STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL Ikhtiar Mewujudkan Pertanian Yang Berkelanjutan M. Tufaila Sitti Leomo Syamsu Alam Editor : Muhidin Unhalu Press STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL Ikhtiar Mewujudkan Pertanian Yang Berkelanjutan Penyusun M. TUFAILA SYAMSU ALAM SITTI LEOMO Editor MUHIDIN M. TUFAILA SYAMSU ALAM SITTI LEOMO STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL Ikhtiar Mewujudkan Pertanian Yang Berkelanjutan Editor MUHIDIN Unhalu Press Kendari, 2014 STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL : Ikhtiar Mewujudkan Pertanian Yang Berkelanjutan Penulis : M. Tufaila, Syamsu Alam dan Sitti Leomo Editor : Muhidin Desain Cover dan Tata Letak La Mudi & Firmansyah Labir Diterbitkan oleh Unhalu Press Kampus Hijau Bumi Tridharma Jalan H.E.A. Mokodompit, Kendari 93231 Email: [email protected], [email protected] Cetakan Pertama : Oktober 2014 Strategi Pengelolaan Tanah Marginal : Ikhtiar Mewujudkan Pertanian Yang Berkelanjutan M. Tufaila, Syamsu Alam, Sitti Leomo xi + 110 hlm, 15,5 x 23 cm ISBN : 978-602-8161-71-8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). iv STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL v KATA PENGANTAR Bismillaahirrahmaanirrahiim Puji syukur penulis persembahkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah sehingga penulis dapat merampungkan karya buku yang berjudul Strategi Pengelolaan Lahan Marginal : Ikhtiar Mewujudkan Pertanian yang Berkelanjutan. Sholawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Kerusakan sumberdaya lahan dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan baik luasannya maupun tingkat kerusakannya. Jika kondisi ini tidak segera dikelola dengan serius maka akan berdampak buruk pada seluruh aspek kehidupan. Harapan pemenuhan kebutuhan sumberdaya lahan yang berproduktivitas tinggi untuk menopang kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang terus meningkat menjadi semakin sulit untuk diwujudkan. Luas lahan yang berproduktivitas memadai jumlahnya sangat terbatas ditambah lagi dengan tingginya konflik kepentingan terhadap lahan tersebut sehingga lahan yang subur menjadi barang langka. Pilihan bijak yang harus dilakukan adalah mencari alternatif pemanfaatan lahan yang kurang subur atau lahan marginal. Potensi lahan marginal di Indonesia sangat tinggi diperkirakan lebih dari 100 juta hektar yang terdiri atas lahan kering masam, lahan gambut dan lahan sulfat masam atau lahan pasang surut. Jika potensi lahan marginal tersebut dikelola dengan baik menjadi lahan yang berproduktivitas memadai maka konstribusinya menjadi sangat berarti dalam meningkatkan produksi pertanian untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Namun dalam pengelolaan lahan marginal harus seminimal mungkin berdampak negatif terhadap lingkungan sehingga produksi pertanian dapat diwujudkan secara berkelanjutan. Penulis menyadari sebagaimana ungkapan pepatah tiada gading yang tak retak, buku ini pasti ada kekurangannya sehingga kritik dan saran dari para pembaca sangatlah diharapkan agar tampilan berikutnya M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL vi menjadi lebih baik. Namun demikian, penulis berharap buku ini dapat digunakan oleh berbagai pihak sebagai sumber pengetahuan dalam pengelolaan lahan marginal untuk mewujudkan pertanian yang berkelanjutan. Penulis menyadari pula bahwa dalam merampungkan tulisan ini begitu banyak pihak yang membantu. Pada kesempatan yang mulia ini, penulis menyampaikan banyak ucapan terima kasih semoga amal baik tersebut diberikan imbalan yang setimpal oleh Allah SWT. Semoga buku ini dapat bermanfaat dan dapat menjadi sebagai amal ibadah dihadapan Allah SWT. Amin. Kendari, September 2014 Penulis M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL vii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR I. PENDAHULUAN II. KONSEP LAHAN MARGINAL DAN PERTANIAN BERKELANJUTAN A. Lahan Marginal B. Pertanian Berkelanjutan III. STRATEGI PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN A. Zonasi Lahan 1. Zonasi lahan menurut LREP 2. Zonasi lahan berdasarkan agroekologi 3. Zonasi lahan berdasarkan karakteristik lahan B. Evaluasi Kesesuaian Lahan 1. Tingkat evaluasi kesesuaian lahan 2. Klasifikasi kesesuaian lahan 3. Metode evaluasi kesesuaian lahan 4. Kesesuaian lahan aktual (A) dan potensial (P) IV. STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN KERING A. Pengertian dan Potensi Lahan Kering B. Karakteristik Tanah C. Pertanian di Lahan Kering 1. Pengelolaan air 2. Budidaya organik V. STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT A. Pengertian dan Potensi Lahan Gambut B. Pembentukan dan Klasifikasi Gambut 1. Pembentukan gambut 2. Klasifikasi gambut M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam v vii ix x 1 3 3 4 7 7 8 9 13 14 15 15 17 18 22 22 24 27 29 30 39 39 40 40 42 STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL C. Karakteristik Tanah Gambut 1. Krakteristik fisik 2. Karakteristik kimia D. Pertanian di Lahan Gambut 1. Kriteria pemanfaatan lahan gambut 2. Pengelolaan air 3. Pengelolaan kesuburan tanah 4. Jenis tanaman di lahan gambut VI. STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM A. Pengertian dan Potensi Lahan Sulfat Masam B. Pembentukan dan Klasifikasi Tanah Sulfat Masam 1. Pembentukan tanah sulfat masam 2. Klasifikasi tanah sulfat masam C. Karakteristik Tanah Sulfat Masam 1. Krakteristik fisik 2. Karakteristik kimia D. Pertanian di Lahan Sulfat Masam 1. Pengelolaan air 2. Pengelolaan kesuburan tanah 3. Jenis tanaman di lahan sulfat masam DAFTAR PUSTAKA INDEKS M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam viii 45 45 46 48 48 49 56 58 71 71 72 72 74 77 77 78 79 79 82 84 88 99 STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL ix DAFTAR TABEL Tabel 1. Zona wilayah berdasarkan kelerengan 2. Kualitas dan karakteristik lahan untuk tanaman Jenis usaha perbaikan kualitas/karakteristik lahan 3. berdasarkan tingkat pengelolaannya Asumsi tingkat perbaikan kualitas lahan aktual untuk 4. menjadi potensial menurut tingkat pengelolaannya 5. Luas total lahan gambut dan yang layak untuk pertanian serta sebarannya di Indonesia 6. Kriteria pemanfaatan gambut berdasarkan ketebalan lapisan, bahan di bawah gambut dan hidrologi 7. Dosis anjuran dan manfaat pemberian amelioran pada Tanah gambut 8. Jenis dan pemanfaatan tanaman pangan di lahan gambut 9. Jenis dan pemanfaatan tanaman perkebunan di lahan gambut 10. Jenis dan pemanfaatan tanaman sayuran di lahan gambut 11. Jenis dan pemanfaatan tanaman buah di lahan gambut 12. Tipe luapan lahan sulfat masam yang berada di wilayah rawa pasang surut 13. Kriteria dan tipologi lahan sulfat masam berdasarkan jeluk dan kondisi pirit 14. Jenis dan varietas tanamn palawija, sayur, buah-buahan dan tanaman industri dan ketahanannya di lahan sulfat masam M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam 12 18 20 21 40 49 58 60 62 63 66 75 76 86 STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL x DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Penggunaan mulsa jerami (a) dan mulsa plastik (b) pada pertanian lahan kering 2. Tanaman cabai (a) dan tanaman kubis (b) hasil budidaya organik 3. Contoh gambut fibrik (mentah) (a) dan gambut hemik (setengah matang) (b) 4. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah: a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah, b. Pembentukan gambut topogen, dan c. pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen 5. Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran drainase 6. Akar tanaman yang menggantung menunjukkan Terjadinya subsiden (penurunan permukaan) 7. Denah tata air sistem handil 8. Pembuatan tabat pada handil 9. Tata air sistem garpu UGM 10. Contoh tata air mikro pada lahan sawah dan tegalan 11. Pintu stoplog di saluran tersier (a. tampak depan; b. tampak samping) 12. Persiapan lahan gambut untuk budidaya tanaman 13. Tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan gambut 14. Pintu air otomatis pada saluran irigasi tersier dalam sistem aliran satu arah 15. Pintu air otomatis pada saluran drainase tersier dalam sistem aliran satu arah 16. Denah sistem aliran satu arah 17. Tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan sulfat masam M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam 30 38 43 44 45 46 51 52 53 54 55 59 70 80 81 81 87 1 STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL PENDAHULUAN I Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sekitar 237 juta jiwa dan diperkirakan menjadi 380 juta jiwa pada tahun 2050 dengan laju pertumbuan penduduk sekitar 1,5% per tahun atau terjadi pertambahan penduduk 3,5 juta per tahun. Jumlah penduduk yang sedemikian besarnya tersebut, termasuk peringkat ke empat jumlah penduduk terbanyak dunia, satu sisi menunjukkan sedemikian besarnya potensi sumberdaya manusia tetapi di sisi lain jika tidak mampu dikelola dengan baik dalam memenuhi kebutuhan hidupnya justru akan menjadi bencana bagi bangsa Indonesia. Jumlah penduduk dengan peningkatan sebesar itu harus didukung oleh sejumlah pangan yang cukup. Namun produksi pangan saat ini masih jauh lebih rendah dari kebutuhan konsumsi nasional. Sementara lahan pertanian yang produktif, luasannya sangat terbatas dan semakin berkurang. Setiap tahunnya sekitar 110.000 hektar beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Jumlah sawah baru yang dicetak pemerintah (dengan dukungan dana APBN) hanya mencapai 20.000 hingga 40.000 hektar per tahun, tidak sebanding dengan lahan sawah yang terkonversi (Ihsan, 2013). Akibatnya, produksi pangan semakin terbatas dibandingkan dengan permintaan yang terus meningkat. Beberapa produk pangan strategis seperti beras, kedelai, bawang merah, cabai, dan buah-buahan segar semakin langka. Untuk mengatasinya, pemerintah mengambil langkah yang kurang bijak yaitu mengimpor berbagai komoditas pangan strategis tersebut. Kebijakan seperti ini tidak sejalan dengan upaya mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Jika hanya mengandalkan produksi pertanian pada lahan yang subur maka dapat dipastikan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional yang semakin meningkat. Pilihannya untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan adalah perluasan lahan pertanian pada lahan-lahan marginal seperti pada lahan kering, lahan gambut dan lahan sulfat masam atau lahan pasang surut. Hal ini sangat dimungkinkan karena potensi lahan marginal di Indonesia cukup tinggi M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 2 yaitu dapat melebihi 100 juta hektar. Produksi pertanian pada lahan marginal seperti tanaman padi dan palawija, tanaman perkebunan, dan tanaman hortikultura cukup menjajikan dan telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap kebutuhan pangan nasional. Pengelolaan lahan marginal untuk memenuhi kebutuhan produksi pertanian harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian karena dihadapkan dengan permasalahan lahan marginal yang sedemikian kompleksnya. Kendalanya mencakup sifat fisik, kimia, fisikokimia, biologi tanah, kehadiran bahan-bahan beracun baik organik maupun anorganik, dan kondisi hidrologi lahan yang memerlukan penataan khusus. Akibatnya lahan marginal sangat rentan terhadap perubahan. Jika terjadi kesalahan atau kelalaian dalam pengelolaannya maka akan berdampak besar terhadap kerusakan lingkungan. Oleh karena itu untuk meningkatkan harkatnya menjadi lahan yang berproduktivitas memadai diperlukan teknologi pertanian yang bekerja serbacakup. Teknologi pertanian yang diandalkan selama ini yaitu teknologi pertanian yang bertumpu pada prodak kimiawi dan rekayasa lingkungan terbukti telah memberikan dampak yang merugikan terhadap lingkungan. Teknologi pertanian di lahan marginal yang diharapkan adalah teknologi yang mengedepankan pertimbangan kualitas dan kelestarian lingkungan untuk mewujudkan pertanian yang berkelanjutan. Teknologi pertanian yang dimaksud seperti teknologi masukan rendah, budidaya organik, dan sistem gizi tanaman terpadu. Pengelolaan lahan marginal seperti itu diharapkan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan produksi pertanian dalam rangka mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan nasional yang berkelanjutan. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam 3 STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL KONSEP LAHAN MARGINAL DAN PERTANIAN BERKELANJUTAN II A. Lahan Marginal Lahan marginal adalah lahan yang mempunyai potensi rendah sampai dengan sangat rendah untuk menghasilkan tanaman pertanian atau dapat disebut sebagai lahan yang mempunyai mutu rendah karena memiliki beberapa faktor pembatas. Menurut Strijker (2005) menyebutkan bahwa lahan marginal dicirikan oleh penggunaan lahan yang mempunyai kelayakan ekonomi yang kurang menguntungkan. Namun demikian dengan penerapan teknologi dan sistem pengelolaan yang tepat guna, potensi lahan tersebut dapat ditingkatkan menjadi lebih produktif. Potensi yang sangat rendah pada lahan marginal ini disebabkan oleh sifat tanah, lingkungan fisik, atau kombinasi dari keduanya yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Lahan yang telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisika, kimia, dan biologi, yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis dan pertanian serta kehidupan sosial ekonomi masyarakat disebut dengan lahan kritis. Pengertian lahan marginal dan lahan kritis pada dasarnya sama. Istilah marginal digunakan untuk mengacu pada makna potensi dari lahan. Adapun istilah kritis digunakan untuk menunjukkan aspek kerusakan dan kerugian akibat perubahan yang terjadi dari sifat tanah dan lingkungannya. Di Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan basah maupun lahan kering. Lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat masam dan rawa pasang surut seluas 24 juta ha, sementara lahan kering berupa tanah ultisol 47,5 juta ha dan oxisol 18 juta ha (Suprapto, 2002). Prospek lahan marginal ini cukup besar untuk pengembangan pertanian namun sekarang ini belum dikelola dengan baik. Lahan-lahan tersebut kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk memperbaiki produktivitasnya. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 4 Terbentuknya lahan marginal dapat secara alami atau sebagai gejala geologis akibat letusan gunung berapi, gempa bumi, kebakaran, longsor, dan banjir atau genangan. Namun yang banyak terjadi dan sering dipermasalahkan adalah lahan marginal yang terbentuk sebagai akibat penggunaan dan sistem pengelolaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi dan kelestarian lingkungan. B. Pertanian Berkelanjutan Paradigma pembangunan berkelanjutan menurut Bank Dunia diterjemahkan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (Environmentally Sustainable Development Triangle) yang bertumpu pada keberlanjutan ekonomi, ekologi, dan sosial. Berkelanjutan secara ekonomis mengandung pengertian bahwa suatu kegiatan pembangunan harus mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, penggunaan sumberdaya, serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis berarti bahwa kegiatan tersebut mampu mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity). Keberlanjutan secara sosial diartikan bahwa pembangunan tersebut dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Dahuri, 1998). Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan. Pertanian berkelanjutan tidak identik dengan anti teknologi dan kembali ke model pertanian tradisional. Pertania berkelanjutan tidak menghendaki pupuk kimiawi dan pestisida karena kedua input bahan M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 5 baku tersebut berasal dari sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui dan telah terbukti berdampak buruk terhadap lingkungan serta membahayakan kesehatan. Pertanian berkelanjutan mempunyai beberapa prinsip (Budiasa, 2011) yaitu : (a) menggunakan sistem input luar yang efektif, produktif, murah, dan membuang metode produksi yang menggunakan sistem input dari industri, (b) memahami dan menghargai kearifan lokal serta lebih banyak melibatkan peran petani dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pertanian, dan (c) melaksanakan konservasi sumberdaya alam yang digunakan dalam sistem produksi. Van der Heide et al. (1992) mengemukakan sistem pertanian yang berkelanjutan memenuhi kriteri seperti berikut : 1. Dapat mempertahankan sumber alam sebagai penunjang produksi tanaman untuk jangka panjang dengan cara : (a) mengontrol erosi dan memperbaiki struktur tanah, (b) mempertahankan kesuburan tanah dengan cara menjaga keseimbangan hara, dan (c) mengusahakan diversifikasi tanaman di lahannya. 2. Dapat mempertahankan produktivitas lahan dengan tenaga kerja yang cukup : swasembada penyediaan pangan, kayu bakar dan hasil sampingan lainnya 3. Dapat mengatasi resiko gagal panen akibat musim yang kurang cocok, hama, penyakit, gulma dan turunnya harga pasaran, melalui : (a) mempertahankan diversifikasi (setiap komponen dengan kelebihannya masing-masing); dan (b) mampu bertahan bila mengalami kegagalan dalam berproduksi. 4. Dapat menyediakan dan memberikan peluang untuk perbaikan pengembangan: (a) penelitian pada tingkat petani untuk mendapatkan teknologi yang dibutuhkan; dan (b) paket teknologi yang cocok untuk berbagai kondisi. 5. Tidak ada efek negatif terhadap lingkungan, misalnya : (a) tidak ada erosi atau pengendapan dan pendangkalan pada sungai dan danau, (b) tidak ada pencemaran air tanah maupun air permukaan, dan (c) tidak terjadi pencemaran yang berkaitan dengan agroindustri. 6. Tidak terdapat lahan marginal (yang berkaitan dengan 1 dan 2) : tidak ada perambahan terhadap sumberdaya hutan dan suaka alam. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 6 7. Tidak ada ketergantungan terhadap sarana produksi yang berasal dari industri ataupun bahan impor. 8. Tidak menimbulkan masalah emisi gas yang dapat merubah komponen iklim. Berdasarkan kriteria yang dikemukakan Van der Heide et al., (1992) suatu sistem pengelolaan tanah masam dapat dikatakan berkelanjutan atau sustainable apabila memenuhi beberapa tanda berikut : (1) menekan penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu; (2) menekan gangguan gulma; (3) menekan serangan hama dan penyakit; (4) menekan erosi tanah; dan (5) mempertahankan keberagaman tanaman (diversifikasi). M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam 7 STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL STRATEGI PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN III A. Zonasi Lahan Lahan adalah bagian dari bentang alam yang mencakup pengertian fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, geologi, hidrologi, keadaan vegetasi alami bahkan hasil aktivitas manusia baik saat sekarang maupun masa yang akan datang yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Pengertian ini menunjukkan bahwa berdasarkan konteks keruangan, lahan sangat bervariasi sehingga dapat dibedakan zona lahan yang satu dengan zona lahan yang lain. Zona lahan merupakan suatu kawasan yang penggunaan utama dan penggunaan lahan yang diperbolehkan adalah penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahan untuk mendukung maksud-maksud penggunaannya secara berkelanjutan dan sejalan dengan praktek pengelolaan lahan yang benar serta rumusan kebijaksanaan penggunaannya, untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan pelestariannya (LREP II, 1996; Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Untuk keperluan perencanaan penggunaan lahan sangat diperlukan zonasi lahan. Zonasi lahan merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi lahan (zona lahan) yang memiliki kesamaan syaratsyarat dalam penggunaannya, guna menentukan langkah-langkah pengelolaan lahan dan cara penggunaan lahan secara berkelanjutan dalam arti memperhatikan kelestarian sumberdaya lahan serta merumuskan langkah-langkah tindakan yang menjamin bahwa penggunaan lahan dapat diawasi berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan lahan yang benar. Zonasi lahan dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan seperti: zonasi lahan menurut LREP (Land Resources Evaluation and Planning), zonasi lahan berdasarkan agroekologi, dan zonasi lahan berdasarkan karakteristik lahan. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 8 1. Zonasi lahan menurut LREP Zonasi lahan menurut sistem ini dilakukan melalui identifikasi zona lahan, pemberian batasan, dan penyajian secara spasial atas zona lahan tersebut dan penetapan prosedur untuk mengawasi penggunaan lahan yang akan terjadi dengan mempertimbangkan: (a) Kesesuaian lahan untuk mendukung dan melestarikan produktivitas ataupun pola hidup yang berlaku, melalui penerapan pengelolaan sumberdaya lahan secara benar dan upaya-upaya pelestarian sumberdaya lahan dan kehidupan di atasnya; (b) Kebijaksanaan nasional dan provinsi berkenan dengan hak atas tanah dan prioritas untuk pelestarian dan pengembangannya; (c) Pola penggunaan lahan saat ini, yaitu apakah alokasi penggunaannya sudah disetujui secara resmi, atau adanya hak atas tanah secara tradisional yang melekat, ataukah dirambah/dikuasai secara ilegal; dan (d) Adat istiadat masyarakat setempat. Zonasi lahan yang dilakukan diharapkan dapat berfungsi sebagai alat untuk menjamin bahwa sumberdaya lahan yang digunakan dapat terkendali serta menjamin kelestariannya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka maksud dari zonasi lahan adalah untuk mengelompokkan lahan-lahan yang mempunyai kemampuan yang sama (dan oleh karena itu mempunyai kesamaan dalam persyaratan pengelolaannya) dalam rangka menyusun pedoman penggunaan lahan untuk memelihara kualitas dan karakter dari lahan-lahan tersebut. Agar zonasi lahan dapat dilaksanakan secara efektif, langkahlangkah yang perlu dilakukan adalah : (1) menyusun daftar berbagai kemungkinan penggunaan lahan yang ada dan memperoleh kesepakatan diantara pihak-pihak yang terkait (melalui serangkaian diskusi); (2) mengevaluasi kesesuaian lahan berkaitan dengan sistem pengelolaan yang tepat untuk setiap penggunaan lahan; dan (3) merumuskan kebijaksanaan penggunaan lahan dengan memperhatikan hal-hal berikut: (a) prioritas penggunaan lahan, (b) keserasian penggunaan lahan dengan kemampuannya, (c) mengatasi konflik penggunaan lahan; dan (d) merumuskan prosedur untuk mendorong keserasian antara kebijaksanaan penggunaan lahan dan hasil zonasi lahan. Berdasarkan konsep bahwa zonasi lahan adalah mengidentifikasi kawasan-kawasan yang paling tepat untuk satu atau beberapa M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 9 penggunaan lahan yang cocok atas dasar pertimbangan kesesuaian lahannya, praktek-praktek pengelolaan yang diterapkan dan kebijaksanaan pemerintah dalam penggunaan lahan, maka pendekatan zonasi lahan akan menghasilkan : (a) peta-peta yang menggambarkan distribusi zona lahan yang direkomendasikan; (b) peta-peta dengan skala yang sama yang menggambarkan distribusi lahan yang membutuhkan langkah-langkah perlindungan lingkungan, ataupun adanya resiko-resiko tertentu atas kemungkinan penggunaannya (investasi) dan bagi pihak-pihak yang menguasainya; (c) peta-peta yang menunjukkan usulan penggunaan lahan pada masa yang akan datang dan kawasan dimana diperlukan tindakan-tindakan untuk mengatasi konflik penggunaan lahan, dan (d) dokumen yang merinci maksud dari zona lahan yang dihasilkan, kegiatan penggunaan lahan yang mungkin terjadi di dalam satu zona lahan dan mekanisme pengawasannya untuk menjamin kelestarian penggunaan lahan yang diizinkan. Selain hal yang tersebut di atas, manfaat lain yang dapat dipetik dari zonasi lahan adalah : (a) menyediakan satu basis orientasi kesesuaian lahan yang handal untuk memperbaiki dan meninjau kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dimasa yang akan datang; (b) adanya dasar acuan untuk menentukan lokasi-lokasi pembangunan dimasa yang akan datang dan kemungkinan-kemungkinan pilihan pembangunan yang sesuai untuk kawasan yang telah ditentukan; (c) adanya kejelasan tentang tata batas kawasan lindung dan memberikan indikasi tentang kebutuhan untuk menyesuaikan tata batas tersebut berdasarkan kesesuaian lahan, penggunaan lahan dan kerawanan lingkungannya; (d) memberikan indikasi tentang adanya kebutuhan data untuk menunjang perencanaan yang lebih rinci dimasa yang akan datang; dan (e) adanya satu basis untuk perumusan peraturan dan kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya lahan dan penetapan peraturan (perundangannya) untuk mendorong penerapan kebijaksanaan yang diambil. 