Kerangka Acuan Diskusi Regional Forum Kawasan Timur Indonesia Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim untuk Pulau‐pulau Kecil di Kawasan Timur Indonesia Lombok, 17‐19 Oktober 2011 Latar Belakang Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.500 pulau yang besar dan kecil, terdiri atas 62% areal perairan dan 38% areal daratan, dengan 81.000 km garis pantai. Pulau‐pulau kecil merupakan sebutan untuk wilayah yang memiliki karakteristik terpisah dari pulau induk dan cenderung terisolir, memiliki sumber daya air yang terbatas, rentan terhadap pengaruh dari luar baik yang bersifat alami maupun akibat kegiatan manusia. Tidak jarang pula pulau‐pulau kecil ini memiliki spesies endemik (Bengen, 2004). Sebagian besar dari pulau‐pulau kecil ini berada di Kawasan Timur Indonesia. Ini dibuktikan dengan adanya 5 provinsi kepulauan di wilayah ini. Perubahan iklim berdampak luas terhadap jutaan masyarakat pulau‐pulau kecil, yang terutama berprofesi sebagai nelayan pesisir. Mereka bergantung pada ekosistem yang amat rentan yang dengan perubahan kecil saja sudah berdampak besar: perubahan suhu air yang merusak terumbu karang, misalnya, akan memperparah kondisi buruk yang dilakukan manusia seperti polusi dan penangkapan ikan besar‐besaran sehingga menurunkan populasi ikan. Perahu‐perahu penangkap ikan juga mesti mesti menghadapi cuaca yang tidak menentu dan gelombang tinggi. Perubahan iklim juga sudah mengganggu mata pencaharian di banyak pulau. Kerentanan pulau‐pulau kecil terhadap dampak dari perubahan iklim disebabkan kemampuan adaptasi yang relatif terbatas, terutama karena sulitnya akses ke berbagai sarana dan prasarana pendukung. Berbagai ancaman yang mengintai pulau‐pulau kecil di KTI antara lain kenaikan permukaan air laut, erosi pantai, intrusi air laut. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa minimal 8 dari 92 pulau‐pulau kecil terluar yang merupakan perbatasan perairan Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan muka air laut. Berdasarkan catatan stasiun pasang surut di KTI khususnya Kupang, Biak dan Sorong maka elevasiparas muka air laut di kawasan tersebut meningkat sejak tahun 1990 hingga kini. Dalam periode 2005‐2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil (Kementerian Kelautan dan Perikanan). Dari jumlah pulau tersebut 3 pulau di Papua dan satu pulau di Sulawesi Selatan. Dengan peningkatan 8‐30 cm permukaan laut, diprediksikan Indonesia akan kehilangan 2000 pulau kecil pada tahun 2030. Seorang nelayan dari etnis To Bajo, warga Tanjung Jepara, Desa Jayabakti, Kabupaten Banggai, mengeluh karena kurangnya ikan yang bisa ditangkap, sehingga harga ikan dan hasil laut lainnya semakin mahal. Perubahan iklim membuat nelayan miskin yang menggunakan perahu kecil tak mau mengambil resiko berhadapan dengan ombak besar yang bisa datang kapan saja tanpa bisa diterka. “Jika dampak perubahan iklim benar akan melanda kami sebagai nelayan, apakah pemerintah akan membantu kami?.” ia bertanya.1 Pada saat yang bersamaan, Robo, warga Desa Selmona, Kepulauan Aru, Maluku, beralih profesi dari nelayan menjadi petani rumput laut. Usaha ini kemudian membuahkan hasil yang layak untuk dirinya dan keluarga. Walaupun pada awalnya Robo beralih usaha karena kondisi melaut yang selalu berubah, apa yang dilakukannya sebenarnya merupakan satu bentuk adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang berhasil. Perlu diketahuii bahwa masyarakat pulau‐pulau kecil ini juga adalah kelompok yang memiliki kearifan lokal dan motivasi yang paling kuat untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan‐perubahan yang terjadi di lingkungannya. Kepedulian akan dampak perubahan iklim ini sudah menjadi kepedulian masyarakat dunia. Ini dimulai dengan berbagai upaya untuk mitigasi perubahan iklim yaitu upaya bersama untuk menekan pemanasan global, antara lain melalui kesepakatan Protokol Kyoto tahun 1997. Selanjutnya adaptasi perubahan iklim yang diakibatkan pemanasan global itu semakin menjadi kekhawatiran dan kepedulian dunia. Perlu ada strategi adaptasi yang mencerminkan dinamika kehidupan masyarakat dan menjawab kebutuhan tingkat lokal. Adaptasi juga harus diintegrasikan dalam kerangka pembangunan yang lebih luas dan bukannya dilihat sebagai sebuah tindakan yang terpisah. Kondisi di atas harus dilihat oleh berbagai pihak agar dapat saling memberikan dukungan. Di satu sisi, masyarakat (demand side) yang hidup di pulau‐pulau kecil memiliki kearifan