Program Pascasarjanan Pendidikan Biologi

advertisement
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
KATA PENGANTAR
Seminar Nasional dengan tema “Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan
Berbasis Lingkungan” merupakan forum ilmiah yang pertama kali diselenggarakan
oleh Program Studi Magister Pendidikan Biologi, Program Pascasarjana Universitas
Lambung Mangkurat sejak didirikan pada tahun 2009. Seminar ini adalah sarana
komunikasi ilmiah dan bertukar pikiran tentang hasil-hasil penelitian serta transfer
pengetahuan dan teknologi, terutama berkaitan dengan pembelajaran biologi yang
berkarakter dan berbasis lingkungan.
Pada seminar tersebut disajikan 2 makalah dari narasumber kunci, yaitu Dr.
Yuni Sri Rahayu dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA) dan Prof. Dr. Ir. H.
Yudi Firmanul Arifin, M.Sc dari Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM).
Makalah narasumber pertama tidak dimuat dalam prosiding ini.
Selain itu, disajikan juga 11 makalah lain. Makalah-makalah ini berkaitan
dengan pendidikan biologi dan lingkungan.
Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih kepada Rektor
Universitas Lambung Mangkurat yang memfasilitasi penyelenggaraan seminar.
Penghargaan disampaikan juga kepada Panitia Seminar —diketuai oleh Drs. Juhrian
dan dibantu oleh mahasiswa Program Magister Pendidikan Biologi, Program
Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat serta mahasiswa Program Studi
Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung
Mangkurat— yang menyukseskan kegiatan seminar.
Semoga prosiding ini bermanfaat dan diharapkan seminar dapat
diselenggarakan secara regular.
Banjarmasin, 20 Juli 2011
Ketua Prodi
Magister Pendidikan Biologi
i
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Panitia Seminar Nasional
”PEMBELAJARAN BIOLOGI YANG BERKARAKTER DAN BERBASIS
LINGKUNGAN”
Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Biologi (MPPB )
Universitas Lambung Mangkurat
Aula Rektorat Universitas Lambung Mangkurat
tanggal 7 Maret 2011
1.
2.
Ketua
Sekretaris
: Drs. Juhrian
: 1. Ahmad Ready
2. Fathul Jannah, S.Pd.
3. Bendahara
: Octa Belawati, S.Pd.
4. Seksi Persidangan
: 1. Mujiman H.W., S.Pd.
2. Noraini, S.Pd.
3. Rahmi Widiati, S.Pd.
5. Seksi Penerima Tamu
: 1. Irawati, S.Pd.
2. Salasiah, S.Pd.
3. Indah Rosmalina, S.Pd.
6. Seksi Konsumsi
: 1. Amalia Rezeki, S.Pd.
2. Siti Norhasanah, S.Pd.
3. Hj. Misnawati, S.Pd.
4. Nadya Huda, S.Pd.
7. Seksi Pembawa Acara
:
8. Seksi Publikasi/Dokumentasi : 1. Octa Belawati, S.Pd.
2. Nana Citrawati Lestari, S.Si.
3. Syahbudin, S.Pd.
9. Seksi Keamanan
: 1. Guntariadi, S.Pd.
2. M. Arsyad, S.Pd.
3. Sarmadi, S.Pd.
10. Seksi Perlengkapan
: 1. Yuseran, S. Pd.
2. Mujiman H.W, S.Pd.
11. Pembawa Acara Umum
: 1. Ernawati, S.Pd.
2. Ida Zulfiati, S.Pd.
12. Moderator Umum
: Pahmi Rohliansyah, S.Pd.
13. Pembawa Acara Ruang A
: Masnurul Sholehah, S.Pd.
14. Moderator Ruang A
: Nana Citrawati Lestari, S.Si.
15. Pembawa Acara Ruang B
: Octa Belawati, S.Pd.
16. Moderator Ruang B
: Syahbudin, S.Pd.
17. Pembawa Acara Ruang C
: Fathul Jannah, S.Pd.
18. Moderator Ruang C
: Mujiman H.W., S.Pd.
ii
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................
i
Panitia Seminar Nasional ............................................................................
ii
DAFTAR ISI .................................................................................................
iii
Lingkungan dan Permasalahannya Yudi Firmanul Arifin ..........................
1-6
Implementasi Perangkat Pembelajaran Biologi Berbasis Inkuiri dengan
Setting Kooperatif Tipe Penyelidikan Kelompok pada Konsep Jenis-Jenis
Limbah dan Daur Ulang Limbah terhadap Hasil Belajar dan Perilaku
Berkarakter Siswa di SMA Najimatul Ilmiyah .........................................
7 - 22
Keefektifan Pembelajaran Biologi Melalui Inkuiri Terbimbing pada
Konsep Ekosistem di SMA Norhasanah; H. Muhammad Zaini ...............
23 - 35
Pemahaman, Keterampilan Berpikir Kritis dan Etika Lingkungan Siswa
pada Pembelajaran Konsep Ekosistem Melalui Pendekatan Inkuiri di
SMPN I Kusan Hilir Kabupaten Tanah Bumbu Dini Pusparini ................
36 - 40
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dengan
Pendekatan Lingkungan Rosita ..................................................................
41 - 49
Pola Kebiasaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Suaka Margasatwa Pulau
Kaget dalam Pelestarian Suaka Margasatwa Pulau Kaget sebagai Habitat
Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) Finna Rahmiati, Mochamad Arief
Soendjoto, Dharmono .................................................................................. 50 - 57
Pemahaman Konsep Keanekaragaman Hayati dan Etika Lingkungan Siswa
SMAN 3 Banjarbaru Melalui Pendekatan Lingkungan
Wahyuli
Dwindiasih .................................................................................................... 58 - 65
Pengaruh Penerapan Model-model Pembelajaran Konstruktivistik terhadap
Proses IPA di Sekolah Dasar Rusdiyana; Supramono ............................. 66 - 74
Pengembangan Iklan di Televisi sebagai Media Pembelajaran Sistem
Pencernaan terhadap Penguasaan Keterampilan Proses Sains Komunikasi
Siswa SMP Rina Herawaty Nihe ............................................................... 75 - 81
Akumulasi Timbal (Pb) dan Struktur Daun Angsana (Pterocarpus
indicus Willd) sebagai Tumbuhan Peneduh Jalan di Kota Banjarmasin Sri
Amintarti ......................................................................................................
82 - 88
Pengaruh Pemberian Pellet Ikan Inkonvensional terhadap Pertumbuhan
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Suriani ................................................
89 - 97
Menggoda Minat Sains melalui Ice Breaking dalam Pembelajaran
Aminuddin Prahatamaputra ........................................................................ 98 - 112
iii
LINGKUNGAN DAN PERMASALAHANNYA
Yudi Firmanul Arifin
(Guru Besar Ekologi Hutan pada Fakultas Kehutanan Unlam)
Abstrak
Istilah lingkungan diartikan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang
mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak
langsung. Lingkungan juga bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan abiotik.
Aktifitas manusia berhubungan dengan lingkungan dan manusia diberi hak seluasluasnya untuk memanfaatkan lingkungan karena memang sebagai makhluk yang
berakal tentunya hanya manusia yang mampu melakukan pengelolaan terhadap
lingkungan. Cara pandang antroposentrisme inilah yang menyebabkan manusia
mengekploitasi sumberdaya alam demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sikap
perilaku rakus dan tamak itulah yang menyebabkan manusia mengambil semua
kebutuhan hidupnya tanpa mempertimbangkan kelestariannya. Berbagai peristiwa
bencana alam yang terjadi dan melanda umat manusia di seluruh dunia telah banyak
terjadi, seperti; gempa bumi, gelombang tsunami, letusan gunung berapi, awan panas,
angin topan, dan lain-lain. Peristiwa-peristiwa itu pun akhir-akhir ini juga terjadi di
Indonesia dengan menelan banyak jiwa, termasuk rusaknya unsur fisik yang
mendukung lingkungan hidup. Peristiwa alam tersebut tidak dapat dicegah, akan
tetapi dengan ilmu pengetahuan dapat diketahui gejala-gejalanya, sehingga dapat
segera dilakukan evakuasi penduduk untuk mengurangi korban dan upaya mengatasi
kalau bencana itu terjadi.
Kata kunci: lingkungan, antroposentrisme, sikap, perilaku.
PENGERTIAN LINGKUNGAN
Dalam kehidupan sehari-hari kita sudah sangat sering mendengar istilah
lingkungan atau pun membaca referensi yang berkaitan dengan lingkungan. Kita
sering mendengar istilah lingkungan alam dan lingkungan sosial, tentunya istilah
lingkungan ini sudah melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kita sadar
bahwa kita tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan, karena makanan yang
dimakan, minuman yang diminum, kesehatan tubuh kita sangat tergantung pada
lingkungan. Lingkungan yang sehat dan jauh dari pencemaran akan membuat
makanan dan minuman yang diperlukan oleh tubuh pun akan sehat.
Dalam referensi istilah lingkungan diartikan segala sesuatu yang ada di sekitar
manusia yang mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik secara
langsung, maupun tidak langsung. Lingkungan juga bisa dibedakan menjadi
lingkungan biotik dan abiotik. Jika kita berada di kampus, maka teman sejawat
1
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
sesama dosen, karyawan, dan mahasiswa adalah lingkungan biotik, sedangkan tanah,
udara, meja, kursi, dan lain-lain yang berada di sekitar kita di kampus sebagai
lingkungan abiotik.
Seringkali segala aktifitas manusia berhubungan dengan lingkungan, dan
manusia diberikan hak seluas-luasnya untuk memanfaatkan lingkungan karena
memang sebagai makhluk yang berakal tentunya hanya manusia yang mampu
melakukan pengelolaan terhadap lingkungan. Akan tetapi karakter manusia di bumi
ini sangatlah beragam, ada yang bijaksana dalam mengelola dengan prosedur yang
jelas dan taat kepada hukum-hukum alam, akan tetapi tidak sedikit manusia yang
serakah dalam memanfaatkan sumberdaya alam sehingga merusak lingkungan.
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai
pusat dari sistem alam semesta (Keraf, 2002; Soemarwoto, 2004). Lebih lanjut
dikatakan nilai tertinggi pada lingkungan adalah manusia dan kepentingannya. Teori
ini juga dipakai sebagai teori filsafat yang mengatakan bahwa nilai dan prinsip moral
hanya berlaku pada manusia, dan kepentingan manusia mempunyai nilai paling
tinggi. Cara pandang antroposentrisme inilah yang menyebabkan manusia
mengekploitasi sumberdaya alam demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sikap
perilaku rakus dan tamak itulah yang menyebabkan manusia mengambil semua
kebutuhan hidupnya tanpa mempertimbangkan kelestariannya. Menurut Keraf
(2002), teori antroposentrisme disebut juga sebagai etika theologies.
Kalau dalam teori antroposentrisme dikatakan lingkungan dan alam semesta
dibutuhkan manusia demi memuaskan kepentingannya. Adapun pandangan teori
etika biosentrisme justru bertolak belakang dengan antroposentrisme. Dalam teori
etika biosentrisme dikatakan bahwa setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai
nilai pada dirinya sendiri. Dalam pandangannya alam perlu diperlakukan secara
moral, terlepas apakah ia bernilai bagi manusia atau tidak. Sehingga secara harfiah,
biosentrisme juga dikenal sebagai teori lingkungan yang berpusat pada kehidupan.
Inti teori ini adalah manusia mempunyai kewajiban moral terhadap alam. Teori inilah
yang berkembang hingga saat ini dan dianut oleh sebagian besar manusia di bumi ini.
Akan tetapi tidak semua manusia tahu bagaimana mengelola sumberdaya alam
sehingga tetap lestari dan bermanfaat bagi generasi yang akan datang.
Sebagai pendidik tentunya merubah sikap manusia tentang sesuatu merupakan
tugas utama yang harus dilakukan. Bagaimana anak-anak didik dapat memahami arti
dan peran lingkungan bagi mereka, dan apa yang akan terjadi kalau lingkungan itu
rusak? pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu ada, mudah dijawab tetapi
implementasinya sangat sulit dilakukan. Semua orang tahu bahwa rokok dapat
merusak kesehatannya, tetapi sulit mengendalikan orang untuk tidak merokok. Sama
saja seorang dokter melarang pasiennya untuk tidak merokok, tetapi dokter itu sendiri
2
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
sulit menghentikan dirinya untuk tidak merokok dengan berbagai alasan. Jadi
tauladan merupakan contoh yang terbaik dalam kehidupan.
LINGKUNGAN HIDUP
Sering kita secara khusus menggunakan istilah lingkungan hidup dalam
menyebut segala sesuatu yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup semua
makhluk hidup di bumi. Berdasarkan UU RI No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan lingkungan hidup
adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lainnya.
Unsur-unsur lingkungan hidup dibagi atas 3 (tiga), yaitu.
1) Unsur hayati (biotik): manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan jasad renik.
2) Unsur sosial budaya: lingkungan sosial dan budaya yang dibuat manusia; sistem
nilai, gagasan, dan keyakinan dalam perilaku sebagai makhluk sosial.
3) Unsur fisik (abiotik): tanah, air, udara, iklim, dan lain-lain, yang keberadaannya
sangat penting dalam mendukung kelangsungan kehidupan di bumi.
MASALAH LINGKUNGAN HIDUP DAN ALTERNATIF PEMECAHANNYA
Secara umum dapat dikatakan bahwa penyebab kerusakan lingkungan hidup
ada dua faktor, yaitu 1) peristiwa alam, dan 2) manusia. Berbagai peristiwa bencana
alam yang terjadi dan melanda umat manusia di seluruh dunia telah banyak terjadi,
seperti; gempa bumi, gelombang tsunami, letusan gunung berapi, awan panas, angin
topan, dan lain-lain. Peristiwa-peristiwa itu pun akhir-akhir ini juga terjadi di
Indonesia dengan menelan banyak jiwa, termasuk rusaknya unsur fisik yang
mendukung lingkungan hidup. Peristiwa alam tersebut tidak dapat dicegah, akan
tetapi dengan ilmu pengetahuan dapat diketahui gejala-gejalanya, sehingga dapat
segera dilakukan evakuasi penduduk untuk mengurangi korban dan upaya mengatasi
kalau bencana itu terjadi.
Adapun rusaknya lingkungan hidup akibat manusia banyak sekali
penyebabnya, antara lain karena ketidaktahuan, keserakahan, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, globalisasi informasi yang begitu pesat
yang dapat merubah cara berpikir manusia, dan lain-lain. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi memang bertujuan untuk memudahkan manusia dalam
melakukan berbagai hal, akan tetapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dapat berdampak negatif bagi perubahan sikap manusia, sebagai contoh; dengan
kemajuan teknologi dibidang otomotif, menyebabkan semakin meningkatnya
3
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
pemanfaatan kendaraan bermotor untuk keperluan sehari-hari, dari sisi
pemanfaatanya memang akan memudahkan manusia dalam melakukan aktifitas,
tetapi dari gas CO yang keluar dari kendaraan itu menyebabkan semakin
meningkatkan gas rumah kaca yang berdampak pada peningkatan pemanasan bumi,
serta peningkatan polusi udara.
Kemajuan teknologi merupakan tuntutan bagi manusia yang semakin tinggi
dalam memanjakan kehidupan sehari-harinya termasuk penggunaan pendingin
ruangan (AC), hampir semua kantor menggunakan AC, bahkan rumah pribadi sekali
pun, yang mana dampaknya pada penggunaan energi yang semakin meningkat dan
peningkatan emisi yang dikeluarkan oleh penggunaan AC tersebut juga meningkat.
Globalisasi informasi sekarang juga mengakibatkan keinginan manusia untuk meniru
sesuatu semakin meningkat, yang berakibat pada peningkatan kebutuhan dan
selanjutnya mencari jalan pintas bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut, sekali pun
berdampak pada lingkungan, seperti; penebangan kayu ilegal, penambangan ilegal,
perburuan liar, dan lain-lain.
Beberapa bentuk kerusakan lingkungan hidup karena faktor manusia, adalah
1) terjadinya pencemaran/polusi (udara, air, tanah, dan suara), sebagai dampak
industri, kebakaran hutan dan lahan, pembuangan sampah, 2) terjadinya banjir,
sebagai dampak dari buruknya drainase, kesalahan dalam menjaga daerah aliran
sungai, dan pengrusakan hutan, 3) terjadinya tanah longsor, sebagai dampak rusaknya
hutan.
Beberapa perbuatan manusia yang baik secara langsung maupun tidak
langsung membawa dampak bagi kerusakan lingkungan:
a) Penebangan hutan secara ilegal
b) Perburuan liar
c) Penimbunan kawasan rawa untuk dijadikan pemukiman
d) Pembuangan sampah tidak pada tempatnya
e) Mendirikan bangunan liar di daerah aliran sungai (DAS)
f) Ekploitasi sumberdaya alam yang berlebihan
g) Penggunaan bahan kimia dalam pertanian
h) Penggunaan bahan kimia dalam pengolahan tanah
Semua kerusakan yang diakibatkan oleh manusia di atas berpangkal pada
lemahnya etika terhadap lingkungan. Etika bermuara pada pendidikan dan tauladan
yang diberikan kepada manusia. Pendidikan dan tauladan tidak hanya di sekolah,
tetapi juga di rumah dan di masyarakat. Penulis pernah membaca suatu artikel yang
ditulis oleh Tina Afiatin dari Fakultas Psikologi UGM, dia mengungkapkan bahwa
banyak siswa yang tahu dan hafal materi pelajaran, tetapi tidak mampu
mengaflikasikan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh, siswa
4
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
tahu tentang makanan sehat, tetapi perilaku makannya tidak menunjukkan perilaku
makan yang sehat, mereka lebih menyukai fast food dan soft drink dari pada makan
nasi dengan sayur dan buah, serta minum susu. Siswa tahu bagaimana berperilaku
sosial yang baik, tetapi mereka kurang mampu menghargai orang lain, berperilaku
sopan dan bertoleransi. Sehingga makin banyak sekarang anak-anak terlibat tawuran
dan melakukan kekerasan kepada orang lain. Kalau kita cermati, proses belajar yang
diperoleh siswa lebih pada ”belajar tentang” (learning about thing) dari pada ”belajar
menjadi” (learning how to be). Siswa belajar tentang hidup sehat, apa pengertian dan
ciri-cirinya serta cara perilaku sehingga mencapai hidup sehat, tetapi siswa tidak
belajar bagaimana mengubah perilaku untuk mencapai hidup sehat itu. Siswa
diajarkan agar membuang sampah pada tempatnya dan diajarkan dampak yang terjadi
kalau mereka membuang disembarang tempat, tetapi mereka tidak diajarkan
bagaimana merubah kebiasaan agar selalu membuang sampah pada tempatnya.
Memang kita pernah belajar tentang Student Centered Learning, dimana
proses pembelajaran yang semula berpusat pada guru (teacher centered) menjadi
pembelajaran yang berpusat pada siswa (learner centered) yang mana diharapkan
dapat mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam membangun pengetahuan,
sikap, dan perilaku. Akan tetapi mengapa tetap saja belum bisa merubah sikap siswa
sesuai dengan yang diharapkan.
Perubahan sikap harus dimulai dari kesadaran tentang pentingnya nilai-nilai
yang akan ditanamkan pada siswa. Menurut penulis, siswa perlu tauladan, prosedur
yang benar, aturan, dan sanksi yang tegas bagi yang melanggar, tidak hanya teori dan
berbagai tetek bengeknya. Tauladan itu bisa berasal dari teman-temannya yang sudah
baik, guru, orang tua, dan masyarakat termasuk pemimpinnya. Hal ini yang sudah
dilakukan di negara-negara maju. Penulis pernah ditanya oleh teman yang samasama sekolah di Jerman, ketika kamu pulang ke tanah air dan masuk kembali ke
kampus, apa yang pertama-tama kamu rasakan ? jawabannya sangat sederhana masih
banyak sampah yang bertebaran di sekitar kampus, walaupun hampir setiap hari
disapu, tetapi masih saja ada sampah yang dibuang tidak pada tempatnya. Hal ini
sangat berbeda ketika saya masih sekolah di Jerman, kampus selalu bersih dari
sampah dan kesadaran mereka sangat tinggi akan pentingnya kebersihan, Bagaimana
meningkatkan pentingnya etika lingkungan itulah salah satu kuncinya.
Pemerintah menerbitkan berbagai aturan tentang pengelolaan lingkungan
hidup, antara lain.
 Menerbitkan UU No. 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
 Memberlakukan Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun 1986, tentang AMDAL
(Analisa Mengenai Dampak Lingkungan).
5
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
 Pada tahun 1991, pemerintah membentuk Badan Pengendalian Lingkungan,
dengan tujuan pokoknya 1) Menanggulangi kasus pencemaran, 2) Mengawasi
bahan berbahaya dan beracun (B3), 3) Melakukan penilaian analisis mengenai
dampak lingkungan (AMDAL).
 UU RI No. 32 tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Pertanyaan yang sering muncul di benak kita, mengapa masih saja terjadi
pencemaran lingkungan dan bencana lingkungan, tentunya berbagai aturan dan sanksi
belumlah cukup bagi kita manusia. Yang dibutuhkan adalah bagaimana agar kita
semua sadar akan pentingnya lingkungan bagi kehidupan. Bencana lingkungan hanya
dipandang seperti ”pemadam kebakaran”, artinya kalau terjadi bencana dan menelan
korban barulah gencar dibicarakan, tetapi ketika bencana sudah reda tidak dilakukan
upaya-upaya penanggulangan selanjutnya.
Pernahkah kita berpikir bahwa melakukan pengurukan lahan rawa untuk
pemukiman dan jalan akan berdampak pada rusaknya habitat berbagai makhluk hidup
lainnya? Sebenarnya makhluk hidup itu berperan dalam ekosistem di rawa.
Pernahkan kita berpikir bahwa menebang pohon di hutan akan berdampak pada
rusaknya habitat berbagai satwa, meningkatnya CO2 di udara yang berdampak pada
meningkatnya pemanasan global, dan hilangnya sumber plasma nutfah? Memang
terkadang dampak tidak dirasakan dalam jangka pendek, tetapi jangka panjang.
Menumbuhkan kesadaran itulah yang harus kita tanamkan kepada siswa, dalam
bentuk tauladan. Bagaimana guru bisa menegur muridnya untuk tidak merokok, kalau
gurunya sendiri merokok? Bagaimana murid disuruh membuang sampah pada
tempatnya, kalau gurunya sendiri tidak melakukannya?
DAFTAR PUSTAKA
Keraf S., A. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Soemarwoto, O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Penerbit Djambatan.
Tina, Afiatin. Pembelajaran Berbasis Student-Centered Learning. www.inparametric.
com
6
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
IMPLEMENTASI PERANGKAT PEMBELAJARAN BIOLOGI
BERBASIS INKUIRI DENGAN SETTING KOOPERATIF TIPE
PENYELIDIKAN KELOMPOK PADA KONSEP JENIS-JENIS
LIMBAH DAN DAUR ULANG LIMBAH TERHADAP HASIL
BELAJAR DAN PERILAKU BERKARAKTER SISWA DI SMA
(Penelitian Eksperimen melalui Pengamatan dan Penyelidikan di
Kawasan Pasar Amuntai)
Najimatul Ilmiyah
(Dosen STKIP Banjarmasin; Alumni Program Studi Magister Pendidikan Biologi PPs Unlam Banjarmasin)
Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh implementasi perangkat
pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting kooperatif tipe penyelidikan kelompok
terhadap hasil belajar siswa, mendeskripsikan perilaku berkarakter, kinerja siswa,
aktivitas guru selama proses pembelajaran dan respon siswa terhadap proses
pembelajaran. Rancangan kuasi eksperimen melibatkan kelas eksperimen dan kelas
kontrol dengan rancangan penelitian The Nonequivalent Control Group Design.
Teknik pengumpulan data menggunakan hasil belajar siswa yang diambil dari tesawal dan tes-akhir, observasi perilaku berkarakter siswa, observasi kinerja siswa,
observasi aktivitas guru selama proses pembelajaran, dan respon siswa terhadap
proses pembelajaran. Rerata hasil belajar meningkat dari 50,97 menjadi 82,58 pada
pertemuan I dan dari 60,65 menjadi 95,16 untuk pertemuan II. Rerata hasil belajar
produk antara kelas perlakuan dengan menggunakan pembelajaran berbasis inkuiri
dengan setting kooperatif tipe penyelidikan kelompok lebih baik daripada kelas
kontrol. Perilaku berkarakter yang dilakukan siswa selama proses belajar mengajar
berlangsung meningkat dari pertemuan I ke pertemuan II. Kinerja siswa
menunjukkan perubahan yang sangat baik dan skor rerata secara umum meningkat
dari pertemuan I ke pertemuan II. Aktivitas guru (kualitas, kemampuan) meningkat
pada pertemuan II dibanding pertemuan I. Respon siswa terhadap pembelajaran yang
disajikan guru sangat positif. Siswa sangat termotivasi dan berminat untuk mengikuti
pembelajaran berikutnya dengan model serupa.
Kata kunci: inkuiri, setting kooperatif, hasil belajar, berkarakter, limbah.
PENDAHULUAN
Pasal I UU Sisdiknas Tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki
kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Amanah Undang-Undang itu bermaksud
agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, tetapi juga
7
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang
tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta
agama (Suyanto, 2009). Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang standar proses
untuk satuan pendidikan dasar dan menengah mencakup perencanaan proses
pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan
pengawasan proses pembelajaran.
Proses pembelajaran harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang
cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik (Nur, 2011b). Oleh karena itu,
seorang guru perlu membuat perangkat pembelajaran yang salah satu di dalamnya
adalah memuat perilaku berkarakter bagi siswa. Perangkat pembelajaran merupakan
syarat utama dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Salah satu pendekatan
yang digunakan dalam pengembangan perangkat pembelajaran ini adalah pendekatan
konstruktivis.
Pembelajaran biologi yang didominasi oleh guru selama proses
pembelajaran seperti ceramah, bersifat hafalan, dan kurang mementingkan proses
masih dijumpai di kelas-kelas. Siswa pasif mendengarkan penjelasan guru dan konsep
yang ada di buku kurang dikaitkan dengan lingkungan sekitar siswa. Hal ini membuat
pembelajaran tidak efektif dan cenderung membosankan. Kemampuan awal yang
dimiliki siswa —pelajaran IPA di SD merupakan dasar pelajaran biologi di SMP dan
selanjutnya di SMP merupakan dasar pelajaran di SMA— sangat perlu diperhatikan
dan digali oleh guru, agar siswa dapat menghubungkan materi yang telah dipelajari
dengan materi yang akan dipelajari. Model pembelajaran ini mengaktifkan siswa dan
menjadikan lingkungan sebagai salah satu sumber belajar, sehingga siswa sendiri
yang aktif menemukan kajian isi pembelajaran dan mengkaitkan konsep yang sedang
dipelajari dengan kondisi nyata di lingkungan sekitar Dengan demikian, konteks
pembelajaran menjadi bermakna.
Penanaman konsep, misalnya konsep biologi pokok bahasan jenis-jenis
limbah dan daur ulang limbah pada siswa tidak cukup hanya sekedar melalui
ceramah. Pembelajaran akan lebih bermakna, jika siswa diberi kesempatan tahu dan
terlibat secara aktif dalam menemukan konsep dari fakta-fakta yang dilihat dari
lingkungan dengan cara mengamati dan bereksperimen dengan bimbingan guru.
Manusia merupakan bagian dari lingkungan. Lingkungan berfungsi penting untuk
semua makhluk hidup. Pembelajaran biologi tidak saja menuntut siswa mampu
mengaitkan materi biologi dengan perkembangan teknologi, tetapi juga harus mampu
mengaplikasikannya di lingkungan sekitar. Biologi adalah ilmu yang mempelajari
segala hal terkait dengan hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya.
8
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Penyajian materi yang bernuansa lingkungan dapat dilakukan dengan
berbagai macam model pembelajaran; misalnya, melalui model inkuiri yang
dipadukan dengan model pembelajaran kooperatif. Biologi sebagai salah satu bidang
IPA menurut Subandi (2007), menyediakan berbagai pengalaman belajar untuk
memahami konsep dan proses sains. Di dalam KTSP salah satu KD yang
berhubungan dengan keterampilan proses adalah menganalisis jenis-jenis limbah dan
daur ulang limbah. Keterampilan proses ini meliputi keterampilan mengamati,
mengajukan hipotesis, menggunakan alat dan bahan secara baik dan benar dengan
selalu mempertimbangkan keamanan dan keselamatan kerja, mengajukan pertanyaan,
menggolongkan dan menafsirkan data, serta mengkomunikasikan hasil temuan secara
lisan atau tertulis, menggali dan memilah informasi faktual yang relevan untuk
menguji gagasan-gagasan atau memecahkan masalah sehari-hari. Ini semua
merupakan proses-proses yang terdapat dalam pembelajaran berbasis inkuiri.
Hasil tes ketuntasan belajar siswa bidang studi IPA/Biologi kelas X SMA
Negeri 1 Amuntai menunjukkan masih ada siswa berada di bawah garis
ketuntasan/tidak tuntas. Pembelajaran menggunakan model inkuiri dengan setting
kooperatif tipe penyelidikan kelompok, khususnya pada konsep jenis-jenis limbah
dan daur ulang limbah belum pernah dilakukan di SMAN 1 Amuntai. Pembelajaran
konsep limbah dan daur ulang limbah biasa diajarkan dengan menggunakan metode
ceramah, sehingga rerata kelas masih berada pada standar yang telah ditentukan.
Pembelajaran dengan metode ceramah lebih banyak menuntut keaktifan guru
dari pada siswa. Akhirnya, hanya terjadi komunikasi satu arah dari guru ke siswa,
sehingga pelajaran menjadi kurang bermakna. Di samping itu, keaktifan siswa sangat
kurang dan siswa kurang tertarik pada pembelajaran.
Trianto (2009) menegaskan bahwa inkuiri merupakan bagian inti dari
kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang
diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi
hasil menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada
kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkan. Tahap pembelajaran yang
digunakan dalam penelitian ini mengadaptasi dari tahap pembelajaran inkuiri yang
dikemukakan oleh Eggen dan Kauchak (1996), yaitu mengajukan pertanyaan tentang
fenomena alam yang dihadapi, membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan
percobaan untuk memperoleh informasi, mengumpulkan data dan membuat
kesimpulan.
Di dalam kurikulum SLTA tahun 2006 yang dikenal dengan KTSP, materi
limbah dan daur ulang limbah diajarkan pada kelas X semester genap dan dituangkan
dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dikuasai siswa dalam
pembelajaran biologi. Standar Kompetensinya adalah menganalisis hubungan
9
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
komponen ekosistem, perubahan materi dan energi, serta peranan manusia dalam
keseimbangan ekosistem. Kompetensi Dasarnya adalah menganalisis jenis-jenis
limbah dan daur ulang limbah.
METODE
Penelitian kuasi eksperimen The Nonequivalent Control Group Design
(Gage, 1996) melibatkan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Data kuantitatif
diperoleh dari tes hasil belajar (tes-awal dan tes-akhir). Pengukuran deskriptif
kualitatif adalah 1) mendeskripsikan perilaku berkarakter siswa, 2) mendeskripsikan
kinerja siswa, 3) mendekripsikan aktivitas guru selama pembelajaran, dan 4)
mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting
kooperatif tipe penyelidikan kelompok pada konsep jenis-jenis limbah dan daur ulang
limbah.
Data hasil belajar diperoleh dari tes-awal dan tes-akhir siswa. Data perilaku
berkarakter siswa diperoleh dari lembar pengamatan perilaku berkarakter. Data
kinerja siswa diperoleh dari lembar pengamatan efektifitas pembelajaran (adaptasi
dari Borich, 2005). Data aktivitas guru diperoleh dari lembar observasi aktivitas guru.
Respon siswa terhadap pembelajaran diperoleh dari instrumen respon siswa.
Data tes diolah dengan teknik persentase. Formulanya
P=
f
100%
N
Dalam hal ini, P = angka persentase, f = frequensi yang sedang dicari, N = jumlah
frekuensi/banyaknya individu.
Data kuantitatif diolah dengan teknik persentase dan ketuntasan belajar diolah
menurut kriteria.
Secara klasikal, presentasi =
Jumlah siswa dengan nilai  75%
x 100%
Jumlah siswa keseluruhan
Secara individual, presentasi =
Jumlah jawaban soal yang benar
X 100%
Jumlah soal seluruhnya
Kriteria Ketuntasan Belajar:
1. Ketuntasan Individual (KI); jika siswa mencapai ketuntasan ≥75%
2. Ketuntasan Klasikal (KK); jika ≥ 85% dari seluruh siswa mencapai ketuntasan ≥
75% (Usman dan Setiawati, 2003).
10
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
3. Respon siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran berbasis
inkuiri dengan setting kooperatif tipe penyelidikan kelompok dikatakan baik,
apabila minimal 65% siswa menjawab Ya
HASIL DAN PEMBAHASAN
1) Hasil Belajar
Di kelas perlakuan pada tes-awal pertemuan I hanya 2 orang siswa yang
mencapai nilai ≥ 75 (KI), sedangkan secara klasikal mencapai 6,45%. Ini
menunjukkan bahwa secara klasikal hasil tes-awal pada pertemuan I belum tuntas.
Setelah pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting kooperatif tipe penyelidikan
kelompok, hasil tes-akhir pada pertemuan I meningkat; 28 orang siswa mencapai nilai
≥ 75 dan secara klasikal mencapai ketuntasan 90,32%.
Peningkatan nilai siswa berada pada rentang 20-80 pada tes-awal dengan
nilai rerata 50,97. Pada tes-akhir nilai berada pada rentang 60-100 dengan rerata
82,58. Ini meningkat 31,61. Hasil pembelajaran sudah mencapai KK, tetapi
peningkatan masih terbilang minim (5,32%). Diharapkan pengalaman pada
pertemuan I sangat membantu selama pembelajaran pada pertemuan II.
Di kelas kontrol pada tes-awal pertamuan I tidak ada siswa yang mencapai
nilai 75 (KI). Secara klasikal pada tes-awal kelas kontrol semua siswa tidak tuntas
atau 0%. Nilai siswa kelas kontrol pada tes-awal berada pada rentang 20-60 dengan
nilai rerata 39,38. Pada tes-akhir nilai siswa berada pada rentang 40-80 dengan nilai
rerata 65,63. Ini meningkat 26,25. Hasil belajar dengan pembelajaran konvensional
menunjukkan KK 25%, tetapi ini masih jauh dari KK.
Pada tes-awal pertemuan II di kelas perlakuan, 4 orang mencapai nilai ≥ 75,
sedangkan secara klasikal mencapai ketuntasan sebesar 12,90%. Secara klasikal hasil
tes-awal pertemuan II belum tuntas. Setelah pembelajaran, hasil tes-akhir pada
pertemuan II meningkat. Semua siswa (31 orang) mencapai nilai ≥ 75 dan secara
klasikal mengalami ketuntasan 100%.
Nilai siswa berada pada rentang 30-80 dengan nilai rerata 60,65. Pada tesakhir nilai yang diperoleh siswa berada pada rentang 80-100 dengan nilai rerata
95,16. Secara keseluruhan hasil belajar siswa pada pertemuan II meningkat dari nilai
rerata 60,65 menjadi 95,16 pada tes-akhir. Data hasil pembelajaran mencapai KK.
Di kelas kontrol pertemuan II pada tes-awal, 4 orang siswa mencapai nilai ≥
75, sedangkan secara klasikal 12,50%. Nilai berada pada rentang 30-80 dengan rerata
50, 94. Pada tes-akhir nilai nilai berada pada rentang 50-80 dengan rerata 70,94. Ini
meningkat 20,00. Pembelajaran konvensional menunjukkan KK 28,13% dan ini
masih jauh dari KK 85%.
11
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Berdasarkan pada peningkatan dari hasil tes-awal dan tes-akhir baik di kelas
perlakuan maupun kelas kontrol, dapat diketahui bahwa hasil belajar pada kelas
perlakuan lebih tinggi dibanding kelas kontrol. Peningkatan nilai hasil belajar terjadi
pada semua siswa kelas perlakuan, karena siswa sudah bisa mengikuti pelajaran
dengan baik, lebih antusias, dan termotivasi mengikuti pembelajaran berbasis inkuiri
dengan setting kooperatif tipe penyelidikan. Materi pembelajaran yang dikaitkan
dengan keadaan lingkungan sekitar siswa mampu membawa siswa ke dalam kajian isi
pembelajaran dan konsep relevan bagi mereka dan memberi makna dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga siswa terlibat aktif dalam proses belajar mengajar atau. Dengan
kata lain, guru hanya sebagai fasilitator bukan orang yang mendominasi
pembelajaran.
Suparno (1997) berpendapat ciri atau prinsip belajar berarti mencari makna.
Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami.
Sardiman (2006) menegaskan bahwa seseorang akan berhasil dalam belajar, kalau
pada dirinya sendiri ada keinginan untuk belajar. Inilah prinsip dan hukum pertama
dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran. Keinginan atau dorongan untuk belajar
inilah yang disebut dengan motivasi. Motivasi meliputi dua hal: (1) mengetahui apa
yang akan dipelajari; dan (2) memahami mengapa hal tersebut patut dipelajari. Kedua
unsur motivasi inilah dasar permulaan yang baik untuk belajar. Tanpa motivasi,
kegiatan belajar mengajar sulit berhasil.
Pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting kooperatif dapat meningkatkan
hasil belajar siswa, karena pembelajaran bukanlah kegiatan memindahkan
pengetahuan dari guru ke siswa, tetapi kegiatan yang memungkinkan siswa
merekonstruksi atau membangun sendiri pengetahuannya (teori konstruktivisme).
Siswa juga mencari sendiri makna dari yang mereka pelajari. Menurut Hisyam dkk.
