social mapping

advertisement
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Pemetaan Sosial
Pemetaan sosial (social mapping) kini lazim digunakan sebagai satu
pendekatan dalam penanganan masalah sosial. Bila ditelusuri secara harfiah,
kata “pemetaan” merujuk pada proses, cara, perbuatan membuat peta,
sedangkan kata “sosial” secara sederhana dimaknai berkenaan dengan
masyarakat. Adapun secara terminologis, (Suharto, 2005) memberikan
penjelasan bahwa pemetaan sosial merupakan proses penggambaran
masyarakat yang sistemik serta melibatkan pengumpulan data dan informasi
mengenai masyakat termasuk di dalamnya profile (riwayat) dan masalah
sosial yang ada pada masyarakat tersebut.
Jauh sebelum itu, Netting, Kettner dan McMurty ditahun 1993 telah
memberikan
gambaran
ringkas
tentang
pemetaan
sosial.
Mereka
mendeksripsikan atau menjelaskan pemetaan sosial sebagai social profiling
atau pembuatan profil suatu masyarakat (Suharto, 2005:82). Salah satu wujud
atau hasil akhir pemetaan sosial lazimnya berupa suatu peta wilayah yang
sudah diformat atau dirancang sesuai dengan fungsionalitasnya mencitrakan
suatu image (gambaran) masalah sosial di tengah masyarakat. Bila mengacu
12
pada pandangan Netting, Kettner dan McMurty, ada tiga alasan mengapa
diperlukan pendekatan yang sistematik dalam melakukan pemetaan sosial
(Suharto, 2005:82), diantaranya yakni:
1. Pandangan mengenai “manusia dalam lingkungannya” (the person inenvironment). Untuk konteks ini, masyarakat dimaknai sebagai seseorang
yang memiliki sosok tertentu, mencakup beragam masalah yang dihadapi,
hingga menerakan sumber-sumber apa saja yang tersedia untuk
menangani masalah tersebut. Pengembangan masyarakat tidak akan
berjalan baik tanpa pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh masyarakat
tersebut.
2. Pengembangan masyarakat memerlukan pemahaman mengenai sejarah
dan perkembangan suatu masyarakat serta analisis mengenai status
masyarakat ini.
3. Masyarakat secara konstan berubah. Individu-individu dan kelompokkelompok bergerak ke dalam perubahan kekuasaan, struktur ekonomi,
sumber pendanaan dan peranan penduduk. Pemetaan sosial dapat
membantu dalam memahami dan menginterpretasikan atau menafsirkan
perubahan-perubahan tersebut.
B. Tinjauan tentang Konflik Sosial
1. Pengertian Konflik Sosial
Secara umum, konflik merupakan gejala sosial yang selalu hadir dalam
kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren, artinya konflik akan
senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu. Dalam kacamata sosial,
13
masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi
(proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam
kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat
yang memilki keserasian) yang senantiasa berlangsung. Oleh karenanya,
konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap
kehidupan sosial.
Kata “konflik” lazim dimaknai sebagai perselisihan atau pertentangan.
Namun bila ditelusuri secara etimologis istilah “konflik” berasal dari bahasa
Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau
tabrakan. Dengan demikian, konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan
kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan
dua pihal atau lebih (Setiadi dan Kolip, 2011).
Secara terminologis, (Jones, 2008) menekankan bahwa konflik merupakan
perselisihan antara dua pihak atau lebih yang saling terkait dalam usaha
mereka memperoleh tujuan. Lebih lanjut, (Jones, 2008) juga mengemukakan
bahwa konflik merupakan fenomena sosial yang menyangkut perselisihan
antara pihak. Pihak yang terlibat dalam konflik dapat berupa skala individu,
kelompok, organisasi, negara, atau bangsa. Semakin banyak pihak yang
terlibat konflik, semakin sulit untuk mengelola proses konflik. Hal tersebut
akan berimplikasi (terlibat) untuk dihasilkannya sebuah keputusan atau
penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak.
Beberapa definisi di atas telah memberikan gambaran bahwa konflik dapat
dimaknai sebagai suatu sikap tidak sependapat, sebagai tindakan kompetisi
14
(saling berhadapan), atau sebagai hadirnya kepentingan-kepentingan yang
saling tidak selaras. Uraian yang penting dari penggambaran konflik tersebut
yakni didasarkan pada interaksi. Konflik diwujudkan dan dipelihara oleh
perilaku masing-masing pihak yang terlibat dan reaksi di antara mereka.
Pertama, di dalam perilaku konflik masing-masing pihak merasa bahwa
tujuan atau kepentingannya tidak saling berkesesuaian dan sama-sama
menganggap pihak lain sebagai sumber penghambat di dalam mencapai
tujuannya itu. Kata kuncinya adalah “anggapan” yang bersifat subjektif, yang
mengarah pada unsur “merasakan (perceive)”. Tanpa memperhatikan apakah
tujuan-tujuannya itu secara nyata tidak berkesesuaian, jika masing-masing
pihak mempercayai bahwa hubungan di antara mereka dalam mencapai
tujuan masing-masing menjadi tidak sesuai, maka kondisi tersebut sudah
mengarah pada konflik. Jadi, interpretasi (penafsiran) dan kepercayaan
masing-masing pihak memainkan peranan kunci di dalam konflik. Kedua,
interaksi di dalam situasi konflik diwarnai oleh “saling ketergantungan
(interdependence)” di antara masing-masing pihak. Untuk memunculkan
konflik, perilaku salah satu pihak atau kedua belah pihak harus memiliki
konsekuensi terhadap pihak yang lainnya.