lokal dan motivasi yang kuat untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan‐perubahan yang terjadi di lingkungannya. Di sisi lain, lembaga‐lembaga pemerintah dan internasional (supply side) memiliki program dan sumber daya yang cukup untuk mendukung masyarakat dalam melakukan adaptasi. Kedua elemen ini harus dipertemukan untuk saling berbagi dan memahami, untuk pada akhirnya bekerja sama dalam mendukung masyarakat di pulau‐ pulau kecil melakukan adaptasi di lingkungannya. BaKTI sebagai organisasi yang bergerak di bidang pengelolaan pengetahuan mengadakan Diskusi Regional yang mengambil tema besar perubahan iklim dan hubungannya dengan pulau‐pulau kecil dan terpencil di KTI. Kekuatan BaKTI adalah mempertemukan kedua belah pihak baik itu supply dan demand side bertemu agar bisa meningkatkan kesadaran dan kerjasama dalam menangani isu‐isu perubahan iklim kedepan dan memungkinkan perkembangan perekonomian masyarakat secara berkelanjutan. 1 http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/12/to‐bajo‐dan‐perubahan‐iklim/ dan http://asep.wordpress.com/2009/02/12/di‐ laut‐mereka‐memanen‐rumput/ Tujuan 1. Meningkatkan pemahaman mengenai perubahan iklim secara umum dan dampaknya bagi penghidupan masyarakat yang tinggal di pulau‐pulau kecil. 2. Meningkatkan pemahaman bahwa adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan bagian dari strategi pembangunan daerah dan bukan sebuah permasalahan tunggal dan terpisah. 3. Meningkatkan pemahaman mengenai bentuk komitmen dan keberpihakan pemerintah pusat, lembaga‐lembaga terkait serta mitra internasional dalam mendukung adaptasi terhadap dampak perubahan iklim di pulau‐pulau kecil. 4. Mempertemukan kelompok‐kelompok masyarakat yang memiliki inisiatif dan motivasi untuk melakukan adaptasi dengan lembaga pemerintah, lembaga internasional dan sektor swasta yang memiliki program dan sumber daya untuk mendukungnya. 5. Memperkenalkan metode convening people yang dijalankan oleh Yayasan BaKTI sebagai media yang tepat untuk mempertemukan pihak‐pihak yang terkait langsung dengan isu adaptasi untuk menghasilkan keluaran yang konkrit dan terukur. Keluaran yang diharapkan 1. Peningkatan pemahaman mengenai dampak perubahan iklim bagi penghidupan masyarakat yang hidup di pulau‐pulau kecil. 2. Peningkatan pemahaman mengenai pembangunan daerah yang menyertakan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim dan pengelolaan lingkungan dan sumber daya di dalamnya. 3. Peningkatan pemahaman mengenai program kerja dari kementerian, lembaga pemerintah dan internasional yang mendukung adaptasi terhadap dampak perubahan iklim di pulau‐pulau kecil. 4. Terbukanya peluang bagi kelompok‐kelompok masyarakat di pulau‐pulau kecil untuk bekerja sama dengan lembaga‐lembaga pemerintah, lembaga internasional dan sektor swasta dalam melakukan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. 5. Dikenalnya pendekatan convening people yang dijalankan oleh Yayasan BaKTI sebagai media yang tepat untuk menghasilkan keluaran yang konkrit dan terukur. Waktu pelaksanaan Hari/Tanggal : Senin ‐ Rabu, 17‐19 Oktober 2011 Tempat : Lombok, Nusa Tenggara Barat Konsep acara 1. Kegiatan ini merupakan pertemuan dimana Yayasan BaKTI menjembatani para pemangku kepentingan di KTI, khususnya dari provinsi‐provinsi kepulauan seperti Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, dan beberapa provinsi lain di Sulawesi dan Papua, terutama kelompok masyarakat pulau‐pulau kecil, untuk berinteraksi dengan lembaga‐lembaga seperti Dewan Nasional Perubahan Iklim, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bappenas, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Pertanian, mitra pembangunan internasional (donor), serta organisasi masyarakat sipil yang memiliki program/tertarik untuk memulai program adaptasi perubahan iklim di Indonesia. 2. Pertemuan dan interaksi antar peserta adalah dalam bentuk ‘development market place’, di mana sisi demand dan supply dari isu adaptasi bertemu dan membicarakan peluang‐peluang kerjasama potensial. Pemerintah daerah dan kementerian terkait akan memiliki peluang untuk menyampaikan program dan rencana aksi mereka, serta bagaimana masyarakat bisa meng‐akses program‐program tersebut. Sektor swasta akan membuka peluang produksi dan pemasaran produk‐produk dari pulau‐pulau kecil. Dan kelompok masyarakat akan memiliki kesempatan untuk menampilkan adaptasi yang sudah mereka lakukan dan bagaimana hal tersebut bisa diadopsi dan direplikasi di daerah lain. 3. Peluang yang juga terbuka adalah dukungan untuk pengembangan sektor spesifik, seperti energi terbarukan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, ketahanan pangan, serta infrastruktur dirancang khusus untuk pulau‐pulau kecil. 