(2008), belajar aktif sangat diperlukan oleh peserta didik untuk mendapatkan hasil
belajar maksimum. Ketika peserta didik pasif atau hanya menerima dari pengajaran,
ada kecenderungan untuk cepat melupakan yang telah diberikan. Oleh sebab itu
diperlukan perangkat tertentu untuk dapat mengikat informasi yang baru saja diterima
dari guru/dosen.
Pembelajaran akan lebih bermakna jika siswa diberi kesempatan untuk tahu
dan terlibat secara aktif dalam menemukan konsep dari fakta-fakta yang dilihat dari
lingkungan dengan cara mengamati dan bereksperimen dengan bimbingan guru. Pada
dasarnya penggunaan pendekatan inkuiri dalam pembelajaran dapat meningkatkan
proses dan hasil belajar siswa. Hal serupa juga dijumpai pada pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan lingkungan dan kooperatif. Bila ketiga pendekatan ini
digunakan dalam pembelajaran, proses dan hasil belajar siswa meningkat serta guru
12
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
mudah mengajarkan konsep khususnya jenis-jenis limbah dan daur ulang limbah agar
memberi makna dalam kehidupan sehari-hari siswa.
Murtiani (2008) melaporkan bahwa penggunaan pendekatan inkuiri dapat
meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa SMP Negeri 1 Batu Ampar pada
materi difusi dan osmosis. Ketuntasan hasil belajar siswa mengalami peningkatan dan
mencapai batas KK ( 85%). Pada siklus 1 hasil tes-awal 31,03% dan tes-akhir
96,55%, sedangkan pada siklus 2 58,62% pada tes-awal dan 86,20% pada tes-akhir.
Pengetahuan siswa tergolong baik menjadi cukup baik, sedangkan hasil keterampilan
tergolong baik. Rosmalina (2010) menunjukkan bahwa penerapan bahan ajar berbasis
inkuiri berpengaruh positif terhadap pemahaman konsep saling ketergantungan di
sekolah dasar Kecamatan Beruntung Baru, Kabupaten Banjar. Penerapan bahan ajar
berbasis inkuiri ini dapat dijadikan pilihan yang baik dalam pembelajaran, karena
pendekatan inkuiri memberi pengaruh positif terhadap hasil belajar siswa.
Arisuweni (2006) menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan
lingkungan dapat meningkatkan hasil belajar siswa, meningkatkan penguasaan
konsep, serta dapat meningkatkan sikap siswa terhadap lingkungannya. Kesan dan
tanggapan siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan lingkungan pun
meningkat dan positif.
Kualitas pembelajaran siswa dalam memperoleh pengetahuannya melalui
pengamatan dan penyelidikan di kawasan pasar sekitar sekolah dapat diketahui dari
hasil pikiran yang mereka tuangkan dalam mengisi lembar kerja siswa (LKS) yang
sudah di siapkan guru sebelumnya. Hasil lembar kerja siswa proses dan psikomotor
melalui pembelajaran pada pertemuan I yang membahas jenis–jenis limbah mencapai
88% dan pada pertemuan II yang membahas daur ulang limbah 99,40%. Hasil lembar
kerja siswa kelas perlakuan pada pertemuan I masih terdapat 1 kelompok siswa
dengan kategori sedang (56-75%). Pada pertemuan II meningkat. Semua kelompok
menunjukkan kategori baik (76-100%).
Belajar menggunakan model inkuiri selain berorientasi kepada hasil belajar
juga berorientasi pada proses belajar. Pembelajaran adalah proses interaksi, baik
interaksi antara siswa maupun interaksi dengan guru, bahkan interaksi siswa dengan
lingkungan. Menurut Dharma (2008), pembelajaran berbasis inkuiri menekankan
kepada proses mencari dan menemukan. Materi pelajaran tidak diberikan secara
langsung. Peran siswa dalam strategi ini adalah mencari dan menemukan sendiri
materi pelajaran, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing siswa
untuk belajar. Pembelajaran berbasis inkuiri merupakan rangkaian kegiatan
pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir kritis dan analitis untuk mencari
dan menemukan sendiri jawaban dari masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu
13
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa. Strategi
pemberlajaran ini juga dinamakan strategi heuristic, yang berarti saya menemukan.
Hasil belajar siswa berupa proses dan psikomotor pada kelas kontrol tidak
ada, karena siswa pada kelas kontrol hanya belajar di dalam kelas dengan bantuan
bahan ajar dan buku paket pegangan siswa. Dari proses belajar tersebut siswa kelas
perlakuan diharapkan memperoleh pengetahuannya sendiri dari data-data yang telah
diperoleh dari lingkungan tempat belajarnya; dalam penelitian ini tempat belajarnya
adalah lingkungan kawasan pasar di sekitar sekolah. Ahli konstruktivis Piaget,
Vygotsky dalam Ibrahim dkk. (2000) menekankan kebutuhan siswa menyelidiki
lingkungan dan membangun sendiri pengetahuan bermakna pada diri siswa.
Menurut Susilo (2003), siswa melakukan serangkaian kegiatan intelektual
agar pengalaman (masalahnya) dapat dipahami. Inkuiri menekankan pada adanya
inisiatif siswa untuk mengalami proses belajarnya sendiri. Melalui pendekatan ini
siswa diberi kesempatan mencari dan menemukan keteraturan-keteraturan dan hal-hal
yang berhubungan dengan pengamatan dan pengalaman sendiri. Selain itu belajar
melalui inkuri memperpanjang proses ingatan. Dengan kata lain, hal-hal yang
dipelajari melalui inkuri lebih lama diingat oleh siswa (Dahar dan Liliasari, 1886).
Steven dan Slavin (1995) menyatakan bahwa dengan pembelajaran
kelompok/kooperatif, hasil belajar lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa
yang diorganisasikan secara tradisional/konvensional.
2) Perilaku Berkarakter Siswa
Perilaku berkarakter siswa dalam kegiatan belajar mengajar pertemuan I
pada konsep jenis-jenis limbah menunjukkan skala kemajuan dan memerlukan
perbaikan. Hal ini terlihat dari penilaian observer terhadap 7 perilaku berkarakter
yang seharusnya ditunjukkan oleh siswa dalam pembelajaran: ketelitian, kejujuran,
peduli, komunikasi, kerjasama, terbuka, menghargai teman, dan bertanggungjawab.
Perilaku berkarakter yang diharapkan ada pada diri siswa secara umum
menunjukkan peningkatan dari pertemuan I ke pertemuan II. Ini dapat dilihat dari
kondisi siswa yang sudah mulai termotivasi dan merasa senang, ketika teman
memperlakukannya dengan baik. Seyogyanya teman itu pun menginginkan perlakuan
yang sama olehnya. Di sini siswa dapat mengontrol dan mempertimbangkan
perilakunya agar satu sama lain merasa nyaman dan berjalan ke arah yang lebih baik.
Tujuh perilaku berkarakter yang diamati selama kegiatan belajar mengajar dengan
jumlah siswa 31 orang sudah tergolong dalam skala sangat baik dan memuaskan.
Artinya, pembelajaran ini mampu meningkatkan perilaku berkarakter siswa.
Pembelajaran ini tidak hanya meningkatkan hasil belajar, tetapi juga
meningkatkan perilaku berkarakter siswa. Anitah dkk. (2008) berpendapat bahwa
14
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
pembelajaran kooperatif yang dipadukan dengan pembelajaran berbasis inkuiri
memberi siswa kesempatan untuk membina rasa tanggung jawab, rasa toleransi.
Lebih jauh siswa akan memahami materi pelajaran yang bersifat problematik dengan
alternatif penyelesaiannya. Secara langsung siswa akan belajar berpikir logis, kritis,
dan kooperatif dalam memberikan alternatif penyelesaian masalah melalui
kesempatan kelompok. Oleh karena itu perlu dikembangkan dalam pembelajaran agar
siswa memiliki kemampuan sosial, seperti bekerja sama, berkomunikasi,
bermusyawarah, dan berinteraksi yang dibentuk melalui kelompoknya.
Melalui belajar kelompok siswa tidak hanya mendapat kesempatan untuk
mengembangkan konsep, tetapi juga kesempatan untuk mengembangkan aktivitas
sosial, sikap dan nilai (Depdikbud, 1990 dalam Anitah dkk, 2008). Menurut
Kunandar (2007), di dalam pembelajaran berbasis inkuiri yang mengikuti metode
sains, siswa belajar menjadi seorang ilmuwan. Siswa tidak hanya belajar tentang
konsep atau fakta, tetapi juga proses dan sikap.
Dalam buletin Character Educator, yang terbitan Character Education
Partnership diuraikan hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of MissouriSt. Louis yang menunjukkan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih
prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter.
Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter
menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat
menghambat keberhasilan akademik (Suyanto, 2009).
3) Kinerja Siswa
Skor rerata setiap perilaku siswa yang menunjukkan kinerja secara umum
meningkat. Peningkatan skor rerata kinerja yang paling banyak dilakukan oleh siswa
dari pertemuan I ke pertemuan II adalah interaksi antar-siswa dan juga penyelidikan
(rerata sama, 1,84), menggabungkan instruksi di kelas dengan konteks realistis (rerata
1,00), standar yang kompoten di dunia nyata (rerata 0,83), kriteria proses (kreativitas,
kerapian, penggunaan sumber daya, dan lain-lain) dan mewakili kehidupan nyata
bukan buku kerja (nilai rerata sama, 0,67), integrasi pengetahuan (rerata 0,66),
mendiskusikan ide/materi ajar dan mengkritik/menganalisis respon siswa lain serta
melakukan hal-hal rutin dengan menggunakan informasi yang diperoleh (rerata 0,50),
menulis tugas dan memberi pendapat secara informal (rerata 0,34), identifikasi peran
siswa, kinerja oral, membaca/mempresentasikan tugas, membaca teks/bahan
pembelajaran, kriteria produk (keakuratan, keterpakaian, dan lain-lain) (rerata sama,
0,33), interaksi guru dan siswa serta identifikasi tugas terhadap bahan pendukung atau
bahan ajar (rerata 0,17), dan pertanyaan-pertanyaan lisan (0,16).
15
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Kinerja siswa dalam pembelajaran pada pertemuan I dan pertemuan II
berubah sangat baik dan skor rerata setiap kategori perilaku siswa yang menunjukkan
kinerja secara umum meningkat. Pada pertemuan I masih banyak aktivitas siswa yang
kinerjanya kurang. Hal ini, karena siswa belum terkondisi dengan keadaan yang
dibentuk dari perbedaan latar belakang dan taraf pengetahuan, lingkungan sosial
ekonomi, dan gaya belajar. Siswa belum memahami cara belajar dari guru, sehingga
masih banyak yang kurang melakukan aktivitas yang seharusnya, kurang motivasi
dalam diri siswa sendiri untuk melaksanakan pembelajaran karena pembelajaran ini
masih baru bagi mereka. Siswa masih bingung dan belum bisa melaksanakan
sepenuhnya proses belajar mengajar.
Belajar memerlukan motivasi. Hasilnya akan optimal, kalau ada motivasi.
Makin tepat motivasi yang diberikan, makin berhasil pula pelajaran. Motivasi berarti
serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang
mau dan ingin melakukan sesuatu. Bila tidak suka, siswa akan berusaha meniadakan
atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Jadi motivasi dapat dirangsang oleh faktor
dari luar, tetapi tumbuh di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang
menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberi arah pada kegiatan
belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh siswa dapat tercapai. Jadi motivasi
akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar para siswa (Sardiman, 2006).
Pada pertemuan II semua kategori kinerja siswa dapat dimaksimalkan. Dari
semua kategori kinerja siswa tersebut peningkatan skor rerata kinerja yang paling
menonjol adalah interaksi siswa dengan siswa dan juga melakukan penyelidikan
(rerata sama, 1,84), menggabungkan instruksi di kelas dengan konteks realistis (rerata
1,00), standar yang kompoten didunia nyata (rerata 0,83), kriteria proses (kreativitas,
kerapian, penggunaan sumber daya, dan lain-lain) dan mewakili kehidupan nyata
bukan buku kerja (rerata sama, 0,67), dan integrasi pengetahuan (rerata 0,66).
Pada pertemuan II ini siswa sudah terkontrol dan lebih fokus terhadap
masalah pada saat pembelajaran berlangsung. Siswa pun mengerti dan menyadari
pentingnya pemahaman konsep jenis-jenis limbah dan daur ulang limbah, bukan
sekedar teori, melainkan kebermaknaan nyata di lingkungan sekitar siswa sehingga
mereka sudah mulai terpusat pada pembelajaran yang disajikan guru. Hal ini
menggambarkan bahwa siswa bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan lebih
termotivasi mengikutinya.
Dengan demikian, pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting kooperatif
tipe penyelidikan kelompok dapat meningkatkan kinerja siswa selama proses belajar
mengajar. Mulyanto (2005) menegaskan bahwa KTSP memberikan sinyal dalam
implementasinya menggunakan strategi dengan menekankan pada aspek kinerja
siswa (Contextual Teaching and Learning). CTL menyampaikan pesan yang
16
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
menekankan pada (1) menghubungkan pengetahuan dan keterampilan, (2)
mempelajari konsep-konsep abstrak dengan melakukan aktivitas-aktivitas praktis, dan
(3) menghubungkan pelajaran sekolah dan dunia nyata. Peran sentral ini memiliki arti
bahwa belajar dengan melakukan sesuatu membuat hubungan-hubungan
menghasilkan makna, dan pada saat melihat makna, pengetahuan dan keterampilan
diperoleh dan diserap. Jadi, fungsi dan peranan guru hanya sebagai mediator-siswa
untuk lebih proaktif merumuskan sendiri fenomena berkaitan dengan fokus kajian
secara kontekstual, bukan tekstual.
Pendekatan yang digunakan dalam implementasi perangkat pembelajaran ini
adalah pendekatan konstruktivis, pendekatan yang berciri student centered yang
ditekankan kepada learning, juga memerhatikan prinsip-prinsip Contextual Teaching
and Learning (Mulyanto, 2005). Salah satu bentuk pembelajaran yang disarankan
dari KTSP adalah pembelajaran berbasis inkuiri (Kunandar, 2007). Inkuiri merupakan
kegiatan inti dari pembelajaran berbasis Contextual Teaching and Learning.
Pengetahuan dari keterampilan yang diperoleh siswa bukan hasil mengingat
seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.
Berlyne dalam Slavin (2008) menyatakan bahwa belajar menggunakan
pendekatan inkuiri akan memacu kehendak-tahuan siswa, memotivasi untuk
melanjutkan pekerjaan hingga menemukan jawaban. Selain itu, siswa juga dapat
memecahkan masalah secara mandiri dan keterampilan berfikir kritis karena harus
selalu menganalisis dan menangani informasi. Dengan demikian, jika pembelajaran
dengan pendekatan inkuiri sudah dilaksanakan baik, tiga tujuan dapat dicapai
sekaligus, yaitu (a) merangsang rasa ingin tahu pada siswa, (b) menemukan informasi
atau pengetahuan yang merupakan jawaban pertanyaan dan masalah yang diajukan,
dan (c) melatih keterampilan metode ilmiah melalui kerja ilmiah sehingga sekaligus
menghayati bagaimana kerja keras dilakukan oleh para ilmuwan (Ibrahim, 2005).
Pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting kooperatif tipe penyelidikan
kelompok merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang
diajarkan dengan lingkungan siswa, sehingga menjadi konteks pembelajaran yang
bermakna, yang akan mampu membawa siswa ke dalam kajian isi pembelajaran dan
konsep yang relevan bagi mereka dan memberi makna dalam kehidupan sehari-hari.
4) Aktivitas Guru dalam Pembelajaran
Pada pertemuan I hasil observasi aktivitas guru dari dua orang pengamat
mulai dari tahap persiapan hingga tahap pelaksanaan hanya ada 3 aspek yang
mendapat nilai cukup baik yaitu persiapan secara keseluruhan, selalu mengingatkan
siswa untuk melakukan perilaku berkarakter dan keterampilan sosial dan suasana
kelas. Guru belum maksimal melaksanakan pembelajaran (seperti pada pendahuluan
17
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
dalam bertanya jawab dengan siswa) serta kurang mengorganisasi dengan baik tahap
kegiatan inti (terutama dalam hal meminta siswa memberi hipotesis, membimbing
siswa dalam mendiskusikan hasil penyelidikan serta pengelolaan waktu).
Keterbatasan waktu menjadi alasan, karena pelaksanaan pembelajaran ini
membutuhkan waktu yang relatif banyak. Guru perlu memperhatikan alokasi waktu
yang disediakan agar tujuan pembelajaran tercapai secara optimal.
Pada pertemuan II, aktivitas guru sudah berkategori baik dan sesuai dengan
prosedur. Terlihat jelas penurunan dominansi aktivitas guru. Sebaliknya, siswa
terlibat aktif dalam pembelajaran. Siswa antusias mengikuti pelajaran. Pengelolaan
waktu sudah baik, karena guru dan siswa sudah mulai termotivasi dan mampu
melaksanakan tahapan-tahapan pembelajaran. Guru lebih memosisikan dirinya
sebagai fasilitator, yang memberi kemudahan belajar kepada siswa. Peserta didik
terlibat aktif dalam pembelajaran, sedangkan guru lebih banyak memberi arahan dan
bimbingan serta mengatur sirkulasi dan jalannya pembelajaran.
Sardiman (2006) menegaskan bahwa yang terpenting dalam pembelajaran
adalah bagaimana guru menciptakan kondisi atau proses yang mengarahkan siswa
melakukan aktivitas belajar. Sudah barang tentu peran guru sangat penting. Guru
melakukan usaha-usaha untuk menumbuhkan dan memberikan motivasi agar anak
didik melakukan aktivitas belajar dengan baik. Untuk belajar dengan baik diperlukan
proses dan motivasi yang baik pula. Motivasi belajar siswa akan muncul apabila guru
dapat memberikan suasana belajar yang kondusif, menyenangkan, dan efektif (Anitah
dkk., 2008). Belajar efektif dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa.
Kegiatan inkuiri dimulai ketika pertanyaan atau permasalahan diajukan dan
siswa diminta merumuskan hipotesis. Menurut Anitah dkk. (2008), umumnya tujuan
bertanya adalah memperoleh informasi. Namun, kegiatan bertanya guru juga
meningkatkan interaksi guru dengan siswa serta siswa dengan siswa. Dengan
demikian, pertanyaan guru tidak hanya mendapat informasi tentang pengetahuan
siswa, tetapi juga mendorong siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran.
Suparno (2001) mengemukakan bahwa sebelum mengajar (tahap persiapan),
guru diharapkan mempersiapkan bahan ajar, mempersiapkan alat peraga/praktikum
yang akan digunakan, mempersiapkan pertanyaan dan arahan untuk memancing
siswa aktif belajar, mempelajari keadaan dan mengerti kelemahan dan kelebihan
siswa, serta mempelajari pengetahuan awal siswa. Semuanya akan terurai
pelaksanaannya di dalam perangkat pembelajaran.
5) Respon Siswa terhadap Pembelajaran
Data terakhir yang juga sangat mendukung dalam peningkatan hasil belajar
dan perilaku berkarakter siswa selama mengikuti proses belajar mengajar adalah
18
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
angket respon siswa terhadap pembelajaran. Siswa sangat menyukai proses belajar
mengajar yang diterapkan karena pembelajaran tidak monoton, tidak membosankan
dan memberikan respon positif, serta merasa termotivasi karena pelaksanaan
pembelajaran yang menyenangkan dan jauh dari rasa tertekan. Siswa diberi
kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.
Sardiman (2006) menegaskan belajar akan lebih efektif, bila didorong
dengan motivasi, terutama motivasi dari dalam/dasar kebutuhan/kesadaran atau
intrinsic motivation. Lain halnya bila belajar dengan rasa takut atau dengan rasa
tertekan dan menderita. Menurut Anitah dkk. (2008), siswa akan termotivasi,
bersemangat, dan tidak takut mengajukan pendapat, karena diberi keleluasaan
menyampaikan pendapat kepada siswa lain, bisa bekerjasama dengan teman, peduli
terhadap siswa lain, saling menghargai pendapat, tidak saling mencela (menunjukkan
perilaku berkarakter dan keterampilan sosial). Penghargaan dari guru dan temanteman yang diberikan memotivasi siswa untuk tidak takut mengajukan pendapat.
Penggunaan media yang dapat diproyeksikan (projected visual) berupa LCD
dengan menayangkan macromedia flash tentang konsep pembelajaran jenis-jenis
limbah dan daur ulang limbah digunakan untuk memotivasi siswa agar mengarah
kepada tujuan pembelajaran. Menurut Anitah dkk. (2008), alat proyeksi berupa LCD
bisa dimanfaatkan untuk menata pembelajaran lebih menarik lagi, karena bisa
menampilkan berbagai hal terkait dengan pencapaian tujuan pembelajaran dibanding
dengan alat proyeksi lain.
Sistem pembelajaran dalam pandangan konstruktivis menurut Hudojo (1998)
dalam Trianto (2009) mempunyai ciri-ciri (a) siswa terlibat aktif belajar dan belajar
materi (pengetahuan) secara bermakna dengan bekerja dan berpikir serta (b)
informasi baru harus dikaitkan dengan informasi sebelumnya sehingga menyatu
dengan skema yang dimiliki siswa. Implikasi ciri-ciri pembelajaran dalam pandangan
konstruktivis adalah penyediaan lingkungan belajar yang konstruktif. Lingkungan
belajar yang konstruktif (1) menyediakan pengalaman belajar yang mengaitkan
pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sehingga belajar
merupakan proses pembentukan pengetahuan, (2) menyediakan berbagai alternatif
pengalaman belajar, (3) mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi realistik dan
relevan dengan melibatkan pengalaman kongkrit, (4) mengintegrasikan pembelajaran
yang memungkinkan interaksi dan kerjasama antara siswa, (5) memanfaatkan
berbagai media agar pembelajaran lebih menarik, dan (6) melibatkan siswa secara
emosional dan sosial sehingga biologi lebih menarik bagi siswa.
AECT (1997) dalam Anitah dkk. (2008) menegaskan sumber belajar berupa
lingkungan sekitar dapat dimanfaatkan menunjang kegiatan belajar mengajar secara
optimal. Penyajian materi bernuansa lingkungan dapat dilakukan dengan berbagai
19
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
macam pendekatan; misalnya, pendekatan inkuiri dengan pendekatan kooperatif tipe
penyelidikan kelompok yang dipadukan dengan pendekatan lingkungan. Pendekatan
lingkungan adalah strategi pembelajaran yang memanfaatkan lingkungan sebagai
sasaran belajar, sumber belajar, dan sarana belajar. Hal tersebut dapat dimanfaatkan
untuk memecahkan masalah lingkungan dan menanamkan sikap cinta lingkungan.
Lingkungan dapat digunakan untuk merangsang dan menarik perhatian siswa.
Meningkatkan kualitas pembelajaran memerlukan perangkat pembelajaran
yang berorientasi pada model pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar
siswa serta memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif membangun
pengetahuannya sendiri (Woolfolk, 1993 dalam Nur, 1996). Berdasarkan pemahaman
tersebut, teori pembelajaran kontekstual berfokus pada multiaspek lingkungan
belajar; dalam penelitian ini berupa ruang kelas yang dipadukan dengan pemanfaatan
lingkungan sekitar sekolah (kawasan pasar) sebagai sumber belajar pada konsep
jenis-jenis limbah dan daur ulang limbah.
SIMPULAN DAN SARAN
1. Rerata hasil belajar produk kelas perlakuan meningkat, baik pada pertemuan I
maupun pertemuan II, rerata hasil belajar produk dengan pembelajaran ini lebih
baik daripada hasil belajar produk tanpa perangkat pembelajaran.
2. Pembelajaran ini berhasil dengan baik dalam peningkatan perilaku berkarakter.
3. Pembelajaran ini berhasil dengan baik dalam peningkatan kinerja siswa.
4. Aktivitas (keterlibatan) guru menurun. Sebaliknya, siswa terlibat aktif dalam
pembelajaran pada pertemuan II dibanding dengan pada pertemuan I.
5. Respon siswa terhadap pembelajaran ini menunjukkan hasil positif. Artinya,
pembelajaran ini dapat diterima sebagai alternatif model pembelajaran lain.
Siswa sangat termotivasi dan senang terhadap pembelajaran yang dilatihkan dan
berminat untuk mengikuti pembelajaran berikutnya dengan model serupa.
Disarankan kepada guru
1) mempersiapkan perangkat pembelajaran beserta persyaratan lain sedini mungkin,
agar pembelajaran bisa diterapkan dengan baik,
2) mempersiapkan dan mengelola waktu pembelajaran dengan sebaik-baiknya,
karena pembelajaran berbasis inkuiri dengan setting kooperatif tipe penyelidikan
kelompok ini berpusat pada siswa sehingga menuntut manajemen waktu baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anitah W, Sri. dkk.
Terbuka.
2008. Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas
20
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Arisuweni. 2006. Penggunaan Pendekatan Lingkungan dalam Pembelajaran Saling
Ketergantungan untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa: Penelitian
Tindakan Kelas di SLTP Kelas I (http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd1123106-151053/). Diakses tanggal 10 Mei 2011.
Borich, G.D. 2005. Observation Skill for Effective Teaching. New York: Merrill
Publishing Company.
Dahar, Ratna Wilis, dan Liliasari. 1986. Interaksi Belajar Mengajar IPA. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Dharma, Surya. 2008. Strategi Pembelajaran dan Pemilihannya. Direktorat Tenaga
Kependidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal. Peningkatan Mutu Pendidik dan
Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional.
Eggen, P.D. and D.P. Kauchack. 1996. Strategies for Teachers Teaching Content and
Thinking Skills. Boston: Allyn and Bacon.
Gage, N.L. 1966. Handbook of Research On Teching Project of The American
Educational Research Association. Chicago: A Departement of The National
Education Association.
Hisyam, Z., M. Bermawy, dan A.S. Ayu. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif.
Yogyakarta : Pustaka Insan Madani.
Ibrahim, Muslimin, Fida Rachmadiati, Mohamad Nur, dan Ismono. 2000.
Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya
University Press.
Ibrahim, Muslimin. 2005. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning) Hakikat, Filosofi, dan Contoh Implementasinya. Banjarmasin:
Jurusan PMIPA FKIP UNLAM.
Kunandar. 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Mulyanto, H. 2005. Biologi SMA dan Madrasah Aliyah Kelas X Semester 2.
Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa.
Murtiani. 2008. Penggunaan Pendekatan Inkuiri Dengan Pendekatan Kooperatif
Untuk Meningkatkan Pemahaman Difusi dan Osmosis Pada Siswa SMP
Negeri Batu Ampar. Skripsi. Banjarmasin: Program Studi Pendidikan
Biologi FKIP UNLAM (tidak dipublikasikan).
Nur, M. 1996. Pola Pembelajaran dan Sosok Tenaga Kependidikan yang Sesuai
dengan Tantangan dan Tuntutan Kehidupan Tahun 2020. Makalah Konvensi
Pendidikan Indonesia III. Ujung Pandang.
21
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Rosmalina, I. 2010. Penerapan Bahan Ajar Berbasis Inkuiri terhadap Pemahaman
Konsep Saling Ketergantungan di Sekolah Dasar Kecamatan Beruntung
Baru Kabupaten Banjar. Skripsi. Banjarmasin: Program Studi Pendidikan
Biologi FKIP UNLAM.(tidak dipublikasikan).
Sardiman, A.M. 2006. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Slavin, Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik Edisi Kedelapan
Jilid 1. Jakarta: PT Indeks.
Steven, R.J. dan R.E. Slavin. 1995. The Cooperative Elementary School Effect on
Student Achievement, Attitudes, and Social Relations. American
Educational Research journal, 32: 321+
Subandi, A. 2007. KTSP Biologi SMA/MA. (http: //aansma11. blogspot. com/ 2007/
06/ ktsp-biologi-sma/ma. html). Diakses 13 Mei 2011.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Suparno, Paul. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget.Yogyakarta:
Kanisius.
Susilo, Herawati. 2003. Kapita Selekta pembelajaran Biologi. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. (http://www. mandikdasmen.
depdiknas. go. id/web/pages/urgensi. html). Diakses 1 Desember 2011.
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Surabaya:
Kencana Prenada Media Group.
Usman, M.U. dan L. Setiawati. 1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar
Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
22
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN BIOLOGI MELALUI
INKUIRI TERBIMBING PADA KONSEP EKOSISTEM DI SMA
Norhasanah 1); H. Muhammad Zaini
2)
(1. Dosen FKIP Uvaya Banjarmasin; Alumni Magister Pendidikan Biologi Program Pascasarjana, Universitas
Lambung Mangkurat Banjarmasin.
2. Dosen S1 dan S2 Pendidikan Biologi, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin)
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan pembelajaran biologi melalui
inkuiri terbimbing pada konsep ekosistem di SMA. Metode penelitian kuantitatif ini
menggunakan rancangan The Counterbalanced Design dengan dua kali pembelajaran.
Populasi adalah siswa kelas X SMA Negeri 4 Barabai (157 orang siswa yang terbagi
menjadi 6 kelas). Sampelnya 4 kelas yang terdiri atas dua kelas perlakuan dan dua
kelas kontrol. Siswa kelas XA 25 orang, XB 28 orang, XE 25 orang, XF 22 orang.
Pembelajaran biologi melalui inkuiri terbimbing tergolong efektif. Keterampilan
inkuiri terbimbing berkategori baik (skor rerata 3,07), keterampilan menggunakan
termometer berkategori baik (rerata 3,32), keterampilan sosial berkategori baik (rerata
3,04), dan perilaku berkarakter berkategori cukup baik (rerata 2,99). Hasil belajar
proses dengan skor rerata 76,65% (baik). Hasil belajar kognitif produk antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berbeda secara signifikan; pada
pembelajaran 1 (F = 93,31; p = 0,0001) dan pada pembelajaran 2 (F = 87,53; p =
0,0001). Pembelajaran prototipe ini perlu didesiminasikan dalam konteks yang lebih
luas sesuai dengan lingkungan belajar yang setara dengan pelaksanaan penelitian.
Kata kunci: inkuiri, lingkungan, keefektifan, pembelajaran
PENDAHULUAN
Kompetensi pedagogik yang harus dimiliki oleh guru adalah merencanakan
dan melaksanakan pembelajaran serta merencanakan dan melaksanakan penilaian.
Wujud nyata kompetensi tersebut adalah kemampuan guru untuk mengembangkan
perangkat pembelajaran kemudian mengimplementasikannya di dalam proses belajar
mengajar di kelas. Menurut Susilo (2009), guru masa depan perlu memiliki
pemahaman mendasar yang cukup mengenai materi yang akan diajarkan. Oleh karena
itu, guru perlu berlatih agar tertarik dan termotivasi untuk mempelajari dan memiliki
pengetahuan yang memadai.
Perangkat pembelajaran adalah salah satu wujud persiapan yang dilakukan
oleh guru sebelum melakukan pembelajaran. Menurut Supramono (2005), perangkat
pembelajaran merupakan faktor yang ikut berperan menentukan keberhasilan sebuah
pembelajaran di sekolah. Perangkat pembelajaran merupakan salah satu prasyarat
23
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
terlaksananya proses kegiatan belajar mengajar dengan baik dan benar. Oleh karena
itu, perlu dikembangkan perangkat pembelajaran yang betul-betul cocok dengan
kondisi karakteristik dan kebutuhan siswa, sehingga perlu penelitian dalam
mengembangkan prototipe perangkat pembelajaran berbasis inkuiri terbimbing untuk
mengefektifkan pembelajaran dan hasil belajar pada konsep ekosistem di SMA.
Pembelajaran biologi dengan konsep ekosistem merupakan salah satu
pendekatan lingkungan di SMA. Pembelajaran biologi di SMA pada konsep
ekosistem merupakan salah satu contoh pembelajaran di luar kelas (lingkungan
alami) untuk memberikan mendorong siswa mampu membangkitkan aktivitas dan
kreativitas siswa, sehingga pembelajaran berlangsung secara efektif.
Guru sebagai agen pembelajar harus mampu menyajikan pembelajaran secara
kontekstual dengan melibatkan langsung peran serta siswa secara aktif.
Diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berimplikasi cukup
luas dan kompleks terhadap pembelajaran, pengalaman belajar, dan sistem penilaian.
KTSP merupakan kurikulum yang mengharapkan pembelajaran di sekolah
berorientasi pada penguasaan kompetensi-kompetensi yang telah ditentukan secara
integratif. Salah satu bentuk pembelajaran yang disarankan KTSP adalah
pembelajaran berbasis inkuiri (Kunandar, 2009).
Pendekatan inkuiri merupakan pembelajaran yang dapat diadaptasikan dengan
kemampuan siswa, dapat membangun struktur kognitif, dan dapat memotivasi siswa
untuk berpikir kritis. Pendekatan inkuiri adalah strategi yang berpusat pada siswa.
Kelompok-kelompok siswa dihadapkan pada suatu persoalan atau mencari jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam suatu prosedur dan struktur kelompok yang
digariskan secara jelas (Hamalik, 2004). Menurut Gulo (Trianto, 2007), pendekatan
inkuiri adalah rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh
kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis,
analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri temuannya dengan penuh
percaya diri. Dengan demikian, siswa akan terbiasa dengan sikap para ilmuwan sains,
yaitu teliti, tekun/ulet, objektif/jujur, dan menghormati pendapat orang lain.
Pendekatan inkuiri terbimbing, menurut Bonnstetter (Ibrahim, 2007)
merupakan tingkatan inkuiri yang ke-3. Siswa diberi kesempatan untuk bekerja
merumuskan prosedur, menganalisis hasil dan mengambil kesimpulan secara mandiri,
sedangkan dalam hal menentukan topik, pertanyaan dan bahan penunjang ditemukan
siswa dalam buku petunjuk. Guru hanya berperan sebagai fasilitator.
Teori belajar yang melandasi pembelajaran berbasis inkuiri adalah teori
belajar konstruktivis. Teori belajar ini dikembangkan oleh Piaget. Menurut Piaget
(Ansori, 2008), pengetahuan akan bermakna bila dicari dan ditemukan sendiri oleh
siswa. Siswa tingkat SMA mampu menalar hal-hal yang abstrak. Mereka mampu
24
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
bergerak bebas dari satu sudut pandang ke sudut pandang lain. Mereka mampu
berpikir secara sistematis dan logis serta bersikap cukup objektif dalam menilai
peristiwa. Mereka juga mampu memusatkan perhatian pada beberapa sifat objek atau
peristiwa secara serentak dan mengerti hubungan antara dimensi-dimensi.
Pembelajaran berbasis inkuiri banyak dipengaruhi oleh aliran belajar kognitif.
Menurut aliran ini belajar pada hakikatnya adalah proses mental dan proses berpikir
dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki setiap individu secara optimal.
Belajar lebih dari sekedar menghafal dan memupuk ilmu pengetahuan, tetapi
memeroleh pengetahuan bermakna untuk siswa melalui keterampilan berpikir
(Sanjaya, 2008).
Kubicek (2005) melaporkan bahwa pembelajaran berbasis inkuiri dapat
meningkatkan pemahaman siswa melalui pelibatan siswa dalam kegiatan
pembelajaran secara aktif, sehingga konsep yang dicapai lebih baik. Nurgiyanto
(2011) melaporkan bahwa penerapan pembelajaran siklus belajar berbantuan media
animasi komputer dapat meningkatkan keterampilan kerja ilmiah dan hasil belajar
IPA. Amilasari dan Sutiadi (2008) melaporkan bahwa model pembelajaran inkuiri
terbimbing dapat meningkatkan kecakapan akademik siswa, sedangkan menurut Rozi
(2010), terdapat interaksi antara strategi inkuiri dan kemampuan kerja ilmiah terhadap
kemampuan pemahaman konsep siswa.
Menurut Nugroho (2010), ada pengaruh penerapan pembelajaran strategi
inkuiri dengan teknik praktikum terhadap hasil belajar siswa. Menurut Ristanto
(2010), terdapat perbedaan pengaruh pembelajaran berbasis inkuiri terbimbing
dengan multimedia dan lingkungan riil. Pembelajaran dengan lingkungan riil
memberi pengaruh positif pada prestasi dibandingkan dengan multimedia.
Pembelajaran dengan menerapkan lingkungan riil sebagai wahana dalam belajar
ekosistem cenderung lebih baik daripada menggunakan multimedia.
Bilgin (2009) melaporkan bahwa siswa dengan kelompok inkuiri terbimbing
yang belajar secara kooperatif mempunyai pemahaman yang lebih baik terhadap
penguasaan konsep materi pelajaran dan menunjukkan sikap yang positif. Menurut
Hidayat (2005), pendekatan Guide Inquiry dapat meningkatkan pemahaman konsep
siswa serta pengembangan sikap afektif dan psikomotor pada setiap kelompok.
Pembelajaran biologi pada konsep ekosistem di SMA kelas X semester 2
melalui pendekatan inkuiri terbimbing belum pernah dilaksanakan. Berdasarkan pada
alasan di atas muncul pertanyaan; bagaimana keefektifan pembelajaran biologi
melalui inkuiri terbimbing pada konsep ekosistem di SMA?
25
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
METODE
Penelitian kuasi eksperimen ini menggunakan The Counterbalanced Design
(Campbell & Stanley, 1966). Populasi penelitian adalah siswa kelas X SMA Negeri 4
Barabai (157 orang siswa yang terbagi dalam 6 kelas). Sampel penelitian 4 kelas.
Pada pembelajaran 1 kelas perlakuan adalah kelas XB (28 siswa) dan XF (22 siswa),
sedangkan kelas kontrol XA (25 siswa) dan XE (25 siswa). Pada pembelajaran 2
kelas perlakuan adalah kelas XA dan XE dan kelas kontrol XB dan XF.
Instrumen penelitian adalah prototipe perangkat pembelajaran berupa Silabus,
RPP, LKS, Kunci LKS, Tabel Spesifikasi atau Kisi-kisi Lembar Penilaian, Lembar
Penilaian Kognitif, Lembar Penilaian Psikomotor, Lembar Penilaian Afektif (perilaku
berkarakter dan keterampilan sosial), Kunci Lembar Penilaian, Media, dan Bahan
Ajar. Prototipe perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan berdasarkan pada
Permendiknas No. 41 Tahun 2007 dan berbasis pendidikan karakter pada konsep
ekosistem kelas X di SMA.