2. Akar Penyebab Konflik
Menelaah perihal penyebab terjadinya konflik tidaklah mudah. Namun
demikian, para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu
adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas
sumber-sumber kepemilikan, status sosial, dan kekuasaan (power) yang
15
jumlah ketersediaannya sangat terbatas dengan pembagian tidak merata di
masyarakat (Setiadi dan Kolip, 2011). Ketidakmerataan pembagian aset-aset
sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai bentuk ketimpangan.
Ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak tertentu berjuang
untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi yang perolehan aset
sosialnya relatif sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan
pembagian aset sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan dan bisa juga
menambahnya. Pihak yang cenderung mempertahankan atau menambah
disebut sebagai status quo (tetap) dan pihak yang berusaha mendapatkannya
disebut sebagai status need (perlu) Berdasarkan gambaran tersebut, penyebab
konflik dapat disederhanakan menjadi dua aspek, yaitu:
1. Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang
majemuk secara kultural, seperti suku bangsam agama, ras, dan majemuk
secara sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi. Kemajemukan
horizontal-kultural menimbukan konflik yang masing-masing unsur
kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing
penghayat
budaya
tersebut
ingin
mempertahankan
karakteristik
budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika
belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang
terjadi dapat menimbulkan perang saudara dan gerakan separatisme
(paham atau gerakan untuk memisahkan diri). Jika situasi ini terjadi,
maka masyarakat tersebut akan mengalami disintegrasi (perpecahan).
2. Kemajemukan
vertikal,
terpolarisasi/kepentingan
yang
artinya
berdasarkan
struktur
kekayaan,
masyarakat
pendidikan,
yang
dan
16
kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial
karena ada sekelompok kecil masyrakat yang memiliki kekayaan,
pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan.
Polarisasi masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya
konflik sosial. Singkat kata, distribusi (pembagian) sumber-sumber nilai
di dalam masyarakat yang pincang akan menjadi penyebab utama
timbulnya konflik.
Lebih lanjut, beberapa pakar lain berpendapat perihal akar penyebab konflik
secara lebih luas. Mereka berpendapat bahwa beberapa hal yang lebih
mempertegas akar dari timbulnya konflik diantaranya:
1. Perbedaan antar-individu; diantaranya perbedaan pendapat, tujuan,
keinginnan, pendirian tentang objek yang dipertentangkan.
2. Benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik.
3. Perubahan sosial, yang terjadi secara mendadak biasanya menimbulkan
kerawanan konflik.
4. Perbedaan kebudayaan yang mengakibatkan adanya perasaan in group
(di dalam kelompok) dan out group (di luar kelompok) yang biasanya
diikuti oleh sikap etnosentrisme kelompok, yaitu sikap yang
ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah paling
baik, ideal, beradab di antara kelompok lain.
Namun demikian, para pakar tersebut memandang bahwa empat gejala sosial
tersebut di atas bukanlah faktor penyebab utama terjadinya konflik sosial.
Empat faktor tersebut adalah faktor pemicu terjadinya konflik, sedangkan
pandangan penganut perspektif konsensus, penyebab utama (akar persoalan)
17
dari konflik sosial adalah disfungsi sosial. Disfungsi sosial disini bermakna
nilai dan norma sosial yang ada di dalam struktur sosial masyarakat tidak lagi
ditaati, pranata sosial (sistem tata kelakuan dalam hubungan yang berpusat
kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi berbagai kebutuhan khusus dalam
masyarakat) dan sistem pengendaliannya tidak berjalan sebagaimana
mestinya.
Pandangan lain dikemukakan oleh para penganut teori konflik dimana
penyebab utama konflik ialah adanya perbedaan atau ketimpangan hubungan
dalam masyarakat yang memunculkan diferensiasi (proses) kepentingan.
Menurut Turner ada beberapa faktor yang memicu terjadinya konflik sosial
(Setiadi dan Kolip, 2011:363), diantaranya yakni:
1. Ketidakmerataan distribusi (pembagian) sumber daya yang sangat
terbatas di dalam masyarakat.
2. Ditariknya kembali legitimasi (pengesahan) penguasa politik oleh
masyarakat kelas bawah.
3. Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara mewujudkan
kepentingan.
4. Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan masyarakat kelas
bawah serta lambatnya mobilitassosial ke atas.
5. Melemahnya kekuasaan negara yang disertai dengan mobilisasi
(perpindahan) masyarakat bawah oleh elite.
6. Kelompok
(perubahan).
masyarakat
kelas
bawah
menerima
ideologi
radikal
18
3. Tahapan Konflik
Ditinjau dari tahapan, konflik sosial secara sederhana dapat dibagi menjadi
dua, yaitu konflik latent dan menifest. Konflik latent sering dimaknai sebagai
konflik terpendam atau konflik potensial. Konflik pada tahap ini masih
berada di bawah permukaan, tetapi gejala-gejala permusuhan sudah tampak.
Sikap dan perilakunya mengekspresikan perasaan-perasaan yang bersifat
kontra produktif, seperti kesal, dengki, benci, tidak puas, tidak setuju, dan
sebagainya. Sedangkan konflik manifest sering disebut dengan konflik
terbuka, yang diekspresikan dalam perilaku nyata dalam bentuk protes,
perlawanan, penyerangan, penentangan, dan sejenisnya. Pada konflik terbuka
ini dilihat dari tindakan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkannya,
secara sederhana dapat dibagi dua, yaitu tanpa kekerasan dan dengan
kekerasan. Konflik tanpa kekerasan termasuk konflik terbuka yang tidak
menimbulkan kerugian dalam bentuk korban jiwa, harta benda, serta
mengganggu keamanan dan merusak tatanan sosial dalam masyarakat.
Sedangkan konflik kekerasan adalah yang menimbulkan kerugian semua itu.
Konflik sosial menurut UURI No.7 Tahun 2012 adalah yang termasuk
kategori konflik kekerasan.
Fisher et al. (2000) menjelaskan tentang tahapan konflik lebih rinci yang
diurutkan menjadi empat tahapan, yaitu:
1.