4. Kegiatan diskusi akan dilakukan dalam bentuk pemaparan dari berbagai pihak (Kementerian terkait, masyarakat, donor) secara setara dan seimbang tentang perubahan iklim, strategi adaptasi, pengalaman di masyarakat, serta komitmen pemerintah daerah. Setara dan seimbang dalam hal ini berarti, pihak pemerintah, mitra internasional, organisasi masyarakat sipil, sektor swasta dan kelompok masyarakat akan mendapat kesempatan yang sama untuk didengar dan mendengarkan. Peluang untuk saling belajar terbuka luas dalam pertemuan ini. Demikian pula peluang untuk kerjasama lebih lanjut. 5. Penyampaian materi diskusi dan tanggapannya akan dijalankan secara dinamis dan cenderung informal, dengan tujuan mendorong interaksi yang lebih aktif dan positif antar berbagai pihak. Secara khusus, BaKTI mendorong pihak‐pihak yang menjadi peserta maupun penampil untuk meluangkan waktu melakukan pembicaraan lebih rinci mengenai bagaimana bekerja sama (dukungan pendanaan, adopsi dan replikasi, peluang pemasaran produk, dan sebagainya). BaKTI akan memfasilitasi ini melalui sesi‐sesi pertemuan kecil dan ruang‐ruang negosiasi. 6. BaKTI akan mencatat proses pertemuan, presentasi yang ditampilkan dan semua peluang kerjasama yang muncul dalam pertemuan ini. BaKTI juga siap membantu kelompok masyarakat, pemerintah, kementerian, organisasi masyarakat sipil, mitra internasional, untuk menindaklanjuti peluang‐peluang kerjasama yang muncul dalam pertemuan ini. Topik‐topik yang akan diangkat dalam kegiatan diskusi ini adalah: 1. Gambaran besar dari perubahan iklim sebagai isu global dan pengaruhnya terhadap lingkungan dan kelompok masyarakat yang paling rentan. 2. Dampak dari perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh perubahan pola cuaca dan iklim di Indonesia terhadap penghidupan masyarakat di pulau‐pulau kecil. 3. Strategi adaptasi dalam bidang pertanian, pesisir, penanggulangan bencana, ketahanan pangan, pemanfaatan energi terbarukan dan infrastruktur yang tepat untuk pulau‐ pulau kecil: a. Program/rencana kerja kementerian terkait dan mitra pembangunan internasional (donor). b. Rencana sektor swasta yang terkait dengan pemanfaatan produk‐produk dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di pulau‐pulau kecil. c. Inisiatif dan praktik cerdas dari kelompok masyarakat di pulau‐pulau kecil. d. Program dan rencana kerja dari pemerintah provinsi/kabupaten kepulauan. Peserta Peserta kegiatan: 1. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) 3. Kementerian Kelautan dan Perikanan 4. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal 5. Kementerian Lingkungan Hidup 6. Kementerian Pertanian 7. Kementerian Kehutanan 8. Kementerian Pekerjaan Umum 9. Kementerian ESDM 10. Bank Indonesia 11. Satuan Tugas REDD+ 12. Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) 13. Organisasi Masyarakat Sipil dan Non Pemerintah: • Yayasan Inovasi Pemerintah Daerah (YIPD) • Burung Indonesia • CI • WWF • TNC • Tifa Foundation • Kehati • Kemitraan • Forkani • Samanta • LMMA • Coral Triangle Initiative 14. Lembaga Internasional: • WB – Forest Carbon Partnership Facility • CIDA • UN‐REDD • CIFOR • ICRAF • UNEP • FAO • AFD (Agence Francaise de Development) • UNFCCC • British Council 15. Pemerintah provinsi dan kabupaten yang memiliki program konkrit mengenai perubahan iklim: • Sulawesi Tengah • Kabupaten Kaimana, Papua Barat • NTB • NTT • Maluku • Maluku Utara • Kabupaten Sangir Talaud, Sulawesi Utara • Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan • Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara 16. Pemerintah provinsi dan kabupaten di Kawasan Timur Indonesia 17. Sektor swasta: • BP • Medco • Freeport 2. 18. 19. 20. • Newmont • INCO • Schlumberger • Bank Mandiri • BNI • Perusahaan pengolahan dan pemasaran produk rumput laut • Perusahaan pengolahan dan pemasaran produk tepung ikan • Perusahaan pengolahan dan pemasaran produk makanan jadi Perusahaan ekowisata Negara donor: • Pemerintah Norwegia • Pemerintah Belanda • Pemerintah Denmark • Pemerintah Korea Perguruan tinggi: • UI • Unhalu • UNHAS • IPB • Perguruan tinggi lainnya di KTI Media: • Kompas • Metro TV • Media cetak dan elektronik lokal dan regional