PEMBERIAN TINDAKAN AMBULASI DINI TERHADAP

advertisement
PEMBERIAN TINDAKAN AMBULASI DINI TERHADAP PENURUNAN
INTENSITAS NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN
Tn. S DENGAN POST LAPARATOMI DI RUANG
HCU BEDAH RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
DI SUSUN OLEH :
NORMA NOFITA SARI
P.12 042
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
i
PEMBERIAN TINDAKAN AMBULASI DINI TERHADAP PENURUNAN
INTENSITAS NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN
Tn. S DENGAN POST LAPARATOMI DI RUANG
HCU BEDAH RUMAH SAKIT Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program DIII Keperawatan
DI SUSUN OLEH :
NORMA NOFITA SARI
P.12 042
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
i
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian Tindakan Ambulasi Dini Terhadap
Penurunan Intensitas Nyeri Pasien Post Laparatomi Pada Asuhan Keperawatan
Tn. S Yang Menjalani Perawatan Di Ruang HCU Bedah RSDM”.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat:
1.
Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu
di Stikes Kusuma Husada Surakarta
2.
Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep selaku Sekertaris Program Studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu
di Stikes Kusuma Husada Surakarta
3.
Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku dosen pembimbing yang telah
cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam
memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
4.
Fahrudin Nasrul Sani S. Kep., Ns,. M.Kep, selaku dosen penguji yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, ,
perasaan nyaman dalam memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
v
5.
Alfyana Nadya S. Kep., Ns,. M.Kep selaku dosen penguji yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, ,
perasaan nyaman dalam memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
6.
Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
7.
Kedua orangtuaku yang selalu menemani dan memberikan dukungan baik
secara moral maupun finansial.
8.
Kedua adikku Oky Dwi Saputro dan Alisya Risty Hidayah yang selalu
memberikan dukungan.
9.
Teman-teman yang selalu memberikan semangat dan dukungan Fatma Tri
sartika, Dyah Arum Mustikaningtyas, Joko Supriyanto, Yesi Nugraheni,
Novika Ayu, Mendi Berliana, Ristia Widyanungrum serta teman-teman
seangkatan yang sama-sama berjuang. Pihak-pihak lain yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan
spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan.
Surakarta, Mei 2015
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................
i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN........................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................
iv
KATA PENGANTAR ...............................................................................
vi
DAFTAR ISI ...............................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................
1
A. Latar Belakang.....................................................................
1
B. Tujuan Penulisan .................................................................
4
C. Manfaat Penulisan ...............................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................
6
A. Tinjauan Teori .....................................................................
6
BAB II
1.
Konsep Laparatomi ......................................................
6
2.
Konsep Nyeri ................................................................
12
3.
Ambulasi Dini ..............................................................
24
B. Kerangka Teori ....................................................................
30
C. Kerangka Konsep ...............................................................
31
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET ................
32
A. Subjek Aplikasi Riset ..........................................................
32
B. Tempat dan Waktu ..............................................................
32
C. Media atau Alat yang Digunakan ........................................
32
D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Aplikasi Riset .................
33
vii
E. Alat Ukur Evaluasi tindakan Aplikasi Riset ........................
33
BAB IV LAPORAN KASUS ..................................................................
34
A. Identitas Klien ...............................................................................
34
B. Pengkajian .....................................................................................
34
C. Daftar perumusan masalah ............................................................
39
D. Perencanaan ..................................................................................
40
E. Implementasi .................................................................................
42
F. Evaluasi .........................................................................................
46
BAB V
PEMBAHASAN ........................................................................
49
A. PEMBAHASAN ............................................................................
49
1. Pengkajian ...............................................................................
49
2. Diagnosis keperawatan ............................................................
53
3. Intervensi ..................................................................................
57
4. Implementasi ............................................................................
61
5. Evaluasi ....................................................................................
65
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................
69
A. KESIMPULAN ..............................................................................
69
B. SARAN ..........................................................................................
71
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skala Deskriptif............................................................................... . 19
Gambar 2.2 Skala Numerik................................................................................. . 20
Gambar 2.3 Skala Analog.................................................................................... 21
Gambar 2.4 Kerangka Teori................................................................................ . 30
Gambar 2.5 Kerangka Konsep............................................................................. 31
Gambar 4.6 Genogram......................................................................................... 40
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 respon perilaku nyeri........................................................................... 18
x
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup
2. Lampiran 2. Lembar Usulan Judul
3. Lampiran 3. Askep Kelolaan
4. Lampiran 4. Sap Perawatan Luka
5. Lampiran 5. Leaflet Perawatan Luka
6. Lampiran 6. Lembar Observasi
7. Lampiran 7. Lembar Log Book
8. Lampiran 8. Lembar Konsultasi
9. Lampiran 9. Jurnal Penelitian
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laporan Depkes RI (2007) menyatakan laparatomi meningkat dari
162 pada tahun 2005 menjadi 983 kasus pada tahun 2006 dan 1.281 kasus
pada tahun 2007. Sedangkan untuk laparatomi di RSUD Dr Moewardi
laparatomi pada tahun 2013 sebanyak 1.083 kasus dan pada tahun 2014
sebanyak 1.630 kasus. Komplikasi pada pasien post laparatomi adalah nyeri
yang hebat, perdarahan, bahkan kematian. Post laparatomi yang tidak
mendapatkan perawatan maksimal setelah pasca bedah dapat memperlambat
penyembuhan dan menimbulkan komplikasi (Depkes, 2010).
Pasien post laparatomi memerlukan perawatan yang maksimal untuk
mempercepat pengembalian fungsi tubuh. Hal ini dilakukan segera setelah
operasi dengan latihan napas dan batuk efektif dan mobilisasi dini. Perawatan
post laparatomi merupakan bentuk perawatan yang diberikan kepada pasien
yang telah menjalani operasi pembedahan perut. Tujuan perawatannya adalah
mengurangi komplikasi, meminimalkan nyeri, mempercepat penyembuhan,
mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi,
mempertahankan konsep diri dan mempersiapkan pulang, hal ini dilakukan
sejak pasien masih di ruang pulih sadar (Arif, 2010).
Tindakan medis yang sering menimbulkan nyeri adalah pembedahan.
Salah satu pembedahan yang mempunyai angka prevalensi yang cukup tinggi
1
2
adalah laparatomi. Laparatomi merupakan tindakan dengan memotong pada
dinding abdomen seperti caesareansection sampai membuka selaput perut.
Menurut Nugroho (2010) dalam Rustianawati (2013) masalah
keperawatan yang terjadi pada pasien pasca laparatomi meliputi impairment,
functional limitation, disability. Impaired meliputi nyeri akut pada bagian
lokasi operasi, takut dan keterbatasan LGS (Lingkup Gerak sendi), functional
limitation meliputi ketidakmampuan berdiri berjalan serta ambulasi dan
disability meliputi aktivitas terganggu karena keterbatasan gerak akibat akibat
nyeri dan prosedur medis. Nyeri yang hebat merupakan gejala sisa yang
diakibatkan operasi regio intra abdomen. Sekitar 60% pasien menderita nyeri
sangat hebat, 25% nyeri sedang dan 15% nyeri ringan.
Nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman yang sangat subjektif dan
hanya orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi
perasaan tersebut. Secara umum nyeri dapat di definisikan sebagai perasaan
tidak nyaman, baik ringan maupun berat (Mubarak, 2007).
Rasa nyeri merupakan stressor yang dapat menimbulkan ketegangan.
Individu akan merespon secara biologis dan perilaku yang menimbulkan
respon fisik dan psikis. Respon fisik meliputi perubahan keadaan umum,
ekspresi wajah, nadi, pernafasan, suhu, sikap badan dan apabila nyeri berada
pada derajat berat dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan syok.
Respon psikis akibat nyeri dapat merangsang respon stress yang dapat
menekan sistem imun dan peradangan, serta menghambat penyembuhan.
Respon yang lebih parah akan mengarah pada ancaman merusak diri. Nyeri
3
pada pasien dapat terjadi karena proses perjalanan penyakit maupun tindakan
diagnostik dan invasif pada pemeriksaan (Smeltzer & Bare, 2005).
Menurut Roper (2002) dalam Yanti (2010) penatalaksaan nyeri ada
dua yaitu farmakologis dan non-farmakologis. Penatalaksanaan farmakologis
dengan obat-obatan sedangkan non-farmakologi sangat beragam seperti
teknik relaksasi dan ambulasi dini. Ambulasi dini merupakan tahapan
kegiatan yang dilakukan segera pada pasien paska operasi dimulai dari
bangun dan duduk disisi tempat tidur sampai pasien turun dari tempat tidur,
berdiri dan mulai belajar berjalan dengan bantuan alat sesuai kondisi pasien.
Ambulasi sangat penting dilakukan pada pasien paska operasi karena
jika pasien membatasi pergerakannya di tempat tidur dan sama sekali tidak
melakukan ambulasi pasien akan semakin sulit untuk berjalan. Masalah yang
sering terjadi adalah ketika pasien merasa terlalu sakit atau nyeri dan faktor
lain yang menyebabkan mereka tidak mau melakukan mobilisasi dini dan
memilih istirahat di tempat tidur. Maka sebelum membantu pasien perawat
harus mengetahu faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksaan ambulasi dini
(Kozier, 2010).
Latihan ambulasi dini dapat meningkatkan sirkulasi darah yang akan
memicu penurunan nyeri dan penyembuhan luka lebih cepat. Terapi latihan
dan mobilisasi merupkan modalitas yang tepat untuk memulihkan fungsi
tubuh bukan saja pada bagian yang mengalami cedera tetapi juga keseluruhan
anggota tubuh. Terapi latihan dapat berupa passive dan active exercise, terapi
4
latihan juga dapat berupa transfer, posisioning dan ambulasi untuk
meningkatkan kemampuan aktivitas mandiri (Nugroho, 2010).
Mobilisasi dini sangat penting sebagai tindakan pengembalian secara
berangsur-angsur ke tahap mobilisasi sebelumnya. Dampak mobilisasi yang
tidak dilakukan dapat menyebabkan gangguan fungsi tubuh, aliran darah
tersumbat dan peningkatan intensitas nyeri. Mobilisasi dini mempunyai
peranan penting dalam mengurangi rasa nyeri dengan cara menghilangkan
konsentrasi pasien pada lokasi nyeri atau daerah operasi, mengurangi aktivasi
mediator kimiawi pada proses peradangan yang meningkatkan respon nyeri
serta meminimalkan transmisi saraf nyeri menuju saraf pusat. Melalui
mekanisme tersebut ambulasi efektif menurunkan intensitas nyeri pasca
operasi (Potter & Perry, 2005).
Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 10 Maret 2015 di
Rumah Sakit Dr. Moewardi didapatkan data pasien Tn. S dengan diagnosa
medis tumor caput pankreas yang menjalani laparatomi dan mengeluh nyeri.
Berdasarkan hasil studi wawancara dengan perawat tentang pelaksanaan
ambulasi dini di Rumah Sakit Dr. Moewardi pelaksanaan ambulasi dini
dilakukan agar pada pasien tidak susah untuk bergerak dan luka tidak kaku.
Pelaksanaan ambulasi dini yang bertujuan untuk mengurangi intensitas nyeri
dikalangan perawat belum terpapar oleh teori tersebut. Berdasarkan latar
belakang diatas, penulis termotivasi untuk melakukan asuhan keperawatan
tentang “Pemberian Tindakan Ambulasi Dini Terhadap Penurunan Intensitas
5
Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Tn. S Dengan Post Laparatomi Di Ruang
HCU Bedah RSDM”.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Mengaplikasikan ambulasi dini untuk mengurangi intensitas nyeri
pada pasien post laparatomi.
2. Tujuan khusus
a. Melakukan pengkajian pada pasien dengan luka post laparatomi
b. Merumuskan masalah keperawatan pada pasien dengan luka post
laparatomi
c. Merumuskan rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan luka
post laparatomi.
d. Melakukan tindakan keperawatan serta evaluasi proses tindakan
keperawatan pada pasien dengan luka post laparatomi.
e. Melakukan
evaluasi
hasil
yang
dibahas
melalui
catatan
perkembangan.
f. Melakukan analisa tentang aplikasi tindakan ambulasi dini untuk
mengurangi intensitas nyeri yang dilakukan pada pasien post
laparatomi.
6
C. Manfaat Penulisan
1. Pelayanan kesehatan
Hasil penulisan ini dapat digunakan memberikan informasi dan
masukan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pasien post op
laparatomi di rumah sakit.
2. Ilmu keperawatan
Diharapkan dapat menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan
dalam keperawatan terutama dalam mobilisasi post op.
3. Penulisan
Sebagai data bagi peneliti selanjutnya dalam ruang lingkup
ambulasi dini pasien post laparatomi.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Teori
1. Konsep laparatomi
a. Pengertian laparatomi
Laparatomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara
membuka dinding abdomen untuk mencapai isi rongga abdomen
(Jitowiyono, 2010).
Laparotomi merupakan penyayatan operasi melalui dinding
abdominal midline atau flank untuk melakukan visualisasi organ
didalam abdominal (Boden, 2005).
b. Etiologi
Indikasi laparatomi adalah trauma abdomen (tumpul atau
tajam)/ ruptur hepar, peritonitis, perdarahan saluran pencernaan
(Internal Blooding), sumbatan pada usus halus dan besar, dan
massa pada abdomen (Jitowiyono, 2010).
Kasus–kasus yang terdapat pada kasus laparatomi, yaitu :
hernotorni, gasterektomi, kolesistoduodenostomi, hepaterektomi,
splenorafi/ splenotomi, apendektomi, kolostomi, dan fistulktomi
atau fistulektomi (Jitowiyono, 2010).
7
8
c. Proses penyembuhan luka pasca laparatomi
Proses penyembuhan luka pasca operasipada dasarnya adalah
sama. Proses fisiologis penyembuhan luka meliputi: respon
inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan
fase maturasi (Morison M, 2004; Arisanty, 2012).
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit
atau jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk
melakukan aktivitas normal. Seluruh kegiatan penyembuhan luka
diatur oleh serangkaian reaksi yang kompleks (Boyle, 2009).
Menurut Jitowiyono (2010), proses penyembuhan luka pasca
laparotomi terdiri dari:
1) Fase Pertama berlangsung sampai hari ke 3. Batang leukosit
banyak yang rusak/ rapuh. Sel-sel darah baru berkembang
menjadi penyembuh dimana serabut- serabut bening digunakan
sebagai kerangka
2) Fase kedua, dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh
kolagen, seluruh pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1
minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan
3) Fase ketiga, sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus
ditimbun, timbul jaringan-jaringan baru dan otot dapat
digunakan kembali,
4) Fase keempat, penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.
9
d. Komplikasi pasca laparatomi.
1) Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah
operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut
lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah
sebagai emboli ke paru-paru, hati dan otak. Pencegahan
tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi , ambulasi dini.
2) Buruknya integritas kulit sehubungan dengan luka infeksi.
Infeksi luka sering muncul pada 36- 46 jam setelah operasi.
Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah
stapilokokus aurens, organisme: gram positif. Perawatan luka
hendaknya aseptik dan antiseptik.
3) Buruknya integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka
atau eviserasi. Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi
luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam
melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah
infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan, ketegangan
yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan
muntah (Jitowiyono, 2010).
e. Pengkajian yang dilakukan post laparatomi adalah:
1) Respirasi
Bagaimana saluran pernafasan, jenis pernafasan, bunyi
pernafasan.
