Mengoptimalkan terapi antiretroviral untuk Odha yang koinfeksi HCV Oleh: Tracy Swan, Treatment Action Group Terapi antiretroviral (ART) dapat menunda perkembangan penyakit hati pada Odha yang koinfeksi dengan virus hepatitis, dengan cara mempertahankan fungsi kekebalan. Sebaliknya, koinfeksi virus hepatitis mempersulit pengobatan HIV, karena meningkatkan risiko terhadap hepatotoksisitas (kerusakan hati) terkait pengobatan dan penghentian ART. Selain keprihatinan terhadap hepatotoksisitas, manfaat ART untuk Odha yang koinfeksi lebih banyak daripada risikonya. Sebetulnya, ART adalah intervensi yang dapat menyelamatkan nyawa beberapa yang koinfeksi, karena kerusakan hati yang parah terkait HCV lebih cenderung terjadi pada Odha dengan jumlah CD4 di bawah 200. Karena kebanyakan Odha yang koinfeksi tidak mengalami hepatotoksisitas yang parah akibat ART, jelas bahwa pengobatan HIV tidak boleh ditunda pada Odha yang koinfeksi dengan virus hepatitis, walaupun pemantauan secara cermat untuk tanda dan gejala hepatotoksisitas diharuskan. Apa itu hepatotoksisitas? Beberapa pengobatan dapat menyebabkan kerusakan hati, berjenjang dari ringan hingga gawat. Kerusakan hati akibat penggunaan obat dapat muncul tanpa gejala, tetapi biasanya dapat ditemukan dengan tes laboratorium. Kerusakan sel ditandai dengan tingkat dua enzim hati (SGOT dan SGPT) yang tinggi. Beberapa obat dapat mengakibatkan sumbatan saluran empedu, disebut sebagai kerusakan kolestatik, yang ditandai dengan peningkatan tingkat gamma-glutamil dan alkalin fosfatase yang tinggi. Walaupun kerusakan kolestatik biasanya sembuh setelah menghentikan pengobatan, kegagalan hati dapat terjadi, meskipun jarang. Hepatotoksisitas akibat penggunaan antiretroviral (ARV) ditandai dengan peningkatan enzim hati yang disertai atau tidak disertai dengan gejala tambahan peradangan hati berikut ini: ikterus (sakit kuning), kelelahan, hilang nafsu makan, sakit perut/lambung, mual, muntah-muntah, diare, tinja berwarna muda dan urin keruh. Selain gejala ruam dapt mendahului atau menyertai sindrom hepatotoksisitas akibat nevirapine. Hepatotoksisitas sering muncul beberapa minggu setelah memulai rejimen atau obat ARV, tetapi dapat juga berkembang setelah memakai obat dalam jangka lebih panjang. Dalam banyak kasus, pasien dengan hepatotoksisitas dapat tetap memakai obatnya asal dipantau dengan seksama oleh dokter. Tetapi, para ahli mengusulkan bahwa semua obat harus dihentikan apabila dalam empat minggu pertama sejak memulai rejimen ART baru, tingkat enzim hati mencapai sepuluh kali lipat di atas batas normal. Melanjutkan penggunaan obat atau rejimen yang hepatotoksik dapat mengancam jiwa. Berbagai obat dari tiga golongan utama ARV yaitu, NRTI, NNRTI, dan PI, telah dikaitkan dengan hepatotoksisitas, dan, pada 2005, toksisitas hati yang parah bertanggung jawab atas dihentikannnya semua uji coba klinis antagonis CCR5 aplaviroc yang dilakukan Glaxo SmithKline. Mekanisme hepatotoksisitas Sementara koinfeksi dengan virus hepatitis menambah risiko secara berarti terhadap hepatotoksisitas terkait ARV, beberapa faktor tambahan juga dapat menyebabkan atau meningkatkan toksisitas hati. Ini termasuk alkohol, toksisitas obat tertentu secara langsung, dan interaksi antara obat ARV dan penggunaan pengobatan penyakit lain terkait HIV, yaitu infeksi opportunistik dan kondisi psikiatris. Perbedaan genetik pada enzim yang menguraikan obat dan faktor tubuh yang terkait juga dapat mempengaruhi risiko hepatotoksisitas secara individu. Pada Odha yang koinfeksi, pemulihan kekebalan terkait ART dapat mengakibatkan timbulnya gejala hepatitis secara tiba-tiba (flare), dan ARV tertentu dapat memperburuk steatosis hati (penimbunan lemak di hati), sebuah kondisi yang dikaitkan dengan kerusakan hati yang lebih parah pada orang yang terinfeksi virus hepatitis C. Dokumen ini didownload dari situs web Yayasan Spiritia http://spiritia.or.id/ Mengoptimalkan terapi antiretroviral untuk Odha yang koinfeksi HCV Hati terlibat dalam penguraian beberapa unsur ARV, dan kerusakan hati yang parah dapat mengubah kemampuan metabolik atau penguraian hati. Sejauh mana kerusakan hati dapat berbeda secara luas di antara Odha yang koinfeksi, berjenjang dari fibrosis ringan sampai kerusakan hati parah yang disebut sirosis. Odha yang koinfeksi yang mempunyai kerusakan hati yang parah (didefinisikan sebagai biopsi Metavir skor F3 atau F4) lebih cenderung mengembangkan hepatotoksisitas terkait ARV daripada mereka yang mempunyai skor Metavir yang lebih rendah (F1 atau F2) dan kerusakan hati yang lebih sedikit.¹ Untuk orang yang rentan dan mempunyai penyakit hati lebih lanjut, perubahan metabolik dapat meningkatkan atau mengurangi tingkat obat dalam darah, yang berakibat penimbunan tingkat obat yang toksik dibarengi dengan risiko yang lebih tinggi terhadap efek samping dan toksisitas, atau penurunan ke tingkat subterapeutik dan risiko lebih tinggi mengembangkan resistansi terhadap obat. Perubahan metabolik dapat juga meningkatkan potensi untuk interaksi antarobat. Tingkat ARV dan hepatotoksisitas Tingkat ARV dalam darah harus cukup tinggi supaya obat dapat mencapai hasilnya tanpa mengkibatkan toksisitas; tingkat ARV dalam darah antara takaran minimum yang efektif dan takaran yang toksik disebut sebagai jendela terapeutik. Takaran melebihi batas jendela terapeutik dapat memperburuk efek samping dan menambah toksisitas, dengan risiko pasien berhenti memakainya, atau lebih buruk lagi. Masuk akal dianggap bahwa penyebab beberapa kasus hepatotoksisitas adalah takaran yang melebihi jendela terapeutik secara kronis. Lebih lanjut, jendela terapeutik mungkin berbeda pada tiap orang tergantung pada obat yang dipakai bersamaan dan faktor genetik, imunologi, atau lingkungan. Penelitian farmakokinetik (PK) menilai apa yang terjadi pada obat di dalam tubuh: bagaimana obat diserap, diedarkan, diuraikan dan dikeluarkan. Penelitian farmakodinamik (PD) menilai aktivitas obat, atau apa yang dilakukan obat pada tubuh. Data dari kedua jenis penelitian diperlukan untuk menentukan keamanan pada hati dan takaran ARV yang tepat pada Odha yang koinfeksi. Penting bahwa Odha yang koinfeksi dilibatkan dan dipantau secara cermat pada penelitian tentang obat baru fase II dan III sehingga dalam jangka panjang data mengenai kesehatan hati dan kemampuan menerima ARV dapat dikumpulkan. Beberapa data mengenai kadar obat pada orang dengan kerusakan hati parah tersedia. Pada 2003, FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan di AS) menerbitkan panduan kepada industri tentang pelaksanaan PK pada orang dengan kerusakan hati (didefinisikan sebagai sirosis ringan sampai sedang berdasarkan sistim skor Child-Pugh). FDA menyarankan (bukan mengharuskan) penelitian ini dilakukan, ketika metabolisme dan/atau penguraian hati bertanggung jawab untuk bagian bermakna (>20 persen) dari obat yang terserap atau pengeluaran obat induk atau metabolit aktif. Tambahannya, walaupun ketika kurang dari 20 persen obat atau metabolit aktif dikeluarkan, secara tegas FDA menyarankan bahwa perusahaan sebaiknya melakukan penelitian ini bila etiket, kepustakaan atau informasi yang tersedia berpendapat bahwa obat ini mempunyai jendela terapeutik yang sempit.