TESIS PEMBERIAN GROWTH HORMONE MENURUNKAN KADAR TUMOR NECROSIS FACTOR-α (TNF-α) PADA TIKUS JANTAN YANG DISLIPIDEMIA MADE ITA MISITAHARI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 TESIS PEMBERIAN GROWTH HORMONE MENURUNKAN KADAR TUMOR NECROSIS FACTOR-α (TNF-α) PADA TIKUS JANTAN YANG DISLIPIDEMIA MADE ITA MISITAHARI PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 PEMBERIAN GROWTH HORMONE MENURUNKAN KADAR TUMOR NECROSIS FACTOR- α (TNF-α) PADA TIKUS JANTAN YANG DISLIPIDEMIA Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana MADE ITA MISITAHARI NIM 0890761011 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 2 NOVEMBER 2011 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And, FAACS NIP. 194612131971071001 Dr.dr. Ida Sri Iswari Sp.MK.,M.Kes NIP.196105051990022001 Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS NIP. 194612131971071001 Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S NIP. 195902151985102001 Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 2 November 2011 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No 1678/UN14.4/HK/2011 , Tanggal 3 oktober 2011 Ketua : Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS Anggota : 1. Dr. dr. Ida Iswari Sp.MK, M.Kes 2. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK 3. Prof. Dr. dr. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And 4. Prof. dr. I Nyoman Agus Bagiada,Sp.Biok. UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Mahaesa, karena hanya atas asung wara nugraha-Nya/kurnia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS, pembimbing utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr. dr. Ida Iswari, Sp.MK, M.Kes, selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan dukungan, bimbingan dan banyak saran ilmiah kepada penulis selama masa studi maupun saat penelitian. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD, KHOM, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ungkapan terimakasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, yaitu Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And, Prof. dr. I Nyoman Agus Bagiada, Sp.Biok, dan Prof.dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pak Gede Wiranata dari bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah banyak membantu menjaga tikus peneliti selama proses penyusunan tesis ini. Juga penulis ucapkan terimakasih kepada kedua orang tua ( Almarhum I Ketut Dharta dan Ni Nyoman Sumutri ) yang telah mengasuh dan membesarkan penulis,yang selalu memberikan doa , dukungan dan pengertiannya selama penulis menempuh pendidikan. Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada suami tercinta, Paul dan anak - anak tersayang, Cito dan Citra yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini. Tidak lupa pula penulis ucapkan terimakasih kepada ibu mertua dan almarhum bapak mertua, I Made Sutharga atas dukungan dan pengertiannya selama penulis mengikuti pendidikan ini. Ucapan terimakasih juga penulis tujukan kepada rekan-rekan sejawat di Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine , atas bantuan dan dukungan selama penulis menyelesaikan tesis ini. Diakhir kata penulis berharap dengan selesainya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada banyak pihak. Semoga Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Mahaesa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. ABSTRAK PEMBERIAN GROWTH HORMONE MENURUNKAN KADAR TUMOR NECROSIS FACTOR –α (TNF-α) PADA TIKUS JANTAN YANG DISLIPIDEMIA Menurunnya Growth Hormone ( GH ) pada proses penuaan berhubungan dengan meningkatnya kejadian dislipidemia . Dislipidemia merupakan faktor risiko aterosklerosis dan peningkatan faktor inflamasi TNF-α berperan penting dalam patogenesisnya. Manfaat GH untuk mencegah aterosklerosis sebagai dasar dari penyakit kardiovaskular, belum banyak diteliti. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efek anti inflamasi GH dalam menurunkan TNF α pada tikus dislipidemia. Penelitian dilakukan di Animal Laboratory Unit Bagian Farmakologi dan Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan rancangan randomized pre and post test control group. Sebanyak 9 ekor tikus jantan yang menua, usia 11 – 12 bulan, diberikan diet tinggi kolesterol selama 3 minggu untuk mencapai keadaan dislipidemia dan diet tetap diberikan hingga akhir penelitian. Setelah 3 minggu subyek dibagi secara random menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok perlakuan dengan aquadest (P0), GH 0,04 IU/hr (P1), dan GH 0,08 IU/hr (P2). Aquadest dan GH diinjeksikan secara subkutan di punggung satu kali sehari selama 2 minggu. Kadar TNF-α plasma diukur pada hari ke-22 dan ke-37 dengan menggunakan teknik quantitative sandwich enzyme immunoassay (ELISA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah pemberian injeksi GH terjadi penurunan kadar TNF-α pada kelompok P1 sebesar 16,77 %, dan P2 sebesar 20,85%. Hasil analisis menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dan homogeny. Rerata kadar TNF-α pada kelompok P0,P1dan P2 sebelum diberikan perlakuan berupa injeksi GH tidak berbeda bermakna ( p> 0,05 ) dan setelah diberikan perlakuan berbeda bermakna ( p < 0,05 ). Uji lanjutan dengan LSD menunjukkan perbedaan terjadi antara kelompok P0 dengan P1 dan P2, sedangkan perbedaan P1 dan P2 tidak bermakna. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terapi GH menurunkan kadar TNF-α plasma pada tikus jantan dislipidemia. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk memahami pengaruh terapi GH dalam jangka panjang serta mekanismenya. Kata kunci: growth hormone, TNF-α , dislipidemia. ABSTRACT GROWTH HORMONE ADMINISTRATION DECREASE TUMOR NECROSIS FACTOR –α (TNF-α) IN DYSLIPIDEMIC MALE RAT Decrease of Growth Hormone ( GH ) in aging process is associated with increase dyslipidemic incidence. Dyslipidemic is a risk factor of atherosclerosis and the increase of inflammatory factor, TNF-α, plays important role in its pathogenesis. The benefit of GH replacement therapy to prevent aterosclerosis as the underlying process of cardiovascular disease, has not been widely studied. The aim of this study is to investigate the anti inflammation effect of GH for decreasing TNF-α in dyslipidemic rat. The study was conducted at the Animal Laboratory Unit Department of Pharmacology and Clinical Pathology Faculty of Medicine Udayana University, using randomized pre and post test control group design. Nine male aging rats, age 11 – 12 month-old were given high cholesterol diet for 3 weeks to achieve dyslipidemic state and the diet was continued until the end of study. After 3 weeks, the subjects were randomly divided into 3 groups, aquadest (P0), GH 0,04 IU/day (P1), and GH 0,08 IU/day (P2) treated group. Aquadest and GH were then injected subcutaneously on the back once daily for 2 weeks. Plasma TNF-α level was measured on day 22nd for pre test and 37th for post test by quantitative sandwich enzyme immunoassay (ELISA) method. This study showed that GH administration decrease TNF-α level of P1 by 16,77 % and P2 by 20,85 %. Analysis showed distribution of data was normal and homogen, no significantly difference ( p>0,05 ) of TNF-α concentration between group P0, P1, and P2 before GH administration and significantly difference (p< 0,05) after GH administration . Post Hoc analysis with LSD showed significantly difference between group P0 with P1 and P2, but no difference in group P1 and P2. This study concluded that growth hormone replacement therapy decreased plasmaTNF-α level in dyslipidemic rat. Further research is needed to understand the effect of long term GH therapy and its mechanism. Keywords: growth hormone, TNF-α, dyslipidemia. DAFTAR ISI Sampul Dalam ................................................................................................... i Prasyarat Gelar ................................................................................................. ii Lembar Pengesahan.......................................................................................... iii Penetapan Panitia Penguji................................................................................ iv Ucapan Terima Kasih ..................................................................................... v Abstrak .............................................................................................................. vii Abstract .......................................................................................................... .. viii DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG..................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 6 1.3 Tujuan Penelitian. ..................................................................................... 6 1.3.1 TujuanUmum ............................................................................................ 6 1.3.2 Tujuan Khusus .......................................................................................... 6 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Proses Penuaan......................................................................................... 8 2.2 Growth Hormone ..................................................................................... 12 2.2.1 Penggunaan Growth Hormone pada Penuaan........................................... 17 2.3 Lipid ( Lemak ) ....................................................................................... 20 2.3.1 Dislipidemia ............................................................................................ 23 2.4 Inflamasi ................................................................................................. 24 2.4.1 Hubungan Dislipidemia dengan Inflamasi ............................................... 27 2.5 Tumor Nekrosis Faktor (TNF) α .............................................................. 28 2.6 Pengaruh Growth Hormone terhadap Dislipidemia .................................. 31 2.7 Pengaruh Growth Hormone terhadap TNF-α ........................................... 33 2.8 Hewan Coba Tikus .................................................................................. 35 2.8.1 Penggunaan Tikus ( Rattus Norvegicus )di Laboratorium ........................ 35 2.8.2 Pemberian Makanan ................................................................................ 36 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir ................................................................................... 38 3.2 Konsep Penelitian .................................................................................... 40 3.3 Hipotesis Penelitian ................................................................................. 40 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ................................................................................ 41 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian..................................................................... 42 4.3 Subyek Penelitian ..................................................................................... 42 4.3.1 Populasi Penelitian.................................................................................... 42 4.3.2 Sampel Penelitian ..................................................................................... 43 4.3.3 Kriteria Sampel ......................................................................................... 43 4.4 Variabel Penelitian.................................................................................... 44 4.4.1 Identifikasi variabel dan klasifikasi variabel .............................................. 44 4.4.2 Definisi operasional variabel ..................................................................... 44 4.5 Instrumen Penelitian ................................................................................. 46 4.5.1 Pemeriksaan TNF-α .................................................................................. 46 4.6 Prosedur Penelitian ................................................................................... 47 4.6.1 Persiapan Sebelum Penelitian ................................................................... 47 4.6.2 Penempatan Tikus dalam Kandang ........................................................... 47 4.6.3 Pemberian Perlakuan ................................................................................ 47 4.6.4 Pemberian Growth Hormone..................................................................... 48 4.6.5 Proses Pengambilan Darah ........................................................................ 48 4.6.6 Pemberian Makanan dan Minuman ........................................................... 49 4.6.7 Pemeliharaan Kesehatan Tikus.................................................................. 49 4.6.8 Perhitungan Dosis Growth Hormone ......................................................... 49 4.6.9 Perlakuan Pada Hewan Coba .................................................................... 51 4.7 Alur Peneltian ........................................................................................... 53 4.8 Analisis Data ............................................................................................ 54 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Subyek ................................................................................ 55 5.2 Uji Normalitas Data TNF-α Sebelum dan Sesudah Perlakuan .................. 55 5.3 Uji Homogenitas TNF-α Antar Kelompok Sebelum dan Sesudah Perlakuan ................................................................................................ 56 5.4 Uji Komparasi TNF-α ............................................................................... 56 BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 6.1 Subyek Penelitian .................................................................................... 60 6.2 Penggunaan growth Hormone Injeksi Dosis 0,04 IU /hari, 0,08IU/hari, Selama 14 Hari ....................................................................................... 61 6.3 Pengaruh Pemberian Growth Hormone Terhadap Kadar TNF-α Tikus.... Jantan Dislipidemia ................................................................................. 61 6.4 Manfaat Growth Hormone pada Proses Penuaan ..................................... 65 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ................................................................................................. 68 7.2 Saran ....................................................................................................... 68 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 69 LAMPIRAN ...................................................................................................... 75 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Data Biologis Tikus ………………………………………………… 36 Tabel 2.2 Mineral dalam makanan tikus…………………………………..