10
2) Sirkulasi
Nadi, tekanan darah, dan suhu, warna kulit dan refill kapiler.
3) Pernafasan : tingkat kesadaran
4) Balutan
a)
Apakah ada tube, drainage?
b)
Apakah ada tanda-tanda infeksi?
c)
Bagaimana penyembuhan luka?
4) Peralatan
Monitor yang terpasang dan cairan infus atau tranfusi.
5) Rasa nyaman
Rasa sakit, mual, muntah, posisi pasien, dan fasilitas ventilasi
(Sugeng, 2012)
f. Diagnosa keperawatan
Menurut Doengoes Marlyn (2000).
1) Nyeri akut berhubungan dengan trauma pembedahan
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
adanya insisi bedah
3) Kerusakan integritas kulit
4) Resiko tinggi konstipasi atau diare berhubungan dengan
abdomen lemahnya otot-otot abdomen
5) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
11
g. Intervensi
1) Nyeri akut berhubungan dengan trauma pembedahan
a) Lakukan pengkajian nyeri yang komperhensif meliputi
lokasi, karateristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas, atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.
Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan.
b) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi
c) Pemberian analgesik
d) Observasi TTV
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
adanya insisi bedah
a) Pantau tanda dan gejala infeksi (misal, suhu tubuh, denyut
jantung, drainase, penampilan luka, sekresi urin, suhu kulit,
keletihan, dan malaise)
b) Pantau hasil laboratorium
c) Perawatan luka insisi
d) Berikan terapi antibiotik bila diperlukan.
3) Kerusakan integritas kulit
a) Kaji luka terhadap karateristik berikut: lokasi, luas,
kedalaman, ada tidaknya eksudat, termasuk kekentalan,
warna, bau dan ada tidaknya tanda-tanda infeksi luka
setempat.
12
b) Lakukan perawatan luka dan kulit secara rutin: ubah dan
atur posis pasien secara sering, pertahankan jaringan
sekitar terbebas dari drainase dan kelembapan secara
berlebihan
c) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antibiotik
d) Ajarkan perawatan luka insisi pemebdahan, termasuk tanda
dan gejala infeksi, cara mempertahankan tetap kering saat
mandi, dan mengurangi penekanan pada insisi tersebut
(Wilkinson, 2011)
4) Resiko tinggi konstipasi atau diare berhubungan dengan
abdomen lemahnya otot-otot abdomen
a) Kumpulkan data dasar mengenai program defekasi,
aktivitas, dan pengobatan.
b) Kaji dan dokumentasikan keadaan pasca operasi: warna dan
konsistensi feses pertama, keluarnya flatus, dan ada
tidaknya bising usus dan distensi abdomen (Wilkinson,
2011)
5) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
a) Periksa keakuratan umpan balik untuk memastikan pasien
memahami
b) Berikan penyuluhan sesuai tingkat pemahaman pasien,
ulangi informasi bila diperlukan (Wilkinson, 2011).
13
2. Konsep Nyeri
a. Pengertian nyeri
Menurut Melzack dan Wall (1988) dalam Andarmoyo (2013)
mengatakan nyeri adalah pengalaman pribadi, subjektif yang di
pengaruhi oleh budaya, persepsi seseorang, perhatian dan variabelvariabel psikologis lain yang mengganggu perilaku berkelanjutan
dan memotivasi seseorang untuk menghentikan rasa tersebut.
Arthur
C.
Curton
(1983)
dalam
Andarmoyo
(2013)
mengatakan nyeri merupakan suatu mekanisme proteksi tubuh,
timbul ketika jaringan sedang rusak, dan menyebabkan individu
tersebut bereaksi menghilangkan rasa nyeri.
b. Sifat Nyeri
Nyeri bersifat bersifat subjektif dan individual. Nyeri adalah
segala sesuatu tentang yang dikatakan seorang tentang tentang nyeri
tersebutdan terjadi kapan saja seorang mengatakan nyeri. McMahon
menemukan empat atribut pasti untuk pengalaman nyeri, antara lain:
nyeri bersifat individual, tidak menyenangkan, merupakan kekuatan
yang mendominasi dan bersifat tidak berkesudahan (Andarmoyo,
2013).
c. Klasifikasi nyeri
1) Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut,
penyakit atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat
14
dengan intensitas yang bervariasi. Nyeri akut berhenti dengan
sendirinya (self-limiting) dan akhirnya menghilang dengan atau
tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang terjadi
kerusakan. Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari 6 bulan),
memiliki omset yang tiba-tiba, dan terlokalisasi. Nyeri ini
biasanya di sebabkan trauma bedah atau inflamasi (Andarmoyo,
2013).
Nyeri akut terkadang di sertai oleh aktivasi sistem saraf
simpatis yang memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan
respirasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung
dan dilatasi pupil. Secara verbal klien yang mengalami nyeri
akan melaporkan ketidaknyamanan berkaitan dengan nyeri yang
dialaminya. Klien yang menglami nyeri akut biasanya juga akan
memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti menangis,
mengerang kesakitan, mengerutkan wajah atau menyeringai
(Andarmoyo, 2013).
2) Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermiten yang
menetap sepanjang suatau periode waktu. Nyeri kronik
berlangsung lama, intensitas bervariasi dan biasanya lebih dari 6
bulan. Nyeri kronik dapat tidak mempunyai awitan yang di
tetapakan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena
biasanya nyeri ini tidak memberikan rrespons terhadap
15
pengobatan yang diarahkan penyebabnya. Nyeri kronis di bagi
menjadi dua yaitu: nyeri kronik nonmalignan dan malignan.
Nyeri kronis non malignan merupakan nyeri yang timbul akibat
cedera jaringan yang tidak progresif atau yang menyembuh, bisa
timbul tanpa penyebab yang jelas misalnya nyeri pinggang
bawah, dan nyeri yang di dasari atas kondisi kronis, misalnya
ostheoarthiritis (Potter & Perry, 2005). Sementara nyeri kronik
malignan yang disebut juga nyeri kanker memiliki penyebab
nyeri yang dapat di identifikasi, yaitu perubahan pada saraf.
Perubahan ini terjadi bisa karena penekanan saraf akibat
metastatis sel-sel kanker maupun pengaruh zat-zat kimia yang
dihasilkan oleh kanker itu sendiri (Andarmoyo, 2013).
d. Fisiologi nyeri
Proses terjadinya nyeri merupakan suatu rangkaian yang
rumit. Nyeri dirasakan sampai berapa derajat bergantung pada
interaksi antara sistem analgesik tubuh dan transmisi sistem saraf
serta interpretasi stimulus.
1) Nosisepsi
Proses fisiologis yang berhubungan dengan persepsi nyeri
di gambarkan sebagai nosisepsi. Empat proses yang terkait
dalam nosisepsi sebagai berikut:
16
a) Transduksi
Selama fase transduksi, stimulus berbahaya (cedera
jaringan) memicu pelepasan mediator biokimia yang
mensensitasi
berbahaya
nosiseptor.
juga
Stimulasi
menyebabkan
menyakitkan
pergerakan
atau
ion-ion
menembus membran sel, yang membangkitkan nosiseptor.
Obat nyeri dapat bekerja selama fase ini dengan
menghambat produksi prostaglandin atau menurunkan
pergerakana ion-ion menembus membran sel (Kozier, 2010)
b) Transmisi
Transmisi nyeri meliputi tiga bagian. Pada bagian
pertama, neri merambat dari serabut nyeri perifer ke medula
spinalis. Dua jenis serabut nosiseptor yang terlibat dalam
proses tersebut adalah serabut C, yang menstrasmisikan
nyeri tumpul dan menyakitkan, serta serabut A-Delta yang
menstransmisikan nyeri tajam dan terlokalisasi. Bagian
kedua adalah transmisi nyeri dan medula spinalis menuju
batang otak dan talamus melalui jaras spinotalamikus
(STT). STT merupakan suatu sistem diskriminatif yang
membawa informasi mengenai sifat dan lokasi stimulus ke
talamus. Selanjutnya pada bagian ketiga, sinyal tersebut
diteruskan ke korteks sensoris somatik, tempat nyeri
17
dipersepsikan. Impuls yang ditranmisikan melalui STT
mengaktifkan respon otonomi dan limbik (Mubarak, 2007).
c) Persepsi
Persepsi adalah saat klien menyadari rasa nyeri.
Diyakini bahwa persepsi terjadi dalam struktur kortikal,
yang
memungkinkan
strategi
kognitif-perilaku
yang
berbeda dipakai untuk mengurangi komponen sensorik dan
afektif nyeri (Kozier, 2010).
d) Modulasi
Sering
kali
digambarkan
sebagai
“sistem
desendens”, proses keempat yang terjadi saat neuron di
batang otak mengirimkan sinyal menurun kornu dorsalis
medula spinalis. Serabut desendens ini melepaskan zat
seperti opioid endogen, serotonin, dan norepinefrin, yang
dapat
menghambat
naiknya
impuls
berbahaya
(menyakitkan) di kornu dorsalis. Namun, neurotransmiter
ini diambil kembali oleh tubuh, yang membatasi kegunaan
analgesiknya. Klien yang mengalami nyeri kronik dapat
diberi resep antidepresan trisiklik, yang menghambat
ambilan kembali norepinefrin dan serotonin. Tindakan ini
meningkatkan fase modulasi yang membantu menghambat
naiknya stimulus yang menyakitkan (Kozier, 2010).
18
e. Respon nyeri
1) Respon fisiologis terhadap nyeri
Perubahan/ respon fisiologis dianggap sebagai indikator
nyeri yang lebih akurat di bandingkan laporan verbal pasien.
Respon fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan
individu. Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis
menuju ke batang otak dan hipotalamus, sistem saraf otonom
menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stres. Stimulasi
pada cabang simpatis pada saraf otonom menghasilkan respon
fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus menerus, berat,
dalam, dan melibatkan organ-organ dalam/ visceral maka sistem
simpatis akan menghasilkan suatu aksi (Andarmoyo, 2013).
2) Respon perilaku
Respon perilaku yang ditunjukan oleh pasien sangat
beragam. Meskipun respon perilaku pasien dapat menjadi
indikasi pertama bahwa sesuatu yang tidak beres, respon
perilaku seharusnya tidak boleh digunakan sebagai pengganti
untuk mengukur nyeri kecuali situasi yang tidak lazim dimana
pengukuran
tidak
memungkinkan
(misal
orang
menderita retardasi mental yang berta atau tidak sadar).
Tabel 2.1 Respon perilaku nyeri pada klien
Respon Perilaku Nyeri pada Klien
Vokalisasi
· Mengaduh
· Menangis
· Sesak nafas
tersebut
19
·
·
·
·
·
Ekspresi
Wajah
·
·
·
·
·
·
Gerak Tubuh
Interaksi sosial
·
·
·
·
·
·
Mendengkur
Meringis
Menggeletukan gigi
Mengernyitkan dahi
Menutup mata atau mulut dengan rapat atau
membuka mata atau mulut dengan lebar
Menggigit bibir
Gelisah
Imobilisasi
Ketegangan otot
Peningkatan gerakan jari dan tangan
Aktivitas melangkash yang tanggal ketika
berlari atau berjalan
Gerakan ritmik atau gerakan menggosok
Gerakan melindungi tubuh
Menghindari percakapan
Fokus
hanya
pada
aktivitas
untuk
menghilangkan nyeri
Menghindari kontak sosial
Penurunan rentang perhatian
(Andarmoyo, 2013)
f. Penilaian respon intensitas nyeri
Penilaian
intensitas
nyeri
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan skala sebgai berikut:
1) Skala deskriptif
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat
keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsian verbal
(Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang
terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun
dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendiksripsi ini
diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak
tertahankan”. Perawat menunjukan klien skala tersebut dan
meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia
rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa
20
paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien
memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Potter &
Perry, 2006).
Gambar 2.1 skala deskriptif
2) Skala numerik
Skala penilian numerik (Numerical rating scales, NRS)
lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam
hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 1-10.
Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri
sebelum dan setelah intervensi teurapetik. Apabila digunakan
skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10
cm. Contoh, pasien post-appendiktomi hari pertama menunjukan
skala nyerinya 9, setelah dilakukan intervensi keperawatan, hari
ke
tiga
perawatan
pasien
menunjukan
(Andarmoyo, 2013)
Gambar 2.2 skala numerik
skala
nyeri
4
21
3) Skala analog visual
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) adalah
suatu garis lurus/horisontal sepanjang 10cm, yang mewakili
intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal
pada setiap ujungntya. Pasien diminta untuk menunjuk titik pada
garis yang menunjukan letak nyeri terjadi sepanjang garis
tersebut. Ujung kiru biasanya menandakan “tidak ada” atau
“tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan biasanya menandakan
“berat” atau “nyeri yang paling buruk”. Untuk menilai hasil,
sebuah penggaris diletakan sepanjang garis dan jarak yang
dibuat pasien pada garis dari “tidak ada nyeri” diukur dan ditulis
dalam centimeter (Andarmoyo, 2013).
Gambar 2.3 skala analog
g. Strategi penatalaksanaan nyeri
1) Manangemen nyeri nonfarmakologi
a) Bimbingan antisipasi
Bimbingan antisipasi adalah memberikan pemahaman
kepada klien mengenai nyeri yang dirasakan. Pemahaman
yang
diberikan
oleh
perawat
ini
bertujuan
untuk
22
memberikan informasi kepada klien dan mencegah salah
interpretasi tentang peristiwa nyeri (Andarmoyo, 2013).
b) Distraksi
Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien dari
nyeri. Teknik distraksi yang dapat dilakukan antara lain:
bernafas lambat dan berirama secara teratur, menyanyi
berirama dan menghitung ketukannya, mendengarkan
musik, mendorong untuk menghayal (guidedimagery) yaitu
melakukan bimbingan yang baik kepada klien untuk
menghayal (Asmadi, 2008).
c) Ambulasi dini
Menurut Smeltzer & Bare (2002) dalam Rusniawati
(2012) latihan ambulasi dini dapat meningkatkan sirkulasi
darah
yang
akan
memicu
penurunan
nyeri
dan
penyembuhan luka lebih cepat. Terapi latihan dan
mobilisasi
merupakan
modalitas
yang
tepat
untuk
memulihkan fungsi tubuh bukan saja pada bagian yang
mengalami cedera tetapi juga pada keseluruhan anggota
tubuh. Terapi latihan dapat berupa passive dan active
exercise, terapi latihan juga dapat berupa transfer,
posisioning dan ambulasi untuk meningkatkan kemampuan
aktivitas mandiri.
23
Menurut Potter & Perry (2005) mobilisasi dini
sangat penting sebagai tindakan penegembalian secara
bengasur-angsur ke tahap mobilisasi sebelumnya. Dampak
mobilisasi yang tidak dilakukan bisa menyebabkan
gangguan fungsi tubuh, aliran drah tersumbat dan
peningkatan intensitas nyeri. Mobilisasi dini mempunyai
peranan penting dalam mengurangi rasa nyeri dengan cara
menghilangkan konsentrasi pasien pada lokasi nyeri atau
daerah operasi, mengurangi aktivitas mediator kimiawi
pada proses peradangan yang meningkatkan respon nyeri
serta meminimalkan transmisi saraf nyeri menuju saraf
pusat. Melalui mekanisme tersebut, ambulasi dini efektif
dalam menurunkan intensitas nyeri paska operasi
h. Patofisiologi nyeri
Persepsi nyeri di antarkan oleh neuron khusus yang bertindak
sebagai reseptor, pedeteksi stimulus, penguat, dan penghantar
menuju sistem saraf pusat. Reseptor tersebut disebut nociceptor.
