JURNAL BIOLOGI TROPIS ISSN: 1411-9587 Volume: 14 Nomor 1 Januari 2014 i JURNAL BIOLOGI TROPIS Volume: 14 Nomor 1 Januari 2014 Jurnal Biologi Tropis diterbitkan mulai tahun 2000 dengan frekuensi 2 kali setahun oleh Program Studi Pendidikan Biologi PMIPA FKIP Unram, berisi hasil penelitian dan ulasan ilmiah dalam bidang Biologi Sains. Pelinding: Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram Pimimpin Redaksi Dr. Drs. Abdul Syukur, M.Si (Ketua) Dr. Drs, Mahrus, M.Si (Anggota) Dr. Dra. Prapti Setijani, M.Sc (Anggota) Dewan Redaksi Prof. Dr. Drs. A Wahab Jufri, M.Sc. Drs. Lalu Zulkifli, M.Si, Ph.D Dr. Drs, Karnan. M.Si. Dr. Drs. Muhlis, M.Si. Dr. Drs. Agus Ramdani, M.Sc. Dr. Drs. Dadi Setiadi, M.Sc. Redaksi Ahli Prof. Ir Sunarpi, Ph.D (Unram) Prof. Dr. Drs. Agil Al Idrus, M.Si (Unram) Prof. Dr. Dra. Dwi Soelistya Dyah Jekti, M.Si (Unram) Dr. Drs. Syachruddin, AR. M.Si (Unram) Jurnal Biologi Tropis menerima naskah dari dosen, peneliti, mahasiswa maupun praktisi yang belum pernah diterbitkan dalam publikasi lain dengan ketentuan penulisan seperti tercantum pada halaman dalam sampul belakang. Tulisan yang dimuat dikenakan biaya sebesar Rp. 300.000. Pembayaran dapat dilakukan dengan cara: a. pembayaran langsung, b. wesel atau c. transfer ke Tahapan BCA nomor rekening 232 – 0150623 Bank BCA Ampenan. Salinan bukti pembayaran (b dan c) harap dikirim kekantor redaksi. Penerbit: Prog. Pendidikan Biologi PMIPA FKIP Universitas Mataram Jl. Majapahit No. 62 Mataram, Lombok NTB 83125 Tlp. (0370) 623873 pes 112 Fax. (0370)n634918. Dicetak oleh: Penerbit Arga Puji Press Mataram Lombok e-mail: [email protected] www.argapuji.com Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 ii ISSN: 1411-9587 DAFTAR ISI ARTIKEL Volume. 14 Nomor. 1 Januari 2014 ISSN 1411-9587 No Judul Artikel dan Penulis 1 KARAKTERISTIK HABITAT UNDUR-UNDUR LAUT (FAMILI HIPPIDAE) DI PANTAI BERPASIR, KABUPATEN CILACAP Yusli Wardiatno, I Wayan Nurjaya dan Ali Mashar 1-8 2 PENGARUH KONSENTRASI ASAM BENZOAT TERHADAP DAYA SIMPAN CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) Baiq Irma Widiartini, Lalu Zulkifli, dan Ahmad Raksun 9-16 3 SURVAI POPULASI LUMBA-LUMBA DI PERAIRAN PANTAI LOVINA, KABUPATEN BULELENG, PROVINSI BALI M. Mukhlis Kamal dan Yusli Wardiatno 17-27 4 KONSORSIUM MIKROALGA UNTUK PRODUKSI MINYAK BIODIESEL Suripto. Lalu Japa dan Erin Ryantin Gunawan 28-35 5 STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK KERANG POKEA (Batissa violacea var. celebensis, von MARTENS 1897) DI SUNGAI POHARA SULAWESI TENGGARA Bahtiar, Wa Nurgaya, La Anadi 36-44 6 SEJARAH PERKEMBANGAN MUTIARA Syachruddin AR. 45-51 7 PENGARUH MINYAK DAUN SELASIH (Ocimum spp.) DAN MINYAK KAYU MANIS (Cinnamomum spp.) BESERTA CAMPURANNYA TERHADAP TANGKAPAN LALAT BUAH UNTUK PENGEMBANGAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN Muslihatun, I Putu Artayasa, dan I Wayan Merta 52-61 8 APLIKASI PUPUK ORGANIK CAIR UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max L.) Ahmad Raksun 62-67 Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 Halaman iii ISSN: 1411-9587 9 KOMPOSISI SPESIES LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN PANTAI LABUHA KABUPATEN HALMAHERA SELATAN PROPINSI MALUKU UTARA Riyadi Subur Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 iv 68-74 ISSN: 1411-9587 Karakteristik Habitat Undur-undur ……………. KARAKTERISTIK HABITAT UNDUR-UNDUR LAUT (FAMILI HIPPIDAE) DI PANTAI BERPASIR, KABUPATEN CILACAP Yusli Wardiatno*1, I Wayan Nurjaya2 dan Ali Mashar1 1. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Gedung FPIK Lantai 3, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 2. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Gedung FPIK Lantai 3, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 *penulis untuk korespondensi: [email protected] ABSTRACT Mole crab is one of the crustaceans living in sandy intertidal area. The crab of Family Hippidae has both ecology and economy roles. In the southern coast of Jawa where sand is dominating the beach the crab can be easily found. In the coastal area the crab is economically important. The research was aimed to reveal the habitat characteristics of the mole crab in Sodong Coast and Bunton Coast, Adipala District, Cilacap Regency, Province Jawa Tengah. The research was conducted from Mey to September 2013 by collecting physical oceanography parameters, i.e. beach slope, beaking wave type, and type of substrate. The dean parameter and beach deposit index were calculated. The results showed that habitat characteristic of the mole crab are as follow: the beach slope ranged from 0.4 – 0.6, median of the substrate sedimen was 0.5 mm, and the type of beach was dissipative based on the dean parameter (the score 5) and the beach deposit index (3.4 – 5.2) with wide swash zone. Keyworsd: dissipative, Hippidae, habitat characteristics, mole crab sudah lama dan sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir di wilayah pesisir selatan Pulau Jawa tersebut, namun data dan informasi ilmiah undur-undur laut di wilayah tersebut belum tersedia. PENDAHULUAN U ndur-undur laut merupakan sumber daya krustasea yang hidup di pantai berpasir pada daerah intertidal(Mann 2000), dan umumnya menempati zona gelombang pecah (swash zone) (Ricketts et al. 1992).Undur-undur laut mempunyai tingkah laku mengubur diri (Mann 2000), diantaranya untuk menghindar dari serangan predator (Seilacher 2007) dan menyimpan energy (Mc Graw 2005 in Boere et al. 2011).Data dan informasi undur-undur laut dari pantai berpasir Indonesia belum banyak terekspos, namun sejak tahun 2012 mulai dilakukan eksplorasi informasi biologi undur-undur laut Indonesia, terutama wilayah pantai selatan Pulau Jawa secara intensif, seperti aspek pertumbuhan dan produktivitas sekunder (Mashar dan Wardiatno 2013a, 2013b; Wardiatno et al. 2013) . Hal tersebut dilakukan karena ternyata undur-undur laut Jurnal Biologi Tropis Vol. 14 N0. 1 Januari 2014 Dari sisi manfaat, undur-undur laut memiliki manfaat yang tidak bisa dianggap kecil.Secara ekologi, undur-undur laut diantaranya mempunyai peran sebagai konsumen tingkat pertama dalam rantai makanan di ekosistem intertidal.Selain itu, undur-undur laut juga dapat digunakan sebagai bioindikator perairan pantai berpasir karena kemampuannya untuk mengakumulasi logam berat, khususnya, merkuri, dan menyerap asam domoik (neurotoksin yang dihasilkan oleh diatom)(Wenner 1988; Pérez 1999; Mann 2000; Dugan et al. 2005). Secara ekonomi, khusus di Indonesia dan lebih khusus lagi di pantai selatan Jawa Tengah, banyak 1 ISSN: 1411-9587 Karakteristik Habitat Undur-undur ……………. masyarakat pesisir yang mengandalkan hidupnya dari undur-undur laut, baik sebagai nelayan undur-undur laut maupun pengolah dan penjual makanan berbasis undur-undur laut, seperti undur-undur laut krispi, peyek undur-undur laut, dan undur-undur laut goreng tepung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui atau menduga karakteristik habitat undur-undur laut famili Hippidae berdasarkan karakteristik habitat undur-undur laut di pantai berpasir Pantai Sodong dan Pantai Bunton Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, terlihat bahwa undur-undur laut memiliki peran yang cukup penting.Namun demikian, informasi tentang sebaran undur-undur laut di Indonesia belum lengkap dan baru teridentifikasi secara jelas di pantai selatan Jawa Tengah dan Yogyakarta.Penelusuran tentang sebaran undur-undur laut di wilayah pantai berpasir Indonesia lainnya menjadi penting agar peran dan manfaat undur-undur laut dapat dikelola agar tetap lestari. Salah satu informasi yang harus diketahui untuk mempermudah proses penelusuran keberadaan undur-undur laut di daerah lain adalah karakteristik habitat dari undur-undur laut. Oleh karena itu, kajian tentang karakteristik habitat undur-undur laut menjadi penting untuk dilakukan sebagai dasar untuk melakukan penelusuran habitat undur-undur laut di pantai-pantai berpasir di wilayah Indonesia lainnya. DESAIN DAN METODE PENELITIAN Lokasi Pengamatan Oseanografi Penelitian dilakukan di wilayah pantai berpasir Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap pada bulan Mei hingga September 2013. Untuk mendapatkan gambaran fisik lebih detil terkait dengan banyaknya ditemukan undur-undur laut, maka dilakukan beberapa pengukuran terhadap kemiringan pantai, swash zone, tinggi gelombang pecah, periode gelombang, dan butiran sedimen. Lokasi pengamatan aspek oseanografi pantai dilakukan di 3 (tiga) stasiun pengamatan, yaitu dua stasiun pengamatan di Pantai Sodong dan satu stasiun pengamatan di Pantai Bunton, keduanya termasuk dalam wilayah administrai Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah (Gambar 1). Gambar 1. Peta lokasi penelitian. Jurnal Biologi Tropis Vol. 14 N0. 1 Januari 2014 2 ISSN: 1411-9587 Karakteristik Habitat Undur-undur ……………. kearah lepas pantai, diujung tali ditancapkan tongkat berskala dengan posisi tegak lurus dengan tali, sehingga mendapatkan nilai h (Gambar 2). Pengamatan Aspek Oseanografi Fisik 1. Kemiringan Pantai Pengukuran kemiringan pantai dilakukan dengan cara menarik garis x=10m Gambar 2. Sketsa pengukuran kemiringan pantai. 3. Pengukuran lebar swash zone juga dilakukan di 3 lokasi yang berbeda. 2. Lebar Swash Zone Lebar Swash Zone diukur dari titik dimana posisi air laut terjauh naik ke pantai sampai ke posisi muka air dengan menggunakan meteran seperti pada Gambar Gambar 3. Garis berpanah adalah menandakan lebar swash zone. Jurnal Biologi Tropis Vol. 14 N0. 1 Januari 2014 3 ISSN: 1411-9587 Karakteristik Habitat Undur-undur ……………. 3. Tinggi Gelombang Pecah = sudut kemiringan pantai h = tinggi (m) x = panjang tali (m) Teknik mengukur gelombang pecah dapat dilakukan dengan berbagai cara, dua diantaranya adalah (i) mengukur tinggi gelombang pecah dengan tongkat berskala dan (ii) memprediksi gelombang pecah dengan tinggi dan periode gelombang signifikan. Cara pertama sulit dilakukan mengingat energi gelombang yang besar dan sangat berbahaya sehingga bisa dilihat secara visual dengan box meter. 2. Gelombang Pecah Berdasarkan formula Komar and Gaughan (1972), tinggi gelombang pecah dapat dihitung dengan: H b 0,39 g H s Ts 5 Dimana: g = percepatan gravitasi Hs = tinggi gelombang signifikan Ts = periode gelombang signifikan 4. Periode Gelombang Periode gelombang dapat dihitung dengan menghitung frekuensi gelombang yang melewati satu titik referensi yang tetap atau mencatat waktu yang dibutuhkan oleh satu panjang gelombang melewati satu titik referensi atau titik tetap tadi. 3. Analisis Fisik Substrat dan Habitat Pantai Pasir Untuk parameter habitat pantai berpasir, akan dihitung Dean’s parameter(Ω, Short 1996) dan beach deposit index (BDI) dengan formula sebagai berikut (Soares 2003): 5. Butiran Sedimen Sampel substrat dari permukaan sedalam 2-5 cm diambil sebanyak ± 300 g untuk keperluan analisa ukuran butiran (grain size), kelembaban substrat dan kandungan bahan organik.Selain substratnya, parameter habitat yang dicari datanya adalah kualitas air interstitial. Di titik sampling yang sama dengan titik pengambilan undur-undur laut, air interstitial diukur parameter kualitas airnya seperti suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut. Cara pengeluaran air interstitial dengan cara memasukkan core logam ke dalam substrat, kemudian substrat di dalam core tersebut dikeluarkan sehingga akan keluar air yang berada diantara butiran pasir yang ada di sekitar core ke dalam core tersebut. a. Parameter Dean ( ) H s 100 Ws T Dimana: T = Periode Gelombang (m) Ws = Laju Sedimentasi (m/det) < 2, Reflective Beach 2 5 , Intermediate >5, Dissipative Beach b. Beach Deposit Index (BDI) BDI Analisis Data 1 a S Mz Dimana: 1. Kemiringan Pantai S = Kemiringan Pantai Mz = Rata-rata Ukuran Butiran sedimen (mm) a = 1,03125 mm h tan x100 o o x Dimana: Jurnal Biologi Tropis Vol. 14 N0. 1 Januari 2014 2 4 ISSN: 1411-9587 Karakteristik Habitat Undur-undur ……………. Dengan ketentuan Hb adalah tinggi gelombang pecah (breaker height, dalam m), Ws adalah kecepatan laju mengendap pasir (m s-1), T adalah periode gelombang (detik), BS adalah kemiringan pantai, a adalah sebuah konstanta a = 1,03125 mm yang mengindikasikan ukuran median butiran dari klasifikasi ukuran partikel pasir dan Mz adalah ukuran butiran rata-rata partikel pasir (mm). Tabel dari Gibbs et al. (1971) digunakan untuk menghitung kecepatan pengendapan berdasarkan ukuran butiran.Ω < 2 merupakan karakter pantai yang reflektif (reflective beach), Ω > 5 pantai disipatif (dissipative beach), dan 2 < Ω < 5 merupakan antara keduanya. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Fisik Pantai Secara umum lokasi penelitian berhadapan langsung dengan laut lepas, yakni Samudera Hindia.Perairan selatan Jawa tersebut memiliki batas selatan yang hampir tak terhingga sehingga perambatan gelombang dari daerah pembangkitannya (Seas) merambat hampir sempurna tanpa hambatan sampai ke tepian pantai.Konsekuensi fisik di batas daratan berupa pantai selatan Jawa Tengah khususnya pantai setalan Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap memiliki tinggi gelombang pecah yang tinggi (Gambar 4). Pofil pantai yang landai dan berpasir memberikan peluang air laut naik dan turun pantai setelah gelombang pecah menjadi lebih lebar (Swash Zone). Gambar 4. Tipe gelombang pecah di pantai Kecamatan Adipala, Cilacap Jawa Tengah. Gelombang yang merambat ke pantai dengan periode antara 5-7 detik merupakan gelombang yangdibangkitkan oleh angin.Ketika rasio antara tinggi gelombang dan panjang gelombang telah melewati 1/7, gelombang tersebut menjadi tidak stabil Kemiringan Pantai Kemiringan pantai di tiga lokasi, dua lokasi di Pantai Bunton, Desa Bunton dan satu lagi di Pantai Sodong Desa Karangbenda memiliki kemiringan pantai yang landai, yakni berkisar antara 0,4-0,6 persen. Jurnal Biologi Tropis Vol. 14 N0. 1 Januari 2014 5 ISSN: 1411-9587 Karakteristik Habitat Undur-undur ……………. sehingga pecah dan sekaligus melepas energi yang terbawa dari laut lepas dimana gelombang tersebut terbentuk. Ketinggian gelombang pecah yang teramati selama 2 (dua) hari pengamatan berkisar antara 1,5 m hingga 2,0 m (Tabel 1). Tabel 1. Kemiringan pantai, tinggi, dan periode gelombang hasil pengamatan serta lebar Swash Zone Nama Stasiun Sta-1 Sta-2 Sta-3 Lintang Bujur Slope (persen) Hb (m) T (det) Lebar Swash Zone (m) 0,60 0,45 0,40 1,5-1,8 1,5-2,0 1,5-2,0 5-7 5-7 5-7 8-10 10-15 25-30 7o41'26,60" 109o09’30,70” 7o41'25,20" 109o09'17,30" 7o41'33,30" 109o11'12,60" Disamping pengamatan secara langsung, tinggi gelombang pecah juga dihitung dari tinggi gelombang dan periode gelombang signifikan rata-rata bulanan selama setahun. Gambar 5 adalah grafik tinggi gelombang pecah rata-rata bulanan dari Januari hingga Desember. Tinggi gelombang pecah rata-rata bulanan terlihat lebih tinggi pada musim tenggara (JuniSeptember) dengan ketinggian rata-rata berada pada kisaran 4-4,5 m. Gambar 5. Tinggi gelombang pecah rata-rata bulanan di lokasi studi. Tipe pantai di tiga lokasi hasil perhitungan dari parameter tinggi gelombang pecah, laju sedimentasi, dan periode gelombang menunjukkan nilai parameter Dean jauh lebih besar dari 5 sehingga tipe pantai dikategorikan sebagai pantai dissipative (Tabel 2). Kategori ini sesuai Jurnal Biologi Tropis Vol. 14 N0. 1 Januari 2014 dengan karakteristik pantainya yang memiliki gelombang besar, substrat pasir, dan zona swash zone-nya yang lebar.Secara umum, undur-undur laut, terutama genus Emerita, memang lebih menyukai pantai dengan tipe dissipative daripada pantai bertipe reflective, karena secara umum 6 ISSN: 1411-9587 Karakteristik Habitat Undur-undur ……………. ketersediaan sumber makanan di pantai (Celentano et al. 2010). bertipe dissipative relatif lebih tinggi Tabel 2. Parameter Dean dihitung dari data tinggi gelombang pecah, laju sedimen, dan periode gelombang. Lokasi Hb (m) Ws (m/s) T (det) Omega Tipe Pantai Sta-1 1,8 0,5 7 51,42857143 Dissipative Sta-2 2,0 0,5 7 57,14285714 Dissipative Sta-3 2,0 0,5 7 57,14285714 Dissipative Indek lain yang juga dihitung adalah nilai BDI tipe pantai semakin cenderung Beach Deposit Index. Indeks ini dihitung dari kearah dissipative. Pada kisaran nilai data kemiringan pantai (S) dan nilai rata-rata kemiringan pantai 0,4 sampai 0,6 dan rataukuran butiran sedimen (Mz).Nilai indek BDI rata ukuran butiran 0,5 mm, maka hasil yang diperoleh dari 3 lokasi studi perhitungan nilai BDI berada pada kisaran ditabulasikan pada Tabel 3.Semakin besar 3,4 sampai 5,1. Tabel 3. Indeks Deposit Pantai (Beach Deposit Index=BDI). Lokasi Kemiringan Pantai (S) Mz A BDI Sta-1 Sta-2 Sta-3 0,4 0,45 0,6 0,5 0,5 0,5 1,03125 1,03125 1,03125 5,1562500000 4,5833333333 3,4375000000 Ukuran butiran sedimen rata-rata 0,5 mm yang ditemukan di pantai lokasi studi sama dengan ukuran rata-rata butiran sedimen yang ditemukan pada habitat Emerita brasiliensis di pantai selatan-timur Uruguay (Celentano et al. 2010).Celentano et al. (2010) juga melaporkan dari hasil penelitiannya bahwa undur-undur laut Emerita brasiliensis di pantai selatan-timur yang bertipe reflective hingga dissipative, namun pantai dengan swash zone yang luas cenderung bertipe dissipative yang ditunjukkan pula dengan nilai BDI yang makin besar. Kondisi atau karakteristik habitat undur-undur laut Emerita brasiliensis ini relatif sama dengan karakteristik habitat Emerita emeritus di pantai Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, baik dari sisi ukuran butiran sedimen, tipe pantai, maupun nilai BDI. Dengan demikian hasil penelitian ini makin memperkuat hasil penelitian yang lain tentang karakteristik habitat undur-udur laut genus Emerita khususnya, dan umumnya famili Hippidae. Jurnal Biologi Tropis Vol. 14 N0. 1 Januari 2014 KESIMPULAN Karakteristik habitat undur-undur laut di pantai selatan Jawa adalah pantai berpasir dengan kemiringan pantai antara 0,4 hingga 0,6 persen; ukuran rata-rata butiran pasir 0,5; dan tipe pantai cenderung kearah dissipative, yang dilihat dari nilai parameter Dean yang lebih dari 5 dan nilai indeks deposit pantai atau beach deposit index (BDI) antara 3,4 hingga 5,2 serta dengan swash zone yang luas. UCAPAN TERIMA KASIH Dana penelitian ini didapatkan melalui Kemendikbud skema Penelitian Dasar tahun 2013. Terima kasih penulis ucapkan kepada dua mitra bestari jurnal ini yang telah memberikan masukan untuk perbaikan manuskrip. 7 ISSN: 1411-9587 Karakteristik Habitat Undur-undur ……………. Kabupaten Kebumen. Jurnal Biologi Tropis 13(1): 119-127. DAFTAR PUSTAKA Boere V, ER Cansi, ABB Alvarenga, IO Silva. 2011. The Burying Behavior Of The Mole Crab before and after an Accident with Urban Sewage Effluents In Bombinhas Beach, Santa Catarina, Brazil. Ambi-Agua, Taubaté, v.6, n.3, p. 70-76. Pérez D. 1999. Mercury levels in mole crabs Hippa cubensis, Emerita brasiliensis, E. portoricensis, and Lepidopa richmondi (Crustacea: Decapoda: Hippidae) from a sandy beach at Venezuela. Bull. Environ. Contam.Toxicol. 63:320-326. Celentano E, NL Gutierrez, O Defeo. 2010. Effect of Morphodynamic and Estuarine Gradients on the Demography and Distribution of Sandy Beach Mole Crab: Implications of Source-Sink Habitat Dynamics. Mar Ecol Prog Ser, Vol. 398: 193205. Ricketts EF, J Calvin, DW Phillips, JW Hedgpeth. 1992. Open-coast sandy beaches. Between Pacific th Tides (5 ed.). Stanford University Press. pp. 249–265. Short A. 1996.Handbook of beach and shoreface morphodynamics. John Wiley Dugan JE, G Ichikawa, M Stephenson, DB Crane, J McCall, K Regalado. 2005. Monitoring of coastal contaminants using sand crabs.Central Coast Regional Water Quality Control Board.37 p. Soares A. 2003. Sandy beach morphodynamics and macrobenthic communities in temperate, subtropical and tropical region- a macroecological approach. PhD thesis, University of Port Elizabeth, South Africa. Gibbs R, Matthews M, Link D. 1971. The relationship between sphere size and settling velocity. J. Sediment. Petrol. 41:7–18. Seilacher A. 2007. Plate 21.Burrowing techniques. Trace Fossil Analysis. Springer.p.64. Komar PD, MK Gaughan. 1972. Airy Wwave Theory and Breaker Height Prediction, 13th Conf. on Coastal Engr., Chapt. 20, 405. Wardiatno Y, IW Nurjaya, A Mashar. 2013. Eksplorasi Informasi Biologi Undurundur Laut Emerita sp. dan Hippa sp. (Crustacea: Hippidae). Laporan Akhir: Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi. Tahun Pertama. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mann KH. 2000. Sandy beaches. Ecology of Coastal Waters with Implications for Management. Volume 8 of Studies in Ecology (2nded.). Wiley-Blackwell. pp. 218–236. Wenner AM. 1988. Crustaceans and other invertebrates as indicators of beach pollution. In: Soule DF, Kleppel GS (Eds.) Marine Organisms as Indicators, pp. 199-229. Springer-Verlag, New York. a Mashar A, Y Wardiatno. 2013 . Aspek Pertumbuhan Undur-undur Laut Emerita emeritus dari Pantai Berpasir Kabupaten Kebumen. Jurnal Biologi Tropis 13(1): 29-38. Mashar A, Y Wardiatno. 2013b. Aspek Pertumbuhan Undur-undur Laut Hippa adactyla dari Pantai Berpasir Jurnal Biologi Tropis Vol. 14 N0. 1 Januari 2014 8 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat ………… PENGARUH KONSENTRASI ASAM BENZOAT TERHADAP DAYA SIMPAN CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) Oleh: Baiq Irma Widiartini, Lalu Zulkifli, dan Ahmad Raksun ABSTRACT Red pepper (Capsicum annuum L.) is a horticultural product that is easily damaged by affecting storability. One method to extend the storability is by giving preservative such as benzoic acid. Benzoic acid are preservative that are able to inhibit the growth and kill microorganism that spoil food ingredients. This research aims to determine the effect of benzoic acid toward storability of red pepper (Capsicum annuum L.). This research was conducted on September until October 2013. The population of this research is all red pepper on a red pepper’s farm at Wanasaba East Lombok on September 2013. Sample of this research were 231 fresh red pepper taken from red pepper’s farm in Wanasaba East Lombok on September 2013. Data were collected by hedonic test with 15 panelist. Data were analyzed using one way ANOVA and followed by LSD test at α 5%. The result of data analysis showed that there is significant difference between the treatment of benzoic acid toward storability of red pepper. The best treatment was obtained in the treatment of benzoic acid 0.03% for color, flavour, and texture indicator. Key words: the concentration of benzoic acid, storability, red pepper (Capsicum annuum L.), hedonic test. C berkisar 1.058.000-1.177.000 ton (Kementrian Pertanian Republik Indonesia, 2009). Sifat cabai merah seperti produk hortilkultura lainnya, merupakan produk yang mudah mengalami kerusakan seperti kerusakan fisiologis, maupun kerusakan akibat cara penanganan pasca panen yang kurang tepat. Beberapa pertimbangan karakteristik pascapanen cabai merah perlu diketahui untuk pengendalian kerusakan dan kemunduran mutu. Pertimbanganpertimbangan tersebut meliputi fisiologis, fisik-morfologis, patologis, kondisi lingkungan dan pertimbangan ekonomis (Ali et al., 2002). Pertimbangan fisiologis pascapanen adalah kaitannya dengan laju respirasi. Laju respirasi akan mempengaruhi umur simpan cabai merah dimana semakin tinggi laju respirasi maka semakin cepat produk mengalami kemunduran mutu. Kemunduran mutu pada buah dan sayuran segar biasanya PENDAHULUAN abai merah (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Kebutuhan cabai terus meningkat setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai (Piay et al., 2010). Di Indonesia, cabai merah merupakan salah satu sayuran yang banyak dibudidayakan oleh petani karena memiliki harga jual yang tinggi dan mengandung beberapa senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, seperti zat capsaicin yang berfungsi dalam mengendalikan penyakit kanker. Selain itu kandungan vitamin C yang cukup tinggi pada cabai merah dapat memenuhi kebutuhan harian setiap orang. Dengan banyaknya manfaat yang terdapat pada cabai merah, permintaan pasar terhadap cabai merah juga sangatlah tinggi. Produksi buah cabai merah besar dari tahun 2005 sampai 2009 mencapai Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 9 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat ………… dicirikan dengan proses kehilangan air, pelayuan, dan pertumbuhan mikroorganisme yang semakin meningkat (Mandana, 2013). Usaha untuk menghindari kerugian yang diakibatkan oleh terjadinya kerusakan tersebut yaitu dengan melakukan pengawetan. Pengawetan cabai merah dilakukan untuk mendapatkan nilai ekonomis dan daya simpan lebih baik. Proses pengawetan cabai merah segar ada dua metode yang digunakan yaitu pengawetan basah fermentasi dan non fermentasi. Pengawetan non fermentasi seperti perendaman air panas dan perendaman dalam larutan pengawet. Salah satu larutan pengawet yang sering digunakan yaitu larutan asam benzoat, dimana dengan pengawetan menggunakan larutan asam benzoat diharapkan dapat memperbaiki nilai ekonomis dan daya simpan cabai merah segar. Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian tentang pengaruh konsentrasi asam benzoat terhadap daya simpan cabai merah (Capsicum annuum L.)”. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Botani FKIP Universitas Mataram selama 1 bulan yaitu pada bulan September-Oktober 2013. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cabai merah (Capsicum annuum L.) segar, asam benzoat, aquadest, aluminium foil, Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah wadah/baskom, timbangan analitik, gelas ukur, tupper ware dan kamera digital. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal dengan 33 satuan percobaan dan tiga ulangan. Perlakuan berjumlah 11 aras yaitu perlakuan asam benzoat dengan konsentrasi: (1) 0%; (2) 0,01%; (3) 0,02%; (4) 0,03%; (5) 0,04%; (6) 0,05%; (7) 0,06%; (8) 0,07%; (9) 0,08%; (10) 0,09% dan (11) 0,1%. Prosedur percobaan dilakukan melalui tahapan persiapan bahan, diantaranya (1) menyiapkan cabai merah (Capsicum annuum L.) segar sebanyak 231 buah, dan (2) cabai merah Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 segar disortasi kemudian dicuci bersih serta dibuang tangkainya. Pada tahap selanjutnya dilakukan perendaman dalam larutan asam benzoat dengan cara 7 buah sampel cabe dimasukkan ke dalam larutan asam benzoat dengan variasi konsentrasi 0,01%, 0,02%, 0,03%, 0,04%, 0,05%, 0,06%, 0,07%, 0,08%, 0,09%, dan 0,1%. Sampel direndam dalam wadah selama ± 24 jam pada suhu kamar, selanjutnya diangkat dan tiriskan kemudian didiamkan pada suhu kamar, dan diamati hingga 1 bulan. Sampel tersebut kemudian dilakukan uji organoleptik. Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan skala hedonik (Soekara, 1985) dalam (Aini, 2009) dengan panelis sebanyak 15 orang. Penilaian organoleptik dilakukan terhadap warna, aroma dan tekstur dari buah cabai. Uji organoleptik terhadap warna, aroma dan tekstur buah cabai dapat dilakukan secara visual dan hasilnya disajikan dalam bentuk nilai atau skor. Nilai organoleptiknya didasarkan pada angka kesukaan dengan skala lima tingkat (1-5), dimulai dari 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = biasa, 4 = suka dan 5 = sangat suka. Data yang diperoleh selama penelitian dianalisis secara statistik dengan menggunakan Analisis of Varians (Anova) satu arah. Apabila hasil analisis anova (sidik ragam) berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji BNT pada α 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu produk hortikultura yang banyak manfaatnya bukan hanya dalam bidang industri makanan namun juga banyak dimanfaatkan dalam bidang farmasi yakni sebagai salah satu bahan dalam pembuatan obat-obatan. Hal ini disebabkan karena kandungan gizi yang terdapat di dalam cabai merah ini sangat bervariasi, mulai dari kandungan vitamin C, protein, lemak, karbohidrat, vitamin A, vitamin B1, kalsium, air, dan sebagainya. Namun, sifat cabai merah seperti produk hortikultura lainnya yakni mudah mengalami berbagai kerusakan 10 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat ………… akibat penanganan pasca panen, maupun kerusakan selama penyimpanan. Kerusakankerusakan tersebut bisa diakibatkan karena masih berjalannya proses metabolisme sayuran dan buah selama pasca panen, dan karena aktivitas mikroorganisme. Pada penelitian ini, telah dilakukan penyimpanan selama 3 minggu (21 hari), dimana cabai merah disimpan dalam keadaan segar. Namun, sebelum proses penyimpanan terlebih dahulu dilakukan perendaman selama 24 jam dengan menggunakan larutan asam benzoat. Tujuan dilakukannya perendaman dengan larutan asam benzoat yaitu untuk menghambat aktivitas mikroorganisme yang dapat mengakibatkan kerusakan-kerusakan selama proses penyimpanan. Penggunaan asam benzoat mempunyai tujuan yang sama yaitu mempertahankan kualitas dan memperpanjang umur simpan bahan pangan. Menurut Wisnu (2008) tujuan utama penambahan bahan pengawet makanan adalah untuk memperpanjang umur simpan tanpa menurunkan kualitas makanan (kualitas gizi, warna, cita rasa, dan aroma bahan pangan yang diawetkan) serta tidak bersifat mengganggu kesehatan manusia. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh untuk uji organoleptik (warna, aroma, dan tekstur) hasil analisis data menunjukkan bahwa perlakuan asam benzoat memiliki pengaruh nyata terhadap daya simpan cabai merah (Capsicum annuum L.). Penggunaan asam sebagai pengawet akan menurunkan pH dan naiknya konsentrasi ion hidrogen (H+), hal ini dapat menghambat petumbuhan mikroorganisme. Dijumpai bahwa pH rendah lebih besar penghambatannya terhadap pertumbuhan bakteri. Suasanan pH dalam keadaan tidak terdisosiasi merupakan asam lemah yang mempunyai pKa tertentu sehingga berfungsi efektif menghambat pertumbuhan mikroba. Asam-asam organik yang berfungsi sebagai antimikroba mempunyai pKa kurang dari 5, dan akan lebih efektif penggunaannya untuk makanan yang bersifat asam. Bahan pengawet makanan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme yang terdapat dalam makanan. Indikator Warna Apabila dilihat dari jumlah keseluruhan skor yang diberikan oleh para panelis (Tabel 1), perlakuan yang memperoleh nilai ratarata terkecil adalah perlakuan asam benzoat 0,01% (AB1). Sedangkan nilai rata-rata terbesar pada perlakuan asam benzoat 0,03% (AB3). Tabel 1. Hasil Analisis Data Indikator Warna Konsentrasi Asam Benzoat AB0 AB1 AB2 AB3 AB4 AB5 AB6 AB7 AB8 AB9 AB10 Jumlah 1 39 57 54 62 47 58 55 42 52 58 51 575 Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 Ulangan 2 57 50 54 63 49 50 59 46 57 50 58 593 11 3 35 45 46 63 52 60 48 44 43 47 58 541 Jumlah Rerata 131 152 154 188 148 168 162 132 152 155 167 1709 43.67 50.67 51.33 62.67 49.33 56.00 54.00 44.00 50.67 51.67 55.67 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat ………… Hasil penelitian pada tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan asam benzoat pengaruh nyata terhadap cabai merah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F hitung (F hitung = 2,4038) yang dihasilkan SK Contoh (perlakuan) Galat Total Db 10 22 32 lebih besar dibanding dengan nilai F tabel (F tabel = 2,30). Tabel 2. Hasil Analisis Varians (ANOVA) Satu Arah Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat Terhadap Warna Cabai Merah (Capsicum annuum L.) JK KT F hitung F tabel 5 % 874,18 87,418 2,4038 2,30 727,33 36,367 1601,51 Selanjutnya, karena F hitung > F tabel (perlakuan dikatakan berpengaruh nyata sehingga Ha diterima), maka data diolah menggunakan uji BNT pada taraf kepercayaan 95% (α 5%) dengan nilai BNT = 7,221. Dari uji tersebut, diketahui terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan. Hasil analisis data uji BNT menunjukkan bahwa perlakuan AB0 (penambahan 0% larutan asam benzoat) tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan perlakuan AB7, AB4, AB1, dan AB8. Perlakuan AB0 memiliki perbedaan nyata dengan perlakuan AB2, AB9, AB6, AB10,AB5, serta AB3. Begitu juga dengan perlakuan AB7 yang memiliki perbedaan nyata dengan perlakuan AB2, AB9, AB6, AB10, AB5, dan AB3. Namun, dari keseluruhan perlakuan tersebut, yang paling terlihat memiliki perbedaan nyata adalah antara perlakuan AB0 dengan AB3. Data hasil uji BNT dapat dilihat pada tabel 3 berikut. Tabel 3. Hasil Uji BNT Iindikator Warna No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 BNT0,05 Konsentrasi asam benzoat AB0 AB7 AB4 AB1 AB8 AB2 AB9 AB6 AB10 AB5 AB3 7,221 Rerata Rerata + BNT 43.667 44 49.333 50.667 50.667 51.333 51.667 54 55.667 56 62.667 50.88 51.22 56.55 57.89 57.89 58.55 58.89 61.22 62.89 63.22 69.89 Hasil analisis data pada tabel 3 menunjukkan bahwa total nilai yang diberikan oleh panelis berkisar dari 131 sampai 188 untuk semua perlakuan (AB0, AB1, AB2, AB3, AB4, AB5, AB6, AB7, AB8, AB9, dan AB10). Setelah dilakukan analisis data pada indikator Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 Notasi atas BNT0,05 A Ab Abc Abc Abc Cd Cde Cdef Cdef Cdef G warna, terlihat bahwa F hitung lebih besar dibandingkan F tabel. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa ada pengaruh konsentrasi asam benzoat terhadap warna cabai merah dimana cabai merah bisa mempertahankan warna merah selama proses penyimpanan 12 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat ………… setelah dilakukan penambahan larutan asam benzoat. Hal ini sesuai dengan pendapat Afrianti (2010) yang menyatakan bahwa bahan pengawet juga mencegah dari kerusakan mikrobiologi yang berpengaruh terhadap protein, dan faktor kualitas lainnya seperti warna dan tekstur. Kelompok bahan pengawet tersebut seperti asam benzoat, metil-4-hidroksi benzoat, etil-4-hidroksi benzoat, propil-4hidroksi benzoat, natrium nitrat, asam propionat, asam sorbat, dan belerang dioksida. Untuk indikator warna yang baik diperoleh pada perlakuan konsentrasi asam benzoat 0,03% (AB3), sedangkan indikator warna yang mendapat nilai terkecil adalah perlakuan konsentrasi asam benzoat 0% (AB0). Hal ini sesuai dengan pendapat Afrianti (2010) yang menyatakan bahwa bahan pengawet juga mencegah dari kerusakan mikrobiologi yang berpengaruh terhadap protein, dan faktor kualitas lainnya seperti warna dan tekstur. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme antara lain jenis bahan kimia dan konsentrasinya, komposisi dari bahan makanan, pH (keasaman) dari makanan serta suhu penyimpanan makanan. Pada konsentrasi yang rendah, bahan kimia dapat berperan sebagai sumber makanan bagi mikroba, tetapi bila konsentrasi bahan kimia semakin tinggi maka kemungkinan dapat berperan sebagai penghambat atau pembunuh mikroba tersebut. Konsentrasi bahan kimia yang ditambahkan juga harus sesuai dengan dosis, bila konsentrasi bahan kimia tinggi akan lebih efektif dalam membunuh mikroorganisme, tetapi akan mempengaruhi kualitas dari makanan (Afrianti, 2010). Indikator Aroma Hasil uji hedonik yang diberikan oleh para panelis terhadap indikator aroma (Tabel 4) menunjukkan bahwa perlakuan yang memperoleh rata-rata terkecil diperoleh pada asam benzoat dengan konsentrasi 0,07% (AB7), dan rata-rata terbesar diperoleh pada asam benzoat dengan konsentrasi 0,03% (AB3). Tabel 4. Data Hasil Indikator Aroma Konsentrasi Asam Benzoat AB0 AB1 AB2 AB3 AB4 AB5 AB6 AB7 AB8 AB9 AB10 Jumlah 1 46 56 55 54 45 56 43 48 51 60 58 572 Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 Ulangan 2 59 57 56 58 46 42 53 47 52 57 52 579 13 3 44 56 55 63 52 50 40 39 49 47 55 550 Jumlah Rerata 149 169 166 175 143 148 136 134 152 164 165 1701 49.67 56.33 55.33 58.33 47.67 49.33 45.33 44.66 50.67 54.66 55.00 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat ………… Tabel 5. Analisis varians (ANOVA) satu arah pengaruh konsentrasi asam benzoat terhadap aroma cabai merah (Capsicum annuum L.) F tabel 5 SK Db JK KT F hitung % Contoh (perlakuan) Galat Total 10 22 32 645.5 558,67 1204,2 64,5 25,39 Data pada tabel 5 menunjukkan perlakuan asam benzoat berpengaruh nyata terhadap cabai merah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F hitung (F hitung 2,54) yang dihasilkan lebih 2,54 2,30 besar dibanding dengan nilai F tabel (F tabel 2,30). F hitung lebih besar dibandingkan dengan F tabel maka selanjutnya dilakukan uji BNT. Tabel 6. Hasil uji BNT pada taraf 5% untuk indikator aroma. Konsentrasi asam benzoat AB7 AB6 AB4 AB5 AB0 AB8 AB9 AB10 AB2 AB1 AB3 BNT 0,05 Rerata 44.667 45.333 47.667 49.333 49.667 50.667 54.667 55 55.333 56.333 58.333 6,034 Berdasarkan hasil analisis data pada tabel 5 untuk indikator aroma, diperoleh F hitung lebih besar dibandingkan dengan F tabel. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh konsentrasi asam benzoat terhadap aroma cabai merah. Perlakuan yang paling baik untuk indikator aroma diperoleh pada perlakuan asam benzoat dengan konsentrasi 0,03% (AB3), dimana nilai yang diberikan oleh panelis berjumlah 175. Sedangkan untuk perlakuan yang memperoleh nilai terkecil adalah perlakuan asam benzoat dengan konsentrasi 0.07% (AB7), dimana nilainya berjumlah 134. Dari uji BNT (Tabel 6), diketahui terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan. Hasil analisis data uji BNT Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 Rerata+BNT 50.70 51.36 53.70 55.37 55.70 56.70 60.70 61.03 61.36 62.37 64.37 Notasi atas BNT0,05 a ab abc abcd abcd abcd abcd d d d d menunjukkan bahwa perlakuan AB7 tidak memiliki perbedaan nyata dengan perlakuan AB6, AB4, AB5, AB0, AB8, AB9. Namun, AB7 dinyatakan memiliki perbedaan nyata dengan perlakuan AB10, AB2, AB1, dan AB3. Indikator Tekstur Apabila dilihat dari jumlah keseluruhan skor yang diberikan oleh para panelis (Tabel 7). Hasil penelitian pada tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata terkecil konsentrasi asam benzoat pada indikator tekstur dapat ditemukan pada perlakuan AB7, dan rata-rata terbesar diperoleh pada perlakuan AB3. 14 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat ………………. Tabel 7. Data Hasil Indikator Tekstur Konsentrasi Asam Benzoat 1 44 53 52 48 42 53 48 41 44 55 43 523 AB0 AB1 AB2 AB3 AB4 AB5 AB6 AB7 AB8 AB9 AB10 Jumlah Selanjutnya hasil uji analisis varians (ANOVA) satu arah pengaruh konsentrasi asam benzoate terhadap tekstur cabai merah (Capsicum annuum L.) disajikan pada tabel berikut. SK Contoh (perlakuan) Galat Total Db 10 22 32 Ulangan 2 61 43 50 60 42 45 55 41 53 48 45 543 KT 472,061 772,67 1244,7 47,2 35,12 Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 Rerata 146 141 146 169 131 157 146 124 142 146 139 1587 48.67 47.00 48.67 56.33 43.67 52.33 48.67 41.33 47.33 48.67 46.33 Tabel 8. Analisis varians pengaruh konsentrasi asam benzoat terhadap tekstur cabai merah (Capsicum annuum L.) JK Hasil analisis data di atas menunjukkan bahwa F hitung (1,22) lebih kecil dibandingkan dengan F tabel (2,30). Oleh sebab itu, tidak dilanjutkan dengan uji BNT. Berdasarkan tabel 7, dapat dilihat bahwa nilai yang diperoleh pada setiap perlakuan tidak berbeda jauh antara satu dengan yang lain. Ini ditunjukkan dari perolehan nilai yang sama antara beberapa perlakuan, seperti AB0, AB2, AB6, dan AB9 yaitu berjumlah 146. Sedangkan untuk nilai terkecil diperoleh pada perlakuan 0.07% (AB7) dengan jumlah 124. Perlakuan 0,03% (AB3) juga pada indikator ini mendapat nilai yang tertinggi dengan jumlah 169. Namun, setelah dilakukan analisis data ditunjukkan bahwa hasil F hitung (1,34) lebih kecil dibandingkan dengan F tabel (2,30). Artinya, konsentrasi asam benzoat tidak berpengaruh 3 41 45 44 61 47 59 43 42 45 43 51 521 Jumlah F hitung F tabel 5 % 1,22 2,30 terhadap indikator tekstur pada cabai merah. Oleh sebab itu, tidak dilakukan uji BNT pada indikator ini. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh konsentrasi asambenzoat terhadap daya simpan cabai merah (Capsicum annuum L.). Hal ini terlihat dari nilai > pada taraf nyata 5% untuk tiap-tiap indikator yang diuji. DAFTAR PUSTAKA Afrianti, L. H. 2010. Pengawet Alami dan Sintetis. Alfabeta. Ali A, Yusmarini, dan Solihah Pengaruh Konsentrasi 15 Makanan Bandung: I. 2002. Natrium ISSN: 1411-9587 Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat ………………. Metabisulfit dan Lama Blanching terhadap Mutu Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Kering. Vol. 1 No. 1: 19-26. Aini, N. 2009. Pengaruh Pemberian Natrium Bisulfit dan Asam Asetat terhadap Keawetan Cabai Merah Besar (Capsicum annuum L.) Asal manokwari. Skripsi S1. Universitas Negeri Papua. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2009. (Online) http:// http://www.deptan.go.id, diakses pada tanggal 17 April 2013. Mandana, O. 2013. Sayur Mayur Bedugul Bali. (Online) Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 http://okamandanasukma.blogspot.co m/2013_03_01_archive.html, diakses pada tanggal 6 April 2013. Piay S, Tyasdjaja. A, Ermawati Y, dan Hantoro R. P. 2010. Budidaya dan Pascapanen Cabai Merah (Capsicum annuum L.). BPTP Jawa Tengah. Wisnu, C. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara: Bandung. 16 ISSN: 1411-9587 Survai Populasi Lumba-lumba ………………. SURVAI POPULASI LUMBA-LUMBA DI PERAIRAN PANTAI LOVINA, KABUPATEN BULELENG, PROVINSI BALI M. Mukhlis Kamal* dan Yusli Wardiatno Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Kampus FPIK Lantai 3, Darmaga, Bogor 16680 *Penulis untuk korespondensi: [email protected] ABSTRACT Survey on the population of dolphins in Lovina coastal waters, Bali was conducted in September to November 2005. Their moving route is wide enough since Bali Island and surrounding waters are their moving habitat. Thus, this survey only covered small part of their range habitat. The observation was done by recording their presence and behavior. The number of them was also estimated. The results showed that there were three species, i.e. spinner dolphin (Stenella spp.), bottlenose dolphin (Tursiops truncatus), and spotted dolphin (Stenella frontalis). The three species occurred in groups in the location. The number of dolphins counted during the survey was about 150-200 individuals per day during first survey in earlier September 2005. However, intensive observation after that showed bigger variations (6 – 200 individuals per day). The occurrence route of the lumba is mapped, and their presence in the location is considered for foraging. Key words: dolphin, Lovina coastal waters, Bali L PENDAHULUAN umba lumba adalah mamalia laut yang termasuk ke dalam Ordo Cetacea. Ditinjau dari segi biodiversitas, ada sekitar 30 jenis hewan yang tergolong ke dalam ordo ini menempati berbagi habitat perairan Nusantara, termasuk di dalamnya paus dan lumba-lumba. Sekitar sepertiga dari populasi Cetacea dunia berada di wilayah perairan Indonesia. Berdasarkan data dari Indonesian Oceanic Ocean ada sekitar 7 jenis dari kelompok hewan ini dapat ditemukan di perairan Indonesia, khususnya di kawasan perairan timur Nusantara. Status populasinya menurut IUCN (1996) adalah terancam (threats) dengan kategori L (lower risk, resiko terancam rendah) dan K (insufficiently known, belum banyak diketahui) (Tabel 1). Meskipun lumba-lumba termasuk kategori hewan yang dilindungi, upaya-upaya Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 perlindungan hewan tersebut di Indonesia masih belum optimal, karena informasi dan pengetahuan serta penelitian tentang keberadaan lumba-lumba di Indonesia masih belum banyak dilakukan. Sementara di Negara-negara lain penelitain tentang lumbalumba sudah cukup intensif dilakukan, misalnya Silber & Fertl (1995), Karczmarski et al. (1997), Lammers (2004), Alava et al. (2005), Torda et al. (2010), dan masih banyak lagi. Keberadaan populasi lumba-lumba di perairan Indonesia dikarenakan kondisi geografis Indonesia yang terletak di antara dua samudera yang menghubungkan Samudera Pasifik dengan wilayah perairan Kawasan Timur Indonesia yang berhubungan dengan Samudera Hindia. Diduga pulaupulau Nusantara satu sama lain merupakan perairan selat merupakan tempat hidup serta jalur migrasi (ruaya) dari binatang mamalia 17 ISSN: 1411-9587 Survai Populasi Lumba-lumba ………………. ini. Selat-selat ini juga merupakan daerah yang sensitif akibat kegiatan manusia tidak hanya bagi lumba-lumba namun juga bagi spesies besar lainnya yang melakukan migrasi seperti penyu, pari dan paus hiu. Sebagai contoh, Selat Makassar merupakan bagian dari jalur migrasi Cetacean dunia. Populasi cetacean di selat ini akan merupakan populasi yang memiliki habitat baik di pantai Kalimantan bagian timur maupun Sulawesi pada sisi barat. Menurut Kreb & Budiono (2005) Kalimantan bagian Timur merupakan bagian dari habitat cetacean yang bermigrasi dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia melalui Laut Sulu-Sulawesi dan Selat Makassar. Tabel 1. Jenis lumba lumba yang terdapat di perairan Indonesia Jenis lumba lumba Nama umum Nama Latin Stenella longirostris Stenella attennuata Stenella coeruleoalba Stenella bredanensis Grampus griseus Tursiops truncatus Delphinus delphi Sumber: http://www.apex-environmental.com/IOCPSignificance.html Lumba lumba paruh panjang Lumba lumba totol Lumba lumba bergaris Lumba lumba gigi kasar Lumba lumba abu-abu Lumba lumba hidung botol Lumba lumba Spinner dolphin Pantropical spotted dolphin Striped dolphin Rough-tooth dolphin Risso’s dolphin Bottlenose dolphin Common dolphin Seperti anggota kelompok Cetacea lainnya, lumba lumba adalah mamalia yang berumur panjang, misalnya lumba lumba hidung botol (Tursiops truncatus) yang dapat mencapai usia 40-50 tahun, sehingga kelangsungan hidupnya sangat tergantung kepada kondisi kesehatan lingkungan dalam jangka waktu lama pula. Faktor-faktor ekologis, harapan hidup, pergerakan dan sensitifitas terhadap perubahan kimiawi lingkungan perairan serta gangguan akustik/suara, karena lumba lumba berkomunikasi dengan menggunakan suara, merupakan indikator yang tepat bagi kondisi kronis maupun akut dari dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan perairan yang menjadi daerah pergerakan/ruaya/migrasi binatang ini. Berbagai aktifitas manusia yang saat ini diduga dapat mengganggu kehidupan lumba-lumba di perairan Indonesia adalah perusakan habitat, kebisingan suara, aktifitas perikanan yang memungkinkan mamalia ini tersangkut atau Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 Status (IUCN) L L L K K K L tertangkap alat-alat penangkapan ikan misalnya dari jenis jaring insang (gill net), pencemaran perairan, serta kondisi overfishing yang mengakibatkan hilangnya sebagian spesies ikan yang merupakan mangsa lumba lumba (Hoffman, 1995). Perairan Lovina di sekitar Pulau Bali merupakan salah satu lokasi di mana lumba lumba ditemukan. Bahkan di lokasi ini kemunculan lumba-lumba mendatangkan pendapatan masyarakat setempat melalyu kegiatan dolphin watching. Implikasi ekonomi dan ekologi kegiatan ini secara komprehensif dibahas oleh Mustika et al. (2012). Keberadaan lumba-lumba di perairan Lovina, Bali dapat dikatakan berkaitan dengan posisi pulau tersebut dengan perairan-perairan yang sempit di sekitarnya dan diduga merupakan salah satu passage (lintasan) lumba lumba saat bermigrasi. Sampai saat ini belum ada informasi yang menerangkan aktifitas lumba lumba dan ordo 18 ISSN: 1411-9587 Survai Populasi Lumba-lumba ………………. Cetacea lainnya apakah saat melintas di perairan tersebut hanya bermigrasi atau ada kegiatan lainnya dari salah satu siklus hidupnya, misalnya memijah/kawin, mencari makan, dan sebagainya. Paper ini menjelaskan jenis-jenis lumba-lumba yang ditemukan di perairan Lovina, Bali berdasarkan pengamatan tahun 2005. BAHAN DAN METODE Area studi yang ditetapkan dalam penelitian ini hanya mencakup sebagian kecil dari wilayah penyebaran sebenarnya. Selain di perairan Buleleng, populasi lumba-lumba juga ditemukan pada di beberapa daerah yang secara geografis kelautan masih berhubungan, misalnya perairan Pantai Kangean, Madura (Wardiatno, 2005; observasi pribadi), Selat Bali (Kamal, 2011; observasi pribadi), atau Perairan Pantai Utara Jawa (Rudolph et al., 1997), di mana hewan Cetacea ini sering ditemukan pada malam hari. Demikian juga hasil wawancara dengan nelayan di sekitar lokasi kegiatan bahwa selain di perairan Buleleng, lumba-lumba juga dijumpai di daerah lainnya. Dengan demikian, populasi lumba-lumba di perairan Jawa, Bali, dan pulau-pulau sekitarnya mewakili suatu rentang penyebaran geografis yang luas. Lokasi studi dalam penelitian ini adalah Pantai Lovina dan sekitarnya yang dibatasi dari Desa Pemaron di sebelah timur hingga Celukan Bawang di sebelah barat, yang keduanya berjarak sekitar 7,5 mil laut dengan radius antara 0,2 – 2,5 mil laut sejajar garis pantai. Perkiraan di peta menunjukkan luasan wilayah yang diamati sekitar 20 km2 (Gambar 1). Lokasi Studi Kabupaten Buleleng P. BALI Gambar 1. Lokasi studi habitat dan populasi lumba-lumba di perairan Pantai Lovina dan sekitarnya, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali Waktu pengamatan dilakukan selama bulan September hingga Nopember 2005. Fokus pengamatan adalah pencacahan, pengidentifikasian, dan pengamatan tingkah laku lumba-lumba di perairan. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian lumba-lumba di Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 perairan Pantai Buleleng adalah: perahu jukung berkekuatan 9 PK, GPS (Global Positioning System), teropong binokuler, handycam, kamera digital, handy talkie, alat tulis dan kertas. 19 ISSN: 1411-9587 Survai Populasi Lumba-lumba ………………. Observasi terhadap lumba-lumba dimulai pada pagi hari antara pukul 06.00 sampai 09.00, dengan menggunakan perahu jukung yang disewa dari nelayan setempat yang berkekuatan mesin 9 PK, sehingga kecepatan perahu mencapai rata-rata 3-4 knot. Karena hewan mamalia di perairan sekitar Pantai Lovina ini sudah menjadi salah satu atraksi pariwisata bahari, maka waktu pengamatan tersebut bersamaan dengan kegiatan para turis mancanegara yang sedang berlibur di wilayah tersebut. Berdasarkan pendataan langsung terhadap jumlah perahu, diperkirakan setiap harinya antara 50-75 perahu jukung yang ikut serta “memburu” lumba-lumba. Masing-masing perahu berpenumpang maksimum 4 orang, sehingga tidak kurang dari 200 pengunjung setiap harinya menyaksikan atraksi lumba-lumba di alam. Dari atas perahu jukung, peneliti melakukan pencarian terhadap lumba-lumba dengan titik awal adalah Desa Pemaron (di depan Hotel Baruna). Pencarian dilakukan dengan melihat ke segala arah dengan bantuan teropong terutama saat perahu mamasuki perairan yang biasanya lumbalumba ditemukan. Tim peneliti menggunakan 2 perahu yang berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan handy talkie sehingga memudahkan koordinasi dalam mencari titik saat pertama kali mamalia ini muncul ke permukaan air. Untuk mengetahui kehadiran lumbalumba, cara sederhana yang biasa dilakukan nelayan setempat adalah dengan melihat percikan air saat hewan ini menggerakkan ekornya atau semburan air yang khas ketika air disemprotkan dari hidungnya. Ketika lumba-lumba pertama kali ditemukan, dengan segera posisi koordinat dicatat dengan menggunakan GPS. Selanjutnya, peneliti mengikuti arah pergerakan lumbalumba tersebut dari atas perahu, dengan demikian arah pergerakan di perairan dapat diketahui dari tracking posisi oleh GPS. Penghitungan jumlah lumba-lumba dilakukan secara langsung dari atas perahu Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 berdasarkan jumlah individu pada masingmasing gerombolan (schooling). Hal ini dikarenakan hewan ini bergerombol membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas 3-10 individu. Dengan menggunakan metode ini kemungkinan terjadinya penghitungan berulang sangat besar. Hal ini terjadi karena lumba-lumba tersebut terganggu dengan suara bising mesin jukung, akibatnya mereka akan menyelam ke perairan yang lebih dalam kemudian muncul kembali pada titik yang lain, yang dikira oleh pengamat sebagai kelompok yang lain. Untuk meminimalkan terjadinya pencacahan berulang, maka tim melakukan penghitungan saat pertama sebuah kelompok ditemukan kemudian diikuti sampai benar-benar hilang atau bergabung dengan kelompok yang lebih besar. Bersamaan dengan itu, lokasi koordinat tempat lumba-lumba dijumpai dicatat dengan GPS (tipe Garmin 12 dan Etrex). Pengidentifikasian jenis dan pengamatan tingkah laku dilakukan dengan pengambilan gambar menggunakan handycam pada saat hewan air ini muncul di permukaan air. Pengidentifikasian jenis, selain berdasarkan data lapangan, juga dilakukan dengan bantuan buku identifikasi lumba-lumba dan hasil-hasil studi yang dilakukan sebelumnya di lokasi yang berbeda. HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Lumba-Lumba yang Teridentifikasi Hasil pengamatan memperlihatkan adanya tiga jenis lumba-lumba yang melalui pesisir Buleleng tepatnya di perairan Lovina dan sekitarnya. Ketiga jenis lumba-lumba tersebut adalah spinner dolphin (Stenella longirostris), bottlenose dolphin (Tursiops truncatus), dan spotted dolphin (Stenella frontalis). Ketiganya secara berturut-turut disajikan pada Gambar 2, 3, dan 4. Jumlah jenis ini masih lebih sedikit dibandingkan dengan yang ditemukan di Kepulauan Seribu oleh Wardiatno et al. (2010). Mereka menemukan empat spesies, yakni spinner 20 ISSN: 1411-9587 Survai Populasi Lumba-lumba ………………. dolphin (Stenella longirostris), bottlenose dolphin (Tursiop truncatus), short-beaked common dolphin (Delphinus delphis), dan false killer whale (Pseudorca crassidens). Namun demikian, hasil pengamatan ini konsisten dengan studi sebelumnya bahwa lumba-lumba yang ada di perairan Buleleng dan sekitarnya terdiri dari kelompok lumbalumba spinner dolphin yang terdiri dari 2 spesies yaitu Stenella longirostris dan Stenella sp. Kedua jenis ini merupakan yang sering ditemukan di wilayah pesisir daerah tropis dan subtropis (Lammers, 2004). Berdasarkan hasil identifikasi foto, kedua spesies ini dapat dibedakan melalui lekukan bentuk sirip, yaitu untuk S. longirostris lebih dalam, sementara jenis Stenella sp. mendekati garis lurus antara ujung sirip dan dasar bagian. Hasil studi Psarakos et al. (2003) di perairan Hawaii melaporkan bahwa campuran antara jenis lumba-lumba berbeda jenis terdapat pada S. longirostris dan S. attenuata. Oleh sebab itu, diduga penemuan di pantai perairan Buleleng merupakan fenomena sejenis. Diduga juga bahwa jenis lumba-lumba yang teridentifikasi di perairan Buleleng merupakan spesies yang umum ditemukan di perairan pantai Utara Jawa dan Bali. Hal ini Gambar 2. didukung oleh hasil penelitian Rudolph et al. (1997) yang menemukan pupulasi lumbalumba jenis di atas di perairan Karimun Jawa. Hasil wawancara dengan nelayan di wilayah Kangean (Pulau Madura) dan Bali Utara, juga mendukung hasil studi di atas. Dengan demikian penyebaran sesungguhnya dari lumba-lumba ini meliputi wilayah perairan yang cukup luas. Secara umum diketahui bahwa kawanan lumba-lumba tersebut berenang di dalam kelompok-kelompok kecil dengan jumlah tertentu per kelompoknya. Pada saat tertentu, kelompok tersebut bersatu membentuk kelompok yang lebih besar. Pada saat membentuk kelompok besar tersebut, mereka tidak membubarkan kelompok kecilnya. Spinner Dolphin misalnya, di lokasi pengamatan cenderung untuk membentuk kelompok kecil dengan jumlah anggota empat ekor (Gambar 5). Sedangkan Bottlenose Dolphin membentuk kelompok kecil mereka dengan jumlah anggota lebih dari enam ekor (Gambar 6). Jumlah anggota kelompok yang terendah adalah Spotted Dolphin, yaitu dua ekor per kelompok kecil (Gambar 7). Pengelompokan ini juga merupakan fenomena yang ditemukan oleh Wardiatno et al. (2010) di Kepulauan Seribu. Spinner Dolphin (Stenella spp.) yang ditemukan di perairan Pantai Lovina, Buleleng, Bali. Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 21 ISSN: 1411-9587 Survai Populasi Lumba-lumba ………………. Gambar 3. Bottle Nose Dolphin (Tursiops truncatus) yang ditemukan di perairan Pantai Lovina, Buleleng, Bali Gambar 4. Spotted Dolphin (Stenella frontalis) yang ditemukan di perairan Pantai Lovina, Buleleng, Bali. Gambar 5. Spinner Dolphin dalam kelompok di lokasi penelitian Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 22 ISSN: 1411-9587 Survai Populasi Lumba-lumba ………………. Gambar 6. Bottle Nose Dolphin dalam kelompok di lokasi penelitian Gambar 7. Ciri khas sirip punggung Bottlenose Dolphin meruncing berbentuk sabit Gambaran umum lokasi keberadaan lumba-lumba hasil pengamatan dan posisi kelompok lumba-lumba secara geografis dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Posisi kelompok lumba-lumba secara skematik di lokasi penelitian. Warna hijau tua mengindikasikan wilayah daratan. Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 23 ISSN: 1411-9587 Survai Populasi Lumba-lumba ………………. Pencacahan jumlah lumba lumba Berdasarkan hasil pencacahan langsung, diperkirakan ada sekitar 200 ekor lumba-lumba yang tercatat pada hari pertama. Hal ini didasarkan jumlah kelompok yang ditemukan mencapai 31 kelompok yang masing-masing berjumlah antara 3–10 individu. Untuk meyakinkan bahwa perkiraan jumlah populasi lumba-lumba tersebut mendekati kondisi sebenarnya, pengamatan pada hari kedua dilaksanakan dengan cara mengikuti pergerakan lumba-lumba hingga pantai Seririt. Lokasi perairan di wilayah dicirikan dengan kondisi perairan yang lebih dalam serta menurut informasi nelayan banyak ditemukan ikan sejenis ikan teri (Stolephorus spp.) Famili Engraulidae, yang sering ditemukan nelayan bergerombol di lokasi ini. Wardiatno et al. (2010) pun mendapati bahwa keberadaan lumba-lumba di sekitar ekosistem karang terkait dengan kebaeradaan ikan mangsanya seperti teri dan cumi-cumi. Di Laut Utara, lumba-lumba hidung botol makanan utamanya adalah ikan hering (Clupea harengus), sejenis hiu kecil (Squalus acanthias), ikan dory (Zeus faber) dan ikan sebelah (Solea solea) (Verwey & Wolff, 1981). Sementara di Lautan Hindia, populasi lumba-lumba di perairan Natal, Afrika Selatan, makanan paling disukai lumba-lumba hidung botol adalah Pomadasys olivaceum, sotong (Sepia officinalis), ikan mackerel (Scomber japonicas) dan Pagellus bellotti (Cockcroft & Ross, 1990). Pengamatan visual terhadap kondisi oseanografis, Pantai Seririt lebih terbuka sehingga lebih dinamis dan banyak olakan dibanding di Kalibukbuk dan Lovina yang relatif tenang. Pada lokasi ini lumba-lumba tidak membentuk kelompok-kelompok kecil, namun dalam kelompok besar. Berdasarkan penghitungan langsung diperkirakan jumlah lumba-lumba yang ditemukan pada hari kedua mendekati angka 150 - 200 ekor. Hasil pengamatan yang dilakukan antara 18 September hingga 18 Oktober 2005 Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 (selang waktu antar pengamatan 2 hari sehingga frekuensi pengamatan sebanyak 16 kali), jumlah populasi lumba-lumba sangat bervariasi yaitu antara 6 hingga 200 ekor. Variasi jumlah yang demikian tinggi diperoleh dari pengamatan dengan mengkonsentrasikan pada wilayah perairan tertentu. Pada daerah Seririt, Temukus, dan Labuan Aji diperoleh jumlah lumba-lumba yang selalu lebih tinggi dibandingkan dengan Kalibukbuk. Berdasarkan hasil pencatatan terhadap koordinat pergerakan lumba-lumba di Pantai Seririt relatif tetap, sehingga dapat diduga bahwa perairan Pantai Seririt merupakan salah satu tujuan migrasinya. Hal ini didukung oleh keterangan yang diperoleh dari nelayan setempat bahwa pergerakan lumba-lumba dari arah timur ke barat dan berakhir di perairan antara Seririt dan Celukan Bawang. Tingkah Laku Pergerakan dan Pola Migrasi Pergerakan kelompok lumba-lumba memperlihatkan keberaturan waktu pergerakan, seperti dalam formasi baris. Pergerakan lumba-lumba yang teratur tersebut diduga ada pemimpinnya saat mereka berenang menuju tempat tertentu. Umumnya dipimpin oleh lumba-lumba yang berukuran besar yang diduga adalah jantan, sementara lumba-lumba yang kecil (kemungkinan juga anak-anaknya) berada di tengah. Pola pergerakan berkelompok seperti ini adalah sebagai adaptasi terhadap ancaman predator. Pergerakan kelompok juga diindikasikan sebagau strategi dalam mencari mangsa (Würsig, 1986). Selama pengamatan diperoleh hasil bahwa di pesisir Lovina, kelompok lumbalumba datang dari arah Timur Laut dan bergerak ke arah Barat Daya. Hal tersebut dibuktikan bahwa dengan bertambahnya waktu, posisi kelompok lumba-lumba mengalami pengurangan nilai Bujur Timur dan dibarengi dengan bertambahnya nilai Lintang Selatan. Dengan demikian disimpulkan bahwa gerakan kelompok 24 ISSN: 1411-9587 Survai Populasi Lumba-lumba ………………. lumba-lumba datang dari arah Timur Laut menuju Barat Daya (Gambar 9 dan 10). Kelompok lumba-lumba bergerak kearah Barat Daya menyusuri pesisir perairan Buleleng dengan jarak rata-rata 2,5 hingga 3 km dari garis pantai. Kecepatan renang rata-rata kelompok lumba-lumba adalah 6,5 km (13,5 km ditempuh dalam tempo 2 jam). Lumba lumba hidung botol termasuk hewan yang tidak menyerang sehingga dapat dengan mudah dan aman untuk dinikmati atraksi pergerakannya. Berdasarkan pengamatan, pola pergerakan lumba lumba berdasarkan keragaan tubuh yang terlihat keluar dari permukaan air terdiri dari lima tipe, yaitu: a) pergerakan yang hanya memperlihatkan sebagian sirip punggung, kondisi ini ditemukan saat mereka dalam keadaan tidak merasa terganggu, b) pergerakan yang memperlihatkan lebih dari setengah badan, sirip ekor terlihat, dan lompatannya lebih tinggi dari gerakan pertama, c) lompatan yang lebih tinggi sehingga seluruh badan terlihat jelas, d) lompatan yang melintir, umumnya gerakan ini dilakukan saat hewan ini terganggu ketika pengunjung berada pada jarak yang terlalu dekat, e) gerakan diam sementara pada permukaan air, seperti sedang beristirahat, namun gerakan ini tidak terlalu lama sebelum mereka bergerak lagi atau menyelam. 115.06 115.04 115.02 BUJUR TIMUR 115 114.98 114.96 114.94 114.92 114.9 114.88 5:16:48 5:31:12 5:45:36 6:00:00 6:14:24 6:28:48 6:43:12 6:57:36 7:12:00 7:26:24 7:40:48 Waktu Indonesia Tengah (WITA) Gambar 9. Posisi Bujur Timur lumba-lumba berdasarkan sebaran waktu. 8.165 8.16 Lintang Selatan 8.155 8.15 8.145 8.14 8.135 8.13 5:16:48 5:31:12 5:45:36 6:00:00 6:14:24 6:28:48 6:43:12 6:57:36 7:12:00 7:26:24 7:40:48 Waktu Indonesia Tengah (WITA) Gambar 10. Posisi Lintang Selatan Lumba-lumba berdasarkan sebaran waktu Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 25 ISSN: 1411-9587 Survai Populasi Lumba-lumba ………………. Pergerakan dari satu tempat ke tempat lain pada hewan laut didefinisikan secara sederhana sebagai migrasi atau ruaya. Tujuan pergerakan hewan tersebut dapat terbagi menjadi ruaya mencari makan, ruaya memijah (perkawinan), atau ruaya menghindari ancaman. Jika dihubungkan dengan kenyataan bahwa lumba lumba termasuk mamalia air yang dapat mencapai umur panjang dan melakukan migrasi dalam jarak yang jauh sampai ribuan mil, diduga bahwa lumba lumba yang berada di perairan Buleleng adalah kelompok yang “singgah sementara” sebelum mereka meneruskan perjalanan ke perairan lainnya. Namun belum ada informasi yang dapat dipercaya ke wilayah mana mereka akan bergerak. Diduga kelompok yang ditemukan sekarang dapat mencapai daerah migrasi sampai perairan bagian utara Benua Australia. “Satellite tagging” merupakan metode yang mungkin bisa menjawab pertanyaan ini. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Tim Kajian Terumbu Karang dan Lumba lumba FPIK IPB, yakni (Alm.) Dr. Unggul Aktani, Dr. Totok Hestirianoto, Dr. I Wayan Nurjaya, Dr. Wazir Mawardi dan Ali Mashar, S.Pi., M.Si., atas kerjasama di lapangan selama studi berlangsung dan dalam analisis data. Penelitian ini merupakan bagian dari kerjasama antara PT. Indonesia Power dengan FPIK-IPB tahun 2005. Terima kasih atas komentar konstruktif dari mitra bestari. DAFTAR PUSTAKA Alava, J. J., M. J. Barragan, C. Castro & R. Carvajal. 2005. A note on strandings and entanglements of humpback whales (Megaptera novaengliae) in Ecuador. Journal of Cetacean Research Management 7(2): 163-168. Cockcroft, V.G. & G. J. B. Ross. 1990. Food and feeding of the Indian Ocean bottlenose dolphin off Southern Natal, South Africa. In: S. Leatherwood and Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 R.R. Reeves (eds.). The bottlenose dolphin. Academic Press, Inc., San Diego. Pp.295-308. Hillman, G.R., B. Würsig, G. A. Gailey, N. Kehtarnavaz, A. Drobyshevsky, B. N. Araabi, H. D. Tagare & D. W. Weller. 2003. Computer-assisted photoidentification of individual marine vertebrates: a multi-species system. Aquatic Mammals 29(1): 117–123. Hoffman, C.C. 1995. The feasibility of the proposed sanctuary for the Chinese white dolphin, Sousa chinensis, at Lung Kwu Chau and Sha Chau, Hong Kong. Unpublished report to the World Wide Fund for Nature Hong Kong, 51 pp. Karczmarski, L., M. Thornthon & V.G. Cockcroft. 1997. Description of selected behaviours of humpback dolphins Sousa chinensis. Aquatic Mammals 23(3): 127133. Kreb, D. & Budiono. 2005. Cetacean diversity and habitat preferences in tropical waters of east Kalimantan, Indonesia. The Raffles Bulletin of Zoology 53 (1): 149 – 155. Lammers, O. 2004. Occurrence and behavior of Hawaiian spinner dolphins (Stenella longirostris) along Oahu’s Leeward and South Shores. Aquatic Mammals 30(2): 237-250. Mustika, P.L.K., A. Birtles, L. Welters & H. Marsh. 2012. The economic influence of community-based dolphin watching on a local economy in a developing country: Implications for conservation. Ecological Economics 79: 11-20. Neumann, D.R. & M.B. Orams. 2003. Feeding behaviours of short-beaked common dolphins, Delphinus delphis, in New Zealand. Aquatic Mammals 29 (1): 137–149. Psarakos, S., D.L. Herzing & K. Marten. 2003. Mixed-species associations between pantropical spotted dolphins (Stenella attenuata) and Hawaiian spinner dolphins (Stenella longirostris) 26 ISSN: 1411-9587 Survai Populasi Lumba-lumba ………………. off Oahu, Hawaii. Aquatic Mammals 29 (3): 390–395. Rudolph, P., C. Smeenk & S. Leatherwood. 1997. Checklist of Cetacea in the Indonesian Archipelago. Zoologische Verhandelingen Leiden 312: 1-48. Silber, G.K. & D. Fertil. 1995. Intentional beaching by bottlenose dolphins (Tursips runcatus) in the Colorado River Delta, Mexico. Aquatic Mammals 21(3): 183186. Torda, G., P.L. Suárez and L.F.L. Jurado. 2010. First records of Fraser’s dolphin Lagenodelphis hosei for the Cape Verde Islands. Zoologia Caboverdiana 1(1): 71-73. Verwey, J. & W.J. Wolff. 1981. The bottlenose dolphin (Tursiops truncatus). In: P.J.H. Reijnders and W.J. Wolff (eds.). Marine Mammals of the Wadden Sea. Pp. 759-764. Stichting Veth tot Steun aan Waddenonderzoek, Leiden, the Netherlands. Wardiatno, Y., C. Irfangi & T. Hestirianoto. 2010. Dolphins encountered in Kepulauan Seribu. Ilmu Kelautan 15(4): 202-213. Wűrsig, B. 1986. Delphinid foraging strategies. In: R. J. Schusterman, J. A. Thomas & F.G. Wood (eds.). Dolphin cognition and behavior: a comparative approach. Lawrence Erlbaum Assoc: Hillsdale, NJ. Pp. 347-359. Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 27 ISSN: 1411-9587 Konsorsium Mikroalga …………… KONSORSIUM MIKROALGA UNTUK PRODUKSI MINYAK BIODIESEL Suripto. Lalu Japa dan Erin Ryantin Gunawan ABSTRACT Oil potential producing microalgae have been observed for the waters Lombok island. The potential of microalgae was firstly determined based on individual density percentage domination of each species. Samples collection was done by using a nylon plankton net of 20 micron mesh size. Sample observation and species identification were conducted in Biology Laboratory of Mathemathic and Sains Fakulty, University of Mataram. Based on the data of density and percentage domination, the community of marine mircroalgae of Lombok island waters were dominated by Bacteriastrum delicatulum, B. varians, Chaetoceros affinis, C. liciniosum, C. lorenzianum, Gyrosigma sp., Oscillatoria sp., Pseudonitzschia spp., dan Thalassionema nitzschicoides. Mainwhile, the community of fresh water microalgae species identified in high density and percentage domination in Lombok island water were Microcystis aeruginosa, Microcystis incerta, Nostoc sp., Pediastrum boryanum, Staurastum cristatum. Some identified species of both marine and fresh water microalgae have potential on producing oil. Key words: Microalgae, density, dominasi, biodiesel, Nusa Tenggara Barat, metode pemekatan A PENDAHULUAN ncaman akan habisnya sumbersumber bahan bakar minyak bumi semakin lama semakin mendekati kenyataan. Semakin besarnya penduduk dunia berarti semakin besar pula kecepatan pemakaian bahan bakar minyak tersebut, terutama digunakan untuk sektor transportasi. Keseluruhan bensin yang digunakan Indonesia di sektor transportasi pada saat ini mencapai lebih dari 20 milyar liter per tahun (Setiogi, 2004; Kabibawa, 2009). Sementara itu, penggunaan bahan bakar dari sumber non-fosil seperti LPG dan bio-fuel, baik berupa bio-etanol dari tanaman busidaya sebagai pengganti bensin maupun biodiesel dari tanaman budidaya sebagai pengganti solar hingga saat ini masih belum dapat secara nyata menggantikan bahan bakar minyak bumi (Waltermann & Streubel, 2010). Jika seluruh bahan bakar minyak yang dijual di pompa-pompa bensin berupa 80% bensin dan 20% biofuel, maka penggunaan Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 28 bensin dapat dihemat. Penghematan bensin berarti pula mengurangi beban polusi udara dari asap kendaraan, karena emisi gas buang pembakaran biofuel jauh lebih rendah daripada pembakaran bensin (Waltermann & Streubel, 2010). Keunggulan lain dari penggunaan bio-fuel adalah bahwa, emisi karbondioksida dari pembakaran biofuel akan lebih mudah dan lebih cepat ditambat kembali oleh tanaman melalui fotosintesis (Hader et al., 2009; Kabibawa, 2009). Pengembangan produksi biofuel dengan bahan baku dari tetes tebu untuk menghasilkan bio-etanol sebagai pengganti bensin dan biji jarak serta jenis tanaman budidaya lainnya untuk menghasilkan biodiesel sebagai pengganti solar menemui masalah berupa diperlukannya lahan yang luas dan berkompetisi dengan lahan pertanian pangan (Setiogi, 2004; Waltermann & Streubel, 2010). Alga, terutama mikroalga atau yang dikenal juga dengan fitoplankton dapat dikembangkan sebagai sumber biofuel, yang selain ramah lingkungan juga sangat ISSN: 1411-9587 Konsorsium Mikroalga …………… mungkin lebih ekonomis dibanding tanaman budidaya. Mikroalga dapat dipandang sebagai penyokong biofuel yang sangat menawan, karena hanya sedikit memerlukan biaya untuk pemeliharaan pertumbuhannya dan tidak bersaing dengan lahan budidaya pertanian pangan. Pengembangan budidaya mikroalga sebagai sumber energi yang ekonomis dan ramah lingkungan hanya dapat dilakukan dengan pembiakan mikroalga tersebut secara intensif. Namun demikian, jenis-jenis mikroalga apa saja yang potensial sebagai sumber biofuel, yang dapat disolasi dari alam Indonesia, khususnya dari perairan yang berbasis alam Wallacea seperti di Nusa Tenggara Barat belum diketahui. Aspek pengembangan budidaya mikroalga dengan perlakuan tertentu seperti spektrum cahaya yang cocok untuk meningkatkan produktivitas dan perlakuan eliminasi N untuk merangsang peningkatan produksi minyak dari kultur mikroalga juga belum diteliti. Dengan demikian, sebuah penelitian mikroalga perlu dilakukan untuk mengetahui jenis-jenisnya yang potensial penghasil biofuel, yang dapat diisolasi dari alam Indonesia, khususnya dari perairan Nusa Tenggara Barat yang memiliki ciri alam khas daerah Wallacea di Indonesia. Penelitian dengan percobaan-percobaan juga perlu dilakukan dengan perlakuan spektrum cahaya yang diberikan untuk meningkatkan produktivitas biomassa dan perlakuan eliminasi N untuk merangsang produksi minyak terhadap masing-masing jenis mikroalga yang diteliti. Penelitian pengembangan budidaya mikroalga untuk menghasilkan minyak biodiesel ini perlu segera dilakukan, mengingat kelangkaan solar di Nusa Tenggara Barat makin sering terjadi. Selain digunakan untuk kendaraan bermesin diesel, solar di provinsi ini juga digunakan oleh banyak mesin diesel sektor lain seperti heler dan traktor pada sektor pertanian dan mesin diesel untuk pembangkit listrik. Sementara Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 29 itu, produksi bio-etanol sebagai pengganti bensin ataupun biodiesel sebagai penganti solar dari tanaman budidaya dianggap masih kurang ekonomis, memerlukan waktu yang lama dan memerlukan lahan yang sangat luas, serta bersaing dengan lahan pertanian pangan. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan utama. Tahapan utama, yaitu studi literatur dan pemetaan distribusi jenis-jenis mikroalga penghasil biofuel berbasis alam Wallacea di Nusa Tenggara Barat, isolasi setiap jenis mikroalga yang potensial penghasil minyak dari perairan laut pantai dan perairan tawar kolam dan perairan bendungan. Daftar sumber sampel disajikan dalam Tabel 1. Sampel mikroalga diisolasi dari perairan dengan menggunakan metode pemekatan untuk diidentifikasi dan dihitung kemelimpahannya di Laboratorium Biologi Fakultas MIPA Universitas Mataram. Pengambilan sampel menggunakan jaring plankton bermata jaring berukuran 20 m dan sampel diawet dalam larutan formalin 4%. Identifikasi jenis dilakukan secara morfologi (Hall dan Smol, 1999) dengan mengacu pada buku yang ditulis oleh Lebour (1930), Allen and Cupp (1935), Smith (1950), Davis (1955), Belcher and Swale (1976), Simonsen (1974), Taylor (1976), Ingram dan Hawking (1977), Vinyard (1979), Navarro (1982), Pentecost (1984), Yamaji (1984), dan Hernandez-Becerril (1996), dan Arrignon (1999). ISSN: 1411-9587 Konsorsium Mikroalga …………… Tabel 1. Daftar sampel yang diamati No. Sumber Sampel 1. Teluk Nare, Lombok Utara 2. Labuhan Pandan, Lombok Timur 3. Tanjung Ringgit, Lombok Timur 4. Teluk Saleh, sekitar Kabupaten Dompu dan Bima 5. Kali Beh Desa Senawang Kabupaten Sumbawa 6. Kolam TPA Kebun Kongok, Lombok Barat 7. Bendungan Batujai, Lombok Tengah 8. Danau Asin Gili Meno, Lombok Utara 9. Persawahan Desa Sukarara, Lombok Tengah 10. Kolam Taman Loang Baloq, Kota Mataram 11. Kolam Budidaya Ikan Lingsar, Lombok Barat 12. Kolam Budidaya Ikan Desa Labulia, Lombok Tengah 13. Bendungan Jenggik, Lombok Tengah 14. Bendungan Muncan, Lombok Tengah Analisis data kemelimpahan dilakukan berdasarkan perhitungan jumlah individu setiap jenis dalam 1 (satu) liter air dilakukan dengan menggunakan rumus dalam Romimuhtarto dan Juwana (2001). Perhitungan persentase dominasi berdasarkan Surasana dan Taufikurraman (1992). Sedangkan indeks keanekaragaman jenis mikroalga ditentukan berdasarkan ketentuan pengolahan data mikroalga yang umum digunakan (Barus, 2002), dan berdasarkan “Indeks Shannon-Wienner” dengan rumus dalam Cox (1976), Dahuri et al. (1993), Romimuhtarto dan Juwana, (2001). HASIL DAN PEMBAHASAN Mikroalga Potensial Sumber Minyak Biodiesel dari Perairan Laut Nusa Tenggara Barat Komunitas fitoplankton perairan baguan Utara, Timur, dan Selatan Pulau Lombok (Teluk Nare, Labuhan Pandan, dan Tanjung Ringgit) didominasi oleh Bacteriastrum delicatulum, masing-masing dengan nilai penting (NP) dan kemelimpahan 18,519% dan 45 ind/L, 13,667% dan 35,1 ind/L, dan 14,823% dan 12,150 ind/L. Pada perairan Teluk Nare, jenis lainnya yang memiliki nilai Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 30 penting dan kemelimpahan tinggi setelah Bacteriastrum delicatulum berturut-turut adalah Chaetoceros liciniosum (NP= 15,259%), Chaetoceros diversum (NP = 13,481%), Pseudonitzschia spp. (NP=12,840), dan Thalassionema nitzschicoides (NP =12,148%), masingmasing dengan kemelimpahan 35,1 ind/L, 29,7 ind/L, 31,5 ind/L dan 25,65 ind/L. Sedangkan pada perairan Labuhan Pandan, jenis lain yang juga cukup dominan di perairan Labuhan Pandan adalah Chaetoceros lorenzianum dengan nilai penting sebesar 10,850% dan densitas sebesar 23,850 ind/L dan Bacteriastrum varians (NP = 10,046% dan D = 23,400). Indeks keanekaragaman jenis fitoplankton di perairan Labuhan Pandang sebesar 3,247 (keanekaragaman kategori sedang). Selanjutnya pada perairan Tanjung Ringgit, komunitas fitoplankton didominasi oleh Chaetoceros affinis (D = 16,200 ind/L dan NP = 16,778%). Selanjutnya, pada perairan Tanjung Ringgit, Chaetoceros curvisetus juga memiliki kemelimpahan dan dominasi yang sama Bacteriastrum delicatulum (D =12,150 ind/L dan NP = 14,823%). Komunitas fitoplankton perairan Teluk Saleh teridentifikasi 43 taksa. Lima jenis dengan kemelimpahan dan nilai persentase (NP) ISSN: 1411-9587 Konsorsium Mikroalga …………… tertinggi meliputi : Chaetoceros radicans (D = 272 dan NP = 10,583%), C. dichaeta (D = 268 dan NP = 10,445%), C. debilis (D= 224 dan NP = 8,925%), C. curvisetum (D = 204 dan NP = 8,235%), dan C. siamense (D = 180 dan NP = 7,406%). Semua jenis ini adalah anggota dari genus Chaetoceros. Jenis lain yang juga memiliki kemelimpahan dan dominasi tinggi adalah Pleurosigma sp. (D = 156 dan NP = 8,958%), Pleurosigma normanii (D = 120 dan NP = 8,906%), dan Nitzschia sigma (D = 116 dan NP = 8,767%). Data selengkapnya disajikan sebagai Tabel 1 di bawah ini. Secara umum dilihat dari jumlah jenis, maka keempat titik sampling didominasi oleh genus Chaetoceros, masing-masing 11, 9, dan 7 jenis berturut-turut pada Teluk Nare, Labuhan Pandan dan Tanjung Ringgit. Tetapi Bacteriastrum delicatulum adalah jenis yang paling dominan dan melimpah di ketiga lokasi sampling dalam studi ini. Jumlah jenis dari genus Chaetoceros dilaporkan mendominasi jenis yang lain di perairan pantai Pulau Lombok maupun pantai Pulau Sumbawa. Beberapa penelitian sebelumnya juga melaporkan, bahwa jumlah jenis dari genus Chaetoseros lebih banyak dari jumlah jenis dari genus yang lain (Japa, 2000, Japa dan Didik, 2007, Feranita, 2002, Sumarni, 2003, Japa dan Suripto, 2003, Japa dan Karnan, 2007), dan Japa et al., 2004). Diatom genus Chaetoceros juga dilaporkan sebagai komponen fitoplankton laut yang melimpah, dan jumlah spesies sangat banyak (Hernandez-Becerril, 1996). Mikroalga Potensial Sumber Minyak Biodiesel dari Perairan Tawar Nusa Tenggara Barat Distribusi jenis berikut kemelimpahan fitoplankton air tawar di sekitar perairan pulau Lombok sangat beragam. Jenis dan sebaran mikroalga yang teridentifikasi di perairan sekitar dan kolam TPA Kebun Kongok Lombok Barat didominasi oleh Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 31 Chlamidomonas sp., dengan kemelimpahan mencapai 248.387.500 Ind./L. Lima jenis fitoplankton dengan kemelimpahan (jumlah individu per liter) tertinggi pada perairan bendungan Batujai Lombok Tengah berturut-turut adalah Microcystis aeruginosa, Microcystis incerta, Nostoc sp., Pediastrum boryanum, dan Staurastum cristatum. Berdasarkan besarnya nilai penting (NP), maka kelima jenis fitoplankton ini dominan di perairan bendungan Batujai. Microcystis sp., juga teridenttifikasi paling melimpah di perairan bendungan Batujai (Japa, 2000: Sulistiawati, 2003). Pediastrum boryanum juga dilaporkan melimpah di perairan bendungan Pengga (Oktapiani, 2007). Kemelipahan Microcystis sp. mengalami puncaknya pada bulan-bulan panas musim kemarau (Agustus – Nopember), kemudian menurun drastis pada bulan-bulan puncak curah hujan musim penghujan (Januari – April). Dari 11 jenis mikroalga yang teridentifikasi di Danau Asin Gili Meno, jenis dengan sebaran tertinggi (ditemukan disemua stasiun sampling) adalah Gyrosigma sp. dan Oscillatoria sp. Kedua jenis ini juga termasuk yang paling tinggi kemelimpahan dan nilai pentingnya (persentase dominasinya). Dalam Lima jenis lainnya dengan kemelimpahan lebih rendah berturutturut adalah Oscillatoria sp. (60 Ind./L), Gyrosigma sp. (50 Ind./L), Cyclotella sp. sebanyak (38,750 Ind./L), Peridinium sp. (31,250 Ind./L), dan Nitzschia sp.1 (21,250 Ind./L). Gyrosigma sp. sebelumnya juga dilaporkan paling melimpah di danau Asin Gili Meno (Japa et al., 2002)Berdasarkan Indeks Shannon-Wiener, diperoleh indeks keanekaragaman jenis (H’) fitoplankton Danau Asin Gili Meno Lombok Utara sebesar 1,837, termasuk kategori rendah. Euglena sp. juga merupakan mikroalga yang dominan di perairan kolam taman kota Loang Baloq Kota Mataram. Jenis ini memiliki kemelimpahan mencapai 33.850 ind/L dan nilai penting sebesar 126,172%. ISSN: 1411-9587 Konsorsium Mikroalga …………… Euglena gracilis dilaporkan memiliki kandungan lipid 14-20% (Anonim, 2013). Perairan kolam budidaya ikan di Desa Lingsar Lombok Barat didominasi oleh Pediastrum sp.3, dan Pediastrum sp.1, masing-masing dengan kemelimpahan dan nilai penting 35.600 ind/L (NP = 61,525%) dan 15.850 ind/L (NP = 33,687%). Pada beberapa sumber air di Lombok Tengah (Desa Labulia, Sukarara, Kopang, dan Muncan), air kolam pemeliharaan ikan di Desa Labulia didominasi oleh Pandorina sp., dan Chlamidomonas sp., dengan kemelimpahan dan nilai penting masingmasing berturut-turut 4.080.000 ind/L (NP = 79,868%) dan 1.024.000 ind/L (NP = 33,062%). Selanjutnya, Euglena sp. medominasi perairan kubangan di Desa Sukarara Lombok Tengah. Jenis ini memiliki kemelimpahan mencapai 2.183,333 ind/L dan nilai penting sebesar 79,450% . Pada perairan bendungan Jenggik, dari total 16 jenis fitoplankton yang teridentifikasi, Peridinium sp. adalah jenis yang memiliki kemelimpahan dan nilai penting tertinggi pertama (D = 1.986,667 ind/L dan NP = 54,701%), disusul oleh Nostoc sp. (D = 1.213,333 ind/L dan Np = 36,745%). Jenis lain seperti Anabaena sp., Closterium sp., Cyclotella sp., Cylendrospermopsis sp., Leptocylendricus sp., dan Pediastrum sp., masing-masing memiliki sebaran, kemelimpahan dan nilai penting relatif sama. Berbeda dengan perairan bendungan Muncan, dimana Cylendrospermopsis sp. termasuk jenis dengan kemelimpahan dan nilai penting tertinggi kedua, sedang di perairan bendungan Jenggik, Cylendrospermopsis sp. adalah jenis dengan kemelimpahan dan nilai penting jauh lebih rendah dibanding yang di perairan bendungan Muncan, tetapi sebeliknya untuk Nostoc sp. Sedangkan pada komunitas fitoplankton perairan bendungan Muncan didominasi oleh Cylendrospermopsis sp. dengan kemelimpahan mencapai 1.400 ind/L dan nilai penting sebesar 83,333%. Jenis dengan kemelimpahan dan nilai penting Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 32 tertinggi kedua adalah Peridinium sp. (D = 906,667 ind/L dan NP = 62,778%). Jumlah taksa yang teridentifikasi pada perairan ini jauh lebih rendah dengan dengan perairan bendugan Jenggik. Namun Peridinium sp. adalah jenis yang juga tinggi kemelimpahan dan nilai pentingnya. Pada perairan kali Beh, di sekitar wilayah Desa Senawang Kecamatan Orong Telu, Sumbawa, total diatom yang teridentifikasi mencapai 23 taksa (genus dan jenis). Dari total 23 taksa (genus) diatom yang teridentikasi terdistribusi 14 taksa pada kali Beh 1, 19 taksa pada kali Rea, dan masing-masing 18 taksa pada kali Beh 2 dan kali Rea. Dominasi Diatom pada perairan ini bisa jadi disebabkan karena mempunyai kemampuan beradaptasi sangat baik pada kondisi perairan yang berturbulansi tinggi (Smayda, 1980). Dominasi diatom terhadap jenis fitoplankton lain juga dilaporkan oleh Grant and Kerr (1970), Hallegraeff and Jeffrey (1984), Burford et al. (1995), Ramaiah and Nair (1998), dan Tiwari and Nair (1998). Lebih jauh dilaporkan, bahwa komunitas mikroalga hamper selalu didominasi oleh diatoms dengan tingkat afinitas substrat yang tinggi (Anonim, 2012). Sebaran dan kelimpahan masingmasing taksa bervariasi pada setiap titik sampling. Taksa (genus) yang memiliki sebaran pada setiap titik sampling diwakili oleh Cocconeis, Epithemia, Fragilaria, dan Nitzschia. Jumlah taksa yang teridentifikasi pada setiap titik sampling juga tidak jauh berbeda, kecuali pada titik sampling pertama (kali Beh (1)) hanya 14 taksa, 18 taksa teridentifikasi pada kali Beh (2) dan kali Sakal, dan 19 taksa teridentifikasi di kali Rea. Selanjutnya, kemelimpahan (jumlah individu per liter) lima tertinggi dimiliki oleh berturut-turut: Cocconeis, (978 ind/L), Suriella (773 ind/L), Epithemia (677 ind/L), Nitzschia sigma (377 ind/L), dan Fragilaria (183 ind/L). Lima taksa (genus atau jenis) dengan dominasi (nilai penting/NP) tertinggi, berturut-turut: Cocconeis (33,839%), Suriella (27,719%) Epithemia (25,777%), dan ISSN: 1411-9587 Konsorsium Mikroalga …………… Nitzschia sigma (17,759%), dan Diploneis (12,369%). Berdasarkan data kepadatan dan nilai penting, maka taksa (genus) dengan kepadatan dan nilai penting tertinggi dimiliki oleh Cocconeis. Artinya perairan kali Beh Desa Senawang didominasi oleh genus Cocconeis. Sesuai dengan yang dinyatakan Graham et al. (2009), diatom perifitik termasuk Epithemia, Cocconeis, dan Cymbella merupakan bagian dari komunitas mikroperifiton yang menutupi sebagian besar filamen alga, khususnya genus Cladophora. Plankton diatom genus Nitzschia, Suriella, dan Cyclotella, adalah jarang pada aliran sungai yang deras, tetapi umumnya dominan pada aliran sungai yang lambat (Anonim, 2012). KESIMPULAN Berdasarkan data kemelimpahan (jumlah individu per liter) dan nilai dominasi, jenis mikroalga perairan laut di wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat yang potensial untuk dikembangkan menjadi sumber penghasil minyak (biodesel) adalah Bacteriastrum delicatulum, B. varians, Chaetoceros liciniosum, C. diversum, Pseudonitzschia spp., dan Thalassionema nitzschicoides. Sedangkan kelompok mikroalga perairan tawar di Nusa Tenggara Barat (khususnya Pulau Lombok) terdiri atas Chlamidomonas sp., Cylendrospermopsis sp., Euglena sp., Gyrosigma sp., Microcystis aeruginosa, M. incerta, Nitzschia sp., Nostoc sp., Oscillatoria sp., Pandorina sp., Pediastrum boryanum, Pediastrum spp., Peridinium sp., dan Staurastum cristatum. DAFTAR PUSTAKA Allen, W.E. dan C. Cupp, 1935, Plankton Diatom of the Java Sea, Annales du jardin Botanique de Buitenzorg, 44:101174. Anonim, 2012, Algae, http://forestencyclopedia.net/p/p1509. Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 33 Anon, 2013, Algae fuel, food and waste disposal will reduce atmospheric CO2, http://www.rationallink.org/algae.htm, 23-10-2013, 12.01 wita. Barus, I.T.A., 2002, Pengantar Limnologi, Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta. Belcher, J.H., dan E.M.F., Swale, 1976, A Beginner’s Guide to Freshwater Algae, Institude of Terrestrial Ecology Natural Environmental Research Council, Cambridge, London. Burford, M.A., P.C. Rothlisberg, and Y.G. Wang, 1995, Spatial and Temporal Distribution of Tropical Phytoplankton Species and Biomass in the Gulf of Carpenteria, Australia, Marine Ecology-Progress Series, 118(1-3): 255-266. Cox, G.W., 1976, Laboratory Manual of General Ecology, W,M,C, Brown Co, Publisher, Iowa. Dahuri, R., I.Ny.S. Putra, Zairion, dan Sulistiono, 1993, Metode dan Teknik Analisis Biota Perairan, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga Penelitian, IPB, Bogor. Davis, C.C., 1955, The Marine and Freshwater Plankton, Michigan State University Press, Chicago. Feranita, 2002, Evaluasi Kandungan Nitrat, Fosfat dan Kelimpahan Fitoplankton Di Perairan Pelabuhan Kayangan Lombok Timur, Laporan tidak dipublikasikan. Program Studi Pendidikan Biologi. Universitas Mataram. Grant, B.R., dan J.D. Kerr, 1970, Phytoplankton Numbers and Species at Port Hacking Station and Their Relationship to the Physical Environment, Aust. J. Mar. Freshwat. Res., 21: 35-45. Hader, D.P., R.C. Worrest, H.D. Kumar, dan R.C. Smith, 2009, Effects of Increased Solar Ultraviolet Radiation on Aquatic Ecosystems, Ambio, 24(3): 174-180. ISSN: 1411-9587 Konsorsium Mikroalga …………… Hall, R.I, dan J.P, Smol, 1999, Diatoms as Indicators of Lake Eutrophication, di dalam E,F, Stoermer dan J,P, Smol (Editor), The Diatoms: Applications for the Environmental and Earth Sciences, Cambride University Press, United Kingdom. Hallegraeff, G.M., and S.W. Jeffrey, 1984, Tropical Phytoplankton Species and Pigments of Continental Shelf Waters of North and North-West Australia, Marine Ecology Progress Series, 20: 59-74. Hernandez-Becerril, D.U., 1996, A Morphological Study of Chaetoceros Species (Bacillariophyta) from the Plankton of the Pacific Ocean of Mexico, Bull, Nat, Hist, Mus, Lond, (Bot,), 26(1): 1-73. Japa, L., 2000, Seasonal Succession of Phytoplankton Communities in Lombok Indonesian Coastal Waters, with Emphasis on Species of the Diatom Genera Pseudo-nitzshia and Thalassiosira, Thesis, Program Master, Universitas Tasmania. Japa, L. dan Suripto, 2003, Inventarisasi Spesies Fitoplankton Di Kawasan Perairan Budidaya Kerang Mutiara Dadap Sambelia Lombok Timur, Laporan Penelitian, Universitas Mataram. Japa, L., dan Karnan, 2007, Studi Komunitas Fitoplankton Di Perairan Pantai Kota Mataram, Jurnal Biologi Tropis, Vol. 8 No. 1: 7-12. Japa, L. dan D. Santoso, 2007, Analisis Kuantitatif Komunitas Fitoplankton Perairan Pelabuhan Lembar, Lombok Barat, Jurnal Biologi Tropis, Vol. 8 No. 2. Pentecost, A., 1984, Itroduction To Fresh Water Algae, The Richomond Publishing Co. Ltd., England. Smith, G.M., 1950, Fresh-Water Algae of the United States, Edisi Kedua, McGrawHill Book Company, Inc., New York. Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 34 Suripto, L. Japa, dan L. Zulkifli, 2002, Fenologi Plankton Di Danau Asin Gili Meno Nusa Tenggara Barat, Jurnal Biologi Tropis, Pendidikan Biologi PMIPA FKIP Universitas Mataram, Vol. 3 No. 1: 51-52. Japa, L., Karnan, dan D. Santoso, 2004, Survei Kuantitatif Komunitas Fitoplankton dan Zooplankton Perairan Suaka Perikanan Gili Ranggo, Teluk Serewe, Lombok Timur Laporan tidak dipublikasikan, Lembaga Penelitian, Universitas Mataram. Kabinawa, I.N.K., 2009, Kultur Mikroalga: Aspek dan Prospek, Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi Mikroalga 1993: 21-43. Ramaiah, N., and V.R. Nair, 1998, Phytoplankton Characteristics in a Polluted Bombay Harbour-ThanaBassein Creek Estuarine Complex, Indian Journal of Marine Sciences, 27(3-4): 281-285. Lebour, M.Y., 1930, The Planktonic Diatoms of Northern Seas, Adlard and Son, Limited, London. Navarro, J.N., 1982, A Survey of the Marine Diatoms of Puerto Rico III, Suborder Biddulphiineae: Family Chaetoceraceae, Botanica Marina, 25: 305-319. Oktapiani, Y., 2007, Komunitas Fitoplankton Di Perairan Bendungan Pengga Lombok Tengah, Skripsi, S1 Program Studi Biologi Universitas Mataram. Romimuhtarto, K, dan S, Juwana, 2001, Biologi Laut Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut, Djambatan, Jakarta. Setiogi, S.P., 2004, Trial begins for environmentally friendly fuel. News. The Jakarta post. Tue, 09/28/2004. Simonsen, R., 1974, The Diatom Plankton of the Indian Ocean Expedition of R/V ‘Meteor” 1964-1965, “Meteor” Forsch,Ergebnisse, Berlin Stuttgart, 19(D): 1107, Smayda, T.J., 1980, Phytoplankton Species Succession, In: I. Morris (Editor), The ISSN: 1411-9587 Konsorsium Mikroalga …………… Physiological Ecology of Phytoplankton, Blackwell Scientific Publications, Oxford, London. Sulistiawati, Y., 2003, Distribusi Tiga Jenis Alga Cyanobacteria Di Perairan Bendungan Batujai Lombok Tengah, Skripsi, S1 Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mataram. Sumarni, 2003, Keanekaragaman Jenis dan Kemelimpahan Bacillariophyta (Diatom) Di Perairan Pantai Kerta Sari Taliwang Sumbawa, Skripsi, S1 Program Studi Pendidikan Biologi, Universitas Mataram. Surasana, E. dan Taufikurrahman, 1992, Petunjuk Praktikum Ekologi Tumbuhan, ITB Bandung. Taylor, F.J.R., 1976, Dinoflagellates from the International Indian Ocean Expedition: A Report on Material Collected by the R,V, “Anton Bruun” 1963-1964, Stuttgart, E, Schweizerbart’sche Verlagsbuchhandlung (Nagele u, Obermiller). Tiwari, L.R., and Nair, V.R., 1998, Ecology of Phytoplankton from Dharamtar Creek, West Coast of India, Indian Journal of Marine Sciences, 27(3-4): 302-309. Vinyard, W.C., 1979, Diatoms of North America, Mad River Press, Inc., California. Waltermann, B. & H. Streubel, 2010, Bright future for biodeasel in Indonesia, News, The Jakarta Post, Mon, 02/08/2010. Yamaji, I., 1984, Illustrations of The Marine Plankton of Japan, 3rd, Eddition, Hoikusha Publishing Co., Ltd., Japan. Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 35 ISSN: 1411-9587 Studi Morfometrik dan Meristik ………………. STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK KERANG POKEA (Batissa violacea var. celebensis, von MARTENS 1897) DI SUNGAI POHARA SULAWESI TENGGARA Bahtiar1, Wa Nurgaya1, La Anadi1 1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo email : [email protected] Abstract Pokea a freshwater bivalves whose distribution is relatively different from the same genus in other areas. Excessive exploitation in nature could reduce the quality and quantity of this clam. This study was aimed to determine the morphometric characters of pokea. This research was conducted at the mouth of the Pohara river in three stations of the earliest until the last in a year of pokea existence during March 2007-February 2008. Data were analyzed descriptive quantitatively. Length-weight relationship was analyzed by simple regression. The condition factor was calculated with the formula Effendi (2000) and the proportion of clams morphometric was calculated semi quantitatively. The results showed that the value of b has an irregular pattern based on the observation but spatially demonstrate the value of b is higher in remote areas from estuary. Pokea condition factor of males and females did not differ relatively spatial and temporal ranges respectively 0.95-1.058 and 0.95-1.032. PC and TC/LC proportion tends to decline with the higher size class. The proportion of PC/LC on pokea males and females showed a similar trend but the proportion of TC/LC tend to be larger in males than females. BDB and BDK upon BT tended to be lower in males than females pokea. Key words : Morphometrics, Meristic, Pokea, River, Pohara. S 1977), Papua Barat (Djajasasmita, 1977) dan Sulawesi (Kusnoto, 1953). Di Sulawesi Tenggara, jenis ini ditemukan tersebar merata di sepanjang Jazirah Tenggara terutama pada beberapa sungai besar seperti Sungai Pohara, Sungai Lasolo, Sungai Osana, Sungai Laeya dan Sungai Roraya (Bahtiar, 2005). Kerang pokea telah lama dijadikan bahan makanan oleh masyarakat yang mendiami jazirah Konawe sebagai lauk. Karena besarnya permintaan masyarakat akan daging kerang maka sebagian masyarakat telah mengusahakannya dengan mengambilnya di alam sehingga menjadi mata pencaharian utama dari masyarakat tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Bahtiar (2012) menunjukkan bahwa produksi kerang pokea yang didaratkan di Pasar Pohara dalam setahun dapat mencapai 152879 kg berat basah. Namun tidak diketahui secara pasti besarnya produksi total Pendahuluan ungai Pohara merupakan sungai yang mengalir sepanjang tahun (permanen) yang menyimpan potensi sumberdaya hayati. Salah satu diantaranya adalah jenis kerang air tawar yang masyarakat sekitarnya menyebutnya dengan nama pokea (Batissa violacea var. celebensis, von Martens 1897). Pokea (Batissa violacea var. celebensis, von Marten 1897) (Kusnoto, 1953) merupakan bivalvia air tawar yang berasal dari spesies Batissa violacea. Genus Batissa mempunyai penyebaran geografis yang cukup luas, meliputi bagian barat pasifik (Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Australia barat daya) dan berbagai daerah lainnya di Pasifik (Dudgeon dan Morton, 1989). Menurut Sastrapradja (1977) bahwa B. violacea, Lamarck tersebar di Asia Tenggara dan Australia Utara. Di Indonesia, bivalvia ini tersebar pada beberapa pulau besar yaitu : Sumatra (Putri, 2005), Jawa (Sastrapradja Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014 36 ISSN: 1411-9587 Studi Morfometrik dan Meristik ………………. pokea yang hilang di setiap tahunnya, karena banyaknya tempat pendaratan lain yang tidak terekam. Pengambilan pokea yang dilakukan masyarakat telah mengalami lebih tangkap. Hal ini ditandai dengan banyaknya pokea yang berukuran kecil. Bahtiar dkk (2008) menunjukkan bahwa populasi pokea didominasi ukuran anak dan sedikit dewasa, sedangkan kelompok tua sudah hampir tidak ditemukan. Kondisi ini menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas pokea. Pada sisi lain, belum ada informasi tentang karakter morfometrik pokea diantaranya model pertumbuhan sesaat dari hubungan panjang-berat, kemontokan, proporsi daging untuk tujuan identifikasi kerang pokea yang sejenis dan upaya pengelolaannya, sehingga menjadi penting untuk mengungkap informasi tersebut. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama setahun dari bulan Maret 2007-Februari 2008 di segmen muara Sungai Pohara. Sampel pokea diambil dari 3 stasiun yang dibagi berdasarkan keberadaan kerang pokea. Awal ditemukan pokea yaitu stasiun 1 yang jauh dari muara, pertengahan sungai yaitu stasiun II dan akhir yaitu stasiun III yang dekat dengan muara sekitar 4 km) (Gambar 1). Jumlah sampel yang terambil di setiap stasiun dalam setiap bulan sebanyak ±500 ekor dari semua kelas ukuran. Selanjutnya kerang dibawa ke Laboratorium Perikanan dan Ilmu Kelautan Unhalu untuk dilakukan pengamatan morfometrik. Pokea diukur panjang cangkangnya dengan menggunakan jangka sorong dan ditimbang berat total basah menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0.01g. Selanjutnya, memisahkan pokea jantan dan betina berdasarkan warna gonadnya dan ditimbang berat daging basah dan berat kering. Berat kering didapatkan dengan mengeringkan daging kerang dengan menggunakan oven pada suhu 70oC selama 72 jam. Karakter morfometrik yang dianalisis meliputi : hubungan panjang-berat dengan regresi linier sederhana, faktor kondisi dengan rumus yang dikembangkan oleh Effendi, (2002), dan proporsi lebar (LC) dan tebal cangkang (TC) terhadap panjang cangkang (PC), dan berat daging basah (BDB) dan kering (BDK) terhadap berat total (BT) dianalisis secara semi kuantitatif dalam bentuk persentase (%). Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter morfometrik kerang pokea yang meliputi : hubungan panjangberat, faktor kondisi, proporsi lebar (LC) dan tebal cangkang (TC) terhadap panjang cangkang (PC), dan berat daging basah (BDB) dan kering (BDK) terhadap berat total (BT). Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengelolaan sumberdaya kerang pokea. Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014 37 ISSN: 1411-9587 Studi Morfometrik dan Meristik ………………. Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Sungai Pohara Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014 38 ISSN: 1411-9587 Studi Morfometrik dan Meristik ………………. jantan lebih kecil daripada betina. Nilai b pada jantan berkisar 1.869-2.774, sedangkan nilai b pada betina berkisar 2.092-2.828. Nilai b memperlihatkan kecenderungan pola yang tidak menentu berdasarkan waktu pengamatan (Tabel 1). Hasil dan Pembahasan Hasil Panjang-Berat Pokea Berdasarkan hasil penelitian secara spasial dan temporal menunjukkan bahwa nilai b dari hubungan panjang berat pada Tabel 1. Hubungan panjang-berat berdasarkan stasiun pengamatan Stasiun I II II a 0.334 0.49 0.461 Jantan b 2.774 2.322 2.351 R 0.888 0.882 0.911 a 0.317 0.487 0.448 Secara spasial, nilai b ditemukan lebih tinggi pada stasiun yang lebih dekat dengan muara (stasiun 1) dibandingkan stasiun lainnya (Tabel 2). Secara umum, Betina b 2.828 2.365 2.419 R 0.915 0.893 0.928 hubungan panjang-berat pada kerang pokea jantan dan betina sangat baik dengan nilai R berkisar 0.63-0.97. Tabel 2. Hubungan panjang-berat berdasarkan waktu pengamatan Bulan Maret April Mei Juni Juli Agustus September November Desember Januari Februari a 0.552 0.445 0.416 0.487 0.499 0.919 0.513 0.46 0.382 0.443 0.486 Jantan b 2.327 2.445 2.568 2.387 2.382 1.869 2.367 2.325 2.408 2.391 2.336 R 0.942 0.915 0.97 0.945 0.935 0.926 0.925 0.772 0.909 0.815 0.814 a 0.494 0.39 0.515 * 0.483 0.55 0.483 0.54 0.432 0.388 0.457 Keterangan : * tidak terekam saat penelitian R 0.959 0.961 0.966 * 0.959 0.93 0.899 0.633 0.9 0.882 0.869 Berdasarkan waktu pengamatan faktor kondisi pokea jantan dan betina memperlihatkan kecenderungan nilai yang lebih stabil pada bulan Juli-Oktober. Secara umum, faktor kondisi pokea jantan dan betina relatif tidak berbeda, baik secara spasial maupun temporal (Gambar 2 dan Gambar 3). Faktor Kondisi Faktor kondisi pokea jantan berkisar 0.95-1.058 sedangkan faktor kondisi betina berkisar 0.95-1.032. Pokea jantan dan betina memperlihatkan faktor kondisi yang relatif tidak berbeda, walaupun pada jantan kecenderungan ditemukan adanya peningkatan nilai faktor kondisi di stasiun III. Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014 Betina B 2.413 2.66 2.385 * 2.447 2.343 2.412 2.092 2.463 2.517 2.401 39 ISSN: 1411-9587 Studi Morfometrik dan Meristik ………………. Faktor kondisi 1.3 1.2 1.1 1 Jantan Betina 0.9 I II Stasiun III Gambar 2. Faktor kondisi kerang pokea berdasarkan stasiun pengamatan 1.50 Faktor kondisi 1.30 1.10 0.90 0.70 Jantan Betina 0.50 Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Bulan Gambar 3. Faktor kondisi kerang pokea berdasarkan waktu pengamatan berada pada kisaran 32.97-57.19% dengan nilai tengah masing-masing 42.88 dan 49.07. Hal yang berbeda ditunjukkan pada proporsi BDB/BT pada betina yang cenderung menurun seiring dengan peningkatan kelas ukuran yang berkisar 39.09-77.14% Berat daging kering (BDK)/berat total (BT) pada jantan dan betina masing-masing berkisar 3.75-6.59% dan 3.44-6.34% dengan nilai tengah masing-masing 4.80 dan 4.90. BDK/ BT pada jantan dan betina menunjukkan nilai yang cenderung lebih besar seiring dengan peningkatan kelas ukuran dan proporsi tersebut cenderung lebih rendah pada pokea jantan daripada betina (Gambar 4). Proporsi Morfometrik Kerang Pokea Karakter morfometrik kerang pokea dari beberapa proporsi ukuran cangkang dan berat daging memperlihatkan bahwa lebar cangkang (LC) terhadap panjang cangkang (PC) pada jantan dan betina berkisar 0.770.88 dan 0.80-0.88 dengan nilai tengah masing-masing 0.83 dan 0.84. Tebal cangkang (TC) terhadap panjang cangkang (PC) pada jantan dan betina berkisar 0.390.56 dan 0.35-0.46 dengan nilai tengah masing-masing 0.42 dan 0.40. Proporsi berat daging basah (BDB)/berat total (BT) pada jantan cenderung meningkat pada ukuran tengah kelas dan selanjutnya menurun pada kelas ukuran yang lebih besar yang Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014 40 ISSN: 1411-9587 Studi Morfometrik dan Meristik ………………. 90 70 PC/LC 85 50 80 40 75 30 70 70 60 50 40 30 20 10 0 20 7 6 5 4 3 2 1 0 BDK/BT Persentase (%) BDB/BT Jantan 0.10-0.70 0.71-1.31 1.32-1.92 1.93-2.53 2.54-3.14 3.15-3.75 3.76-4.36 4.37-4.97 4.98-5.58 5.59-6.19 6.20-6.80 6.81-7.41 Betina 0.10-0.70 0.71-1.31 1.32-1.92 1.93-2.53 2.54-3.14 3.15-3.75 3.76-4.36 4.37-4.97 4.98-5.58 5.59-6.19 6.20-6.80 6.81-7.41 Persentase (%) TC/LC 60 Kelas ukuran (cm) Kelas ukuran (cm) Gambar 4. Proporsi morfometrik proporsi lebar (LC) dan tebal cangkang (TC), panjang cangkang (PC), dan berat daging basah (BDB) kering (BDK), dan berat total (BT) untuk menentukan hubungan antara panjang cangkang dan berat total. Hubungan ini menyangkut seberapa besar pengaruh pertambahan panjang cangkang terhadap peningkatan berat total pokea. Hubungan lebar cangkang terhadap berat basah pokea berdasarkan stasiun dan bulan baik jantan maupun betina menunjukkan bahwa nilai b<3. Nilai b pada hubungan lebar cangkang dan berat basah total tidak berbeda jauh dengan penelitian Bahtiar (2005) dan Bahtiar (2007) menunjukkan bahwa nilai b masingmasing yaitu 2.24-2.52 dan 2.10-2.66 dan bivalvia dari beberapa jenis lain pada perairan tawar dan laut (Tabel 3). Pembahasan Hubungan Panjang-Berat Pertumbuhan pokea dapat diketahui dengan mengamati hubungan panjang berat. Hubungan ini dapat diduga dari kecenderungan penyebaran data panjang dan berat yang diperoleh dari pengukuran parameter morfometrik dan meristik pokea. Penduga parameter b dan koefisien hubungan panjang berat dianalisis melalui pendekatan pola eksponensial. Hasil pengukuran panjang berat tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan somatik (Vakily 1989 dalam Setyobudiandi, 2004). Data-data dari nilai a dan b dipergunakan Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014 41 ISSN: 1411-9587 Studi Morfometrik dan Meristik ………………. Tabel 3. Nilai koefisien regresi (b) dari hubungan panjang cangkang-berat tubuh total beberapa jenis bivalvia Jenis Bivalvia Batissa violacea var. kai Perna viridis Batissa violacea Lamarck Batissa violacea var, celebensis Batissa violacea var. celebensis Megapitaria squalida Batissa violacea var. celebensis Pisidium amnicum Nilai b 2.03 – 2.99 0.88 – 2.63 1.43 - 1.77 2.29 – 2.56 2.35-2.89 2.71-3.16 2.10-2.65 2.07 Pustaka Keterangan Ledua et al (1996) Setyobudiandi (2004) Puteri (2005) Bahtiar (2005) Bahtiar (2012) Schweers (2006) Bahtiar (2007) Sousa et al (2008) tawar muara muara tawar tawar laut tawar tawar Berdasarkan hal tersebut, titik keseimbangan pola pertumbuhan somatik pokea (isometrik) pada hubungan lebar cangkang terhadap berat basah berada pada nilai b = 2.50. Hal ini didukung oleh Wilbur dan Owen (1964) melaporkan bahwa nilai isometrik bivalvia yang diamati berada antara 2.40-4.50. Kisaran nilai b yang ditunjukkan pada jantan cenderung lebih kecil dibanding betina. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Bahtiar (2012) dengan kisaran nilai b pada jantan yaitu 2.35-2.64 dan betina yaitu 2.49-2.89. Hal ini menggambarkan titik isometrik pada jantan dan betina tidak selalu persis sama karena pokea jantan mempunyai ukuran yang lebih kecil dibanding betina. Nilai b (pokea jantan dan betina) pada hubungan lebar cangkang terhadap berat basah menunjukan pola yang fluktuatif berdasarkan waktu pengamatan. Hubungan panjang berat tersebut berbeda dengan yang ditemukan oleh Bahtiar (2012) yang cenderung meningkat pada fase perkembangan sampai matang gonad (MaretJuli) dan terus mengalami penurunan sejalan dengan pemijahan (Agustus-Januari). Nilai b yang cenderung stabil pada titik tertentu disebabkan oleh aktivitas pengambilan pokea yang cenderung mengambil ukuran tertentu sehingga populasi yang tersedia di alam berada pada ukuran yang relatif sama. Demikian halnya dengan nilai b yang lebih tinggi di daerah yang lebih jauh dengan muara yang disebabkan oleh intensitas aktivitas penangkapan. Tingginya aktivitas Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014 penangkapan di bagian muara (stasiun II dan III) yang mengambil ukuran yang besar dengan kondisi kualitas daging yang lebih baik menyebabkan nilai b pada pokea relatif lebih kecil. Berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2) di seluruh waktu pengamatan pada hubungan lebar cangkang terhadap berat basah sangat baik. Hal ini dapat berarti bahwa pertambahan lebar cangkang diikuti dengan peningkatan berat pokea. Faktor kondisi pada pokea jantan dan betina relatif tidak berbeda baik secara spasial maupun temporal. Kondisi ini menggambarkan sebaran makanan di sepanjang Sungai Pohara (awal keberadaan pokea-dekat muara) relatif terdistribusi merata. Nilai faktor kondisi yang ditemukan lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang sama oleh Kamuliati (2013) dengan nilai faktor kondisi berkisar 1.43-1.46. Namun relatif berada pada kisaran yang sama dengan bivalvia dari jenis lain yaitu kerang kalandue (Polymesoda erosa) yang berkisar 0.63-1.35 (Akbar, 2013). Rendahnya nilai faktor kondisi dibandingkan dengan penelitian yang sama pada tahun 2013 disebabkan oleh aktivitas penambangan pasir intensif yang menganggu pola makan kerang pokea. Pokea yang mempunyai mekanisme makan dan respirasi yang satu menjadi sangat susah untuk memisahkan material yang tidak termanfaatkan dengan nutrisi yang dibutuhkan. Hal yang paling ekstrim terjadi dengan banyaknya pokea yang ditemukan mati di daerah sekitar penambangan pasir. 42 ISSN: 1411-9587 Studi Morfometrik dan Meristik ………………. Proporsi panjang dan tebal terhadap lebar cangkang dapat digunakan untuk mengetahui taksonomi kerang pokea. Hal ini dimaksud untuk mengetahui kerang pada daerah lain yang secara genetis mempunyai hubungan kekerabatan seperti pada kerang lokan (Batissa violacea, Lacmark) dan sejenisnya. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan PC dan TC terhadap LC cenderung menurun seiring dengan pertambahan kelas ukuran kerang. PC terhadap LC pada pokea jantan dan betina memperlihatkan kecenderungan yang sama namun TC terhadap LC pada jantan cenderung lebih besar daripada kerang betina. Proporsi BDB dan BDK terhadap BT digunakan untuk mengetahui seberapa besar kuantitas daging yang dapat dimanfaatkan. Kuantitas daging betina cenderung lebih besar daripada pokea jantan. Secara keseluruhan, jumlah daging yang dapat dimanfaatkan sangat kecil dari total tubuhnya karena cangkang dan air mendominasi tubuh kerang pokea. Hal ini terlihat jelas dari nilai proporsi BDB dan BDK terhadap BT pada kerang pokea. Beberapa jenis kerang seperti kerang kalandue memperlihatkan nilai proporsi yang relatif berbeda. Proporsi nilai BDB/BT kerang kalandue berada pada kisaran 8.09-42.86%, sedangkan BDK/BT relatif lebih besar dibanding pokea yang berkisar 12.41-17.82%. Hal ini dapat berarti pula bahwa, kerang kalandue mempunyai kuantitas daging (dimanfaatkan) lebih besar daripada kerang pokea. Rendahnya kuantitas daging pokea diduga oleh kurangnya pasokan nutrisi saat tingginya aktivitas penambangan di tahun tersebut. 3. Proporsi TC dan LC pada pokea jantan cenderung lebih besar daripada betina 4. Kuantitas daging yang dimanfaatkan pokea jantan lebih kecil dibandingkan betina dengan nilai rata-rata masingmasing 4.80 dan 4.90. Daftar Pustaka Akbar, J. 2013. Studi Morfometrik Kerang Kalandue (Polymesoda erosa) di Hutan Mangrove Teluk Kendari. Skripsi. UHO. Bahtiar, 2012. Studi Bioekologi dan Dinamika Populasi Pokea (Batissa violacea var. celebensis, von Martens 1897) yang Tereksploitasi Sebagai Dasar Pengelolaan di Sungai Pohara Sulawesi Tenggara. Bahtiar, Yulianda, F dan I. Setyobudiandi. 2008. Kajian Aspek Pertumbuhan Populasi Pokea (Batissa violacea var. celebensis, von Martens 1897) di Sungai Pohara Kendari Sulawesi Tenggara. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. Jilid 15. 1: 1-5. Bahtiar. 2007. Konservasi Populasi Pokea (Batissa violacea var. celebensis von Martens, 1897), 1897 di Sungai Pohara Kendari Sulawesi Tenggara. Laporan Hibah Bersaing. DP2MDikti. Jakarta. Bahtiar. 2005. Kajian Populasi Pokea (Batissa violacea var. celebensis, von Martens, 1897), 1897 di Sungai Pohara Kendari Sulawesi Tenggara. Tesis. IPB. Djajasasmita, M. 1977. An Anotated list of the Spesies of the Genus Corbicula From Indonesia (Mollusca : Corbiculidae). Bulletin Zoologisch Museum. Universiteit Van Amsterdam. Amsterdam. Dudgeon, D. dan B. Morton. 1983. The Population Dynamics and Sexual Strategy of Anodonta woodiana (Bivalvia: Unionidae) in Plover Cove Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Nilai b pada pokea jantan dan betina masing-masing berkisar 2.35-2.64 dan 2.49-2.89 2. Faktor kondisi pokea jantan dan betina masing-masing berkisar 0.95-1.058 dan 0.95-1.032 Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014 43 ISSN: 1411-9587 Studi Morfometrik dan Meristik ………………. Sastrapradja dkk., 1977. Sumber Protein Hewani. Lembaga Biologi NasionalLIPI. Bogor. Schweers, T., M. Wolff, V. Koch, and F.S. Duarte. 2006. Population Dynamics of Megapitaria squalida (Bivalvia: Veneridae) at Magdalena Bay, Baja California Sur, Mexico. Rev. Biol. Trop (Int. J). 54(3):1003-1017. Setyobudiandi, I. 2004. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Kerang Hijau (Perna viridis Linnaeus, 1758) pada Kondisi Perairan Berbeda. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Sousa, R., J.A. Antonio, J.A. Nogueira, M.B. Gaspar, C. Antunes, L. Guilhermino. 2008. Growth and Etremely High Production of the Non-Indigenous Invasive Species Corbicula fluminea (Muller, 1774): Possible Implications for Ecosystem Functioning. J. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 80:289–295. Sparre, P. dan S.C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari Introduction to Topical Fish Stock Assessment. FAO Fish Tech. Paper, 306(1):376p. Wibur, K.M. and G. Owen. 1964. Growth In: Physiology of Mollusca, (ed. K.M. Wilbur and C.M. Yonge). Vol. I;pp211-242. Academic Press, New York. Reservoir, Hongkong. J.Zool., Lond. 201:161-183. Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Edisi Revisi. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 hal Ledua, E., S.V. Matoto, Apisai, S and K. Jovesa. 1996. Freshwater Clam Resources Assesment of the Ba River. Fisheries Division. South Pasific Comision. New Caledonia. Suva. Fiji. Kamuliati, 2013. Studi Morfometrik dan Faktor Kondisi Kerang Pokea (Pokea (Batissa violacea var. celebensis, von Martens 1897) di Sungai Pohara Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Skripsi. UHO. Kusnoto. 1954. Kebun Raya Indonesia (Botanic Gardens of Indonesia). A Journal of Zoology, Hydrobiology and Oceanography of the IndoAustralian Archipelago. Kebun Raya Indonesia. Bogor. Puteri, R.E. 2005. Analisis Populasi dan Habitat : Sebaran Ukuran dan Kematangan Gonad Kerang Lokan Batissa violacea Lamarck (1818) di Muara Sungai Batang Anai Padang Sumatera Barat. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Ramesha, M.M. and S. Thippeswamy. 2009. Allometry and Condition Index in the Freswater Bivalve Parreysia corrugate (Muller) From River Kempuhol, India. J. Asian Fisheries Science. 22:203-214. Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014 44 ISSN: 1411-9587 Sejarah Perkembangan Mutiara SEJARAH PERKEMBANGAN MUTIARA Oleh: Syachruddin AR. ABSTRAC Pearl initially is a fantasy story or myth concerning a remained girl go by the beloved lover so that pearl become supremacy device and chastity of someone love. Besides, pearl is saga or story concerning dewdrop of mangrove tree which fall to sea and come into cockle so that become pearl. Network concerning the story of that unique hence pearl worshiped and nicknamed as queen of jewel stone. Pearl finally have to domicile and very compared to high value of other jewel stone. Research result indicate that pearl is an object yielded by being live naturally and by brand. Initially to get pearl in very difficult nature even human being can put life on the line to get him. Beauty of him captivating for everybody especially women with process formed by unique him and process to get very difficult him, hence pearl viewed as by very high jewel of his value. Pearl very like by them and womankind very if given as device in triggering candid and heartfelt love to it, so that by then one way or another human being made a pitch for him, although obtained to pass/through by nucleus, core is obtained with cream which much the same to the quality of with original pearl. Keyword: history, pearl, myth, conducting S dalam kerang kemudian pada abad 18 para peneliti mengkaji asal terjadinya mutiara kemudian diaplikasikan untuk menghasilkan mutiara budidaya sehingga pada tahun 1894 menurut Dwiponggo (1976) secara intensif Kokishi Mikimoto (Jepang) menghasilkan mutiara budidaya (blister dan baroque) dari Pinctada martensii dan tahun 1956 Jaquin (Perancis) mempelopori pembuatan mutiara imitasi. Jepang mula-mula mengembangkan Industri mutiara melalui budidaya sehingga Jepang dijuluki sebagai raja mutiara budidaya dunia kemudian berkembang ke negara-negara lain termasuk Indonesia. Mutiara sebagai salah satu produk unggulan nasional di daerah mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan PAD dan membuka lapangan kerja serta sangat memungkinkan untuk dikembangkan industri rumah tangga (home industry) sehingga Indonesia akan PENDAHULUAN ejarah tentang perkembangan mutiara telah diketahui sejak 3.500 tahun Sebelum Masehi (SM), di dataran mediterania dan memujanya sebagai ratu dari semua batu permata. Mutiara pada waktu itu menurut Chan (1950), merupakan cerita tahyul dan hikayat dari seorang putri yang ditinggal pergi oleh sang kekasih yang tercinta. Mutiara dihasilkan oleh mahluk hidup (kerang mutiara) dalam waktu yang cukup lama dan sangat indah sehingga para penyair, sastrawan dan pengarang lagu memakai kata mutiara sebagai ungkapan dari kemurnian jiwanya terhadap sesuatu, demikian juga para remaja yang sedang dilanda asmara sering menggunakan kata “mutiara” sebagai lambang keagungan dan kesucian cinta terhadap sang kekasih. Abad ke-13 seorang Cina berhasil menemukan rahasia tentang terbentuknya lapisan mutiara pada patung yang dimasukan Jurnal Biologi Tropis. Vol 14 No. 1 Januari 2014 45 ISSN: 1411-9587 Sejarah Perkembangan Mutiara berperan dalam sejarah perkembangan mutiara dunia pada masa yang akan datang. Abad ke-13 seorang Cina mencoba memasukan patung Budha yang kecil ke dalam kerang darat jenis Dipass plicatus, kemudian kerang itu dipelihara pada tempat yang cocok untuk kehidupannya. Beberapa lama kemudian ditemukan lapisan yang mengelilingi patung tersebut mulai dari peristiwa ini maka terbukalah rahasia tentang terbentuknya mutiara pada waktu itu. Menurut Dwiponggo (1976) dan Fatuchri (1981), pada abad 18 para peneliti seperti: Fillipi (1852), Rondolet (1854), Kelaart dan Humbert (1859), Raphael dan Janeson (1901 - 1902) Boutan (1904), Oda dan Nishikawa (1909) serta Rubble (1911) penasaran dan sangat tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang proses terjadinya mutiara, hasilnya menunjukkan bahwa mutiara yang terbentuk itu berasal dari butiran pasir atau cacing Trematoda (Distomian duplicatum) yang masuk dalam tubuh kerang sebagai benda asing, namun benda itu tidak dapat dikeluarkan sehingga benda tersebut dilapisi oleh lendir kemudian mengeras menurut Allen (1942), benda itulah yang disebut dengan mutiara. Kegiatan yang dilakukan secara tidak sengaja dan penelitian yang terus dikembangkan oleh para peneliti dapat menjelaskan mitos tentang mutiara yang berasal dari embun atau airmata putri yang menangis karena ditinggal sang kekasih. Mitos tersebut berubah menjadi suatu hal yang nyata dan dapat dikembangkan melalui aktivitas yang dilakukan secara buatan. Mutiara yang dihasilkan secara buatan inilah yang disebut dengan mutiara budidaya (Mulyanto, 1987). Berdasarkan cerita dan hasil penemuan tersebut maka pada tahun 1890 pembuatan mutiara mulai dilakukan secara komersial walaupun hasilnya jauh dari sempurna, tetapi penelitian terus dilakukan, walaupun mengalami berbagai kegagalan dan kesulitan namun pada akhirnya rahasia tentang terbentuknya mutiara semakin Bahan dan Metode Tulisan ini bersifat analisis deskriptif yang diangkat dari sumnber literatur yang relevan dengan sejarah perkembangan yang berkaitan dengan cerita hikayat atau mitos tentang mutiara sampai berkembangnya usaha budidaya mutiara. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Perkembangan mutiara Mutiara telah diketahui sejak 3.500 tahun Sebelum Masehi (SM), pada zaman itu di dataran Mediterania melakukan pemujaan terhadap mutiara sehingga dianggap sebagai ratu dari batu permata (Herdman, 1903). Mutiara pada zaman dahulu menurut (Herdman, 1904). merupakan cerita tahyul yang berkembang dikalangan masyarakat waktu itu, seperti: cerita tentang tetesan embun dari pohon bakau yang jatuh ke laut dan masuk ke dalam kerang mutiara (mother of pearl) kemudian menjadi mutiara. Hikayat lain menurut Chan (1949), diceritakan bahwa suatu saat seorang putri ditinggal pergi oleh sang kekasih kemudian duduk di bawah pohon bakau sambil menangis dengan airmata yang bercucuran ke laut dan masuk dalam tubuh kerang mutiara kemudian membeku dan mengeras manjadi mutiara. Para penyair, sastrawan ataupun pengarang lagu banyak yang memakai kata mutiara sebagai seni dalam mengungkapkan rasa kejiwaannya. Demikian juga para remaja yang sedang dilanda asmara menurut Dwiponggo (1976), sering menggunakan kata “mutiara” sebagai lambang kemurnian dan kesucian cintanya pada sang kekasih. Cerita tersebut menjadikan mutiara dipuja dan dijuluki sebagai ratu dari batu permata yang sangat tinggi nilainya. Jurnal Biologi Tropis. Vol 14 No. 1 Januari 2014 46 ISSN: 1411-9587 Sejarah Perkembangan Mutiara terbuka untuk diaplikasikan dalam proses pembuatan mutiara. Pada tahun 1894 menurut Dwiponggo (1976), Kokishi Mikimoto dari Jepang berhasil membuat mutiara blister/baroqui dari Pinctada martensii. Peneliti selanjutnya menemukan cara terbaik untuk menghasilkan mutiara berkualitas tinggi yang tidak kalah mutunya dengan mutiara alam, sehingga pada tahun 1956 menurut Dwiponggo (1976), Jaquin dari Perancis mempelopori pembuatan mutiara imitasi yang memperburuk harga mutiara asli di pasaran. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa asal mutiara berbeda dengan permata lainnya karena mutiara merupakan batu permata yang dihasilkan oleh mahluk hidup sehingga nilainya bukan hanya dilihat dari segi keindahan saja, tetapi proses dan asalnya mutiara akan memberikan pengaruh yang besar terhadap tingginya nilai dan mahalnya harga mutiara. Jepang kemudian mengembangkan industri mutiara melalui budidaya sehingga mereka menjadi raja mutiara budidaya dunia. Hal ini menurut Asikin (1962), merupakan tantangan tersendiri bagi ilmuwan dan usahawan Indonesia dalam mengembangkan usaha budidaya kerang mutiara dalam memusatkan kinerja dan perhatiannya untuk menjadikan mutiara sebagai permata primadona di Indonesia. Mutiara pada saat ini merupakan salah satu produk andalan nasional di daerah yang dapat meningkatkan PAD dan peluang lapangan kerja bagi masyarakat sehingga daerah-daerah yang potensial untuk pengembangan budidaya kerang mutiara terutama kawasan Indonesia bagian timur sangat strategis untuk dijadikan sebagai tempat budidaya mutiara untuk industri rumah tangga (home industry) seperti yang dilakukan di Jepang dan India (Anonim, 1986 dan Anonim, 1988). Jurnal Biologi Tropis. Vol 14 No. 1 Januari 2014 Keberhasilan dalam bidang tersebut akan membuka peluang bagi bangsa Indonesia untuk mengubah perkembangan sejarah mutiara dunia yang sekarang dikendalikan dan dimonopoli oleh Jepang tidak tertutup kemungkinan bahwa pada suatu saat Indonesia dengan dukungan kondisi dan luasnya perairan yang memungkinkan untuk budidaya kerang mutiara dalam berbagai skala usaha akan menjadi pusat produksi dan pasaran mutiara dunia. B. Sejarah Perkembangan Mutiara di Indonesia Pada beberapa daerah di Indonesia menurut Dwiponggo (1976), seperti: Kepulauan Aru, Tanimbar, perairan Banggai telah dilakukan kegiatan usaha mutiara secara intensif sejak zaman penjajahan Belanda, tetapi hanya terbatas pada kegiatan penyelaman untuk mendapatkan kulit dan mutiara alam, tetapi pada tahun 1950 – 1960 pengusaha dari Jepang datang ke Indonesia untuk merintis kembali budidaya kerang mutiara di perairan kepulauan Banggai, perairan NTB (teluk Waworada Bima); NTT (Kalabahi) melalui P.T Nisshin Samudera Mutiara. Perusahaan tersebut menurut Mulyanto (1987), memulai kegiatan usaha dengan pengumpulan kulit kerang kemudian melakukan pemeliharaan untuk mutiara setengah bundar (half pearl) dan mutiara bundar (round) dari kerang mutiara selaman yang diseleksi untuk kulit, pembesaran dan dipasangkan mall (insertio nucleus) baik untuk mutiara setengah bundar (blister) maupun untuk mutiara bundar (round). Perusahaan yang beroperasi di Indonesia menurut menurut Dwiponggo (1976), pada awalnya hanya terdapat di perairan Maluku pearl (Defur, Fatujuring, dan Maluku Tenggara); PT Manei Southern Pearl (Taberfane Maluku Tenggara) dan PT Bacon Pearl (Tabelodi teluk Kao, P. Wiring (Kepaulauan Bacon) Maluku Utara; PT Nilba Ambon dan PT 47 ISSN: 1411-9587 Sejarah Perkembangan Mutiara Manajai di Ujung Pandang yang melakukan kegiatan di Tali Abu dan Maluku Tenggara. Budidaya kerang mutiara yang dilakukan pada saat itu menurut Tranter (1958) dan Fatuchri (1981), terutama di Maluku Tenggara, Defur dan Fatujuring semuanya melakukan non full culture (pemeliharaan tidak penuh) karena bibit (seed) diambil dari alam dengan kolektor (natural colecting) oleh nelayan setempat kemudian dipelihara oleh perusahaan. Menurut Sutaman (1993), tahun 1958 di Teluk Kalabahi Alor Propinsi NTT, pernah dilakukan percobaan pemeliharaan kerang jenis Pinctada lintiginosa R dan Pteria pinguin (Roding). Namun hasilnya belum memadai dan hanya menghasilkan mutiara blister. Tahun 1970 di teluk Kao, Kepulauan Bacon, serta perairan Sorong Irian Jaya telah dikembangkan juga usaha budidaya mutiara. Tahun 1980 di perairan Lampung dan tahun 1985 di perairan Tanjung Bero NTB, mutiara di perairan NTB sangat terkenal dengan kilauan mutiaranya sehingga tahun 1990 ke atas berkembang hampir keseluruh perairan yang strategis di NTB. Pada saat ini perairan NTB sudah ada 35 perusahaan yang beroperasi dan 7 perusahaan yang sedang mengurus perijinan operasional, secara nasional menurut Asbumi tahun 1995 ada 59 perusahaan dan tahun 1997 meningkat menjadi 75 perusahaan, kemungkinan pada saat ini di Indonesia diperkirakan sudah ada 100 perusahaan baik dengan modal nosional maupun dengan modal asing (Anonim, 1988). Penyelaman menurut Fatuchri (1981), dilakukan pada perairan sekitar Pulau Banggai, Melilis, Bakon, Bankulu dan Masoni. Untuk memperbaiki dan menjaga kontinuitas dan kualitas usaha maka mereka mengumpulkan bibit kerang dari alam melalui penyelaman dan pemasangan kolektor dan penyeleksian spat yang berkualitas baik. Hasil penyelaman di Banggai tahun 1979 antara Jurnal Biologi Tropis. Vol 14 No. 1 Januari 2014 900 – 1200/kapal/ hari dan tahun 1980 hanya 90 kerang/kapal/hari (Anonim,1986). Fluktuasi mutiara antara tahun 1974 – 1978 menurut Mulyanto (1987), sangat variatif tapi pada tahun 1975 mencapai hasil tertinggi yaitu 195.921 gram dari 3000 biji) sedangkan antara tahun 1985 – 1995 hasil yang paling tinggi terjadi pada tahun 1993 (140 kg) mutiara. Perkembangan produksi sangat fluktuatif namun harganya relatif stabil (Anonim, 1988 dan Bunyamin, 1988). C. Mutiara Mutiara berdasarkan proses pembuatannya dibagi atas 2 macam, yaitu: Mutiara asli (mutiara alam = natural pearl dan mutiara budidaya = culture pearl) serta mutiara tiruan/imitasi (imitation pearl). 1. Mutiara Asli a. Mutiara Alam Menurut Dwiponggo (1976), bentuk mutiara alam tergantung dari bentuk benda yang masuk, ada kalanya seperti cacing bulat atau lonjong dan sebagainya. Lapisan mutiara yang membungkusi benda asing tersebut berasal dari tubuh kerang yang menempel pada bagian kulitnya (mantel) yaitu kantung sekitar gonad berukuran kecil (Fatuchri, 1981). Warna dari mutiara alam tergantung dari daerah tempat hidupnya mutiara. Lokasi pembentukan mutiara pada Pinctada sp, menurut Dwiponggo (1976), terjadi pada suatu kantung (mantel) atau sekitar gonad berupa kantung kecil (fucuro) dan kantung bebas (ukasi) yang terdapat pada rongga kaki. Menurut Mulyanto (1987), mutiara alam diperoleh melalui penyelaman yang dilakukan pada kedalaman antara 20–60 m. 48 ISSN: 1411-9587 Sejarah Perkembangan Mutiara Menurut Dwiponggo (1976), pembuat mutiara imitasi adalah Jaquin dari Perancis pada tahun 1956. Pembuatan mutiara tiruan/imitasi menurut Fatuchri (1981), dapat menyebabkan merosotnya harga mutiara asli sehingga sangat merugikan bagi pengusaha, terutama pengusaha mutiara yang ada di Indonesia. b. Mutiara Budidaya Mutiara alam dengan mutiara budidaya ditinjau dari terjadi dan susunan kristalnya sama. Perbedaannya hanya pada proses pemasukan mall (inti), yaitu: secara alami dan secara buatan. Pada abad ke-20 para ahli (Nishikawa, Mise dan Mikimoto) menemukan cara menempatkan inti secara paten pada mantel kerang mutiara sehingga usaha pemeliharaan mutiara dilakukan secara besar-besaran oleh keluarga Mikimoto (Jepang). Usaha ini sampai meluas ke Hongkong, Birma, Australia dan Indonesia. Menurut Tun and Tjahjo (1988), memasukkan inti pada kerang mutiara dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1) Metode saki okuri, yaitu: penempatan inti yang didahului oleh penempatan potongan mantel atau seibo (+ 3 mm). 2) Metode oto okuri, yaitu: penempatan inti sebelum penempatan mantel. Lapisan mutiara memiliki susunan kristal dan unsur yang sama dengan yang terdapat dalam nacreous layer pada kulit, karena zat-zat mutiara tersebut dihasilkan oleh sel-sel yang sama dengan sel pada mantel. 2. Mutiara Tiruan/Imitasi Mutiara imitasi memiliki inti yang terbuat dari gelas atau plastik dengan berbagai macam bentuk. Intinya berongga yang dilapisi pearls essence dengan cara di cat atau disemprot pada permukaan inti kemudian dikeringkan. Pearls essence terbuat dari sisik ikan (di Jepang menggunakan sisik ikan Layur trachiurus lepturus) yang mengandung kristal guanin sebagai bahan pelapis mutiara imitasi. Jurnal Biologi Tropis. Vol 14 No. 1 Januari 2014 D. Budidaya Kerang Mutiara Hasil penelitian dari beberapa ahli menunjukkan bahwa: butir-butir pasir serta cacing yang melubangi pada kulit kerang akan masuk ke dalam tubuhnya yang menyebabkan kerang memberikan reaksi sebagai berikut: 1. Sel-sel sekeliling benda asing menjadi sibuk kerkontraksi secara aktif untuk menghasilkan lendir untuk membungkus benda asing tersebut agar tidak terasa sakit, kemudian lapisan tersebut akan mengeras dan mengkilap, itulah yang disebut dengan mutiara. 2. Butiran pasir yang masuk dalam tubuh kerang secara perlahan-lahan akan terlapisi oleh lendir yang akan mengeras menjadi mutiara sehingga rasa sakit akan hilang. 3. Aksi yang ditimbulkan itu dapat dianalogkan dengan keluarnya air mata kita dalam memberikan reaksi bila ada benda yang masuk. Alverdes pada tahun 1913 memasukan potongan epithelium mantel bersama inti ke dalam mantel sehingga dalam waktu 7 minggu kantung sudah terbentuk mutiara (pearl sac). Kualitas dan nilai mutiara yang dihasilkan didasarkan pada indikator seperti: warna, kilauan, transparent, tekstur, bentuk, ukuran dan berat. Mutiara budidaya memiliki inti yang terbuat dari lapisan nacre yang terbentuk dari zat mutiara yang sama dengan mutiara alam. Berdasarkan sumbernya mutiara ada 2 49 ISSN: 1411-9587 Sejarah Perkembangan Mutiara macam, yaitu: mutiara laut dan mutiara air tawa (biwa). Perbedaannya terletak pada mall, yaitu : mutiara air tawar malnya potongan mantel sedangkan air laut malnya kulit kerang yang sudah diproses sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Biwa adalah jenis kerang air tawar yang menghasilkan lendir untuk pembentukan mutiara dalam prosesnya membutuhkan waktu 3 tahun sedangkan mutiara air laut membutuhkan waktu hanya 8 bulan untuk blister dan 18 – 20 bulan untuk round (bulat). B. Saran – saran Melalui contoh dalam tulisan ini diharapkan pada semua akademisi untuk bersifat kritis dalam melihat mitos yang berkembang ditengah masyarakat untuk diangkat menjadi bahan kajian melalui penelitian yang mendalam tentang rahasia alam untuk dikembangkan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, terutama yang berkaitan dengan budidaya kerang mutiara. DAFTAR PUSTAKA PENUTUP Anonim, 1986. Budidaya Mutiara di Nusa Tenggara Barat. Departemen Pertanian. Balai Informasi Pertanian NTB. No :F.01/KAN/1986-1987. Mataram. A. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sejarah perkembangan mutiara dapat dilihat dari dua sisi, yaitu : sejarah perkembangan mutiara dan peranan para peneliti dalam mengungkapkan rahasia alam yang dapat dikembangkan untuk kesejahteraan manusia, yaitu: 1. Sejarah perkembangan mutiara sebagai mitos dapat dilihat dari cerita tentang terbentuknya mutiara dari embun atau air mata putri yang masuk dalam tubuh kerang kemudian membeku menjadi mutiara sehingga mampu mengangkat nilai mutiara sebagai ratu dari batu permata. 2. Sejarah perkembangan usaha mutiara dari tahapan penyelaman mutiara alam sampai industri budidaya merupakan kajian yang mendalam dari berbagai hasil penelitian kemudian diaplikasikan secara komersial dan profesional untuk meningkatkanproduksi mutiara. Jurnal Biologi Tropis. Vol 14 No. 1 Januari 2014 Anonim, 1988. Ladang-ladang Mutiara dari Bumi Gora. Mitra Edisi Januari 1988. Jakarta. Allen, J.A., 1942. True Pearl Shell (Family Pteriidae). In Australian Shell. Georgian house, Melbourne : p. 261. Asikin, J., 1962. Kerang Mutiara sebagai penghuni perairan karang yang penting di Indonesia (Thesis, Sarjana Biologi Universitas Nasional Indonesia. Bunyamin Dharma, 1988. Siput dan Kerang Indonesia (Indonesia Shells). PT. Sarana Graha, Jakarta. Chan, 1949. Pearl Cultur in Japan. U.S. Departement of Interior Fish and Wildlife Service. Washington 25. D.C. Chan, 50 1950. Oyster Cultur in Japan. U.S.Fish. Widl. Serv.Fish. Leaflet 383. 1 - 80. ISSN: 1411-9587 Sejarah Perkembangan Mutiara Dwiponggo, A., 1976. Mutiara Umum. Lembaga penelitian perikanan laut. Jakarta. Fatuchri, M., 1981. Budidaya tiram mutiara. Prosding. Seminar Penelitian Sumberdaya Perikanan Laut Jakarta. Herdman, D.A., 1903. Pearl Oyster Fisheries Part I. The Gulf of Manaar. With Supplementary Reports upon the Marine Biology of Ceylon by other Naturalists. Pub. at the Request of the Colonial Goverment by the Royal Society London. Herdman, D.A., 1904. Pearl Oyster Fisheries Part II. The Gulf of Manaar. With Supplementary Reports upon the Marine Biology of Ceylon by other Naturalists. Pub. at the Mulyanto, 1987. Tehnik budidya laut tiram mutiara di Indonesia Jaringan informasi perikanan Indonesia. Diterbitkan oleh Direktorat Djendral Perikanan. Sutaman,Ir., 1993. Teknik Budidaya dan Proses Pembuatan Mutiara. Penerbit Kanisius. Cetakan Pertama. 1993. Tranter, D.J., 1958. Reproduction in Australia Pearl Oysters. Pinctada margaritifera (Linnaus) IV. Division of Fisheries and Ocean., C.S.I.R.O., Cronulla, N.S.W. (25-July 1958.) Tun, M.T. and Tjahjo W., 1988. Mannual on Pearl Farming in Indonesia. Proyect Document Identification. INS/81/008/Manual/11. Jurnal Biologi Tropis. Vol 14 No. 1 Januari 2014 51 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Minyak Daun Selaish ……………… PENGARUH MINYAK DAUN SELASIH (Ocimum spp.) DAN MINYAK KAYU MANIS (Cinnamomum spp.) BESERTA CAMPURANNYA TERHADAP TANGKAPAN LALAT BUAH UNTUK PENGEMBANGAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN Muslihatun, I Putu Artayasa, dan I Wayan Merta Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unram ABSTRACT Fruit fly is a pest that attacks many fruits, resulting quality and quantity of local fruit to be decreased. Control of fruit flies can be done in several ways one of which is by using attractant traps.This study aimed at finding out whether there is an effect of leaf basil oil (Ocimum spp.) and cinnamon oil (Cinnamomum spp.) with their mixtures to catch fruit flies. This research had been conducted at TWA Suranadi on 2nd to 8th of June 2013. In addition, this research was an experimental study. The population of this study was fruit flies at TWA Suranadi region, while sample of the study was the fruit flies caught in the trap in area of TWA Suranadi. The data was collected using Steiner trap. Then, the Data was analyzed using one-way ANOVA at the significance level of 5% and followed by Tukey’s test at the significance level of 5%. The results of the data analysis showed that the F-count > F-table (F-count=6,70 and F-table = 3,29) at the significance level of 5%, so that Ha was accepted. So that there was influence of basil leaves oil and cinnamon oil to catch fruit flies. The data analysis followed by Tukey test at the significance level of 5%, so that the most widely attractant trap fruit fly is attractant cinnamon oil (Cinnamomum spp.). Key Words: attractant, basil (Ocimum spp.), cinnamon (Cinnamomum spp.), fruit flies, steiner trap, animal ecology lab. L PENDAHULUAN alat buah masuk dalam ordo Diptera dan famili Tephritidae. Terdapat beberapa genus lalat buah. Genus yag paling banyak mengakibatkan kehilangan hasil pada berbagai komoditas di Indonesia adalah Bactrocera sp. Lebih dari 40% kerugian dalam agronomi diakibatkan oleh lalat buah. Oleh karena itu, lalat buah menjadi hama penting untuk dipikirkan pengelolaannnya (Wicaksono, 2012). Buah-buahan merupakan tanaman pertanian yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia karena mengandung bahan-bahan yang diperlukan tubuh. Buah-buahan banyak mengandung zat Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 gizi yang dibutuhkan oleh manusia untuk kesehatan dan pertumbuhan. Serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) khususnya lalat buah (Bactrocera sp.) mengakibatkan menurunnya kuantitas dan kualitas buah-buahan dan sayur-sayuran. Kerugian yang ditimbulkan oleh lalat buah diperkirakan mencapai 22 milyar per tahunnya. Lalat buah telah tersebar hampir di seluruh kawasan Asia-Pasifik, dengan lebih dari 26 inang, antara lain belimbing, jambu air, jambu biji, tomat, cabai merah, melon, apel, nangka, jeruk dan buah tropika lain (Zubaidah, 2008). Pengendalian yang dilakukan pada umumnya adalah dengan pembungkusan 52 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Minyak Daun Selasih ……………… buah-buahan, pengasapan untuk mengusir lalat buah, penyemprotan dengan insektisida, pemadatan tanah di bawah pohon untuk memutus siklus hidup serta penggunaan atraktan (zat pemikat) yang salah satunya berbahan metil eugenol (Kardinan, 2010). Metil eugenol dapat di buat secara sintesis dari bahan-bahan kimia, tetapi antraktan tersebut dapat menyebabkan iritasi pada kulit. (Rusajun, 2011). Biji pala (Myristica fragant), daun selasih (Ocimum santum), daun cemara hantu (Melaleuca bracteata) adalah beberapa macam tanaman yang diindikasikan mengandung senyawa metil eugenol. Dalam penelitian sebelumnya yakni penelitian yang di lakukan Kardinan, diketahui bahwa metil eugenol yang terkandung dalam daun selasih (Ocimum santum) efektif memerangkap lalat buah (Bactrocera sp.). Atraktan dapat digunakan untuk mengendalikan hama lalat buah dengan tiga cara, yaitu: mendeteksi atau memonitor populasi lalat buah, menarik lalat buah untuk kemudian dibunuh dengan perangkap, dan mengacaukan siklus perkawinan lalat buah, ataupun mengacaukan tingkah laku makan lalat buah (Kardinan, 2007). Di Pulau Lombok sendiri penelitian tentang atraktan, khususnya atraktan nabati masih sangat kurang, sehingga informasi tentang jenis tumbuhan yang dapat dipergunakan sebagai atraktan masih sangat minim. Beberapa jenis atraktan nabati yang pernah diteliti sebelumnya, yaitu atraktan minyak cengkeh, minyak kayu putih, minyak pala, dan minyak serei. Sedangkan untuk minyak daun selasih dan minyak kayu manis belum dipergunakan dalam penelitianyang sebelumnya. Dari survey yang telah dilakukan di TWA Suranadi, menunjukkan Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 bahwa keberadaan lalat buah di lokasi ini sangat banyak. Hal ini terlihat dari adanya lalat buah yang berterbangan hampir di semua lokasi di TWA Suranadi. Sehingga TWA Suranadi menjadi prioritas utama sebagai lokasi penelitian untuk meneliti tentang lalat buah. Selain itu di kawasan ini juga dapat disaksikan fenomena ekologi yang sangat menarik berupa berbagai macam bentuk simbiosis tumbuhan dari sekedar simbiosis menumpang seperti tumbuhan merambat (liana) sampai dengan strangler (mencekik) seperti yang terjadi pada pohon Pulai (Alstonia scholaris) dan Beringin (Ficus benjamina). Fenomena ini menjadikan kawasan TWA Suranadi cocok untuk kegiatan wisata pendidikan (Wahyuni dan Mildrayana, 2010). Kawasan TWA Suranadi juga sering digunakan oleh mahasiswa ataupun dosen untuk melaksanakan praktikum ataupun penelitian. Sehingga nantinya hasil penelitian ini juga dapat digunakan untuk pengembangan praktikum, khususnya praktikum ekologi hewan. Terdapat dua jenis minyak yang akan diuji yaitu minyak dari tanaman Selasih dan minyak dari tanaman Kayu manis. Minyak dari daun selasih mengandung metil eugenol berkisar antara 64-80% dan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa metil eugenol dari tumbuhan tersebut efektif memerangkap lalat buah (Kardinan, 2005). Sementara minyak kayu manis dipilih karena rata-rata kadar eugenolnya sekitar 70–80% (Rismunandar, 1993). Selain itu, kedua jenis tanaman ini dipilih karena belum ada yang mencoba untuk mencampur kedua jenis minyak sebagai atraktan nabati alternatif. Sehingga nantinya atraktan nabati juga dapat digunakan sebagai alternatif dalam melaksanakan praktikum khususya 53 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Minyak Daun Selasih ……………… praktikum yang berkaitan dengan lalat buah. Dengan demikian praktikum ekologi hewan dapat lebih berkembang. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu untuk dilakukan penelitian dengan judul “Pengaruh minyak daun selasih (Ocimum spp.) dan minyak kayu manis (Cinnamomum spp.) beserta campurannya terhadap tangkapan lalat buah untuk pengembangan praktikum ekologi hewan”. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Kawasan TWA Suranadi selama 6 hari yaitu pada tanggal 02 - 08 Juni 2013. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktor tunggal dengan 24 satuan percobaan. Perlakuan berjumlah empat buah yaitu: (1) air; (2) selasih; (3)kayu manis; dan (4) selasih dan kayu manis dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak enam kali. Minyak daun slasih dan minyak kayu manis yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak yang telah tersedia di toko. Volume atraktan yang digunakan yaitu 10 tetes pada tiap perangkap, dan perbandingan volume atraktan dari campuran minyak pala dan minyak cengkeh yaitu 1:1. Perangkap yang digunakan yaitu Steiner trap modifikasi berwarna kuning, terbuat dari botol air mineral bekas (volume 1500 mL) (Gambar 1), kawat, kapas, air, dan atraktan. Bagian sisi-sisi botol dilubangi sebagai jalan masuk lalat buah. Kemudian perangkap dilapisi dengan plastik berwarna kuning, agar perangkap menyerupai buah yang telah matang. Perangkap dibuat sebanyak 8 buah dengan pemberian 4 perlakuan yang berbedabeda, masing-masing perlakuan diwakili oleh dua buah perangkap. Perlakuan yang Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 diberikan yaitu dengan atraktan minyak selasih, minyak kayu manis, campuran minyak selasih dan kayu manis, dan yang terakhir dengan air biasa. Untuk perlakuan dengan atraktan minyak daun selasih, minyak kayu manis serta campuran minyak daun selasih dan minyak kayu manis, mengunakan 10 tetes pada perangkap yang berbeda, dan ditambahkan 10 tetes setiap harinya. Sepertiga bagian botol diisi dengan air, sedangkan atraktannya diteteskan pada kapas dan digantungkan di dalam botol, tetapi jangan sampai menyentuh air. Perangkap beratraktan digantung di pohon setinggi ±2 meter dari permukaan tanah. Jarak antar pohon tempat meletakkan perangkap yaitu ±3 meter, untuk setiap perlakuan yang sama, dan ±10 meter untuk perlakuan yang berbeda. Peletakkan perangkap dilakukan pada pagi hari sekitar jam 08.00 WITA dan dibiarkan selama 1 hari. Pengambilan sampel dilakukan keesokan harinya pada pagi hari sekitar jam 08.00 WITA. Pengulangan dilakukan 6 kali dengan 6 hari yang berbeda dimana setiap pengulangan disertai penetesan kembali atraktan sebanyak 10 tetes. Sampel lalat buah yang terperangkap kemudian disimpan di kantong plastik, dilakukan perhitungan jumlah lalat buah yang terperangkap. Gambar 1. Perangkap steiner (foto langsung) 54 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Minyak Daun Selasih ……………… HASIL PENELITIAN Perangkap lalat buah dengan bantuan senyawa pemikat metil eugenol yang berasal dari atraktan nabati minyak daun selasih, minyak kayu manis dan campuran antara keduanya yang diletakkan di kawasan TWA Suranadi selama satu minggu menunjukkan bahwa lalat buah yang tertangkap dengan atraktan nabati ini, yaitu lalat buah dari jenis Bactrocera dorsalis Complex (Gambar 4.1) dan Bactrocera umbrosus Fabricus (Gambar 4.2). Bactrocera dorsalis Complex dapat diidentifikasi dari dua pita/garis melintang dan satu pita membujur berwarna hitam (menyerupai huruf T) yang ada pada bagian abdomen dengan sayap yang tidak berwarna (transparan). Sedangkan Bactrocera umbrosus Fabricus dapat diidentifikasi dengan adanya tiga pita melintang pada bagian sayapnya. Data hasil pengamatan menunjukkan bahwa perangkap lalat buah yang diletakkan di TWA Suranadi selama satu minggu dapat memerangkap lalat buah, seperti yang dapat dilihat pada tabel hasil pengamatan (Tabel 4.1). Pada tabel tersebut terlihat jumlah tangkapan alat buah dari empat perlakuan yang berbeda. Pada perlakuan A (kontrol) tidak ada lalat yang terperangkap (0 individu), perlakuan B (atraktan minyak daun selasih) sebanyak 10 individu, perlakuan C (atraktan minyak kayu manis) sebesar 12 individu, dan perlakuan D (atraktan campuran minyak daun selasih dan minyak kayu manis) yaitu sebesar 5 individu. Sebagian besar lalat buah yang tertangkap termasuk dari jenis Bactrocera dorsalis Complex jantan. Berdasarkan nilai rata-rata hasil tangkapan lalat buah, perangkap dengan Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 perlakuan A diperoleh rata-rata 0 individu/perangkap/hari, perlakuan B (atraktan minyak selasih) sebanyak 1,67 individu/perangkap/hari, untuk perlakuan C (atraktan miyak kayu manis) dan D (atraktan campuran minyak daun selasih dan linyak kayu manis) diperoleh rata-rata berturut-turut 2 individu/perangkap/hari dan 0,83 individu/perangkap/hari. Gambar 4.1. A. Bactrocera dorsalis Complex; B. abdomen B. dorsalis Complex. Gambar 4.2. Bactrocera umbrosus Fabricus 55 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Minyak Daun Selasih ……………… Tabel 4.1. Data hasil jumlah tangkapan lalat buah setelah diberi perlakuan pemberian minyak daun selasih, minyak kayu manis, dan campuran minyak daun selasih dan minyak kayu manis pada perangkap lalat buah