Prakonflik: tahap awal terjadinya konflik, adanya ketidaksesuaian
sasaran di antara pihak-pihak yang berkonflik, misalnya memunculkan
sikap tidak senang dan emosi.
19
2. Konfrontasi: konflik semakin terbuka disertai aksi-aksi kekerasan tingkat
rendah, misalnya menyusun kekuatan.
3. Krisis: aksi-aksi kekerasan meningkat menyerupai periode perang, misal
menyandera.
4. Akibat: aksi kekerasan menurun, ditandai oleh adanya negosiasi atau
usaha untuk mengentikan konflik, misal satu pihak mundur akibat
perlawanan yang tidak seimbang, tidak ada negosiasi.
Pascakonflik upaya pihak-pihak berkonflik untuk mengakhiri berbagai aksi
kekerasan. Jika tidak ada upaya penyelesaian dengan baik, maka akan
kembali pada tahap prakonflik. Gambar di bawah ini merupakan visualisasi
“Pohon Konflik “ Interaksi antara Faktor Struktural, manifest dan dinamis.
Gambar 1. Visualisasi “Pohon Konflik “ Interaksi antara
Faktor Struktural, manifest dan dinamis.
Sumber: Mason & Rychard, 2005
20
Pohon konflik adalah sarana visualisasi, menggambarkan interaksi antara
faktor-faktor struktural, manifest dan dinamis. Akar sebagai pondasi
melambangkan faktor struktural penyebab konflik yang terdiri dari; cultural
discrimination atau diskriminasi (perbedaan) budaya, weak states atau negara
yang lemah, elite politics atau pemegang kekuasaan politik dan group
histories atau sejarah kelompok masyarakat. Batang merupakan masalah
nyata, yang menghubungkan faktor struktural dengan faktor dinamis terdapat
land alienation (keterasingan lahan), dan refugee camp (tempat pengungsi).
Daun yang bergerak dengan angin tersebut, merupakan faktor dinamis, terdiri
dari; miscommunication atau salah paham, strike atau pemogokan, coups
d’etat atau kudeta (perebutan kekuasaan), religion (agama), fear (rasa takut).
Faktor dinamis meliputi bentuk komunikasi, tingkat eskalasi (kenaikan),
aspek hubungan dan lain-lain. Bekerja dengan faktor dinamis melibatkan
waktu yang singkat; reaksi terhadap intervensi (campur tangan) yang cepat
dan pada waktu yang tak terduga. Contoh: intervensi diplomatik, atau
transformasi (perubahan) multi-konflik berhadapan langsung dengan bentuk
interaksi antara pihak-pihak konflik.
Lebih lanjut, pakar lainnya mengemukakan terdapat lima tahapan konflik
yang dapat disajikan secara berurutan, yaitu: latent conflict, perceived
conflict, felt conflict, manifest conflict, dan conflict aftermath (Husman,
1985).
1. Latet conflict. Menggambarkan suatu situasi di mana di dalamnya
terdapat kondisi-kondisi persaingan di dalam memperoleh sumberdaya
21
langka, dorongan untuk mengelolanya sendiri, atau adanya perbedaan
dalam mencapai tujuan.
2. Perceived conflict. Terjadi di mana masing-masing pihak menganggap
adanya kondisi-kondisi konflik, dan di antara mereka juga tidak
memahami posisinya masing-masing secara benar.
3. Felt conflict. Ini menggambarkan suatu tahapan di mana anggota
kelompok yang berkonflik tidak hanya menyadari adanya kondisi
konflik, mereka juga mengalami ketegangan karena konflik itu. Dengan
kata lain, kondisi konflik tersebut telah mempengaruhi mereka.
1. Manifest conflict. Ini terjadi pada tahapan di mana keteganganketegangan yang sudah terjadi di antara mereka sudah disalurkan
(diungkapkan) melalui agresi secara terbuka atau melalui cara-cara
tersembunyi (covert means).
2. Conflict aftermath. Tahapan ini menunjukkan hasil setelah konflik. Pada
tahapan ini kondisi-kondisi konflik latent dapat menjadi konflik yang
lebih besar apabila tidak ditekan dan diselesaikan.
Peneliti lain mencoba menggambarkan lebih lanjut lima tahapan konflik
secara berurutan, yaitu: latent conflict, initiation, balancing of power,
balance of power, dan disruption. Latent conflict, terjadi di mana masingmasing pihak saling menjaga perbedaan disposisi atau sikap yang membawa
potensi konflik. Perbedaan nilai-nilai, tujuan, pandangan adalah hadir dan
sebagai dasar perilaku mendatang. Inisiation (inisiasi) terjadi ketika terdapat
“pemicu” konflik. Pada situasi ini perbedaan-perbedaan potensial menjadi
dasar terjadinya interaksi. Balancing power (kekuatan penyeimbang) terjadi
22
di mana masing-masing pihak saling menilai kapabilitas pihak lain dan
berkehendak untuk menggunakan kekuatan, ancaman, dan sebagainya, dan
mereka secara nyata mengkonfrontasikan isu ketika mereka sampai pada
penyelesaian. Balance of power (keseimbangan kekuasaan) terjadi ketika
masing-masing pihak sampai pada suatu pemahaman konsekuensi (pendirian)
dari resolusi (sesuatu yang hendak dicapai) dan belajar untuk menyesuaikan
diri dengan hasil yang dicapai. Disruption (gangguan) terjadi ketika masingmasing pihak menyadari bahwa keadaan seperti itu dapat memunculkan
konflik potensial dan pada akhirnya terjadi konfrontasi (permusuhan).
Kondisi ini mengalami siklus menjadi inisiation sampai akhirnya konflik
tersebut terselesaikan.
