jurnal biologi tropis

advertisement
JURNAL BIOLOGI TROPIS
ISSN: 1411-9587
Volume: 14 Nomor 1 Januari 2014
i
JURNAL BIOLOGI TROPIS
Volume: 14 Nomor 1 Januari 2014
Jurnal Biologi Tropis diterbitkan mulai tahun 2000 dengan frekuensi 2 kali setahun oleh Program
Studi Pendidikan Biologi PMIPA FKIP Unram, berisi hasil penelitian dan
ulasan ilmiah dalam bidang Biologi Sains.
Pelinding:
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram
Pimimpin Redaksi
Dr. Drs. Abdul Syukur, M.Si (Ketua)
Dr. Drs, Mahrus, M.Si (Anggota)
Dr. Dra. Prapti Setijani, M.Sc (Anggota)
Dewan Redaksi
Prof. Dr. Drs. A Wahab Jufri, M.Sc.
Drs. Lalu Zulkifli, M.Si, Ph.D
Dr. Drs, Karnan. M.Si.
Dr. Drs. Muhlis, M.Si.
Dr. Drs. Agus Ramdani, M.Sc.
Dr. Drs. Dadi Setiadi, M.Sc.
Redaksi Ahli
Prof. Ir Sunarpi, Ph.D (Unram)
Prof. Dr. Drs. Agil Al Idrus, M.Si (Unram)
Prof. Dr. Dra. Dwi Soelistya Dyah Jekti, M.Si (Unram)
Dr. Drs. Syachruddin, AR. M.Si (Unram)
Jurnal Biologi Tropis menerima naskah dari dosen, peneliti, mahasiswa maupun praktisi yang belum
pernah diterbitkan dalam publikasi lain dengan ketentuan penulisan seperti tercantum pada halaman
dalam sampul belakang. Tulisan yang dimuat dikenakan biaya
sebesar Rp. 300.000. Pembayaran dapat dilakukan dengan cara: a. pembayaran langsung,
b. wesel atau c. transfer ke Tahapan BCA nomor rekening 232 – 0150623 Bank BCA Ampenan.
Salinan bukti pembayaran (b dan c) harap dikirim kekantor redaksi.
Penerbit:
Prog. Pendidikan Biologi PMIPA FKIP Universitas Mataram
Jl. Majapahit No. 62 Mataram, Lombok NTB 83125
Tlp. (0370) 623873 pes 112 Fax. (0370)n634918.
Dicetak oleh:
Penerbit Arga Puji Press Mataram Lombok
e-mail: [email protected] www.argapuji.com
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
ii
ISSN: 1411-9587
DAFTAR ISI ARTIKEL
Volume. 14 Nomor. 1 Januari 2014
ISSN 1411-9587
No
Judul Artikel dan Penulis
1
KARAKTERISTIK HABITAT UNDUR-UNDUR LAUT
(FAMILI HIPPIDAE) DI PANTAI BERPASIR,
KABUPATEN CILACAP
Yusli Wardiatno, I Wayan Nurjaya dan Ali Mashar
1-8
2
PENGARUH KONSENTRASI ASAM BENZOAT
TERHADAP DAYA SIMPAN CABAI MERAH
(Capsicum annuum L.)
Baiq Irma Widiartini, Lalu Zulkifli, dan Ahmad Raksun
9-16
3
SURVAI POPULASI LUMBA-LUMBA DI PERAIRAN
PANTAI LOVINA, KABUPATEN BULELENG,
PROVINSI BALI
M. Mukhlis Kamal dan Yusli Wardiatno
17-27
4
KONSORSIUM MIKROALGA UNTUK PRODUKSI
MINYAK BIODIESEL
Suripto. Lalu Japa dan Erin Ryantin Gunawan
28-35
5
STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK KERANG
POKEA (Batissa violacea var. celebensis, von MARTENS
1897) DI SUNGAI POHARA SULAWESI TENGGARA
Bahtiar, Wa Nurgaya, La Anadi
36-44
6
SEJARAH PERKEMBANGAN MUTIARA
Syachruddin AR.
45-51
7
PENGARUH MINYAK DAUN SELASIH (Ocimum spp.) DAN
MINYAK KAYU MANIS (Cinnamomum spp.) BESERTA
CAMPURANNYA TERHADAP TANGKAPAN LALAT
BUAH UNTUK PENGEMBANGAN PRAKTIKUM
EKOLOGI HEWAN
Muslihatun, I Putu Artayasa, dan I Wayan Merta
52-61
8
APLIKASI PUPUK ORGANIK CAIR UNTUK
MENINGKATKAN PERTUMBUHAN KEDELAI
(Glycine max L.)
Ahmad Raksun
62-67
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
Halaman
iii
ISSN: 1411-9587
9
KOMPOSISI SPESIES LAMUN (SEAGRASS) DI
PERAIRAN PANTAI LABUHA KABUPATEN
HALMAHERA SELATAN PROPINSI MALUKU UTARA
Riyadi Subur
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
iv
68-74
ISSN: 1411-9587
Karakteristik Habitat Undur-undur …………….
KARAKTERISTIK HABITAT UNDUR-UNDUR LAUT (FAMILI
HIPPIDAE) DI PANTAI BERPASIR, KABUPATEN CILACAP
Yusli Wardiatno*1, I Wayan Nurjaya2 dan Ali Mashar1
1. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor (IPB), Gedung FPIK Lantai 3, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
2. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor (IPB), Gedung FPIK Lantai 3, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
*penulis untuk korespondensi: [email protected]
ABSTRACT
Mole crab is one of the crustaceans living in sandy intertidal area. The crab of Family
Hippidae has both ecology and economy roles. In the southern coast of Jawa where sand is
dominating the beach the crab can be easily found. In the coastal area the crab is economically
important. The research was aimed to reveal the habitat characteristics of the mole crab in
Sodong Coast and Bunton Coast, Adipala District, Cilacap Regency, Province Jawa Tengah.
The research was conducted from Mey to September 2013 by collecting physical
oceanography parameters, i.e. beach slope, beaking wave type, and type of substrate. The
dean parameter and beach deposit index were calculated. The results showed that habitat
characteristic of the mole crab are as follow: the beach slope ranged from 0.4 – 0.6, median of
the substrate sedimen was 0.5 mm, and the type of beach was dissipative based on the dean
parameter (the score 5) and the beach deposit index (3.4 – 5.2) with wide swash zone.
Keyworsd: dissipative, Hippidae, habitat characteristics, mole crab
sudah lama dan sudah banyak dimanfaatkan
oleh masyarakat pesisir di wilayah pesisir
selatan Pulau Jawa tersebut, namun data dan
informasi ilmiah undur-undur laut di wilayah
tersebut belum tersedia.
PENDAHULUAN
U
ndur-undur laut merupakan sumber
daya krustasea yang hidup di pantai
berpasir pada daerah intertidal(Mann
2000), dan umumnya menempati zona
gelombang pecah (swash zone) (Ricketts et
al. 1992).Undur-undur laut mempunyai
tingkah laku mengubur diri (Mann 2000),
diantaranya untuk menghindar dari serangan
predator (Seilacher 2007) dan menyimpan
energy (Mc Graw 2005 in Boere et al.
2011).Data dan informasi undur-undur laut
dari pantai berpasir Indonesia belum banyak
terekspos, namun sejak tahun 2012 mulai
dilakukan eksplorasi informasi biologi
undur-undur laut Indonesia, terutama wilayah
pantai selatan Pulau Jawa secara intensif,
seperti aspek pertumbuhan dan produktivitas
sekunder (Mashar dan Wardiatno 2013a,
2013b; Wardiatno et al. 2013) . Hal tersebut
dilakukan karena ternyata undur-undur laut
Jurnal Biologi Tropis Vol. 14 N0. 1 Januari 2014
Dari sisi manfaat, undur-undur laut
memiliki manfaat yang tidak bisa dianggap
kecil.Secara ekologi, undur-undur laut
diantaranya mempunyai peran sebagai
konsumen tingkat pertama dalam rantai
makanan di ekosistem intertidal.Selain itu,
undur-undur laut juga dapat digunakan
sebagai bioindikator perairan pantai berpasir
karena
kemampuannya
untuk
mengakumulasi logam berat, khususnya,
merkuri, dan menyerap asam domoik
(neurotoksin
yang
dihasilkan
oleh
diatom)(Wenner 1988; Pérez 1999; Mann
2000; Dugan et al. 2005). Secara ekonomi,
khusus di Indonesia dan lebih khusus lagi di
pantai selatan Jawa Tengah, banyak
1
ISSN: 1411-9587
Karakteristik Habitat Undur-undur …………….
masyarakat pesisir yang mengandalkan
hidupnya dari undur-undur laut, baik sebagai
nelayan undur-undur laut maupun pengolah
dan penjual makanan berbasis undur-undur
laut, seperti undur-undur laut krispi, peyek
undur-undur laut, dan undur-undur laut
goreng tepung.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui atau menduga karakteristik
habitat undur-undur laut famili Hippidae
berdasarkan karakteristik habitat undur-undur
laut di pantai berpasir Pantai Sodong dan
Pantai
Bunton
Kecamatan
Adipala,
Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas,
terlihat bahwa undur-undur laut memiliki
peran yang cukup penting.Namun demikian,
informasi tentang sebaran undur-undur laut
di Indonesia belum lengkap dan baru
teridentifikasi secara jelas di pantai selatan
Jawa Tengah dan Yogyakarta.Penelusuran
tentang sebaran undur-undur laut di wilayah
pantai berpasir Indonesia lainnya menjadi
penting agar peran dan manfaat undur-undur
laut dapat dikelola agar tetap lestari. Salah
satu informasi yang harus diketahui untuk
mempermudah
proses
penelusuran
keberadaan undur-undur laut di daerah lain
adalah karakteristik habitat dari undur-undur
laut. Oleh karena itu, kajian tentang
karakteristik habitat undur-undur laut
menjadi penting untuk dilakukan sebagai
dasar untuk melakukan penelusuran habitat
undur-undur laut di pantai-pantai berpasir di
wilayah Indonesia lainnya.
DESAIN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi Pengamatan Oseanografi
Penelitian dilakukan di wilayah
pantai
berpasir
Kecamatan
Adipala,
Kabupaten Cilacap pada bulan Mei hingga
September 2013. Untuk mendapatkan
gambaran fisik lebih detil terkait dengan
banyaknya ditemukan undur-undur laut,
maka dilakukan beberapa pengukuran
terhadap kemiringan pantai, swash zone,
tinggi gelombang pecah, periode gelombang,
dan butiran sedimen. Lokasi pengamatan
aspek oseanografi pantai dilakukan di 3 (tiga)
stasiun pengamatan, yaitu dua stasiun
pengamatan di Pantai Sodong dan satu
stasiun pengamatan di Pantai Bunton,
keduanya
termasuk
dalam
wilayah
administrai Kecamatan Adipala, Kabupaten
Cilacap, Provinsi Jawa Tengah (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian.
Jurnal Biologi Tropis Vol. 14 N0. 1 Januari 2014
2
ISSN: 1411-9587
Karakteristik Habitat Undur-undur …………….
kearah lepas pantai, diujung tali ditancapkan
tongkat berskala dengan posisi tegak lurus
dengan tali, sehingga mendapatkan nilai h
(Gambar 2).
Pengamatan Aspek Oseanografi Fisik
1. Kemiringan Pantai
Pengukuran
kemiringan
pantai
dilakukan dengan cara menarik garis x=10m
Gambar 2. Sketsa pengukuran kemiringan pantai.
3. Pengukuran lebar swash zone juga
dilakukan di 3 lokasi yang berbeda.
2. Lebar Swash Zone
Lebar Swash Zone diukur dari titik
dimana posisi air laut terjauh naik ke pantai
sampai ke posisi muka air dengan
menggunakan meteran seperti pada Gambar
Gambar 3. Garis berpanah adalah menandakan lebar swash zone.
Jurnal Biologi Tropis Vol. 14 N0. 1 Januari 2014
3
ISSN: 1411-9587
Karakteristik Habitat Undur-undur …………….
3. Tinggi Gelombang Pecah
 = sudut kemiringan pantai
h = tinggi (m)
x = panjang tali (m)
Teknik mengukur gelombang pecah
dapat dilakukan dengan berbagai cara, dua
diantaranya adalah (i) mengukur tinggi
gelombang pecah dengan tongkat berskala
dan (ii) memprediksi gelombang pecah
dengan tinggi dan periode gelombang
signifikan. Cara pertama sulit dilakukan
mengingat energi gelombang yang besar dan
sangat berbahaya sehingga bisa dilihat secara
visual dengan box meter.
2. Gelombang Pecah
Berdasarkan formula Komar and
Gaughan (1972), tinggi gelombang pecah
dapat dihitung dengan:
H b  0,39 g H s Ts 
5
Dimana:
g = percepatan gravitasi
Hs = tinggi gelombang signifikan
Ts = periode gelombang signifikan
4. Periode Gelombang
Periode gelombang dapat dihitung
dengan menghitung frekuensi gelombang
yang melewati satu titik referensi yang tetap
atau mencatat waktu yang dibutuhkan oleh
satu panjang gelombang melewati satu titik
referensi atau titik tetap tadi.
3. Analisis Fisik Substrat dan Habitat Pantai
Pasir
Untuk parameter habitat pantai
berpasir, akan dihitung Dean’s parameter(Ω,
Short 1996) dan beach deposit index (BDI)
dengan formula sebagai berikut (Soares
2003):
5. Butiran Sedimen
Sampel substrat dari permukaan
sedalam 2-5 cm diambil sebanyak ± 300 g
untuk keperluan analisa ukuran butiran
(grain size), kelembaban substrat dan
kandungan bahan organik.Selain substratnya,
parameter habitat yang dicari datanya adalah
kualitas air interstitial. Di titik sampling yang
sama dengan titik pengambilan undur-undur
laut, air interstitial diukur parameter kualitas
airnya seperti suhu, salinitas, pH, dan
oksigen terlarut. Cara pengeluaran air
interstitial dengan cara memasukkan core
logam ke dalam substrat, kemudian substrat
di dalam core tersebut dikeluarkan sehingga
akan keluar air yang berada diantara butiran
pasir yang ada di sekitar core ke dalam core
tersebut.
a. Parameter Dean (  )

H s  100
Ws T
Dimana:
T = Periode Gelombang (m)
Ws = Laju Sedimentasi (m/det)
 < 2, Reflective Beach
2    5 , Intermediate
 >5, Dissipative Beach
b. Beach Deposit Index (BDI)
BDI 
Analisis Data
1
a

S Mz
Dimana:
1. Kemiringan Pantai
S = Kemiringan Pantai
Mz = Rata-rata Ukuran Butiran sedimen
(mm)
a = 1,03125 mm
h
tan   x100 o o
x
Dimana:
Jurnal Biologi Tropis Vol. 14 N0. 1 Januari 2014
2
4
ISSN: 1411-9587
Karakteristik Habitat Undur-undur …………….
Dengan ketentuan Hb adalah tinggi
gelombang pecah (breaker height, dalam m),
Ws adalah kecepatan laju mengendap pasir
(m s-1), T adalah periode gelombang (detik),
BS adalah kemiringan pantai, a adalah
sebuah konstanta a = 1,03125 mm yang
mengindikasikan ukuran median butiran dari
klasifikasi ukuran partikel pasir dan Mz
adalah ukuran butiran rata-rata partikel pasir
(mm). Tabel dari Gibbs et al. (1971)
digunakan untuk menghitung kecepatan
pengendapan berdasarkan ukuran butiran.Ω <
2 merupakan karakter pantai yang reflektif
(reflective beach), Ω > 5 pantai disipatif
(dissipative beach), dan 2 < Ω < 5
merupakan antara keduanya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Fisik Pantai
Secara umum lokasi penelitian
berhadapan langsung dengan laut lepas,
yakni Samudera Hindia.Perairan selatan Jawa
tersebut memiliki batas selatan yang hampir
tak
terhingga
sehingga
perambatan
gelombang dari daerah pembangkitannya
(Seas) merambat hampir sempurna tanpa
hambatan
sampai
ke
tepian
pantai.Konsekuensi fisik di batas daratan
berupa pantai selatan Jawa Tengah
khususnya pantai setalan Kecamatan
Adipala, Kabupaten Cilacap memiliki tinggi
gelombang pecah yang tinggi (Gambar 4).
Pofil pantai yang landai dan berpasir
memberikan peluang air laut naik dan turun
pantai setelah gelombang pecah menjadi
lebih lebar (Swash Zone).
Gambar 4. Tipe gelombang pecah di pantai Kecamatan Adipala, Cilacap Jawa Tengah.
Gelombang yang merambat ke pantai dengan
periode antara 5-7 detik merupakan
gelombang
yangdibangkitkan
oleh
angin.Ketika rasio antara tinggi gelombang
dan panjang gelombang telah melewati 1/7,
gelombang tersebut menjadi tidak stabil
Kemiringan Pantai
Kemiringan pantai di tiga lokasi, dua
lokasi di Pantai Bunton, Desa Bunton dan
satu lagi di Pantai Sodong Desa Karangbenda
memiliki kemiringan pantai yang landai,
yakni berkisar antara 0,4-0,6 persen.
Jurnal Biologi Tropis Vol. 14 N0. 1 Januari 2014
5
ISSN: 1411-9587
Karakteristik Habitat Undur-undur …………….
sehingga pecah dan sekaligus melepas energi
yang terbawa dari laut lepas dimana
gelombang tersebut terbentuk. Ketinggian
gelombang pecah yang teramati selama 2
(dua) hari pengamatan berkisar antara 1,5 m
hingga 2,0 m (Tabel 1).
Tabel 1. Kemiringan pantai, tinggi, dan periode gelombang hasil pengamatan serta lebar
Swash Zone
Nama
Stasiun
Sta-1
Sta-2
Sta-3
Lintang
Bujur
Slope
(persen)
Hb
(m)
T
(det)
Lebar Swash
Zone (m)
0,60
0,45
0,40
1,5-1,8
1,5-2,0
1,5-2,0
5-7
5-7
5-7
8-10
10-15
25-30
7o41'26,60" 109o09’30,70”
7o41'25,20" 109o09'17,30"
7o41'33,30" 109o11'12,60"
Disamping
pengamatan
secara
langsung, tinggi gelombang pecah juga
dihitung dari tinggi gelombang dan periode
gelombang signifikan rata-rata bulanan
selama setahun. Gambar 5 adalah grafik
tinggi gelombang pecah rata-rata bulanan
dari Januari hingga Desember. Tinggi
gelombang pecah rata-rata bulanan terlihat
lebih tinggi pada musim tenggara (JuniSeptember) dengan ketinggian rata-rata
berada pada kisaran 4-4,5 m.
Gambar 5. Tinggi gelombang pecah rata-rata bulanan di lokasi studi.
Tipe pantai di tiga lokasi hasil
perhitungan dari parameter tinggi gelombang
pecah, laju sedimentasi, dan periode
gelombang menunjukkan nilai parameter
Dean jauh lebih besar dari 5 sehingga tipe
pantai
dikategorikan
sebagai
pantai
dissipative (Tabel 2). Kategori ini sesuai
Jurnal Biologi Tropis Vol. 14 N0. 1 Januari 2014
dengan
karakteristik
pantainya
yang
memiliki gelombang besar, substrat pasir,
dan zona swash zone-nya yang lebar.Secara
umum, undur-undur laut, terutama genus
Emerita, memang lebih menyukai pantai
dengan tipe dissipative daripada pantai
bertipe reflective, karena secara umum
6
ISSN: 1411-9587
Karakteristik Habitat Undur-undur …………….
ketersediaan sumber makanan di pantai (Celentano et al. 2010).
bertipe dissipative relatif lebih tinggi
Tabel 2. Parameter Dean dihitung dari data tinggi gelombang pecah, laju sedimen, dan
periode gelombang.
Lokasi
Hb (m)
Ws (m/s)
T (det)
Omega
Tipe Pantai
Sta-1
1,8
0,5
7
51,42857143
Dissipative
Sta-2
2,0
0,5
7
57,14285714
Dissipative
Sta-3
2,0
0,5
7
57,14285714
Dissipative
Indek lain yang juga dihitung adalah nilai BDI tipe pantai semakin cenderung
Beach Deposit Index. Indeks ini dihitung dari kearah dissipative. Pada kisaran nilai
data kemiringan pantai (S) dan nilai rata-rata kemiringan pantai 0,4 sampai 0,6 dan rataukuran butiran sedimen (Mz).Nilai indek BDI rata ukuran butiran 0,5 mm, maka hasil
yang diperoleh dari 3 lokasi studi perhitungan nilai BDI berada pada kisaran
ditabulasikan pada Tabel 3.Semakin besar 3,4 sampai 5,1.
Tabel 3. Indeks Deposit Pantai (Beach Deposit Index=BDI).
Lokasi
Kemiringan Pantai (S)
Mz
A
BDI
Sta-1
Sta-2
Sta-3
0,4
0,45
0,6
0,5
0,5
0,5
1,03125
1,03125
1,03125
5,1562500000
4,5833333333
3,4375000000
Ukuran butiran sedimen rata-rata 0,5
mm yang ditemukan di pantai lokasi studi
sama dengan ukuran rata-rata butiran
sedimen yang ditemukan pada habitat
Emerita brasiliensis di pantai selatan-timur
Uruguay (Celentano et al. 2010).Celentano et
al. (2010) juga melaporkan dari hasil
penelitiannya bahwa undur-undur laut
Emerita brasiliensis di pantai selatan-timur
yang bertipe reflective hingga dissipative,
namun pantai dengan swash zone yang luas
cenderung
bertipe
dissipative
yang
ditunjukkan pula dengan nilai BDI yang
makin besar. Kondisi atau karakteristik
habitat undur-undur laut Emerita brasiliensis
ini relatif sama dengan karakteristik habitat
Emerita emeritus di pantai Kecamatan
Adipala, Kabupaten Cilacap, baik dari sisi
ukuran butiran sedimen, tipe pantai, maupun
nilai BDI. Dengan demikian hasil penelitian
ini makin memperkuat hasil penelitian yang
lain tentang karakteristik habitat undur-udur
laut genus Emerita khususnya, dan umumnya
famili Hippidae.
Jurnal Biologi Tropis Vol. 14 N0. 1 Januari 2014
KESIMPULAN
Karakteristik habitat undur-undur laut
di pantai selatan Jawa adalah pantai berpasir
dengan kemiringan pantai antara 0,4 hingga
0,6 persen; ukuran rata-rata butiran pasir 0,5;
dan tipe pantai cenderung kearah dissipative,
yang dilihat dari nilai parameter Dean yang
lebih dari 5 dan nilai indeks deposit pantai
atau beach deposit index (BDI) antara 3,4
hingga 5,2 serta dengan swash zone yang
luas.
UCAPAN TERIMA KASIH
Dana penelitian ini didapatkan
melalui Kemendikbud skema Penelitian
Dasar tahun 2013. Terima kasih penulis
ucapkan kepada dua mitra bestari jurnal ini
yang telah memberikan masukan untuk
perbaikan manuskrip.
7
ISSN: 1411-9587
Karakteristik Habitat Undur-undur …………….
Kabupaten Kebumen. Jurnal Biologi
Tropis 13(1): 119-127.
DAFTAR PUSTAKA
Boere V, ER Cansi, ABB Alvarenga, IO
Silva. 2011. The Burying Behavior Of
The Mole Crab before and after an
Accident with Urban Sewage Effluents
In Bombinhas Beach, Santa Catarina,
Brazil. Ambi-Agua, Taubaté, v.6, n.3,
p. 70-76.
Pérez D. 1999. Mercury levels in mole crabs
Hippa cubensis, Emerita brasiliensis,
E. portoricensis, and Lepidopa
richmondi (Crustacea: Decapoda:
Hippidae) from a sandy beach at
Venezuela.
Bull.
Environ.
Contam.Toxicol. 63:320-326.
Celentano E, NL Gutierrez, O Defeo. 2010.
Effect of Morphodynamic and
Estuarine
Gradients
on
the
Demography and Distribution of
Sandy Beach Mole Crab: Implications
of Source-Sink Habitat Dynamics.
Mar Ecol Prog Ser, Vol. 398: 193205.
Ricketts EF, J Calvin, DW Phillips, JW
Hedgpeth. 1992. Open-coast sandy
beaches. Between
Pacific
th
Tides (5 ed.). Stanford
University
Press. pp. 249–265.
Short A. 1996.Handbook of beach and
shoreface morphodynamics. John
Wiley
Dugan JE, G Ichikawa, M Stephenson, DB
Crane, J McCall, K Regalado. 2005.
Monitoring of coastal contaminants
using sand crabs.Central Coast
Regional Water Quality Control
Board.37 p.
Soares
A.
2003.
Sandy
beach
morphodynamics and macrobenthic
communities in temperate, subtropical
and tropical region- a macroecological
approach. PhD thesis, University of
Port Elizabeth, South Africa.
Gibbs R, Matthews M, Link D. 1971. The
relationship between sphere size and
settling velocity. J. Sediment. Petrol.
41:7–18.
Seilacher A. 2007. Plate 21.Burrowing
techniques. Trace Fossil Analysis.
Springer.p.64.
Komar PD, MK Gaughan. 1972. Airy
Wwave Theory and Breaker Height
Prediction, 13th Conf. on Coastal
Engr., Chapt. 20, 405.
Wardiatno Y, IW Nurjaya, A Mashar. 2013.
Eksplorasi Informasi Biologi Undurundur Laut Emerita sp. dan Hippa sp.
(Crustacea: Hippidae). Laporan Akhir:
Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi.
Tahun Pertama. Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mann KH. 2000. Sandy beaches. Ecology of
Coastal Waters with Implications for
Management. Volume 8 of Studies in
Ecology
(2nded.). Wiley-Blackwell.
pp. 218–236.
Wenner AM. 1988. Crustaceans and other
invertebrates as indicators of beach
pollution. In: Soule DF, Kleppel GS
(Eds.) Marine Organisms as Indicators,
pp. 199-229. Springer-Verlag, New
York.
a
Mashar A, Y Wardiatno. 2013 . Aspek
Pertumbuhan
Undur-undur
Laut
Emerita emeritus dari Pantai Berpasir
Kabupaten Kebumen. Jurnal Biologi
Tropis 13(1): 29-38.
Mashar A, Y Wardiatno. 2013b. Aspek
Pertumbuhan Undur-undur Laut Hippa
adactyla
dari
Pantai
Berpasir
Jurnal Biologi Tropis Vol. 14 N0. 1 Januari 2014
8
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat …………
PENGARUH KONSENTRASI ASAM BENZOAT
TERHADAP DAYA SIMPAN CABAI MERAH (Capsicum annuum L.)
Oleh:
Baiq Irma Widiartini, Lalu Zulkifli, dan Ahmad Raksun
ABSTRACT
Red pepper (Capsicum annuum L.) is a horticultural product that is easily damaged by
affecting storability. One method to extend the storability is by giving preservative such as
benzoic acid. Benzoic acid are preservative that are able to inhibit the growth and kill
microorganism that spoil food ingredients. This research aims to determine the effect of
benzoic acid toward storability of red pepper (Capsicum annuum L.). This research was
conducted on September until October 2013. The population of this research is all red pepper
on a red pepper’s farm at Wanasaba East Lombok on September 2013. Sample of this
research were 231 fresh red pepper taken from red pepper’s farm in Wanasaba East Lombok
on September 2013. Data were collected by hedonic test with 15 panelist. Data were analyzed
using one way ANOVA and followed by LSD test at α 5%. The result of data analysis showed
that there is significant difference between the treatment of benzoic acid toward storability of
red pepper. The best treatment was obtained in the treatment of benzoic acid 0.03% for color,
flavour, and texture indicator.
Key words: the concentration of benzoic acid, storability, red pepper (Capsicum annuum
L.), hedonic test.
C
berkisar
1.058.000-1.177.000
ton
(Kementrian Pertanian Republik Indonesia,
2009).
Sifat cabai merah seperti produk
hortilkultura lainnya, merupakan produk
yang mudah mengalami kerusakan seperti
kerusakan fisiologis, maupun kerusakan
akibat cara penanganan pasca panen yang
kurang tepat. Beberapa pertimbangan
karakteristik pascapanen cabai merah perlu
diketahui untuk pengendalian kerusakan dan
kemunduran
mutu.
Pertimbanganpertimbangan tersebut meliputi fisiologis,
fisik-morfologis,
patologis,
kondisi
lingkungan dan pertimbangan ekonomis (Ali
et al., 2002).