Langkah-langkah pengembangan prototipe perangkat pembelajaran dirincikan
sebagai berikut.
(1) Mengembangkan bahan ajar sesuai dengan materi yang akan disampaikan.
(2) Menetapkan indikator pencapaian kompetensi berdasarkan kompetensi dasar.
(3) Menyusun silabus berdasarkan rambu-rambu dalam KTSP Biologi SMA.
(4) Menyusun RPP sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi.
(5) Menyusun LKS sesuai dengan materi yang akan disampaikan.
(6) Menyusun soal evaluasi berdasarkan indikator pencapaian kompetensi dan kisikisi yang dilengkapi dengan kunci jawaban serta pedoman penskoran.
(7) Menyusun instrumen penilaian (kognitif, psikomotor, dan afektif).
(8) Menguji coba soal-soal tes kognitif, yang selanjutnya divalidasi dengan
menggunakan Tabel FAN.
(9) Merevisi prototipe perangkat pembelajaran sesuai dengan saran-saran ahli
sehingga dapat diujikan/diterapkan.
(10) Menguji/menerapkan prototipe perangkat pembelajaran yang telah divalidasi
pada sekolah yang telah ditentukan.
(11) Menganalisis data hasil penelitian untuk mengetahui hasil uji coba penerapan
prototipe perangkat pembelajaran.
(12) Merevisi prototipe perangkat pembelajaran sesuai dengan saran-saran ahli,
sehingga dapat menghasilkan produk sebuah prototipe perangkat pembelajaran
yang dapat diujikan pada penelitian berikutnya.
Teknik pengumpulan data dilakukan secara deskriptif dan kuantitatif. Data
keefektifan pembelajaran diperoleh dari hasil observasi keterampilan inkuiri
terbimbing, keterampilan menggunakan termometer (LP 3), perilaku berkarakter (LP
26
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
4) dan keterampilan sosial (LP 5). Data hasil belajar proses diperoleh dari LKS
dengan menggunakan instrumen kinerja proses (LP 2). Data hasil belajar kognitif
produk diperoleh dari tes individual yang merupakan tes awal sebelum pembelajaran
dan tes akhir setelah pembelajaran diberikan (LP 1).
Teknik analisis data keefektifan pembelajaran terlihat dari keterampilan
inkuiri terbimbing, keterampilan menggunakan termometer, perilaku berkarakter,
keterampilan sosial di analisis secara deskriptif dengan menggunakan kategorikal.
data hasil belajar proses dalam kegiatan inkuiri terbimbing diperoleh dari laporan
LKS di analisis secara deskriptif dengan menggunakan kategorikal. Data hasil belajar
kognitif produk diperoleh dari tes individual (tes awal dan tes akhir) dan dianalisis
dengan teknik analisis kovarian (ANACOVA). Skor rerata tes awal digunakan sebagai
kovarian dan diolah dengan Program SAS Release 6.03.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Keterampilan siswa dalam menganalisis dan menyimpulkan hasil pengamatan
cukup baik, sedangkan merumuskan prosedur kerja dalam pengamatan dan
menyelidiki melalui pengamatan baik (Tabel 1). Keterampilan inkuiri terbimbing
siswa adalah baik (3,07).
Tabel 1. Hasil observasi keterampilan siswa pada pembelajaran 1 dan 2
Keterampilan
Inkuiri Terbimbing
Merumuskan prosedur
kerja dalam pengamatan
Menyelidiki melalui
pengamatan
Pembelajaran 1
Rerata
Rerata
kelas X.B kelas X.F
Pembelajaran 2
Rerata
Rerata
kelas X.A kelas X.E
Rerata
Kategori
3,00
3,00
3,20
3,10
3,08
Baik
3,20
3,30
3,30
3,50
3,33
Baik
Menganalisis hasil
pengamatan
2,90
3,10
2,90
2,80
2,93
Cukup Baik
Menyimpulkan hasil
pengamatan
2,90
2,90
3,10
3,00
2,95
Cukup Baik
3,07
Baik
Nilai Rerata
Keterangan: (1-1,99) = Kurang; (2 – 2,99) = Cukup Baik; (3– 3,99) = Baik; (4– 4,99) = Sangat Baik
Keterampilan siswa menggunakan termometer (cara memegang, cara
membaca skala sejajar, dan ketelitian membaca skala) baik (Tabel 2). Keterampilan
siswa menggunakan termometer siswa adalah baik (3,32).
27
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Perilaku berkarakter siswa seperti peduli, kerja sama, terbuka dan menghargai
teman rerata cukup baik (Tabel 3). Jujur, teliti, tekun, rasa ingin tahu dan tanggung
jawab adalah rerata baik dengan skor rerata keseluruhan 2,99 (cukup baik).
Tabel 2. Hasil observasi keterampilan menggunakan termometer pada pembelajaran 1
Pembelajaran 1
Keterampilan Menggunakan Termometer
Cara memegang termometer
Cara membaca skala sejajar dengan mata
Rerata
kelas X.B
3,27
3,47
Rerata
kelas X.F
3,47
3,33
Rerata
Kategori
3,37
3,40
Baik
Baik
3,13
3,27
3,20
Baik
3,32
Baik
Ketelitian membaca skala
Nilai Rerata
Keterangan: (1-1,99) = Kurang; (2 – 2,99) = Cukup Baik; (3– 3,99) = Baik; (4– 4,99) = Sangat Baik
Tabel 3. Hasil observasi perilaku berkarakter siswa pada pembelajaran 1 dan 2
Pembelajaran 1
Perilaku Berkarakter
Jujur
Teliti
Tekun
Peduli
Rasa ingin Tahu
Tanggung Jawab
Kerja Sama
Terbuka & Menghargai
Teman
Pembelajaran 2
Rerata
kelas X.B
3,00
3,02
2,66
2,64
3,04
2,72
2,60
Rerata
kelas X.F
2,91
3,07
3,14
2,89
2,95
2,84
3,00
Rerata
kelas X.A
3,32
2,98
3,06
3,20
3,30
3,34
3,04
Rerata
kelas X.E
3,32
3,10
3,16
3,00
3,08
3,10
2,74
Rerata
Kategori
3.14
3.04
3.01
2.93
3.09
3.00
2.85
Baik
Baik
Baik
Cukup Baik
Baik
Baik
Cukup Baik
2,42
3,25
3,02
2,70
2.85
Cukup Baik
2.99
Cukup Baik
Nilai Rerata
Keterangan: (1-1,99) = Kurang, (2 – 2,99) = Cukup Baik, (3– 3,99) = Baik, (4– 4,99) = Sangat Baik
Keterampilan sosial siswa seperti menyumbang ide/pendapat adalah rerata
cukup baik (Tabel 4). Bertanya, sebagai pendengar yang baik, dan berkomunikasi
adalah rerata baik. Dengan skor rerata keseluruhan 3,04, kegiatan inkuiri adalah baik.
Menganalisis hasil pengamatan adalah rerata sedang (Tabel 5). Merumuskan
prosedur kerja dalam melakukan pengamatan, melakukan penyelidikan melalui
pengamatan, dan membuat kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan adalah rerata
baik. Dengan skor rerata keseluruhan 76,65%, hasil belajar keterampilan proses
dalam kegiatan inkuiri terbimbing siswa adalah baik.
28
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 4. Hasil observasi keterampilan sosial siswa pada pembelajaran 1 dan 2
Pembelajaran 1
Keterampilan Sosial
Rerata
Rerata
kelas X.B kelas X.F
Pembelajaran 2
Rerata
Rerata Rerata
kelas X.A kelas X.E
Kategori
Bertanya
3,00
3,00
3,16
3,14
3,08
Baik
Menyumbang Ide / Pendapat
Menjadi Pendengar yang Baik
Komunikasi
2,86
3,00
2,78
3,00
3,00
3,05
3,08
3,08
3,54
2,98
2,96
2,96
2,98
3,01
3,08
Cukup Baik
Baik
Baik
3,04
Baik
Nilai Rerata
Keterangan: (1-1,99) = Kurang; (2 – 2,99) = Cukup Baik; (3– 3,99) = Baik; (4– 4,99) = Sangat Baik
Tabel 5. Hasil belajar proses pada pembelajaran 1 dan 2.
Pembelajaran 1
Rerata
Rerata
kelas X.B kelas X.F
Merumuskan prosedur kerja
75,20
75,20
Melakukan penyelidikan
76,80
78,40
Menganalisis hasil pengamatan
75,20
76,80
Membuat kesimpulan
76,00
75,20
Hasil Belajar Keterampilan
Proses
Pembelajaran 2
Rerata
Rerata
Rerata
(%)
kelas X.A kelas X.E
78,40
76,80
76,40
82,40
80,00
79,40
74,40
72,80
74,80
78,40
74,40
76,00
Nilai Rerata
76,65
Kategori
Baik
Baik
Sedang
Baik
Baik
Keterangan: Baik (76-100%); Sedang (56-75%); Kurang (40-55%); Buruk (<40%) (Arikunto, 1998)
Pada pembelajaran 1 (konsep komponen ekosistem dan interaksinya), nilai
rerata hasil belajar kognitif produk kelas perlakuan meningkat 35,64 dari tes awal
40,52 ke tes akhir 76,16 (Tabel 6). Nilai rerata hasil belajar kognitif produk kelas
kontrol meningkat 19,36 dari tes awal 40,88 ke tes akhir 60,24. Selisih nilai hasil
belajar kognitif produk pada kelas perlakuan dibandingkan dengan kelas kontrol
adalah 16,28. Perbedaan nilai ini signifikan (Tabel 7).
Tabel 6. Hasil belajar kognitif produk kelas eksperimen dan kelas kontrol pada
pembelajaran 1.
Pembelajaran 1
Jumlah Nilai Hasil Belajar
Rerata Nilai Hasil Belajar
Kelas Perlakuan
Tes awal
Tes akhir
2026
3808
40,52
76,16
Kelas Kontrol
Tes awal
Tes akhir
2044
3012
40,88
60,24
29
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 7. Hasil analisis kovarian pada pembelajaran 1.
Probabilitas
Keterangan
(α = 0,05)
Sumber
DF
JK/SS
RK/MS
F
Regresi
Residual
Total
2
97
99
12262,30
6373,70
1863,00
6131,14
65,70
93,31
0,0001
Signifikan
Keterangan: R-Square = 0,657990, C.V = 11,88573
Pada pembelajaran 2 (konsep aliran energi dan daur biogeokimia), nilai rerata
hasil belajar kognitif produk kelas perlakuan meningkat 34,40 dari tes awal 40,64 dan
tes akhir 75,04 (Tabel 8), sedangkan kelas kontrol meningkat 20,48 dari tes awal
40,56 dan tes akhir 61,04. Peningkatan hasil belajar kognitif produk pada kelas
perlakuan dibandingkan dengan kelas kontrol adalah 13,92. Peningkatan hasil belajar
kognitif produk kelas perlakuan dan kelas kontrol berbeda signifikan (Tabel 9).
Tabel 8. Hasil belajar kognitif produk kelas eksperimen dan kelas kontrol pada
pembelajaran 2.
Pembelajaran 2
Jumlah Nilai Hasil Belajar
Rerata Nilai Hasil Belajar
Kelas Perlakuan
Tes awal
Tes akhir
2032
3752
40,64
75,04
Kelas Kontrol
Tes awal
Tes akhir
2028
3052
40,56
61,04
Tabel 9. Hasil analisis kovarian pada pembelajaran 2.
Sumber
DF
JK/SS
RK/MS
F
Probabilitas
(α = 0,05)
Keterangan
Regresi
Residual
Total
2
97
99
8288,30
4592,45
12880,75
4144,14
47,34
87,53
0,0001
Signifikan
Keterangan: R-Square = 0,643464, C.V = 10,11133
Pembahasan
Skor keterampilan inkuiri terbimbing secara keseluruhan (3,07 menunjukkan
bahwa siswa melaksanakan pembelajaran dalam kegiatan inkuiri terbimbing sudah
baik atau pembelajaran sudah efektif. Keefektifan pembelajaran tidak terlepas dari
bimbingan guru kepada siswa, sehingga siswa mampu mencapai tujuan pembelajaran
yang seharusnya dikuasai.
Dalam pembelajaran efektif, hal yang dihasilkan harus dikuasai siswa setelah
pembelajaran berlangsung. Melalui pembelajaran ini, guru membimbing siswa dalam
menemukan sendiri jawaban dari permasalahan yang ingin dipecahkan. Materi
30
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
pelajaran bukan sebagai tujuan utama pembelajaran. Yang lebih dipentingkan adalah
proses belajar.
Menurut Kubicek (2005), pembelajaran berbasis inkuiri dapat meningkatkan
pemahaman siswa dengan melibatkan siswa dalam proses kegiatan pembelajaran
secara aktif, sehingga konsep yang dicapai lebih baik. Amilasari dan Sutiadi (2008)
mengatakan bahwa efektivitas pembelajaran model pembelajaran inkuiri berada pada
kriteria sedang dan dapat meningkatkan kecakapan akademik siswa. Rozi (2010)
melaporkan pemahaman konsep siswa dari hasil belajar dan kemampuan kerja ilmiah
dengan strategi inkuiri terbimbing lebih tinggi daripada dengan strategi inkuiri
terstruktur. Ali (2011) menemukan bahwa keterlaksanaan pembelajaran inkuiri
dengan pemberian umpan balik terhadap jurnal belajar IPA kategori baik dan dapat
meningkatkan kemampuan unjuk kerja siswa kelas VII B SMP Negeri 5 Probolinggo.
Pembelajaran inkuiri dapat mendorong siswa untuk belajar melalui keterlibatannya
secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru mendorong serta
memberikan bimbingan dana arahan pada siswa untuk memiliki pengalaman dan
mengamati langsung lingkungan alami, sehingga memungkinkan siswa menemukan
prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Keterampilan menggunakan termometer (psikomotor) siswa secara
keseluruhan 3,32 (baik). Dengan bimbingan dan arahan guru, siswa mampu
menggunakan termometer dengan baik, melaksanakan tugas atau aktivitas, serta
mampu mendemonstrasikan suatu aktivitas kepada pembelajar yang lain.
Skor perilaku berkarakter siswa dalam kegiatan inkuiri terbimbing secara 2,99
(cukup baik). Dalam pembelajaran siswa belum pernah dilaksanakan pembelajaran
berbasis pendidikan karakter, sehingga siswa belum terbiasa dengan penilaian
karakter siswa. Pembelajaran inkuiri menumbuhkan perilaku berkarakter seperti jujur,
teliti, tekun, rasa ingin tahu dan tanggung jawab, peduli, kerja sama, terbuka dan
menghargai teman. Dengan demikian, siswa akan mendapat pengetahuan,
keterampilan dan penanaman sikap mental/nilai-nilai.
Skor keterampilan sosial siswa dalam kegiatan inkuiri terbimbing 3,04 (baik).
Hal ini sejalan dengan Bilgin (2009) yang melaporkan bahwa siswa dengan kelompok
inkuiri terbimbing yang belajar secara kooperatif mempunyai pemahaman lebih baik
dan menunjukkan sikap positif. Menurut Kartikowati (2011), pendekatan
pembelajaran penemuan (Discovery) dapat meningkatkan keaktifan, kreativitas,
realistik dan menyenangkan, serta meningkatkan rasa percaya diri pada siswa dan
melatih siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya.
Bertanya, menjadi pendengar yang baik, berkomunikasi, dan menyumbang
ide/pendapat adalah keterampilan sosial dan aktivitas berhubungan dengan orang lain.
Melalui pengalaman sosial, siswa tidak hanya dituntut untuk mempertimbangkan atau
31
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
mendengarkan pandangan orang lain, tetapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa ada
aturan lain di samping aturan sendiri.
Hasil belajar proses siswa adalah 76,65% (baik). Guru berperan memberi
bimbingan dan arahan pada siswa pada saat proses belajar berlangsung. Menurut Ali
(2011), implementasi pembelajaran inkuiri dengan pemberian umpan balik terhadap
jurnal belajar IPA dapat meningkatkan kemampuan unjuk kerja dan prestasi belajar
siswa.
Kegiatan penyelidikan membantu siswa memahami apa yang terjadi dan
membuat siswa lebih mengerti segala hal. Pada saat kegiatan belajar berlangsung
siswa dibiarkan mencari atau menemukan sendiri makna segala hal yang dipelajari.
Mereka diberi kesempatan berperan sebagai pemecah masalah seperti yang dilakukan
para ilmuwan. Dengan cara tersebut, diharapkan siswa mampu memahami konsepkonsep dalam bahasa mereka sendiri.
Menurut Nugroho (2010), ada pengaruh penerapan pembelajaran strategi
inkuiri dengan teknik praktikum terhadap hasil belajar siswa. Menurut Basith (2011),
penggunaan ICT dengan strategi inkuiri pada pembelajaran kontekstual memberikan
pengaruh signifikan terhadap pembelajaran dan hasil belajar biologi. Hidayat (2005)
melaporkan bahwa penggunaan pendekatan Guide Inquiry dengan kegiatan
laboratorium menunjukkan hasil positif.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran dengan
pendekatan inkuiri berpengaruh positif terhadap hasil belajar. Pembelajaran berbasis
inkuiri merupakan pendekatan yang cocok untuk menemukan konsep-konsep secara
mandiri, sehingga pembelajaran lebih efektif dan lebih bermakna. Dengan kalimat
lain, pembelajaran berbasis inkuiri terbimbing melatih siswa SMA Negeri 4 Barabai
untuk berpikir secara sistematis, logis, dan abstrak. Ini terjadi karena siswa berperan
secara aktif dan bersungguh-sungguh, sehingga hasil belajar yang baik.
Hasil belajar siswa yang baik tidak lepas dari faktor-faktor seperti sumber
belajar dan media belajar. Sumber belajar pada konsep ekosistem menggunakan
pendekatan lingkungan, karena pembelajaran dilaksanakan pada lingkungan alami. Di
lingkungan alami, seperti ekosistem sawah, siswa diharapkan memperoleh
pengetahuannya sendiri dari lingkungan tempat belajar. Ristanto (2010)
mengemukakan bahwa pembelajaran dengan lingkungan riil memberikan pengaruh
lebih positif dibandingkan dengan multimedia.
Pada penelitian ini, media belajar macro media flash memudahkan siswa
memahami konsep daur biogeokimia. Sebelumnya Wahyudin dalam Jurnal (2010)
menjelaskan bahwa keefektifan pembelajaran berbantuan multimedia menggunakan
metode inkuiri terbimbing meningkatan minat dan pemahaman siswa. Nurgiyanto
32
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
(2011) menjelaskan pembelajaran menggunakan media animasi komputer dapat
meningkatkan kerja ilmiah dan hasil belajar IPA.
Pembelajaran berbasis inkuiri banyak dianjurkan karena merupakan
pembelajaran yang menekankan kepada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik secara seimbang, sehingga pembelajaran dianggap lebih bermakna.
Hasil belajar yang dicapai siswa juga dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni faktor
dari diri siswa itu sendiri dan faktor dari luar diri siswa. Menurut Slameto (2010),
faktor internal terdiri atas 1) faktor fisiologis misalnya kondisi fisiologis, dan kondisi
panca indera, 2) faktor psikologis misalnya intelegensi, minat bakat, motivasi, dan
kemampuan kognitif.
Implementasi pembelajaran inkuiri tidaklah semudah yang dibayangkan.
Dalam penerapannya terdapat berbagai kesulitan. Selama ini guru yang sudah terbiasa
dengan pola pembelajaran yang lebih menekankan kepada hasil belajar merasa
keberatan untuk mengubah pola mengajarnya. Selain itu, pembelajaran inkuiri sulit
mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa, sulit dalam merencanakan pembelajaran
oleh karena terbentur dengan kebiasaan siswa dalam belajar, serta memerlukan waktu
yang panjang sehingga sering guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah
ditentukan.
Pendekatan inkuiri memiliki keunggulan. Satu di antaranya adalah memberi
ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka serta dapat
melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas rerata. Pembelajaran
inkuiri dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yang
menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat pengalaman.
Setiap keberhasilan proses belajar mengajar diukur dari seberapa jauh hasil
belajar yang dicapai siswa. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas
pengkonstruksian pengetahuan, dan penciptaan makna, serta dari komunitas budaya
tempat pengetahuan didesiminasikan dan diterapkan. Dalam pembelajaran dengan
pendekatan inkuiri, siswa akan dihadapkan pada suatu permasalahan yang harus
diamati, dipelajari, dan dicermati, yang pada akhirnya meningkatkan pemahaman
konsep dalam kegiatan pembelajaran. Secara logika apabila partsipasi siswa
meningkat dalam kegiatan pembelajaran, secara otomatis pemahaman konsep materi
pembelajaran meningkat dan pada akhirnya prestasi belajar pun dapat meningkat.
SIMPULAN DAN SARAN
Pembelajaran biologi melalui inkuiri terbimbing pada konsep ekosistem di
SMA tergolong efektif. Hasil belajar proses siswa berkategori baik. Hasil belajar
kognitif produk antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berbeda signifikan.
33
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Pembelajaran dengan prototipe ini perlu didesiminasikan dalam konteks lebih
luas sesuai dengan lingkungan belajar yang setara dengan pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Toni Gigih Pradono. 2011. Implementasi Pembelajaran Inkuiri dengan
Pemberian Umpan Balik terhadap Jurnal Belajar untuk Meningkatkan
Kemampuan Unjuk Kerja dan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas VII B SMP
Negeri 5 Probolinggo. Tesis, Program Studi Pendidikan Dasar Konsentrasi
Pendidikan IPA SMP, PPs UM. (http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.
php/disertasi/ diakses 15 Juni 2011).
Amilasari dan Asep Sutiadi. 2008. Peningkatan Kecakapan Akademik Siswa SMA
dalam Pembelajaran Fisika melalui Penerapan Pembelajaran Inkuiri
Terbimbing. Jurnal Pengajaran MIPA, 12(2). FPMIPA UPI Bandung
(http://asep-sutiadi.staf.upi.edu/ publikasi-ilmiah/jurnal-penelitian, diakses
tanggal 10 Juni 2011).
Ansori, Mohammad. 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.
Basith, Abdul, 2011, Pengaruh Pembelajaran Berbasis ICT dengan Strategi Inkuiri
Pada Materi Virus dan Monera terhadap Motivasi dan Hasil Belajar Siswa
Kelas X SMA Negeri 1 Bangil Pasuruan. Tesis. Program Studi Pendidikan
Biologi PPs UM. (http://pages-yourfavorite.com/ppsupi/abstrakipa 2005.html,
diakses 10 Februari 2011).
Bilgin, Ibrahim. 2009. The Effects of Guided Inquiry Instruction Incorporating a
Cooperative Learning Approach on University Students’ Achievement of
Acid and Bases Concepts and Attitude Toward Guided Inquiry Instruction.
Scientific Research and Essay, 4(10):1038-1046.
Hidayat, Wahyu. 2005. Abstrak Thesis 2005 Program Studi Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Alam. Pendekatan Pembelajaran Guide Inquiry dengan
Kegiatan Laboratorium pada Pokok Bahasan Koloid. (http://pagesyourfavorite.com/ppsupi/abstrakipa 2005.html, diakses 10 Februari 2011).
Campbell, Donald T. & Julian C, Stanley. 1996. Experimental and QuasiExperimental Designs for Research On Teaching. Dalam: Gage N.L.
(penyunting). Handbook of Research On Teaching. A Project of The
American Educational Research Association. Department of The National
Education Association. Chicago.
Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Kartikowati, Tatik. 2011. Meningkatkan Keaktifan dan Prestasi Belajar Fisika
dengan Pendekatan Pembelajaran Penemuan (Discovery) pada Siswa Kelas
VIII-2 SMPN 3 Tulungagung.Tesis. Jurusan Program Studi Pendidikan Dasar
Konsentrasi Pendidikan IPA SMP, PPs UM. (http://karya-ilmiah.um.ac.id/
index.php/disertasi/ article, diakses 15 Juni 2011).
34
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Kubicek, P. John. 2005. Inquiry-based learning, the nature of science, and computer
technology: New possibilities in science education. Canadian Journal of
Learning and Technology. 31(1):1-5.
Kunandar. 2009. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Penerbit Raja
Grafindo Persada.
Nugroho, Cahyono. 2010. Pengaruh Penerapan Strategi Pembelajaran Inkuiri
dengan Teknik Praktikum pada Materi Pembelahan Sel terhadap Motivasi
dan Hasil Belajar Siswa Kelas XII-IPA SMA Negeri 8 Malang. Tesis. Program
Studi Pendidikan Biologi, PPs, UM. (http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/
disertasi, diakses 15 Juni 2011).
Nurgiyanto, Heru. 2011. Penerapan Pembelajaran Siklus Belajar Berbantuan Media
Animasi Komputer untuk Meningkatkan Keterampilan Kerja Ilmiah dan Hasil
Belajar IPA Siswa Kelas VIII-H SMP Negeri 4 Kepanjen Kabupaten Malang.
Tesis, Program Studi Pendidikan Dasar, Pendidikan IPA Terpadu, PPs UM.
Ristanto, R. Hendi. 2010. Pembelajaran Berbasis Inkuiri Terbimbing dengan
Multimedia dan Lingkungan Riil ditinjau dari Motivasi Berprestasi dan
Kemampuan Awal. Tesis. PPS Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
(http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/pdf, diakses 9 Juni 2011).
Rozi, Khusnur. 2010. Efektivitas Strategi Inkuiri Terbimbing terhadap Pemahaman
Konsep Fisika Ditinjau dari Kerja Ilmiah Siswa SMA Negeri 1 Pandaan
Tahun Pelajaran 2009/2010. Tesis. Jur. Pendidikan Fisika, PPs UM
(http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article, diakses 15 juni 2011).
Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorentasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Slameto, 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Penerbit
Rhineka Cipta.
Supramono. 2005. Pengembangan Model Perangkat Pembelajaran dan
Penerapannya dalam Kegiatan Belajar Mengajar dengan Model
Pembelajaran Berdasarkan Masalah untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan
Keterampilan Berpikir Siswa SD. Disertasi. PPs UM Malang. Tidak
dipublikasi.
Susilo, Herawati & Chotimah Husnul. 2009. Bagaimana menjadi Guru Masa Depan
yang Cerdas dan Profesional? Malang: Surya Pena Gemilang.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.
Surabaya.
Wahyudin, Sutikno, A. Isa. 2010. Keefektifan Pembelajaran Berbantuan Multimedia
Menggunakan Metode Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Minat dan
Pemahaman Siswa. Unnes. Jurnal Pend. Fis. Ind., 6(32):1
(http://journal.unnes.ac.id/index.php/JPFI/article/view/141/146, diakses 19
Juni 2011).
35
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
PEMAHAMAN, KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS, DAN
ETIKA LINGKUNGAN SISWA PADA PEMBELAJARAN
KONSEP EKOSISTEM MELALUI PENDEKATAN INKUIRI DI
SMPN I KUSAN HILIR KABUPATEN TANAH BUMBU
Dini Pusparini
(Guru SMPN I Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu)
Abstrak
Penelitian yang memadukan sejumlah pendekatan pada siswa SMP dengan kondisi
alam spesifik belum pernah dilaksanakan. Hal itu juga terjadi di Kecamatan Kusan
Hilir. Penelitian bertujuan untuk mengukur hasil belajar siswa, keterampilan berpikir
kritis siswa, aktivitas siswa, etika lingkungan dan hubungan antara kemampuan
kognitif dengan etika lingkungan siswa SMP Negeri I Kusan Hilir pada konsep
ekosistem melalui pendekatan inkuiri. Data dianalisis secara deskriptif kuantitatif
yang menggunakan tabulasi. Hubungan kemampuan kognitif dengan etika lingkungan
diuji korelasi. Sembilan puluh lima persen siswa mencapai Kriteria Ketuntasan
Minimal sekolah (KKM = 70), kemampuan berpikir kritis melalui pengamatan dan
inferensi menunjukkan kategori baik, etika lingkungan siswa menunjukkan 93,5%
baik, 4,5% cukup baik dan 2% kurang baik. Aktivitas siswa yang paling dominan
adalah penyelidikan (19,5%), pemasukan data ke dalam tabel (18%), dan berdiskusi
(17%). Kemampuan kognitif berkorelasi baik dengan etika lingkungan secara
statistik.
Kata kunci: pemahaman, keterampilan berpikir, etika, ekosistem, inkuiri.
PENDAHULUAN
Ekosistem mangrove di kawasan pesisir Pantai Pagatan Kabupaten Tanah
Bumbu Kalimantan Selatan kurang lebih 20 tahun yang silam sangat berbeda dengan
kondisi sekarang. Dalam pemanfaatan mangrove, masyarakat di sekitar pesisir tidak
memikirkan pemulihannya, sehingga kondisi mangrove saat ini memrihatinkan.
Abrasi memorakporandakan pesisir pantai sampai badan jalan. Untuk memerlambat
abrasi, pemerintah berusaha untuk membuat bedeng.
Pemulihan kelestarian ekosistem mangrove tentu tidak dapat ditumpukan pada
orang tua sekarang, tetapi pada generasi saat ini. Menurut Supramono (2006), perlu
diadakan pembenahan dalam bidang pembelajaran IPA di sekolah-sekolah. Bentuk
pembenahannya adalah melalui penerapan inovasi pembelajaran sebagai upaya
penanaman sikap dan kebiasaan yang benar dalam mengelola lingkungan pesisir
36
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
tempat mereka tinggal. Salah satu materi dalam pembelajaran KTSP yang berkaitan
dengan masalah itu adalah konsep pelestarian ekosistem dan pengelolaan lingkungan.
Pembelajaran yang mengajak anak ke lingkungan mampu menanamkan
konsep etika lingkungan; seperti, bagaimana manusia harus hidup sebagai manusia
yang mengatur perilaku dalam hubungannya dengan alam, serta nilai dan prinsif
moral apa yang menjiwai perilaku tersebut. Salah satu metode pembelajaran yang
mengajak siswa langsung ke lingkungan, sehingga siswa menemukan sendiri
masalah-masalah yang ada di lingkungannya adalah pendekatan inkuiri. Pendekatan
ini mampu meningkatkan pemahaman dan kemampuan berpikir siswa.
Menurut Zaini (2007), lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar
manusia yang mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung
maupun tidak langsung. Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan
abiotik. Berdasarkan Undang-Undang No.23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup termasuk di
dalamnya manusia dan perilakunya yang melangsungkan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Manusia sebagai penguasa lingkungan hidup di bumi berperan besar dalam
menentukan kelestarian lingkungan hidup. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang
berakal budi mampu mengubah wajah dunia dari pola kehidupan sederhana ke bentuk
kehidupan modern sampai sekarang ini. Seringkali apa yang dilakukan manusia tidak
diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan generasi kehidupan
berikutnya. Banyak kemajuan yang diraih oleh manusia membawa dampak buruk
terhadap kelangsungan hidup.
Sidharta (2010) menjelaskan penerapan pembelajaran melalui pendekatan
inkuiri pada mata pelajaran sains dapat meningkatkan hasil belajar dan keterampilan
berpikir pada siswa SMP. Melalui peningkatan hasil belajar dan keterampilan berpikir
kritis ini, siswa diharapkan lebih memahami konsep sebenarnya tentang lingkungan
serta lebih berpikir kritis terhadap fenomena yang terjadi di lingkungan. Pada
gilirannya, hal ini diharapkan memunculkan etika lingkungan terhadap lingkungan.
Penelitian-penelitian yang memadukan sejumlah pendekatan pada siswa SMP
dengan kondisi alam yang spesifik belum pernah dilaksanakan, khususnya di
Kecamatan Kusan Hilir. Atas dasar inilah, penelitian dilakukan dengan tujuan untuk
mengukur hasil belajar siswa, keterampilan berpikir kritis siswa, aktivitas siswa, etika
lingkungan dan hubungan antara kemampuan kognitif dengan etika lingkungan siswa
SMP Negeri I Kusan Hilir pada konsep ekosistem melalui pendekatan inkuiri..
37
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
METODE
Subyek penelitian deskriptif kuantitatif adalah siswa SMPN I Kusan Hilir
Kabupaten Tanah Bumbu. Data dikumpulkan melalui 1) hasil belajar (tes awal dan
tes akhir, hasil dan tes formatif, 2) hasil keterampilan berpikir kritis (tes esai dan hasil
tes inferensi), 3) aktivitas siswa merupakan data kualitatif yang diobservasi oleh guru
dibantu tim observer lain, 4) etika lingkungan diperoleh dari angket yang dibagikan
pada siswa, dan 5) analisis korelasi untuk mengukur hubungan kemampuan kognitif
siswa dengan etika lingkungan. Indikator hasil belajar menggunakan kategorikal,
yakni >95% (istimewa), 80-94,9% (sangat baik), 65-79,9% (baik), 55-64,9% (cukup),
40,1-54,9% (kurang), dan < 40% (sangat kurang) (Arikunto, 1998).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sembilan puluh lima persen siswa mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal
sekolah (KKM = 70) (Dinas Pendidikan Kalimantas Selatan, 2004). Kemampuan
berpikir kritis melalui pengamatan dan inferensi menunjukkan kategori baik. Etika
lingkungan siswa menunjukkan 93,5% baik, 4,5% cukup baik, dan 2% kurang baik.
Aktivitas siswa yang paling dominan adalah penyelidikan (19,5%), pemasukan data
ke dalam tabel (18%), dan berdiskusi (17%).
Kemampuan kognitif berkorelasi baik dengan etika lingkungan secara
statistik. Hasil pada kelas VII C, r hitung 0,781 (≥ r tabel 0,497) dan pada kelas VII E,
rhitung 0,570 (≥ r tabel 0,325).
Keberhasilan KKM membuktikan bahwa efektifitas kegiatan penyelidikan
berdasarkan masalah mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Kemampuan berpikir
kritis diindikasikan oleh kemampuan mengamati, mengklasifikasikan temuan, dan
manfaat dari hasil temuan. Siswa yang kemampuan mengamati dan
mengklasifikasikan temuannya sangat baik serta mampu menjelaskan manfaatnya
menunjukkan bahwa siswa telah menyiapkan diri sebelum pembelajaran dimulai serta
memiliki motivasi dan percaya diri selama penyelidikan.
Belajar berpikir kritis bergantung pada penataan suasana pembelajaran yang
mendorong penerimaan pandangan divergen (berbeda) dan diskusi bebas. Penataan
seharusnya juga lebih menekankan pada pemberian alasan atau pandangan daripada
hanya memberikan jawaban benar. Keterampilan berpikir kritis paling baik dicapai
bila siswa menghubungkan diri dengan topik-topik yang dikenalnya; misalnya,
lingkungan di sekitar mereka tinggal. Kondisi ini juga dapat lebih memotivasi siswa
untuk selalu peduli terhadap kondisi lingkungan. Tujuan pengajaran berpikir kritis
adalah menciptakan semangat
berpikir kritis yang mendorong siswa
mempertanyakan yang mereka dengar dan mengkaji pikiran mereka sendiri untuk
memastikan tidak terjadi logika tak-konsisten atau keliru.
38
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Pertanyaan yang diajukan pada tes esai tidak dapat dipisahkan dari konsep
berpikir kritis. Konsep berpikir kritis tidak dapat dipisahkan dari konsep inteligensi.
Inteligensi bukan sesuatu yang hanya dapat diukur, bukan pula sesuatu yang sematamata pembawaan genetis secara lahiriah. Inteligensi tidak dapat dipisahkan dari
konteks tempat manusia hidup dan berkembang. Berpikir kritis pada siswa khususnya
menginferensi keadaan nyata merupakan hal penting dalam pendidikan modern.
Semua pendidik mestinya harus tertarik mengajarkan berpikir kritis kepada siswanya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru tidak terlalu banyak memberi
penjelasan. Para siswalah yang aktif menggali informasi yang ada. Dengan demikian,
pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru, tetapi berpusat pada siswa. Hasil aktivitas
yang terlihat pada pembelajaran melalui pendekatan inkuiri ini juga memperlihatkan
tingginya kerjasama antar-siswa maupun antar-kelompok, karena termotivasi untuk
menguasai materi pembelajaran dengan baik. Proses belajar dengan strategi
kooperatif memungkinkan interaksi antar-anggota-kelompok, sehingga dapat
meningkatkan penguasaan dan pemahaman konsep-konsep yang dipelajari
Etika lingkungan menjadikan siswa merasa perlu meningkatkan solidaritas
sosial di antara sesama serta solidaritas alam dan lingkungan hidup. Siswa juga perlu
mengusahakan kecenderungan baru untuk mengurangi berbagai tuntutan dan beban
pada lingkungan, sehingga mungkin siswa terpaksa hidup lebih sederhana, tetapi
dalam lingkungan hidup yang baik dan lebih sehat.
Secara keseluruhan antara kemampuan kognitif dengan kemampuan dalam
etika lingkungan siswa berhubungan. Pembelajaran yang melibatkan siswa aktif
secara mental selain dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan kemampuan
berpikir kritis mereka juga memperoleh 3 hal yakni 1) kesadaran, yaitu memberi
dorongan kepada individu untuk memperoleh kesadaran dan kepekaan terhadap
lingkungan dan masalahnya, 2) Pengetahuan, yaitu membantu setiap individu untuk
mengetahui berbagai pengalaman dan pemahaman dasar tentang lingkungan dan
masalahnya, dan 3) Sikap, yaitu membentuk sikap yang lebih peduli terhadap
masalah lingkungan.
SIMPULAN
1. Hasil yang sangat baik berdasarkan KKM.
2. Kemampuan berpikir kritis siswa melalui pengamatan dan inferensi sederhana
berkategori baik.
3. Siswa memiliki etika lingkungan yang baik, sekitar 90%
4. Korelasi antara kemampuan kognitif siswa dengan penilaian etika lingkungan
siswa.