4. Penyelesaian dan Penanganan Pasca Konflik
John Galtung melihat konflik dari sisi subyektif dan obyektif yang dapat
dikelola melalui ketiga strategi yang saling berhubungan, yaitu peacekeeping, peace making, dan peace building (Ryan, 1990). Pada dasarnya
gagasan Galtung yang berhubungan dengan konflik ada tiga yaitu perbedaan
antara kekerasan langsung (pembunuhan), kekerasan struktural (kemiskinan
dan mati kelaparan), dan kekerasan budaya (apapun yang membutakan atau
yang membenarkan kekerasan). Kekerasan langsung dapat diselesaikan
dengan
perubahan
perilaku
politik,
kekerasan
struktural
dengan
memindahkan kontradiksi (pertentangan) struktural dan ketidakadilan, dan
kekerasan budaya dengan mengubah sikap.
Sedangkan pada pengelolaan konflik, para pakar mengajukan beberapa
alternatif, yaitu bertanding (contending), mengalah (yielding), pemecahan
23
masalah (problem solving), menarik diri (withdrawing), dan diam (inaction).
Hal ini juga dapat dilakukan dengan melalui intervensi (campur tangan)
pihak ketiga. Pendapat lain menyatakan bahwa pihak ketiga tersebut bisa
menyangkut fungsi, perilaku, struktur dan sumbangan yang diberikan.
Model penyelesaian konflik yang paling banyak dilakukan dimasyarakat
adalah berbentuk intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud
tersebut menyangkut fungsi, perilaku, struktur dan sumbangan yang
diberikan. Bercovitch mengajukan model kombinasi antara sumber konflik,
intensitas konflik dan keterlibatan pihak luar dalam menanganan konflik.
Terlibat atau tidaknya pihak luar dalam proses konflik ini diklasifikasikan
sebagai bentuk endogenous (variabel yang mempunyai anak panah menuju
kearah variabel tersebut) dan exogenous (semua variabel yang tidak ada
penyebab-penyebab eskplisitnya atau dalam diagram tidak ada anak panah
yang menuju kearahnya). Keduanya merupakan penyelesaian konflik baik
pada tingkat konflik terpendam maupun terbuka, dengan menggunakan caracara tersendiri sesuai dengan jenis keterlibatan dan intensitasnya. Di bawah
ini merupakan kerangka acuan resolusi konflik sosial.
Tabel 2.1 Kerangka Acuan Resolusi Konflik
Masalah Dituju
Strategi
Kelompok Sasaran
Penyelesaian
Armed groups
Perilaku Kekerasan
Peace-keeping
(‘warriors’)
(aktivitas militer)
(kelompok
bersenjata)
24
Kepentingan dirasa
Peace-making
tidak berkesesuaian
(aktivitas politik)
Sikap negatif dan
Peace-building
struktur sosio-
(aktivitas sosio-
ekonomi
ekonomi)
Para pengambil
keputusan
(pemimpin)
Warga masyarakat
biasa (‘pengikut’)
Sumber: Ryan, 1990.
Di dalam kondisinya yang berkelanjutan itu ada tiga mekanisme pengelolaan
konflik, yaitu model kultural, tradisional dan rasional. Semakin terbuka
wujud konflik maka semakin mengarah pada model pengelolaan rasional.
Pengelolaan konflik model kultural dilakukan untuk mencegah munculnya
konflik terpendam agar tidak muncul ke permukaan. Mekanisme (cara kerja)
pengelolaan konflik model tradisional agar tidak berkelanjutan, dilakukan
dengan melalui kelembagaan lokal (atau lembaga adat) setempat.
Mekanismenya dilakukan dalam bentuk upacara, mendamaikan pihak-pihak
yang berkonflik, musyawarah kekeluargaan atau melalui pengadilan adat
setempat. Kelemahan utama model ini adalah cenderung tidak dapat
mengakomodasikan (memenuhi kebutuhan) masalah yang timbul sebagai
akses dari kehidupan moderen yang majemuk, dan secara resmi tidak
mempunyai kekuatan hukum atau dianggap bertentangan dengan hukum
resmi. Pada model rasional, penyelesaian konflik yang dilakukan oleh negara
melalui jalur lembaga peradilan atau lewat jalur lain yang memiliki kekuatan
hukum tetap. Selain itu, negara yang mempunyai kekuatan memaksa yang
memang dibentuk untuk tujuan penjagaan keamanan negara. Ada dua
25
kemungkinan menggunakan model ini, yaitu atas kesadaran rakyat sendiri
yang berkonflik atau atas keputusan pemerintah setempat.
Pendekatan sensitif konflik melibatkan pemahaman yang baik dari interaksi
dua arah antara kegiatan dan konteks serta bertindak untuk meminimalkan
dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif dari intervensi (campur
tangan) konflik, dalam memberikan prioritas organisasi. Ada tiga komponen
utama sensitivitas konflik:
1. Konflik, untuk memastikan pemahaman yang baik tentang konteks
konflik;
2. Analisis interaksi potensial antara program dan konflik;
3. Aksi untuk memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak
negatif terhadap konflik.
Pendekatan tersebut dirangkum dalam gambar di bawah ini.
Gambar 2. Operasionalisasi Sensitivitas Konflik
Sumber: Conflict Sensitivity Consortium, n.d.
26
Konflik Sensitivitas Konsorsium bertujuan untuk memahami apa artinya
"sensitivitas konflik" dalam hal sistem organisasi serta desain, implementasi
(pelaksanaan), monitoring (pengawasan) dan evaluasi (penilaian) intervensi
tertentu. Konsorsium terdiri dari beragam lembaga dan bertujuan untuk
berbagi temuannya dalam hal kemanusiaan, sektor pembangunan perdamaian
dan pembangunan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan
menerapkan pendekatan sensitif konflik.