Pertimbangan fisiologis pascapanen
adalah kaitannya dengan laju respirasi. Laju
respirasi akan mempengaruhi umur simpan
cabai merah dimana semakin tinggi laju
respirasi maka semakin cepat produk
mengalami kemunduran mutu. Kemunduran
mutu pada buah dan sayuran segar biasanya
PENDAHULUAN
abai merah (Capsicum annuum L.)
merupakan komoditas sayuran yang
memiliki nilai ekonomis cukup
tinggi. Kebutuhan cabai terus meningkat
setiap tahun sejalan dengan meningkatnya
jumlah penduduk dan berkembangnya
industri yang membutuhkan bahan baku
cabai (Piay et al., 2010). Di Indonesia, cabai
merah merupakan salah satu sayuran yang
banyak dibudidayakan oleh petani karena
memiliki harga jual yang tinggi dan
mengandung beberapa senyawa yang
bermanfaat bagi kesehatan, seperti zat
capsaicin
yang
berfungsi
dalam
mengendalikan penyakit kanker. Selain itu
kandungan vitamin C yang cukup tinggi pada
cabai merah dapat memenuhi kebutuhan
harian setiap orang. Dengan banyaknya
manfaat yang terdapat pada cabai merah,
permintaan pasar terhadap cabai merah juga
sangatlah tinggi. Produksi buah cabai merah
besar dari tahun 2005 sampai 2009 mencapai
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
9
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat …………
dicirikan dengan proses kehilangan air,
pelayuan, dan pertumbuhan mikroorganisme
yang semakin meningkat (Mandana, 2013).
Usaha untuk menghindari kerugian
yang diakibatkan oleh terjadinya kerusakan
tersebut
yaitu
dengan
melakukan
pengawetan. Pengawetan cabai merah
dilakukan untuk mendapatkan nilai ekonomis
dan daya simpan lebih baik. Proses
pengawetan cabai merah segar ada dua
metode yang digunakan yaitu pengawetan
basah fermentasi dan non fermentasi.
Pengawetan
non
fermentasi
seperti
perendaman air panas dan perendaman dalam
larutan pengawet. Salah satu larutan
pengawet yang sering digunakan yaitu
larutan asam benzoat, dimana dengan
pengawetan menggunakan larutan asam
benzoat diharapkan dapat memperbaiki nilai
ekonomis dan daya simpan cabai merah
segar. Berdasarkan uraian di atas maka
dilakukan penelitian tentang pengaruh
konsentrasi asam benzoat terhadap daya
simpan cabai merah (Capsicum annuum L.)”.
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
dilakukan
di
Laboratorium Botani FKIP Universitas
Mataram selama 1 bulan yaitu pada bulan
September-Oktober 2013. Bahan-bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah cabai
merah (Capsicum annuum L.) segar, asam
benzoat, aquadest, aluminium foil, Alat-alat
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wadah/baskom, timbangan analitik, gelas
ukur, tupper ware dan kamera digital.
Rancangan penelitian menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor
tunggal dengan 33 satuan percobaan dan tiga
ulangan. Perlakuan berjumlah 11 aras yaitu
perlakuan asam benzoat dengan konsentrasi:
(1) 0%; (2) 0,01%; (3) 0,02%; (4) 0,03%; (5)
0,04%; (6) 0,05%; (7) 0,06%; (8) 0,07%; (9)
0,08%; (10) 0,09% dan (11) 0,1%. Prosedur
percobaan dilakukan melalui tahapan
persiapan bahan, diantaranya (1) menyiapkan
cabai merah (Capsicum annuum L.) segar
sebanyak 231 buah, dan (2) cabai merah
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
segar disortasi kemudian dicuci bersih serta
dibuang tangkainya. Pada tahap selanjutnya
dilakukan perendaman dalam larutan asam
benzoat dengan cara 7 buah sampel cabe
dimasukkan ke dalam larutan asam benzoat
dengan variasi konsentrasi 0,01%, 0,02%,
0,03%, 0,04%, 0,05%, 0,06%, 0,07%, 0,08%,
0,09%, dan 0,1%. Sampel direndam dalam
wadah selama ± 24 jam pada suhu kamar,
selanjutnya diangkat dan tiriskan kemudian
didiamkan pada suhu kamar, dan diamati
hingga 1 bulan. Sampel tersebut kemudian
dilakukan uji organoleptik.
Uji organoleptik dilakukan dengan
menggunakan skala hedonik (Soekara, 1985)
dalam (Aini, 2009) dengan panelis sebanyak
15 orang. Penilaian organoleptik dilakukan
terhadap warna, aroma dan tekstur dari buah
cabai. Uji organoleptik terhadap warna,
aroma dan tekstur buah cabai dapat
dilakukan secara visual dan hasilnya
disajikan dalam bentuk nilai atau skor. Nilai
organoleptiknya didasarkan pada angka
kesukaan dengan skala lima tingkat (1-5),
dimulai dari 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak
suka, 3 = biasa, 4 = suka dan 5 = sangat suka.
Data yang diperoleh selama penelitian
dianalisis
secara
statistik
dengan
menggunakan Analisis of Varians (Anova)
satu arah. Apabila hasil analisis anova (sidik
ragam) berpengaruh nyata, maka dilanjutkan
dengan uji BNT pada α 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Cabai merah (Capsicum annuum L.)
merupakan salah satu produk hortikultura
yang banyak manfaatnya bukan hanya dalam
bidang industri makanan namun juga banyak
dimanfaatkan dalam bidang farmasi yakni
sebagai salah satu bahan dalam pembuatan
obat-obatan. Hal ini disebabkan karena
kandungan gizi yang terdapat di dalam cabai
merah ini sangat bervariasi, mulai dari
kandungan vitamin C, protein, lemak,
karbohidrat, vitamin A, vitamin B1, kalsium,
air, dan sebagainya. Namun, sifat cabai
merah seperti produk hortikultura lainnya
yakni mudah mengalami berbagai kerusakan
10
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat …………
akibat penanganan pasca panen, maupun
kerusakan selama penyimpanan. Kerusakankerusakan tersebut bisa diakibatkan karena
masih berjalannya proses metabolisme
sayuran dan buah selama pasca panen, dan
karena aktivitas mikroorganisme.
Pada penelitian ini, telah dilakukan
penyimpanan selama 3 minggu (21 hari),
dimana cabai merah disimpan dalam keadaan
segar. Namun, sebelum proses penyimpanan
terlebih dahulu dilakukan perendaman
selama 24 jam dengan menggunakan larutan
asam
benzoat.
Tujuan
dilakukannya
perendaman dengan larutan asam benzoat
yaitu
untuk
menghambat
aktivitas
mikroorganisme yang dapat mengakibatkan
kerusakan-kerusakan
selama
proses
penyimpanan. Penggunaan asam benzoat
mempunyai tujuan yang sama yaitu
mempertahankan
kualitas
dan
memperpanjang umur simpan bahan pangan.
Menurut Wisnu (2008) tujuan utama
penambahan bahan pengawet makanan
adalah untuk memperpanjang umur simpan
tanpa menurunkan kualitas makanan
(kualitas gizi, warna, cita rasa, dan aroma
bahan pangan yang diawetkan) serta tidak
bersifat mengganggu kesehatan manusia.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh untuk
uji organoleptik (warna, aroma, dan tekstur)
hasil analisis data menunjukkan bahwa
perlakuan asam benzoat memiliki pengaruh
nyata terhadap daya simpan cabai merah
(Capsicum annuum L.).
Penggunaan asam sebagai pengawet
akan menurunkan pH dan naiknya
konsentrasi ion hidrogen (H+), hal ini dapat
menghambat petumbuhan mikroorganisme.
Dijumpai bahwa pH rendah lebih besar
penghambatannya terhadap pertumbuhan
bakteri. Suasanan pH dalam keadaan tidak
terdisosiasi merupakan asam lemah yang
mempunyai pKa tertentu sehingga berfungsi
efektif menghambat pertumbuhan mikroba.
Asam-asam organik yang berfungsi sebagai
antimikroba mempunyai pKa kurang dari 5,
dan akan lebih efektif penggunaannya untuk
makanan yang bersifat asam. Bahan
pengawet makanan mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme yang terdapat dalam
makanan.
Indikator Warna
Apabila dilihat dari jumlah keseluruhan
skor yang diberikan oleh para panelis (Tabel
1), perlakuan yang memperoleh nilai ratarata terkecil adalah perlakuan asam benzoat
0,01% (AB1). Sedangkan nilai rata-rata
terbesar pada perlakuan asam benzoat 0,03%
(AB3).
Tabel 1. Hasil Analisis Data Indikator Warna
Konsentrasi Asam Benzoat
AB0
AB1
AB2
AB3
AB4
AB5
AB6
AB7
AB8
AB9
AB10
Jumlah
1
39
57
54
62
47
58
55
42
52
58
51
575
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
Ulangan
2
57
50
54
63
49
50
59
46
57
50
58
593
11
3
35
45
46
63
52
60
48
44
43
47
58
541
Jumlah
Rerata
131
152
154
188
148
168
162
132
152
155
167
1709
43.67
50.67
51.33
62.67
49.33
56.00
54.00
44.00
50.67
51.67
55.67
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat …………
Hasil penelitian pada tabel 2
menunjukkan
bahwa perlakuan asam
benzoat pengaruh nyata terhadap cabai
merah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F
hitung (F hitung = 2,4038) yang dihasilkan
SK
Contoh (perlakuan)
Galat
Total
Db
10
22
32
lebih besar dibanding dengan nilai F tabel (F
tabel = 2,30).
Tabel 2. Hasil Analisis Varians (ANOVA)
Satu Arah Pengaruh Konsentrasi Asam
Benzoat Terhadap Warna Cabai Merah
(Capsicum annuum L.)
JK
KT
F hitung
F tabel 5 %
874,18
87,418 2,4038
2,30
727,33
36,367
1601,51
Selanjutnya, karena F hitung > F
tabel (perlakuan dikatakan berpengaruh nyata
sehingga Ha diterima), maka data diolah
menggunakan uji BNT pada taraf
kepercayaan 95% (α 5%) dengan nilai BNT
= 7,221. Dari uji tersebut, diketahui terdapat
perbedaan yang nyata antar perlakuan. Hasil
analisis data uji BNT menunjukkan bahwa
perlakuan AB0 (penambahan 0% larutan
asam benzoat) tidak memiliki perbedaan
yang nyata dengan perlakuan AB7, AB4,
AB1, dan AB8. Perlakuan AB0 memiliki
perbedaan nyata dengan perlakuan AB2, AB9,
AB6, AB10,AB5, serta AB3. Begitu juga
dengan perlakuan AB7 yang memiliki
perbedaan nyata dengan perlakuan AB2, AB9,
AB6, AB10, AB5, dan AB3. Namun, dari
keseluruhan perlakuan tersebut, yang paling
terlihat memiliki perbedaan nyata adalah
antara perlakuan AB0 dengan AB3. Data hasil
uji BNT dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Hasil Uji BNT Iindikator Warna
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
BNT0,05
Konsentrasi asam
benzoat
AB0
AB7
AB4
AB1
AB8
AB2
AB9
AB6
AB10
AB5
AB3
7,221
Rerata
Rerata + BNT
43.667
44
49.333
50.667
50.667
51.333
51.667
54
55.667
56
62.667
50.88
51.22
56.55
57.89
57.89
58.55
58.89
61.22
62.89
63.22
69.89
Hasil analisis data pada tabel 3
menunjukkan bahwa total nilai yang diberikan
oleh panelis berkisar dari 131 sampai 188
untuk semua perlakuan (AB0, AB1, AB2, AB3,
AB4, AB5, AB6, AB7, AB8, AB9, dan AB10).
Setelah dilakukan analisis data pada indikator
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
Notasi atas BNT0,05
A
Ab
Abc
Abc
Abc
Cd
Cde
Cdef
Cdef
Cdef
G
warna, terlihat bahwa F hitung lebih besar
dibandingkan F tabel. Hasil analisis ini
menunjukkan bahwa ada pengaruh konsentrasi
asam benzoat terhadap warna cabai merah
dimana cabai merah bisa mempertahankan
warna merah selama proses penyimpanan
12
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat …………
setelah dilakukan penambahan larutan asam
benzoat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Afrianti (2010) yang menyatakan bahwa bahan
pengawet juga mencegah dari kerusakan
mikrobiologi yang berpengaruh terhadap
protein, dan faktor kualitas lainnya seperti
warna dan tekstur. Kelompok bahan pengawet
tersebut seperti asam benzoat, metil-4-hidroksi
benzoat, etil-4-hidroksi benzoat, propil-4hidroksi benzoat, natrium nitrat, asam
propionat, asam sorbat, dan belerang dioksida.
Untuk indikator warna yang baik diperoleh
pada perlakuan konsentrasi asam benzoat
0,03% (AB3), sedangkan indikator warna yang
mendapat nilai terkecil adalah perlakuan
konsentrasi asam benzoat 0% (AB0). Hal ini
sesuai dengan pendapat Afrianti (2010) yang
menyatakan bahwa bahan pengawet juga
mencegah dari kerusakan mikrobiologi yang
berpengaruh terhadap protein, dan faktor
kualitas lainnya seperti warna dan tekstur.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
aktivitas mikroorganisme antara lain jenis
bahan kimia dan konsentrasinya, komposisi
dari bahan makanan, pH (keasaman) dari
makanan serta suhu penyimpanan makanan.
Pada konsentrasi yang rendah, bahan kimia
dapat berperan sebagai sumber makanan bagi
mikroba, tetapi bila konsentrasi bahan kimia
semakin tinggi maka kemungkinan dapat
berperan sebagai penghambat atau pembunuh
mikroba tersebut. Konsentrasi bahan kimia
yang ditambahkan juga harus sesuai dengan
dosis, bila konsentrasi bahan kimia tinggi
akan lebih efektif dalam membunuh
mikroorganisme, tetapi akan mempengaruhi
kualitas dari makanan (Afrianti, 2010).
Indikator Aroma
Hasil uji hedonik yang diberikan oleh
para panelis terhadap indikator aroma (Tabel
4) menunjukkan bahwa perlakuan yang
memperoleh rata-rata terkecil diperoleh pada
asam benzoat dengan konsentrasi 0,07%
(AB7), dan rata-rata terbesar diperoleh pada
asam benzoat dengan konsentrasi 0,03%
(AB3).
Tabel 4. Data Hasil Indikator Aroma
Konsentrasi Asam
Benzoat
AB0
AB1
AB2
AB3
AB4
AB5
AB6
AB7
AB8
AB9
AB10
Jumlah
1
46
56
55
54
45
56
43
48
51
60
58
572
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
Ulangan
2
59
57
56
58
46
42
53
47
52
57
52
579
13
3
44
56
55
63
52
50
40
39
49
47
55
550
Jumlah
Rerata
149
169
166
175
143
148
136
134
152
164
165
1701
49.67
56.33
55.33
58.33
47.67
49.33
45.33
44.66
50.67
54.66
55.00
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat …………
Tabel 5. Analisis varians (ANOVA) satu arah pengaruh konsentrasi asam benzoat terhadap
aroma cabai merah (Capsicum annuum L.)
F tabel 5
SK
Db
JK
KT
F hitung
%
Contoh (perlakuan)
Galat
Total
10
22
32
645.5
558,67
1204,2
64,5
25,39
Data pada tabel 5 menunjukkan perlakuan
asam benzoat berpengaruh nyata terhadap
cabai merah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F
hitung (F hitung 2,54) yang dihasilkan lebih
2,54 2,30
besar dibanding dengan nilai F tabel (F tabel
2,30). F hitung lebih besar dibandingkan
dengan F tabel maka selanjutnya dilakukan
uji BNT.
Tabel 6. Hasil uji BNT pada taraf 5% untuk indikator aroma.
Konsentrasi asam benzoat
AB7
AB6
AB4
AB5
AB0
AB8
AB9
AB10
AB2
AB1
AB3
BNT 0,05
Rerata
44.667
45.333
47.667
49.333
49.667
50.667
54.667
55
55.333
56.333
58.333
6,034
Berdasarkan hasil analisis data pada tabel 5
untuk indikator aroma, diperoleh F hitung
lebih besar dibandingkan dengan F tabel. Hal
ini menunjukkan bahwa ada pengaruh
konsentrasi asam benzoat terhadap aroma
cabai merah. Perlakuan yang paling baik
untuk indikator aroma diperoleh pada
perlakuan asam benzoat dengan konsentrasi
0,03% (AB3), dimana nilai yang diberikan
oleh panelis berjumlah 175. Sedangkan untuk
perlakuan yang memperoleh nilai terkecil
adalah perlakuan asam benzoat dengan
konsentrasi 0.07% (AB7), dimana nilainya
berjumlah 134. Dari uji BNT (Tabel 6),
diketahui terdapat perbedaan yang nyata
antar perlakuan. Hasil analisis data uji BNT
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
Rerata+BNT
50.70
51.36
53.70
55.37
55.70
56.70
60.70
61.03
61.36
62.37
64.37
Notasi atas
BNT0,05
a
ab
abc
abcd
abcd
abcd
abcd
d
d
d
d
menunjukkan bahwa perlakuan AB7 tidak
memiliki perbedaan nyata dengan perlakuan
AB6, AB4, AB5, AB0, AB8, AB9. Namun,
AB7 dinyatakan memiliki perbedaan nyata
dengan perlakuan AB10, AB2, AB1, dan AB3.
Indikator Tekstur
Apabila dilihat dari jumlah keseluruhan skor
yang diberikan oleh para panelis (Tabel 7).
Hasil penelitian pada tabel 7 menunjukkan
bahwa rata-rata terkecil konsentrasi asam
benzoat pada indikator tekstur dapat
ditemukan pada perlakuan AB7, dan rata-rata
terbesar diperoleh pada perlakuan AB3.
14
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat ……………….
Tabel 7. Data Hasil Indikator Tekstur
Konsentrasi Asam Benzoat
1
44
53
52
48
42
53
48
41
44
55
43
523
AB0
AB1
AB2
AB3
AB4
AB5
AB6
AB7
AB8
AB9
AB10
Jumlah
Selanjutnya hasil uji analisis varians
(ANOVA) satu arah pengaruh konsentrasi
asam benzoate terhadap tekstur cabai merah
(Capsicum annuum L.) disajikan pada tabel
berikut.
SK
Contoh
(perlakuan)
Galat
Total
Db
10
22
32
Ulangan
2
61
43
50
60
42
45
55
41
53
48
45
543
KT
472,061
772,67
1244,7
47,2
35,12
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
Rerata
146
141
146
169
131
157
146
124
142
146
139
1587
48.67
47.00
48.67
56.33
43.67
52.33
48.67
41.33
47.33
48.67
46.33
Tabel 8. Analisis varians pengaruh
konsentrasi asam benzoat terhadap tekstur
cabai merah (Capsicum annuum L.)
JK
Hasil
analisis
data
di
atas
menunjukkan bahwa F hitung (1,22) lebih
kecil dibandingkan dengan F tabel (2,30).
Oleh sebab itu, tidak dilanjutkan dengan uji
BNT. Berdasarkan tabel 7, dapat dilihat
bahwa nilai yang diperoleh pada setiap
perlakuan tidak berbeda jauh antara satu
dengan yang lain. Ini ditunjukkan dari
perolehan nilai yang sama antara beberapa
perlakuan, seperti AB0, AB2, AB6, dan AB9
yaitu berjumlah 146. Sedangkan untuk nilai
terkecil diperoleh pada perlakuan 0.07%
(AB7) dengan jumlah 124. Perlakuan 0,03%
(AB3) juga pada indikator ini mendapat nilai
yang tertinggi dengan jumlah 169. Namun,
setelah dilakukan analisis data ditunjukkan
bahwa hasil F hitung (1,34) lebih kecil
dibandingkan dengan F tabel (2,30). Artinya,
konsentrasi asam benzoat tidak berpengaruh
3
41
45
44
61
47
59
43
42
45
43
51
521
Jumlah
F hitung
F tabel 5 %
1,22
2,30
terhadap indikator tekstur pada cabai merah.
Oleh sebab itu, tidak dilakukan uji BNT pada
indikator ini.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh konsentrasi asambenzoat terhadap
daya simpan cabai merah (Capsicum annuum
L.). Hal ini terlihat dari nilai
>
pada taraf nyata 5% untuk tiap-tiap indikator
yang diuji.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti, L. H. 2010. Pengawet
Alami
dan
Sintetis.
Alfabeta.
Ali A, Yusmarini, dan Solihah
Pengaruh
Konsentrasi
15
Makanan
Bandung:
I. 2002.
Natrium
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Konsentrasi Asam Benzoat ……………….
Metabisulfit dan Lama Blanching
terhadap
Mutu
Cabai
Merah
(Capsicum annuum L.) Kering. Vol. 1
No. 1: 19-26.
Aini, N. 2009. Pengaruh Pemberian Natrium
Bisulfit dan Asam Asetat terhadap
Keawetan Cabai Merah Besar
(Capsicum
annuum
L.)
Asal
manokwari. Skripsi S1. Universitas
Negeri Papua.
Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
2009.
(Online)
http://
http://www.deptan.go.id, diakses pada
tanggal 17 April 2013.
Mandana, O. 2013. Sayur Mayur Bedugul
Bali.
(Online)
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
http://okamandanasukma.blogspot.co
m/2013_03_01_archive.html, diakses
pada tanggal 6 April
2013.
Piay S, Tyasdjaja. A, Ermawati Y, dan
Hantoro R. P. 2010. Budidaya dan
Pascapanen Cabai Merah (Capsicum
annuum L.). BPTP Jawa Tengah.
Wisnu, C. 2008. Analisis dan Aspek
Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.
Bumi Aksara: Bandung.
16
ISSN: 1411-9587
Survai Populasi Lumba-lumba ……………….
SURVAI POPULASI LUMBA-LUMBA DI PERAIRAN PANTAI
LOVINA, KABUPATEN BULELENG, PROVINSI BALI
M. Mukhlis Kamal* dan Yusli Wardiatno
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor (IPB), Kampus FPIK Lantai 3, Darmaga, Bogor 16680
*Penulis untuk korespondensi: [email protected]
ABSTRACT
Survey on the population of dolphins in Lovina coastal waters, Bali was conducted in
September to November 2005. Their moving route is wide enough since Bali Island and
surrounding waters are their moving habitat. Thus, this survey only covered small part of their
range habitat. The observation was done by recording their presence and behavior. The
number of them was also estimated. The results showed that there were three species, i.e.
spinner dolphin (Stenella spp.), bottlenose dolphin (Tursiops truncatus), and spotted dolphin
(Stenella frontalis). The three species occurred in groups in the location. The number of
dolphins counted during the survey was about 150-200 individuals per day during first survey
in earlier September 2005. However, intensive observation after that showed bigger variations
(6 – 200 individuals per day). The occurrence route of the lumba is mapped, and their
presence in the location is considered for foraging.
Key words: dolphin, Lovina coastal waters, Bali
L
PENDAHULUAN
umba lumba adalah mamalia laut
yang termasuk ke dalam Ordo
Cetacea.
Ditinjau dari segi
biodiversitas, ada sekitar 30 jenis hewan
yang tergolong ke dalam ordo ini menempati
berbagi habitat perairan Nusantara, termasuk
di dalamnya paus dan lumba-lumba. Sekitar
sepertiga dari populasi Cetacea dunia berada
di wilayah perairan Indonesia. Berdasarkan
data dari Indonesian Oceanic Ocean ada
sekitar 7 jenis dari kelompok hewan ini dapat
ditemukan di perairan Indonesia, khususnya
di kawasan perairan timur Nusantara. Status
populasinya menurut IUCN (1996) adalah
terancam (threats) dengan kategori L (lower
risk, resiko terancam rendah) dan K
(insufficiently
known,
belum
banyak
diketahui) (Tabel 1).
Meskipun
lumba-lumba
termasuk
kategori hewan yang dilindungi, upaya-upaya
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
perlindungan hewan tersebut di Indonesia
masih belum optimal, karena informasi dan
pengetahuan serta penelitian tentang
keberadaan lumba-lumba di Indonesia masih
belum banyak dilakukan. Sementara di
Negara-negara lain penelitain tentang lumbalumba sudah cukup intensif dilakukan,
misalnya Silber & Fertl (1995), Karczmarski
et al. (1997), Lammers (2004), Alava et al.
(2005), Torda et al. (2010), dan masih
banyak lagi.
Keberadaan populasi lumba-lumba di
perairan Indonesia dikarenakan kondisi
geografis Indonesia yang terletak di antara
dua samudera yang menghubungkan
Samudera Pasifik dengan wilayah perairan
Kawasan Timur Indonesia yang berhubungan
dengan Samudera Hindia. Diduga pulaupulau Nusantara satu sama lain merupakan
perairan selat merupakan tempat hidup serta
jalur migrasi (ruaya) dari binatang mamalia
17
ISSN: 1411-9587
Survai Populasi Lumba-lumba ……………….
ini. Selat-selat ini juga merupakan daerah
yang sensitif akibat kegiatan manusia tidak
hanya bagi lumba-lumba namun juga bagi
spesies besar lainnya yang melakukan
migrasi seperti penyu, pari dan paus hiu.
Sebagai contoh, Selat Makassar merupakan
bagian dari jalur migrasi Cetacean dunia.
Populasi cetacean di selat ini akan
merupakan populasi yang memiliki habitat
baik di pantai Kalimantan bagian timur
maupun Sulawesi pada sisi barat. Menurut
Kreb & Budiono (2005) Kalimantan bagian
Timur merupakan bagian dari habitat
cetacean yang bermigrasi dari Samudera
Pasifik menuju Samudera Hindia melalui
Laut Sulu-Sulawesi dan Selat Makassar.
Tabel 1. Jenis lumba lumba yang terdapat di perairan Indonesia
Jenis lumba lumba
Nama umum
Nama Latin
Stenella
longirostris
Stenella attennuata
Stenella
coeruleoalba
Stenella
bredanensis
Grampus griseus
Tursiops truncatus
Delphinus delphi
Sumber: http://www.apex-environmental.com/IOCPSignificance.html
Lumba lumba paruh
panjang
Lumba lumba totol
Lumba lumba bergaris
Lumba lumba gigi kasar
Lumba lumba abu-abu
Lumba lumba hidung botol
Lumba lumba
Spinner dolphin
Pantropical spotted
dolphin
Striped dolphin
Rough-tooth dolphin
Risso’s dolphin
Bottlenose dolphin
Common dolphin
Seperti anggota kelompok Cetacea
lainnya, lumba lumba adalah mamalia yang
berumur panjang, misalnya lumba lumba
hidung botol (Tursiops truncatus) yang dapat
mencapai usia 40-50 tahun, sehingga
kelangsungan hidupnya sangat tergantung
kepada kondisi kesehatan lingkungan dalam
jangka waktu lama pula.
Faktor-faktor
ekologis, harapan hidup, pergerakan dan
sensitifitas terhadap perubahan kimiawi
lingkungan
perairan
serta
gangguan
akustik/suara,
karena
lumba
lumba
berkomunikasi dengan menggunakan suara,
merupakan indikator yang tepat bagi kondisi
kronis maupun akut dari dampak kegiatan
manusia terhadap lingkungan perairan yang
menjadi daerah pergerakan/ruaya/migrasi
binatang ini. Berbagai aktifitas manusia
yang saat ini diduga dapat mengganggu
kehidupan
lumba-lumba
di
perairan
Indonesia
adalah
perusakan
habitat,
kebisingan suara, aktifitas perikanan yang
memungkinkan mamalia ini tersangkut atau
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
Status
(IUCN)
L
L
L
K
K
K
L
tertangkap alat-alat penangkapan ikan
misalnya dari jenis jaring insang (gill net),
pencemaran
perairan,
serta
kondisi
overfishing yang mengakibatkan hilangnya
sebagian spesies ikan yang merupakan
mangsa lumba lumba (Hoffman, 1995).
Perairan Lovina di sekitar Pulau Bali
merupakan salah satu lokasi di mana lumba
lumba ditemukan. Bahkan di lokasi ini
kemunculan lumba-lumba mendatangkan
pendapatan masyarakat setempat melalyu
kegiatan dolphin watching. Implikasi
ekonomi dan ekologi kegiatan ini secara
komprehensif dibahas oleh Mustika et al.
(2012).
Keberadaan lumba-lumba di perairan
Lovina, Bali dapat dikatakan berkaitan
dengan posisi pulau tersebut dengan
perairan-perairan yang sempit di sekitarnya
dan diduga merupakan salah satu passage
(lintasan) lumba lumba saat bermigrasi.
Sampai saat ini belum ada informasi yang
menerangkan aktifitas lumba lumba dan ordo
18
ISSN: 1411-9587
Survai Populasi Lumba-lumba ……………….
Cetacea lainnya apakah saat melintas di
perairan tersebut hanya bermigrasi atau ada
kegiatan lainnya dari salah satu siklus
hidupnya, misalnya memijah/kawin, mencari
makan, dan sebagainya. Paper ini
menjelaskan jenis-jenis lumba-lumba yang
ditemukan di perairan Lovina, Bali
berdasarkan pengamatan tahun 2005.
BAHAN DAN METODE
Area studi yang ditetapkan dalam
penelitian ini hanya mencakup sebagian kecil
dari wilayah penyebaran sebenarnya. Selain
di perairan Buleleng, populasi lumba-lumba
juga ditemukan pada di beberapa daerah
yang secara geografis kelautan masih
berhubungan, misalnya perairan Pantai
Kangean, Madura (Wardiatno, 2005;
observasi pribadi), Selat Bali (Kamal, 2011;
observasi pribadi), atau Perairan Pantai Utara
Jawa (Rudolph et al., 1997), di mana hewan
Cetacea ini sering ditemukan pada malam
hari. Demikian juga hasil wawancara dengan
nelayan di sekitar lokasi kegiatan bahwa
selain di perairan Buleleng, lumba-lumba
juga dijumpai di daerah lainnya. Dengan
demikian, populasi lumba-lumba di perairan
Jawa, Bali, dan pulau-pulau sekitarnya
mewakili suatu rentang penyebaran geografis
yang luas.