² Walaupun penelitian kerusakan hati yang dilaksanakan hingga kini telah memberi informasi yang bermanfaat, hasil penelitian ini tidak berlaku untuk semua yang koinfeksi, hanya untuk mereka yang telah berkembang menjadi sirosis. Tingkat ARV pada Odha yang mempunyai kerusakan hati ringan hingga sedang tidak diteliti, dan semua ARV yang telah disetujui telah diteliti pada orang dengan sirosis. Sebelum disetujui, FDA harus meminta bahwa penelitian PK tentang ARV dilakukan pada Odha yang koinfeksi dengan tingkat kerusakan hati yang berbeda, terutama pada mereka yang mempunyai kerusakan hati yang lebih parah seperti peralihan ke fibrosis dan sirosis. Yang ideal, asal tidak ada perhatian penting mengenai keamanan obat, penelitian PK pada Odha yang koinfeksi harus dimulai sebelum percobaan fase III dan program akses secara lebih luas diluncurkan. Penelitian PK hanya merupakan langkah awal menuju optimalisasi ART untuk Odha yang koinfeksi. Data tambahan diperlukan, terutama untuk penilaian jangka waktu lebih panjang mengenai tingkat ARV, efek samping, keamanan, kemanjuran, kemampuan ditolerir dan perkembangan penyakit hati pada Odha yang koinfeksi. –2– Mengoptimalkan terapi antiretroviral untuk Odha yang koinfeksi HCV Alternatif terhadap biopsi diperlukan Tetapi tantangan besar dalam merancang penelitian semacam itu adalah belum ada cara yang murah dan tidak invasif untuk menilai kerusakan hati dalam penelitian dan upaya klinis. Biopsi hati adalah cara terbaik untuk menentukan apa yang terjadi pada jaringan hati, tetapi tindakan ini mahal, invasif dan dapat menyakitkan, serta membawa risiko komplikasi yang rendah – walau jarang hal ini dapat mengancam jiwa. Penelitian yang berlanjut menilai beberapa alternatif terhadap biopsi hati, tetapi tidak satu pun siap menggantikan standar terbaik (standar mas) ini. Satu solusi yang potensial meliputi penggunaan kombinasi tes darah yang dikenal sebagai panel serum biomarker, untuk menilai sejauh mana kerusakan hati dalam praktek klinis. Meskipun banyak pakar tidak berpendapat bahwa panel serum biomarker adalah pengganti biopsi hati yang praktis, panel ini kemungkinan akan dipakai di klinik. Satu cara untuk mengerti nilai dari panel ini adalah dengan melibatkan Odha yang koinfeksi yang sudah dibiopsi ke dalam penelitian PK, kemudian membandingkan hasil tes serum biomarker dengan biopsi. Apabila ditemukan korelasi hasil yang baik antara biopsi dengan panel serum biomarker, ini berarti data yang berharga dan berhubungan secara klinis dapat dikumpulkan. Tingkat obat penting Lebih banyak penelitian mengenai kadar ARV pada Odha yang koinfeksi juga dibutuhkan, terutama karena banyak data bertentangan yang terkumpul dari banyak penelitian PK kecil mengenai obat tunggal. Contohnya, Dominguez dan rekan melaporkan bahwa peserta yang koinfeksi mempunyai tingkat lopinavir/r yang lebih rendah secara berarti dibandingkan dengan yang hanya terinfeksi HIV pada Hepadose, sebuah penelitian PK baru-baru ini mengukur tingkat PI dan NNRTI pada 132 Odha, 70 di antaranya koinfeksi. Hepadose mengukur endapan (trough) PI dan NNRTI dalam darah pada 132 peserta (trough adalah tingkat obat terendah dalam darah sesaat sebelum dosis berikutnya). Tetapi sebuah penelitian lain dari Dickinson dan rekan tidak menemukan perbedaan tingkat lopinavir/r dalam darah secara berarti berdasarkan status HCV, atau bahkan di antara yang sirosis.3,4 Hepadose juga menemukan tingkat endapan efavirenz, nevirapine dan nelfinavir yang lebih tinggi secara berarti pada Odha yang koinfeksi dibandingkan dengan yang hanya terinfeksi HIV. Secara khusus, penelitian ini melihat tingkat endapan efavirenz and nevirapine yang melebihi batas terapeutik secara berarti pada 56 persen pasien yang koinfeksi dengan skor fibrosis F0 sampai F3, dan 86 persennya F4 (vs. 24 persen hanya terinfeksi HIV saja).3 Penelitian lain sudah melaporkan penemuan serupa. Jeantils dan rekan menemukan tingkat endapan efavirenz melebihi batas pada 6 dari 12 Odha yang koinfeksi. Berdasarkan itu, para penyelidik berhasil mengurangi takaran efavirenz dari 600mg hingga 400 mg per hari.5 Sampai lebih banyak data tersedia mengenai tingkat ARV dalam koinfeksi, therapeutic drug monitoring (TDM) mungkin berguna untuk Odha yang koinfeksi, terutama mereka yang mempunyai kerusakan hati yang parah, dan pasien yang mempunyai tingkat enzim hati yang tinggi, efek samping atau kerusakan virologis. Penelitian TDM menyediakan tingkat PI dan/atau NNRTI (analog