Pengelolaan hubungan antar kelompok berarti menangani sebab-sebab
terjadinya konflik dan berusaha membangun hubungan yang bisa bertahan
lama di antara beberapa pihak-pihak yang berkonflik (Fisher, dkk, 2001).
Pengelolaan ini penting dilakukan terutama apabila telah terjadi konflik
terbuka, dan disini diperlukan upaya perdamaian. Meningkatkan kedamaian
melalui
pengelolaan
konflik
merupakan
suatu
proses
penyesuaian
multidimensional, karena dimensi konflik tersebut bersifat cair. Artinya,
konflik secara inheren bersifat dinamis dan oleh karena itu penyelesaiannya
harus terlibat dengan pergeseran berbagai faktor yang kompleks tersebut.
Memang diakui, bahwa peningkatan kualitas hubungan antar kelompok pada
titik tertentu bisa terjadi peleburan identitas kelompok, dan pada sisi lain
menjaga keberagaman eksistensi kelompok dipandang sebagai bagian dari
kehidupan bermasyarakat yang hakiki, harus dipelihara keberadaanya dan
diperkuat secara berkelanjutan. Pada sisi lain, dengan memelihara dan
memperkuat identitas kelompok masing-masing pada titik tertentu dapat
menjadikan konflik potensial berkembang menjadi konflik terbuka.
27
Upaya menyelesaikan konflik antar kelompok banyak yang dilakukan dengan
menggunakan
mekanisme
(cara
kerja)
tradisional.
Memperhatikan
pentingnya faktor sosio-kultural, proses penyelesaian konflik dengan bantuan
pihak ketiga dilakukan dengan menggunakan cara mediasi. Mekanisme
penyelesaian secara tradisional cukup beragam karena lebih bersifat
kasuistik. Cara ini termasuk dalam pendekatan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (Alternative Dispute Resolution) yang lazim disingkat dengan
ADR.
Pentingnya pendekatan ini karena, pertama, sebagai mekanisme
penyelesaian yang lebih mudah menyesuaikan diri dan responsif (cepat
menanggapi) bagi kebutuhan masing-masing pihak berkonflik. Kedua,
memperhatikan partisipasi aktif para anggota kelompok yang berkonflik.
Ketiga, memperluas akses yang setara untuk mencapai hasil penyelesaian
konflik yang berkeadilan. Keempat,dilihat dari beberapa kasus menunjukkan
bahwa pendekatan tradisional ini bersifat kasuistik dengan menghasilkan
beberapa alternatif penyelesaian yang tidak sama. Artinya, setiap konflik
secara spesifik memiliki ciri-ciri tersendiri dan ketika tidak sesuai
menggunakan alternatif penyelesaian yang satu, maka terbuka kemungkinan
digunakan alternatif penyelesaian lain yang sesuai, sehingga para pihak dapat
memilih mekanisme penyelesaian yang terbaik.
Penyelesaian konflik antar kelompok melalui cara mediasi, di dalamnya tidak
mengabaikan proses negosiasi. Pada prinsipnya cara mediasi adalah negosiasi
yang melibatkan pihak ketiga sebagai penegah (mediator). Tanpa negosiasi
maka tidak akan ada mediasi, karena mediasi merupakan perluasan dari
proses negosiasi sebagai mekanisme penyelesaian konflik melalui mediator.
28
Di dalam mediasi yang berperan aktif adalah mediator, yang bersifat netral
dan tidak memihak (imparsial) serta dapat menolong masing-masing pihak
berkonflik untuk melakukan tawar-menawar secara seimbang, dalam forum
musyawarah (perundingan) untuk mencapai suatu kesepakatan damai.
Jadi, peran mediator adalah terbatas memberikan bantuan substantif dan
prosedural kepada pihak-pihak berkonflik untuk menyelesaikan masalahnya.
Kelemahannya adalah mediator terbatas hanya memberi saran, tidak memiliki
kewenangan
untuk
memutus
atau
menerapkan
suatu
kesepakatan
penyelesaian damai. Pihak-pihak berkonfliklah yang sebenarnya mempunyai
otoritas dalam membuat keputusan berdasarkan consensus (kesepakataan)
bersama.
Proses perundingan melalui mediasi dikatakan ideal manakala memenuhi tiga
kepuasan, yaitu : kepuasan substantif, prosedural dan psikologis. Kepuasan
substantif berhubungan dengan kepuasan khusus dari para pihak yang
berkonflik. Misalnya, terwujudnya penggantin kerugian ataupun karena
jalannya perundingan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif tepat dan
singkat. Kepuasan prosedural terjadi apabila para pihak mendapatkan
kesempatan
yang
sama
dalam
menyampaikan
gagasannya
selama
berlangsungnya perundingan atau karena adanya kesepakatan yang
diwujudkan ke dalam perjanjian tertulis untuk dilaksanakan. Sedangkan
kepuasan psikologis menyangkut tingkat emosi para pihak berkonflik yang
terkendali, saling menghargai, penuh keterbukaan serta dilakukan dengan
sikap positif dalam memelihara hubungan pada masa-masa mendatang.
29
Mediasi mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan jalur pengadilan.
Kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala
administratif yang melingkupinya, membuatnya sebagai pilihan terakhir.
Mediasi perasaan persamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir
yang dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan.
Solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Sumarjono,
Ismail, & Isharyanto (2008) mengungkapkan upaya untuk mencapai win-win
solution itu ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Proses pendekatan obyektif
terhadap sumber sengketa lebih dapat
diterima dan memberikan hasil yang saling menguntungkan, jika
menitikberatkan pada kepentingan sumber konflik, bukan pada posisi
para pihak.
2. Kemampuan yang seimbang dalam negosiasi atau musyawarah.
Perbedaan kemampuan tawar-menawar akan menyebabkan adanya
penekanan oleh pihak satu terhadap pihak yang lainnya.