Mereka tersebar luas dalam lapisan superficial kulit dan juga dalam
jaringan dalam tertentu, seperti periosteum, dinding arteri,
permukaan sendi serta falks dan tentorium serebri (Andarmoyo,
2013).
Nosiseptor mekanis yang berespon terhadap kerusakan
mekanis, misalnya tusukan, benturan, atau cubitan, nosiseptor termal
24
yang bersepon terhadap suhu yang berlebihan terutama panas,
nosiseptor polimodal yang berespon setara terhadap semua jenis
rangsangan yang merusak, termasuk iritasi zat kimia yang di
keluarkan dari jaringan yang cedera. Nociceptor (ujung-ujung saraf
bebas pada kulit berespon terhadap stimulus) berhubungan dengan
saraf aferen primer dan berujung di spinal cord (SSP). Bila ada
stimulasi yang berasal dari bahan kimia, mekanik, listrik, atau panas,
stimulasi di ubah menjadi impuls saraf pada saraf aferen primer.
Saraf aferen primer selanjutnya akan ditransmisikan sepanjang
saraf aferen ke SSP. Stimulasi tersebut dapat berubah protopatik dan
epikritik. Stimulasi epikritik (sentuhan ringan, tekanan, propiosepsi,
dan perbedaan temperatur) di tandai dengan reseptor ambang rendah
secara umum dihantarkan oleh serabut besar bermielin. Sebaliknya,
stimulus protopatik (nyeri) di tandai dengan reseptor ambang tinggi
yang di hantarkan oleh srabut saraf bermielin lebih kecil (A Delta)
serta serabut saraf tak bermielin (Serabut C) (Mubarak, 2007).
3. Konsep ambulasi dini
a. Definisi
Ambulasi adalah latihan yang paling berat dimana pasien
yang
dirawat
dirumah
sakit
dapat
dikontraindikasikan oleh kondisi pasien.
berpartisipasi
kecuali
25
Ambulasi (aktivitas berjalan) adalah sebuah fungsi yang
kurang di hargai oleh sebagian besar orang. Namun, saat orang sakit
mereka sering kali tirah baring dengan demikian menjadi tidak dapat
melakukan ambulasi. Semakin lama klien di tempat tidur semakin
sulit mereka untuk berjalan (Kozier, 2010).
Ambulasi dini merupakan kegiatan yang dilakukan segera
pada pasien paska operasi dimulai dari bangun dan duduk sampai
pasien turun dari tempat tidur dan mulai berjalan (Yanti, 2010).
b. Manfaat ambulasi dini
Ambulasi
dini
merupakan
komponen
penting
dalam
perawatan paska operasi. Menurut beberapa literatur ambulasi antara
lain:
1) Menurunkan insiden komplikasi immobilisasi paska operasi
meliputi: sistem kardiovaskuler;menurunkan curah jantung,
peningkatan
beban
trombopeblitis/
DVT
kerja
dan
jantung,
hipotensi
atelektaksis.
orthostatik,
Sistem
respirasi;
penurunan kapasitas vital, penurunan perfisu/ventilasi setempat,
mekanisme batuk yang menurun, embolisme pulmonari. Sistem
gastroentestinal;
paralitik
ileus,
konstipasi,
stress
ulcer,
anoreksia dan gangguan metabolisme
2) Mengurangi komplikasi respirasi dan sirkulasi
3) Mempercepat pemulihan peristaltik usus dan kemungkinan
distensi abdomen
26
4) Mempercepat proses pemulihan pasien paska operasi
5) Mengurangi tekanan pada kulit
6) Penurunan intensitas nyeri
7) Frekuensi nadi dan suhu tubuh kembali normal (Asmadi, 2008;
Potter & Perry, 2006)
c. Persiapan ambulasi
1) Latihan berjalan
a) Klien dilatih dulu untuk duduk baru berlatih untuk turun
dari tempat tidur.
b) Perhatikan waktu klien turun dari tempat tidur apakah
menunjukan gejala-gejala pusing, sulit bernafas, dan lainlain. Tidak jarang klien tiba-tiba merasa lemas sebagai
akibat hipotensi ortostatik.
c) Istirahat sebentar, ukur denyut nadi. Bila cepat dan tidak
teratur maka harus hati-hati.
d) Mula-mula klien di geser ke tepi tempat tidur dan dibantu
duduk.
Bila
klien
merasa
enak,
maka
perawat
menyangganya di bawah bahu serta lutut dan memutarnya
sehingga kedua tungkai dan kakinya berada di samping
tempat tidur. Ketika membantu klien turun dari tempat tidur
perawat harus berda tepat didepannya. Klien meletakan
tangannya di pundak perawat dan perawat meletakakn di
bawah ketiak klien. Klien dibiarkan berdiri sebentar untuk
27
memastikan bahwa ia tidak pusing. Jika klien memerlukan
bantuan sebaiknya perawat berjalan di sampingnya dengan
tangan di lengan klien (Asmadi, 2008).
d. Pelaksanaan ambulasi dini pasien post laparatomi
Menurut Kristiantari (2009) masalah keperawatan yang terjadi
pada pasien pasca laparatomi meliputi impairment, functional
limitation, disability. Impairment meliputi nyeri akut pada bagian
lokasi operasi, takut dan keterbatasan LGS (Lingkup Gerak Sendi),
functional limitation meliputi ketidakmampuan berdiri, berjalan,
serta ambulasi dan disability meliputi aktivitas yang terganggu
karena keterbatasan gerak akibat nyeri dan prosedur medis.
Intervensi keperawatan untuk meningkatkan pengembalian
fungsi tubuh dan mengurangi nyeri, pasien dianjurkan melakukan
mobilisasi dini, yaitu latihan gerak sendi, gaya berjalan, toleransi
aktivitas sesuai kemampuan dan kesenjangan tubuh (Kasdu, 2005).
Ambulasi dini yaitu aktivitas segera setelah pulih dari pengaruh
anastesi minimal 2 hingga 6 jam setelah operasi. Prosedur ambulasi
dini yang dilakukan: 1) menggerakan lengan, dan tangan, 2)
menggerakan ujung jari kaki, 3) mengangkat tumit, menekuk, dan
menggeser kaki, 4) miring kanan kiri. Setelah 24 jam melakukan
mobilisasi dini sebagai berikut: latihan duduk semi fowler atau
fowler, ibu duduk lebih dari 5 menit. Setelah 36 jam; 1) ibu mulai
28
belajar berjalan, 2) melakukan aktivitas mandiri seperti toileting dan
merawat diri (Sumartinah, 2014).
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pasien
post laparatomi
1) Kondisi status pasien
Perubahan status kesehatan dapat mempengaruhi sistem
muskoloskeletal dan sistem saraf berupa penurunan koordinasi.
Perubahan tersebut dapat di sebabkan penyakit, berkurangnya
kemampuan untuk melakukan aktivitas (Kozier, 2010).
2) Emosi
Kondisi psikologis seorang dapat memudahkan perubahan
perilaku yang dapat menurunkan kemampuan ambulasi yang
baik. Seseorang yang mengalami perasaan tidak aman, tidak
akan termotivasi dan harga diri yang rendah akan mudah
mengalami perubahan ambulasi (Kozier, 2010).
Orang yang depresi, khawatir atau cemas sering tidak
tahan melakukan aktivitas sehingga mudah lelah karena
mengelurkan energi cukup besar dalam ketakutan dan
kecemasannya jadi pasien mengalami keletihan secara fisik dan
emosi (Potter & Perry, 2005).
3) Gaya hidup
Status kesehatan, nilai kepercayaan, motivasi dan faktor
lainnya mempengaruhi gaya hidup. Gaya hidup mempengaruhi
29
mobilitas. Tingkat kesehatan seseorang dapat dilihat dari gaya
hidupnya dalam melakukan aktivitas dan dia mendefinisikan
aktivitas sebagai suatu yang mencakup kerja, permainan yang
berarti, dan pola hidup yang positif seperti makan yang teratur,
latihan yang tearatur, istirahat yang cukup dan penanganan stres
(Yanti, 2010).
4) Dukungan sosial
Dukungan sosial yaitu keluarga , orang terdekat dan
perawat sangat mempengaruhi untuk membantu pasien untuk
melakukan latihan ambulasi. Ambulasi dapat terlaksana
tergantung dari kesiapan pasien dan keluarga untuk belajar dan
berpartisipasi dalam latihan (Yanti, 2010)
5) Pengetahuan
Pasien
muskuloskeletal
yang
akan
diajarkan
mengenai
gangguan
mengalami
peningkatan
alternatif
penanganan. Informasi mengenai apa yang diharapkan termasuk
sensasi selama dan setelah penanganan dapat memberanikan
pasien untuk berpartisipasi secara aktif dalam pengembangan
dan penerapan penanganan. Informasi yang diberikan tentang
prosedur perawatan dapat mengurangi ketakutan pasien (Yanti,
2010)
30
B. Kerangka Teori
Trauma
abdomen
Internal
blooding
Massa abdomen
Laparatomi
Nyeri
Non
farmakologi
Ambulasi
dini
Mengurangi
mediator kimiawi
Di bawa ke korteks
sensori somatik:
persepsi
Strategi kognitif untuk
mengurangi nyeri
Resiko
infeksi
Kerusakan
integritas kulit
farmakologi
ditraksi
Bimbingan
antisipasi
Menghambat prostalglandin
menembus sel
Menimilkan transmisi saraf
nyeri (serabut C,serabut ADelta) ke STT
Nyeri berkurang
(Andarmoyo, 2013; Dongoes, 2000, Jitowiyono, 2010; Mubarak, 2007)
Gambar. 4 kerangka teori
31
C. Kerangka Konsep
Nyeri
Ambulasi dini untuk
mengurangi intensitas
nyeri
Gambar 2.5 konsep teori
BAB III
METODOLOGI PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH
A. Subjek aplikasi riset
Subyek dari karya tulis ilmiah ini adalah Tn. S umur 50 tahun dengan
post laparatomi.
B. Waktu dan tempat
Tempat pelaksanaan ruang HCU Bedah RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Waktu pelaksanaan pada 10-12 maret 2015.
C. Media dan alat
Media dan alat yang akan digunakan antara lain:
1.
Kertas
2.
Bulpen
3.
Lembar observasi
Hari/tanggal
Skala Nyeri
Kesimpulan
I
II
III
D. Prosedur tindakan
Ambulasi dini yaitu aktivitas segera setelah pulih dari pengaruh
anastesi minimal 2 hingga 6 jam setelah operasi. Prosedur ambulasi dini
yang dilakukan: 1) menggerakan lengan, dan tangan, 2) menggerakan
ujung jari kaki, 3) mengangkat tumit, menekuk, dan menggeser kaki, 4)
32
33
miring kanan kiri. Setelah 24 jam melakukan mobilisasi dini sebagai
berikut: latihan duduk semi fowler atau fowler, ibu duduk lebih dari 5
menit. Setelah 36 jam; 1) ibu mulai belajar berjalan, 2) melakukan
aktivitas mandiri seperti toileting dan merawat diri (Sumartinah, 2014).
E. Alat ukur
Skala penilian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien
menilai nyeri dengan menggunakan skala 1-10. Skala paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
teurapetik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka
direkomendasikan patokan 10 cm (Andarmoyo, 2013).
BAB V
PEMBAHASAN
A. Pembahasan
Bab ini penulis akan membahas tentang pemberian ambulasi dini
terhadap penurunan intensitas nyeri pada asuhan keperawatan Tn. S dengan
post laparatomi di ruang
HCU bedah Rumah Sakir Dr. Moewardi
Surakarta. Disamping itu penulis juga akan membahas tentang kesesuaian
dan kesenjangan antara teori dan kenyataan yang meliputi pengkajian,
intervensi, implementasi dan evaluasi. Pembahasan akan lebih ditekankan
pada diagnosa nyeri karena diagnosa nyeri yang berhubungan dengan jurnal
Rusniawati bahwa ambulasi dini dapat mengurangi intensitas nyeri pasien
post operasi laparatomi.
1. Pengkajian
Menurut Kozier (2010) pengkajian adalah pengumpulan,
pengaturan, validasi dan dokumentasi data (informasi) yang sistematis
dan
berkesinambungan
yang
dilakukan
pada
semua
proses
keperawatan. Pasien masuk ruang HCU bedah pada tanggal 10 maret
2014 pukul 11.30 WIB setelah menjalani operasi di ruang IBS. Penulis
melakukan pengkajian pada hari selasa, 10 maret 2015 di ruang HCU
34
35
Bedah pada pukul 12.00 WIB. Diagnosa medis untuk Tn S adalah
tumor caput pankreas. Tumor caput pankreas adalah tumor di daerah
pankreas akan menyebabkan obstruksi duktus koledokus tempat
saluran ini berjalan lewat kaput pankreas untuk bersatu dengan duktus
pankreatikus dan berjalan pada ampulavate ke dalam duodenum.
Obstruksi aliran getah empedu akan menimbulkan gejala ikterus yaitu
feses yang berwarna pekat dan urin yang gelap (Brunner&Suddart,
2002).
Keluhan utama yang dikaji adalah nyeri akut.Data tersebut
sudah sesuai dengan teori yang menyebutkan
bahwa post op
laparatomi dapat menyebabkan nyeri (Sugeng, 2009). Laparatomi
adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara membuka dinding
abdomen untuk mencapai isi rongga abdomen (Jitowiyono, 2010).
Pemeriksaan CT-Scan pada Tn. S hasilnya abdomen irisan
axsial tanpa dan dengan kontras. Hepar tak membesar. Struktur
internal homogen normal, tidak nampak nodul. Kesan: massa kanker
solid corpus cauda pankreas ukuran ±3,7x3,5x3,2 cm menempel
dengan vascular mayor (aorta, mesentrika, A renalis sinistra(renalis).
Saat di rawat sakit setelah post laparatomi mengatakan nyeri di
bagian perutnya, pasien mengatakan nyeri skala 7, nyeri di ukur
dengan pengkajian PQRST. Komponen pengkajian analisis symptom
meliputi (PQRST): P (Paliatif/ Provocatif = yang menyebabkan
timbulnya masalah), Q (Quality/ Quantity) = Kualitas dan kuantitas
36
nyeri yang diarasakan), R (Region = lokasi nyeri), S (Severity=
keparahan), T (Timing= waktu). Skala nyeri di ukur dengan skala
numerik. Skala penilian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini,
klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 1-10. Skala paling
efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah
intervensi teurapetik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri,
maka direkomendasikan patokan 10 cm. Skala nyeri 7 merupakan
skala nyeri berat, skala 0 adalah tidak nyeri, skala 1-3 adalah nyeri
ringan, skala nyeri 4-6 adalah skala nyeri sedang, skala 7-9 adalah
skala berat dan skala 10 adalah skala nyeri hebat (Andarmoyo, 2013).
