B A B III KONDISI GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

advertisement
BAB III GEOLOGI REGIONAL
B A B III
KONDISI GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
3.1 Geologi Regional
3.1.1 Fisiografi
Secara umum fisiografi regional Jawa Tengah oleh van Bemmelen (1949) dibagi
menjadi enam zona fisiografi (Gambar 3.1), yang diuraikan sebagai berikut :
• Dataran Aluvial Jawa Utara
• Gunungapi Kuarter
• Antiklinorium Bogor, Rangkaian Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan
Kendeng
• Zona Depresi Jawa Tengah
• Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan
• Pegunungan Selatan Jawa
Gambar 3.1 Peta fisiografi Jawa Tengah (van Bemmelen, 1949)
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan
Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
21
BAB III GEOLOGI REGIONAL
Berdasarkan peta fisiografi Jawa Tengah, daerah Gunungkidul termasuk dalam zona
Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian paling barat. Rangkaian pegunungan ini
memiliki poros yang relatif berarah barat – timur, yang sejajar dengan Pantai Selatan
Pulau Jawa. Pegunungan Selatan Jawa Tengah dapat dibagi lagi menjadi tiga
subzona (Gambar 3.2), yakni :
• Subzona Pegunungan Selatan bagian utara
Daerah ini terdiri dari Rangkaian Punggungan Baturagung (Baturagung Range),
Masif Panggung (Panggung Massive) dan Punggungan Plopoh (Plopoh Range).
Secara umum, daerah Pegunungan Selatan bagian utara merupakan perbukitan
yang memiliki relief sedang hingga kuat. Perbukitan tersebut disusun oleh batuan
beku vulkanik yang memiliki puncak-puncak pada ketinggian mulai dari 600 –
830 meter di atas permukaan laut. Pegunungan ini secara struktural merupakan
homoklin dengan kemiringan relatif ke arah selatan. Di daerah ini terdapat
beberapa puncak gunung, antara lain Gunung Blencong dan Gunung Nglanggran.
• Subzona Plato Wonosari
Daerah ini menempati bagian tengah Pegunungan Selatan dan mencakup kota
Wonosari. Morfologi Plato Wonosari relatif datar dengan elevasi berkisar antara
120 – 210 meter di atas permukaan laut. Struktur geologi dari plato ini
merupakan sinklin. Litologi penyusun dari subzona ini terdiri dari batugamping
Formasi Wonosari dan napal pasiran Formasi Kepek.
• Subzona Gunungsewu
Daerah ini terletak di bagian selatan Pegunungan Selatan, berupa rangkaian
perbukitan karst berbentuk kerucut dengan arah poros relatif barat – timur. Bukitbukit tersebut memiliki ketinggian antara 25 – 150 meter di atas permukaan laut
dengan diameter antara 100 – 300 meter. Ditinjau dari struktur geologi, subzona
ini merupakan homoklin yang memiliki kemiringan umum ke arah selatan.
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan
Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
22
BAB III GEOLOGI REGIONAL
Gambar 3.2 Peta pembagian fisiografi Pegungan Selatan Jawa Timur bagian
barat (van Bemmelen, 1949 op cit. Kusumayudha, 2005)
Di daerah Gunungkidul terdapat pola pelurusan sungai bararah timurlaut – baratdaya
(Bengawan Solo, Kali Opak, Kali Dengkeng), berarah baratlaut – tenggara
(Bengawan Solo) dan yang berarah timur – barat (Kali Oyo, Kali Dengkeng).
3.1.2 Stratigrafi
Stratigrafi daerah Gunungkidul terdiri dari beberapa formasi yakni Formasi Kebo
Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu, Formasi Oyo,
Formasi Wonosari, Formasi Kepek, Endapan Gunungapi Merapi Muda dan Aluvial
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan
Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
23
BAB III GEOLOGI REGIONAL
(Gambar 3.3). Perincian urut-urutan stratigrafi dari tua ke muda dan variasi
litologinya (Gambar 3.4) adalah sebagai berikut :
• Formasi Kebo Butak (Tomk)
Formasi Kebo Butak merupakan formasi tertua yang tersingkap di Kabupaten
Gunungkidul. Litologi di bagian bawah dari satuan ini terdiri dari batupasir
berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat. Sedangkan
litologi di bagian atas dari satuan ini berupa perselingan antara batupasir dan
batulempung dengan sisipan tipis tuf. Setempat di bagian tengahnya dijumpai
retas lempeng andesit – basalt dan di bagian atas satuan ini dijumpai breksi
andesit.