…… 37 Tabel 5.1 Uji Normalitas kadar TNF-α pre Test dan post Test pada kelompok P0, P1,dan P2………………………………………………………………………. 56 Tabel 5.2 Uji Homogenitas kadar TNF-α pre test dan post test pada kelompok P0,P1,dan P2…………………………………………………………………… 56 Tabel 5.3 Analisis One Way Anova kadar TNF-α pre test dan post test……… 57 Tabel 5.4 Uji Lanjutan kadar TNF-α post test dengan Least Significant Difference Test (LSD) pada kelompok P0,P1 dan P2 ……………………………………… 58 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Regulasi Sekresi Growth Hormone .............................................. 13 Gambar 3.1. Kerangka Konsep ........................................................................ 40 Gambar 4.1. Rancangan Penelitian ................................................................... 41 Gambar 4.2. Bagan Alur Penelitian .................................................................. 53 Gambar 5.1. Kadar TNF-α Pre Test dan Post Test pada Kelompok Yang Diberi Aquadest (P0), dan kelompok yang mendapat dua Variasi dosis GH ..... 59 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Ethical Clearance .......................................................................... Lampiran 2. Uji TNF-α ...................................................................................... Lampiran 3. Tabel Konversi Dosis ..................................................................... Lampiran 4. Hasil Penelitian Pendahuluan ........................................................ Lampiran 5. Analisis Data .................................................................................. 75 76 80 81 82 DAFTAR SINGKATAN ATAU LAMBANG SINGKATAN Apo C7αOH CD FDA GH GHD GHRH GHRT HDL HMG-CoA HSL IGF-1 IGFBP IGFBP3 ICAM IFNα IL-1β IL6 LDL LPL MMP mRNA NFҡB NO TNF α TRH VLDL VCAM : Apolipoprotein : Cholesterol-7α-hydroxylase : Cluster of Differentiation : Food and Drug Administration : Growth Hormone : Growth Hormone Deficiency : Growth Hormone Releasing Hormon : Growth Hormone Replacement Therapy : High Density Lipoprotein : β-hydroxy methylglutaryl Coenzyme A : Hormon Sensitif Lipase : Insulin Like Growth Factor-1 : Insulin Like Growth Factor Binding Protein : Insulin Like Growth Factor Binding Protein 3 Intracelluler Adhesion Molecule : Interferron γ : Interleukin 1β : Interleukin 6 : Low Density Lipoproprotein : Lipoprotein Lipase : Matrix Metalloproteinases ; Mesenger Ribonucleic Acid : Nuclear Factor ҡ B : Nitric oxide : Tumor Nekrosis Faktor α : Thyroid Releasing Hormone : Very Low Density Lipoprotein : Vascular Cell Adhesion Molecule LAMBANG α β σ µ : Alfa; tingkat kemaknaan (kesalahan tipe I) : Beta; tingkat kesalahan tipe II : simpang baku; SEM : rerata skor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak dapat berkembang lagi, tetapi justru terjadi penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan (aging). Proses penuaan ditandai dengan menurunnya sampai terhentinya fungsi berbagai organ dan produksi hormon tubuh. Hal ini menyebabkan kemunduran fungsi organ tubuh dalam mempertahankan homeostasis, sehingga terjadi banyak perubahan yaitu perubahan komposisi tubuh (rasio lemak/air meningkat), perubahan tinggi badan, masalah berat badan, penurunan fisiologi tubuh, penurunan daya ingat, pendengaran, penglihatan dan berbagai kemunduran fungsi biologis lainnya. Sewaktu muda hormon tubuh bekerja mengatur fungsi- fungsi organ tubuh termasuk respon terhadap panas, dingin, dan aktivitas seksual. Jika produksi hormon menurun, kemampuan tubuh untuk memperbaiki diri menjadi berkurang. Penuaan juga disebabkan oleh karena terjadinya inflamasi kronis dalam tubuh. Inflamasi dikaitkan dengan banyak hal yang berhubungan dengan penuaan seperti kulit keriput, arthritis, penyakit jantung, penyakit Alzheimer dan kanker. Inflamasi disebabkan oleh reaksi imun pada tingkat seluler dimana proses ini menyebabkan meningkatnya sitokin – sitokin pro inflamasi antara lain TNF-α , IL-6, dan lain- lain serta meningkatnya radikal bebas sehingga terjadi perusakan sel-sel normal. Inflamasi dapat ditimbulkan oleh karena infeksi, alergi dan faktor gaya hidup seperti merokok, 1 konsumsi makanan lemak jenuh, kurangnya istirahat, dan paparan sinar matahari (Stibitch, 2006). Dislipidemia adalah suatu keadaan metabolisme lipoprotein yang abnormal, biasanya berhubungan dengan overproduksi atau kekurangan lipoprotein. Dislipidemia ditandai dengan meningkatnya kadar kolesterol total, trigliserida, Low Density Lipoprotein (LDL) dan atau penurunan High Density Lipoprotein (HDL) di dalam darah. Dislipidemia juga sering dikatakan sebagai hiperlipidemia, disebabkan oleh pola hidup dimana konsumsi makanan lemak jenuh yang berlebihan dan kurangnya aktivitas fisik, sehingga terjadi peningkatan lipid serum sebagai faktor risiko aterosklerosis. Hal ini disebabkan pada dislipidemia juga ada prilaku kolesterol yang berperan pada aterosklerosis. Jadi yang membedakan antara hiperkolesterolemia dengan dislipidemia adalah hiperkolesterolemia didefinisikan sebagai peningkatan kolesterol serum melebihi dari 200 mg/dl setelah 9-12 jam puasa. Pada dislipidemia disamping kriteria untuk hiperkolesterolemia juga terjadi peningkatan kolesterol LDL-serum > 160 mg/dl, trigliserida serum sebesar 150 mg/dl, atau kolesterol HDL-serum < 40 mg/dl untuk laki-laki dan < 50 mg/dl untuk perempuan. Simptom tingginya kolesterol pada dislipidemia tidak dapat dirasakan oleh seorang penderita dislipidemia, tetapi hanya dapat diketahui dengan tes kolesterol darah secara rutin. Diet kolesterol tinggi dapat menginduksi dislipidemia di samping juga dapat dipicu akibat faktor genetik ( Kreisberg dan Reusch, 2005; Golberg, 2008). Diet tinggi kolesterol juga dapat menyebabkan meningkatnya TNF α dan IL-6 pada pasien- pasien obesitas. Penelitian menunjukkan pada kondisi obesitas terjadi infiltrasi makropag pada jaringan adiposa putih, yang mana merupakan sumber utama produksi sitokine proinflamasi (Bastard et al., 2006). Salah satu hormon penting yang menurun pada proses penuaan adalah growth hormone (GH). GH berperan penting pada komposisi tubuh, metabolisme otot dan tulang, dan fungsi jantung. Kekurangan GH pada orang dewasa menimbulkan beberapa tanda dan gejala khas yang sama seperti yang terjadi pada penuaan normal, yaitu: berkurangnya lean body mass, bertambahnya lemak total dan di daerah perut, berkurangnya kekuatan otot dan kapasitas berolahraga, berkurangnya densitas mineral tulang, kulit tipis dan kering dengan ekstremitas terasa dingin, terganggunya kenyamanan psikologis, perasaan tertekan, kecemasan, dan kelelahan (Djuanda, 2007 ; Pangkahila, 2007) Morbiditas dan mortalitas Growth Hormon Deficiency ( GHD ) pada dewasa terjadi karena berkaitan dengan beberapa masalah yaitu: densitas mineral tulang yang berkurang, meningkatnya resiko fraktur tulang yang osteoporotik, fungsi jantung yang terganggu, dan obesitas sentral, meningkatnya sensitivitas insulin, berkurangnya kapasitas berolahraga, dan gangguan emosi. Sesuai dengan data epidemiologik, orang dewasa yang mengalami GHD mempunyai harapan hidup yang lebih pendek. Mortalitas yang meningkat terutama berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler sebagai akibat aterosklerosis (Pangkahila, 2007). Penurunan kadar GH pada penuaan menyebabkan peningkatan kadar kolesterol. Kejadian dislipidemia meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Dislipidemia merupakan salah satu faktor penyebab aterosklerosis disamping hipertensi dan merokok. Banyak laporan penelitian terdahulu menunjukkan hubungan antara kadar lipid serum yang tinggi dengan angka kejadian penyakit aterosklerosis pemicu penyakit jantung koroner (Twickler, 2003; Golberg, 2008). Penelitian pada dua dekade terakhir menunjukkan adanya inflamasi kronis pada dinding aorta karena penumpukan lemak. Hal ini terjadi akibat oksidasi kolesterolLDL (kol-LDL) sehingga menyebabkan plak terkoyak dan berujung pada terbentuknya trombosis (Golberg, 2008). Hiperkolesterolemia pemicu aterosklerosis merupakan kelainan akibat multifaktorial juga berhubungan dengan sitokin proinflamasi, IFN-γ (Interferron –γ), IL-1β ( Interleukin I β ), IL-6 ( Interleukin -6 ) dan TNF-α (Tumor Necrosis Factor α ). Penelitian juga membuktikan bahwa konsumsi makanan yang aterogenik meningkatkan terbentuknya sitokin proinflamasi IL-6 dan TNF-α, namun tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap peningkatan IL-lβ (Ahmed, 2001 ; Han et al., 2002). TNF-α adalah salah satu sitokin proinflamasi yang paling poten. Sitokin diketahui memegang peranan patogenik dalam penyakit inflamasi kronik. TNF –α diproduksi berlebih di jaringan adiposa pada model tikus obesitas dan memegang peranan penting dalam proses pembentukan aterosklerosis (Bastard et al., 2006). TNF- α merupakan salah satu target untuk pencegahan aterosklerosis. Pada penelitian dengan 2 kelompok tikus yang dihilangkan apolipoprotein E (apoE), kemudian dibandingkan antara kelompok I yang dihambat TNF- α nya, dan kelompok II yang tidak dihambat. Pada kelompok yang dihambat, ateroskelosis berkurang (Brånén et al.,2004). Pengaruh GH terhadap TNF-α belum banyak diketahui. GH diketahui menurunkan profil lipid pada dislipidemia melalui peningkatan ekskresi kolesterol melalui empedu serta peningkatan pemecahan VLDL dan LDL (Frick et al., 2001; Lind et al., 2009). Penelitian pada binatang dan manusia menunjukkan hasil yang berbeda. Pada penelitian yang dilakukan pada 24 anak dengan GHD diketahui pemberian injeksi recombinant GH ( 0,03-0,04 mg/ per kg BB SC) 1 kali per hari, dibandingkan dengan 33 anak yang sehat sebagai kontrol. TNF –α level lebih tinggi secara signifikan pada anak dengan GHD dibandingkan anak yang normal. Setelah pemberian GH selama 6 dan 12 bulan diketahui GH menurunkan TNF-α secara signifikan pada anak-anak dengan GHD. Dari data ini didapat GH memegang peranan dalam menghambat pelepasan TNF-α pada manusia (Andiran et al., 2007). Penelitian pada pasien cardiomyopati idiopatik pemberian GH 4 iu tiap dua hari diketahui mampu menurunkan kadar TNF-α secara signifikan. Pemberian GH dilakukan secara subkutan selama 12 minggu (Adamopoulos et al.,2003). Pemberian GH dosis rendah juga diketahui menurunkan ekspresi Toll like Receptor 2 ( TLR2)/TNF-α di jaringan lemak pada berbagai model mencit yang diberi diet tinggi kolesterol (Kubota et al.,2008). Begitu pula dengan pemberian human recombinant IGF-1 (1,5 mg/kg/hr) pada tikus Apo E-/- usia 8 minggu yang diberi diet tinggi kolesterol selama 12 minggu menunjukkan penurunan ekspresi vascular dari faktor proinflamasi TNF-α dan IL-6 (Sukhanov et al., 2007). Pada penelitian ini digunakan tikus galur wistar jantan karena pada penelitian sebelumnya menunjukkan tikus jantan dengan pemberian GH lebih signifikan dalam menurunkan kadar kolesterol (dislipidemia) dibandingkan tikus betina (Frick, 2001). Tikus yang digunakan umur 11-12 bulan karena sesuai dengan umur manusia 30- an tahun dimana sudah terjadi tanda- tanda penuaan sub klinis (Hanson, 2010). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah pemberian GH dapat menurunkan kadar TNF-α pada tikus jantan yang dislipidemia? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek anti inflamasi GH pada tikus jantan yang dislipidemia. 1.3.2 Tujuan khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui pemberian GH dapat menurunkan kadar TNF- α pada tikus jantan yang dislipidemia. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Ilmiah Melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah data atau penelitian mengenai jalur kerja dan peran growth hormone dalam patogenesis penyakit yang berhubungan dengan penuaan, khususnya akibat kondisi dislipidemia serta sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya. 2. Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan sebagai pertimbangan dalam penggunaan growth hormone sebagai terapi anti penuaan, khususnya pada kondisi dislipidemia. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Proses Penuaan Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi berbagai organ tubuh. Berbagai teori menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan. Secara garis besar, terjadinya proses penuaan dibagi menjadi dua kelompok yaitu teori wear and tear dan teori program. Teori wear and tear meliputi kerusakan DNA, glikosilasi, inflamasi dan radikal bebas. Teori program meliputi replikasi sel, proses imun, dan neuroendocrine theory (Goldman dan Klatz, 2003 ; Pangkahila, 2007). Teori inflamasi pada proses penuaan berkaitan dengan terjadinya inflamasi kronik di dalam tubuh yang disebabkan oleh reaksi imun pada tingkat seluler, dimana proses ini menyebabkan meningkatnya sitokin – sitokin pro inflamasi antara lain TNF- , IL-6 dan lainlain serta meningkatnya radikal bebas sehingga terjadi perusakan sel-sel normal. Inflamasi kronis berkontribusi pada penuaan banyak jaringan dan sangat menonjol pada penuaan sistem kardiovaskuler dan sistem saraf (Stibich, 2006) . Teori neuroendokrin menunjukkan keterlibatan hormon dan sistem saraf dalam proses penuaan. Hormon berfungsi untuk mengatur fungsi-fungsi organ tubuh. Satu hormon dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu fungsi dan satu fungsi dapat dikontrol oleh lebih dari satu hormon. Produksi hormon diatur oleh hipotalamus yang mengontrol kelenjar/sel penghasil hormon lainnya. Sekresi hormon berkaitan dengan kontrol umpan balik negatif. Hubungan ini melibatkan poros hipotalamus-hipofise yang mendeteksi perubahan 8 konsentrasi hormon yang di sekresi oleh beberapa kelenjar endokrin perifer (Djuanda, 2007). Pada usia muda kadar hormon berada dalam kondisi optimal sehingga tercapai performa biologis yang prima dan berbagai organ tubuh dapat bekerja dengan baik. Secara umum dirasakan kemampuan kognitif, motorik, sensorik, mental, dan seksual berada dalam keadaaan puncak sehingga dirasakan adanya kualitas hidup yang tinggi (Pangkahila, 2007). Produksi hormon mengalami perubahan ketika penuaan terjadi. Hormon tertentu mengalami penurunan seperti GH, triiodothyronine (T3), testosteron, estrogen, renin, aldosteron, dehydroepiandrosterone (DHEA) dan dehydroepiandrosterone sulphate (DHEAS). Peningkatan kadar hormon juga terjadi pada penuaan seperti follicle stimulating hormone (FSH), leutenizing hormone (LH), vasopressin, insulin, parathyroid hormone (PTH), dan atrial natriuretic hormone (ANH) dan leptin. Ketidakseimbangan produksi hormon tersebut berpengaruh terhadap regulasi fungsi-fungsi tubuh dalam rangka pertumbuhan, pemeliharaan dan perbaikan. Sehingga timbul berbagai keluhan yang dianggap sebagai gejala penuaan. Hubungan antara penuaan dan perubahan hormon terjadi timbal balik, yaitu proses penuaan mempengaruhi produksi hormon begitu pula sebaliknya penurunan hormon yang menyebabkan timbulnya keluhan-keluhan penuaan (Djuanda, 2007; Pangkahila, 2007). Tanda dan proses penuaan dibagi menjadi dua bagian yaitu tanda fisik dan psikis. Tanda fisik seperti massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut, daya ingat berkurang, fungsi seksual terganggu, kemampuan kerja menurun, dan sakit tulang. Tanda psikis antara lain menurunnya gairah hidup, sulit tidur, mudah cemas, mudah tersinggung dan merasa tidak berarti lagi. Proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap yaitu (Pangkahila, 2007) : 1) Fase subklinik (usia 25-35 tahun) Sebagian besar hormon mulai menurun, yaitu hormon testosteron, GH, dan estrogen. Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh, seperti diet yang buruk, stres, polusi, paparan berlebihan radiasi ultraviolet dari matahari. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Individu akan tampak dan merasa “normal” tanpa tanda dan gejala dari aging atau penyakit. Bahkan, pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal. 2) Fase transisi (usia 35-45 tahun) Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Kehilangan massa otot yang mengakibatkan kehilangan kekuatan dan energi serta komposisi lemak tubuh yang meninggi. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya risiko penyakit jantung, pembuluh darah, dan obesitas. Pada tahap ini mulai muncul gejala klinis, seperti penurunan ketajaman penglihatan, pendengaran, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan seksual dan bangkitan seksual menurun. Individu mulai merasa dan tampak tua. Radikal bebas mulai mempengaruhi ekspresi gen, yang menjadi penyebab dari banyak penyakit aging, termasuk kanker, arthritis, kehilangan daya ingat, penyakit jantung koroner dan diabetes. 3) Fase Klinik (usia 45 tahun keatas) Pada tahap ini terjadi penurunan hormon yang berlanjut, termasuk DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin, GH (Growth Hormone), testosteron, estrogen, dan hormon tiroid. Terdapat juga kehilangan kemampuan penyerapan nutrisi, vitamin, dan mineral sehingga terjadi penurunan densitas tulang, kehilangan massa otot sekitar 1 kilogram setiap 3 tahun yang mengakibatkan ketidakmampuan membakar kalori, peningkatan lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis menjadi sangat jelas terlihat, akibat sistem organ yang mengalami kegagalan. Ketidakmampuan menjadi faktor utama sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan. Konsep Anti Aging Medicine pada awalnya diperkenalkan oleh American Academy of Anti Aging Medicine (A4M) pada tahun 1993, yaitu bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi , kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat (Pangkahila, 2007) . Konsep ini mencerminkan adanya suatu paradigma baru yang sangat berkebalikan dengan pandangan umum yang telah ada sebelumnya, yaitu menjadi tua adalah takdir manusia yang sudah digariskan dan karenanya tidak dapat ditolak (Goldman dan Klatz, 2003; Pangkahila, 2007). 2.2. Growth Hormone Growth hormone adalah salah satu hormon yang mengalami penurunan ketika terjadi penuaan. Growth Hormone adalah hormon polipeptida, terdiri dari 191 asam amino yang disintesis oleh sel somatotropik di kelenjar pituitari anterior. Sekresi GH diatur secara sentral oleh hormon hipotalamus, yaitu growth hormone releasing hormone (GHRH) dan somatostatin. GHRH berfungsi untuk merangsang produksi GH sedangkan somatostatin menghambat sekresi GH. Pelepasan GH juga diregulasi oleh respon neurohormonal. Rangsangan kolinergik meningkatkan sekresi GH dengan menghambat pelepasan somatostatin, sedangkan rangsang β-adrenergik memiliki efek yang berlawanan. Respon perifer juga mempengaruhi sekresi GH. Ini dapat terjadi melalui somatostatin yang juga diproduksi pada jaringan lain atau hormon ghrelin yang diproduksi di lambung. Ghrelin dapat memicu sel somatotrof untuk memproduksi GH. Hormon-hormon lain yang dapat mempengaruhi GH adalah kortisol, thyroid releasing hormone (TRH), leptin, seks steroid, dan hormon tiroid. Kortisol dan TRH dapat menghambat sekresi GH sedangkan hormon tiroid dan seks steroid memicu pelepasan GH. Keadaan-keadaan seperti aktivitas fisik, starvasi, anoreksia, stres dan jumlah jam tidur dapat menstimulasi sekresi GH. Sedangkan depresi, hiperglikemia, dan obesitas menurunkan GH basal, tetapi menstimulasi sekresi GH ( Tien et al, 2000). Hormon ini disekresikan secara pulsatil dengan rata-rata frekuensi 13 kali per hari. Puncaknya terjadi pada malam hari ketika pelepasan somatostatin berkurang. Sekresi yang kurang menonjol juga terjadi beberapa jam setelah makan. Kadar normal umumnya kurang dari 10 ng/mL dan tertinggi masa pubertas. Kadar hormon ini rendah pada masa anak-anak dan menurun pada usia lanjut (Tien el al., 2000; Pangkahila, 2007). Growth hormone menghambat pelepasan melalui mekanisme umpan balik. Hal ini terjadi melalui beberapa jalur yang diperankan oleh GH maupun IGF-1. Sel somatotrof dapat dihambat secara langsung melalui rangsangan produksi IGF-1 lokal maupun melalui hambatan pada GHRH dan stimulasi somatostatin oleh GH. Mekanisme lainnya adalah melalui IGF-1 yang sebagian besar diproduksi di hati akibat rangsangan GH. IGF1 tersebut dapat menghambat sintesis GHRH dan merangsang sintesis somatostatin (Tien et al., 2000; Gardner dan Shoback, 2007). Gambar 2.1 Regulasi Sekresi Growth Hormone (Besser, 2007) . Pengaruh GH terhadap proses fisiologi tubuh sangat kompleks. Growth hormone adalah komponen pokok yang mengontrol sebagian dari proses fisiologis kompleks yaitu pertumbuhan dan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Goldman dan Klatz, 2003). Ada dua mekanisme GH dalam bekerja, yaitu: secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung GH menyebabkan lipolisis, meningkatkan transportasi asam amino ke jaringan, sintesis protein dan glukosa di hati serta beberapa efek Iangsung pada pertumbuhan tulang rawan (Gardner dan Shoback, 2007). Secara tidak langsung GH bekerja melalui IGF-1 yang dihasilkan oleh berbagai jaringan sebagai respon terhadap GH. IGF-1 dalam sirkulasi terikat pada 6 spesific binding potein dalam beberapa kombinasi. IGF-binding protein (IGFBP) yang utama adalah IGFBP-3 yang merupakan 95 % dari semua binding protein. Jaringan yang memproduksi IGF-1 antara lain hati, otot, tulang, tulang rawan, ginjal dan kulit. Sebagian besar IGF-1 yang dilepas disirkulasi berasal dari hati ( Pangkahila, 2007). Pada penuaan terjadi penurunan kadar GH. Kadar growth hormone 24 jam menurun 14% perdekade setelah umur 21-30 tahun. Pada umur 20 tahun menjadi 500 mikrogram, umur 40 tahun 200 mikrogram, dan hanya 25 mikrogram saat umur 80 tahun (Klatz, 1997). Lebih dari 90% penyebab defisiensi GH adalah kelainan pada kelenjar hipofise. The KIMS study (The Pharmacia International Metabolic surveillance Study) menyebutkan defisiensi GH sebagian besar disebabkan oleh adeno hipofise, yaitu 59% pada usia 18-65 tahun dan 85% pada usia 65 - 82 tahun. Penyebab lainnya adalah craniapharyngioma, idiopatik, radiasi, operasi, trauma, penyakit infiltratif, seperti sarkoidosis. histiositosis, trauma kepala dan kerusakan pembuluh darah ( Pangkahila, 2007). Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan GH pada penuaan, yang tidak termasuk salah satu kelainan di atas belum jelas diketahui. Faktor- faktor yang berperan dalam patofisiologi defisiensi GH, antara lain (Pangkahila, 2007): 1. Adiposity Keadaan obesitas dapat menyebabkan penurunan sekresi GH, tidak hanya pada usia tua namun juga pada usia muda, terutama pada obesitas sedang dan berat. 2. Berkurangnya produksi hormon seks steroid. Penurunan kadar estrogen pada wanita dan testosteron pada pria dapat mempengaruhi sekresi GH. 3. Kebugaran fisik yang menurun Kapasitas aerobik mempunyai hubungan dengan konsentrasi serum GH 24 jam. 4. Tidur terganggu Sekresi GH dapat dipengaruhi pola tidur yang berubah karena terjadinya terutama selama tidur dalam gelombang lambat (slow-wave sleep). 5. Malnutrisi Status nutrisi yang rendah berpengaruh negatif terhadap sintesis dan daya kerja IGF-1. Defisiensi GH menunjukkan gejala yang menyerupai gejala yang identik dengan keluhankeluhan umum yang dialami pada penuaan. Pada laki-laki, penuaan dan defisiensi growth hormone sama-sama berhubungan dengan penurunan protein sintesis, massa bebas lemak, dan mineral tulang serta peningkatan lemak tubuh. Gejala dan tanda adanya penurunan GH antara lain ( Pangkahila, 2007): 1. Status kesehatan secara umum dirasakan menurun 2. Gangguan kenyamanan secara psikologis, perasaan tertekan, kecemasan, tidak stabil 3. Kelelahan emosi 4. Berkurangnya energi dan vitalitas 5. Kulit tipis dan kering dengan ekstremitas terasa dingin 6. Berkurangnya massa bebas lemak 7. Volume cairan ekstraseluler berkurang 8. Bertambahnya lemak total dan di daerah perut 9. Berkurangnya kekuatan otot dan kapasitas berolahraga 10. Berkurangnya densitas mineral tulang 11. Penurunan kolesterol high density lipoprotein (HDL) 12. Peningkatan kolesterol low density lipoprotein (LDL) 13. Penurunan aliran darah ginjal 14. Penurunan basal metabolic rate 15. Penurunan ambang anaerohik Pada penderita dengan defisiensi GH ditemukan peningkatan risiko mortalitas akibat penyakit kardiovaskular. Diagnosis defisiensi GH dapat ditetapkan apabila terdapat gejala dan tanda di atas dengan didukung oleh pemeriksaan kadar GH setelah stimulus ( Pangkahila, 2007). Pengukuran IGF-1 dan 1GFBP-3 untuk menentukan adanya defisiensi GH pada orang dewasa tidak reliabel. Serum IGF-1 yang berada di bawah kisaran normal menunjukkan adanya defisiensi GH bila tidak ada penyebab lain yang menyebabkan IGF-1 rendah, seperti, malnutrisi, penyakit hepar, diabetes mellitus tak terkontrol, dan hipotiroid. Begitu pula dengan kadar IGFBP-3, kadar yang rendah menunjukkan adanya defisiensi GH ( Pangkahila, 2007). 2.2.1. Penggunaan growth hormone pada penuaan Banyak negara telah menyetujui penggunaannya pada orang dewasa dengan defisiensi hormon tersebut walaupun masih sering diperdebatkan. Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui penggunaan growth hormone pada orang dewasa sebagai terapi untuk defisiensi yang disebabkan oleh penyakit hipopituari atau hipotalamus serta adanya respon serum GH yang rendah pada tes stimulasi. Selain itu penggunaan GH untuk mengatasi kaheksia dan wasting pada penderita Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) juga disetujui oleh FDA. Terapi ini juga telah dikerjakan untuk penyakit-penyakit katabolik, seperti, pada keadaan distres pernafasan, luka bakar, penyembuhan setelah operasi, kardiomiopati kongestif, transplantasi hepar dan gagal ginjal ( Goldman dan Klatz, 2003; Pangkahila, 2007). Penggunaan GH masih kontroversi disebabkan oleh belum banyaknya data tersedia mengenai penggunaan GH pada penuaan. Masih banyak yang meragukan karena belum adanya bukti yang dianggap kuat bahwa GH mampu mencegah penyakit kardiovaskular maupun bukti yang menunjukkan terapi ini dapat meningkatkan insiden kanker (Vance, 2008). Tujuan pengobatan GH pada orang dewasa adalah untuk meningkatkan tenaga dan keadaan otot, mengembalikan komposisi normal tubuh, dan meningkatkan kualitas hidup. Secara biokimia, target pengobatan GH adalah mengembalikan serum IGF-1 pada kadar yang normal atau dalam konteks penggunaannya pada proses penuaan mengembalikan kadar serum IGF-1 seperti usia muda. Pengaruh pengobatan GH yang harus dipertimbangkan sebagai parameter perbaikan adalah ( Pangkahila, 2007): 1. Meningkatnya massa bebas lemak tubuh 2. Meningkatnya densitas mineral tulang 4 - 10% di atas baseline setelah paling sedikit 12 bulan pengobatan 3. Meningkatnya kekuatan otot dengan normalisasi sempurna setelah 3 tahun pengobatan 4. Berkurangnya serum total kolesterol, LDL dan rasio LDL/HDL 5. Perasaan nyaman dan kualitas hidup Rekomendasi FDA menyebutkan dosis awal untuk terapi GH adalah 3-4 μg/kgBB yang diberikan secara subkutan sekali sehari dengan dosis maksimal 25 μg/kgBB untuk usia hingga 35 tahun dan 12,5 μg/kgBB untuk usia di atas 35 tahun (Elderisi, 2008). Berdasarkan Growth Hormone Research Society pengobatan dapat dilakukan dengan memulai dosis yang rendah, yaitu 0,15 - 0,30 mg/hari (0,45 - 0,90 IU/hari). Dosis dapat dinaikkan secara bertahap tergantung reaksi secara klinis dan biokimia, tetapi tidak lebih sering dari interval setiap bulan. Dosis pemeliharaan bervariasi pada setiap orang dan jarang melebihi 1,0 mg/hari (3,0 IU/hari) (Pangkahila, 2007). Praktisi lain meyakini penggunaan GH harus mampu menghasilkan efek menyerupai pola sekresi GH tubuh, yaitu dengan memberikan GH dengan frekuensi lebih sering dan dosis rendah. GH diberikan dengan dosis 0,3 - 0.7 IU dua kali sehari, yaitu sebelum tidur dan pagi hari. Dengan pola seperti ini efek samping penggunaan GH bisa diminimalisasi (Goldman dan Klatz, 2003). Selama terapi ini perlu dilakukan pemantauan. Pemantauan dilakukan terhadap gejala dan tanda klinis serta serum IGF-1. Pemantauan ini dilakukan setiap 1 atau 2 bulan untuk menyesuaikan dosis yang diperlukan untuk hasil terapi maksimal (Goldman dan Klatz, 2003). Efek samping yang mungkin ditimbulkan oleh terapi growth hormon yang paling sering adalah edema, athralgia dan mialgia. Efek samping lain, yaitu carpal tunnel syndrome, ginekomastia, glucose intolerance, infeksi saluran pernafasan, kaku otot, nyeri ekstremitas, sakit kepala dan migrain. Tetapi insiden dari efek samping ini sangat rendah, yaitu 1,06 pasien setiap tahun, sehingga pengobatan ini relatif aman. Efek samping ini sangat tergantung kepada dosis, umumnya ditemukan pada pasien yang menerima GH dalam dosis besar. Efek samping ini dapat berkurang dengan mengurangi dosis yang diberikan (Goldman dan Klatz, 2003 ; Pangkahila, 2007). Kontraindikasi mutlak penggunaan terapi GH adalah adanya keganasan aktif, benign intracranial hypertension dan retinopati diabetes. Kehamilan awal bukan kontraindikasi, tetapi pada trimester kedua, terapi GH harus dihentikan karena GH diproduksi oleh plasenta (Pangkahila, 2007). 