Ada berbagai keuntungan lain menggunakan mediasi. Beberapa diantaranya
adalah :
1. Ada dua azas penting. Pertama, menghindari menang “kalah” (win-lose),
melainkan “sama-sama menang” (win-win solution). Ini tidak saja dalam
arti ekonomi atau keuangan, melainkan juga kemenangan moril, reputasi
(nama baik dan kepercayaan). Kedua, putusan tidak mengutamakan
pertimbangan dan alasan hukum, melainkan atas dasar kesejajaran
kepatutan dan rasa keadilan;
30
2. Mempersingkat waktu penyelesaian dari pada melalui pengadilan.
Lamanya waktu penyelesaian dalam berperkara selain menyebabkan
beban ekonomi keuangan dan beban psikologis yang mempengaruhi
berbagai sikap dan kegiatan pihak yang berperkara.
3. Berperkara menimbulkan efek sosial yaitu putusnya persaudaraan atau
hubungan sosial. Ini dapat meluas sampai kepada hubungan kekerabatan.
Hal ini dapat terjadi karena suatu perkara bukan saja menjadi kepentingan
dan “harga diri” yang dapat merambat pada kerabat. Suatu perkara bukan
hanya melukai pihak-pihak melainkan juga kerabat. Mediasi dapat
menghindarkan semua itu, dan hubungan yang retak dapat direkatkan
kembali;
4. Sangat sesuai dengan dasar pergaulan sosial masyarakat Indonesia yang
mengutamakan dasar kekerabatan, paguyuban, kekeluargaan dan gotongroyong. Dasar-dasar tersebut telah membentuk tingkah laku toleransi,
mudah
memaafkan,
dan
mengedepankan
sikap
mendahulukan
kepentingan bersama. Merupakan instrumen yang baik menyelesaikan
sengketa untuk menjaga dasar-dasar kekerabatan, paguyuban atau
kekeluargaan;
5. Merupakan gejala global. Menyadari peliknya berperkara, maka mediasi
sebagai alternatif cara penyelesaian sengketa telah berkembang secara
global. Baik sebagai keluarga bangsa-bangsa maupun sebagai bagian dari
tata cara hubungan hukum secara internasional, merupakan cara yang
tepat menyelesaikan sengketa;
31
6. Dari sudut penyelenggaraan peradilan ada beberapa keuntungan mediasi.
Pertama, makin banyak sengketa diselesaikan, mengurangi jumlah
perkara yang masuk ke pengadilan. Kedua, pada tingkat kepercayaan
sosial yang rendah terhadap hakim, mediasi merupakan salah satu alat
penangkal, karena penyelesaiannya ditentukan oleh pihak-pihak. Ketiga,
secara bertahap berperkara di pengadilan dapat lebih diarahkan pada
persoalan-persoalan hukum (bukan nilai perkara) yang kompleks dan
mendasar yang akan mempengaruhi perkembangan hukum.
Meskipun demikian, mediasi yang berpangkal pada cooperative paradigm
(paradigma koperatif) atau kepentigan masyarakat dan kepentingan negara
juga mengandung kelemahan. Pertama, kemungkinan terjadinya kolusi
(perbuatan tidank jujur) di antara salah satu pihak yang bersengketa karena
sifat mediasi yang voluntary (sukarela) dan bukannya mandatory (perintah).
Kedua, terhadap kesepakatan yang dicapai mungkin tidak dapat dilaksanakan
sebab
tidak
adanya
kekuatan.
Ketiga,
kesepakatan
mediasi
bisa
disalahgunakan.
Upaya mediasi memang lebih dekat dengan ruang kehidupan masyarakat
tradisional dan didukung nilai-nilai budaya setampat. Hanya saja,
penyelesaian sengketa melalui musyawarah lebih ditekankan untuk menjaga
keharmonisan kehidupan kelompok dan kadang-kadang dapat mengabaikan
kepentingan pihak-pihak yang bersengketa. Pada kasus tertentu, mediasi
merupakan cara penyelesaian yang dipandang lebih efektif.
32
5. Konflik Sosial dan Masyarakat Multikultural
Sebagaimana dikemukakan dalam paparan pada subbab sebelumnya, konflik
sering diasumsikan sebagai bentuk keadaan yang negatif seperti, perselisihan,
disintegrasi
(perpecahan)
penyimpangan,
destruktif
(merusak),
dan
sebagainya. Pada aspek ini konflik sering pula identik dengan kekerasan atau
peperangan yang berdarah-darah. Pernyataan tersebut mendapat respon
skeptis (ragu-ragu) seperti yang diungkapkan (Suharto, 2005), “padahal
konflik merupakan keniscayaan dalam masyarakat sejalan dengan proses
pemenuhan kebutuhan komunitas dan perubahan sosial” (Suharto, 2005: 222)
juga menambahkan bahwa konflik selalu terjadi dalam setiap komunitas
karena perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan keterbatasan sumber daya
senantiasa
dijumpai
dalam
masyarakat,
terlebih
dalam
masyarakat
multikultural yaitu masyarakat yang terdiri dari banyak kebudayaan.
Pakar lainnya juga menegaskan bahwa konflik berfungsi sebagai penyatuan
masyarakat dan sebagai sumber perubahan. Selain itu, konflik juga berfungsi
menghilangkan unsur-unsur pegganggu dalam hubungan. Dalam hal ini,
konflik berfungsi sebagai penyelesaian ketegangan antara unsur-unsur yang
bertentangan mempunyai kedudukan penstabil dan menjadi komponan
pemersatu hubungan.
