pengaruh kualifikasi pendidikan, keikutsertaan diklat dan sikap

advertisement
PENGARUH KUALIFIKASI PENDIDIKAN, KEIKUTSERTAAN DIKLAT
DAN SIKAP PADA PROFESI TERHADAP KOMPETENSI GURU PAI SD
DI KABUPATEN PEKALONGAN
Oleh:
Muhamad Syaikhul Alim
Abstrak: Tulisan ini mengkaji tentang kompetensi guru PAI SD dikaitkan
dengan faktor-faktor determinan yang mempengaruhinya. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui: (1) pengaruh kualifikasi pendidikan terhadap
kompetensi guru PAI SD di Kab. Pekalongan, (2) pengaruh keikutsertaan diklat
terhadap kompetensi guru PAI SD di Kab. Pekalongan, (3) pengaruh sikap pada
profesi terhadap kompetensi guru PAI SD di Kab. Pekalongan, dan (4) pengaruh
kualifikasi pendidikan, keikutsertaan diklat dan sikap pada profesi secara simultan
terhadap kompetensi guru PAI SD di Kab. Pekalongan.
Penelitian ini termasuk jenis ex post facto dengan desain korelasional
prediktif tiga prediktor. Populasi penelitian ini adalah seluruh guru PAI SD di
Kabupaten Pekalongan. Data dikumpulkan dari responden sejumlah 50 orang
yang ditetapkan dengan teknik random sampling. Data kualifikasi pendidikan dan
keikutsertaan diklat dikumpulkan melalui dokumentasi dengan mengadopsi model
portofolio sertifikasi guru. Sementara data sikap pada profesi dijaring melalui
angket dengan skala Likert. Adapun data kompetensi guru dikumpulkan lewat
kombinasi antara angket dan observasi. Instrumen angket untuk sikap pada profesi
dan kompetensi guru dilakukan uji validitas dengan menggunakan validitas isi dan
konstruk, sedangkan untuk mengetahui reliabilitas digunakan uji keandalan
Cronbach‟s Alpha.
Untuk analisis data terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis antara
lain uji normalitas data dengan teknik Kolmogorov-Smirnov, uji linearitas, dan uji
multikolinearitas kemudian dilakukan analisis data penelitian dengan teknik
regresi ganda tiga prediktor dengan bantuan komputer program Statistical
Package for Social Science (SPSS 17).
Hasil analisis menunjukkan temuan: (1) ada pengaruh yang signifikan dari
kualifikasi pendidikan terhadap kompetensi guru PAI SD di Kab. Pekalongan
dengan koefisien korelasi 0,388 dan sumbangan efektif sebesar 15,05%. (2) ada
pengaruh yang signifikan dari keikutsertaan diklat terhadap kompetensi guru PAI
SD di Kab. Pekalongan dengan koefisien korelasi 0,409 dan sumbangan efektif
sebesar 16,73%. (3) ada pengaruh yang signifikan dari sikap pada profesi terhadap
kompetensi guru PAI SD di Kab. Pekalongan dengan koefisien korelasi 0,384 dan
sumbangan efektif sebesar 14,75%. (4) ada pengaruh yang signifikan dari
kualifikasi pendidikan, keikutsertaan diklat dan sikap pada profesi secara simultan
terhadap kompetensi guru PAI SD di Kab. Pekalongan dengan koefisien
determinasi 0,458 dan sumbangan efektif sebesar 45,8%. Artinya 54,2%
dipengaruhi oleh faktor lain di luar variabel dalam penelitian ini.
Kata kunci : kualifikasi, diklat, sikap, kompetensi.
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peningkatan mutu pendidikan selalu menjadi isu sentral dalam
penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional. Upaya peningkatan kualitas
pendidikan ini menjadi salah satu strategi pokok selain pemerataan
kesempatan dan akses pendidikan serta peningkatan relevansi dan efisiensi.1
Berbicara mengenai kualitas pendidikan maka tak akan lepas dari
peningkatan kompetensi dan profesionalitas guru. Guru merupakan unsur
utama dalam keseluruhan proses pendidikan dan di setiap jenjang
pendidikan, khususnya di tingkat institusional dan instruksional. Tanpa
guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan muluk karena segala bentuk
kebijakan dan program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak
yang berada di garis terdepan yaitu guru. Guru menjadi titik sentral dan
awal dari semua pembangunan pendidikan.
Pada umumnya para ahli sepakat bahwa guru merupakan sosok kunci
yang memberikan kontribusi terbesar dalam pencapaian prestasi siswa.