39
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Dinas Pendidikan Kalimantas Selatan, 2004. Klasifikasi Hasil Belajar Siswa.
Banjarmasin.
Supramono, 2006. Pendekatan Sains-Teknologi Masyarakat untuk Meningkatkan
Keaktifan dan Konsepsi Siswa Tentang Keanekaragaman hayati dalam
Pembelajaran Biologi di SMA. Landasan Jurnal Ilmiah Kependidikan dan
Kemasyarakatan.
Sidharta, Arief. 2010. Model pembelajaran asam Basa Berbasis Inkuiri laboratorium
sebagai wahana Pendidikan Sains Siswa SMP. Jurnal Penelitian
Kependidikan, TH.20. NO.1, April 2010. Malang.
Zaini,
Muhammad. 2007. Modul tentang Model-model Pembelajaran
Konstruktivisme. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin.
40
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE
JIGSAW DENGAN PENDEKATAN LINGKUNGAN
Rosita
(Guru SMA Negeri 13 Banjarmasin)
Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengetahui aktivitas siswa selama proses belajar
mengajar, mengetahui hasil proses belajar siswa, dan mengetahui pengaruh model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dengan pendekatan lingkungan terhadap hasil
belajar siswa. Variabel bebas adalah model pembelajaran dan variabel terikatnya hasil
belajar siswa. Penelitian dengan rancangan Nonequevalent –Control Group Design
dilaksanakan di SMA Negeri 13 Banjarmasin pada Pebruari-Maret 2011. Populasi
penelitian 126 siswa dari 4 kelas X SMAN 13 Banjarmasin tahun pelajaran
2010/2011. Sampelnya adalah siswa Kelas X.1 dan Kelas X.3. Teknik pengambilan
sampel nonprobability sampling non random. Kelas X.1 dijadikan kelas eksperimen
dan kelas X.3 dijadikan kelas kontrol. Aktivitas siswa dalam mengikuti kegiatan
belajar mengajar selama pembelajaran Kooperatif tipe jigsaw dengan pendekatan
lingkungan cukup tinggi; 91.98% pembelajaran 1 dan 91.3% pada pembelajaran 2.
Aktivitas paling dominan pada pembelajaran 1 maupun pembelajaran 2 adalah
berdiskusi dan mengamati. Hasil proses belajar siswa pada pembelajaran 1 tentang
Komponen Ekosistem dan Interaksi Organisme dikategorikan baik (75.7%),
sedangkan pada pembelajaran 2 tentang Aliran Energi dan Siklus Biogeokimia
dikategorikan sedang (74.5%). Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
dengan pendekatan lingkungan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa SMA Negeri
13 Banjarmasin tahun pelajaran 2010/2011 (F = 9.12; p = 0.0004 pada pembelajaran
1 dan F = 16.47; p = 0.0004 pada pembelajaran 2. Peningkatan hasil belajar
pembelajaran 1 pada kelas eksperimen 18.33 dan kelas kontrol 8.17, sedangkan pada
pembelajaran 2 kelas eksperimen 28.26 dan kelas kontrol 3.2.
Kata kunci: pembelajaran kooperatif, jigsaw, pendekatan lingkungan, hasil, proses.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan pembelajaran agar siswa aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara (UU RI No. 20/2003). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
41/2007 tentang Standar Proses, pada bagian pendahuluan menyebutkan pembelajaran
pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, dan memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta
41
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologisnya.
Berdasarkan pada karakter dan tuntutan materi KTSP untuk bidang studi
biologi yang menyediakan berbagai pengalaman belajar untuk memahami konsep dan
proses sains, keterampilan proses sains meliputi keterampilan mengamati,
mengajukan hipotesis, menggunakan alat dan bahan secara baik dan benar dengan
mempertimbangkan keamanan dan keselamatan kerja, mengajukan pertanyaan,
menggolongkan dan menafsirkan data, serta mengkomunikasikan hasil temuan secara
lisan atau tertulis, menggali dan memilah informasi faktual yang relevan untuk
menguji gagasan-gagasan atau memecahkan masalah sehari-hari (BSNP, 2007). Hal
ini menuntut guru lebih profesional dan dapat menjawab tantangan tersebut.
Salah satu yang harus dilakukan guru adalah memilih dan menetapkan model
yang sesuai dengan tuntutan kurikulum yang ada. Oleh karena itu guru harus selalu
berusaha mempelajari dan berupaya menerapkan model-model pembelajaran yang
membuat pelajaran menjadi lebih menarik dan disukai siswa. Suasana di kelas perlu
direncanakan dan dibangun sedemikian rupa dengan menggunakan model
pembelajaran yang tepat, agar siswa memperoleh kesempatan untuk berinteraksi satu
sama lain sehingga pada gilirannya diperoleh prestasi belajar yang optimal.
Banyak model pembelajaran saat ini yang bisa diterapkan agar terjadi
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan dan diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan kognitif dan keterampilan siswa. Di antaranya adalah
model pembelajaran kooperatif seperti STAD, Jigsaw, dan Investigasi Kelompok.
Jigsaw merupakan satu tipe dari model pembelajaran kooperatif yang bisa diterapkan
untuk meningkatkan keaktifan partisipasi siswa pada saat pembelajaran berlangsung.
Kenyataannya saat ini tidak semua guru menguasai dan mampu menerapkan model
pembelajaran sesuai dengan materi yang diajarkannya.
Berbagai pendekatan juga harus dikuasai dan diterapkan oleh guru selain
model dalam pembelajaran, misalnya pendekatan tujuan pembelajaran, pendekatan
konsep, pendekatan lingkungan, pendekatan proses, pendekatan pemecahan masalah,
pendekatan sains teknologi dan masyarakat. Pendekatan lingkungan merupakan suatu
pendekatan yang memanfaatkan lingkungan sebagai sasaran, sumber belajar, dan
sarana belajar. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah lingkungan
dan untuk menanamkan sikap cinta lingkungan.
Pemanfaatan lingkungan sebagai sasaran, sumber, dan sarana belajar masih
kurang. Umumnya guru jarang membawa siswa keluar kelas baik ke lingkungan
sekolah terdekat maupun lingkungan agak jauh. Hal ini disebabkan beberapa faktor;
di antaranya adalah waktu terbatas, bobot materi banyak, serta keterbatasan guru
mengembangkan inovasi pembelajaran. Sumber belajar tersebar di lingkungan
42
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
dimana siswa tinggal. Jika dilaksanakan, ini membawa siswa ke dalam pembelajaran
yang lebih bermakna dalam kehidupan sehari-hari.
Penggunaan pendekatan lingkungan berarti mengaitkan lingkungan dalam
suatu proses belajar mengajar. Lingkungan digunakan sebagai sumber belajar. Untuk
memahami materi yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari sering
digunakan pendekatan lingkungan.
Saat ini di SMA Negeri 13 Banjarmasin khususnya, tidak semua guru
mengetahui dan bisa menerapkan model dan pendekatan pembelajaran sesuai dengan
tuntutan materi yang ada pada kurikulum. Berdasarkan latar belakang ini muncul
pertanyaan; apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan
pendekatan lingkungan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa?
METODE
Penelitian kuasi eksperimen melibatkan variabel bebas model pembelajaran
kooperatif dan variabel terikat berupa hasil belajar siswa. Rancangannya
Nonequevalent–Control Group Design. Data aktivitas siswa selama proses belajar
mengajar menggunakan lembar observasi yang mengacu pada lembar observasi
Borich (1994). Data hasil belajar siswa diperoleh dari kemampuan mengerjakan
LKPD. Hasil belajar siswa adalah skor dari tes hasil belajar.
Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 13 Banjarmasin mulai Pebruari
sampai dengan Maret 2011. Populasi adalah 126 siswa pada 4 kelas X SMAN 13
Banjarmasin tahun pelajaran 2010/2011. Sampel penelitian ini adalah kelas X.1 dan
kelas X.3. Teknik pengambilan sampel nonprobability sampling non random. Kelas
X.1 dijadikan kelas eksperimen dan kelas X.3 sebagai kelas kontrol.
Data dianalisis secara deskriptif. Nilai kategorikal yang digunakan adalah baik
(76–100%), sedang (56–75%), kurang (40–55%) , dan buruk (< 40% ) (Arikunto,
1998). Perbedaan diuji dengan uji t dan hipotesis diuji dengan uji F.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian
Aktivitas siswa yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar sangat
tinggi, yaitu 91.98% pada pembelajaran 1 dan 91.3% pada pembelajaran 2 (Tabel 1).
Ini menunjukkan bahwa sebagian besar waktu pembelajaran digunakan untuk
aktivitas yang berhubungan dengan pembelajaran. Aktivitas siswa yang dominan baik
pada pembelajaran 1 maupun pembelajaran 2 adalah diskusi antar-siswa, antarkelompok, dan siswa-guru serta melakukan pengamatan.
43
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 1. Ringkasan aktivitas siswa pada pembelajaran 1 dan 2
Pembelajaran
1
2
Parameter yang Teramati (%)
Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
(%)
9.3 8
14 12 16 6.7 10.7 8.02 7.34 8.02
100
8.0 7.4 17.3 10 15.2 5.3 10.7 10
7.3 8.7
100
1. Memperhatikan penjelasan guru
2. Membaca LKPD atau buku-buku yang relevan
3. Melakukan pengamatan /percobaan
4. Menulis hal-hal yang relevan dengan KBM
5. Berdiskusi antar siswa/kelompok/guru
6. Melakukan refleksi dan mengevaluasi penyelidikan
7. Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru
8. Menyusun/melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan
9. Membuat/menulis rangkuman pelajaran
10. Melakukan kegiatan lain diluar KBM
Siswa antusias dalam berdiskusi karena mereka diberikan permasalahan yang
menarik untuk dibahas. Siswa aktif berdiskusi membahas materi sesuai dengan
kelompok ahli, karena siswa dari kelompok ahli akan menyampaikan hasil ke
kelompok asal. Sesuai dengan Mulyawati (2009), penerapan pembelajaran kooperatif
tipe Jigsaw meningkatkan kemampuan siswa dalam berdiskusi, mengemukakan
pendapat, bekerja dalam kelompok ahli, dan menjelaskan materi kepada kelompok
asal. Hal ini juga sesuai dengan teori pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, yaitu
adanya diskusi dalam kelompok ahli untuk mempelajari dan menyelesaikan satu
topik, setelah itu mereka akan kembali ke kelompok asal untuk mengajari anggota
kelompok asal tentang topik yang mereka bahas (Slavin, 2009).
Aktivitas pengamatan dominan karena siswa ingin mengetahui langsung
objek-objek yang ada di lingkungan sesuai dengan materi yang dibahas. Konsepkonsep sains dan lingkungan sekitar siswa dapat dengan mudah dikuasai siswa
melalui pengamatan pada situasi yang konkret. Melakukan kegiatan di luar KBM
sangat rendah (8.02% pada pembelajaran 1 dan 8.3% pada pembelajaran 2). Ini
menunjukkan bahwa aktivitas siswa lebih banyak sesuai KBM. Sebagian besar siswa
menggunakan waktu untuk kegiatan pembelajaran seperti pengamatan, memasukkan
data ke LKPD, membuat grafik, dan berdiskusi. Siswa terlihat bertanggung jawab
terhadap tugas kelompoknya dan menggunakan lingkungan untuk mencari dan
menemukan jawaban yang ada pada LKPD, sehingga aktivitas di luar KBM sedikit
dilakukan. Hal ini juga sesuai dengan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, bahwa
siswa bertanggung jawab atas pembelajaran dan pengajaran yang mereka terapkan
pada orang lain (Sharan, 2009).
44
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Hasil proses belajar pada pembelajaran 1 mencapai 75.7% (baik) pada
pembelajaran 2 persentase mencapai 74.6% (sedang) (Tabel 2). Hasil proses belajar
siswa diperoleh dari hasil LKPD. Siswa dari kelompok asal yang mendapat tugas
mengerjakan LKPD yang sama bergabung dalam satu kelompok ahli. Ada 3
kelompok ahli yang masing-masing mengamati ekosistem rawa, sawah dan parit.
Setelah selesai diskusi kelompok ahli, setiap anggota kembali ke kelompok asal. Pada
pembelajaran 1, siswa ke lingkungan dengan membawa LKPD 1 tentang Komponen
Ekosistem dan Interaksi Organisme. Pada pembelajaran 2, siswa ke lingkungan
dengan membawa LKPD 2 tentang Aliran Energi dan Siklus Biogeokimia. Melalui
pendekatan ini, siswa langsung dapat melakukan pengamatan dan mendiskusikan
hasil pengamatan dalam kelompok.
Tabel 2. Hasil proses belajar pada pembelajaran 1 dan 2.
Kelompok
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Skor Rerata
Skor
Maksimum
% rerata
Pembelajaran 1
Rerata Nilai %
Kategori
79
79
Baik
56.7
56.7
Sedang
78.7
78.7
Baik
78.7
78.7
Baik
78
78
Baik
77
77
Baik
81
81
Baik
72.7
72.7
Sedang
75.7
75.7
Baik
79.3
79.3
Baik
75.7
100
75.7
Baik
Pembelajaran 2
Rerata Nilai %
Kategori
70.7
70.7 Sedang
75.3
75.3 Sedang
75.7
75.7 Baik
73
73
Sedang
73
73
Sedang
77.3
77.3 Baik
69.3
69.3 Sedang
80.7
80.7 Baik
71.7
71.7 Sedang
79.7
79.7 Baik
74.6
100
74.6 Sedang
Hasil proses pada pembelajaran 1 lebih baik dibanding pembelajaran 2. Faktor
penyebabnya antara lain materi pembelajaran 1 sebagian sudah diterima pada saat
siswa duduk di bangku SMP, seperti komponen ekosistem, satuan makhluk hidup,
peran komponen ekosistem, dan sesuai dengan silabus yang ada di SMP kelas VII.
Siswa bisa menghubungkan materi yang dibahas saat ini. Materi pembelajaran 2 lebih
kompleks; di antaranya menyusun jaring-jaring makanan, membuat grafik,
menganalisis gambar jaring-jaring makanan, menganalisis siklus biogeokimia. Materi
pembelajaran 2 perlu didukung pengetahuan dan keterampilan matematika (seperti
mengukur, membuat skala) serta ilmu kimia (seperti ion nitrat, nitrit, posfat, organik,
anorganik).
45
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Sebelum pembelajaran dilakukan, siswa diberi tes awal. Tujuannya adalah
untuk mendapat informasi pengetahuan siswa tentang materi bahasan. Jadi tidak ada
perbedaan kemampuan pengetahuan antara siswa kelas eksperimen dengan siswa
kelas kontrol. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen dengan
kelas kontrol baik pada pembelajaran 1 maupun pada pembelajaran 2 (Tabel 3 dan 4).
Tabel 3 Ringkasan aktivitas siswa pada pembelajaran 1
No
1
2
Kelas
Rerata
Eksperimen
Kontrol
50.5
45.67
Standar
Deviasi
10.83
13.70
Rerata Standar
Error
2.01
2.54
Catatan: Standar Error Perbedaan Mean 1 dan Mean 2 = SE M1-M2 = 3.22
𝑀 −𝑀2
Nilai “t”tes =𝑆𝐸 1
𝑀1−𝑀2
= 1.495
Nilai ttabel pada taraf signikansi 5%, db 58 adalah 2.00
Tabel 4 Ringkasan hasil “t”tes nilai tes awal pembelajaran 2
No
1
2
Kelas
Rerata
Eksperimen
Kontrol
28.27
31.2
Standar
Deviasi
10.06
11.70
Rerata Standar
Error
1.87
2.17
Catatan: Standar Error Perbedaan Mean 1 dan Mean 2 = SE M1-M2 = 2.865
𝑀 −𝑀2
Nilai “t”tes𝑆𝐸 1
𝑀1−𝑀2
= = 1.023
Nilai ttabel pada taraf signikansi 5 %, db 58 adalah 2.00.
Peningkatan hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol
(Tabel 5 dan 6). Peningkatan hasil belajar pembelajaran 1 pada kelas eksperimen
18.33 dan kelas kontrol 10.16. Peningkatan hasil belajar pembelajaran 2 pada kelas
eksperimen 28.26 dan kelas kontrol 3.2. Perbedaan peningkatan hasil belajar kelas
eksperimen dengan kelas kontrol pada pembelajaran 1 adalah 8.17, sedangkan
perbedaan peningkatan hasil belajar kelas eksperimen dengan kelas kontrol pada
pembelajaran 2 adalah 25.06. Ini berarti materi pembelajaran 2 yang cukup abstrak
bisa diperjelas dengan pendekatan lingkungan dan diskusi dalam kelompok jigsaw,
sehingga hasil belajar lebih tinggi dibanding di kelas klasikal. Namun, nilai yang
diperoleh belum maksimal (rerata 56.53), karena materi ini cukup kompleks.
46
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 5. Hasil belajar siswa kelas eksperimen dan kelas control pada Pembelajaran 1
Jumlah Nilai Hasil Belajar
Rerata Nilai Hasil Belajar
Nilai Hasil Belajar Siswa pada Pembelajaran 1
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
Tes Awal Tes Akhir Tes Awal Tes Akhir
1515
2065
1370
1675
50.50
68.83
45.67
55.85
Tabel 6. Hasil belajar siswa kelas eksperimen dan kelas control pada Pembelajaran 2
Jumlah Nilai Hasil Belajar
Rerata Nilai Hasil Belajar
Nilai Hasil Belajar Siswa pada Pembelajaran 1
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
Tes Awal Tes Akhir Tes Awal Tes Akhir
848
1696
936
1032
28.27
56.53
31.20
34.40
Di dalam pembelajaran 1 siswa mendapat nilai rerata lebih tinggi (68,83)
tetapi peningkatannya hanya 8,17. Pada saat tes awal, nilai siswa sudah lebih baik
karena materi ekosistem sudah pernah mereka terima waktu di bangku SMP, tetapi
belum terbiasa dengan model pembelajaran yang digunakan. Namun demikian hasil
belajar kelas eksperimen baik pada pembelajaran 1 maupun pembelajaran 2 lebih
tinggi dibanding dengan kelas kontrol, karena kombinasi model ini memungkinkan
adanya proses asimilasi dan akomodasi.
Menurut teori konstruktivistik Piaget, pengetahuan yang dikonstruksi oleh
anak sebagai subjek akan menjadi pengetahuan bermakna, sedangkan yang diperoleh
melalui proses pemberitahuan tidak bermakna. Pengetahuan itu hanya diingat
sementara, setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2009). Aplikasi pembelajaran berbasis
pendekatan lingkungan dengan metode kerja kelompok efektif untuk meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar siswa (Anggaraini, 2010). Melalui pendekatan lingkungan
pembelajaran lebih bermakna. Sikap verbalisme siswa terhadap penguasaan konsep
dapat diminimalkan dan pemahaman siswa akan membekas dalam ingatannya.
Peningkatan hasil belajar kelas eksperimen dan kelas kontrol pada
pembelajaran 1 berbeda secara signifikan dengan F = 9,12, p = 0,.0004, Ftabel =3,15
pada α = 0,05, dk v1 = 2 , dan v2 = 57 (Tabel 7). Hal sama terjadi pada pembelajaran
2. Peningkatan hasil belajar kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda secara
signifikan; F = 16,47; p = 0,0001; F tabel = 3,15 pada α = 0,05, dk v1 = 2 , dan v2 = 57
(Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan
pendekatan lingkungan yang dilaksanakan di SMA Negeri 13 Banjarmasin
berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa.
47
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 7. Hasil analisis kovarian pada pembelajaran 1
Sumber
Db/df
Regresi
Residual
Total
2
57
59
JK/SS
RK/MS
F
0.37080353 0.18540176
1.15938981 0.02034017
1.53019333
Keterangan : R-Square = 0.242325
9.12
Probabilitas
Keterangan
(α=0,05)
0.0004
Signifikan
C.V = 8.040912
Tabel 8. Hasil analisis kovarian pada pembelajaran 2
Sumber
Regresi
Residual
Total
Db/df
2
57
59
JK/SS
RK/MS
F
1.22559463 0.61279731 16.47
2.12089037 0.03720860
3.34648500
Keterangan: R-Square = 0.366233
Probabilitas
(α=0,05)
0.0001
Keterangan
Signifikan
C.V =11.94029
Menurut Anggaraini (2010), aplikasi pembelajaran berbasis pendekatan
lingkungan dengan metode kerja kelompok efektif untuk meningkatkan aktivitas dan
hasil belajar siswa. Menurut Lestari (2009), penerapan pendekatan lingkungan alam
pada pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIIE SMP Negeri 2
Gatak Sukoharjo tahun pelajaran 2008/2009. Menurut Sanjaya (2006), keunggulan
pembelajaran kooperatif antara lain siswa dapat belajar dari siswa lain, dapat
meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, meningkatkan
motivasi dan rangsangan untuk berpikir. Keunggulan pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajaran sendiri dan
juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan,
tetapi juga harus siap memberi dan mengajarkan materi pada anggota kelompok lain.
SIMPULAN
Aktivitas siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar cukup tinggi,
Aktivitas yang paling dominan pada pembelajaran 1 maupun pembelajaran 2 adalah
berdiskusi dan melakukan pengamatan.
Proses belajar siswa pada pembelajaran 1 dikategorikan baik (75.7%), sedang
pada pembelajaran 2 dikategorikan sedang (74.5%).
Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan pendekatan
lingkungan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa SMA Negeri 13 Banjarmasin
tahun pelajaran 2010/2011.
48
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Anggaraini, Titien, 2010, Aplikasi Pembelajaran Berbasis Pendekatan Lingkungan
Dengan Metode Kerja kelompok Untuk Meningkatkan Keaktifan dan
Pemahaman Konsep Biologi, (http:// etd.eprints.ums.ac.id/8529/Anggaraini,
diakses 10 Nopember 2010).
BSNP [Badan Standar Nasional Pendidikan] 2007, Petunjuk Teknis Pengembangan
Silabus dan Contoh/Model Silabus SMA/MA, Mata Pelajaran Biologi,
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Lestari, Agustin, 2009, Penerapan Pendekatan Pemanfaatan Lingkungan Alam
Terhadap Pemahaman Konsep Keanekaragaman Makhluk Hidup pada Siswa
Kelas VII E SMPN 2 Gatak Kabupaten Sukoharjo Tahun 2008/2009,
(http://etd.eprints.ums.ac.id/4347/, diakses 3 Nop 2010).
Mulyawati, Yuyun, 2009, Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa Pada Materi Pokok Struktur
Atom dan Sistem Periodik, (http://www.lpmpjabar.go.id/ index.php?
option=com_content&view=article&id=65:p enerapan-model-pembelajarankooperatif-tipe-jigsaw-untuk-meningkatkan-hasil-belajar-kimia-siswa-padamateri-pokok-struktur-atom-an-sistem-periodik-penelitian-tindakan-kelasterhadap-siswa-kelas-x2-sman-21-bandung&catid=39:jurnal&Itemid=56,
diakses 3 Nopember 2010).
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar
Proses.
Sanjaya, Wina, 2009, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan, Jakarta: Kencana,
Sharan, Shlomo, 2009. Cooperative Learning, Inovasi Pengajaran dan
Pembelajaran untuk Memacu Keberhasilan Siswa di Kelas, terjemahan
oleh Sigit Prawoto, , Yogyakarta: Imperium.
Slavin, Robert,E, 2009, Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik,
oleh Lita, , Bandung: Nusa media
terjemahan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan
Nasional, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
49
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
POLA KEBIASAAN MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN
SUAKA MARGASATWA PULAU KAGET DALAM
PELESTARIAN SUAKA MARGASATWA PULAU KAGET
SEBAGAI HABITAT BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb)
Finna Rahmiati 1), Mochamad Arief Soendjoto 2); Dharmono 3)
(1. Guru SMAN 1 Banjarbaru
(2. Fakultas Kehutanan dan Magister Pendidikan Biologi, Universitas Lambung Mangkurat
(3. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan serta Magister Pendidikan Biologi, Universitas Lambung Mangkurat)
Abstrak
Suaka Margasatwa Pulau Kaget (SMPK) ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 772/Kpts-II/1999 tanggal 27 September
1999. Populasi rambai padi (Sonneratia caseolaris), pakan utama bekantan (Nasalis
larvatus Wurmb) semakin menurun, sehingga diduga menyebabkan penurunan
populasi bekantan. SMPK adalah bagian selatan Pulau Kaget. Bagian utara pulau ini
dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Penelitian bertujuan
untuk 1) mendeskripsikan perilaku, sikap dan pengetahuan masyarakat berdasarkan
pada tingkat pendidikannya, 2) menentukan pola kebiasaan masyarakat yang tinggal
di sekitar kawasan SMPK, 3) membandingkan pola kebiasaan masyarakat di Desa
Podok dan Desa Tabunganen Muara dalam keranga pelestarian SMPK sebagai habitat
bekantan. Penelitian dilaksanakan bulan Agustus 2010 - Februari 2011. Data
dikumpulkan melalui kuesioner. Sampel penelitian adalah 76 KK masyarakat Desa
Podok dan 46 KK di Desa Tabunganen Muara. Data dijelaskan secara deskriptif. Pola
kebiasaan masyarakat di Desa Podok dan Desa Tabunganen Muara diuji dengan uji
tanda. Perilaku, sikap, dan pengetahuan dalam pelestarian habitat bekantan tidak
berhubungan dengan tingkat pendidikan. Masyarakat Desa Tabunganen Muara
memiliki kebiasaan cenderung melestarikan, sedangkan masyarakat Desa Podok
cenderung tidak melestarikan kawasan SMPK sebagai habitat bekantan.
Kata kunci: perilaku, sikap, pengetahuan, pendidikan, pola kebiasaan
PENDAHULUAN
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor:
772/Kpts-II/1999 tanggal 27 September 1999, sebagian Pulau Kaget ditetapkan
sebagai suaka margasatwa. Pulau ini termasuk wilayah Kecamatan Tabunganen,
Kabupaten Barito Kuala. Suaka Margasatwa Pulau Kaget (SMPK) merupakan tempat
konservasi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) (BKSDA Kalimantan Selatan, 2008).
Bekantan merupakan satwa dilindungi dan maskot Provinsi Kalimantan
Selatan. Keberadaannya di SMPK tidak lepas dari populasi rambai (Sonneratia
50
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
caseolaris). Daun dan buah rambai adalah pakan utama bekantan (Soendjoto dkk.,
2005).
SMPK terletak di muara Sungai Barito. Di sebelah baratnya terdapat Desa
Podok, Kabupaten Banjar dan timurnya terdapat Desa Tabunganen Muara, Kabupaten
Barito Kuala. Menurut BPS Kabupaten Banjar (2009) dan BPS Kabupaten Barito
Kuala (2010), sebagian besar masyarakat kedua desa tersebut memiliki mata
pencaharian sebagai petani.
Keterlibatan masyarakat dalam pengrusakan SMPK terlihat jelas dan sangat
berpengaruh. Kawasan SMPK dijadikan tempat mencari akar rambai untuk bahan
baku bonggol shuttlecock dan tutup botol (Soendjoto dkk., 1998). Bagian pulau di
utara SMPK dimanfaatkan penduduk sebagai lahan persawahan untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi. Pertanyaannya kemudian adalah apakah masyarakat di Desa
Podok dan Desa Tabunganen Muara terlibat dalam kegiatan melestarikan kawasan
SMPK.
METODE
Penelitian dilakukan di Desa Podok dan Desa Tabunganen Muara Agustus
2010 - Februari 2011. Data dikumpulkan dengan kuesioner pada Januari 2011.
Sampel penelitian adalah 76 KK masyarakat Desa Podok dan 46 KK Desa
Tabunganen Muara. Parameter data adalah perilaku, sikap, pengetahuan, tingkat
pendidikan yang disajikan deskriptif. Pola kebiasaan masyarakat Desa Podok dan
Desa Tabunganen Muara dibandingkan dan diuji dengan uji tanda.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut ini kondisi masyarakat dua desa sampel (pelestarian atau
pengancaman SMPK) dalam hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku:
1. Ketidaksediaan diajak berburu bekantan menurut tingkat pendidikan masyarakat
(Tabel 1).
2. Menegur orang yang mengambil kayu bakar di SMPK (Tabel 2).
3. Menegur orang yang mengambi akar rambai di SMPK (Tabel 3).
Pada semua tingkat pendidikan, masyarakat Desa Podok tidak bersedia diajak
berburu bekantan atau ikut melestarikan SMPK. Pada pendidikan dasar, hanya
sebagian kecil masyarakat Desa Podok menegur orang yang mengambil kayu bakar.
Hal yang sama terjadi pada perilaku menegur orang yang mengambil akar rambai
padi. Secara umum perilaku masyarakat Desa Podok tidak berhubungan dengan
tingkat pendidikan. Penelitian ini bertentangan dengan penelitian Amani dan Hadi
(2008) yang menyatakan bahwa pengetahuan dan perilaku saling berhubungan.
51
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Pengetahuan rendah dilatarbelakangi oleh tingkat pendidikan rendah yang merupakan
cermin masyarakat Desa Podok.
Tabel 1. Ketidaksediaan masyarakat bila diajak berburu bekantan menurut tingkat
pendidikannya
No
Tingkat Pendidikan
Podok
Melestarikan Mengancam
SMPK (%)
SMPK (%)
Tabunganen Muara
Melestarikan Mengancam
SMPK (%)
SMPK (%)
1 Pendidikan Dasar
86.8
0
67.4
0
2 Pendidikan Menengah
11.8
0
28.3
0
3 Pendidikan Tinggi
1.3
0
4.3
0
Tabel 2. Menegur orang yang mengambil kayu bakar di SMPK menurut tingkat
pendidikan
No
1
2
3
Tingkat Pendidikan
Pendidikan Dasar
Pendidikan Menengah
Pendidikan Tinggi
Podok
Melestarikan Mengancam
SMPK (%) SMPK (%)
28.9
57.9
9.2
2.6
0
1.3
Tabunganen Muara
Melestarikan Mengancam
SMPK (%)
SMPK (%)
41.3
26.1
21.7
6.5
4.3
0
Tabel 3. Menegur orang yang mengambil akar rambai di SMPK menurut tingkat
pendidikannya
No
Tingkat Pendidikan
Podok
Melestarikan Mengancam
SMPK (%)
SMPK (%)
21.1
65.8
Tabunganen Muara
Melestarikan Mengancam
SMPK (%)
SMPK (%)
10.9
56.5
1
Pendidikan Dasar
2
Pendidikan Menengah
1.3
10.5
2.2
26.1
3
Pendidikan Tinggi
1.3
0
0
4.3
Faktor yang menyebabkan ketidakada-hubunganan perilaku dengan
pendidikan adalah ketidakterangkatan substansi pembelajaran di sekolah berkaitan
dengan kondisi lingkungan sekitar. Ini memicu ketidakacuhan masyarakat terhadap
kelestarian vegetasi. Faktor lainnya adalah lokasi SMPK yang berada di luar Desa
Podok yang memicu masyarakat tidak peduli terhadap SMPK.
Perilaku masyarakat menjadi hal penting dalam pelestarian bekantan. Coral
Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) melaporkan bahwa
52
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
kerusakan terumbu karang disebabkan oleh perilaku masyarakat sekitar pantai, yakni
nelayan dan semua orang yang terlibat langsung dengan aktivitas kelautan.
Ketidakpedulian masyarakat Desa Podok ditunjukkan melalui perilaku yang
tidak menegur atau melarang orang yang menebang dan mengambil kayu dan akar
pohon rambai. Masyarakat menganggap bahwa ada petugas dari BKSDA di
Tabunganen Muara yang menjaga SMPK. Masyarakat beranggapan bahwa menegur
atau melarang akan membahayakan diri mereka. Oleh sebab itu, perlu sosialisasi atau
penyuluhan kepada masyarakat Desa Podok tentang manfaat kawasan SMPK bagi
kehidupan. Selain itu, SMPK adalah milik dan menjadi tanggung jawab semua
masyarakat di sekitarnya.
Yang terjadi dengan masyarakat Desa Podok berbeda sekali dengan
masyarakat Desa Tabunganen Muara. Masyarakat desa terakhir ini tidak bersedia
diajak berburu bekantan. Dengan kata lain, mereka ikut melestarikan SMPK.
Sebagian masyarakat Desa Tabunganen Muara dengan tingkat pendidikan dasar
menegur orang yang mengambil kayu bakar di SMPK. Begitu juga dengan
masyarakat berpendidikan menengah dan tinggi. Pada semua tingkat pendidikan,
masyarakat Desa Tabunganen Muara tidak menegur orang yang mengambil akar
rambai padi di SMPK. Jelas bahwa di Desa Tabunganen Muara tidak ada hubungan
antara pendidikan dan perilaku masyarakat.
Tanggung jawab masyarakat pada SMPK lebih karena lokasinya di wilayah
Tabunganen Muara. Terdapat jaringan kerjasama yang baik antara kelompok
masyarakat, rasa saling percaya, dan kesamaan nilai bahwa kawasan itu harus
dilindungi. Namun demikian, penyuluhan dan pengawasan dari BKSDA Kalimantan
Selatan masih harus terus dilakukan. Hal ini untuk mengatasi perilaku yang justru
mengancam SMPK, dalam hal ini berkaitan dengan pengambilan akar rambai.
Data hubungan sikap dengan tingkat pendidikan sebagai berikut.
1. Sikap terhadap pernyataan "Melarang penebangan pohon rambai dan pohon lain
di Pulau Kaget merupakan usaha melestarikan habitat bekantan” (Tabel 4).
2. Sikap terhadap pernyataan "Melakukan aktivitas pertanian di luar kawasan Pulau
Kaget” (Tabel 5).
3. Sikap terhadap pernyataan "Kawasan Pulau Kaget merupakan tempat untuk
mencari ikan” (Tabel 6).
Hanya sebagian kecil masyarakat Desa Podok pada semua tingkat pendidikan
setuju terhadap ketiga pernyataan. Hal ini berbeda dengan sebagian besar masyarakat
Desa Tabunganen Muara yang setuju dengan pernyataan tersebut. Dengan demikian,
masyarakat Desa Podok bersikap negatif terhadap pelestarian SMPK, sedangkan
Desa Tabunganen Muara bersikap positif.
53
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 4. Sikap terhadap pernyataan "Melarang penebangan pohon rambai dan pohon
lain yang ada di Pulau Kaget”
No
Tingkat Pendidikan
1
2
3
Pendidikan Dasar
Pendidikan Menengah
Pendidikan Tinggi
Podok
Melestarikan Mengancam
SMPK (%)
SMPK (%)
5.3
81.6
1.3
10.5
0
1.3
Tabunganen Muara
Melestarikan Mengancam
SMPK (%)
SMPK (%)
52.2
15.2
26.1
2.2
4.3
0
Tabel 5. Sikap terhadap pernyataan "Melakukan aktivitas pertanian di luar kawasan
Pulau Kaget”
No
1
2
3
Podok
Melestarikan Mengancam
SMPK (%)
SMPK (%)
Pendidikan Dasar
14.5
72.4
Pendidikan Menengah
0
11.8
Pendidikan Tinggi
0
1.3
Tingkat Pendidikan
Tabunganen Muara
Melestarikan Mengancam
SMPK (%)
SMPK (%)
65.2
2.2
26.1
2.2
4.3
0
Tabel 6. Sikap terhadap pernyataan "Kawasan Pulau Kaget merupakan tempat untuk
mencari ikan”
No
Tingkat Pendidikan
1
Pendidikan Dasar
2
3
Pendidikan Menengah
Pendidikan Tinggi
Podok
Melestarikan Mengancam
SMPK (%)
SMPK (%)
Tabunganen Muara
Melestarikan Mengancam
SMPK (%)
SMPK (%)
2.6
84.2
65.2
2.2
0
0
11.8
1.3
28.3
4.3
0
0
Sebagian besar masyarakat di Desa Podok memiliki tingkat pendidikan dasar
sehingga mereka memiliki sikap rendah dalam menjaga kelestarian SMPK. Dalam
pembelajaran di sekolah tidak ada muatan tentang bekantan dan pentingnya
keberadaan SMPK bagi kehidupan bekantan. Faktor lain yang mempengaruhi adalah
faktor letak SMPK yang secara administratif di wilayah Kabupaten Barito Kuala,
bukan Kabupaten Banjar yang merupakan induk Desa Podok.
Sebagian besar masyarakat kedua desa pada semua tingkat pendidikan tahu
tentang bekantan, tetapi banyak tidak tahu manfaatnya dan banyak tidak tahu bahwa
SMPK sudah mulai rusak (Tabel 7). Pada sisi lain, sebagian masyarakat berpendapat
54
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
bahwa kawasan Pulau Kaget merupakan tempat mengambil kayu bakar dan akar
rambai, tetapi pada umumnya berharap penanaman kembali rambai di Pulau Kaget.
Tabel 7. Pengetahuan masyarakat kedua desa menurut tingkat pendidikan
Podok
Pengetahuan
Pendidikan
Pendidikan
Pendidikan
Dasar (%) Menengah (%) Tinggi (%)
Tabunganen Muara
Pendidikan
Dasar (%)
1. Bekantan merupakan monyet yang berwarna merah/coklat
Ya
86.8
11.8
1.3
67.4
Tidak
0
0
0
0
Pendidikan Pendidikan
Menengah (%) Tinggi (%)
28.3
0
4.3
0
2. Bekantan ada manfaatnya bagi lingkungan/ kehidupan
Ya
39.5
1.3
1.3
19.6
6.5
4.3
Tidak
47.4
10.5
0
47.8
21.7
0
3. Pulau Kaget sudah mengalami kerusakan & tidak layak untuk tempat tinggal bekantan
Ya
13.2
1.32
0
19.6
4.3
2.2
Tidak
73.7
10.5
1.3
47.8
23.9
2.2
4. Kawasan P Kaget merupakan tempat untuk mengambil batang dan akar pohon rambai
Ya
19.7
0
0
2.2
0
2.2
Tidak
67.1
11.8
1.3
65.2
28.3
2.2
5. Ada penanaman kembali pohon rambai padi di kawasan Pulau Kaget
Ya
0
0
0
34.8
10.9
2.2
Tidak
86.8
11.8
1.3
32.6
17.4
2.2
Pengetahuan yang baik tentang bekantan dan suaka margasatwa bukan karena
tingkat pendidikan. Ada masyarakat yang memiliki pengetahuan baik walaupun
tingkat pendidikannya rendah. Sebaliknya, ada masyarakat yang memiliki tingkat
pendidikan tinggi tetapi memiliki pengetahuan yang rendah tentang bekantan dan
suaka margasatwa. Davis (1993) berpendapat bahwa sebenarnya melalui pendidikan
masyarakat dibekali pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan, sehingga
masyarakat menjadi tahu, mengerti, dapat melakukan dan mau melakukan sesuatu
untuk peningkatan kualitas hidup. Semakin tinggi tingkat pendidikan sesorang
semakin tinggi peran yang dapat dimainkan dalam kehidupan di masyarakat.
