BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi etnis, bangsa yang kaya dengan keanekaragaman suku bangsa (etnis), budaya, adat istiadat, bahasa, dan agama. Warnaen (2002; 12) mengungkapkan Setidaknya terdapat 205 suku bangsa atau etnis yang berbeda di Indonesia. Hal ini semakin memperkuat bahwa memang benar kalau bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multi etnis. Warnaen juga mengungkapkan jika perbedaan yang ada itu tidak bisa dikelola dengan baik maka bisa memicu terjadinya konflik antar etnis yang bisa menyebabkan terganggunya hubungan interaksi sosial masyarakat itu sendiri. Dalam beberapa tahun belakangan ini konflik antara etnis dan agama kian merebak di Indonesia. kerukunan dan kedamaian yang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia berubah menjadi permusuhan dan pertikaian antar sesama yang mengakibatkan ratusan hingga ribuan harta benda, bahkan jiwa yang menjadi korban dalam konflik tersebut. Dalam masyarakat yang majemuk konflik bisa saja terjadi pada hubungan interaksi sosial masyarakat itu sendiri hal ini dikarenakan perbedaan kebudayaan. Menurut Simmel (Susan, 2009;42) konflik merupakan proses sosialisasi yang bisa menciptakan asosialisasi (kelompok-kelompok dalam satu masyarakat yang majemuk) dan ketika konflik tersebut menjadi bagian dari interaksi sosial maka dengan sendirinya akan tercipta jurang pemisah antara kelompok yang satu dengan yang lain (permusuhan). Defenisi lain datang dari Ritzer (2000) yang mengungkapkan bahwa konflik merupakan konsekuensi dari perubahan sosial. Masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan pertentangan terus-menerus antara kelompok-kelompok masyarakat. Kehidupan bermasyarakat yang harmonis diIndonesia, yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat baik kelompok secara etnis, agama dan sistem sosialnya mulai goyang sekitar akhir tahun 1990-an hingga awal 2000-an. Sejumlah konflik berdarah terjadi di beberapa daerah diindonesia seperti di Poso, Kalimantan Barat, Ambon, Maluku Utara dan beberapa daerah lainnya di Indonesia. Gelombang konflik yang terjadi ini cukup banyak menarik korban baik secara materil maupun jiwa. Beberapa pihak menyalahkan pembangunan orde baru yang tidak adil yang mengakibatkan kesenjangan ekonomi menjadi penyebab konflik antara etnis yang terjadi dibeberapa tempat di Indonesia. Menurut penelitian terdahulu mengenai konflik Maluku Utara menjelaskan bahwa jauh sebelum Maluku Utara mengalami konflik antara etnis dan konflik-konflik sosial lainnya, tindakan-tindakan anarkis jarang sekali terjadi di kalangan masyarakat, meskipun masyarakat 1 Maluku Utara dikenal memiliki karakter yang keras akan tetapi tindakan-tidakan anarkis bukan dari bagian budaya dan ciri khas masyarakat Maluku Utara (repository.upi.edu). Masyarakat Maluku Utara pada khususnya masyarakat di desa Bale yang mayoritas penduduknya terdiri dari dua kelompok agama yaitu agama Kristen dan agama Islam mampu barinteraksi dengan baik antara satu individu tertentu dengan satu kelompok masyarakat tertentu atau organisasi lain tanpa melihat latar belakang agama. Dalam interaksi masyarakat di desa Bale melakukan dengan penuh perhatian, dan memiliki kemauan untuk saling membantu dan bekerjasama, sebagai contoh masyarakat desa Bale selalu bergotong royong dan kerja sama dalam hal melakukan kegiatan-kegiatan pembangunan desa, tempat-tempat peribadatan, dan kegiatan-kegiatan pesta adat. serta keterampilan-ketrampilan lain sedemikian rupa sehingga hanya sedikit konflik yang terjadi di dalamnya. Bilamana konflik itu memang terjadi, maka lebih sering konflik itu dapat diatasi daripada tidak. Bahkan dapat diselesaikan dengan kekeluargaan dengan sedikit masalah dan dapat memuaskan semua