11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Pemetaan Sosial Pemetaan sosial (social mapping) kini lazim digunakan sebagai satu pendekatan dalam penanganan masalah sosial. Bila ditelusuri secara harfiah, kata “pemetaan” merujuk pada proses, cara, perbuatan membuat peta, sedangkan kata “sosial” secara sederhana dimaknai berkenaan dengan masyarakat. Adapun secara terminologis, (Suharto, 2005) memberikan penjelasan bahwa pemetaan sosial merupakan proses penggambaran masyarakat yang sistemik serta melibatkan pengumpulan data dan informasi mengenai masyakat termasuk di dalamnya profile (riwayat) dan masalah sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Jauh sebelum itu, Netting, Kettner dan McMurty ditahun 1993 telah memberikan gambaran ringkas tentang pemetaan sosial. Mereka mendeksripsikan atau menjelaskan pemetaan sosial sebagai social profiling atau pembuatan profil suatu masyarakat (Suharto, 2005:82). Salah satu wujud atau hasil akhir pemetaan sosial lazimnya berupa suatu peta wilayah yang sudah diformat atau dirancang sesuai dengan fungsionalitasnya mencitrakan suatu image (gambaran) masalah sosial di tengah masyarakat. Bila mengacu 12 pada pandangan Netting, Kettner dan McMurty, ada tiga alasan mengapa diperlukan pendekatan yang sistematik dalam melakukan pemetaan sosial (Suharto, 2005:82), diantaranya yakni: 1. Pandangan mengenai “manusia dalam lingkungannya” (the person inenvironment). Untuk konteks ini, masyarakat dimaknai sebagai seseorang yang memiliki sosok tertentu, mencakup beragam masalah yang dihadapi, hingga menerakan sumber-sumber apa saja yang tersedia untuk menangani masalah tersebut. Pengembangan masyarakat tidak akan berjalan baik tanpa pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh masyarakat tersebut. 2. Pengembangan masyarakat memerlukan pemahaman mengenai sejarah dan perkembangan suatu masyarakat serta analisis mengenai status masyarakat ini. 3. Masyarakat secara konstan berubah. Individu-individu dan kelompokkelompok bergerak ke dalam perubahan kekuasaan, struktur ekonomi, sumber pendanaan dan peranan penduduk. Pemetaan sosial dapat membantu dalam memahami dan menginterpretasikan atau menafsirkan perubahan-perubahan tersebut. B. Tinjauan tentang Konflik Sosial 1. Pengertian Konflik Sosial Secara umum, konflik merupakan gejala sosial yang selalu hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren, artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu. Dalam kacamata sosial, 13 masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi (proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian) yang senantiasa berlangsung. Oleh karenanya, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Kata “konflik” lazim dimaknai sebagai perselisihan atau pertentangan. Namun bila ditelusuri secara etimologis istilah “konflik” berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian, konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihal atau lebih (Setiadi dan Kolip, 2011). Secara terminologis, (Jones, 2008) menekankan bahwa konflik merupakan perselisihan antara dua pihak atau lebih yang saling terkait dalam usaha mereka memperoleh tujuan. Lebih lanjut, (Jones, 2008) juga mengemukakan bahwa konflik merupakan fenomena sosial yang menyangkut perselisihan antara pihak. Pihak yang terlibat dalam konflik dapat berupa skala individu, kelompok, organisasi, negara, atau bangsa. Semakin banyak pihak yang terlibat konflik, semakin sulit untuk mengelola proses konflik. Hal tersebut akan berimplikasi (terlibat) untuk dihasilkannya sebuah keputusan atau penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak. Beberapa definisi di atas telah memberikan gambaran bahwa konflik dapat dimaknai sebagai suatu sikap tidak sependapat, sebagai tindakan kompetisi 14 (saling berhadapan), atau sebagai hadirnya kepentingan-kepentingan yang saling tidak selaras. Uraian yang penting dari penggambaran konflik tersebut yakni didasarkan pada interaksi. Konflik diwujudkan dan dipelihara oleh perilaku masing-masing pihak yang terlibat dan reaksi di antara mereka. Pertama, di dalam perilaku konflik masing-masing pihak merasa bahwa tujuan atau kepentingannya tidak saling berkesesuaian dan sama-sama menganggap pihak lain sebagai sumber penghambat di dalam mencapai tujuannya itu. Kata kuncinya adalah “anggapan” yang bersifat subjektif, yang mengarah pada unsur “merasakan (perceive)”. Tanpa memperhatikan apakah tujuan-tujuannya itu secara nyata tidak berkesesuaian, jika masing-masing pihak mempercayai bahwa hubungan di antara mereka dalam mencapai tujuan masing-masing menjadi tidak sesuai, maka kondisi tersebut sudah mengarah pada konflik. Jadi, interpretasi (penafsiran) dan kepercayaan masing-masing pihak memainkan peranan kunci di dalam konflik. Kedua, interaksi di dalam situasi konflik diwarnai oleh “saling ketergantungan (interdependence)” di antara masing-masing pihak. Untuk memunculkan konflik, perilaku salah satu pihak atau kedua belah pihak harus memiliki konsekuensi terhadap pihak yang lainnya. 