Pada Formasi Kebo Butak, Sumarso dan Ismoyowati (1975) menemukan fosil
Globorotalia
opima
Globorotalia
siakensis
(BOLLI),
(LE
Globorotalia
ROY),
angulisuturalis
Globigerina
binaiensis
(BOLLI),
KOCH,
Globigerinoides primordius BLOW & BANNER, dan Globorotalia trilobus
REUSS. Kumpulan fosil tersebut menunjukkan umur Oligosen Akhir – Miosen
Awal.
Keterdapatan breksi serta perlapisan batupasir dan batulanau mengindikasikan
bahwa lingkungan pengendapan formasi ini adalah laut terbuka yang dipengaruhi
oleh sistem arus turbidit. Satuan ini tersebar di sebelah utara Pegunungan
Baturagung (tersebar di daerah Gunung Butak, Gunung Jogotamu, Gunung
Mintorogo). Satuan ini memiliki ketebalan lebih dari 650 m. Bagian bawah
Formasi Kebo Butak disebut Kebo bed yang berlokasi tipe di Gunung Kebo
sedangkan bagian atasnya disebut Butak bed yang berlokasi tipe di Gunung
Butak (Bothe, 1929 op cit. Surono dkk., 1992). Kedua gunung tersebut terletak di
Pegunungan Baturagung.
• Formasi Semilir (Tms)
Formasi Semilir menindih selaras Formasi Kebo Butak. Litologi penyusun
formasi ini adalah tuf, breksi batuapung dasitan, batupasir tufan dan serpih.
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan
Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
24
BAB III GEOLOGI REGIONAL
Bagian bawah satuan ini berlapis baik. Struktur sedimen yang dijumpai berupa
laminasi dan silang siur. Di bagian tengah satuan ini dijumpai lignit yang
berasosiasi dengan batupasir tufan gampingan dan fragmen koral pada breksi
gunungapi. Di bagian atas satuan ini ditemukan batulempung dan serpih dengan
ketebalan lapisan mencapai 15 cm dan berstruktur longsoran bawah laut. Pada
umumnya formasi ini miskin akan fosil. Namun ternyata dalam Formasi Semilir
ditemukan fosil Globigerina tripartita KOCH pada bagian bawah formasi dan
Orbulina sp. pada bagian atasnya (Sumarso dan Ismoyowati, 1975). Sedangkan
pada bagian tengah formasi ini ditemukan Globigerinoides primordius BLOW &
BANNER, Globoquadrina altispira (CUSHMAN & JARVIS), Globigerina
praebulloides BLOW dan Globorotalia siakensis (LE ROY). Berdasarkan
kumpulan fosil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa umur dari formasi ini
adalah Miosen Awal – awal Miosen Tengah.
Formasi ini merupakan endapan turbidit yang terbentuk di daerah kipas tengah
bersaluran dari sistem kipas bawah laut, tepatnya di daerah upper fan bagian
lower. Satuan ini menempati bagian baratlaut daerah Gunungkidul. Tebal satuan
ini mencapai 1200 meter.
• Formasi Nglanggran (Tmng)
Formasi Nglanggran berhubungan menjemari dengan Formasi Semilir dan
tertindih tak selaras oleh Formasi Oyo. Bagian atas formasi ini berhubungan
menjemari dengan Formasi Sambipitu. Litologi penyusun formasi ini terdiri dari
breksi gunungapi, aglomerat, tuf dan lava andesit-basalt. Breksi gunungapi dan
aglomerat yang mendominasi Formasi Nglanggran umumnya tidak berlapis.
Fragmen dari breksi gunungapi terdiri dari andesit dan sedikit basalt, berukuran 2
cm – 50 cm. Di bagian tengah Formasi Nglanggran, pada breksi gunungapi ini
ditemukan batugamping koral yang membentuk lensa atau berupa fragmen.