Lokasi studi dalam penelitian ini adalah
Pantai Lovina dan sekitarnya yang dibatasi
dari Desa Pemaron di sebelah timur hingga
Celukan Bawang di sebelah barat, yang
keduanya berjarak sekitar 7,5 mil laut dengan
radius antara 0,2 – 2,5 mil laut sejajar garis
pantai.
Perkiraan di peta menunjukkan
luasan wilayah yang diamati sekitar 20 km2
(Gambar 1).
Lokasi Studi
Kabupaten Buleleng
P. BALI
Gambar 1. Lokasi studi habitat dan populasi lumba-lumba di perairan Pantai Lovina dan
sekitarnya, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali
Waktu pengamatan dilakukan selama
bulan September hingga Nopember 2005.
Fokus pengamatan adalah pencacahan,
pengidentifikasian, dan pengamatan tingkah
laku lumba-lumba di perairan. Alat-alat yang
digunakan dalam penelitian lumba-lumba di
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
perairan Pantai Buleleng adalah: perahu
jukung berkekuatan 9 PK, GPS (Global
Positioning System), teropong binokuler,
handycam, kamera digital, handy talkie, alat
tulis dan kertas.
19
ISSN: 1411-9587
Survai Populasi Lumba-lumba ……………….
Observasi
terhadap
lumba-lumba
dimulai pada pagi hari antara pukul 06.00
sampai 09.00, dengan menggunakan perahu
jukung yang disewa dari nelayan setempat
yang berkekuatan mesin 9 PK, sehingga
kecepatan perahu mencapai rata-rata 3-4
knot. Karena hewan mamalia di perairan
sekitar Pantai Lovina ini sudah menjadi salah
satu atraksi pariwisata bahari, maka waktu
pengamatan tersebut bersamaan dengan
kegiatan para turis mancanegara yang sedang
berlibur di wilayah tersebut. Berdasarkan
pendataan langsung terhadap jumlah perahu,
diperkirakan setiap harinya antara 50-75
perahu jukung yang ikut serta “memburu”
lumba-lumba.
Masing-masing perahu
berpenumpang maksimum 4 orang, sehingga
tidak kurang dari 200 pengunjung setiap
harinya menyaksikan atraksi lumba-lumba di
alam.
Dari atas perahu jukung, peneliti
melakukan pencarian terhadap lumba-lumba
dengan titik awal adalah Desa Pemaron (di
depan Hotel Baruna). Pencarian dilakukan
dengan melihat ke segala arah dengan
bantuan teropong terutama saat perahu
mamasuki perairan yang biasanya lumbalumba
ditemukan.
Tim
peneliti
menggunakan 2 perahu yang berkomunikasi
satu sama lain dengan menggunakan handy
talkie sehingga memudahkan koordinasi
dalam mencari titik saat pertama kali
mamalia ini muncul ke permukaan air.
Untuk mengetahui kehadiran lumbalumba, cara sederhana yang biasa dilakukan
nelayan setempat adalah dengan melihat
percikan air saat hewan ini menggerakkan
ekornya atau semburan air yang khas ketika
air disemprotkan dari hidungnya. Ketika
lumba-lumba pertama kali ditemukan,
dengan segera posisi koordinat dicatat
dengan menggunakan GPS. Selanjutnya,
peneliti mengikuti arah pergerakan lumbalumba tersebut dari atas perahu, dengan
demikian arah pergerakan di perairan dapat
diketahui dari tracking posisi oleh GPS.
Penghitungan jumlah lumba-lumba
dilakukan secara langsung dari atas perahu
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
berdasarkan jumlah individu pada masingmasing gerombolan (schooling). Hal ini
dikarenakan
hewan
ini
bergerombol
membentuk kelompok-kelompok kecil yang
terdiri atas 3-10 individu.
Dengan
menggunakan metode ini kemungkinan
terjadinya penghitungan berulang sangat
besar. Hal ini terjadi karena lumba-lumba
tersebut terganggu dengan suara bising mesin
jukung, akibatnya mereka akan menyelam ke
perairan yang lebih dalam kemudian muncul
kembali pada titik yang lain, yang dikira oleh
pengamat sebagai kelompok yang lain.
Untuk meminimalkan terjadinya pencacahan
berulang, maka tim melakukan penghitungan
saat pertama sebuah kelompok ditemukan
kemudian diikuti sampai benar-benar hilang
atau bergabung dengan kelompok yang lebih
besar.
Bersamaan dengan itu, lokasi
koordinat tempat lumba-lumba dijumpai
dicatat dengan GPS (tipe Garmin 12 dan
Etrex).
Pengidentifikasian
jenis
dan
pengamatan tingkah laku dilakukan dengan
pengambilan
gambar
menggunakan
handycam pada saat hewan air ini muncul di
permukaan air. Pengidentifikasian jenis,
selain berdasarkan data lapangan, juga
dilakukan dengan bantuan buku identifikasi
lumba-lumba dan hasil-hasil studi yang
dilakukan sebelumnya di lokasi yang
berbeda.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Lumba-Lumba yang Teridentifikasi
Hasil pengamatan memperlihatkan
adanya tiga jenis lumba-lumba yang melalui
pesisir Buleleng tepatnya di perairan Lovina
dan sekitarnya. Ketiga jenis lumba-lumba
tersebut adalah spinner dolphin (Stenella
longirostris), bottlenose dolphin (Tursiops
truncatus), dan spotted dolphin (Stenella
frontalis). Ketiganya secara berturut-turut
disajikan pada Gambar 2, 3, dan 4. Jumlah
jenis ini masih lebih sedikit dibandingkan
dengan yang ditemukan di Kepulauan Seribu
oleh Wardiatno et al. (2010). Mereka
menemukan empat spesies, yakni spinner
20
ISSN: 1411-9587
Survai Populasi Lumba-lumba ……………….
dolphin (Stenella longirostris), bottlenose
dolphin (Tursiop truncatus), short-beaked
common dolphin (Delphinus delphis), dan
false killer whale (Pseudorca crassidens).
Namun demikian, hasil pengamatan ini
konsisten dengan studi sebelumnya bahwa
lumba-lumba yang ada di perairan Buleleng
dan sekitarnya terdiri dari kelompok lumbalumba spinner dolphin yang terdiri dari 2
spesies yaitu Stenella longirostris dan
Stenella sp. Kedua jenis ini merupakan yang
sering ditemukan di wilayah pesisir daerah
tropis dan subtropis (Lammers, 2004).
Berdasarkan hasil identifikasi foto, kedua
spesies ini dapat dibedakan melalui lekukan
bentuk sirip, yaitu untuk S. longirostris lebih
dalam, sementara jenis Stenella sp.
mendekati garis lurus antara ujung sirip dan
dasar bagian. Hasil studi Psarakos et al.
(2003) di perairan Hawaii melaporkan bahwa
campuran antara jenis lumba-lumba berbeda
jenis terdapat pada S. longirostris dan S.
attenuata. Oleh sebab itu, diduga penemuan
di pantai perairan Buleleng merupakan
fenomena sejenis.
Diduga juga bahwa jenis lumba-lumba
yang teridentifikasi di perairan Buleleng
merupakan spesies yang umum ditemukan di
perairan pantai Utara Jawa dan Bali. Hal ini
Gambar 2.
didukung oleh hasil penelitian Rudolph et al.
(1997) yang menemukan pupulasi lumbalumba jenis di atas di perairan Karimun
Jawa. Hasil wawancara dengan nelayan di
wilayah Kangean (Pulau Madura) dan Bali
Utara, juga mendukung hasil studi di atas.
Dengan demikian penyebaran sesungguhnya
dari lumba-lumba ini meliputi wilayah
perairan yang cukup luas.
Secara umum diketahui bahwa
kawanan lumba-lumba tersebut berenang di
dalam kelompok-kelompok kecil dengan
jumlah tertentu per kelompoknya. Pada saat
tertentu,
kelompok
tersebut
bersatu
membentuk kelompok yang lebih besar. Pada
saat membentuk kelompok besar tersebut,
mereka tidak membubarkan kelompok
kecilnya. Spinner Dolphin misalnya, di
lokasi
pengamatan
cenderung
untuk
membentuk kelompok kecil dengan jumlah
anggota empat ekor (Gambar 5). Sedangkan
Bottlenose Dolphin membentuk kelompok
kecil mereka dengan jumlah anggota lebih
dari enam ekor (Gambar 6). Jumlah anggota
kelompok yang terendah adalah Spotted
Dolphin, yaitu dua ekor per kelompok kecil
(Gambar 7). Pengelompokan ini juga
merupakan fenomena yang ditemukan oleh
Wardiatno et al. (2010) di Kepulauan Seribu.
Spinner Dolphin (Stenella spp.) yang ditemukan di perairan Pantai Lovina,
Buleleng, Bali.
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
21
ISSN: 1411-9587
Survai Populasi Lumba-lumba ……………….
Gambar 3. Bottle Nose Dolphin (Tursiops truncatus) yang ditemukan di perairan Pantai
Lovina, Buleleng, Bali
Gambar 4. Spotted Dolphin (Stenella frontalis) yang ditemukan di perairan Pantai Lovina,
Buleleng, Bali.
Gambar 5. Spinner Dolphin dalam kelompok di lokasi penelitian
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
22
ISSN: 1411-9587
Survai Populasi Lumba-lumba ……………….
Gambar 6. Bottle Nose Dolphin dalam kelompok di lokasi penelitian
Gambar 7. Ciri khas sirip punggung Bottlenose Dolphin meruncing berbentuk sabit
Gambaran umum lokasi keberadaan lumba-lumba hasil pengamatan dan posisi kelompok
lumba-lumba secara geografis dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Posisi kelompok lumba-lumba secara skematik di lokasi penelitian. Warna hijau
tua mengindikasikan wilayah daratan.
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
23
ISSN: 1411-9587
Survai Populasi Lumba-lumba ……………….
Pencacahan jumlah lumba lumba
Berdasarkan
hasil
pencacahan
langsung, diperkirakan ada sekitar 200 ekor
lumba-lumba yang tercatat pada hari
pertama. Hal ini didasarkan jumlah
kelompok yang ditemukan mencapai 31
kelompok yang masing-masing berjumlah
antara 3–10 individu.
Untuk meyakinkan bahwa perkiraan
jumlah populasi lumba-lumba tersebut
mendekati kondisi sebenarnya, pengamatan
pada hari kedua dilaksanakan dengan cara
mengikuti pergerakan lumba-lumba hingga
pantai Seririt. Lokasi perairan di wilayah
dicirikan dengan kondisi perairan yang lebih
dalam serta menurut informasi nelayan
banyak ditemukan ikan sejenis ikan teri
(Stolephorus spp.) Famili Engraulidae, yang
sering ditemukan nelayan bergerombol di
lokasi ini. Wardiatno et al. (2010) pun
mendapati bahwa keberadaan lumba-lumba
di sekitar ekosistem karang terkait dengan
kebaeradaan ikan mangsanya seperti teri dan
cumi-cumi. Di Laut Utara, lumba-lumba
hidung botol makanan utamanya adalah ikan
hering (Clupea harengus), sejenis hiu kecil
(Squalus acanthias), ikan dory (Zeus faber)
dan ikan sebelah (Solea solea) (Verwey &
Wolff, 1981). Sementara di Lautan Hindia,
populasi lumba-lumba di perairan Natal,
Afrika Selatan, makanan paling disukai
lumba-lumba
hidung
botol
adalah Pomadasys olivaceum, sotong (Sepia
officinalis), ikan mackerel
(Scomber
japonicas) dan Pagellus bellotti (Cockcroft
& Ross, 1990).
Pengamatan visual terhadap kondisi
oseanografis, Pantai Seririt lebih terbuka
sehingga lebih dinamis dan banyak olakan
dibanding di Kalibukbuk dan Lovina yang
relatif tenang. Pada lokasi ini lumba-lumba
tidak membentuk kelompok-kelompok kecil,
namun dalam kelompok besar. Berdasarkan
penghitungan langsung diperkirakan jumlah
lumba-lumba yang ditemukan pada hari
kedua mendekati angka 150 - 200 ekor.
Hasil pengamatan yang dilakukan
antara 18 September hingga 18 Oktober 2005
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
(selang waktu antar pengamatan 2 hari
sehingga frekuensi pengamatan sebanyak 16
kali), jumlah populasi lumba-lumba sangat
bervariasi yaitu antara 6 hingga 200 ekor.
Variasi jumlah yang demikian tinggi
diperoleh
dari
pengamatan
dengan
mengkonsentrasikan pada wilayah perairan
tertentu. Pada daerah Seririt, Temukus, dan
Labuan Aji diperoleh jumlah lumba-lumba
yang selalu lebih tinggi dibandingkan dengan
Kalibukbuk. Berdasarkan hasil pencatatan
terhadap koordinat pergerakan lumba-lumba
di Pantai Seririt relatif tetap, sehingga dapat
diduga bahwa perairan Pantai Seririt
merupakan salah satu tujuan migrasinya. Hal
ini didukung oleh keterangan yang diperoleh
dari nelayan setempat bahwa pergerakan
lumba-lumba dari arah timur ke barat dan
berakhir di perairan antara Seririt dan
Celukan Bawang.
Tingkah Laku Pergerakan dan Pola
Migrasi
Pergerakan kelompok lumba-lumba
memperlihatkan
keberaturan
waktu
pergerakan, seperti dalam formasi baris.
Pergerakan lumba-lumba yang teratur
tersebut diduga ada pemimpinnya saat
mereka berenang menuju tempat tertentu.
Umumnya dipimpin oleh lumba-lumba yang
berukuran besar yang diduga adalah jantan,
sementara
lumba-lumba
yang
kecil
(kemungkinan juga anak-anaknya) berada di
tengah. Pola pergerakan berkelompok seperti
ini adalah sebagai adaptasi terhadap ancaman
predator.
Pergerakan
kelompok juga
diindikasikan sebagau strategi dalam mencari
mangsa (Würsig, 1986).
Selama pengamatan diperoleh hasil
bahwa di pesisir Lovina, kelompok lumbalumba datang dari arah Timur Laut dan
bergerak ke arah Barat Daya. Hal tersebut
dibuktikan bahwa dengan bertambahnya
waktu, posisi kelompok lumba-lumba
mengalami pengurangan nilai Bujur Timur
dan dibarengi dengan bertambahnya nilai
Lintang
Selatan.
Dengan
demikian
disimpulkan bahwa gerakan kelompok
24
ISSN: 1411-9587
Survai Populasi Lumba-lumba ……………….
lumba-lumba datang dari arah Timur Laut
menuju Barat Daya (Gambar 9 dan 10).
Kelompok lumba-lumba bergerak
kearah Barat Daya menyusuri
pesisir
perairan Buleleng dengan jarak rata-rata 2,5
hingga 3 km dari garis pantai. Kecepatan
renang rata-rata kelompok lumba-lumba
adalah 6,5 km (13,5 km ditempuh dalam
tempo 2 jam).
Lumba lumba hidung botol termasuk
hewan yang tidak menyerang sehingga dapat
dengan mudah dan aman untuk dinikmati
atraksi pergerakannya.
Berdasarkan
pengamatan, pola pergerakan lumba lumba
berdasarkan keragaan tubuh yang terlihat
keluar dari permukaan air terdiri dari lima
tipe, yaitu:
a) pergerakan yang hanya memperlihatkan
sebagian sirip punggung, kondisi ini
ditemukan saat mereka dalam keadaan
tidak merasa terganggu,
b) pergerakan yang memperlihatkan lebih
dari setengah badan, sirip ekor terlihat,
dan lompatannya lebih tinggi dari
gerakan pertama,
c) lompatan yang lebih tinggi sehingga
seluruh badan terlihat jelas,
d) lompatan yang melintir, umumnya
gerakan ini dilakukan saat hewan ini
terganggu ketika pengunjung berada pada
jarak yang terlalu dekat,
e) gerakan diam sementara pada permukaan
air, seperti sedang beristirahat, namun
gerakan ini tidak terlalu lama sebelum
mereka bergerak lagi atau menyelam.
115.06
115.04
115.02
BUJUR TIMUR
115
114.98
114.96
114.94
114.92
114.9
114.88
5:16:48
5:31:12
5:45:36
6:00:00
6:14:24
6:28:48
6:43:12
6:57:36
7:12:00
7:26:24
7:40:48
Waktu Indonesia Tengah (WITA)
Gambar 9. Posisi Bujur Timur lumba-lumba berdasarkan sebaran waktu.
8.165
8.16
Lintang Selatan
8.155
8.15
8.145
8.14
8.135
8.13
5:16:48
5:31:12
5:45:36
6:00:00
6:14:24
6:28:48
6:43:12
6:57:36
7:12:00
7:26:24
7:40:48
Waktu Indonesia Tengah (WITA)
Gambar 10. Posisi Lintang Selatan Lumba-lumba berdasarkan sebaran waktu
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
25
ISSN: 1411-9587
Survai Populasi Lumba-lumba ……………….
Pergerakan dari satu tempat ke tempat
lain pada hewan laut didefinisikan secara
sederhana sebagai migrasi atau ruaya.
Tujuan pergerakan hewan tersebut dapat
terbagi menjadi ruaya mencari makan, ruaya
memijah
(perkawinan),
atau
ruaya
menghindari ancaman.
Jika dihubungkan dengan kenyataan
bahwa lumba lumba termasuk mamalia air
yang dapat mencapai umur panjang dan
melakukan migrasi dalam jarak yang jauh
sampai ribuan mil, diduga bahwa lumba
lumba yang berada di perairan Buleleng
adalah kelompok yang “singgah sementara”
sebelum mereka meneruskan perjalanan ke
perairan lainnya.
Namun belum ada
informasi yang dapat dipercaya ke wilayah
mana mereka akan bergerak. Diduga
kelompok yang ditemukan sekarang dapat
mencapai daerah migrasi sampai perairan
bagian utara Benua Australia. “Satellite
tagging” merupakan metode yang mungkin
bisa menjawab pertanyaan ini.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
Tim Kajian Terumbu Karang dan Lumba
lumba FPIK IPB, yakni (Alm.) Dr. Unggul
Aktani, Dr. Totok Hestirianoto, Dr. I Wayan
Nurjaya, Dr. Wazir Mawardi dan Ali Mashar,
S.Pi., M.Si., atas kerjasama di lapangan
selama studi berlangsung dan dalam analisis
data. Penelitian ini merupakan bagian dari
kerjasama antara PT. Indonesia Power
dengan FPIK-IPB tahun 2005. Terima kasih
atas komentar konstruktif dari mitra bestari.
DAFTAR PUSTAKA
Alava, J. J., M. J. Barragan, C. Castro & R.
Carvajal. 2005. A note on strandings and
entanglements of humpback whales
(Megaptera novaengliae) in Ecuador.
Journal
of
Cetacean
Research
Management 7(2): 163-168.
Cockcroft, V.G. & G. J. B. Ross. 1990. Food
and feeding of the Indian Ocean
bottlenose dolphin off Southern Natal,
South Africa. In: S. Leatherwood and
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
R.R. Reeves (eds.). The bottlenose
dolphin. Academic Press, Inc., San
Diego. Pp.295-308.
Hillman, G.R., B. Würsig, G. A. Gailey, N.
Kehtarnavaz, A. Drobyshevsky, B. N.
Araabi, H. D. Tagare & D. W. Weller.
2003.
Computer-assisted photoidentification of individual marine
vertebrates: a multi-species system.
Aquatic Mammals 29(1): 117–123.
Hoffman, C.C. 1995. The feasibility of the
proposed sanctuary for the Chinese
white dolphin, Sousa chinensis, at Lung
Kwu Chau and Sha Chau, Hong Kong.
Unpublished report to the World Wide
Fund for Nature Hong Kong, 51 pp.
Karczmarski, L., M. Thornthon & V.G.
Cockcroft. 1997. Description of selected
behaviours of humpback dolphins Sousa
chinensis. Aquatic Mammals 23(3): 127133.
Kreb, D. & Budiono. 2005. Cetacean
diversity and habitat preferences in
tropical waters of east Kalimantan,
Indonesia. The Raffles Bulletin of
Zoology 53 (1): 149 – 155.
Lammers, O.
2004.
Occurrence and
behavior of Hawaiian spinner dolphins
(Stenella longirostris) along Oahu’s
Leeward and South Shores. Aquatic
Mammals 30(2): 237-250.
Mustika, P.L.K., A. Birtles, L. Welters & H.
Marsh. 2012. The economic influence of
community-based dolphin watching on a
local economy in a developing country:
Implications
for
conservation.
Ecological Economics 79: 11-20.
Neumann, D.R. & M.B. Orams. 2003.
Feeding behaviours of short-beaked
common dolphins, Delphinus delphis, in
New Zealand. Aquatic Mammals 29 (1):
137–149.
Psarakos, S., D.L. Herzing & K. Marten.
2003.
Mixed-species associations
between pantropical spotted dolphins
(Stenella attenuata) and Hawaiian
spinner dolphins (Stenella longirostris)
26
ISSN: 1411-9587
Survai Populasi Lumba-lumba ……………….
off Oahu, Hawaii. Aquatic Mammals 29
(3): 390–395.
Rudolph, P., C. Smeenk & S. Leatherwood.
1997. Checklist of Cetacea in the
Indonesian Archipelago. Zoologische
Verhandelingen Leiden 312: 1-48.
Silber, G.K. & D. Fertil. 1995. Intentional
beaching by bottlenose dolphins (Tursips
runcatus) in the Colorado River Delta,
Mexico. Aquatic Mammals 21(3): 183186.
Torda, G., P.L. Suárez and L.F.L. Jurado.
2010. First records of Fraser’s dolphin
Lagenodelphis hosei for the Cape
Verde Islands. Zoologia Caboverdiana
1(1): 71-73.
Verwey, J. &
W.J. Wolff. 1981. The
bottlenose dolphin (Tursiops truncatus).
In: P.J.H. Reijnders and W.J. Wolff
(eds.). Marine Mammals of the Wadden
Sea. Pp. 759-764. Stichting Veth tot
Steun aan Waddenonderzoek, Leiden,
the Netherlands.
Wardiatno, Y., C. Irfangi & T. Hestirianoto.
2010.
Dolphins
encountered
in
Kepulauan Seribu. Ilmu Kelautan 15(4):
202-213.
Wűrsig, B. 1986. Delphinid foraging
strategies. In: R. J. Schusterman, J. A.
Thomas & F.G. Wood (eds.). Dolphin
cognition and behavior: a comparative
approach. Lawrence Erlbaum Assoc:
Hillsdale, NJ. Pp. 347-359.
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
27
ISSN: 1411-9587
Konsorsium Mikroalga ……………
KONSORSIUM MIKROALGA UNTUK PRODUKSI
MINYAK BIODIESEL
Suripto. Lalu Japa dan Erin Ryantin Gunawan
ABSTRACT
Oil potential producing microalgae have been observed for the waters Lombok island. The
potential of microalgae was firstly determined based on individual density percentage
domination of each species. Samples collection was done by using a nylon plankton net of 20
micron mesh size. Sample observation and species identification were conducted in Biology
Laboratory of Mathemathic and Sains Fakulty, University of Mataram. Based on the data of
density and percentage domination, the community of marine mircroalgae of Lombok island
waters were dominated by Bacteriastrum delicatulum, B. varians, Chaetoceros affinis, C.
liciniosum, C. lorenzianum, Gyrosigma sp., Oscillatoria sp., Pseudonitzschia spp., dan
Thalassionema nitzschicoides. Mainwhile, the community of fresh water microalgae species
identified in high density and percentage domination in Lombok island water were
Microcystis aeruginosa, Microcystis incerta, Nostoc sp., Pediastrum boryanum, Staurastum
cristatum. Some identified species of both marine and fresh water microalgae have potential
on producing oil.
Key words: Microalgae, density, dominasi, biodiesel, Nusa Tenggara Barat, metode pemekatan
A
PENDAHULUAN
ncaman akan habisnya sumbersumber bahan bakar minyak bumi
semakin lama semakin mendekati
kenyataan. Semakin besarnya penduduk
dunia berarti semakin besar pula kecepatan
pemakaian bahan bakar minyak tersebut,
terutama digunakan untuk sektor transportasi.
Keseluruhan
bensin
yang digunakan
Indonesia di sektor transportasi pada saat ini
mencapai lebih dari 20 milyar liter per tahun
(Setiogi, 2004; Kabibawa, 2009). Sementara
itu, penggunaan bahan bakar dari sumber
non-fosil seperti LPG dan bio-fuel, baik
berupa bio-etanol dari tanaman busidaya
sebagai pengganti bensin maupun biodiesel
dari tanaman budidaya sebagai pengganti
solar hingga saat ini masih belum dapat
secara nyata menggantikan bahan bakar
minyak bumi (Waltermann & Streubel,
2010).
Jika seluruh bahan bakar minyak yang
dijual di pompa-pompa bensin berupa 80%
bensin dan 20% biofuel, maka penggunaan
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
28
bensin dapat dihemat. Penghematan bensin
berarti pula mengurangi beban polusi udara
dari asap kendaraan, karena emisi gas buang
pembakaran biofuel jauh lebih rendah
daripada pembakaran bensin (Waltermann &
Streubel, 2010). Keunggulan lain dari
penggunaan bio-fuel adalah bahwa, emisi
karbondioksida dari pembakaran biofuel
akan lebih mudah dan lebih cepat ditambat
kembali oleh tanaman melalui fotosintesis
(Hader et al., 2009; Kabibawa, 2009).
Pengembangan
produksi
biofuel
dengan bahan baku dari tetes tebu untuk
menghasilkan bio-etanol sebagai pengganti
bensin dan biji jarak serta jenis tanaman
budidaya lainnya untuk menghasilkan
biodiesel sebagai pengganti solar menemui
masalah berupa diperlukannya lahan yang
luas dan berkompetisi dengan lahan pertanian
pangan (Setiogi, 2004; Waltermann &
Streubel, 2010). Alga, terutama mikroalga
atau yang dikenal juga dengan fitoplankton
dapat dikembangkan sebagai sumber biofuel,
yang selain ramah lingkungan juga sangat
ISSN: 1411-9587
Konsorsium Mikroalga ……………
mungkin lebih ekonomis dibanding tanaman
budidaya. Mikroalga dapat
dipandang
sebagai penyokong biofuel yang sangat
menawan, karena hanya sedikit memerlukan
biaya untuk pemeliharaan pertumbuhannya
dan tidak bersaing dengan lahan budidaya
pertanian pangan.
Pengembangan budidaya mikroalga
sebagai sumber energi yang ekonomis dan
ramah lingkungan hanya dapat dilakukan
dengan pembiakan mikroalga tersebut secara
intensif. Namun demikian, jenis-jenis
mikroalga apa saja yang potensial sebagai
sumber biofuel, yang dapat disolasi dari alam
Indonesia, khususnya dari perairan yang
berbasis alam Wallacea seperti di Nusa
Tenggara Barat belum diketahui. Aspek
pengembangan budidaya mikroalga dengan
perlakuan tertentu seperti spektrum cahaya
yang
cocok
untuk
meningkatkan
produktivitas dan perlakuan eliminasi N
untuk merangsang peningkatan produksi
minyak dari kultur mikroalga juga belum
diteliti.
Dengan demikian, sebuah penelitian
mikroalga perlu dilakukan untuk mengetahui
jenis-jenisnya yang potensial penghasil
biofuel, yang dapat diisolasi dari alam
Indonesia, khususnya dari perairan Nusa
Tenggara Barat yang memiliki ciri alam khas
daerah Wallacea di Indonesia. Penelitian
dengan percobaan-percobaan juga perlu
dilakukan dengan perlakuan spektrum cahaya
yang
diberikan
untuk
meningkatkan
produktivitas biomassa dan perlakuan
eliminasi N untuk merangsang produksi
minyak terhadap
masing-masing jenis
mikroalga yang diteliti.
Penelitian pengembangan budidaya
mikroalga untuk menghasilkan minyak
biodiesel ini perlu segera dilakukan,
mengingat kelangkaan solar di Nusa
Tenggara Barat makin sering terjadi. Selain
digunakan untuk kendaraan bermesin diesel,
solar di provinsi ini juga digunakan oleh
banyak mesin diesel sektor lain seperti heler
dan traktor pada sektor pertanian dan mesin
diesel untuk pembangkit listrik. Sementara
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
29
itu, produksi bio-etanol sebagai pengganti
bensin ataupun biodiesel sebagai penganti
solar dari tanaman budidaya dianggap masih
kurang ekonomis, memerlukan waktu yang
lama dan memerlukan lahan yang sangat
luas, serta bersaing dengan lahan pertanian
pangan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan
utama. Tahapan utama, yaitu studi literatur
dan pemetaan distribusi jenis-jenis mikroalga
penghasil biofuel berbasis alam Wallacea di
Nusa Tenggara Barat, isolasi setiap jenis
mikroalga yang potensial penghasil minyak
dari perairan laut pantai dan perairan tawar
kolam dan perairan bendungan. Daftar
sumber sampel disajikan dalam Tabel 1.