Berkaitan dengan pola kebiasaannya, masyarakat Desa Podok cenderung tidak
melestarikan. Hal sebaliknya terjadi pada masyarakat Desa Tabunganen Muara yang
melestarikan SMPK. Pola kebiasaan masyarakat terbentuk dari pengetahuan, sikap,
dan perilaku masyarakat. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan memiliki
peran penting dalam rangka pelestarian hutan dan peranan dalam pengrusakan hutan.
Ringkasnya, pola kebiasaan masyarakat yang melestarikan yaitu 1) tidak
bersedia bila diajak untuk berburu bekantan, 2) menegur orang yang mengambil kayu
55
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
dan akar pohon rambai padi di kawasan SMPK, 3) masyarakat setuju bahwa melarang
penebangan pohon rambai padi dan pohon lain yang ada di Pulau Kaget merupakan
usaha untuk melestarikan habitat bekantan, 4) masyarakat setuju bila melakukan
aktivitas pertanian di luar kawasan Pulau Kaget merupakan usaha untuk melestarikan
habitat bekantan, 5) masyarakat tidak setuju bahwa kawasan Pulau Kaget merupakan
tempat untuk mencari ikan, 6) masyarakat memiliki pengetahuan yang baik tentang
bekantan, manfaat bekantan, penurunan kondisi suaka margasatwa, pemanfaatan
potensi yang ada di kawasan suaka margasatwa, dan usaha-usaha pelestarian di
kawasan tersebut.
Bila dikaitkan dengan masyarakat Desa Podok dan Desa Tabunganen Muara
yang hanya memiliki pendidikan dasar, pola disebabkan oleh letak pulau. Pulau
Kaget di wilayah Tabunganen Barito Kuala, sehingga masyarakat Tabunganen Muara
cenderung melestarikan SMPK. Mereka bertanggung jawab terhadap kelestarian
SMPK dan bekantan.
Eksploitasi potensi SMPK berdampak negatif. Kondisi lingkungan SMPK
menurun. Kondisi ini selanjutnya secara langsung merusak habitat satwa langka,
mempengaruhi kehidupan satwa yang ada di kawasan tersebut. Perubahan-perubahan
yang terjadi di kawasan mengubah keseimbangan lingkungan secara keseluruhan.
Faktor lain yang berpotensi mengancam kelestarian bekantan adalah perlakuan
masyarakat terhadap bekantan seperti perburuan dan penangkapan bekantan.
Punahnya flora dan fauna di SMPK tentu menurunkan keanekaragaman hayati.
Pola kebiasaan yang melestarikan SMPK berdampak positif. Kondisi dan
keseimbangan ekosistem hutan mangrove terjaga.
Dari segi pariwisata, SMPK memiliki daya tarik. Bekantan adalah maskot
Provinsi Kalimantan Selatan yang dipertahankan tidak hanya untuk meningkatkan
nilai pariwisata tetapi juga meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar SMPK.
Faktor lain yang juga menyebabkan perbedaan pola kebiasaan masyarakat
kedua desa adalah lokasi kantor resor BKSDA, instansi yang menangani konservasi
SMPK. Kantor berada di Desa Tabunganen, sehingga konsentrasi sosialisasi lebih
pada masyarakat Desa Tabunganen Muara. Masyarakat Desa Podok tidak tersentuh
oleh sosialisasi. Hal ini didukung oleh informasi dari Kepala Konservasi Alam Seksi
II BSDA Kalimantan Selatan bahwa di Desa Podok tidak pernah ada sosialisasi dari
BKSDA dan tidak ada petugas dari BKSDA Tabunganen yang melakukan sosialisasi
di sana. Oleh karena itu, perlu kerjasama yang baik antara pemerintah Kabupaten
Barito Kuala dan Kabupaten Banjar untuk menyamakan persepsi pelestarian SMPK.
56
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
SIMPULAN DAN SARAN
1. Perilaku, sikap dan pengetahuan masyarakat di Desa Podok dan Desa
Tabunganen Muara dalam pelestarikan suaka margasatwa sebagai habitat
bekantan tidak berhubungan dengan tingkat pendidikannya.
2. Masyarakat Desa Tabunganen Muara cenderung melestarikan, sedangkan
masyarakat Desa Podok tidak melestarikan SMPK.
3. Pola kebiasaan masyarakat di Desa Podok dan Desa Tabunganen Muara berbeda
signifikan secara statistik.
4. Penelitian perlu dilanjutkan untuk menguji hubungan pola kebiasaan masyarakat
dengan faktor ekonomi atau pola kebiasaan masyarakat dengan usia.
5. Pengetahuan masyarakat tentang pelestarian SMPK sebagai habitat bekantan
perlu ditingkatkan baik melalui sosialisasi tanpa melihat wilayah administratif
SMPK maupun melalui bidang pemuatan materi pembelajaran tentang bekantan
dan kawasannya yang diintegrasikan pada mata pelajaran IPA atau IPS.
DAFTAR PUSTAKA
Amani, M. dan A. Hadi. 2008. Kajian Tentang Sikap, Faktor Sosial, Faktor Ekonomi,
Dan Pola Hubungannya dengan Kebiasaan Masyarakat yang Tinggal Di
Sekitar Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Kaget Kabupaten Batola
Terhadap Menurunnya Populasi Bekantan (Nasalis larvatus). Laporan
Penelitian. Banjarmasin: FKIP Unit Program Belajar Jarak Jauh UT.
BPS Kabupaten Banjar. 2009. Kabupaten Banjar dalam Angka 2009. Martapura. BPS
Kabupaten Banjar.
BPS Kabupaten Barito Kuala. 2010. Barito Kuala dalam Angka 2010. Marabahan.
BPS Kabupaten Barito Kuala.
BKSDA Kalimantan Selatan [Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan
Selatan]. 2008. Kawasan Konservasi Kalimantan Selatan. Banjarbaru.
Dephutbun Kalimantan Selatan.
Davis dan Newston. 1993. Perilaku dalam Organisasi. Jakarta. Erlangga.
Soendjoto, M.A., H.S. Alikodra, M. Bismark, dan H. Setijanto. 2005. Jenis dan
Komposisi Pakan Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Karet
kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Biodiversitas. 7 (1): 34 - 38.
Soendjoto, M.A, A. Yamani, M. Akhdiyat, dan Kurdiansyah. 1998. Telaahan
Vegetasi dan Keadaan Rambai (Soneratia caseolaris) di Suaka Margasatwa
Pulau Kaget, Kalimantan Selatan. Kalimantan Scientae. 16 (49): 51 – 62.
57
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
PEMAHAMAN KONSEP KEANEKARAGAMAN HAYATI
DAN ETIKA LINGKUNGAN SISWA SMAN 3 BANJARBARU
MELALUI PENDEKATAN LINGKUNGAN
Wahyuli Dwindiasih
(Guru Biologi SMAN 3 Banjarbaru)
Abstrak
Keanekaragaman hayati merupakan sumber kekayaan alam yang sangat potensial
untuk kesejahteraan manusia. Kesadaran masyarakat yang kurang dalam pengelolaan
menyebabkan kondisi sumber daya alam hayati memprihatinkan. Penelitian bertujuan
1) untuk mengetahui pengaruh pendekatan lingkungan terhadap hasil belajar, 2)
mengetahui proses belajar siswa, 3) mengetahui pemahaman etika lingkungan, 4)
mengetahui aktivitas siswa pada pembelajaran konsep keanekaragaman hayati.
Rancangan penelitian adalah rancangan kuasi eksperimen The Counterbalanced
Design melalui tiga kali pembelajaran. Variabel bebas adalah pendekatan lingkungan
dan variabel terikat adalah hasil belajar siswa. Dari 179 orang siswa kelas X SMAN 3
Banjarbaru tahun pelajaran 2010/2011, sampel penelitian adalah 91 orang siswa kelas
XA, XC, dan XE. Hasil análisis kovarian pada pembelajaran 1,2, dan 3 menunjukkan
bahwa Ho ditolak. Hasil proses belajar selama pembelajaran yang dilihat dari
kemampuan siswa mengerjakan LKS pada pembelajaran 1, 2, dan 3 terkategori baik;
skor rerata pembelajaran 1 31,5 (79,00%), pembelajaran 2 30,33 (76,83%), dan
pembelajaran 3 31,16 (78,33%). Pemahaman etika lingkungan tergolong tinggi
(rerata 89,98%). Pembelajaran menunjukkan pengaruh positif. Aktivitas siswa dalam
pembelajaran konsep keanekaragaman hayati pada pembelajaran 1, 2 dan 3
menunjukkan keaktifan atau dominasi dalam pembelajaran. Pembelajaran konsep
keanekaragaman hayati dengan menggunakan pendekatan lingkungan mendapatkan
respon positif dari siswa.
Kata kunci: etika, keanekaragaman hayati, lingkungan
PENDAHULUAN
Alam dan lingkungan dapat dijadikan sebagai sumber belajar dan menjadi
solusi ketika terjadi kejenuhan terhadap metode pembelajaran. Asumsinya adalah
bahwa pembelajaran akan menarik siswa, jika yang dipelajari diangkat dari
lingkungan atau berhubungan dengan kehidupan dan berfaedah bagi lingkungan
(Khusnin, 2008). Menerapkan pendekatan lingkungan dalam pembelajaran berarti
mengajak para siswa belajar langsung di lapangan.
Yulianto (2002) menjelaskan pendekatan lingkungan dalam pembelajaran
berarti mengaitkan lingkungan dalam proses belajar mengajar yang menjadikan
lingkungan sebagai sumber belajar. Lingkungan di sekitar merupakan salah satu
58
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
sumber belajar yang dapat dioptimalkan untuk mencapai proses dan hasil pendidikan
berkualitas. Lingkungan dapat memperkaya bahan dalam kegiatan belajar.
Pembelajaran yang memungkinkan siswa berinteraksi dengan lingkungan
dapat dilakukan melalui pendekatan lingkungan. Salah satu pendekatan lingkungan
yang dapat dilakukan adalah mengenalkan kepada siswa salah satu ekosistem yang
khas di daerahnya. Kalimantan Selatan memiliki ekosistem khas, yaitu hutan mangrof
dan hewan endemik bekantan (Nasalis larvatus) yang hidup di dalamnya. Salah satu
contohnya adalah ekosistem mangrof Pulau Bakut. Dengan membawa siswa langsung
ke ekosistem tersebut, pemahaman keanekaragaman hayati dan etika lingkungan serta
kesadaran siswa terhadap pelestarian keanekaragaman hayati ditumbuhkembangkan.
Karli dan Margaretha (2002) menjelaskan pendekatan lingkungan adalah
strategi pembelajaran yang memanfaatkan lingkungan sebagai sasaran, sumber, dan
sarana belajar. Pembelajaran dengan pendekatan lingkungan lebih bermakna bila
dikombinasikan dengan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif tipe
penyelidikan kelompok dapat mengajak siswa dalam kerjasama kolaboratif (Ibrahim
dkk. 2000). Hal ini dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah lingkungan dan
menanamkan sikap cinta lingkungan.
Hubungan manusia dengan lingkungan merupakan hubungan yang saling
mempengaruhi, sehingga lahir interaksi (Tang, 2002). Perpaduan metodologi
pendidikan dan rekreasi sangat berpotensi dilaksanakan pada kawasan konservasi,
taman nasional, cagar alam, hutan raya. Kolaborasi konsep pendidikan dan wisata
dapat dilakukan melalui program pendidikan di sekolah.
Interaksi siswa dengan lingkungan dalam pembelajaran yang belum optimal
menyebabkan pengalaman belajar bersifat konseptual, kurang mengasah kemampuan
berpikir dan bernalar, serta siswa kurang kritis dan sensitif terhadap isu lingkungan.
Menurut Zaini (2005) pembinaan kesadaran dan pengetahuan lingkungan terhadap
pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan melalui pendidikan lingkungan.
Pembelajaran konsep keanekaragaman hayati di SMA selama ini masih
bersifat konseptual. Siswa mendapatkan pengetahuan tentang keanekaragaman hayati
dari buku yang dibaca dan informasi dari guru. Di SMA Negeri 3 Banjarbaru
pembelajaran konsep keanekaragaman hayati belum diajarkan secara kontekstual,
lebih-lebih materi lahan basah yang menjadi ciri sebagian Provinsi Kalimantan
Selatan. Bagaimana pemahaman konsep keanekaragaman hayati dan etika lingkungan
pada siswa SMA Negeri 3 Banjarbaru melalui pendekatan lingkungan?
METODE
Penelitian menggunakan rancangan The Counterbalanced Design berdasarkan
pada Champbell dan Stanley (1996) (Tabel 1).
59
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 1 Model rancangan penelitian The Counterbalanced Design
Kelas
A
C
E
1
X1O
X0O
X0O
Materi Pembelajaran
2
X0O
X2O
X0O
Keterangan: X1, 2, 3 (kelas eksperimen); X0 (kelas control); O
3
X0O
X0O
X3O
(Post test)
Data kuantitatif diperoleh dari tes hasil belajar dan penilaian selama proses
belajar. Tes hasil belajar (tes awal dan tes akhir) di kelas kontrol dan eksperimen
dianalisis secara berkombinasi dengan analisis kovarian. Penilaian selama proses
belajar dari kemampuan mengerjakan LKS dianalisis secara deskriptif dengan
menghitung skor rerata dan ditafsirkan baik (76-100%), sedang (56-75%), kurang
(40-55%), dan buruk (<40%) (Arikunto, 1998). Data kualitatif berupa hasil tes etika
lingkungan dan hasil observasi aktivitas siswa. Data dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Pembelajaran 1 menunjukkan peningkatan hasil belajar kelas eksperimen
dibandingkan dengan kelas kontrol sebesar 3,02 (Tabel 2). Begitu juga pada
pembelajaran 2 sebesar 12,22 serta pembelajaran 3 sebesar 14,76. Peningkatan hasil
belajar kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda signifikan (Tabel 3).
Tabel 2. Ringkasan hasil belajar pada pembelajaran 1, 2 dan 3
Pembelajaran
1
2
3
Rerata Nilai Hasil Belajar
Kelas eksperimen
Kelas kontrol
Tes Awal
Tes Akhir
Tes Awal
Tes Akhir
54,00
72,93
43,91
59,86
36,36
73,00
38,19
62,62
38,77
73,50
45,68
65,65
Tabel 3. Analisis kovarian pada pembelajaran 1, 2 dan 3
Pembelajaran
1
2
3
Kelas
Eksperimen
Tes
Tes
Awal
Akhir
54,00
72,93
36,36
73,00
38,77
73,50
Kelas Kontrol
Tes
Awal
43,95
38,19
45,68
Tes
Akhir
59,86
62,62
65,65
Nilai
F
33,63
30,29
10,87
Probabilitas
Keterangan
(α = 0,05)
0,0001
0,0001
0,0001
signifikan
signifikan
signifikan
60
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Hasil proses belajar pada pembelajaran 1 mencapai 79,75%, pembelajaran 2
76,83%; dan pembelajaran 3 78,33% (Tabel 4). Proses belajar pada pembelajaran 1,
2, dan 3 berkategori baik.
Tabel 4. Hasil proses belajar pada pembelajaran 1, 2 dan 3
Kelompok
I
II
III
IV
V
VI
Rerata
Maksimum
Rerata
Pembelajaran 1
Nilai
%
Kategori
31
78,00
Baik
34
85,0
Baik
32
80,00
Baik
29
72,50
Sedang
30
75,00
Baik
33
82,50
Baik
31,5
40
79,75
Baik
Pembelajaran 2
Nilai
%
Kategori
32
80,00
Baik
29
72,50
Sedang
28
70,00
Sedang
34
85,00
Baik
30
75,00
Baik
29
72,5
Sedang
30,33
40
76,83
Baik
Pembelajaran 3
Nilai
%
Kategori
34
85,00
Baik
30
75,00
Baik
33
82,50
Baik
28
70,00
Sedang
32
80,00
Baik
30
75,00
Baik
31,16
40
77,92
Baik
Hasil kuisioner atau tes etika lingkungan yang meliputi pengetahuan dasar,
pentingnya topik dan nilai-nilai tentang etika lingkungan pada pembelajaran 1, 2, dan
3 disajikan pada Tabel 5.
Aktivitas siswa yang sangat dominan pada pembelajaran 1 adalah berdiskusi
antar siswa atau antar kelompok atau guru (33,45%) dan siswa kurang dominan pada
parameter 6 dan 8 yaitu melakukan refleksi, dan evaluasi proses pengamatan (6,23%)
dan menyajikan hasil penyelidikan (9,22%) (Tabel 6). Pada pembelajaran 2 hampir
semua parameter didominasi siswa, kecuali menyajikan hasil penyelidikan (7,74%).
Pada pembelajaran 3 aktivitas siswa yang paling dominan adalah melakukan
pengamatan dan penyelidikan (22,63%). Aktivitas yang kurang mendominasi siswa
adalah membaca LKS / bahan ajar (5,62%), melakukan refleksi, dan evaluasi proses
pengamatan (2,15%), dan melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan (5,53%).
Tabel 5. Hasil tes etika lingkungan
Uraian
Hasil Rerata Pembelajaran 1, 2 dan 3 Kelas Eksperimen
1
2
3
Tahu Tdk Ragu- Tahu Tdk Ragu- Tahu Tdk Ragu- Tahu
Tahu ragu
Tahu ragu
Tahu ragu
Pengetahuan
90,14 3,26
Dasar
Pentingnya 94,55 3,26
Topik
Nilai-nilai
95,56 0
6,60 91,22
3,33
5,48
79,17 12,08
8,71
3,26
93,41
4,37
1,22
80,22
8,75
12,22
4,52
79,10
6,63
11,04 96,77
0
3,23
38,53
4
Tdk RaguTahu ragu
9,75
42,87
61
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Keterangan:
Pengetahuan Dasar:
1. Kegiatan manusia mempengaruhi kelangsungan hidup flora dan fauna di kawasan mangrof
sehingga mempengaruhi keanekaragaman hayati hutan mangrof.
2. Kegiatan manusia yang mengganggu tumbuhan di kawasan hutan mangrof dapat mengakibatkan
rusaknya kawasan hutan mangrof.
3. Kegiatan manusia yang kurang memperdulikan lingkungan karena kurangnya pengetahuan mereka
tentang manfaat keanekaragaman hayati.
4. Beragam opini yang berkenaan dengan isu-isu kegiatan manusia dalam memanfaatkan hutan
mangrof mempengaruhi kelestarian kawasan hutan mangrof
Pentingnya Topik:
1. Untuk mencegah kegiatan manusia mengganggu flora dan fauna di hutan mangrof kita harus
memahami fungsi hutan mangrof.
2. Keterlibatan masyarakat sekitar di kawasan mangrof sangat dominan dan mempengaruhi
ekosistem hutan mangrof sehingga penting dan perlu diberikan pengetahuan untuk memperbaiki
sikap mereka terhadap lingkungan.
3. Kegiatan manusia yang mengganggu flora dan fauna di hutan mangrof sehingga mengakibatkan
rusaknya kawasan hutan mangrof merupakan topik menarik dan penting demi menjaga
kelangsungan hidup organisme.
Nilai-nilai Etika Lingkungan
1. Saya senang dapat mengenal salah satu ekosistem yang khas didaerah saya, sehingga saya
mengetahui pentingnya menjaga dan melindungi tumbuhan dan hewan untuk mempertahankan
keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia
2. Saya meyakini mengangkat topik usaha-usaha mencegah kegiatan manusia yang mengganggu
ekosistem hutan mangrof akan mengurangi kerusakan sumber daya hayati.
3. Saya merasakan, pengetahuan tentang pentingnya lingkungan bagi kelangsungan makhluk hidup,
menyadarkan bahwa kekayaan keanekaragaman hayati harus dijaga kelestariannya.
Tabel 6. Ringkasan Aktivitas Siswa pada pembelajaran 1, 2 dan 3
Pembelajaran
1
2
3
1
10,50
15,30
17,93
Parameter yang Teramati (%)
2
3
4
5
6
7
13,80 17,47 6,03 33,45 6,23 11,90
10,70 13,00 19,70 17,90 12,10 15,50
5,62 22,63 14,42 14,07 2,15 13,00
8
9,22
7,74
5,53
Keterangan :
1. Memperhatikan penjelasan guru atau siswa lain.
2. Membaca LKS /bahan ajar
3. Melakukan pengamatan atau penyelidikan dan mengumpulkan data-data pengamatan
4. Menulis hal-hal yang releven dengan kegiatan pembelajaran.
5. Berdiskusi antar siswa atau antar kelompok atau guru
6. Melakukan refleksi dan mengevaluasi, proses pengamatan
7. Bertanya kepada siswa atau guru
8. Melaporkan dan menyajikan hasil penyelidikan
62
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Pembahasan
Ada perbedaan signifikan antara hasil belajar kelas eksperimen dengan kelas
kontrol. Ini menunjukkan bahwa pendekatan lingkungan berpengaruh terhadap hasil
belajar siswa SMAN 3 Banjarbaru. Dengan kalimat lain, pemahaman siswa terhadap
konsep keanekaragaman hayati juga meningkat.
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan lingkungan melibatkan
interaksi sosial antara siswa dengan lingkungan alami. Ini sejalan dengan Vygotsky
yang mengatakan perkembangan kognitif sebagai suatu hasil pertumbuhan dan
perkembangan sosial melalui interaksi dengan orang lain dan lingkungan. Siswa yang
tadinya hanya disuguhi uraian konsep yang bersifat verbal, dengan melihat dan
mengamati secara langsung akan terbentuk pengalaman belajar, sehingga pencapaian
tujuan pembelajaran akan lebih tuntas. Kegiatan semacam ini menjadi salah satu
faktor yang membangkitkan minat siswa terhadap gejala-gejala di alam.
Zaini (2008) mendukung pernyataan bahwa penggunaan pendekatan
lingkungan dalam pembelajaran berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
Kemampuan siswa mengerjakan LKS berkategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa
pembelajaran melalui pendekatan lingkungan berpengaruh baik terhadap
pembelajaran dilihat dari besarnya persentase kemampuan siswa mengerjakan LKS.
Pendekatan lingkungan juga dapat mengoptimalkan respon siswa yang meliputi
kinerja siswa selama pembelajaran.
Pendekatan lingkungan dalam pembelajaran selain membantu siswa
memahami konsep keanekaragaman hayati, juga menumbuhkan etika lingkungan.
Pengetahuan dasar siswa tentang pemahaman etika lingkungan tergolong baik,
kecuali tentang beragam opini dan isu-isu berkaitan dengan kegiatan manusia di
kawasan hutan mangrof. Faktor-faktor keraguan tersebut disebabkan oleh kurangnya
informasi siswa tentang isu-isu lingkungan yang diperoleh dari narasumber, media
cetak, maupun media elektronik lainnya.
Pembelajaran yang dirancang membantu siswa meningkatkan pemahaman
konsep keanekaragaman hayati dan melibatkan siswa melakukan pengamatan atau
penyelidikan. Siswa mampu berpikir kritis terhadap berbagai permasalahan
lingkungan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam dan kerusakan
sumber daya alam. Kurangnya pengetahuan tentang lingkungan hidup jelas akan
mempengaruhi kesadaran lingkungan. Neolaka (2007) mengungkapkan faktor
ketidaktahuan siswa terhadap lingkungan menjadi faktor yang memengaruhi
kesadaran lingkungan.
Aktivitas pembelajaran siswa cukup tinggi. Pendekatan lingkungan pada
dasarnya mempengaruhi aktivitas siswa dalam pembelajaran. Sekalipun melakukan
refleksi dan mengevaluasi proses penyelidikan. Parameter ini menunjukkan
63
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
kemampuan melakukan analisis dan sintesis merupakan keterampilan proses tingkat
tinggi (Zaini, 2008).
Dominasi aktivitas siswa nampak positif dibandingkan dengan aktivitas guru
dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan pengalaman baru dalam mengikuti
pembelajaran ekosistem mangrof secara langsung. Siswa antusias dan tergugah untuk
mengetahui lebih banyak hal-hal yang baru dijumpai selama pengamatan.
Aktivitas siswa dalam pembelajaran yang dikolaborasikan dengan
pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kerjasama siswa dalam kelompoknya.
Pembelajaran kooperatif yang menonjol adalah keterampilan kerjasama dan
keterampilan sosial siswa dalam membantu siswa memahami konsep-konsep
(Depdiknas, 2003). Aktivitas siswa yang dominan adalah melakukan penyelidikan
dan memperhatikan penjelasan guru/siswa lain waktu diskusi. Peningkatan aktivitas
siswa dalam pembelajaran melalui pendekatan PBM dan pendekatan lingkungan juga
telah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Zaini, 2008).
SIMPULAN DAN SARAN
1. Penggunaan pendekatan lingkungan berpengaruh positif terhadap hasil belajar
dan kemampuan siswa mengerjakan LKS pada konsep keanekaragaman hayati
siswa SMAN 3 Banjarbaru.
2. Pemahaman etika lingkungan, pentingnya topik dan nilai-nilai etika lingkungan
tergolong baik, kecuali pada pengetahuan dasar siswa tentang beragam opini dan
isu-isu kegiatan manusia dalam memanfaatkan hutan mangrof.
3. Aktivitas siswa pada pembelajaran konsep keanekaragaman hayati menunjukkan
keaktifan atau dominasi siswa dalam pembelajaran.
4.
Pendekatan lingkungan merupakan salah satu alternatif pembelajaran
keanekaragaman hayati. Namun, pelaksanaan pembelajaran memerlukan waktu
khusus, karena pembelajarannya di luar kelas. Guru pendamping pun diperlukan
untuk mengawasi aktivitas siswa selama pembelajaran di luar kelas. Ini penting
untuk mengantisipasi siswa yang kurang memperhatikan bahaya ketika belajar di
lingkungan yang baru dikenalnya.
64
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Champbell, D.T. dan J. Stanley. 1996. Experimental and Quasi Experimental Design
for Research On Teaching. Dalam N.L. Gage (penyunting). Handbook of
Research On Teaching.A Project of the American Educational Research
Association. Departemen of The National Education Association. Chicago.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Biologi
SMA. Jakarta: Pusat Kurikulum balitbang Depdiknas.
Ibrahim, M., F. Rachmadiarti, M. Nur, dan Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif.
Surabaya: Unesa – University Press.
Karli, H. dan Margaretha. (2002). Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Bandung: Bina Media Informasi.
Khusnin. 2008. http://khusnin.wordpress.com/2008/11/08/konsep-pembelajaranbahasa-indonesia-dengan-menggunakan-pendekatan-lingkungan/diakses pada
tanggal 10 September 2010.
Neolaka, Amos. 2007. Kesadaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Tang, M. 2002. Sampah Dapur Moluska Indikasi Perolehan Makanan Musiman pada
Situs
Liang
Pattae
Kabupaten
Maro.
Jurnal
UNHAS.
http://www.arkeologi.net./journal/unhas.muhammad-tang.html/ diakses pada
tanggal 15 September 2009
Yulianto, E. 2002. Pendekatan Lingkungan pada Pembelajaran Fisika. Pelangi
Pendidikan.
Zaini, Muhammad; Warsono. 2005 Memanfaatkan Metode Debat Secara Formal
untuk Mengoptimalkan Pemahaman Bioetika pada Perkuliahan Genetika
Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Unlam Tahun
Akademik 2004/2005. Banjarmasin: Unlam Banjarmasin.
Zaini, Muhammad; Naparin, Akhmad; Sumartono, H; Amintarti, Sri; Ajizah, Aulia;
Karim,H; 2008.. Studi Pendahuluan Pendidikan Lingkungan di Sekolah Dasar.
Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan
Selatan dengan Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin.
65
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
PENGARUH PENERAPAN MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
KONSTRUKTIVISTIK TERHADAP PROSES IPA DI SEKOLAH
DASAR
Rusdiyana 1); Supramono 2)
(1. Dosen FKIP Universitas Veteran Ahmad Yani Banjarmasin
2. Dosen S1 dan S2 Pendidikan Biologi Universitas Palangka Raya)
Abstrak
Model inkuiri, model pembelajaran berdasarkan masalah, dan model pembelajaran
kooperatif merupakan pembelajaran inovatif yang berlandaskan paradigma
konstruktivistik yang dapat meningkatkan proses IPA. Keterampilan proses IPA yang
digunakan di SD meliputi: mengamati, mengklasifikasi, mengukur, menggunakan
alat, mengkomunikasikan, menafsirkan, memprediksi, dan melakukan eksperimen.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) menguji pengaruh penerapan model inkuiri terhadap
proses IPA siswa SD, 2) menguji pengaruh model PBM terhadap proses IPA siswa
SD, 3) menguji pengaruh pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok
terhadap proses IPA siswa SD. Penelitian eksperimen semu dengan desain pretes
dan posttest control group design. Sampel penelitian adalah siswa kelas V SDN
Banjarbaru Utara 2, SDN Banjarbaru Kota 1, SDN Sungai Besar 2 dan SDN loktabat
1. Data dikumpulkan melalui tes tertulis dan pengamatan tentang proses IPA siswa.
Data hasil belajar proses IPA dianalisis kovarian dan penilaian keterampilan proses
IPA selama kegiatan pembelajaran dianalisis secara deskriptif kualitatif. Penerapan
model inkuiri berpengaruh signifikan terhadap proses IPA siswa SD (F = 34.978; p =
0.000). Penerapan model PBM berpengaruh signifikan terhadap proses IPA siswa SD
(F = 24.636; p = 0.000). Penerapan pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan
kelompok berpengaruh signifikan terhadap proses IPA siswa SD (F = 9.361; p =
0.030). Ada perbedaan pengaruh ketiga model tersebut. Gain score model inkuiri
adalah tertinggi (3,53), disusul dengan model PBM (3,21), dan model koperatif tipe
Group Investigation (2,63).
Kata kunci: inkuiri, kooperatif, masalah, pembelajaran, penyelidikan, proses IPA
PENDAHULUAN
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang
standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah mengisyaratkan
pelaksanaan pembelajaran meliputi eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Proses
eksplorasi yang harus dilakukan guru adalah menggunakan beragam pendekatan
pembelajaran, melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan
pembelajaran dan memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium,
studio atau lapangan. Selanjutnya Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang SKL
66
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
IPA SD/MI pembelajaran IPA menganjurkan siswa melakukan pengamatan terhadap
gejala alam dan menceritakan hasil pengamatannya secara lisan dan tertulis.
Menurut Sudibyo (2003), belajar IPA seharusnya memfokus pada pemberian
pengalaman secara langsung dengan memanfaatkan dan menerapkan konsep, prinsip,
serta fakta IPA temuan saintis. Siswa perlu dilatih mengembangkan sejumlah
keterampilan ilmiah atau keterampilan proses IPA. Tujuannya adalah agar siswa
memahami perilaku/gejala alam.
Keterampilan proses IPA meliputi keterampilan mengamati, menggunakan
alat dan bahan, mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis, merencanakan
percobaan, melaksanakan percobaan, menyimpulkan hasil percobaan, dan
mengkomunikasikan temuan. Selama pembelajaran, siswa perlu dilatih membiasakan
beberapa sikap ilmiah seperti sikap ingin tahu, kerja sama, terbuka, tekun, dan peduli
lingkungan. Hal ini dapat dicapai bila siswa sejak dini dilatih melaksanakan
keterampilan proses IPA.
Beberapa guru SD Imbas di Banjarbaru Utara Gugus Mawar saat curah
pendapat dalam kegiatan Kelompok Kerja Guru (KKG) mengemukakan
permasalahan kemampuan proses IPA siswa di sekolah masing-masing. Mereka
menemukan bahwa sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam mengemukakan
pertanyaan, mengartikan data, merumuskan kesimpulan, dan mempresentasikan hasil
kegiatan. Permasalahan tersebut diduga karena siswa belum memiliki keterampilan
proses IPA. Dengan kata lain guru belum menerapkan pembelajaran penemuan, yakni
memberi kesempatan siswa menemukan konsep sendiri melalui kegiatan eksperimen.
Kesulitan melaksanakan keterampilan proses akan berdampak bagi siswa di
kemudian hari dalam menghadapi tantangan kehidupan yang makin kompleks. Guru
perlu mewujudkan pembelajaran yang dapat meningkatkan proses IPA. Salah satu
cara yang dapat dilakukan adalah menerapkan pembelajaran inovatif yang
berlandaskan paradigma konstruktivistik. Tujuannya adalah membantu peserta didik
untuk menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru.
Trianto (2007) mengungkapkan beberapa model pembelajaran inovatif
berlandaskan paradigma konstruktivistik, yakni: (1) model reasoning and problem
solving; (2) model inquiry training; (3) model problem-based instruction; (4) model
pembelajaran perubahan konseptual; (5) pembelajaran kooperatif tipe group
investigation; (6) model problem-based learning; (7) model penelitian
jurisprudensial; dan (8) model penelitian sosial. Model inkuiri, pembelajaran
berdasarkan masalah (PBM) dan pembelajaran kooperatif merupakan model kegiatan
pembelajaran yang dapat meningkatkan proses IPA karena siswa diberi kesempatan
melakukan berbagai eksperimen. Kreativitas perlu dikembangkan melalui penciptaan
situasi pembelajaran yang kondusif. Dalam hal ini, guru mendorong vitalitas
67
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
keingintahuan siswa untuk menciptakan dan memberi fungsi baru terhadap sesuatu
yang ada, siswa dilatih untuk menguasai teknik-teknik bertanya sendiri, dan diberi
kesempatan untuk melakukan berbagai eksperimen (Depdiknas, 2003).
Model inkuiri dimulai dengan peristiwa membingungkan yang mendorong
individu mencari tahu artinya. Individu secara alamiah ingin mengerti yang
dihadapinya, dan melalui proses berpikir lebih terampil menghubung-hubungkan data
menjadi konsep-konsep dan bagaimana menggunakan konsep-konsep ini ke dalam
identifikasi prinsip-prinsip kausal. Di sini lebih dipentingkan proses inkuiri dan
strategi inkuiri dan tidak pada isi dan penjelasan-penjelasan situasi problematis tadi
(Rampengan, 1981).
Model pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok menekankan pada
partisipasi dan aktivitas siswa untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran
yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia, misalnya dari buku pelajaran
atau siswa dapat mencari melalui internet. Siswa dilibatkan sejak perencanaan, baik
dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi.
Tipe ini menuntut siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi
maupun dalam keterampilan proses kelompok.
Pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok dapat melatih siswa
menumbuhkan kemampuan berpikir mandiri. Keterlibatan siswa secara aktif dapat
terlihat mulai dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran (Kiranawati,
2007). Pembelajaran kooperatif tipe ini menuntut para siswa memiliki kemampuan
yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses kelompok.
Penerapan pembelajaran berdasarkan masalah menekankan keterlibatan siswa
secara aktif, lebih berorientasi induktif daripada deduktif, dan penemuan oleh siswa
sendiri atau pembangunan pengetahuan mereka sendiri. Guru tidak memberikan ideide atau teori-teori tentang dunia, yang merupakan cara yang dilakukan guru pada
saat menggunakan pembelajaran langsung. Akan tetapi guru menggunakan inkuiri
atau pendekatan PBM, mengajukan pertanyaan kepada siswa, dan memberi
kesempatan kepada siswa sampai pada ide-ide atau teori-teori mereka sendiri (Nur,
2011). Semua tahapan yang dilaksanakan siswa dalam PBM tidak lepas dari
keterampilan proses, sehingga dapat meningkatkan keterampilan proses IPA.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah penerapan model-model pembelajaran
konstruktivistik berpengaruh terhadap proses IPA di sekolah dasar.
68
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
METODE
Pada penelitian eksperimen semu dengan pretes dan posttest control group
design (Tabel 1), variabel bebas adalah model-model pembelajaran kelompok
eksperimen berupa model inkuiri (X 1), model PBM (X2), dan model pembelajaran
kooperatif (X3). Variabel terikat adalah hasil tes tertulis proses IPA.
Tabel 1. Desain Penelitian.
Kelompok
Eksperimen I
Eksperimen II
Eksperimen III
Kontrol
Pretes
O1
O1
O1
O1
Variabel
X1
X2
X3
-
Posttes
O2
O2
O2
O2
Keterangan: O1 (pre tes), O2 (pos tes), X1: pembelajaran menggunakan model inkuiri
X2: pembelajaran menggunakan model PBM, X3: pembelajaran menggunakan
pembelajaran kooperatif.
Sampel penelitian adalah siswa dari kelas VA SDN Banjarbaru Utara 2, kelas
VA SDN Banjarbaru Kota 1, kelas VA SDN Sungai Besar 2, dan kelas VA SDN
Loktabat 1. Penelitan dilaksanakan pada September 2011. Faktor-faktor internal yang
dikontrol adalah kemampuan awal siswa dan materi yang disajikan, proses belajar
sama, memberikan perlakuan yang berbeda sesuai dengan model yang digunakan
pada kelas dari sekolah yang berbeda, dan situasi pembelajaran sealamiah mungkin.