Simmons dan Alexander telah merangkum lebih dari 10 hasil penelitian di
Negara-negara berkembang, dan menunjukkan adanya dua kunci penting
dari peran guru yang berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar
peserta didik, yaitu: jumlah waktu efektif yang digunakan guru untuk
melakukan pembelajaran di kelas dan kualitas kemampuan guru.2 Studi
yang dilakukan Heyneman dan Loxley di 29 negara menemukan bahwa di
antara berbagai masukan (input) yang menentukan mutu pendidikan
sepertiganya ditentukan oleh guru. Peranan guru semakin penting lagi di
tengah keterbatasan sarana dan prasarana sebagaimana dialami oleh negaranegara sedang berkembang.3
Guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan, khususnya di
sekolah. Semua komponen lain, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana,
biaya, dan sebagainya tidak akan banyak berarti apabila esensi pembelajaran
yaitu interaksi guru dengan peserta didik tidak berkualitas. 4 Karena itu,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
1
memberikan persyaratan yang kompleks untuk menjadi guru mulai dari
taman kanak-kanak sampai dengan sekolah menengah (SM), yaitu: (a)
memiliki kualifikasi pendidikan minimal sarjana atau diploma empat, (b)
memiliki
kompetensi
pedagogik,
kompetensi
sosial,
kompetensi
kepribadian, dan kompetensi profesional, (c) memiliki sertifikasi pendidik;
(d) sehat jasmani dan rohani, serta (e) memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.5
Idealisme sebagaimana tergambar dari isi UUGD di atas tampaknya
menjadi pekerjaan berat bagi dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya,
mengingat kondisi riil guru di Indonesia masih banyak yang belum
memenuhi
standar.
Mulyasa
mengutip
Wardiman
Djoyonegoro
mengungkapkan bahwa hanya 43% guru yang memenuhi syarat; artinya
sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak
kompeten dan tidak profesional sehingga tidak layak untuk mengajar. 6 Data
Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004 menunjukkan guru yang layak
mengajar hanya 50,7% untuk jenjang SD: 64,1% SMP: dan 67,1% SMA.
Selain itu, rata-rata kompetensi guru tidak mencapai 50% seperti
ditunjukkan dalam tes umum guru TK-SD, dan tes bidang studi guru
SMP/SMA/SMK.7
Guru PAI di sekolah (PAIS) secara nasional tahun 2008 terdata
sejumlah 168.184 orang. Mereka mengajar di berbagai jenjang mulai dari
TK sampai dengan SMA/SMK. Dari jumlah itu yang mengajar di SD
sebanyak 122.667 atau 72,94% sehingga merupakan mayoritas. Adapun
kualifikasi pendidikan guru PAIS sebanyak 83.146 orang atau 49,44%
berpendidikan minimal S1, sementara sebanyak 86.577 orang atau 50,56%
berpendidikan kurang dari S1. Mereka yang belum S1 ini didominasi oleh
guru PAI di sekolah dasar. Tampilan data yang dirilis Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kemenag ini menunjukkan bahwa masih lebih dari
separuh guru PAI yang belum memenuhi standar kualifikasi akademik
minimal S1 atau D-IV. Sementara itu dalam lingkup Kabupaten Pekalongan,
data guru PAI SD tahun 2009 tercatat sejumlah 691 orang. Dari jumlah
2
tersebut baru 143 orang (20,69%) yang sudah berkualifikasi S1. Sementara
548 orang lainnya (79,31%) masih berkualifikasi D2 bahkan SLTA.
Berkaitan dengan pembinaan profesional guru PAI SD di Kabupaten
Pekalongan, pendidikan dan pelatihan (diklat) atau bimbingan teknis
(bintek)
dirasakan masih kurang. Bisa dikatakan bahwa diklat yang
diperuntukkan dan dibiayai bagi guru PAI masih minim. Volume diklat
belum mampu menjangkau secara merata kepada semua guru PAI. Pada
umumnya Diklat guru PAI lebih banyak difasilitasi oleh Kelompok Kerja
Guru PAI (KKGPAI) baik tingkat kecamatan, kabupaten maupun propinsi.
Rendahnya kualifikasi akademik dan belum optimalnya pembinaan
profesional guru PAIS serta sikap terhadap profesi keguruan masih perlu
ditumbuhkan tampaknya berimplikasi terhadap rendahnya kompetensi guru
PAI dan dikhawatirkan akan pula berimplikasi lebih jauh pada rendahnya
kualitas pembelajaran PAI di sekolah-sekolah.
B. Rumusan Masalah
Pada dasarnya penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab masalah
masih banyaknya guru-guru PAI Sekolah Dasar yang rendah kompetensinya
dalam kaitannya dengan (1) kualifikasi Pedidikan, (2) keikutsertaan diklat
dan (3) sikap pada profesi. Adapun permasalahan pokok dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Adakah pengaruh yang signifikan dari kualifikasi pendidikan terhadap
kompetensi guru PAI SD di Kabupaten Pekalongan?
2.
Adakah pengaruh yang signifikan dari keikutsertaan diklat terhadap
kompetensi guru PAI SD di Kabupaten Pekalongan?
3.
Adakah pengaruh yang signifikan dari sikap pada profesi terhadap
kompetensi guru PAI SD di Kabupaten Pekalongan?
4.
Adakah pengaruh yang signifikan dari kualifikasi pendidikan,
keikutsertaan diklat dan sikap pada profesi secara bersama-sama
terhadap kompetensi guru PAI SD di Kabupaten Pekalongan?
3
II.
FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN KOMPETENSI GURU
A. Kualifikasi Pendidikan
Secara etimologis kata kualifikasi diadopsi dari bahasa Inggris
qualification yang berarti training, test, diploma, etc. that qualifies a
person.8 Kualifikasi berarti latihan, tes, ijazah dan lain-lain yang menjadikan
seseorang memenuhi syarat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kualifikasi adalah “pendidikan khusus untuk memperoleh suatu keahlian
yang diperlukan untuk melakukan sesuatu atau menduduki jabatan
tertentu”.9
Menurut Ningrum kualifikasi berarti persyaratan yang harus dipenuhi
terkait dengan kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan.10 Sementara itu, Yusufhadi Miarso menyatakan bahwa guru yang
berkualifikasi adalah guru yang memenuhi standar pendidik, menguasai
materi/isi pelajaran sesuai dengan standar isi, dan menghayati dan
melaksanakan
pembelajaran.
11
proses
pembelajaran
sesuai
dengan
standar
proses
Miarso mengartikan kualifikasi sebagai kemampuan atau
kompetensi yang harus dimiliki seorang guru dalam melaksanakan
tugasnya.
Dari beberapa pengertian kualifikasi di atas, istilah kualifikasi secara
garis besar dipahami dalam dua sudut pandang yang berbeda. Yang pertama,
kualifikasi sebagai tingkat pendidikan yang harus ditempuh oleh seseorang
untuk memperoleh kewenangan dan legitimasi dalam menjalankan
profesinya. Sementara pandangan yang kedua memaknai kualifikasi sebagai
kemampuan atau kompetensi yang harus dimiliki atau dikuasai seseorang
sehingga dapat melakukan pekerjaannya secara berkualitas. Namun
sesungguhnya terdapat benang merah dari kedua sudut pandang tersebut
yakni keharusan adanya kapasitas yang harus dipenuhi untuk menjalani
profesi atau pekerjaannya.
Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1
ayat 9 menggunakan istilah kualifikasi akademik, yang didefinisikan
sebagai ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru
4
atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di
tempat penugasan. Adapun menurut Masnur Muslich, kualifikasi akademik
yaitu tingkat pendidikan formal yang telah dicapai guru baik pendidikan
gelar seperti S1, S2 atau S3 maupun nongelar seperti D4 atau Post Graduate
diploma.12
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, secara konklusif
dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud kualifikasi pendidikan
guru dalam konteks tulisan ini adalah jenjang atau strata pendidikan khusus
yang harus ditempuh sebagai persyaratan untuk memperoleh suatu keahlian
atau kemampuan guna menduduki jabatan sebagai guru.
Kualifikasi
pendidikan
selain
menjadi
tuntutan
profesi
juga
merupakan tuntutan yuridis formal bagi tenaga pendidik. Tuntutan tersebut
menjadi wajib dipenuhi dan dimiliki oleh setiap guru agar memiliki legalitas
dan dapat menunjukkan kredibilitasnya sebagai agen pembelajaran,
sehingga dapat melaksanakan tugas keprofesiannya secara profesional.13
Menurut Drost, guru menjadi aset strategis yang dituntut terus
mengalami proses peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengajar (on
going formation) serta memiliki kemampuan untuk melihat ke depan. Itu
semua dapat terpenuhi jika guru berusaha meningkatkan kualifikasi
pendidikannya.14 Menurut Sudaryono, kualifikasi pendidikan berhubungan
erat dengan kinerja guru dalam mengemban peran sebagai agen
pembelajaran (learning agent).15 Kualifikasi pendidikan guru merupakan
persyaratan yang harus dipenuhi terkait dengan kemampuan yang
dibutuhkan untuk melaksanakan tugas. Kualifikasi pendidikan guru dapat
menunjukkan kredibilitas seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya.16
Kualifikasi pendidikan guru dengan kata lain merefleksikan kemampuan
yang dipersyaratkan bagi guru untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik
pada jenjang, jenis, dan satuan pendidikan atau mata pelajaran yang
diambilnya.
Secara
normatif
pendidikan
merupakan
modal
dasar
dalam
meningkatkan sumber daya manusia. Salah satu tujuan pendidikan adalah
5
untuk menyiapkan seseorang agar mampu dan terampil dalam suatu bidang
pekerjaannya. Di dalam bekerja sering kali faktor pendidikan merupakan
syarat yang penting untuk memegang jabatan tertentu. Hal ini disebabkan
tingkat pendidikan akan mencerminkan pengetahuan dan keterampilan
sebagai prediktor sukses kerja seseorang.
