1 BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan dalam sebuah laporan ilmiah merupakan pengantar bagi pembaca untuk mengetahui apa yang diteliti. Bab ini menjelaskan pemikiran peneliti terkait pertanyaan mengapa penelitian ini dilakukan. Berdasarkan fungsi tersebut, bab ini berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian yang ingin dicapai, implikasi penelitian yang diharapkan dari hasil pengujian penelitian, dan sistematika penulisan. Latar belakang penelitian memaparkan landasan pemikiran peneliti. Perumusan masalah menjelaskan masalah yang akan dikaji. Tujuan penelitian berisi tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian yang dilakukan. Implikasi penelitian menguraikan kegunaan hasil penelitian bagi berbagai pihak terkait. Sistematika penulisan memaparkan sistematika atau urutan penulisan laporan penelitian yang akan disusun. 1.1. Latar Belakang Masalah Pandangan umum sering kali menilai organisasi sektor publik sebagai organisasi yang tidak produktif, tidak efisien, selalu rugi, rendah kualitas, miskin inovasi, dan kreativitas. Kondisi tersebut memunculkan kritik dari berbagai pihak yang pada akhirnya mendorong organisasi sektor publik untuk melakukan gerakan reformasi manajemen sektor publik melalui konsep yang dikenal dengan sebutan New Public Management (NPM). 2 Ide NPM berfokus pada hasil, outcomes, dan akuntabilitas hasil (Hood, 1991). Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan pengelolaan organisasi sektor publik yang lebih baik dan untuk menyampaikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Menurut Hood (1991), terdapat tujuh karakteristik NPM, yaitu, (1) pelaksanaan tugas manajemen pemerintah diserahkan kepada manajer profesional; (2) adanya standar dan ukuran kinerja yang jelas; (3) lebih ditekankan pada kontrol hasil; (4) pembagian tugas dalam unit-unit; (5) ditumbuhkan atmosfer persaingan di tubuh organisai sektor publik; (6) lebih menekankan diterapkannya gaya manajemen sektor privat; dan (7) lebih menekankan pada kedisiplinan tinggi dan tidak boros dalam menggunakan sumber daya yang terbatas. Perubahan-perubahan pengelolaan sektor publik di Indonesia diawali pada masa reformasi. Era reformasi menuntut Indonesia untuk melakukan berbagai perubahan. Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah perubahan sistem pemerintahan yang diubah dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi. Perubahan ini dilandasi Undang-Undang No.22/1999 tentang Desentralisasi Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25/1999 tentang Keseimbangan Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sistem desentralisasi fiskal kemudian diikuti dengan Undang-Undang No. 28/1999 tentang penetapan prinsip penting dari good governance seperti transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah juga mengeluarkan undang-undang terkait keuangan negara pemerintah, yaitu Undang-Undang No. 17 tahun 2003 sebagai pengganti undangundang lama. Undang-undang tersebut memuat berbagai perubahan mendasar 3 dalam pendekatan anggaran sebagai upaya reformasi di bidang keuangan negara untuk meningkatkan efisiensi, akuntabilitas, dan profesionalitas. Reformasi pengelolaan keuangan negara yang dimaksud meliputi aspek-aspek pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah (Medium Term Expenditure Framework), penerapan penganggaran secara terpadu (Unified Budget), dan penerapan anggaran berdasarkan kinerja (Performance Budget). Perubahan metoda anggaran menjadi penganggaran terpadu diharapkan dapat menghasilkan proses anggaran yang lebih terkoordinasi dan mencegah berbagai duplikasi anggaran seperti yang sering terjadi sebelumnya. Penganggaran kinerja juga diadopsi untuk meningkatkan kontrol belanja pemerintah dalam upaya menyampaikan layanan publik. Upaya reformasi menuju pengelolaan organisasi publik yang lebih baik juga terlihat pada Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 yang mengharapkan semua organisasi pemerintah mempersiapkan dan melaporkan laporan kinerja tahunan kepada pemerintah pusat. Gambaran dinamisasi regulasi yang telah dipaparkan memperlihatkan bahwa perubahan sistem sentralisasi menjadi desentralisasi pada akhirnya memang harus diikuti