2. Zonasi lahan berdasarkan agroekologi Zona agroekologi (ZAE) merupakan pengelompokan suatu wilayah kedalam satuan-satuan (zona-zona) yang kurang lebih seragam M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 10 dalam hal faktor-faktor fisik yang besar pengaruhnya terhadap produksi tanaman. Pembuatan zona ini bertujuan untuk menjawab tantangan yaitu dimana dan jenis penggunaan lahan apa yang akan memberikan keuntungan maksimum sesuai dengan input yang diberikan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Pemilihan wilayah kedalam zona-zona agroekologi ini juga akan membantu penetapan paket teknologi untuk kondisi fisik lingkungan tertentu. Penerapan paket teknologi sering kurang memperhatikan keadaan fisik alam, disebabkan kurangnya informasi fisik yang detail serta lemahnya pemahaman tentang hal tersebut, padahal setiap wilayah memiliki kekhususan sifat fisik, sehingga memerlukan teknologi yang spesifik pula. Komponen utama agroekologi adalah iklim, fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah. Iklim merupakan unsur yang paling sulit dimodifikasi dan merupakan peubah yang paling dominan, iklim berhubungan erat dengan keragaan tanaman yaitu suhu dan kelengasan. Di daerah tropis seperti Indonesia suhu dibagi menjadi : panas yang biasanya berada pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl) dan sejuk untuk ketinggian lebih dari 2000 m dpl (Amin, 1983). Pertumbuhan suatu komoditas sangat dipengaruhi oleh iklim, fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah. Zona agroekologi merupakan suatu wilayah yang memiliki persamaan sifat yang hampir sama, sehingga berdasarkan keragaan faktor fisik dan lingkungan diharapkan dapat mendukung pengembangan komoditas pertanian tertentu karena sesuai dengan persyaratan tumbuh yang diinginkan tanaman tersebut. Bentuk wilayah lebih mudah dinyatakan dengan besarnya persentase lereng (topografi), yang dikelompokkan menjadi datar, berombak, bergelombang, berbukit atau bergunung dengan lereng yang semakin meningkat pula. Menurut FAO (1982), pelaksanaan kegiatan penyusunan peta zonasi agroekologi dibagi dalam beberapa tahap yaitu : (1) Tahap persiapan Tahap persiapan yaitu kegiatan pengumpulan (kompilasi) data sumberdaya lahan berupa peta tanah, peta geologi, peta rupa bumi, M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 11 peta wilayah administrasi, data iklim berupa curah hujan dan suhu minimal selama 10 tahun terakhir. (2) Tahap interpretasi dan pengolahan data Tahap interpretasi dan pengolahan data yaitu menginterpretasi data iklim dan sumberdaya lahan untuk mendapatkan zonasi agroekologi. Zonasi agroekologi dibedakan berdasarkan perbedaan regim iklim (suhu dan kelembaban) dan relief (kisaran lereng), dengan kriteria sebagai berikut : a. Regim suhu Regim suhu yaitu perbedaan rata-rata suhu udara terpanas dan terdingin. Regim suhu dapat menggunakan pendekatan ketinggian tempat dari permukaan laut, yang dibedakan menjadi : Panas yaitu perbedaan suhu udara rata-rata terpanas dan terdingin harian > 50C atau wilayah dengan ketinggian < 750 m dpl (a), regim suhu ini disebut isohipertermik. Sejuk yaitu perbedaan suhu udara rata-rata terpanas dan terdingin harian < 50C atau wilayah dengan ketinggian > 750-2000 m dpl (b), regim suhu ini disebut isotermik. Sejuk yaitu perbedaan suhu udara rata-rata terpanas dan terdingin harian < 50C atau wilayah dengan ketinggian > 2000 m dpl (c). regim suhu ini disebut juga isotermik. b. Regim kelembaban Regim kelembaban suatu wilayah dibedakan berdasarkan jumlah bulan kering (curah hujan rata-rata < 60 mm) dalam satu tahun, dengan pembagian sebagai berikut : Lembab yaitu jumlah bulan kering < 3 dalam satu tahun (x). Agak kering yaitu jumlah bulan kering antara 4-7 dalam satu tahun (y). Kering yaitu jumlah bulan kering > 7 dalam satu tahun (z). c. Relief (bentuk wilayah) Relief suatu wilayah dibedakan berdasarkan kisaran kelerengan. Parameter fisik lingkungan sumberdaya lahan yang digunakan sebagai pembeda zonasi utama dalam sistem ini ialah relief yang tercermin M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 12 dalam kisaran kelas lerengnya. Berdasarkan pembeda zonasi utama tersebut suatu wilayah dapat dikelompokkan menjadi 4 zona, yaitu : Zona I lereng > 40%, Zona II lereng 16-40%, Zona III lereng 8-15%, dan Zona IV lereng < 8%. Selanjutnya khusus daerah dengan kelerengan < 8% dengan jenis tanah gambut atau jenis tanah dengan kandungan garam atau sulfat yang tinggi atau jenis tanah yang berkembang dari pasir kwarsa dikelompokkan kedalam zonasi tersendiri yaitu masing-masing zona V, VI, VII dan VIII. Berdasarkan kriteria zona utama tersebut suatu wilayah dapat dibagi menjadi delapan zona agroekologi dengan spesifikasi sistem pertanian atau kehutanan sebagai berikut : Tabel 1. Zona wilayah berdasarkan kelerengan Zona Kelerengan Tipe Pemanfaatan Lahan (TPL) I II III IV V > 40% 15-40% 8-<15% 0-<8% <3% VI <3% VII <3% VIII < 8% Kehutanan Perkebunan (budidaya tanaman tahunan) Agroforestri (wana tani) Tanaman pangan Hortikultura (gambut dangkal ketebalan <1,5 m) atau kehutanan (gambut dalam ketebalan >1,5 m). Perikanan yang dipadukan dengan konservasi pantai berupa tanaman kehutanan (mangrove). Zona ini memiliki jenis tanah yang mempunyai kandungan sulfat sangat tinggi (sulfat masam) atau kandungan garam yang tinggi. Kehutanan. Zona ini memiliki jenis tanah yang berkembang dari pasir kwarsa (spodosol, Quartzipsamments). Peternakan (pengembalaan). Zona ini memiliki jenis tanah dengan penampang solum yang sangat dangkal dan berbatu. Sumber : FAO, 1982. Pembagian selanjutnya kedalam sub zona dan pilihan kelompok tanaman yang relefan dikembangkan pada setiap sub zona tersebut M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 13 terutama didasarkan pada regim kelembaban dan suhu (tinggi tempat). Dengan demikian terdapat beberapa kemungkinan kombinasi sub zona. Pada zona IV (untuk pengembangan tanaman pangan) dilakukan pembagian lebih detail dari sub zona berdasarkan sifat-sifat tanah terutama drainase tanahnya, yaitu : Zona IV dengan drainase tanah buruk digunakan untuk pengembangan padi sawah, diberi simbul ”1” pada akhir kode zona. Zona IV dengan drainase tanah baik digunakan untuk pengembangan tanaman pangan lahan kering, diberi simbul ”2” pada akhir kode zona. Kemudian data berupa relief/kelerengan, regim suhu dan regim kelembaban tanah atau kondisi drainase tanah ditumpang susunkan akan menghasilkan peta ZAE. Peta ZAE yang dihasilkan ditumpang susunkan dengan peta penutupan lahan yang terbaru (present land use). Apabila suatu wilayah mempunyai peruntukan yang sama antara peta ZAE dengan peta penggunaan lahan maka dianjurkan untuk intensifikasi (I). Akan tetapi bila peta penggunaan lahan masih merupakan kawasan hutan (bukan hutan lindung) sementara peta ZAEnya sesuai untuk pertanian maka dianjurkan untuk ekstensifikasi (E). Sedangkan bila wilayah tersebut menurut peta ZAE tidak sesuai untuk pertanian/perikanan sementara peta penggunaan lahan telah berlangsung usaha pertanian/perikanan maka disarankan dilakukan tindakan konservasi (C) dan/atau rehabilitasi (R). 3. Zonasi lahan berdasarkan karakteristik lahan Satuan lahan merupakan kelompok dari lokasi yang berhubungan, mempunyai bentuk lahan tertentu di dalam sistem lahan, dan seluruh satuan lahan yang sama yang tersebar akan mempunyai asosiasi lokasi yang sama pula. Zonasi lahan berdasarkan satuan lahan adalah mengelompokkan lahan atas kesamaan karakteristiknya. Karakteristik lahan adalah ukuran kuantitatif dari komponen-komponen lahan yang meliputi komponen geologi, iklim, tanah, hidrologi, topografi, fisiografi/landform, dan penutupan lahan. Dengan demikian yang dimaksud dengan satuan lahan adalah kesatuan lahan yang memiliki kesamaan geologi, iklim, tanah, hidrologi, topografi, M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 14 fisiografi/landform, dan penutupan lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Untuk keperluan evaluasi kesesuaian lahan, peta satuan lahan dapat dibuat sampai skala yang lebih detail sesuai dengan intensitas evaluasi lahan. Pada setiap satuan lahan yang memiliki kecocokan yang sama dengan persyaratan pengembangan komoditas tertentu, akan dikelompokkan kedalam zona komoditas yang sama. Pembuatan zonasi lahan berdasarkan satuan lahan dilakukan dengan cara tumpang susun antara peta-peta tematik komponenkomponen lahan. Satuan lahan yang dihasilkan digunakan sebagai dasar dalam evaluasi lahan (kesesuaian lahan, kelayakan sosial ekonomi dan sosial budaya). Zonasi lahan atau pengelompokan lahan berdasarkan karakteristik lahan akan menjadi lebih realistik karena lahan dikelompokkan atas kesamaan karakteristik komponen-komponen penyusunnya. Zonasi sistem ini lebih fleksibel tergantung dari tujuan yang ingin dicapai dan dapat diterapkan sampai zonasi lahan pada skala yang lebih detail. Namun zonasi sistem ini lebih memfokuskan pada aspek biofisik lahan, kurang memperhatikan aspek kebijaksanaan pemerintah dan sosial budaya setempat. Jika zonasi lahan LREP, zonasi lahan agroekologi dipadukan dengan zonasi lahan berdasarkan karakteristik akan dihasilkan zonasi lahan untuk pewilayahan komoditas yang lebih detail, realistis dan komprehensif. B. Evaluasi Kesesuaian Lahan Evaluasi kesesuaian lahan menjadi hal utama yang harus diketahui dan dilakukan dalam menyusun zonasi lahan yang tepat untuk perencanaan penggunaan lahan. Perencanan penggunaan lahan yang sesuai pada suatu zona lahan tertentu akan memberikan hasil yang optimal dan dapat diminimalisir dapak kerusakan lingkungan yang akan terjadi akibat pilihan penggunaan lahan. Evaluasi kesesuaian lahan adalah penilaian tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (Dent dan Young, 1981). Penilaian yang dimaksudkan adalah dalam hal anasir lahan yang terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan atau drainase yang M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 15 sesuai untuk suatu komoditas tertentu yang produktif. Pangudiyatno (1988) mendefinisikan lebih fokus lagi pada tanaman pertanian yaitu kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu wilayah untuk budidaya tanaman pertanian tertentu, sesuai dengan sifat tanah dan lingkungan yang memenuhi persyaratan tumbuh tanaman sehingga akan memberikan produksi yang optimal sesuai dengan yang diharapkan. 1. Tingkat evaluasi kesesuaian lahan Evaluasi kesesuaian lahan dapat dibagi atas tiga intensitas keterperincian kegiatan, yaitu : (1) Tingkat tinjau (Reconnaissance) dengan skala peta 1 : 100.000-1 : 250.000, umumnya untuk skala nasional atau provinsi. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk perencanaan secara nasional dan dapat ditentukan skala prioritas masing-masing daerah; (2) Tingkat semi detail dengan skala peta 1 : 25.000-1 : 100.000, untuk tujuan-tujuan yang lebih khusus, misalnya studi kelayakan untuk suatu kegiatan ; dan (3) Tingkat detail dengan skala peta 1 : 5000-1 : 25.000, merupakan survei untuk perencanaan yang telah pasti, misalnya untuk pembuatan desain (Dent dan Young, 1981). 2. Klasifikasi kesesuaian lahan Menurut FAO (1976), kerangka dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan terdiri atas empat kategori yang dikenal sebagai berikut : (1) Ordo kesesuaian lahan (order) : menunjukkan jenis dari kesesuaian, (2) Kelas kesesuaian lahan (class) : menunjukkan tingkat kesesuaian lahan dalam ordo, (3) Sub-kelas kesesuaian lahan (sub-class) : menunjukkan jenis pembatas, atau jenis perbaikan yang harus dijalankan dalam kelas, dan (4) Satuan kesesuaian lahan (unit) : menunjukkan perbedaan kecil persyaratan pengelolaan dalam sub-kelas. Kesesuaian lahan tingkat ordo menunjukkan apakah lahan sesuai atau tidak untuk suatu tipe penggunaan tertentu, dalam hal ini dibagi dua yaitu : (1) Ordo S (sesuai) yaitu lahan yang dapat digunakan secara berkesinambungan untuk suatu tujuan tertentu, tanpa resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahan, dan (2) Ordo N (tidak sesuai) yaitu lahan M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 16 yang kualitasnya memperlihatkan hambatan untuk menopang jenis penggunaan yang berkesinambungan. Kesesuaian lahan tingkat kelas dinyatakan dengan simbol nomor urut, menunjukkan tingkat yang menurun didalam kelas, dalam hal ini dibagi atas lima yaitu : (1) Kelas S1 (sangat sesuai) : lahan ini tidak mempunyai pembatas yang berarti untuk menerapkan suatu penggunaan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti dan tidak akan berpengaruh secara nyata terhadap produksi, (2) Kelas S2 (cukup sesuai) : lahan ini mempunyai pembatas yang cukup serius untuk menerapkan suatu penggunaan, pembatas akan mengurangi produksi atau keuntungan dan akan meningkatkan masukan yang diperlukan, (3) Kelas S3 (sesuai marginal) : lahan ini mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan suatu penggunaan dan akan mengurangi produksi atau keuntungan, atau lebih meningkatkan masukan yang diberikan, (4) Kelas N1 (tidak sesuai pada saat ini) : lahan ini mempunyai pembatas yang lebih serius, yang masih memungkinkan dapat diatasi dengan tingkat pengelolaan bermodal tinggi, dan (5) Kelas N2 (tidak sesuai permanen) : lahan ini mempunyai pembatas yang permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. Kesesuaian lahan tingkat sub-kelas mencerminkan jenis pembatas yang ada atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas tersebut. Jenis pembatas ini ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang diletakkan setelah simbol kelas, misalnya kelas S2 yang hanya mempunyai pembatas media perakaran (r) maka menjadi sub-kelas S2r, jika terdapat pula pembatas retensi hara (f) maka sub-kelasnya S2rf. Pembatas dalam sub-kelas dapat berjumlah satu, dua, atau paling banyak tiga simbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan ditulis paling depan. Kesesuaian lahan tingkat unit merupakan pembagian lebih lanjut dari sub-kelas, mempunyai tingkat yang sama dalam kelas dan mempunyai pembatas yang sama pula dalam sub-kelas tetapi berbeda dalam aspek simbolnya yaitu dibedakan oleh angka-angka arab yang dicantumkan setelah simbol sub-kelas yang menunjukkan tingkat satuan pengelolaannya, misalnya : S2n-1, S2n-2, dan S2n-3. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 17 3. Metode evaluasi kesesuaian lahan Evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman dilakukan dengan cara membandingkan antara kualitas lahan dan karakteristik lahan dengan kriteri tingkat kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan tumbuh tanaman. Penentuan tingkat kesesuaian lahan dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti metode pembatas sederhana, pembatas berdasarkan jumlah dan intensitas pembatas, dan metode parametrik (Sys, 1991). Metode evaluasi kesesuaian lahan yang digunakan secara luas dan cukup lama oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor adalah metode pembatas sederhana dan dilaporkannya bahwa aplikasi metode ini sangat sesuai diterapkan di Indonesia terutama di daerah-daerah yang memiliki keterbatasan data klimatologi. Metode pembatas sederhana menentukan tingkat kesesuaian lahan berdasarkan hukum minimum, tingkat kesesuaian lahan ditentukan oleh kondisi minimum yaitu kualitas lahan dan karakteristik lahan yang memiliki pembatas terberat dibandingkan dengan pembatas yang lainnya (PPTA, 1993; Sys, 1991). Kualitas dan karakteristik lahan mempunyai pengertian yang berbeda dalam evaluasi kesesuaian lahan. Kualitas lahan adalah sifatsifat atau atribut yang kompleks dari suatu lahan, dan masing-masing kualitas lahan mempunyai keragaan (performance) tertentu yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya untuk suatu tanaman tertentu, seperti ketersediaan air, retensi dan ketersediaan hara. Kualitas lahan dapat pula diestimasi secara langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan melalui karakteristik lahan. Sedangkan karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi, seperti curah hujan per tahun (mm.tahun-1), KPK, dan P tersedia. Setiap karakteristik lahan yang digunakan secara langsung dalam evaluasi lahan sering mempunyai interaksi satu sama lain. Oleh karena itu dalam interpretasi perlu mempertimbangkan lahan dengan penggunaannya dalam pengertian kualitas lahan (PPTA, 1993; Sys, 1991; Djaenudin dan Basuni, 1994). Jenis kualitas dan karakteristik lahan yang dipertimbangkan dalam evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman (PPTA, 1993) disajikan pada Tabel 2. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 18 Tabel 2. Kualitas dan karakteristik lahan untuk tanaman No. Simbol Kualitas Lahan Karakteristik Lahan 1. t Rejim Temperatur 1.Suhu Rata-Rata Tahunan (0C) 2. w Ketersediaan air 1. Bulan Kering (<75 mm) 2. Curah Hujan Rata-rata Tahunan (mm) 3. r Media Perakaran 4. f Retensi hara 1. Drainase Tanah 2. Tekstur Tanah 3. Kedalaman Efektif 4. Kematangan Gambut 5. Ketebalan Gambut 1. KTK Tanah (m.e/100 g) 2. pH Tanah 5. c Kegaraman 1. Salinitas (mmhos/cm) 6. x Toksitas 1. Kejenuhan Al (%) 2. Kedalaman Sulfida (cm) 7. n Ketersediaan Hara 1. N Total 2. P2O5 Tersedia 3. K2O Tersedia 8. p Kemudahan Pengolahan 1. Tekstur Tanah 2. Struktur Tanah 3. Konsistensi Tanah 9. m Terrain (Potensi Mekanisasi) 1. Lereng (%) 2. Batuan Permukaan (%) 3. Singkapan Batuan (%) 10. e Bahaya Erosi 1. Tingkat Bahaya Erosi (Rumus RUSLE)] 11. b Bahaya Banjir 1. Periode Banjir 2. Frekuensi Banjir 4. Kesesuaian lahan aktual (A) dan potensial (P) Kesesuaian lahan aktual atau kesesuaian lahan pada saat ini (current suitability) yaitu gambaran kesesuaian lahan yang dihasilkan berdasarkan data yang ada pada saat ini, belum mempertimbangkan asumsi atau usaha perbaikan dan tingkat pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala atau faktor-faktor pembatas yang ada pada setiap satuan peta. Faktor pembatas dapat dibedakan menjadi dua yaitu : (1) Faktor pembatas yang sifatnya permanen dan tidak memungkinkan atau tidak ekonomis untuk diperbaiki, seperti temperatur udara dan curah hujan, dan (2) Faktor pembatas yang dapat diperbaiki atau diatasi dan secara ekonomi masih menguntungkan M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 19 dengan masukan teknologi yang tepat, seperti ketersediaan hara (Dent dan Young, 1981; PPTA, 1993). Kesesuaian lahan potensial (potential suitability) yaitu kesesuaian lahan yang akan dicapai setelah dilakukan usaha-usaha perbaikan lahan. Kesesuaian lahan potensial merupakan kondisi yang diharapkan sesudah diberikan masukan sesuai dengan tingkat pengelolaan yang akan diterapkan, sehingga dapat diduga tingkat produktivitas suatu lahan serta hasil produksi per satuan luasnnya. Jenis usaha perbaikan yang dapat dilakukan didasarkan pada sifat-sifat lahan yang dapat diperbaiki (Dent dan Young, 1981; PPTA, 1993). Untuk menentukan keputusan bentuk tingkat pengelolaan atau tingkat perbaikan kualitas lahan aktual untuk menjadi potensial didasarkan pada beberapa kajian atau pertimbangan yaitu tujuan penggunaan lahan, kondisi sosial ekonomi masyarakat, kelestarian lingkungan dan pertimbangan ekonomis. Oleh karena itu data-data untuk keperluan ini perlu dirangkum sedemikian rupa dan dikaji agar ajukan usaha perbaikan dapat dilakukan dengan mudah oleh pengguna. Masukan teknologi untuk memperbaiki sifat lahan yang dapat diperbaiki ditentukan dengan mempertimbangkan padat teknologi dan padat modal yang akan diterapkan pada setiap wilayah pengembangan komoditi tertentu yang dilakukan melalui tiga tingkatan pengelolaan yaitu : a. Pengelolaan Rendah Pengelolaan biasa (ordinary management) yaitu tindakan pengelolaan yang dapat dilaksanakan oleh petani dengan biaya yang relatif rendah. b. Pengelolaan Sedang Pengelolaan maju (improved management) yaitu tindakan pengelolaan yang dapat dilaksanakan pada tingkat petani menengah memerlukan modal menegah dan teknik pertanian sedang. c. Pengelolaan Tinggi Pengelolaan optimum (optimum management) yaitu tindakan pengelolaan dengan metode-metode mutakhir untuk memperoleh hasil tinggi, hanya dapat dilaksanakan dengan modal yang relatif M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam 20 STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL besar, umumnya dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan besar atau menengah. Jenis usaha perbaikan kualitas/karakteristik lahan aktual menjadi potensial berdasarkan tingkat pengelolaan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis usaha perbaikan kualitas/karakteristik lahan berdasarkan tingkat pengelolaannya No. 1. 2. 3. Kualitas/ Karakteristik lahan Rejim Suhu - Suhu Rata Tahunan Ketersediaan Air - Bulan Kering - Curah Hujan Media Perakaran - Drainase - Tekstur - Kedalaman Efektif -Gambut : Kematangan Ketebalan 4. 5. 6. 7. Retensi Hara - KTK - pH Ketersediaan hara - N Total - P2O5 Tersedia - K2O Tersedia Kegaraman - Salinitas Toksisitas - Kejenuhan Al - Lapisan Pirit Tingkat Pengelolaan - Tidak dapat dilakukan perbaikan (Ai) Kemudahan Pengolahan 9. Terrain/Potensi Mekanisasi Bahaya Erosi S, T S, T - Perbaikan sistem drainase (C) - Tidak dapat dilakukan perbaikan (Ai) - Umumnya tidak dapat dilakukan kecuali pada lapisan padas lunak dan tipis dan membongkarnya pada waktu pengolahan tanah (Di) - Pengaturan Sistem drainase untuk mempercepat proses pematangan gambut (C) - Dengan tekhnik pemadatan gambut, teknik penanaman dan seleksi varietas (E) S, T T - Penggunaan kapur/bahan organik (F) - Penggunaan kapur/bahan organik (F) S, T S, T T - Reklamasi (Ii) S, T - Penggunaan kapur /bahan organik (F) - Pengaturan sistem tata air, tinggi permukaan air tanah harus diatas lapisan bahan sulfida (BC) - Pengaturan Kelembaban Tanah untuk mem permudah pengolahan tanah (J) - Tidak dapat dilakukan perbaikan (Ai) S, T S, T - Usaha pengurangan laju erosi, dengan berbagai metode konservasi tanah dan air (K) S, T Bahaya banjir - Pembuatan tanggul penahan banjir (H) - Periode - Serta pembuatan saluran drainase untuk - Frekuensi mempercepat pengaturan air (C) Keterangan : R = Rendah, S= Sedang, T = Tinggi * T R, S, T R, S, T R, S, T 11. M. Tufaila - - Sistem irigasi/pengairan (B) - Sistem irigasi/pengairan (B) - Pemupukan (G) - Pemupukan (G) - Pemupukan (G) 8. 10. Jenis Usaha Perbaikan Sitti Leomo * Syamsu Alam S, T - T T STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 21 Berdasarkan jenis usaha perbaikan dan jenis pengelolaan kualitas lahan aktual untuk menjadi potensial, maka diajukan beberapa asumsi dalam menentukan perubahan kelas kesesuaian lahan aktual menjadi potensial sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Asumsi tingkat perbaikan kualitas lahan aktual untuk menjadi potensial menurut tingkat pengelolaannya No. Kualitas / Karakteristik Lahan Tingkat Pengelolaan Rendah Sedang Tinggi 1. Rejim Suhu - Suhu Rata Tahunan 2. Ketersediaan Air - Bulan Kering + ++ - Curah Hujan + ++ 3. Media Perakaran - Drainase + ++ - Tekstur - Kedalaman Efektif + - Gambut : - Kematangan + + - Ketebalan 4. Retensi Hara - KTK + ++ - pH + ++ 5. Ketersediaan hara - N Total + ++ +++ - P2O5 Tersedia + ++ +++ - K2O Tersedia + ++ +++ 6. Kegaraman - Salinitas + ++ 7. Toksisitas - Kejenuhan Al + ++ - Lapisan Pirit + ++ 8. Kemudahan Pengolahan + + 9. Terrain/Potensi mekanisasi + 10. Bahaya Erosi + ++ 11. Bahaya banjir - Periode + ++ - Frekuensi + ++ Keterangan : Tidak dapat dilakukan perbaikan + Perbaikan dapat dilakukan dan akan dihasilkan kenaikan kelas satu tingkat lebih tinggi ++ Kenaikan kelas dua tingkat lebih tinggi +++ Kenaikan kelas tiga tingkat lebih tinggi M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN KERING 22 IV A. Pengertian dan Potensi Lahan Kering Pengertian lahan kering di Indonesia belum ada kesepakatan yang pasti. Ada yang menggunakan untuk padanan dengan istilah : upland, dryland, atau unirrigated land. Kedua istilah terakhir menyiratkan penggunaan lahan untuk pertanian tadah hujan. Pertanian tadah hujan yang dijalankan di daerah iklim arid sampai ringkai semi arid dalam bahasa Inggris disebut dryland farming atau dry farming (Nelson and Nelson, 1973; Roy and Arora, 1973; Moore, 1977; Billy, 1981; Landon, 1984). Yang dijalankan di daerah iklim lebih basah disebut rainfed farming. Akan tetapi ada yang menggunakan kedua istilah tersebut secara sinonim (Chao, 1984; Chin, 1984) Istilah upland secara umum mengandung arti nisbi “terletak lebih tinggi” sebagai lawan istilah lowland yang diberi arti nisbi “terletak lebih rendah” (Moore, 1977; Monkhouse and Small, 1978). Karena letak nisbi demikian, kedua istilah itu menunjukkan keadaan drainase (pengatusan) alamiah. Upland adalah daerah dengan pengatusan alamiah baik, sedang lowland adalah daerah dengan pengatusan alamiah kurang baik, bahkan dapat buruk. Konotasi pengatusan alamiah kemudian diperluas hingga mengenai pula pengatusan buatan sehubungan dengan pengelolaan air pada petak pertanaman. Upland menunjukkan lahan pertanaman yang diusahakan tanpa menggenangkan air di atas petak pertanaman, berarti pengatusan dibuat normal. Pertanaman yang diusahakan secara demikian lalu disebut upland crop. Lowland menunjukkan pada lahan pertanaman yang diusahakan dengan penggenangan air, berarti pengatusan dibuat terhambat. Pertanaman yang diusahakan secara demikian lalu disebut lowland crop. Dengan pengertian ini maka lowland menjadi sinonim dengan wetland (Notohadiprawiro, 1989). Untuk menghilangkan kerancuan penggunaan istilah lahan kering dan pertanian lahan kering, perlu dibedakan pengertian kering yang menunjukkan (Notohadiprawiro, 1989) yaitu: M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 23 1. Keadaan iklim yang kering dalam arti istilah Inggris arid land menurut salah satu difinisi: (a) daerah dengan curah hujan tahunan kurang dari 250 mm (USA), (b) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk menghidupi vegetasi sedikitpun, (c) daerah yang jumlah hujannya tidak mencukupi untuk memapankan (estabish) pertanian tanpa irigasi, atau (d) daerah dengan jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curahan (precipitation) aktual (Monkhouse and Small, 1978). 2. Keadaan lahan yang berkaitan dengan pengatusan alamiah lancar (bukan rawa, dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan lahan basah alamiah lain). 3. Lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan. Pengertian kering yang pertama terkait dengan istila daerah kering atau kawasan iklim kering. Untuk pengertian yang kedua dapat dipilih istilah lahan atasan (upland). Untuk pengertian yang ketiga dapat diterapkan istilah lahan kering. Jadi, pertanian lahan kering ialah pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan lahan garapan. Maka padi sawah dan perikanan kolam (air tawar dan tambak) tidak termasuk, akan tetapi padi gogo, palawija, perumputan pakan, perkebunan dan pekarangan termasuk pertanian lahan kering. Ini berarti bahwa irigasi tetap dapat diberikan, asal tidak dimaksudkan untuk menggenangi lahan. Pengertian lahan kering Notohadiprawiro (1988) mengajukan postulat lahan tadah hujan (raindfed) yang dapat diusahakan secara sawah (lowland/wetland) atau secara tegal atau ladang (upland). Pengertian tersebut yang menjadi kriteria pokok adalah hujan sebagai sumber asasi air yang membedakan dengan lahan irigasi. Lahan kering adalah lahan yang dalam keadaan alami tidak jenuh air hampir sepanjang tahun atau tidak tergenang. Kelengasan tanahnya hampir sepanjang tahun selalu di bawah kapasitas lapang. Fluktuasi kelengasan tanah dipengaruhi oleh cuaca, keadaan fisiografi, dan pengelolaan. Diantara faktor tersebut, hujan merupakan faktor penentu utama. Proses biologi dan kimia dalam tanah terjadi dalam keadaan aerob. Pendapat lain mengatakan bahwa lahan kering adalah lahan yang pada periode tertentu dalam tiap tahun terdapat curah hujan yang tidak mencukupi M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 24 kebutuhan air oleh tanaman. Pola penyebaran curah hujan di Indonesia terkonsentrasi pada suatu periode, intensitas tinggi terjadi di musim penghujan dan intensitas rendah pada musim kemarau. Pada musim kemarau tidak cukup hujan untuk pertumbuhan tanaman secara normal dan tanah menjadi terbuka yang menjadi penyebab terjadina erosi di awal musim hujan berikutnya. Erosi ini diperparah dengan meningkatnya kemiringan lereng dan sistem pertanaman tanpa kaidah konservasi lahan. Akibatnya terjadi pendangkalan solum, penghanyutan lapisan yang kaya dengan bahan organik dan merosotnya keharaan tanah. Luas total lahan kering Indonesia sekitar 148 juta ha, ternyata 102,8 juta ha di antaranya termasuk lahan kering masam, dan yang sesuai untuk usaha pertanian baik tanaman pangan, perkebunan/tahunan sekitar 55,8 juta ha. Sedangkan sisanya (47 juta ha) termasuk lahan yang tidak sesuai secara kimia-fisik, dengan faktor utama berupa kesuburan tanah rendah, lereng curam (>40%), solum tanah dangkal, banyaknya batuan di permukaan tanah. Lahan-lahan tersebut diarahkan untuk kawasan hutan baik itu sebagai hutan lindung, hutan sempadan sungai atau hutan konservasi (Mulyani, 2006). B. Karakteristik Tanah Berdasarkan uraian sebelumnya menunjukkan bahwa sebagian besar lahan kering didominasi lahan kering masam (70%). Lahan kering masam seluas tersebut sebagian besar didominasi oleh tanah ultisol dan mempunyai karakteristik (Buol et al., 2003; Buring, 1979; Certini and Scalenghe, 2006; Faning and Faning, 1989; Tufaila et al., 2011); sebagai berikut : 1. Mempunyai pH rendah, berarti kemasaman tinggi. Hal ini menyebabkan ketersediaan hara pada umumnya menurun, perombakan bahan organik terhambat sehingga proses humifikasi kurang lancar, kegiatan biologi menurun, dan kemungkinan peracunan Al, Fe, dan Mn meningkat. 2. Kejenuhan Al tinggi dan kemungkinan besar Fe dan Mn aktif juga tinggi. Unsur-unsur ini dalam jumlah yang tinggi meracuni tanaman. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 25 3. Lempung beraktivitas rendah dan bermuatan terubahkan. Hal ini menyebabkan tanah mempunyai daya sanggah kimiawi lemah, berarti sifat dan perilaku kimiawi dan fisiokimiawi tidak mantap, daya simpan hara kation rendah, yang menyebabkan efisiensi pemupukan rendah karena hara kation mudah terlindi, dan pH sukar diperbaiki. 4. Daya semat fosfat tinggi. Hal ini menyebabkan ketersediaan fosfat tanah rendah dan efisiensi fosfat rendah. 5. Kejenuhan basa rendah, berarti tanah miskin hara, K, Ca, Mg, dan Na. Kandungan hara mikro juga rendah meskipun kadarnya cukup akan tetapi tidak terjangkau oleh akar tanaman semusim. 6. Kadar organik rendah dan ini pun terlonggok dalam lapisan tanah permukaan tipis. Dengan demikian kadar N, S, dan P juga menjadi rendah dan keberadaannya terbatas dalam hal lapisan tanah permukaan tipis itu. Bahan organik tanah menjadi sumber utama ketiga unsur hara tersebut mengingat bahwa lebih dari 98% N, 6095%S, dan 25-60% P terdapat dalam senyawa organik (Schroeder, 1984). Dengan terkumpulnya bahan organik, N, S, dan P yang sedikit itu di bagian atas tanah, berarti bahan-bahan tersebut justru berada dalam bagian tanah yang paling rentan erosi, jadi mudah sekali hilang. 7. Daya simpan air terbatas, berarti tanah mudah mengalami kekeringan walaupun kelembaban cuaca menurun sedikit saja. Oleh karena penyampaian zat hara dari tanah ke akar kebanyakan berlangsung dengan air sebagai media (aliran masa, difusi), kemudahan mengalami kekurangan air menyebabkan efektivitas tanah menyampaikan hara kepada tanaman menjadi mudah berubah. 8. Jeluk efektif tanah terbatas karena telah mempunyai horison longgokan lempung yang secara nisbih dangkal. Horison ini membatasi pasokan air yang cenderung meningkatkan aliran limpas yang pada gilirannya memperbesar kemungkinan terjadinya erosi. Air perkolasi yang terhambat oleh horison longgokan lempung cenderung mengumpul di atas bidang permukaan horison yang bersangkutan yang mengakibatkan bidang tersebut licin. Pengumpulan air perkolasi di dalam tanah yang berada di atas M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 26 horison longgokan lempung menyebabkan bobot masa tanah naik dan rentan longsor sepanjang bidang permukaan horison longgokan lempung yang licin. Jeluk efektif yang terbatas menyebabkan volume tanah yang dapat dijangkau akar berkurang. Ini berarti akar tidak dapat memanfaatkan seluruh persediaan hara yang ada dalam tanah. Akar tumbuh dan berkembang secara terbatas di lapisan tanah permukaan yang rentan kehilangan air karena penguapan, sehingga tanaman mudah mengalami kekahatan air. Untuk tanaman yang berkanopi tinggi dan mempunyai biomasa trubus berat, kedangkalan akar juga menyebabkan tanaman mudah tumbang. 9. Derajat agregasi zarah-zarah debu dan lempung rendah serta kemantapan agregatnya lemah, yang menambah kerentanan tanah terhadap erosi di lahan berlereng, dan menyebabkan tanah rentan terhadap pemampatan oleh penggunaan alat dan mesin berat. Struktur tanah yang kurang berkembang dan lemah tersebut tadi menyebabkan tanah mudah membentuk kerak permukaan karena benturan tetesan air hujan. Lapisan kerak menghambat perkecambahan biji, peresapan air infiltrasi, difusi O2 ke dalam tanah untuk pernafasan akar dan jasad renik, dan difusi CO2 sisas pernapasan dan perombakan bahan organik ke luar tanah. Tanah ultisol berkendala ganda yang berkenaan dengan segala sifatnya, yaitu fisik, fisikokimia, kimia, biologi dan morfologi. Maka untuk mengelola tanah semacam ini, yang bertujuan meningkatkan harkatnya dari marginal menjadi berproduktivitas memadai secara berkelanjutan, diperlukan sustu teknologi yang dapat bekerja secara serbacakup (comprehensive). Ini berarti suatu teknologi yang dapat menyelesaikan semua persoalan sekaligus. Teknologi yang diterapkan sekarang, yang terdiri atas komponen-komponen pupuk buatan dengan kandungan hara konsentrasi tinggi dan cepat tersedia, kapur pertanian takaran tinggi, pengolahan tanah intensif, intensif tanaman semusim, dan jenis unggul berpotensi hasil panen tinggi yang lahap hara, tidak sesuai untuk tanah-tanah berkendala ganda. Hasil panen tinggi tidak akan bertahan lama karena teknologi semacam itu tidak berasaskan ekologi, sehingga tanah secara berangsur akan mengalami degradasi. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 27 Meskipun potensi tanahnya rendah, akan tetapi karena potensi luasnya sangat besar, lahan kering bagaimanapun juga harus dipandang sebagai suatu aset nasional yang perlu diperhatikan dan dimanfaatkan. Perhatian dan pemanfaatannya lebih perlu lagi jika diingat bahwa lahan bawahan yang berpotensi baik sudah semakin penuh tergunakan, tidak hanya untuk pertanian akan tetapi juga untuk keperluan bukanpertanian. C. Pertanian di Lahan Kering Pertanian di lahan kering harus menyusun strategi yang dapat menjamin kehadirannya secara mantap sebagai salah satu eksponen pembangunan nasional yang tangguh tanpa lewat jalan konfrontasi. Strategi tersebut dapat ditempuh dengan dua jalur. Jalur pertama ialah meningkatkan efisiensi usahatani dan penggunaan sumberdaya lahan bawahan, sehingga dapat tetap berdaya produksi baik meskipun luas lahan berkurang. Jurus kedua ialah berkubu di lahan-lahan atasan dan yang kurang atau yang tidak diminati pihak lain, seperti rawa pasang surut di lahan bawahan. Pertanian harus mampu menciptakan sendiri prospek yang cerah bagi pengusahaan lahan-lahan piasan (marginal), inkonvesional dan yang tidak menarik bagi pihak lain, termasuk bagi pengusahaan lahan kering. Untuk menciptakan prospek cerah, khusus bagi pengusahaan lahan kering, diperlukan teknologi sepadan (apprioritas), baik bagi lingkungan biofisik maupun bagi lingkungan sosial ekonomi.Teknologi ini berasaskan LISA (Low Input Sustainabla Agriculture) yang terjabarkan menjadi tiga rakitan teknik pokok, yaitu: ` 1. Memadu kemampuan alamiah sistem tanah-tanaman-atmosfer dalam mengkonversikan unsur-unsur lingkungan menjadi produk berguna bagi manusia. 2. Adaptasi tanaman dan ternak pada lingkungan hidup setempat lewat seleksi, pemuliaan konvensional atau rekayasa genetik. 3. Membangun kelembagaan yang mendukung rasionalitas usahatani, pemberian nilai tambah pada hasil nilai pertanian, dan pelancaran pemasaran hasil usahatani. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 28 Ketiga rakitan ini dimaksudkan untuk: 1. Membatasi ketergantungan pertanian pada masukan komersial, seperti pupuk pabrik, bahan kimia pembenah tanah (chemical soil amendments), pestisida, subsidi dan kredit. 2. Membatasi usikan kegiatan atas lingkungan, berarti mengurangi dampak negatif atas lingkungan. 3. Mengokohkan usahatani sebagai eksponen ekonomi nasional. Berdasarkan pertimbangan LISA, kendala-kendala tanah, sifat timbulan, keadaan iklim, dan nasabah antara tanah, timbulan dan iklim yang menjadi penentu kemampuan lahan, maka berikut ini disenaraikan (listed) bentuk-bentuk penggunaan lahan kering yang dapat dipilih. Senarai disusun berurut mulai dari bentuk penggunaan yang dapat dianjurkan pertama-tama : 1. Perkebunan. 2. Peternakan dengan penggembalaan bergilir (paddock system). 3. Pertanian pangan dengan sistem hutantani (agroforestry). 4. Pertanian pangan dengan pemeliharaan ternak yang dikandang. 5. Pertanian pangan dengan menerapkan bioteknologi tanah. Pengurutan senerai memperlihatkan dari atas ke bawah adaptasi yang makin kurang, pengelolaan yang makin rumit dan mutu lahan yang diminta makin tinggi. Memilih bentuk penggunaan tentu masih memerlukan tinjauan ekonomi, dan apabila mengenai pertanian rakyat juga perlu mempertimbangkan faktor sosial dan budaya (selera, kebiasaan, kepercayaan dan tradisi). Bentuk apa pun yang dipilih, teknik konservasi tanah dan air harus menjadi komponen pokok sistem pengelolaan. Dalam hal peternakan dengan penggembalaan bergilir, pertanian pangan dengan sistem hutantani, dan sampai tingkat tertentu perkebunan, termasuk mencakup konservasi tanah dan air. Jika dikehendaki dapat saja dibuat gabungan dua atau lebih bentuk penggunaan lahan. Misalnya, perkebunan dan pertanaman pangan dengan menerapkan bioteknologi tanah, tanaman perkebunan dan tanaman rumput pakan ditanam dengan sistem penanaman lorong (alley cropping). M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 29 Bentuk pengelolaan yang dapat berperan penting dalam pengembangan pertanian lahan kering dan dapat menjamin keberlanjutan pertanian lahan kering di lahan-lahan bertanah piasan (marginal) adalah budidaya organik. 1. Pengelolaan air Konservasi lengas tanah menjadi faktor yang paling menentukan keberhasilan pertanian di lahan kering. Air hujan harus ditransformasikan terlebih dahulu menjadi lengas tanah agar dapat dimanfaatkan atau diserap akar tanaman. Proses transformasi tersebut berlangsung di dalam tanah dan efektifitasnya ditentukan oleh tekstur tanah, struktur tanah, macam mineral lempung, kandungan bahan organik tanah, dan jeluk mampan tubuh tanah. Konservasi lengas tanah berarti menahan lengas tanah lebih lama dalam tanah dengan jalan menekan kehilangan air lewat evaporasi dan atau perkolasi. Jumlah air limpasan juga perlu dikendalikan untuk memperbesar jumlah hujan efektif, yaitu bagian air hujan yang meresap ke dalam tanah. Dengan kata lain memperbesar bagian air hujan yang tersedia untuk ditransformasikan menjadi lengas tanah. Beberapa teknik pengendalian erosi juga efektif menekan laju aliran limpas, berarti meningkatkan hujan efektif, yaitu menahan dengan pola pagar resah garis tinggi, penanaman berjalur, dan teras. Penekanan evaporasi dapat dilakukan dengan mulsa (Gambar 1a). Bahan mulsa yang paling mudah diperoleh adalah limbah pertanian, tetapi ada kemungkinan pertentangan kepentingan penggunaan limbah ini. Suatu cara yang efektif namun mahal adalah menutup permukaan tanah dengan lembaran plastik (Gambar 1b). Laju evaporasi dapat ditekan juga dengan mengolah lapisan tanah atasan menjadi bongkahbongkah kasar atau menerapkan sistem pengolahan tanah minimum. Jumlah evaporasi dapat dikurangi dengan jalan melancarkan infiltrasi air ke dalam tanah dan menahan air dalam bagian tubuh tanah yang tidak terlalu dekat dengan permukaan tanah. Lebih baik lagi bila sebagian besar air tersipan dalam mintakan utama perakaran tanaman untuk memudahkan tanaman memperoleh air. Melancarkan infiltrasi ini harus diikuti dengan memperbesar kemampuan tubuh tanah menyimpan M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 30 air dan mengurangi laju perkolasi dalam tubuh tanah. Meningkatkan daya serap dan jerap tanah terhadap air dengan sendirinya berguna pula membatasi perkolasi air ke luar tubuh tanah yang berarti pula membatasi pelindian hara terlarutkan. Infiltrasi air dapat dilancarkan dengan melonggarkan struktur lapisan tanah atasan. Pembenaman atau penggunaan bahan organik bermanfaat untuk memperbesar kapasitas tanah menyimpan air, sekaligus mengurangi perkolasi air dalam tubuh tanah. (a) (b) Gambar 1. Penggunaan mulsa jerami (a) (http://alamtani.com/pupukhijau.html) dan mulsa plastik (b) pada pertanian lahan kering (http://budidayausaha.blogspot.com/2014/04/carapengolah-an-lahan-budidaya-melon.html) 2. Budidaya organik Penyelesaian tanah berkedala ganda diperlukan teknologi yang mempunyai kemampuan ganda pula. Budidaya organik adalah teknologi produksi pertanian semacam itu. Semua upaya yang diperlukan untuk menanggulangi berbagai kendala lahan kering masam seperti tanah ultisol tersedia dalam budidaya organik. Selain itu, yang lebih penting lagi ialah semua upaya tersebut saling bernasabah dalam bentuk suatu sistem. Hal ini berbeda sama sekali dengan budidaya kimiawi yang sampai saat sekarang diandalkan sebagai teknologi produksi pertanian utama. Untuk dapat menyelesaikan kedala ganda tanah, budidaya kimiawi mencampurkan sejumlah kimiawi yang pada asasnya tidak saling bernasabah secara sistem. Misalnya, pengapuran diterapkan untuk menanggulangi persoalan peracunan Al, Fe, dan Mn. Akan tetapi M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 31 akibat sampingannya ialah justru memperberat persoalan kekahatan P, Cu, Zn dan bahan organik, pelindian hara kation, dan kerentanan tanah terhadap erosi dan pemampatan. Pemupukan dengan pupuk buatan hanya dapat menyelesaikan persoalan kekahatan hara, jika tidak dipolakan secara cermat justru dapat mendatangkan persoalan baru berupa ketimpangan ketersediaan hara dalam tanah. Pengapuran mengakibatkan efisiensi pemupukan N, P, dan K menurun, padahal pengapuran diperlukan untuk menanggulangi persoalan peracunan Al, Fe, dan Mn. Budidaya organik merupakan suatu sistem produksi yang menghindari atau sangat membatasi penggunaan pupuk pabrik, pestisida, zat pengatur tumbuh dan aditif pakan. Sampai tingkat maksimum yang dimungkinkan, sistem budidaya organik bersandar pada pergiliran pertanaman, sisa pertanaman, pupuk kandang atau kotoran ternak, legum, pupuk hijau, limbah organik dari luar usahatani, penyiangan mekanik, batuan mengandung mineral, dan gatra pengendalian hama secara biologi, untuk mempertahankan produktivitas dan kegemburan tanah, untuk memasok hara tanaman, dan untuk mengendalikan hama, gulma dan jasad merugikan yang lain (Youngherg and Buttel, 1984). Contoh tanaman hasil budidaya organik disajikan paga Gambar 2. Budidaya organik dapat disebut sebagai suatu sistem produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang hara secara hayati. Menurut Herwood Cit. Papendick dan Elliott, 1984 ada tiga ragam pendauran hara yang diminati petani budidaya organik, yaitu (1) pendauran hara di dalam usahatani dengan sumber-sumber yang berasal dari luar usahatani, (2) pendauran hara di dalam usahatani dengan sumbersumber yang berasal dari usahatani sendiri berupa sisa pertanaman, dan (3) pendauran hara di dalam petak pertanaman. Pendauran ragam pertama berguna menambahkan hara ke dalam tanah dan luar usahatani. Cara ini mirip dengan pemupukan konvensional dengan pupuk kimiawi buatan. Namun ada perbedaan besar dalam hal daya pengaruh dan konsekuensinya. Pupuk kimiawi buatan memasok hara tertentu berupa senyawa anorganik berkadar tinggi dan mudah larut. Pemberian berulang kali dapat membahayakan M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 32 flora dan fauna tanah alami, mendatangkan ketimpangan hara dalam tanah, dan dengan sistem pengelolaan hara yang biasa dilakukan waktu ini dapat menyebabkan pencemaran bekalan-bekalan air, khususnya air tanah. Pupuk organik memasok berbagai macam hara terutama berupa senyawa organik berkonsentrasi rendah yang tidak mudah larut sehingga pupuk organik tidak akan dapat menimbulkan ketimpangan hara dalam tanah, bahkan dapat memperbaiki neraca hara. Pasokan bahan organik dapat menyehatkan kehidupan flora dan fauna tanah alami, yang pada gilirannya dapat meningkatkan dan memelihara produktivitas tanah. Terkait dengan tanah mineral masam seperti ultisol, bahan organik yang diberikan pada tanah dapat sekaligus menanggulangi bahaya peracunan Al, Fe, dan Mn; memperbaiki daya tanah menyimpan lengas, dan meningkatkan derajat agregasi zarahzarah debu dan lempung serta kemantapan agregat, yang berarti menurunkan kerentanan tanah terhadap erosi dan pemampatan. Oleh karena zat-zat hara berada dalam bentuk senyawa organik yang pelepasannya berlangsung secara berangsur, pupuk organik tidak mendatangkan pencemaran atas bekalan-bekalan air. Pendauran hara kedua tidak menambahkan hara ke dalam tanah, hanya mengembalikan hara yang tidak terangkut ke luar bersama dengan hasil panen. Kandungan hara dalam tanah secara berangsur tetap berkurang karena setiap kali ada yang terbawa ke luar bersama dengan hasil panen. Meskipun demikian manfaatnya tetap besar karena memasok bahan organik. Pendauran lewat ternak menyebabkan jumlah hara yang terkembalikan pada tanah lebih berkurang lagi karena sebagian terpakai untuk pertumbuhan badan hewan. Oleh karena unsur hara yang hilang dari tanah hanya terangkut ke luar bersama dengan hasil panen, persediaan hara dalam tanah dapat digunakan secara lebih hemat dan dapat memenuhi kebutuhan untuk waktu yang lebih lama. Pendauran ragam ketiga biasanya melibatkan tanaman legum untuk memenuhi bagian besar atau seluruh kebutuhan hara N pertanaman pokok. Tanaman legum dapat ditanam secara bergilir dengan tanaman pokok di petak yang sama, atau ditanam berjajar dengan tanaman pokok di petak yang terpisah menurut sistem pertanaman lorong. Tanaman yang ditanam secara bergilir dengan M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 33 tanaman pokok dapat berupa tanaman legum yang juga menghasilkan komoditas yang penting (kacang tanah, kedelai), atau tanaman legum yang khusus menghasilkan pupuk hijau. Tanaman yang ditanam dengan sistem pertanaman lorong adalah legum pohon yang daunnya dipungut sebagai pupuk hijau atau mulsa. Kegunaan budidaya organik pada dasarnya ialah meniadakan atau membatasi keburukan budidaya kimiawi dan risiko yang ditimbulkannya. Hal itu mencakup: 1. Menghemat penggunaan hara tanah, berarti memperpanjang umur produktif tanah. 2. Melindungi tanah terhadap kerusakan karena erosi dan mencegah degradasi tanah karena kerusakan struktur (pemampatan). 3. Menghindarkan terjadinya ketimpangan hara dalam tanah, bahkan dapat memperbaiki neraca hara dalam tanah. 4. Memperbaiki penyediaan lengas tanah, sehingga membatasi resiko kekeringan pada pertanaman dan memperbaiki ketersediaan hara tanah dan hara pupuk mineral, berarti meningkatkan efisiensi penggunaannya dan menghemat penggunaan pupuk buatan yang mahal. 5. Melindungi pertanaman terhadap cekaman oleh unsur-unsur yang ada dalam tanah (Al, Fe, Mn) atau yang masuk ke dalam tanah dari bahan-bahan pencemar (logam-logam berat). 6. Tidak membahayakan kehidupan flora dan fauna tanah, bahkan dapat menyehatkannya, berarti berdaya memelihara ekosistem tanah. 7. Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, khususnya atas bekalan-bekalan air, karena zat-zat kimia yang dikandungnya berkadar rendah dan berbentuk senyawa yang tidak mudah larut. 8. Berharga murah karena pupuk organik terutama dihasilkan dari bahan-bahan yang tersediakan di dalam usahatani sendiri dan pupuk hayati hanya diperlukan dalam jumlah sedikit, sehingga menekan biaya produksi usahatani. 9. Merupakan teknologi berkemampuan ganda, sehingga cocok sekali untuk diterapkan pada tanah-tanah yang berpersoalan ganda yang terdapat luas sekali di Indonesia (seperti tanah ultisol dan oksisol). M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 34 Ciri lain dari budidaya organik ialah penggunaan pupuk hayati (biofertilizers). Pupuk hayati ialah sediaan organik yang peran ameliorasinya barasal dari kandungan jasad renik aktif. Pupuk hayati dipilahkan menurut macam unsur hara yang ditanganinya. Salah satu pupuk hayati N yang sudah dikenal baik di Indonesia ialah inokulum rhizobium untuk kedelai. Pupuk hayati N yang lain ialah sediaan jasad renik penambat N2 udara non-simbiotik (Azotobacter, Azospirillum). Hasil penelitian Purwaningsih et al. (2012) menunjukkan bahwa (1) inokulasi rhizobium meningkatkan fiksasi nitrogen dan hasil biji. Kultivar kedelai yang termasuk kriteria ini adalah Anjasmara, Sibayak, Surya, Gepak Kuning, Galunggung, Argomulyo dan Baluran; (2) inokulasi rhizobium menyebabkan fiksasi nitrogen meningkat tetapi tidak diikuti dengan peningkatan hasil biji. Kultivar kedelai yang termasuk kriteria ini adalah Tanggamus; (3) inokulasi rhizobium tidak meningkatkan fiksasi nitrogen tetapi meningkatkan hasil biji. Kultivar kedelai yang termasuk kriteria ini adalah Malabar, Seulawah dan Petek; dan (4) inokulasi rhizobium tidak meningkatkan fiksasi nitrogen dan hasil biji. Kultivar yang termasuk kriteria ini adalah Ijen, Sinabung, Wilis, Grobogan, dan Garut. Pupuk hayati yang lain ialah sediaan atau inokulan seperti sediaan jasad renik pelarut fosfat, sediaan jasad renik penambat N2 udara yang hidup bebas dalam tanah, sediaan jasad renik pengurai bahan organik, dan biakan cacing tanah untuk memperbaiki keadaan fisik dan kimiawi tanah serta pengurai bahan organik. Inokulum mikorisa digolongkan dalam pupuk hayati P karena dapat melancarkan serapan P oleh tanaman. Perkembangan mikorisa yang subur membentuk benang-benang hifa yang rapat, menjulur dari permukaan akar ke dalam tanah. Karena halusnya, hifa dapat menembus pori-pori tanah yang tidak dapat ditembus oleh akar-akar rambut yang terhalus sekalipun. Dengan demikian volum efektif tanah yang terjangkau akar meningkat sekali dan efektivitas penyerapan air dan hara menjadi sangat meningkat. Tanaman menjadi lebih tegar menghadapi risiko kekeringan dan dapat hidup lebih baik di tanah-tanah yang semula dinilai miskin hara. Mikorisa juga berdaya meningkatkan serapan hara mikro Zn dan Cu serta meningkatkan kemampuan tanaman M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 35 menyerap air. Fungus ini juga berguna melawan peracunan tanaman oleh unsur-unsur logam berat seperti Mn dan Cd (FAO, 1990). Ada yang memperkirakan mikorisa dapat memperluas sistem perakaran tanaman sampai 1000 kali. Maka mikorisa juga berkemampuan mengurangi kerentanan tanah terhadap erosi. Sediaan jasad renik pelarut fosfat yang lain seperti Pseudomonas, Bacillus, Aspergillus, dan Penicillium yang berguna meningkatkan kadar P tersediakan dalam tanah atau meningkatkan keterlarutan P dalam pupuk fosfat alam. Inokulasi jasad renik pelarut fosfat, pemupukan fosfat cukup dikerjakan dengan bahan fosfat alam yang murah, tidak perlu dengan pupuk buatan TSP atau SP yang mahal. Maka kebutuhan akan pupuk P buatan, berarti ketergantungan pada industri petrokimia, dapat sangat dibatasi atau bahkan dapat ditiadakan. Hal ini akan sangat meringankan beban biaya produksi petani, khususnya petani kecil. Menurut pengalaman di India, penggunaan jasad renik penambat N dan pelarut fosfat secara gabungan dapat meningkatkan hasil panen padi dan "chikpea" (Cicer arietinum) secara nyata dan dapat memotong kebutuhan pupuk N buatan sampai setengahnya dan mengganti pupuk P buatan dengan batuan fosfat alam (FAO, 1990). Hasil penelitian Masruroh et al. (2013) menunjukkan bahwa pemberian agen hayati tanah berupa cacing tanah, rhizobium, azotobacter, bakteri pelarut P, dan fungi pelarut P tidak terlihat pengaruh yang nyata terhadap indikator kesuburan tanah, kecuali pada permeabilitas tanah, kemantapan agregat, dan perkembangan cacing tanah. Pengaruh nyata dari aplikasi agen hayati tanah terjadi pada parameter permeabilitas dan agregat tanah pada kedalaman 15-30 cm. Interaksi dan hubungan adannya aplikasi agen hayati tanah terhadap indikator kesuburan lahan terletak pada sifat biologi tanah, yaitu pada bobot basah cacing tanah dan perkembangan makro fauna permukaan tanah pada awal tanam. Namun hubungan ini masih menghasilkan peningkatan bobot cacing tanah sebesar 2,64%. Aplikasi agen hayati tanah tidak berpengaruh terhadap hasil produksi kedelai. Namun, agen hayati tanah rhizobium, cacing tanah, dan bakteri pelarut P mampu meningkatkan hasil produksi kedelai sebesar 25,68%. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 36 Pupuk hayati C ialah inokulum untuk mempercepat pengomposan dan memperbaiki mutu kompos (Trichoderma). Penelitian di Thailand membuktikan bahwa pengomposan dengan cara ini memperbaiki ketersediaan N dalam bahan organik dan pemberian komposnya kepada tanah meningkatkan N tersediakan dalam tanah (FAO, 1990). Kompos yang dibuat dengan cacing tanah (vermicompost) akhir-akhir ini medapat perhatian luas sebagai pupuk hayati penting. Penebaran biakan cacing tanah dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisik dan kimiawi tanah serta dapat memacu kegiatan jasad renik tanah. Biakan Trichoderma sp. digunakan untuk mempercepat pengomposan. Pemberian kompos yang dibuat dengan aktivator Trichoderma sp. dan ditambah hanya dengan setengah takaran pupuk buatan yang biasa diberikan dapat meningkatkan hasil panen sampai 20% dibandingkan dengan yang dipupuk dengan takaran penuh pupuk buatan. Hasil penelitian Tufaila et al. (2014a) dan Tufaila et al. (2014b) menunjukkan bahwa penggunaan kompos dapat memperbaiki kesuburan tanah masam dan dapat meningkatkan hasil tanaman padi dan mentimun. Pupuk organik dan hayati mempunyai beberapa keunggulan nyata dibandingkan dengan pupuk mineral. Pupuk organik dengan sendirinya merupakan keluaran setiap kegiatan pertanian, sehingga merupakan sumber hara makro dan mikro yang boleh dikatakan cumacuma. Pupuk hayati secara nisbih murah. Dengan pengelolaan yang baik, tanah yang pernah diinokulasi dengan rhizobium atau mikorisa dan ditanam dengan tanaman yang sama biasanya tidak memerlukan inokulasi ulang. Biakan cacing tanah yang disebar dalam tanah yang sesuai secara ekologis akan berkembang dengan sendirinya. Pupuk organik dan hayati berdaya ameliorasi ganda dengan berbagai proses yang saling mendukung, bekerja menyuburkan tanah dan sekaligus menyehatkan tanah sebagai suatu ekosistem dan memperkuat daya tahan tanah terhadap degradasi, dan menghindarkan terjadinya pencemaran lingkungan. Akan tetapi dalam penerapannya terdapat kendala ketersediaan pupuk organik, takaran harus banyak, dan dapat memenuhi persaingan dengan kepentingan lain dalam memperoleh sisa pertanaman atau limbah organik secara cukup. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 37 Pupuk hayati masih berada pada awal pengembangan. Pada waktu ini keberhasilan penggunaannya masih terbatas, terutama karena produksinya belum dapat memenuhi jumlah kebutuhan. Untuk mencukupi kebutuhan, pupuk hayati perlu diproduksi secara industri sebagaimana yang dikerjakan orang di negara-negara maju. Di Indonesia belum diprioritaskan secara serius karena kebijakan pembangunan pertanian masih mementingkan budidaya kimiawi. Maka bioteknologi yang menjadi dasar pengembangan pupuk hayati belum memperoleh perhatian sebagaimana mestinya. Budidaya organik belum dapat diterapkan secara murni mengingat kendala-kendala tersebut tadi. Disamping itu di tanah-tanah yang sangat miskin hara pupuk organik dan hayati perlu dilengkapi dengan pupuk mineral, khusus pada tahap awal pembudidayaannya. Pupuk mineral diperlukan agar supaya takaran pupuk organik tidak menjadi terlalu banyak menyulitkan pengelolaannya. Sejalan dengan proses pembangunan kesuburan tanah oleh pupuk organik dan hayati, secara berangsur kebutuhan pupuk mineral yang berkadar hara tinggi dapat dikurangi. Penggabungan budidaya organik dengan budidaya kimia disebut sistem gizi tanaman terpadu (integrated plant nutrition system, IPNS) yang sekarang sedang dikembangkan secara luas di negara-negara Asia dan Pasifik oleh prakarsa FAO. Di dalam IPNS penggunaan pupuk organik dan hayati bertujuan jangka panjang untuk membangun sistem bekalan hara (nutrient supply system) dalam tanah yang baik dan mantap. Penggunaan pupuk kimia bertujuan jangka pendek untuk memasok hara secara segera sambil menunggu berfungsinya sistem bekalan hara yang efektif secara berkelanjutan. Hasil penelitian Magdalena et al. (2013) yang mengkombinasikan pupuk anorganik, pupuk kandang dan pupuk hijau untuk mengurangi ketergantungan terhadap pupuk anorganik menunjukkan bahwa perlakuan pupuk anorganik 75% dengan pupuk kandang 20 ton ha-1 dan perlakuan pupuk anorganik 75% dengan pupuk hijau Crotalaria juncea 20 ton ha-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan pupuk anorganik 100% dengan pupuk kandang 10 ton ha -1 disertai pupuk hijau C. Juncea 10 ton ha-1, sehingga perlakuan pupuk anorganik 75% dengan pupuk kandang 20 ton ha-1 dan pupuk anorganik 75% dengan pupuk M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 38 hijau C. Juncea 20 ton ha-1 dapat mengurangi kebutuhan pupuk anorganik. Perlakuan pupuk anorganik 100% dengan pupuk hijau C. juncea 20 ton ha-1 dan perlakuan pupuk anorganik 100% dengan pupuk kandang 20 ton ha-1 memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk anorganik 100% dengan pupuk kandang 10 ton ha -1 disertai pupuk hijau C. Juncea 10 ton ha-1. (a) (b) Gambar 2. Tanaman cabai (a) dan tanaman kubis (b) hasil budidaya organik (http://patih-madrim.blogspot.com/2011/08/ budidaya-cabai-organik.html;http://mitrapetani.blogspot.com/2012/ 10/ mitra-petani-potensi-pertanian-organik.html) M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam 39 STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT V A. Pengertian dan Potensi Lahan Gambut Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk. Luas lahan gambut di dunia diperkirakan sekitar 400 juta ha. Indonesia merupakan negara ke empat dengan lahan rawa gambut terluas di dunia, yaitu sekitar 17,2 juta ha setelah Kanada seluas 170 juta ha, Uni Soviet seluas 150 juta ha, dan Amerika Serikat seluas 40 juta ha (Euroconsult, 1984). Namun demikian, dari berbagai laporan, Indonesia sesungguhnya merupakan negara dengan kawasan gambut tropika terluas di dunia, yaitu antara 13,5-26,5 juta ha (rata-rata 20 juta ha). Jika luas gambut Indonesia adalah 20 juta ha, maka sekitar 50% gambut tropika dunia yang luasnya sekitar 40 juta ha berada di Indonesia. Lahan gambut tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian. Luas lahan gambut yang layak untuk pertanian serta sebarannya di Indonesia (BB Litbang SDLP., 2008) disajikan pada Tabel 5. Potensi lahan gambut yang sedemkian besarnya tersebut sehingga perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di beberapa provinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Antara tahun 1982 sampai 2007 telah dikonversi seluas 1,83 juta ha atau 57% dari luas total hutan gambut seluas 3,2 juta ha di Provinsi Riau. Laju konversi lahan gambut M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 40 cenderung meningkat dengan cepat, sedangkan untuk lahan non gambut peningkatannya relatif lebih lambat (WWF, 2008). Tabel 5. Luas total lahan gambut dan yang layak untuk pertanian serta sebarannya di Indonesia Pulau/Provinsi Luas total (ha) Sumatra Riau Jambi Sumatera Selatan Kalimantan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Papua dan Papua Barat Total 6.244.101 4.043.600 716.839 1.483.662 5.072.249 3.010.640 1.729.980 331.629 7.001.239 18.317.589 Layak untuk pertanian (ha) 2.253.733 774.946 333.936 1.144.851 1.530.256 672.723 694.714 162.819 2.273.160 6.057.149 Catatan: Apabila lahan gambut di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu dan Kalimantan Timur diperhitungkan, maka luas total lahan gambut di Indonesia adalah sekitar 21 juta ha. B. Pembentukan dan Klasifikasi Gambut 1. Pembentukan gambut Gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh adanya akumulasi bahan organik yang berlangsung dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik yang terdapat di lantai hutan lahan basah. Proses pembentukan gambut hampir selalu terjadi pada hutan dalam kondisi tergenang dengan produksi bahan organik dalam jumlah yang banyak (Najiyati at al., 2005). Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10.000-5.000 tahun yang lalu (pada periode holosin) dan gambut di Indonesia terjadi antara 6.800-4.200 tahun yang lalu (Andriesse, 1994). Gambut di Serawak yang berada di dasar kubah terbentuk 4.300 tahun yang lalu (Tie and Esterle, 1991), sedangkan gambut di Muara Kaman Kalimantan Timur umurnya antara 3.850 sampai 4.400 tahun (Diemont and Pons, 1991). Siefermann et al. (1988) menunjukkan bahwa berdasarkan carbon M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 41 dating (penelusuran umur gambut menggunakan teknik radio isotop) umur gambut di Kalimantan Tengah lebih tua lagi yaitu 6.230 tahun pada kedalaman 100 cm sampai 8.260 tahun pada kedalaman 5 m. Dari salah satu lokasi di Kalimantan Tengah, Page et al. (2002) menampilkan sebaran umur gambut sekitar 140 tahun pada kedalaman 0-100 cm, 5005.400 tahun pada kedalaman 100-200 cm, 5.400-7.900 tahun pada kedalaman 200-300 cm, 7.900-9.400 tahun pada kedalaman 300-400 cm, 9.400-13.000 tahun pada kedalaman 400-800 cm dan 13.00026.000 tahun pada kedalaman 800-1.000 cm. Dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa pembentukan gambut memerlukan waktu yang sangat panjang. Gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0-3 mm tahun-1. Di Barambai Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan laju pertumbuhan gambut sekitar 0,05 mm dalam satu tahun, sedangkan di Pontianak sekitar 0,13 mm tahun-1. Di Sarawak Malaysia, laju pertumbuhan berjalan lebih cepat yaitu sekitar 0,22 –0,48 mm per tahun (Noor, 2001). Secara umum, pembentukan dan pematangan gambut berjalan melalui tiga proses yaitu pematangan fisik, pematangan kimia dan pematangan biologi. Kecepatan proses tersebut dipengaruhi oleh iklim (suhu dan curah hujan), susunan bahan organik, aktivitas organisme, dan waktu (Andriesse, 1988). Pematangan gambut melalui proses pematangan fisik, kimia, dan biologi dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pematangan fisik terjadi dengan adanya pelepasan air (dehidrasi) karena drainase, evaporasi (penguapan), dan dihisap oleh akar. Proses ini ditandai dengan penurunan dan perubahan warna tanah; (2) Pematangan kimia terjadi melalui peruraian bahan-bahan organik menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Proses pematangan ini akan melepaskan senyawa-senyawa asam-asam organik yang beracun bagi tanaman dan membuat suasana tanah menjadi asam. Gambut yang telah mengalami pematangan kimia secara sempurna akhirnya akan membentuk bahan organik baru yang disebut sebagai humus; dan (3) Pematangan biologi merupakan proses yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme tanah. Proses ini biasanya akan lebih cepat M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 42 terjadi setelah pembuatan drainase karena tersedianya oksigen yang cukup menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme. Tanah gambut dalam klasifikasi tanah dikenal sebagai histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat volume (BV) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BV > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff, 2010). 2. Klasifikasi gambut Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi: (1) Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya < 15%. (2) Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15-75%. Contoh gambut hemik (Agus dan Subiksa, 2008) disajikan pada Gambar 3a. (3) Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya masih tersisa. Contoh gambut fibrik (Agus dan Subiksa, 2008) disajikan pada Gambar 3b. Berdasarkan lingkungan pembentukannya (Gambar 4), gambut dibedakan atas: (1) Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya dipengaruhi oleh air hujan. (2) Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam 43 STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL (a) (b) Gambar 3. Contoh gambut fibrik (mentah) (a) dan gambut hemik (setengah matang) (b) (Agus dan Subiksa, 2008) Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi: (1) Gambut dangkal (50-100 cm), (2) Gambut sedang (100-200 cm), (3) Gambut dalam (200-300 cm), dan (4) Gambut sangat dalam (> 300 cm) Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi: (1) Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan mendapat pengayaan mineral dari air laut. (2) Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam 44 STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL (3) Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut. a b c Gambar 4. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah: a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah, b. Pembentukan gambut topogen, dan c. pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen (Noor, 2001 mengutip van de Meene, 1982) M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 45 C. Karakteristik Tanah Gambut 1. Karakteristik fisik Mekipun bahan asal gambut berwarna kelabu, coklat atau kemerahan tetapi setelah dekomposisi muncul senyawa-senyawa yang berwarna gelap sehingga gambut umumnya berwarna coklat sampai kehitaman. Warna gambut menjadi salah satu indikator kematangan gambut. Semakin matang, gambut semakin berwarna gelap. Fibrik berwarna coklat, hemik berwarna coklat tua, dan saprik berwarna hitam. Dalam keadaan basah, warna gambut biasanya semakin gelap. Kadar air tanah gambut berkisar antara 100-1.300% dari berat keringnya (Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Kadar air berdasarkan kematangan gambut, gambut saprik <450%, hemik 450-850% dan fibrik >850% (Suhardjo dan Dreissen, 1975). Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya (Gambar 5). Kadar air yang tinggi menyebabkan BV menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah (Nugroho, et al, 1997; Widjaja-Adhi, 1997). BV tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g.cm-3 tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BV lebih rendah dari 0,1 g.cm-3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BV > 0,2 g.cm-3 (Tie and Lim, 1991) karena adanya pengaruh tanah mineral. Gambar 5. Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran drainase (Agus dan Subiksa, 2008) M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 46 Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume, subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2-6 cm.tahun-1 tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang menggantung (Gambar 6). Penurunan air permukaan akan menyebabkan lahan gambut menjadi kekeringan. Gambut mempunyai sifat kering tak balik. Artinya, gambut yang sudah mengalami kekeringan yang ekstrim, akan sulit menyerap air kembali. Gambut yang telah mengalami kekeringan ekstrim ini memiliki bobot isi yang sangat ringan sehingga mudah hanyut terbawa air hujan, strukturnya lepas-lepas seperti lembaran seresah, mudah terbakar, dan sulit ditanami kembali. Gambar 6. Akar tanaman yang menggantung menunjukkan terjadinya subsiden (penurunan permukaan) (Agus dan Subiksa, 2008) 2. Karakteristik kimia Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 47 bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10-20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, dan protein. Friesher dalam Driessen dan Soepraptohardjo (1974) membagi gambut dalam tiga tingkatan kesuburan yaitu eutropik (subur), mesotropik (sedang), dan oligotropik (tidak subur). Secara umum gambut topogen yang dangkal dan dipengaruhi air tanah dan sungai umumnya tergolong gambut mesotropik sampai eutropik sehingga mempunyai potensi kesuburan alami yang lebih baik dari pada gambut ombrogen (kesuburan hanya terpengaruh oleh air hujan) yang sebagian besar oligotropik. Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3-5. Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir kuarsa di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3,25-3,75 (Halim, 1987; Salampak, 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1 sampai 4,3 (Hartatik et.al., 2004). Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam (Driessen dan Suhardjo, 1976). Kandungan unsur mikro, khususnya Cu, Bo dan Zn, sangat rendah, namun kandungan besi (Fe) cukup tinggi. Di sisi lain kapasitas pertukaran kation (KPK) gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim Institut Pertanian Bogor (1974) melaporkan bahwa tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur Riau (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976). Muatan negatif (yang menentukan KPK) pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KPK akan naik bila pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil disosiasi hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KPK menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KPK yang tinggi, M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 48 sedangkan penetapan KPK dengan pengekstrak amonium klorida (pada pH aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KPK tinggi menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kationkation K, Ca, Mg dan Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci. Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia gambut. Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kationkation tersebut membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh karenanya bahan-bahan yang mengandung kation polivalen tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan amelioran gambut (Sabiham et al., 1997; Saragih, 1996). D. Pertanian di Lahan Gambut 1. Kriteria pemanfaatan lahan gambut Kegagalan pemanfaatan gambut tidak lain disebabkan banyak faktor yang tidak dipertimbangkan sebagai kriteria dalam pemanfaatannya. Dasar pemanfaatan lahan gambut yang selama ini hanya mengandalkan KEPPRES No. 32 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa ketebalan gambut lebih dari 3 meter untuk dikonservasi atau untuk kehutanan dan kurang dari 3 meter dapat dijadikan kawasan produksi, tampaknya harus ditinjau kembali. Mengacu dari pertemuan Tim Ad Hoc di BAPPENAS, Limin et al (2003) menyatakan bahwa KEPPRES No. 23/1990 ditetapkan tidak berdasarkan hasil riset dan fakta lapangan, melainkan hanya mengakomodir pendapat para peserta rapat yang hadir dalam penetapannya. Tetap memberlakukan KEPPRES No. 32/1990 tersebut dipastikan akan menyebabkan kerusakan hebat M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam 49 STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL pada lahan gambut yang tersisa, dan menyulitkan restorasi lahan gambut yang telah rusak. Oleh karena itu, selain harus mempertimbangkan aspek budaya masyarakat dan aspek pasar, Limin (2000) mengajukan kriteria pemanfaatan gambut seperti diperincikan pada Tabel 6. Tabel 6. Kriteria pemanfaatan gambut berdasarkan ketebalan lapisan, bahan di bawah gambut dan hidrologi No. 1. Ketebalan (cm) <50 Bahan di bawah lapisan gambut Mineral lempung Pasir/granit 2. 50-100 Mineral lempung Pasir/granit 3. 100-200 Mineral lempung Pasir/granit 4. >200 Mineral lempung/pasir/ granit Hidrologi Peruntukan Bermasalah Padi atau palawija, usaha tambak Bermasalah/tak Konservasi bermasalah Bermasalah Padi atau palawija, usaha tambak Bermasalah/tak Konservasi bermasalah Bermasalah Komoditas perkebunan Bermasalah/tak Konservasi bermasalah Bermasalah/tak Konservasi bermasalah 2. Pengelolaan air Pengelolaan air (water management) atau sering disebut tata air di lahan rawa bertujuan tidak hanya untuk menghindari terjadinya banjir/genangan yang berlebihan di musim hujan tetapi juga untuk menghindari kekeringan di musim kemarau. Hal ini penting disamping untuk memperpanjang musim tanam, juga untuk menghindari bahaya kekeringan lahan sulfat masam dan lahan gambut. Pengelolaan air yang hanya dimaksudkan untuk mengendalikan banjir di musim hujan dengan M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 50 membuat saluran drainase saja akan menyebabkan kekeringan di musim kemarau. Pengelolaan air di lahan gambut dimaksudkan (Najiyati et al., 2005) untuk: (a) Mencegah banjir di musim hujan dan menghindari kekeringan di musim kemarau; (b) Mencuci garam, asam-asam organik, dan senyawa beracun lainnya di dalam tanah; (c) Mensuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman; (d) Mencegah terjadinya penurunan permukaan tanah (subsidence) terlalu cepat; (e) Mencegah pengeringan dan kebakaran gambut serta oksidasi pirit; (f) Memberikan suasana kelembaban yang ideal bagi pertumbuhan tanaman dengan cara mengatur tinggi muka air tanah. a. Tata air makro Tata air makro adalah pengelolaan air dalam suatu kawasan yang luas dengan cara membuat dan mengatur jaringan reklamasi sehingga keberadaan air bisa dikendalikan. Pada kawasan lahan rawa yang luas, pembangunan dan pemeliharaannya tidak dilaksanakan secara perorangan melainkan oleh pemerintah, badan usaha swasta, atau oleh masyarakat secara kolektif. Kegiatan pembangunan sarana tata air makro sering disebut sebagai reklamasi lahan. Beberapa model yang sering dikembangkan antara lain sistem handil dan sistem garpu. Sistem Handil Sistem handil atau sistem parit sudah dikembangkan sejak lama oleh petani lahan gambut pasang surut di Kalimantan dan Sumatera. Handil dibuat tegak lurus sungai selebar 5-7 m dan semakin menyempit ke arah hulu. Panjang handil berkisar antara 0,5 km hingga 4 km atau sampai kedalaman gambut maksimum 1 meter. Handil ini sering pula digunakan sebagai prasarana transportasi air, karena jalan darat umumnya tidak tersedia. Selanjutnya dibuat saluran yang lebih kecil dan tegak lurus handil. Saluran ini sering menjadi batas kepemilikan lahan. Pada kanan kiri handil dan saluran dibuat tanggul dan ditanami buahM. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam 51 STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL buahan untuk menahan erosi. Handil dan saluran tersebut ketika pasang berfungsi sebagai saluran irigasi dan ketika surut berfungsi sebagai saluran drainase. Denah air sistem handil disajikan pada Gambar 7. Parit cacing Parit Parit kongsi Tanggul/ pematang Tabat Semak belukar Sungai Sungai Tanggul sungai Gambar 7. Denah tata air sistem handil (Najiyati et al., 2005) Sistem handil mempunyai kelebihan, yaitu biaya pembuatannya murah. Kelemahannya antara lain adalah : a. Hanya dapat dibuat pada lokasi-lokasi yang dekat dengan sungai. Maksimum panjang 4 km, agar air pasang masih dapat menjangkau lahan garapan; b. Keluar masuknya air terjadi pada saluran yang sama, sehingga air didrainase yang mengandung senyawa-senyawa beracun bercampur dengan air pasang. Akibatnya, senyawa-senyawa terakumulasi di dalam saluran dan lahan sehingga kurang baik untuk pertumbuhan tanaman. Tabat atau bendungan dibuat di ujung handil (dekat sungai) dengan ketentuan sebagai berikut (Gambar 8) : M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 52 a. Ketinggian tabat lebih rendah dari tanggul handil sehingga pada waktu hujan, air masih dapat melintasi bagian atas tabat dan tidak menerobos tanggul; b. Ketinggian tabat lebih rendah dari ketinggian air pasang kecil ketika musim kemarau. Dengan demikian, air pasang masih dapat masuk ke handil melintasi bagian atas tabat. Gambar 8. Pembuatan tabat pada handil (Najiyati et al., 2005) Sistem Garpu Pengaturan tata air dengan sistem garpu dikembangkan oleh Universitas Gajah Mada pada lahan pasang surut dengan membuat saluran yang dilengkapi dengan pintu-pintu air. Saluran primer, sekunder, dan tersier dibuat saling tegak lurus sehingga menyerupai gambar garpu. Pintu air dibuat otomatis (flapgate) yang ketika pasang dapat membuka lalu menutup ketika surut. Sistem garpu disajikan pada Gambar 9. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 53 Gambar 9. Tata air sistem garpu UGM (Najiyati et al., 2005) b. Tata air mikro Tata air mikro adalah pengelolaan air pada skala petani (Gambar 10). Dalam hal ini, pengelolaan air dimulai dari pengelolaan saluran tersier serta pembangunan dan pengaturan saluran kuarter dan saluran lain yang lebih kecil. Saluran tersier umumnya dibangun oleh pemerintah tetapi pengelolaannya diserahkan kepada petani. Pengelolaan air di tingkat petani bertujuan untuk: a. Mengatur agar setiap petani memperoleh air irigasi dan membuang air drainase secara adil. Untuk itu, diperlukan organisasi pengatur air di tingkat desa; b. Menciptakan kelembaban tanah di lahan seoptimum mungkin bagi pertumbuhan tanaman serta mencegah kekeringan lahan sulfat masam dan lahan gambut. Saluran kuarter merupakan cabang saluran tersier dan berhubungan langsung dengan lahan. Jika jarak antara saluran tersier dengan lahan cukup jauh, saluran tersier tidak langsung berhubungan dengan saluran kuarter. Kedua saluran tersebut dihubungkan oleh yang sering disebut sebagai saluran kuinter. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 54 Saluran kuarter dibuat tegak lurus saluran tersier. Saluran ini sering pula dijadikan sebagai batas kepemilikan lahan bila luas kepemilikan lahan terbatas (1-3 ha per orang). Cara membuat saluran ini sebagai berikut: a. Saluran drainase dan irigasi dibuat berseling. Dengan demikian, setiap kavling lahan berhubungan dengan saluran irigasi dan saluran drainase; b. Saluran irigasi kuarter dibuat pada sepanjang batas kepemilikan lahan dengan cara membuat tanggul pada sisi kanan-kiri saluran. Tanah tanggul berasal dari lahan dan bukan dari galian saluran. Dengan demikian, ketinggian dasar saluran minimal sama dengan ketinggian lahan, agar air irigasi dapat masuk ke lahan. Ujung hulu saluran irigasi dipasang pintu stoplog (Gambar 11); c. Saluran drainase kuarter dibuat dengan cara menggali tanah selebar 0,5-0,6 m sedalam 0,4-0,6 m di sepanjang batas kavling lahan pada sisi lain saluran irigasi. Hasil galiannya ditimbun di kanan-kiri saluran sebagai pematang/tanggul. Ujung muara (hilir) saluran dipasang pintu stoplog. Keterangan : A : Saluran drainase tersier B : Saluran irigasi kuarter D : Saluran kolektor E : Saluran cacing C : Saluran drainase kuarter F : Pintu air drainase stoplog Gambar 10. Contoh tata air mikro pada lahan sawah dan tegalan (Najiyati et al., 2005) M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL (a) 55 (b) Gambar 11. Pintu stoplog di saluran tersier (a. tampak depan; b. tampak samping) (Najiyati et al., 2005) Kuarter merupakan saluran di luar pertanaman yang paling kecil. Di dalam lahan, dibuat saluran saluran kolektor dan saluran cacing. Saluran ini berfungsi untuk mempercepat pencucian senyawa beracun dan meratakan distribusi air irigasi. Posisi saluran kolektor dan saluran cacing tergantung pada penataan lahan. Pada lahan yang ditata dengan sistem caren dan surjan, saluran dibuat setelah selesai pembuatan caren dan surjan. Pada lahan yang ditata dengan sistem sawah dan tegalan, pembuatan saluran dilakukan setelah pengolahan tanah. Saluran kolektor dibuat mengelilingi lahan dan tegak lurus saluran kuarter pada setiap jarak 25-30 m. Ukuran saluran kolektor 40 x 40 cm dengan kedalaman 5-10 cm lebih dangkal dari pada saluran kuarter. Saluran kolektor yang berhubungan dengan saluran irigasi diberi pintu pada bagian hulu. Saluran kolektor yang berhubungan dengan saluran drainase diberi pintu pada bagian hilir. Pintu cukup dibuat dengan cara menggali tanggul, dan dapat ditutup sewaktu diperlukan dengan menimbunnya kembali. Saluran cacing dibuat tegak M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 56 lurus saluran kolektor. Saluran ini dibuat setiap jarak 9-10 m dengan ukuran lebar 30 cm dan dalam 25-30 cm. 3. Pengelolaan kesuburan tanah Tanah gambut bereaksi masam. Dengan demikian diperlukan upaya ameliorasi untuk meningkatkan pH sehingga memperbaiki media perakaran tanaman. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan pH dan basa-basa tanah. Dosis anjuran dan manfaat amelioran pada tanah gambut disajikan pada Tabel 7 (Subiksa et al, 1997; Mario, 2002; Salampak, 1999). Tidak seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup ditingkatkan sampai pH 5 saja karena gambut tidak memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan pH sampai tidak lebih dari 5 dapat memperlambat laju dekomposisi gambut. Pengaruh buruk asam-asam organik beracun juga dapat dikurangi dengan menambahkan bahanbahan amelioran yang banyak mengandung kation polivalen seperti terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai (Salampak, 1999; Sabiham et al, 1997). Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Mario, 2002; Salampak, 1999; Suastika, 2004; Subiksa et al., 1997). Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Sri Ratmini (2012) bahwa pengembangan pertanian di lahan gambut menghadapi kendala antara lain tingginya asam-asam organik. Pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun dapat dikurangi dengan teknologi pengelolaan air dan menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kahat unsur hara untuk memberikan hasil yang optimal pada sistem usahatani dapat dilakukan dengan tindakan ameliorasi dan pemupukan. Namun yang perlu diperhatikan bahwa bahwa ameliorasi untuk memperbaiki kesuburan tanah gambut juga dapat memacu emisi, karena ameliorasi akan menurunkan rasio C/N dan akan memacu dekomposisi gambut. Dengan demikian pemanfaatan lahan gambut harus berdasarkan pada pertimbangan yang rasional antara keuntungan ekonomi yang didapat dengan kerugian lingkungan yang akan diderita (Widyati, 2011). M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 57 Pemupukan sangat dibutuhkan karena kandungan hara gambut sangat rendah. Jenis pupuk yang diperlukan adalah yang mengandung N, P, K, Ca dan Mg. Walaupun KPK gambut tinggi, namun daya pegangnya rendah terhadap kation yang dapat dipertukarkan sehingga pemupukan harus dilakukan beberapa kali (split application) dengan dosis rendah agar hara tidak banyak tercuci. Penggunaan pupuk yang tersedianya lambat seperti fosfat alam akan lebih baik dibandingkan dengan SP36, karena akan lebih efisien, harganya murah dan dapat meningkatkan pH tanah (Subiksa et al., 1991). Penambahan kation polivalen seperti Fe dan Al akan menciptakan tapak jerapan bagi ion fosfat sehingga bisa mengurangi kehilangan hara P melalui pencucian (Rachim, 1995). Peningkatan kandungan P tanaman semakin besar bila pemberian fosfat alam berkadar Fe tinggi diikuti dengan pemberian amelioran Fe3+. Semakin tinggi kandungan air tanah dan kadar Fe dalam fosfat alam semakin besar kontribusinya dalam menekan kehilangan karbon, rata-rata kehilangan karbon dari tanah gambut pertahun dapat ditekan sebesar: 64% (1,7 Mg C ha-1.tahun-1) pada kondisi tergenang 5 cm, diikuti dengan kondisi dua kali kapasitas lapang sebesar 58% (1,3 Mg C ha-1.tahun-1) dan kondisi kapasitas lapang sebesar 41% (1,0 Mg C ha-1tahun-1), bila pemberian fosfat alam berkadar Fe tinggi diikuti dengan pemberian amelioran Fe3+. Untuk menekan kehilangan karbon dan mempertahankan stabilitas tanah gambut disarankan menggunakan bahan berkadar Fe tinggi sebagai amelioran dan fosfat alam berkadar Fe tinggi pada kondisi tergenang (Nelvia, 2009). Tanah gambut juga kahat unsur mikro karena dikhelat (diikat) oleh bahan organik (Rachim, 1995). Oleh karenanya diperlukan pemupukan unsur mikro seperti terusi, magnesium sulfat dan seng sulfat masing-masing 15 kg.ha-1.tahun-1, mangan sulfat 7 kg.ha-1.tahun-1, sodium molibdat dan borax masing-masing 0,5 kg.ha-1.tahun-1. Kekurangan unsur mikro dapat menyebabkan kehampaan pada tanaman padi, tongkol kosong pada jagung atau polong hampa pada kacang tanah. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 58 Tabel 7. Dosis anjuran dan manfaat pemberian amelioran pada tanah gambut Dosis (ton.ha-1) Jenis amelioran Kapur 1-2 Pupuk kandang 5-10 Terak baja 2-5 Tanah mineral 10-20 Abu 10-20 Lumpur sungai 10-20 Manfaat Meningkatkan basa-basa dan pH tanah Memperkaya unsur hara makro / mikro Mengurangi fitotoksik asam organik, meningkatkan efisiensi pupuk P Mengurangi fitotoksik asam organik, meningkatkan kadar hara makro/mikro Meningkatkan basa-basa, dan pH tanah Mengurangi fitotoksik asam organik, meningkatkan basa-basa, unsur hara Keterangan: Beberapa amelioran dapat menggantikan fungsi amelioran lainnya. Misalnya, dengan pemberian kapur, pemberian abu dapat dikurangi dan sebaliknya. 4. Jenis tanaman di lahan gambut Lahan gambut merupakan habitat beraneka ragam tanaman yang memiliki nilai ekonomi dan bermanfaat bagi manusia. Dari sejumlah tanaman yang ada di lahan gambut beberapa diantaranya dibudidayakan secara intesif, secara non intensif, atau tumbuh secara liar di hutan. Budidaya secara intensif adalah budidaya tanaman dalam skala ekonomi dengan pemeliharaan dan pemupukan yang teratur sesuai kebutuhan. Sedangkan budidaya non intensif adalah budidaya dengan pemeliharaan terbatas, biasanya tanpa pemupukan, dan dalam skala terbatas karena produksinya untuk konsumsi sendiri atau dipasarkan di pasar lokal. Berdasarkan hasil penelitian mendalam di sejumlah lokasi gambut tropis, Driessen dan Sudewo (1976), telah mendeskripsikan puluhan jenis tanaman. Informasi yang disajikan dalam bagian ini sebagian besar disarikan dari buku tersebut dan ditampilkan dengan format yang berbeda. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 59 Untuk mempermudah pemahaman, jenis tanaman disajikan dalam bentuk tabel dan dikategorikan berdasarkan pemanfaatan komoditas yang dihasilkan. Pengelompokan tersebut yaitu tanaman pangan, tanaman perkebunan, tanaman sayuran, tanaman rempah, tanaman serat, tanaman buah, dan tanaman lainnya. Penulisan nama tanaman diikuti dengan nama latin dan nama familinya. Persiapan lahan gambut untuk budidaya tanaman sebagaimana disajikan pada Gambar 12. Gambar 12. Persiapan lahan gambut untuk budidaya tanaman (Supriyanto, 2013) a. Tanaman pangan Tanaman pangan adalah tanaman yang hasil/produksinya merupakan bahan konsumsi manusia sebagai sumber karbohidrat atau protein. Dari jenis tersebut, yang banyak dibudidayakan secara intensif di lahan gambut antara lain jagung, kacang tanah, kedele, padi, singkong, dan bengkoang. Sedangkan jenis lainnya dipelihara untuk sekedar mencukupi kebutuhan sendiri atau diambil dari tumbuhan liar di hutan. Dalam kelompok ini, juga terdapat jenis tanaman pangan tahunan yaitu sagu yang umumnya belum dibudidayakan secara intensif di lahan gambut. Jenis dan pemanfaatan tanaman pangan di lahan gambut disajikan pada Tabel 8. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 60 Tabel 8. Jenis dan pemanfaatan tanaman pangan di lahan gambut Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan Bengkoang (Pachyrrhizus erosus L) Papilonaceae Umbinya dapat dimakan dalam keadaan segar Jagung (Zea may L.) Gramineae Bijinya digunakan untuk bahan pangan, makanan ternak, bahan baku minyak Umbi akarnya dapat dimakan atau dibuat tepung Membutuhkan tanah dengan drainase baik. Diperbanyak dengan biji yang di tanam pada guludan kecil. Dipanen pada umur 8-9 bulan. Diusahakan di lahan gambut dangkal hingga sedang, diperbanyak melalui biji. pH tanah optimum 4,5-5,5. Merupakan tanaman herba. Umumnya tidak diusahakan dalam skala ekonomi. Diperbanyak dengan rizom, dipanen umur 4-12 bulan. Tahan pada tanah asam tetapi tidak tahan genangan. Merupakan tanaman herba merambat. Umumnya tidak diusahakan dalam skala ekonomi. Diperbanyak dengan rizom. Tahan asam tetapi tidak tahan genangan. Tanaman perdu semusim, kurang tahan pada tanah masam dan tidak tahan genangan. Ganyong (Cana edulie Ker) Cannaceae Gembili (Coleus parviflorus Benth) Labiatae Umbinya digunakan sebagai bahan makanan (setelah direbus) Kacang tanah (Arachis hypogaea L) Leguminoceae Bijinya untuk bahan pangan, makanan ternak, bahan baku industri minyak. Daunnya untuk makanan ternak Bijinya untuk bahan pangan, bahan baku industri (tahu, tempe, minyak kedele) Bijinya untuk bahan pangan Kedelai (Glycine max L) Leguminoceae Padi (Oryza sativa) Gramineae Sagu (Metroxylem sagu Rottb) Arecaceae M. Tufaila Batangnya mengandung karbohidrat, merupakan bahan baku industri tepung sagu * Sitti Leomo Kurang tahan pada pH rendah (pH optimum 5-5,5), relatif tahan air tanah dangkal pada masa pertumbuhan vegetatif. Padi sawah ditanam di lahan bergambut atau gambut dengan kedalam <75 cm. Padi varietas lokal relatif tahan keasaman. Tanaman berbentuk pohon, biasanya tumbuh liar, dapat diperbanyak melalui biji. * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 61 Tabel 8. Lanjutan Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan Sorgum (Sorguhm bicolor Moench) Gramineae Nama lain : cantel (jawa). Bijinya merupakan bahan makanan dan pakan ternak. Daunnya untuk pakan ternak dan pupuk hijau. Membutuhkan tanah berdrainase baik, relatif toleran pada keasaman (4,5 - 5). Ditanam dengan menggunakan biji. Singkong (Manihot esculenta Crantz) Eurphorbiaceae Umbinya digunakan sebagai bahan makanan dan bahan baku industri tapioka. Daunnya dapat digunakan sebagai sayuran. Buahnya digunakan sebagai bahan pangan. Berupa tanaman pohon. Relatif tahan asam. Merupakan tanaman pioner di lahan gambut yang baru dibuka. Tidak tahan genangan terutama setelah umur satu bulan. Diperbanyak dengan bantang. Diperbanyak dengan stek akar atau sambung. Tidak tahan asam dan genangan. Umbinya digunakan sebagai bahan makanan. Relatif tahan asam. Merupakan tanaman pioner di lahan gambut yang baru dibuka. Tidak tahan genangan terutama setelah umur satu bulan. Diperbanyak dengan bantang. Merupakan tanaman herba merambat. Umumnya tidak diusahakan dalam skala ekonomi. Diperbanyak dengan rizom. Tahan asam tetapi tidak tahan genangan. Sukun (Artocarpus communis Forst) Moraceae Ubi jalar (Ipomeoa batatas L.) Convulvulaceae Yam/Uwi (Dioscorea spp) Diocoreaceae Umbinya digunakan sebagai bahan makanan (setelah direbus) b. Tanaman perkebunan Tanaman perkebunan adalah tanaman yang umumnya diusahakan oleh perusahaan perkebunan dalam skala luas. Pada kenyataannya, tanaman perkebunan juga banyak diusahakan oleh rakyat, tetapi produksinya dipasarkan ke perusahaan untuk diproses lebih lanjut. Tanaman perkebunan yang banyak diusahakan di lahan gambut diantaranya adalah kelapa sawit, karet, dan kelapa. Hal yang perlu diperhatikan dalam penanaman tanaman tersebut di lahan gambut adalah kemungkinan tanaman mudah tumbang setelah mencapai ketinggian tertentu, terutama pada lahan gambut tebal. Hal ini terjadi M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 62 karena daya dukung lahan yang rendah dan penurunan permukaan gambut (subsidence) sesudah direklamasi. Jenis tanaman perkebunan yang dapat diusahakan pada lahan gambut sebagaimana disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Jenis dan pemanfaatan tanaman perkebunan di lahan gambut Jenis Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell.) Euphorbiaceae Kelapa sawit (Elaeis guineenis Jacg) Arecceae/Palmae Kelapa (Cocos nucifera L.) Arecaceae/Palmae Kopi (Coffea spp) Rubiaceae Tebu (Saccarum officinarum L.) Gramineae Pemanfaatan Keterangan Getah yang disadap dari kulit batangnya digunakan sebagai bahan baku industri karet Buah dan bijinya merupakan bahan baku industri. Daunnya dapat digunakan untuk pakan ternak. Tumbuh baik pada gambut dangkal. Pada gambut dalam, mudah tumbang. Memerlukan air tanah yang dalam. Diperbanyak dengan biji atau okulasi. Umumnya diusahakan secara besarbesaran oleh perusahaan atau rakyat. Penanaman hanya dilakukan bila ada jaminan yang menampung tandan buah segar (TBS) Kelapa sawit karena buah tidak dapat disimpan lama. Diperbanyak dengan menggunakan benih yang disemaikan di dalam polybag atau melalui kultur jaringan. Pohon Kelapa di lahan gambut dalam mudah tumbang. Relatif toleran terhadap salinitas air tanah. Daging buahnya digunakan sebagai bahan sayur, bahan baku kopra dan industri minyak kelapa. Bijinya sebagai bahan baku industri minuman (kopi). Batangnya digunakan sebagai bahan baku industri gula pasir, atau bahan pembuatan minuman. M. Tufaila * Sitti Leomo Jenis Liberika dan Robusta tumbuh di lahan gambut dangkal hingga sedang yang berdrainase baik. Tanaman ini membutuhkan naungan, tumbuh optimum pada pH 5,5 tetapi agak toleran pada pH rendah. Kerapatan tanaman 10001500 pohon/ha. Diperbanyak melalui okulasi atau cangkok Pernah diusahakan di lahan gambut berdrainase baik, tetapi saat ini hanya untuk mencukupi kebutuhan sendiri atau dipasarkan di pasar lokal sebagai bahan pembuatan minuman segar. Diperbanyak dengan stek batang. * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 63 Tabel 9. Lanjutan Jenis Tanaman Teh (Cemellia sinensis L.) Theaceae Pemanfaatan Keterangan Daunnya sebagai bahan baku indutri bahan minuman. Jarang dibudidayakan di lahan gambut tropis dataran rendah, tetapi telah diuji coba di Malaysia dan mutunya kurang baik. Dapat tumbuh di lahan gambut dangkal hingga sedang yang berdrainase baik. Diperbanyak melalui stek batang. c. Tanaman sayuran Tanaman sayuran adalah tanaman yang produksinya biasa dikonsumsi manusia sebagai sayuran. Sebagian besar tanaman sayuran tergolong semusim. Sebagian sayuran juga diproduksi oleh tanaman tahunan, diantaranya adalah keluwih dan petai. Bagian yang digunakan untuk sayuran berupa batang, daun, atau buah. Jenis sayuran yang dapat diusahakan di lahan gambut sebagaimana disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Jenis dan pemanfaatan tanaman sayuran di lahan gambut Jenis Tanaman Pemanfaatan Bawang merah (Allium asculonicum) Liliaceae Umbinya digunakan untuk bumbu sayur. Bawang daun (Allium sp) Liliaceae Daun dan batangnya untuk sayuran. Bawang kucai (Allium odorum L.) Liliaceae Daunnya untuk bumbu sayur. M. Tufaila * Sitti Leomo Keterangan Tumbuh baik pada lahan gambut dangkal yang diberi kapur hingga pH lebih dari 4,5 dan berdrainase baik tetapi tidak tahan kekeringan. Diperbanyak melalui umbi. Tumbuh baik pada lahan gambut dangkal, berdrainase baik, dan diberi kapur atau abu dan pupuk kandang hingga pH lebih dari 4,5. Tidak tahan kekeringan. Diperbanyak melalui stek tunas/ anakan. Tumbuh baik pada lahan gambut dangkal, berdrainase baik, dan diberi kapur atau abu dan pupuk kandang hingga pH lebih dari 4,5. Tidak tahan kekeringan. Diperbanyak melalui biji, stek tunas/ anakan. * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 64 Tabel 10. Lanjutan Jenis Tanaman Pemanfaatan Bayam (Amaranthus hybridus L.) Amaranthaceae Batang muda dan daunnya digunakan sebagai sayuran. Cabe merah (Capsicum annum L.) Solanaceae Buahnya untuk bumbu Cabe rawit (Capsicum frutescens L.) Solanaceae Buahnya sangat pedas, digunakan untuk bumbu sayuran Kacang panjang (Vigna sinensis L.) Papilionaceae Buah dan daun muda digunakan untuk sayuran. Biji sebagai bahan makan sumber protein Katuk (Sauropus androgynus Blume.) Euphorbiaceae Daun dan batang mudanya digunakan sebagai bahan sayuran Kemangi (Ocimum amecanum L.) Lamiacae Batang dan daun muda digunakan sebagai bahan sayuran lalapan Kenikir (Cosmos caudatus HBK) Asteraceae Batang muda dan daun digunakan sebagai sayur atau bumbu. M. Tufaila * Sitti Leomo Keterangan Tumbuh baik di lahan gambut yang berdrainase baik dan subur, agak toleran terhadap pH rendah dan air tanah yang dangkal. Ditanam menggunakan benih/biji. Merupakan tanaman herbal semusim, tumbuh baik di gambut dangkal hingga sedang yang berdrainase baik, kurang toleran pada pH rendah. Tanaman ini memerlukan pupuk yang cukup banyak untuk berproduksi dengan baik. Diperbanyak dengan benih/ biji. Merupakan herbal tahunan, tumbuh baik di gambut dangkal hingga sedang yang berdrainase baik, toleran pada pH rendah. Diperbanyak dengan benih/biji. Tanaman herba merambat atau tegak. Tumbuh baik di gambut dangkal atau sedang yang berdrainase baik serta diberi abu dan pupuk kandang. Diperbanyak dengan benih/biji. Tanaman perdu yang umumnya dibudidayakan di pekarangan untuk konsumsi sendiri atau dipasarkan terbatas. Ditanam menggunakan stek batang, dipanen dengan memangkas pucuk batang. Tanaman perdu tahunan, tumbuh di gambut dangkal hingga dalam, biasanya dibudidayakan dalam skala terbatas. Dibiakkan dengan benih. Tanaman herba, tumbuh pada gambut dangkal hingga sedang yang beraerasi baik. Dibiakkan dengan benih. * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 65 Tabel 10. Lanjutan Jenis Tanaman Pemanfaatan Kubis (Brassica oleraceae L.) Brassicaceae Daunnya digunakan sebagai bahan sayuran Labu, waluh (Cucurbita moscata Duch. Labu siem, timun, labu air, gambas, pare, blewah) Cucurbitaceae Lobak (Raphanus sativus L.) Umbelliferae Buahnya digunakan untuk sayuran (labu siem, timun, labu air, gambas, pare), sumber karbohidrat (waluh /labu parang), bahan minuman (blewah) Umbi akar dan daunnya digunakan untuk sayuran Pakis (Pleopeltis longistema Moore) Polipodiaceae Petai (Parkia spesiosa Hassk.) Mimosaceae/ Leguminoceae Daun muda digunakan untuk sayuran Petsai (Brassica chinensis) Brassicaceae Batang muda dan daun untuk sayuran Ranti (Solanum nigrum L.) Solanaceae Daun muda dan buah untuk sayuran Seledri (Apium gravuiolens L.) Umbelliferae Batang dan daun mudanya digunakan sebagai sayuran Buahnya digunakan untuk sayuran M. Tufaila * Sitti Leomo Keterangan Tumbuh baik di lahan gambut dangkal yang berdrainase baik, tidak toleran terhadap pH rendah. Biasanya tumbuh baik di dataran tinggi. Varietas KK Cross dan KY Cross tumbuh baik di dataran rendah (100-200 m dpl) tetapi hasilnya tidak sebaik di dataran tinggi. Ditanam dengan menggunakan benih. Tumbuhan herba merambat, tumbuh baik di lahan gambut yang berdrainase baik dan subur, tidak tahan pH rendah. Ditanam menggunakan benih yang disemaikan terlebih dahulu. Tumbuh baik pada tanah lembab yang berdrainase baik, membutuhkan pupuk dan kapur. Diperbanyak dengan benih yang diproduksi di dataran tinggi. Banyak tumbuh di hutan rawa-rawa gambut, baik gambut dangkal maupun dalam. Tanaman tahunan berbentuk pohon, tumbuh baik di lahan gambut dangkal hingga sedang, toleran terhadap pH rendah, dan air tanah lebih dari 40 cm. Tumbuh baik di lahan gambut yang berdrainase baik dan subur, tidak tahan pH rendah. Ditanam menggunakan benih. Tumbuh baik di lahan gambut dangkal hingga sedang yang diberi kapur dan pupuk. Dibiakkan dengan benih. Tumbuh baik di lahan gambut dangkal hingga dalam yang berdrainase baik dan subur, tidak tahan pH rendah. Diperbanyak melalui benih. * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 66 Tabel 10. Lanjutan Jenis Tanaman Pemanfaatan Keterangan Selada (Lactuca sativa L.) Brassicaceae Batang muda dan daun untuk sayuran Tumbuh baik di lahan gambut yang berdrainase baik dan subur, tidak tahan pH rendah. Ditanam menggunakan benih. Terong (Solanum melongena L.) Solanaceae Buahnya digunakan sebagai bahan sayuran Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) Solanaceae Buahnya digunakan untuk sayuran atau bahan baku pembuatan saus Tumbuh baik di lahan gambut yang berdrainase baik dan subur, tidak tahan pH rendah. Ditanam menggunakan benih yang disemaikan terlebih dahulu. Tanaman herba semusim, sesuai pada lahan gambut dangkal yang berdrainase baik tetapi tidak kering. Pemupukan dan pengapuran sangat diperlukan. Beberapa varietas yang sesuai untuk dataran rendah adalah ratna, mutiara, intan, dan berlian. d. Tanaman buah-buahan Tanaman buah-buahan adalah tanaman yang menghasilkan buah untuk dikonsumsi manusia dalam keadaan segar atau diolah terlebih dahulu, sebagai sumber vitamin dan serat. Dalam kelompok ini, terdapat tanaman buah sebanyak 22 jenis. Sebagian besar tanaman tersebut merupakan tanaman tahunan, dan hanya tiga jenis yaitu nenas, melon dan semangka yang merupakan tanaman semusim. Jenis tanaman buahbuahan yang diusahakan di lahan gambut sebagaimana disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Jenis dan pemanfaatan tanaman buah di lahan gambut Jenis Tanaman Alpukat (Persea amecicana Miller) Lauraceae Pemanfaatan Buahnya mengandung banyak lemak, protein, dan mineral; dapat dikonsumsi dalam bentuk segar atau sebagai bahan baku industri kosmetika. M. Tufaila * Sitti Leomo Keterangan Tahan pada pH rendah hingga 4, membutuhkan kelembaban tanah tinggi tetapi peka terhadap genangan. Umumnya tidak dibudidayakan secara intensif, tetapi responsif terhadap pemupukan N, P,K dan pupuk mikro. * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 67 Tabel 11. Lanjutan Jenis Tanaman Belimbing (Averrhoa spp.) Oxalidaceae Delima (Punica granatum L.) Punicaceae Duku (Lansium domesticum Corr) Meliaceae Pemanfaatan Keterangan Buah belimbing manis dikonsumsi dalam bentuk buah segar. Buah belimbing wuluh untuk sayuran. Buahnya sebagai buah segar atau bahan baku pembuatan jus. Kulit kayunya digunakan untuk obat cacing. Buahnya dikonsumsi sebagai buah segar. Tumbuh baik di lahan gambut pesisir dengan kedalaman gambut dangkal hingga sedang, meskipun tanpa pupuk dan kapur. Ditanam melalui biji atau cangkok. Kurang sesuai untuk gambut tropis dataran rendah. Diperbanyak dengan stek batang. Umumnya tidak dibudidayakan secara intensif. Durian (Durio Zibhethinus domesticum Murr) Bombacaceae Buahnya dikonsumsi sebagai buah segar atau bahan baku industri makanan (dibuat lempok) dan sele. Gandaria (Bouea macrophylla Griff.) Anacardiaceae Buahnya digunakan sebagai buah segar. Jambu air (Syzigium aqueum Merr & Perry) Myrtaceae Buahnya untuk buah segar. Jambu biji (Psidium guajava L.) Myrtaceae Buahnya untuk buah segar, dibuat manisan, dan sebagai bahan baku industri minuman. Daunnya untuk obat diare, buahnya untuk obat demam berdarah (jambu getas). Buahnya dimakan sebagai buah segar atau dibuat manisan. Kedondong (Spondias cytherea SONN.) Anacardiaceae M. Tufaila * Sitti Leomo Pertumbuhan duku di lahan gambut relatif lambat dan hasilnya relatif rendah kecuali pada lahan gambut dangkal. Tumbuh baik pada gambut dangkal hingga sedang dengan air tanah lebih dari 75 cm. Di lahan gambut, biasanya dibudidayakan secara non intensif. Diperbanyak melalui biji atau okulasi. Tanaman bertentuk pohon, tumbuh baik pada gambut dangkal hingga sedang. Umumnya tidak dibudi dayakan secara intensif. Biasanya ditanam di pekarangan untuk konsumsi sendiri, hanya sebagian kecil yang dijual. Diperbanyak dengan