Pada pola aktivitas pasien aktivitasnya di bantu orang lain
seperti berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah dan ambulasi/
ROM, sedangakan toileting di bantu alat. Sedangkan untuk normalnya
aktivitas dilakukan secara mandiri. Sesuai dengan teori adanya
gangguan mobilitas fisik bisa terjadi karena adanya keterbatasan gerak,
paralisis, dan adanya kehilangan kekuatan otot (Perry & Potter, 2006)
Hasil pengkajian fisik bagian ekstremitas, ekstremitas kanan
atas kekuatan otot kanan atas dengan nilai 5, kekuatan otot kiri atas
dengan nilai 5, kekuatan ektremitas kiri bawah nilai 5, kekuatan
ektremitas kanan bawah nilainya 5. Kekuatan otot ekastremitas kanan
bawah Tn. S menunjukkan nilai 0 dalam teori, pengukuran kekuatan
otot dilakukan ROM merupakan istilah untuk menyatakan gerakan
37
sendi yang normal dan untuk menetapkan adanya kelainan ataupun
untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal. Adapun
penilaianya yaitu derajat 0: paralisis total atau tidak ditemukan
kontraksi otot, 1: kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan
tonus otot yang dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat
menggerakan sendi, 2: otot hanya mampu menggerakan persendian,
tetapi kekuatanya tidak dapat melawan pengaruh gravitasi, 3: Di
samping dapat menggerakan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh
gravitasi, tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan oleh
pemeriksa, 4: kekuatan otot seperti pada derajat 3 disertai dengan
kemampuan otot terhadap tahanan yang ringan, 5: kekuatan otot
normal (Muttaqin, 2008).
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 140/90
mmhg, nadi 68x/menit, pernafasan 27x/menit, suhu 36oC. Klasifikasi
tekanan darah pada orang dewasa yaitu tahap pertama (ringan) sistolik
140-159 mmHg dan diastolik 85-89 mmHg, tahap kedua (sedang)
sistolik 160-179 mmHg dan diastolik 100-109 mmHg, tahap ketiga
(berat) sistolik 180-209 mmHg dan diastolik 110-119 mmHg, tahap
keempat (maligna) sistolik 210 mmHg atau lebih dan diastolik 120
mmHg atau lebih (Triyanto, 2014). Kecepatan respirasi (usia dewasa
14 tahun atau lebih kurang dari 11 sampai dengan 24 kali per menit,
usia 1 sampai 4 tahun antara kurang dari 20 sampai dengan 30 kali per
38
menit, dan usia 5 sampai 14 tahun antara kurang dari 15 sampai
dengan 25 kali per menit) (Wilkinson, 2011).
Hasil pemeriksaan abdomen yang dilakukan inspeksi perut
klien
simetris,
terdapat
luka
pembedahan,
terdapat
drain
peritonial,tidak ada rembesan darah, tidak ada kemerahan di sekitar
luka, di auskultasi bising usus 2x/menit. Untuk perkusi dan auskultasi
tidak terkaji. Pengkajian luka terhadap karateristik lokasi, luas,
kedalaman, adanya dan karakter eksudat, termasuk kekentalan, warna
dan bau, ada tidaknya granulasi, ada tidaknya infeksi luka setempat
(edema, pruritas, indurasi, hangat, bau busuk, eksudat) (Wilkinson,
2011).
Terapi yang di berikan setelah post laparatomi adalah cairan
Nacl 0,9% 20 tpm yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan cairan,
injeksi ranitidin 1gr/12jam golongan antasida yang berfungsi untuk
melindungi lambung, asam tranex 50mg golongan hemostatik untuk
mencegah
perdarahan,
injeksi
ceftriaxon
1gr/12jam
golongan
antibiotik untuk mencegah infeksi (ISO, 2010).
2. Diagnosis keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah intrepetasi ilmiah atas data hasil
pengkajian yang intrepetasi ini digunakan perawat membuat rencana,
melakukan implementasi dan evaluasi (Herdman, 2009).
39
Menurut Doengoes Marlyn (2000) pada pasien laparatomi
biasanya ditemukan diagnosis: nyeri akut berhubungan dengan trauma
pembedahan, resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma
jaringan adanya insisi bedah, kerusakan integritas kulit, resiko tinggi
konstipasi atau diare berhubungan dengan abdomen lemahnya otototot abdomen, kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
Pada Tn. S di temukan diagnosis keperawatan nyeri akut,
intoleransi
aktivitas,
dan
kerusakan
integritas
kulit.
Terjadi
kesenjangan antara di tinjauan teori dan asuhan keperawatan pada
pasien. Pada pasien Tn. S penulis tidak mencantumkan resiko infeksi
karena pasien tidak mengalami peningkatan organisme patogenik dan
tidak ada tanda dan gejala infeksi seperti :meningkatnya eritema
terutama
menyebarnya
selulitis,
meningkatnya
pembengkakan,
perubahan volume, warna, atau bau eksudat, meningkatnya hitung sel
darah putih, meningkatnya nyeri atau nyeri tekan, pireksia dan
takikardi, dan malaise umum (Boyle, 2009).
Selain itu penulis tidak mengangkat diagnosa resiko tinggi
konstipasi atau diare dikarenakan ketidaktelitian penulis dalam
mendiagnosis masalah keperawatan. Konstipasi adalah penurunan
pada frekuensi normal defekasi yang di sertai oleh kesulitan atau
pengeluaran tidak lengkap feses/ atau pengeluaran feses yang keras,
kering, dan banyak. Batasan karateristik dari pasien yang muncul
40
adalah bising usus hipoaktif (Herdman, 2010), yang dapat di
hubungkan dengan efek-efek anastesi, manipulasi pembedahan.
Kembalinya fungsi gastrointestinal mungkin terlambat oleh efek
depresan dari anastesi, ileus paralitik, inflamasi peritonial (Dongoes,
2000).
Diagnosa ketiga yang tidak ada pada Tn. S namun ada pada
tinjauan teori adalah kurang pengetahuan. Penulis tidak mengambil
diagnosa tersebut di karenakan dalam batasan karateristik pasien tidak
ada yaitu perilaku hiperbola, ketidakakuratan mengikuti perintah dan
perilaku tidak tepat (misalnya histeria, bermusuhan, agitasi, apatis).
Diagnosa keperawatan pertama adalah nyeri berhubungan
dengan agen cidera fisik, seharusnya itu nyeri akut berhubungan
dengan agen cidera fisik: post laparatomi. Hal tersebut dikarenakan
penulis kurang teliti. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah
cedera akut, penyakit atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang
cepat dengan intensitas yang bervariasi. Nyeri akut berhenti dengan
sendirinya (self-limiting) dan akhirnya menghilang dengan atau tanpa
pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang terjadi kerusakan.
Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari 6 bulan), memiliki omset
yang tiba-tiba, dan terlokalisasi. Nyeri ini biasanya di sebabkan trauma
bedah atau inflamasi (Andarmoyo, 2013).
Penulis mengangkat nyeri sebagai diagnosa utama mengacu
pada teori hierarki maslow dimana setiap mana kebutuhan rasa aman
41
nyaman setalah kebutuhan fisiologis, karena pada kebututuhan
fisiologis tidak terjadi gangguan maka penulis menetapkan nyeri
sebagai diagnosa utama (Mubarak, 2007). Selain itu menurut Sugeng
(2009) nyeri juga di letakan sebagai diagnosa utama dan prioritas
diagnosa.
Penulis mengangkat diagnosa nyeri akut mengacu dari analisa
data dimana data subjektif pasien mengatakan nyeri di bagian perut
setelah operasi, nyeri seperti di sayat-sayat, pasien tampak meringis
kesakitan, pasien gelisah, tekanan darah 140/80mmhg, pernafasan
27x/menit, nadi 68x/menit, suhu 36oC. Data ini sesuai dengan batasan
karateristik menurut Herdman (2010) yaitu perubahan tekanan darah,
perubahan frekuensi pernafasan, mengespresikan perilaku, melaporkan
nyeri secara verbal.
Diagnosa keperawatan yang kedua yang diangkat adalah
intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring. Intoleransi
aktivitas adalah ketidakcukupan energi fisiologis atau psikologis untuk
melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas sehari-hari yang ini atau
harus dilakukan (Wilkinson, 2011).
Penulis mengangkat diagnosa intoleransi aktivitas sesuai dari
analisa data dimana data subjektif pasien mengatakan aktivitasnya di
bantu orang lain, badannnya letih dan lemah, data obyektifnya: pasien
terpasang oksigen, terdapat luka post op laparatomi, pola aktivitas
pasien, toileting di bantu alat, sedangkan berpakaian, mobilitas di
42
tempat tidur, ambulasi dan berpindah di bantu orang lain, terpasang
kateter. Dari data tersebut sesuai dengan batasan kateristik menurut
Herdman (2010): respon tekanan darah abnormal terhadap aktivitas,
menyatakan merasa letih dan lemah.
Diagnosa ketiga adalah kerusakanintegritas kulit berhubungan
dengan medikasi. Kerusakan integritas kulit adalah perubahan dermis
atau epidermis. Hal tersebut tidak sesuai dengan faktor yang
berhubungan karena seharusnya intergritas kulit berhubungan dengan
faktor mekanik: insisi pembedahan berdasarkan analisa data yang
menyatakan pasien mengatakan terdapat luka setelah operasi , panjang
luka ±18cm, luka di balut perban. Diagnosis sesuai dengan batasan
karateristik yaitu kerusakan pada lapisan kulit (Wilkinson, 2010).
3. Intervensi
Intervensi
merupakan
suatu
petunjuk
tertulis
yang
menggambarkan secara tepat rencana tindakan keperawatan yang
dilakukan terhadap pasien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan
diagnosa keperawatannya, didalam intervensi berisikan tujuan, kriteria
hasil yang diharapkan, serta rasional dan tindakan-tindakan yang akan
dilakukan (Asmadi, 2008).
Dalam kasus ini penulis melakukan intervensi sesuai dengan
rumusan masalah diatas selama 3 kali 24 jam dengan tujuan untuk
mengetahui keefektifan tindakan secara maksimal. Tujuan dari
43
intervensi adalah suatu sasaran yang menggambarkan perubahan yang
diinginkan pada setiap kondisi atau perilaku klien dengan kriteria hasil
yang
diharapkan
perawat.
Pedoman
penulisan
kriteria
hasil
berdasarkan SMART (Spesifik, Measurable, Achieveble, Reasonable,
dan Time). Spesifik adalah berfokus pada klien. Measurable dapat
diukur, dilihat, diraba, dirasakan, dan dibau. Achieveble adalah tujuan
yang harus dicapai. Reasonable merupakan tujuan yang harus
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Time adalah batasan pecapaian
dalam rentang waktu tertentu, harus jelas batasan waktunya
(Dermawan, 2012).
Pada diagnosa keperawatan pertama nyeri akut berhubungan
dengan agen cidera fisik, penulis mencantumkan tujuan setelah
tindakan keperawatan 3x24 jam di harapkan nyeri berkurang dengan
kriteri hasil skala nyeri berkurang dari 7 (berat) ke 1 (ringan), pasien
tidak meringis kesakitan, pasien tampak tenang, TTV dalam rentan
normal: tekanan darah diastol <140, sistol <90, pernafasan 1620x/menit, nadi 60-100x/menit dan suhu 35,5oC-37,5oC. Dalam
menetukan skala nyeri kurang rasional seharusnya dari skala nyeri 7
(berat) ke skala nyeri 1-3 (ringan).
Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa yang pertama adalah
kaji nyeri dengan PQRST untuk mengetahui tindakan keperawatan
yang tepat sedangakan menurut Dongoes (2000) rasional dari kaji
nyeri adalah berguna dalam pengawasan keefektifan obat, terapi dan
44
kemajuan penyembuhan. Observasi TTV dan keadaan umum pasien
untuk mengetahui kondisi pasien sedangkan menurut HERDMAN
(2010) nyeri dapat mempengaruhi tanda-tanda vital sesuai dengan
batasan karateristik. Sedangkan menurut Dongoes (2000) rasional dari
mengkur tanda-tanda vital adalah respon autonomik meliputi
perubahan pada TD, nadi dan pernafasan, yang berhubungan dengan
keluhan/ penghilangan nyeri. Lakukan ambulasi dini dan relaksasi
nafas dalam untuk mengurangi nyeri (Dongoes, 2000). Kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian obat analgetik untuk mengurangi
nyeri secara farmakogi sedangkan rasional menurut Dongoes (2000)
yaitu mengontrol/mengurangi nyeri untuk meningkatkan istirahat dan
meningkatkan kerja sama dengan aturan teurapetik.
Pada diagnosa keperawatan yang kedua intoleransi aktivitas
berhubungan dengan tirah baring tujuannya setelah dilakukan tindakan
keperawatan 3x24 jam di harapkan pasien dapat melakukan aktivitas
secara mandiri dengan kriteria hasil aktivitas kembali normal dan tidak
terpasang oksigen. Intervensi yang dapat dilakukan untuk diagnosa
yang kedua yaitu kaji aktivitas klien untuk mengetahui tingkat
toleransi aktivitas rasional sudah sesuai dengan Dongoes (2000).
Jelaskan batasan aktivitas klien sesuai kondisi dan rencanakan waktu
istirahat untuk mencegah terjadinya kelelahan sedangkan menurut
Dongoes (2000) adalah meningkatkan istirahat untuk menurunkan
kebutuhan oksigen tubuh. Tingkatkan aktivitas secara bertahap untuk
45
meningkatkan mobilisasi pasien sedangkan menurut Dongoes (2000)
meningkatkan secara bertahap tingkat aktivitas sampai normal dan
memperbaiki tonus otot/ stamina tanpa kelemahan. Seharusnya
melibatkan keluarga dalam tindakan penghematan energi AKS
(Aktivitas Kegiatan Sehari-hari) (Wilkinson,2010).
Pada diagnosa keperawatan yang ketiga kerusakan integritas
kulit berhubungan dengan faktor mekanik tujuannya setelah dilakukan
tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan integritas kulit kembali
utuh dengan kriteria hasil integritas kembali membaik dan tidak ada
tanda-tanda infeksi. Tujuan dan kriteria dari intervensi tidak rasional
karena dalam waktu tiga hari kulit tidak mungkin dalam keadaan
integritas yang utuh, kulit baru memasuki fase inflamasi berlangsung
sejak terjadinya luka sampai hari kelima (Sjamsuhidajat, 2005).
Sehingga untuk tujuan dari intervensi yang tepat adalah
menunjukan penyembuhan luka primer (Wikinson, 2010). Kriteria
hasil tubuh mencoba menghentikan vasokontriksi, pengerutan ujung
pembuluh yang putus (retraksi), reaksi hemostasis, sel mast
meningkatkan permeabelitas kapiler dan penyebukan sel radang
(Sjamsuhidajat, 2005).
Intervensi yang dapat dilakukan untuk diagnosa keperawatan
ketiga adalah observasi luka pembedahan (warna, bau, besaran luka,
keadaan sekitar luka, edema) untuk mengetahui tindakan keperawatan
yang tepat dan mengetahui ada tidaknya tanda-tanda infeksi sedangkan
46
menurut Dongoes (2000) rasionalnya adalah mungkin indikatif dari
pembentukan
hematoma/
terjadinya
infeksi,
yang
menunjang
perlambatan pemulihan luka dan meningkatkan resiko pemisahan luka.