pihak yang berkonflik. Tetapi nilai-nilai yang telah dijabarkan diatas mulai bergeser ketika ada beberapa isu mengenai penyerangan-peneyerangan yang dilakukan masyarakat setempat dengan mengatas namakan agama. Hal ini juga berpapasan ketika banyak pihak yang menduga bahwa kebijakan migrasi masyarakat Makian ke Kao adalah dalam rangka mengimbangi atau sebagai reaksi dalam zending (kristennisasi) yang tampaknya semakin meluas di wilayah Halmahera (Sri Yuniarti, 2004:93). Menurut Suandi dkk (2003;41-43) konflik bisa dibagi menjadi dua bentuk yaitu “ konflik atas” yang memiliki dimensi vertikal dan “ konflik horizontal”. Yang dimaksud konflik atas adalah konflik antara elite ( para pengambil kebijakan) dengan rakyat. Hal yang menonjol dalam konflik ini adalah digunakannya kekerasan dari instrumen negara, sehingga timbul korban di kalangan masyarakat. Yang kedua adalah bentuk konflik horizontal yang dimaksudkan disini adalah konflik yang terjadi di kalangan masyarakat sendiri antara lain: (1) konflik antara agama, khususnya untuk di Indonesia sendiri antara agama Kristen dan agama Islam. sebagai contoh konflik yang terjadi di Ambon, Jakarta, Maluku Utara dan lain-lain;(2) konflik antara suku, khususnya antara suku jawa dengan suku-suku lain diluar pulau Jawa. Seperti kasus antara suku Madura dengan suku Dayak di Kalimantan Barat (Pontianak dan Sampit). Seperti yang terjadi di daerah lain konflik yang terjadi di Maluku Utara berawal dari kesenjangan sosial, perebutan sumber daya alam, dan lain sebagainya. Menurut Sri Yuniarti, dkk (2004) mereka mencoba menemukan bagaimana sesungguhnya struktur konflik di Maluku Utara yang terjadi pada tahun 1999-2000 dan mereka menemukan bahwa konflik di Maluku Utara pada tahap awal adalah konflik yang bernuansa suku yang kemudian menyebar menjadi konflik yang bernuansa agama serta adanya nilai dan norma budaya yang direduksi dan dipolitisasi untuk kepentingan ekonomi dan politik kelompok. Mantri Karno ( 2008) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa akar 2 persoalan sumber konflik di Maluku Utara seperti halnya yang terjadi di Maluku Tengah, tidaklah tunggal. Persoalan kesenjangan sosial, perebutan sumberdaya alam serta pertikaian elite politik dan birokrasi merupakan faktor pembungkus ”konflik agama” yang selama diyakini oleh sebagian besar masyarakat baik dalam konteks nasional maupun dalam konteks lokal. Dalam konteks lokal, setidaknya ada dua faktor penting yang mendasari konflik di wilayah ini yaitu : (1) Rivalitas elite dalam merebutkan pengelolaan sumberdaya alam dan jabatan-jabatan birokrasi serta politik, (2) Menguatnya etnosentrisme sebagai alat untuk merebutkan sumber-sumber ekonomi dan politik. Jan Nanere dkk (2000) dalam penelitian tersebut mereka menemukan bahwa konflik antar warga beragama Islam dan Kristen yang terjadi di Halmahera diawali terlebih dahulu konflik antara dua desa yang berada di kecamatan Ibu yaitu desa Talaga (mayoritas penduduknya beragama Islam) dan desa Bataka ( mayoritas penduduknya beragama Kristen). Dari sini bisa dilihat bahwa pada awalnya konflik ini memang telah bernuansa agama tetapi tidak banyak yang mengetahuinya (dikarenakan insiden Talaga ini berlangsung singkat dan beritanya tidak disebarluaskan) yang kemudian disusul oleh insiden Malifut yang bernuansa suku kemudian menyebar luas menjadi nuansa agama. Mengingat besarnya pengaruh konflik di Maluku Utara, maka pada prinsipnya harus ada penanganan yang bersifat tegas dari pemerintah setempat agar timbulnya perdamaian yang bersifat parmanen. Kriesberg (1998) mengatakan proses resolusi konflik terbagi menjadi empat tahapan yaitu: (1) tahapan deskalasi konflik yang terjadi di Maluku Utara ialah dengan pendekatan militer yang diupayakan