubuh capres dan cawapres yang berkompetisi dalam Pemilu 2014. Digambarkan pose mereka layaknya boyband yang tengah digandrungi anak muda sekarang. Mereka menyimbolkan para tokoh ini dengan trend yang sedang bergulir. Pose foto, pilihan kostum, style dalam gambar tersebut, semua adalah gaya-gaya kekinian. Wajah politisi tersebut menjadi semakin akrab dengan anak muda karena mereka mencoba melakukan pendekatan dengan cara yang familiar bagi mereka. Sumber: www.thecrowdvoice.com Meme di atas dibuat dengan cara membandingkan para tokoh dengan gambar kartun Jepang, Doraemon. Doraemon adalah kartun yang bertahan sekian generasi. Tokoh-tokoh politik disandingan dengan tokoh-tokoh kartun yang populer dengan aksi lucunya tersebut. Bukan hanya sekedar disandingan, para politisi cenderung memiliki posisi yang sama dengan tokoh komik itu. Rekayasa lucu juga tampak dalam dua meme di bawah. Pembuat karya ini mencoba menggabungkan karakteristik wajah Prabowo-Hatta dengan Jokowi-JK dalam satu wajah. Alhasil tentu banyak komentar yang muncul terhadap karya ini lebih bersifat gurauan. Selain penggabungan dua paras capres dan cawapres tersebut, akun meme lain malah mencoba “mendandani” Prabowo dan Jokowi bak idol yang tengah marak di Indonesia-girlband korea. Selain mengolah dandanan rambut, pose yang genit, si pembuat meme juga menambah tulisan “Pukul hatimu dengan cinta” dan “Senyumku Blusukan di hatimu”. Pilihan kata-kata begitu disesuaikan dengan isu dan kata kunci yang menjadi penanda para tokoh tersebut. Di pojok bawah si pembuat meme menambahkan kalimat “Kenali oshimu, jangan mudah terprovokasi dan bertengkar sesama fans karena kita bersama untuk yang lebih baik”. Kalimat tersebut adalah ekspresi kekhawatiran si pembuat tatkata benturan antar golongan massa terpecah menjadi dua kubu. Dia menghimbau dengan gaya jenakanya untuk meredakan panasnya suhu politik antar dua koalisi yang sedang riuh. ͷʹ Sumber: arifrebel.wordpress.com Sumber: www.lintas.me Rekayasa meme politik yang muncul dari berbagai akun selama Pemilu 2014 cenderung jenaka. Mereka si pembuat karya digital itu mencoba mengolah dengan kreatifitas sedemikian rupa dengan pendekatan yang membuat si penikmat meme tertawa terpingkal pingkal. Simbol-simbol yang dibangun seolah mereka buat untuk tujuan lucu-lucuan. Walaupun dalam kenyataannya, meme bukan hanya sekedar kontes guyonan di tengah panasnya dunia perpolitikan atau tema yang lain. Namun sepertinya, demikianlah ekpresi yang tergambar di hampir sebagian besar masyarakat kita. Para kreator meme hampir sebagian besar adalah anak muda. Di tengah isu santer yang menyebutkan bahwa anak muda enggan berkutat dengan politik, meme-meme dan karya-karya digital mereka lahir baik dalam bentuk audio, visual atau audio visual seperti video klip, dlsb. Karya tersebut menjadi cara mereka mengekspresikan diri mereka terhadap peristiwa-peristiwa politik yang sedang bergulir. Meme hasil karya mereka mungkin bukan karya satir yang serius menanggapi berbagai kejadian politik yang tengah berlangsung, namun setidaknya ketika mereka berela-rela ria membuat karya dan medesiminasikannya ke publik bolehlah dikatakan bahwa mereka memiliki kepedulian terhadap isu-isu politik dalam hal ini Pemilu. Anak muda mungkin tak terlalu tertarik dengan debat-debat para politisi yang mengkampanyekan dirinya selangit, namun mereka mencoba membuat media mereka sendiri dan mengkomunikasikannya secara viral kepada publik. Kata-kata, kalimat, orasi atau berbagai retorika seolah tidak lagi menjadi pilihan anak muda kini yang hidup sebagai netizen dalam media baru. Mereka tidak lagi menggunakan bahasa verbal dalam mengkomunikasikan maksud mereka terhadap fenomena politik yang ada. Mereka mempunyai cara berkomunikasi sendiri, dengan gambar-gambar, dengan pesan singkat yang menghiasinya, atau dengan ekspresi grafis yang ditambahkan kanan dan kiri menjadi sebuah simbol yang lebih menarik mereka untuk mendiskusikannya. Proses diskursus tersebut yang berkembang dengan cara yang viral dan massif layaknya dunia yang dilipat. Simbol dipertukarkan dalam proses interaksi antar anggota jejaring. Mereka berkomentar, menanggapi isu, tertawa bersama-sama. Mereka secara sukarela menyebarkannya kepada orang-orang yang dianggapanya dekat untuk membangun common sense. Aktivitas mereka ini bukankah aktivitas yang asal-asalan. Lihat saja, dalam meme yang mengambil tokoh utama Farhat Abbas yang diunggah di kaskus dan dipublikasikan juga melalui bangwin.net. Mereka memberi pengantar layaknya cerita. Meme-meme versi Farhat bahkan diberi penghantar cerita: “Keinginan Farhat untuk menjadi ͷ͵ Presiden dirasa cukup menganggu oleh partai-partai politik, karena bisa menurunkan elektabilitas partai manapun yang dikaitkan dengan Farhat, dan