Penelitian menggunakan sejumlah perangkat pembelajaran, instrumen
penilaian, dan instrumen pengamatan. Proses IPA diperoleh dari tes awal dan tes
akhir pada pembelajaran. Proses IPA masing-masing model pembelajaran diperoleh
dari lembar pengamatan keterampilan proses IPA. Rerata proses IPA dan pelaksanaan
model-model pembelajaran dianalisis secara deskriptif. Data keterlaksanaan model
melalui kategorikal yakni baik (76-100%), sedang (56-75%), kurang (40-55%) dan
buruk (< 40%) (Arikunto, 2005). Data hasil pretes dan posttes dianalisis
menggunakan teknik anacova.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Ada perbedaan kenaikan skor antara kelas eksperimen I dan kelas kontrol
yang ditunjukkan nilai 3.531 untuk model inkuiri dan 1.271 untuk kelas control
(Tabel 2). Penggunaan model pembelajaran inkuiri terhadap proses IPA berbeda
signifikan (F = 34.978; p = 0.000).
69
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 2. Nilai rerata pretes-postes model inkuiri
Uraian
Nilai rerata
Keterangan
Kenaikan (E)
Efektifitas (%)
Model Inkuiri
U1
U2
3.203
6.734
Buruk
Sedang
3.531
52.44
Kontrol
U1
3.814
Buruk
U2
5.086
Kurang
1.271
24.99
Keterangan : U1 = pretes dan U2 = postes. Kenaikan skor (E) adalah selisih skor pretes dan postes
(U2-U1). Tingkat efektifitas model pembelajaran adalah kenaikan skor masing-masing
model dikurangi dengan kenaikan skor pada kelas kontrol atau (E/U2) x100%.
Ada perbedaan kenaikan skor antara kelas eksperimen II dan kelas kontrol
yang ditunjukkan nilai 3.214 untuk model PBM dan 1.271 untuk kelas control (Tabel
3). Penggunaan model pembelajaran inkuiri terhadap proses IPA berbeda signifikan
(F = 24.636; p = 0.000).
Tabel 3. Nilai rerata pretes-postes model PBM
Uraian
Nilai rerata
Keterangan
Kenaikan (E)
Efektifitas (%)
Model PBM
U1
U2
3.625
6.839
Buruk
Sedang
3.214
46.99
Kontrol
U1
3.814
Buruk
U2
5.086
Kurang
1.271
24.99
Keterangan : U1 = pretes dan U2 = postes. Kenaikan skor (E) adalah selisih skor pretes dan postes
(U2-U1). Tingkat efektifitas model pembelajaran adalah kenaikan skor masing-masing
model dikurangi dengan kenaikan skor pada kelas kontrol atau (E/U2) x100%.
.
Ada perbedaan kenaikan skor antara kelas eksperimen I dan kelas kontrol
yang ditunjukkan nilai 2.629 untuk pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan
kelompok dan 1.271 untuk kelas control (Tabel 4). Penggunaan model pembelajaran
inkuiri terhadap proses IPA berbeda signifikan (F = 9.361; p = 0.030).
Tabel 4. Perhitungan Nilai Rerata Pretes-Postes Proses IPA
Uraian
Nilai rerata
Keterangan
Kenaikan (E)
Efektifitas (%)
Model Kooperatif tipe
Penyelidikan Kelompok
U1
U2
3.597
6.226
Buruk
Sedang
2.629
42.23
Kontrol
U1
3.814
Buruk
U2
5.086
Kurang
1.271
24.99
Keterangan : U1 = pretes dan U2 = postes. Kenaikan skor (E) adalah selisih skor pretes dan postes
(U2-U1). Tingkat efektifitas model pembelajaran adalah kenaikan skor masing-masing
model dikurangi dengan kenaikan skor pada kelas kontrol atau (E/U2) x100%.
70
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Pembahasan
Penerapan model inkuiri memiliki pengaruh signifikan terhadap keterampilan
proses IPA siswa SD. Dengan kata lain, model inkuiri lebih efektif bila dibandingkan
dengan model tradisional dalam meningkatkan proses IPA siswa SD pada konsep
kandungan zat makanan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nurjanah
dan Suwarna (2011) bahwa skor kelompok inkuiri (6.561) lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kelas kontrol (5.473) terhadap keterampilan proses IPA pada
konsep kalor berbeda signifikan (t hitung = 4.35 > t tabel = 2.00).
Model inkuiri lebih efektif daripada model tradisional dalam meningkatkan
proses IPA siswa. Model inkuiri lebih dapat melibatkan peserta didik secara aktif
dalam setiap tahapan proses sain selama kegiatan pembelajaran. Keterlibatan siswa
dalam setiap tahapan proses IPA dapat mengembangkan sebagian besar potensi siswa
secara optimal. Prinsip utama pelaksanaan pembelajaran menurut Djahiri (2002)
dalam Kunandar (2011) adalah proses keterlibatan seluruh atau sebagian besar
potensi diri siswa (fisik dan non fisik) dan kebermaknanya bagi diri dan
kehidupannya saat ini dan di masa yang akan datang.
Menurut Trianto (2007) model inkuiri merupakan model pembelajaran
inovatif yang berlandaskan konstruktivis. Guru yang menerapkan pembelajaran
inovatif yang berlandaskan paradigma konstruktivistik dapat membantu peserta didik
untuk menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru
sehingga dapat meningkatkan proses IPA. Penerapan model ini mendorong siswa
untuk membangun pengetahuan sendiri berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
Merrill (1991) dan Smorgansbord (1997) dalam Yulaelawati (2010) menyatakan
tentang konstruktivis bahwa pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau
pengetahuan yang telah ada sebelumnya.
Model inkuiri melatih siswa untuk menemukan sendiri konsep yang sedang
dipelajari dengan harapan siswa menjadi pembelajar yang mandiri. Hal ini sesuai
dengan pendidikan karakter kemandirian bahwa siswa tidak diberi ikan, tetapi dilatih
cara mengail untuk mendapatkan ikan. Jika siswa diberi ikan, siswa akan tergantung
kepada pemberi ikan setelah ikan dimakan habis. Namun, jika siswa dilatih cara
mengail, siswa akan mampu secara mandiri mendapatkan ikan sendiri.
Dalam model inkuiri, siswa tidak menerima informasi langsung dari guru
melainkan melalui suatu proses penemuan yang dilakukan secara berkelompok.
Siswa dilatih cara menemukan konsep sendiri dengan menggunakan keterampilan
proses IPA. Model inkuiri dalam proses kegiatan pembelajarannya memberikan
pengalaman secara langsung kepada peserta didik; dalam penelitian ini, dengan
memfasilitasi siswa melakukan percobaan tentang uji kandungan zat bahan makanan
sehingga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan
71
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
proses IPA. Dengan demikian siswa mampu membangun sendiri pengetahuannya
melalui serangkaian pengalaman selama pembelajaran, sehingga sebagian besar
potensi siswa dapat berkembang secara optimal.
Pembelajaran menggunakan model PBM lebih efektif bila dibandingkan
dengan model tradisional dalam meningkatkan proses IPA siswa SD pada konsep uji
kandungan zat makanan. Dengan memperhatikan pembelajaran dalam model PBM
dan komponen kemampuan berpikir kritis yang diharapkan, model PBM dapat
melatih kemampuan berpikir kritis siswa.
Ciri khas PBM adalah siswa mengajukan pertanyaan atau masalah. Menurut
Yazdani (2002) dalam Nur (2011), pembelajaran berdasarkan masalah menghasilkan
keterampilan pemecahan masalah. Dalam sintak PBM ini siswa melakukan kegiatan
melalui tahapan menghasilkan karya nyata dan memamerkannya. Pada model PBM
ini, hasil karya siswa adalah penuangan hasil pengamatan ke dalam tabel hasil
pengamatan buatan siswa sendiri. Kegiatan membuat tabel hasil pengamatan
memerlukan keterampilan berpikir tingkat tinggi bagi siswa SD.
Pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok lebih efektif bila
dibandingkan dengan model tradisional dalam meningkatkan proses IPA. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil peneltian Muhibbah (2009) bahwa rerata nilai
kelompok pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok (7.61) lebih tinggi
dari rerata nilai kelompok kontrol (7.01); perbedaannya signifikan (t hitung = 5.20 > t
tabel = 2.02) pada materi pokok sifat fisika, sifat kimia dan pemisahan campuran.
Model pembeajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok lebih efektif,
karena pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok dapat lebih melibatkan
peserta didik secara aktif dalam bekerjasama untuk melakukan investigasi
permasalahan dan informasi yang terkait dengan konsep yang sedang dipelajari. Sejak
tahap pembukaan pembelajaran, siswa sudah dilibatkan secara aktif dengan cara guru
bersama siswa mengidentifikasi topik permasalahan yang akan dipecahkan melalui
tahapan investigasi. Elemen penting model pembelajaran kooperatif yang dapat
melatih kemampuan berpikir kritis siswa adalah pembelajaran keterampilan sosial
yang menyangkut pembelajaran kepemimpinan, mengambil keputusan, membangun
kepercayaan, komunikasi, dan penanganan masalah secara bersama-sama. Slavin
(1995) mengemukakan bahwa model ini baik untuk melatih berbagai kemampuan
siswa, yaitu analisis, sintesis, dan mengumpulkan informasi untuk memecahkan
masalah.
Menurut Kiranawati (2007), penyelidikan kelompok merupakan salah satu
bentuk pembelajaran kooperatif yang menekankan pada partisipasi dan aktivitas
siswa untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari melalui
bahan-bahan yang tersedia, misalnya dari buku pelajaran atau buku siswa.
72
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok dapat melatih siswa
menumbuhkan kemampuan berpikir mandiri. Keterlibatan siswa secara aktif dapat
terlihat mulai dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran.
Keefektifan pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok lebih rendah
jika dibandingkan dengan model inkuiri dan PBM dalam penilaian proses IPA SD.
Hal ini disebabkan pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok lebih
menekankan pada proses kooperatif dalam kelompok dari pada pengembangan
keterampilan untuk memproses informasi dengan keterampilan proses IPA. Saran
terbaik adalah menggabungkan model inkuiri atau PBM dengan pembelajaran
kooperatif tipe penyelidikan kelompok, sehingga keterampilan siswa memproses
informasi dan bekerjasama dapat berkembang secara simultan.
Nilai rerata skor total proses IPA siswa setelah penerapan model inkuiri, PBM,
pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok masih termasuk kategori
sedang. Ada beberapa alasan penyebab nilai rerata belum mencapai kategori baik.
Instrumen soal-soal tes tertulis proses IPA masih memiliki kekurangan, sehingga
belum dapat mengukur proses siswa dengan tepat. Disadari oleh peneliti menyusun
soal instrumen tes tertulis proses IPA bukanlah hal yang mudah. Alasan lain adalah
penilaian proses IPA dalam bentuk pilihan ganda menurut Arikunto (2009) dalam
Mahmuddin (2010) memiliki kelemahan yakni cenderung mengungkapkan daya
pengenalan kembali dan memberi peluang tebakan. Kelebihannya adalah lebih
representatif mewakili isi dan luas bahan atau materi.
SIMPULAN DAN SARAN
1. Penerapan model inkuiri terhadap proses IPA siswa SD berpengaruh signifikan.
2. Penerapan model PBM terhadap proses IPA siswa SD adalah signifikan.
3. Penerapan pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok terhadap proses
IPA siswa SD juga signifikan.
4. Pengaruh model inkuiri terhadap kenaikan skor penilaian proses IPA tes tertulis
adalah paling tinggi yang kemudian disusul dengan model PBM, dan
pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok.
5. Disarankan bahwa
a) peneliti yang ingin mereplikasi penelitian pengaruh model inkuiri, PBM, dan
pembelajaran kooperatif tipe penyelidikan kelompok perlu teknik pengukuran
yang mengkombinasikan tes tertulis dan penilaian praktik proses IPA supaya
data yang diperoleh lengkap dan akurat,
b) hasil kombinasi model inkuiri, PBM dan pembelajaran kooperatif tipe
penyelidikan kelompok diharapkan menjadi pilihan utama bagi guru dalam
mengembangkan model pembelajaran yang lebih efektif.
73
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2005. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Bumi Aksara.
Depdiknas [Departemen Pendidikan Nasional]. 2003. Pedoman Penyelenggaraan
Program Percepatan Belajar SD, SMP dan SMA. Jakarta: Depdiknas.
Kunandar. 2011. Guru profesional: Implementasi KTSP
dan
menghadapi sertifikasi guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
persiapan
Kiranawati. 2007. Metode Investigasi Kelompok (Group Investigation). http:
//gurupkn.wordpress.com/ 2007/11/13/ metode-investigasi-kelompok-groupinvestigation/. Diakses tgl 13 November 2007).
Muhibbah. 2009. Pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe group
investigation (GI) terhadap prestasi belajar siswa kelas VII SMP Negeri 4
Malang. (http://library.um.ac.id/free-contents/index.php/pub/detail/ pengaruhpenerapan-model-pembelajaran-kooperatif-tipe-group-investigation-giterhadap-prestasi-belajar-siswa-kelas-vii-smp-negeri-4-malang-lulukmuhibbah-40043. html. Diakses 25 Februari 2012)
Nur, Mohamad, 2011. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya
Nurjanah dan Suwarna. 2011. Pengaruh penerapan model inkuiri terhadap
keterampilan proses IPA. (http://iwanps.wordpress. com/2011/01/04/ -modelpembelajaran-inkuiri-terhadap-keterampilan-proses-IPA-kps-pada-konsepkalor.diakses 23 September 2011)
Rampengan, 1981. Model-Model Mengajar Dalam Pendidikan IPA. Jakarta:
Penataran Lokakarya Tahap II Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Slavin, Robert E. 2005. Cooperative Learning. Diterjemahkan oleh Nurulita.
Bandung: Nusa Media
Sudibyo, Elok. (2003). Keterampilan Proses IPA. Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu
SLTP, Dit. PLP. Ditjen Dikdasmen, Depdiknas.
Trianto, 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivisti
Jakarta: Prestasi Pustaka.
Yulaelawati, Ella, 2010. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Pakar raya.
74
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
PENGEMBANGAN IKLAN DI TELEVISI SEBAGAI MEDIA
PEMBELAJARAN SISTEM PENCERNAAN TERHADAP
PENGUASAAN KETERAMPILAN PROSES SAINS
KOMUNIKASI SISWA SMP
Rina Herawaty Nihe
(Guru SMP Negeri 9 Banjarbaru)
Abstrak
Perkembangan iklan televisi yang menarik membuat konsumen atau penonton iklan
lebih berpikir untuk mencerna maksud iklan. Penelitian bertujuan mendeskripsikan
penguasaan keterampilan proses sains komunikasi, mengetahui kebermaknaan
pembelajaran terhadap hasil belajar produk siswa, mendeskripsikan respon siswa
terhadap iklan televisi yang dikembangkan sebagai media pembelajaran. Variabel
bebas berupa media iklan, sedangkan variabel terikat adalah penguasaan keterampilan
sains komunikasi. Untuk melihat keefektifan media yang dikembangkan diambil data
dari hasil validasi tim ahli media. Instrumen untuk mengetahui respon siswa berupa
angket respon siswa, soal tes awal dan tes akhir untuk hasil tes produk dan instrumen
keterampilan sains komunikasi untuk data penilaian terhadap keterampilan proses
sains komunikasi. Subjek uji lapangan I adalah 10 siswa kelas VIII D SMPN 9
Banjarbaru, sedangkan untuk uji lapangan II adalah siswa kelas VIII A dan VIII B
yang berperan sebagai kelas kontrol dan kelas eksperimen. Kelas eksperimen
menggunakan media iklan dan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share
(TPS) dengan jumlah siswa 34 orang. Hasil validasi dan respon siswa terhadap media
yang dikembangkan dianalisis deskriptif. Tes hasil belajar produk tentang materi
sistem pencernaan pada tes awal dan tes akhir dianalisis kovarian (Anacova). Hasil
penilaian keterampilan proses sains komunikasi dianalisis secara deskriprif kualitatif.
Keterampilan sains berkomunikasi tergolong baik. Penggunaan iklan televisi sebagai
media bermakna terhadap hasil belajar produk siswa. Siswa merespon positif
pembelajaran dengan media iklan televisi. Pembelajaran dengan media iklan perlu
dikembangkan, karena kemampuan siswa masih memungkinkan untuk ditingkatkan
sekalipun sudah tergolong baik. Banyak iklan lain yang masih berhubungan dengan
materi pelajaran IPA dapat dibuat sebagai media pembelajaran.
Kata kunci: televisi, media, audio, keterampilan, komunikasi, produk
PENDAHULUAN
Pembelajaran IPA di sekolah harus disajikan dengan cara menarik, efisien,
dan efektif (Depdiknas, 2007). Banyak faktor yang menentukannya. Salah satu yang
mendukung adalah tersedianya media yang memadai.
75
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Dalam kehidupan sehari-hari banyak media yang bisa diciptakan seorang guru
untuk mencapai tujuan pembelajarannya. Masih banyak guru yang menyampaikan
pembelajaran dengan media seadanya. Menurut Halimah (1998), pemanfaatan
sumber-sumber belajar seperti lingkungan alam, lingkungan buatan, masyarakat, nara
sumber dan media elektronik masih kurang.
Hasil angket yang disebarkan peneliti pada 25 guru kelas VIII yang mewakili
SMP/MTs negeri dan swasta di Banjarbaru menunjukkan bahwa dalam mengajarkan
materi IPA khususnya materi Sistem Pencernaan terdapat keterbatasan pemilihan
media. Keterbatasan guru dalam memilih media menyebabkan keterbatasan memilih
metode pembelajaran. Jika dibiarkan, pembelajaran IPA menjadi kurang bermakna.
Salah satu sumber belajar di lingkungan yang dapat dijadikan alternatif media
adalah televisi. Televisi adalah jenis media yang bersifat audio visual. Televisi sudah
sangat akrab dengan masyarakat termasuk siswa, bahkan sudah menjadi bagian
kehidupan sehari-hari. Menurut Dale dan Schoenhals (1975), media audio-visual
(pandang-dengar) memberikan pengalaman belajar yang lebih banyak kepada siswa.
Di antara berbagai macam program, yang paling sering diputar di televisi
adalah iklan. Perkembangan iklan televisi saat ini membuat konsumen atau penonton
iklan TV menjadi lebih berpikir untuk mencerna maksud dari iklan tersebut sehingga
menimbulkan kesan yang mendalam (Kusuma, 2008). Hal-hal yang ditampilkan
dalam iklan di televisi umumnya adalah contoh nyata masalah sehari-hari serta cara
singkat mengatasinya. Apabila mengaitkan pelajaran dengan iklan di televisi, maka
siswa lebih antusias dan daya ingatnya menjadi lebih kuat sehingga berdampak baik
pada hasil belajarnya (Press com.).
Penggunaan media yang menarik, efektif dan efisien merupakan salah satu
rangkaian untuk membelajarkan IPA secara utuh baik produk maupun proses.
Sebagai proses, IPA memiliki berbagai keterampilan sains. di antaranya adalah
keterampilan sains komunikasi secara tertulis dan lisan (Permen Diknas Nomor 23
Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan).
Menurut Susilo (2002), berkomunikasi adalah kegiatan berbagi informasi, ide,
pikiran dan hasil pengamatan dengan orang lain secara lisan, tulisan, atau sarana
tertentu. Nur (2002) menyatakan bahwa dapat menjelaskan ide-ide kepada orang lain
merupakan bagian penting dari hidup sehari-hari, apakah saat membaca buku,
menulis surat, maupun melihat program televisi. Setiap saat orang memberi pendapat
dan berbagi informasi. Siswa yang mempelajari IPA sebagai proses diharapkan dapat
mengkomunikasikan hasil belajar atau ide-idenya kepada orang lain.
Keterampilan berkomunikasi memerlukan banyak latihan agar siswa mampu
mengembangkannya. Banyak siswa mengalami kesulitan mengomunikasikan hasil
belajarnya (Press com.). Penelitian Pradikta (2008) menunjukkan bahwa kemampuan
76
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
berbicara siswa, salah satu bagian dari kemampuan berkomunikasi dapat ditingkatkan
dengan memanfaatkan media rekaman iklan televisi.
Kemampuan berkomunikasi awal siswa dapat dilatih dengan baik, jika iklan
yang digunakan berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari. Berdasarkan
hasil pengamatan, banyak iklan yang ditayangkan berhubungan dengan sistem
pencernaan manusia (Press com.). Materi pencernaan makanan di dalam silabus
merupakan salah satu kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa di kelas VIII
SMP/MTs. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana mengembangkan iklan di
televisi sebagai media pembelajaran materi sistem pencernaan terhadap penguasaan
keterampilan proses sains komunikasi siswa SMP.
METODE
Rancangan penelitian adalah The Counterbalanced Design (Campbell &
Stanley, 1996) (Tabel 1). Variabel bebas adalah media iklan dalam pembelajaran,
sedangkan variabel terikatnya penguasaan keterampilan sains komunikasi. Variabel
kontrol adalah jenis dan waktu tes, jumlah jam pelajaran, waktu belajar siswa,
kurikulum, model pembelajaran kooperatif tipe TPS, pelaksanan tes, dan guru.
Tabel 1. Model rancangan penelitian The Counterbalanced Design
Kelas
VIII A
VIII B
Kegiatan Pembelajaran
Materi 1
Materi 2
X1O
X0O
X0O
X2O
Keterangan: X1, X2 : Pembelajaran kelas eksperimen materi berbeda. X0: Pembelajaran kelas kontrol
O: Tes akhir
Subjek kegiatan uji lapangan I adalah kelompok kecil (10 orang) siswa kelas
VIII D SMPN 9 Banjarbaru, sedangkan uji lapangan II adalah siswa kelas VIII A dan
VIII B sebagai kelas kontrol dan kelas eksperimen. Kelas eksperimen menggunakan
media iklan dan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan jumlah 34 siswa.
Instrumen penelitian untuk melihat keefektifan media yang dikembangkan
diambil data dari hasil validasi tim ahli media. Instrumen untuk mengetahui respon
siswa berupa angket respon siswa, soal tes awal dan tes akhir untuk produk dan
instrumen keterampilan sains komunikasi untuk penilaian keterampilan proses sains
komunikasi. Hasil validasi dan respon siswa terhadap media yang dikembangkan,
dianalisis deskriptif. Tes hasil belajar produk dianalisis kovarian. Hasil penilaian
keterampilan proses sains komunikasi dianalisis secara deskriprif kualitatif.
77
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rerata penguasaan keterampilan sains komunikasi baik PBM 1 maupun PBM
2 yang berupa keterampilan membuat tabel tergolong baik (82%), membuat
pertanyaan tergolong baik (76%), dan membuat tulisan singkat tergolong sedang
(74,03%). Dengan demikian, keterampilan sains berkomunikasi tergolong baik.
Peningkatan hasil belajar pada pembelajaran 1 antara kelas kontrol dan kelas
eksperimen (dari 56,60 ke 62,53) berbeda secara signifikan (Fo = 46,80; Pr 0,0001).
Peningkatan hasil belajar pada pembelajaran 2 antara kelas kontrol dan kelas
eksperimen (dari 45,11 ke 65,46) juga berbeda signifikan (Fo = 52.69; Pr 0,0001).
Dengan menggunakan media iklan, 69 siswa (100%) menyatakan senang dan
sangat berminat belajar, 49 siswa (71%) menyatakan bahwa pembelajaran itu
merupakan hal baru dan sangat membantu, 20 siswa (29%) menyatakan pembelajaran
itu bukan hal baru tetapi membantu dalam belajar, 90% menyatakan membuat mereka
mengemukakan pendapat dalam kelompok, dapat berdiskusi dan mendengarkan
pendapat teman lain (96%) serta membuat siswa mampu memahami materi yang
disajikan (92%), 70% merasakan sangat bermanfaat dan 30% menyatakan cukup
bermanfaat bagi mereka.
Keterampilan proses sains komunikasi yang berupa membuat tabel, membuat
pertanyaan, dan membuat tulisan singkat mampu dikuasai siswa dengan kategori
baik, setelah siswa belajar mengamati media, menganalisis isi media, dan kemudian
saling berbagi ide dengan teman pasangan dan kelompoknya. Kegiatan siswa ini
sekaligus merupakan keterampilan kerja ilmiah.
Penelitian Widyawati (2010) memasukkan keterampilan berkomunikasi
sebagai variabel terikat dalam latihan inkuiri. Latihan inkuiri sejalan dengan
penelitian ini karena siswa menggali dan menemukan sendiri konsep pengetahuan
dengan terlebih dahulu mengamati dan mencermati media yang ditayangkan,
kemudian saling bertukar ide dengan teman tentang konsep-konsep yang ditemukan
pada tayangan iklan di media tersebut.
Rerata keterampilan membuat tabel tergolong baik (82%). Pembuatan tabel
pada awalnya membuat siswa agak bingung. Namun penggunaan iklan sebagai media
pembelajaran memasukkan konsep-konsep yang dapat dilihat langsung oleh siswa
sehingga mereka mampu mengklasifikasi terlebih dahulu dan dengan sedikit
bimbingan guru mereka dapat membuat tabel tersebut.
Keterampilan proses sains melibatkan keterampilan-keterampilan kognitif
atau intelektual, manual, dan sosial (Nur, 2002). Keterampilan proses sains
komunikasi merupakan wujud keterampilan sosial yang untuk mencapainya siswa
harus berinteraksi dengan guru atau temannya dan saling berbagi pendapat.
Keterampilan sosial menjadi hal penting dalam keterampilan proses sains
78
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
komunikasi, karena siswa berlatih menjadi pebelajar yang mampu mengemukakan
pendapat, mampu mendengarkan pendapat orang lain, terbuka terhadap kritik dan
saran, mampu bekerja sama dalam kelompoknya. Keterampilan sosial itu dicapai oleh
siswa melalui pembelajaran yang berinteraksi dengan media yang digunakan.
Penggunaan media iklan membantu penguasaan keterampilan sains
komunikasi siswa. Hal ini telah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Kartimi,2011:
media berbasis komputer, Nurgiyanto, 2011: media animasi computer, Riwayati,
2010: macromedia flash 8.). Media iklan tergolong media audiovisual sejalan dengan
media berbasis komputer. Penelitian menggunakan iklan televisi sebagai media
mencoba menjembatani antara masalah konkret dan abstrak. Masalah-masalah dalam
iklan yang ditayangkan merupakan konsep konkrit yang ditemui dalam kehidupan
sehari-hari. Alat-alat pencernaan manusia terutama bagian dalam merupakan konsep
yang tidak bisa dilihat langsung oleh siswa. Animasi yang menggambarkan alat-alat
pencernaan membantu siswa memahami konsep abstrak dengan contoh konkrit.
Keberhasilan penelitian secara kuantiatitf merupakan kumulatif penggunaan
media dan pendekatan kooperatif tipe TPS. Iklan yang dikembangkan sebagai media
memuat pesan berupa konsep yang akan disampaikan kepada siswa, penerima pesan.
Siswa mencermati media iklan dengan melihat, membaca, dan mendengar.
Berdasarkan kerucut pengalaman Dale dan Schoenhals (1975), siswa menyerap
pelajaran 50% dari yang dilihat dan yang didengar. Iklan yang dikembangkan sebagai
media tidak sekedar ditayangkan, tetapi dilengkapi instruksi-instruksi yang meminta
siswa mencermati, membaca, dan mendengarkan yang ditayangkan dengan baik
sehingga perhatian siswa lebih fokus. Ini yang menyebabkan hasil belajar siswa yang
menggunakan media iklan lebih baik daripada yang tidak menggunakannya.
Selain penggunaan media iklan, pembelajaran juga dibantu dengan model
kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS). Sintaks-sintaks pembelajaran tipe TPS
memungkinkan perhatian siswa lebih fokus dan siswa dapat bekerja teratur. Sintaks
ini tergambar jelas pada media dengan tayangan slide yang membimbing siswa secara
langsung baik pada tahap Think, tahap Pair, maupun tahap Share. Kelas kontrol juga
menggunakan tipe TPS ini dalam pembelajaran, namun hasilnya tidak sebaik kelas
eksperimen. Hal ini disebabkan tidak adanya media yang menjadi pusat perhatian
siswa. Bimbingan terhadap kerja siswa juga hanya dari guru yang berkeliling kelas,
tidak didapatkan secara teratur seperti bimbingan yang tertera pada media.
Penggunaan model kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) juga
memungkinkan siswa saling berinteraksi berdiskusi dengan pasangannya atau dalam
kelompoknya terutama pada tahap Pair dan Share. Kedua tahapan ini memberi
kesempatan kepada siswa untuk saling berbagi pendapat. Sejalan dengan kerucut
pengalaman Dale dan Schoenhals (1975), siswa akan belajar 70% melalui yang
79
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
dikatakan dan yang ditulis. Setelah mengamati iklan, siswa mendiskusikan dengan
pasangan kelompoknya kemudian menuliskan hasil diskusi mereka. Siswa
mengatakan kepada pasangannya apa yang ada dalam pemikiran mereka, gagasan
atau jawaban dari suatu pertanyaan. Keterampilan proses sains komunikasi secara
tertulis dilakukan siswa pada saat menyelesaikan tugas yang ada pada Lembar
Kegiatan Siswa dan pada tayangan media yang digunakan. Kegiatan ini melatih
keterampilan proses sains komunikasi siswa baik secara lisan maupun tertulis.
Respon siswa seperti positif terhadap media iklan yang digunakan dalam
pembelajaran. Siswa sangat senang, karena pembelajaran tidak membosankan.
Materinya adalah contoh nyata keseharian, sehingga bersifat konstekstual. Media
memudahkan siswa memahami materi pelajaran, karena dalam iklan memuat konsep
yang akan dicapai. Siswa yang mengatakan bahwa media iklan bukan hal baru, tetapi
membantu dalam belajar (29%) adalah siswa yang pernah diajari bahwa bila di rumah
mengamati iklan-iklan yang berhubungan dengan sistem tubuh manusia.
Penggunaan media iklan yang memuat langkah-langkah pembelajaran secara
teratur membuat siswa harus berkomunikasi dengan siswa lain. Mereka berbagi ide
dan pendapat untuk menyelesaikan tugas. Walaupun banyak tugas yang harus
diselesaikan dalam bentuk tulisan, mereka membagi hasil diskusi secara lisan. Prosesproses siswa berbagi ide, pendapat dan menuliskan pendapat merupakan proses untuk
menguasai keterampilan proses sains komunikasi.
SIMPULAN DAN SARAN
1. Rerata keterampilan membuat tabel tergolong baik, membuat pertanyaan
tergolong baik, dan membuat tulisan singkat tergolong sedang. Dengan kalimat
lain, keterampilan sains berkomunikasi tergolong baik.
2. Peningkatan hasil belajar pada pembelajaran 1 dan juga 2 baik antara kelas
kontrol maupun kelas eksperimen berbeda signifikan. Penggunaan iklan televisi
sebagai media bermakna terhadap hasil belajar produk.
3. Siswa merespon positif pembelajaran dengan menggunakan media iklan televisi.
4. Pembelajaran menggunakan media iklan masih perlu dikembangkan, karena
kemampuan siswa memungkinkan ditingkatkan sekalipun sudah tergolong baik.
5. Pembelajaran ini perlu diterapkan pada kelas lain sebelum dijadikan model
pembelajaran, khususnya di SMP Negeri Banjarbaru.
6. Banyak iklan lain yang berhubungan dengan pelajaran IPA dapat dijadikan media
pembelajaran.
7. Nama produk yang tercantum dalam tayangan/slide hendaknya dikaburkan atau
ditutupi, sehingga tidak muncul.
80
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
DAFTAR PUSTAKA
Champbell, D.T. dan J. Stanley, 1996. Experimental and Quasi Experimental Design
for Research on Teaching. Dalam N.L. Gage (penyunting). Handbook of
Research on Teaching.A Project of the American Educational Research
Association. Departemen of The National Education Association. Chicago.
Dale, E. dan L. Schoenhals. 1975. A Self-Instructional Guide to Edgar Dale’s Core of
Experience. Schoenhals Publisher
Depdiknas. 2007. Model Pembelajaran IPA Terpadu. Jakarta
Halimah, L.1998. Kemandirian Profesional Guru dalam Pemanfaatan Lingkungan
sebagai Sumber Belajar. Jurnal Penelitian Pendidikan Dasar No: 5 Tahun III.
Depdikbud.
Kartimi. 2011. Pengembangan Model Pembelajaran Interaktif Berbasis Komputer
Sebagai Wahana Pendidikan Siswa SLTP.Cirebon: Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri Cirebon.
Kusuma, W. 2008. Pesan Pendidikan dalam Iklan
//scooteris.multiply.com/feed.rss. Diakses: 7 Mei 2010.
Rinso.
http:
Nur, M. 2002. Buku Panduan Keterampilan Proses dan Hakikat Sains. Program
Pasca Sarjana Unesa. Surabaya: University Negeri Surabaya Press.
Nurgiyanto, Heru. 2011. Penerapan Pembelajaran Siklus Belajar Berbantuan Media
Animasi Komputer untuk Meningkatkan Keterampilan Kerja Ilmiah dan Hasil
Belajar IPA Siswa Kelas VIII-H SMP Negeri 4 Kepanjen Kabupaten Malang.
Tesis Program Studi Pendidikan Dasar, Pendidikan IPA Terpadu (tidak
dipbulikasi). Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang.
Pradikta, R.I. 2008. Peningkatan Kemampuan Berbicara melalui Kegiatan Bermain
Peran Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Srengat Kabupaten Blitar dengan
Menggunakan Media Rekaman Iklan TV. Abstrak. Diakses: 7 Mei 2010.
Riwayati, Kristien Endah. 2010. Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa
Kelas VIII SMPN 2 Pare melalui Pembelajaran Berbantuan Macromedia
Flash 8, Tesis, Program Pascasarjana, Program Studi Pendidikan Dasar, (tidak
dipublikasi). Malang: Universitas Negeri Malang
Susilo, H. 2002. Kerja Ilmiah Komunikasi. Materi Pelatihan Terintegrasi Guru
Biologi SLTP. Jakarta: Depdiknas.
Widyawati, R. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Latihan Inkuiri untuk
Meningkatkan Keterampilan Proses Sains dan Hasil Belajar Siswa Kelas VII3 SMPN 1 Tanjunganom, Nganjuk. Skripsi Program Studi Pendidikan Fisika,
Jurusan Fisika FMIPA (tidak dipublikasi). Malang: Universitas Negeri
Malang.
81
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
AKUMULASI TIMBAL (Pb) DAN STRUKTUR DAUN
ANGSANA (Pterocarpus indicus Willd) SEBAGAI
TUMBUHAN PENEDUH JALAN DI KOTA BANJARMASIN
Sri Amintarti
(Dosen S1 dan S2 Pendidikan Biologi Universitas Lambung Mangkurat)
Abstract
Angsana is roadside plant planted in Banjarmasin. It has compound leaves with
enough dense canopy that is expected to be agents for the bioremediation of
pollutans, especially metals Pb. This research aims to determine the potential of
plants angsana to absorb and accumulate heavy metals Pb, also to know the structure
of the leaf angsana related to its function as roadside plant. The method used is
descriptive that is observations directly to the field with determine the 3 research sites
namely A.Yani street, Belitung street and Kapten Tendean street. From each street is
selected 5 angsana tree. Leaf samples taken from each tree for its Pb content was
analyzed using AAS (Atomic Absorption Spectrophotometery) and were total
chlorophyll analyzed using aspectrophotometer (UV-vis). Measured leaf structure
includes leaf area and number of stomata. The results showed that the leaf angsana
growing at A.Yani street Belitung street dan Kapten Tendean street undetectable
levels of Pb metal, while the total amount of chlorophyll ranged 70.4673-93.9153
mg/l. The structure of leaf surface angsana slippery, with leaf area ranged from
255.72-314.41 cm2 and the number of stomata ranged from 304-384 piece
Key word: lead (Pb), angsana, roadside,
PENDAHULUAN
Polusi udara umumnya terjadi di kota-kota besar yang menjadi pusat industri
dan banyak kendaraan bermotor. Peningkatan suhu udara merupakan salah satu
parameter terjadinya polusi udara. Hal ini dapat dirasakan oleh masyarakat Kota
Banjarmasin dan kota-kota lainnya terutama pada jam-jam tertentu. Jumlah
kendaraan meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk kota ini.
Emisi gas dari kendaraan bermotor merupakan salah satu penyebab terjadinya
pencemaran udara, karena di dalam gas buangan mengandung bahan-bahan beracun
yang berasal dari logan berat; di antaranya Pb. Logam ini dapat masuk dalam tubuh
manusia melalui gas yang terhirup. Setiawan (2009) menyatakan manusia menyerap
Pb melalui udara, debu, air, dan makanan. Salah satu penyebab kehadiran Pb adalah
pencemaran udara. Kegiatan transportasi darat menghasilkan bahan pencemar seperti
gas CO2, NOx, hidrokarbon, SO2, dan tetraethyl lead yang merupakan bahan logam
82
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
timah hitam yang ditambahkan ke dalam bahan bakar berkualitas rendah untuk
menaikkan nilai oktan.
Emisi Pb yang masuk ke dalam atmosfir bumi dapat berbentuk gas atau
partikel. Emisi Pb dalam bentuk gas terutama berasal dari buangan gas kendaraan
bermotor. Emisi ini merupakan hasil samping pembakaran yang terjadi di dalam
mesin-mesin kendaraan serta berasal dari senyawa tetrametyl Pb dan tetraethyl Pb.
Kedua senyawa ini selalu ditambahkan ke dalam bahan bakar kendaraan bermotor
sebagai antiknock pada mesin-mesin kendaraan.
Di dalam pembakaran, masuknya Pb pada mesin menyebabkan jumlah Pb
yang dibuang ke udara sangat tinggi. Berdasarkan perkiraaan sekitar 80-90% Pb di
udara berasal dari pembakaran bensin dan konsentrasinya tidak sama antara satu
tempat dan tempat lainnya karena tergantung dari kepadatan kendaraan bermotor
(Setiawan, 2009).