dengan memberlakukan status darurat sipil dengan keppres no. 88 tahun 2000, (2) tahapan selanjutnya yaitu tahapan negosiasi dalam kerusuhan Maluku Utara, tahapan negosiasi di inisiasi oleh pemerintah pusat melalui perjanjian Malino II dan juga pertemuan-pertemuan yang disponsori oleh aparat-aparat militer, (3) pada tahapan yang ketiga atau tahapan pemecahan masalah adalah tahapan dimana perlu diupayakan kondisi yang kondusif bagi kelompok-kelompok yang bertikai agar dapat melakukan transformasi konflik, (4) tahapan terakhir yaitu dengan membangun perdamaian meliputi tahan rekonsiliasi dan konsolidasi. Dan dalam tahapan rekonsoliasi untuk memulikan kasucian masyarakat yang sudah ternoda dari tindak kekerasan, yang sudah diupayakan oleh berbagai pihak sehingga warga yang mengalami konflik dapat kembali ketempat mereka masing-masing. Perencanaan perdamaian merupakan fungsi yang harus dilaksanakan dan dikerjakan untuk mempersiapkan kedamaian diantara kedua kubu yang dapat mampu menjawab setiap persoalan pembangunan dan mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan sosial maupun ekonomi di dalam masyarakat itu sendiri. Kerugian yang diakibatkan oleh konflik yang terjadi ini tidaklah sedikit, baik dari segi korban jiwa, psikologis masyarakat setempat, maupun harta benda. Dari segi psikologis konflik yang terjadi di Maluku Utara ini telah menorehkan trauma yang dalam kepada para korban. Hal ini 3 mengakibatkan masyarakat setempat merasa depresi dan enggan untuk kembali ke daerah masing-masing, dikarenakan kekwatiran konflik akan bertambah parah. Untuk mengatasi hal ini pemerintah membantu memulangkan masyarakat korban konflik dan membantu membangun kembali tempat tinggal mereka. Seiring dengan berjalannya waktu kondisi keamanan di Maluku Utara kian membaik tetapi, tetap saja konflik yang terjadi pasti membawa dampak terhadap beberapa aspek kehidupan masyarakat baik dari aspek psikologis, sosial-ekonomi, interaksi kedua kelompok dan bebrapa aspek lainnya. yang kemudian itu yang menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah untuk melakukan suatu usaha agar kedua kelompok yang pernah berkonflik ini tidak lagi melakukan tindakan-tindakan yang dapat merusak hubungan yang sudah agak membaik setelah pasca perdamaian. Setelah pasca perdamaian, Pada tanggal 31 Mei 2003 terbentuknya Kabupaten Halmahera Utara (Halut) dengan ibu kota Tobelo. Sejalan dengan pembentukan kabupaten baru, maka kecamatan dan desa pun dimekarkan. Sembilan kecamatan dimekarkan menjadi 22 kecamatan dan 174 desa menjadi 260 desa. Yang dimana kecamatan Galela pun dibagi menjadi 4 kecamatan, 2 Kecamatan berada di pesisir pantai yakni Kecamatan Galela dan Kecamatan Galela Utara, sedangkan 2 kecamatan lagi berada di pedalaman yaitu kecamatan Galela Selatan dan Kecamatan Galela Barat dan dengan dimekarkankannya kecamatan diikuti dengan pemekaran desa, seperti Soasio dimekarkan menjadi 3 desa (Galela), dan Togawa dimekarkan menjadi 2 desa(Galela Selatan), Bale dimekarkan menjadi 2 desa(Galela Selatan), Soatobaru dimekarkan menjadi 2 Desa, Dokulamo Dimekarkan Menjadi 2 Desa(Galela Barat) dan Saluta dimekarkan Menjadi 2 Desa(Galela Utara). Maka jumalah desa di 4 Kecamatan tersebut adalah 39 Desa dengan perinciannya adalah : - Kecamatan Galela membawahi 7 Desa - Kecamatan Galela Barat membawahi 9 Desa - Kecamatan Galela Utara membawahi 12 Desa - Kecamatan Galela Selatan membawahi 7 Desa. Yang kemudian ini yang menjadi suatu persaingan dan memberikan jarak pemisah antara satu desa dengan desa yang lain. 4 PETA WILAYAH KABUPATEN HALMAHERA UTARA Di desa Bale konflik telah menorehkan trauma yang mendalam terhadap masyarakat desa ini. Hal ini mengakibatkan tidak ada lagi rasa saling percaya antara