dengan tuntutan-tuntutan regulasi mengenai pentingnya penilaian dan pelaporan kinerja untuk mencapai akuntabilitas. Pengukuran kinerja diklaim dapat memberikan solusi untuk masalah pemeliharaan belanja publik dan meningkatkan layanan kepada pengguna (masyarakat) (Pollitt dan Bouckaert, 2004). Keunggulan pengukuran kinerja adalah lebih menekankan pada pengelolaan hasil dan kemampuan untuk mengukur organisasi publik berdasarkan model input-output (outcome) (Johnsen, 2005). Hubungan antara jumlah input 4 yang dibutuhkan dan jumlah output yang diproduksi diukur dalam istilah efisiensi. Dampak dan kualitas dari penyampaian layanan diukur dalam istilah efektivitas. Pemerintah dalam menanggapi adanya berbagai tuntutan terkait penilaian kinerja dan akuntabilitas perlu mengadopsi strategi manajemen baru sebagai upaya untuk memastikan peningkatan kinerja dan akuntabilitas entitas pemerintah. Salah satu strategi yang digunakan pemerintah Indonesia untuk mencapai hal tersebut adalah dengan menerapkan Sistem Pengukuran Kinerja (SPK). SPK di negara maju merupakan bentuk respon dari permintaan masyarakat akan pengukuran kinerja yang menjadi inti dari desain perubahan manajemen untuk meningkatkan akuntabilitas (Julnes, 2006). Implementasi SPK sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas entitas pemerintah terhadap pihak internal maupun ekternal di Indonesia ternyata belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Kondisi di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah daerah dalam mengembangkan indikator kinerja lebih bertujuan untuk memenuhi kebutuhan regulasi daripada membuat organisasi mereka lebih efektif dan efisien (Akbar et al., 2012). Kondisi ini sesuai dengan teori institusional yang mengemukakan bahwa alasan utama yang mendasari perubahan organisasional seperti ini lebih berfokus pada pencapaian keuntungan legitimasi daripada meningkatkan kinerja substantif (Ashworth et al., 2009). Kondisi ini dimungkinkan merupakan salah satu alasan mengapa penerapan SPK di Indonesia sampai sekarang belum cukup terasa manfaatnya. Kemampuan SPK dan akuntabilitas pemerintah sering kali masih menjadi pertanyaan atau perdebatan (Nurkhamid, 2008). 5 Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi pengembangan dan penggunaan SPK. Hasil penelitian Cavalluzzo dan Ittner (2004) menunjukkan bahwa faktor-faktor organisasional seperti komitmen manajemen atas dalam menggunakan informasi kinerja, kekuasaan membuat keputusan, dan pengadaan pelatihan untuk teknik pengukuran kinerja memiliki pengaruh positif terhadap pengembangan dan penggunaan SPK. Cavalluzzo dan Ittner (2004) juga menemukan bahwa masalah teknikal juga berpengaruh positif terhadap pengembangan dan penggunaan sistem pengukuran. Penelitian terkait pengukuran kinerja di Indonesia menunjukkan bahwa faktor-faktor institusional memberikan pengaruh yang lebih dominan terhadap pengembangan indikator kinerja (Akbar et al., 2012). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa komitmen manajemen lebih dominan memberikan pengaruh yang positif terhadap penggunaan ukuran kinerja dan pencapaian akuntabilitas. Kondisi demikian memperlihatkan bahwa individu memiliki peran penting dalam proses institusionalisasi. Penelitian ini mencoba menangkap peran individu terhadap proses institusionalisasi dengan mengintegrasikan teori institusional dan teori strukturasi (Dillard et al., 2004). Manajemen yang memiliki komitmen diharapkan dapat mendorong implementasi SPK yang lebih baik di masa yang akan datang. Literatur perubahan organisasi menyatakan bahwa komitmen untuk berubah dari manajer senior dalam organisasi merupakan hal kritis untuk kesuksesan usaha perubahan organisasi. Manajemen senior memiliki kekuatan dan sumber daya penting untuk menginisiasi, mengarahkan, dan mendorong perubahan (Kotte dalam Carswell, 2003). 