2.3. Lipid ( Lemak ) Lipid yang disebut juga lemak, adalah suatu zat yang kaya akan energi, berfungsi sebagai sumber energi yang utama untuk proses metabolisme tubuh. Lipid yang beredar di dalam tubuh diperoleh dari dua sumber yaitu dari makanan dan hasil produksi organ hati, yang bisa disimpan di dalam sel-sel lemak sebagai cadangan energi (Muray, 2002). Lipid plasma berasal dari makanan (eksogen) atau disintesis dalam tubuh (endogen). Lipid sukar larut dalam air, pengangkutannya dalam tubuh berbentuk kompleks dengan protein yang disebut lipoprotein. Lipoprotein tersusun atas inti yang sukar larut (non polar) yang terdiri atas ester kolesterol dan trigliserida serta bagian yang mudah larut (polar) yang terdiri dari protein, fosfolipid dan kolesterol bebas (Muray, 2002). Lipid disimpan dalam dua jaringan tubuh utama, yaitu jaringan adiposa dan hati. Fungsi utama jaringan adiposa adalah menyimpan trigliserida sampai diperlukan untuk membentuk energi dalam tubuh. Sel lemak (adiposit) dari jaringan adiposa merupakan modifikasi fibroblas yang menyimpan trigliserida yang hampir murni dengan jumlah sebesar 80 sampai 95 persen dari keseluruhan volume sel. Adiposit juga berperan sebagai kelenjar endokrin yang mensekresikan berbagai sitokin dan neuropeptida yang berperan dalam metabolisme (Muray, 2002). Lipid ditranspor terutama dalam bentuk asam lemak bebas. Keadaan ini dicapai dengan hidrolisis trigliserida kembali menjadi asam lemak dan gliserol. Pada keadaan setelah penyerapan, setelah semua kilomikron dikeluarkan dari darah, lebih dari 95 persen seluruh lipid di dalam plasma berada dalam bentuk lipoprotein. Lipoprotein ini merupakan partikel kecil lebih kecil dari kilomikron tetapi komposisinya secara kualitatif sama mengandung trigliserida, kolesterol, fosfolipid, dan protein. Konsentrasi total lipoprotein dalam plasma rata-rata sekitar 700 mg per 100 ml plasma yaitu 700 mg/dl. Klasifikasi lipoprotein didasarkan pada densitas yang menggambarkan ukuran partikel. Semakin besar rasio lipid/protein maka semakin besar ukurannya dan makin rendah densitasnya. Terdapat lima kelas utama lipoprotein yaitu kilomikron, very low density lipoprotein ( VLDL ), intermediate density lipoprotein ( IDL ), low density lipoprotein ( LDL ) dan high density lipoprotein ( HDL ) (Golberg, 2008). Sistem jalur pengangkutan lipoprotein dapat dibagi menjadi 2 (dua) jalur yaitu: 1. Sistem eksogen yang mengangkut hasil pencernaan dari lipid yang berasal dari diet. Lipid-lipid tersebut seperti: trigliserida, fosforlipid, kolesterol-bebas diangkut di dalam partikel lipoprotein khusus yang disebut kilomikron selanjutnya dikeluarkan oleh sel epitel mukosa ke ductus lacteal usus halus. Dalam sirkulasi darah kilomikron yang kaya akan trigliserida akan berinteraksi dengan enzim lipoprotein lipase yang menghidrolisis sebagian besar trigliserida pada inti kilomikron menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak ini akan diambil untuk digunakan oleh jaringan-jaringan tubuh. Partikel sisa kilomikron yang sudah kehilangan banyak trigliseridanya akan beredar kembali ke sirkulasi darah dan diambil oleh hati, sehingga dengan demikian lipid-lipid oksigen yang berasal dari pencernaan kecuali trigliserida akhirnya masuk ke dalam hati. 2. Sistem endogen yang mengangkut lipid yang berasal dari hepar ke jaringan tubuh melalui sirkulasi darah. Lipid ini bersama dengan lipoprotein dirakit menjadi partikel VLDL (Very Low Density Lipoprotein) di dalam hati dan disekresi ke sirkulasi darah. Sesampainya di pembuluh kapiler berbagai VLDL jaringan tubuh berinteraksi dengan enzim lipoprotein lipase yang menghidrolisis sebagian besar trigliserida dalam intinya dan dikonversi menjadi partikel IDL (Intermediet Density Lipoprotein). Sebagian besal partikel IDL yang terbentuk akan mengalami hidrolisis lebih lanjut membentuk LDL (Low Density Lipoprotein). LDL merupakan lipoprotein yang kaya akan kolesterol dan berperan dalam pengangkutan kolesterol ke jaringan perifer (lemak jahat). Sebagian besar LDL diambil oleh hepar sebagian lagi dilepas ke jaringan tubuh lainnya melalui mekanisme endositosis dengan perantara reseptor LDL ( Murray, 2002). Bila membrane sel telah menjadi jenuh terhadap kolesterol karena penerimaan LDL dan biosintesis internal yang berlebih, terjadilah pengambilan kolesterol ke cairan ekstraseluler untuk dibawa kembali ke hati, yang dikenal sebagai reverse cholesterol transport. Hal ini diduga dilakukan oleh HDL yang merupakan lemak baik sebagai antitrombin. Anti-trombin adalah High Density Lipoprotein yang dapat membantu mengeluarkan tumpukan kolesterol, terjadi anti inflamasi yaitu NO endotel menghambat adhesi leukosit pada endotel (Murray, 2002). 2.3.1. Dislipidemia Dislipidemia adalah suatu keadaan abnormal dari metabolisme lipoprotein, biasanya berhubungan dengan overproduksi atau kekurangan lipoprotein. Dislipidemia juga sering dikatakan sebagai hiperlipidemia, yang merupakan peristiwa peningkatan lipid serum sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskular. Hal ini disebabkan pada dislipidemia juga ada prilaku kolesterol yang berperan pada aterosklerosis. Jadi yang membedakan antara hiperkolesterolemia dengan dislipidemia adalah hiperkolesterolemia didefinisikan sebagai peningkatan kolesterol serum melebihi dari 200 mg/dl setelah 9-12 jam puasa, Sebaliknya, pada dislipidemia disamping kriteria untuk hiperkolesterolemia juga terjadi peningkatan kolesterol LDL-serum > 160 mg/dl, trigliserida serum sebesar 150 mg/dl, atau kolesterol HDLserum < 40 mg/dl untuk laki-laki dan < 50 mg/dl untuk perempuan. Diit kolesterol tinggi dapat menginduksi dislipidemia di samping juga dapat dipicu akibat faktor genetik (Kreisberg dan Reusch, 2005; Golberg, 2008). Terjadi hubungan yang linier antara kadar kolesterol dengan risiko penyakit jantung koroner. Sehingga dislipidemia sebenarnya tidak bisa didefinisikan, tetapi kontrol dan uji kadar kolesterol maupun trigliserida secara rutin akan memberikan manfaat agar diketahui apakah akan terjadi risiko aterosklerosis maupun penyakit jantung koroner (Kreisberg dan Reusch, 2005; Golberg, 2008). Penyebab dislipidemia dapat secara genetik ( primer ) maupun akibat gaya hidup seperti diet kaya lemak dan kurangnya aktivitas fisik. Pemicu lainnya adalah diabetes mellitus, peminum alcohol, chronic kidney disease, hypothyroidism, primary biliary chirosis dan other cholestatic liver diseases, serta obat-obatan seperti thiazides, β-blockers, retinoids, highly active antiretroviral agents, estrogen dan progestin serta glucocorticoids (Goldberg, 2008). Pada tikus kadar normal kolesterol total tikus adalah 10 – 54 mg/dl (Kusumawati, 2004). Kadar normal LDL tikus adalah 17 – 22 mg/dl dan kadar normal HDL tikus adalah 77 – 84 mg/dl, sedangkan kadar normal trigliserida tikus adalah 26 – 145 mg/dl (Wahyuni, unpublished data). Tikus dikatakan dislipidemia bila terjadi kenaikan berat badan > 20% atau kadar kolesterol total serum > 200 mg/dL (Hardini, 2007) 2.4. Inflamasi Inflamasi adalah suatu proses kompleks yang dimulai dari jaringan. Kerusakan jaringan ini disebabkan oleh faktor endogen (misalnya nekrosis jaringan) dan faktor eksogen (misalnya kontak dengan bahan asing atau infeksi). Respon inflamasi merupakan bagian dari kekebalan innate dan kekebalan yang didapat (acquired). Kekebalan innate merupakan system kekebalan yang sudah kita dapat sejak lahir elemen-elemennya pada: kulit, sistem pencernaan, paru-paru, pernapasan, sirkulasi, organ limfa dan serum. Sistem imun ini merupakan suatu kontelasi respon yang unik terhadap inflamasi (Mayer, 2006). Inflamasi pada umumnya merupakan respon terhadap jejas pada jaringan hidup yang memiliki vaskularisasi. Respon radang ini diikuti oleh proses yang sangat penting, yaitu reaksi pada endotel. Endotel adalah bagian terpenting pembuluh darah yang berperan dalam proses aterosklerosis. Endotel menjadi target utama dari injuri mekanis dan khemis akibat faktor dislipidemia. Kolesterol LDL terutama yang teroksidasi sangat potensial merusak endotel dan HDL sebagai komponen protektif sangat berperan dalam mekanisme aterosklerosis pada dislipidemia (Robbin dan Cotran, 2002; Kontush dan Chapman, 2006). Inflamasi bertujuan untuk menyekat serta mengisolasi jejas, menghancurkan mikroorganisme yang menginvasi tubuh serta menghilangkan aktivitas toksinnya, dan mempersiapkan jaringan bagi kesembuhan serta perbaikan. Meskipun pada dasarnya respon bersifat protektif, namun inflamasi dapat pula berbahaya; respon ini dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang bisa membawa kematian atau kerusakan organ yang persisten serta progesif akibat inflamasi kronik dan fibrosis yang terjadi kemudian (misalnya arthritis rheumatoid, aterosklerosis). Inflamasi umumnya ditandai oleh (Mayer, 2006): 1. Dua komponen utama yaitu dinding vaskuler dan respon sel radang. 2. Efek yang dimediasi oleh protein plasma yang beredar dari faktor-faktor yang diproduksi setempat oleh dinding pembuluh darah atau sel-sel radang. 3. Terminasi (berakhirnya respon inflamasi) baru terjadi ketika agen penyebabnya sudah dieliminasi dan mediator yang disekresikan dihilangkan, mekanisme anti inflamasi yang aktif juga turut terlibat. Pengaturan respon inflamasi dicirikan oleh peran antara efek pro-inflamasi (memulai sinyal ) dan anti inflamasi ( menghentikan sinyal ) yang dimediatori oleh sejumlah sitokin. Sitokin merupakan protein soluble dengan berat molekul yang rendah yang diproduksi pada respon terhadap antigen dan bertindak sebagai mediator untuk mengatur sistem imunitas baik alamiah amaupun adaptif. Sitokin merupakan messenger kimiawi dan termasuk diantaranya adalah tumor necrosis factors, interleukin, interferon, khemokin, dan factor pertumbuhan. Peran sitokin sangatlah kompleks, satu sitokin dapat bertindak pada sejumlah tipe sel yang berbeda ( pleiotropic ) , sitokin yang sama mengatur sejumlah fungsi yang berbeda ( multifunctional ) dan sejumlah sitokin yang berbeda dapat memiliki fungsi yang sama ( redundant ). Kesamaan tersebut dalam hal pemanfaatan komponen kunci pada jalur sinyal intraseluler. Pada umumnya sitokin – sitokin digolongkan menjadi (Hartanto, 2009) : 1. Sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, IL-1, interferon-α (IFN-α), IL-12, dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). IL-18 2. Sitokin anti-inflamasi seperti IL-4, IL-10, IL-13, IFN-α dan transforming growth factor-β (TGF-β). 2.4.1. Hubungan Dislipidemia dengan Inflamasi Inflamasi merupakan respon terhadap jejas pada jaringan hidup yang memiliki vaskularisasi. Respon ini dapat ditimbulkan oleh jaringan nekrotik dinding vaskuler dan respon sel radang (Robbin dan Cotran, 2002). Respon radang ini diikuti oleh proses yang sangat penting, yaitu proses endotel. Endotel adalah bagian terpenting pembuluh darah yang berperan dalam proses aterosklerosis. Endotel menjadi target utama dari injuri mekanis dan khemis akibat faktor dislipidemia. Dislipidemia mempunyai peranan penting pada terjadinya kerusakan sel-sel endotel. LDL terutama yang teroksidasi sangat potensial merusak endotel. Endotel menjadi lebih permeable terhadap lipoprotein, sehingga LDL penetrasi ke dinding vascular dan menuju tunika intima, dimana disini terjadi oksidasi LDL. Oksidasi LDL merangsang ekspresi dari VCAM-1 ( Vascular Cell Adhesion Molecule – 1 ) dan MCP-1 ( Monocyte Chemotactic Protein1 ) yang akan menarik monosit ke dinding arteri dan monosit berdifferensiasi menjadi makrofag sebagai respon atas diproduksinya agen lokal monocyte colony stimulating factor ( MCSF ) . Hal ini menghambat mobilitas makrofag sehingga terjadi immobilisasi pada subendotel. LDL teroksidasi diambil oleh makrofag melalui reseptor LDL scavenger sehingga makrofag penuh dengan lemak. Hal ini disebut sel busa atau foam cell (Kontush dan Chapman, 2006; Schneider et al., 2007). Dalam ateroma yang sedang berkembang, sel-sel busa mulai mengekskresi sitokin proinflamasi. Yang akan mempertahankan stimulasi kemotaktik untuk pelekatan leukosit peningkatan ekspresi reseptor Scavenger dan memicu replikasi makrofag. Ikatan CD40/ CD40L antara sel T teraktivasi dengan makrofag dapat menghasilkan ekspresi tissue factor (TF), matrix metalloproteinase (MMP) dan sitokin proinflamasi yang mengekalkan respon inflamasi (Bonetti et al., 2003 ;Szimiko et al., 2003). Foam cell akan memproduksi reactive oxygen spesies ( ROS ), sekresi sitokin – sitokin baik TNF-α maupun IL-1 dan matrix metallo-proteinase -9 (MMP-9) yang akan meningkatkan terjadinya aterosklerosis. Sitokin – sitokin pro inflamasi berperan dalam aterogenesis dan pecahnya plaque. Peningkatan kadar TNF-α dan IL-1 akan meningkatkan ekspresi molekul – molekul adhesi dan perekrutan monosit dalam perkembangan lesi aterosklerosis (Hartanto, 2009). Peranan kolesterol HDL pada penghambatan proses aterosklerosis melalui beberapa jalan antara lain: mempertahankan integritas endotel, memfasilitasi relaksasi pembuluh darah, menghambat adesi sel pada endotel, menurunkan agregasi platelet dan sistim koagulasi, serta mempertahankan proses fibrinolisis (Martens et al.,2001 ; Calabresi et al., 2003). 2.5. Tumor Nekrosis Faktor (TNF α) TNF-α pada awalnya ditemukan pada tumor tertentu yang mengalami pendarahan. Ternyata pendarahan ini disebabkan adanya nekrosis jaringan. Pada penderita infeksi oleh parasit ditemukan bahan yang dinamakan cahectin sebagai penyebab kekurusan yang berlebihan (kakeksi). Dua jenis mediator tersebut ternyata termasuk golongan sitokin yang kemudian dinamakan tumor nekrosis (TNF) (Subowo, 2009). TNF terutama dihasilkan oleh sel makrofag dan sel-sel jenis lainnya dengan berbagai aktivitas biologi pada sel-sel sasaran yang termasuk sistem imun maupun bukan. Sejumlah jenis sel baru dapat menghasilkan TNF setelah mendapatkan rangsangan yang cocok misalnya dari limfosit dan sel NK. Sumber TNF-α plasma pada keadaan aterosklerosis belum jelas, dapat berasal dari makrofag maupun sel lainnya seperti sel endotel dan sel lemak (Coppack, 2001; Skoog et al., 2002; Sukhanov et al., 2007). Sangat menarik terungkapnya jejaring pengawasan induksi dan efek dari TNF. Misalnya IL-1 menginduksi produksi TNF dan sebaliknya TNF menginduksi produksi IL-1 oleh makrofag, produksi IFN-β1 dan IFN-β2 oleh fibroblast dan produksi GM-CSF oleh berbagai jenis sel. Ada 2 bentuk TNF, yaitu TNF-α dan TNF-β. TNF-α diproduksi oleh berbagai jenis sel termasuk makrofag, sel T,B,NK, astrosit dan kupfer. Akhir-akhir ini terungkap TNF- α disebut pula TNF-β sebagai limfotoksin karena mempunyai efek sitotoksik, dihasilkan oleh limfosit TH1, sebagian oleh limfosit TH2 dan sel T sitotoksik. Sebaliknya TNF-β disekresi oleh sel T dan sel T teraktivasi. TNF- α dapat dihasilkan oleh beberapa sel, terutama makrofag akibat adanya suatu stresor ataupun infeksi. Pada saat ini beberapa studi melaporkan bahwa akan terjadi peningkatan terhadap produksi TNFα pada beberapa penyakit atau stresor, namun belum ditemukan nilai cut off point (Durum et al., 2003). Gen untuk TNF terdapat pada bagian lengan pendek khromosom 6 yang diduga di dekat atau di dalam komplek MHC. Molekul TNF manusia memiliki homologi sebesar 80% dengan TNF mencit atau kelinci serta 28 % dengan limfotoksin yang mempunyai mekanisme kerja dan reseptor yang sama dengan TNF disebut sebagai "TNF-β". Beberapa efek TNF dengan manifestasi dapat dijabarkan sebagai: 1. Efek TNF sebagai sitotoksik yaitu efek dari beberapa peristiwa jenis tumor yang mengalami kemunduran dan nekrosis yang disertai pendarahan. Mekanisme kematian sel tumor in vivo oleh TNF belum jelas, tetapi yang jelas bahwa kematian sel tumor akan dipercepat jika terdapat hambatan sintesis protein dalam sel tumor. Tetapi mekanisme kematian sel tumor secara in vivo bukan pengaruh langsung TNF karena terjadi nekrosis jaringan tumor akibat gangguan vaskuler. Terdapat bukti bahwa sel makrofag teraktifkan dapat membunuh sel-sel yunior, sedangkan TNF merupakan produk sel makrofag. 