Noeng Muhadjir menyatakan bahwa pendidikan merupakan upaya
normatif untuk membantu subyek-didik berkembang ke tingkat yang
normatif lebih baik.17 Seorang guru yang profesional harus menguasai
bidang ilmu pengetahuan yang akan diajarkannya dengan baik. Ia benarbenar seorang ahli dalam bidang ilmu yang diajarkannya. Selanjutnya
karena bidang pengetahuan apapun selalu mengalami perkembangan, maka
seorang guru juga harus terus-menerus meningkatkan dan mengembangkan
ilmu yang diajarkannya, sehingga tidak ketinggalan zaman.18
Lefrancois berpendapat bahwa kompetensi sebagai kapasitas untuk
melakukan sesuatu dihasilkan dari proses belajar (pendidikan). Selama
proses belajar, stimulus akan bergabung dengan isi memori dan
menyebabkan terjadinya perubahan kapasitas untuk melakukan sesuatu.19
Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, terdapat hubungan yang
positif antara kualifikasi pendidikan guru dengan kompetensinya. Untuk itu,
usaha peningkatan pendidikan bagi guru akan memberikan pengaruh
terhadap pelaksanaan tugas mengajarnya. Dengan kata lain, bahwa semakin
tinggi kualifikasi pendidikan guru maka akan memungkinkan guru tersebut
mengemban tanggung jawab untuk mendidik, membimbing dan mengajar
secara lebih baik, efektif dan efisien.
Guna menjembatani segala kemungkinan kondisi guru dan dalam
rangka meningkatkan profesionalisme guru, pemerintah menyediakan
beberapa macam model peningkatan kualifikasi guru seperti model tugas
belajar, model ijin belajar, model akreditasi dengan metode belajar jarak
jauh dan metode berkala, model berdasarkan peta kewilayahan,pendidikan
jarak jauh berbasis ICT (Information Communication Technology) dan PKG
(Pusat Kegiatan Guru) berbasis KKG.20
6
Penyelenggaraan program sarjana (S-1) kependidikan bagi guru dalam
jabatan dilaksanakan dengan mengutamakan hal berikut: (a) memungkinkan
guru memiliki kesempatan lebih luas untuk memperoleh peningkatan
kualifikasi akademik dengan tidak mengganggu tugas dan tanggung
jawabnya di sekolah; (b). dapat mewujudkan sistem penyelenggaraan
pendidikan guru dalam jabatan yang efisien, efektif, dan akuntabel serta
menawarkan akses layanan pendidikan yang lebih luas tanpa mengabaikan
kualitas.21
Selanjutnya disebutkan bahwa Perguruan tinggi dapat memberikan
pengakuan terhadap pengalaman kerja dan hasil belajar yang pernah
diperoleh sebelumnya, baik pada jalur pendidikan formal maupun
pendidikan non formal sebagai pengurang beban studi yang harus
ditempuh.22
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pada prinsipnya
peningkatan kualifikasi guru dalam jabatan sangat memperhatikan tugas
guru, berorietasi pada mutu dan menghargai pelatihan, prestasi akademik,
dan pengalaman mengajar serta prestasi tertentu yang telah dimiliki guru
tersebut.
B. Keikutsertaan Diklat.
Menurut H.A.R. Tilaar, dalam pengertian populer istilah pendidikan
dan pelatihan dibedakan. Dalam hal pengembangan perilaku, pendidikan
lebih dominan pada dimensi ideografik yaitu pengembangan individu dan
kepribadian seseorang sesuai dengan disposisinya. Sedangkan pelatihan
lebih berdimensi nomotetik yaitu kepada tuntutan-tuntutan lembaga dan
peranan yang diharapkan dari seseorang yang sesuai dengan tujuan
lembaga.23
Manulang menyatakan antara pendidikan dan pelatihan memiliki
keterkaitan yang erat. Pendidikan lebih teoritis sifatnya sedangkan latihan
bersifat lebih praktis. Jadi pendidikan dan pelatihan keduanya saling
melengkapi dan tidak bertentangan. 24 Tinjauan teoritik di atas menunjukkan
7
bahwa pembedaan antara pendidikan dan pelatihan adalah artifisial dalam
arti tidak menunjukkan realitas sebenarnya.
Andrew E. Sikula mengemukakan bahwa “training is short-term
educational process utilizing a systematic and organized procedure by
which non-managerial personal learn technical knowledge and skills for a
definite purpose”.25 Berdasarkan pendapat Andrew E. Sikula tersebut dapat
dikemukakan bahwa pelatihan adalah suatu proses pendidikan jangka
pendek yang menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir di mana
pegawai non-manajerial mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis
dalam tujuan terbatas.
Berkaitan dengan tujuannya, Abdurrahmat Fathoni (2006: 98)
menyatakan bahwa: “Tujuan diadakannya diklat pada umumnya dalam
rangka pembinaan terhadap tenaga kerja atau pegawai agar dapat:
1.
2.
3.
4.
5.
Meningkatkan kepribadian dan semangat pengabdian kepada
organisasi dan masyarakat.
Meningkatkan mutu dan kemampuan, serta keterampilan baik dalam
melaksanakan tugasnya maupun kepemimpinannya.
Melatih dan meningkatkan mekanisme kerja dan kepekaan dalam
melaksanakan tugas.
Melatih dan meningkatkan kerja dalam merencanakan.
Meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan kerja.”26
Menurut Sarjilah, dengan adanya pelatihan-pelatihan yang diikuti oleh
guru-guru, diharapkan guru akan lebih paham dengan dunia kerja, dapat
mengembangkan kepribadiannya, meningkatkan penampilan kerja individu,
mengembangkan karir, perilakunya menjadi efektif dan guru akan menjadi
lebih kompeten.27
Ada bermacam-macam tipe diklat yang diikuti oleh guru, yaitu diklat
penyegaran, diklat peningkatan kualifikasi dan diklat penjenjangan.28 Diklat
penyegaran ialah diklat untuk menyesuaikan tenaga kependidikan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta memantapkan
tenaga kependidikan tersebut agar dapat melakukan tugas sehari-hari dengan
baik. Diklat peningkatan kualifikasi ialah diklat dalam hubungan dengan
profesi kependidikan sehingga diperoleh suatu kualifikasi formal tertentu
8
dengan standar yang telah ditentukan. Dan Diklat penjenjangan ialah diklat
untuk meningkatkan kemampuan guru sehingga dipenuhi persyaratan suatu
pangkat atau jabatan tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Seiring tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
bentuk dan model diklat juga mengalami penyesuaian dan perubahanperubahan. Di lingkungan Kementerian Agama, dalam rangka peningkatan
sumber daya manusia (SDM), ditempuh melalui beberapa model pendidikan
dan pelatihan yaitu: diklat tatap muka, diklat di tempat kerja, diklat jarak
jauh, pemberdayaan forum KKG dan diklat kerja sama dengan lembaga
lain.29
Peningkatan kompetensi guru dapat dilakukan melalui program
pelatihan dalam jabatan (in service training). Pelatihan mengandung makna
bahwa setelah mengikuti pelatihan guru akan terdorong motivasinya untuk
memperbaiki kinerja, cara pembelajaran atau penyegaran ilmu dan
informasinya.
Mengingat tugas guru begitu berat maka perlunya guru untuk selalu
diperbaharui pengetahuan, wawasan, keterampilannya menuju kepada
pengembangan profesi yang diharapkan. Secara rinci diungkap Suyanto
bahwa selama kemampuan profesional guru belum bisa mencapai tataran
ideal guru bersangkutan harus mendapatkan pelatihan yang terus menerus.
Dalam era globalisasi seperti sekarang semua ilmu pengetahuan cepat
usang. Apalagi kalau guru tidak dilatih dan tidak bisa memperoleh akses
informasi yang baru dan jika itu terjadi maka guru akan ketinggalan. Maka
tidak ragu lagi bahwa untuk mencapai kualitas pendidikan yang baik maka
guru harus selalu ditingkatkan kemampuannya agar guru selalu segar
informasinya, kuat etos kerjanya, dan cerdas akalnya.30
C. Sikap pada Profesi
Ada banyak definisi mengenai sikap dalam berbagai versi. Louis
Thurstone, salah seorang ahli psikologi yang terkenal dalam bidang
pengukuran sikap, mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau
afek negatif terhadap suatu objek psikologis.31
9
LaPierre mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi
atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi
sosial, atau secara sederhana sikap adalah respon terhadap stimuli sosial
yang telah terkondisikan.32
Sementara itu ahli yang lain, Secord & Backman mendefinisikan sikap
sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran
(kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu objek
di lingkungan sekitarnya.33
Dari beberapa definisi tersebut di atas, secara garis besar sikap dapat
dikategorikan ke dalam tiga orientasi pemikiran, yaitu: yang berorientasi
kepada respon, yang berorientasi kepada kesiapan respon, dan yang
berorientasi kepada skema triadik.
Adapun mengenai pengertian profesi, Kamus Besar Bahasa Indonesia
menyebutkan bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi
pendidikan keahlian tertentu.34
Menurut Sahertian profesi pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau
suatu janji terbuka (to profess artinya menyatakan), yang menyatakan bahwa
seseorang itu mengabdikan diri pada suatu jabatan atau pelayanan karena orang
tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan itu. 35
Jadi Profesi adalah suatu pekerjaan yang dalam melaksanakan
tugasnya memerlukan/menuntut keahlian (expertise), menggunakan teknikteknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Profesional adalah pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan
kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, dan kecakapan yang
memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan
profesi.
Sikap Profesional Keguruan adalah sikap seorang guru dalam
menjalankan pekerjaannya yang mencakup keahlian, kemahiran, dan
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta
memerlukan pendidikan profesi keguruan.
10
Berdasarkan definisi yang berorientasi kepada skema triadik, Sudjana
dan Ibrahim menjelaskan ada tiga komponen sikap, yaitu:
1. Komponen kognisi, yaitu sikap yang berkenaan dengan wawasan atau
pemahaman terhadap obyek.
2. Komponen afeksi, yaitu sikap yang berkenaan dengan perasaan dalam
menanggapi suatu obyek.
3. Komponen konasi, yaitu sikap yang berkenaan dengan kecenderungan
berbuat yang berhubungan dengan suatu obyek.36
Guru sebagai pendidik professional mempunyai citra yang baik di
masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak
menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya. Masyarakat
terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari.
Pola tingkah laku guru yang berhubungan dengan profesinya dibahas
sesuai dengan sasarannya, yakni sikap professional keguruan terhadap: (1)
Peraturan perundang-undangan, (2) Organisasi profesi, (3) Teman Sejawat,
(4) Anak didik, (5) Tempat kerja, (6) Pimpinan, (7) Pekerjaan serta (8)
Disiplin keilmuan.37 Sasaran sikap profesi ini harus selalu dikembangkan
oleh para guru.