No. Ulangan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1 2 3 4 5 6 Jumlah Rata-rata (x) % Jumlah tangkapan lalat buah Kontrol Perlakuan Perlakuan Perlakuan A B C D 0 0 1 0 0 1 0 0 0 2 2 0 0 1 2 0 0 2 4 2 0 4 3 3 0 10 12 5 0 1,67 2 0,83 0% 37,04% 44,44% 18,52% Untuk mengetahui pengaruh minyak daun selasih (Ocimum spp.) dan minyak kayu manis (Cinnamomum spp.) beserta campurannya terhadap tangkapan lalat buah dilakukan uji statistik dengan menggunakan analisis varians (ANOVA) satu arah pada taraf 5%. Hasil uji statistik diperoleh nilai nilai yaitu 6,70 sementara untuk Jumlah 1 1 4 3 8 10 27 yaitu 3,29. Dengan demikian dapat diketahui bahwa > pada taraf 5%, sehingga Ha diterima. Artinya ada pengaruh minyak daun selasih (Ocimum spp.) dan minyak kayu manis (Cinnamomum spp.) beserta campurannya terhadap tangkapan lalat buah (Tabel 4.2). Tabel 4.2. Hasil Analisis Varians (ANOVA) satu arah dari jumlah tangkapan lalat buah setelah diberikan perlakuan minyak daun selasih, minyak kayu manis dan campurannya di TWA Suranadi. No. 1 2 3 4 Sumber Variasi Perlakuan Ulangan Galat Total db 3 5 15 23 JK 14.46 17.38 10.79 42.63 Hasil analisis BNJ (Beda Nyata Jujur) pada taraf nyata 5% menunjukkan bahwa perlakuan kontrol (A), perlakuan minyak daun selasih (B) dan perlakuan campuran minyak daun selasih dan minyak kayu manis (D) tidak memiliki beda yang nyata (Tabel 4.3). Hal ini terlihat dari notasi dari ketiga perlakuan tersebut yang diikuti oleh notasi huruf yang sama, yaitu huruf “a”. Begitu juga Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 KT 4.82 3.48 0.72 6.70 5% 3.29 dengan perlakuan antara campuran minyak daun selasih dan kayu manis (D), miyak daun selasih (B) dan minyak kayu mnais (C), ketiganya juga tidak memiliki beda nyata, karena sama-sama diikuti oleh notasi huruf “b”. Namun perlakuan air saja (A) berbeda nyata dengan perlakuan minyak kayu manis (C). Meskipun perlakuan minyak daun selasih (B) tidak berbeda nyata dengn 56 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Minyak Daun Selasih ……………… perlakuan minyak kayu manis (C), namun jika dilihat dari nilai rata-rata keduanya, maka minyak kayu manis memiliki nilai yang lebih besar. Sehingga dapat dikatakan bahwa minyak kayu manis lebih banyak menarik lalat buah dibadingkan dengan minyak daun selasih. Tabel 4.3. Hasil uji BNJ dari jumlah tangkapan lalat buah setelah diberikan perlakuan minyak daun selasih, minyak kayu manis dan campurannya di TWA Suranadi. No 1 2 3 4 5 Perlakuan A (Kontrol) D (Campuran) B (Minyak selasih) C (Minyak Kayu manis) 0,05 Rata-rata 0,00 0,85 1,67 2,00 1,27 Notasi A Ab B B Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan praktikum ekologi hewan, khususnya yang berkaitan dengan lalat buah. Pengembangannya tersebut berupa petunjuk praktikum, selain itu minyak yang dipergunakan dalam penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu atraktan untuk menangkap lalat buah. Sehingga dalam pelaksanaan praktikum, tidak hanya menggunakan atraktan sintesis metil eugenol saja tetapi juga dapat menggunakan atraktan nabati dari minyak daun selasih dan minyak kayu manis. PEMBAHASAN Lalat buah merupakan salah satu hama utama yang menyerang buah-buahan dan sayursayuran. Hama ini sudah menyebar di seluruh wilayah Indonesia, dan menimbulkan begitu banyak kerugian khususnya bagi para petani buah-buahan, baik petani besar maupun kecil. Buah-buahan yang biasanya diserang oleh lalat buah yaitu buah-buahan yang memiliki tekstur lembek dan berdaging, seperti mangga, belimbing, apel, papaya, nangka, jambu biji, jambu air, melon dan lain sebagainya. Buah-buahan tersebut dijadikan sebagai tempat meletakkan telur bagi lalat buah betina dengan menggunakan ovipositor (alat peletak telur). Menurut Putra (1997), lalat buah betina sangat menyukai inang yang berupa buah setengah masak, karena mengandung asam askorbat dan sukrosa dalam jumlah maksimal. Buah yang telah terserang oleh lalat buah ini lama kelamaan akan menjadi busuk dan berulat, sehingga dapat mengurangi kualitas buah-buahan bahkan tidak dapat dipanen. Hal ini ditegaskan oleh Putra (1997), bahwa hama lalat buah mengakibatkan kerugian kuantitatif dan kualitatif yang sangat besar. Kerugian kuantitatif terjadi karena adanya penurunan jumlah hasil panen buah-buahan dan sayuran, yang disebabkan oleh kerusakan pada buahbuahan dan sayur-sayuran sehingga tidak dapat dipanen. Kerugian kualitatif terjadi karena penurunan kualitas buah dan sayuran akibat adanya kerusakan, seperti pembusukan. Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 57 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Minyak Daun Selasih ……………… Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama lalat buah tersebut yaitu dengan menggunakan perangkap beratraktan. Perangkap ini dipasang pada tanaman yang berbuah atau tanaman-tanaman yang ada disekitar tanaman yang berbuah. Atraktan diteteskan pada kapas yang ada di bagian dalam perangkap, atau dengan kata lain atraktan tersebut digunakan sebagai umpan bagi lalat buah. Hasil penelitian yang dilakukan di kawasan TWA Suranadi menunjukkan bahwa atraktan nabati dari minyak daun selasih dan minyak kayu manis dapat memerangkap lalat buah. Hal ini dikarenakan minyak daun selasih dan minyak kayu manis mengandung senyawa metil eugenol. Metil eugenol merupakan zat yang unik karena zat ini merupakan food lure atau dibutukan oleh lalat buah jantan untuk dikonsumsi. Di dalam tubuh lalat buah jantan, metil eugenol diproses menjadi zat pemikat (sex pheromone) yang berguna dalam proses perkawinan (Kardinan, 2005). Jenis atraktan dari tumbuhan berbeda memiliki kandungan senyawa metil eugenol yang berbeda. Menurut Kardinan (2005), minyak sulingan dari daun selasih mengandung metil eugenol berkisar antara 64-80% dan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa metil eugenol dari tumbuhan tersebut efektif memerangkap lalat buah. Sementara minyak kayu manis memiliki rata-rata kadar eugenol sekitar 70– 80% (Rismunandar, 1993). Kedua atraktan ini tidak menimbulkan efek negatif, misalnya iritasi kulit maupun efeknya bagi lingkungan seperti yang ditimbulkan oleh insektisida. Hal ini dikarenakan kedua atraktan ini Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 berasal dari tumbuh-tumbuhan, sehingga aman untuk digunakan. Atraktan yang digunakan tanpa menimbulkan dampak negatif yang ditimbulkan akan merusak tanaman yang terserang hama lalat buah (Zubaidah, 2008). Penggunaan insektisida dalam mengendalikan hama lalat buah, dapat meninggalkan residu insektisida dan juga dapat membunuh serangga berguna, seperti musuh alami hama dan serangga berguna lainya (Supriyana [2005] dalam Zubaidah [2008]). Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menarik serangga, yaitu dengan memberikan zat penarik (atraktan) yang mengandung metil eugenol. Tanaman selasih dan kayu manis memiliki kandungan metil eugenol, artinya kedua tanaman ini juga merupakan food lure bagi lalat buah, khususnya lalat buah jantan. Metil eugenol merupakan zat yang mudah menguap, sehingga akan mudah menyebar di lingkungan. Menurut Kardinan (2005) radius aroma atraktan dari metil eugenol mencapai 20-100 m, tetapi jika dibantu angin, jangkauannya bisa mencapai 3 km. Dengan demikian jika di dalam perangkap diberikan minyak daun selasih atau minyak kayu manis yang memiliki kandungan metil eugenol, dan lalat buah jantan mencium aroma dari metil eugenol tersebut, maka lalat buah jantan ini akan segera datang ke sumber aromanya. Pada penelitian yang dilakukan di kawasan TWA Suranadi, diperoleh dua jenis lalat buah yang tertangkap dalam perangkap lalat buah yaitu, spesies Bactrocera dorsalis Hend. dan Bactrocera umbrosus Fab. Lalat buah yang tertangkap kebanyakan dari 58 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Minyak Daun Selasih ……………… spesies Bactrocera dorsalis, yaitu 25 individu, sementara untuk Bactrocera umbrosus hanya 2 individu. Dari semua individu lalat buah yang tertangkap tidak ada satupun lalat buah betina, semuanya adalah lalat buah jantan. Hal ini disebabkan karena senyawa metil eugenol sangat dibutuhkan oleh lalat buah jantan untuk dikonsumsi (food lure). Jika lalat buah jantan mencium aroma metil eugenol, lalat buah tersebut akan berusaha mencari sumber aroma tersebut dan memakannya. Kemudian metil eugenol tersebut akan diproses menjadi zat pemikat (sex pheromone) yang akan berguna dalam proses perkawinan. Karena dalam proses perkawinan lalat buah betina hanya mencari lalat buah jantan yang telah mengkonsumsi metil eugenol (Kardinan, 2005). Hasil tangkapan lalat buah di TWA Suranadi ini tergolong sedikit. Hal ini dikarenakan penelitian dilakukan ketika sebagaian besar tanaman telah selesai berbuah atau telah melewati musim berbuah dan hanya beberapa tanaman saja yang masih tetap berbuah. Selain itu, keadaan iklim juga tidak mendukung tertangkapnya lalat buah, karena saat penelitian sering turun hujan dan disertai angin yang cukup kencang, sehingga mengakibatkan kurang aktifnya lalat buah untuk melakukan aktifitasnya. Menurut Putra (1997), intensitas serangan dan populasi lalat buah pada buah-buahan serta sayuran akan meningkat pada iklim yang sejuk, kelembaban tinggi dan angin yang tidak terlalu kencang. Spesies Bactrocera dorsalis yang tertangkap dalam perangkap jauh lebih banyak dibandingkan dengan spesies Bactrocera umbrosus. Salah satu Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 penyebabnya yaitu, karena Bactrocera dorsalis memiliki tanaman inang yang lebih banyak daripada tanaman inang Bactrocera umbrosus. Di kawasan TWA Suranadi ada beberapa tanaman yang menjadi inang bagi lalat buah, seperti sirsak, nangka, mangga, belinjo, senggapur, sawo, jambu biji dan lain sebagainya. Dari semua jenis tanaman yang telah disebutkan, spesies Bactrocera umbrosus biasanya menyukai buah nangka sebagai tanaman inangnya (Putra, 1997). Rata-rata jumlah tangkapan lalat buah di TWA Suranadi ditunjukkan pada diagram batang rata-rata jumlah tangkapan lalat buah (Gambar 4.3). Berdasarkan diagram tersebut terlihat bahwa rata-rata jumlah tangkapan menggunakan atraktan minyak kayu manis memiliki nilai rata-rata tertinggi, kemudian dibawahnya ada rata-rata tangkapan dengan menggunkan atraktan minyak daun selasih dan minyak campuran antara minyak kayu manis dan minyak daun selasih. Sementara rata-rata jumlah tangkapan lalat buah dengan perlakuan air saja (kontrol), yaitu 0 individu. Rata-rata jumlah tangkapan lalat buah dengan perlakuan campuran minyak daun selasih dan minyak kayu manis memiliki hasil yang paling sedikit dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, dibandingkan dengan rata-rata hasil tangkapan pada perangkap dengan perlakuan minyak daun selasih dan perlakuan minyak kayu manis. Kombinasi dari kedua jenis minyak tersebut tidak bisa dikatakan sinergis karena di satu pihak minyak daun selasih meningkatkan efektifitas minyak kayu manis, tetapi di lain pihak minyak kayu manis menurunkan efektifitas minyak daun selasih. 59 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Minyak Daun Selasih ……………… Namun untuk mengetahui jenis kandungan zat yang bereaksi dari campuran minyak daun selasih dan minyak kayu manis yang menyebabkan hasil tangkapan lalat buah yang sedikit, membutuhkan penelitian yang lebih mendalam. Menurut Kardinan (2007), pencampuran dua jenis bahan kimia dapat bersifat antagonis (saling merugikan) atau sinergis (saling menguntungkan). Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan praktikum ekologi hewan, khususnya praktikum yang berkaitan dengan lalat buah. Pengembanganpengembangan tersebut seperti, alternatif pilihan penggunaan atraktan yang digunakan untuk menangkap lalat buah menjadi bertambah, tidak hanya menggunakan atraktan sintetis tetapi juga dapat menggunakan atraktan nabati minyak daun selasih atau minyak kayu manis sebagai alternatif lain ketika melaksanakan praktikum. Selain itu cara kerja dalam penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai petunjuk praktikum pada praktikum ekologi hewan khususnya tentang lalat buah, sehingga dapat memudahkan mahasiswa dalam melaksanakan praktikum. Dengan demikian praktikum ekologi hewan khususnya di FKIP UNRAM Jurusan Biologi menjadi lebih berkembang dan dalam pelaksanannya juga akan lebih sistematis karena ada petunjuk praktikum yang menjadi acuan pelaksaan praktikum. Pengembangan ini juga tidak terbatas pada FKIP saja, tetapi juga dapat di aplikasikan di lembaga pendidikan lainnya yang memiliki pokok bahasan yang sama, yaitu tentang lalat buah. Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diperoleh kesimpulan bahwa, ada pengaruh minyak daun selasih (Ocimum spp.) dan minyak kayu manis (Cinnamomum spp.) terhadap tangkapan lalat buah. Hal ini terlihat dari nilai > pada taraf nyata 5%, selain itu perlakuan dengan menggunakan minyak daun selasih (B) dan minyak kayu manis (C) berbeda nyata dengan perlakuan menggunakan air saja/control (A). DAFTAR PUSTAKA Putra, N. S. 1997. Hama lalat Buah & Pengendaliannya. Yogyakarta: Kanisus. Kardinan. A. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Rismunandar. 1993. Kayu manis. Penebar Swadaya. Jakarta. Wahyuni, T. W., Mildrayana, E. 2010. Panduan Wisata Alam di Kawasan Konservasi Nusa Tenggara Barat. Mataram: BKSD NTB. Kardinan, A. 2007. Pengaruh Campuran Beberapa Jenis Minyak Nabati Terhadap Daya Tangkap Lalat Buah. Bul. Littro (1): 60 – 66. Dikutip dari balittro.litbang.deptan.go.id/ind/imag es/stories/.../6- lalatbuah.pdf. Diakses pada tanggal 19 Maret 2013. Kardinan, A. 2010. Tanaman Aromatik Pengendali Lalat Buah. Dikutip dari http://www.litbang.deptan.go.id/artik el/one/164/pdf/Tanaman%20Aromati k%20Pengendali%20Hama%20Lalat 60 ISSN: 1411-9587 Pengaruh Minyak Daun Selasih ……………… %20Buah.pdf. Diakses pada tanggal 23 Maret 2013. Rusajun, A. 2011. Laporan Penelitian Perangkap lalat Buah. Dikutip dari http://alimrusajun.blogspot.com/2011 /07/laporan-penelitian-perangkaplalat-buah.html. Diakses pada tanggal 10 April 2013. Wicaksono, D. 2012. Pengelolaan Hama Lalat Buah Bactrocera spp. Pada Tanaman Mangga. Dikutip dari http://infonesiia.wordpress.com/2012/ 07/09/pengelolaan-hama-lalat-buahbactrocera-spp-pada-tanamanmangga-pemberdayaan-musuhalami/. Diakses pada tanggal 19 Maret 2013. Zubaidah, S. 2008. Daya Atraktan Ekstrak Daun Selasih (Ocimum santum) dan Biji Pala (Myristica fragrans) Terhadap Lalat Buah (Bactrocera sp.). Skripsi. Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Dikutip dari http://lib.uinmalang.ac.id/thesis/fullchapter/04520013 -siti-zubaidah.ps. Diakses pada tanggal 21 Maret 2013. Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 61 ISSN: 1411-9587 Aplikasi Pupuk Organik Cair ………… APLIKASI PUPUK ORGANIK CAIR UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN KEDELAI (Glycine max L.) Ahmad Raksun Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UNRAM ABSTRACT A research about the application of liquid organic fertilizer to increase the growth of soy bean has done in Pagutan, Mataram. The objective of this research are: (1) to know the effect of liquid organic fertilizer to the growth of soy bean (2) to know the dose of liquid organic fertilizer in oder that soy bean can grow optimally. Complately randomized design with four replicates were used in this research. The result of this research are: (1) the application of liquid organic fertilizer can increas the growth of soy bean, (2) aplication 3,5 ml liquid organic fertilizer/50 ml water cause the better growth than other treatment. Key Words: liquid organic fertilizer, growth, soy bean P I. PENDAHULUAN upuk organik adalah pupuk yang terbuat dari materi mahluk hidup, yang dapat berupa pelapukan sisa-sisa tanaman dan hewan. Pupuk organik dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi media tanam. Pupuk organik mengandung banyak bahan organik, adapun sumber bahan organik berasal dari sisa tanaman dan atau hewan (Suriadikarta dkk, 2002) Pupuk organik cair mengandung nutrisi super lengkap yang dibutuhkan oleh tanaman untuk menghasilkan produktivitas yang optimal (Anonima, 2013). Keunggulan dari pupuk organik cair adalah dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit, kandungan unsur hara seimbang, mudah diserap tanaman, meningkatkan aktifitas mikroba dan enzim, meningkatkan hasil panen, ramah lingkungan, meningkatkan kesuburan media tanam dan aman bagi pengguna (Anonimb, 2013). Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa pemanfaatan pupuk organik berdampak positif terhadap ketersedian hara, pertumbuhan dan produksi tanaman. Hasil penelitian yang dilakukan Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 62 oleh Jedeng (2013) menunjukkan bahwa perlakuan pupuk organik berpengaruh sangat nyata terhadap berat segar dan berat kering oven umbi tanaman ubi jalar. Pemberian pupuk organik cair dapat meningkatkan berat basah dan diameter umbi kentang (Parman, 2007). Pemberian pupuk organik dapat meningkatkan jumlah N total tanah serta meningkatkan pertumbuhan serta hasil panen jahe (Latifah dan Arifin, 2012). Pemberian pupuk organik biogreen granul dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah pada tanah dengan kandungan organik rendah (Wahyunindyawati dkk, 2012).Pemanfatan pupuk organik Sulfomag plus dapat meningkatkan tinggi dan berat kering tanaman jagung, C-organik, N-total tanah dan berat produksi (Chairani, 2005). Untuk mengetahui pengaruh aplikasi pupuk organik cair terhadap pertumbuhan kedelai maka dilakukan penelitian tentang aplikasi pupuk organik cair untuk meningkatkan pertumbuhan kedelai yang dilakukan di Kelurahan Pagutan Kota Mataram. Adapun tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) pengaruh pemberian pupuk organik terhadap pertumbuhan kedelai, (2) dosis pupuk ISSN: 1411-9587 Aplikasi Pupuk Organik Cair ………… organik cair yang harus diberikan agar kedelai dapat tumbuh secara optimal. II BAHAN DAN METODE Bahan-bahan yg digunakan dalam penelitian ini adalah adalah tanah sawah sebagai media tanam, bahan-bahan pembuatan rumah kaca sederhana (tali rapia plastik transparan, bambu, dan besi paku), benih kedelai dan kertas label. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah pot plastik, timbangan, parang, alat tulis menulis, cangkul, ember plastik, palu, dan gunting. Media tanam yang digunakan adalah tanah sawah yang diambil dari lahan pertanian Kelurahan Pagutan. Sebelum digunkan, tanah terlebih dahulu dikeringkan, dibersihkan dari batu dan sisa tanaman dan diayak. Tanah ditimbang dan dimasukkan ke dalam polybag sebanyak 10 kg tanah untuk setiap polybag. Selanjutnya media ditanami benih kedelai sebanyak 5 benih untuk setiap unit percobaan. Setelah 10 hari penanaman dilakukan seleksi tanaman dengan menyisakan hanya 1 tanaman kedelai yang pertumbuhannya homogen, sedangkan yang lain dihilangkan. Dalam penelitian ini digunakan rancangan acak lengkap dengan empat ulangan (Hanafiah, 1994). Penggunaan pupuk organik cair terdiri atas 10 level yaitu: Po = tanpa pemberian pupuk organik cair (kontrol), P1 = pemberian 0,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air, P2 = pemberian 1 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air, P3 = pemberian 1,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air, P4 = pemberian 2 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air, P5 = pemberian 2,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air, P6 = pemberian 3 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air, P7 = pemberian 3,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air, P8 = pemberian 4 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air, P9 = pemberian 4,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air. Setelah tanaman kedelai berumur 35 hari, dilakukan pengukuran tinggi batang, berat basah batang, berat kering barang, berat basah daun dan berat kering daun. Data kuantitatif hasil pengukuran parameter di atas dianalisis dengan analisis sidik ragam dan uji lanjut dengan Uji Beda Nyata Terkecil (Gomez dan Gomez, 1995) III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Penelitian Pengukuran terhadap semua parameter pertumbuhan dilakukan setelah tanaman berumur 35 hari. Hasil analisis data yang meliputi tinggi batang, berat basah batang, berat kering batang, berat basah dan berat kering daun kedelai akibat aplikasi pupuk organik cair terdapat pada tabel berikut. Tabel 1. Rerata berat basah batang, berat kering batang, tinggi batang, berat basah dan berat kering daun kedelai akibat aplikasi pupuk organik PerlaTinggi Berat Basah Berat Kering Berat Basah Berat Kering kuan Batang (cm) Batang (gr) Batang (gr) Daun (gr) Daun (gr) P0 34 29 14 28 8 P1 36 33 16 32 10 P2 37 36 17 38 11 P3 38 40 19 42 12 P4 40 43 23 44 12 P5 41 48 26 47 13 P6 43 58 28 49 15 P7 48 64 32 56 18 P8 46 62 30 54 17 P9 46 62 31 53 17 Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 63 ISSN: 1411-9587 Aplikasi Pupuk Organik Cair ………… Keterangan P0 = tampa pemberian pupuk organik cair (kontrol) P1 = Pemberian 0,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air P2 = Pemberian 1 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air P3 = Pemberian 1,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air P4 = Pemberian 2 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air B5 = Pemberian 2,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air P6 = Pemberian 3 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air P7 = Pemberian 3,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air P8 = Pemberian 4 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air P9 = Pemberian 4,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air Selanjutnya untuk mengetahui terhadap tinggi batang setelah 45 hari pengaruh pemberian pupuk organik cair penanaman, berat kering biji per plot dan terhadap semua parameter pertumbuhan berat kering biji per hektar. Pemberian maka dilakukan analisis data dengan analisis pupuk organik bokashi kotoran sapi dan sidik ragam dan uji lanjut dengan uji beda eceng gondok dapat meningkatkan bobot nyata terkecil (BNT). Hasil analisis sidik berangkasan tanaman tomat (Soverda dkk, ragam pengaruh pemberian pupuk organik 2008). Pemberian berbagai dosis pupuk cair terhadap semua parameter yang diukur organik bokashi berpengaruh nyata terhadap menunjukkan bahwa aplikasi pupuk organik tinggi tanaman kedelai (Simaptupang, 1999). cair berpengaruh nyata terhadap semua Pemanfaatan pupuk organik bokashi dan parameter yang diukur NPK berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan daun, berat basah crop dan 3.2. Pembahasan Hasil analisis data menunjukkan diameter crop tanaman kubis. Perlakuan bahwa tanaman kedelai yang tumbuh pada bokashi limbah padat pabrik kertas 35 ton/ha media tanpa pemberian pupuk organik cair dan 200 kg/ha pupuk NPK mampu memiliki rerata tinggi batang, berat basah memberikan hasil berat basah crop 1,66 batang, berat kering batang, berat basah kg/tanaman (Hidayat dan Sugiarti, 2006). daun dan berat kering daun masing-masing Media terbaik untuk pertumbuhan semai adalah 34 cm , 29 gr, 14 gr, 28 gr dan 8 gr. eboni adalah pupuk organik EM bokashi Selanjutnya pada setiap unit percobaan yang karena media ini dapat meningkatkan diberi pupuk organik cair, rerata semua solubilitas dan viabilitas hara dalam tanah parameter yang diukur meningkat sejalan dan memberikan pertumbuhan semai eboni dengan meningkatnya dosis pupuk organik yang optimal (Sumiasri dan Setyowati, cair yang diberikan. Namun demikian mulai 2006). Penambahan bokashi dalam dosis 250 dari perlakuan 3,5 ml sampai dengan 4,5 ml g pada media tanah NPK dapat mendukung pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 pertumbuhan cabe var. Inko 99 lebih optimal ml air, rerata semua parameter yang diamati dengan tinggi tanaman 71,15 cm dan jumlah tidak menunjukkan adanya peningkatan yang cabang produktif 40,75 buah (Gustia, 2009). signifikan. Kedelai varietas galunggung merespon Hasil analisis sidik ragam secara signifikan terhadap kompos limbah menunjukkan bahwa aplikasi pupuk organik kelapa sawit, produksi meningkat secara cair berpengaruh secara signifikan terhadap sigifikan (Darma, 2000). Pemberian pupuk semua parameter yang diukur. Hal ini sejalan kandang 30 ton/ha yang dikombinasikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh dengan kapur 2 ton/ha menghasilkan sejumlah peneliti lainnya yaitu Marliah dkk pertumbuhan tanaman terbaik dengan rataan (2011) menyimpulkan bahwa pupuk organik tinggi tanaman 80,7 cm, jumlah cabang super nasa berpengaruh sangat nyata primer 33,4 buah, diameter tajuk 105,7 cm Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 64 ISSN: 1411-9587 Aplikasi Pupuk Organik Cair ………… dan produksi terna 25,2 ton/ha. Hasil tersebut berbeda nyata dengan perlakuan control dengan rataan tinggi tanaman 57,3 cm, jumlah cabang primer 20,9 buah, diameter tajuk 67,4 cm dan produksi terna 6,1 ton/ha (Burhanuddin dan Nurahmansyah, 2010). Pemberian pupuk organik biogreen granul dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah pada tanah dengan kandungan organik rendah. Pemupukan dengan dosis 4000 kg/ha biogreen granul dapat meningkatkan produksi sebesar 23% atau selisih hasil sebesar 2,8 ton/ha dibandingkan dengan perlakuan kontrol (Wahyunindyawati dkk, 2012). Pemberian pupuk organik Biogreenex lewat daun dapat meningkatkan kualitas hasil tanaman sawi (kandungan klorofil meningkat 16%, luas daun 76% dan hasil yang dapat dipasarkan 16% (Hardjoko, 2002) dan Farida dan Hamdani (2003) menyimpulkan, bahwa terdapat interaksi antara pupuk organik bokashi dan pupuk nitrogen terhadap jumlah daun, pemberian pupuk organik bokashi 10 ton/ha berpengaruh baik terhadap komponen kualitas bunga yaitu mampu menghasilkan tangkai bunga terpanjang dan jumlah kuntum bunga terbanyak. Kadir dan Kanro (2006) menyimpulkan bahwa aplikasi pupuk organik berpengaruh terhadap perbaikan komponen pertumbuhan, komponen produksi kopi dan estimasi produksi. Pemberian pupuk organik bokashi S. molesta dan pupuk kandang ayam berpengaruh nyata dalam meningkatkan semua parameter pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai (Kumalasari, 2011). Kurang optimalnya pertumbuhan kedelai pada media tanpa pemberian pupuk organik cair disebabkan karena rendahnya ketersedian unsur hara pada media tersebut. Selanjutnya pemberiaan pupuk organik cair menyebabkan makin tersedianya unsur hara makro seperti sulfur, posfot dan kalsium. Anonimb (2013) menjelaskan bahwa dalam pupuk organik cair terkandung unsur hara dalam bentuk siap digunakan bagi tanaman, Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 65 misalnya nitrogen dalam bentuk senyawa ion NH4+ dan NO3-, sulfur dalam bentuk senyawa ion SO42-, Fosfor (P), kalium (K), magnesium (Mg), mangan (Mn), kalsium (Ca), dsb, dalam bentuk senyawa oksida P2O5, K2O, MgO, MnO, CaO, serta mikroba dan enzim. Mikroba dan enzim yang terkandung sangat adaptif terhadap berbagai lingkungan, sehingga apabila pupuk organik cair diberikan kepada tanaman (disiramkan atau disemprotkan), mikroba dan enzim tersebut dapat langsung aktif menguraikan partikel-partikel pada media tanam. Demikian juga anonim (2014) menjelaskan bahwa dalam pupuk organik cair terkandung unsur hara N, P, K dan unsur-unsur hara lain yang berperan dalam penyediaan unsur hara tanaman, selain unsur hara, pupuk organik cair juga berisikan mikroba yang mempunyai sifat fiksasi nitrogen dan pelarut phospat. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil menunjukkan bahwa untuk semua parameter pertumbuhan yang diukur (tinggi batang, berat basah batang, berat kering batang, berat basah daun dan berat kering daun) pada setiap tanaman percobaan, perlakuan P7 (perlakuan 3,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air) memberikan hasil yang berbeda nyata dengan P0 (kontrol), namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan P8 sampai dengan P9. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa dosis optimum pupuk organik cair yang perlu diberikan pada media tanam adalah 3,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa: (1) aplikasi pupuk organik cair dapat meningkatkan tinggi batang, berat basah batang, berat kering batang, berat basah daun dan berat kering daun tanaman kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi pupuk organik cair dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai (2) Penggunaan dosis pupuk organik 3,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ISSN: 1411-9587 Aplikasi Pupuk Organik Cair ………… ml air memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. DAFTAR PUSTAKA Anonima. 2013. Pupuk Organik Cair. epetani.deptan.go.id/pasar/pupukorganik-cair-poc-7671 Diakses tanggal 15 Nopember 2013 Anonimb. 2013. Pupuk Organik Cair dan Tanaman. kebundirumah.wordpress.com/pupu k-organik-cair-dan tanaman/ Diakses tanggal 16 Nopember 2013 Anonim (2014) Pupuk Organik. id.wekipedia.org/wiki/pupuk_organi k. Diakses tanggal 2 Januari 2014. Burhanuddin dan Nurahmansyah. 2010. Pengaruh pemberian pupuk kandang dan kapur terhadap pertumbuhan dan produksi nilam pada tanah podsolik merah kuning. Bul. Littro. 21 (2): 138 - 144 Chairani. 2005. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Blotong dan Pupuk Sulfomag Plus Terhadap Sifat Kimia Tanah, Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung (Zea mays L.) pada Tanah Typic Paleudult. Respositoryusu-acid/bitsream/123456789/15533/1kptdes2005-(5)pdf. Diakses tanggal 24 Nopember 2012 Darma,S. 2000. Respon tanaman kedelai terhadap kompos limbah kelapa sawit pada dosis berbeda. Jurnal Budidaya Pertanian. 6 (2): 96 - 104 Farida dan Hamdani, J.S. 2003. Pertumbuhan dan hasil bunga gladiol pada dosis pupuk organik bokashi dan nitrogen yang berbeda. Bionatura. 3(2): 68 76 Gomez K.A. dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk penelitian Pertanian Edisi Kedua Penerjemah: Endang Syamsudin dan Justika S. Baharsyah. UI Press. Jakarta. Gustia, H. 2009. Pengaruh pemberian Bokashi Terhadap pertumbuhan dan Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 66 produksi tanaman cabe var. inko-99. Akta Agrosia Vol. 12(2): 113 – 123. Hanafiah, 1994. K.A. Rancangan Percobaan. Teori dan Aplikasi. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Palembang. Hardjoko, D. 2002. Pengkajian Pupuk organik cair biogreenex pada tanaman sawi di Kabupaten Boyolali. Caraka Tani. 15 (2): 9 - 19 Hidayat, F. dan U Sugiarti. 2006. Pemanfaatan Bokashi Limbah Pabrik Kertas Untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kubis (Brassica oleracea) di Daerah Medium. Laporan Hasil Penelitian. Universitas Widyagama. Malang Jedeng, I. W. 2011. Pengaruh Jenis dan Dosis Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Var. Lokan Ungu. Tesis. Universitas Udayana. Denpasar Kadir, S. dan M.Z. Karno. 2006. Pengaruh pupuk organik terhadap pertumbuhan dan produksi kopi arabika. www.ijonline.net/index.php/Agrivigo r/article/view/i81. diakses tanggal tanggal 16 Februari 2013. Kumalasari, P. 2011. Pemberian Beberapa Dosis Bokashi Salvinia molesta Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kedelai (Glycine max L.) Pada Tanah Ultisol. Skripsi. F. MIPA. Universitas Andalas. Padang. Latifah, E. dan Z. Arifin. 2012. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Panen Jahe. Jatim.litbang.deptan.go.id/ind/index. php?option=com_content&view=artic le&id=549&ltemid=10 diakses tanggal 25 Nopember 2012. Marliah, A., Nurhayati dan D. Susilawati. 2011. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik dan Jenis Mulasa Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai (Glycine max (L.) Merrill. Jurnalflorestek.wordpress.com/2011/ 10/14/pengaruh-pemberian-pupuk- ISSN: 1411-9587 Aplikasi Pupuk Organik Cair ………… organik-dan-jenis-mulsa-organik. Diakses tanggal 25 Nopember 2012. Parman, S. 2007. Pengaruh pemberian pupuk organik cair terhadap pertumbuhan dan produksi kentang (Solanum tuberosum L.). eprints.undips.ac.id/6188/1/sardjana_P _SOLANUM-KOMPL-pdf. Diakses tanggal 15 Februari 2013. Simatupang, Y.M.A. 1999. Pengaruh Pemberian Bokashi Kotoran Ayam dan Bokashi Rumput Terhadap Beberapa Sifat Fisika Tanah Podsolik Merah Kuning Gajrug dan Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merr) varietas Wilis. Skripsi. Fakultas Pertanian Intitut Pertanian Bogor. Soverda,N., Rinaldy dan I. Susanti. 2008. Pengaruh Beberapa Macam Bokashi Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) Di Polybag. Onlinejournal.unja.id/index.php/agronomi/art icle/download/432/348. Diakses tanggal 1 Desember 2013. Sumiasri, N. dan N Setyowati. 2006. Pengaruh beberapa media pada pertumbuhan bibit eboni (Diospyros celebica Bakh). melalui perbanyakan biji. Biodipersitas. 7(3):260 – 263. Suriadikarta, Didi, A., Simanungkalit, R.D.M. (2006). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Jawa Barat:Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Wahyunindyawati, F. Kasijadi dan Abu. 2012. Pengaruh pemberian pupuk organik biogreen granul terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah. Jurnal Basic Science and Technology, 1 (1): 21 - 25. Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 67 ISSN: 1411-9587 Komposisi Spesies Lamun ……………. KOMPOSISI SPESIES LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN PANTAI LABUHA KABUPATEN HALMAHERA SELATAN PROPINSI MALUKU UTARA Riyadi Subur Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Khairun-Ternate Email: [email protected] ABSTRACT Seagrass is the only flowering plants (Angiospermae) which has a rhizome, leaves and true roots and live embedded in the sea, in coastal areas of seagrass ecosystems play an important role both ecologically and economically . The propose of this study is to identify and determine the number of seagrass species found in Labuha coastal waters, Counting of ecological indices (diversity, dominance and evenness of species). This research is done by the line transect method (line transects) and quadrats . The results of this study indicate that there are as many as 6 species of seagrass in Labuha coastal waters, Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, C. rotundata, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Thalassia hemprichii. Seagrass dominance index value is 0.255 with a dominant species is C. serrulata. Speseis Diversity Index is 1.516, and the evenness index value is 0.779. Conditions of seagrass in Labuha coastal waters in is stable relatively even distribution diversity. Keywords : Komposis , Species , Seagrass , Labuha L pantai, yang berfungsi dalam menstabilkan dan melindungi garis pantai dari pengaruh erosi (Syahailatua dkk., 1989). Vegetasi yang lebat dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak, serta menyebabkan perairan disekitarnya tenang. Lamun berperan pula sebagai perangkap sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak terutama dengan sistem akar yang padat dan saling menyilang (Nyibakken, 1988). Hamparan yang padat dan laus menjadi tempat hidup atau habitat bermacam-macam biota laut seperti ikan, moluska, udang, penyu dan krustacea (Nontji, 1987; Nybakken, 1988). Secara umum hampir semua jenis substrat di wilayah pesisir dapat ditumbuhi lamun, namun jenis substrat yang paling umum untuk pertumbuhan adalah habitat bersubstrat lunak, juga banyak dijumpai pada substrat berpasir di daerah subtidal. Jenis ekosistem ini hanya dijumpai pada daerah PENDAHULUAN amun (Seagrass) merupakan satusatunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup tertanam di dalam laut (Bengen, 2001). Lamun adalah salah satu dari tiga ekosistem perairan pantai dan berperan penting dalam menunjang populasi biota yang hidup di daerah tersebut (Peristiwady, 1994) tumbuhan ini seringkali menjadi komponen dominan di lingkungan pesisir (Saptarini dkk., 1996). Perairan dangkal yang agak berpasir menjadi tempat hidupnya dan sering dijumpai berasosiasi dengan mangrove dan terumbu karang (Nontji, 1987; Carter, 1988; Dahuri dkk., 1996), selain itu lamun juga termasuk salah satu jenis tumbuhan yang ditemukan pada hamparan berlumpur (Hutabarat dan Evans, 1984). Hamparan Lamun adalah salah satu ekosistem bahari yang produktif di daerah Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 68 ISSN: 1411-9587 Komposisi Spesies Lamun ……………. pesisir yang memiliki kedalaman tidak lebih dari 50-60 meter (Nybakken, 1988). Beberapa peranan penting hamparan rumput lamun terhadap fisik pantai yaitu melindungi beberapa habitat seperti mangrove, pantai dan pasir dengan mengurangi energi gelombang dan memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan gelombang sehingga perairan sekitarnya menjadi tenang. Sedangkan ke arah laut hamparan tersebut berfungsi melindungi terumbu karang, biasanya dilakukan dengan jalan menyaring. Menurut Den Hartog (1967) dalam Dawes (1981); Kennish (1990); Saptarini dkk (1996) lamun juga dapat digunakan sebagai makanan yang dikonsumsi secara langsung oleh manusia. Scholander (1968) dalam McRoy dan Helffrich (1980) melaporkan bahwa buah Enhalus dimakan setelah dimasak oleh penduduk suku Aborigin di Australia. Penduduk Kepulauan Seribu memakan buah Enhalus yang dicampurkan dengan kelapa (Hitomo dan Azkab, 1987). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: (1) mengidentifikasi dan mengetahui jumlah spesies lamun yang terdapat di perairan pantai Labuha dan (2) menghitung beberapa indeks ekologi (keanekaragaman, dominasi jenis dan kemerataan spesies). Bahan dan Mtode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan pantai pantai Labuha kecamatan Bacan Kabupaten Halmahera Selatan pada bulan Desember 2012 Perairan pantai sekitar lokasi penelitian terdapat sungai “Amasing” di daerah pinggiran pantai dan bagian pantainya memiliki substrat berlumpur, pasir dan karang mati. Pada lokasi ini terdapat lamun (seagrass) dan alga. Objek dan Alat Dalam penelitian ini, yang menjadi objek adalah lamun (seagrass). Sedangkan peralatan pendukung penelitian tercantum pada Tabel 2 berikuti: Tabel 1. Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian No. Nama Alat Kegunaan 1. Hand Refraktometer Untuk mengukur kadar garam (salinitas) permukaan air laut pada lokasi sampling 2. Termomter Berguna dalam pengukuran suhu permukaan air laut. 3. Tali (50 m) Digunakan untuk menarik garis transek sebagai patokan saat sampling objek 4. Kuadran 1 m2` Untuk mengabil objek dalam luasan tersebut. 5. Kamera Mengambil gambar. 6. Alat tulis menulis Untuk mencatat data yang diperoleh. menggunakan termometer celcius berketelitian 1C dan salinitas diukur dengan menggunakan hand-refraktometer berketelitian 0,1o/oo. Sedangkan substrat hanya dilakukan penilaian melalui Pengukuran Parameter Lingkungan Parameter lingkungan yang diukur adalah suhu air dan salinitas. Suhu dan salinitas diukur pada saat pengambilan sampel di lapangan. Suhu diukur dengan Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 69 ISSN: 1411-9587 Komposisi Spesies Lamun ……………. pengamatan visual pada saat pengambilan sampel, kemudian dicatat tipe substratnya 30 meter. Sampel diambil pada kuadrat berukuran 1 m2 pada saat saat surut, sebanyak 10 ulangan pada masing-masing transek. Setiap spesies Lamun yang ditemukan dalam kuadrat dihitung jumlah individunya. Penentuan spesies dilakukan secara langsung di lapangan dengan menggunakan pedoman identifikasi menurut Lanyon (1986), Phillips dan Menez (1988). Gambar 2. meperlihatkan sketsa penempatan penempatan kuadran pada garis transek di lokasi penelitian. Pengambilan Sampel Lamun Sebelum pengambilan sampel, dilakukan survei jelajah untuk mengetahui jumlah spesies yang terdapat pada lokasi penelitian serta penentuan titik-titik penempatan garis transek. Pengambilan sampel berdasarkan metode sampling secara sistematis dengan garis transek. Pada setiap lokasi penelitian diletakkan 3 transek secara vertikal dengan panjang 50 meter, serta jarak antara transek Analisis Data Indeks yang dipakai dalam mengetahui kondisi Lamun adalah: 1. Indeks Dominasi (C). Indeks dominasi lamun (Odum, 1996) yaitu: C (ni / N ) 2 Keterangan: ni = Jumlah individu atau berat tiap spesies N = Jumlah individu atau berat individu seluruh spesies 2. Indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wiener (Ludwig dan Reynolds, 1988) adalah: S H ' (ni / N ) ln(ni / N ) t 1 3. Indeks kemerataan (e) (Ludwig dan Reynolds, 1988) e= Keterangan: H' S H' ln S = Indeks Shannon untuk keanekaragaman spesies = Jumlah spesies Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 70 ISSN: 1411-9587 Komposisi Spesies Lamun ……………. 30 m 50 m DARATAN Gambar 2. Sketsa penempatan penempatan kuadran pada garis transek di lokasi Penelitian. lumpur lunak bercampur pasir dan (3) pasir berlumpur bercampur hancuran karang mati, (4) pasir bercampur hancuran karang mati dan (5) pasir halus. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter lingkungan Pengukuran parameter lingkungan suhu air dan salinitas dilakukan bersamaan dengan waktu pengambilan sampel. Suhu permukaan yang terukur saat pengambilan sampel adalah 30 oC dengan salinitas 29 ‰. Pengamatan secara visual dilakukan terhadap keberadaan lamun pada substrat yang ditempati pada lokasi Penelitian menunjukkan bahwa di lokasi tersebut memiliki substrat (1) pasir berlumpur, (2) Komposis dan Kepadatan Setiap Spesies Spesies lamun yang ditemukan pada lokasi penelitian berjumlah 6 spesies yaitu; Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Thalassia hemprichii dan Halodule pinifolia. Tabel 2. menjelaskan jumlah spesies dan kepadatan setiap individu spesies/m2. Tabel 2. Komposisi spesies lamun yang ditemukan di pariran pantai Labuha kecamatan Bacan Kabupaten Halmahera Selatan. No. 1 2 3 4 5 6 Spesies Enhalus acoroides C. serrulata C. rotundata H. ovalis H. pinifolia T. hemprichii TOTAL Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 Jlh.Ind 260 2756 1226 1245 1287 200 6974 71 Ind/m2 8.66 91.86 40.86 41.5 42.9 6.66 232.46 ISSN: 1411-9587 Komposisi Spesies Lamun ……………. Kepadatan & Jlh Indv/m 3000 2756 Jlh. Indv Kepadatan/ m 2500 2000 1500 1287 1245 1226 1000 500 0 260 8.66 91.86 40.86 E. acoroides C. serrulata C. rotundata 41.5 H. ovalis 200 42.9 H. pinifolia 6.66 T. hemprichii Spesies Gambar 3. Jumlah Individu dan Kepadatan spesies lamun/ m2 yang di teumkan pada lokasi Penelitian. nilai sebesar 0,0008. Nilai Indeks keanekaragaman (H’) pada lokasi penelitian untuk lamun adalah 1,516 diman indeks kemerataannya (e) bernilai 0,779. Gambar 4. menunjukkan perbandingan nilai indeks dominasi, keanekaragaman dan kemerataan spesies lamun pada lokasi penelitian. Dominasi, Keanekaragaman dan Kemerataan spesies Indeks dominasi spesies lamun (C) pada lokasi penelitian adalah sebesar 0,255. spesies yang memiliki nilai dominasi tertinggi yaitu Cymodocea serrulata sebesar 0,156 sedangkan dominasi terendah ditempati oleh Thalassia hemprichii dengan Nilai Indeks Keanekaragaman, Dominasi dan Kemerataan 1.600 1.400 1.516 1.200 1.000 0.800 0.779 0.600 0.400 0.200 0.255 0.000 Keanekaragaman Dominasi Kemerataan Gambar 4. Menunjukkan perbandingan nilai indeks dominasi, keanekaragaman dan kemerataan spesies lamun pada lokasi penelitian. Berdasarkan nilai indeks dominasi (C) lamun di lokasi penelitian tidak menunjukkan adanya spesies yang sangat dominan, hal ini disebabkan karena karakterisitik substrat yang ditempati Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 masing-masing spesies relatif merata yang didukung oleh faktor lainnya yaitu suhu dan salinitas yang memungkinkan semua spesies yang ditemukan pada Lokasi penelitian dapat hidup dan tumbuh 72 ISSN: 1411-9587 Komposisi Spesies Lamun ……………. bersama, walupun di temukan spesies Cymodocea serrulata memiliki jumlah individu yang lebih tinggi dibandingkan spesies lainnya. Nilai indeks keanekaragaman (H’) spesies lamun pada lokasi penelitian yang sebesar 1,516, tidak menunjukkan nilai keanekaragaman yang tinggi, menanadakan bahwa kondisi komunitas berada dalam keadaan stabil dengan kategori sedang. Wibisono (2005) menjelaskan bahwa kondisi komunitas yang berada dalam keadaan stabil dengan kategori sedang memiliki nilai kisaran antara 1,21-1,8, sedangkan kondisi komunitas yang sangat stabil nilai indeks keanekaragamannya >2,41. Hal ini disebabkan karena pada lokasi penelitian terdapat sungai yang setiap saat memasok air tawar ke laut dalam volume yang berbeda, sehingga turut memberi dampak terhadap komunitas lamun pada lokasi daerah ini. Odum (1996) mengemukakan bahwa keanekaragaman yang rendah terjadi pada komunitaskomunitas yang dipengaruhi oleh gangguan musiman atau secara periodik oleh manusia dan alam. Nilai indeks kemerataan spesies lamun pada lokasi penelitian juga menunjukkan bahwa kondisi komunitasnya berada dalam keadaan lebih merata dengan kategori baik. Wibisono (2005) menjelaskan bahwa kondisi penyebaran struktur komunitas dengan kisaran 0,61-0,80 berada dalam keadaan lebih merata dengan kategori baik. Hal ini sesuai dengan lokasi penelitian yang nilai indeks kemerataannya 1,77. ini menunjukkan bahwa karakteristik substrat yang ditempati masing-masing spesies lamun pada lokasi relatif merata dan tidak terjadi dominasi salah satu jenis substrat sehingga penempatan ruang secara eksklusif oleh salah satu spesies tidak terjadi. 1. Jumlah spesies lamun yang ditemukan sebanya 6 spesies 2. Nilai indeks dominasi sebsear 1,516; keanekaragaman 0,255 dan kemerataan 0,779. 3. Kondisi komunitas lamun di perairan Labuha bedasakan keanekaragaman berada dalam keadaan stabil dengan kategori sedang, dan berdasarkan kemerataan tergolong dalam keadaan lebih merata dengan kategori baik. DAFTAR PUSTAKA Bengen D. G. 1996. Metodologi Penelitian Biofisik Kelautan. Bagian Proyek Pengembangan Pendidikan Ilmu Kelautan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor. 104 hal. Bujang, J.S. 2005. Seagrasses. Department of Biology Faculty Science Universiti Putra Malaysia. Malaysia. 65 Hal. Carter, R. W. G. 1988. Coastal Environment An Introduction to The Physical, Ecological and Cultural Systems of Coastllines. Academic Press Limited. 617 hal. Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradya Paramita. Jakarta. 299 hal. Dawes, C.J. 1981. Marine Botany. Jhon Wiley and Sons, Inc. New York. 628 hal. Den Hartog, C. 1977. Seagrass and Seagrass Ecosystem, An Apraisal of The Research Approach, Aquat. Bot. 105177. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 73 ISSN: 1411-9587 Komposisi Spesies Lamun ……………. Fortes, M. D. 1989. A Resources Unknown In The ASEAN Region. International Center or Living Aquatic Resources Management Education Series. 45 hal. Nybakken, J. 1988. Biologi Laut; Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta. 459 hal. Odum, E.P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi (Fundamentals of Ecology). Gajah Mada University Press. Athens Giorgia. 697 hal. Hutabarat, S dan S. M. Evans. 1984. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia (UI Press). 159 hal. Peristiwady, T. 1994. Makanan Ikan-Ikan Utama Di Padang Lamun Di Pantai Selatan Lombok Dan Kondisi Lingkungannya. P3O-LIPI Jakarta. Hal 112-125. Hutomo, M dan Azkab, 1987. Peranan Lamun Di Lingkungan Laut Dangkal. Oseana. P3O-LIPI Jakarta. Hal 13-23. Lanyon, J. 1986. Guide to The Identification Of Seagrass In The Great Barrier Reef Region. Great Barrier Reef Marine Park Authority special Publication Series (3). Townsville, Queensland. 54 hal. Phillips, R.C. dan E.G. Menez. 1988. Seagrass Smithsonian Institution Press. Washington D.C. 87 hal. Saptarini, D., Suprapti dan H.R. Santisa. 1996. Pengelolaan Sumber Kelautan dan Wilayah Pesisir. 45 hal. Ludwig, A.J., dan J.F. Reynolds 1988. Statiscal Ecology; A Primer On Methods Computing. A Wiley Interscience Publication. John Wiley & Sons. Canada. 337 hal. Syahailatua, A.J., M. Mustafa dan G.S. Henderson. 1989. Padang Lamun (Seagrass) Pantai Suli, Teluk Beguala dalam Perairan Maluku dan Sekitarnya. Biologi, Budidaya, Geologi, Lingkungan dan Oseanografi. Balitbang Sumberdaya Laut LON-LIPI. Ambon. Hal 32-38. McRoy, C.P. dan C. Helfferich. 1980. Applied Aspects of Seagrass dalam Handbook of Seagrass Biologi: Ecosystem Perspective. R.C. Pilips dan C.P. McRoy (eds). Hal 297 - 343. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 368 hal. Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014 Wibisono, M.S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT. Grasindo. Jakarta. 226 hal. 74 ISSN: 1411-9587