2. Efek TNF pada radang yaitu pada saat kini TNF dianggap sebagai mediator utama dalam radang. Pada penelitian dekade terakhir ini menunjukkan TNF diperoleh dalam bentuk murni secara biokimiawi ternyata bertanggung jawab kepada aktifitas "cahectin" yang umumnya bekerja pada penderita yang mengalami infeksi parasit. Mekanisme pada beberapa kejadian radang setempat diramalkan berdasarkan pengamatan dalam percobaan in vitro. Misal sel netrofil yang bereaksi dengan TNF meningkatkan pengikatannya dengan sel endotel, letupan respiratori dan degranulasinya. Pola kerusakan jaringan radang mirip dengan kerusakan IL-1, sehingga TNF dianggap penting dalam penyembuhan luka. 3. Efek TNF pada hematopoitik yaitu aktifitas dalam bentuk penghambatan koloni biakan granuiosit-monosit, eritrosit dan koloni sel multi-potensial pada jaringan sumsum tulang manusia, Tetapi sebaliknya progenitor dalam jaringan sumsum tulang pada percobaan in vivo. 4. Efek TNF pada imunologik yaitu tumor nekrosis factor mempunyai aktivitas perangsangan yang multiple terhadap limfosit T teraktifkan, misalnya respon proliferative Limfosit T terhadap antigen, peningkatan reseptor untuk IL-2 dan induksi produksi IFN-γ. Demikian juga imunitas spesifik terhadap tumor ditingkatkan oleh TNF. TNF dapat meningkatkan ekspresi antigen MHC kelas I pada fibroblast dan sel endotel. Semula Tumor necrosis factor-α (TNF-α) diidentifikasi sebagai mediator untuk nekrosis tumor yang dalam serum hewan yang diberi LPS (Lipopoly saccaharide). LPS konsentrasi tinggi menyebabkan kerusakan jaringan, DIG (Disseminated intravascular coagulation), dan kematian. Ditemukan pula bahwa TNF juga merupakan salah satu mediator penting pada proses hiperkolesterolemia pemicu aterosklerosis (Abbas et al., 2000). 2.6. Pengaruh Growth Hormone terhadap Dislipidemia. GH merupakan hormon yang penting dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Pada beberapa kasus efek langsung GH terlihat jelas, tetapi lebih banyak terlihat efek langsung dan tak langsung terjadi secara bersamaan (Rudling dan Angelin, 2001). Efek GH terhadap substrat metabolisme pada dasarnya ditujukan untuk konservasi protein tubuh. Pada keadaan kelebihan energi, GH akan meningkatkan retensi nitrogen, sedangkan pada kelaparan GH memobilisasi energi dari lemak (Moller dan Jorgensen, 2009). Kadar kolesterol tubuh juga dipengaruhi oleh GH. Pada tikus normal diketahui pemberian GH 1 mg/kg/hari selama 6 hari menurunkan kadar LDL dan HDL, begitu pula pada mencit dengan defisiensi reseptor LDL (Rudling dan Angelin; 2001). Sedangkan pada tikus dengan defisiensi GH terjadi perbaikan kadar kolesterol HDL, LDL dan apolipoprotein (Apo) E dan ApoB setelah terapi GH selama 6 hari dengan dosis yang lebih tinggi (Frick et al., 2002), Sebaliknya kadar GH yang meningkat dalam waktu lama menurunkan kadar trigliserida, asam lemak bebas dan VLDL tetapi menaikkan kadar LDL dan HDL (Frick et al., 2001). Penelitian pada manusia menunjukkan hasil sesuai dengan penelitian di atas. The KIMS study (The Pharmacia International Metabolic Surveillance Study), penelitian kohort tanpa kontrol, pada 2589 penderita defisiensi GH menunjukkan bahwa terapi sulih GH pada orang dewasa menurunkan kolesterol total, LDL dan HDL (Abs et al., 2006; Verhelst dan Abs. 2009). Penelitian randomized, double-blind dan placebo controled dengan waktu yang lebih singkat dan sampel yang lebih sedikit menunjukkan hasil yang konsisten hanya terhadap kolesterol total dan LDL (Maison et al., 2004; Oliviera et al., 2007). Growth Hormone mempengaruhi metabolisme kolesterol dan lipoprotein pada beberapa jalur penting pada hewan dan manusia, yaitu lipolisis adiposit, pengangkutan asam lemak bebas dan meningkatkan sintesis trigliserida di hati 2001). (Rudling dan Angelin, Penelitian pada tikus dan mencit mengindikasikan modulasi kolesterol terjadi melalui jumlah reseptor LDL dan ekskresi kolesterol melalui empedu. Pada defisiensi GH diketahui terjadi penurunan enzim C7αOH sehingga terjadi penumpukan kolesterol intrahepatik. Hal tersebut menyebabkan penurunan jumlah reseptor LDL dan meningkatnya aktivitas enzim HMG-CoA reductase. Sebagai hasil akhir sintesis kolesterol hepar akan meningkat (Verhels dan Abs, 2009). GH diketahui meningkatkan ekspresi reseptor LDL dan aktivitas enzim C7αOH reduktase di hepar, tetapi observasi pada manusia tidak mendukung modulasi GH terhadap aktivitas enzim C7αOH reduktase tersebut (Rudling dan Angelin, 2001; Lind et al., 2004). Selain itu GH juga mempengaruhi modifikasi mRNA ApoBl00 dan meningkatkan sekresi ApoE hepar serta VLDL. Komposisi VLDL dan LDL yang berubah dapat memacu pemecahan LDL dan VLDL oleh hepar melalui reseptor LDL. Mekanisme tersebut memungkinkan GH menurunkan jumlah kolesterol walaupun sekresi VLDL meningkat (Frick et al., 2001; Lind et al., 2004; Verhelst dan Abs, 2009). 2.7. Pengaruh Growth Hormone terhadap TNF-α Data mengenai pengaruh GH terhadap kadar TNF-α serum belum banyak diketahui. Penelitian pada binatang dan manusia menunjukkan hasil yang berbeda. Pada tikus yang dihipofisektomi ternyata terjadi penurunan sintesis TNF-α oleh makrofag dan pemberian GH memperbaiki keadaan tersebut secara parsial (Pagani et al., 2005). Pada penelitian yang dilakukan pada 24 anak dengan defisiensi GH ( GHD) diketahui pemberian injeksi recombinant GH ( 0,03-0,04 mg/ per kg BB SC) 1 kali per hari, dibandingkan dengan 33 anak yang sehat sebagai kontrol. TNF –α level lebih tinggi secara signifikan pada anak dengan GHD dibandingkan anak yang normal. Setelah pemberian GH selama 6 dan 12 bulan diketahui GH menurunkan TNF-α secara signifikan pada anak-anak dengan GHD. Dari data ini didapat GH memegang peranan dalam menghambat pelepasan TNF-α pada manusia (Andiran et al., 2007). Pemberian GH dosis rendah juga diketahui menurunkan ekspresi Toll like Receptor 2 ( TLR2)/TNF-α di jaringan lemak pada berbagai model mencit yang diberi diet tinggi kolesterol (Kubota et al.,2008). Begitu pula dengan pemberian human recombinant IGF-1 (1,5 mg/kg/hr) pada tikus Apo E-/- usia 8 minggu yang diberi diet tinggi kolesterol selama 12 minggu menunjukkan penurunan ekspresi vascular dari faktor proinflamasi TNF-α dan IL-6 (Sukhanov et al., 2007). Sebaliknya pasien GHD yang menunjukkan status imun yang normal, menunjukkan kadar GH tidak berpengaruh terhadap kadar sel-sel imun dan faktor inflamasi, walaupun diketahui bahwa sel-sel imun memiliki reseptor GH dan IGF-1. Selain itu penelitian invitro pada monosit/makrofag, pemberian GH meningkatkan kadar TNF-α secara akut setelah 6 jam (Pagani et al., 2005). Peningkatan yang akut menunjukkan kemungkinan modulasi terhadap makrofag secara langsung oleh GH. Mekanisme kerja GH dalam mempengaruhi produksi TNF-α belum sepenuhnya diketahui. Pada keadaan dislipidemia, GH diketahui memperbaiki kadar profil lipid melalui peningkatan ekskresi kolesterol melalui empedu serta peningkatan pemecahan VLDL dan LDL. Ekskresi kolesterol melalui empedu terjadi melalui peningkatan aktivitas enzim cholesterol-7α-hidroxilase (C7αOH). Penurunan kolesterol intrahepatik akan meningkatkan ekspresi reseptor LDL dan menurunkan aktivitas enzim 3-hydroxymethylglutaryl Coenzym A (HMG-CoA) reductase yang berakibat pada penurunan sintesis kolesterol hepar. Peningkatan pemecahan VLDL dan LDL oleh hepar terjadi karena meningkatnya jumlah reseptor LDL serta ekspresi Apo B 100 dan sekresi Apo E (Frick et al., 2001; Lind et al., 2009). Perbaikan profil lipid dapat menurunkan kadar TNF-α yang meningkat akibat dislipidemia. Selain itu GH juga diduga mempengaruhi produksi TNF-α secara langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung GH melalui IGF-1 dapat mempengaruhi TNF-α. IGF-1 adalah mitogen untuk sel endotel dan dapat menginduksi aktivitas c-Jun dan nuclear factor қB (NFқB) (Che et al., 2002). Pemberian GH diketahui menurunkan ekspresi TLR2 / TNF-α. Rangsangan terhadap TLR2 dapat mengaktivasi NFқB . NFқB merupakan faktor transkipsi yang dapat mengaktivasi gen penyandi TNF-α, IL-1β, IL-8, IL-10, IL-12, TGF-β, dan kemokin (Linawati, 2006). 2.8. Hewan Coba Tikus 2.8.1 Penggunaan Tikus ( Rattus Norvegicus ) di Laboratorium Penggunaan tikus atau rat (Ratus Norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna. Mudah dipelihara, merupakan hewan yang relative sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague-dawley yang berwarna albino putih berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya dan galur Wistar yang ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek . Berikut adalah data biologis tikus ( Kusumawati, 2004). KARAKTERISTIK Berat badan UKURAN Jantan Betina Berat lahir Lama hidup Temperatur tubuh (gram) (gram) (gram) (tahun) (oC) : 300-400 : 250-300 : 5-6 : 2,5-3 :35,9 - 37,5 Kebutuhan air Kebutuhan makanan Frekuensi denyut jantung Frekuensi respirasi (ml/100g BB) (g/100g BB) (permenit) (permenit) : 8-11 :5 : 330-480 : 66-114 Tidal volume (ml) : 0,6-1,25 Pubertas (hari) : 50-60 (hari) (hari) (hari) (hari) : 65-110 : 65-110 : 4-5 : 21-23 : 6-12 : 21 Saat dikawinkan Jantan Betina Lama siklus birahi Lama kebuntingan Jumlah anak perkelahiran Umur sapih Tabel 2.1 (hari) Data Biologis Tikus ( Kusumawati, 2004). 2.8.2 Pemberian Makanan Bahan dasar makanan tikus dapat bervariasi misalnya : protein (12%), lemak (5%), pati (45% - 50%), serat kasar kira-kira (5%), abu (4% - 5%), vitamin A (4000 IU/Kg), vitamin D (1000 IU/kg), alfa tokoferol (30 mg/kg), asam linoleat (3 g/kg), tiamin (4 mg/Kg), riboflavin (3 mg/Kg), pantotenat (8 mg/Kg), vitamin B12 (50 ug/Kg), biotin (10 ug/Kg), piridoksin (40 – 300 ug/Kg), biotin (10 ug/Kg), piridoksin (40-ug/Kg), dan Kolin (1000 mg/Kg) . Untuk memenuhi kebutuhan makanan tikus, di Indonesia dipakai makanan ayam petelur (kandungan protein 17%) yang mudah diperoleh di toko makanan ayam . Keperluan mineral tikus tercantum dalam Tabel 2.2 berikut ini : Mineral Kalsium Fosfor Magnesium Kalium Natrium Tembaga Yodium Besi Mangan Seng Kebutuhan 0,5% 0,4% 400 mg/kg 0,36% 0,05% 5,0% 0,15 mg/Kg 35,0 mg/Kg 50,0 mg/Kg 12,0 mg/Kg Tabel 2.2 Mineral dalam makanan tikus ( Kusumawati, 2004) BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Berpikir Salah satu hormon yang menurun pada saat proses penuaan adalah growth hormone yang ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol dan distribusi lemak tubuh. Penurunan GH ini pada penuaan menyebabkan kejadian dislipidemia meningkat seiring bertambahnya usia. Dislipidemia merupakan salah satu penyebab aterosklerosis. Oksidasi LDL yang terjadi pada keadaan dislipidemia memicu aktifitas proinflamasi antara lain meningkatnya rangsangan produksi sitokin proinflamasi dan kemokin, salah satunya TNF-α. Berdasarkan penelitian sebelumnya, pada keadaan dislipidemia GH diketahui memperbaiki kadar profil lipid melalui peningkatan ekskresi kolesterol melalui empedu serta peningkatan pemecahanVLDL dan LDL. Perbaikan profil lipid dapat menurunkan kadar TNF-α yang meningkat akibat dislipidemia. TNF-α merupakan salah satu faktor penting yang terlibat dalam proses pembentukan aterosklerosis. Pada penelitian dengan 2 kelompok tikus yang dihilangkan apolipoprotein E (apoE), kemudian dibandingkan antara kelompok I yang dihambat TNF- α nya, dan kelompok II yang tidak dihambat. Pada kelompok yang dihambat, ateroskelosis berkurang. Pada penelitian yang dilakukan pada 24 anak dengan GHD diketahui pemberian injeksi recombinant GH ( 0,03-0,04 mg/ per kg BB SC) 1 kali per hari, dibandingkan dengan 33 anak yang sehat sebagai kontrol. TNF –α level lebih tinggi secara signifikan pada anak dengan GHD dibandingkan anak yang normal. Setelah pemberian GH selama 6 dan 12 bulan diketahui GH 38 anak-anak dengan GHD (Andiran et al., menurunkan TNF-α secara signifikan pada 2007). Dari data ini didapat GH memegang peranan dalam menghambat pelepasan TNF-α pada manusia. Penelitian pada pasien cardiomyopati idiopatik pemberian GH 4 IU tiap dua hari diketahui mampu menurunkan kadar TNF-α secara signifikan. Pemberian GH dilakukan secara subkutan selama 12 minggu (Adamopoulus et al., 2003). Begitu pula dengan pemberian human recombinant IGF-1 (1,5 mg/kg/hr) pada tikus Apo E-/- usia 8 minggu yang diberi diet tinggi kolesterol selama 12 minggu menunjukkan penurunan ekspresi vascular dari faktor proinflamasi TNF-α dan IL-6 (Sukhanov et a.l., 2007). Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan diatas dapat disusun kerangka konsep dari penelitian sebagai berikut: 3.2 Konsep Penelitian Growth hormone Tikus Dislipidemia Faktor Internal: Umur Sex Status hormonal Kadar TNF-α Faktor Eksternal: Diet Exercise Stres psikologis Penyakit Gambar 3.1 Kerangka Konsep 3.3. Hipotesis Dari kerangka konsep dan landasan teori yang ada dapat disusun suatu hipotesis dari penelitian ini sebagai berikut: Pemberian Growth hormone dapat menurunkan kadar TNF-α tikus jantan yang dislipidemia. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental murni dengan pola Randomized Pre and Post Test Control Group Design (Pocock, 2008). Rancangan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut : P S P0 O1 P1 O3 P2 R O5 O2 O4 O6 Gambar 4.1. Rancangan Penelitian Keterangan: P : Populasi S : Sampel R : Randomisasi P0 : Perlakuan pada kelompok kontrol tikus dislipidemia dengan injeksi aquadest subkutan selama 14 hari 41 P1 : Perlakuan pada kelompok tikus dislipidemia dengan injeksi GH subkutan dengan dosis 0,04 IU/hr selama 14 hari P2 : Perlakuan pada kelompok tikus dislipidemia dengan injeksi GH subkutan dengan dosis 0,08 IU/hr selama 14 hari O1 : kelompok kontrol pre test O2 : kelompok kontrol post test O3 : kelompok perlakuan 1 pre test O4 : kelompok perlakuan 1 post test O5 : kelompok perlakuan 2 pre test O6 : kelompok perlakuan 2 post test 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Waktu penelitian adalah selama 1,5 bulan yang dilaksanakan di Animal Laboratory Unit Bagian Farmakologi FK Unud. Pemeriksaan kadar TNF-α plasma dilaksanakan di laboratorium patologi klinik R.S Sanglah. 4.3 Subyek Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah tikus galur wistar jantan yang dislipidemia berumur 11-12 bulan sesuai dengan usia manusia sekitar 30 tahun yang mengalami penuaan tahap sub klinis (Hanson, 2010) yang didapat dari Animal Laboratory Unit Lab. Farmakologi FK UNUD. 4.3.2. Sample Penelitian Dalam penelitian besar sampel ditentukan dengan rumus (Pocock, 2008): n 2σ 2 x f(α(β) (μ 2 μ1 ) 2 n : jumlah sampel σ : simpang baku kelompok kontrol μ1 : rerata hasil variabel kelompok perlakuan μ2 : rerata hasil variabel kelompok kontrol α : tingkat kemaknaan (tingkat kesalahan tipe I) → ditetapkan 0,05 β : tingkat kesalahan II = ditetapkan 0,1 f(α, β) : nilai pada tabel = 10,5 ( Pocock, 2008, table 9.1,hal.125) Berdasarkan penelitian awal maka didapat jumlah sampel (Misitahari, 2011) : n 2(1,06) 2 x 10 ,5 (6,18 10,54 ) 2 n = 1,241247 Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan minimal 2 ekor tikus tiap kelompok . 4.3.3. A. Kriteria Sampel Kriteria inklusi Kriteria inklusi untuk sampel dalam penelitian ini adalah 1. Tikus putih jantan galur Wistar yang dislipidemia 2. Umur 11 – 12 bulan 3. Berat 200 - 225 gram B. Kriteria drop out Tikus dikeluarkan dari percobaan (drop out) bila selama penelitian tikus mati. Dari jumlah sampel yang telah memenuhi syarat diambil secara acak sederhana untuk mendapatkan jumlah sampel yang sesuai dengan yang didapat dengan rumus Pocock yaitu 2 ekor tiap kelompok. Pada penelitian ini sampel tiap kelompok ditambahkan 20% sehingga jumlah sampel yang digunakan adalah 3 ekor. Pada penelitian ini total sampel untuk 3 kelompok yang diperlukan adalah 9 ekor tikus. 