Dalam perspektif Islam, pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan
mulia dan luhur. Fuad Syalhub menyatakan bahwa tidak ada pekerjaan yang
lebih mulia dari pada pekerjaan sebagai guru atau pengajar. Semakin tinggi
dan bermanfaat materi ilmu yang diajarkan, maka yang mengajarkannya
juga semakin mulia dan tinggi derajatnya.38 Asma Hasan Fahmi mengutip
al-Gazali yang mengatakan bahwa siapa yang memilih pekerjaan mengajar
maka ia sesungguhnya telah memilih pekerjaan besar dan penting.39
Guru memikul tanggung jawab yang sangat besar. Ia tidak hanya
sekedar mengajar tetapi juga membimbing dan mendidik.40 Artinya
tanggung jawab guru tidak hanya pada tataran menstransmisikan
sekumpulan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi yang jauh
lebih esensial adalah bagaimana ia sebagai pendidik menstransmisikan nilai
11
(transfer of value) sehingga nilai-nilai tersebut terinternalisasi dalam diri
anak didiknya.
Mengingat berat dan sulitnya tanggung jawab seorang guru, seorang
guru dituntut mengembangkan sikap positif terhadap profesinya. Profesi
guru menuntut seseorang untuk senantiasa sabar, amanah, ikhlas, dan penuh
perhatian kepada orang-orang yang dididiknya. Implementasi dalam konteks
kekinian, guna meningkatkan mutu, baik mutu profesional maupun mutu
layanan, guru harus selalu meningkatkan sikap profesionalnya. Beberapa
sasaran penyikapan pada profesi harus selalu dipupuk dan dikembangkan.
Pengembangan sikap pada profesi ini dapat dilakukan baik selagi dalam
pendidikan prajabatan maupun setelah bertugas (dalam jabatan).
Sikap positif guru terhadap profesinya merupakan salah satu faktor
yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Sikap pada profesi guru
ini menjadi kunci pokok keberhasilan guru dalam melakukan tugas sebagai
pendidik.41
Guru yang selalu bersikap positif pada profesinya akan bekerja
dengan sepenuh hati. Ia merasa bangga dan mencintai profesinya itu. Hal ini
membawa konsekuensi guru akan berusaha mempersembahkan kinerja
terbaik dalam mengelola pembelajaran. Kinerja atau performance
merupakan perwujudan dari kompetensi guru. Dari sini dapat diambil
sebuah pemahaman bahwa semakin positif sikap guru pada profesinya akan
meningkatkan kompetensi guru.
D. Kompetensi Guru
Kompetensi berasal dari bahasa Inggris “competence” berarti
kemampuan atau kecakapan.42 Competence sama dengan being competent
yang sama artinya dengan having ability, power, legal authority, skill,
knowledge, attitude, etc.43 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Kompetensi
adalah
kewenangan
(kekuasaan)
untuk
menentukan
(memutuskan) sesuatu44. Ada beragam definisi dari kompetensi, di
antaranya adalah sebagai berikut:
12
Menurut Usman, kompetensi adalah suatu hal yang menggambarkan
kualifikasi atau kemampuan seseorang, baik yang kualitatif maupun
kuantitatif.45 Sementara Charles E. Johnson mengemukakan bahwa
kompetensi merupakan perilaku rasional untuk mencapai tujuan yang
dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan.46 Kompetensi
merupakan suatu tugas yang memadai atas kepemilikan pengetahuan,
keterampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang.47
Munandar menyatakan bahwa kompetensi merupakan daya untuk
melakukan tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan.48
Dari beberapa definisi tersebut di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa kompetensi mempersyaratkan beberapa hal, antara lain: (1) adanya
karakteristik yang menunjukkan kemampuan atau kewenangan, (2)
Kemampuan tersebut tecermin dalam bentuk pengetahuan, ketrampilan dan
sikap, (3) diperoleh melalui pengalaman belajar, (4) terwujud dalam bentuk
kinerja (performance).
Jika dikaitkan dengan dengan profesi guru, kompetensi guru menurut
David R. Stone didefinisikan sebagai gambaran hakikat kualitatif dari
perilaku guru atau tenaga kependidikan yang tampak sangat berarti.49
Selanjutnya dijelaskan bahwa kemampuan merupakan perilaku yang
rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi
yang diharapkan. Dikatakan rasional karena mempunyai arah atau tujuan
tertentu. Menurut Barlow, kompetensi guru adalah kemampuan seorang
guru dalam melaksanakan kewajibannya secara bertanggung jawab dan
layak.50
Kompetensi guru mengandung arti kemampuan seseorang dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak
atau kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi
keguruannya.51 Menurut Kunandar pengertian kompetensi guru adalah
seperangkat penguasaan kemampuan yang harus ada dalam diri guru agar
dapat mewujudkan kinerjanya secara tepat dan efektif.52 Dengan demikian,
13
kompetensi guru merupakan kapasitas internal yang dimiliki guru dalam
melaksanakan tugas profesinya.