6 Penelitian ini bermaksud mengembangkan temuan penelitian Akbar et al. (2012) dengan melihat institusionalisasi sebagai sebuah proses bukan sebagai suatu outcome. Penelitian ini mengembangkan teoritikal model suatu proses institusilalisasi menggunakan perspektif teori institusional (DiMaggio dan Powell, 1983) dan teori strukturasi (Gidden, 1964). Kedua teori tersebut digunakan untuk menjelaskan bagaimana proses institusionalisasi SPK dan akuntabilitas dalam sebuah organisasi dipengaruhi oleh tekanan institusional eksternal (struktur) dan individu internal organisasi (agen). Penelitian ini menggunakan pendekatan komitmen afektif untuk berubah dari Herscovitch dan Meyer (2002) dan mencoba menguji komitmen afektif manajemen sebagai variabel mediasi hubungan antara tekanan institusional, implementasi SPK dan akuntabilitas yang selanjutnya akan memengaruhi kinerja instansi pemerintah daerah Indonesia. Penelitian Liang et al. (2007) terkait pengadopsian sistem baru di sektor privat menemukan bahwa faktor internal (manajemen) dapat memediasi hubungan antara tekanan eksternal (tekanan institusional) dan implementasi sistem ERP. Penelitian Zheng et al. (2013) di sektor publik terkait tekanan intitusional dan komitmen manajemen sebagai faktor anteseden pengadopsian suatu sistem masih sebatas melakukan pengujian langsung dan belum membuktikan adanya hubungan tidak langsung antara pengadopsian G2G dan tekanan institusional yang dimediasi oleh komitmen manajemen. Hasil penelitian dalam konteks sektor privat dan publik dimungkinkan berbeda sehingga penelitian ini bermaksud melakukan analisis hubungan antara tekanan intitusional dan implementasi sistem baru, yaitu SPK dan akuntabilitas yang dimediasi oleh komitmen afektif manajemen. 7 Penelitian ini secara implisit juga mencoba menindaklanjuti analisis meta review dari Van Helden et al. (2012) yang menyarankan untuk mengonsep sistem manajemen kinerja secara bertahap. SPK merupakan bagian dari sistem manajemen kinerja, sehingga penting pula untuk mengonsepnya tahap demi tahap. Hal ini mempertimbangkan pula hasil penelitian Akbar et al. (2012) yang menunjukkan ketidaksinkronan antara pengembangan indikator kinerja yang lebih dipengaruhi oleh isomorfisma koersif sedangkan penggunaan ukuran kinerja lebih dipengaruhi oleh komitmen manajemen. Temuan tersebut memunculkan pertanyaan mengapa manajemen berkomitmen untuk menggunakan ukuran kinerja namun kurang berkomitmen dalam mengembangkan indikator. Sehingga, selain berfokus pada pengembangan dan penggunaan ukuran kinerja, dalam penelitian ini dirasa perlu untuk mengeksplorasi implementasi SPK secara lebih menyeluruh dengan mempertimbangkan tahap evaluasi yang diusulkan oleh Van Helden et al., (2012). Penelitian-penelitian terdahulu terkait SPK di Indonesia baru menguji faktor-faktor yang memengaruhi pengembangan indikator kinerja (Akbar et al., 2012) dan faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan SPK (Akbar et al., 2012; Wijaya dan Akbar, 2013). Penelitian ini ingin menguji lebih detail pengaruh tekanan institusional dan komitmen afektif manajemen terhadap penerapan SPK (desain, penggunaan, evaluasi, dampak). Dampak implementasi SPK di instansi pemerintah daerah Indonesia dilihat melalui akuntabilitas dan kinerja instansi pemerintah daerah Indonesia. Hal ini mengingat bahwa tujuan utama 8 implementasi SPK adalah untuk mencapai akuntabilitas dan kinerja organisasi pemerintah yang lebih baik. 1.2. Perumusan Masalah Penerapan SPK di Indonesia didasarkan pada Peraturan Presiden No. 7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Pemerintah dan Keputusan Kepala LAN No. 589/IX/6/Y/1999 yang diganti dengan No. 239/IX/6//8/2003 Tentang Laporan Tahunan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah. Penerapan SPK diharapkan dapat menciptakan pemerintahan yang lebih transparan dan memiliki akuntabilitas yang baik. Kondisi di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah daerah dalam mengembangkan indikator kinerja lebih bertujuan untuk memenuhi kebutuhan regulasi daripada membuat organisasi mereka lebih efektif dan efisien (Akbar et al., 2012). Alasan utama yang mendasari perubahan organisasional seperti ini lebih berfokus pada pencapaian keuntungan legitimasi daripada meningkatkan kinerja substantif (Ashworth et al., 2009). Terdapat bukti lain yang menyatakan bahwa manajemen pemerintah memiliki komitmen yang kuat untuk menggunakan ukuran kinerja (Akbar et al., 2012). Hal ini memerlihatkan adanya peran agen dalam proses implementasi di dalam sebuah organisasi. Kondisi ini harus menjadi fokus bersama karena adanya komitmen dari manajemen diharapkan dapat mendorong penerapan SPK secara substantif di masa depan. Komitmen manajemen yang tidak menyeluruh terhadap implementasi SPK ini dimungkinkan terjadi disebabkan adanya pengaruh tekanan institusional. Manajemen berkomitmen karena terdapat mandat dan regulasi yang mengatur atau adanya tekanan lain dari organisasi sejenis dan pihak profesional. 