4.4. Variabel Penelitian 4.4.1. Identifikasi Variabel dan Klasifikasi Variabel Variabel dalam penelitian ini adalah A. Variabel bebas: growth hormone B. Variabel tergantung : kadar TNF-α plasma C. Variabel kendali : jenis kelamin, umur, berat badan, makanan dan lingkungan 4.4.2. Definisi Operasional Variabel Definisi operasional variabel-variabel penelitian di atas adalah sebagai berikut: A. Variabel bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah growth hormone dalam bentuk sediaan human recombinant somatotropin yang diberikan selama 14 hari secara injeksi subkutan dalam beberapa dosis, yaitu 0,04 IU/hr pada PI, dan 0,08 IU/hr pada P2. B. Variabel tergantung Kadar TNF-α adalah kadar TNF-α plasma. TNF-α diukur dengan menggunakan teknik quantitative sandwich enzyme immune assay (ELISA). C. Dislipidemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol total, LDL, trigliserida dan penurunan kadar HDL darah. Kadar kolesterol serum normal tikus adalah 10-54 mg/dL (Kusumawati, 2004). Tikus dikatakan dislipidemia bila terjadi kenaikan berat badan > 20% , kadar kolesterol total serum > 200 mg/dl (Hardini, 2007). D. Berat badan adalah berat tikus awal dan setelah perlakuan yang ditimbang dengan timbangan khusus merek Shunle yang tersedia di Lab. Farmakologi FK unud. E. Umur tikus ditentukan dengan melihat tanggal kelahiran yang telah dicatat oleh dokter hewan pada kandang binatang percobaan. F. Lingkungan adalah kandang dan suasana sekitar kandang dibuat agar tidak menimbulkan stres terhadap binatang percobaan. Tiap 1 ekor diletakkan pada kandang individu. G. Diet tinggi kolesterol adalah makanan tinggi kolesterol dengan komposisi kolesterol 1%, kuning telur 5%, lemak babi 10%, minyak goreng 1% dan makanan standar sampai dengan 100% (Litbangkes, 1991). H. Diet standar adalah makanan dengan komposisi sesuai dengan nutrisi standar yang dibutuhkan tikus dengan komposisi protein 20 - 25%, lemak 5 - 12%, serat kasar 2,5%, karbohidrat 45 - 60% (Kusumawati, 2004). 4.5. Instrumen Penelitian Secara umum alat dan bahan yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain; 9 ekor tikus Wistar jantan, kandang tikus, makanan tikus, dan timbangan khusus (Shunle) untuk menimbang berat badan tikus yang telah tersedia di Lab. Farmakologi FK UNUD. 4.5.1. Pemeriksaan TNF α 1. Reagen untuk mengukur kadar TNF-α ( Elisa Kit ) 2. Aquadest 3. Papan Fiksasi 4. Jarum 26 (26 Gauge) 5. Tabung penampung darah 6. Pipet 7. Elisa Reader 4.6. Prosedur Penelitian 4.6.1 Persiapan sebelum penelitian: - Persiapan binatang percobaan meliputi pemilihan umur yang sama, 11 - 12 bulan karena sesuai dengan umur manusia yang mengalami penuaan dan mulai terjadi penurunan kadar growth hormone, sehat, berat badan yang sesuai serta persiapan kandang dan makanan hewan. - Hari pertama sampai hari ketujuh dilakukan adaptasi binatang percobaan. 4.6.2 Penempatan tikus dalam kandang - Kandang yang digunakan ukuran 50 x 40 x 15 cm. - Bagian lantai kandang diisi sekam dengan tujuan untuk menyerap kotoran tikus. - Pada bagian samping kandang disediakan satu tempat makanan dan satu botol air minum untuk persediaan makan dan minum setiap hari. - Dalam satu kandang ukuran 50 x 40 x 15 cm ditempatkan 1 ekor tikus dengan harapan memiliki cukup ruang gerak sehingga tidak mengalami stres. - Kandang ditempatkan di dalam ruangan yang memiliki ventilasi yang baik, sumber cahaya yang memadai dan terlindung dari gangguan hewan lain. 4.6.3 Pemberian perlakuan - Tikus diberikan diet tinggi kolesterol dengan komposisi kolesterol 1%, kuning telur 5%, lemak babi 10%, minyak goreng 1% dan makanan standar sampai dengan 100% dan propiltiourasil. - Makanan diberikan secara ad libitum (tanpa batasan) selama penelitian berlangsung (6 minggu). - Selama pemberian diet tinggi kolesterol tikus dipantau berat badannya setiap minggu. - Diet dikembalikan ke diet standar setelah penelitian selesai. 4.6.4 Pemberian Growth Hormone - Growth hormone diberikan dalam tiga variasi dosis, yaitu dosis sedang 0,04 IU/hr, dan dosis tinggi 0,08 IU/hr. Pada kelompok kontrol diberikan injeksi aquadest. - Growth hormone dan aquadest diberikan secara injeksi, dengan volume 0,1 ml secara subkutan, pada daerah punggung. Injeksi diberikan satu kali sehari pada pukul 08.00 WITA selama 2 minggu. - Injeksi dilakukan oleh tenaga terlatih dan jarum yang digunakan selalu baru untuk meminimalisir nyeri. - Jeda waktu pemberian antar tikus yaitu setiap 5 menit agar tidak mempengaruhi kondisi psikologis tikus lainnya. - Injeksi dengan volume 0,1 ml sesuai dengan kapasitas injeksi subkutan pada tikus agar tikus tidak kesakitan atau sampai mati. 4.6.5 Proses pengambilan darah - Darah tikus diambil sebanyak 1 ml sebanyak dua kali yaitu pada pada hari ke 29 dan hari ke-44 di akhir penelitian. - Pengambilan darah dilakukan pada medial canthus sinus orbitalis karena terdapat pembuluh darah yang besar sehingga lebih mudah diambil serta waktu pemulihan lebih cepat. - Pengambilan darah dilakukan oleh tenaga yang terlatih sehingga tikus tidak mengalami trauma berat akibat tusukan pipet kapiler pada medial canthus sinus orbitalis. - Pengambilan darah dilakukan pada waktu pagi hari. 4.6.6 Pemberian makanan dan minuman - Makanan dan minuman yang diberikan merupakan diet tinggi kolesterol untuk tikus yang sudah melebihi kebutuhan tikus berdasarkan umur dan berat badannya. - Selain itu juga diberikan tambahan berupa zat besi, asam folat dan vitamin B12 untuk membantu pembentukan sel darah sehingga tikus tidak mengalami gangguan hemodinamik akibat pengambilan darah. 4.6.7. Pemeliharaan kesehatan tikus - Kesehatan tikus dipantau dengan cara mengamati keaktifan perilaku tikus setiap hari. - Apabila tikus mengalami sakit maka dipisahkan dalam kandang berbeda kemudian dilakukan pengobatan. Setelah tikus dinyatakan membaik, maka kembali digabungkan ke dalam kandang semula. - Setelah penelitian selesai, maka tikus dibiarkan hidup. - Untuk mengembalikan keadaan dislipidemia dan stres oksidatif akibat pemberian diet tinggi kolesterol, maka pemberian diet tinggi kolesterol dihentikan dan diganti dengan diet standar. Setelah itu apabila memungkinkan tikus tersebut dapat digunakan kembali untuk penelitian yang lain. 4.6.8. Perhitungan dosis growth hormone Dosis growth hormone pada manusia dewasa berkisar antara 0,45 IU -0,9 IU/hr (sebagai dosis awal) dan jarang melebihi 3 IU/hr (Pangkahila, 2007). Berdasarkan rekomendasi Food and Drug Administration dosis GH 3-4 ug/kgBB/hr dan maksimal 12,5 ug/kgBB/hr untuk usia di atas 35 tahun (Eledrisi, 2008). Pada penelitian ini digunakan dua variasi dosis, yaitu dosis sedang dan tinggi yang dikonversikan ke dosis tikus berdasarkan tabel konversi dosis (Kusumawati, 2004). Perhitungan: Dosis pada manusia: a. Dosis sedang GH pada orang dewasa : 8 ug/kgBB/hr X 3/1000 = 0,024 IU/kgBB/hr, untuk orang dewasa dengan berat badan 70 kg maka dosis menjadi: 0,024 IU/kgBB/hr X 70 kg = 1,68 IU/hr b. Dosis tinggi GH pada orang dewasa : 12,5 ug/kgBB/hr x 3/1000 = 0,0375 IU/kgBB/hr, untuk orang dewasa dengan berat badan 70 kg maka dosis menjadi: 0,0375 IU/kgBB/hr x 70 kg = 2,625 IU/hr Dosis pada tikus didapatkan : a. Dosis sedang: 1. Berat badan 200 gr: 0,018 x 1,68 IU/hr = 0,03024 IU/hr 2. Berat badan 300 gr: 3/2 x 0,03024 IU/hr = 0,04536 IU/hr 3. Berat badan 400 gr: 2 x 0,03024 IU/hr = 0,06048 IU/hr Dosis sedang rata-rata = 0,04536 IU/hr = 0.04 IU b. Dosis tinggi: 1. Berat badan 200 gr. 0,018 x 2,625 IU/hr = 0,0475 IU/hr 2. Berat badan 300 gr: 3/2 x 0,04705 IU/hr = 0,070876 IU/hr 3. Berat badan 400 gr: 2 X 0,04705 IU/hr = 0,0941 IU/hr Dosis tinggi rata-rata = 0.070876 IU/hr , tapi karena untuk memudahkan pengenceran dipakai 0,08 IU/hr Volume pemberian pada tikus: Komposisi 1 vial human recombinant somatotropin mengandung bubuk steril injeksi 16 IU. Volume maksimal yang diinjeksikan subkutan adaiah 0,1 ml (Ngatidjan, 2006). Maka volume pengenceran dapat dihitung sebagai berikut : 1. Dosis sedang: 0,04 IU dalam 0,1 ml diperoleh pengenceran sebesar 40 ml : 0,04 16 40ml 0,1 ml Jadi dalam 0,1 ml injeksi mengandung 0,04 IU 2. Dosis tinggi: 0,08 IU dalam 0,1 ml diperoleh pengenceran sebesar 20 ml : 0,08 16 20ml 0,1 ml Jadi dalam 0,1 ml injeksi mengandung 0,08 IU 4.6.9. Perlakuan pada hewan coba 1. Tikus sebanyak 20 ekor diadaptasikan selama 1 minggu. Tiap ekor tikus dikandangkan dalam kandang individu. Tikus diukur kadar kolesterol awalnya dan dipantau berat badannya. 2. Tikus-tikus kemudian dibuat dislipidemia dengan memberikan diet tinggi kolesterol selama 21 hari. 3. Kenaikan kolesterol tikus umumnya dapat dicapai dalam waktu 2 minggu ditandai dengan peningkatan berat badan > 20% dan kolesterol total > 200 mg/dl (Hardini, 2007). 4. Pada hari ke-22 diukur berat badan tikus dan kadar kolesterol totalnya. Pengukuran dimaksudkan untuk mengetahui tikus yang mengalami dislipidemia dan diukur kadar TNF – α sebagai pre test dengan menggunakan metode ELISA. 5. Tikus yang masuk kriteria inklusi dimasukkan ke dalam percobaan. Dalam penelitian ini diperlukan tikus sebanyak 9 ekor. Tikus- tikus tersebut diambil secara acak sederhana dan dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu PO, PI, dan P2. Tiap kelompok berisi 3 ekor tikus. 6. Kelompok PO diberi perlakuan berupa injeksi aquadest secara subkutan selama 14 hari. Kelompok perlakuan PI dan P2, diberikan injeksi GH secara subkutan (0,1 mL) dengan dosis sedang 0.04 IU/hr (P2), dan dosis sedang 0,08 IU/hr (P3). 7. Pada hari ke-36 semua tikus diukur kadar TNF – α sebagai post test. 4.7. Alur Penelitian Alur penelitian dapat dilihat pada bagan di bawah ini. Tikus Wistar jantan yang diberi diet tinggi kolesterol Tikus dislipidemia (BB>20% , kolesterol total > 200 mg/dl) Kelompok kontrol Kelompok perlakuan 1 TNF-α pre test P0 Aquadest injeksi 0,1 ml/hari TNF-α post test TNF-α pre test P1 GH 0,04 IU/hari 0,1 ml/hari TNF-α post test Kelompok perlakuan 2 TNF-α pre test P2 GH 0,08 IU/hari 0,1 ml/hari TNF- α post test Gambar 4.2. Bagan Alur Penelitian 4.7 Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Analisis Deskriptif b. Uji normalitas dengan Saphiro-Wilk test karena jumlah sampel pada penelitian < 50 sampel. c. Uji homogenitas dengan Levene test d. Uji komparasi Data berdistribusi normal dan homogen maka digunakan uji one way anova untuk mengetahui perbedaan antara kelompok . e. Uji lanjutan dengan Least Significant Difference test untuk mengetahui perbedaan kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. BAB V HASIL PENELITIAN 5.1. Karakteristik Subyek Sebanyak 9 ekor tikus galur Wistar jantan usia 11 – 12 bulan digunakan pada penelitian ini yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok kontrol (P0) yang diberi diet tinggi kolesterol dan injeksi aquadest 0,1 ml , P1 yang diberi diet tinggi kolesterol dan injeksi GH 0,04 IU/0,1 ml , dan P2 yang diberi diet tinggi kolesterol dan injeksi 0,08 IU/0,1 ml. Pengukuran berat badan tikus sebelum penelitian mendapatkan rata-rata berat tikus 170 gram. Setelah pemberian diet tinggi kolesterol selama 3 minggu terjadi kenaikan berat badan tikus dan rata-rata berat badan tikus menjadi 207 gram. Kadar kolesterol totalnya diperoleh rata- rata 210,15 mg/dl. Dalam bab ini akan diuraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji efek perlakuan. 5.2. Uji Normalitas Data TNF-α Sebelum dan Sesudah Perlakuan. Data kadar TNF-α diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal ( p> 0,05), disajikan pada Tabel 5.1. 55 Tabel 5.1 Uji Normalitas kadar TNF-α pre test dan post test pada kelompok yang diberi aquadest (P0), GH 0,04 IU (P1), GH 0,08 IU (P2) Kelompok n Data Pre Test Data Post Test Subyek TNF-α P0 TNF-α P1 TNF-α P2 3 3 3 P 0,617 0,424 0,056 Ket Normal Normal Normal p 0,549 0,230 0,637 Ket Normal Normal Normal 5.3 Uji Homogenitas TNF-α Antar Kelompok Sebelum dan Sesudah Perlakuan. Data TNF-α diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene’s test . Hasilnya menunjukkan data homogen ( p> 0,05), disajikan pada table 5.2. Tabel 5.2 Uji homogenitas kadar TNF-α pre test dan post test pada kelompok yang diberi aquadest (P0), GH 0,04 IU (P1), dan GH 0,08 IU (P2) Kelompok Subyek TNF-α pre test TNF-α post test F 4,289 4,849 P 0,070 0,056 Ket Homogen Homogen 5.4. Uji Komparasi TNF-α Uji komparasi bertujuan membandingkan rerata TNF-α antar kelompok sebelum dan sesudah diberi perlakuan GH. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada table 5.3 berikut. Tabel 5.3. Analisis One Way Anova kadar TNF-α pre test dan post test Kelompok n TNF-α Pre Test TNF-α Post Test F p F p Aquadest (P0) GH 0,04 IU (P1) GH 0,08 IU (P2) 3 3 3 5,78 ± 0,74 6,14 ± 0,07 5,67 ± 0,69 0,533 0,612 7,77 ± 0,12 5,12 ± 1,66 4,49 ± 1,28 0, 0 6,140 3 5 Tabel 5.3 diatas menunjukkan bahwa rerata TNF-α pre test kelompok aquadest (P0) adalah 5,78 ± 0,74 , rerata kelompok GH 0,04 IU (P1) adalah 6,14 ± 0,07, dan rerata kelompok GH 0,08 IU (P2) adalah 5,67 ± 0,69 . Uji One Way Anova pada pre test kelompok P0, P1dan P2 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antar kelompok, sehingga semua kelompok memiliki kadar TNF-α yang hampir sama sebelum perlakuan ( p>0,05). Data post test menunjukkan rerata kelompok aquadest (P0) adalah 7,77 ± 0,12 , rerata kelompok GH 0,04 (P1) adalah 5,12 ± 1,66, dan rerata kelompok GH 0,08 (P2) adalah 4,49 ± 1,28 . Uji One Way Anova pada post test kelompok P0, P1 dan P2 menunjukkan perbedaan yang bermakna antar kelompok ( P<0,05). Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok aquadest perlu dilakukan uji lanjut dengan Least Significant Difference test ( LSD ). Hasil uji dapat dilihat pada table 5.4. Tabel 5.4 Uji lanjutan kadar TNF-α post test dengan Least Significant Difference Test (LSD) pada kelompok yang diberi aquadest (P0) dan kelompok yang mendapat dua variasi dosis GH (P1= 0,04 IU, P2=0,08 IU) Kelompok Beda rerata p Keterangan P0 – P1 P0 – P2 P1 – P2 2,643 3,277 0,633 0,037 0,016 0,547 Berbeda Berbeda Tidak Berbeda Uji lanjutan dengan uji Least Significant Difference–test (LSD) di atas mendapatkan hasil sebagai berikut. 1. Rerata kelompok aquadest berbeda bermakna dengan kelompok GH 0,04 IU ( p < 0,05 ). 2. Rerata kelompok aquadest berbeda secara bermakna dengan kelompok GH 0,08 IU ( p < 0,05). 