2. Akar Penyebab Konflik Menelaah perihal penyebab terjadinya konflik tidaklah mudah. Namun demikian, para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial, dan kekuasaan (power) yang 15 jumlah ketersediaannya sangat terbatas dengan pembagian tidak merata di masyarakat (Setiadi dan Kolip, 2011). Ketidakmerataan pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai bentuk ketimpangan. Ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak tertentu berjuang untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi yang perolehan aset sosialnya relatif sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan pembagian aset sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan dan bisa juga menambahnya. Pihak yang cenderung mempertahankan atau menambah disebut sebagai status quo (tetap) dan pihak yang berusaha mendapatkannya disebut sebagai status need (perlu) Berdasarkan gambaran tersebut, penyebab konflik dapat disederhanakan menjadi dua aspek, yaitu: 1. Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang majemuk secara kultural, seperti suku bangsam agama, ras, dan majemuk secara sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi. Kemajemukan horizontal-kultural menimbukan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara dan gerakan separatisme (paham atau gerakan untuk memisahkan diri). Jika situasi ini terjadi, maka masyarakat tersebut akan mengalami disintegrasi (perpecahan). 2. Kemajemukan vertikal, terpolarisasi/kepentingan yang artinya berdasarkan struktur kekayaan, masyarakat pendidikan, yang dan 16 kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial karena ada sekelompok kecil masyrakat yang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan. Polarisasi masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya konflik sosial. Singkat kata, distribusi (pembagian) sumber-sumber nilai di dalam masyarakat yang pincang akan menjadi penyebab utama timbulnya konflik. Lebih lanjut, beberapa pakar lain berpendapat perihal akar penyebab konflik secara lebih luas. Mereka berpendapat bahwa beberapa hal yang lebih mempertegas akar dari timbulnya konflik diantaranya: 1. Perbedaan antar-individu; diantaranya perbedaan pendapat, tujuan, keinginnan, pendirian tentang objek yang dipertentangkan. 2. Benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik. 3. Perubahan sosial, yang terjadi secara mendadak biasanya menimbulkan kerawanan konflik. 4. Perbedaan kebudayaan yang mengakibatkan adanya perasaan in group (di dalam kelompok) dan out group (di luar kelompok) yang biasanya diikuti oleh sikap etnosentrisme kelompok, yaitu sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah paling baik, ideal, beradab di antara kelompok lain. Namun demikian, para pakar tersebut memandang bahwa empat gejala sosial tersebut di atas bukanlah faktor penyebab utama terjadinya konflik sosial. Empat faktor tersebut adalah faktor pemicu terjadinya konflik, sedangkan pandangan penganut perspektif konsensus, penyebab utama (akar persoalan) 17 dari konflik sosial adalah disfungsi sosial. Disfungsi sosial disini bermakna nilai dan norma sosial yang ada di dalam struktur sosial masyarakat tidak lagi ditaati, pranata sosial (sistem tata kelakuan dalam hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi berbagai kebutuhan khusus dalam masyarakat) dan sistem pengendaliannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pandangan lain dikemukakan oleh para penganut teori konflik dimana penyebab utama konflik ialah adanya perbedaan atau ketimpangan hubungan dalam masyarakat yang memunculkan diferensiasi (proses) kepentingan. Menurut Turner ada beberapa faktor yang memicu terjadinya konflik sosial (Setiadi dan Kolip, 2011:363), diantaranya yakni: 1. Ketidakmerataan distribusi (pembagian) sumber daya yang sangat terbatas di dalam masyarakat. 2. Ditariknya kembali legitimasi (pengesahan) penguasa politik oleh masyarakat kelas bawah. 3. Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara mewujudkan kepentingan. 4. Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan masyarakat kelas bawah serta lambatnya mobilitassosial ke atas. 5. Melemahnya kekuasaan negara yang disertai dengan mobilisasi (perpindahan) masyarakat bawah oleh elite. 6. Kelompok (perubahan). masyarakat kelas bawah menerima ideologi radikal 18 3. Tahapan Konflik Ditinjau dari tahapan, konflik sosial secara sederhana dapat dibagi menjadi dua, yaitu konflik latent dan menifest. Konflik latent sering dimaknai sebagai konflik terpendam atau konflik potensial. Konflik pada tahap ini masih berada di bawah permukaan, tetapi gejala-gejala permusuhan sudah tampak. Sikap dan perilakunya mengekspresikan perasaan-perasaan yang bersifat kontra produktif, seperti kesal, dengki, benci, tidak puas, tidak setuju, dan sebagainya. Sedangkan konflik manifest sering disebut dengan konflik terbuka, yang diekspresikan dalam perilaku nyata dalam bentuk protes, perlawanan, penyerangan, penentangan, dan sejenisnya. Pada konflik terbuka ini dilihat dari tindakan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkannya, secara sederhana dapat dibagi dua, yaitu tanpa kekerasan dan dengan kekerasan. Konflik tanpa kekerasan termasuk konflik terbuka yang tidak menimbulkan kerugian dalam bentuk korban jiwa, harta benda, serta mengganggu keamanan dan merusak tatanan sosial dalam masyarakat. Sedangkan konflik kekerasan adalah yang menimbulkan kerugian semua itu. Konflik sosial menurut UURI No.7 Tahun 2012 adalah yang termasuk kategori konflik kekerasan. Fisher et al. (2000) menjelaskan tentang tahapan konflik lebih rinci yang diurutkan menjadi empat tahapan, yaitu: 1. Prakonflik: tahap awal terjadinya konflik, adanya ketidaksesuaian sasaran di antara pihak-pihak yang berkonflik, misalnya memunculkan sikap tidak senang dan emosi. 