Sampel mikroalga diisolasi dari perairan
dengan menggunakan metode pemekatan
untuk
diidentifikasi
dan
dihitung
kemelimpahannya di Laboratorium Biologi
Fakultas MIPA Universitas Mataram.
Pengambilan sampel menggunakan jaring
plankton bermata jaring berukuran 20 m
dan sampel diawet dalam larutan formalin
4%. Identifikasi jenis dilakukan secara
morfologi (Hall dan Smol, 1999) dengan
mengacu pada buku yang ditulis oleh Lebour
(1930), Allen and Cupp (1935), Smith
(1950), Davis (1955), Belcher and Swale
(1976), Simonsen (1974), Taylor (1976),
Ingram dan Hawking (1977), Vinyard
(1979), Navarro (1982), Pentecost (1984),
Yamaji (1984), dan
Hernandez-Becerril
(1996), dan Arrignon (1999).
ISSN: 1411-9587
Konsorsium Mikroalga ……………
Tabel 1. Daftar sampel yang diamati
No.
Sumber Sampel
1.
Teluk Nare, Lombok Utara
2.
Labuhan Pandan, Lombok Timur
3.
Tanjung Ringgit, Lombok Timur
4.
Teluk Saleh, sekitar Kabupaten Dompu dan Bima
5.
Kali Beh Desa Senawang Kabupaten Sumbawa
6.
Kolam TPA Kebun Kongok, Lombok Barat
7.
Bendungan Batujai, Lombok Tengah
8.
Danau Asin Gili Meno, Lombok Utara
9.
Persawahan Desa Sukarara, Lombok Tengah
10. Kolam Taman Loang Baloq, Kota Mataram
11. Kolam Budidaya Ikan Lingsar, Lombok Barat
12. Kolam Budidaya Ikan Desa Labulia, Lombok Tengah
13. Bendungan Jenggik, Lombok Tengah
14. Bendungan Muncan, Lombok Tengah
Analisis data kemelimpahan dilakukan
berdasarkan perhitungan jumlah individu
setiap jenis dalam 1 (satu) liter air dilakukan
dengan
menggunakan
rumus
dalam
Romimuhtarto
dan
Juwana
(2001).
Perhitungan persentase dominasi berdasarkan
Surasana dan Taufikurraman (1992).
Sedangkan indeks keanekaragaman jenis
mikroalga ditentukan berdasarkan ketentuan
pengolahan data mikroalga yang umum
digunakan (Barus, 2002), dan berdasarkan
“Indeks Shannon-Wienner” dengan rumus
dalam Cox (1976), Dahuri et al. (1993),
Romimuhtarto dan Juwana, (2001).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mikroalga Potensial Sumber Minyak
Biodiesel dari Perairan Laut
Nusa Tenggara Barat
Komunitas fitoplankton perairan baguan
Utara, Timur, dan Selatan Pulau Lombok
(Teluk Nare, Labuhan Pandan, dan Tanjung
Ringgit) didominasi oleh Bacteriastrum
delicatulum, masing-masing dengan nilai
penting (NP) dan kemelimpahan 18,519%
dan 45 ind/L, 13,667% dan 35,1 ind/L, dan
14,823% dan 12,150 ind/L. Pada perairan
Teluk Nare, jenis lainnya yang memiliki nilai
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
30
penting dan kemelimpahan tinggi setelah
Bacteriastrum delicatulum berturut-turut
adalah Chaetoceros liciniosum (NP=
15,259%), Chaetoceros diversum (NP =
13,481%),
Pseudonitzschia
spp.
(NP=12,840),
dan
Thalassionema
nitzschicoides (NP =12,148%), masingmasing dengan kemelimpahan 35,1 ind/L,
29,7 ind/L, 31,5 ind/L dan 25,65 ind/L.
Sedangkan pada perairan Labuhan Pandan,
jenis lain yang juga cukup dominan di
perairan
Labuhan
Pandan
adalah
Chaetoceros lorenzianum dengan nilai
penting sebesar
10,850% dan densitas
sebesar 23,850 ind/L dan Bacteriastrum
varians (NP = 10,046% dan D = 23,400).
Indeks keanekaragaman jenis fitoplankton di
perairan Labuhan Pandang sebesar 3,247
(keanekaragaman
kategori
sedang).
Selanjutnya pada perairan Tanjung Ringgit,
komunitas fitoplankton didominasi oleh
Chaetoceros affinis (D = 16,200 ind/L dan
NP = 16,778%). Selanjutnya, pada perairan
Tanjung Ringgit, Chaetoceros curvisetus
juga memiliki kemelimpahan dan dominasi
yang sama Bacteriastrum delicatulum (D
=12,150 ind/L dan NP = 14,823%).
Komunitas fitoplankton perairan Teluk Saleh
teridentifikasi 43 taksa. Lima jenis dengan
kemelimpahan dan nilai persentase (NP)
ISSN: 1411-9587
Konsorsium Mikroalga ……………
tertinggi meliputi : Chaetoceros radicans (D
= 272 dan NP = 10,583%), C. dichaeta (D =
268 dan NP = 10,445%), C. debilis (D= 224
dan NP = 8,925%), C. curvisetum (D = 204
dan NP = 8,235%), dan C. siamense (D =
180 dan NP = 7,406%). Semua jenis ini
adalah anggota dari genus Chaetoceros. Jenis
lain yang juga memiliki kemelimpahan dan
dominasi tinggi adalah Pleurosigma sp. (D =
156 dan NP = 8,958%), Pleurosigma
normanii (D = 120 dan NP = 8,906%), dan
Nitzschia sigma (D = 116 dan NP = 8,767%).
Data selengkapnya disajikan sebagai Tabel 1
di bawah ini.
Secara umum dilihat dari jumlah jenis,
maka keempat titik sampling didominasi oleh
genus Chaetoceros, masing-masing 11, 9,
dan 7 jenis berturut-turut pada Teluk Nare,
Labuhan Pandan dan Tanjung Ringgit. Tetapi
Bacteriastrum delicatulum adalah jenis yang
paling dominan dan melimpah di ketiga
lokasi sampling dalam studi ini. Jumlah jenis
dari
genus
Chaetoceros
dilaporkan
mendominasi jenis yang lain di perairan
pantai Pulau Lombok maupun pantai Pulau
Sumbawa. Beberapa penelitian sebelumnya
juga melaporkan, bahwa jumlah jenis dari
genus Chaetoseros lebih banyak dari jumlah
jenis dari genus yang lain (Japa, 2000, Japa
dan Didik, 2007, Feranita, 2002, Sumarni,
2003, Japa dan Suripto, 2003, Japa dan
Karnan, 2007), dan Japa et al., 2004).
Diatom genus Chaetoceros juga dilaporkan
sebagai komponen fitoplankton laut yang
melimpah, dan jumlah spesies sangat banyak
(Hernandez-Becerril, 1996).
Mikroalga Potensial Sumber Minyak
Biodiesel dari Perairan Tawar
Nusa Tenggara Barat
Distribusi jenis berikut kemelimpahan
fitoplankton air tawar di sekitar perairan
pulau Lombok sangat beragam. Jenis dan
sebaran mikroalga yang teridentifikasi di
perairan sekitar dan kolam TPA Kebun
Kongok Lombok Barat didominasi oleh
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
31
Chlamidomonas sp., dengan kemelimpahan
mencapai 248.387.500 Ind./L.
Lima jenis fitoplankton dengan
kemelimpahan (jumlah individu per liter)
tertinggi pada perairan bendungan Batujai
Lombok Tengah berturut-turut adalah
Microcystis aeruginosa, Microcystis incerta,
Nostoc sp., Pediastrum boryanum, dan
Staurastum cristatum. Berdasarkan besarnya
nilai penting (NP), maka kelima jenis
fitoplankton ini dominan di perairan
bendungan Batujai. Microcystis sp., juga
teridenttifikasi paling melimpah di perairan
bendungan Batujai (Japa, 2000: Sulistiawati,
2003). Pediastrum boryanum juga dilaporkan
melimpah di perairan bendungan Pengga
(Oktapiani, 2007). Kemelipahan Microcystis
sp. mengalami puncaknya pada bulan-bulan
panas musim kemarau (Agustus –
Nopember), kemudian menurun drastis pada
bulan-bulan puncak curah hujan musim
penghujan (Januari – April).
Dari 11 jenis mikroalga
yang
teridentifikasi di Danau Asin Gili Meno,
jenis dengan sebaran tertinggi (ditemukan
disemua stasiun sampling) adalah Gyrosigma
sp. dan Oscillatoria sp. Kedua jenis ini juga
termasuk yang paling tinggi kemelimpahan
dan
nilai
pentingnya
(persentase
dominasinya). Dalam Lima jenis lainnya
dengan kemelimpahan lebih rendah berturutturut adalah Oscillatoria sp. (60 Ind./L),
Gyrosigma sp. (50 Ind./L), Cyclotella sp.
sebanyak (38,750 Ind./L), Peridinium sp.
(31,250 Ind./L), dan Nitzschia sp.1 (21,250
Ind./L). Gyrosigma sp. sebelumnya juga
dilaporkan paling melimpah di danau Asin
Gili Meno (Japa et al., 2002)Berdasarkan
Indeks Shannon-Wiener, diperoleh indeks
keanekaragaman jenis (H’) fitoplankton
Danau Asin Gili Meno Lombok Utara
sebesar 1,837, termasuk kategori rendah.
Euglena sp. juga merupakan mikroalga
yang dominan di perairan kolam taman kota
Loang Baloq Kota Mataram. Jenis ini
memiliki kemelimpahan mencapai 33.850
ind/L dan nilai penting sebesar 126,172%.
ISSN: 1411-9587
Konsorsium Mikroalga ……………
Euglena gracilis dilaporkan memiliki
kandungan lipid 14-20% (Anonim, 2013).
Perairan kolam budidaya ikan di Desa
Lingsar Lombok Barat didominasi oleh
Pediastrum sp.3, dan Pediastrum sp.1,
masing-masing dengan kemelimpahan dan
nilai penting 35.600 ind/L (NP = 61,525%)
dan 15.850 ind/L (NP = 33,687%).
Pada beberapa sumber air di Lombok
Tengah (Desa Labulia, Sukarara, Kopang,
dan Muncan), air kolam pemeliharaan ikan di
Desa Labulia didominasi oleh Pandorina sp.,
dan
Chlamidomonas
sp.,
dengan
kemelimpahan dan nilai penting masingmasing berturut-turut 4.080.000 ind/L (NP =
79,868%) dan 1.024.000 ind/L (NP =
33,062%).
Selanjutnya,
Euglena
sp.
medominasi perairan kubangan di Desa
Sukarara Lombok Tengah. Jenis ini memiliki
kemelimpahan mencapai 2.183,333 ind/L
dan nilai penting sebesar 79,450% . Pada
perairan bendungan Jenggik, dari total 16
jenis fitoplankton yang teridentifikasi,
Peridinium sp. adalah jenis yang memiliki
kemelimpahan dan nilai penting tertinggi
pertama (D = 1.986,667 ind/L dan NP =
54,701%), disusul oleh Nostoc sp. (D =
1.213,333 ind/L dan Np = 36,745%). Jenis
lain seperti Anabaena sp., Closterium sp.,
Cyclotella sp., Cylendrospermopsis sp.,
Leptocylendricus sp., dan Pediastrum sp.,
masing-masing
memiliki
sebaran,
kemelimpahan dan nilai penting relatif sama.
Berbeda dengan perairan bendungan
Muncan, dimana Cylendrospermopsis sp.
termasuk jenis dengan kemelimpahan dan
nilai penting tertinggi kedua, sedang di
perairan
bendungan
Jenggik,
Cylendrospermopsis sp. adalah jenis dengan
kemelimpahan dan nilai penting jauh lebih
rendah dibanding yang di perairan
bendungan Muncan, tetapi sebeliknya untuk
Nostoc sp. Sedangkan pada komunitas
fitoplankton perairan bendungan Muncan
didominasi oleh Cylendrospermopsis sp.
dengan kemelimpahan mencapai 1.400 ind/L
dan nilai penting sebesar 83,333%. Jenis
dengan kemelimpahan dan nilai penting
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
32
tertinggi kedua adalah Peridinium sp. (D =
906,667 ind/L dan NP = 62,778%). Jumlah
taksa yang teridentifikasi pada perairan ini
jauh lebih rendah dengan dengan perairan
bendugan Jenggik. Namun Peridinium sp.
adalah jenis yang juga tinggi kemelimpahan
dan nilai pentingnya.
Pada perairan kali Beh, di sekitar
wilayah Desa Senawang Kecamatan Orong
Telu, Sumbawa, total diatom yang
teridentifikasi mencapai 23 taksa (genus dan
jenis). Dari total 23 taksa (genus) diatom
yang teridentikasi terdistribusi 14 taksa pada
kali Beh 1, 19 taksa pada kali Rea, dan
masing-masing 18 taksa pada kali Beh 2 dan
kali Rea. Dominasi Diatom pada perairan ini
bisa jadi disebabkan karena mempunyai
kemampuan beradaptasi sangat baik pada
kondisi perairan yang berturbulansi tinggi
(Smayda, 1980). Dominasi diatom terhadap
jenis fitoplankton lain juga dilaporkan oleh
Grant and Kerr (1970), Hallegraeff and
Jeffrey (1984), Burford et al. (1995),
Ramaiah and Nair (1998), dan Tiwari and
Nair (1998). Lebih jauh dilaporkan, bahwa
komunitas
mikroalga
hamper
selalu
didominasi oleh diatoms dengan tingkat
afinitas substrat yang tinggi (Anonim, 2012).
Sebaran dan kelimpahan masingmasing taksa bervariasi pada setiap titik
sampling. Taksa (genus) yang memiliki
sebaran pada setiap titik sampling diwakili
oleh Cocconeis, Epithemia, Fragilaria, dan
Nitzschia. Jumlah taksa yang teridentifikasi
pada setiap titik sampling juga tidak jauh
berbeda, kecuali pada titik sampling pertama
(kali Beh (1)) hanya 14 taksa, 18 taksa
teridentifikasi pada kali Beh (2) dan kali
Sakal, dan 19 taksa teridentifikasi di kali
Rea. Selanjutnya, kemelimpahan (jumlah
individu per liter) lima tertinggi dimiliki oleh
berturut-turut: Cocconeis, (978 ind/L),
Suriella (773 ind/L), Epithemia (677 ind/L),
Nitzschia sigma (377 ind/L), dan Fragilaria
(183 ind/L). Lima taksa (genus atau jenis)
dengan dominasi (nilai penting/NP) tertinggi,
berturut-turut: Cocconeis (33,839%), Suriella
(27,719%) Epithemia (25,777%), dan
ISSN: 1411-9587
Konsorsium Mikroalga ……………
Nitzschia sigma (17,759%), dan Diploneis
(12,369%). Berdasarkan data kepadatan dan
nilai penting, maka taksa (genus) dengan
kepadatan dan nilai penting tertinggi dimiliki
oleh Cocconeis. Artinya perairan kali Beh
Desa Senawang didominasi oleh genus
Cocconeis. Sesuai dengan yang dinyatakan
Graham et al. (2009), diatom perifitik
termasuk Epithemia, Cocconeis, dan
Cymbella merupakan bagian dari komunitas
mikroperifiton yang menutupi sebagian besar
filamen alga, khususnya genus Cladophora.
Plankton diatom genus Nitzschia, Suriella,
dan Cyclotella, adalah jarang pada aliran
sungai yang deras, tetapi umumnya dominan
pada aliran sungai yang lambat (Anonim,
2012).
KESIMPULAN
Berdasarkan
data
kemelimpahan
(jumlah individu per liter) dan nilai dominasi,
jenis mikroalga perairan laut di wilayah
provinsi Nusa Tenggara Barat yang potensial
untuk dikembangkan menjadi sumber
penghasil
minyak
(biodesel)
adalah
Bacteriastrum delicatulum, B. varians,
Chaetoceros liciniosum, C. diversum,
Pseudonitzschia spp., dan Thalassionema
nitzschicoides.
Sedangkan
kelompok
mikroalga perairan tawar di Nusa Tenggara
Barat (khususnya Pulau Lombok) terdiri atas
Chlamidomonas sp., Cylendrospermopsis sp.,
Euglena sp., Gyrosigma sp., Microcystis
aeruginosa, M. incerta, Nitzschia sp., Nostoc
sp., Oscillatoria sp., Pandorina sp.,
Pediastrum boryanum, Pediastrum spp.,
Peridinium sp., dan Staurastum cristatum.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, W.E. dan C. Cupp, 1935, Plankton
Diatom of the Java Sea, Annales du
jardin Botanique de Buitenzorg, 44:101174.
Anonim,
2012,
Algae,
http://forestencyclopedia.net/p/p1509.
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
33
Anon, 2013, Algae fuel, food and waste
disposal will reduce atmospheric CO2,
http://www.rationallink.org/algae.htm,
23-10-2013, 12.01 wita.
Barus, I.T.A., 2002, Pengantar Limnologi,
Direktorat Pembinaan Penelitian dan
Pengabdian
pada
Masyarakat,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Jakarta.
Belcher, J.H., dan E.M.F., Swale, 1976, A
Beginner’s Guide to Freshwater Algae,
Institude of Terrestrial Ecology Natural
Environmental
Research
Council,
Cambridge, London.
Burford, M.A., P.C. Rothlisberg, and Y.G.
Wang, 1995, Spatial and Temporal
Distribution of Tropical Phytoplankton
Species and Biomass in the Gulf of
Carpenteria,
Australia,
Marine
Ecology-Progress Series, 118(1-3):
255-266.
Cox, G.W., 1976, Laboratory Manual of
General Ecology, W,M,C, Brown Co,
Publisher, Iowa.
Dahuri, R., I.Ny.S. Putra, Zairion, dan
Sulistiono, 1993, Metode dan Teknik
Analisis
Biota
Perairan,
Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga
Penelitian, IPB, Bogor.
Davis, C.C., 1955, The Marine and
Freshwater Plankton, Michigan State
University Press, Chicago.
Feranita, 2002, Evaluasi Kandungan Nitrat,
Fosfat dan Kelimpahan Fitoplankton Di
Perairan Pelabuhan Kayangan Lombok
Timur, Laporan tidak dipublikasikan.
Program
Studi Pendidikan Biologi.
Universitas Mataram.
Grant, B.R., dan J.D. Kerr, 1970,
Phytoplankton Numbers and Species at
Port Hacking Station and Their
Relationship
to
the
Physical
Environment, Aust. J. Mar. Freshwat.
Res., 21: 35-45.
Hader, D.P., R.C. Worrest, H.D. Kumar, dan
R.C. Smith, 2009, Effects of Increased
Solar Ultraviolet Radiation on Aquatic
Ecosystems, Ambio, 24(3): 174-180.
ISSN: 1411-9587
Konsorsium Mikroalga ……………
Hall, R.I, dan J.P, Smol, 1999, Diatoms as
Indicators of Lake Eutrophication, di
dalam E,F, Stoermer dan J,P, Smol
(Editor), The Diatoms: Applications for
the Environmental and Earth Sciences,
Cambride University Press, United
Kingdom.
Hallegraeff, G.M., and S.W. Jeffrey, 1984,
Tropical Phytoplankton Species and
Pigments of Continental Shelf Waters
of North and North-West Australia,
Marine Ecology Progress Series, 20:
59-74.
Hernandez-Becerril,
D.U.,
1996,
A
Morphological Study of Chaetoceros
Species (Bacillariophyta) from the
Plankton of the Pacific Ocean of
Mexico, Bull, Nat, Hist, Mus, Lond,
(Bot,), 26(1): 1-73.
Japa, L., 2000, Seasonal Succession of
Phytoplankton Communities in Lombok
Indonesian Coastal Waters, with
Emphasis on Species of the Diatom
Genera
Pseudo-nitzshia
and
Thalassiosira, Thesis, Program Master,
Universitas Tasmania.
Japa, L. dan Suripto, 2003, Inventarisasi
Spesies Fitoplankton Di Kawasan
Perairan Budidaya Kerang Mutiara
Dadap Sambelia Lombok Timur,
Laporan
Penelitian,
Universitas
Mataram.
Japa, L., dan Karnan, 2007, Studi Komunitas
Fitoplankton Di Perairan Pantai Kota
Mataram, Jurnal Biologi Tropis, Vol. 8
No. 1: 7-12.
Japa, L. dan D. Santoso, 2007, Analisis
Kuantitatif Komunitas Fitoplankton
Perairan Pelabuhan Lembar, Lombok
Barat, Jurnal Biologi Tropis, Vol. 8 No.
2.
Pentecost, A., 1984, Itroduction To Fresh
Water Algae, The Richomond Publishing
Co. Ltd., England.
Smith, G.M., 1950, Fresh-Water Algae of the
United States, Edisi Kedua, McGrawHill Book Company, Inc., New York.
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
34
Suripto, L. Japa, dan L. Zulkifli, 2002,
Fenologi Plankton Di Danau Asin Gili
Meno Nusa Tenggara Barat, Jurnal
Biologi Tropis, Pendidikan Biologi
PMIPA FKIP Universitas Mataram, Vol.
3 No. 1: 51-52.
Japa, L., Karnan, dan D. Santoso, 2004,
Survei
Kuantitatif
Komunitas
Fitoplankton dan Zooplankton Perairan
Suaka Perikanan Gili Ranggo, Teluk
Serewe, Lombok Timur Laporan tidak
dipublikasikan, Lembaga Penelitian,
Universitas Mataram.
Kabinawa, I.N.K., 2009, Kultur Mikroalga:
Aspek dan Prospek, Prosiding Seminar
Nasional Bioteknologi Mikroalga 1993:
21-43.
Ramaiah, N., and V.R. Nair, 1998,
Phytoplankton Characteristics in a
Polluted Bombay Harbour-ThanaBassein Creek Estuarine Complex,
Indian Journal of Marine Sciences,
27(3-4): 281-285.
Lebour, M.Y., 1930, The Planktonic Diatoms
of Northern Seas, Adlard and Son,
Limited, London.
Navarro, J.N., 1982, A Survey of the Marine
Diatoms of Puerto Rico III, Suborder
Biddulphiineae: Family Chaetoceraceae,
Botanica Marina, 25: 305-319.
Oktapiani,
Y.,
2007,
Komunitas
Fitoplankton Di Perairan Bendungan
Pengga Lombok Tengah, Skripsi, S1
Program Studi Biologi Universitas
Mataram.
Romimuhtarto, K, dan S, Juwana, 2001,
Biologi Laut Ilmu Pengetahuan tentang
Biota Laut, Djambatan, Jakarta.
Setiogi, S.P., 2004, Trial begins for
environmentally friendly fuel. News. The
Jakarta post. Tue, 09/28/2004.
Simonsen, R., 1974, The Diatom Plankton of
the Indian Ocean Expedition of R/V
‘Meteor” 1964-1965, “Meteor” Forsch,Ergebnisse, Berlin Stuttgart, 19(D): 1107,
Smayda, T.J., 1980, Phytoplankton Species
Succession, In: I. Morris (Editor), The
ISSN: 1411-9587
Konsorsium Mikroalga ……………
Physiological
Ecology
of
Phytoplankton, Blackwell Scientific
Publications, Oxford, London.
Sulistiawati, Y., 2003, Distribusi Tiga Jenis
Alga Cyanobacteria Di Perairan
Bendungan Batujai Lombok Tengah,
Skripsi, S1 Pendidikan Biologi FKIP
Universitas Mataram.
Sumarni, 2003, Keanekaragaman Jenis dan
Kemelimpahan Bacillariophyta (Diatom)
Di Perairan Pantai Kerta Sari Taliwang
Sumbawa, Skripsi, S1 Program Studi
Pendidikan Biologi,
Universitas
Mataram.
Surasana, E. dan Taufikurrahman, 1992,
Petunjuk Praktikum Ekologi Tumbuhan,
ITB Bandung.
Taylor, F.J.R., 1976, Dinoflagellates from the
International Indian Ocean Expedition:
A Report on Material Collected by the
R,V, “Anton Bruun” 1963-1964,
Stuttgart,
E,
Schweizerbart’sche
Verlagsbuchhandlung
(Nagele
u,
Obermiller).
Tiwari, L.R., and Nair, V.R., 1998, Ecology
of Phytoplankton from Dharamtar
Creek, West Coast of India, Indian
Journal of Marine Sciences, 27(3-4):
302-309.
Vinyard, W.C., 1979, Diatoms of North
America, Mad River Press, Inc.,
California.
Waltermann, B. & H. Streubel, 2010, Bright
future for biodeasel in Indonesia, News,
The Jakarta Post, Mon, 02/08/2010.
Yamaji, I., 1984, Illustrations of The Marine
Plankton of Japan, 3rd, Eddition,
Hoikusha Publishing Co., Ltd., Japan.
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
35
ISSN: 1411-9587
Studi Morfometrik dan Meristik ……………….
STUDI MORFOMETRIK DAN MERISTIK KERANG POKEA (Batissa
violacea var. celebensis, von MARTENS 1897) DI SUNGAI POHARA
SULAWESI TENGGARA
Bahtiar1, Wa Nurgaya1, La Anadi1
1
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo
email : [email protected]
Abstract
Pokea a freshwater bivalves whose distribution is relatively different from the same genus in
other areas. Excessive exploitation in nature could reduce the quality and quantity of this
clam. This study was aimed to determine the morphometric characters of pokea. This research
was conducted at the mouth of the Pohara river in three stations of the earliest until the last in
a year of pokea existence during March 2007-February 2008. Data were analyzed descriptive
quantitatively. Length-weight relationship was analyzed by simple regression. The condition
factor was calculated with the formula Effendi (2000) and the proportion of clams
morphometric was calculated semi quantitatively. The results showed that the value of b has
an irregular pattern based on the observation but spatially demonstrate the value of b is higher
in remote areas from estuary. Pokea condition factor of males and females did not differ
relatively spatial and temporal ranges respectively 0.95-1.058 and 0.95-1.032. PC and TC/LC
proportion tends to decline with the higher size class. The proportion of PC/LC on pokea
males and females showed a similar trend but the proportion of TC/LC tend to be larger in
males than females. BDB and BDK upon BT tended to be lower in males than females pokea.
Key words : Morphometrics, Meristic, Pokea, River, Pohara.
S
1977), Papua Barat (Djajasasmita, 1977) dan
Sulawesi (Kusnoto, 1953). Di Sulawesi
Tenggara, jenis ini ditemukan tersebar
merata di sepanjang Jazirah Tenggara
terutama pada beberapa sungai besar seperti
Sungai Pohara, Sungai Lasolo, Sungai
Osana, Sungai Laeya dan Sungai Roraya
(Bahtiar, 2005).
Kerang pokea telah lama dijadikan
bahan makanan oleh masyarakat yang
mendiami jazirah Konawe sebagai lauk.
Karena besarnya permintaan masyarakat
akan daging kerang maka sebagian
masyarakat telah mengusahakannya dengan
mengambilnya di alam sehingga menjadi
mata pencaharian utama dari masyarakat
tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian
Bahtiar (2012) menunjukkan bahwa produksi
kerang pokea yang didaratkan di Pasar
Pohara dalam setahun dapat mencapai
152879 kg berat basah. Namun tidak
diketahui secara pasti besarnya produksi total
Pendahuluan
ungai Pohara merupakan sungai yang
mengalir sepanjang tahun (permanen)
yang menyimpan potensi sumberdaya
hayati. Salah satu diantaranya adalah jenis
kerang air tawar yang masyarakat sekitarnya
menyebutnya dengan nama pokea (Batissa
violacea var. celebensis, von Martens 1897).
Pokea (Batissa violacea var. celebensis, von
Marten 1897) (Kusnoto, 1953) merupakan
bivalvia air tawar yang berasal dari spesies
Batissa violacea. Genus Batissa mempunyai
penyebaran geografis yang cukup luas,
meliputi bagian barat pasifik (Malaysia,
Filipina, Papua Nugini, Australia barat daya)
dan berbagai daerah lainnya di Pasifik
(Dudgeon dan Morton, 1989). Menurut
Sastrapradja (1977) bahwa B. violacea,
Lamarck tersebar di Asia Tenggara dan
Australia Utara. Di Indonesia, bivalvia ini
tersebar pada beberapa pulau besar yaitu :
Sumatra (Putri, 2005), Jawa (Sastrapradja
Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014
36
ISSN: 1411-9587
Studi Morfometrik dan Meristik ……………….
pokea yang hilang di setiap tahunnya, karena
banyaknya tempat pendaratan lain yang tidak
terekam.
Pengambilan pokea yang dilakukan
masyarakat telah mengalami lebih tangkap.
Hal ini ditandai dengan banyaknya pokea
yang berukuran kecil. Bahtiar dkk (2008)
menunjukkan bahwa populasi pokea
didominasi ukuran anak dan sedikit dewasa,
sedangkan kelompok tua sudah hampir tidak
ditemukan. Kondisi ini menyebabkan
penurunan kualitas dan kuantitas pokea.