Pembahasan pada beberapa konsepsi di atas, memberikan gambaran bahwa
potensi konflik akan selalu ada di tengah masyarakat, tidak hanya pada
komunitas yang multikultur. Dalam hal ini diperlukan upaya untuk mengenali
potensi konflik yang ada di tengah masyarakat tersebut. Konsepsi yang lazim
gunakan dalam mengenali situasi tersebut biasa dinyatakan sebagai upaya
33
deteksi dini. Deteksi dini konflik merujuk pada penemuan dan pengenalan
gejala dan sumber-sumber yang dianggap berpotensi memunculkan
perbedaan pemahaman yang dapat berakibat munculnya konflik atau
kemungkinan munculnya konflik lanjutan (Rudito & Famiola, 2008). Dalam
pendeteksian dini, sangat diperlukan pengetahuan tentang hubungan sosial
antar-kelompok atau golongan sosial yang terjadi. Didalamnya terkandung
juga pengetahuan tentang anggapan dan prasangka yang ada dalam satu
kelompok atau golongan sosial terhadap kelompok atau golongan lainnya.
C. Tinjauan tentang Masyarakat Rural dan Urban
Pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia yaitu, Menurut Selo
Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan
menghasilkan kebudayaan. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu
struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan
akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara
ekonomi. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suatu kenyataan
objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya. Menurut Paul B.
Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif
mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu
wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian
besar kegiatan di dalam kelompok/kumpulan manusia tersebut. Maka dapat
disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk
sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar
34
interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok
tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok
orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka),
dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada
dalam kelompok tersebut.
Desa adalah bentuk pemerintahan terkecil yang ada di negeri ini. Luas
wilayah desa biasanya tidak terlalu luas dan dihuni oleh sejumlah keluarga.
Mayoritas penduduknya bekerja di bidang agraris dan tingkat pendidikannya
cenderung rendah. Karena jumlah penduduknya tidak begitu banyak, maka
biasanya hubungan kekerabatan antarmasyarakatnya terjalin kuat. Para
masyarakatnya juga masih percaya dan memegang teguh adat dan tradisi
yang ditinggalkan para leluhur mereka. Menurut UU No. 5 Tahun 1979 desa
adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai
kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat dan hukum
yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat
dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagian besar warga masyarakat pedesaan memiliki mata pencaharian
sebagai petani. Pekerjaan-pekerjaan yang di luar pertanian merupakan
pekerjaan sambilan yang biasa mengisi waktu luang. Masyarakat pedesaan di
Indonesia bersifat homogen (sejenis), seperti dalam hal mata pencaharian,
agama, adat istiadat, dan sebagainya. Selain itu, kehidupan masyarakat
pedesaan di Indonesia identik dengan dengan istilah gotong-royong yang
merupakan kerja sama untuk mencapai kepentingan-kepentingan mereka.
35
Kerja bakti itu ada dua macam, yaitu kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan
yang timbul dari inisiatif warga masyarakat itu sendiri, dan kerja sama untuk
pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya tidak dari inisiatif warga itu sendiri.
Secara umum kota adalah tempat bermukimnya warga kota, tempat bekerja,
tempat kegiatan dalam bidang ekonomi, pemerintah dan lain-lain. Dengan
kata lain, Kota adalah suatu ciptaan peradaban budaya umat manusia. Kota
sebagai hasil dari peradaban yang lahir dari pedesaan, tetapi kota berbeda
dengan pedesaan, karena masyarakat kota merupakan suatu kelompok
teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup
sepenuhnya, dan juga merupakan suatu kelompok terorganisasi yang tinggal
secara kompak di wilayah tertentu dan memiliki derajat interkomuniti yang
tinggi.
Dilihat dari kenyataan yang tampak pada saat ini dalam sudut pandang
geografi, kota merupakan suatu daerah yang memiliki wilayah batas
administrasi dan bentang lahan luas, penduduk relatif banyak, adanya
heterogenitas penduduk, sektor agraris sedikit atau bahkan tidak ada, dan
adanya suatu sistem pemerintahan.
Secara sosiologis penekanannya pada pola hubungan serta kesatuan
masyarakat industri, bisnis, dan wirausaha lainnya dalam struktur yang lebih
kompleks. Sedangkan secara fisik, kota dinampakkan dengan adanya
gedung-gedung yang menjulang tinggi, hiruk pikuknya kendaraan, pabrik,
kemacetan, kesibukan warga masyarakatnya, persaingan yang tinggi,
polusinya, dan sebagainya. Masyarakat di perkotaan secara sosial
36
kehidupannya cendrung heterogen, individual, persaingan yang tinggi yang
sering kali menimbulkan pertentangan atau konflik. Munculnya sebuah
asumsi yang menyatakan bahwa masyarakat kota itu pintar, tidak mudah
tertipu, cekatan dalam berpikir, dan bertindak, dan mudah menerima
perubahan, itu tidak selamanya benar, karena secara implisit dibalik semua
itu masih ada masyarakatnya yang hidup di bawah standar kehidupan sosial.
Karakteristik masyarakat desa pada umumnya kehidupannya tergantung pada
alam, ini disebabkan oleh lokasi geografis pedesaan dan anggotanya
saling mengenal, sifat gotong royong erat, penduduknya sedikit perbeda
an penghayatan dalam kehidupan religi lebih kuat. Karakteristik masyarakat
perkotaan yaiitu hubungan suasana yang saling memepengaruhi, keprcayaan
yang kuat akan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai sarana
masyarakatnya untuk meningkatkan kesejahteraan dalam kehidupan,
masyarakatnya tergolong ke dalam macam-macam profesi
yang dapat
dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan
kejuruan Tingkat pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata,
hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks.