Berdasarkan uji emisi kendaraan bermotor di Banjarmasin yang dilakukan
Pemko Banjarmasin dan Kementrian Lingkungan Hidup, 70% kendaraan berbahan
bakar solar dan 25% kendaraan berbahan bakar bensin tidak lulus uji emisi. Dari 527
kendaraan yang diuji, hanya sekitar 30% dinyatakan lulus dan sesuai standar
(Anonim, 2009b).
Emisi Pb di udara yang berasal dari kendaraan bermotor dapat dihilangkan
bila bahan bakarnya bebas Pb. Hal ini perlu diupayakan mengingat besarnya dampak
yang ditimbulkan Pb terhadap manusia. Cara lain adalah mereduksi Pb di udara
adalah penggunaan tumbuhan sebagai bioremediasi. Menurut Larcher (1994) dalam
Sembiring dan Sulistyawati (2006), tumbuhan dapat dikatakan sebagai agen
bioremediasi untuk mereduksi polusi Pb di udara, bila mampu menyerap Pb dan tidak
menunjukkan gejala kerusakan signifikan.
Taman kota ataupun hutan kota sudah saatnya dikembangkan terutama di
kota-kota besar yang sarat dengan polusi. Taman dan hutan kota selain berfungsi
untuk keindahan dan kenyamanan, juga berfungsi sebagai paru-paru yang dapat
membersihkan udara dari bahan pencemar yang dihasilkan oleh aktivitas industri dan
kendaraan bermotor. Semakin padat penduduk serta semakin kotor dan panas udara
menandakan semakin meningkat polusi udara.
Pertambahan penduduk biasanya diikuti dengan perkembangan industri dan
jumlah kendaraan bermotor yang tujuannya untuk kesejahteraan manusia. Tanpa
disadari semua aktivitas itu menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Hutan
kota dan ruang terbuka hijau (RTH) merupakan solusi praktis mengatasi polusi udara.
Hutan kota juga berfungsi sebagai daerah resapan.
83
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Kota Banjarmasin baru memiliki RTH 22% dari luas kota (72 km2). Bila batas
minimal RTH kota 30%, Banjarmasin masih kekurangan RTH 8% (Anonim, 2009b).
Banjarmasin merupakan kota yang memiliki arus lalu lintas cukup padat.
Angsana merupakan tumbuhan peneduh jalan yang banyak dijumpai di
sepanjang jalan Banjarmasin. Tumbuhan ini mudah dikembangbiakan, mudah
tumbuh, dan cepat menghasilkan biomasa. Angsana yang berdaun majemuk dan
berkanopi rimbun diharapkan dapat menyerap logam Pb. Respon tumbuhan yang
dapat mereduksi Pb dari udara perlu dikaji. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah
apakah angsana mampu menyerap Pb serta bagaimana struktur daun angsana.
METODE
Penelitian dilaksanakan di Banjarmasin selama 6 bulan (Maret-Agustus 2011).
Kandungan Pb diuji di laboratorium Balai Pengembangan Teknologi dan Konstruksi
Dinas PU Banjarmasin. Kandungan klorofil diui dan struktur anatomi daun angsana
diamati di Laboratorium PMIPA FKIP Unlam.
Sampel daun diambil dari angsana Jalan A. Yani, Jalan S. Parman, dan Jalan
Kapten Tendean. Jumlah kendaraan di tiga lokasi itu dihitung tiga kali sehari, yaitu
pada pagi, siang dan sore hari. Setiap waktu itu selama satu jam dan secara
keseluruhan selama 3 hari.
Kadar Pb diukur melalui pemanasan sampel daun dalam oven bersuhu 70 °C
hingga didapat berat kering konstan. Sampel daun hasil pengeringan diabukan dalam
furnace bersuhu 600 °C selama 1 jam. Abu daun diberi HNO3 pekat (65%) dan
akuades masing-masing sebanyak 5mL, dipanaskan, dan ditambah air sampai tanda
batas 25 mL. Larutan tersebut diukur kadar Pb nya dengan Atomic Absorption
Spectrophotometery (AAS). Kadar Pb di dalam daun dihitung dengan rumus
Cy'= Cy × V/ W
Dalam hal ini: Cy’ = kandungan Pb pada jaringan daun (μg/g), Cy = konsentrasi Pb
terukur pada AAS (μg/mL), V = volume pengenceran (mL), W = berat
kering daun (g)
Jumlah stomata dihitung melalui pengecatan permukaan bawah-daun dengan
cutex bening, sehingga diperoleh lapisan cetak stomata. Setelah mengering lapisan
disobek agar diperoleh luasan (1 x 1) cm2. Lapisan bening diamati dibawah
mikroskop binokuler (perbesaran 100 x).
menghitung luas daun angsana, kertas kalkir (1 x 1) cm² dibentuk dan
ditimbang beratnya. Potongan bujur sangkar ini akan menjadi standar untuk
mengukur luas daun. Pola setiap helai daun digambar pada kertas kalkir dan
ditimbang beratnya.
84
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Luas masing-masing daun diukur dengan rumus:
A = Wt/ Wi
Dalam hal ini: A = luas daun (cm²); Wt = berat kertas dari masing-masing sampel
daun (g); Wi = berat kertas yang dijadikan standar (g)
Kandungan klorofil diperoleh dari 5 pohon sampel. Kandungan klorofil total
diukur dengan cara menimbang 1 g sampel daun dan mengekstraksinya dengan 10 ml
aseton 80% setelah menggerusnya dalam mortar sampai seluruh klorofil terlarut.
Larutan yang diperoleh dimasukkan pada tabung kuvet spektofotometer (UV–vis).
Absorbansi diukur dengan menggunakan optical density 645 dan 663 nm dengan
banko aseton 80% Kandungan klorofil total dihitung dengan rumus:
Klorofil total (g/mL) = 20,2 A645 + 8,02 A663
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Rerata jumlah kendaraan yang lewat pada 3 ruas jalan mulai dari terpadat,
sedang, hingga kurang padat disajikan pada Tabel 1. Di daun angsana dari tiga lokasi
tidak terdeteksi polutan udara berupa logam Pb.
Tabel 1. Hasil pengukuran akumulasi Pb dan struktur daun angsana dari 3 lokasi
No.
Parameter
1 Kepadatan lalu lintas (kendaraan/jam)
2 KandunganPb daun angsana ( pm)
3 Jumlah stomata
4 Luas daun (cm2)
5 Kadar kolorofil (mg/l)
Keterangan: Tt : Tidak Terdeteksi
Jl A.Yani
7961
Tt
375
314,41
93,9153
Jl Belitung Jl. Tendean
3555
1002
Tt
Tt
384
304
255.72
285,75
89,7484
70,4673
Rerata jumlah stoma terbanyak diperoleh dari Jl. Belitung yang disusul
kemudian dari Jl. A. Yani dan Jl. Kapten Tendean. Daun majemuk terluas diperoleh
pada angsana yang tumbuh di Jl. A. Yani, sedangkan tersempit pada angsana Jl.
Belitung. Pengukuran klorofil daun dilakukan hanya untuk mengetahui kadar klorofil
total pada daun tumbuhan angsana dari masing –masing lokasi penelitian. Kadar
klorofil-total tertinggi berasal dari angsana Jl. A. Yani, sedangkan terendah dari
angsana Jl. Tendean.
Pembahasan
Kemampuan tanaman dalam menyerap Pb dipengaruhi keadaan permukaan
daun. Daun yang berbulu (pubescent) atau daun yang permukaannya kesat (berkerut)
85
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
mempunyai kemampuan lebih tinggi dalam menyerap Pb daripada daun yang
mempunyai permukaan lebih licin dan rata (Hendrasarie, 2007). Selanjutnya
Strakman dalam Hendrasarie (2007) menyatakan bahwa kemampuan daun tanaman
menyerap suatu polutan dipengaruhi oleh karakteristik morfologi daun, seperti ukuran
dan bentuk daun, adanya rambut di permukaan daun, serta tektur daun.
Secara umum kemampuan menyerap partikel Pb di udara pada setiap jenis
tanaman berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh kerapatan dan ukuran stomata.
Partikel Pb yang melayang layang di udara akan terakumulasi ke dalam tanaman
melalui celah stomata dan akan menetap di dalam jaringan daun antara celah sel
jaringan pagar (pallisade) dan jaringan bunga karang (spongi tissu) (Rachmawati,
2005).
Kemampuan tanaman menyerap Pb dari udara dipengaruhi oleh bentuk
kimiawi Pb. Senyawa Pb dapat diserap melalui adsorpsi atau absorpsi. Pada adsorpsi,
Pb yang terlepas dari kendaraan bermotor hanya melekat pada bagian permukaan akar
gantung, daun, dan batang. Adsorpsi Pb pada komponen tanaman ini hanya
berdasarkan pada interaksi senyawa Pb dengan komponen tanaman (kohesi). Jika
terkena air hujan, Pb dalam bentuk garam halida akan terlepas dari komponen
tanaman tersebut dibandingkan dengan bentuk oksida. Pada absorpsi, Pb akan masuk
dan terserap ke dalam jaringan tanaman melalui akar gantung maupun stomata daun.
Pb yang terabsorpsi tidak terlepas dari jaringan tersebut (Lubis dan Suseno, 2002).
Angsana mempunyai daun majemuk menyirip gasal dengan 5 atau lebih anak
daun. Permukaan daun bagian atas licin, sedangkan permukaan bawah mempunyai
trikoma yang jumlahnya sangat sedikit. Struktur daun demikian menyebabkan daun
angsana tidak terdeteksi mengandung Pb. Anak daun yang tidak luas dan permukaan
licin menyebabkan polutan mudah tercuci oleh air hujan. Penelitian ini dilakukan
pada bulan Maret 2011 dan pada bulan tersebut Banjarmasin masih diguyur hujan.
Wajar apabila Pb di udara terbawa oleh air hujan. Menurut Palar (1994), Pb dapat
masuk ke badan perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan.
Wedling dalam Suhadiyah dkk (2011) menyatakan bahwa partikel-partikel
logam berat yang menempel pada permukaan daun akan tercuci oleh hujan. Hujan
juga dapat menurunkan konsentrasi kadar partikel Pb yang melayang-layang di udara,
sehingga dapat mencuci partikel higroskopis berukuran 20-30 mm serta debu-debu
berukuran lebih kecil lagi. Selanjutnya Suhadiyah dkk (2011) mengatakan bahwa
keadaan udara lebih kering dengan suhu yang cenderung meningkat, angin yang
bertiup lambat, serta curah hujan rendah meningkatkan polutan, karena tidak terjadi
pengenceran polutan di udara.
Angsana mampu dengan cepat menghasilkan biomasa dan mempunyai tajuk
cukup rimbun yang dibentuk oleh daun-daun majemuk yang mudah bergerak bila
86
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
tertiup angin. Kondisi ini memengaruhi kemampuan angsana untuk menyerap partikel
Pb di udara. Angsana pun cocok sebagai tumbuhan peneduh jalan, karena
percabangannya lentur serta tidak mudah patah bila diterpa oleh angin. Bunganya
indah dan buah tidak terlalu besar. Anonim (2008) menyatakan bahwa syarat pohon
peneduh jalan adalah mudah tumbuh pada tanah padat, tidak mempunyai akar besar
di permukaan tanah, tahan terhadap hembusan angin kuat, dahan dan ranting tidak
mudah patah, pohon tidak mudah tumbang, buah tidak terlalu besar, serasah yang
dihasilkan sedikit, tahan terhadap pencemar dari kendaraan bermotor dan industri,
mudah menyembuhkan diri dari luka akibat benturan kendaraan, cukup teduh tetapi
tidak terlalu gelap, kompatibel dengan tanaman lain, daun, bunga, buah, batang dan
percabangannya secara keseluruhan indah.
Kemampuan penjerapan partikel Pb oleh tanaman tergantung pada sifat
permukaan daun dan tingkat kerapatan tajuknya. Sifat permukaan daun (licin atau
kesat, lentur atau kakil. berambut halus di permukaan daun atau tidak) sangat
memengaruhi jumlah partikel Pb yang tertangkap. Tingkat kerapatan tajuk jenis
pohon dapat memengaruhi jumlah patikel Pb yang menempel di permukaan daun
(Anonim, 2008).
Tidak terdeteksinya Pb menyebabkan tumbuhan tidak mengalami gangguan
pertumbuhan. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah stoma, luas daun, dan jumlah
klorofil yang tidak terpengaruh oleh jumlah kendaraan yang lewat. Angsana di Jl. A.
Yani dengan jumlah kendaraan lewat terbanyak mempunyai jumlah stomata rerata
375 dalam setiap luas bidang pandang, luas daun 314,41cm2, dan jumlah klorofil
93,9153 mg/l. Demikian juga angsana di Jl. Belitung. Angsana yang ditanam di Jl.
Tendean dengan jumlah kendaraan yang lewat rerata 1.002 setiap jam tidak
menunjukkan pertumbuhan daun yang lebih baik dibandingkan dengan angsana Jl. A.
Yani dan Jl Belitung. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan pohon angsana tidak
dipengaruhi oleh padatnya lalu lintas dan jumlah polutan yang dihasilkan.
Jumlah dan ukuran stoma pada daun akan berpengaruh terhadap CO2 dan O2
yang berdifusi pada mesofil daun, walaupun stoma dapat membuka dan menutup.
Jumlah stoma akan mempengaruhi difusi CO2 untuk fotosintesis. Jumlah stoma yang
lebih banyak pada daun angsana di Jl. A. Yani akan berdampak pada laju fotosintesis
yang lebih baik dibandingkan dengan daun angsana di Jl. Tendean.
Seperti halnya jumlah stoma, jumlah klorofil juga mempengaruhi laju
fotosintesis karena pigmen ini berperan dalam penangkapan energi radiasi. Klorofil
total di ketiga lokasi penelitian menunjukkan jumlah yang berbeda. Berkaitan dengan
laju fotosintesis maka jumlah klorofil total pada tumbuhan akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan vegetatifnya.
87
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
SIMPULAN DAN SARAN
Pada daun angsana di tiga lokasi penelitian tidak terdeteksi logam berat Pb.
Angsana itu mempunyai struktur daun dengan permukaan licin, jumlah stoma 304384 buah, luas daun 255,72 _ 314,41cm2, dan jumlah klorofil total 70,467393,9153mg/l, sehingga memenuhi syarat sebagai tumbuhan peneduh jalan.
Perlu penelitian pembanding untuk mengetahui keefektifan daya serap daun
angsana terhadap polutan Pb di musim kemarau.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Manfaat Hutan. http://greenlumut.wordpress.com/2008/04/10/
manfaat-hutan/2-2 .15 Oktober 2011.
Anonim. 2009b. Banjarmasin Post, 28 Nopember 2009.
Hendrasarie ,N. 2007. Kajian Efektifitas Tanaman dalam Menjerap Kandungan Pb di
Udara. Jurnal Rekayasa Perencanaan, (3)2:. Teknik Lingkungan – FTSP –
UPN
“Veteran”
Jatim,
http://eprints.upnjatim.ac.id/1294/1/TLNovirina_32.pdf. 8 Oktober 2011.
Lubis, E dan H. Suseno. 2002. Penyerapan Pb oleh Tanaman Bergantung Pusat
Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif. http://www.google.co.id. 8
Oktober 2011.
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta.
Rachmawati, D.S. 2005. Peranan Hutan Kota dalam Menjerap dan Menyerap Pb (Pb)
di Udara Ambien. (Studi Kasus di Jalan Tol Jagorawi Bogor). Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. http://endesdahlan.staff.ipb.ac.id/files/2011/01/Dwi-SantiRachmawati- E03400042.pdf. 15 Oktober 2011.
Sembiring,E dan E. Sulistyawati. 2006. Akumulasi Pb dan Pengaruhnya pada Kondisi
Daun Swietenia macrophylla King. Makalah pada Seminar Nasional
Penelitian
Lingkungan
PT
di
ITB
17-18
Juli
2006.
Http://Www.Sith.Itb.Ac.Id/Profile/Databuendah/Publications/Ebinthalina_IA
TPI2006.Pdf. 15 Oktober 2011.
Setiawan, W. 2009. Pencemaran Pb.
pencemaran-pb-Pb. 16 Juli 2011
http://www.scribd.com/doc/51140431/168-
Suhadiyah, S. Leong S. Surni. 2011. Studi Adsorbsi Pb (Pb) pada Kulit Batang
Kersen (Muntingia calabura) dan Glodogan Tiang (Polyathia longifolia Bent
& Hook. F. var Pendula) di Makassar, Sulawesi Selatan. FMIPA-UNHAS
88
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
PENGARUH PEMBERIAN PELLET IKAN INKONVENSIONAL
TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis
niloticus)
Suriani
(Guru SMP Negeri 6 Banjarmasin)
Abstrak
Penelitian bertujuan menguji pengaruh pemberian pellet ikan inkonvensional
terhadap bobot ikan nila, konversi pakan, efesiensi penggunaan pakan, dan
pendapatan yang diterima (IOFC). Rancangan Acak Lengkap (RAL) digunakan.
Perubahan yang diamati adalah bobot ikan, konversi pakan, efesiensi penggunaan
pakan, IOFC, dan faktor lingkungan. Berdasarkan pada bobot ikan, konsumsi pakan,
konversi pakan, gizi pakan, pendapatan petani ikan, dan faktor lingkungan yang
mendukung, perlakuan P3 yang merupakan kombinasi 40%, tepung ikan + 30%,
eceng gondok + 25%, air cucian beras + 5%, minyak ikan direkomendasikan
digunakan dan dapat bersaing dengan pakan buatan pabrikan. Kualitas nutrisi pakan
baik, biaya lebih murah Rp3.600/kg, konversi pakan mencapai 3,42, biaya pakan Rp
12.321, serta pertumbuhan bobot tubuh cenderung lebih tinggi 13,72 g.ekor-1
dibandingkan pakan jadi asal pabrikan, dan menghasilkan keuntungan (IOFC)
tertinggi Rp10.688/kg.
Kata kunci: inkonvensional, bobot, pakan, konversi, keuntungan (IOFC).
PENDAHULUAN
Budidaya ikan nila tergantung pada kecukupan pakan, baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya. Pakan ikan yang tersedia di pasaran cukup banyak, akan tetapi
harganya mahal dan kurang terjangkau oleh petani ikan. Oleh karena itu perlu dicari
alternatif formula pakan ikan nila yang berasal dari campuran bahan-bahan potensial
yang bernilai gizi baik, banyak tersedia di lingkungan dan terjangkau harganya.
Permasalahan petani ikan khususnya ikan nila saat ini adalah harga pakan.
Jika komponen harga pakan ikan dapat ditekan, maka akan membantu keuntungan
bagi petani ikan. Menekan komponen pakan mampu memberi nilai tambah bagi
petani ikan dan meningkatkan keuntungan usaha, karena efisiensi harga pakan ikan
(Carman dan Sucipto, 2009).
Lingkungan di sekitar kita banyak sumber pakan inkonvensional yang belum
digali ataupun diolah menjadi bahan pakan ikan bermutu, seperti eceng gondok,
azolla pinnata, ducweed, atau limbah air cucian beras. Eceng gondok dan sejenisnya
selama ini dikenal sebagai gulma atau tanaman pengganggu serta dapat mencemari
89
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
kolam ikan karena pertumbuhannya yang cepat, mendangkalkan kolam, menghambat
penetrasi cahaya matahari dalam air dan menggangu transportasi air (Widyanto,
1980).
Minyak hewani seperti minyak ikan diduga dapat meningkatkan nafsu makan
ikan. Minyak ikan diperlukan sebagai aroma dalam pakan ikan, sehingga ikan lebih
menyukai pakan (pellet). Minyak ikan juga mampu meningkatkan kandungan energi
pakan atau meningkatkan kepadatan energi untuk mencapai bobot yang tinggi
(Estiasih, 2009).
Pembuatan pakan ikan dengan bahan pakan inkonvensional (eceng gondok,
air cucian beras, minyak ikan) dan bahan pakan konvensional (tepung jagung, tepung
ikan) diharapkan mampu menekan harga pakan ikan dengan tetap mempertahankan
kualitas nutrisi sesuai fase pertumbuhannya. Pembuatan pakan nila dengan metode
inkonvensional diharapkan mampu menstimuli pertumbuhan nila dengan cepat
melalui penambahan minyak ikan dan mendapatkan bobot panen ikan nila yang baik
dengan pengeluaran biaya pakan yang lebih efisien (murah) dibanding biaya pakan
pellet pabrik. Ini akan mampu meningkatkan keuntungan atau income over feed cost
(IOFC) usaha budidaya nila oleh peternak ikan. Peranan pakan ikan dalam suatu
budidaya dapat ditinjau dari beberapa aspek seperti biologi dan bisnis.
Berdasarkan aspek biologis, pakan ikan sangat dibutuhkan untuk kehidupan,
pertumbuhan dan reproduksi. Dari aspek bisnis, pakan ikan merupakan komponen
biaya terbesar dalam usaha perikanan. Sekitar 40-60% biaya produksi dialokasikan
untuk biaya pakan; artinya, pemberian pakan ikan sangat berpengaruh terhadap besar
kecilnya keuntungan yang diperoleh petani ikan (Nugroho, 2008).
METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Basah Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Lambung Mangkurat. Alamat Jalan Unlam III Kotak Pos 6
Banjarbaru 70714. Rancangan percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4
perlakuan dan 5 kali ulangan. Pellet ikan inkonvensional dibuat dari berbagai
kombinasi pakan nila yaitu air cucian beras, eceng gondok, minyak ikan, jagung, dan
tepung ikan.
Perlakuan penelitian meliputi:
P1: Pellet pakan ikan komersial 100% (kontrol) diperoleh dari Sinar Intan SCA-2.
Pakan Ikan Terapung. PT Matahari, Surabaya.
P2: Pakan dari tepung ikan 40%, tepung jagung 30%, air cucian beras 25% dan
minyak ikan 5%. Formula ini didasarkan pada tabel ramuan makanan buatan
untuk benih ikan.
90
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
P3: Pakan dari tepung ikan 40%, tepung eceng gondok 30%, air cucian beras 25 %
dan minyak ikan 5%.
P4: Pakan dari tepung ikan 40%, tepung jagung 15%, tepung eceng gondok 15%,
air cucian beras 25% dan minyak ikan 5%.
Parameter yang diamati adalah pertumbuhan bobot ikan nila yang dipelihara di
dalam bak air.
1. Pertumbuhan bobot ikan diukur dengan menghitung laju pertumbuhan (growth
rate). Rumusnya (Afrianto dan Liviawati, 2005)
Pertumbuhan bobot = W1 – W0
Dalam hal ini, W1 = bobot akhir (g) dan W0 = bobot awal (g)
2. Konsumsi pakan adalah selisih pakan yang diberikan dikurangi dengan pakan
yang tersisa. Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang riil dikonsumsi nila
pada setiap perlakuan.
3. Efiseiensi penggunaan pakan atau konversi pakan adalah perbandingan antara
bobot kering pakan yang dikonsumsi dan pertumbuhan bobot ikan.
Rasio Konversi Pakan =
Jumlah pakan yang dikonsumsi
Pertumbuhan bobot
Semakin kecil nilai rasio konversi pakan, semakin baik kualitas pakan buatan
tersebut atau semakin efisien pakan menghasilkan capaian bobot ikan, Semakin
besar nilai konversi pakan, semakin tidak efisien pakan menghasilkan bobot ikan.
4. Analisa pendapatan (Income Over Feed Cost / IOFC)
Pembandingan antara harga total pakan (Rp) dengan total bobot ikan yang
dihasilkan (g). Semakin kecil nilai biaya, semakin efisien penggunaan pakan.
Biaya yang terjadi =
Harga total pakan yang digunakan (Rp)
Total bobot ikan yang dihasilkan (g)
5. Analisa gizi dalam pakan
Nutrisi pakan meliputi karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin. Protein
dan mineral dianalisis dengan metode proximat. Jumlah pakan buatan yang telah
diserap oleh tubuh ikan ditentukan dengan CD (Afrianto dan Liviawati, 2005).
CD =
Kandungan nutrien pakan
Kandungan nutrien feces
pada akhir penelitian
pada awal penelitian
Nutrien pakan buatan selama penelitian
91
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Data ditabulasi dan dianalisis dengan sidik ragam 5% dan 1%. Untuk melihat
kecenderungan pengaruh perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan (DMRT)
(Hanafiah, 1993). pH oksigen terlarut dan suhu diukur dengan alat Horiba U-10.
Kandungan amoniak (NH3) diukur dengan Spectopatometer dan DO dengan Nessler
Methode Nach DR 2800. Parameter memengaruhi metabolisme sel, pertumbuhan
bobot dan panjang ikan nila, serta kelangsungan hidup ikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Bobot akhir ikan nila hasil perlakuan P4 paling tinggi dan diikuti perlakuan
P3 dan P2 (Tabel 1). Perlakuan P1 menunjukkan pencapaian bobot ikan nila terendah.
Hasil penelitian cukup baik, karena pakan P2, P3 dan P4 dibuat dari campuran bahan
pakan yang kurang lazim digunakan (air cucian beras, eceng gondok, minyak ikan).
Ini adalah diversifikasi pakan dari bahan berharga murah dan diabaikan masyarakat.
Tabel.1. Pertumbuhan bobot nila pada awal dan akhir penelitian (g.ekor-1)
Perlakuan
P1 (kontrol)
P2
P3
P4
Awal
9,65a
10,60a
10,09a
10,22a
Akhir
12,11a
13,08a
13,72a
15,88a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata (p > 0,05).
Perlakuan P2 menunjukkan tingkat konsumsi tertinggi, yang diikuti perlakuan
kontrol (P1), P3, dan P4 (Tabel 2). Semua perlakuan menunjukkan bahwa variasi
konsumsi baik rataan konsumsi per ekor maupun konsumsi per perlakuan tidak jauh
berbeda. Variasi konsumsi perlakuan P4 menunjukkan konsumsi yang homogen pada
tingkat 59,00 g.ekor-1. Perlakuan kontrol, P2, dan P3 menunjukkan sedikit variasi
antar ulangan walaupun pada kisaran perbedaan kecil antara 1 g.ekor-1.ulangan-1.
Tabel 2. Konsumsi dan efisiensi pakan nila
Perlakuan
P1 (Kontrol)
P2
P3
P4
Konsumsi pakan (g.ekor-1)
59,60b
59,80b
59,20ab
59,00a
Efisiensi pakan (g.ekor-1)
3,44b
3,45b
3,42ab
3,41a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
nyata (p < 0,05).
92
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Efisiensi penggunaan makanan terbaik dicapai oleh perlakuan P4 yang diikuti
perlakuan P3, P1, dan P2 (Tabel 2). Perlakuan P4 menunjukkan nilai konversi pakan
yang paling seragam di antara semua ulangannya. Variasi nilai konversi pakan
terbesar (kurang efisien) dihasilkan oleh P1, P2. dan P3.
Perlakuan P3 menghasilkan keuntungan tertinggi (Rp10.688/kg bobot ikan
atau Rp146,64/ekor) dibandingkan tiga perlakuan lainnya (Tabel 3). P4 bobot bagus,
FCR bagus, tetapi harga pakan kurang bagus.
Tabel 3. Analisis pendapatan (Income Over Feed Cost)
No.
Uraian
1
2
3
4
5
6
7
Harga pakan (Rp/kg)
Biaya pakan (Rp/kg bobot ikan)
Biaya pakan (Rp/kg bobot ikan)
Harga jual ikan (Rp/kg)
Bobot ikan (g)
Analisis pendapatan (IOFC) (Rp/ekor)
Analisis pendapatan (IOFC) (Rp/kg)
P1
6.000
3,44
20.640
23.000
12,11
28,58
2.360
Perlakuan
P2
P3
4.800
3.600
3,45
3,42
16.560 12.312
23.000 23.000
13,08
13,72
84,24
146,64
6.440
10.688
P4
4.200
3,41
15.004
23.000
15,88
126,98
7.996
Keterangan : IOFC (f) = (d-c) x ((e): 1000)
IOFC (g) = (1000 g : (e)) x f)
Protein pada P3 lebih kecil daripada P4 (Tabel 4). Ini terjadi, karena P3 tidak
mengandung tepung jagung. Sebaliknya, P4 mengandung tepung jagung.
Tabel 4 Analisis laboratorium kandungan gizi pakan
Kode Sampel
P1
P2
P3
P4
Metode
Karbohidrat
6,19
2,16
4,32
6,48
Luff Schoorl
Protein
12,78
8,40
16,63
27,83
Kjeldahl
Lemak (%)
2,01
11,06
13,65
14,18
Gravimetri
Keterangan: Data Lab. Dasar FMIPA UNLAM Banjarbaru.
Kualitas lingkungan air disajikan pada Tabel 5, sedangkan kandungan
amoniakpada Tabel 6. Kadar amoniak (NH3) berfluktuasi pada semua perlakuan.
Ikan nila dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada lingkungan perairan netral
dan sebaiknya dipertahankan pada nilai 6,5–8,0 (Carman dan Sucipto, 2009).
93
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Tabel 5. Pengukuran kualitas air kolam (pH, DO dan Suhu)
Keterangan: Data sekunder. Pengukuran dilakukan 2 minggu sekali. Pengukuran I adalah minggu ke
0 (sebelum masuk ke perlakuan atau setelah adaptasi)
Tabel 6. Kadar amoniak (NH3) pada semua perlakuan (mg.l-1)
Perlakuan
P1 (kontrol)
P2
P3
P4
Hasil Analisa Minggu ke
I
II
III
IV
1,34 1,41 0,01 0,13
0,02 0,33 1,51
0,09
0,03 1,32 2,02
0,17
0,04 1,90 0,40
0,16
Rataan
0,72
0,48
0,88
0,62
Keterangan: Data sekunder. Pengukuran dilakukan 2 minggu sekali. Pengukuran I adalah minggu ke
0 (sebelum masuk ke perlakuan atau setelah adaptasi)
Pembahasan
Pertumbuhan bobot ikan nila pada perlakuan P3 diduga disebabkan oleh
penambahan eceng gondok. Tumbuhan ini mengandung nutrisi tinggi, yaitu protein
kasar 11,95%, serat kasar 37%, lemak 1,1%, Beta-N 25,78% serta mineral yang
cukup baik, seperti Phosfor (P) 0,49%, Kalsium (Ca) 1,24%, Kalium (K) 1,45% dan
Abu 23,87% (Zazemi, 2004). Dalam keadaan kering eceng gondok kaya akan
kandungan potassium (zat kimia beracun).
Faktor penyebab lainnya adalah air cucian beras. Air cucian beras potensinya
cukup besar, karena kaya akan gizi yang penting sebagai sumber energi. Kandungan
karbohidrat mencapai 76%, protein 8%, dan lemak 0,6%, serta kaya akan mineral
(Ca,Mg,Na, K, P, Cl, S, Fe), serta vitamin B. Vitamin B berguna sebagai kofaktor
enzim dalam pencernaan makanan. Air cucian beras banyak terbuang, sehingga
sebaiknya diolah menjadi bahan bermanfaat, antara lain untuk campuran pakan ikan.
Pemberian pakan P1, P2, P3 dan P4 menunjukkan perbedaan nyata yang
signifikan terhadap pertumbuhan bobot dan juga terhadap konsumsi pakan ikan nila.
94
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Pemberian pellet ikan inkonvensional yang berbeda menyebabkan perbedaan efisiensi
penggunaan pakan pada ikan nila. Efisiensi penggunaan makanan (konversi pakan)
sangat ditentukan oeh aspek konsumsi pakan dan capaian bobot ikan nila. Konsumsi
pakan yang tinggi ternyata tidak menjamin pencapaian bobot ikan yang tinggi atau
sebaliknya. Kualitas pakan secara keseluruhan sangat berpengaruh terhadap konversi
pakan menjadi bobot ikan. Semakin kecil nilai FCR semakin efisien penggunaan
pakan (Mudjiman, 2009).
Kandungan amoniak sangat tinggi disebabkan oleh sisa pakan yang
mengandung protein tinggi. Amoniak merupakan salah satu senyawa beracun di
dalam air. Senyawa ini berasal dari metabolisme protein dan pembusukan bahan
organik yang dilakukan oleh bakteri. Di dalam kolam terjadi amoniak nitrogen selalu
berada dalam keseimbangan sebagai berikut:
NH3 + H2O
NH4OH (ammonium)
NH4 + OH
Ammonium tidak bersifat toksik bagi ikan, sebaliknya amoniak tak terionisasi (NH3)
bersifat toksik. Prosentase NH3 dipengaruhi suhu dan pH. Semakin tinggi suhu dan
pH, semakin tinggi juga prosentase NH3.
Meskipun mekanismenya belum diketahui secara pasti tetapi secara fisiologi
bahaya amoniak bisa dijelaskan sebagai berikut. Pada saat kandungan amoniak di air
meningkat, ekskresi amoniak oleh ikan akan menurun sehingga kadar amoniak dalam
jaringan dan darah ikan meningkat. Amoniak juga meningkatkan konsumsi oksigen
oleh jaringan insang, serta menurunkan kemampuan darah untuk mentransportasikan
oksigen. Secara histologi terjadi perubahan pada ginjal, limfa, thyroid dan darah.
Ekspos amoniak secara kronis bisa menurunkan pertumbuhan dan peka terhadap
penyakit. Tingginya kandungan amoniak di air juga mempengaruhi permeabilitas
ikan serta menurunkan konsentrasi ion internal.
Tiga kendala terjadi dalam penelitian ini.
a. Air kolam tidak diganti selama penelitian. Penggantian (pengeringan dan
pengisian kembali air ke kolam) memerlukan waktu lama, sehingga
memungkinkan ikan jadi strees.
b. Sampel air diambil oleh orang berbeda.
c. Alat jarang dikalibrasi, sehingga memungkinkan hasil yang kurang konsisten.
Ikan bertahan dan berkembang terbaik di perairan dengan pH antara 6–9. Jika
pH berada di luar kisaran ini pertumbuhan ikan berkurang. Nilai-nilai di bawah 4,5
atau di atas 10, kematian ikan dapat terjadi.
Oksigen merupakan gas yang sangat diperlukan oleh setiap organisme untuk
kelangsungan hidup. Penurunan DO atau kondisi DO minimum menyebabkan stres
95
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
pada ikan yang pada gilirannya menurunkan nafsu makan. Metabolisme yang
terganggu mengurangi kemampuan ikan mengubah makanan menjadi energi dan
rentan terhadap penyakit. Apabila berlanjut, ikan akan mati. Pada sistem budidaya
intensif, peningkatan DO diusahakan melalui sistem aerasi dan sirkulasi.
Suhu memengaruhi pertumbuhan ikan. Menurut Bernard (2010), kualitas air
yang menunjang pertumbuhan ikan adalah suhu kolam 25-300C. Suhu air selama
penelitian masih berada dalam batas suhu optimum untuk pertumbuhan bobot ikan.
SIMPULAN DAN SARAN
1. Perlakuan inkonvensional mampu meningkatkan pertumbuhan bobot badan dan
mengefisiensikan penggunaan makanan dibandingkan tanpa perlakuan.
2. Kombinasi P 3 (40% tepung ikan, 30% eceng gondok, 25% air cucian beras, dan
5 % minyak ikan) berpengaruh paling baik menurunkan harga pakan ikan.
3. Perlakuan inkonvensional (P3) meningkatkan pendapatan usaha (IOFC) petani
ikan nila.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E dan Liviawaty, E. 2005. Pakan Ikan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Bernard, T, Wahyu Wiryanto Sunaryo, Astuti, M.B. Kurniawan. 2010. Buku Pintar
Budi daya dan Bisnis Ikan Nila. Penerbit PT. Agro media Pustaka. Jakarta.
Carman, O dan Sucipto, A. 2009. Panen Nila 2,5 Bulan. Penerbit Swadaya.
Cimanggis Depok.
Estiasih, Teti.2009. Minyak Ikan Teknologi dan Penerapan untuk Pangan dan
Kesehatan. Penerbit Graha. Yogyakarta.
Hanafiah, AK. 1993. Rancangan Percobaan dan Teori dan Aplikasi. PT. Rajawai
Press. Jakarta.
http://cikaciko.blogspot.com/2009/01/pengaruh.konsentrasi-air/cuci-beras.html.
http://id.answers:yahoo.com/question/index/2010.
http://ikan-nila.com/Fish-Food/membuat-pakan-ikan-sendiri/2010.
http://ikannila.com/membuat-formula-pakan-ikan-sendiri/2010.
http://ikannila.com/The-most-Informative-Place-On-Farming. Membuat-Pakan-IkanSendiri.2010.
96
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
http://suaramerdeka.com/VI/index.php/read/cetak/2009/03/Pilihan-Baru-Nata-DeCoco-dari-Air-Cucian-Beras.htm.
(http://www/optimasi-pH-dan-salinitas/2011)
http://www/show-article.php.html/2006/kontrol-amoniak-budidaya-ikan-dan-udang.
Mudjiman, A. 2009. Makanan Ikan Cetakan XXII.Swadaya, Jakarta.
Nugroho, E. dan Kristanto, A.H. 2008. Panduan Lengkap Ikan Konsumsi Air Tawar
Populer. Cetakan 1. Penerbit Swadaya, Masyarakat.
Widiyanto, L.S. dan Soeryani. 1976. Peranan Eceng Gondok sebagai Pembersih
Lingkungan. Puslitbang Biologi Tropika IPB (Biotrop). Bogor.
Zazemi, Dakhyar. 2004. Identifikasi rumputdan gulma yang ada di rawa-rawa.
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Banjarbaru Kalimantan Selatan.