Ada banyak rumusan mengenai dimensi atau macam-macam
kompetensi guru yang dikemukakan para ahli. Menurut George J. Mouly53
yang juga diamini oleh Sudjana54, kompetensi guru terdiri dari kognitif,
sikap dan perilaku. Ketiga bidang kompetensi ini tidak berdiri sendiri, tetapi
saling berhubungan dan saling memengaruhi satu sama lain. Ketiga bidang
kompetensi ini juga mempunyai hubungan hirarkis dalam arti saling
mendasari satu sama lain.
Dalam literatur yang ditulis oleh ahli pendidikan Islam banyak
dikupas tentang kompetensi guru. Hanya saja secara konseptual seringkali
bercampur antara syarat dan sifat guru.
Menurut Al-Abrasyi, guru harus memenuhi syarat antara lain:
(1)
guru harus mengetahui karakter murid, (2) guru harus selalu berusaha
meningkatkan keahliannya, baik dalam bidang yang diajarkannya maupun
dalam cara mengajarkannya, dan (3) guru harus mengamalkan ilmunya dan
tidak berbuat hal yang berlawanan dengan ilmu yang diajarkannya.55
Mengacu kepada landasan yuridis formal UU Nomor 14 tahun 2005
tentang guru dan dosen, kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.56
Kompetensi pedagogik ialah kemampuan mengelola pembelajaran
peserta didik.57 Kompetensi pedagogik seorang guru ditandai dengan
kemampuannya
menyelenggarakan
pembelajaran
yang
bermutu.
Kompetensi Kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap,
berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.58
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat
untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua / wali peserta didik dan
masyarakat sekitar.59 Kompetensi profesional merupakan kemampuan
penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
14
memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi
yang ditetapkan dalam standar nasional pendidikan.60
Kompetensi seseorang dapat terbentuk karena adanya faktor-faktor
yang mempengaruhi. Salah satu teori yang dapat dijadikan landasan
terbentuknya kompetensi seseorang adalah teori medan yang dirintis oleh
Kurt Lewin.61 Teori medan itu sendiri berangkat dari teori psikologi Gestalt
yang dipelopori tiga psikolog Jerman, yakni Max Wertheimer, Kohler, dan
Kofka, di mana dalam teori mereka disebutkan bahwa kemampuan
seseorang ditentukan oleh medan psikofisis yang terorganisasi yang hampir
sama dengan medan gravitasi.62
Selanjutnya
Kurt
Lewin
mengembangkan
teori
ini
dengan
memosisikan seseorang akan memperoleh kompetensi karena medan
gravitasi di sekitarnya yang turut membentuk potensi seseorang secara
individu. Artinya, kompetensi individu dipengaruhi dan dibentuk oleh
lingkungannya. Lingkungan di sini diposisikan sebagai sumber belajar.
Selain itu, sistem informasi yang diperoleh seseorang dari lingkungannya
berupa pengalaman yang diperoleh secara empiris melalui observasi,
pengetahuan ilmiah yang diterimanya dari pendidikan formal, dan
ketrampilan yang dilakukannya secara mandiri turut mewarnai pembentukan
kompetensi dirinya.
Kompetensi individu juga dapat terbentuk karena adanya potensi
bawaan dan lingkungan sekitar. Teori yang mendasari pemikiran ini adalah
teori konvergensi yang dipelopori oleh William Stern. Menurut teori ini,
perkembangan pribadi dan kompetensi seseorang merupakan hasil dari
proses kerja sama antara heriditas (pembawaan) dan environment
(lingkungan). Tiap individu merupakan perpaduan atau konvergensi dari
faktor internal (potensi-potensi dalam diri) dengan faktor eksternal
(lingkungan termasuk pendidikan).63
Menurut Widoyoko dengan mengadopsi pendapat
Sutermeister
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kerja karyawan, maka kompetensi
guru dipengaruhi oleh faktor diri atau faktor internal dan faktor situasional
15
atau faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari diri
individu guru yang meliputi: latar belakang pendidikan, pengalaman
mengajar, penataran dan pelatihan dan sebagainya. Sedangkan faktor
situasional yang dapat mempengaruhi kompetensi guru meliputi: iklim dan
kebijakan organisasi, lingkungan kerja, sarana dan prasarana, gaji,
lingkungan sosial dan sebagainya.64
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Yuhetty.65 Ia
menyatakan bahwa faktor internal yang mempengaruhi kompetensi guru
meliputi: tingkat pendidikan, keikutsertaan di dalam berbagai pelatihan dan
kegiatan ilmiah, masa kerja dan pengalaman kerja, tingkat kesejahteraan
serta kesadaran akan kewajiban dan panggilan hati nurani. Sedangkan faktor
eksternalnya meliputi: besar gaji dan tunjangan yang diterima, ketersediaan
sarana dan media pembelajaran, kepemimpinan kepala sekolah, kegiatan
pembinaan yang dilakukan dan peran serta masyarakat.
Upaya meningkatkan kompetensi guru bukanlah pekerjaan ringan. Hal
ini mengingat jumlah guru yang demikian besar dan kompleksnya persoalan
di dunia pendidikan. Diperlukan keterlibatan aktif dan peran optimal dari
banyak pihak. Selain itu sinergisitas di antara stake holder menjadi prasyarat
lain demi mewujudkan tugas mulia ini.