celakanya Farhat tidak menyadari itu. Beredar kabar bahwa farhat akan sowan kesemua ketua partai untuk minta dukungan pencalonan dirinya menjadi Presiden. Partai demokrat bertindak cepat, mereka menugaskan Ruhut Sitompul dan Sutan Bathoegana untuk mencegah Farhat merusak citra partai mereka. Cerita yang dibangun melalui gambar-gambar jenaka tersebut berseri hingga 10 meme. Mereka membuat alur cerita yang sangat rapi untuk menggambarkan bagaimana Farhat abbas mendapat penolakan dari berbagai partai seperti PDIP, PBB, Nasdem, Gerindra, Demokrat hingga Presiden Barrack Obama juga diikutsertakan dalam skenario Farhat mencari dukungan. Rekayasa pesan yang dibuat ternyata tidak hanya berkutat pada gambar atau edit foto saja. Si pembuat bahkan membuat skenario cerita yang rapi dalam bentuk pesan verbal dan non verbal. Rekayasa pesan akan membangun realitas politik baru yang mereka sebarkan sebagai reaksi mereka atas isu-isu politik yang ada. Farhat sowan ke PDIP Dst…hingga Pada akhirnya….: ͷͶ Pekerjaan kreatif yang dilakukan anak muda melalui dunia maya dan jejaringnya tersebar dengan cepat. Viralitas memang penanda dalam network society. Simbol-simbol yang diciptakan dengan mudah dan cepat berpindah tangan dari satu orang ke orang lain. Posisi seseorang bisa menjadi komunikan dan kemudian komunikator sekaligus dalam aktivitas cyber. Dalam teori interaksionisme simbolik, ditegaskan bahwa makna, penting bagi tindakan individu. Seorang pembuat meme tentu merasakan bahwa isu politik yang tengah terjadi dalam pergulatan pemilu 2014 adalah hal yang penting. Itulah mengapa dia kemudian menciptakan simbol-simbol politik dengan gaya bahasa mereka. Isu politik adalah hal yang bermakna baginya sehingga dia rela menghabiskan waktu, energi dan daya kreatifnya untuk membuat dan mengkomunikasikan isu politik tersebut dalam bentuk simbol-simbol tertentu. Seseorang tentu akan menghitung secara matematis untuk menyisihkan waktunya apabila dia tidak tertarik terhadap sesuatu. Namun faktanya, si pembuat meme mau melakukannya. Hal yang kemudian patut diperhatikan bahwa ketika meme tersebut kemudian dipublikasikan dan disebarkan melalui jejaring sosial media maka orang yang menerima dan kemudian meneruskannya lagi merasa bahwa isu tersebut tentu menarik dan penting untuk dimengerti orang lain. Pemaknaan atas pentingnya sesuatu itulah yang mendasari mereka mau bertindak dan menyebarkan isu politik dalam bentuk simbol-simbol meme. Anak muda dalam konteks network society lantas saling bertukar makna. Dimulai dari interaksi mereka secara pribadi dengan simbol yang mereka terima, ada sebuah dialog intrapersonal terjadi. Pemaknaan menjadi milik pribadi. Pemaknaan menjadi knowledge dan experience mereka atas isu politik yang ada, hingga hal tersebut membangun identitas dan konsep diri mereka. Dalam hubungan mereka dengan masyarakat yang lain mereka saling menguatkan satu sama lain tentang pemahaman meraka atas isu politik yang berkembang. Dari satu simbol berkembang ke simbol yang lain. Dari satu diskusi ke diskusi yang lain. Dan demikianlah yang mungkin dapat dipahami sebagai kehidupan cyberdemocracy. Kesimpulan Cyberdemocracy bagi anak muda bukanlah konsep menakutkan dan tabu ketika memperbincangankan isu-isu negara. Cyberdemocracy tidak lagi menjadi ruang formal yang serius mendiskusikan isu politik yang berkembang, namun anak muda memiliki gaya sendiri. Mungkin bagi mereka, politik identik dengan gurauan, bahan bercandaan atau sebuah tema yang remeh. Namun apa salahnya jika mungkin demikianlah cara mereka berdiskusi. Demikianlah cara mereka mengekspresikan common sense mereka. Dengan simbol, dengan berjejaring, mereka mencoba memaknai realitas yang ada. Mungkin kita perlu memikirkan kembali, apakah anak muda kini apolitis? Atau justru mencoba memahami bahwa mereka sebenarnya juga bagian dari masyarakat yang peduli dengan urusan bangsa, ͷͷ namun mungkin dengan cara mereka, dengan gaya mereka- kreasi simbol-simbol atau tanda-tanda khas mereka. Daftar Pustaka Arent, Hannah. 2003.Teori Kekerasan, Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Castells, Manuel. 2000. The Rise of Network Society. Oxford Wiley-Blackwell. Hartley, John.2010.Communication, Cultural And MediaStudies: Konsep Kunci.Yogyakarta: Jalasutra. Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. West, Richard &Turner, Lynn H. 2007. Introduction Communication Theory. Analisys and Application 3th Ed. New York: McGraw-Hill. Zeitlin, Irving M. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/05/10/074125/2578828/1562/dibanding-tahun-2009-angkagolput-pemilu-2014-lebih-rendah?993305. ngonoo.com www.solopos.com www.selasar.com www.thecrowdvoice.com www.thecrowdvoice.com arifrebel.wordpress.com www.lintas.me bangwin.net ͷ