Edukasi kepada klien untuk menjaga kebersihan luka dan tubuhnya
untuk mencegah terjadinya infeksi sedangkan menurut Dongoes
(2000) meningkatkan penyembuhan, menurunkan resiko infeksi,
memberikan kesempatan untuk mengobservasi pemulihan luka.
Lakukan perawatan luka pada pasien untuk menjaga integritas kulit
sedangkan menurut Dongoes (2000) adalah melindungi pasien dari
kontaminasi silang selama penggantian balutan, balutan basah
bertindak sebagai sumbu retrigad, menyerap kontaminan eksternal.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antibiotik untuk
pengobatan secara farmakologi sedangkan menurut Dongoes (2000)
obat antibiotik diberikan secara profilaktik dan untuk mengatasi
infeksi.
4. Implementasi
Tindakan keperawatan atau implementasi adalah pengelolaan
dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada
tahap perencanaan. Tahap-tahap tindakan keperawatan ialah tahap
persiapan, Intervensi, dan dokumentasi (Setiadi, 2012). Implementasi
yang penulis lakukan pada Tn. S pada diagnosa keperawatan yang
pertama
nyeri
akut
berhubungan
dengan
agen
cidera
fisik
47
implementasi yang dilakukan penulis adalah mengkaji nyeri pasien
dengan PQRST untuk mengetahui tindakan skala nyeri pasien,selain
itu juga untuk mengevaluasi respon klien terhadap terapi. Keuntungan
kajian nyeri bagi klien adalah nyeri di indentifikasi, dikenali sebagai
sesuatu yang nyata yang dapat di ukur, dan dijelaskan, serta digunakan
untuk mengevaluasi perawatan (Potter & Perry, 2005).
Mengkaji TTV dan keadaan umum pasien untuk mengetahui
kondisi perkembangan pasien dan merupakan suatu indikator dari
status kesehatan, ukuran-ukuran ini meHerdmankan kefektifan
sirkulasi, respirasi, dan fungsi neural dan endokrin tubuh. Pengkajian
tanda vital memungkinkan perawat untuk mengidentifikasi diagnosa
keperawatan,
mengimplementasikan
rencana
intervensi
dan
mengevaluasi keberhasilan bila tanda-tanda vital dikembalikan pada
nilai yang diterima (Potter & Perry, 2005).
Menganjurkan
pasien
untuk
melakukan
ambulasi
dini,
seharusnya dalam laporan kasus dalam implementasi disebutkan
tahapan ambulasi dini yang dilakukan tiap harinya. Ambulasi dini
yaitu aktivitas segera setelah pulih dari pengaruh anastesi minimal 2
hingga 6 jam setelah operasi. Prosedur ambulasi dini yang dilakukan:
1) menggerakan lengan, dan tangan, 2) menggerakan ujung jari kaki,
3) mengangkat tumit, menekuk, dan menggeser kaki, 4) miring kanan
kiri. Setelah 24 jam melakukan mobilisasi dini sebagai berikut: latihan
duduk semi fowler atau fowler, ibu duduk lebih dari 5 menit. Setelah
48
36 jam; 1) ibu mulai belajar berjalan, 2) melakukan aktivitas mandiri
seperti toileting dan merawat diri (Sumartinah, 2014).
Pada pelaksaan ambulasi dini sebelum melakukan ambulasi
dini harus memastikan apakah ada tidak pengaruh anastesi, kemudian
mengkaji kestabilan kardiovaskuler dan neuromuskeler pada pasien
(Kusumayanti,
2014).
Seharusnya
penulis
dalam
melakukan
implementasi cara berjalan di jelaskan. Untuk cara latihan berjalannya
adalah klien dilatih dulu untuk duduk baru berlatih untuk turun dari
tempat tidur. Perhatikan waktu klien turun dari tempat tidur apakah
menunjukan gejala-gejala pusing, sulit bernafas, dan lain-lain. Tidak
jarang klien tiba-tiba merasa lemas sebagai akibat hipotensi ortostatik.
Sedangkan menurut Lukman (2013) dalam Rampengan (2014) teknik
relaksasi sendiri dapat mempengaruhi intensitas nyeri, karena jika
teknik relaksasi nafas dalam yang dilakukan secara berulang akan
dapat menimbulkan rasa nyaman
yang pada akhirnya akan
meningkatkan toleransi persepsi dalam menurunkan rasa nyeri yang
dialami. Jika seseorang mampu meningkatkan toleransinya terhadap
nyeri maka seseorang akan mampu beradaptasi dengan nyeri, dan juga
akan memiliki pertahanan diri yang baik pula.
Kemudian istirahat sebentar, ukur denyut nadi. Bila cepat dan
tidak teratur maka harus hati-hati.Mula-mula klien di geser ke tepi
tempat tidur dan dibantu duduk. Bila klien merasa enak, maka perawat
menyangganya di bawah bahu serta lutut dan memutarnya sehingga
49
kedua tungkai dan kakinya berada di samping tempat tidur. Ketika
membantu klien turun dari tempat tidur perawat harus berda tepat
didepannya. Klien meletakan tangannya di pundak perawat dan
perawat meletakakn di bawah ketiak klien. Klien dibiarkan berdiri
sebentar untuk memastikan bahwa ia tidak pusing. Jika klien
memerlukan bantuan sebaiknya perawat berjalan di sampingnya
dengan tangan di lengan klien (Asmadi, 2008).
Diagnosa keperawatan kedua intoleransi aktivitas berhubungan
dengan tirah baring implementasi yang dilakukan adalah mengkaji
aktivitas pasien untuk mengetahui toleransi aktivitas pasien, hal ini di
perlukan jika ada perencanaan aktivitas seperti jalan, latihan rentang
gerak, atau aktivitas sehari-hari dengan penyakit akut kronik. Selain
itu,
pengetahuan
toleransi
aktivitas
klien
dibutuhkan
untuk
merencanakan terapi keperawatan lainnya (Perry, 2005). Menjelaskan
pada pasien tentang batasan aktivitas dan cara penghematan energi,
tujuannya yaitu mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen ,
membrikan kesempatan untuk beristirahat tanpa terganggu (Potter,
2005). Untuk diagnosa keperawatan yang kedua sudah terlaksana
sesuai dengan perencanaan.
Diagnosa keperawatan yang ketiga kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan faktor mekanik implementasi yang dilakukan
mengobservasi luka dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi
yang dapat menghambat luka dan meningkatkan pemisahan luka/
50
dehisens (Dongoes, 2000), memberikan injeksi antibiotik dilakukan
untuk meningkatkan daya tahan tubuh untuk mencegah adanya infeksi,
mengedukasikan kepada pasien untuk menjaga kelembapan sekitar
luka dan melakukan perawatan luka. Pada implementasi pada diagnosa
keperawatan ketiga tidak terjadi hambatan sudah sesuai dengan
perencanaan.
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah tahapan terakhir dari proses
keperawatan untuk mengukur respon terhadaprespon pasien terhadap
tindakan keperawatan dan kemajuan pasien ke arah pencapaian tujuan
(Andarmoyo, 2013).
Evaluasi untuk diagnosa keperawatan yang pertama yaitu nyeri
akut di hari pertama, selasa 10 maret 2015 dilakukan pada pukul 14.00
WIB. Pasien mengatakan masih mengatakan nyeri seperti disayat-sayat
dibagian perut tengah, nyeri seperti di sayat-sayat, skala nyeri 7
(berat), nyeri terus menerus.pasien masih tampak meringis kesakitan,
gelisah, tekanan darah 130/80 mmhg, nadi 78x/menit, respirasi
26x/menit dan suhu 36oC. masalah belum teratasi, lanjutkan intervensi:
kaji nyeri, ambulasi tahap selanjutnya (duduk fowler atau semifowler
lebih dari 5 menit). Pada evaluasi disebutkan masalah belum teratasi
karena berdasarkan kriteria hasil yang ingin dicapai belum tercapai
51
dimana nyeri belum berkurang, respirasi belum normal, dan pasien
masih meringis kesakitan.
Evaluasi diagnosa pertama hari Rabu, 11 Maret 2015 pukul
14.00 WIB, pasien mengatakan masih nyeri di bagian perutnya karena
luka operasinya kemarin, nyeri seperti di sayat-sayat, skala 5, nyeri
hilang timbul. Pasientampak lebih tenang, masih melaporkan nyerinya,
tekanan darah 120/80 mmhg, nadi 78x/menit, respirasi 24x/menit, suhu
36oC, masalah teratasi sebagian, lanjutkan intervensi: kaji nyeri,
ambulasi tahap selanjutnya(berjalan dan toileting secara mandiri).
Berdasarkan evaluasi diatas masalah teratasi sebagian karena masalah
yang teratasi hanya pada nyeri berkurang.
Evaluasi diagnosa pertama hari kamis 12 maret 2015 pukul
14.00 WIB, pasien mengatakan nyeri luka setelah operasi berkurang,
nyeri hilang timbul, skala nyeri 3, nyeri hilang timbul, pasien tampak
tenang,tidur sudah nyenyak. Masalah teratasi sebagian, lanjutkan
intervensi: latih ambulasi dini. Pada evaluasi hari ketiga seharusnya
masalah teratasi berdasarkan kriteria yang benar yang telah dibahas di
intervensi skala nyeri berkurang ke skala nyeri 1-3 (ringan), pasien
tentang, TTV dalam rentan normal.
Evaluasi diagnosa kedua hari selasa 10 maret 2015 pukul 14.10
pasien mengatakanaktivitasnya di bantu, pasien tampak lemah,
keadaan umum lemah, terpasang oksigen dan DC, masalah belum
teratasi, lanjutkan intervensi: kaji aktivitas, tingkatkan aktivitas pasien.
52
Masalah belum teratasi di karenakan dalam dalam kriteria hasil yang di
capai pada pasien belum terpenuhi.
Evaluasi diagnosa kedua hari rabu, 11 maret 2015 pukul 14.05
WIB, pasien mengatakan mulai melakukan aktivitasnya secara
mandiri, mulai mobilisasi di tempat tidur, masih terpasang oksigen,
masalah teratasi sebagian, kaji aktivitas, tingkatkan aktivitas
bertahap.Masalah teratasi sebagian dikarenakan dalam pencapaian
kriteria hasil yang ingin dicapai belum sepenuhnya tercapai.
Evaluasi diagnosa kedua hari kamis 12 maret 2015 pukul 14.05
WIB, pasien mengatakan sudah mulai melakukan aktivitasnya secara
mendiri bertahap, badan sudah mulai segar, sudah bisa duduk, oksigen
sudah dilepas. Masalah tertasi berdasarkan kriteria hasil yang sudah di
tetapkan aktivitas kembali pulih dan sudah tidak terpasang O2, nafas
normal.
Evaluasi diagnosa ketiga hari selasa 10 Maret 2015 pukul 14.15
WIB panjang luka ±18cm, luka di balut kasa , tidak ada rembesan
darah, tidak ada edema, tidak ada kemerahan di sekitar luka. Masalah
teratasi sebagian. Lanjutkan intervensi: anjurkan klien menjaga
kebersihan dan kelembapan kulitnya.
Evaluasi diagnosa ketiga hari rabu 11 Maret 2015 pukul 14.10
WIB pasien mengatakan luka di perutnya habis operasi, panjang 18cm,
luka tidak ada remebesan darah, tidak ada kemerahan sekitar luka,
tidak bau, tidak ada tanda-tanda infeksi. Masalah teratasi sebagian.
53
Anjurkan pasien untuk tetap menjaga kebersihan dan menjaga
kelembapan kulitnya.
Evaluasi diagnosa ketiga hari kamis 12 Maret 2015 pukul
14.10 WIB pasien mengatakan lukanya tadi di bersihkan, luka post
op laparatomi 18cm, luka bersih di balut kasa, tidak ada rembesan
darah, tidak bau, tidak edema. Masalah teratasi sebagian. Anjurkan
pasien untuk tetap menjaga kebersihan kulit dan kelempan. Dala
luka jangan terlalu lembap (basah). Pada kasus ini masalah teratasi
sebagian karena menurut Jitowiyono (2010), proses penyembuhan
luka pasca laparotomi terdiri dari:
5) Fase Pertama berlangsung sampai hari ke 3. Batang leukosit
banyak yang rusak/ rapuh. Sel-sel darah baru berkembang
menjadi penyembuh dimana serabut- serabut bening digunakan
sebagai kerangka
6) Fase kedua, dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh
kolagen, seluruh pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1
minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan
7) Fase ketiga, sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus
ditimbun, timbul jaringan-jaringan baru dan otot dapat
digunakan kembali.
8) Fase keempat, penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukakan asuhan keperawatan yang meliputi
pengkajian,
analisa
data,
intervensi,
implementasi,
evaluasi
serta
pengaplikasian ambulasi dini terhadap intensitas nyeri pada asuhan
keperawatan Tn. S yang menjalani laparatomi di ruang hcu bedah Rumah
Sakit Dr. Moewardi, maka akan dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.
Pengkajian
Keluhan utama adalah nyeri di bagian perut. Skala nyeri di ukur
dengan PQRST yaitu dengan uraian P: nyeri akibat luka pemdahan di
perut, Q: nyeri seperti di sayat-sayat, R: nyeri di perut bagian tengah, S:
skala nyeri 7, T: nyeri terus-menerus. Data objektifnya pasien tampak
meringis kesakitan, terdapat luka post op laparatomi. Pasien mengatakan
sebelum operasi pasien pernah melakukan pemeriksaan ct-scan yang
hasilnya pasien terdiagnosa tumor capud pankreas.
2.
Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn. S adalah nyeri akut
b.d agen cidera fisik, intoleransi aktivitas b.d tirah baring, kerusakan
integritas kulit b.d faktor mekanik insisi pembedahan.
54
3.
Perencanaan
Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa yang pertama adalah
kaji nyeri dengan PQRST untuk mengetahui tindakan keperawatan yang
tepat.observasi TTV dan keadaan umum pasien untuk mengetahui
kondisi pasien. Lakukan ambulasi dini untuk mengurangi nyeri.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik untuk
mengurangi nyeri secara farmakogi.
4.
Implementasi
Tindakan keperawatan dilakukan mulai hari selalsa, 10 maret
2015 sampai dengan kamis, 12 maret 2015 dengan mengkaji skala nyeri
dengan PQRST, mengobservasi TTV, melakukan ambulasi dini,
mengkolaborasikan dengan dokter dalam pemberian obat.
5.
Evaluasi
Evaluasi Tn. S dengan post laparatomi selama 3 hari pengelolaan,
Tn. S dengan post laparatomi nyeri berkurang, pasien mulai melakukan
mobilisasi.
6.
Analisa aplikasi jurnal dengan kasus
Didalam pengaplikasian ambulasi dini selama tiga hari dikatakan
berhasill dengan tolak ukur berkurang dari 7 menjadi 3 yang menandakan
intensitas nyeri pada pasien berkurang dan pasien tampak lebih tenang
dan rileks.
56
B. Saran
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada tn. S dengan
laparatomi, penulis memberikan usulan dan masukan positif di bidang
keperawatan antara lain:
1.