biji, okulasi, atau cangkok. Di lahan gambut, biasanya ditanam di pekarangan untuk konsumsi sendiri, hanya sebagian kecil yang dijual. Diperbanyak dengan biji, okulasi, atau cangkok. Biasanya ditanam di pekarangan dan tidak dibudidayakan secara intensif. Tumbuh baik di gambut dangkal hingga sedang. iperbanyak dengan biji atau cangkok. * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 68 Tabel 11. Lanjutan Jenis Tanaman Pemanfaatan Mangga (Mangifera Spp) Anacardiaceae Buah muda untuk rujak, buah matang sebagai buah segar atau untuk ramuan sambal. Manggis (Garcinia mangostana L.) Guttiferaceae Melinjo (Gnetum gnemon L.) Gnetaceae Buahnya digunakan sebagai buah segar. Melon (Cucumis melo L.) Cucurbitaceae Daun muda untuk sayuran, bijinya sebagai bahan baku pembuatan emping. Buahnya digunakan sebagai buah segar. Nenas (Ananas comosus Merr.) Bromeliaceae Buahnya digunakan sebagai buah segar, buah kaleng, ataubahan baku industri makanan (dibuat sele). Nangka (Artocarpus heterophyllus Lam.) Moraceae Buah matang digunakan sebagai buah segar. Buah muda digunakan sebagai bahan sayuran. Bijinya dapat direbus dan dikonsumsi. M. Tufaila * Sitti Leomo Keterangan Mangga umumnya menghendaki bulan kering lebih dari 3 bulan. Di daerah dengan bulan basah yang panjang, banyak terdapat Mangga bancang dan kuweni yang rasanya asam. Tumbuh baik pada gambut dangkal, berdrainase baik dan kurang tahan pH rendah. Di Kalimantan Selatan dan Tengah, Mangga kesturi sangat umum dijumpai tumbuh di lahan gambut. Banyak terdapat di hutan alami tetapi juga dibudiayakan secara tidak intensif. Tumbuh baik pada gambut dangkal hingga sedang yang diberi pupuk dan kapur. Tumbuhan herba menjalar, tumbuh baik di lahan gambut yang berdrainase baik dan subur, tidak tahan pH rendah. Ditanam menggunakan benih yang disemaikan terlebih dahulu. Tumbuh baik pada lahan gambut dangkal hingga dalam yang berdrainase baik, relatif toleran terhadap pH rendah. Dibudidayakan secara intensif atau non intensif. Rekomendasi pemupukan per hektar 45 - 80 kg N, 45 - 80 kg P2O5, 80 - 120 kg K2O. Pada gambut dalam, perlu tambahan pupuk mikro. Biasanya tidak dibudidayakan secara intensif, untuk konsumsi sendiri atau dijual. Tumbuh baik di gambut dangkal hingga sedang yang berdrainase baik. Pada gambut dalam, mudah tumbang. Diperbanyak dengan biji. * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 69 Tabel 11. Lanjutan Jenis Tanaman Pepaya (Carica papaya L.) Caricaceae Rambutan (Nephelium lappaceum L.) Sapindaceae Salak (Salacca edulis Reinw) Palmae Sawo (Manilkara achras Fosberg) Sapotaceae Semangka (Citrullus vulgaris Schrad) Cucurbitaceae Pemanfaatan Buah muda dan daun untuk sayuran. Buah matang untuk buah segar. Batang dan daunnya mengandung papain dapat sebagai bahan baku industri kosmetik. Buahnya digunakan sebagai buah segar atau dikalengkan. Buahnya digunakan sebagai buah segar. Buah dapat dimakan dalam bentuk segar. Getahnya dapat disadap seperti karet, dan digunakan untuk bahan baku pembuatan permen karet. Buahnya digunakan sebagai buah segar. Sirsak (Anona muricata L.) Anonaceae Buahnya sebagi buah segar atau bahan baku minuman. Sri kaya (Anona squamosa L.) Anaonaceae Buahnya sebagai buah segar atau bahan baku industri minuman. M. Tufaila * Sitti Leomo Keterangan Agak toleran terhadap pH rendah dan gambut sedang, tetapi tidak tahan air tanah dangkal. Diperbanyak dengan biji yang ditanam langsung atau disemaikan terlebih dahulu. Tumbuh baik di lahan gambut dangkal hingga sedang yang berdrainase baik, tanpa kapur dan pupuk. Umumnya masih dibudidayakan untuk konsumsi sendiri atau dijual di pasar lokal. Diperbanyak dengan cangkokkan atau okulasi. Banyak dibudidayakan di lahan gambut di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Tumbuh baik di hutan gambut dangkal dan sedang. Jarang dibudidayakan secara intensif. Tanpa pemupukan, buah berukuran kecil. Tumbuhan herba menjalar, tumbuh baik di lahan gambut yang berdrainase baik dan subur, tidak tahan pH rendah. Ditanam menggunakan benih yang disemaikan terlebih dahulu. Tumbuh baik pada gambut dangkal hingga sedang yang berdrainase baik. Ditanam dengan menggunakan biji, cangkok, atau okulasi. Tumbuh baik pada gambut dangkal hingga dalam yang berdrainase baik. Ditanam dengan menggunakan biji, cangkok, atau okulasi. * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 70 e. Tanaman lainnya Tanaman lainnya yang dapat diusahakan di lahan gambut seperti: (1) Tanaman rempah dan minyak aksiri : cengkeh, jahe, kayu manis, kunyit, kencur, mint, nila, pala, pinang, lada, serai, dan temu lawak. (2) Tanaman serat : kapas, pisang abaka, agave, rami, kapuk randu, kenaf, dan rosela. (3) Tanaman bunga matahari, jarak, jelutung, kesumba, mengkudu, meranti rawa, pulai, rengas manuk, belangeran, ramin, sungkai, kemiri, rotan, murbei, lantoro, turi, saga, pacar kuku, purun tikus, dan sengon. Contoh tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan gambut sebagaimana disajikan pada Gambar 13. Gambar 13. Tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan gambut (Purbiati, 2010; Agus dan Subiksa, 2008; http://teguhsetioutomo.blogspot.com/) M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM 71 VI A. Pengertian dan Potensi Lahan Sulfat Masam Lahan sulfat masam adalah ungkapan yang menunjukkan interaksi tanah sulfat masam dengan lingkungannya. Untuk kejelasannya diberikan batasan istilah tentang tanah sulfat masam. Tanah sulfat masam dikenal dengan sebutan cat clay yang diambil dari asal kata katteklei (bahasa Belanda) yang berarti lempung yang berwarna seperti pada bulu kucing yaitu warna kelabu dengan bercak kuning pucat (jerami). Bercak kuning pucat ini merupakan senyawa hasil oksidasi pirit yang sering disebut dengan jarosit. Istilah tanah sulfat masam digunakan karena berkaitan dengan adanya bahan sulfida (pirit) dalam tanah ini yang apabila teroksidasi menghasilkan asam sulfat sehingga menyebabkan tanah menjadi masam sampai sangat masam (pH 2-3) (Noor, 2004). Luas lahan sulfat masam di dunia ditaksir antara 12-19 juta hektar (Beek et al., 1980; Langenhoff, 1986; Seiler, 1992). Hasil survei tanah yang lebih baru memperkirakan luas lahan sulfat masam di dunia sekitar 24 juta hektar (Mensvoort, 1996; Bosch et al., 1998). Berdasarkan data kompilasi dari berbagai sumber diperkirakan luas lahan sulfat masam di dunia adalah 19,35 juta hektar, di antaranya sekitar 10 juta hektar berada di kawasan tropika. Selain itu, masih terdapat 20 juta hektar lahan berpotensi sulfat masam yang masih tertutup lahan gambut atau endapan lain bukan sulfidik (Breemen, 1980). Kawasan terluas yang mempunyai lahan sulfat masam adalah Asia dan Afrika. Luas sulfat masam di Indonesia tersebar meliputi daerah sepanjang pantai timur dan utara pulau Sumatra, pantai selatan dan timur pulau Kalimatan, pantai barat dan timur pulau Sulawesi, dan pantai selatan pulau Papua. Berdasarkan survei yang dilakukan Euroconsult (1984), luas lahan sulfat masam ditaksir 2,0 juta hektar, masing-masing 800 ribu hektar tersebar di pulau Sumatra, 575 ribu M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 72 hektar di pulau Kalimantan, dan 625 ribu hektar di pulau Papua. Hasil survei yang dilakukan oleh PPT-Bogor tahun 1990 menyatakan bahwa luas lahan sulfat masam di Indonesia sekitar 6,70 juta hektar atau 20% dari luas lahan rawa pasang surut dan rawa lebak atau 10% dari luas lahan basah (Noor, 2004). B. Pembentukan dan Klasifikasi Tanah Sulfat Masam 1. Pembentukan tanah sulfat masam Tanah sulfat masam merupakan endapan marin yang dapat dicirikan oleh salah satu atau beberapa hal berikut (Dent, 1986; Noor, 2004) : (1) bahan sulfida atau pirit, (2) lapisan (horison) sulfurik, (3) bercak jarosit, dan (4) bahan penetral berupa karbonat atau basa-basa tertukar lainnya. a. Bahan sulfidik (pirit) Bahan sulfidik (pirit) merupakan hasil endapan marin. Pirit terbentuk melalui serangkain proses kimia, geokimia, dan biokimia secara bertahap. Ion-ion sulfat yang banyak terkandung dalam air laut oleh ayunan pasang diendapkan pada dataran-dataran pantai dan sebagian menjorok memasuki mintakan pasang surut. Besi yang merupakan penyusun mineral lempung silikat dalam bahan induk tanah bersenyawa dengan sulfat. Pada dasarnya, persenyawaan antara sulfat dan besi inilah yang membentuk pirit (Noor, 2004). Menurut Dent (1986) pembentukan pirit dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain (1) tingginya kandungan bahan organik, (2) suasana anaerob, (3) jumlah kecukupan sulfat terlarut, dan (4) kadar besi terlarut. Bahan organik merupakan sumber energi atau makanan bagi mikroorganisme yang mempunyai peranan penting dalam kegiatan reduksi oksida pada tanah sulfat masam. Suasana anaerob merupakan kondisi alami dari lahan rawa umumnya. Kondisi ini menyebabkan terjadinya proses reduksi sulfat (SO42-) menjadi sulfida (H2S) dan ferri (Fe3+) oleh bakteri pereduksi Desulfovibrio sp. dan Desulfotomaculum sp. pada kondisi redoks (Eh) antara 200-300mV. Reaksi keseluruhan pembentukan pirit adalah : M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 73 Fe2O3(s) + 4 (SO4)2-(aq) + 8 CH2O + ½ O2(g) → bahan organik 2 FeS2(s) + 8 HCO3(aq) + 4 H2O(l) pirit Reaksi pembentukan pirit dapat secara langsung, yaitu (1) pengendapan atau (2) reaksi padat, dengan formula berikut : (1) Fe2+ + S22- → FeS2 (2) FeS + S → FeS2 b. Lapisan (horison) sulfurik Pirit bersifat stabil dalam kondisi anaerob, apabila kondisi berubah menjadi aerob akibat penyingkapan, maka pirit bersifat labil dan mudah teroksidasi. Secara gradual lapisan pirit akan mengalami pematangan, sekaligus pemasaman sehingga membentuk lapisan yang disebut lapisan sulfurik. Lapisan sulfurik merupakan cerminan keadaan tanah yang telah mengalami perkembangan sehingga dalam taksonomi tanah di kelompokkan ke dalam ordo inceptisol. Jika pirit terbentuk pada tingkat kondisi netral pH sekitar 7,18 dan potensi redoks (Eh) – 200 mV, maka lapisan sulfurik yang ditandai dengan adanya bercak jerosit terbentuk dalam kondisi sangat masam (pH < 4) dan potensial redoks tinggi (Eh > 400 mV) (Noor, 2004). Menurut Maas (2003) pirit stabil pada Eh < -200 mV, oksidasi lemah meningkatkan Eh > 100 – 100 mV sehingga terbentuk asam sulfat dan fero sulfat yang menyebabkan terjadinya pemasaman pH < 3,5. c. Jarosit Jarosit adalah senyawa yang dihasilkan dari oksidasi pirit. Jadi adanya jarosit memberikan gambaran suatu keadaan sekaligus proses kimiawi dalam tanah yang berkaitan dengan terjadinya sentuhan oleh udara atau reaksi oksigen terhadap lapisan pirit. Oksidasi pirit selain menghasilkan jarosit juga menghasilkan ion-ion H+ dan asam sulfat (SO42-) yang menyebabkan pemasaman tanah. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 74 Rumus kimia jarosit secara umum adalah KFe3(SO4)2(OH)6. Bentuk ini merupakan bentuk yang terdapat di lapisan tanah sulfat masam pada umumnya. Bentuk jarosit lainnya adalah natro jarosit, apabila K diganti oleh Na sehingga menjadi NaFe3(SO4)2(OH)6, dan hydronium jarosit apabila K diganti oleh H2O sehingga menjadi (H2O) Fe3(SO4)2(OH)6. Selain itu, unsur Fe adakalanya diganti oleh Al (Breemen, 1982). Berikut ini menunjukkan reaksi pembentukan jarosit sebagai hasil oksidasi pirit. FeS2 + 15/4 O2 + 5/2 H2O + 1/3 K+ → 1/3 K Fe3(SO4)2(OH)6 + jarosit 4/3 SO42- + 3 H+ d. Bahan penetral karbonat atau basa-basa tertukar Senyawa karbonat, basa-basa tertukar, dan mineral silikat yang mudah lapuk sangat penting sebagai sumber penetral kemasaman pada lahan sulfat masam yang dihasilkan oleh oksida pirit. Keragaman jumlah dan susunan senyawa penetral ini dipengaruhi oleh mintakan iklim. Kandungan penetral berupa karbonat yang berada dalam mintakan iklim sedang, semiarid dan arid lebih besar sampai >15% dibandingkan yang berada dalam lingkungan air tawar dan payau di mintakan iklim tropika basah. Hal inilah yang menyebabkan tanah sulfat masam di kawasan tropika bersifat masam, sedangkan di kawasan iklim sedang cenderung bersifat netral. Menurut Driessen dan Soepraptohardjo (1974) adanya mineral hijau seperti khlorit dan glaukopit yang cukup tinggi di beberapa daerah seperti di Sulawesi dan Papua telah mencegah terbentuknya tanah sulfat masam. 2. Klasifikasi tanah sulfat masam Sebagian besar lahan sulfat masam di Indonesia berada di wilayah pasang surut. Berdasarkan tipe luapannya, lahan sulfat masam dibagi menjadi empat tipe yaitu tipe A, B, C, dan D (Widjaya-Adhi, 1986) sebagaimana disajikan pada Tabel 12. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 75 Tabel 12. Tipe luapan lahan sulfat masam yang berada di wilayah rawa pasang surut No. Karakteristik Tipe Luapan 1. Tipe A 2. Tipe B 3. Tipe C 4. Tipe D Wilayah pasang surut yang selalu mendapat luapan pasang, baik pasang tunggal (purnama) maupun pasang ganda (perbani) serta mengalami pengatusan secara harian. Wilayah tipe luapan ini meliputi pesisir pantai dan sepanjang tepian sungai. Wilayah pasang surut yang mendapat luapan hanya ada saat pasang tunggal (purnama), tetapi mengalami pengatusan secara harian. Wilayah tipe luapan ini meliputi wilayah ke pedalaman sejauh < 50-100 km dari tepian sungai. Wilayah pasang surut yang tidak mendapat luapan pasang dan mengalamai pengatusan secara permanen. Pengaruh ayunan pasang diperoleh hanya melalui resapan dan mempunyai muka air tanah pada jeluk < 50 cm dari permukaan tanah. Wilayah pasang surut yang tidak mendapat pengaruh ayunan pasang sama sekali dan mengalami pengatusan secara terbatas. Muka air tanah mencapai jeluk > 50 cm dari permukaan tanah. Tanah sulfat masam berdasarkan karakteristiknya dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) tanah sulfat masam potensial dan (2) tanah sulfat masam aktual. Tanah sulfat masam potensial (sulfaquent) dicirikan antara lain lapisan pirit pada jeluk >50 cm dari permukaan tanah, berwarna kelabu, masih mentah (n > 0,7) dan kemasaman sedang sampai masam (pH 4,0). Tanah sulfat masam potensial menurut Soil Survey Staff (1998) diklasifikasikan ke dalam Typic / Haplic / Thapto-Histic Sulfaquents, Typic / Aeric Hydraquents / Fluvaquents / Endoaquents / Endoaquepts atau Sulfic Hydraquents / Fluvaquents / Endoaquents / Endoaquepts. Tanah sulfat masam aktual M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 76 (sulfaquept) dicirikan antara lain kecoklatan pada permukaan, cukup matang (n < 0,7) dan sangat masam atau pH < 3,5. Tanah sulfat masam aktual menurut Soil Survey Staff (1998) diklasifikasikan ke dalam Sulfaquepts, Sulfic Endoaquepts, dan Sulfic Hydraquents / Flufaquents /Endoaquents (Breemen dan Pons, 1978; Moormann dan Breemen, 1976; Suriadikarta dan Sutriadi, 2007). Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992) berdasarkan kendala dan sifat tanahnya yaitu pirit dan kondisinya, lahan sulfat masam dapat dipilih atas enam tipologi lahan yaitu (1) aluvial bersulfida dangkal, (2) aluvial bersulfida dalam, (3) aluvial bersulfida sangat dalam, (4) aluvial bersulfat-1, (5) aluvial bersulfat-2, dan (6) aluvial bersulfat-3. Kriteria dan tipologi lahan sulfat masam disajikan pada Tabel 13 (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998). Tabel 13. Kriteria dan tipologi lahan sulfat masam berdasarkan jeluk dan kondisi pirit No. Jeluk pirit*) (cm) < 50 1. Aluvial bersulfida dangkal 2. Aluvial bersulfida dalam Aluvial bersulfida sangat dalam 50-100 4. Aluvial bersulfat-1 < 100 5. Aluvial bersulfat-2 < 100 6. Aluvial bersulfat-3 > 100 3. *) Tipologi lahan > 100 Kondisi Menunjukkan adanya bahan sulfida/pirit, pH 3,5-4,0. Menunjukkan adanya bahan sulfida, pH >4,0. Menunjukkan adanya bahan sulfida, pH >4,04,5. Belum ada ciri horison sulfurik, pH > 3,5 dan tanpak bercak pirit. Menunjukkan adanya ciri horison sulfurik, pH < 3,5. Menunjukkan adanya ciri horison sulfurik, pH < 3,5. Diukur dari permukaan tanah mineral M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 77 C. Karakteristik Tanah Sulfat Masam Permasalah pengembangan pertanian di lahan sulfat masam pada dasarnya terletak pada karakteristik yang melekat pada tanah yang bersifat marginal. Mengingat banyak dan kompleksnya masalah yang dihadapi dalam pengembangan tanah bermasalah sulfat masam, maka pemahaman secara benar mutlak diperlukan agar terhindar dari kesalahan-kesalaman dalam pengelolaan tanah tersebut. 1. Karakteristik fisik Warna tanah sulfat masam umumnya coklat gelap untuk lapisan atas dan abu-abu (grey) untuk lapisan bawah yang menunjukkan adanya pirit. Warna coklat gelap menunjukkan tingginya kandungan bahan organik sedangkan warna abu-abu menunjukkan tingginya kadar mineral kaolinit (Breemen, 1982). Warna abu-abu gelap kehijauan menunjukkan adanya pirit dan warna semakin gelap menunjukkan kadar pirit yang semakin tinggi (Noor, 2004). Nilai n (kematangan) tanah sulfat masam umumnya berkisar antara < 0,7 (matang) dan > 2,0 (mentah). Tanah sulfat masam mempunyai tekstur tanah yang bersifat lempungan, struktur tanah pejal dan konsistensi tanah lekat apabila basah/lembab dan teguh apabila kering. Oleh karena itu permeabilitas tanah sulfat masam umunya lambat sampai sangat lambat. Pada kasus tertentu, seperti pada tanah sulfat masam potensial yang mempunyai banyak saluran besar bekas akar dan lubang-lubang bekas hewan, maka permeabilitas tanah nisbih tinggi. Demikian juga tanah sulfat masam yang bersifat pasiran dan bergambut mempunyai permeabilitas nisbi tinggi. Pelumpuran dapat menurunkan permeabilitas tanah, tetapi tidak mungkin dilakukan pada tanah yang bersifat pasiran dan bergambut. 2. Karakteristik kimia Reaksi tanah sulfat masam tergolong masam sampai luar biasa masam, berkisar pada pH 4 (untuk ordo entisol) dan pH < 3,5 (ordo inceptisol). Kemasaman merupakan kendala paling hakiki dalam pengembangan pertanian di lahan sulfat masam. Tanaman tumbuh normal umumnya pada pH 5,5 untuk tanah gambut dan pH 6,5 untuk M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 78 tanah mineral karena pada pH < 4,5 terjadi peningkatan Al, Fe, dan Mn dan pada pH < 6,5 terjadi kahat Ca, Mg, dan K. Kemasaman yang tinggi di lahan sulfat masam setelah reklamasi mengimbas terhadap peningkatan kelarutan Al, Fe, asam-asam organik, dan diiringi dengan kahat P, Cu, dan Zn. Lahan sulfat masam yang terletak dengan muara sungai atau pesisir pantai umumnya mengandung salinitas tinggi. Kelarutan sulfat yang dihasilkan dari oksida pirit pada lahan yang telah direklamasi akan diikuti oleh peningkatan salinitas (Noor, 2004). Kadar Al pada tanah sulfat masam berkaitan dengan oksidasi pirit. Suasana yang sangat masam mempercepat pelapukan mineral alumino-silikat dengan membebaskan dan melarutkan Al yang lebih banyak (Notohadiprawiro, 1998). Kelarutan Al tanah sulfat masam selain dalam bentuk kation yang dapat tukar (Al3+), juga dalam bentuk koloidal sebagai hidroksil atau basic sulfat. Kadar Al meningkat pada pH 4,0-4,5 (Dent, 1986). Hasil penelitian Breemenn (1976) menunjukkan aktivitas Al3+ meningkat hampir 10 kali lipat dengan penurunan satuan unit pH. Besi (Fe) dalam tanah sulfat masam yang sering menimbulkan masalah adalah dalam bentuk ferro (Fe 2+) yang menyebabkan keracunan bagi tanaman, khususnya dalam kondisi tergenang. Kadar Fe 2+ dan Mn2+ pada tanah sulfat masam tergenang (tereduksi) mempunyai kisaran sangat lebar antara 0,007 sampai 6.600 ppm Fe dan 1 sampai 100 ppm Mn. Kadar Fe2+ dipengaruhi oleh pH, bahan organik, kadar Fe3+, dan reaktivitas Fe3+ (Ponnamperuma, 1977). Pada tanah sulfat masam tua sebagian berubah bentuk menjadi mudah teroksidasi menjadi besi bermartabat tiga atau ferri (Fe 3+) yang menimbulakn kerak karatan pada permukaan tanah. Asam sulfida (H2S) sebagai hasil dari reduksi sulfat dapat menimbulkan keracunan, terutama pada padi dengan kondisi tanah tergenang. Keracunan H2S berasosiasi dengan kadar bahan organik tinggi dan besi rendah. Bakteri pereduksi sulfat tidak bekerja pada kondisi masam sehingga keracunan H2S hanya muncul apabila penggenangan menaikan pH mencapai 5 (Dent, 1986). M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 79 D. Pertanian di Lahan Sulfat Masam 1. Pengelolaan air a. Tata air makro Pengelolaan air di lahan sulfat masam serupa dengan pengelolaan air pada lahan gambut pasang surut. Secara umum pengelolaan air di lahan sulfat masam dibedakan atas tata air makro dan tata air mikro. Tata air makro yang umum di kembangkan pada lahan gambut pasang surut termasuk lahan sulfat masam adalah sistem satu arah. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan air satu arah pada lahan sulfat masam memberikan hasil yang lebih baik terhadap kualitas lahan dan hasil tanaman. Hasil pemantauan pada wilayah pengembangan lahan sulfat masam Karang Aung, Sumatera Selatan yang menerapkan pengelolaan air satu arah menunjukkan perubahan mutu air dan pH 4,2 dan Fe2+ larut sebesar 430 ppm pada keadaan awal menjadi pH 4,8 dan Fe2+ larut sebesar 160 ppm pada saat tanam, dan pH meningkat lagi menjadi 5,4 pada saat panen (WidjajaAdhi dan Alihamsyah, 1998). Sistem Satu Arah Di lahan pasang surut atau pasang surut peralihan, saluran irigasi dan drainase sering disatukan untuk menghemat biaya. Ketika surut, saluran berfungsi sebagai saluran drinase. Ketika pasang, saluran berfungsi sebagai irigasi. Keuntungan sistem aliran satu arah adalah terjadi pergantian air segar di dalam saluran secara lebih lancar, endapan lumpur di saluran lebih sedikit, dan penumpukan senyawa beracun dapat dikurangi. Kelemahan sistem ini Najiyati et al. (2005) adalah: (1) Senyawa-senyawa beracun hasil pencucian lahan tidak dapat terdrainase secara tuntas, tetapi bercampur dengan air bersih dan menyebar ke lahan lain; (2) Saluran cepat mengalami pendangkalan dan ini akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas air yang keluar/masuk ke dalam lahan; (3) Pada musim kemarau, air pasang tidak bisa sampai ke lahan sehingga lahan mengalami kekeringan. Hal ini disamping akan M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 80 membatasi musim tanam juga berbahaya bagi lahan gambut dan sulfat masam. Untuk mengurangi bahaya tersebut di atas, maka sebaiknya minimal pada tingkat saluran tersier, saluran irigasi dan drainase harus terpisah. Dengan demikian, aliran air di saluran tersebut tetap satu arah. Oleh Widjaja-Adhi (1995), cara ini disebut sebagai sistem aliran satu arah (Gambar 14, 15, dan 16). Cara pengaturan aliran sistem satu arah pada saluran tersier dapat dilakukan sebagai berikut: 1) Bagian hulu saluran irigasi tersier (yang berhubungan dengan saluran sekunder) diberi pintu air otomatis (flapgate) yang membuka ke arah dalam. Pada waktu pasang, pintu secara otomatis akan membuka. Pada waktu surut akan menutup. Pintu air otomatis pada saluran irigasi tersier dalam sistem aliran satu arah disajikan pada Gambar 14. Gambar 14. Pintu air otomatis pada saluran irigasi tersier dalam sistem aliran satu arah (Widjaja-Adhi, 1995) 2) Bagian muara saluran drainese tersier (yang berhubungan dengan saluran kuarter) diberi pintu stoplog yang bisa diputar dan diatur menjadi dua posisi. Posisi pertama, pintu hanya bisa membuka keluar sehingga air drainase dapat keluar tetapi air pasang tidak dapat masuk. Posisi ini diperlukan pada musim hujan terutama pada pasang besar sehingga kelebihan air harus dikeluarkan. Posisi kedua, M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 81 diperoleh bila pintu diputar. Pada posisi ini, pintu akan menutup sehingga air bisa ditahan di dalam lahan. Posisi ini diambil ketika musim kemarau atau musim pasang kecil. Alternatif lainnya menggunakan pintu otomatis yang membuka ketika surut dan menutup ketika pasang. Pintu air otomatis pada saluran drainase tersier dalam sistem aliran satu arah disajikan pada Gambar 15. Gambar 15. Pintu air otomatis pada saluran drainase tersier dalam sistem aliran satu arah (Widjaja-Adhi, 1995) Gambar 16. Denah sistem aliran satu arah (Widjaja-Adhi, 1995) M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 82 b. Tata air mikro Penataan air pada lahan sulfat masam dilakukan serupa dengan tata air mikro pada lahan gambut dengan maksud agar tanah tidak kering melebihi kedalaman pirit, atau agar tanah tetap tergenang. Selain itu sulfida yang bersifat racun bagi tanaman, Al, H, Fe(III) dan Mn dapat tercuci dan semakin berkurang. Tata air mikro berfungsi untuk mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, mencegah pertumbuhan gulma, menjaga tinggi muka air, menjaga kualitas air di petakan dan saluran, serta mencegah terbentuknya bahan beracun bagi tanaman, memperlancar keluar masuknya air pada petakan lahan yang sekaligus untuk mencuci bahan beracun. Pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan pengelolaan tata air pada saluran kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan sekaligus memperlancar pencucian bahan beracun. Saluran kuarter biasanya dibuat di setiap batas pemilikan lahan. Saluran cacing di dalam petakan dibuat dengan jarak 3-12 m serta di sekeliling petakan. Semakin tinggi tingkat keracunan, semakin rapat pula jarak saluran cacing tersebut. Penataan air di lahan petani dilakukan dengan sistem satu arah dan system aliran bolak balik. Sistem aliran satu arah berjalan efektif jika kondisi saluran tersier, sekunder dan primer dalam kondisi baik dan arah aliran tidak bolak-balik. Saluran irigasi dan drainase dirancang secara terpisah. Pintu klep dipasang berlawanan arah. Pintu air dapat berupa stoplog maupun pintu ayun atau pintu engsel. 