3. Rerata kelompok GH 0,04 IU tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok GH 0,08 IU ( p > 0,05 ). Gambar 5.1 Kadar TNF-α pre test dan post test pada kelompok yang diberi aquadest (P0) dan kelompok yang mendapat dua variasi dosis GH (P1=0,04 IU, P2= 0,08 IU ). Pemberian GH pada tikus dislipidemia menunjukkan hasil bahwa GH mampu menurunkan kadar TNF-α sebesar 16,77 % pada P1 dan 20,85 % pada P2. Pada kelompok kontrol ( P0 ) yang tidak diberi GH dan tetap mendapatkan diet tinggi kolesterol, TNF-α meningkat 34,43% ( gambar 5.1 ). BAB VI PEMBAHASAN 7.1. Subyek Penelitian Dalam penelitian ini digunakan tikus sebagai hewan coba yang diberikan GH untuk melihat efek GH memperbaiki inflamasi pada keadaan dislipidemia. Tikus putih (galur Wistar) seperti yang digunakan dalam penelitian ini, sering digunakan sebagai hewan coba pada berbagai penelitian, khususnya pada penelitian mengenai penyakit kardiovaskuler seperti aterosklerosis. Hal ini karena tikus mudah dipelihara, serta relatif cukup besar untuk dapat diobservasi dibandingkan mencit. Tikus jantan dipilih sebagai subyek berdasarkan penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa pengaruh GH terhadap profil lipid lebih efektif pada tikus jantan dibandingkan betina. Hal ini berkaitan dengan perbedaan status hormonal antara tikus jantan dan betina (Frick et al., 2001). Penggunaan GH dalam penelitian ini menyebabkan usia tikus juga menjadi pertimbangan. Tikus yang digunakan adalah tikus berumur 11 – 12 bulan yang setara dengan usia manusia sekitar 30 tahun (Hanson, 2010). Usia 30 tahun pada manusia termasuk penuaan tahap subklinik. Pada tahap ini telah terjadi penurunan GH walaupun belum menganggu fungsi-fungsi tubuh (Pangkahila, 2007). Tikus putih yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih galur wistar yang dislipidemia, berjenis kelamin jantan, usia 11 – 12 bulan dan berat 200 - 225 gram. Jumlah tikus 9 ekor, dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok P0 (diet tinggi kolesterol dan aquadest), kelompok P1 (diet tinggi kolesterol dan GH 0,04 IU/hari), dan kelompok P2 (diet tinggi kolesterol dan GH 0,08 IU/hari). Penelitian dilakukan selama 60 enam minggu, satu minggu untuk adaptasi, tiga minggu pemberian diet tinggi kolesterol, dan dua minggu berikutnya pemberian diet tinggi kolesterol ditambah GH. 6.2. Penggunaan Growth Hormone Injeksi dosis 0,04 IU/hari dan 0,08 IU/hari selama 14 hari Penggunaan dosis GH 0,04 IU dan 0,08 IU berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis (Misitahari, 2011). Pemberian injeksi GH selama 14 hari didasarkan atas penelitian yang dilakukan oleh Ratnayanti (2011) bahwa pemberian GH dalam waktu 14 hari mampu memperbaiki kadar profil lipid secara signifikan pada tikus dislipidemia, juga berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis, bahwa dalam waktu 14 hari pemberian injeksi GH dapat menurunkan kadar TNF-α pada tikus jantan dislipidemia. 6.3. Pengaruh Pemberian Growth Hormone terhadap Kadar TNF-α Tikus Jantan Dislipidemia. Hasil penelitian dan analisis data kadar TNF-α pada kelompok P0,P1dan P2 menunjukkan bahwa uji normalitas (Uji Shapiro Wilk) dan uji homogenitas (Levene test) untuk kelompok pre test dan post test masing-masing kelompok berdistribusi normal dan homogen (p> 0,05). Uji perbandingan setelah pemberian diet tinggi kolesterol antara ketiga kelompok dengan menggunakan uji One Way Anova. Rerata kadar TNF-α kelompok P0 adalah 5,78 ± 0,74 pg/ml, rerata kelompok P1 adalah 6,14 ± 0,07 pg/ml, dan rerata kelompok P2 adalah 5,67 ± 0,69 pg/ml . Uji perbandingan pre test antara ketiga kelompok dengan One Way Anova menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna kadar TNF-α antara kelompok P0, P1, dan P2 (p> 0,05). Hal ini berarti bahwa kadar TNF-α pada ketiga kelompok adalah sama atau ketiga kelompok sebelum diberikan perlakuan kadar TNF-α nya tidak berbeda. Uji perbandingan setelah diberikan diet tinggi kolesterol dan injeksi GH antara ketiga kelompok menggunakan uji One Way Anova. Rerata kadar TNF-α kelompok P0 adalah 7,77 ± 0,12 pg/ml, rerata kelompok P1 adalah 5,12 ± 1,66 pg/ml, dan rerata kelompok P2 adalah 4,49 ± 1,28 pg/ml. Uji perbandingan post test antara ketiga kelompok dengan One Way Anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna kadar TNF-α antara kelompok P0 dengan P1, dan kelompok P2 (p< 0,05). Hal ini berarti bahwa kadar TNF-α pada ketiga kelompok setelah perlakuan berbeda bermakna dengan kadar TNF-α pada ketiga kelompok sebelum perlakuan. Growth Hormone mampu menurunkan kadar TNF-α plasma pada tikus dislipidemia ( tabel 5.3, 5.4, dan gambar 5.1 ). Kadar TNF-α turun hingga 16,77% pada P1 dan 20,85% pada P2 setelah pemberian GH. Hasil ini sesuai dengan penelitian pada mencit yang diberi diet tinggi kolesterol dan didapatkan pemberian GH dosis rendah mampu menurunkan ekspresi TLR2/TNF-α (Kubota et al., 2008). Penelitian pada manusia, yaitu anak-anak penderita GHD, diketahui pemberian GH selama 6 – 12 bulan dapat menurunkan TNF-α secara bermakna (Andiran et al., 2007). Selain itu, pemberian GH 4 IU setiap 2 hari pada pasien kardiomiopati idiopatik selama 12 minggu menurunkan kadar TNF-α secara signifikan (Adomopoulus et al., 2003). Penelitian pada IGF-1 juga menunjukkan hasil yang sama, pemberian human recombinant IGF-1 pada tikus ApoE -/-yang diberi diet tinggi kolesterol terjadi penurunan ekspresi vaskuler TNF-α (Sukhanov et al., 2007) . Pada penelitian ini penurunan kadar TNF-α tidak berhubungan dengan dosis GH. Hasil analisis statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna antara penurunan kadar TNF-α plasma pada dosis sedang dan tinggi. Ini mungkin disebabkan oleh mekanisme umpan balik oleh IGF-1. GH bekerja secara tidak langsung melalui IGF-1 dalam mempengaruhi TNF-α. IGF-1 meningkatkan aktivasi c-Jun dan NF-ҡB , dimana NF-ҡB ini akan mengaktivasi gen penyandi TNF-α (Che et al., 2002 dan Linawati, 2006). Oleh karena itu, dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa dosis tinggi tidak diperlukan untuk menurunkan kadar TNF-α. Dosis yang cukup tetap diperlukan untuk menurunkan kadar faktor inflamasi ini, sebab hasil penelitian pendahuluan (data tidak diperlihatkan) menunjukkan dosis rendah (0,02 IU) tidak mampu menurunkan kadar TNF-α plasma. Beberapa penelitian lain menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian pada anak dengan GHD menemukan pemberian GH meningkatkan kadar TNF-α secara akut setelah 6 jam dan 3 bulan (Pagani et al., 2005). Pemberian jangka pendek GH pada anak normal dengan tinggi badan rendah diketahui meningkatkan kadar TNF-alfa (Bozzola et al., 2003). Selain itu, penelitian dengan IGF-1 ditemukan peningkatan ekspresi molekul adesi yang dimediasi oleh TNF-alfa pada kultur sel endotel (Che et al., 2002). Namun, pada pasien GHD yang menunjukkan status imun yang normal, GH tidak berpengaruh terhadap kadar sel-sel imun dan faktor inflamasi sedangkan pada binatang GHD dengan status imun menurun, GH dapat memperbaiki status imun dan kadar sitokin pada binatang tersebut. Hal ini dapat terjadi akibat efek rangsangan terhadap makrofag secara langsung oleh GH atau melalui IGF-1, karena sel imun mengekspresikan reseptor GH dan IGF-1 (Pagani et al., 2005; Che et al., 2002). Mekanisme kerja GH dalam mempengaruhi produksi TNF-α perlu penelitian lebih lanjut karena belum sepenuhnya diketahui. Pada keadaan dislipidemia, GH diketahui memperbaiki kadar profil lipid melalui peningkatan ekskresi kolesterol melalui empedu serta peningkatan pemecahan VLDL dan LDL. Ekskresi kolesterol melalui empedu terjadi melalui peningkatan aktivitas enzim C7αOH. Penurunan kolesterol intrahepatik akan meningkatkan ekspresi reseptor LDL dan menurunkan aktivitas enzim HMG-CoA reductase yang berakibat pada penurunan sintesis kolesterol hepar. Peningkatan pemecahan VLDL dan LDL oleh hepar terjadi karena meningkatnya jumlah reseptor LDL serta ekspresi Apo B 100 dan sekresi Apo E (Frick et al., 2001; Lind et al., 2009). Melalui mekanisme tersebut GH dapat memperbaiki profil lipid sehingga dapat menurunkan kadar TNF-α yang meningkat akibat dislipidemia. Selain itu GH juga diketahui mempengaruhi status imun. GH baik secara langsung maupun tidak langsung melalui IGF-1 dapat mempengaruhi sel imun karena diketahui sel imun mengekspresikan receptor GH dan IGF-1(Pagani et al., 2005). Pemberian GH diketahui menurunkan ekspresi TLR2 / TNF-α (Kubota et al., 2008). Rangsangan terhadap TLR2 dapat mengaktivasi NFқB . NFқB merupakan faktor transkipsi yang dapat mengaktivasi gen penyandi TNF-α, IL-1β, IL-8, IL-10, IL-12, TGF-β, dan kemokin (Linawati, 2006). 6.3. Manfaat Growth Hormone dalam Proses Penuaan Inflamasi berperan penting dalam perkembangan sindroma metabolik sehingga berkontribusi terhadap progresi aterosklerosis dan diabetes tipe 2. Inflamasi berkontribusi terhadap perkembangan aterosklerosis pada tahap dini dan lanjut. Pasien dengan kondisi inflamasi kronis, seperti arthritis rheumatoid, juga sering mengalami dislipidemia dan aterosklerosis. Kadar marker inflamasi, seperti c-reactive protein dan IL-6 ditemukan dapat meramalkan risiko penyakit kardiovaskuler pada populasi umum (Popa et al., 2007). Hal ini membuka peluang untuk pendekatan baru dalam terapi penyakit tersebut. Diantara faktor proinflamasi, TNF-α merupakan sitokin utama yang mempengaruhi metabolisme intermediari. TNF-α memicu perubahan aterogenik pada metabolisme lipid dengan merangsang ekspresi molekul adesi pada sel endotel, menarik dan mengaktivasi sel inflamasi serta memulai proses inflamasi pada dinding arteri (Popa et al., 2007). TNF-α ditemukan meningkat pada kondisi inflamasi akut dan kronis, seperti trauma, sepsis, infeksi, arthritis rematoid, dan dislipidemia. TNF-α memegang peranan penting pada proses ini, dan kemungkinan menjadi target potensial untuk terapi. Penelitian pada agen-agen yang dapat menghambat TNF-α menunjukkan bahwa hambatan tersebut mampu memperbaiki profil lipid pada pasien dengan penyakit inflamasi kronis (Popa et al., 2007). Hambatan terhadap TNF-α tidak hanya mencegah perubahan aterogenik pada dinding vaskuler, tetapi juga mampu mempengaruhi metabolisme trigliserida dan kolesterol secara langsung. TNF-α meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas, substrat untuk sintesis trigliserida dan menghambat pembersihan lipoprotein kaya trigliserida dari sirkulasi. TNF-α diketahui tidak berpengaruh atau mampu menurunkan kadar kolesterol dan LDL, sedangkan kadar HDL menurun akibat TNFalfa. Hal ini terjadi karena TNF-alfa merangsang HMG-CoA reductase pada tikus, menghambat sintesis ApoA/ApoB, C7αOH dan memicu reseptor LDL pada manusia. Adanya efek penurunan TNF-α pada tikus dislipidemia setelah pemberian GH mendukung manfaat GH sebagai terapi anti penuaan. Penelitian ini menunjukkan GH dapat memperbaiki keadaan inflamasi akibat dislipidemia. Dengan demikian, GH berpotensi untuk mencegah penyakit yang berhubungan dengan keadaan-keadaan tersebut. Namun penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk membuktikan efektivitas yang sesungguhnya. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan 1. Growth hormone dapat menurunkan kadar TNF-α plasma tikus jantan dislipidemia 2. Pemberian Growth hormone dosis sedang ( 0,04 IU/ hari ) dan dosis tinggi ( 0,08 IU/ hari ) tidak memberikan perbedaan yang bermakna. 7.2. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian mengenai efektivitas penggunaan GH dibandingkan intervensi diet atau kombinasi keduanya terhadap terapi pada keadaan dislipidemia yang berhubungan dengan defisiensi GH. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme GH menurunkan kadar TNF-α. DAFTAR PUSTAKA 68 Abbas, K.A., Lichtman, A.H., and Pober, J.S. 2000. Cytokin in Cellular and Immunology 4th ed.Philadelphia, WB Saunders; 233-267. Moleculer Abs, R,, Feldt-Rasmussen, U., Mattsson, A.F., Monson. J.P., Bengtsson, B., Goth, M. 2006. Determinants of cardiovascular risk in 2589 hypopituitary GH-deficient adults --a KIMS database analysis. Eur J Endocrinol. 155: 79-90. Adamopoulus, S., Parissis, J.T., Paraskevaidis, I., Karatzas, D. 2003. Effect of growth hormone on circulating cytokine network, and left ventricular contractile performance and geometry in patients with idiopathic dilated cardiomyopathy. Eur Heart J. 24:21862196. Ahmed, E. 2001. Immune Mechanism in Aterosclerosis. Dissertation. ISSBN:91-628-4612-4. Konferensrummet, Centrum for Molecular Medicine, Karolinska Sjukhuset. Ahn C.W., Kim, C.S., Nam, J.H., Kim, H.J., Nam, J.S., Park, J.S. 2006. Effects of growth hormone on insulin resistance and atherosclerotic risk factors in obese type 2 diabetic patients with poor glycaemic control. Clin Endocrinol. 64(4):444-9. Andiran, N.,Yordan, N. 2007. TNF-α Level in Children with Growth Hormone Deficiency and The Effect of Long Term Growth Hormone Replacement Therapy. Growth Hormone and IGF Research.Division of Endocrinology, Department of Pediatrics Faculty of Medicine Hacettepe University Ankara Turkey. Vol 17. 149-153. Anversa, P. 2005. Aging and Longevity: The IGF-1 Enigma. Circ. Res 97:411-414 Bastard, J.P., Maachi, M., Lagathu , C., Kim, M.J., Caron, M., Vidal, H., Capeau, J.,dan Feve, B. 2006. Recent Advances in the Relationship Between Obesity, Inflamation, and Insulin Resistance. Eur Cytokin Netw. Mar;17(1);4-12. PubMed US National Library of Medicine. Bonetti, P.O., Lerman, L.O., Lerman, A.2003. Endothelial Dysfunction ; A Marker of Atheroschlerosis Risk. Aterioscler Thrombo Vasc Biol 23;168-175. Brånén, L., Hovgaard, L., Nitulescu, M., Bengtsson, E., Nilsson, Jan., Jovinge, S., 2004. Inhibition of Tumor Necrosis Factor-α Reduces Atherosclerosis in Apolipoprotein E Knockout Mice. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 24;2137-2142. Calabresi, L., Gomaraschi, M., Franceschini.2003. Endothelial protection by High Density Lipoprotein. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 23;1724-1731. Che, W., Lerner-Marmarosh ,N., Huang, Q.,69 Osawa, M., Ohta, S., Yoshizumi, M., Glassman, 69 M., Lee, J. D., Yan, C., Berk, B.C., Abe, J. 2002.Insulin-like growth factor-1 Enhances Inflammtory Responses in Endothelial Cells: Role of Gab1 and MEKK3 in TNF alpha induce cJun and NF kappa B activation and adhesion molecule expression. Circ Res.90:1222-1230. Coppack, S.W.2001. Pro-Inflammatory cytokines and adipose tissue.Proceedings of Nutrition Society.60:349-356 Dachriyanus, Katrin, D.O., Oktarina, R., Ernas, O., Suhatri, Muklvar. M.H. 2007. Uji Efek AMangostin terhadap Kadar Kolesterol Total Trigliserida. Kolesterol HDL, dan Kolesterol LDL Darah Mencit Putih Jantan serta Penentuan Letal Dose 50 (LD50). J Sains Tek Far. 12 (2): 64-72. Djuanda E. 2007. Anti Aging:Rahasia Awet Muda. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Durum and Muege.2003. Hamster Fed Diet High Saturated Fat have Increased Cholesterol accumulated and cytokine Production in Aortic Area compared with Cholesterol Fed Hamster with Moderately Elevated plasma non HDL Cholesterol Concentration. Journal Nutrisi Immunology. Universitas of Massachusetts. Eledrisi, M.S. 2008. Growth Hormone Deficiency. [cited: 12 Januari 2011]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/120767-overview Frick, P., Bohlooly-Y, M., Linden, D., Olsson, B., TorneH, J., Eden, S. 2001. Long-term growth hormone excess induces marked alterations in lipoprotein metabolism in mice. Am J Physiol Endocrinol Metab. 281:1230-1239. Frick, F., Linden, D., Ameen, C., Eden, o, Mode, A. dan Oscarsson, J. 2002. Interaction between growth hormone and insulin in the regulation of lipoprotein metabolism in the rat. Am J Physiol Endocrinol Metab. 