Bagi perawat harus berkolaborasi dengan tenaga medis dan tenaga
kesehatan lain dalam pemberian asuhan keperawatan kepada klien
dengan gangguan sistem percernaan dengan menggunakan terapi
ambulasi dini sebagai pilihan terapi modalitas keperawatan dalam
managemen nyeri salah satu contohnya pada klien dengan pada pasien
post laparatomi Selain itu penerapan teknik ambulasi dini dapat
dikembangkan atau dapat dilakukan untuk meningkatkan peristaltik usus.
2.
Bagi institusi pendidikan keperawatan diharapkan dapat meningkatkan
fasilitas, sarana, dan prasarana dalam proses pendidikan dari apa yang
sudah ada saat ini, melengkapi perpustakaan dengan buku-buku
keperawatan
khususnya
gangguan
sistem
percernaan
dengan
menggunakan ambulasi dini sebagai pilihan terapi modalitas keperawatan
dalam managemen nyeri salah satu contohnya pada klien dengan post
laparatomi atas indikasi tumor capud pankreas.
3.
Bagi Rumah Sakit diharapkan dapat memberikan pelayanan serta
melengkapi sarana dan prasarana yang sudah ada secara optimal dalam
pemenuhan asuhan keperawatan klien khususnya klien dengan nyeri post
laparatomi dengan menggunakan ambulasi dini sebagai pilihan terapi
57
modalitas keperawatan dalam managemen nyeri salah satu contohnya
pada klien laparatomi atas indikasit tumor capud pankreas.
DAFTAR PUSTAKA
Andarmoyo, sulistyo. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Jogjakarta:
Ar-Ruzzmedia.
Asmadi. 2008. Teknik Prosedur Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan
Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.
Boyle, Maureen. 2009. Pemulihan Luka (Wounding Healing in Midwifery).
Jakarta: EGC
Budiarto. 2003. Metedologi Penelitian Kedokteran: Sebuah Pengantar. Jakarta:
EGC
Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta: EGC.
Depkes RI. 2007. Profil Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2010. Profil Kesehatan Republik Indonesia.
Dermawan, Deden. 2012. Proses Keperawatan Penerapan Konsep dan Kerangka
Kerja. Gosyen Publising.Yogyakarta.
Doenges, Marylin, E., 2007, Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan
Pasien, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
Kasdu, D 2005, Operasi Caesarea Masalah dan Solusinya, Puspa Swara, Jakarta.
Kozier, Barbara. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses
dan Praktik. Volume 1. Edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kusumayanti. 2014. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Lamanya
Perawatan Pada Pasien Pasca Operasi Laparatomi Di Instalasi Rawat Inap
BRSU Tabanan.
Morison, M. 2004. Managemen Luka. Jakarta :EGC
Mubarak, wahid iqbal. 2007. Buku Ajar Kebutuhan Dasr Manusia: Teori &
Aplikasi dalam Pratik. Jakarta : EGC.
NANDA, 2010, Panduan Diagnosa Keperawatan, Alih bahasa : Budi Santosa.
Prima Medika. Jakarta.
Potter& Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan
Praktik. Volume 1. Edisi 4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rustiawati, yuni. 2012. Efektivitas Ambulasi Dini terhadap Penurunan Intensitas
Nyeri pada Pasien Post Operasi laparatomi.
Sjamsuhidayat, M. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. 2005.
Smeltzer dan Bare. 2005. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Suyono, Slamet. 2001. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Gaya Baru.
Sugeng. 2009. Asuhan Keperawatan Bedah. Jakarta: Nuha Medika
Sumartinah. 2014. Hubungan Mobilisasi Dini Dam Kadar Hemoglobin Terhadap
Penyembuhan Luka Operasi Sectio Caesarea Di Semarang.
Wilkinson, J.M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan; Diagnosis: NANDA,
Intervensi: NIC, Kriteria Hasil: NOC. Edisi 9. Terjemahan Esti
Wahyuningsih Jakarta: EGC
Yanti, N. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi
Dini Pada Pasien Pasca Operasi Ekstremitas Bawah Di Rindu B3 RSUP
Adam Malik Medan. Di peroleh tanggal 05 maret 2015. http://
respiratory.usu.ac.id/utsteam/123456789/14032/1/10E1074.pdf
Rampengan, Stania.F. 2014. Pengaruh Teknik Relaksasi Dan Teknik Distraksi
Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Di
Ruang Irina A Atas Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
Triyanto, Endang. 2014. Pelayanan Keperawatan bagi Penderita Hipertensi
Secara Terpadu. Graha Ilmu. Yogyakarta
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Norma Nofita Sari
Tempat, tanggal lahir
: Sragen, 23 April 1994
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat rumah
: Tegalmulyo Rt. 08/01, Tegalombo, Kalijambe,
Sragen.
Riwayat pendidikan
: TK Aisiyah Tegalombo
SD Negeri Tegalombo 1
SMP N 1 Gemolong
SMA N 1 Gemolong
Riwayat pekerjaan
:-
Riwayat Organisasi
: BEM STIKes Kusuma husada
IKM DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada
KEDS STIKes Kusuma Husada
USULAN JUDUL APLIKASI JURNAL DALAM PENGELOLAAN ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN
NAMA
: Norma Nofita Sari
NIM
: P.12 042
JUDUL JURNAL
: Efekvitas Ambulasi Dini Terhadap Intensitas Nyeri Pada
Pasien Post Op Laparotomy Di Rsud Kudus
Latar belakang masalah
Nyeri merupakan pengalaman pribadi yang diekspresikan secara berbeda
pada masingmasing individu. Setiap individu memiliki pengalaman nyeri dalam
skala tertentu. Nyeri bersifat subyektif, dan persepsikan individu berdasarkan
pengalamannya. Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri
menjadi alasan yang paling umum bagi seseorang mencari perawatan kesehatan
karena dirasakan mengganggu dan menyulitkan mereka. Perawat perlu mencari
pendekatan yang paling efektif dalam upaya pengontrolan nyeri (Potter, 2005).
Rasa nyeri merupakan stressor yang dapat menimbulkan ketegangan.
Individu akan merespon secara biologis dan perilaku yang menimbulkan respon
fisik dan psikis. Respon fisik meliputi perubahan keadaan umum, ekspresi wajah,
nadi, pernafasan, suhu, sikap badan dan apabila nyeri berada pada derajat berat
dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan syok. Respon psikis akibat nyeri
dapat merangsang respon stress yang dapat menekan sistem imun dan peradangan,
serta menghambat penyembuhan. Respon yang lebih parah akan mengarah pada
ancaman merusak diri. Nyeri pada pasien dapat terjadi karena proses perjalanan
penyakit maupun tindakan diagnostik dan invasif pada pemeriksaan (Smeltzer &
Bare, 2002).
Tindakan medis yang sering menimbulkan nyeri adalah pembedahan.
Salah satu pembedahan yang mempunyai angka prevalensi yang cukup tinggi
adalah laparatomi. Laparatomi merupakan tindakan dengan memotong pada
dinding abdomen seperti caesarean section sampai membuka selaput perut.
Laporan Depkes RI (2007) menyatakan laparatomi meningkat dari 162
pada tahun 2005 menjadi 983 kasus pada tahun 2006 dan 1.281 kasus pada tahun
2007. Komplikasi pada pasien post laparatomi adalah nyeri yang hebat,
perdarahan, bahkan kematian. Post operasi laparatomi yang tidak mendapatkan
perawatan maksimal setelah pasca bedah dapat memperlambat penyembuhan dan
menimbulkan komplikasi (Depkes, 2010).
Pasien post laparatomi memerlukan perawatan yang maksimal untuk
mempercepat pengembalian fungsi tubuh. Hal ini dilakukan segera setelah operasi
dengan latihan napas dan batuk efektif dan mobilisasi dini. Perawatan post
laparatomi merupakan bentuk perawatan yang diberikan kepada pasien yang telah
menjalani operasi pembedahan perut. Tujuan perawatannya adalah mengurangi
komplikasi, meminimalkan nyeri, mempercepat penyembuhan, mengembalikan
fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi, mempertahankan
konsep diri dan mempersiapkan pulang, hal ini dilakukan sejak pasien masih di
ruang pulih sadar (Arif, 2010).
Tujuan
Tujuan dari penelitian jurnal ini adalah untuk mengetahui efektivitas ambulasi
dini terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post op laparotomy.
a. Diketahuinya intensitas nyeri pada pasien hari I post operasi laparatomi
yang dilakukan ambulasi dini
b. Diketahuinya intensitas nyeri pada pasien hari II dan III post operasi
laparatomi yang dilakukan ambulasi dini
c. Diketahuinya perbedaan intensitas nyeri dari hari Ke I-III pada pasien post
laparatomi yang dilakukan ambulasi dini
Surakarta, 16 Februari 2015
Atiek Murharyati S.Kep. Ns., M.Kep.
Efektivitas Ambulasi Dini terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada Pasien Post Operasi
Laparatomi di RSUD Kudus
1
2
3
Yuni Rustianawati , Sri Karyati , Rizka Himawan .
ABSTRAK
xiv + 63 Halaman + 11 Tabel + 3 Gambar + 7 Lampiran
Latar Belakang : Nyeri merupakan pengalaman pribadi yang diekspresikan secara berbeda. Tindakan medis yang
sering menimbulkan nyeri adalah pembedahan seperti laparatomi. Komplikasi tindakan pembedahan laparatomi adalah
nyeri. Pasien post laparatomi memerlukan perawatan yang maksimal untuk mempercepat pengembalian fungsi tubuh.
Hal ini dilakukan dengan pemberian intervensi mobilisasi dini (latihan gerak sendi, gaya berjalan, toleransi aktivitas
sesuai kemampuan dan kesejajaran tubuh). Ambulasi dini pasca laparatomi dapat dilakukan sejak di ruang pulih sadar
(recovery room) dengan miring kanan/kiri dan memberikan tindakan rentang gerak secara pasif. Latihan ambulasi dini
dapat meningkatkan sirkulasi darah yang akan memicu penurunan nyeri.
Tujuan : Efektivitas ambulasi dini terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi di RSUD
Kudus.
Metode Penelitian : Penelitian ini termasuk jenis penelitian Quasi Ekperimen dengan desain penelitian Non Equivalent
Control Group. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien operasi laparatomi di RSUD Kudus sebanyak 20 orang pada
bulan Januari-Pebruari 2013. Teknik pengambilan sampel dengan Accidental Sampling sehingga besar sampel sebanyak
20 responden. Uji analisa data dengan uji Independent Samples T test.
Hasil Penelitian : Uji Independent Samples T Test, pada hari ke 1 didapatkan nilai p value = 0.009, hari ke 2
didapatkan nilai p value 0.000 dan hari ke 3 didapatkan nilai p value 0.000. Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan
rata-rata intensitas nyeri hari ke 1, 2 dan 3 antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (Ha diterima dan Ho
ditolak).
Kesimpulan : Terdapat perbedaan rata-rata intensitas nyeri pada hari ke I, II dan III antara kelompok eksperimen yang
melakukan ambulasi dini dan kelompok kontrol yang tidak melakukan ambulasi dini. Untuk itu diperlukan prosedur
tetap terhadap intervensi ambulasi dini pada pasien pasca laparatomi dan diperlukan kecakapan perawat dalam
pemberian terapi.
Kata Kunci
:
Intensitas Nyeri, Ambulasi Dini, Laparatomi
Referensi
:
27 (Tahun 2002-2012).
Keterangan :
1. Mahasiswa Stikes Muhammadiyah Kudus
2. Pembimbing Utama
3. Pembimbing Anggota
The Effectiveness of Early Ambulation to degradation of Pain Intensity at the Pasca Laparatomy
Surgery Patient in The District Governmant Hospital of Kudus.
1
2
3
Yuni Rustianawati , Sri Karyati , Rizka Himawan .
ABSTRACT
xiv + 63 Pages + 11 Tables + 3 Pictures + 7 Enclosures
The Background : Pain represented the self person experience that expressed differing. The medication which often
generat pain was the surgery like the laparatomi operating. The complication of surgery of laparatomy was pain. The
patient post laparatomy operating needed the maximal treatment to quicken return of body function. The intervention
was the early mobilitation (moving joint, gait, activites tolerance and paralellesim of body). Early ambulation at pasca
laparatomy can be done since conciousness at recovery room by right or lef oblique and treatment to passive motion.
Early ambulation can raised the circulation and can degradated the pain saverity.
The Target : This research had the goal to know effectiveness of early ambulation to degradation of pain intensity at
the pasca laparatomy surgery patient in The District Governmant Hospital of Kudus.
The Method : The type of this research was The Quasi Experiment with design of research was Non Equivalent Control
Group. The population of this research was the patient pasca laparatomi surgery in The District Governmant Hospital
of Kudus counted 20 peoples at 2013 January-Pebruari. The technique sampling used the Accidental Sampling so the
size sampling counted 20 responders. Test analyze test with the Independent Samples T test.
The Result : The Independent Samples T Test, at first day got the value of p = 0.009, at the scond day got the value of
p 0.000 and the the third day got the value of p 0.000. This result shown the difference of pain intensity mean at the
first, scond and third among the experiment group and control group (acceptance Ha and refused Ho).
The Conclusion : There was the difference of pain intensity mean at the first day, scond and third between
experimental group that conduct the early ambulation and control group that not conduct early ambulation. For that
needed the standar prosedure operating of the early ambulation intervention at the patient of pasca laparatomy surgery
and needed the good job of treatment.
The Keywords :
The Pain Intensity, The Early Ambulation, The Laparatomy Surgery.
References
27 (2002-2012).
:
1. The Student of STIKES Muhammadiyah Kudus
2. The Chief Counselor
3. The Member Counselor
A. Latar Belakang
Nyeri merupakan pengalaman pribadi yang diekspresikan secara berbeda pada masingmasing individu. Setiap individu memiliki pengalaman nyeri dalam skala tertentu. Nyeri bersifat
subyektif, dan persepsikan individu berdasarkan pengalamannya. Nyeri merupakan pengalaman
sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial. Nyeri menjadi alasan yang paling umum bagi seseorang mencari perawatan kesehatan
karena dirasakan mengganggu dan menyulitkan mereka. Perawat perlu mencari pendekatan yang
paling efektif dalam upaya pengontrolan nyeri (Potter, 2005).
Rasa nyeri merupakan stressor yang dapat menimbulkan ketegangan. Individu akan
merespon secara biologis dan perilaku yang menimbulkan respon fisik dan psikis. Respon fisik
meliputi perubahan keadaan umum, ekspresi wajah, nadi, pernafasan, suhu, sikap badan dan
apabila nyeri berada pada derajat berat dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan syok.
Respon psikis akibat nyeri dapat merangsang respon stress yang dapat menekan sistem imun dan
peradangan, serta menghambat penyembuhan. Respon yang lebih parah akan mengarah pada
ancaman merusak diri. Nyeri pada pasien dapat terjadi karena proses perjalanan penyakit
maupun tindakan diagnostik dan invasif pada pemeriksaan (Smeltzer & Bare, 2002).
Tindakan medis yang sering menimbulkan nyeri adalah pembedahan. Salah satu
pembedahan yang mempunyai angka prevalensi yang cukup tinggi adalah laparatomi.