Setempat satuan ini disisipi batupasir gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis
baik. Pada umumnya Formasi Nglanggran miskin akan fosil. Namun pada sisipan
batulempung ditemukan foraminifera antara lain Globigerina praebulloides
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan
Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
25
BAB III GEOLOGI REGIONAL
BLOW, Globigerinoides primordius BLOW & BANNER, Globigerinoides
sacculifer (BRADY), Globoquadrina dehiscens (CHAPMANN, PARR &
COLLINS) yang menunjukkan umur Miosen Awal (N5 – N6) (Sudarminto, 1982
op cit. Surono dkk., 1992). Pada sisipan batupasir ditemukan foraminifera yaitu
Globorotalia praeminardi CUSHMAN & ELLISOR, Globorotalia archeominardi
BOLLI, Orbulina suturalis BRONNIMANN, Orbulina universa D’ORBIGNY,
Globigerinoides trilobus (REUSS) yang menunjukkan umur Miosen Tengah
bagian bawah (Saleh, 1977 op cit. Surono dkk., 1992). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa umur dari formasi ini adalah Miosen Awal – Miosen Tengah
bagian bawah.
Struktur sedimen yang dijumpai pada satuan ini berupa perarian sejajar,
perlapisan bersusun dan load cast yang menunjukkan adanya aliran debris
(debris flow). Pada bagian atas dari formasi ini ditemukan permukaan erosi yang
menunjukkan adanya pengaruh arus kuat pada saat pengendapan. Adanya
batugamping koral menunjukkan lingkungan laut, sehingga secara umum,
lingkungan pengendapan Formasi Nglanggran adalah laut yang disertai longsoran
bawah laut.
Formasi Nglanggran terutama tersebar di bagian baratlaut daerah Gunungkidul.
Ketebalan formasi ini mencapai 750 meter.
• Formasi Sambipitu (Tmss)
Formasi Sambipitu berhubungan menjemari dengan bagian atas Formasi Semilir
dan Formasi Nglanggran serta tertindih tak selaras oleh Formasi Oyo. Litologi
penyusun formasi ini adalah batupasir dan batulempung. Bagian bawah Formasi
Sambipitu terdiri dari batupasir kasar dan batupasir halus yang setempat diselingi
oleh serpih dan batulanau gampingan. Setempat dijumpai lensa breksi andesit dan
klastika lempung. Struktur sedimen yang ditemukan berupa perlapisan bersusun,
laminasi sejajar dan gelembur gelombang (current ripple). Struktur sedimen
tersebut menunjukkan mekanisme arus turbid. Bagian atas formasi ini terdiri dari
batupasir yang berlapis baik dan bersisipan dengan serpih, batulempung dan
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan
Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
26
BAB III GEOLOGI REGIONAL
batulanau. Struktur sedimen pada bagian ini berupa perlapisan bersusun, laminasi
sejajar, silang siur, gelembur gelombang (current ripple), flame structure dan
jejak binatang. Struktur sedimen tersebut juga menunjukkan adanya longsoran
bawah laut yang berkembang menjadi arus turbid.
Fosil yang ditemukan pada formasi ini antara lain Lepidocyclina verbeeki
NEWTON & HOLLAND, Lepidocyclina ferreroi PROVALE, Lepidocyclina
sumatrensis
BRADY,
polimorpha
RUTTEN,
Cycloclypeus
Miogypsina
communis
MARTIN,
thecideaeformis
Miogypsina
RUTTEN
yang
menunjukkan umur Miosen Tengah (Bothe, 1929 op cit. Surono dkk., 1992).
Di bagian bawah Formasi Sambipitu ditemukan fosil bentos antara lain Cibicides
sp., Eponides sp., Bulimina sp., Robulus sp., Pseudoclavulina sp., Bolivina sp.,
Nonion sp. dan Uvigerina sp.. Kumpulan fosil tersebut menunjukkan adanya
percampuran antara endapan laut dangkal dan laut dalam. Bagian atas Formasi
Sambipitu mengandung fosil Cibicides sp., Eponides sp., Bulimina sp., Robulus
sp., Nonion sp., Nodosaria sp., Dentalina sp., Entosolenia sp. dan
Polymorphinoides sp.. Kumpulan fosil tersebut juga menunjukkan adanya
percampuran antara endapan laut dangkal dan laut dalam. Berdasarkan fosil,
himpunan batuan dan struktur sedimennya, maka dapat disimpulkan bahwa
bagian bawah Formasi Sambipitu terendapkan dalam submarine canyon sebagai
endapan proximal turbidite. Sedangkan bagian atas Formasi Sambipitu
terendapakan dalam submarine fan sebagai endapan distal turbidite (Datun, 1977
op cit. Surono dkk., 1992). Tebal satuan ini kurang lebih 230 meter dan semakin
menipis ke arah timur.