19 2. Konfrontasi: konflik semakin terbuka disertai aksi-aksi kekerasan tingkat rendah, misalnya menyusun kekuatan. 3. Krisis: aksi-aksi kekerasan meningkat menyerupai periode perang, misal menyandera. 4. Akibat: aksi kekerasan menurun, ditandai oleh adanya negosiasi atau usaha untuk mengentikan konflik, misal satu pihak mundur akibat perlawanan yang tidak seimbang, tidak ada negosiasi. Pascakonflik upaya pihak-pihak berkonflik untuk mengakhiri berbagai aksi kekerasan. Jika tidak ada upaya penyelesaian dengan baik, maka akan kembali pada tahap prakonflik. Gambar di bawah ini merupakan visualisasi “Pohon Konflik “ Interaksi antara Faktor Struktural, manifest dan dinamis. Gambar 1. Visualisasi “Pohon Konflik “ Interaksi antara Faktor Struktural, manifest dan dinamis. Sumber: Mason & Rychard, 2005 20 Pohon konflik adalah sarana visualisasi, menggambarkan interaksi antara faktor-faktor struktural, manifest dan dinamis. Akar sebagai pondasi melambangkan faktor struktural penyebab konflik yang terdiri dari; cultural discrimination atau diskriminasi (perbedaan) budaya, weak states atau negara yang lemah, elite politics atau pemegang kekuasaan politik dan group histories atau sejarah kelompok masyarakat. Batang merupakan masalah nyata, yang menghubungkan faktor struktural dengan faktor dinamis terdapat land alienation (keterasingan lahan), dan refugee camp (tempat pengungsi). Daun yang bergerak dengan angin tersebut, merupakan faktor dinamis, terdiri dari; miscommunication atau salah paham, strike atau pemogokan, coups d’etat atau kudeta (perebutan kekuasaan), religion (agama), fear (rasa takut). Faktor dinamis meliputi bentuk komunikasi, tingkat eskalasi (kenaikan), aspek hubungan dan lain-lain. Bekerja dengan faktor dinamis melibatkan waktu yang singkat; reaksi terhadap intervensi (campur tangan) yang cepat dan pada waktu yang tak terduga. Contoh: intervensi diplomatik, atau transformasi (perubahan) multi-konflik berhadapan langsung dengan bentuk interaksi antara pihak-pihak konflik. Lebih lanjut, pakar lainnya mengemukakan terdapat lima tahapan konflik yang dapat disajikan secara berurutan, yaitu: latent conflict, perceived conflict, felt conflict, manifest conflict, dan conflict aftermath (Husman, 1985). 1. Latet conflict. Menggambarkan suatu situasi di mana di dalamnya terdapat kondisi-kondisi persaingan di dalam memperoleh sumberdaya 21 langka, dorongan untuk mengelolanya sendiri, atau adanya perbedaan dalam mencapai tujuan. 2. Perceived conflict. Terjadi di mana masing-masing pihak menganggap adanya kondisi-kondisi konflik, dan di antara mereka juga tidak memahami posisinya masing-masing secara benar. 3. Felt conflict. Ini menggambarkan suatu tahapan di mana anggota kelompok yang berkonflik tidak hanya menyadari adanya kondisi konflik, mereka juga mengalami ketegangan karena konflik itu. Dengan kata lain, kondisi konflik tersebut telah mempengaruhi mereka. 1. Manifest conflict. Ini terjadi pada tahapan di mana keteganganketegangan yang sudah terjadi di antara mereka sudah disalurkan (diungkapkan) melalui agresi secara terbuka atau melalui cara-cara tersembunyi (covert means). 2. Conflict aftermath. Tahapan ini menunjukkan hasil setelah konflik. Pada tahapan ini kondisi-kondisi konflik latent dapat menjadi konflik yang lebih besar apabila tidak ditekan dan diselesaikan. Peneliti lain mencoba menggambarkan lebih lanjut lima tahapan konflik secara berurutan, yaitu: latent conflict, initiation, balancing of power, balance of power, dan disruption. Latent conflict, terjadi di mana masingmasing pihak saling menjaga perbedaan disposisi atau sikap yang membawa potensi konflik. Perbedaan nilai-nilai, tujuan, pandangan adalah hadir dan sebagai dasar perilaku mendatang. Inisiation (inisiasi) terjadi ketika terdapat “pemicu” konflik. Pada situasi ini perbedaan-perbedaan potensial menjadi dasar terjadinya interaksi. Balancing power (kekuatan penyeimbang) terjadi 22 di mana masing-masing pihak saling menilai kapabilitas pihak lain dan berkehendak untuk menggunakan kekuatan, ancaman, dan sebagainya, dan mereka secara nyata mengkonfrontasikan isu ketika mereka sampai pada penyelesaian. Balance of power (keseimbangan kekuasaan) terjadi ketika masing-masing pihak sampai pada suatu pemahaman konsekuensi (pendirian) dari resolusi (sesuatu yang hendak dicapai) dan belajar untuk menyesuaikan diri dengan hasil yang dicapai. Disruption (gangguan) terjadi ketika masingmasing pihak menyadari bahwa keadaan seperti itu dapat memunculkan konflik potensial dan pada akhirnya terjadi konfrontasi (permusuhan). Kondisi ini mengalami siklus menjadi inisiation sampai akhirnya konflik tersebut terselesaikan. 