Laparatomi merupakan tindakan dengan memotong pada dinding abdomen seperti caesarean
section sampai membuka selaput perut. Laporan Depkes RI (2007) menyatakan laparatomi
meningkat dari 162 pada tahun 2005 menjadi 983 kasus pada tahun 2006 dan 1.281 kasus pada
tahun 2007. Komplikasi pada pasien post laparatomi adalah nyeri yang hebat, perdarahan,
bahkan kematian. Post operasi laparatomi yang tidak mendapatkan perawatan maksimal setelah
pasca bedah dapat memperlambat penyembuhan dan menimbulkan komplikasi (Depkes, 2010).
Pasien post laparatomi memerlukan perawatan yang maksimal untuk mempercepat
pengembalian fungsi tubuh. Hal ini dilakukan segera setelah operasi dengan latihan napas dan
batuk efektif dan mobilisasi dini. Perawatan post laparatomi merupakan bentuk perawatan yang
diberikan kepada pasien yang telah menjalani operasi pembedahan perut. Tujuan perawatannya
adalah
mengurangi
komplikasi,
meminimalkan
nyeri,
mempercepat
penyembuhan,
mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi, mempertahankan
konsep diri dan mempersiapkan pulang, hal ini dilakukan sejak pasien masih di ruang pulih sadar
(Arif, 2010).
Pasien pasca operasi seringkali dihadapkan pada permasalahan adanya proses peradangan
akut dan nyeri yang mengakibatkan keterbatasan gerak. Nyeri bukanlah akibat sisa pembedahan
yang tidak dapat dihindari tetapi ini merupakan komplikasi bermakna pada sebagian besar
pasien. Akibat nyeri pasca operasi, pasien menjadi immobil yang merupakan kontraindikasi yang
dapat mempengaruhi kondisi pasien. Dari segi penderita, timbulnya dan beratnya rasa nyeri
pasca bedah dipengaruhi fisik, psikis atau emosi, karakter individu dan sosial kultural maupun
pengalaman masa lalu terhadap rasa nyeri. Derajat kecemasan penderita pra bedah dan pasca
bedah juga mempunyai peranan penting. Misalnya, takut mati, takut kehilangan kesadaran, takut
akan terjadinya penyulit dari anestesi dan pembedahan, rasa takut akan rasa nyeri yang hebat
setelah pembedahan selesai (Widya, 2010).
Menurut Kristiantari (2009) masalah keperawatan yang terjadi pada pasien pasca
laparatomi meliputi impairment, functional limitation, disability. Impairment meliputi nyeri akut
pada bagian lokasi operasi, takut dan keterbatasan LGS (Lingkup Gerak Sendi), Functional
limitation meliputi ketidakmampuan berdiri, berjalan, serta ambulasi dan Disability meliputi
aktivitas yang terganggu karena keterbatasan gerak akibat nyeri dan prosedur medis. Nyeri yang
hebat merupakan gejala sisa yang diakibatkan oleh operasi pada regio intraabdomen. Sekitar
60% pasien menderita nyeri yang hebat, 25% nyeri sedang dan 15% nyeri ringan (Nugroho,
2010).
Intervensi keperawatan untuk meningkatkan pengembalian fungsi tubuh dan mengurangi
nyeri, pasien dianjurkan melakukan mobilisasi dini, yaitu latihan gerak sendi, gaya berjalan,
toleransi aktivitas sesuai kemampuan dan kesejajaran tubuh. Ambulasi dini pasca laparatomi
dapat dilakukan sejak di ruang pulih sadar (recovery room) dengan miring kanan/kiri dan
memberikan tindakan rentang gerak secara pasif. Menurut Kasdu (2005) mobilisasi dini post
operasi laparatomi dapat dilakukan secara bertahap, setelah operasi, pada 6 jam pertama pasien
harus tirah baring dulu. Mobilisasi dini yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan,
tangan, menggerakkan ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit,
menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser kaki. Setelah 6-10 jam, pasien diharuskan
untuk dapat miring kekiri dan kekanan untuk mencegah trombosis dan trombo emboli. Setelah
24 jam ibu dianjurkan untuk dapat mulai belajar duduk. Setelah pasien dapat duduk, dianjurkan
untuk belajar berjalan (Kasdu, 2005).
Latihan ambulasi dini dapat meningkatkan sirkulasi darah yang akan memicu penurunan
nyeri dan penyembuhan luka lebih cepat. Terapi latihan dan mobilisasi merupakan modalitas
yang tepat untuk memulihkan fungsi tubuh bukan saja pada bagian yang mengalami cedera tetapi
juga pada keseluruhan anggota tubuh. Terapi latihan dapat berupa passive dan active exercise,
terapi latihan juga dapat berupa transfer, posisioning dan ambulasi untuk meningkatkan
kemampuan aktivitas mandiri (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Potter & Perry (2005) mobilisasi dini sangat penting sebagai tindakan
pengembalian secara berangsur-angsur ke tahap mobilisasi sebelumnya. Dampak mobilisasi
yang tidak dilakukan bisa menyebabkan gangguan fungsi tubuh, aliran darah tersumbat dan
peningkatan intensitas nyeri. Mobilisasi dini mempunyai peranan penting dalam mengurangi rasa
nyeri dengan cara menghilangkan konsentrasi pasien pada lokasi nyeri atau daerah operasi,
mengurangi aktivasi mediator kimiawi pada proses peradangan yang meningkatkan respon nyeri
serta meminimalkan transmisi saraf nyeri menuju saraf pusat. Melalui mekanisme tersebut,
ambulasi dini efektif dalam menurunkan intensitas nyeri pasca operasi (Nugroho, 2010).
Hasil studi pendahuluan pada Bulan Oktober 2012 di RSUD Kudus didapatkan jumlah
pasien bedah dengan kategori bedah laparatomi meningkat setiap bulannya. Pada bulan Juli 2012
sebanyak 8 kasus, bulan Agustus 2012 sebanyak 12 kasus, bulan September 14 kasus. Masalah
keperawatan utama pada pasien bedah adalah nyeri akut, meskipun sudah diberikan tindakan
medis dengan obat analgetik, pasien masih merasakan nyeri yang hebat. Dalam hal ini tindakan
mandiri perawat adalah melatih pasien untuk melakukan teknik distraksi relaksasi napas dalam.
Selan itu intervensi untuk melakukan mobilisasi dini juga sangat berpengaruh terhadap
penurunan nyeri pasien. Tindakan mobilisasi dini dapat dilakukan secara aktif dan pasif, mulai di
ruang pulih sadar dan di ruang perawatan. Hasil penelitian Irwansyah (2011) tentang pengaruh
latihan rentang gerak sendi terhadap lingkup gerak sendi pada pasien fraktur femur post operasi
ORIF di Instalasi Rawat Inap Bedah
Rumah
Sakit
Umum
Pusat Dr. Mohammad
Hoesin Palembang memberikan kesimpulan bahwa latihan rentang gerak dapat meningkatkan
lingkup gerak sendi. Penelitian yang dilakukan oleh Salam (2012) tentang pengaruh mobilisasi
terhadap kesembuhan luka post laparatomi mendapatkan hasil bahwa mobilisasi pasca
laparatomi dapat mempercepat kesembuhan luka, selain itu disebutkan juga mobilisasi dapat
menurunkan nyeri. Berdasarkan alasan ini, penulis termotivasi untuk melakukan penelitian
tentang efektivitas mobilisasi dini terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien pasca operasi
laparatomi.
B. Perumusan Masalah
Pasien pasca operasi sering mengalami nyeri akibat diskontinuitas jaringan (luka operasi)
akibat insisi pembedahan serta akibat posisi yang dipertahankan selama prosedur pasca operasi.
Nyeri sebagai pengalaman subyektif yang akan dirasakan dan diekspresikan secara berbeda.
Intensitas nyeri post laparatomi akan dipengaruhi tindakan ambulasi dini secara efektif.
Intervensi keperawatan yang dilakukan adalah dengan memberikan tindakan ambulasi dini,
karena dengan ambulasi dini dapat meningkatkan peredaran darah dan metabolisme tubuh,
mencegah trombosis dan emboli. Ambulasi dini post laparatomi juga dapat menurunkan
intensitas nyeri dengan cara menekan transmisi saraf nyeri menuju saraf pusat. Ambulasi dini
yang tidak sesuai dapat meningkatkan nyeri, untuk itu diperlukan upaya terpadu dalam intervensi
penurunan nyeri melalui terapi mobilisasi dini.
C. Pertanyaan Penelitian
Apakah ambulasi dini efektif dalam menurunkan intensitas nyeri pada pasien post operasi
laparatomi di RSUD Kudus?.
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya efektivitas ambulasi dini terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post
operasi laparatomi di RSUD Kudus.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya karakteristik responden di RSUD Kudus.
b. Diketahuinya intensitas nyeri pada pasien hari I post operasi laparatomi yang dilakukan
ambulasi dini dan tidak dilakukan di RSUD Kudus.
c. Diketahuinya intensitas nyeri pada pasien hari II dan III post operasi laparatomi yang
dilakukan ambulasi dini dan tidak dilakukan di RSUD Kudus.
d. Diketahuinya perbedaan intensitas nyeri dari hari Ke I-III pada pasien post laparatomi yang
dilakukan ambulasi dini dan tidak dilakukan ambulasi dini di RSUD Kudus.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian dapat dijadikan bahan masukan atau (sumber informasi) serta dasar
pengetahuan bagi para mahasiswa keperawatan dan dapat dijadikan sebagai materi latihan
dalam menangani pasien nyeri.
2. Bagi Institusi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bukti nyata akan efek terapi mobilisasi terhadap
nyeri sehingga dapat dijadikan sebagai suatu SOP/SAK untuk menurunkan nyeri pada pasien
nyeri pasca operasi.
3. Bagi Peneliti SelanjutnyaHasil penelitian dapat menjadi data dasar untuk penelitian
selanjutnya dan untuk menambah referensi tentang efektivitas mobilisasi dini, dan juga bisa
untuk dilanjutkan pada penelitian-penelitian selain nyeri pasca operasi.
F. Keaslian Penelitian
Tabel 1.1
Keaslian Penelitian
Judul (Peneliti,
Variabel
Metode
Hasil
Pengaruh mobilisasi
Variabel
Jenis
terhadap kesembuhan
bebasnya
penelitian
luka pada pasien post
mobilisasi.
Quasi
laparatomi (Abdus
Variabel
Experimen.
terhadap kesembuhan
Salam, 2012).
terikatnya
Pendekatan
luka post laparatomi.
kesembuhan
Pre and
luka.
Post Test.
Pengaruh latihan
Variabel
Jenis
rentang gerak sendi
bebasnya
penelitian
yang signifikan antara
terhadap lingkup
latihan
Quasi
latihan rentang gerak
gerak sendi pada
rentang
Experimen.
Tahun)
pasien fraktur femur
gerak sendi.
Terdapat pengaruh
yang signifikan antara
mobilisasi dini
Terhadap pengaruh
sendi terhadap
lingkup gerak sendi
post operasi orif di
Variabel
Pendekatan
Instalasi Rawat Inap
terikatnya
Non-
Bedah Rumah Sakit
lingkup
Equivalent
gerak sendi.
Control
Inap Bedah Rumah
Group.
Sakit Umum Pusat dr.
Umum Pusat dr.
Mohammad
pada pasien fraktur
femur post operasi
orif di Instalasi Rawat
Hoesin Palembang
Mohammad
(Fadly Irwansyah,
Hoesin Palembang.
2011).
G. Ruang Lingkup Penelitian
1. Lingkup Masalah
Penelitian ini menitikberatkan pada efektivitas mobilisasi dini terhadap penurunan
intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi.
2. Lingkup Keilmuan
Penelitian ini termasuk dalam lingkup ilmu keperawatan medikal bedah yang berfokus
pada masalah gangguan rasa nyaman (nyeri) pasca operasi laparatomi.
3. Lingkup Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Ruang Bedah RSUD Kudus pada bulan Pebruari-Maret
2013.
4. Lingkup Sasaran
Sasaran dalam penelitian ini adalah pasien pasca operasi laparatomi.
HUBUNGAN MOBILISASI DINI DAN KADAR HEMOGLOBIN TERHADAP
PENYEMBUHAN LUKA OPERASI
DI SEMARANG
Sumartinah¹; Eni Kusyati²; Dwi Kustriyanti³; Hermeksi Rahayu³
STIKES Karya Husada Semarang [email protected];
[email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Latar belakang: Sectio caesaria adalah suatu tindakan mengeluarkan bayi dengan melakukan insisi atau pemotongan
pada kulit, otot perut, serta rahim ibu dan memerlukan pengawasan intensif untuk mengurangi komplikasi akibat
pembedahan. Mobilisasi dini bertujuan untuk mempercepat proses penyembuhan luka, dan mempercepat involusi alat
kandungan. Luka post sectio caesarea merupakan hilangnya kontinuitas jaringan dimana kesembuhan luka sectio
caesarea sangat dipengaruhi oleh suplai oksigen dan nutrisi kedalam jaringan yang dapat dilihat melalui pemeriksaan
kadar hemoglobin (Hb). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan mobilisasi dini dan kadar hemoglobin
terhadap penyembuhan luka sectio caesarea di RS.Panti Wilasa “Dr. Cipto” Semarang.
Metodologi Penelitian ini menggunakan desain analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi
dalam penelitian ini adalah pasien dengan tindakan sectio cesare yang memenuhi kriteria inklusi, besar sampel dengan
rumus Solvin 36 responden tempat penelitian di Ruang Helsa RS. Panti Wilasa “Dr. Cipto” Semarang.
Hasil Penelitian menunjukkan ibu post SC di RS Panti Wilasa “Dr. Cipto” Semarang sebagian besar melaksanakan
mobilisasi dini post SC sebanyak 17 responden (77,3 %), mempunyai kadar Hb normal sebanyak 21 responden (95,5
%), dan sebagian besar mengalami penyembuhan luka post SC dengan cepat sebanyak 21 responden (58,3%).
Kesimpulan: Ada hubungan yang signifikan antara hubungan mobilisasi dini dan kadar Hb ibu post SC terhadap
penyembuhan luka post sectio caesarea di RS.Panti Wilasa “Dr. Cipto” Semarang Tahun 2013 dengan p value 0,004.
Kata kunci: Mobilisasi, hemoglobin, penyembuhan luka, sectio caesaria
LATAR BELAKANG
Sectio caesaria adalah suatu tindakan
mengeluarkan bayi dengan melakukan insisi
atau pemotongan pada kulit, otot perut, serta
rahim ibu (Surininah,2008). Pasien yang
mengalami sectio caesarea memerlukan
pengawasan intensif untuk mengurangi
komplikasi akibat pembedahan, mempercepat
penyembuhan,
mengembalikan
fungsi
fisiologis pasien semaksimal mungkin seperti
sebelum operasi, mempertahankan konsep
diri pasien, dan mempersiapkan pasien pulang
(Pemilla 2007).
Persalinan sectio caesarea di Indonesia
tahun 2009 tercatat 18.665 kelahiran, dengan
19.5% -27.3% karena chepalo pelvic
disproportion (CPD), 11.8% - 21 % karena
perdarahan, 43%-81.7% karena janin letak
sectio
akan
sungsang.
Tindakan
mengakibatkan perubahan fungsi fisiologis
tubuh
antara lain depresi pernapasan,
kehilangan banyak darah saat pembedahan,
turunnya metabolisme suhu tubuh ,serta
menurunnya intensitas gastro intestinal.
Sectio saesaria membutuhkan pemeriksaan
dan monitoring secara efektif, diantaranya
dengan mengajarkan mobilisasi dini.