kedua kelompok masyarakat yang berkonflik didesa ini, yang tersisa hanyalah rasa curiga terhadap kelompok masyarakat agama. Dimana yang dulunya masyarakat setempat hidup rukun dan damai, saling bergotong royong dalam hal pembangunan desa, Membangunan tempat peribadatan, dan dan saling membantu dalam perayaan pesta-pesta adat tanpa melihat latarbelakang Agama maupun Suku. tetapi pasca konflik hubungan antara dua kelompok ini seakan-akan tidak ada lagi rasa gotong royong dan tolong-menolong, akan tetapi seakan-akan terjadi pengkotak-kotakan antara kelompok agama Kristen dan kelompok agama Islam. Sehingga menimbulkan beberapa konflik pada perayaan-perayaan pesta adat dengan mengatas namakan agama. Hal ini diperparah ketika pemerintah tidak menanggulangi trauma psikologis yang terjadi di antara kedua kelompok agama di desa ini, bahkan pemerintah malah memekarkan desa Bale ini menjadi dua desa yang berbasis agama dengan kata lain desa induk yaitu desa Bale didominasi oleh masyarakat Kristen sedangkan desa Ori yang merupakan desa pemekaran didominasi oleh masyarakat Islam. 5 Tabel: jumlah penduduk dan luas wilayah desa No 1 Nama desa Duma Luas Jumlah penduduk Wilayah berdasarkan agama P: 1000 m Islam: 4 L: 450 m Kristen:1481 Total 1485 jiwa Ket Penduduk yang beragama Islam adalah pendatang 2 Bale P: 600 m Islam: 3 L: 250 m Kristen:434 437 jiwa Pemduduk yang beragama Islam adalah pendatang 3 4 5 6 Ori Igobula Soakonora Mamuya P: 600 m Islam: 573 L: 500 m Kristen: 0 P: 1000 m Islam: 1806 L: 1000 m Kristen: - P: 1000 m Islam: 1754 L: 900 m Kristen:537 P: 1000 m Islam: 1016 L: 500 m Kristen:826 573 jiwa 1806 jiwa 2291 jiwa 1842 jiwa Sumber: Hasil analisis data pada juni 2012 Jika dilihat dari penyebaran masyarakat disetiap desa kecamatan Galela, baik dari Galela Induk, Galela Utara,Galela Selatan, dan Galela Barat. Ada beberapa desa yang memiliki potensi, baik dari segi luas wilayah desa, dan kepadatan penduduk untuk dimekarkan. Misalnya desa Mamuya (Galela), Igobula (Galsel), soakonora (Galsel), dan Duma (Galbat) seperti pada tabel diatas, yang jauh besar luas wilayah dan kepadatan penduduk dibandingkan desa Bale. Akan tetapi keempat desa ini malah tidak dimekarkan oleh pemerintah. Sehingga apa yang menjadi latar belakang dan pertimbangan pemerintah dalam melihat suatu desa dan kemudian memekarkannya?. Dengan melihat latarbelakang diatas menjadi menarik untuk penulis untuk melakukan penelitian mengenai “ bagaimana proses pembagian wilayah dan bagaimana dampak dari pembagian wilayah pasca konflik “ 6 1.2 Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang penelitian diatas, maka dapat dirumuskan suatu pokok permasalahan yaitu : 1 Bagaimana proses pembagian wilayah didesa Bale dan Desa Ori pasca konflik? 2 Bagaimana dampak sosial ekonomi, budaya, dan politik didesa Bale dan desa Ori setelah pememekaran wilayah pasca konflik ? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk 1. Memperoleh gambaran tentang bagaimana proses pembagian wilayah didesa Bale dan Ori pasca konflik. 2. Menggambarkan bagaimana dampak sosial masyarakat desa Bale dan desa Ori pasca konflik. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan sebagai berikut: 1. Secara akademis, diharapkan tulisan ini diharapkan mampu memberikan kontribusi positif terhadap para akademisi dalam menambah kekayaan terhadap ilmu pengetahuan. 2 Sebagai sumbangan pemikiran bagi studi tentang bagaimana proses pembagian wilayah dan dampak sosial masyarakat didesa Bale dan Ori pasca konflik. 3 Sebagai referensi dan bahan kajian tambahan bagi pihak yang tertarik untuk mempelajari maupun mengetahui lebih jauh bagaimana proses pembagian wilayah dan dampak sosial masyarakat yang terjadi didesa Bale dan Ori pasca konflik. 7