4. Penyelesaian dan Penanganan Pasca Konflik John Galtung melihat konflik dari sisi subyektif dan obyektif yang dapat dikelola melalui ketiga strategi yang saling berhubungan, yaitu peacekeeping, peace making, dan peace building (Ryan, 1990). Pada dasarnya gagasan Galtung yang berhubungan dengan konflik ada tiga yaitu perbedaan antara kekerasan langsung (pembunuhan), kekerasan struktural (kemiskinan dan mati kelaparan), dan kekerasan budaya (apapun yang membutakan atau yang membenarkan kekerasan). Kekerasan langsung dapat diselesaikan dengan perubahan perilaku politik, kekerasan struktural dengan memindahkan kontradiksi (pertentangan) struktural dan ketidakadilan, dan kekerasan budaya dengan mengubah sikap. Sedangkan pada pengelolaan konflik, para pakar mengajukan beberapa alternatif, yaitu bertanding (contending), mengalah (yielding), pemecahan 23 masalah (problem solving), menarik diri (withdrawing), dan diam (inaction). Hal ini juga dapat dilakukan dengan melalui intervensi (campur tangan) pihak ketiga. Pendapat lain menyatakan bahwa pihak ketiga tersebut bisa menyangkut fungsi, perilaku, struktur dan sumbangan yang diberikan. Model penyelesaian konflik yang paling banyak dilakukan dimasyarakat adalah berbentuk intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud tersebut menyangkut fungsi, perilaku, struktur dan sumbangan yang diberikan. Bercovitch mengajukan model kombinasi antara sumber konflik, intensitas konflik dan keterlibatan pihak luar dalam menanganan konflik. Terlibat atau tidaknya pihak luar dalam proses konflik ini diklasifikasikan sebagai bentuk endogenous (variabel yang mempunyai anak panah menuju kearah variabel tersebut) dan exogenous (semua variabel yang tidak ada penyebab-penyebab eskplisitnya atau dalam diagram tidak ada anak panah yang menuju kearahnya). Keduanya merupakan penyelesaian konflik baik pada tingkat konflik terpendam maupun terbuka, dengan menggunakan caracara tersendiri sesuai dengan jenis keterlibatan dan intensitasnya. Di bawah ini merupakan kerangka acuan resolusi konflik sosial. Tabel 2.1 Kerangka Acuan Resolusi Konflik Masalah Dituju Strategi Kelompok Sasaran Penyelesaian Armed groups Perilaku Kekerasan Peace-keeping (‘warriors’) (aktivitas militer) (kelompok bersenjata) 24 Kepentingan dirasa Peace-making tidak berkesesuaian (aktivitas politik) Sikap negatif dan Peace-building struktur sosio- (aktivitas sosio- ekonomi ekonomi) Para pengambil keputusan (pemimpin) Warga masyarakat biasa (‘pengikut’) Sumber: Ryan, 1990. Di dalam kondisinya yang berkelanjutan itu ada tiga mekanisme pengelolaan konflik, yaitu model kultural, tradisional dan rasional. Semakin terbuka wujud konflik maka semakin mengarah pada model pengelolaan rasional. Pengelolaan konflik model kultural dilakukan untuk mencegah munculnya konflik terpendam agar tidak muncul ke permukaan. Mekanisme (cara kerja) pengelolaan konflik model tradisional agar tidak berkelanjutan, dilakukan dengan melalui kelembagaan lokal (atau lembaga adat) setempat. Mekanismenya dilakukan dalam bentuk upacara, mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik, musyawarah kekeluargaan atau melalui pengadilan adat setempat. Kelemahan utama model ini adalah cenderung tidak dapat mengakomodasikan (memenuhi kebutuhan) masalah yang timbul sebagai akses dari kehidupan moderen yang majemuk, dan secara resmi tidak mempunyai kekuatan hukum atau dianggap bertentangan dengan hukum resmi. Pada model rasional, penyelesaian konflik yang dilakukan oleh negara melalui jalur lembaga peradilan atau lewat jalur lain yang memiliki kekuatan hukum tetap. Selain itu, negara yang mempunyai kekuatan memaksa yang memang dibentuk untuk tujuan penjagaan keamanan negara. Ada dua 25 kemungkinan menggunakan model ini, yaitu atas kesadaran rakyat sendiri yang berkonflik atau atas keputusan pemerintah setempat. Pendekatan sensitif konflik melibatkan pemahaman yang baik dari interaksi dua arah antara kegiatan dan konteks serta bertindak untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif dari intervensi (campur tangan) konflik, dalam memberikan prioritas organisasi. Ada tiga komponen utama sensitivitas konflik: 1. Konflik, untuk memastikan pemahaman yang baik tentang konteks konflik; 2. Analisis interaksi potensial antara program dan konflik; 3. Aksi untuk memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif terhadap konflik. Pendekatan tersebut dirangkum dalam gambar di bawah ini. Gambar 2. Operasionalisasi Sensitivitas Konflik Sumber: Conflict Sensitivity Consortium, n.d. 26 Konflik Sensitivitas Konsorsium bertujuan untuk memahami apa artinya "sensitivitas konflik" dalam hal sistem organisasi serta desain, implementasi (pelaksanaan), monitoring (pengawasan) dan evaluasi (penilaian) intervensi tertentu. Konsorsium terdiri dari beragam lembaga dan bertujuan untuk berbagi temuannya dalam hal kemanusiaan, sektor pembangunan perdamaian dan pembangunan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan menerapkan pendekatan sensitif konflik. Pengelolaan hubungan antar kelompok berarti menangani sebab-sebab terjadinya konflik dan berusaha membangun hubungan yang bisa bertahan lama di antara