• Formasi Oyo (Tmo)
Formasi Oyo menindih tidak selaras di atas Formasi Semilir, Formasi
Nglanggran dan Formasi Sambipitu. Litologi penyusun formasi ini terdiri dari
napal tufan, tuf andesitan dan batugamping konglomeratan.
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan
Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
27
BAB III GEOLOGI REGIONAL
Fosil yang dapat ditemukan pada formasi ini diantaranya Cycloclypeus annulatus
MARTIN, Lepidocyclina rutteni V.D VLERK, Lepidocyclina ferreroi PROVALE,
Lepidocyclina inflate PROVALE, Miogypsina polymorpha RUTTEN, Miogypsina
thecideaeformis RUTTEN, yang menunjukkan umur Miosen Tengah – Miosen
Akhir (Bothe, 1929 op cit. Surono dkk., 1992). Suyoto dan Santoso (1986)
menentukan umur satuan ini di daerah Manyaran dengan hasil Miosen Tengah.
Dari keterdapatan batugamping serta tuf dalam formasi ini, maka dapat
disimpulkan lingkungan pengendapan Formasi Oyo adalah laut dangkal (neritik)
yang dipengaruhi oleh kegiatan gunungapi. Satuan ini tersingkap di bagian utara
daerah Gunungkidul dengan ketebalan mencapai 350 meter.
• Formasi Wonosari (Tmwl)
Bagian bawah Formasi Wonosari berhubungan menjemari dengan bagian atas
Formasi Oyo. Litologi penyusun formasi ini adalah batugamping terumbu,
kalkarenit dan kalkarenit tufan. Di bagian selatan daerah Gunungkidul,
batugamping terumbu yang masif terdapat pada suatu topografi karst. Di daerah
dekat hulu Kali Urang, batugamping berfosil yang keras berwarna abu-abu muda
dengan struktur bioherma berselang-seling dengan kalkarenit berwarna abu-abu
muda, mengandung struktur silang siur. Semakin ke utara, sifat tufan semakin
besar.
Fosil yang ditemukan dekat dengan alas formasi ini terdiri dari Orbulina universa
D’ORBIGNY, Lepidocyclina sp., Globorotalia menardii D’ORBIGNY dan
Globigerina venezuelana HEDBERG. Kumpulan fosil tersebut menunjukkan
kisaran umur antara Miosen Tengah sampai Miosen Akhir (Kadar, 1974 op cit.
Rahardjo dkk., 1995). Sedangkan fosil yang ditemukan dekat dengan bagian atas
formasi ini terdiri dari Globigerinoides sacculifer BRADY, Globigerinoides
obliqus BOLLI, Globoquadrina altispira (CUSHMAN & JARVIS), Orbulina
universa
D’ORBIGNY,
Sphaeoroidinella
seminulina
(SCHWAGER),
Globigerina venezuelana HEDBERG, yang menunjukkan umur Miosen Akhir
sampai Pliosen Awal (Kadar, 1974 op cit. Rahardjo dkk., 1995). Berdasarkan
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan
Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
28
BAB III GEOLOGI REGIONAL
atas kumpulan dua fosil tersebut, maka umur Formasi Wonosari berkisar antara
Miosen Tengah – Pliosen Awal.
Ketebalan formasi ini diperkirakan antara 300 meter - 800 meter. Keterdapatan
batugamping terumbu serta kalkarenit pada formasi ini menunjukkan lingkungan
pengendapan laut dangkal (neritik). Satuan ini melampar luas di sebelah selatan
daerah Gunungkidul.
• Formasi Kepek (Tmpk)
Formasi Kepek berhubungan menjemari dengan bagian atas Formasi Wonosari.
Litologi penyusun formasi ini terdiri dari napal dan batugamping berlapis.
Formasi Kepek kaya akan fosil foraminifera kecil. Fosil yang ditemukan antara
lain Globorotalia pelsiotumida BLOW & BANNER, Globorotalia merotumida,
Globoquadrina dehiscens (CHAPMANN, PARR & COLLINS), Amphystegina
sp., Textularia sp., Cibicides sp., Cassidulina sp. dan Virgulina sp.. Berdasarkan
kandungan fosil tersebut, maka umur Formasi Kepek berkisar antara Miosen
Akhir sampai Pliosen dan terendapkan dalam lingkungan laut dangkal (neritik)
(Samodra, 1984 op cit. Surono dkk., 1992). Tebal satuan ini diduga kurang lebih
200 meter.