nukleosida, yang menjadi aktif hanya di dalam sel, membutuhkan tes intrasel untuk mengukur kepekatan obat) dalam darah secara individu. Berdasarkan itu, takaran disesuaikan sesuai kebutuhan. Sayang sekali, TDM merupakan ukuran secara individu, dan tidak berlaku untuk orang lain selain peserta yang sedang diteliti. TDM lebih sering dipakai di Eropa daripada di AS; di luar percobaan klinis di AS sulit didapat dan mahal. Ringkasan: Optimizing Antiretroviral Therapy for HCV Coinfected People, TAGline Vol. 12, No.2, Desember 2006 http://aidsinfonyc.org/tag/tagline/0612.html#8 Sumber: 1. Aranzabal L, Casado J, Quereda C, et al. HAART-associated hepatotoxicity in HIV/HCV co-infected patients with advanced chronic liver disease or cirrhosis. Abstract TuPe1.1C38. 3rd International AIDS Society Conference on HIV Pathogenesis and Treatment, Rio de Janeiro, Brazil. July 2005. –3– Mengoptimalkan terapi antiretroviral untuk Odha yang koinfeksi HCV 2. Food and Drug Administration. Guidance for Industry. Pharmacokinetics in Patients with Impaired Hepatic Function: Study Design, Data Analysis, and Impact on Dosing and Labeling. May 2003. www.fda.gov/cder/guidance/3625fnl.doc (accessed on 7th October 2005) 3. Dominguez S, Peytavin G, Guiguet M, et al. The HEPADOSE Study: evaluation of protease inhibitors and non nucleoside analogue plasma concentrations in HIV/HCV and HIV infected patients. Abstract WePp0305. 3rd International AIDS Society Conference on HIV Pathogenesis and Treatment, Rio de Janeiro, Brazil. July 2005. 4. Dickinson L, Micheli V, Meraviglia P, et al. The impact of co-infection with Hepatitis C or Hepatitis B on lopinavir pharmacokinetics in patients infected with HIV. Abstract WePe3.2C06. 3rd International AIDS Society Conference on HIV Pathogenesis and Treatment, Rio de Janeiro, Brazil. July 2005. 5. Jeantils V, Wade A, Touitou H, et al. Therapeutic drug monitoring of efavirenz (EFV) in HIV-1 infected patients treated with efavirenz containing regimen. Abstract H-1995. 43rd Interscience Conference on Antimicrobial Agents and Chemotherapy. Chicago, Illinois. 2003. Penelitian yang lebih baik, alat yang lebih baik diperlukan Dengan adanya prevalensi koinfeksi dengan virus hepatitis di antara Odha, diperlukan secara mendesak informasi yang lebih banyak tentang tingkat obat, keamanan jangka panjang dan kemampuan ARV ditoleransi oleh para Odha. FDA harus bertindak lebih dari menyarankan penelitian PK tentang ARV pada pasien yang mempunyai kerusakan hati, dengan meminta penelitian PK pada Odha yang koinfeksi yang mempunyai kerusakan hati sedang hingga parah sebelum obat tersebut disetujui. Ketika dibutuhkan, sponsor harus mendukung penelitian PK mengenai ARV yang disetujui. Data berjangka lebih lama diperlukan, karena makin lama tingkat obat dapat bertambah atau kerusakan hati dapat berlanjut, sehingga mengubah keamanannya, kemampuan ditoleransi dan kemanjuran ARV tersebut. Odha yang koinfeksi pada penelitian tahap II hingga IV harus dipantau secara seksama apabila kita ingin menentukan keamanan, kemanjuran dan kemampuan ARV tersebut ditoleransi. Alat baru juga diperlukan untuk menyederhanakan penilaian kerusakan hati, dan membuat hasil PK yang lebih terkait secara klinis untuk pasien yang belum pernah dibiopsi. Kemitraan antara peneliti publik dan swasta harus mendukung pengembangan dan peyakinan panel non-invasive serum biomarker. Para perancang dan sponsor penelitian kelompok jangka panjang perlu menggabungkan panel serum biomarker sebagai tindak lanjut pada peserta yang koinfeksi. Aktivis dan pembuat kebijakan harus melanjutkan kerja sama mereka untuk meningkatkan persyaratan sebelum dan sesudah persetujuan. Etiket obat harus mencerminkan kurangnya data yang spesifik terhadap Odha yang koinfeksi karena komitmen sebelum dan sesudah pemasaran tidak lengkap. Usulan HCV lain dapat diakses di: http://www.treatmentactiongroup.org/ –4–