Pada sisi lain, belum ada informasi tentang
karakter morfometrik pokea diantaranya
model pertumbuhan sesaat dari hubungan
panjang-berat, kemontokan, proporsi daging
untuk tujuan identifikasi kerang pokea yang
sejenis dan upaya pengelolaannya, sehingga
menjadi
penting
untuk
mengungkap
informasi tersebut.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama setahun
dari bulan Maret 2007-Februari 2008 di
segmen muara Sungai Pohara. Sampel pokea
diambil dari 3 stasiun yang dibagi
berdasarkan keberadaan kerang pokea. Awal
ditemukan pokea yaitu stasiun 1 yang jauh
dari muara, pertengahan sungai yaitu stasiun
II dan akhir yaitu stasiun III yang dekat
dengan muara sekitar 4 km) (Gambar 1).
Jumlah sampel yang terambil di setiap
stasiun dalam setiap bulan sebanyak ±500
ekor dari semua kelas ukuran. Selanjutnya
kerang dibawa ke Laboratorium Perikanan
dan Ilmu Kelautan Unhalu untuk dilakukan
pengamatan morfometrik. Pokea diukur
panjang cangkangnya dengan menggunakan
jangka sorong dan ditimbang berat total
basah menggunakan timbangan digital
dengan ketelitian 0.01g.
Selanjutnya,
memisahkan pokea jantan dan betina
berdasarkan warna gonadnya dan ditimbang
berat daging basah dan berat kering. Berat
kering didapatkan dengan mengeringkan
daging kerang dengan menggunakan oven
pada suhu 70oC selama 72 jam.
Karakter morfometrik yang dianalisis
meliputi : hubungan panjang-berat dengan
regresi linier sederhana, faktor kondisi
dengan rumus yang dikembangkan oleh
Effendi, (2002), dan proporsi lebar (LC) dan
tebal cangkang (TC) terhadap panjang
cangkang (PC), dan berat daging basah
(BDB) dan kering (BDK) terhadap berat total
(BT) dianalisis secara semi kuantitatif dalam
bentuk persentase (%).
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui karakter morfometrik kerang
pokea yang meliputi : hubungan panjangberat, faktor kondisi, proporsi lebar (LC) dan
tebal cangkang (TC) terhadap panjang
cangkang (PC), dan berat daging basah
(BDB) dan kering (BDK) terhadap berat total
(BT).
Penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi pengelolaan sumberdaya
kerang pokea.
Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014
37
ISSN: 1411-9587
Studi Morfometrik dan Meristik ……………….
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Sungai Pohara
Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014
38
ISSN: 1411-9587
Studi Morfometrik dan Meristik ……………….
jantan lebih kecil daripada betina. Nilai b
pada jantan berkisar 1.869-2.774, sedangkan
nilai b pada betina berkisar 2.092-2.828.
Nilai b memperlihatkan kecenderungan pola
yang tidak menentu berdasarkan waktu
pengamatan (Tabel 1).
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Panjang-Berat Pokea
Berdasarkan hasil penelitian secara
spasial dan temporal menunjukkan bahwa
nilai b dari hubungan panjang berat pada
Tabel 1. Hubungan panjang-berat berdasarkan stasiun pengamatan
Stasiun
I
II
II
a
0.334
0.49
0.461
Jantan
b
2.774
2.322
2.351
R
0.888
0.882
0.911
a
0.317
0.487
0.448
Secara spasial, nilai b ditemukan
lebih tinggi pada stasiun yang lebih dekat
dengan muara (stasiun 1) dibandingkan
stasiun lainnya (Tabel 2). Secara umum,
Betina
b
2.828
2.365
2.419
R
0.915
0.893
0.928
hubungan panjang-berat pada kerang pokea
jantan dan betina sangat baik dengan nilai R
berkisar 0.63-0.97.
Tabel 2. Hubungan panjang-berat berdasarkan waktu pengamatan
Bulan
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
November
Desember
Januari
Februari
a
0.552
0.445
0.416
0.487
0.499
0.919
0.513
0.46
0.382
0.443
0.486
Jantan
b
2.327
2.445
2.568
2.387
2.382
1.869
2.367
2.325
2.408
2.391
2.336
R
0.942
0.915
0.97
0.945
0.935
0.926
0.925
0.772
0.909
0.815
0.814
a
0.494
0.39
0.515
*
0.483
0.55
0.483
0.54
0.432
0.388
0.457
Keterangan : * tidak terekam saat penelitian
R
0.959
0.961
0.966
*
0.959
0.93
0.899
0.633
0.9
0.882
0.869
Berdasarkan waktu pengamatan faktor
kondisi
pokea
jantan
dan
betina
memperlihatkan kecenderungan nilai yang
lebih stabil pada bulan Juli-Oktober. Secara
umum, faktor kondisi pokea jantan dan
betina relatif tidak berbeda, baik secara
spasial maupun temporal (Gambar 2 dan
Gambar
3).
Faktor Kondisi
Faktor kondisi pokea jantan berkisar
0.95-1.058 sedangkan faktor kondisi betina
berkisar 0.95-1.032. Pokea jantan dan betina
memperlihatkan faktor kondisi yang relatif
tidak berbeda, walaupun pada jantan
kecenderungan
ditemukan
adanya
peningkatan nilai faktor kondisi di stasiun III.
Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014
Betina
B
2.413
2.66
2.385
*
2.447
2.343
2.412
2.092
2.463
2.517
2.401
39
ISSN: 1411-9587
Studi Morfometrik dan Meristik ……………….
Faktor kondisi
1.3
1.2
1.1
1
Jantan
Betina
0.9
I
II
Stasiun
III
Gambar 2. Faktor kondisi kerang pokea berdasarkan stasiun pengamatan
1.50
Faktor kondisi
1.30
1.10
0.90
0.70
Jantan
Betina
0.50
Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb
Bulan
Gambar 3. Faktor kondisi kerang pokea berdasarkan waktu pengamatan
berada pada kisaran 32.97-57.19% dengan
nilai tengah masing-masing 42.88 dan 49.07.
Hal yang berbeda ditunjukkan pada proporsi
BDB/BT pada betina yang cenderung
menurun seiring dengan peningkatan kelas
ukuran yang berkisar 39.09-77.14% Berat
daging kering (BDK)/berat total (BT) pada
jantan dan betina masing-masing berkisar
3.75-6.59% dan 3.44-6.34% dengan nilai
tengah masing-masing 4.80 dan 4.90. BDK/
BT pada jantan dan betina menunjukkan nilai
yang cenderung lebih besar seiring dengan
peningkatan kelas ukuran dan proporsi
tersebut cenderung lebih rendah pada pokea
jantan daripada betina (Gambar 4).
Proporsi Morfometrik Kerang Pokea
Karakter morfometrik kerang pokea
dari beberapa proporsi ukuran cangkang dan
berat daging memperlihatkan bahwa lebar
cangkang (LC) terhadap panjang cangkang
(PC) pada jantan dan betina berkisar 0.770.88 dan 0.80-0.88 dengan nilai tengah
masing-masing 0.83 dan
0.84.
Tebal
cangkang (TC) terhadap panjang cangkang
(PC) pada jantan dan betina berkisar 0.390.56 dan 0.35-0.46 dengan nilai tengah
masing-masing 0.42 dan 0.40.
Proporsi
berat daging basah (BDB)/berat total (BT)
pada jantan cenderung meningkat pada
ukuran tengah kelas dan selanjutnya menurun
pada kelas ukuran yang lebih besar yang
Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014
40
ISSN: 1411-9587
Studi Morfometrik dan Meristik ……………….
90
70
PC/LC
85
50
80
40
75
30
70
70
60
50
40
30
20
10
0
20
7
6
5
4
3
2
1
0
BDK/BT
Persentase (%)
BDB/BT
Jantan
0.10-0.70
0.71-1.31
1.32-1.92
1.93-2.53
2.54-3.14
3.15-3.75
3.76-4.36
4.37-4.97
4.98-5.58
5.59-6.19
6.20-6.80
6.81-7.41
Betina
0.10-0.70
0.71-1.31
1.32-1.92
1.93-2.53
2.54-3.14
3.15-3.75
3.76-4.36
4.37-4.97
4.98-5.58
5.59-6.19
6.20-6.80
6.81-7.41
Persentase (%)
TC/LC
60
Kelas ukuran (cm)
Kelas ukuran (cm)
Gambar 4. Proporsi morfometrik proporsi lebar (LC) dan tebal cangkang (TC), panjang
cangkang (PC), dan berat daging basah (BDB) kering (BDK), dan berat total (BT)
untuk menentukan hubungan antara panjang
cangkang dan berat total. Hubungan ini
menyangkut seberapa besar pengaruh
pertambahan panjang cangkang terhadap
peningkatan berat total pokea. Hubungan
lebar cangkang terhadap berat basah pokea
berdasarkan stasiun dan bulan baik jantan
maupun betina menunjukkan bahwa nilai
b<3. Nilai b pada hubungan lebar cangkang
dan berat basah total tidak berbeda jauh
dengan penelitian Bahtiar (2005) dan Bahtiar
(2007) menunjukkan bahwa nilai b masingmasing yaitu 2.24-2.52 dan 2.10-2.66 dan
bivalvia dari beberapa jenis lain pada
perairan tawar dan laut (Tabel 3).
Pembahasan
Hubungan Panjang-Berat
Pertumbuhan pokea dapat diketahui
dengan mengamati hubungan panjang berat.
Hubungan
ini
dapat
diduga
dari
kecenderungan penyebaran data panjang dan
berat yang diperoleh dari pengukuran
parameter morfometrik dan meristik pokea.
Penduga parameter b dan koefisien hubungan
panjang berat dianalisis melalui pendekatan
pola eksponensial.
Hasil pengukuran
panjang berat tersebut dapat digunakan untuk
menggambarkan
pertumbuhan
somatik
(Vakily 1989 dalam Setyobudiandi, 2004).
Data-data dari nilai a dan b dipergunakan
Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014
41
ISSN: 1411-9587
Studi Morfometrik dan Meristik ……………….
Tabel 3.
Nilai koefisien regresi (b) dari hubungan panjang cangkang-berat tubuh total
beberapa jenis bivalvia
Jenis Bivalvia
Batissa violacea var. kai
Perna viridis
Batissa violacea Lamarck
Batissa violacea var, celebensis
Batissa violacea var. celebensis
Megapitaria squalida
Batissa violacea var. celebensis
Pisidium amnicum
Nilai b
2.03 – 2.99
0.88 – 2.63
1.43 - 1.77
2.29 – 2.56
2.35-2.89
2.71-3.16
2.10-2.65
2.07
Pustaka
Keterangan
Ledua et al (1996)
Setyobudiandi (2004)
Puteri (2005)
Bahtiar (2005)
Bahtiar (2012)
Schweers (2006)
Bahtiar (2007)
Sousa et al (2008)
tawar
muara
muara
tawar
tawar
laut
tawar
tawar
Berdasarkan hal tersebut, titik
keseimbangan pola pertumbuhan somatik
pokea (isometrik) pada hubungan lebar
cangkang terhadap berat basah berada pada
nilai b = 2.50. Hal ini didukung oleh Wilbur
dan Owen (1964) melaporkan bahwa nilai
isometrik bivalvia yang diamati berada antara
2.40-4.50.
Kisaran nilai b yang ditunjukkan pada
jantan cenderung lebih kecil dibanding
betina. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh
penelitian Bahtiar (2012) dengan kisaran
nilai b pada jantan yaitu 2.35-2.64 dan betina
yaitu 2.49-2.89. Hal ini menggambarkan titik
isometrik pada jantan dan betina tidak selalu
persis sama karena pokea jantan mempunyai
ukuran yang lebih kecil dibanding betina.
Nilai b (pokea jantan dan betina) pada
hubungan lebar cangkang terhadap berat
basah menunjukan pola yang fluktuatif
berdasarkan waktu pengamatan. Hubungan
panjang berat tersebut berbeda dengan yang
ditemukan oleh Bahtiar (2012) yang
cenderung
meningkat
pada
fase
perkembangan sampai matang gonad (MaretJuli) dan terus mengalami penurunan sejalan
dengan pemijahan (Agustus-Januari). Nilai b
yang cenderung stabil pada titik tertentu
disebabkan oleh aktivitas pengambilan pokea
yang cenderung mengambil ukuran tertentu
sehingga populasi yang tersedia di alam
berada pada ukuran yang relatif sama.
Demikian halnya dengan nilai b yang lebih
tinggi di daerah yang lebih jauh dengan
muara yang disebabkan oleh intensitas
aktivitas penangkapan. Tingginya aktivitas
Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014
penangkapan di bagian muara (stasiun II dan
III) yang mengambil ukuran yang besar
dengan kondisi kualitas daging yang lebih
baik menyebabkan nilai b pada pokea relatif
lebih kecil. Berdasarkan nilai koefisien
determinasi (R2) di seluruh waktu
pengamatan pada hubungan lebar cangkang
terhadap berat basah sangat baik. Hal ini
dapat berarti bahwa pertambahan lebar
cangkang diikuti dengan peningkatan berat
pokea.
Faktor kondisi pada pokea jantan dan
betina relatif tidak berbeda baik secara
spasial maupun temporal.
Kondisi ini
menggambarkan sebaran makanan di
sepanjang Sungai Pohara (awal keberadaan
pokea-dekat muara) relatif terdistribusi
merata. Nilai faktor kondisi yang ditemukan
lebih rendah dibandingkan dengan penelitian
yang sama oleh Kamuliati (2013) dengan
nilai faktor kondisi berkisar 1.43-1.46.
Namun relatif berada pada kisaran yang sama
dengan bivalvia dari jenis lain yaitu kerang
kalandue (Polymesoda erosa) yang berkisar
0.63-1.35 (Akbar, 2013). Rendahnya nilai
faktor
kondisi
dibandingkan
dengan
penelitian yang sama pada tahun 2013
disebabkan oleh aktivitas penambangan pasir
intensif yang menganggu pola makan kerang
pokea. Pokea yang mempunyai mekanisme
makan dan respirasi yang satu menjadi
sangat susah untuk memisahkan material
yang tidak termanfaatkan dengan nutrisi yang
dibutuhkan. Hal yang paling ekstrim terjadi
dengan banyaknya pokea yang ditemukan
mati di daerah sekitar penambangan pasir.
42
ISSN: 1411-9587
Studi Morfometrik dan Meristik ……………….
Proporsi panjang dan tebal terhadap
lebar cangkang dapat digunakan untuk
mengetahui taksonomi kerang pokea. Hal ini
dimaksud untuk mengetahui kerang pada
daerah lain yang secara genetis mempunyai
hubungan kekerabatan seperti pada kerang
lokan (Batissa violacea, Lacmark) dan
sejenisnya. Berdasarkan hasil pengamatan
menunjukkan PC dan TC terhadap LC
cenderung
menurun
seiring
dengan
pertambahan kelas ukuran kerang. PC
terhadap LC pada pokea jantan dan betina
memperlihatkan kecenderungan yang sama
namun TC terhadap LC pada jantan
cenderung lebih besar daripada kerang
betina. Proporsi BDB dan BDK terhadap BT
digunakan untuk mengetahui seberapa besar
kuantitas daging yang dapat dimanfaatkan.
Kuantitas daging betina cenderung lebih
besar daripada pokea jantan.
Secara
keseluruhan, jumlah daging yang dapat
dimanfaatkan sangat kecil dari total tubuhnya
karena cangkang dan air mendominasi tubuh
kerang pokea. Hal ini terlihat jelas dari nilai
proporsi BDB dan BDK terhadap BT pada
kerang pokea. Beberapa jenis kerang seperti
kerang kalandue memperlihatkan nilai
proporsi yang relatif berbeda. Proporsi nilai
BDB/BT kerang kalandue berada pada
kisaran 8.09-42.86%, sedangkan BDK/BT
relatif lebih besar dibanding pokea yang
berkisar 12.41-17.82%. Hal ini dapat berarti
pula bahwa, kerang kalandue mempunyai
kuantitas daging (dimanfaatkan) lebih besar
daripada kerang pokea. Rendahnya kuantitas
daging pokea diduga oleh kurangnya pasokan
nutrisi saat tingginya aktivitas penambangan
di tahun tersebut.
3. Proporsi TC dan LC pada pokea jantan
cenderung lebih besar daripada betina
4. Kuantitas daging yang dimanfaatkan
pokea jantan lebih kecil dibandingkan
betina dengan nilai rata-rata masingmasing 4.80 dan 4.90.
Daftar Pustaka
Akbar, J. 2013. Studi Morfometrik Kerang
Kalandue (Polymesoda erosa) di
Hutan Mangrove Teluk Kendari.
Skripsi. UHO.
Bahtiar, 2012.
Studi Bioekologi dan
Dinamika Populasi Pokea (Batissa
violacea var. celebensis, von Martens
1897) yang Tereksploitasi Sebagai
Dasar Pengelolaan di Sungai Pohara
Sulawesi Tenggara.
Bahtiar, Yulianda, F dan I. Setyobudiandi.
2008. Kajian Aspek Pertumbuhan
Populasi Pokea (Batissa violacea var.
celebensis, von Martens 1897) di
Sungai Pohara Kendari Sulawesi
Tenggara. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan
dan Perikanan Indonesia. Jilid 15. 1:
1-5.
Bahtiar. 2007. Konservasi Populasi Pokea
(Batissa violacea var. celebensis von
Martens, 1897), 1897 di Sungai
Pohara Kendari Sulawesi Tenggara.
Laporan Hibah Bersaing. DP2MDikti. Jakarta.
Bahtiar. 2005. Kajian Populasi Pokea
(Batissa violacea var. celebensis, von
Martens, 1897), 1897 di Sungai
Pohara Kendari Sulawesi Tenggara.
Tesis. IPB.
Djajasasmita, M. 1977. An Anotated list of
the Spesies of the Genus Corbicula
From
Indonesia
(Mollusca
:
Corbiculidae). Bulletin Zoologisch
Museum.
Universiteit
Van
Amsterdam. Amsterdam.
Dudgeon, D. dan B. Morton. 1983. The
Population Dynamics and Sexual
Strategy of Anodonta woodiana
(Bivalvia: Unionidae) in Plover Cove
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Nilai b pada pokea jantan dan betina
masing-masing berkisar 2.35-2.64 dan
2.49-2.89
2. Faktor kondisi pokea jantan dan betina
masing-masing berkisar 0.95-1.058 dan
0.95-1.032
Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014
43
ISSN: 1411-9587
Studi Morfometrik dan Meristik ……………….
Sastrapradja dkk., 1977. Sumber Protein
Hewani. Lembaga Biologi NasionalLIPI. Bogor.
Schweers, T., M. Wolff, V. Koch, and F.S.
Duarte. 2006. Population Dynamics
of Megapitaria squalida (Bivalvia:
Veneridae) at Magdalena Bay, Baja
California Sur, Mexico. Rev. Biol.
Trop (Int. J). 54(3):1003-1017.
Setyobudiandi, I. 2004. Beberapa Aspek
Biologi Reproduksi Kerang Hijau
(Perna viridis Linnaeus, 1758) pada
Kondisi Perairan Berbeda. Disertasi.
Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor.
Sousa, R., J.A. Antonio, J.A. Nogueira, M.B.
Gaspar, C. Antunes, L. Guilhermino.
2008. Growth and Etremely High
Production of the Non-Indigenous
Invasive Species Corbicula fluminea
(Muller, 1774): Possible Implications
for Ecosystem Functioning.
J.
Estuarine, Coastal and Shelf Science.
80:289–295.
Sparre, P. dan S.C. Venema.
1999.
Introduksi Pengkajian Stok Ikan
Tropis.
Badan Penelitian dan
Pengembangan
Perikanan.
Terjemahan dari Introduction to
Topical Fish Stock Assessment. FAO
Fish Tech. Paper, 306(1):376p.
Wibur, K.M. and G. Owen. 1964. Growth
In: Physiology of Mollusca, (ed.
K.M. Wilbur and C.M. Yonge). Vol.
I;pp211-242. Academic Press, New
York.
Reservoir, Hongkong. J.Zool., Lond.
201:161-183.
Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan.
Edisi Revisi. Yayasan Pustaka
Nusatama. Yogyakarta. 163 hal
Ledua, E., S.V. Matoto, Apisai, S and K.
Jovesa. 1996. Freshwater Clam
Resources Assesment of the Ba
River. Fisheries Division. South
Pasific Comision. New Caledonia.
Suva. Fiji.
Kamuliati, 2013. Studi Morfometrik dan
Faktor Kondisi Kerang Pokea (Pokea
(Batissa violacea var. celebensis, von
Martens 1897) di Sungai Pohara
Kabupaten
Konawe
Sulawesi
Tenggara. Skripsi. UHO.
Kusnoto.
1954. Kebun Raya Indonesia
(Botanic Gardens of Indonesia). A
Journal of Zoology, Hydrobiology
and Oceanography of the IndoAustralian Archipelago. Kebun Raya
Indonesia. Bogor.
Puteri, R.E. 2005. Analisis Populasi dan
Habitat : Sebaran Ukuran dan
Kematangan Gonad Kerang Lokan
Batissa violacea Lamarck (1818) di
Muara Sungai Batang Anai Padang
Sumatera Barat. Tesis.
Institut
Pertanian Bogor.
Ramesha, M.M. and S. Thippeswamy. 2009.
Allometry and Condition Index in the
Freswater
Bivalve
Parreysia
corrugate (Muller) From River
Kempuhol, India. J. Asian Fisheries
Science. 22:203-214.
Jurnal Biologi Tropis. Vo. 14 No. 1 Januari 2014
44
ISSN: 1411-9587
Sejarah Perkembangan Mutiara
SEJARAH PERKEMBANGAN MUTIARA
Oleh: Syachruddin AR.
ABSTRAC
Pearl initially is a fantasy story or myth concerning a remained girl go by the beloved lover so
that pearl become supremacy device and chastity of someone love. Besides, pearl is saga or
story concerning dewdrop of mangrove tree which fall to sea and come into cockle so that
become pearl. Network concerning the story of that unique hence pearl worshiped and
nicknamed as queen of jewel stone. Pearl finally have to domicile and very compared to high
value of other jewel stone. Research result indicate that pearl is an object yielded by being
live naturally and by brand. Initially to get pearl in very difficult nature even human being can
put life on the line to get him. Beauty of him captivating for everybody especially women
with process formed by unique him and process to get very difficult him, hence pearl viewed
as by very high jewel of his value. Pearl very like by them and womankind very if given as
device in triggering candid and heartfelt love to it, so that by then one way or another human
being made a pitch for him, although obtained to pass/through by nucleus, core is obtained
with cream which much the same to the quality of with original pearl.
Keyword: history, pearl, myth, conducting
S
dalam kerang kemudian pada abad 18 para
peneliti mengkaji asal terjadinya mutiara
kemudian diaplikasikan untuk menghasilkan
mutiara budidaya sehingga pada tahun 1894
menurut Dwiponggo (1976) secara intensif
Kokishi Mikimoto (Jepang) menghasilkan
mutiara budidaya (blister dan baroque) dari
Pinctada martensii dan tahun 1956 Jaquin
(Perancis) mempelopori pembuatan mutiara
imitasi.
Jepang mula-mula mengembangkan
Industri mutiara melalui budidaya sehingga
Jepang dijuluki sebagai raja mutiara
budidaya dunia kemudian berkembang ke
negara-negara lain termasuk Indonesia.
Mutiara sebagai salah satu produk unggulan
nasional di daerah mempunyai potensi yang
cukup besar untuk dikembangkan dalam
rangka meningkatkan PAD dan membuka
lapangan kerja serta sangat memungkinkan
untuk dikembangkan industri rumah tangga
(home industry) sehingga Indonesia akan
PENDAHULUAN
ejarah tentang perkembangan mutiara
telah diketahui sejak 3.500 tahun
Sebelum Masehi (SM), di dataran
mediterania dan memujanya sebagai ratu dari
semua batu permata. Mutiara pada waktu itu
menurut Chan (1950), merupakan cerita
tahyul dan hikayat dari seorang putri yang
ditinggal pergi oleh sang kekasih yang
tercinta. Mutiara dihasilkan oleh mahluk
hidup (kerang mutiara) dalam waktu yang
cukup lama dan sangat indah sehingga para
penyair, sastrawan dan pengarang lagu
memakai kata mutiara sebagai ungkapan dari
kemurnian jiwanya terhadap sesuatu,
demikian juga para remaja yang sedang
dilanda asmara sering menggunakan kata
“mutiara” sebagai lambang keagungan dan
kesucian cinta terhadap sang kekasih.
Abad ke-13 seorang Cina berhasil
menemukan rahasia tentang terbentuknya
lapisan mutiara pada patung yang dimasukan
Jurnal Biologi Tropis. Vol 14 No. 1 Januari 2014
45
ISSN: 1411-9587
Sejarah Perkembangan Mutiara
berperan dalam sejarah perkembangan
mutiara dunia pada masa yang akan datang.
Abad ke-13 seorang Cina mencoba
memasukan patung Budha yang kecil ke
dalam kerang darat jenis Dipass plicatus,
kemudian kerang itu dipelihara pada
tempat yang cocok untuk kehidupannya.
Beberapa lama kemudian ditemukan
lapisan yang mengelilingi patung tersebut
mulai dari peristiwa ini maka terbukalah
rahasia tentang terbentuknya mutiara pada
waktu itu. Menurut Dwiponggo (1976)
dan Fatuchri (1981), pada abad 18 para
peneliti seperti: Fillipi (1852), Rondolet
(1854), Kelaart dan Humbert (1859),
Raphael dan Janeson (1901 - 1902)
Boutan (1904), Oda dan Nishikawa (1909)
serta Rubble (1911) penasaran dan sangat
tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang
proses terjadinya mutiara, hasilnya
menunjukkan bahwa mutiara yang
terbentuk itu berasal dari butiran pasir
atau cacing Trematoda
(Distomian
duplicatum) yang masuk dalam tubuh
kerang sebagai benda asing, namun benda
itu tidak dapat dikeluarkan sehingga
benda tersebut dilapisi oleh lendir
kemudian mengeras menurut Allen
(1942), benda itulah yang disebut dengan
mutiara.
Kegiatan yang dilakukan secara
tidak sengaja dan penelitian yang terus
dikembangkan oleh para peneliti dapat
menjelaskan mitos tentang mutiara yang
berasal dari embun atau airmata putri yang
menangis karena ditinggal sang kekasih.
Mitos tersebut berubah menjadi suatu hal
yang nyata dan dapat dikembangkan
melalui aktivitas yang dilakukan secara
buatan. Mutiara yang dihasilkan secara
buatan inilah yang disebut dengan mutiara
budidaya (Mulyanto, 1987). Berdasarkan
cerita dan hasil penemuan tersebut maka
pada tahun 1890 pembuatan mutiara mulai
dilakukan secara komersial walaupun
hasilnya jauh dari sempurna, tetapi
penelitian terus dilakukan, walaupun
mengalami berbagai kegagalan dan
kesulitan namun pada akhirnya rahasia
tentang terbentuknya mutiara semakin
Bahan dan Metode
Tulisan ini bersifat analisis deskriptif yang
diangkat dari sumnber literatur yang relevan
dengan sejarah perkembangan yang berkaitan
dengan cerita hikayat atau mitos tentang
mutiara sampai berkembangnya usaha
budidaya mutiara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan mutiara
Mutiara telah diketahui sejak 3.500
tahun Sebelum Masehi (SM), pada zaman
itu di dataran Mediterania melakukan
pemujaan terhadap mutiara sehingga
dianggap sebagai ratu dari batu permata
(Herdman, 1903). Mutiara pada zaman
dahulu menurut (Herdman, 1904).
merupakan cerita tahyul yang berkembang
dikalangan masyarakat waktu itu, seperti:
cerita tentang tetesan embun dari pohon
bakau yang jatuh ke laut dan masuk ke
dalam kerang mutiara (mother of pearl)
kemudian menjadi mutiara. Hikayat lain
menurut Chan (1949), diceritakan bahwa
suatu saat seorang putri ditinggal pergi
oleh sang kekasih kemudian duduk di
bawah pohon bakau sambil menangis
dengan airmata yang bercucuran ke laut
dan masuk dalam tubuh kerang mutiara
kemudian membeku dan mengeras
manjadi mutiara. Para penyair, sastrawan
ataupun pengarang lagu banyak yang
memakai kata mutiara sebagai seni dalam
mengungkapkan
rasa
kejiwaannya.
Demikian juga para remaja yang sedang
dilanda asmara menurut Dwiponggo
(1976), sering menggunakan kata
“mutiara” sebagai lambang kemurnian dan
kesucian cintanya pada sang kekasih.
Cerita tersebut menjadikan mutiara dipuja
dan dijuluki sebagai ratu dari batu permata
yang sangat tinggi nilainya.
Jurnal Biologi Tropis. Vol 14 No. 1 Januari 2014
46
ISSN: 1411-9587
Sejarah Perkembangan Mutiara
terbuka untuk diaplikasikan dalam proses
pembuatan mutiara.
Pada
tahun
1894
menurut
Dwiponggo (1976), Kokishi Mikimoto
dari Jepang berhasil membuat mutiara
blister/baroqui dari Pinctada martensii.
Peneliti selanjutnya menemukan cara
terbaik untuk menghasilkan mutiara
berkualitas tinggi yang tidak kalah
mutunya dengan mutiara alam, sehingga
pada tahun 1956 menurut Dwiponggo
(1976),
Jaquin
dari
Perancis
mempelopori pembuatan mutiara imitasi
yang memperburuk harga mutiara asli di
pasaran.