Mobilisasi dini adalah kebijaksanaan
untuk selekas mungkin membimbing klien
keluar dari tempat tidurnya dan berjalan
secara mandiri (Saleha, S.2009). Mobilisasi
dini bertujuan untuk mempercepat proses
penyembuhan luka, mempercepat involusi
alat kandungan, melancarkan fungsi alat
gastrointestinal dan alat perkemihan serta
meningkatkan kelancaran peredaran darah,
(Cunningham, 2005). Penelit ian 1 Februari-5
Maret 2012 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
didapatkan data ibu nifas post secsio caesarea
yang melakukan mobilisasi dengan
baik
yaitu ibu multipara sebanyak 74,4% dari
jumlah pasien sectio caesarea sebanyak 119
pasien.
Rumah sakit Panti Wilasa “Dr. Cipto”
Semarang tahun 2010, didapatkan data
jumlah persalinan sebanyak 1.019 pasien, 308
pasien (30,2%) dengan persalinan sectio
caesarea, namun belum ada data yang dapat
diidentifikasi berapa jumlah pasien yang
melakukan mobilisasi dini post pembedahan
sectio caesarea. Hasil wawancara yang di
lakukan di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
tahun 2009 kepada 10 pasien post sectio
caesarea didapatkan data bahwa 60% ibu
post sectio caesarea tidak mau melakukan
mobilisasi dini karena ibu merasa nyeri,
malas karena takut jahitan lepas di hari ke 2-3
post sectio caesarea. Fungsi fisiologis tubuh
post sectio caesarea dapat kembali normal
selain melakukan mobilisasi dini, juga
memerlukan nutrisi yang cukup agar sel dan
jaringan mampu melakukan regenerasi ke
struktur normal, sehingga juga mempengaruhi
penyembuhan luka.
Luka post sectio caesarea didefinisikan
sebagai hilangnya kont inuitas jaringan atau
kulit yang disebabkan oleh trauma atau
prosedur pembedahan (Agung 2006). Proses
penyembuhan luka sectio melalui beberapa
tahapan
yaitu
inflamasi,
proliferasi,
fibroplastik dan maturasi (Hendro, 2006).
Kesembuhan luka sectio caesarea sangat
dipengaruhi oleh suplai oksigen dan nutrisi
kedalam jaringan yang dapat dilihat melalui
pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb). Ibu post
sectio cesarea dengan kadar hemoglobin
rendah
dapat
mempengaruhi
proses
penyembuhan luka operasi sectio caesarea
(Winknjosastro, 2006).
Penelitian di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta jumlah persalinan sectio caesarea
tahun 2006-2007 sejumlah 502 pasien, 200
pasien diantaranya menjalani perawatan lebih
dari 7 hari karena belum menyatunya jaringan
kulit post operasi sectio caesarea dengan data
kadar hemoglobin normal. Rumah sakit Panti
Wilasa “Dr. Cipto “melakukan pemeriksaan
hemoglobin pada pasien post operasi sectio
caesarea 6 setelah pembedahan, dan pada
hari- hari selanjutnya tidak dilakukan
monitoring
pemeriksaan
hemoglobin,
sehingga tidak jarang didapati pasien saat
kontrol terjadi infeksi luka operasi karena
kedapatan pasien takut makan atau pantang
makan berprotein. Penelitian ini bertujuan
untuk hubungan mobilisasi dini dan kadar
hemoglobin terhadap penyembuhan luka post
sectio saesarea di Ruang Helsa Rumah sakit
Pant i Wilasa Dr. Cipto Semarang.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis
penelit ian
ini
adalah
analitik
korelasional dengan cross sectional design
yaitu mencari hubungan mobilisasi dini dan
kadar hemoglobin dengan lama penyembuhan
luka. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit
Pant i Wilasa “Dr. Cipto “Semarang di Ruang
Helsa. Kriteria inklusi dalam penelitian ini
adalah usia ibu 25 – 35 tahun, pasien yang
baru pertama kali menjalani operasi sectio
caesarea, bisa membaca dan menulis, ibu
bersalin tidak menderita Diabetes Mellitus.
Kriteria eksklusinya ibu bersalin dengan
Sectio Caesarea disertai komplikasi. Karena
suatu hal, responden mengundurkan diri dan
tidak ikut berpartisipasi dalam penelitian.
Sebelum dijadikan responden, responden
diberikan inform consent dan lembar
persetujuan responden. Jumlah responden
sebanyak 36 ibu.
Ibu bersalin yang datang di RS Panti Wilasa
dengan SC, dan memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi sebanyak 36 selama periode
bulan November hingga Desember 2013
akan diambil sebagai responden. Ibu bersalin
dengan SC akan diukur Hb 5 jam sesudah SC
dan diobservasi mobilisasi dini yaitu aktifitas
segera setelah pulih dari pengaruh anestesi
minimal 2 hingga 6 jam setelah operasi.
Sebelum dilakukan ambulasi dini, pasien
akan di beri tahu dan diberi penjelasan
mengenai ambulasi dini, teknik dan
keuntungan melakukan melakukan ambulasi
dini pasca operasi. Prosedur mobilisasi yang
dilakukan adalah:1) menggerakkan lengan,
dan tangan, 2) menggerakkan ujung jari kaki
dan memutar pergelangan
kaki, 3)
mengangkat tumit, menekuk dan menggeser
kaki, dan 4) Miring kanan dan kiri. Setelah
24 jam, melakukan mobilisasi sebagai
berikut: 1) latihan duduk semi flower atau
flower, 2) Ibu dapat duduk lebih dari 5 menit
dan Setelah 36 jam; 1) ibu mulai belajar
berjalan, 2) melakukan aktivitas mandir i
seperti toileting dan merawat diri. Lama
kesembuhan luka diukur menggunakan
checklist dan diobservasi selama 7 hari paska
SC. Penyembuhan luka cepat bila skor 4-7
dan lambat jika skor 1-3.
Analisis data yang digunakan adalah univariat
untuk mendeskripsikan atau menggambarkan
karakterist ik responden yaitu usia, status
obstetri, mobilisasi dini, kadar hemoglobin
dan lama penyembuhan luka. Analisa bivariat
digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan antara mobilisasi dini dengan lama
penyembuhan luka dan kadar Hb dengan
penyembuhan luka menggunakan chi square
Mobilisa
si
Dini
Lambat
Jumlah
Kesembuhan luka
post SC
Total
F
17
4
%
77,3
28,6
Lamba
t
F
%
5
22,7
10 71,4
21
58,3
15
Cepat
41,7
P
value
F
21
14
%
100,0
100,0
36
100,0
%
0,004
test.
Pengolahan data dan analisis data
dilakukan dengan komputer menggunakan
software SPSS.
HASIL
Ibu post SC yang melakukan mobilisasi dini
sebanyak 22 responden (61,1%) sedangkan
ibu post SC yang mengalami mobilisasi
lambat sebanyak 14 responden (38,9%). Ibu
post SC yang mempunyai kadar Hb normal
Frekuensi
%
Mobilisasi dini
Mobilisasi lambat
Jumlah
Kadar Hemoglobin
1.
22
2.
14
Jumlah
22
14
36
Frekuensi
61,1
38,9
36
61,1
38,9
100
%
58,3
41,7
100
Penyembuhan Luka
Frekuensi
%
61,1
38,9
58,3
41,7
36
100
No
Mobilisasi Post SC
1.
2.
1.
2.
22
14
Jumlah
sebanyak 21 responden (58,3%) sedangkan
ibu post SC yang mengalami anemia
sebanyak 15 responden (41,7%). Sebagian
besar ibu post SC mengalami penyembuhan
luka dengan cepat sebanyak 21 responden
(58,2%) (Tabel 1).
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan
mobilisasi post SC, kadar hemoglobin dan
penyembuhan luka
Ibu post SC sebanyak 21 (100%) yang
melakukan mobilisasi dini mengalami
kesembuhan luka cepat yaitu 17 (77,3%) dan
yang mengalami kesembuhan luka lambat
sebanyak 5 (22,7%), sedangkan dari 14
(100%) responden yang melakukan mobilisasi
lambat, yang mengalami kesembuhan luka
cepat sebanyak 4 (28,6%) responden dan yang
mengalami kesembuhan luka lambat ada 10
(71,4%) responden.
Tabel 2 hubungan mobilisasi dini terhadap
penyembuhan luka post SC
Berdasarkan
hasil
penelitian,
kemudian dilakukan analisa data dengan
menggunakan perhitungan secara statistik
melalui uji Chi square dengan derajat
kepercayaan (95%) dengan kebebasan (df) =
1 Setelah data diolah ternyata terdapat 0 sel
(0,0%) yang mempunyai nilai harapan <5,
sehingga dianalisa menggunakan Chi Square
dengan tingkat probabilitas
hasil olah data didapatkan nilai Chi Square
sebesar 8,349 dengan p value sebesar = 0,004.
Sehingga terdapat hubungan yang signifikan
antara mobilisasi dini terhadap penyembuhan
luka post sectio caesarea di Ruang Helsa
RS.Panti Wilasa “Dr. Cipto” Semarang Tahun
2013.
Berdasarkan tabulasi
silang pada
tabel 4.13. tersebut diatas dapat diketahui
bahwa dari 21 (100%) responden ibu post
sectio caesarea dengan kadar Hemoglobin
normal mengalami kesembuhan luka post
Sectio caesarea cepat, 19 (90,5%) responden,
yang mengalami kesembuhan luka lambat 2
(9,5%) responden , sedangkan dari 15 (100%)
responden post sectio caesarea anemia
mengalami kesembuhan luka post sectio
caesarea cepat, 2 (13,3%) responden, yang
kesembuhan lukanya lambat ada 13 (86,7%)
responden.
Tabel 3. Hubungan kadar hemoglobin dengan
kesembuhan luka post SC
Kadar Hb
Normal
Anemia
Jumlah
Kesembuhan luka
post SC
Cepat
lambat
f
%
F
%
19 90,5
2
9,5
2
13,3
13
86,7
F
21
15
%
100
100
21
36
100
58,3
15
41,7
Total
Berdasarkan
hasil
penelitian,
kemudian dilakukan analisa data dengan
menggunakan perhitungan secara statistik
P
value
0,000
melalui uji Chi square dengan derajat
kepercayaan (95%) dengan kebebasan (df) =
1 Setelah data diolah ternyata terdapat 0 sel
(0,0%) yang mempunyai nilai harapan < 5,
sehingga dianalisa menggunakan Chi Square
dengan tingkat probabilitas
hasil olah data didapatkan nilai Chi Square
sebesar 21,424 dengan p value sebesar =
0,000
KESIMPULAN
Ibu post Sectio Caesarea di Ruang Helsa RS
Pant i Wilasa “Dr.Cipto” Semarang sebagian
besar melaksanakan mobilisasi dini post
Sectio Caesarea, mempunyai kadar Hb
normal, dan sebagian besar mengalami
penyembuhan luka post Sectio Caesarea
dengan cepat. Ada hubungan yang signifikan
antara mobilisasi dini terhadap penyembuhan
luka post sectio caesarea dengan p value
sebesar 0,004. Ada hubungan yang signifikan
antara kadar Hb ibu post Sectio Caesarea
terhadap penyembuhan luka post sectio
caesarea di Ruang Helsa RS.Panti Wilasa
“Dr. Cipto” Semarang Tahun 2013
Daftar Pustaka
Ali, Z. 2009. Dasar-Dasar Keperawatan
Profesional.Jakarta : Widya Medika. Arikunto,
S. 2006. Prosedur Penelit ian Suatu
Pendekatan Prakt ik. Edisi revisi 6.Jakarta
: PT Rineka Cipta.
Abadi, A. 2007.Kadar Hemoglobin ibu post
partum, http://www. Symposia.ac.id,
Pebruari 2007.diakses 2 Juni 2011.
Dharma, dkk.,2007. Definisi Hemodilusi,
http/www.Symposia.ac.id/artikel/definisihemodilusi.pdf, artikel Januari 2007.
Bariah, K. 2010. Efektifitas mobilisasi
diniterhadap proses penyembuhan pasien
paska bedah sctio caesarea , TA
Universitas Sumatra utara, Medan.
Capernito, L. J. 2007. Rencana Asuhan dan
Dokumentasi
Keperawatan.Edisi
2.Jakarta : EGC.
Dedi,
2009.
Hemokensentrasi.
http://yayamanis.
blogspot.com/2009/hubungan-kejadiananemia-pada-ibu-hamil.html, Maret 2009
Grace.
2007. Gambaran
Pelaksanaan
Perawatan Luka Post Operasi Sectio
Caesarea (SC) dan Kejadian Infeksi di
Ruang Mawat I RSUD Dr. Moewardi.
http://etd.eprints.ums.ac.id/10344/3/J210
060042.PDF Diakses tanggal 9 Desember
2011.
Hamilton. 2010. Mobilisasi dini. Jakarta:
Salemba Medika
Haryati at all (2008).Evalausi model
perencanaan pulang yang berbasis
teknologi
informasi.http//www.repository.ui.ac.id
diakses tanggal 30 Oktober 2011
Jong, W. D. 2004. Buku Ajar: Ilmu Bedah.
Edisi 2.Jakarta : EGC
Kozier, B., et al. 2004. Fundamentals of
Nursing Concepts Process and Practice.1
st volume, 6 th edition. New Jersey :
Pearson/prentice Hall
Kart inah, 2009. Mekanis Penyemnuhan Luka.
KDM 2006.Keperawatan S1,FIK, UMS
Kozier et all,2010. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan Konsep Proses dan Praktik
Edisi 2,EGC, Jakarta
Moya J. Morison. Manajemen Luka. Jakarta :
EGC. 2008
Novita Liza. 2007. Tinjauan lama hari
perawatan pasca sctio caesarea di
instalasi rawat inap obstetric dan
ginekologi RSUD Arifin Achmad, TA
Universitas Riau, Pekan Baru.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit
Rhineka Cipta. Halaman 27, 37.
Mochtar Rustam, 2007, Sinopsis Obstetri
Jilid 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta
Perry, A. G. & Potter, P. A. 2005. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan : konsep,
proses, dan praktik. Volume 1, Edisi
4.Jakarta : EGC
Perry, A. G. & Potter, P. A. 2006. Clinical
Nursing Skills & Technique.6 th edition.
Missouri : Mosby Inc.
Sarwono,
Prawiroharjo,.
2005.
Ilmu
Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta : PT
Gramedi.
Siregar, Charles J.P. dan Endang Kumolosasi.
2006. Farmasi Klinik Teori dan Penerapan, Jakarta :
Penerbit
Kedokteran EGC.
Swearingen, P. L. 2000. Seri Pedoman
Praktis : Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 2.Jakarta : EGC
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian
Administrasi. Bandung : Alfabeta. Smeltzer, Suzane C, and Bare, Brenda G.
2002. Buku Ajar Keperawatan Medical
Buku
Bedah, Volume 2, Edisi 8.Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Wiknjosastro. 2008. Ilmu Bedah Kebidanan
Jakarta, Yayasan Bina Pustaka
0,000,
Sehingga ada hubungan signifikan antara kadar Hemoglobin ibu
Caesarea dengan kesembuhan luka post Sectio Caesarea di Ruang Helsa RS Pant i
“Dr
Cipto” Semarang.
post Sectio
Wilasa
Download