Indonesia Belum Kondusif Bagi Pengembangan UMKM Dikirim oleh humas3 pada 28 Juni 2011 | Komentar : 0 | Dilihat : 4705 Indonesia belum kondusif bagi pengembangan UMKM tersirat dalam konferensi nasional kewirausahaan yang diselenggarakan FE-UB Direktur Pusat Pendidikan dan Studi ke-Bank Sentral-an Bank Indonesia (BI), Dr. Wijoyo Santoso menyampaikan bahwa pihaknya memiliki gagasan menurunkan suku bunga untuk mendorong sektor riil melalui entrepreneurship. "Orang miskin di Indonesia justru dikenai suku bunga lebih tinggi sehingga BI memiliki tantangan untuk menciptakan suku bunga yang lebih kompetitif guna mendorong sektor riil", ungkapnya mensitir pernyataan Gubernur Bank Indonesia, Dr. Darmin Nasution. Dihadapan peserta Master and Doctorate Journey in Management Science (MDJMS), Selasa (28/6) ia menyampaikan bahwa hal tersebut merupakan implikasi belum efisiennya perbankan di Indonesia. Diantara indikator hal tersebut adalah selisih deposit dan kredit 6-7% serta suku bunga consumer yang bisa mencapai 16-17%. "Di tingkat Bank Perkreditan Rakyat (BPR), lembaga keuangan dan bank keliling, tingkat suku bunga ini bisa lebih tinggi lagi hingga 20-30 %", kata Wijoyo. Terang saja hal ini semakin membuat Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) semakin terpuruk padahal disisi lain mereka memiliki peran dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan berkelanjutan. Begi Indonesia, lanjut Wijoyo, kewirausahaan sangat penting mengingat permasalahan dan peluang yang ada seperti tingkat pengangguran yang masih tinggi, potensi industri kreatif yang cukup besar, serta jumlah wirausahawan yang lebih rendah, sekitar 0.18 % dari total jumlah penduduk dibanding Singapura yang telah mencapai 4%. Untuk menumbuhkan wirausahawan baru, berbagai upaya telah ditempuh diantaranya pemotongan rantai produksi yang diinisiasi oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. "Inisiatif ini merupakan salah satu upaya Kadin untuk menumbuhkan sejuta wirausahawan pada 2012", kata dia. Dengan upaya pemotongan rantai produksi tersebut, maka perusahaan dapat langsung menjual ke UMKM, dan dari UMKM dapat langsung ke konsumen. "Transaksi antara UMKM dan konsumen dapat dibiayai dengan kredit", katanya. Selain itu, BI juga akan menstimulasi melalui perannya dalam menciptakan kondisi makro yang lebih kondusif disamping penguatan kelembagaan UMKM. Beberapa kondisi makro tersebut meliputi tingkat inflasi dibawah 5%, suku bunga rendah serta nilai tukar mata uang yang stabil. Untuk melaksanakan peran tersebut, BI telah melakukan terobosan kebijakan melalui perubahan paradigma. Paradigma lama sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 13 Tahun 1968 dimana BI memiliki peran dalam pembangunan (development role) telah diubah menjadi peran promosi (promotional role) sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 3 Tahun 2003. Dalam paradigma lama, instrumen yang dimiliki BI adalah penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), kuota Kredit Usaha Kecil (KUK) serta kebijakan kredit sektor riil. "Melalui paradigma ini BI dapat secara langsung mempengaruhi kredit namun menimbulkan masalah moral hazard", kata Wijoyo. Dengan paradigma baru dalam promotional role, maka BI sangat memperhatikan aspek supply and demand dalam mendukung UMKM. Pada supply side, diantara hal yang dilakukan adalah pengaturan dan penguatan kelembagaan sementara pada demand side adalah dengan penelitian, pelatihan dan penyediaan informasi. "Padasupply side kami memperhatikan betul rantai produksi dan distribusi serta price maker. Tercatat lebih dari 700 barang di Indonesia dihitung sebagai komoditas inflasi", katanya. Termasuk dalam komoditas inflasi tersebut adalah beras dan cabai. "Harga cabai kemarin melonjak hingga Rp. 120 ribu per kilogram", ia mereview. Meskipun harga komoditas melonjak tetapi kesejahteraan petani tidak meningkat sama sekali. Posisi tawar petani sangat rendah", tambahnya. Karena itu ia menekankan pentingnya penguatan kelompok tani untuk meningkatkan posisi tawarnya. Terkait hal tersebut, BI telah melakukan pengembangan klaster diantaranya klaster kacang yang dikembangkan di Semarang dengan binaan PT. Garudafood. Pembicara lain, Dr. Peter Charles Saerang, generasi ketiga penerus PT. Jamu Nyonya Meneer Semarang menyampaikan bahwa suku bunga yang tinggi membuat investor lari ke sektor keuangan (perbankan) dan enggan menyentuh sektor riil. Dengan pengalamannya berjuang mempertahankan perusahaan keluarga yang berdiri sejak 1919 ini, Charles memaparkan sulitnya memulai dan mengembangkan usaha di Indonesia. Diantara yang menjadi hambatan serius adalah aturan pemerintah. "Banyak regulasi yang dibuat pemerintah malah membuat usaha sulit berkembang", keluhnya. Terkait hal ini ia menyampaikan bahwa pada 2010 lalu, sebanyak 300 perusahaan jamu tutup karena harus mengikuti aturan pemerintah. "Pemerintah mengatur sampai hal terkecil seperti iklan dan nama produk", terangnya. Karena itu, secara khusus ia menyatakan, sebaiknya pemerintah berperan sebagai fasilitator dan bukan regulator semata. "Bina dong, jangan binasakan", katanya dengan nada satire. Di negara tetangga yakni Thailand, industri herbal menurutnya berkembang pesat dengan dukungan perguruan tinggi. tercatat 21 perguruan tinggi di Thailand memiliki spesialisasi jamu/herbal, sementara Indonesia baru tiga saja yakni Universitas Indonesia (UI), Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Peran penting UMKM juga ditandaskan pembicara ketiga, pengusaha jasa travel Adhitour, Dr. Adhi Firdaus. "Peran UMKM dalam mendorong pertumbuhan ekonomi telah terbukti nyata saat Indonesia dilanda krisis moneter di pertengahan tahun 1997", katanya. [nok] Artikel terkait Kuliah Tamu IDB : Keruntuhan Sistem Kapitalisme (Barat) dan Apakah Islam Dapat Memimpin Ekonomi Dunia Tiga Dosen Terbaik Jurusan Akuntansi FEB UB Rombongan SMAN 2 Bondowoso di UB Transformasi FE Menjadi FEB Dibahas dalam Pertemuan Dekan Festival "Sejuta Mimpi Anak Negeri" Oleh Komunitas Kadiksuh