• Endapan Gunungapi Merapi (Qvm)
Endapan ini terletak tidak selaras di atas Formasi Kepek dan Formasi Wonosari.
Satuan ini didominasi oleh tuf, abu, breksi, aglomerat dan leleran lava. Umumnya
endapan ini berupa endapan lahar dari Gunung Merapi yang masih aktif hingga
saat ini. Tidak ditemukan fosil dalam satuan ini. Kegiatan gunungapi ini diduga
dimulai sejak Plistosen Akhir. Satuan ini melampar di bagian barat daerah
Gunungkidul.
• Aluvial (Qa)
Satuan ini menindih tidak selaras Formasi Kepek dan Formasi Wonosari. Satuan
ini didominasi oleh kerakal, pasir, lanau dan lempung.
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan
Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
29
BAB III GEOLOGI REGIONAL
Gambar 3.3 Peta geologi daerah Gunungkidul (Surono dkk., 1992)
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan
Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
30
BAB III GEOLOGI REGIONAL
Gambar 3.4 Kolom stratigrafi daerah Gunungkidul (Surono dkk., 1992)
3.1.3 Struktur Geologi
Menurut Pulunggono dan Martodjojo (1994), pada dasarnya di Pulau Jawa terdapat 3
arah kelurusan struktur yang dominan (Gambar 3.5) :
• Arah Timurlaut – Baratdaya
Selanjutnya arah ini dikenal dengan pola Meratus. Arah ini diwakili oleh sesar
Cimandiri di Jawa Barat yang dapat diikuti ke arah timurlaut sampai batas timur
Cekungan Zaitun dan Cekungan Billiton. Di Jawa Timur, arah Meratus
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan
Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
31
BAB III GEOLOGI REGIONAL
menunjukkan arah yang dominan di kawasan lepas pantai utaranya, seperti
ditunjukkan oleh sesar pembatas cekungan Pati, Florence timur, Central Deep,
Tuban, serta tinggian–tinggian Bawean, dan Karimunjawa. Sesar–sesar pola
Meratus diketahui berumur Kapur – Paleosen. Di Pulau Jawa, sesar–sesar ini
diaktifkan kembali pada umur–umur yang lebih muda.
• Arah Utara – Selatan
Pola ini dikenal dengan Pola Sunda, umumnya terdapat di bagian barat wilayah
Jawa Barat. Arah ini diwakili oleh sesar–sesar yang membatasi Cekungan Asri,
Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna. Gerak pola Sunda ini umumnya
regangan. Sesar–sesar yang berarah utara – selatan ditemukan di Cekungan
Sunda. Dari data seismik di lepas pantai Jawa Barat, tepatnya di cekungan
Zaitun, menunjukkan bahwa pola Sunda ini mengaktifkan kembali pola Meratus
pada umur Eosen akhir – Oligosen akhir. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa pola Sunda berumur lebih muda bila dibandingkan dengan pola Meratus.
• Arah Barat – Timur
Arah ini dominan di daratan Pulau Jawa dan selanjutnya dinamakan Pola Jawa.
Di Jawa Barat, pola Jawa diwakili oleh sesar–sesar naik di dalam Zona Bogor. Di
Jawa Tengah, hampir semua sesar–sesar di jalur Serayu Utara dan Serayu Selatan
memiliki arah hampir barat – timur. Di Jawa Timur, pola Pegunungan Kendeng
adalah yang paling khas mewakili pola Jawa. Pola ini umumnya diwakili oleh
sesar–sesar naik yang beranjak ke utara atau timur laut.
Pola Jawa yang berarah barat – timur merupakan pola termuda, yang mengaktifkan
kembali seluruh pola yang ada sebelumnya. Data seismik di Jawa Utara,
menunjukkan bahwa sesar naik yang memiliki arah barat – timur ini masih aktif
sampai sekarang.
Adanya sesar–sesar yang berpola regangan dan sesar–sesar naik, umumnya tergolong
pola sesar yang lebih muda, menunjukkan adanya tatanan tektonik yang mengalami
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan
Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
32
BAB III GEOLOGI REGIONAL
perubahan. Dalam hal ini dari gaya yang bersifat regangan menjadi gaya kompresif.
Gambar 3.5 Pola struktur Pulau Jawa (Pulunggono dan Martodjojo, 1994)
Arah kelurusan struktur yang dominan di daerah Gunungkidul adalah timurlaut baratdaya yang merupakan kelurusan yang mengikuti pola Meratus dan kelurusan
berarah barat – timur yang mengikuti pola Jawa.