beberapa pihak-pihak yang berkonflik (Fisher, dkk, 2001). Pengelolaan ini penting dilakukan terutama apabila telah terjadi konflik terbuka, dan disini diperlukan upaya perdamaian. Meningkatkan kedamaian melalui pengelolaan konflik merupakan suatu proses penyesuaian multidimensional, karena dimensi konflik tersebut bersifat cair. Artinya, konflik secara inheren bersifat dinamis dan oleh karena itu penyelesaiannya harus terlibat dengan pergeseran berbagai faktor yang kompleks tersebut. Memang diakui, bahwa peningkatan kualitas hubungan antar kelompok pada titik tertentu bisa terjadi peleburan identitas kelompok, dan pada sisi lain menjaga keberagaman eksistensi kelompok dipandang sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat yang hakiki, harus dipelihara keberadaanya dan diperkuat secara berkelanjutan. Pada sisi lain, dengan memelihara dan memperkuat identitas kelompok masing-masing pada titik tertentu dapat menjadikan konflik potensial berkembang menjadi konflik terbuka. 27 Upaya menyelesaikan konflik antar kelompok banyak yang dilakukan dengan menggunakan mekanisme (cara kerja) tradisional. Memperhatikan pentingnya faktor sosio-kultural, proses penyelesaian konflik dengan bantuan pihak ketiga dilakukan dengan menggunakan cara mediasi. Mekanisme penyelesaian secara tradisional cukup beragam karena lebih bersifat kasuistik. Cara ini termasuk dalam pendekatan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) yang lazim disingkat dengan ADR. Pentingnya pendekatan ini karena, pertama, sebagai mekanisme penyelesaian yang lebih mudah menyesuaikan diri dan responsif (cepat menanggapi) bagi kebutuhan masing-masing pihak berkonflik. Kedua, memperhatikan partisipasi aktif para anggota kelompok yang berkonflik. Ketiga, memperluas akses yang setara untuk mencapai hasil penyelesaian konflik yang berkeadilan. Keempat,dilihat dari beberapa kasus menunjukkan bahwa pendekatan tradisional ini bersifat kasuistik dengan menghasilkan beberapa alternatif penyelesaian yang tidak sama. Artinya, setiap konflik secara spesifik memiliki ciri-ciri tersendiri dan ketika tidak sesuai menggunakan alternatif penyelesaian yang satu, maka terbuka kemungkinan digunakan alternatif penyelesaian lain yang sesuai, sehingga para pihak dapat memilih mekanisme penyelesaian yang terbaik. Penyelesaian konflik antar kelompok melalui cara mediasi, di dalamnya tidak mengabaikan proses negosiasi. Pada prinsipnya cara mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga sebagai penegah (mediator). Tanpa negosiasi maka tidak akan ada mediasi, karena mediasi merupakan perluasan dari proses negosiasi sebagai mekanisme penyelesaian konflik melalui mediator. 28 Di dalam mediasi yang berperan aktif adalah mediator, yang bersifat netral dan tidak memihak (imparsial) serta dapat menolong masing-masing pihak berkonflik untuk melakukan tawar-menawar secara seimbang, dalam forum musyawarah (perundingan) untuk mencapai suatu kesepakatan damai. Jadi, peran mediator adalah terbatas memberikan bantuan substantif dan prosedural kepada pihak-pihak berkonflik untuk menyelesaikan masalahnya. Kelemahannya adalah mediator terbatas hanya memberi saran, tidak memiliki kewenangan untuk memutus atau menerapkan suatu kesepakatan penyelesaian damai. Pihak-pihak berkonfliklah yang sebenarnya mempunyai otoritas dalam membuat keputusan berdasarkan consensus (kesepakataan) bersama. Proses perundingan melalui mediasi dikatakan ideal manakala memenuhi tiga kepuasan, yaitu : kepuasan substantif, prosedural dan psikologis. Kepuasan substantif berhubungan dengan kepuasan khusus dari para pihak yang berkonflik. Misalnya, terwujudnya penggantin kerugian ataupun karena jalannya perundingan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif tepat dan singkat. Kepuasan prosedural terjadi apabila para pihak mendapatkan kesempatan yang sama dalam menyampaikan gagasannya selama berlangsungnya perundingan atau karena adanya kesepakatan yang diwujudkan ke dalam perjanjian tertulis untuk dilaksanakan. Sedangkan kepuasan psikologis menyangkut tingkat emosi para pihak berkonflik yang terkendali, saling menghargai, penuh keterbukaan serta dilakukan dengan sikap positif dalam memelihara hubungan pada masa-masa mendatang. 29 Mediasi mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan jalur pengadilan. Kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya, membuatnya sebagai pilihan terakhir. Mediasi perasaan persamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir yang dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan. Solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Sumarjono, Ismail, & Isharyanto (2008) mengungkapkan upaya untuk mencapai win-win solution itu ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya: 1. Proses pendekatan obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat diterima dan memberikan hasil yang saling menguntungkan, jika menitikberatkan pada kepentingan sumber konflik, bukan pada posisi para pihak. 