283:1023-1031. Gardner, D.G. dan Shoback, D. 2007. Greenspan's Basic and Clinical Endocrinology. 8th ed. San Fransisco: The Mc Graw-Hill Company. Golberg, A. C. 2008. Dyslipidemia : Lipid Disorder. The Merck Manuals Medical Library,[cited 2011 Mei 21]. Available from http://www.merkmanuals.com/profesional/sec13/ch170/ch170b.html. Goldmann R. dan Klatz R. 2003. Anti Aging Revolution. 3rd ed. California: Basic Health Publisher Inc. Han, S. N., Leka, L. S., Lichtenstein, A. H., Ausman, L. M., Schaefer, E.J., and Meydani, S. N. 2002. Effect of hydrogenated and saturated , relative to polyunsaturated, fat on immune and inflammatory responses of adults with moderate hypercholesterolemia. Journal of lipid research. 43 (3): 445-52. Hanson, A. 2010. How Old is Rat in Human Years? [cited: 12 Juli 2010]. Available from: http://www.ratbehavior.org/RatYears.htm Hardini, D., Yuwanta, T., Supadmo dan Zuprizal. 2007. Pengaruh Telur Beromega 3 dan 6 Hasil Olahan Terhadap Profil Lipid Darah Tikus ratus Norvegicus Normal dan Hiperkolesterolemia. Media Peternakan. 30(1):26-34. Hartanto,O.S. 2009. Peran Sitokin dan Metabolisme Lipid dalam Stroke. Berkala Neurosains. 10(2);63-67. Kontush, A and Chapman, M.J. 2006. Functionally Defective High-Density Lipoprotein: A New Therapeutic Target at the Crossroads of Dyslipidemia, Inflammation, and Atherosclerosis. Pharmacol Rev.58:342-374. Kreisberg, R.A., Reusch, J.E.B. 2005. Hiperlipidemia. The Hormon Foundation. Endojournal. 90 (3):0. Kubota, Y., Unoki, H., Bujo, H., Rikihisa, N., Udagawa, A., Yoshimoto, S., Ichinose, M., and Saito., Y. 2008. Low Dose GH Supplementation Reduces the TLR2 and TNF-alpha Expresion in Visceral Fat. Biochem Biophys Res Commun. 368 (1):81-7.Epub 2008 Jan 15. Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. p. 42 – 43 Linawati, N.M. 2006. Sekresi Interleukin 12 pada Kultur Makrofag dari Penderita Tuberkulosis Paru dan Individu Sehat Beresiko Tuberkulosis Paru, yang MasingMasing Diinfeksi Mycobacterium Tuberculosis. Universitas Airlangga. Lind, S., Rudling, M., Ericsson, S., Olivecrona, H., Eriksson, M., Borgstrom, B. 2004. Growth Hormone Induces Low-Density Lipoprotein Clearance but not Bile Acid Synthesis in Humans. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 24:349-356. Litbangkes. 1991. Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan Pengujian Klinik Jakarta: Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alain Phyto Medica. P. 42 Maison, P., Griffin, S., Nicoue-Beglah, M., Haddad, N ., Balkan, B , dan Chanson. P. 2004. Impact Of Growth Hormone (GH) Treatment On Cardiovascular Risk Factors In GhDeficient Adults: A Metaanalysis Of Blinded, Randomized, Placebo-Controlled Trials. J Clin Endocrinol Metab. 89: 2192-2199. Martens, A., Holvoet, P. 2001. Oxidized LDL and HDL : Antagonists in Atherotrombosis. The Faseb Journal, 15 : 2073-2084. Mayer, G. 2006. Immunology Innate (non specific ) Immunity. Microbiology and Immunology On-Line Textbook. USC School of Medicine.[cited 2011 April 10]. Available from : http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/innate.htm. Moller, N. dan Jorgensen, J.O.L. 2009. Effects of Growth Hormone on Glucose, Lipid, and Protein Metabolism in Human Subjects. Endocr Rev. 30(2): 152-177. Monson, J.P., Abs, R., Bengtsson, B.A.5 Bennmarker, H., Feidt-Rasmussen, U, HernbergStahl, E., Thoren, M., Westberg, B., Wilton, P., dan Wuster, C. 2000. Growth hormone deficiency and replacement in elderly hypopituitary adults. KIMS Study Group and the KIMS International Board. Pharmacia and Upjohn International Metabolic Database. Clin Endocrinol (Oxf).53(3):281-9. Murray, K. 2002. Harper Biochemistry, twenty fifth edition. Mc Graw Hill Company ; New York. Ngatidjan. 2006. Metode Laboratorium Dalam Toksikologi. Cetakan Pertama. Bagian Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta. Hal 136. Oliveira, J.L.ML, Aguiar-Oliveira, M.H., D'Oliveira, Jr., A., Pereira, R.M.C., Oliveira, C.R.P., Farias, C.T., Barreto-Filho, J.A., Anjos-Andrade, F.D., Marques-Santos, C., NascimentoJunior, A.C., Alves, E.O., Oliviera, F.T., Campos, V.C., Ximenes, R., Blackford, A., Parmigiani, G., Salvaatori, R. 2007. Congenital Growth Hormone (GH) Deficiency and Atherosclerosis: Effects of GH Replacement in GH-Naive Adults. J Clin Endocrinol Metab. 92: 4664-4670. Pagani, S., Meazza, C., Travaglino, P., Benedetti, F., Tinelliz, C., and Bozzola, M. 2005. Serum Cytokine Levels in GH-Deficient Children During Substitutive GH Therapy.European Journal of Endocrinology .152 :207-210 Pangkahila, W. 2007. Anti Aging Medicine: Memperlambat Penuaan Meningkatkan Kualitas Hidup. Jakarta: Kompas. Pocock, S. 2008. Clinical Trials: A. Practical Approach. Chichester: John Wiley & Sons. p. 128129. Popa, C., Netea, M.G., Van Riel, P.L.C.M., Van Der Meer, J.W.M., Stalenhoef, A.F.H. 2007. The Role of TNF-α in Chronic Inflammatory Conditions, Intermediary Metabolism and Cardiovascular Risk. Journal of Lipid Research. Vol 48.p 751-759. Renehan, A.G. dan Brennan, B.M. 2008. Acromegaly, growth hormone and cancer risk Best Pract Res Clin Endocrinol Metab. 22(4):639-57. Robbins, S., Cotran, R. 2002. Dasar Patologi Penyakit ( Terjemahan ). Penerbit Buku Kedokteran. Sumber Agung Podomoro Jakarta. Ronchi, C.L., Varca, V., Beck-Peccoz, P., Orsi, E., D^nadio, F., Baccarelli, A., Giavali, C., Ferrante, E., Lanja, A., Spada, A., dan Arosio, M. 2006. Comparison between Six-Year Therapy with Long-Acting Somatostatin Analogs and Successful Surgery in Acromegaly : Effects on Cardiovascular Risk Factor. J. Clin. Endocrinol. Metab. 91: 121 - 128 Rudling, M. dan. Angelin, B. 2001. Growth hormone reduces plasma cholesterol in LDL receptor-deficient mice.FASEB J. 15:1350-1356. Skoog, T., Dichtl, W.,Boquist, S., Andersson, S.,Karpe, F.,Tang, R.,Bond, M.G.,Faire, U., Nilsson, J., Eriksson, P dan Hamsten, A. 2002 . Plasma Tumour Necrosis Factor and Early Carotid Atherosclerosis in Healthy Middle Aged Men. Eur Heart J.23:376-383. Stapleton,P.A., Goodwill,A.G., James,M.E., Brock,R.W., Frisbee,J.C. 2010. Hypercholesterolemia and Microvascular Dysfunction : Intervention Strategies. Journal of Inflamation. 7:54. Stibich, M. 2006. How is Inflammation important to Aging? About.com Health Disease and Condition,[cited 2011 Oct 24]. Available from: http://longevity.about.com/od/longevity101/f/aginginflammati.htm. Subowo, 2009. Imunobiologi Edisi 2., CV Sagung Seto Jakarta. Sukhanov, S.,Higashi, Y., Yung Shai, S., Vaughn, C., Mohler, J., Li,Y., Hua Song, Y.,Titterington, J., Delafontaine, P.2007. IGF-1 Reduces Inflammatory Responses, suppresses Oxidative Stress, and Decreases Atheroschlerosis Progresion in ApoE-Deficient Mice. Arterioscler Thromb Vasc Biol.27;84-2690. Szmitko, P.E., Wang, C.H., Weisel, R.D., de Almmeida, J.R., Anderson, T. J., Verma, S. 2003. New Markers of Inflammation and Endothelial Cell Activation Circulation. 108:19171923. Tien, M.H.N., Kenney, J.K., dan Munger, M.A. 2000. Growth Hormone: A Promising Treatment for the Failing Heart? Pharmacotherapy Publications, [cited: 2010 April 13]. Available from: http://www.medscape. com/viewarticle/409613. Titterington, J.S., Sukhanov, S., Higashi,Y., Vaughn, C., Bowers, C. dan Delafontaine, P. 2009. Growth Hormone-Releasing Peptide-2 Suppresses Vascular Oxidative Stress in ApoE-/Mice But Does Not Reduce Atheroschlerosis. Endocrinology. 150 (12): 5478 – 5487. Twickler, T.B., Cramer , M.J.M., Dallinga-Thie, G.M., Chapman, M.J., Erkelens, D.W dan Koppeschaar, H.P.F. 2003. Adult Onset Growth Hormone Deficiency : Relation of Postprandial Dyslipidemia to Premature Atherosclerosis. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 88 (6) 2479-2488. Vance, M.L. 2008. Can Growth Hormone Prevent Aging? N Eng J Med. 348:9. Verhelst J. dan Abs, R. 2009. Cholesterol and Lipoprotein Metabolism in Aging : Reversal of Cardiovascular risk factors in hypopituitary GH-deficient adults, Eur J Endocrinol. 161:841-849. Lampiran 1. Ethical Clearance Lampiran 2 Uji TNF- α Immuno Assay Pemeriksaan ini menggunakan tehnik quantitatve sandwich enzyme immuno assay (ELISA). Sebelumnya, antibodi monoklonal spesifik TNF-α telah dicoated dalam mikroplate. Sampel dan standar dipipet ke dalam well, dan keberadaan TNF-α akan di sandwich (dipasangkan) oleh immobilized antibody t dalam well, Setelah dilakukan pencucian untuk menghilangkan substansi-substansi yang tidak terikat, kemudian ditambahkan enzym-linked polyclonal antibody yang spesifik terhadap TNF-α. Kemudian setelah dilakukan pencucian kembali untuk menghilangkan reagen antibody enzyme yang tidak berikatan, selanjutnya larutan substrate ditambahkan ke dalam well dan kemudian terbentuklah warna yang sebanding dengan jumlah TNF-α yang terikat. Pembentukan warna dihentikan dan kemudian intensitas warna diukur. Persiapan Reagen Catatan : Semua reagen harus diencerkan segera sebelum digunakan. 1. Encerkan Wash Buffer 20 x dengan deionized water. Contoh : Membuat 1 liter Wash Buffer, dengan menambahkan 50 ml Wash Buffer dengan 950 ml deionized water. 2. Rekonstruksi Lyophilized Rat-TNF-α standard dengan menambahkan Assay Buffer A untuk membuat 20 ng/ml larutan stock standard . Campur secara baik. Biarkan larutan standar yang telah direkonstitusi pada temperature ruang selama 15-20 menit. 3. Jika serum atau plasma yang akan diperiksa, rekonstitusi Lyophilized matrix A dengan 2 ml deionized water ke dalam vial. Setelah direkonstitusi biarkan Matrix A pada temperature ruang selama 15 menit, vortex agar tercampur secara komplit. 4. Sample serum/ plasma disarankan untuk diencerkan 1;1 dengan Assay Buffer A sebelum sampel dianalisis. Misal : tambahkan 50 μL sampel dengan 50 μL Assay Buffer A. Prosedur Pemeriksaan 1. Letakkan semua reagen pada temperature ruang sebelum digunakan. Sangat dianjurkan agar semua standart dan sampel diperiksa secara duplikat/triplikat. Standar kurve dibutuhkan untuk masing- masing pemeriksaan. 2. Siapkan 7 tabung pengenceran standard dengan membagi 487,5 μL Assay Buffer A ke dalam tabung pertama dan 250 μL kedalam 6 tabung berikutnya sesuai ilustrasi dibawah. Tambahkan 12,5 μL dari 20 ng/ml larutan stok standard ke dalam tabung pertama. Buat larutan serial pada keenam tabung berikutnya. Mulai dari 500 μL pada standart tertinggi, campur secara baik lalu pindahkan 250 μL kedalam tabung berikutnya. Konsentrasi larutan standard terakhir pada masing- masing tabung adalah : 500, 250, 125, 62.5, 31.3, 15.6, 7.8 μL. Assay Buffer A digunakan sebagai standart 0 pg/ml. 3. Buang isinya . Cuci plate 4 x dengan paling sedikit menghabiskan 300 μL pada 1 x pencucian per will dan hilangkan sisa buffer pencuci dengan kuat dengan membalik plate pada kertas absorbent. Pada pencucian berikutnya lakukan hal yang sama. 4. Untuk mengukur sampel serum/plasma : a. Tambahkan 50 μL matrik A pada masing-masing well yang mengandung larutan standart dan 50 μL Assay Buffer A pada masing- masing well yang mengandung sampel. b.Tambahkan 50 μL larutan standard pada masing- masing well dan 50 μL serum/plasma yang diencerkan pada masing- masing well sample.Seal plate dengan sealer plate yang terdapat pada kemasan reagen di inkubasi pada suhu kamar selama 2 jam dengan goyangan sedang. 5. Cuci 4 kali seperti langkah no 3. 6. Tambahkan 100 μL The rat TNF-α Detection Antibody solution pada masing- masing well, tutup dan inkubasi pada suhu ruang selama 1 jam dengan sekali- kali goyangan. 7. Buang isi plate dan cuci 4 kali. 8. Tambahkan 100 μL Avidin- HRP D solution pada masing – masing well, tutup plate dan inkubasi pada suhu ruang selama 30 menit dengan sekali – kali goyangan. 9. Buang isi plate dan cuci 4 kali. 10. Tambahkan 100 μL substrat solution F pada masing – masing well dan inkubasi 15 menit di tempat gelap. Well dengan kadar TNF-α yang tinggi akan memberikan warna biru. Jangan menutup plate pada langkah ini. 11. Stop reaksi dengan menambahkan larutan stop solution pada masing – masing well. Warna biru akan berubah menjadi kuning. 12. Baca pada absorbance 450 nm dalam 30 menit. Jika plate reader hanya bisa membaca pada gelombang 570 nm, absorbance 570 nm dapat dikurangi dari absorbance 450 nm. Lampiran 3 Konversi perhitungan dosis untuk beberapa jenis hewan dan manusia (Gosh, 1971) Lampiran 4 HASIL PENELITIAN PENDAHULUAN KADAR TNF-α Rerata Kadar TNF-α Kelompok (pg/ml) P3 Pre 10,54 P3 Post Standar Deviasi 6,18 1,06 0,57 Perhitungan besar sampel dengan rumus Pocock, 2008 yaitu : n = 2 σ2 x f (α,β) (μ2 – μ1)2 Keterangan : n = jumlah sampel μ1 = rerata hasil variabel kelompok perlakuan μ2 = rerata hasil variabel kelompok kontrol σ = simpang baku kelompok kontrol α = tingkat kesalahan I (ditetapkan 0,05) β = tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,1) f (α,β) = besarnya diperoleh dari tabel (Pocock, 2008, tabel 9.1, pp. 125) n = 2 (1,06)2 x 10,5 (10,54 – 6,18) 2 n = 2 (1,1236) x 10,5 (4,36)2 n = 2,2472 x 10,5 19,0096 n = 1,241247 ~ 2 Lampiran 5. Analisis Data Descriptives N TNF_pre TNF_post Kontrol GH 0,04 GH 0,08 Total Kontrol GH 0,04 GH 0,08 Total 3 3 3 9 3 3 3 9 Mean 5.7800 6.1433 5.6733 5.8656 7.7667 5.1233 4.4900 5.7933 Std. Deviation .73980 .06807 .68734 .54921 .12342 1.66329 1.28312 1.83648 Std. Error .42712 .03930 .39683 .18307 .07126 .96030 .74081 .61216 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 3.9422 7.6178 5.9742 6.3124 3.9659 7.3808 5.4434 6.2877 7.4601 8.0733 .9915 9.2552 1.3026 7.6774 4.3817 7.2050 Minimum 5.14 6.09 4.88 4.88 7.63 3.97 3.09 3.09 Maximum 6.59 6.22 6.09 6.59 7.87 7.03 5.61 7.87 Tests of Normality a TNF_pre TNF_post klp Kontrol GH 0,04 GH 0,08 Kontrol GH 0,04 GH 0,08 Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig. .258 3 .301 3 .375 3 .273 3 .341 3 .253 3 a. Lilliefors Significance Correction Uji Homogenitas (Levene’s test) . . . . . . Statistic .960 .912 .775 .945 .846 .964 Shapiro-Wilk df 3 3 3 3 3 3 Sig. .617 .424 .056 .549 .230 .637 Test of Homogeneity of Variances TNF_pre TNF_post Levene Statistic 4.289 df1 4.849 df2 2 6 Sig. .070 2 6 .056 ANOVA TNF_pre TNF_post Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Sum of Squares .364 2.049 2.413 18.125 8.856 26.981 df 2 6 8 2 6 8 Mean Square .182 .341 F .533 Sig. .612 9.062 1.476 6.140 .035 Multiple Comparisons LSD Dependent Variable TNF_pre (I) klp Kontrol GH 0,04 GH 0,08 TNF_post Kontrol GH 0,04 GH 0,08 (J) klp GH 0,04 GH 0,08 Kontrol GH 0,08 Kontrol GH 0,04 GH 0,04 GH 0,08 Kontrol GH 0,08 Kontrol GH 0,04 Mean Difference (I-J) -.36333 .10667 .36333 .47000 -.10667 -.47000 2.64333* 3.27667* -2.64333* .63333 -3.27667* -.63333 *. The mean difference is significant at the .05 level. Std. Error .47711 .47711 .47711 .47711 .47711 .47711 .99199 .99199 .99199 .99199 .99199 .99199 Sig. .475 .831 .475 .363 .831 .363 .037 .016 .037 .547 .016 .547 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -1.5308 .8041 -1.0608 1.2741 -.8041 1.5308 -.6975 1.6375 -1.2741 1.0608 -1.6375 .6975 .2160 5.0706 .8494 5.7040 -5.0706 -.2160 -1.7940 3.0606 -5.7040 -.8494 -3.0606 1.7940