Agroscientiae Journal. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
97
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
MENGGODA MINAT SAINS MELALUI ICE BREAKING
DALAM PEMBELAJARAN
Aminuddin Prahatamaputra
(Dosen S1 dan S2 Pendidikan Biologi, Universitas Lambung Mangkurat)
Abstrak
Ice breaking merupakan kegiatan yang menyenangkan bila diberikan pada hari
pertama masuk kelas. Kegiatan ini membantu siswa untuk mengenal konsep ilmu
pengetahuan sebagai suatu proses dan aspek dari pengetahuan. Dalam pembelajaran
sains, guru harus mampu menumbuhkan minat siswa, membuat kewenangan dan
keleluasaan untuk membuat indikator pembelajaran pada setiap materi pelajaran dan
mengembangkannya sesuai dengan konteks lingkungan tempat siswa berada. Guru
pun tidak membatasi diri dengan konsep-konsep yang ada di buku saja, tetapi juga
mengajarkan konsep baru atau hal berkaitan yang tujuannya menghangatkan dan
menyegarkan suasana, serta meningkatkan motivasi belajar.
Kata kunci: motivasi, pembelajaran, sains, ice breaking.
PENDAHULUAN
Ice breaking atau pemecah kebekuan adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru
guna menyegarkan atau membikin suasana kelas menjadi akrab dan menyenangkan.
Seperti diketahui, proses pembelajaran kebanyakan diikuti oleh para manusia yang
kadang bersikap negatif, sehingga bisa menghambat proses pembelajaran. Sikapsikap negatif itu antara lain adalah merasa pintar sendiri, ingin selalu menonjolkan
diri, suka menyepelekan sesuatu, menutup diri terhadap hal-hal baru, sungkan,
enggan bergaul dengan orang asing, kurang percaya diri, minder, dan masih banyak
lagi yang lainnya, padahal salah satu azas penting bagi keberhasilan suatu proses
pembelajaran adalah interaksi yang terbuka, jujur, spontan, dan keakraban antara guru
dan siswa guna terciptanya komunikasi dialogis dan kritis selama pembelajaran.
Dua keuntungan pokok diperoleh, jika suasana kelas menjadi akrab. Pertama,
peserta didik merasa senang mengikuti kegiatan, sehingga tidak merasa bosan dan
lelah. Kedua, tujuan pembelajaran lebih mudah tercapai secara optimal, karena para
peserta didik terlibat secara aktif tanpa harus dipaksa. Menurut Demers (2009),
kegiatan ini merupakan pengenalan yang tidak hanya bagus untuk kelas pembelajaran
sains yang berfokus pada ilmu biologi, tetapi juga cocok untuk ilmu alam lainnya. Di
kelas biologi, kegiatan dapat digunakan sebagai pengantar hubungan penting antara
struktur dan fungsi.
98
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Banyak sekali bentuk perhatian yang dapat dimunculkan yang menjadi
pembicaraan hangat di kalangan siswa, jadi mengapa tidak dimasukkan dalam
pembelajaran di kelas. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berkreasi dan
berinovasi lebih mendalam dan menyeluruh serta memperlakukan mereka sebagai
subjek pembelajar yang nantinya diharapkan tidak hanya memperoleh konsep sains
tetapi juga mampu mengembangkan kemampuan berpikir dan sejumlah keterampilan
proses.
Pemanfaatan ice breaking dalam pembelajaran sains sekarang ini sudah mulai
marak dan dikembangkan lebih lanjut dalam upaya meningkatkan atensi anak.
Menurut Sulzer-Azaroff & Mayer, (1986) dalam Nur (1998), seseorang harus
menaruh perhatian atau atensi agar dapat belajar melalui pengamatan. Seseorang
khususnya menaruh perhatian kepada orang yang menarik, populer, kompeten, atau
dikagumi. Solso et al. (2008) menyatakan bahwa atensi adalah pemusatan upaya
mental pada peristiwa-peristiwa sensorik atau peristiwa-peristiwa mental. Menurut
Sunartombs (2008), berdasarkan hasil penelitian, untuk dapat berkonsentrasi pada
satu fokus tertentu rerata setiap orang membutuhkan waktu sekitar 15 menit dan
setelah itu konsentrasinya sudah tidak lagi fokus.
Dalam proses pembelajaran atau pelatihan, hal itu perlu mendapat perhatian
serius. Seorang guru ataupun fasilitator harus peka, ketika melihat gejala yang
menunjukkan bahwa peserta didik sudah tidak dapat konsentrasi lagi, mulai bosan,
lelah, atau malah mengantuk. Apa yang harus dilakukan oleh seorang guru atau
fasilitator ketika melihat gejala demikian? Tentunya perlu adanya suatu penyegaran
berupa ice breaking atau energizer.
Banyak tulisan yang penulis baca menyatakan ice breaking terbukti bernilai
positif bila diberikan dalam kegiatan pembelajaran. Siswa termotivasi untuk
memperoleh pengetahuan serta memahami kompleksitas isu-isu yang dibahas.
Semuanya menunjukkan peningkatan dalam pengetahuan siswa dan pemahaman
topik yang diberikan.
Banyak kendala yang mungkin akan dihadapi dalam menggunakan ice
breaking sebagai metode pembelajaran. Namun bila kendala tersebut dapat teratasi,
ice breaking dapat mempercepat penanaman konsep, memperkaya wawasan siswa,
meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan proses, dan kelak dapat
tertanam etika serta pertimbangan moral atas isu-isu sains yang berkembang saat ini
yang cenderung mengabaikan etika.
B. MOTIVASI DALAM PEMBELAJARAN
Setiap individu memiliki kondisi internal yang turut berperan dalam aktivitas
dirinya sehari-hari. Salah satu dari kondisi internal tersebut adalah motivasi.
99
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Menurut Uno (2007), motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan
seseorang bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri seseorang yang
menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan dorongan dalam dirinya.
Oleh sebab itu, perbuatan seseorang yang didasarkan atas motivasi tertentu sesuai
dengan motivasi yang mendasarinya.
Seluruh siswa pada umumnya termotivasi. Pertanyaannya adalah termotivasi
untuk melakukan apa. Sejumlah siswa lebih termotivasi untuk begadang atau nonton
televisi daripada mengerjakan pekerjaan sekolah. Tugas pendidik bukan
meningkatkan motivasi itu sendiri tetapi menemukan, menggugah, dan
mempertahankan motivasi siswa untuk belajar, dan terlibat dalam aktivitas yang
menuju pada pembelajaran (Nur, 2008).
Pada saat mulai mengajar dan mengenal lingkungan sekolah, seorang guru
pemula menghadapi beberapa hambatan, seperti pengenalan karakteristik peserta
didik, budaya sekolah, beradaptasi dan berkomunikasi dengan warga sekolah, padahal
pengenalan guru pemula terhadap situasi sekolah akan menentukan karir dan
profesionalitasnya sebagai seorang guru (Depdiknas, 2009).
Ice breaking dalam pembelajaran, perkuliahan, atau pelatihan sangat
membantu membuat suasana belajar yang menyenangkan. Kegiatan dapat
diintegrasikan dalam pembelajaran atau secara khusus diberikan dalam sela atau jeda
saat pembelajaran.
Guru yang berhasil membuat siswa senang dan merasa diterima dan dihormati
sebagai individu, lebih besar peluangnya untuk membantu siswa bersemangat belajar
demi pembelajaran dan bersedia berkorban untuk menjadi kreatif dan terbuka
terhadap ide-ide baru. Apabila dikehendaki menjadi pelajar mandiri, siswa harus
yakin bahwa guru akan merespon secara adil dan konsisten serta tidak menertawakan
atau menghukum siswa yang murni berbuat keliru (Nur, 2008).
Motivasi pada dasarnya dapat membantu dalam memahami dan menjelaskan
perilaku individu, termasuk perilaku individu yang sedang belajar. Menurut Uno
(2009), peranan penting dari motivasi dalam belajar dan pembelajaran, antara lain
adalah (a) menentukan hal-hal yang dapat dijadikan penguat belajar, (b) memperjelas
tujuan belajar yang hendak dicapai, (c) menentukan ragam kendali terhadap
rangsangan belajar, dan (d) menentukan ketekunan belajar.
C. INFORMASI YANG TERSIMPAN DALAM MEMORI
Memori adalah elemen pokok dalam sebagian besar proses kognitif. Tidaklah
mengherankan bahwa memori menjadi subyek penelitian para pakar dalam bidang
pendidikan dan psikologi. Menurut Solso et al. (2008), sebagai topik penelitian,
memori sempat diabaikan ketika dunia psikologi Amerika terobsesi dengan
100
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
behaviorisme. Meskipun demikian, pendekatan behaviorisme pada paruh pertama
abad ke-20 itu jugalah yang akhirnya memunculkan minat terhadap cara manusia
menyimpan yang telah dipelajari dan bagaimana manusia mengubah pengetahuan itu
menjadi memori. Model memori dari William James menyatakan bahwa memori
bersifat dikotomi. Ketika manusia mengamati sejumlah objek, informasinya
memasuki memori dan kemudian hilang, sedangkan beberapa informasi menetap di
memori selamanya.
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan konsep memori. Pertama, teori
interferensi yang menyatakan bahwa manusia lupa tidak disebabkan oleh kehilangan
memori, tetapi oleh adanya informasi lain yang menghalangi hal yang ingin diingati.
Kedua, teori kemerosotan (decay theory) yang menjelaskan sebab-sebab manusia
dapat melupakan sesuatu. Sebab-sebab itu terdiri atas dua jenis "penganggu”
(interference), yakni interferensi proaktif dan interferensi retroaktif. Interferensi
proaktif terjadi ketika informasi yang dipelajari sebelumnya mengganggu
pengingatan kembali hal yang dipelajari kemudian. Ini bermasalah ketika informasi
yang baru tidak dapat digunakan dengan benar akibat diganggu informasi lama.
Interferensi retroaktif adalah kebalikan dari interferensi proaktif. Dalam hal ini,
informasi baru menggangu informasi lama.
Akhirnya, dengan mempertimbangkan pentingnya manfaat ice breaking serta
beberapa teori yang berkaitan dengan konsep memori atau penurunan daya tangkap
otak serta, ice breaking merupakan kegiatan yang perlu digunakan dalam proses
pembelajaran.
D. MENGGODA MINAT ANAK TERHADAP SAINS
Menurut Harian Kompas (2010), Deputi Rektor Universitas Paramadina
Wijayanto mengatakan bahwa kemampuan para guru menghadirkan pembelajaran
sains yang menyenangkan masih terbatas, sehingga perlu terus diasah lewat
pelatihan-pelatihan. Sementara itu, Sanny Djohan dari PT Kuark International
mengatakan, komik sains dalam PBM hanyalah alat untuk mendukung guru yang
berada di garis depan dalam memberi pengertian dan pembelajaran pada anak didik.
Dengan demikian, belajar sains tidak lagi menakutkan, tetapi justru sains menjadi
sesuatu yang menarik dan menyenangkan.
Gagasan penggunaan ice beraking dalam makalah ini bermula dari pandangan
penulis yang melihat bahwa sains kurang menarik, membuat pusing, dan sangat
menakutkan bagi sebagian anak. Hal ini diperparah dengan kondisi guru-guru di
sekolah yang mengajar sains secara textbook dan tidak kreatif. Akibatnya, pendidikan
sains tidak berkembang, padahal negara ini butuh banyak ilmuwan untuk bisa
101
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
memanfaatkan kekayaan alam sebagai sumber ilmu dan penghidupan bagi kemajuan
bangsa pada masa depan.
E. ICE BREAKING DALAM PEMBELAJARAN SAINS
Dalam pembelajaran sains yang menurut sebagian orang adalah pelajaran
yang monoton, penurunan konsentrasi perlu mendapatkan perhatian serius. Seorang
guru/fasilitator harus peka ketika melihat gejala yang menunjukkan bahwa peserta
didik sudah tidak dapat konsentrasi lagi. Apa yang harus dilakukan oleh seorang
fasilitator ketika melihat gejala demikian? Berilah ice breaking atau energizer.
Menurut Dryden & Vos (2000) dalam Holil (2009), belajar akan efektif bila
proses pembelajaran dilaksanakan dengan suasana yang menyenangkan (joyfull
learning). Hal yang mendukung efektivitas hasil belajar siswa diantaranya adalah
siswa belajar dalam kondisi senang, guru menggunakan berbagai variasi metode dan
teknik, menggunakan media belajar menarik dan menantang, penyesuaian dengan
konteks, pola induktif, dan siswa sebagai subjek dalam pembelajaran. Ice breaking
dalam pembelajaran, perkuliahan, atau pelatihan sangat membantu dalam membuat
suasana belajar yang menyenangkan. Menurut Zigmond (2008), memberi ice
breaking dapat mendorong siswa memecahkan masalah dan meningkatkan
keterampilan berpikir kritis, sehingga pembelajaran dapat berpusat pada siswa. Di
samping itu, penggunaan ice breaking dengan pengajuan pertanyaan yang menggali
kemampuan dapat meningkatkan ekspresi verbal dan keyakinan siswa. Buatlah waktu
cukup untuk ice breaking pada minggu pertama kelas. Kegiatan ini tentu tidak hanya
pada hari pertama saja. Biarkan kira-kira lima menit, setiap siswa berbicara. Pastikan
memberi ice breaking kepada siswa setiap pembelajaran dengan waktu cukup.
F. BENTUK ICE BREAKING
Bermacam bentuk ice breaking telah digunakan dalam pembelajaran, mulai
dari sekedar teka-teki, cerita-cerita lucu atau humor ringan yang memancing senyum,
lagu-lagu atau nyanyian yang disertai gerakan tubuh (action song), sampai
permainan-permainan berkelompok yang cukup menguras tenaga atau bahkan fikiran.
Selain itu dapat juga dilakukan dengan melakukan brain gym (senam otak). Untuk
mengenal lebih jauh tentang energizer atau ice breaking, kali ini akan penulis berikan
beberapa uraian dari masing-masing jenis tersebut.
1. Ice Breaking Bentuk Perkenalan
a. Siapa Dia?
Ice breaking ini dapat digunakan dalam pembelajaran sains atau pendidikan
dan pelatihan dalam bentuk kegiatan perkenalan.Petunjuk:
102
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
1) Minta semua peserta untuk berdiri dan membentuk lingkaran
2) Minta seorang peserta memperkenalkan nama dan hal lain mengenai dirinya
dalam bentuk satu kalimat pendek (tidak boleh lebih dari 6 kata). Misalnya: nama
saya Retno, Guru Biologi; nama saya Rachman, Pengajar Kimia.
3) Minta peserta kedua mengulang kalimat peserta pertama dan kemudian
memperkenalkan dirinya sendiri. Misalnya: teman saya Retno, Guru Biologi,
saya Mika, Guru Fisika.
4) Peserta ketiga harus mengulang kalimat 2 peserta sebelumnya, sebelum dia
memperkenalkan diri. Demikian seterusnya sampai semua peserta mendapat
giliran.
5) Apabila peserta tidak dapat mengingat nama dan apa yang dikatakan 2 peserta
lainnya, maka ia harus menanyakan langsung pada yang bersangkutan. ‘Siapa
nama anda?’ atau ‘Siapa nama anda dan apa yang anda katakan tadi?’
b. Kisah Angka-Angka
Permainan ini dipakai agar peserta mengenal satu sama lain dengan cara santai
dan menghapuskan kekakuan.
Langkah langkah :
1) Mintalah seluruh peserta berhitung mulai 1 dan seterusnya sampai selesai.
2) Minta setiap peserta mengingat nomor urutnya masing-masing dengan baik. Jika
perlu lakukan pengujian dengan menyebut secara acak beberapa angka dan minta
peserta yang disebut nomornya untuk menyahut ‘ya’, atau tunjuk beberapa orang
peserta secara acak dan tanyakan nomor urut berapa dia.
3) Tegaskan sekali lagi apakah mereka benar-benar mengingat nomor urut masingmasing. Setelah yakin, jelaskan bahwa anda akan menyampaikan suatu berita
atau suatu cerita tertentu yang di dalamnya akan disebut sejumlah angka. Peserta
yang disebut nomor urutnya diminta segera berdiri dan langsung meneriakkan
namanya keras-keras kepada seluruh peserta lain. Jika terlambat 3 detik, peserta
dikenai hukuman ramai-ramai oleh peserta lain.
4) Tanyakan kepada peserta apakah mereka paham peraturan tersebut? Jika perlu
ulangi sekali lagi dan berikan contoh.
5) Mulailah bercerita. Misalnya, saudara-saudara, studi lingkungan ini sebenarnya
sudah direncanakan sejak lima bulan yang lalu. Namun, karena beberapa hal,
baru tiga bulan yang lalu ada kejelasan dan kemudian dipersiapkan oleh delapan
orang panitia dan seterusnya. Anda bisa juga mengarang sendiri pada saat itu.
Yang penting, dalam cerita itu disebutkan nomor urut peserta pada setiap satu
kalimat atau setiap selang satu menit.
6) Lakukan diskusi dengan peserta tentang makna permainan ini, kegunaannya
dalam kegiatan pembelajaran sains atau latihan, atau perasaan-perasaan peserta.
103
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
c. Mencari Jodoh
Petunjuk :
1) Buatlah kalimat yang berhubungan dengan materi pelajaran yang akan diberikan.
Misalnya, Berkembang Biak merupakan Ciri Organisme. Jumlah kalimat yang
dibuat adalah setengah dari jumlah peserta. Jika pesertanya 20 orang, kalimat
yang harus disediakan 10 kalimat.
2) Pecah kalimat tersebut ke dalam dua bagian dan tulis setiap pecahan kalimat
pada sejumlah carikan kertas. Carikan-carikan kertas pertama berisi kalimat
Berkembang Biak dan carikan-carikan kertas lainnya berisi kata Ciri Organisme.
3) Gulunglah carikan-carikan kertas yang berisi tulisan tadi.
4) Bagikan carikan-carikan tergulung kepada semua peserta. Apabila peserta ganjil,
satu orang berpasangan dengan pemandu sendiri.
5) Minta peserta membuka gulungan kertas masing-masing dan membaca isinya
yaitu sepotong kalimat yang belum lengkap.
6) Minta peserta mencari pasangannya, agar kalimat pada carikan itu lengkap.
7) Minta setiap pasangan berkenalan dan mendiskusikan arti kalimat tersebut.
8) Minta peserta berkumpul lagi dan minta setiap pasangan memperkenalkan
pasangannya dan menyampaikan arti kalimat kepada peserta yang lain.
F.2. Ice Breaking Bentuk Penyegaran
a. Adu Panjang, Besar dan Tinggi
Langkah-langkah;
1) Ajak semua peserta berdiri dan minta mereka bergabung dalam 3 kelompok.
2) Susunlah 3 kelompok itu secara berjajar. Lalu jelaskan bahwa 3 kelompok itu
akan berlomba satu sama lainnya untuk masing-masing perintah dari wasitnya.
Yang berperan sebagai wasit adalah pemandu atau salah seorang peserta.
3) Setelah semua menyiapkan kelompok masing-masing, segera mulai permainan.
Misalnya,
 berlombalah untuk membuat barisan terpanjang tanpa terputus, atau
 buatlah kelompok anda menjadi yang paling tinggi, atau
 buatlah lingkaran kelompok besar
4) Jangan memberi komentar bahwa mereka berhak menggunakan apa saja untuk
menang dan menjadi kelompok yang tertinggi, terlebar dan terpanjang. Jika ada
peserta laki-laki yang sampai melepas kaos untuk digunakan sebagai
penyambung tangan supaya barisannya paling panjang, biarkan saja. Hak dia
untuk secara kreatif memenangkan lomba.
5) Jika permainan selesai, anda bias bertanya. Misalnya, kenapa kelompok A bisa
mencapai panjang hingga ke luar ruangan, sedangkan kelompok B tidak, padahal
104
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
anggotanya sama-sama 5 orang. Itu untuk membuat peserta menikmati
permainan dan melihat sesuatu yang tidak sekedar permainan.
b. Badai Berhembus
Petunjuk :
1) Susun posisi kursi-kursi sehingga membentuk sebuah lingkaran. Mintalah peserta
untuk duduk di kursi yang telah disediakan.
2) Jelaskan kepada peserta aturan permainan. Untuk putaran pertama pemandu akan
bertindak sebagai angin.
3) Pemandu yang bertindak sebagai angin mengatakan, “Angin berhembus kepada
yang memakai, misalnya kacamata”, (apabila ada beberapa peserta memakai
kacamata).
4) Para peserta berkacamata harus berpindah tempat duduk, bila mendengar ini dan
pemandu sebagai angin ikut berebut kursi.
5) Tentu akan ada satu orang peserta yang berebut kursi tidak kebagian kursi. Orang
inilah yang kemudian menggantikan pemandu sebagai angin.
6) Lakukan putaran kedua, dan seterusnya. Setiap putaran yang bertindak sebagai
angin harus mengatakan, “Angin berhembus kepada yang … (sesuaikan dengan
karakteristik peserta, misalnya baju biru, sepatu hitam, dan sebagainya).
c. Lempar Spidol
Langkah-langkah:
1) Mintalah semua peserta berdiri bebas di depan tempat duduk masing-masing.
2) Minta peserta bertepuk tangan ketika anda melemparkan spidol ke udara. Pada
saat spidol anda tangkap lagi dengan tangan, semua peserta serta merta diminta
berhenti bertepuk tangan. Ulangi ini sampai beberapa kali.
3) Ulangi langkah 2 dengan tambahan selain bertepuk tangan juga bersenandung
(bergumam); misalnya, “Mmmmm….!”.
4) Ulangi langkah 3 beberapa kali. Setiap kali semakin cepat gerakannya dan
kemudian akhiri dengan satu anti klimaks. Spidol tidak dilambungkan, tapi anda
melambungkan tangan seperti akan melambungkan spidol ke atas (gerak tipu
yang cepat!). Amati apakah peserta masih bertepuk tangan dan bergumam atau
tidak?
5) Mintalah tanggapan dan kesan, lalu diskusikan dan analisa bersama kemudian
simpulkan.
105
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
F.3. Ice Breaking Bentuk Kerjasama Tim
a. Sepatu Lapangan
Langkah-langkah:
1) Kelompokkan peserta menjadi kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota
5-6 orang. Salah satunya bertindak menjadi pembicara kelompok.
2) Mintalah setiap kelompok untuk mendiskusikan sepatu lapangan yang cocok
untuk bekerja di “kebun percobaan” dan peralatan apa lagi yang dibutuhkan.
Waktu diskusi sekitar 5 menit.
3) Mintalah pembicara kelompok untuk mengingat pendapat yang berbeda dan
pendapat yang sama dari setiap orang di kelompoknya masing-masing.
4) Mintalah pembicara kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi ini sekaligus
memperkenalkan nama anggota kelompoknya dan pendapatnya mengenai topik
diskusi di atas.
5) Setelah semua kelompok selesai, kemudian diskusikan: Apakah pembicara telah
menyampaikan pendapat semua anggota kelompoknya secara tepat? Adakah
pendapat itu dikurangi atau ditambahi? Bila ada, sebutkan! Apa yang tidak tepat?
b. Kalimat Sulit
Langkah-langkah:
1) Siapkan beberapa kata dan tulis setiap kata dalam sebuah kartu.
2) Kelompokkan peserta menjadi dua tim.
3) Letakkan kartu yang telah ditulisi tersebut di lantai (termasuk kata-kata yang
saling berhubungan dengan pelajaran sains yang diberikan).
4) Kedua tim membuat kalimat dengan menggunakan kartu-kartu tersebut.
5) Seorang anggota tim memulai sebuah kalimat dengan kata yang pertama.
Anggota lainnya mengikuti secara bergantian hingga kalimatnya selesai. Satu
kata di dalam kalimat bernilai 5 poin bila kalimatnya benar.
6) Bila kalimatnya salah maka setiap kata yang salah kehilangan 5 poin. Bila
seluruh kalimat menjadi tidak bermakna, tim kehilangan 50 poin. Bila
kalimatnya merupakan kalimat yang belum sempurna, tim kehilangan 25 poin.
Setelah setiap kalimat selesai, letakkan kembali kartu kata-kata untuk digunakan
oleh peserta yang lain.
c. Bercermin
Langkah-langkah:
1) Minta setiap peserta berpasangan. Satu orang menjadi bayangan di cermin dan 1
orang lainnya menjadi orang yang sedang berdandan di depan cermin.
2) Bayangan harus mengikuti gerak-gerik orang yang berdandan.
106
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
3) Keduanya harus bekerja sama agar bisa bergerak secara kompak dengan
kecepatan yang sama.
4) Minta peserta untuk mendiskusikan apa pesan dalam permainan ini.
F.4. Ice Breaking Bentuk Komunikasi
a. Menghitung Mundur
Langkah-langkah:
1) Minta peserta untuk berdiri dan membentuk suatu lingkaran. Setiap peserta
menghitung secara bergiliran mulai dari 1 sampai 50 (atau sejumlah peserta).
2) Pada saat menghitung, minta peserta memenuhi peraturan. Setiap angka “tujuh”
atau “kelipatan tujuh”, angka itu tidak disebutkan, melainkan diganti dengan
tepuk tangan.
3) Apabila ada peserta yang salah melaksanakan tugasnya, maka permainan dimulai
dari awal.
4) Sesudah 3 – 4 ronde, permainan tahap 1 selesai.
5) Permainan tahap 2 dimulai dengan cara yang sama seperti di atas, tetapi
hitungannya dimulai dari angka 50 mundur terus sampai dengan angka 1.
Peraturan yang diterapkan juga sama, yaitu setiap angka “tujuh” atau angka
“kelipatan tujuh”, angka itu tidak disebutkan, melainkan diganti dengan tepuk
tangan.
6) Setelah 3 - 4 ronde, permainan selesai.
7) Minta peserta untuk mendiskusikan. Manakah yang lebih baik banyak terjadi
kesalahan, cara 1 atau cara 2? Mengapa demikian? Kira-kira, apa hubungannya
permainan ini dengan cara kerja kita dalam kelompok belajar atau di tengahtengah kehidupan masyarakat kita? (Mudahkah mengganti kebiasaan pendekatan
dari atas dengan yang dari bawah?).
b. Memahat Patung
Langkah-langkah:
1) Minta beberapa orang peserta untuk tampil ke depan.
2) Minta satu orang menjadi pemahat patung. Satu orang lainnya menjadi patung itu
sendiri.
3) Minta pemahat patung untuk mulai bekerja menjadikan patung itu sesuai dengan
keinginannya dengan cara membimbing posisi kepala, kaki, tangan, tubuh
patungnya (misal: tangan kanan ke atas, tangan kiri memegang kepala, lutut
kanan bertumpu di lantai, kepala belok ke kiri, dan sebagainya).
4) Minta patung untuk menuruti semua posisi yang diminta oleh pemahat (selama
proses, pemahat dan patung tidak boleh saling berbicara).
107
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
5) Setelah selesai, ajukan pertanyaan kepada para pemahat, “Apakah
menyenangkan membuat patung sesuai keinginannya sendiri?”
6) Ajukan juga pertanyaan kepada terpahat, “Apakah menyenangkan untuk
dibentuk sedemikian rupa oleh orang lain?”
7) Kemudian diskusikan bersama peserta. Apakah manusia bisa dibentuk
sedemikian rupa oleh orang lain? Apakah hal bisa dilakukan pada anak-anak
bisa? Apakah ini juga bisa dilakukan pada orang dewasa? Bagaimana tanggapan
peserta tentang permainan ini?
c. Jenis Yel-Yel
Walaupun sederhana, yel-yel mempunyai tingkat “penyembuh” yang paling
baik dibanding jenis lain. Dengan melakukan yel-yel, konsentrasi menjadi pulih
kembali dan semangat tinggi untuk melanjutkan pembelajaran tumbuh pada peserta
didik. Selain itu terbukti efektif, yel-yel menanamkan kekompakan tim dalam suatu
proses pembelajaran.
Biasanya bila ingin memusatkan perhatian kembali, pengajar harus berteriakteriak, ”Anak-anak mohon ketenangannya karena materi berikut sangat penting!”. Hal
itu tentu sangat tidak efektif. Semakin keras pengajar berteriak, semakin gaduh pula
suasana ruang kelas. Semakin sering kita berteriak, semakin tidak terhormat pula
seorang pengajar di mata siswa.
Perlu strategi untuk mengatasi hal ini. Terlebih dahulu kita membuat
kesepakatan-kesepakatan untuk melakukan yel-yel tertentu. Yel yang paling sering
untuk tujuan ini adalah model-model sapa jawab. Contoh:
Pengajar menyapa
Halo
Sains
Apakabar
Selamat pagi
Selamat siang
Kita kembali ke…
Are you ready?
dan sebagainya
Peserta didik menjawab
Sains
Halo
Bioumum
Himbio
Praktikum
Laptop
Yes
Yel-yel juga sering digunakan untuk memompa semangat kerja tim dalam
kerja kelompok. Yel-yel model ini disuarakan untuk mengawali pekerjaan kelompok
ataupun mengakhirinya. Misalnya, pada saat pembelajaran peserta didik dibagi dalam
kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok dipersilahkan membuat yel-yel yang
dapat memotivasi mereka untuk lebih semangat atau bahkan mempunyai daya
kompetisi yang tinggi. Yel-yel yang mereka ciptakan akan sangat bervariasi. Jika ada
10 kelompok, terdapat 10 yel yang berbeda-beda.
108
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Yel-yel yang muncul seperti:
Pring reketek, gunung gamping ambrol
Pasti Kelompok anggrek yang paling jempol
Oke-oke.. yes..
d. Jenis tepuk tangan
Tepuk tangan pada awalnya merupakan salah satu ekspresi kegembiraan di
samping tertawa. Biasanya kegembiraan yang diekspresikan dengan tepuk tangan
adalah saat mendengar atau melihat diri kita atau orang lain yang memiliki hubungan
dekat dengan kita mengalami suatu keberhasilan tertentu.
Ice breaking atau energizer jenis tepuk dapat dilakukan oleh siapa saja. Bagi
peserta yang kurang suka menyanyi atau juga peserta yang kurang memiliki rasa
percaya diri biasanya memilih model ini. Tepuk tangan juga sangat bagus dilakukan
oleh siapa saja tanpa melihat usia. Dari anak kecil sampai orang dewasa tetap pantas
melakukan jenis ini. Untuk kepentingan ice breaking dalam pelatihan, tepuk tangan
dapat dimodifikasi menjadi banyak sekali modelnya.
F.5. Ice Breaking Bentuk Singkat
a. Harta benda dalam dompet/tas
Minta peserta memilih dua benda yang mereka bawa di dompet atau tas yang
penting bagi mereka. Minta setiap peserta untuk menjelaskan kenapa itu penting.
b. Yang Menarik dari Saya…
1) Minta peserta mengenalkan dirinya dengan menyebut nama dan sesuatu yang
menarik tentang dirinya. Misalnya, nama saya Agus pernah menjadi donor darah
di PMI.
2) Orang berikutnya mengenalkan diri dan juga orang sebelum dia yang telah
mengenalkan diri. Misalnya, nama saya Bagus pengelola taman sekolah dan dia
Agus pernah menjadi donor darah di PMI.
3) Proses berlanjut sampai semuanya telah dikenalkan dan seluruh kelompok
membantu jika ada yang terlupakan.
c. Halo-Hai
Fasilitator mengucapkan kata HALO dan peserta diminta menjawab HAI atau
sebaliknya. Variasikan dengan mengucapkannya menjadi 2 atau 3 kata. Hal tersebut
dapat membantu mengembalikan konsentrasi peserta.
109
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
d. Menuliskan Huruf
Peserta menulis huruf tetapi dengan menggunakan anggota tubuh sambil
mengucapkan huruf tersebut dengan keras.
e. Menggambar Sebuah Daun
Peserta menggambar sebuah daun dengan anggota tubuh.
f. Mencari Teman
Mencari teman dengan cara menirukan bunyi, menirukan gerakan atau tanya
jawab untuk membentuk kelompok.
g. Menghitung Jumlah Segi Empat pada Papan Catur
Beri peserta gambar papan catur dan minta mereka menghitung berapa jumlah
segi empat yang ada dalam waktu yang sangat singkat.
h. Deskripsikan Hasil Pengamatan
Beri benda (pena, pensil, penghapus, atau benda apa saja yang ada di meja)
dan minta mereka menuliskan deskripsi tentang benda tersebut minimal 50 kalimat
(kemampuan mengobservasi).
i. Lempar Bola Tepuk Tangan
Minta peserta bertepuk tangan satu kali setiap kali guru atau fasilitator
melempar bola atau bola terlepas dari tangan fasilitator. Beri hukuman bagi peserta
yang salah bertepuk tangan atau tidak bertepuk tangan.
j. Teka-Teki
Memberi teka-teki ringan dan lucu dan memberi penghargaan bagi yang bisa
menjawab.
k. Menggambar Sambil Menutup Mata
Peserta berpasangan. Salah seorang memberi instruksi kepada pasangannya
untuk menggambar sesuatu dalam keadaan mata tertutup. Cari yang tercepat selesai
gambarnya dan bagus.
l. Menonton Film
Memutarkan film singkat, video clip dan meminta mereka mengapresiasinya.
Cari jawaban yang paling masuk akal atau sebaliknya.
110
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
m. Kekuatan Memori
Tunjukan sederet kata kepada peserta. Kemudian hapus tulisan dan minta
mereka menyebutkan atau menuliskan lagi kata-kata tersebut. Lalu tampilkan lagi
sederet kata yang berbeda dan ajak peserta menyanyikannya dengan melodi lagu yang
sangat akrab di telinga mereka. Hapus tulisan dan minta mereka
menulis/menyebutkan kata–kata yang ada dalam lagu. Minta mereka membandingkan
perolehan kata pertama dan yang kedua. Minta mereka mengambil benang merah dari
kegiatan tersebut.
n. Mencari Teman dengan Suara Hewan
Tulislah nama-nama hewan dalam sebuah kertas kecil dan berikan kepada
peserta untuk mencari anggota kelompok dengan menyuarakan suara hewan. Perlu
diperhatikan bahwa nama hewan harus yang tidak sensitif dengan kultur masyarakat.
o. Kereta Api
Peserta diminta berbaris berurutan dengan memegang pundak peserta yang ada
di depannya. Ajak peserta berkeliling ruangan sambil menyanyi “naik kereta api
tut..tut..tut..siapa hendak turut dan seterusnya…..”
G. PROGRAM PENYAJIAN
Penggunaan ice breaking dalam pembelajaran sains bertujuan untuk
meningkatkan motivasi peserta didik sehingga berdampak positif pada ketuntasan
belajar siswa secara klasikal. Alur program penyajian ice breaking dalam
pembelajaran dapat disajikan sebagai berikut.
Kegiatan 1. Pada pendahuluan guru menginformasikan indikator, tujuan
pembelajaran, produk-produk yang harus dihasilkan dalam KBM, dan
strategi pembelajaran, kemudian beri ice breaking.
Kegiatan 2. Curah pendapat mengenai pengalaman, isu-isu dan masalah sains
dalam buku teks. Peserta didik mempelajari modul berbasis isu dan
masalah sains yang ditemukan dalam curah pendapat.
Kegiatan 3. Pemberian ice breaking untuk menyegarkan suasana sebelum kegiatan
inti dilakukan. Peserta didik mengidentifikasi masalah sains dalam
pembelajaran yang akan dibahas. Berdasarkan masalah tersebut peserta
berlatih menyusun instrumen yang diperlukan untuk koleksi data.
Mengingat waktu yang terbatas instrumen yang diperlukan tidak perlu
lengkap cukup yang mewakili dari aspek ranah sehingga setiap peserta
didik memiliki kesempatan melakukan eksperimen.
111
Seminar Nasional Pembelajaran Biologi yang Berkarakter dan Berbasis Lingkungan Tahun 2011
Banjarmasin, 7 Maret 2011
Kegiatan 4.
Kegiatan 5.
Setiap kelompok mempresentasikan instrumen yang dikembangkan
dan data yang dihasilkan dalam eksperimen berdasarkan masalah yang
diangkat. Peserta menanggapi dan mengkritisi.
Setiap kelompok merevisi instrumen dan data yang belum selesai
sesuai dengan saran-saran dari peserta didik lain dan fasilitator. Peserta
melakukan refleksi mengenai KBM. Instrumen dan data yang belum
sempurna diselesaikan peserta dalam tugas mandiri yang menjadi
bagian dari portofolio sebagai tagihan program kbm. Setelah membuat
kesimpulan sebelum mengakhiri kegiatan, kembali diberikan ice
breaking agar ketegangan dan kepenatan peserta didik bisa berkurang.
H. PENUTUP
1. Ice breaking merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru atau fasilitator guna
menyegarkan suasana kelas atau membikin suasana kelas menjadi akrab dan
menyenangkan.
2. Bentuk ice breaking dalam pembelajaran sains adalah perkenalan, penyegaran,
menghangatkan suasana, kerjasama tim, komunikasi, dan bentuk singkat.
3. Penggunaan ice breaking dalam pembelajaran sains bertujuan menghangatkan
suasana, penyegaran serta untuk meningkatkan motivasi belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2009. Draft Petunjuk Teknis Program Induksi Guru Pemula. Jakarta:
Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Demers, N.E. 2009. Structure-function lab in a bag. Journal of College Science
Teaching 39(2):58. Diakses: 21 Januari 2011.
Holil, A. 2009. Ice Breaker dalam Pembelajaran. http://lipi.go.id./ig. Diakses: 30
Nopember 2010.
Kompas. 2010. Guru dan Siswa yang Terintimidasi. Kompas, 11 November 2010.
Nur, M. 2008. Pemotivasian Siswa untuk Belajar. Cet. Ke-3. Surabaya: Unesa PSMS.
Solso, R.L. et al. 2008. Cognitive Psychology, 8th ed. Pearson Education. USA.
Sunartombs. 2008. Menjadi Fasilitator Idola. http:/lipi.go.id./ig. Diakses: 17
Desember 2010.
Uno, B. Hamzah. 2009. Teori Motivasi & Pengukurannya (Analisis di Bidang
Pendidikan). Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Zigmond, R.H. "Ask a provocative question to break the ice." College Teaching 56.3
(2008): 154+. Educator's Reference Complete. Diakses: 21 Januari 2011.
112
Download