2. Kemampuan yang seimbang dalam negosiasi atau musyawarah. Perbedaan kemampuan tawar-menawar akan menyebabkan adanya penekanan oleh pihak satu terhadap pihak yang lainnya. Ada berbagai keuntungan lain menggunakan mediasi. Beberapa diantaranya adalah : 1. Ada dua azas penting. Pertama, menghindari menang “kalah” (win-lose), melainkan “sama-sama menang” (win-win solution). Ini tidak saja dalam arti ekonomi atau keuangan, melainkan juga kemenangan moril, reputasi (nama baik dan kepercayaan). Kedua, putusan tidak mengutamakan pertimbangan dan alasan hukum, melainkan atas dasar kesejajaran kepatutan dan rasa keadilan; 30 2. Mempersingkat waktu penyelesaian dari pada melalui pengadilan. Lamanya waktu penyelesaian dalam berperkara selain menyebabkan beban ekonomi keuangan dan beban psikologis yang mempengaruhi berbagai sikap dan kegiatan pihak yang berperkara. 3. Berperkara menimbulkan efek sosial yaitu putusnya persaudaraan atau hubungan sosial. Ini dapat meluas sampai kepada hubungan kekerabatan. Hal ini dapat terjadi karena suatu perkara bukan saja menjadi kepentingan dan “harga diri” yang dapat merambat pada kerabat. Suatu perkara bukan hanya melukai pihak-pihak melainkan juga kerabat. Mediasi dapat menghindarkan semua itu, dan hubungan yang retak dapat direkatkan kembali; 4. Sangat sesuai dengan dasar pergaulan sosial masyarakat Indonesia yang mengutamakan dasar kekerabatan, paguyuban, kekeluargaan dan gotongroyong. Dasar-dasar tersebut telah membentuk tingkah laku toleransi, mudah memaafkan, dan mengedepankan sikap mendahulukan kepentingan bersama. Merupakan instrumen yang baik menyelesaikan sengketa untuk menjaga dasar-dasar kekerabatan, paguyuban atau kekeluargaan; 5. Merupakan gejala global. Menyadari peliknya berperkara, maka mediasi sebagai alternatif cara penyelesaian sengketa telah berkembang secara global. Baik sebagai keluarga bangsa-bangsa maupun sebagai bagian dari tata cara hubungan hukum secara internasional, merupakan cara yang tepat menyelesaikan sengketa; 31 6. Dari sudut penyelenggaraan peradilan ada beberapa keuntungan mediasi. Pertama, makin banyak sengketa diselesaikan, mengurangi jumlah perkara yang masuk ke pengadilan. Kedua, pada tingkat kepercayaan sosial yang rendah terhadap hakim, mediasi merupakan salah satu alat penangkal, karena penyelesaiannya ditentukan oleh pihak-pihak. Ketiga, secara bertahap berperkara di pengadilan dapat lebih diarahkan pada persoalan-persoalan hukum (bukan nilai perkara) yang kompleks dan mendasar yang akan mempengaruhi perkembangan hukum. Meskipun demikian, mediasi yang berpangkal pada cooperative paradigm (paradigma koperatif) atau kepentigan masyarakat dan kepentingan negara juga mengandung kelemahan. Pertama, kemungkinan terjadinya kolusi (perbuatan tidank jujur) di antara salah satu pihak yang bersengketa karena sifat mediasi yang voluntary (sukarela) dan bukannya mandatory (perintah). Kedua, terhadap kesepakatan yang dicapai mungkin tidak dapat dilaksanakan sebab tidak adanya kekuatan. Ketiga, kesepakatan mediasi bisa disalahgunakan. Upaya mediasi memang lebih dekat dengan ruang kehidupan masyarakat tradisional dan didukung nilai-nilai budaya setampat. Hanya saja, penyelesaian sengketa melalui musyawarah lebih ditekankan untuk menjaga keharmonisan kehidupan kelompok dan kadang-kadang dapat mengabaikan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa. Pada kasus tertentu, mediasi merupakan cara penyelesaian yang dipandang lebih efektif. 32 5. Konflik Sosial dan Masyarakat Multikultural Sebagaimana dikemukakan dalam paparan pada subbab sebelumnya, konflik sering diasumsikan sebagai bentuk keadaan yang negatif seperti, perselisihan, disintegrasi (perpecahan) penyimpangan, destruktif (merusak), dan sebagainya. Pada aspek ini konflik sering pula identik dengan kekerasan atau peperangan yang berdarah-darah. Pernyataan tersebut mendapat respon skeptis (ragu-ragu) seperti yang diungkapkan (Suharto, 2005), “padahal konflik merupakan keniscayaan dalam masyarakat sejalan dengan proses pemenuhan kebutuhan komunitas dan perubahan sosial” (Suharto, 2005: 222) juga menambahkan bahwa konflik selalu terjadi dalam setiap komunitas karena perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan keterbatasan sumber daya senantiasa dijumpai dalam masyarakat, terlebih dalam masyarakat multikultural yaitu masyarakat yang terdiri dari banyak kebudayaan. Pakar lainnya juga menegaskan bahwa konflik berfungsi sebagai penyatuan masyarakat dan sebagai sumber perubahan. Selain itu, konflik juga berfungsi menghilangkan unsur-unsur pegganggu dalam hubungan. Dalam hal ini, konflik berfungsi sebagai penyelesaian ketegangan antara unsur-unsur yang bertentangan mempunyai kedudukan penstabil dan menjadi komponan pemersatu hubungan. Pembahasan pada beberapa konsepsi di atas, memberikan gambaran bahwa potensi konflik akan selalu ada di tengah masyarakat, tidak hanya pada komunitas yang multikultur. Dalam hal ini diperlukan upaya untuk mengenali potensi konflik yang ada di tengah masyarakat tersebut. Konsepsi yang lazim gunakan dalam mengenali situasi tersebut biasa dinyatakan sebagai upaya 33 deteksi dini. Deteksi dini konflik merujuk pada penemuan dan pengenalan gejala dan sumber-sumber yang dianggap berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman yang dapat berakibat munculnya konflik atau kemungkinan munculnya konflik lanjutan (Rudito & Famiola, 2008). Dalam pendeteksian dini, sangat diperlukan pengetahuan tentang hubungan sosial antar-kelompok atau golongan sosial yang terjadi. Didalamnya terkandung juga pengetahuan tentang anggapan dan prasangka yang ada dalam satu kelompok atau golongan sosial terhadap kelompok atau golongan lainnya. C. Tinjauan tentang Masyarakat Rural dan Urban Pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia yaitu, Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suatu kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya. Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok/kumpulan manusia tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar 34 interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Desa adalah bentuk pemerintahan terkecil yang ada di negeri ini. Luas wilayah desa biasanya tidak terlalu luas dan dihuni oleh sejumlah keluarga. Mayoritas penduduknya bekerja di bidang agraris dan tingkat pendidikannya cenderung rendah. Karena jumlah penduduknya tidak begitu banyak, maka biasanya hubungan kekerabatan antarmasyarakatnya terjalin kuat. Para masyarakatnya juga masih percaya dan memegang teguh adat dan tradisi yang ditinggalkan para leluhur mereka. Menurut UU No. 5 Tahun 1979 desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat dan hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagian besar warga masyarakat pedesaan memiliki mata pencaharian sebagai petani. Pekerjaan-pekerjaan yang di luar pertanian merupakan pekerjaan sambilan yang biasa mengisi waktu luang. Masyarakat pedesaan di Indonesia bersifat homogen (sejenis), seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat istiadat, dan sebagainya. Selain itu, kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia identik dengan dengan istilah gotong-royong yang merupakan kerja sama untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka. 35 Kerja bakti itu ada dua macam, yaitu kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbul dari inisiatif warga masyarakat itu sendiri, dan kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya tidak dari inisiatif warga itu sendiri. Secara umum kota adalah tempat bermukimnya warga kota, tempat bekerja, tempat kegiatan dalam bidang ekonomi, pemerintah dan lain-lain. Dengan kata lain, Kota adalah suatu ciptaan peradaban budaya umat manusia. Kota sebagai hasil dari peradaban yang lahir dari pedesaan, tetapi kota berbeda dengan pedesaan, karena masyarakat kota merupakan suatu kelompok teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup sepenuhnya, dan juga merupakan suatu kelompok terorganisasi yang tinggal secara kompak di wilayah tertentu dan memiliki derajat interkomuniti yang tinggi. Dilihat dari kenyataan yang tampak pada saat ini dalam sudut pandang geografi, kota merupakan suatu daerah yang memiliki wilayah batas administrasi dan bentang lahan luas, penduduk relatif banyak, adanya heterogenitas penduduk, sektor agraris sedikit atau bahkan tidak ada, dan adanya suatu sistem pemerintahan. Secara sosiologis penekanannya pada pola hubungan serta kesatuan masyarakat industri, bisnis, dan wirausaha lainnya dalam struktur yang lebih kompleks. Sedangkan secara fisik, kota dinampakkan dengan adanya gedung-gedung yang menjulang tinggi, hiruk pikuknya kendaraan, pabrik, kemacetan, kesibukan warga masyarakatnya, persaingan yang tinggi, polusinya, dan sebagainya. Masyarakat di perkotaan secara sosial 36 kehidupannya cendrung heterogen, individual, persaingan yang tinggi yang sering kali menimbulkan pertentangan atau konflik. Munculnya sebuah asumsi yang menyatakan bahwa masyarakat kota itu pintar, tidak mudah tertipu, cekatan dalam berpikir, dan bertindak, dan mudah menerima perubahan, itu tidak selamanya benar, karena secara implisit dibalik semua itu masih ada masyarakatnya yang hidup di bawah standar kehidupan sosial. Karakteristik masyarakat desa pada umumnya kehidupannya tergantung pada alam, ini disebabkan oleh lokasi geografis pedesaan dan anggotanya saling mengenal, sifat gotong royong erat, penduduknya sedikit perbeda an penghayatan dalam kehidupan religi lebih kuat. Karakteristik masyarakat perkotaan yaiitu hubungan suasana yang saling memepengaruhi, keprcayaan yang kuat akan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai sarana masyarakatnya untuk meningkatkan kesejahteraan dalam kehidupan, masyarakatnya tergolong ke dalam macam-macam profesi yang dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan kejuruan Tingkat pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata, hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks. Menurut Max Weber mengenai “kota”, para ahli kemasyarakatan telah menekankan perbedaan-perbedaan antara masyarakat kota dan desa (Weber,1977). Pandangan yang berlaku dahulu bahwa kota adalah “modernt”, bahwa wilayah perkotaan merupakan pusat-pusat perubahan sosial, sedangkan masyarakat selalu terbelakang dan “tradisional”, tidak lagi berlaku. Begitu banyak telah memperlihatkan bukti empiris, bahwa istilah 37 tradisional atau modernt tidak harus sejalan berbarengan dengan wilayah pedesaan atau perkotaan. Sebuah kota merupakan suatu system kapitalis dunia, sedangkan wilayah pedesaan tetap terikat pada ekonomi subsistem prakapitalis, tetap diragukan. (Hans-Dieter Evers, 1979). Perbedaan masyarakat pedesaan (rural) da masyarakat perkotaan (urban) yaitu: 1. Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap Alam, Masyarakat perdesaan berhubungan kuat dengan alam, karena lokasi geografisnya di daerah desa. Penduduk yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh kepercayaan dan hukum alam. Berbeda dengan penduduk yang tinggal di kota yang kehidupannya “bebas” dari realitas alam. 2. Pekerjaan atau Mata Pencaharian, Pada umumnya mata pencaharian di dearah perdesaan adalah bertani tapi tak sedikit juga yang bermata pencaharian berdagang, sebab beberapa daerah pertanian tidak lepas dari kegiatan usaha. 3. Ukuran Komunitas, Komunitas perdesaan biasanya lebih kecil dari komunitas perkotaan. 4. Kepadatan Penduduk, Penduduk desa kepadatannya lebih rendah bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk kota, kepadatan penduduk suatu komunitas kenaikannya berhubungan dengan klasifikasi dari kota itu sendiri. 5. Homogenitas dan Heterogenitas, Homogenitas atau persamaan ciri-ciri sosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat, dan perilaku nampak pada masyarakat perdesaan bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Di kota sebaliknya penduduknya heterogen, terdiri 38 dari orang-orang dengan macam-macam perilaku, dan juga bahasa, penduduk di kota lebih heterogen. 6. Diferensiasi Sosial, Keadaan heterogen dari penduduk kota berindikasi pentingnya derajat yang tinggi di dalam diferensiasi Sosial. 7. Pelapisan Sosial, Kelas sosial di dalam masyarakat sering nampak dalam bentuk “piramida terbalik” yaitu kelas-kelas yang tinggi berada pada posisi atas piramida, kelas menengah ada diantara kedua tingkat kelas ekstrim dari masyarakat. Masyarakat pedesaan dan perkotaan memiliki kesamaan yaitu, sama-sama mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara, adil dimata hukum, sama rata tidak ada diskriminasi (perbedaan perlakuan secara tidak adil), samasama wajib membela dan mempertahankan negara, sama-sama wajib bahumembahu dalam membuat Indonesia menjadi lebih makmur. Dalam hal keburukan suatu komunitas, kota menempati urutan pertama dalam tingkat kesadaran masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakatnya yang beragam dan kondisi sosial dari lingkungan kota itu sendiri, dengan berbagai pengaruh yang berasal dari berbagai sumber serta bidang yang menyertainya. Sisi negative dari kota dapat dilihat dari kebersamaan masyarakatnya yang kurang dan biasanya akan tercipta kelompok-kelompok tertentu yang memiliki perbedaan pandangan, kepedulian yang makin berkurang diantara sesama juga merupakan salah satu hal yang seharusnya perlu dihindari. Hal-hal tersebutlah yang biasanya akan menyebabkan pertikaian diantara kelompok tertentu dengan mengrsampingkan norma- 39 norma yang ada. Sedangkan di pedesaan hal negative yang dapat terlihat adalah masyarakat desa yang kurang dalam mendapat informasi aktual dan disusul dengan keterlambatan mereka dalam menerima informasi karena kondisi wilayah atau geografis desa mereka, serta pemahaman mereka mengenai hal baru yang ada di dunia. Pada kenyataannya tidak semua masyarakat membentuk sebuah harmonisasi. Pada kondisi-kondisi tertentu hubungan antara masyarakat diwarnai berbagai persamaan. Namun sering juga didapati perbedaan-perbedaan, bahkan pertentangan dalam masyarakat. Hal-hal seperti itulah yang menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah Pertentangan sosial dan integritas masyarakat. Ada pun di bawah ini yang merupakan bagian dari faktor penyebab konflik : 1. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. 2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadipribadi yang berbeda. 3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. 4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarak D. Kerangka Pemikiran Sebagaimana yang telah dibahas pada bagian awal, banyak wilayah di Kabupaten Tanggamus yang memiliki potensi konflik sosial. Menariknyaa, potensi konflik sosial yang ada ditiap wilayah tersebut, memiliki ciri yang 40 khas. Gambaran ini menujukkan bahwa Kabupaten Tanggamus memiliki potensi konflik yang cukup mengkhawatirkan bila tidak dilakukan serangkaian upaya pencegahan konflik. Wilayah rural (pedesaan) dan urban (perkotaan), dengan segala karakteristiknya, juga harus mampu dipetakan dengan baik sebagai upaya deteksi dini konflik, sebagaimana yang telah dikemukakan (Rudito & Famiola, 2008). Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Husman (1985) tentang tahapan konflik, latent conflict (konflik laten), perceived conflict (konflik yang dirasakan), felt conflict (merasa konflik), manifest conflict (konflik manifest), dan conflict aftermath (setelah konflik). Nantiya dengan teori tersebut akan coba digambarkan potensi konflik sosial yang mengacu pada kategori wilayah rural dan urban di Kabupaten Tanggamus. Gambar 3. Kerangka Pemikiran Potensi Konflik Sosial Rural latent conflict, perceived conflict, felt conflict, manifest conflict, dan conflict aftermath Kajian Komparatif Urban