9 Penelitian ini akan lebih berfokus melihat tekanan institusional yang awalnya hanya untuk mencapai legitimasi pada akhirnya dapat membentuk nilai dan perilaku agen dalam organisasi melalui rutinitas yang dijalankan. Tekanan institusional akan mendorong munculnya komitmen afektif manajemen untuk menghadapi konsep-konsep perubahan baru yang diinisiasi pihak eksternal. Manajemen yang memiliki komitmen afektif pada akhirnya diharapkan dapat mendorong mengimplementasikan SPK dan mencapai akuntabilitas substantif untuk meningkatkan kinerja instansi pemerintah. Berdasarkan uraian di atas, dengan membatasi ruang lingkup penelitian pada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah komitmen afektif manajemen dapat memediasi hubungan antara tekanan institusional dan implementasi SPK? 2. Apakah komitmen afektif manajemen dapat memediasi hubungan antara tekanan institusional dan akuntabilitas? 3. Apakah implementasi SPK dapat meningkatkan akuntabilitas dan kinerja organisasi? 4. Apakah akuntabilitas dapat meningkatkan kinerja organisasi? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengobservasi pengaruh mediasi komitmen afektif manajemen terhadap hubungan antara tekanan institusional, implementasi SPK dan akuntabilitas. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan bukti empiris bahwa agen, yang dalam penelitian ini dilihat melalui komitmennya, 10 dapat menjadi elemen penting dalam suatu proses institusional, dalam hal ini upaya meningkatkan efektivitas implementasi SPK di sektor publik, khususnya di SKPD. 1.4. Kontribusi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: 1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan teori, terutama dalam bidang akuntansi manajemen sektor publik. Besar harapan penelitian ini memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terkait proses institusionalisasi implementasi SPK berdasarkan dua perspektif yang saling melengkapi, yaitu teori institusional dan teori strukturasi. 2. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak manajemen pemerintah pusat maupun daerah untuk lebih memperhatikan dan meningkatkan komitmen afektif manajemen untuk menghasilkan implementasi SPK dan akuntabilitas yang lebih baik. 3. Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat membantu pemerintah dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya fiskal yang semakin baik dan akuntabel. Sehingga sebagai implikasi akhir, pemerintah Indonesia dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dan berkualitas untuk masyarakat. 11 1.5. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini disajikan dalam 5 (lima) bab sebagai berikut: BAB I Pendahuluan Bab I (Pendahuluan) menyajikan gambaran umum yang mendasari dilaksanakannya penelitian. Bab ini meliputi: latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka Bab II (Tinjauan Pustaka) menguraikan tinjaun teoritis mengenai beberapa konsep yang berkaitan dengan komitmen untuk berubah dan pertimbangan teori yang dipakai sebagai landasan dalam penyusunan hipotesis. BAB III Metoda Penelitian Bab III (Metoda Penelitian) memberi penjelasan terkait metoda penelitian yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian. Bab ini berisi rincian jenis dan sumber data, populasi, sampel, metoda pengambilan sampel, teknik pengumpulan data, variabel, dan definisi operasional variabel peneliti, serta teknik analisis data. BAB IV Analisis Data Dan Pembahasan Bab ini menjelaskan mengenai data penelitian, hasil pengolahan data penelitian, serta pembahasananya. BAB V Kesimpulan, Implikasi, Keterbatasan dan Saran Penelitian 12 Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan penelitian ini. Bab ini berisikan kesimpulan, implikasi penelitian, diskusi, keterbatasan dan saran-saran penelitian selanjutnya.