Hasil
penelitian
tersebut
menunjukkan bahwa asal mutiara berbeda
dengan permata lainnya karena mutiara
merupakan batu permata yang dihasilkan
oleh mahluk hidup sehingga nilainya
bukan hanya dilihat dari segi keindahan
saja, tetapi proses dan asalnya mutiara
akan memberikan pengaruh yang besar
terhadap tingginya nilai dan mahalnya
harga
mutiara.
Jepang
kemudian
mengembangkan industri mutiara melalui
budidaya sehingga mereka menjadi raja
mutiara budidaya dunia. Hal ini menurut
Asikin (1962), merupakan tantangan
tersendiri bagi ilmuwan dan usahawan
Indonesia dalam mengembangkan usaha
budidaya
kerang
mutiara
dalam
memusatkan kinerja dan perhatiannya
untuk menjadikan mutiara sebagai
permata primadona di Indonesia.
Mutiara pada saat ini merupakan
salah satu produk andalan nasional di
daerah yang dapat meningkatkan PAD
dan peluang lapangan kerja bagi
masyarakat sehingga daerah-daerah yang
potensial untuk pengembangan budidaya
kerang mutiara terutama kawasan
Indonesia bagian timur sangat strategis
untuk dijadikan sebagai tempat budidaya
mutiara untuk industri rumah tangga
(home industry) seperti yang dilakukan di
Jepang dan India (Anonim, 1986 dan
Anonim, 1988).
Jurnal Biologi Tropis. Vol 14 No. 1 Januari 2014
Keberhasilan dalam bidang tersebut
akan membuka peluang bagi bangsa
Indonesia untuk mengubah perkembangan
sejarah mutiara dunia yang sekarang
dikendalikan dan dimonopoli oleh Jepang
tidak tertutup kemungkinan bahwa pada
suatu saat Indonesia dengan dukungan
kondisi dan luasnya perairan yang
memungkinkan untuk budidaya kerang
mutiara dalam berbagai skala usaha akan
menjadi pusat produksi dan pasaran
mutiara dunia.
B. Sejarah Perkembangan Mutiara di
Indonesia
Pada beberapa daerah di Indonesia
menurut Dwiponggo (1976), seperti:
Kepulauan Aru, Tanimbar, perairan
Banggai telah dilakukan kegiatan usaha
mutiara secara intensif sejak zaman
penjajahan Belanda, tetapi hanya terbatas
pada
kegiatan
penyelaman
untuk
mendapatkan kulit dan mutiara alam,
tetapi pada tahun 1950 – 1960 pengusaha
dari Jepang datang ke Indonesia untuk
merintis kembali budidaya kerang mutiara
di perairan kepulauan Banggai, perairan
NTB (teluk Waworada Bima); NTT
(Kalabahi) melalui P.T Nisshin Samudera
Mutiara. Perusahaan tersebut menurut
Mulyanto (1987), memulai kegiatan usaha
dengan pengumpulan kulit kerang
kemudian melakukan pemeliharaan untuk
mutiara setengah bundar (half pearl) dan
mutiara bundar (round) dari kerang
mutiara selaman yang diseleksi untuk
kulit, pembesaran dan dipasangkan mall
(insertio nucleus) baik untuk mutiara
setengah bundar (blister) maupun untuk
mutiara bundar (round).
Perusahaan yang beroperasi di
Indonesia menurut menurut Dwiponggo
(1976), pada awalnya hanya terdapat di
perairan Maluku pearl (Defur, Fatujuring,
dan Maluku Tenggara); PT Manei
Southern Pearl (Taberfane Maluku
Tenggara) dan PT Bacon Pearl (Tabelodi
teluk Kao, P. Wiring (Kepaulauan Bacon)
Maluku Utara; PT Nilba Ambon dan PT
47
ISSN: 1411-9587
Sejarah Perkembangan Mutiara
Manajai di Ujung Pandang yang
melakukan kegiatan di Tali Abu dan
Maluku Tenggara.
Budidaya kerang mutiara yang
dilakukan pada saat itu menurut Tranter
(1958) dan Fatuchri (1981), terutama di
Maluku Tenggara, Defur dan Fatujuring
semuanya melakukan non full culture
(pemeliharaan tidak penuh) karena bibit
(seed) diambil dari alam dengan kolektor
(natural colecting) oleh nelayan setempat
kemudian dipelihara oleh perusahaan.
Menurut Sutaman (1993), tahun 1958 di
Teluk Kalabahi Alor Propinsi NTT,
pernah dilakukan percobaan pemeliharaan
kerang jenis Pinctada lintiginosa R dan
Pteria pinguin (Roding). Namun hasilnya
belum memadai dan hanya menghasilkan
mutiara blister. Tahun 1970 di teluk Kao,
Kepulauan Bacon, serta perairan Sorong
Irian Jaya telah dikembangkan juga usaha
budidaya mutiara. Tahun 1980 di perairan
Lampung dan tahun 1985 di perairan
Tanjung Bero NTB, mutiara di perairan
NTB sangat terkenal dengan kilauan
mutiaranya sehingga tahun 1990 ke atas
berkembang hampir keseluruh perairan
yang strategis di NTB. Pada saat ini
perairan NTB sudah ada 35 perusahaan
yang beroperasi dan 7 perusahaan yang
sedang mengurus perijinan operasional,
secara nasional menurut Asbumi tahun
1995 ada 59 perusahaan dan tahun 1997
meningkat menjadi 75 perusahaan,
kemungkinan pada saat ini di Indonesia
diperkirakan sudah ada 100 perusahaan
baik dengan modal nosional maupun
dengan modal asing (Anonim, 1988).
Penyelaman
menurut
Fatuchri
(1981), dilakukan pada perairan sekitar
Pulau Banggai, Melilis, Bakon, Bankulu
dan Masoni. Untuk memperbaiki dan
menjaga kontinuitas dan kualitas usaha
maka mereka mengumpulkan bibit kerang
dari alam melalui penyelaman dan
pemasangan kolektor dan penyeleksian
spat yang berkualitas baik. Hasil
penyelaman di Banggai tahun 1979 antara
Jurnal Biologi Tropis. Vol 14 No. 1 Januari 2014
900 – 1200/kapal/ hari dan tahun 1980
hanya
90
kerang/kapal/hari
(Anonim,1986). Fluktuasi mutiara antara
tahun 1974 – 1978 menurut Mulyanto
(1987), sangat variatif tapi pada tahun
1975 mencapai hasil tertinggi yaitu
195.921 gram dari 3000 biji) sedangkan
antara tahun 1985 – 1995 hasil yang
paling tinggi terjadi pada tahun 1993 (140
kg) mutiara. Perkembangan produksi
sangat fluktuatif namun harganya relatif
stabil (Anonim, 1988 dan Bunyamin,
1988).
C. Mutiara
Mutiara
berdasarkan
proses
pembuatannya dibagi atas 2 macam,
yaitu: Mutiara asli (mutiara alam =
natural pearl dan mutiara budidaya =
culture
pearl)
serta
mutiara
tiruan/imitasi (imitation pearl).
1. Mutiara Asli
a. Mutiara Alam
Menurut Dwiponggo (1976),
bentuk mutiara alam tergantung dari
bentuk benda yang masuk, ada
kalanya seperti cacing bulat atau
lonjong dan sebagainya. Lapisan
mutiara yang membungkusi benda
asing tersebut berasal dari tubuh
kerang yang menempel pada bagian
kulitnya (mantel) yaitu kantung
sekitar gonad berukuran kecil
(Fatuchri, 1981). Warna dari mutiara
alam tergantung dari daerah tempat
hidupnya
mutiara.
Lokasi
pembentukan mutiara pada Pinctada
sp, menurut Dwiponggo (1976),
terjadi pada suatu kantung (mantel)
atau sekitar gonad berupa kantung
kecil (fucuro) dan kantung bebas
(ukasi) yang terdapat pada rongga
kaki. Menurut Mulyanto (1987),
mutiara alam diperoleh melalui
penyelaman yang dilakukan pada
kedalaman antara 20–60 m.
48
ISSN: 1411-9587
Sejarah Perkembangan Mutiara
Menurut Dwiponggo (1976), pembuat
mutiara imitasi adalah Jaquin dari
Perancis
pada
tahun
1956.
Pembuatan mutiara tiruan/imitasi
menurut
Fatuchri (1981), dapat
menyebabkan merosotnya harga
mutiara
asli
sehingga
sangat
merugikan bagi pengusaha, terutama
pengusaha mutiara yang ada di
Indonesia.
b. Mutiara Budidaya
Mutiara alam dengan mutiara
budidaya ditinjau dari terjadi dan
susunan
kristalnya
sama.
Perbedaannya hanya pada proses
pemasukan mall (inti), yaitu:
secara alami dan secara buatan.
Pada abad ke-20 para ahli
(Nishikawa, Mise dan Mikimoto)
menemukan cara menempatkan
inti secara paten pada mantel
kerang mutiara sehingga usaha
pemeliharaan mutiara dilakukan
secara besar-besaran oleh keluarga
Mikimoto (Jepang). Usaha ini
sampai meluas ke Hongkong,
Birma, Australia dan Indonesia.
Menurut Tun and Tjahjo (1988),
memasukkan inti pada kerang
mutiara dilakukan dengan dua
cara, yaitu:
1) Metode saki okuri, yaitu:
penempatan inti yang didahului
oleh penempatan potongan
mantel atau seibo (+ 3 mm).
2) Metode oto okuri, yaitu:
penempatan
inti
sebelum
penempatan mantel.
Lapisan mutiara memiliki
susunan kristal dan unsur yang
sama dengan yang terdapat dalam
nacreous layer pada kulit, karena
zat-zat mutiara tersebut dihasilkan
oleh sel-sel yang sama dengan sel
pada mantel.
2. Mutiara Tiruan/Imitasi
Mutiara imitasi memiliki inti yang
terbuat dari gelas atau plastik dengan
berbagai macam bentuk. Intinya
berongga yang dilapisi pearls essence
dengan cara di cat atau disemprot
pada permukaan inti kemudian
dikeringkan. Pearls essence terbuat
dari
sisik
ikan
(di
Jepang
menggunakan sisik ikan Layur
trachiurus
lepturus)
yang
mengandung kristal guanin sebagai
bahan pelapis mutiara
imitasi.
Jurnal Biologi Tropis. Vol 14 No. 1 Januari 2014
D. Budidaya Kerang Mutiara
Hasil penelitian dari beberapa ahli
menunjukkan bahwa: butir-butir pasir
serta cacing yang melubangi pada kulit
kerang akan masuk ke dalam tubuhnya
yang menyebabkan kerang memberikan
reaksi sebagai berikut:
1. Sel-sel sekeliling benda asing menjadi
sibuk kerkontraksi secara aktif untuk
menghasilkan
lendir
untuk
membungkus benda asing tersebut agar
tidak terasa sakit, kemudian lapisan
tersebut akan mengeras dan mengkilap,
itulah yang disebut dengan mutiara.
2. Butiran pasir yang masuk dalam tubuh
kerang secara perlahan-lahan akan terlapisi oleh lendir yang akan mengeras
menjadi mutiara sehingga rasa sakit
akan hilang.
3. Aksi yang ditimbulkan itu dapat
dianalogkan dengan keluarnya air mata
kita dalam memberikan reaksi bila ada
benda yang masuk. Alverdes pada
tahun 1913 memasukan potongan
epithelium mantel bersama inti ke
dalam mantel sehingga dalam waktu 7
minggu kantung sudah terbentuk
mutiara (pearl sac).
Kualitas dan nilai mutiara yang
dihasilkan didasarkan pada indikator
seperti: warna, kilauan, transparent,
tekstur, bentuk, ukuran dan berat. Mutiara
budidaya memiliki inti yang terbuat dari
lapisan nacre yang terbentuk dari zat
mutiara yang sama dengan mutiara alam.
Berdasarkan sumbernya mutiara ada 2
49
ISSN: 1411-9587
Sejarah Perkembangan Mutiara
macam, yaitu: mutiara laut dan mutiara air
tawa (biwa). Perbedaannya terletak pada
mall, yaitu : mutiara air tawar malnya
potongan mantel sedangkan air laut
malnya kulit kerang yang sudah diproses
sesuai dengan bentuk yang diinginkan.
Biwa adalah jenis kerang air tawar yang
menghasilkan lendir untuk pembentukan
mutiara dalam prosesnya membutuhkan
waktu 3 tahun sedangkan mutiara air laut
membutuhkan waktu hanya 8 bulan untuk
blister dan 18 – 20 bulan untuk round
(bulat).
B. Saran – saran
Melalui contoh dalam tulisan ini
diharapkan pada semua akademisi
untuk bersifat kritis dalam melihat
mitos yang berkembang ditengah
masyarakat untuk diangkat menjadi
bahan kajian melalui penelitian yang
mendalam tentang rahasia alam untuk
dikembangkan menjadi sesuatu yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia,
terutama yang berkaitan dengan
budidaya kerang mutiara.
DAFTAR PUSTAKA
PENUTUP
Anonim, 1986. Budidaya Mutiara di Nusa
Tenggara
Barat.
Departemen
Pertanian. Balai Informasi Pertanian
NTB. No :F.01/KAN/1986-1987.
Mataram.
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan
bahwa
sejarah
perkembangan mutiara dapat dilihat
dari dua sisi, yaitu : sejarah
perkembangan mutiara dan peranan
para peneliti dalam mengungkapkan
rahasia
alam
yang
dapat
dikembangkan untuk kesejahteraan
manusia, yaitu:
1. Sejarah perkembangan mutiara
sebagai mitos dapat dilihat dari
cerita
tentang
terbentuknya
mutiara dari embun atau air mata
putri yang masuk dalam tubuh
kerang
kemudian
membeku
menjadi mutiara sehingga mampu
mengangkat nilai mutiara sebagai
ratu dari batu permata.
2. Sejarah
perkembangan
usaha
mutiara dari tahapan penyelaman
mutiara alam sampai industri
budidaya merupakan kajian yang
mendalam dari berbagai hasil
penelitian kemudian diaplikasikan
secara komersial dan profesional
untuk
meningkatkanproduksi
mutiara.
Jurnal Biologi Tropis. Vol 14 No. 1 Januari 2014
Anonim, 1988. Ladang-ladang Mutiara dari
Bumi Gora. Mitra Edisi Januari 1988.
Jakarta.
Allen, J.A., 1942. True Pearl Shell (Family
Pteriidae). In Australian Shell.
Georgian house, Melbourne : p. 261.
Asikin, J., 1962. Kerang Mutiara sebagai
penghuni perairan karang yang
penting di Indonesia (Thesis, Sarjana
Biologi
Universitas
Nasional
Indonesia.
Bunyamin Dharma, 1988. Siput dan Kerang
Indonesia (Indonesia Shells). PT.
Sarana Graha, Jakarta.
Chan, 1949. Pearl Cultur in Japan. U.S.
Departement of Interior Fish and
Wildlife Service. Washington 25.
D.C.
Chan,
50
1950. Oyster Cultur in Japan.
U.S.Fish. Widl. Serv.Fish. Leaflet
383. 1 - 80.
ISSN: 1411-9587
Sejarah Perkembangan Mutiara
Dwiponggo, A., 1976. Mutiara Umum.
Lembaga penelitian perikanan laut.
Jakarta.
Fatuchri, M., 1981. Budidaya tiram mutiara.
Prosding.
Seminar
Penelitian
Sumberdaya Perikanan Laut Jakarta.
Herdman, D.A., 1903. Pearl Oyster Fisheries
Part I. The Gulf of Manaar. With
Supplementary Reports upon the
Marine Biology of Ceylon by other
Naturalists. Pub. at the Request of the
Colonial Goverment by the Royal
Society London.
Herdman, D.A., 1904. Pearl Oyster Fisheries
Part II. The Gulf of Manaar. With
Supplementary Reports upon the
Marine Biology of Ceylon by other
Naturalists. Pub. at the
Mulyanto, 1987. Tehnik budidya laut tiram
mutiara di Indonesia Jaringan
informasi
perikanan
Indonesia.
Diterbitkan oleh Direktorat Djendral
Perikanan.
Sutaman,Ir., 1993. Teknik Budidaya dan
Proses Pembuatan Mutiara. Penerbit
Kanisius. Cetakan Pertama. 1993.
Tranter, D.J., 1958. Reproduction in
Australia Pearl Oysters. Pinctada
margaritifera (Linnaus) IV. Division
of Fisheries and Ocean., C.S.I.R.O.,
Cronulla, N.S.W. (25-July 1958.)
Tun, M.T. and Tjahjo W., 1988. Mannual on
Pearl Farming in Indonesia. Proyect
Document
Identification.
INS/81/008/Manual/11.
Jurnal Biologi Tropis. Vol 14 No. 1 Januari 2014
51
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Minyak Daun Selaish ………………
PENGARUH MINYAK DAUN SELASIH (Ocimum spp.) DAN MINYAK
KAYU MANIS (Cinnamomum spp.) BESERTA CAMPURANNYA
TERHADAP TANGKAPAN LALAT BUAH UNTUK PENGEMBANGAN
PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN
Muslihatun, I Putu Artayasa, dan I Wayan Merta
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unram
ABSTRACT
Fruit fly is a pest that attacks many fruits, resulting quality and quantity of local fruit
to be decreased. Control of fruit flies can be done in several ways one of which is by using
attractant traps.This study aimed at finding out whether there is an effect of leaf basil oil
(Ocimum spp.) and cinnamon oil (Cinnamomum spp.) with their mixtures to catch fruit flies.
This research had been conducted at TWA Suranadi on 2nd to 8th of June 2013. In addition,
this research was an experimental study. The population of this study was fruit flies at TWA
Suranadi region, while sample of the study was the fruit flies caught in the trap in area of
TWA Suranadi. The data was collected using Steiner trap. Then, the Data was analyzed using
one-way ANOVA at the significance level of 5% and followed by Tukey’s test at the
significance level of 5%. The results of the data analysis showed that the F-count > F-table
(F-count=6,70 and F-table = 3,29) at the significance level of 5%, so that Ha was accepted. So
that there was influence of basil leaves oil and cinnamon oil to catch fruit flies. The data
analysis followed by Tukey test at the significance level of 5%, so that the most widely
attractant trap fruit fly is attractant cinnamon oil (Cinnamomum spp.).
Key Words: attractant, basil (Ocimum spp.), cinnamon (Cinnamomum spp.), fruit flies,
steiner trap, animal ecology lab.
L
PENDAHULUAN
alat buah masuk dalam ordo Diptera
dan famili Tephritidae. Terdapat
beberapa genus lalat buah. Genus yag
paling banyak mengakibatkan kehilangan
hasil pada berbagai komoditas di Indonesia
adalah Bactrocera sp. Lebih dari 40%
kerugian dalam agronomi diakibatkan oleh
lalat buah. Oleh karena itu, lalat buah
menjadi hama penting untuk dipikirkan
pengelolaannnya (Wicaksono, 2012).
Buah-buahan merupakan tanaman
pertanian yang sangat bermanfaat bagi
kesehatan
tubuh
manusia
karena
mengandung bahan-bahan yang diperlukan
tubuh. Buah-buahan banyak mengandung zat
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
gizi yang dibutuhkan oleh manusia untuk
kesehatan dan pertumbuhan. Serangan
organisme pengganggu tanaman (OPT)
khususnya lalat buah (Bactrocera sp.)
mengakibatkan menurunnya kuantitas dan
kualitas buah-buahan dan sayur-sayuran.
Kerugian yang ditimbulkan oleh lalat buah
diperkirakan mencapai 22 milyar per
tahunnya. Lalat buah telah tersebar hampir di
seluruh kawasan Asia-Pasifik, dengan lebih
dari 26 inang, antara lain belimbing, jambu
air, jambu biji, tomat, cabai merah, melon,
apel, nangka, jeruk dan buah tropika lain
(Zubaidah, 2008).
Pengendalian yang dilakukan pada
umumnya adalah dengan pembungkusan
52
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Minyak Daun Selasih ………………
buah-buahan, pengasapan untuk mengusir
lalat buah, penyemprotan dengan insektisida,
pemadatan tanah di bawah pohon untuk
memutus siklus hidup serta penggunaan
atraktan (zat pemikat) yang salah satunya
berbahan metil eugenol (Kardinan, 2010).
Metil eugenol dapat di buat secara sintesis
dari bahan-bahan kimia, tetapi antraktan
tersebut dapat menyebabkan iritasi pada
kulit. (Rusajun, 2011).
Biji pala (Myristica fragant), daun
selasih (Ocimum santum), daun cemara hantu
(Melaleuca bracteata) adalah beberapa
macam
tanaman
yang
diindikasikan
mengandung senyawa metil eugenol. Dalam
penelitian sebelumnya yakni penelitian yang
di lakukan Kardinan, diketahui bahwa metil
eugenol yang terkandung dalam daun selasih
(Ocimum santum) efektif memerangkap lalat
buah (Bactrocera sp.). Atraktan dapat
digunakan untuk mengendalikan hama lalat
buah dengan tiga cara, yaitu: mendeteksi atau
memonitor populasi lalat buah, menarik lalat
buah untuk kemudian dibunuh dengan
perangkap,
dan
mengacaukan
siklus
perkawinan lalat buah, ataupun mengacaukan
tingkah laku makan lalat buah (Kardinan,
2007).
Di Pulau Lombok sendiri penelitian
tentang atraktan, khususnya atraktan nabati
masih sangat kurang, sehingga informasi
tentang jenis tumbuhan yang dapat
dipergunakan sebagai atraktan masih sangat
minim. Beberapa jenis atraktan nabati yang
pernah diteliti sebelumnya, yaitu atraktan
minyak cengkeh, minyak kayu putih, minyak
pala, dan minyak serei. Sedangkan untuk
minyak daun selasih dan minyak kayu manis
belum dipergunakan dalam penelitianyang
sebelumnya. Dari survey yang telah
dilakukan di TWA Suranadi, menunjukkan
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
bahwa keberadaan lalat buah di lokasi ini
sangat banyak. Hal ini terlihat dari adanya
lalat buah yang berterbangan hampir di
semua lokasi di TWA Suranadi. Sehingga
TWA Suranadi menjadi prioritas utama
sebagai lokasi penelitian untuk meneliti
tentang lalat buah. Selain itu di kawasan ini
juga dapat disaksikan fenomena ekologi yang
sangat menarik berupa berbagai macam
bentuk simbiosis tumbuhan dari sekedar
simbiosis menumpang seperti tumbuhan
merambat (liana) sampai dengan strangler
(mencekik) seperti yang terjadi pada pohon
Pulai (Alstonia scholaris) dan Beringin
(Ficus benjamina). Fenomena ini menjadikan
kawasan TWA Suranadi cocok untuk
kegiatan wisata pendidikan (Wahyuni dan
Mildrayana, 2010). Kawasan TWA Suranadi
juga sering digunakan oleh mahasiswa
ataupun
dosen
untuk
melaksanakan
praktikum ataupun penelitian. Sehingga
nantinya hasil penelitian ini juga dapat
digunakan untuk pengembangan praktikum,
khususnya praktikum ekologi hewan.
Terdapat dua jenis minyak yang akan
diuji yaitu minyak dari tanaman Selasih dan
minyak dari tanaman Kayu manis. Minyak
dari daun selasih mengandung metil eugenol
berkisar antara 64-80% dan hasil penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa metil
eugenol dari tumbuhan tersebut efektif
memerangkap lalat buah (Kardinan, 2005).
Sementara minyak kayu manis dipilih karena
rata-rata kadar eugenolnya sekitar 70–80%
(Rismunandar, 1993). Selain itu, kedua jenis
tanaman ini dipilih karena belum ada yang
mencoba untuk mencampur kedua jenis
minyak sebagai atraktan nabati alternatif.
Sehingga nantinya atraktan nabati juga dapat
digunakan
sebagai
alternatif
dalam
melaksanakan
praktikum
khususya
53
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Minyak Daun Selasih ………………
praktikum yang berkaitan dengan lalat buah.
Dengan demikian praktikum ekologi hewan
dapat lebih berkembang.
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka perlu untuk dilakukan penelitian
dengan judul “Pengaruh minyak daun
selasih (Ocimum spp.) dan minyak kayu
manis (Cinnamomum spp.) beserta
campurannya terhadap tangkapan lalat
buah untuk pengembangan praktikum
ekologi hewan”.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Kawasan
TWA Suranadi selama 6 hari yaitu pada
tanggal 02 - 08 Juni 2013. Rancangan
penelitian menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) faktor tunggal dengan 24
satuan percobaan. Perlakuan berjumlah
empat buah yaitu: (1) air; (2) selasih; (3)kayu
manis; dan (4) selasih dan kayu manis dan
masing-masing perlakuan diulang sebanyak
enam kali. Minyak daun slasih dan minyak
kayu manis yang digunakan pada penelitian
ini adalah minyak yang telah tersedia di toko.
Volume atraktan yang digunakan yaitu 10
tetes pada tiap perangkap, dan perbandingan
volume atraktan dari campuran minyak pala
dan minyak cengkeh yaitu 1:1.
Perangkap yang digunakan yaitu Steiner
trap modifikasi berwarna kuning, terbuat dari
botol air mineral bekas (volume 1500 mL)
(Gambar 1), kawat, kapas, air, dan atraktan.
Bagian sisi-sisi botol dilubangi sebagai jalan
masuk lalat buah. Kemudian perangkap
dilapisi dengan plastik berwarna kuning, agar
perangkap menyerupai buah yang telah
matang. Perangkap dibuat sebanyak 8 buah
dengan pemberian 4 perlakuan yang berbedabeda, masing-masing perlakuan diwakili oleh
dua buah perangkap. Perlakuan yang
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
diberikan yaitu dengan atraktan minyak
selasih, minyak kayu manis, campuran
minyak selasih dan kayu manis, dan yang
terakhir dengan air biasa. Untuk perlakuan
dengan atraktan minyak daun selasih, minyak
kayu manis serta campuran minyak daun
selasih dan minyak kayu manis, mengunakan
10 tetes pada perangkap yang berbeda, dan
ditambahkan 10 tetes setiap harinya.
Sepertiga bagian botol diisi dengan air,
sedangkan atraktannya diteteskan pada kapas
dan digantungkan di dalam botol, tetapi
jangan sampai menyentuh air.
Perangkap beratraktan digantung di
pohon setinggi ±2 meter dari permukaan
tanah. Jarak antar pohon tempat meletakkan
perangkap yaitu ±3 meter, untuk setiap
perlakuan yang sama, dan ±10 meter untuk
perlakuan
yang
berbeda.
Peletakkan
perangkap dilakukan pada pagi hari sekitar
jam 08.00 WITA dan dibiarkan selama 1
hari. Pengambilan
sampel
dilakukan
keesokan harinya pada pagi hari sekitar jam
08.00 WITA. Pengulangan dilakukan 6 kali
dengan 6 hari yang berbeda dimana setiap
pengulangan disertai penetesan kembali
atraktan sebanyak 10 tetes.
Sampel lalat buah yang terperangkap
kemudian disimpan di kantong plastik,
dilakukan perhitungan jumlah lalat buah
yang terperangkap.
Gambar 1. Perangkap steiner (foto langsung)
54
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Minyak Daun Selasih ………………
HASIL PENELITIAN
Perangkap lalat buah dengan bantuan
senyawa pemikat metil eugenol yang berasal
dari atraktan nabati minyak daun selasih,
minyak kayu manis dan campuran antara
keduanya yang diletakkan di kawasan TWA
Suranadi selama satu minggu menunjukkan
bahwa lalat buah yang tertangkap dengan
atraktan nabati ini, yaitu lalat buah dari jenis
Bactrocera dorsalis Complex (Gambar 4.1)
dan Bactrocera umbrosus Fabricus (Gambar
4.2).
Bactrocera dorsalis Complex dapat
diidentifikasi dari dua pita/garis melintang
dan satu pita membujur berwarna hitam
(menyerupai huruf T) yang ada pada bagian
abdomen dengan sayap yang tidak berwarna
(transparan).
Sedangkan
Bactrocera
umbrosus Fabricus dapat diidentifikasi
dengan adanya tiga pita melintang pada
bagian sayapnya.
Data hasil pengamatan menunjukkan
bahwa perangkap lalat buah yang diletakkan
di TWA Suranadi selama satu minggu dapat
memerangkap lalat buah, seperti yang dapat
dilihat pada tabel hasil pengamatan (Tabel
4.1). Pada tabel tersebut terlihat jumlah
tangkapan alat buah dari empat perlakuan
yang berbeda. Pada perlakuan A (kontrol)
tidak ada lalat yang terperangkap (0
individu), perlakuan B (atraktan minyak daun
selasih) sebanyak 10 individu, perlakuan C
(atraktan minyak kayu manis) sebesar 12
individu, dan perlakuan D (atraktan
campuran minyak daun selasih dan minyak
kayu manis) yaitu sebesar 5 individu.
Sebagian besar lalat buah yang tertangkap
termasuk dari jenis Bactrocera dorsalis
Complex jantan.