Menurut Max Weber mengenai “kota”, para ahli kemasyarakatan telah
menekankan perbedaan-perbedaan antara masyarakat kota dan desa
(Weber,1977). Pandangan yang berlaku dahulu bahwa kota adalah
“modernt”, bahwa wilayah perkotaan merupakan pusat-pusat perubahan
sosial, sedangkan masyarakat selalu terbelakang dan “tradisional”, tidak lagi
berlaku. Begitu banyak telah memperlihatkan bukti empiris, bahwa istilah
37
tradisional atau modernt tidak harus sejalan berbarengan dengan wilayah
pedesaan atau perkotaan. Sebuah kota merupakan suatu system kapitalis
dunia, sedangkan wilayah pedesaan tetap terikat pada ekonomi subsistem
prakapitalis, tetap diragukan. (Hans-Dieter Evers, 1979). Perbedaan
masyarakat pedesaan (rural) da masyarakat perkotaan (urban) yaitu:
1. Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap Alam, Masyarakat perdesaan
berhubungan kuat dengan alam, karena lokasi geografisnya di daerah
desa. Penduduk yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh
kepercayaan dan hukum alam. Berbeda dengan penduduk yang tinggal di
kota yang kehidupannya “bebas” dari realitas alam.
2. Pekerjaan atau Mata Pencaharian, Pada umumnya mata pencaharian di
dearah perdesaan adalah bertani tapi tak sedikit juga yang bermata
pencaharian berdagang, sebab beberapa daerah pertanian tidak lepas dari
kegiatan usaha.
3. Ukuran Komunitas, Komunitas perdesaan biasanya lebih kecil dari
komunitas perkotaan.
4. Kepadatan Penduduk, Penduduk desa kepadatannya lebih rendah bila
dibandingkan dengan kepadatan penduduk kota, kepadatan penduduk
suatu komunitas kenaikannya berhubungan dengan klasifikasi dari kota
itu sendiri.
5. Homogenitas dan Heterogenitas, Homogenitas atau persamaan ciri-ciri
sosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat, dan perilaku
nampak
pada
masyarakat
perdesaan
bila
dibandingkan
dengan
masyarakat perkotaan. Di kota sebaliknya penduduknya heterogen, terdiri
38
dari orang-orang dengan macam-macam perilaku, dan juga bahasa,
penduduk di kota lebih heterogen.
6. Diferensiasi Sosial, Keadaan heterogen dari penduduk kota berindikasi
pentingnya derajat yang tinggi di dalam diferensiasi Sosial.
7. Pelapisan Sosial, Kelas sosial di dalam masyarakat sering nampak dalam
bentuk “piramida terbalik” yaitu kelas-kelas yang tinggi berada pada
posisi atas piramida, kelas menengah ada diantara kedua tingkat kelas
ekstrim dari masyarakat.
Masyarakat pedesaan dan perkotaan memiliki kesamaan yaitu, sama-sama
mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara, adil dimata hukum, sama
rata tidak ada diskriminasi (perbedaan perlakuan secara tidak adil), samasama wajib membela dan mempertahankan negara, sama-sama wajib bahumembahu dalam membuat Indonesia menjadi lebih makmur.
Dalam hal keburukan suatu komunitas, kota menempati urutan pertama
dalam tingkat kesadaran masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakatnya
yang beragam dan kondisi sosial dari lingkungan kota itu sendiri, dengan
berbagai pengaruh yang berasal dari berbagai sumber serta bidang yang
menyertainya. Sisi negative dari kota dapat dilihat dari kebersamaan
masyarakatnya yang kurang dan biasanya akan tercipta kelompok-kelompok
tertentu yang memiliki perbedaan pandangan, kepedulian yang makin
berkurang diantara sesama juga merupakan salah satu hal yang seharusnya
perlu dihindari. Hal-hal tersebutlah yang biasanya akan menyebabkan
pertikaian diantara kelompok tertentu dengan mengrsampingkan norma-
39
norma yang ada. Sedangkan di pedesaan hal negative yang dapat terlihat
adalah masyarakat desa yang kurang dalam mendapat informasi aktual dan
disusul dengan keterlambatan mereka dalam menerima informasi karena
kondisi wilayah atau geografis desa mereka, serta pemahaman mereka
mengenai hal baru yang ada di dunia.
Pada kenyataannya tidak semua masyarakat membentuk sebuah harmonisasi.
Pada kondisi-kondisi tertentu hubungan antara masyarakat diwarnai berbagai
persamaan. Namun sering juga didapati perbedaan-perbedaan, bahkan
pertentangan dalam masyarakat. Hal-hal seperti itulah yang menimbulkan
perpecahan dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah Pertentangan
sosial dan integritas masyarakat. Ada pun di bawah ini yang merupakan
bagian dari faktor penyebab konflik :
1.
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
2.
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadipribadi yang berbeda.
3.
Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
4.
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarak
D. Kerangka Pemikiran
Sebagaimana yang telah dibahas pada bagian awal, banyak wilayah di
Kabupaten Tanggamus yang memiliki potensi konflik sosial. Menariknyaa,
potensi konflik sosial yang ada ditiap wilayah tersebut, memiliki ciri yang
40
khas. Gambaran ini menujukkan bahwa Kabupaten Tanggamus memiliki
potensi konflik yang cukup mengkhawatirkan bila tidak dilakukan
serangkaian upaya pencegahan konflik. Wilayah rural (pedesaan) dan urban
(perkotaan), dengan segala karakteristiknya, juga harus mampu dipetakan
dengan baik sebagai upaya deteksi dini konflik, sebagaimana yang telah
dikemukakan (Rudito & Famiola, 2008).
Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Husman
(1985) tentang tahapan konflik, latent conflict (konflik laten), perceived
conflict (konflik yang dirasakan), felt conflict (merasa konflik), manifest
conflict (konflik manifest), dan conflict aftermath (setelah konflik). Nantiya
dengan teori tersebut akan coba digambarkan potensi konflik sosial yang
mengacu pada kategori wilayah rural dan urban di Kabupaten Tanggamus.
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
Potensi Konflik Sosial
Rural
latent conflict, perceived
conflict, felt conflict,
manifest conflict, dan
conflict aftermath
Kajian Komparatif
Urban
Download