Berdasarkan pola struktur geologi, yang dapat dilihat pada peta geologi (Lihat
Gambar 3.3), dapat diketahui bahwa arah umum jurus sesar mendatar di Daerah
Gunungkidul adalah baratlaut – tenggara dan timurlaut – baratdaya.
Dari pola sesar-sesar mendatar yang relatif berarah baratlaut – tenggara dan timurlaut
– baratdaya serta sumbu perlipatan yang yang relatif berarah barat–timur, maka dapat
diketahui bahwa deformasi di daerah Gunungkidul dipengaruhi oleh gaya utara –
selatan yang terjadi pada kala Miosen Tengah – Pleistosen.
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan
Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
33
BAB III GEOLOGI REGIONAL
Pembentukan kompleks Pegunungan Selatan yang membentuk sebuah bongkahan
raksasa yang miring ke selatan dipengaruhi oleh proses pengangkatan geantiklin
Jawa. Pada kala Pleistosen Akhir, bongkah Pegunungan Selatan yang miring ke
selatan mengalami amblesan lagi. Bongkah yang ambles ke utara tersebut selain
mengalasi Cekungan Wonosari, juga menekan batuan Miosen yang tersingkap di
utara Cekungan Wonosari sehingga batuan terlipat, terbentuklah Antiklin
Baturagung, yang berkembang mulai dari Panggung Massive.
Di Plato Wonosari terdapat sinklin dengan arah sumbu N 750 E–N 2550 E (timurlaut
– baratdaya) dengan kemiringan perlapisan pada sayap-sayapnya < 100
(Kusumayudha, 2005).
Di daerah Gunungsewu, pengangkatan tersebut tidak disertai dengan perlipatan.
Kemiringan perlapisan di daerah ini berkisar antara 50 – 150. Kemiringan perlapisan
yang relatif kecil, khususnya pada batugamping, diperkirakan merupakan kemiringan
awal atau initial dip.
Daerah Gunungsewu terbagi menjadi blok-blok yang dibatasi oleh sesar-sesar.
Kehadiran sesar-sesar tersebut turut mengatur sistem hidrogeologi di daerah
Gunungsewu. Blok-blok yang bergeser, baik secara lateral maupun vertikal, maupun
sesar yang relatif naik atau turun, mengakibatkan terciptanya konfigurasi rendahan
dan tinggian. Konfigurasi tersebut, terjadi sejak pengendapan batuan karbonat di
daerah Gunungsewu (Suyoto, 1994). Hal ini memungkinkan terbentuknya
kemiringan awal pada batuan karbonat tersebut.
3.2 Kondisi Geologi Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan kawasan perbukitan karst. Hal ini didasarkan atas hasil
pengamatan di sekitar lokasi penelitian dan studi literatur. Perbukitan karst ini
tersebar luas, dicirikan oleh bukit-bukit kecil batugamping setinggi 50 – 75 meter
(Gambar 3.6). Bukit-bukit gamping tersebut umumnya berbentuk kerucut dengan
lerengnya yang cembung. Di antara bukit terbentuk aneka ukuran cekungan tertutup,
yang dikenal sebagai dolina.
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan
Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
34
BAB III GEOLOGI REGIONAL
Gambar 3.6 Bentang alam karst di sekitar lokasi penelitian
Berdasarkan peta geologi daerah Gunungkidul (lihat Gambar 3.3), lokasi penelitian
termasuk dalam Formasi Wonosari dengan litologi berupa batugamping terumbu,
kalkarenit dan kalkarenit tufan. Sementara itu, berdasarkan hasil pengamatan
petrografi (lihat Lampiran A), litologi di lokasi penelitian berupa batugamping
Bioclastic Packstone (Dunham, 1962). Batugamping tersebut tersusun atas butiran
(53% - 56%) terdiri dari komponen cangkang biota (53% - 56%) berupa foraminifera
besar, alga, koral, dan foraminifera kecil; matriks (18% - 20%) berupa mikrit; semen
(14% - 17%) berupa kalsit; porositas (10% - 12%) berupa vuggy porosity; tekstur
grain supported; terpilah buruk (Gambar 3.7).
Gambar 3.7 Sayatan Batugamping Bioclastic Packstone
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan
Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong,
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
35
Download