Berdasarkan nilai rata-rata hasil
tangkapan lalat buah, perangkap dengan
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
perlakuan
A
diperoleh
rata-rata
0
individu/perangkap/hari,
perlakuan
B
(atraktan minyak selasih) sebanyak 1,67
individu/perangkap/hari, untuk perlakuan C
(atraktan miyak kayu manis) dan D (atraktan
campuran minyak daun selasih dan linyak
kayu manis) diperoleh rata-rata berturut-turut
2
individu/perangkap/hari
dan
0,83
individu/perangkap/hari.
Gambar 4.1. A. Bactrocera dorsalis
Complex; B. abdomen B. dorsalis Complex.
Gambar 4.2. Bactrocera umbrosus Fabricus
55
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Minyak Daun Selasih ………………
Tabel 4.1. Data hasil jumlah tangkapan lalat buah setelah diberi perlakuan pemberian minyak
daun selasih, minyak kayu manis, dan campuran minyak daun selasih dan minyak
kayu manis pada perangkap lalat buah
No.
Ulangan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1
2
3
4
5
6
Jumlah
Rata-rata (x)
%
Jumlah tangkapan lalat buah
Kontrol
Perlakuan Perlakuan Perlakuan
A
B
C
D
0
0
1
0
0
1
0
0
0
2
2
0
0
1
2
0
0
2
4
2
0
4
3
3
0
10
12
5
0
1,67
2
0,83
0%
37,04%
44,44%
18,52%
Untuk mengetahui pengaruh minyak
daun selasih (Ocimum spp.) dan minyak kayu
manis
(Cinnamomum
spp.)
beserta
campurannya terhadap tangkapan lalat buah
dilakukan uji statistik dengan menggunakan
analisis varians (ANOVA) satu arah pada
taraf 5%. Hasil uji statistik diperoleh nilai
nilai
yaitu 6,70 sementara untuk
Jumlah
1
1
4
3
8
10
27
yaitu 3,29. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa
>
pada taraf
5%, sehingga Ha diterima. Artinya ada
pengaruh minyak daun selasih (Ocimum
spp.) dan minyak kayu manis (Cinnamomum
spp.)
beserta
campurannya
terhadap
tangkapan lalat buah (Tabel 4.2).
Tabel 4.2. Hasil Analisis Varians (ANOVA) satu arah dari jumlah tangkapan lalat buah
setelah diberikan perlakuan minyak daun selasih, minyak kayu manis dan
campurannya di TWA Suranadi.
No.
1
2
3
4
Sumber Variasi
Perlakuan
Ulangan
Galat
Total
db
3
5
15
23
JK
14.46
17.38
10.79
42.63
Hasil analisis BNJ (Beda Nyata Jujur)
pada taraf nyata 5% menunjukkan bahwa
perlakuan kontrol (A), perlakuan minyak
daun selasih (B) dan perlakuan campuran
minyak daun selasih dan minyak kayu manis
(D) tidak memiliki beda yang nyata (Tabel
4.3). Hal ini terlihat dari notasi dari ketiga
perlakuan tersebut yang diikuti oleh notasi
huruf yang sama, yaitu huruf “a”. Begitu juga
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
KT
4.82
3.48
0.72
6.70
5%
3.29
dengan perlakuan antara campuran minyak
daun selasih dan kayu manis (D), miyak daun
selasih (B) dan minyak kayu mnais (C),
ketiganya juga tidak memiliki beda nyata,
karena sama-sama diikuti oleh notasi huruf
“b”. Namun perlakuan air saja (A) berbeda
nyata dengan perlakuan minyak kayu manis
(C). Meskipun perlakuan minyak daun
selasih (B) tidak berbeda nyata dengn
56
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Minyak Daun Selasih ………………
perlakuan minyak kayu manis (C), namun
jika dilihat dari nilai rata-rata keduanya,
maka minyak kayu manis memiliki nilai
yang lebih besar. Sehingga dapat dikatakan
bahwa minyak kayu manis lebih banyak
menarik lalat buah dibadingkan dengan
minyak
daun
selasih.
Tabel 4.3. Hasil uji BNJ dari jumlah tangkapan lalat buah setelah diberikan perlakuan minyak
daun selasih, minyak kayu manis dan campurannya di TWA Suranadi.
No
1
2
3
4
5
Perlakuan
A (Kontrol)
D (Campuran)
B (Minyak selasih)
C (Minyak Kayu manis)
0,05
Rata-rata
0,00
0,85
1,67
2,00
1,27
Notasi
A
Ab
B
B
Hasil penelitian ini dapat digunakan
untuk mengembangkan praktikum ekologi
hewan, khususnya yang berkaitan dengan
lalat buah. Pengembangannya tersebut
berupa petunjuk praktikum, selain itu minyak
yang dipergunakan dalam penelitian ini juga
dapat dijadikan sebagai salah satu atraktan
untuk menangkap lalat buah. Sehingga dalam
pelaksanaan
praktikum,
tidak
hanya
menggunakan atraktan sintesis metil eugenol
saja tetapi juga dapat menggunakan atraktan
nabati dari minyak daun selasih dan minyak
kayu manis.
PEMBAHASAN
Lalat buah merupakan salah satu hama utama
yang menyerang buah-buahan dan sayursayuran. Hama ini sudah menyebar di seluruh
wilayah Indonesia, dan menimbulkan begitu
banyak kerugian khususnya bagi para petani
buah-buahan, baik petani besar maupun
kecil. Buah-buahan yang biasanya diserang
oleh lalat buah yaitu buah-buahan yang
memiliki tekstur lembek dan berdaging,
seperti mangga, belimbing, apel, papaya,
nangka, jambu biji, jambu air, melon dan lain
sebagainya. Buah-buahan tersebut dijadikan
sebagai tempat meletakkan telur bagi lalat
buah betina dengan menggunakan ovipositor
(alat peletak telur).
Menurut Putra (1997), lalat buah
betina sangat menyukai inang yang berupa
buah setengah masak, karena mengandung
asam askorbat dan sukrosa dalam jumlah
maksimal. Buah yang telah terserang oleh
lalat buah ini lama kelamaan akan menjadi
busuk dan berulat, sehingga dapat
mengurangi kualitas buah-buahan bahkan
tidak dapat dipanen. Hal ini ditegaskan oleh
Putra (1997), bahwa hama lalat buah
mengakibatkan kerugian kuantitatif dan
kualitatif yang sangat besar. Kerugian
kuantitatif terjadi karena adanya penurunan
jumlah hasil panen buah-buahan dan sayuran,
yang disebabkan oleh kerusakan pada buahbuahan dan sayur-sayuran sehingga tidak
dapat dipanen. Kerugian kualitatif terjadi
karena penurunan kualitas buah dan sayuran
akibat
adanya
kerusakan,
seperti
pembusukan.
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
57
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Minyak Daun Selasih ………………
Salah satu cara yang dapat digunakan
untuk mengendalikan hama lalat buah
tersebut
yaitu
dengan
menggunakan
perangkap beratraktan. Perangkap ini
dipasang pada tanaman yang berbuah atau
tanaman-tanaman yang ada disekitar tanaman
yang berbuah. Atraktan diteteskan pada
kapas yang ada di bagian dalam perangkap,
atau dengan kata lain atraktan tersebut
digunakan sebagai umpan bagi lalat buah.
Hasil penelitian yang dilakukan di
kawasan TWA Suranadi menunjukkan
bahwa atraktan nabati dari minyak daun
selasih dan minyak kayu manis dapat
memerangkap lalat buah. Hal ini dikarenakan
minyak daun selasih dan minyak kayu manis
mengandung senyawa metil eugenol. Metil
eugenol merupakan zat yang unik karena zat
ini merupakan food lure atau dibutukan oleh
lalat buah jantan untuk dikonsumsi. Di dalam
tubuh lalat buah jantan, metil eugenol
diproses menjadi zat pemikat (sex
pheromone) yang berguna dalam proses
perkawinan (Kardinan, 2005).
Jenis atraktan dari tumbuhan berbeda
memiliki kandungan senyawa metil eugenol
yang berbeda. Menurut Kardinan (2005),
minyak sulingan dari daun selasih
mengandung metil eugenol berkisar antara
64-80% dan hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa metil eugenol dari
tumbuhan tersebut efektif memerangkap
lalat buah. Sementara minyak kayu manis
memiliki rata-rata kadar eugenol sekitar 70–
80% (Rismunandar, 1993). Kedua atraktan
ini tidak menimbulkan efek negatif, misalnya
iritasi kulit maupun efeknya bagi lingkungan
seperti yang ditimbulkan oleh insektisida.
Hal ini dikarenakan kedua atraktan ini
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
berasal dari tumbuh-tumbuhan, sehingga
aman untuk digunakan. Atraktan yang
digunakan tanpa menimbulkan dampak
negatif yang ditimbulkan akan merusak
tanaman yang terserang hama lalat buah
(Zubaidah, 2008). Penggunaan insektisida
dalam mengendalikan hama lalat buah, dapat
meninggalkan residu insektisida dan juga
dapat membunuh serangga berguna, seperti
musuh alami hama dan serangga berguna
lainya (Supriyana [2005] dalam Zubaidah
[2008]).
Salah satu cara yang dapat digunakan
untuk menarik serangga, yaitu dengan
memberikan zat penarik (atraktan) yang
mengandung metil eugenol. Tanaman selasih
dan kayu manis memiliki kandungan metil
eugenol, artinya kedua tanaman ini juga
merupakan food lure bagi lalat buah,
khususnya lalat buah jantan. Metil eugenol
merupakan zat yang mudah menguap,
sehingga akan mudah menyebar di
lingkungan.
Menurut Kardinan (2005) radius
aroma atraktan dari metil eugenol mencapai
20-100 m, tetapi jika dibantu angin,
jangkauannya bisa mencapai 3 km. Dengan
demikian jika di dalam perangkap diberikan
minyak daun selasih atau minyak kayu manis
yang memiliki kandungan metil eugenol, dan
lalat buah jantan mencium aroma dari metil
eugenol tersebut, maka lalat buah jantan ini
akan segera datang ke sumber aromanya.
Pada penelitian yang dilakukan di
kawasan TWA Suranadi, diperoleh dua jenis
lalat buah yang tertangkap dalam perangkap
lalat buah yaitu, spesies Bactrocera dorsalis
Hend. dan Bactrocera umbrosus Fab. Lalat
buah yang tertangkap kebanyakan dari
58
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Minyak Daun Selasih ………………
spesies Bactrocera dorsalis, yaitu 25
individu, sementara untuk Bactrocera
umbrosus hanya 2 individu. Dari semua
individu lalat buah yang tertangkap tidak ada
satupun lalat buah betina, semuanya adalah
lalat buah jantan. Hal ini disebabkan karena
senyawa metil eugenol sangat dibutuhkan
oleh lalat buah jantan untuk dikonsumsi
(food lure). Jika lalat buah jantan mencium
aroma metil eugenol, lalat buah tersebut akan
berusaha mencari sumber aroma tersebut dan
memakannya. Kemudian metil eugenol
tersebut akan diproses menjadi zat pemikat
(sex pheromone) yang akan berguna dalam
proses perkawinan. Karena dalam proses
perkawinan lalat buah betina hanya mencari
lalat buah jantan yang telah mengkonsumsi
metil eugenol (Kardinan, 2005).
Hasil tangkapan lalat buah di TWA
Suranadi ini tergolong sedikit. Hal ini
dikarenakan penelitian dilakukan ketika
sebagaian besar tanaman telah selesai
berbuah atau telah melewati musim berbuah
dan hanya beberapa tanaman saja yang masih
tetap berbuah. Selain itu, keadaan iklim juga
tidak mendukung tertangkapnya lalat buah,
karena saat penelitian sering turun hujan dan
disertai angin yang cukup kencang, sehingga
mengakibatkan kurang aktifnya lalat buah
untuk melakukan aktifitasnya. Menurut Putra
(1997), intensitas serangan dan populasi lalat
buah pada buah-buahan serta sayuran akan
meningkat pada iklim yang sejuk,
kelembaban tinggi dan angin yang tidak
terlalu kencang.
Spesies Bactrocera dorsalis yang
tertangkap dalam perangkap jauh lebih
banyak dibandingkan dengan spesies
Bactrocera
umbrosus.
Salah
satu
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
penyebabnya yaitu, karena Bactrocera
dorsalis memiliki tanaman inang yang lebih
banyak daripada tanaman inang Bactrocera
umbrosus. Di kawasan TWA Suranadi ada
beberapa tanaman yang menjadi inang bagi
lalat buah, seperti sirsak, nangka, mangga,
belinjo, senggapur, sawo, jambu biji dan lain
sebagainya. Dari semua jenis tanaman yang
telah disebutkan, spesies Bactrocera
umbrosus biasanya menyukai buah nangka
sebagai tanaman inangnya (Putra, 1997).
Rata-rata jumlah tangkapan lalat buah
di TWA Suranadi ditunjukkan pada diagram
batang rata-rata jumlah tangkapan lalat buah
(Gambar 4.3). Berdasarkan diagram tersebut
terlihat bahwa rata-rata jumlah tangkapan
menggunakan atraktan minyak kayu manis
memiliki nilai rata-rata tertinggi, kemudian
dibawahnya ada rata-rata tangkapan dengan
menggunkan atraktan minyak daun selasih
dan minyak campuran antara minyak kayu
manis dan minyak daun selasih. Sementara
rata-rata jumlah tangkapan lalat buah dengan
perlakuan air saja (kontrol), yaitu 0 individu.
Rata-rata jumlah tangkapan lalat buah
dengan perlakuan campuran minyak daun
selasih dan minyak kayu manis memiliki
hasil yang paling sedikit dan tidak berbeda
nyata
dengan
perlakuan
kontrol,
dibandingkan
dengan
rata-rata
hasil
tangkapan pada perangkap dengan perlakuan
minyak daun selasih dan perlakuan minyak
kayu manis.
Kombinasi dari kedua jenis minyak
tersebut tidak bisa dikatakan sinergis karena
di satu pihak minyak daun selasih
meningkatkan efektifitas minyak kayu manis,
tetapi di lain pihak minyak kayu manis
menurunkan efektifitas minyak daun selasih.
59
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Minyak Daun Selasih ………………
Namun untuk mengetahui jenis kandungan
zat yang bereaksi dari campuran minyak
daun selasih dan minyak kayu manis yang
menyebabkan hasil tangkapan lalat buah
yang sedikit, membutuhkan penelitian yang
lebih mendalam. Menurut Kardinan (2007),
pencampuran dua jenis bahan kimia dapat
bersifat antagonis (saling merugikan) atau
sinergis (saling menguntungkan).
Hasil penelitian ini dapat digunakan
untuk mengembangkan praktikum ekologi
hewan, khususnya praktikum yang berkaitan
dengan
lalat
buah.
Pengembanganpengembangan tersebut seperti, alternatif
pilihan penggunaan atraktan yang digunakan
untuk menangkap lalat buah menjadi
bertambah, tidak hanya menggunakan
atraktan
sintetis
tetapi
juga
dapat
menggunakan atraktan nabati minyak daun
selasih atau minyak kayu manis sebagai
alternatif
lain
ketika
melaksanakan
praktikum. Selain itu cara kerja dalam
penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai
petunjuk praktikum pada praktikum ekologi
hewan khususnya tentang lalat buah,
sehingga dapat memudahkan mahasiswa
dalam melaksanakan praktikum. Dengan
demikian
praktikum
ekologi
hewan
khususnya di FKIP UNRAM Jurusan Biologi
menjadi lebih berkembang dan dalam
pelaksanannya juga akan lebih sistematis
karena ada petunjuk praktikum yang menjadi
acuan pelaksaan praktikum. Pengembangan
ini juga tidak terbatas pada FKIP saja, tetapi
juga dapat di aplikasikan di lembaga
pendidikan lainnya yang memiliki pokok
bahasan yang sama, yaitu tentang lalat buah.
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
dapat diperoleh kesimpulan bahwa, ada
pengaruh minyak daun selasih (Ocimum
spp.) dan minyak kayu manis (Cinnamomum
spp.) terhadap tangkapan lalat buah. Hal ini
terlihat dari nilai
>
pada taraf
nyata 5%, selain itu perlakuan dengan
menggunakan minyak daun selasih (B) dan
minyak kayu manis (C) berbeda nyata
dengan
perlakuan
menggunakan
air
saja/control (A).
DAFTAR PUSTAKA
Putra, N. S. 1997. Hama lalat Buah &
Pengendaliannya.
Yogyakarta:
Kanisus.
Kardinan. A. 2005. Tanaman Penghasil
Minyak Atsiri. Jakarta: AgroMedia
Pustaka.
Rismunandar. 1993. Kayu manis. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Wahyuni, T. W., Mildrayana, E. 2010.
Panduan Wisata Alam di Kawasan
Konservasi Nusa Tenggara Barat.
Mataram: BKSD NTB.
Kardinan, A. 2007. Pengaruh Campuran
Beberapa Jenis Minyak Nabati
Terhadap Daya Tangkap Lalat Buah.
Bul. Littro (1): 60 – 66. Dikutip dari
balittro.litbang.deptan.go.id/ind/imag
es/stories/.../6- lalatbuah.pdf. Diakses
pada tanggal 19 Maret 2013.
Kardinan, A. 2010. Tanaman Aromatik
Pengendali Lalat Buah. Dikutip dari
http://www.litbang.deptan.go.id/artik
el/one/164/pdf/Tanaman%20Aromati
k%20Pengendali%20Hama%20Lalat
60
ISSN: 1411-9587
Pengaruh Minyak Daun Selasih ………………
%20Buah.pdf. Diakses pada tanggal
23 Maret 2013.
Rusajun, A. 2011. Laporan Penelitian
Perangkap lalat Buah. Dikutip dari
http://alimrusajun.blogspot.com/2011
/07/laporan-penelitian-perangkaplalat-buah.html. Diakses pada tanggal
10 April 2013.
Wicaksono, D. 2012. Pengelolaan Hama
Lalat Buah Bactrocera spp. Pada
Tanaman Mangga. Dikutip dari
http://infonesiia.wordpress.com/2012/
07/09/pengelolaan-hama-lalat-buahbactrocera-spp-pada-tanamanmangga-pemberdayaan-musuhalami/. Diakses pada tanggal 19
Maret 2013.
Zubaidah, S. 2008. Daya Atraktan Ekstrak
Daun Selasih (Ocimum santum) dan Biji
Pala (Myristica fragrans) Terhadap
Lalat Buah (Bactrocera sp.). Skripsi.
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
Dikutip
dari
http://lib.uinmalang.ac.id/thesis/fullchapter/04520013
-siti-zubaidah.ps. Diakses pada tanggal
21 Maret 2013.
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
61
ISSN: 1411-9587
Aplikasi Pupuk Organik Cair …………
APLIKASI PUPUK ORGANIK CAIR
UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN KEDELAI
(Glycine max L.)
Ahmad Raksun
Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UNRAM
ABSTRACT
A research about the application of liquid organic fertilizer to increase the growth of soy bean
has done in Pagutan, Mataram. The objective of this research are: (1) to know the effect of
liquid organic fertilizer to the growth of soy bean (2) to know the dose of liquid organic
fertilizer in oder that soy bean can grow optimally. Complately randomized design with four
replicates were used in this research. The result of this research are: (1) the application of
liquid organic fertilizer can increas the growth of soy bean, (2) aplication 3,5 ml liquid
organic fertilizer/50 ml water cause the better growth than other treatment.
Key Words: liquid organic fertilizer, growth, soy bean
P
I. PENDAHULUAN
upuk organik adalah pupuk yang
terbuat dari materi mahluk hidup, yang
dapat berupa pelapukan
sisa-sisa
tanaman dan hewan. Pupuk organik dapat
berbentuk padat atau cair yang digunakan
untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan
biologi media tanam. Pupuk organik
mengandung banyak bahan organik, adapun
sumber bahan organik berasal dari sisa
tanaman dan atau hewan (Suriadikarta dkk,
2002)
Pupuk organik cair mengandung
nutrisi super lengkap yang dibutuhkan oleh
tanaman untuk menghasilkan produktivitas
yang optimal (Anonima, 2013). Keunggulan
dari pupuk organik cair adalah dapat
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
hama dan penyakit, kandungan unsur hara
seimbang,
mudah
diserap
tanaman,
meningkatkan aktifitas mikroba dan enzim,
meningkatkan
hasil
panen,
ramah
lingkungan, meningkatkan kesuburan media
tanam dan aman bagi pengguna (Anonimb,
2013).
Berbagai
hasil
penelitian
menunjukkan, bahwa pemanfaatan pupuk
organik
berdampak positif terhadap
ketersedian hara, pertumbuhan dan produksi
tanaman. Hasil penelitian yang dilakukan
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
62
oleh Jedeng (2013) menunjukkan bahwa
perlakuan pupuk organik berpengaruh sangat
nyata terhadap berat segar dan berat kering
oven umbi tanaman ubi jalar. Pemberian
pupuk organik cair dapat meningkatkan berat
basah dan diameter umbi kentang (Parman,
2007). Pemberian pupuk organik dapat
meningkatkan jumlah N total tanah serta
meningkatkan pertumbuhan serta hasil panen
jahe (Latifah dan Arifin, 2012). Pemberian
pupuk organik biogreen granul dapat
memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi
tanah,
berpengaruh
positif
terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman bawang
merah pada tanah dengan kandungan organik
rendah
(Wahyunindyawati
dkk,
2012).Pemanfatan pupuk organik Sulfomag
plus dapat meningkatkan tinggi dan berat
kering tanaman jagung, C-organik, N-total
tanah dan berat produksi (Chairani, 2005).
Untuk mengetahui pengaruh aplikasi
pupuk organik cair terhadap pertumbuhan
kedelai maka dilakukan penelitian tentang
aplikasi pupuk organik cair untuk
meningkatkan pertumbuhan kedelai yang
dilakukan di Kelurahan Pagutan Kota
Mataram. Adapun tujuan dilaksanakannya
penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1)
pengaruh pemberian pupuk organik terhadap
pertumbuhan kedelai, (2) dosis
pupuk
ISSN: 1411-9587
Aplikasi Pupuk Organik Cair …………
organik cair yang harus diberikan agar
kedelai dapat tumbuh secara optimal.
II BAHAN DAN METODE
Bahan-bahan yg digunakan dalam
penelitian ini adalah adalah tanah sawah
sebagai
media
tanam,
bahan-bahan
pembuatan rumah kaca sederhana (tali rapia
plastik transparan, bambu, dan besi paku),
benih kedelai dan kertas label. Sedangkan
alat-alat yang digunakan adalah pot plastik,
timbangan, parang, alat tulis menulis,
cangkul, ember plastik, palu, dan gunting.
Media tanam yang digunakan adalah
tanah sawah yang diambil dari lahan
pertanian
Kelurahan Pagutan. Sebelum
digunkan, tanah terlebih dahulu dikeringkan,
dibersihkan dari batu dan sisa tanaman dan
diayak. Tanah ditimbang dan dimasukkan ke
dalam polybag sebanyak 10 kg tanah untuk
setiap polybag. Selanjutnya media ditanami
benih kedelai sebanyak 5 benih untuk setiap
unit percobaan. Setelah 10 hari penanaman
dilakukan
seleksi
tanaman
dengan
menyisakan hanya 1 tanaman kedelai yang
pertumbuhannya homogen, sedangkan yang
lain dihilangkan.
Dalam penelitian ini digunakan
rancangan acak lengkap
dengan empat
ulangan (Hanafiah, 1994). Penggunaan
pupuk organik cair terdiri atas 10 level yaitu:
Po = tanpa pemberian pupuk organik cair
(kontrol), P1 = pemberian 0,5 ml pupuk
organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air,
P2 = pemberian 1 ml pupuk organik cair yang
dilarutkan dalam 50 ml air, P3 = pemberian
1,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan
dalam 50 ml air, P4 = pemberian 2 ml pupuk
organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air,
P5 = pemberian 2,5 ml pupuk organik cair
yang dilarutkan dalam 50 ml air, P6 =
pemberian 3 ml pupuk organik cair yang
dilarutkan dalam 50 ml air, P7 = pemberian
3,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan
dalam 50 ml air, P8 = pemberian 4 ml pupuk
organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air,
P9 = pemberian 4,5 ml pupuk organik cair
yang dilarutkan dalam 50 ml air.
Setelah tanaman kedelai berumur 35
hari, dilakukan pengukuran tinggi batang,
berat basah batang, berat kering barang,
berat basah daun dan berat kering daun. Data
kuantitatif hasil pengukuran parameter di
atas dianalisis dengan analisis sidik ragam
dan uji lanjut dengan Uji Beda Nyata
Terkecil (Gomez dan Gomez, 1995)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil Penelitian
Pengukuran
terhadap
semua
parameter pertumbuhan dilakukan setelah
tanaman berumur 35 hari. Hasil analisis data
yang meliputi tinggi batang, berat basah
batang, berat kering batang, berat basah dan
berat kering daun kedelai akibat aplikasi
pupuk organik cair terdapat pada tabel
berikut.
Tabel 1. Rerata berat basah batang, berat kering batang, tinggi batang, berat basah dan berat
kering daun kedelai akibat aplikasi pupuk organik
PerlaTinggi
Berat Basah Berat Kering
Berat Basah
Berat Kering
kuan Batang (cm) Batang (gr)
Batang (gr)
Daun (gr)
Daun (gr)
P0
34
29
14
28
8
P1
36
33
16
32
10
P2
37
36
17
38
11
P3
38
40
19
42
12
P4
40
43
23
44
12
P5
41
48
26
47
13
P6
43
58
28
49
15
P7
48
64
32
56
18
P8
46
62
30
54
17
P9
46
62
31
53
17
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
63
ISSN: 1411-9587
Aplikasi Pupuk Organik Cair …………
Keterangan
P0 = tampa pemberian pupuk organik cair (kontrol)
P1 = Pemberian 0,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air
P2 = Pemberian 1 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air
P3 = Pemberian 1,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air
P4 = Pemberian 2 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air
B5 = Pemberian 2,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air
P6 = Pemberian 3 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air
P7 = Pemberian 3,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air
P8 = Pemberian 4 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air
P9 = Pemberian 4,5 ml pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 ml air
Selanjutnya
untuk
mengetahui terhadap tinggi batang setelah 45 hari
pengaruh pemberian pupuk organik cair penanaman, berat kering biji per plot dan
terhadap semua parameter pertumbuhan berat kering biji per hektar. Pemberian
maka dilakukan analisis data dengan analisis pupuk organik bokashi kotoran sapi dan
sidik ragam dan uji lanjut dengan uji beda eceng gondok dapat meningkatkan bobot
nyata terkecil (BNT). Hasil analisis sidik berangkasan tanaman tomat (Soverda dkk,
ragam pengaruh pemberian pupuk organik 2008). Pemberian berbagai dosis pupuk
cair terhadap semua parameter yang diukur organik bokashi berpengaruh nyata terhadap
menunjukkan bahwa aplikasi pupuk organik tinggi tanaman kedelai (Simaptupang, 1999).
cair berpengaruh nyata terhadap semua Pemanfaatan pupuk organik bokashi dan
parameter yang diukur
NPK berpengaruh nyata terhadap laju
pertumbuhan daun, berat basah crop dan
3.2. Pembahasan
Hasil analisis data menunjukkan diameter crop tanaman kubis. Perlakuan
bahwa tanaman kedelai yang tumbuh pada bokashi limbah padat pabrik kertas 35 ton/ha
media tanpa pemberian pupuk organik cair dan 200 kg/ha pupuk NPK mampu
memiliki rerata tinggi batang, berat basah memberikan hasil berat basah crop 1,66
batang, berat kering batang, berat basah kg/tanaman (Hidayat dan Sugiarti, 2006).
daun dan berat kering daun masing-masing Media terbaik untuk pertumbuhan semai
adalah 34 cm , 29 gr, 14 gr, 28 gr dan 8 gr. eboni adalah pupuk organik EM bokashi
Selanjutnya pada setiap unit percobaan yang karena media ini dapat meningkatkan
diberi pupuk organik cair, rerata semua solubilitas dan viabilitas hara dalam tanah
parameter yang diukur meningkat sejalan dan memberikan pertumbuhan semai eboni
dengan meningkatnya dosis pupuk organik yang optimal (Sumiasri dan Setyowati,
cair yang diberikan. Namun demikian mulai 2006). Penambahan bokashi dalam dosis 250
dari perlakuan 3,5 ml sampai dengan 4,5 ml g pada media tanah NPK dapat mendukung
pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50 pertumbuhan cabe var. Inko 99 lebih optimal
ml air, rerata semua parameter yang diamati dengan tinggi tanaman 71,15 cm dan jumlah
tidak menunjukkan adanya peningkatan yang cabang produktif 40,75 buah (Gustia, 2009).
signifikan.