2. Pengelolaan kesuburan tanah Tahana (status) tanah sulfat masam tergolong rendah bahkan sangat rendah. Gejala kahat hara N, K, dan terutama P dan B sering dialami tanaman budidaya. Pertumbuhan tanaman budidaya merana dan kerdil akibat kemasaman dan keracunan ion Al dan Fe yang tinggi. Pada kondisi tergenang tanaman mengalami keracunan Fe 2+, H2S, CO2, dan asam-asam organik. Teknologi penggunaan bahan amelioran telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam. Bahan organik (BO) dapat berperan sebagai sumber asam-asam organik yang mampu M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 83 mengontrol kelarutan logam dalam tanah ataupun berperan sebagai sumber hara bagi tanaman. Asam-asam organik yang terdapat dalam BO mampu mengkelat unsur-unsur meracun dalam tanah sehingga menjadi tidak berbahaya bagi tanaman (Stevenson, 1994). Asam-asam organik mampu menurunkan jumlah fosfat yang difiksasi oleh Fe dan Al melalui mekanisme pengkelatan sehingga P tersedia bagi tanaman (Barker dan Pilbeam, 2007). Hasil penelitian di tanah sulfat masam menunjukkan bahwa pemberian pupuk berpengaruh positif terhadap hasil tanaman. Keragaman tanaman yang diberi pupuk lengkap (N, P, dan K) menunjukkan hasil yang lebih baik. Pengaruh pupuk lebih signifikan jika dikombinasikan dengan pemberian bahan amelioran seperti kapur, dolomit, dan batuan fosfat alam (Noor, 2004). Hasil penelitian Fahmi et al. (2009) menunjukkan bahwa pemberian bahan organik jerami padi dengan C/N yang masih cukup tinggi dapat menurunkan ketersediaan fosfat, menurunkan pH tanah dan meningkatkan kelarutan Fe2+. Peningkatan kelarutan Fe2+ akibat terjadinya reduksi tidak selalu diikuti oleh peningkatan pH tanah sulfat masam. Pemberian bahan organik yang mengalami perombakan lebih lanjut (C/N rendah) dapat menurunkan kelarutan Fe2+ di tanah sulfat masam. Pemberian kapur, dolomit, dan batuan fosfat alam banyak disarankan untuk menetralisir kondisi kemasaman dan keracunan oleh H+, Al3+, dan atau Fe3+. Pemberian kapur atau dolomit tidak mesti untuk mencapai pH 5,5, karena apabila ditunjukkan untuk menaikan pH mencapai 5,5 diperlukan jumlah kapur yang besar sekali antara 15-20 ton kapur per hektar. Berdasarkan kadar pirit, untuk menetralkan 1% pirit yang apabila terdegradasi menghasilkan potensi kemasaman setara dengan 35 cmol(+).kg-1, diperlukan sekitar 50 ton kapur per hektar. Pada hal, kadar pirit tertinggi di tanah sulfat masam antara 5-7% sehingga untuk menetralkannya diperlukan 200-400 ton kapur per hektar (Sutrisno, 1990; Mass, 2003). Hasil simposium internasional tanah sulfat masam kedua di Bangkok, Thailand (1982) merekomendasikan bahwa pemberian kapur cukup hanya beberapa ton saja untuk perbaikan kondisi kemasaman dan status hara tanah yang rendah. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 84 Hasil penelitian Yenni (2012) menunjukkan bahw pemberian kapur dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil umbi tanaman bawang merah. Pemberian takaran kapur 3 ton.ha-1 pada tanah sulfat masam menghasilkan pertumbuhan dan hasil umbi tanaman bawang merah tertinggi sedangkan kadar senyawa atsiri umbi bawang tertinggi pada perlakuan kapur 2 ton.ha-1. Hasil penelitian Tambunan et al. (2013) menunjukkan bahwa pemberian kompos tandan kosong kelapa sawit nyata meningkatkan pH tanah dan reduksi Fe2+ tanah, C-Organik tanah, jumlah anakan dan bobot kering gabah. Pemberian pupuk SP36 tidak berpengaruh nyata dalam meningkatkan P tersedia dan tinggi tanaman padi. Kombinasi antara perlakuan pemberian kompos tandan kosong kelapa sawit dan pupuk SP36 berpengaruh nyata dalam meningkatkan jumlah anakan dan bobot kering gabah. 3. Jenis tanaman di lahan sulfat masam Pengembangan pertanian di lahan sulfat masam dapat ditempuh melalui perbaikan genetik. Sekalipun cara-cara ini memakan waktu yang lama dan biaya yang nisbi tinggi, tetapi dari segi lingkungan hidup lebih aman dan sehat dibandingkan cara-cara lain. Pemilihan tanaman untuk dikembangkan di lahan sulfat masam sudah sejak ratusan tahun silam dilakukan petani tradisional. Ini dapat dilihat dari keberhasilan petani-petani pionir dalam pengembangan kelapa, karet, kelapa sawit, lada, nanas, tebu, rambutan, cokelat, dan padi. Tanaman-tanaman ini dikenal sebagai tanaman yang tahan atau toleran dengan kondisi rawa seperti genangan, kemasaman, salinitas, dan keracunan besi. Cara-cara budidaya dan pengelolaan lahan ini kemudian diikuti oleh migran pendatang yang menempati kawasan rawa (Collier et al., 1982; Watson dan Willis, 1984; Sarwani et al., 1994). Lahan pasang surut mempunyai banyak sumber keragaman hayati dan plasma nutfah. Tanaman yang disenangi dan banyak ditanam adalah padi. Padi kebanyakan dibudidayakan secara turun temurun. Para petani tradisional setempat umumnya membudidayakan varietasvarietas lokal yang berumur panjang. Jenis varietas lokal ini berjumlah ratusan jenis, antara lain dikenal sebagai padi Bayar, Pandak dan Siam. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 85 Varietas-varietas padi lokal ini bersifat peka fotoperiod. Sifat padi lokal ini disenangi petani karena antara lain (1) mudah mendapatkan bibitnya karena petani masing-masing membibitkan sendiri dan menyimpannya dari panen sebelumnya, (2) mudah memasarkan hasilnya karena rasa nasi yang pera (karau) banyak disenangi oleh masyarakat setempat seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatra Barat, Aceh, dan Biak, (3) memerlukan pupuk sedikit bahkan jarang dan pemeliharaan mini antara lain penyiangan hanya seadanya, (4) tidak mudah rontok, berdaun lebar dan terkulai, menyebabkan hama burung pipit sukar bertengger, dan (5) bentuk tanaman nisbih lebih tinggi (140170 cm) sehingga memudahkan memanen. Panen umumnya masih menggunakan ani-ani. Hanya saja hasil produktivitas padi varietas lokal ini rata-rata hanya mencapai 2-3 ton gabah keringgiling per hektar dengan intensitas tanam sekali setahun (Noor, 2004). Adapun padi varietas unggul introduksi seperti IR 42, IR 50, IR 64, IR 66 dan sejenisnya kurang disenangi petani lokal rawa karena selain sukar dipasarkan (harga lebih murah) juga dikenal manja karena memerlukan pupuk nisbih lebih banyak dan perawatan lebih intensif termasuk penggunaan pestisida, insektisida lebih banyak dibandingkan varietas lokal peka fotoperiod. Hanya saja keuntungan dari varietas unggul instroduksi memiliki umur pendek (3-4 bulan) dan poduktivitas lebih tinggi (4,5-5,5 ton.ha-1) (Noor, 2004). Beberapa hasil penyaringan dan seleksi khususnya tanamn pangan (padi dan palawija) telah mendapatkan varietas-varietas padi unggul baru spesifik lahan sulfat masam yang sudah dilepas ke petani. Varietas padi unggul rawa yang sudah dilepas melebihi 18 varietas. Varietas Margasari dan Martapura merupakan hasil persilangan antara varietas lokal peka fotoperiod (Siam Unus) dengan padi sawah varietas unggul introduksi (Cisokan dan Dodokan) menunjukkan preferensi rasa sedang dan hasil nisbi tinggi dibandingkan varietas lokal pada umumnya. Varietas kedelai yang dilepas untuk lahan pasan surut yaitu varietas Lawit dan Manyapa dengan rata-rata umur 82 hari dan hasil sekitar 2,0-2,4 ton biji kering per hektar. Varietas unggul jagung untuk lahan pasang surut yaitu varietas Sukmaraga dan Padmaraga dengan M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam 86 STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL rata-rata umur 90 hari dan hasil 4,0-5,0 ton pipilan kering per hektar. Berikut disajikan jenis dan varietas tanaman palawija, sayur, buahbuahan dan tanaman industri dan ketahanannya di lahan sulfat masam (Balitra, 2003) sebagimana disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Jenis dan varietas tanamn palawija, sayur, buah-buahan dan tanaman industri dan ketahanannya di lahan sulfat masam Jenis tanamn Varietas Palawija dan umbi-umbian Jagung Arjuna, Kalingga, wiyawa, Bisma, Bayu, Antasena, C-3, C-5, Semar, H6, Bisi Dua, dan Sukmaraga Kedelai Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo, Galunggung, Slamet, Lawit, dan Manyapa Kacang tanah Gajah, Pelandak, Kelinci, Singa, Jerapah, Komodo, dan Mahesa Kacang hijau Betel, Walet, dan Gelatik Ubi kayu Anjir (lokal) Ubi jalar Kiyai (lokal) Tanaman Sayur-buahan Tomat Intan, Permata, Berlian, Mirah, AV22, dan Ratna Cabai Tanjung-1,-2, Barito, Bengkulu, Tampar, Keriting, Rawit Hijau, dan Rawit Putih Terong Mustang, Kopek Ungu, Ungu Panjang, dan No. 4000 KK Kubis Cros, KY Cross, dan Grand 33 Kacang panjang Super King, Pontianak, KP-1, dan KP-2 Buncis Horti-1, Horti-2, Prosesor, Farmer early, dan Green Leaf Timun Saturnus, Mars, dan Pluto Bawang merah Ampenan, Bima, Menteng, Sumenep, dan Kuning Sawi Asveg, Sangihe, Talaud, Tosakan, Putih Jabng, Sawi Hijau, Sawi Huma, dan No. 82-157 Selada New Grand Rapid Bayam Maestro, Giti Hijau dan Merah, Cimangkok, dan Kakap Hijau M. Tufaila * Sitti Leomo * Ketahanan Hasil (ton.ha-1) Sedang 4,0-5,0 Sedang 1,5-2,4 Tahan 1,8-3,5 Tahan Tahan Tahan 1,5 13-25 14-25 Sedang 10-15 Sedang 4-6 Tahan 30-40 Sedang Tahan 20-25 15-28 Sedang 6-8 Sedang Sedang 34-40 4-8 Tahan 15-20 Sedang Sedang 12-15 10-12 Syamsu Alam 87 STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL Tabel 14. Lanjutan Jenis tanamn Varietas Sedang Sedang Tahan Sedang Hasil (ton.ha-1) 25-30 15-25 40 12-30 Sedang Sedang Tahan Tahan Tahan 3-4 20-24 2,5-4,1 19 1,7-2,0 Ketahanan Kangkung LP-1, LP-2, dan Sutera Semangka Sugar Baby dan New Dragon Nenas Madu, Bangk, dan Paun Pepaya Tanaman Industri Lada Petaling-I, Petaling-II, dan LDK Jahe Merah Kelapa Dalam Riau Kelapa sawit Kopi Exelsa dan Arabika Sumber : Balitra (2003) Contoh tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan sulfat masam sebagaimana disajikan pada Gambar 17 (Saragih, 2013). Gambar 17. Tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan sulfat masam (Saragih, 2013) M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 88 DAFTAR PUSTAKA Agus, F. dan I.G. M. Subiksa, 2008. Lahan gambut: potensi untuk pertanian dan aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Indonesia. Amin, L.I., 1983. Karakterisasi dan analisis zona agroekologi. Pembahasan pemantapan metodologi karakterisasi zona agroekologi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (PPTA). Bogor. Andriesse, J.P., 1994. Constrainsts and opportunities for alternative use options of tropical peat land. In B.Y. Aminuddin (Ed.). Tropical peat; Proceedings of International Symposium on Tropical Peatland, 6-10 May 1991. Kuching, Sarawak, Malaysia. Balittra, 2003. Lahan rawa pasang surut: pendukung ketahanan pangan dan sumber pertumbuhan agribisnis. Balittra. Banjarbaru. Barker, A.V. and D. J. Pilbeam, 2007. Hand book of plant nutrition. CRC Press. New York. BB Litbang SDLP (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian), 2008. Laporan tahunan 2008, Konsorsium penelitian dan pengembangan perubahan iklim pada sektor pertanian. Balai Pesar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Beek, K.J., W.A. Blokhois, P.M. Driessen, N.V. Breemen, dan L.J. Pons, 1980. Problem soils: reclamation and management. In Land reclamation and water management. ILRI Publ. 27 Wageningen. The Netherland. Billy, B., 1981. Water harvesting for dryland and floodwater farming on the Navajo Indian Reservation. In G.R. Dutt, C.F. Hutchinson, & M.A. Garduno (ed), Rainfall collection for agriculture in arid and semi-arid regions. Prod. Workshop Univ. Arizona USAChapingo Postgard. College, Commonwealth Agr. Bur. UK. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 89 Bosch, H.V. den, Ho Long Phi, Michaelsem, K. Nugroho, 1998. Evaluation of water management strategies for sustainable land use of aid sulphate soils in coastal low lands in the tropics. Report 157. DLO-Strarting Centrum, Wageningen. The Netherlands. Breemen, N.V., 1976. Genesis and solution chemistry of acid sulphate soil in Thailand. Ph.D. Thesis. Centre Agric. Publ. Duc. Wageningen. Breemen, N.V. and Pons, L.J., 1978. Acid sulfate soils and rice. In IRRI. Soil & Rice. IRRI. Philippines. Breemen, N.V., 1982. Genesis, morphology and cassification of acid sulphate soils in coastal plains. In SSSA. Acid sulphate weathering. SSSA Special Publ. No. 10. Madison, Wisconsin. Budiasa, I.W., 2011. Pertanian berkelanjutan : Teori dan Permodelan. Denpasar : Udayana University Press. Buol, S.W., R.J. Southard, R.C. Graham, and P.A. Mcdaniel, 2003. Soil genesis and classification. The Iowa State University Press. Ames. Buring, 1979. Introduction to the study of soil in tropical, and subtropica regions. Edisi Indonesia : Pengantar pengajian tanahtanah wilayah tropika dan subtropika tahun 1991. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Certini, G. and R. Scalenghe, 2006. Soil : Basic concepts and future challenger. Cambridge University Press. Chao, Chih-Kang, 1984. Development of dryland farming in Taiwan. In Rainfed agriculture in perspective. Philippine Council for Agriculture and Resources Research and Development. Los Banos. Chin, Ching Wei, 1984. Dryland farming of sugarcane fields in Taiwan. In Rainfed agriculture in perspective. Philippine Council for Agriculture and Resource and Development. Los Banos. Collier, W.L., 1979. Social and economics aspects of tidal swampland development in Indonesia. Occasional Paper No. 15. Development Studies Centre, Australian National University. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 90 Dahuri, R., 1998. Pembangunan pertanian berkelanjutan : dalam Persperktif Ekonomi, Sosial, dan Ekologi. Agrimedia. 4(1):5-11. Dent, D. and A. Young, 1981. Soil survey and land evaluation school and environmental science. University of East Anglea. Norwich. London. Dent, D., 1986. Acid sulphate soils : a baseline for research and development. ILRI. Wageningen. Publ. No. 39 The Netherland. Diemont, W.H. and L.J. Pons, 1991. A preliminary note on peat formation and gleying in Mahakam inland floodplain, East Kalimantan, Indonesia. Proc. International Symposium on Tropical Peatland. 6-10 May 1991. Kuching, Serawak, Malaysia. Djaenudin, D. dan Basuni, 1994. Materi latihan evaluasi lahan. Departemen Pertanian Badan Pendidikan dan Latihan Pertanian dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Driessen, P.M. dan Soepraptohardjo, 1974. Soil for agricultura: expansion in Indonesia. Soil Res. Inst. Bogor. Driessen, P.M., and Soepraptohardjo, 1974. Organic Soils. In Soils for agricultural expansion in Indonesia. ATA 106 Bulletin 1. Soil Research Institute. Bogor. Driessen, P.M., dan H. Suhardjo, 1976. On the defective grain formation of sawah rice on peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: 20 – 44. Bogor. Driessen, P.M., and P. Sudewo, 1976. A review of crops and crop performance on Southeast Asian lowland peats. Bulletin 4. Soil Research Institute. Bogor. Euroconsult, 1984. Nationwide study of coastal and near coastal swampland in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya. Vol. I and II. Arnhem. Fahmi, A., B. Radjagukguk, dan B. H. Purwanto, 2009. Kelarutan fosfat dan ferro pada tanah sulfat masam yang diberi bahan organik jerami padi. J. Tanah Trop. 14(2): 119-125. Faning, D.S. and M.C.B. Faning, 1989. Soil morphology, genesis, and classification. John Wiley & Sons, Inc. USA. FAO, 1976. A Framework for land evaluation. FAO. Soil Bulletin. No. 32/I/ILRI Publication. No. 22. Rome. Italy. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 91 FAO,1982. A study of agroclimatology of the humid tropics of south East Asia. FAO / Unesco / WMO. Intragency Project on Agroclimatology. Rome. FAO, 1990. Organic recycling in Asia and the Pacific. RAPA Bull. Vol. 6. FAO. Halim, A., 1987. Pengaruh pencampuran tanah mineral dan basa dengan tanah gambut pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya tanaman kedelai. Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor. Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka, 2007. Kesesuaian lahan dan perencanaan tataguna lahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djuniwati, dan J.S. Adiningsih, 2004. Pengaruh pemberian fosfat alam dan SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap serapan P dan efisiensi pemupukan P. Prosiding Kongres Nasional VIII HITI. Universitas Andalas. Padang. http://budidayausaha.blogspot.com/2014/04/cara-pengolahan-lahanbudidaya-melon.html (Diakses tanggal 06 September 2014). http://alamtani.com/pupuk-hijau.html (Diakses tanggal 06 September 2014). http://patih-madrim.blogspot.com/2011/08/budidaya-cabai-organik.html (Diakses tanggal 06 September 2014). http://mitrapetani.blogspot.com/2012/10/mitra-petani-potensi-pertanianorganik.html (Diakses tanggal 06 September 2014). http://teguh-setioutomo.blogspot.com/(Diakses tanggal 06 September 2014). Ihsan, 2013. IMF: Indonesia Mesti Tingkatkan Produktivitas Sektor Pertanian. http://wartaekonomi.co.id/berita15795/imf-indonesiamesti-ting-katkan-produktivitas-sektor-pertanian.html (Diakses tanggal 8 September 2014). Landon, J.R., 1984. Booker tropical soil manual. Booker Agr. Int. Ltd. London. Langenhoff, R., 1986. Distribution, mapping, classification and use of acid sulphate soil in the tropics: a literature study. STIBOKA, Wageningen. The Netherland. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 92 Limin, S. H., Tampung N. Saman., Patricia E. Putir., Untung Darung, dan Layuniyati, 2000. Konsep pemanfaatan hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah. Disampaikan pada “Seminar nasional pengelolaan hutan rawa gambut dan ekspose hasil Penelitian di Lahan Basah”, diselenggarakan oleh Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru, Istana Barito Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Limin, S.H., 2006. Pemanfaatan lahan gambut dan permasalahannya. Centre for International Cooperation in Management of Tropical Peatland (CIMTROP). Kerjasama antara Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. LREP II, 1996. Metodologi zonasi lahan. Pedoman Bagi Staff Bappeda LREP II, Part D. Dirjen Pembangunan Daerah. ULG Consultants Berasosiasi dengan PT Intersys Kelola Maju. Jakarta. Maas, A., 2003. Peluang dan konsekuensi pemanfaatan lahan rawa pada masa mendatang. Makalah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. Magdalena, f., sudiarso, t. Sumarni, 2013. Penggunaan pupuk kandang dan pupuk hijau Crotalaria juncea L. untuk mengurangi penggunaan pupuk anorganik pada tanaman jagung (Zea mays L.). Jurnal Produksi Tanaman vol. 1 no. 2. Mario, M.D., 2002. Peningkatan produktivitas dan stabilitas tanah gambut dengan pemberian tanah mineral yang diperkaya oleh bahan berkadar besi tinggi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Masruroh, W., Budi Prasetya, Zaenal Kusuma, dan Subowo, 2013. Efektivitas Agen Hayati Tanah pada Budidaya Kedelai (Glycine max L.) untuk Meningkatkan Kesuburan Ultisol Di Lebak, Banten. Jurnal Tanah Vol.1 No.2. Mensvoort, M.E.F., R.S. Lantin, R. Brinkman, N.V. Breemen, 1985. Toxicites of wetland soils. In IRRI. Wetland Soils: Characterization, classification, and utilization. IRRI. Philippines. Monkhouse, F.J., and J. Small, 1978. Dictionary of the natural envirorment. Edward Arnold (publ.) Ltd. Laondon. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 93 Moormann, E.N. and N.V. Breemen, 1976. Rice, soil, water and land. IRRI. Philippines. Moore, W.G., 1977. Adictionary of geography. Fifth Ed. Penguin Books Ltd. Harmondsworth. Mulyani, A., 2006. Perkembangan potensi lahan kering masam. Sinar Tani. Mutalib, A.A., J.S. Lim, M.H. Wong and L. Koonvai, 1991. Characterization, distribution and utilization of peat in Malaysia. Proc. International Symposium on tropical peatland. 6-10 May 1991. Kuching, Serawak, Malaysia. Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra, 2005. Panduan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. Nelson, A. , and K.D. Nelson, 1973. Dictionary of water and water engineering. The Butterworth Group. London. Nelvia, 2009. Kandungan fosfor tanaman padi dan emisi karbon tanah gambut yang diaplikasi dengan amelioran Fe3+ dan fosfat alam pada beberapa tingkat pemberian air. J. Tanah Trop. 14(3):195204. Noor, M., 2001. Pertanian lahan gambut: potensi dan kendala. Penerbit Kanisius. Jakarta. Noor, A., 2013. Teknologi budidaya di lahan pasang surut. BPTP Kalimantan Selatan. http://kalsel.litbang.pertanian.go.id/ind/ index.php?option=com_content&view=article&id=81:tanaman& catid=4:info-aktual (Diakses tanggak 7 September 2014). Noor, M., 2004. Lahan rawa : sifat dan pengelolaan tanah bermasalah sulfat masam. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Notohadiprawiro, T., 1989. Pertanian lahan kering di Indonesia: Potensi, prospek, kendala dan pengembangannya. Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija SFCDPUSAID. Bogor. Notohadiprawiro, T., 1998. Tanah dan lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 94 Notohadiprawiro, T., 1992. Budidaya organik. Kuliah Studium General yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian UMG. Yogyakarta. Nugroho, K., G. Gianinazzi and IPG. Widjaja-Adhi, 1997. Soil hidraulic properties of Indonesian peat. In Biodiversity and sustainability of tropical peat and peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan. UK. Page, S.E., F. Siegert, J.O. Rieley, H-D.V. Boehm, A. Jaya, S.H. Limin, 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature, 420, 61-65. Papendick, R.I., and L.F. Elliott, 1984. Tillage and cropping systems for erosion control and efficient nutrient utilization. In Organic Farming: Current Technology and Its Role in a Sustainable Agriculture. ASA Spec. Publ. (46): 69-81. Ponnamperuma, E.N., 1976. Spesific soil chemical characteristics for rice production in Asia. IRRI Res. Paper Series. 2 Des 1976. PPTA., 1993. Petunjuk teknis evaluasi lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Kerjasama Dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Purbiati, T., 2010. Sayur organik di lahan gambut di Kota Pontianak. BPTP Kalimantan Barat. http://kalbar.litbang.pertanian.go. id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=95:org anik&catid=13:info-aktual (Diakses tanggal 7 September 2014). Purwaningsih, O., D. Indradewa, S. kabirun, dan D. Shiddiq, D., 2012. Tanggapan tanaman kedelai terhadap inokulasi rhizobium. AGROTROP, 2(1): 25-32. Roy, K., and D.R. Arora, 1973. Technology of agricultural land development and water management. Satya Prakashan. New Delhi. Sabiham, S., TB, Prasetyo and S. Dohong, 1997. Phenolic acid in Indonesian peat. In Biodiversity and sustainability of tropical peat and peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan. UK. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 95 Salampak, 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut yang disawahkan dengan pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi. Disertasi Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saragih, E.S., 1996. Pengendalian asam-asam organik meracun dengan penambahan Fe (III) pada tanah gambut Jambi, Sumatera. Tesis S2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Saragih, S., 2013. Empat kunci sukses pengelolaan lahan rawa pasang surut untuk usaha pertanian berkelanjutan. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA). http://balittra.blogspot. com/ (Diakses tanggal 8 September 2014). Sarwani, M., M. Noor, dan M.Y. Maamun, 1994. Pengelolaan air dan produktivitas lahan pasang surut: pengalaman dari Kalimantan Selatan dan Tengah. Balittan Banjarbaru. Sasongko Putra, Purwanto, dan Kismartini, 2013. Perencanaan pertanian berkelanjutan Di Kecamatan Selo. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Seiler, E., 1992. Acid sulphate soils-their formation and agricultural use. Natural, resouces, and development Vol. 35:92-110. Inst. For Sci Co-Tubingen. Soil Survey Staff, 1998. Keys to soil taxonomy. United States Department Agricultural Natural Resources Conservation Service. Soil Survey Staff, 2010. Keys to soil taxonomy. United States Departement of Agriculture, Natural Resources Conservation Service. Sri Ratmini, N.P., 2012. Karakteristik dan pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian. Jurnal Lahan Suboptimal 1(2):197-206. Stevenson, F. J., 1994. Humus chemistry: genesis, composition, reaction. John Wiley and Son Inc. New York. USA. Strijke, D., 2005. Marginal lands in Europe - causes of decline. Basic and Applied Ecology 6: 99-106. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 96 Suastika, I W., 2004. Efektivitas amelioran tanah mineral berpirit yang telah diturunkan kadar sulfatnya pada peningkatan produktivitas tanah gambut. Tesis S2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Subiksa, IGM., Didi Ardi dan IPG. Widjaja-Adhi, 1991. Pembandingan pengaruh palam dan TSP pada tanah sulfat masam (Typic Sulfaquent) Karang Agung Ulu Sumatera Selatan. Prosiding Pertemuan Pembahasan Hasil Penelitian Tanah, 3-5 Juni 1991. Cipayung, Jawa Barat. Suhardjo, H. and I P.G. Widjaja-Adhi, 1976. Chemical characteristics of the upper 30 cm of peat soils from Riau. ATA 106. Bull. 3: 7492. Soil Res. Inst. Bogor. Suprapto, A., 2002. Land and water resources development in Indonesia. In FAO : Investment in Land and Water. Proceedings of the Regional Consultation. Supriyanto, B., 2013. Lahan Gambut Kalbar: Tanah Terlantar Itu Kini Dipenuhi Buah dan Sayur. http://industri.bisnis.com/read /20130316/99/3845/lahan-gambut-kalbar-tanah-terlantar-itukini-dipenuhi-buah-sayur (Diakses tanggal 5 Oktober 2014). Suriadikarta, D.A. dan M. T. Sutriadi, 2007. Jenis-jenis lahan berpotensi untuk pengembangan pertanian di lahan rawa. Jurnal Litbang Pertanian 26(3). Sutrisno, 1990. Genesis, klasifikasi tanah sulfat masam Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan/Tengah. Tesis pada Program Pascasarjana IPB. Bogor. Sys, C., E.V. Ranst, and F. Beernaert, 1993. Land evaluation part I: principles in ;and evaluation and crop production calculations. Agricultural Publications No. 7. International Training Centre for Post-Graduate Soil Scientists University Ghent. Belgium. Tambunan, S.W., Fauzi, P. Marpaung, 2013. Kajian sifat kimia tanah, pertumbuhan dan produksi padi pada tanah sulfat masam potensial akibat pemberian kompos tandan kosong kelapa sawit dan pupuk SP-36. Jurnal Online Agroekoteknologi 1(4):13911401. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 97 Tie, Y.L. and J.S. Esterle, 1991. Formation of lowland peat domes in Serawak, Malaysia. Proc. International Symposium on Tropical Peatland. 6-10 May 1991. Kuching, Serawak, Malaysia. Tie, Y.L. and J.S. Lim, 1991. Characteristics and classification of organic soils in Malaysia. Proc. International Symposium on tropical peatland. Kuching, Serawak, Malaysia. Tim Institut Pertanian Bogor, 1974. Laporan survai produktivitas tanah dan pengembangan pertanian daerah Palangka Raya, Kalimantan Tengah. IPB. Bogor. Tufaila, M., B.H. Sunarminto, D. Shiddieq, and A. Syukur, 2011. Characteristics of soil derived from ultramafic rocks for extensification of oil palm in Langgikima, North Konawe, Southeast Sulawesi. J. Agrivita 33 (1):93-102. Tufaila, M., Yusrina dan S. Alam, 2014a. Pengaruh pupuk bokasi kotoran sapi terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah pada ultisol Puosu Jaya Kecamatan Konda, Konawe Selatan. Agroteknos 4(1):18-25. Tufaila, M., Dewi D. L., dan S. Alam, 2014b. Aplikasi kompos kotoran ayam untuk meningkatkan hasil tanaman mentimum (Cucumis sativus L.) di tanah masam. Agroteknos 4(2): 119 - 126. Van der Heide, J., S. Setijono, E.N. Syekhfani, Flach, K. Hairiah, S. Ismunandar, S.M. Sitompul, M. Van Noordwijk, 1992. Can low external input cropping systems on acid upland soils in the humid tropics be sustainable? Backgrounds of the Unibraw/IB Nitrogen management project in Bunga Mayang (Sungkai Selatan, Kotabumi N. Lampung, S. Sumatera, Indonesia).Agrivita 15:1-10. Waston, G., and M. Willis, 1985. Famers’ local and traditional rice crop protection techniques: some examples from coastal swamps, Kalimantan Indonesia. IARD Journal (7) 1&2:25-30. Widjaja-Adhi, I P.G., 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan lebak. J. Litbang Pertanian 5. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama, 1992. Sumber daya lahan rawa: potensi, keterbatasan dan pemanfaatannya. In Partohardhono dan M. Syam (Ed.). Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 98 Widjaja-Adhi, I P.G., 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumber daya lahan rawa untuk usaha tani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut, Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Widjaja-Adhi, IPG., 1997. Developing tropical peatlands for agriculture. In Rieley, J.O., and S.E. Page (ed.). Biodiversity and Sustainibility of Tropical Peatlands. Proceed. Int. Symp. on Biodiversity, Environmental Importance, and Sustainability of Tropical Peat and Peatlands. Palangka Raya. Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah, 1998. Pengembangan lahan pasang surut: Potensi, prospek dan kendala serta teknologi pengelolaannya untuk pertanian. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah. Widyati, E., 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan Isu perubahan iklim. Tekno Hutan Tanaman 4(2):57-68. WWF, 2008. Deforestation, forest degradation, biodiversity loss and CO2 emision in Riau, Sumatera, Indonesia: one Indonesian propinve’s forest and peat soil carbon loss over a quarter century and it’s plans for the future. WWF Indonesia Tecnical Report. www.wwf.or.id. Yenni, 2012. Ameliorasi tanah sulfat masam potensial untuk budidaya tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.). Jurnal Lahan Suboptimal 1(1):40-49. Youngberg, I.G., and F.H. Buttel, 1984. Public policy and sociopolitical factors affecting the future of sustainable farming systems. Dalam : Organic farming : current technology and its role in a sustainable agriculture. Ch. 14. ASA-CSSA-SSSA. ASA Spec. Publ. No. 46:167-185. M. Tufaila * Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL 99 INDEKS A abu, 56, 58, 63, 64, 77 Aceh, 40, 85 Adat istiadat, 8 Aeric Hydraquents, 75 aerob, 23, 73 Agak kering, 11 agave, 70 agen hayati, 35 agregasi, 26, 32 agregat, 32, 35 agroekologi, 7, 9, 10, 11, 12, 14, 88 Agroforestri, 12 agroindustri, 5 air limpasan, 29 air tanah, 32 akar, 25, 26, 29, 34, 41, 46, 61, 65, 77 alami, 4, 7, 23, 32, 47, 68, 72 aliran limpas, 25, 29 aliran masa, 25 alley cropping, 28 Alpukat, 66 aluvial bersulfat-1, 76 aluvial bersulfat-2, 76 aluvial bersulfat-3, 76 aluvial bersulfida, 76 amelioran, 48, 56, 57, 58, 82, 83, 91, 93, 95, 96 ameliorasi, 36, 56 amonium acetat, 47 amonium klorida, 48 anaerob, 72, 73 ani-ani, 85 M. Tufaila * Anjasmara, 34 anorganik, 2, 31, 37, 92 APBN, 1 Argomulyo, 34 arid, 22, 23, 74, 88 asam, 41, 48, 50, 56, 58, 60, 61, 68, 71, 73, 78, 82, 95 asam organik, 41, 48, 56, 82 Aspergillus, 35 asumsi, 18, 21 atmosfer, 27 Azospirillum, 34 Azotobacter, 34, 35 B Bacillus, 35 back swamp, 39 bahan induk, 72 bahan organik, 25, 31, 32, 34, 40, 41, 83 bahan sulfida, 20, 71, 72, 76 bakteri, 35, 72 Baluran, 34 banjir, 4, 20, 21, 23, 49, 50 basic sulfat, 78 basis, 9 batuan fosfat, 35 Bawang daun, 63 Bawang kucai, 63 Bawang merah, 1, 63, 84, 86, 98 Bayam, 64, 86 Bayar, 84 belangeran, 70 Belimbing, 67 Bengkoang, 59, 60 Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL beracun, 2, 41, 48, 50, 51, 55, 56, 79, 82 beras, 1 berat volume (BV), 42 berbatu, 12 berbukit, 10 bergelombang, 10 bergunung, 10 berkelanjutan, 2, 4, 5, 6, 7, 26, 37, 89, 90, 93, 95, 98 bermuatan terubahkan, 25 berombak, 10 berproduktivitas, 2, 26 biakan, 34, 36 biodiversity, 4, 98 biofertilizers, 34 biofisik lahan, 14 biokimia, 72 biologi, 2, 3, 23, 24, 26, 31, 35, 41 borax, 57 buah-buahan, 1, 51, 66, 86 budaya, 14, 28, 49 budidaya kimiawi, 30 budidaya organik, 2, 30, 31, 37 bulan kering, 11, 68 Buncis, 86 bunga matahari, 70 burung pipit, 85 C C/N, 56, 83 cabai, 1, 38, 86, 91 Cabe merah, 64 Cabe rawit, 64 cacing tanah, 34, 35, 36 carbon dating, 41 caren, 55 cat clay, 71 cekaman, 33 M. Tufaila * 100 cengkeh, 70 class, 15 cokelat, 84 comprehensive, 26 C-organik, 39 Crotalaria juncea, 37, 92 cuaca, 23, 25 cukup sesuai, 16 curah hujan, 11, 17, 18, 23, 41 current suitability, 18 D daging sapi, 1 dangkal, 12, 23, 24, 25, 43, 44, 47, 55, 60, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 76 datar, 10 daya dukung, 4, 62 daya sanggah, 25 Daya semat, 25 Daya simpan, 25 debu, 26, 32 degradasi, 26, 33 dehidrasi, 41 dekomposisi, 40, 45, 46, 56 Delima, 67 dependent charge, 47 Desulfotomaculum sp., 72 Desulfovibrio sp., 72 difusi, 25, 26 dikhelat, 57 diperbaharui, 4, 5 disosiasi, 47 ditransformasikan, 29 diversifikasi, 5, 6 dolomit, 83 drainase tanah, 13 dry farming, 22 dryland, 22, 88, 89 dryland farming, 22 Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL Duku, 67 Durian, 67 Flufaquents, 76 Fluvaquents, 75 fosfat, 25, 34, 35, 57, 83, 90, 91, 93 fosfat alam, 35, 57 fotoperiod, 85 fungi, 35 Fungus, 35 E efektivitas, 25, 34 efisiensi usahatani, 27 ekologi, 4, 26 ekonomi, 3, 4, 14, 18, 19, 27, 28, 56, 58, 60, 61 ekosistem, 4, 33, 36, 40 ekstensifikasi, 13 emisi, 6, 56, 93 endapan lumpur, 79 Endoaquents, 75 Endoaquepts, 75 entisol, 77 erosi, 5, 6, 20, 24, 25, 26, 29, 31, 32, 33, 35, 46, 51 eutropik, 47 evaluasi, 14, 15, 17, 90, 94 evaporasi, 23, 29, 41 evapotranspirasi, 82 G F fauna, 32, 33, 35 fenol, 47 fero sulfat, 73 ferri (Fe3+), 72, 78 fibrik (mentah), 42, 43 fiksasi, 34 fisik, 2, 3, 7, 10, 11, 24, 26, 34, 36, 41, 45, 77 fisika, 3 fisikokimia, 2, 26 fisiografi, 10, 13, 23 fisiokimiawi, 25 flapgate, 52, 80 fleksibel, 14 flora, 32, 33 M. Tufaila * 101 gagal panen, 5 Galunggung, 34, 86 gambut, 12, 20, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 77, 79, 88, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 98 Gambut pantai, 43 Gambut pedalaman, 43 Gambut transisi, 44 gambut tropika, 39 Gandaria, 67 Ganyong, 60 garam, 12, 50 Garut, 34 Gembili, 60 gempa bumi, 4 genangan, 4, 49, 60, 61, 66, 84 geokimia, 72 geologi, 7, 10, 13 geologis, 4 Gepak Kuning, 34 glaukopit, 74 granit, 49 Grobogan, 34 gulma, 5, 6, 31, 82 gunung berapi, 4 Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL H hama, 5, 6, 31, 85 Haplic, 75 hara, 5, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 24, 25, 26, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 39, 48, 50, 56, 57, 58, 82, 83 hara mikro, 25, 34 hayati, 4, 31, 33, 34, 35, 36, 37, 84 hemik (setengah matang), 42, 43 hemiselulosa, 47 hidroksil, 47, 78 hidrologi, 2, 7, 13, 14, 49 hifa, 34 hilir, 54, 55 histosols, 42 holosin, 40 horison, 25, 72, 73, 76 Hortikultura, 12 hujan efektif, 29 humifikasi, 24 humus, 41 hutan, 5, 13, 24, 39, 40, 58, 59, 65, 68, 69, 92 hutan lindung, 13, 24 hutan sempadan, 24 hutantani, 28 hydronium jarosit, 74 I identitas sosial, 4 Ijen, 34 ikatan koordinasi, 48 iklim, 6, 7, 10, 11, 13, 14, 22, 23, 28, 41, 74, 88, 98 impor, 6 improved management, 19 M. Tufaila * 102 inceptisol, 73, 77 indikator, 35, 45 industri, 5, 6, 35, 37, 60, 61, 62, 66, 67, 68, 69, 86, 96 infiltrasi, 26, 29 inkonvesional, 27 inokulan, 34 inovasi, 3 input, 4, 5, 10, 97 insektisida, 85 integritas, 4 intensifikasi, 13 intensitas, 14, 15, 17, 24, 85 intesif, 58 introduksi, 85 irigasi, 20, 23, 51, 53, 54, 55, 79, 80, 82 isohipertermik, 11 isotermik, 11 J jagung, 57, 59, 60, 85, 86, 92 jahe, 70, 87 Jambu air, 67 Jambu biji, 67 jarak, 53, 55, 70, 82 jaringan, 50, 62 jarosit, 71, 72, 73, 74 jasad, 26, 31, 34, 35, 36 jasad renik, 26, 34, 35, 36 Jeluk, 25, 76 Jeluk efektif, 26 jeluk mampan, 29 jelutung, 70 jenis mineral, 46 jenis unggul, 26 jenuh air, 23, 39 jerosit, 73 Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL K Kacang hijau, 86 Kacang panjang, 64, 86 Kacang tanah, 86 kahat, 57, 78, 82 Kalimantan, 39, 40, 41, 47, 50, 68, 69, 72, 85, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97 kapas, 70 kapasitas jerapan, 48 kapasitas lapang, 23, 57 kapital, 4 kapuk randu, 70 kapur, 20, 26, 58, 63, 65, 67, 68, 69, 83, 84 karakteristik lahan, 7, 13, 14, 17 karboksilat, 47 karbonat, 72, 74 karet, 61, 62, 69, 84 kation, 25, 31, 47, 48, 56, 57, 78 katteklei, 71 Katuk, 64 kawasan, 7, 8, 9, 13, 23, 24, 39, 48, 50, 71, 74, 84 kawasan lindung, 9 kayu manis, 70 keanekaragaman hayati, 4 kearifan, 5 kebakaran, 4, 50 kebijaksanaan, 7, 8, 9, 14 kecocokan, 14 kedalaman, 35, 41, 42, 46, 50, 55, 67, 82 kedaulatan pangan, 1 kedelai, 1, 33, 34, 35, 59, 60, 85, 86, 91, 92, 94 Kedondong, 67 kehutanan, 12, 48 kejenuhan basa (KB), 47 kekahatan, 26, 31 M. Tufaila * 103 kekeringan, 25, 33, 34, 46, 49, 50, 53, 63, 79 kekuatan jerapan, 48 kelapa, 61, 62, 84, 87, 96 kelapa sawit, 61, 62, 84, 87, 96 Kelas, 15, 16 kelayakan ekonomi, 3 kelembaban, 11, 13, 25, 50, 53, 66 kelengasan, 10, 23 kelestarian, 2, 4, 7, 9, 19 keluwih, 63 kemampuan, 7, 8, 27, 28, 29, 30, 34, 48 Kemangi, 64 kemarau, 24, 49, 50, 52, 79, 81 kemasaman, 24, 47, 74, 75, 82, 83, 84 kematangan, 39, 42, 45, 46, 77 kemiri, 70 kenaf, 70 kencur, 70 Kenikir, 64 kerawanan, 9 Kering, 11, 18, 20, 21, 22, 27 keruangan, 7 kesehatan, 5 kesepakatan, 8, 22 kesesuaian lahan, 8, 9, 14, 15, 17, 18, 19, 21 kesuburan tanah, 5, 24, 35, 36, 37, 42, 47, 48, 56, 82 kesumba, 70 ketahanan, 1, 2, 88 ketebalan, 12, 39, 46, 48, 49 keterlarutan, 35 keuntungan, 10, 16, 56, 85 khelat, 48 khlorit, 74 Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL kimia, 2, 3, 23, 24, 26, 28, 33, 37, 41, 46, 48, 72, 74, 77, 96 kimiawi, 2, 4, 25, 30, 31, 33, 34, 36, 37, 73 kohesi sosial, 4 kolektif, 50 komoditas, 1, 10, 14, 15, 33, 59 kompos, 36, 84, 96, 97 komprehensif, 14 konservasi, 4, 5, 12, 13, 20, 24, 28 konsistensi tanah, 77 konversi, 39 Kopi, 62, 87 kotoran ternak, 31 KPK, 17, 47, 57 kualitas lahan, 17, 79 kuantitatif, 13 kuarter, 53, 54, 55, 80, 82 kubis, 38, 65, 86 kuning pucat, 71 kunyit, 70 kwarsa, 12 L Labu, waluh, 65 lada, 70, 84, 87 ladang, 23 lahan, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 29, 30, 35, 39, 40, 44, 46, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 79, 81, 82, 84, 85, 86, 87, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98 lahan basah, 3, 23, 40, 44, 72 M. Tufaila * 104 lahan gambut, 1, 3, 39, 40, 46, 49, 53, 56, 59, 61, 63, 71, 79, 80, 82 lahan kering, 1, 3, 22, 23, 24, 27, 28, 29 lahan kritis, 3 lahan marginal, 1, 2, 3, 4 lahan pasang sutut, 1 lahan sulfat masam, 1, 3, 49, 53, 71, 72, 74, 76, 78, 79, 86 landform, 13 lantoro, 70 lapuk, 42, 74 Lawit, 85, 86 legum, 31, 32 Lembab, 11 lempung, 25, 26, 29, 32, 49, 71, 72 lengas, 29, 32, 33 lestari, 16 ligan, 48 lignin, 47 lilin, 47 limbah organik, 31, 36 lingkungan, 2, 3, 4, 5, 9, 10, 11, 14, 15, 19, 27, 28, 33, 36, 39, 42, 56, 74, 84, 88, 93, 98 LISA, 27, 28 Lobak, 65 logam berat, 33, 35 longsor, 4, 26 lowland, 22, 23, 90, 97 LREP, 7, 8, 14, 92 lumpur sungai, 56 M makro, 35, 36, 50, 58, 79 Malabar, 34 mangan sulfat, 57 Mangga, 68 Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL Manggis, 68 mangrove, 12 Manyapa, 85, 86 marginal, 1, 2, 3, 4, 5, 16, 26, 27, 29, 77 masam, 6, 24, 30, 32, 36, 47, 56, 60, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 90, 93, 96, 97, 98 masukan rendah, 2 masyarakat setempat, 8, 85 melestarikan, 8 melinjo, 68 melon, 30, 66, 68, 91 memapankan (estabish), 23 mendukung, 7, 8, 10, 27, 36 menetralisir, 83 mengkelat, 83 mengkudu, 70 meranti, 70 mesotropik, 47 mikorisa, 34, 36 mikro, 36, 47, 53, 54, 57, 58, 66, 68, 79, 82 mikroorganisme, 41, 72 mineral, 29, 31, 32, 33, 36, 37, 42, 43, 45, 46, 56, 58, 66, 72, 74, 76, 77, 78, 91, 92, 95, 96 mint, 70 mobilitas sosial, 4 mulsa, 29, 30, 33 mulsa plastik, 30 murbei, 70 musim pasang, 81 musim tanam, 49, 80 mutu, 3, 28, 36, 79 N Nangka, 68 nasional, 1, 2, 8, 15, 27, 28, 92 M. Tufaila * 105 natro jarosit, 74 nenas, 66, 68, 87 neraca hara, 32, 33 Nilai n, 77 nilai tambah, 27 nitrogen, 34 non gambut, 40 non intensif, 58, 68 non-pertanian, 1 nutrient supply system, 37 O oksidasi, 50, 71, 73, 74, 78 oligotropik, 47 ombrogen, 42, 44, 47 optimal, 14, 15, 56 optimum management, 19 order, 15 ordinary management, 19 Ordo, 15 organik, 2, 20, 24, 25, 26, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 47, 48, 50, 56, 57, 58, 72, 73, 77, 78, 82, 83, 90, 91, 94, 95 P P tersedia, 17, 83 pacar kuku, 70 padi, 2, 13, 23, 35, 36, 49, 56, 57, 59, 60, 78, 83, 84, 85, 90, 93, 96, 97 Padmaraga, 85 Pakis, 65 pala, 70 palawija, 2, 23, 49, 85, 86 panas, 10 Pandak, 84 Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL pangan, 1, 2, 5, 12, 13, 24, 28, 59, 60, 61, 85, 88 Papua, 39, 40, 71, 74 Paradigma, 4 partisipasi masyarakat, 4 pasang, 1, 3, 27, 42, 43, 44, 50, 51, 52, 72, 74, 75, 79, 80, 84, 85, 88, 93, 95, 97, 98 pasang surut, 3, 27, 43, 50, 52, 72, 74, 75, 79, 84, 85, 88, 93, 95, 97, 98 pasar, 49, 58, 62, 69 payau, 74 pelarut fosfat, 35 pelestarian, 8 pelindian, 30, 31 Pelumpuran, 77 pemampatan, 26, 31, 32, 33 pematangan, 20, 41, 73 pembangunan, 4, 7, 9, 27, 37, 50, 53 pemberdayaan masyarakat, 4 pemerataan, 4 penambat N2, 34 penanaman berjalur, 29 pencemaran, 5, 32, 33, 36 pencemaran air, 5 penelitian, 5, 34, 35, 36, 37, 58, 78, 79, 83, 84, 88 pengapuran, 30, 66 pengatusan, 22, 23, 75 pengelolaan, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 28, 29, 32, 36, 50, 53, 56, 77, 79, 82, 84, 92, 93, 95, 98 pengelolaan air, 53, 79 pengembalaan, 12 pengembangan kelembagaan, 4 penggunaan lahan, 3, 7, 8, 9, 13, 14, 16, 19, 22, 28 M. Tufaila * 106 penghujan, 24 pengolahan tanah, 26, 29 pengomposan, 36 penguapan, 26, 41 Penicillium, 35 penyakit, 5, 6 Pepaya, 69, 87 pera (karau), 85 peracunan Al, Fe, dan Mn, 24, 30, 32 perambahan, 5 peraturan, 9 perbani, 75 perencanaan, 7, 9, 14, 15, 91 Perikanan, 12 Perkebunan, 12, 28 perkolasi, 25, 29, 30 perluasan lahan, 1 permanen, 16, 18, 75 permeabilitas, 35, 77 perombakan, 24, 26, 83 persiapan, 10 pertanaman lorong, 32 pertanian, 1, 2, 3, 4, 5, 10, 12, 13, 15, 19, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 29, 30, 36, 37, 38, 39, 40, 56, 70, 77, 84, 87, 88, 90, 91, 93, 94, 95, 96, 97, 98 pestisida, 4, 28, 31, 85 peta, 9, 10, 13, 14, 15, 18 petai, 63, 65 petani, 5, 19, 31, 35, 38, 50, 53, 82, 84, 85, 91 Petek, 34 petrokimia, 35 Petsai, 65 pH, 18, 20, 21, 24, 25, 47, 56, 57, 58, 60, 62, 63, 64, 65, 66, 68, 69, 71, 73, 75, 76, 77, 78, 79, 83, 84 Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL piasan, 27, 29 pinang, 70 pintu otomatis, 81 pirit, 50, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 82, 83 pisang abaka, 70 polivalen, 48, 56, 57 posisi pembentukannya, 42 potensi, 1, 3, 27, 38, 47, 56, 73, 83, 88, 91, 93, 97 potensial, 7, 18, 19, 20, 21, 23, 73, 75, 77, 96, 98 potential suitability, 19 precipitation, 23 present land use, 13 primer, 52, 82 produksi, 1, 2, 4, 5, 6, 10, 15, 16, 19, 27, 30, 31, 33, 35, 40, 48, 56, 96, 97 produktif, 1, 3, 5, 15, 33 produktivitas, 5, 8, 19, 31, 32, 82, 85, 91, 92, 95, 96, 97 protein, 47, 59, 64, 66 provinsi, 8, 15, 39 Pseudomonas, 35 pulai, 70 pupuk, 4, 26, 28, 30, 31, 33, 34, 35, 36, 37, 56, 57, 58, 61, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 83, 84, 85, 91, 92, 96, 97 pupuk anorganik, 37 pupuk hayati, 34, 36, 37 pupuk hijau, 31, 33, 37, 61, 92 pupuk kandang, 31, 37, 56, 63, 64, 92 pupuk mineral, 37 pupuk organik, 32, 36, 37 purnama, 75 purun tikus, 70 M. Tufaila * 107 R radio isotop, 41 rainfed farming, 22 ramah, 4 rambutan, 69, 84 rami, 70 ramin, 70 Ranti, 65 rasional, 56 rawa, 3, 23, 27, 39, 49, 50, 65, 70, 72, 75, 84, 85, 88, 92, 93, 95, 96, 97, 98 realistik, 14 Reconnaissance, 15 redoks, 72, 73 reduksi, 72, 78, 83, 84 Regim suhu, 11 rehabilitasi, 13 rekayasa, 2, 27 reklamasi, 50, 78 relief, 11, 13 renewable resources, 4 rengas manuk, 70 rentan, 2, 25, 26 resin, 47 restorasi, 49 rhizobium, 34, 35, 36, 94 rosela, 70 rotan, 70 RTRW, 9 rumusan, 7 S saga, 70 sagu, 59, 60 Salak, 69 salinitas, 62, 78, 84 saluran cacing, 55, 82 saluran kolektor, 55 Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL sangat dalam, 76 saprik (matang), 42 Satuan kesesuaian, 15 satuan lahan, 13, 14 sawah, 1, 13, 23, 54, 55, 60, 85, 90, 97 Sawi, 86 Sawo, 69 sedang, 19, 22, 37, 43, 47, 60, 62, 63, 64, 65, 67, 68, 69, 74, 75, 85 sejuk, 10 sekunder, 52, 80, 82 Selada, 66, 86 Seledri, 65 selulosa, 47 semangka, 66, 69,87 semi arid, 22 semi detail, 15 seng sulfat, 57 sengon, 70 serai, 70 seratnya, 42 Serawak, 40, 90, 93, 97 serbacakup, 2, 26 sesuai, 7, 9, 10, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 24, 26, 36, 58, 66, 67, 82 Seulawah, 34 Siam, 84, 85 Sibayak, 34 silikat, 72, 74, 78 Sinabung, 34 singkong, 59 Singkong, 61 Sirsak, 69 sistem garpu, 50, 52, 53 sistem gizi tanaman terpadu, 2, 37 sistem handil, 50, 51 M. Tufaila * 108 Sistem Satu Arah, 79 sodium molibdat, 57 Soil Survey Staff, 42, 75, 95 solum, 12, 24 Sorgum, 61 sorption capacity, 48 sorption power, 48 sosial, 3, 4, 14, 19, 27, 28 spodosol, 12 Sri kaya, 69 stoplog, 54, 55, 80, 82 strategis, 1 struktur tanah, 5, 29, 77 suaka alam, 5 sub zona, 12 sub-class, 15 suberin, 47 Sub-kelas, 15 subsiden, 46 substratum, 46, 47 subur, 1, 34, 42, 47, 64, 65, 66, 68, 69 suhu, 10, 11, 13, 41 Sukmaraga, 85, 86 Sukun, 61 Sulawesi, 71, 74, 97 sulfaquent, 75 sulfaquept, 76 sulfat, 1, 3, 12, 49, 53, 57, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 90, 93, 96, 98 sulfat masam, 12, 71, 72, 74, 75, 77, 78, 79, 83 sulfat masam aktual, 75 sulfat masam potensial, 75, 96, 98 Sulfic Endoaquepts, 76 Sulfic Hydraquents, 75 sulfida, 72, 78, 82 Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL sulfurik, 72, 73, 76 Sumatera, 39, 40, 47, 50, 79, 95, 96, 97, 98 sumberdaya, 1, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 15, 27 sumberdaya alam, 4, 5 sungkai, 70 surjan, 55 surut, 51, 52, 79, 80, 81, 85 Surya, 34 sustainable, 4, 6, 89, 97, 98 swasembada, 5 swasta, 50 T Tabat, 51 tadah hujan, 22, 23 Tahana (status), 82 tak balik, 46 tanah mineral laterit, 56 Tanah sulfat masam, 71, 75 tanaman buah, 59, 66 tanaman hortikultur, 2 tanaman perkebunan, 2, 28, 59, 61, 62 tanaman rempah, 59 tanaman sayuran, 59, 63 tanaman serat, 59 Tanggamus, 34 tanggul, 20, 50, 52, 54, 55 tannin, 47 tapak jerapan, 57 tata air, 20, 49, 50, 51, 52, 54, 79, 82 tata batas, 9 tebu, 62, 84 tegal, 23 tegalan, 54, 55 Teh, 63 M. Tufaila * 109 teknologi, 2, 3, 4, 5, 10, 19, 26, 27, 30, 33, 56, 98 tekstur tanah, 29, 77 temu lawak, 70 tenaga kerja, 5 tepat guna, 3 terak baja, 56 teras, 29 terkendali, 8 teroksidasi, 71, 73, 78 Terong, 66, 86 tersediakan, 33, 35, 36 tersier, 52, 53, 54, 55, 80, 81, 82 terusi, 57 Thapto-Histic Sulfaquents, 75 tidak dapat diperbaharui, 4 tidak sesuai, 13, 15, 16, 24 Timun, 86 tinjau, 15 Tipe luapan, 75 tipologi lahan, 76 toleran, 61, 62, 64, 65, 68, 69, 84 Tomat, 66, 86 topogen, 42, 44, 47 topografi/relief, 7 transformasi, 29 transportasi, 50 Trichoderma, 36 trubus, 26 tumpang susun, 14 turi, 70 Typic, 75, 96 U Ubi jalar, 61, 86 Ubi kayu, 86 ultisol, 3, 24, 26, 30, 32, 33, 97 unirrigated land, 22 unit, 15, 16, 78 Sitti Leomo * Syamsu Alam STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL unrenewable resources, 4 unsur mikro, 57 upland, 22, 23, 97 upland crop, 22 usahatani, 27, 28, 31, 33, 56 110 wetland, 22, 23, 92 wilayah, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 19, 44, 74, 75, 79, 89 Wilis, 34, 86 Y V Yam/Uwi, 61 variabilitas, 39 varietas lokal, 84, 85 varietas unggul, 85 vegetasi, 7, 23, 44 vermicompost, 36 volume tanah, 26 Z W water management, 49, 88, 89, 94 M. Tufaila * ZAE, 9, 13 zarah, 26, 32 zona, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 88 zona lahan, 7, 8, 9 zonasi, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 92 zonasi agroekologi, 10 zonasi lahan, 7, 8, 9, 14 Sitti Leomo * Syamsu Alam M. Tufaila. Lahir di Dompu-NTB pada tanggal 5 Juli 1966. Mendapat gelar sarjana dari Fakultas Pertanian Universitas M ataram tahun 1990 pada program studi Ilmu Tanah. Tahun 1993-1996 melanjutkan pendidikan S2 di Program Pascasarjana UGM program studi Ilmu Tanah, dan tahun 2007-2011 melanjutkan pendidikan S3 juga di Program Pascasarjana UGM program studi Ilmu Tanah. Pada tahun 1997-2005 dipercayakan sebagai ketua Program Studi Ilmu Tanah di Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo (UHO) dan tahun 2013-sekarang menjadi ketua Program Studi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Program M agister Pascasarjana UHO. Mengajar pada jenjang S1, S2, dan S3 di Universitas Halu Oleo. Mengampu mata kuliah seperti Dasar-Dasar Ilmu Tanah, Klasifikasi tanah dan Pedogenesis, Konservasi Tanah dan Air, Survei Tanah dan Pemetaan Lahan, Geologi dan Mineralogi Tanah, Geomorfoogi dan Analisis Landskap, dan Perencanaan W ilayah Pedesaan dan Pertanian. Buku yang pernah ditulis diantaranya Panduan Survei Tanah, M etode Inventarisasi Komponen Lingkungan, Pedogenesis dan beberapa judul buku lainnya yang digunakan dalam lingkup Universitas Halu Oleo. Sitti Leomo. Lulus Sarjana Pertanian dari Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (UNHAS) tahun 1986. Kemudian melanjutkan pendidikan pada Institut Pertanian Bogor (IPB) dan mendapat gelar M .Si dalam bidang Ilmu Tanah minat konservasi tanah dan air dalam tahun 1998. Saat ini sedang mengikuti pendidikan Program Doktor pada Pascasarjana UHO.M ulai tahun 1988 sampai sekarang mengajar di Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo. M engasuh mata kuliah Dasar-dasar Ilmu Tanah; Dasar-dasar Agronomi; Konservasi Tanah dan Air; Analisis Tanah, Air dan Jaringan Tanaman; M anagemen Agroekosistem; Reklamasi Lahan dan Bioremediasi Tanah. Tahun 1998-2000 menjadi Kaprodi Agronomi program Kelas Sore. Tahun 2000-2008 menjadi Ketua Program Kelas Sore, dalam tahun 2008-2012 menjadi Ketua Unit Jaminan M utu. Tahun 2012-sekarang menjadi Pembantu Dekan II Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo Kendari. Syam su Alam. Lahir di Kendari pada tanggal 13 Juni 1980. Pendidikan formal yang pernah diikuti adalah : Sekolah Dasar di SDN 2 Punggolaka (1992); Sekolah Menengah Pertama di M TsN 1 Kendari (1995); Sekolah Menengah Atas di SMU 4 Kendari (1998); Sarjana Pertanian (UHO, 2003); M agister of Science (UGM, 2011). Pekerjaannya sebagai akademisi dimulai pada tahun 2003 sebagai dosen luar biasa dan sejak April 2006 diangkat menjadi Dosen Tetap pada Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo. Sejak Desember 2012 diangkat menjadi Sekretaris Jurusan Agroteknologi FP-UHO dan hingga saat ini tetap aktif dalam keanggotaan organisasi profesi Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI). M ata kuliah yang diampu diantaranya Dasadasar Ilmu Tanah, Geologi dan M ineralogi Tanah, Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis, Kesuburan Tanah dan Teknik Pemupukan, Pengelolaan Tanah dan Air. Buku yang pernah ditulis sebelumnya diantaranya Geologi dan Mineralogi Tanah, Pengelolaan Tanah dan Air, dan beberapa judul buku lainnya yang digunakan dalam lingkup Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo. ISBN 978-602-8161-71-8