Kedelai varietas galunggung merespon
Hasil
analisis
sidik
ragam secara signifikan terhadap kompos limbah
menunjukkan bahwa aplikasi pupuk organik kelapa sawit, produksi meningkat secara
cair berpengaruh secara signifikan terhadap sigifikan (Darma, 2000). Pemberian pupuk
semua parameter yang diukur. Hal ini sejalan kandang 30 ton/ha yang dikombinasikan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh dengan kapur 2 ton/ha menghasilkan
sejumlah peneliti lainnya yaitu Marliah dkk pertumbuhan tanaman terbaik dengan rataan
(2011) menyimpulkan bahwa pupuk organik tinggi tanaman 80,7 cm, jumlah cabang
super nasa berpengaruh sangat nyata primer 33,4 buah, diameter tajuk 105,7 cm
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
64
ISSN: 1411-9587
Aplikasi Pupuk Organik Cair …………
dan produksi terna 25,2 ton/ha. Hasil tersebut
berbeda nyata dengan perlakuan control
dengan rataan tinggi tanaman 57,3 cm,
jumlah cabang primer 20,9 buah, diameter
tajuk 67,4 cm dan produksi terna 6,1 ton/ha
(Burhanuddin dan Nurahmansyah, 2010).
Pemberian pupuk organik biogreen granul
dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan
biologi tanah, berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman bawang
merah pada tanah dengan kandungan organik
rendah. Pemupukan dengan dosis 4000 kg/ha
biogreen granul dapat meningkatkan
produksi sebesar 23% atau selisih hasil
sebesar 2,8 ton/ha dibandingkan dengan
perlakuan kontrol (Wahyunindyawati dkk,
2012). Pemberian pupuk organik Biogreenex
lewat daun dapat meningkatkan kualitas hasil
tanaman sawi (kandungan klorofil meningkat
16%, luas daun 76% dan hasil yang dapat
dipasarkan 16% (Hardjoko, 2002) dan
Farida dan Hamdani (2003) menyimpulkan,
bahwa terdapat interaksi antara pupuk
organik bokashi dan pupuk nitrogen terhadap
jumlah daun, pemberian pupuk organik
bokashi 10 ton/ha berpengaruh baik terhadap
komponen kualitas bunga yaitu mampu
menghasilkan tangkai bunga terpanjang dan
jumlah kuntum bunga terbanyak. Kadir dan
Kanro (2006) menyimpulkan bahwa aplikasi
pupuk organik berpengaruh terhadap
perbaikan
komponen
pertumbuhan,
komponen produksi kopi dan estimasi
produksi. Pemberian pupuk organik bokashi
S. molesta dan pupuk kandang ayam
berpengaruh nyata dalam meningkatkan
semua parameter pertumbuhan dan produksi
tanaman kedelai (Kumalasari, 2011).
Kurang optimalnya pertumbuhan
kedelai pada media tanpa pemberian pupuk
organik cair disebabkan karena rendahnya
ketersedian unsur hara pada media tersebut.
Selanjutnya pemberiaan pupuk organik cair
menyebabkan makin tersedianya unsur hara
makro seperti sulfur, posfot dan kalsium.
Anonimb (2013) menjelaskan bahwa dalam
pupuk organik cair terkandung unsur hara
dalam bentuk siap digunakan bagi tanaman,
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
65
misalnya nitrogen dalam bentuk senyawa ion
NH4+ dan NO3-, sulfur dalam bentuk
senyawa ion SO42-, Fosfor (P), kalium (K),
magnesium (Mg), mangan (Mn), kalsium
(Ca), dsb, dalam bentuk senyawa oksida
P2O5, K2O, MgO, MnO, CaO, serta mikroba
dan enzim. Mikroba dan enzim yang
terkandung sangat adaptif terhadap berbagai
lingkungan, sehingga apabila pupuk organik
cair diberikan kepada tanaman (disiramkan
atau disemprotkan), mikroba dan enzim
tersebut dapat langsung aktif menguraikan
partikel-partikel
pada
media
tanam.
Demikian juga anonim (2014) menjelaskan
bahwa dalam pupuk organik cair terkandung
unsur hara N, P, K dan unsur-unsur hara lain
yang berperan dalam penyediaan unsur hara
tanaman, selain unsur hara, pupuk organik
cair juga berisikan mikroba yang mempunyai
sifat fiksasi nitrogen dan pelarut phospat.
Hasil Uji Beda Nyata Terkecil
menunjukkan bahwa untuk semua parameter
pertumbuhan yang diukur (tinggi batang,
berat basah batang, berat kering batang, berat
basah daun dan berat kering daun) pada
setiap tanaman percobaan, perlakuan P7
(perlakuan 3,5 ml pupuk organik cair yang
dilarutkan dalam 50 ml air) memberikan
hasil yang berbeda nyata dengan P0 (kontrol),
namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan
P8 sampai dengan P9. Hasil analisis tersebut
menunjukkan bahwa dosis optimum pupuk
organik cair yang perlu diberikan pada
media tanam adalah 3,5 ml pupuk organik
cair yang dilarutkan dalam 50 ml air.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan
pembahasan pada penelitian ini maka dapat
disimpulkan bahwa: (1) aplikasi pupuk
organik cair dapat meningkatkan tinggi
batang, berat basah batang, berat kering
batang, berat basah daun dan berat kering
daun tanaman kedelai. Hal ini menunjukkan
bahwa aplikasi pupuk organik cair dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai
(2) Penggunaan dosis pupuk organik 3,5 ml
pupuk organik cair yang dilarutkan dalam 50
ISSN: 1411-9587
Aplikasi Pupuk Organik Cair …………
ml air memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan perlakuan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonima. 2013. Pupuk Organik Cair.
epetani.deptan.go.id/pasar/pupukorganik-cair-poc-7671
Diakses
tanggal 15 Nopember 2013
Anonimb. 2013. Pupuk Organik Cair dan
Tanaman.
kebundirumah.wordpress.com/pupu
k-organik-cair-dan tanaman/ Diakses
tanggal 16 Nopember 2013
Anonim
(2014)
Pupuk
Organik.
id.wekipedia.org/wiki/pupuk_organi
k. Diakses tanggal 2 Januari 2014.
Burhanuddin dan Nurahmansyah. 2010.
Pengaruh pemberian pupuk kandang
dan kapur terhadap pertumbuhan dan
produksi nilam pada tanah podsolik
merah kuning. Bul. Littro. 21 (2): 138
- 144
Chairani. 2005. Pengaruh Pemberian Pupuk
Organik Blotong dan Pupuk
Sulfomag Plus Terhadap Sifat Kimia
Tanah, Pertumbuhan dan Produksi
Tanaman Jagung (Zea mays L.) pada
Tanah Typic Paleudult. Respositoryusu-acid/bitsream/123456789/15533/1kptdes2005-(5)pdf. Diakses tanggal 24
Nopember 2012
Darma,S. 2000. Respon tanaman kedelai
terhadap kompos limbah kelapa sawit
pada dosis berbeda. Jurnal Budidaya
Pertanian. 6 (2): 96 - 104
Farida dan Hamdani, J.S. 2003. Pertumbuhan
dan hasil bunga gladiol pada dosis
pupuk organik bokashi dan nitrogen
yang berbeda. Bionatura. 3(2): 68 76
Gomez K.A. dan A.A. Gomez. 1995.
Prosedur Statistik Untuk penelitian
Pertanian Edisi Kedua Penerjemah:
Endang Syamsudin dan Justika S.
Baharsyah. UI Press. Jakarta.
Gustia, H. 2009. Pengaruh pemberian
Bokashi Terhadap pertumbuhan dan
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
66
produksi tanaman cabe var. inko-99.
Akta Agrosia Vol. 12(2): 113 – 123.
Hanafiah, 1994. K.A. Rancangan Percobaan.
Teori
dan
Aplikasi.
Fakultas
Pertanian Universitas Sriwijaya.
Palembang.
Hardjoko, D. 2002. Pengkajian Pupuk
organik cair biogreenex pada
tanaman sawi di Kabupaten Boyolali.
Caraka Tani. 15 (2): 9 - 19
Hidayat, F. dan U Sugiarti. 2006.
Pemanfaatan Bokashi Limbah Pabrik
Kertas
Untuk
Meningkatkan
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman
Kubis (Brassica oleracea) di Daerah
Medium. Laporan Hasil Penelitian.
Universitas Widyagama. Malang
Jedeng, I. W. 2011. Pengaruh Jenis dan Dosis
Pupuk
Organik
Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Ubi Jalar
(Ipomoea batatas) Var. Lokan Ungu.
Tesis. Universitas Udayana. Denpasar
Kadir, S. dan M.Z. Karno. 2006. Pengaruh
pupuk organik terhadap pertumbuhan
dan produksi
kopi arabika.
www.ijonline.net/index.php/Agrivigo
r/article/view/i81. diakses tanggal
tanggal 16 Februari 2013.
Kumalasari, P. 2011. Pemberian Beberapa
Dosis Bokashi Salvinia molesta
Terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Tanaman Kedelai (Glycine max L.)
Pada Tanah Ultisol. Skripsi. F. MIPA.
Universitas Andalas. Padang.
Latifah, E. dan Z. Arifin. 2012. Pengaruh
Pemberian Pupuk Organik Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Panen Jahe.
Jatim.litbang.deptan.go.id/ind/index.
php?option=com_content&view=artic
le&id=549&ltemid=10
diakses
tanggal 25 Nopember 2012.
Marliah, A., Nurhayati dan D. Susilawati.
2011. Pengaruh Pemberian Pupuk
Organik dan Jenis Mulasa Organik
Terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Kedelai (Glycine max (L.) Merrill.
Jurnalflorestek.wordpress.com/2011/
10/14/pengaruh-pemberian-pupuk-
ISSN: 1411-9587
Aplikasi Pupuk Organik Cair …………
organik-dan-jenis-mulsa-organik.
Diakses tanggal 25 Nopember 2012.
Parman, S. 2007. Pengaruh pemberian pupuk
organik cair terhadap pertumbuhan
dan produksi kentang (Solanum
tuberosum L.).
eprints.undips.ac.id/6188/1/sardjana_P
_SOLANUM-KOMPL-pdf. Diakses
tanggal 15 Februari 2013.
Simatupang, Y.M.A. 1999. Pengaruh
Pemberian Bokashi Kotoran Ayam
dan Bokashi Rumput Terhadap
Beberapa Sifat Fisika Tanah Podsolik
Merah
Kuning
Gajrug
dan
Pertumbuhan
Tanaman
Kedelai
(Glycine max L. Merr) varietas Wilis.
Skripsi. Fakultas Pertanian Intitut
Pertanian Bogor.
Soverda,N., Rinaldy dan I. Susanti. 2008.
Pengaruh Beberapa Macam Bokashi
Terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman
Tomat
(Lycopersicum
esculentum Mill.) Di Polybag. Onlinejournal.unja.id/index.php/agronomi/art
icle/download/432/348.
Diakses
tanggal 1 Desember 2013.
Sumiasri, N. dan N Setyowati. 2006.
Pengaruh beberapa media pada
pertumbuhan bibit eboni (Diospyros
celebica Bakh). melalui perbanyakan
biji. Biodipersitas. 7(3):260 – 263.
Suriadikarta, Didi, A., Simanungkalit,
R.D.M. (2006). Pupuk Organik dan
Pupuk Hayati. Jawa Barat:Balai Besar
Penelitian
dan
Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian.
Wahyunindyawati, F. Kasijadi dan Abu.
2012. Pengaruh pemberian pupuk
organik biogreen granul terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman
bawang merah. Jurnal Basic Science
and Technology, 1 (1): 21 - 25.
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
67
ISSN: 1411-9587
Komposisi Spesies Lamun …………….
KOMPOSISI SPESIES LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN
PANTAI LABUHA KABUPATEN HALMAHERA SELATAN
PROPINSI MALUKU UTARA
Riyadi Subur
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Khairun-Ternate
Email: [email protected]
ABSTRACT
Seagrass is the only flowering plants (Angiospermae) which has a rhizome, leaves and true
roots and live embedded in the sea, in coastal areas of seagrass ecosystems play an important
role both ecologically and economically . The propose of this study is to identify and
determine the number of seagrass species found in Labuha coastal waters, Counting of
ecological indices (diversity, dominance and evenness of species). This research is done by
the line transect method (line transects) and quadrats . The results of this study indicate that
there are as many as 6 species of seagrass in Labuha coastal waters, Enhalus acoroides,
Cymodocea serrulata, C. rotundata, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Thalassia
hemprichii. Seagrass dominance index value is 0.255 with a dominant species is C. serrulata.
Speseis Diversity Index is 1.516, and the evenness index value is 0.779. Conditions of
seagrass in Labuha coastal waters in is stable relatively even distribution diversity.
Keywords : Komposis , Species , Seagrass , Labuha
L
pantai, yang berfungsi dalam menstabilkan
dan melindungi garis pantai dari pengaruh
erosi (Syahailatua dkk., 1989). Vegetasi yang
lebat dapat memperlambat gerakan air yang
disebabkan oleh arus dan ombak, serta
menyebabkan perairan disekitarnya tenang.
Lamun berperan pula sebagai perangkap
sedimen dan menstabilkan substrat yang
lunak terutama dengan sistem akar yang
padat dan saling menyilang (Nyibakken,
1988). Hamparan yang padat dan laus
menjadi tempat hidup atau habitat
bermacam-macam biota laut seperti ikan,
moluska, udang, penyu dan krustacea
(Nontji, 1987; Nybakken, 1988).
Secara umum hampir semua jenis
substrat di wilayah pesisir dapat ditumbuhi
lamun, namun jenis substrat yang paling
umum untuk pertumbuhan adalah habitat
bersubstrat lunak, juga banyak dijumpai pada
substrat berpasir di daerah subtidal. Jenis
ekosistem ini hanya dijumpai pada daerah
PENDAHULUAN
amun (Seagrass) merupakan satusatunya
tumbuhan
berbunga
(Angiospermae)
yang
memiliki
rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup
tertanam di dalam laut (Bengen, 2001).
Lamun adalah salah satu dari tiga ekosistem
perairan pantai dan berperan penting dalam
menunjang populasi biota yang hidup di
daerah
tersebut
(Peristiwady,
1994)
tumbuhan ini seringkali menjadi komponen
dominan di lingkungan pesisir (Saptarini
dkk., 1996). Perairan dangkal yang agak
berpasir menjadi tempat hidupnya dan sering
dijumpai berasosiasi dengan mangrove dan
terumbu karang (Nontji, 1987; Carter, 1988;
Dahuri dkk., 1996), selain itu lamun juga
termasuk salah satu jenis tumbuhan yang
ditemukan pada hamparan berlumpur
(Hutabarat dan Evans, 1984).
Hamparan Lamun adalah salah satu
ekosistem bahari yang produktif di daerah
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
68
ISSN: 1411-9587
Komposisi Spesies Lamun …………….
pesisir yang memiliki kedalaman tidak lebih
dari 50-60 meter (Nybakken, 1988).
Beberapa peranan penting hamparan
rumput lamun terhadap fisik pantai yaitu
melindungi
beberapa
habitat
seperti
mangrove, pantai dan pasir dengan
mengurangi
energi
gelombang
dan
memperlambat gerakan air yang disebabkan
oleh arus dan gelombang sehingga perairan
sekitarnya menjadi tenang. Sedangkan ke
arah laut hamparan tersebut berfungsi
melindungi terumbu karang, biasanya
dilakukan dengan jalan menyaring. Menurut
Den Hartog (1967) dalam Dawes (1981);
Kennish (1990); Saptarini dkk (1996) lamun
juga dapat digunakan sebagai makanan yang
dikonsumsi secara langsung oleh manusia.
Scholander (1968) dalam McRoy dan
Helffrich (1980) melaporkan bahwa buah
Enhalus dimakan setelah dimasak oleh
penduduk suku Aborigin di Australia.
Penduduk Kepulauan Seribu memakan buah
Enhalus yang dicampurkan dengan kelapa
(Hitomo dan Azkab, 1987). Penelitian ini
dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: (1)
mengidentifikasi dan mengetahui jumlah
spesies lamun yang terdapat di perairan
pantai Labuha dan (2) menghitung beberapa
indeks ekologi (keanekaragaman, dominasi
jenis dan kemerataan spesies).
Bahan dan Mtode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di
perairan pantai pantai Labuha kecamatan
Bacan Kabupaten Halmahera Selatan pada
bulan Desember 2012
Perairan pantai sekitar lokasi
penelitian terdapat sungai “Amasing” di
daerah pinggiran pantai dan bagian pantainya
memiliki substrat berlumpur, pasir dan
karang mati. Pada lokasi ini terdapat lamun
(seagrass) dan alga.
Objek dan Alat
Dalam penelitian ini, yang menjadi
objek adalah lamun (seagrass). Sedangkan
peralatan pendukung penelitian tercantum
pada Tabel 2 berikuti:
Tabel 1. Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian
No.
Nama Alat
Kegunaan
1.
Hand Refraktometer
Untuk mengukur kadar garam (salinitas) permukaan air
laut pada lokasi sampling
2.
Termomter
Berguna dalam pengukuran suhu permukaan air laut.
3.
Tali (50 m)
Digunakan untuk menarik garis transek sebagai patokan
saat sampling objek
4.
Kuadran 1 m2`
Untuk mengabil objek dalam luasan tersebut.
5.
Kamera
Mengambil gambar.
6.
Alat tulis menulis
Untuk mencatat data yang diperoleh.
menggunakan
termometer
celcius
berketelitian 1C dan salinitas diukur dengan
menggunakan
hand-refraktometer
berketelitian 0,1o/oo. Sedangkan substrat
hanya
dilakukan
penilaian
melalui
Pengukuran Parameter Lingkungan
Parameter lingkungan yang diukur
adalah suhu air dan salinitas. Suhu dan
salinitas diukur pada saat pengambilan
sampel di lapangan. Suhu diukur dengan
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
69
ISSN: 1411-9587
Komposisi Spesies Lamun …………….
pengamatan visual pada saat pengambilan
sampel, kemudian dicatat tipe substratnya
30 meter. Sampel diambil pada kuadrat
berukuran 1 m2 pada saat saat surut,
sebanyak 10 ulangan pada masing-masing
transek. Setiap spesies Lamun yang
ditemukan dalam kuadrat dihitung jumlah
individunya. Penentuan spesies dilakukan
secara langsung di lapangan dengan
menggunakan pedoman identifikasi menurut
Lanyon (1986), Phillips dan Menez (1988).
Gambar 2. meperlihatkan sketsa penempatan
penempatan kuadran pada garis transek di
lokasi penelitian.
Pengambilan Sampel Lamun
Sebelum
pengambilan
sampel,
dilakukan survei jelajah untuk mengetahui
jumlah spesies yang terdapat pada lokasi
penelitian
serta
penentuan
titik-titik
penempatan garis transek.
Pengambilan sampel berdasarkan
metode sampling secara sistematis dengan
garis transek. Pada setiap lokasi penelitian
diletakkan 3 transek secara vertikal dengan
panjang 50 meter, serta jarak antara transek
Analisis Data
Indeks yang dipakai dalam mengetahui kondisi Lamun adalah:
1. Indeks Dominasi (C).
Indeks dominasi lamun (Odum, 1996) yaitu:
C   (ni / N ) 2
Keterangan: ni = Jumlah individu atau berat tiap spesies
N = Jumlah individu atau berat individu seluruh spesies
2. Indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wiener (Ludwig dan Reynolds, 1988) adalah:
S
H '   (ni / N ) ln(ni / N )
t 1
3. Indeks kemerataan (e) (Ludwig dan Reynolds, 1988)
e=
Keterangan: H'
S
H'
ln S
= Indeks Shannon untuk keanekaragaman spesies
= Jumlah spesies
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
70
ISSN: 1411-9587
Komposisi Spesies Lamun …………….
30 m
50 m
DARATAN
Gambar 2. Sketsa penempatan penempatan kuadran pada garis transek di lokasi Penelitian.
lumpur lunak bercampur pasir dan (3) pasir
berlumpur bercampur hancuran karang mati,
(4) pasir bercampur hancuran karang mati
dan (5) pasir halus.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter lingkungan
Pengukuran parameter lingkungan
suhu air dan salinitas dilakukan bersamaan
dengan waktu pengambilan sampel. Suhu
permukaan yang terukur saat pengambilan
sampel adalah 30 oC dengan salinitas 29 ‰.
Pengamatan secara visual dilakukan
terhadap keberadaan lamun pada substrat
yang ditempati pada lokasi Penelitian
menunjukkan bahwa di lokasi tersebut
memiliki substrat (1) pasir berlumpur, (2)
Komposis dan Kepadatan Setiap Spesies
Spesies lamun yang ditemukan pada
lokasi penelitian berjumlah 6 spesies yaitu;
Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata,
Cymodocea rotundata, Halophila ovalis,
Thalassia hemprichii dan Halodule pinifolia.
Tabel 2. menjelaskan jumlah spesies dan
kepadatan setiap individu spesies/m2.
Tabel 2. Komposisi spesies lamun yang ditemukan di pariran pantai Labuha kecamatan Bacan
Kabupaten Halmahera Selatan.
No.
1
2
3
4
5
6
Spesies
Enhalus acoroides
C. serrulata
C. rotundata
H. ovalis
H. pinifolia
T. hemprichii
TOTAL
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
Jlh.Ind
260
2756
1226
1245
1287
200
6974
71
Ind/m2
8.66
91.86
40.86
41.5
42.9
6.66
232.46
ISSN: 1411-9587
Komposisi Spesies Lamun …………….
Kepadatan & Jlh Indv/m
3000
2756
Jlh. Indv
Kepadatan/ m
2500
2000
1500
1287
1245
1226
1000
500
0
260
8.66
91.86
40.86
E. acoroides C. serrulata C. rotundata
41.5
H. ovalis
200
42.9
H. pinifolia
6.66
T.
hemprichii
Spesies
Gambar 3. Jumlah Individu dan Kepadatan spesies lamun/ m2 yang di teumkan pada lokasi
Penelitian.
nilai sebesar 0,0008. Nilai Indeks
keanekaragaman (H’) pada lokasi penelitian
untuk lamun adalah 1,516 diman indeks
kemerataannya (e) bernilai 0,779. Gambar 4.
menunjukkan perbandingan nilai indeks
dominasi, keanekaragaman dan kemerataan
spesies lamun pada lokasi penelitian.
Dominasi,
Keanekaragaman
dan
Kemerataan spesies
Indeks dominasi spesies lamun (C)
pada lokasi penelitian adalah sebesar 0,255.
spesies yang memiliki nilai dominasi
tertinggi yaitu Cymodocea serrulata sebesar
0,156
sedangkan
dominasi
terendah
ditempati oleh Thalassia hemprichii dengan
Nilai Indeks Keanekaragaman, Dominasi dan Kemerataan
1.600
1.400
1.516
1.200
1.000
0.800
0.779
0.600
0.400
0.200
0.255
0.000
Keanekaragaman
Dominasi
Kemerataan
Gambar 4. Menunjukkan perbandingan nilai indeks dominasi, keanekaragaman dan
kemerataan spesies lamun pada lokasi penelitian.
Berdasarkan nilai indeks dominasi
(C) lamun di lokasi penelitian tidak
menunjukkan adanya spesies yang sangat
dominan, hal ini disebabkan karena
karakterisitik substrat yang ditempati
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
masing-masing spesies relatif merata yang
didukung oleh faktor lainnya yaitu suhu
dan salinitas yang memungkinkan semua
spesies yang ditemukan pada Lokasi
penelitian dapat hidup dan tumbuh
72
ISSN: 1411-9587
Komposisi Spesies Lamun …………….
bersama, walupun di temukan spesies
Cymodocea serrulata memiliki jumlah
individu yang lebih tinggi dibandingkan
spesies lainnya.
Nilai indeks keanekaragaman (H’)
spesies lamun pada lokasi penelitian yang
sebesar 1,516, tidak menunjukkan nilai
keanekaragaman yang tinggi, menanadakan
bahwa kondisi komunitas berada dalam
keadaan stabil dengan kategori sedang.
Wibisono (2005) menjelaskan bahwa
kondisi komunitas yang berada dalam
keadaan stabil dengan kategori sedang
memiliki nilai kisaran antara 1,21-1,8,
sedangkan kondisi komunitas yang sangat
stabil nilai indeks keanekaragamannya
>2,41. Hal ini disebabkan karena pada
lokasi penelitian terdapat sungai yang
setiap saat memasok air tawar ke laut
dalam volume yang berbeda, sehingga turut
memberi dampak terhadap komunitas
lamun pada lokasi daerah ini. Odum (1996)
mengemukakan bahwa keanekaragaman
yang rendah terjadi pada komunitaskomunitas yang dipengaruhi oleh gangguan
musiman atau
secara periodik
oleh
manusia dan alam.
Nilai indeks kemerataan spesies
lamun pada lokasi penelitian
juga
menunjukkan bahwa kondisi komunitasnya
berada dalam keadaan lebih merata dengan
kategori baik. Wibisono (2005) menjelaskan
bahwa
kondisi
penyebaran
struktur
komunitas dengan kisaran 0,61-0,80 berada
dalam keadaan lebih merata dengan kategori
baik. Hal ini sesuai dengan lokasi penelitian
yang nilai indeks kemerataannya 1,77. ini
menunjukkan bahwa karakteristik substrat
yang ditempati masing-masing spesies lamun
pada lokasi relatif merata dan tidak terjadi
dominasi salah satu jenis substrat sehingga
penempatan ruang secara eksklusif oleh salah
satu spesies tidak terjadi.
1. Jumlah spesies lamun yang ditemukan
sebanya 6 spesies
2. Nilai indeks dominasi sebsear 1,516;
keanekaragaman 0,255 dan kemerataan
0,779.
3. Kondisi komunitas lamun di perairan
Labuha bedasakan keanekaragaman
berada dalam keadaan stabil dengan
kategori sedang, dan berdasarkan
kemerataan tergolong dalam keadaan
lebih merata dengan kategori baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bengen D. G. 1996. Metodologi Penelitian
Biofisik Kelautan. Bagian Proyek
Pengembangan Pendidikan Ilmu
Kelautan
Direktorat
Jenderal
Pendidikan
Tinggi
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor.
104 hal.
Bujang, J.S. 2005. Seagrasses. Department of
Biology Faculty Science Universiti
Putra Malaysia. Malaysia. 65 Hal.
Carter, R. W. G. 1988. Coastal Environment
An Introduction to The Physical,
Ecological and Cultural Systems of
Coastllines. Academic Press Limited.
617 hal.
Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting dan M.J.
Sitepu.
1996.
Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. PT Pradya
Paramita. Jakarta. 299 hal.
Dawes, C.J. 1981. Marine Botany. Jhon
Wiley and Sons, Inc. New York. 628
hal.
Den Hartog, C. 1977. Seagrass and Seagrass
Ecosystem, An Apraisal of The
Research Approach, Aquat. Bot. 105177.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
73
ISSN: 1411-9587
Komposisi Spesies Lamun …………….
Fortes, M. D. 1989. A Resources Unknown
In The ASEAN Region. International
Center or Living Aquatic Resources
Management Education Series. 45
hal.
Nybakken, J. 1988. Biologi Laut; Suatu
Pendekatan Ekologis. Gramedia.
Jakarta. 459 hal.
Odum, E.P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi
(Fundamentals of Ecology). Gajah
Mada University Press. Athens
Giorgia. 697 hal.
Hutabarat, S dan S. M. Evans. 1984.
Pengantar Oseanografi. Universitas
Indonesia (UI Press). 159 hal.
Peristiwady, T. 1994. Makanan Ikan-Ikan
Utama Di Padang Lamun Di Pantai
Selatan Lombok Dan Kondisi
Lingkungannya. P3O-LIPI Jakarta.
Hal 112-125.
Hutomo, M dan Azkab, 1987. Peranan
Lamun Di Lingkungan Laut Dangkal.
Oseana. P3O-LIPI Jakarta. Hal 13-23.
Lanyon, J. 1986. Guide to The Identification
Of Seagrass In The Great Barrier
Reef Region. Great Barrier Reef
Marine Park Authority special
Publication Series (3). Townsville,
Queensland. 54 hal.
Phillips, R.C. dan E.G. Menez. 1988.
Seagrass Smithsonian Institution
Press. Washington D.C. 87 hal.
Saptarini, D., Suprapti dan H.R. Santisa.
1996. Pengelolaan Sumber Kelautan
dan Wilayah Pesisir. 45 hal.
Ludwig, A.J., dan J.F. Reynolds 1988.
Statiscal Ecology; A Primer On
Methods Computing. A
Wiley
Interscience Publication. John Wiley
& Sons. Canada. 337 hal.
Syahailatua, A.J., M. Mustafa dan G.S.
Henderson. 1989. Padang Lamun
(Seagrass) Pantai Suli, Teluk Beguala
dalam
Perairan
Maluku
dan
Sekitarnya.
Biologi,
Budidaya,
Geologi,
Lingkungan
dan
Oseanografi. Balitbang Sumberdaya
Laut LON-LIPI. Ambon. Hal 32-38.
McRoy, C.P. dan C. Helfferich. 1980.
Applied Aspects of Seagrass dalam
Handbook of Seagrass Biologi:
Ecosystem Perspective. R.C. Pilips
dan C.P. McRoy (eds). Hal 297 - 343.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan.
Jakarta. 368 hal.
Jurnal Biologi Tropis. Vol. 14 No. 1 Januari 2014
Wibisono, M.S. 2005. Pengantar Ilmu
Kelautan. PT. Grasindo. Jakarta. 226
hal.
74
ISSN: 1411-9587
Download