E. Hipotesis Penelitian
Bertolak dari latar belakang masalah , rumusan masalah dan kajian
teoritis mengenai kompetensi guru, maka dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
1.
Ada pengaruh yang signifikan dari kualifikasi pendidikan terhadap
kompetensi guru PAI SD di Kabupaten Pekalongan.
2.
Ada pengaruh yang signifikan dari keikutsertaan diklat terhadap
kompetensi guru PAI SD di Kabupaten Pekalongan.
3.
Ada pengaruh yang signifikan dari sikap pada profesi terhadap
kompetensi guru PAI SD di Kabupaten Pekalongan.
16
4.
Ada pengaruh yang signifikan dari kualifikasi pendidikan, keikutsertaan
diklat dan sikap pada profesi secara bersama-sama terhadap kompetensi
guru PAI SD di Kabupaten Pekalongan.
III. Metode Penelitian
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada guru-guru Pendidikan Agama Islam
Sekolah Dasar di Kabupaten Pekalongan. Pemilihan lokasi penelitian
didasarkan atas pertimbangan bahwa Kabupaten Pekalongan dikenal sebagai
daerah yang cukup religius. Alasan lain yang lebih substansial adalah bahwa
Pemerintah Kabupaten Pekalongan telah menunjukkan perhatian yang kuat
terhadap pelaksanaan Pendidikan Agama Islam. Perhatian Pemerintah
Kabupaten Pekalongan beserta segenap stake holdernya juga diwujudkan
dengan serangkaian upaya untuk meningkatkan kompetensi guru PAI.
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 (enam) bulan dari bulan Juli
sampai dengan Desember 2010. Kegiatan dimulai dari survei awal,
penyusunan proposal, penyusunan instrumen penelitian, uji coba instrumen,
pengumpulan data serta analisis dan penulisan laporan.
B. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis ex post facto karena peneliti berhubungan
dengan variabel yang telah terjadi dan peneliti tidak perlu memberikan
perlakuan terhadap variabel yang diteliti.66 Desain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah korelasional prediktif tiga prediktor.67 Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian yang penyajian
datanya berupa angka-angka dan menggunakan analisis statistik.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
ganda dengan tiga variabel independen yaitu Kualifikasi Pendidikan (X1),
Keikutsertaan Diklat (X2) dan Sikap pada Profesi (X3) terhadap Kompetensi
Guru PAI (Y).
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru Pendidikan Agama
Islam Sekolah Dasar di Kabupaten Pekalongan sejumlah 691 orang.
17
Pengambilan sampel dalam penelitian ini termasuk probability sampling
yaitu teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi
setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel.
Untuk itu dipakai teknik simple random sampling yaitu cara pengambilan
anggota sampel dari populasi secara acak.68 Penelitian ini
mengambil
sampel sejumlah 50 orang guru PAI SD.
D. Variabel dan Indikator
Variabel yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) variabel
bebas (X) dan 1 (satu) variabel terikat (Y). variabel bebasnya adalah
Kualifikasi Pendidikan (X1), Keikutsertaan Diklat (X2) dan Sikap pada
Profesi (X3).
Variabel kualifikasi pendidikan meliputi 3 (tiga) indikator yaitu ijazah
formal guru, relevansi jurusan dan pendidikan tambahan nonformal.
Variabel Keikutsertaan Diklat meliputi 3 (tiga) indikator yaitu lamanya
diklat, tingkatan diklat (internasional, nasional, propinsi, kabupaten atau
kecamatan) serta relevansi diklat (relevan atau kurang relevan). Sedangkan
Variabel sikap pada profesi meliputi indikator-indikator (1) sikap terhadap
peraturan; (2) sikap terhadap organisasi profesi; (3) Sikap terhadap teman
sejawat; (4) Sikap terhadap anak didik; (5) Sikap terhadap tempat kerja; (6)
Sikap terhadap pimpinan;
(7) sikap terhadap pekerjaan dan (8) sikap
terhadap materi pelajaran/disiplin ilmu.
Adapun indikator variabel kompetensi guru ini meliputi (1)
penguasaan terhadap karakteristik peserta didik; (2) penguasaan teori belajar
dan
prinsip-prinsip
pembelajaran;
(3)
pengembangan
kurikulum
matapelajaran yang diampu; (4) penyelenggaraan pembelajaran yang
mendidik; (5) pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk
kepentingan pembelajaran; (6) fasilitasi pengembangan potensi peserta
didik; (7) komunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan peserta
didik; (8) penyelenggaraan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar;
(9) pemanfaatan hasil
penilaian dan evaluasi
untuk
kepentingan
18
pembelajaran; dan (10) tindakan reflektif untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran.
E. Instrumen Penelitian dan Validasi Instrumen
Instrumen yang digunakan untuk menjaring data dalam penelitian ini
menggunakan tiga macam instrumen yaitu dokumentasi, angket dan
observasi. Data kualifikasi pendidikan dan keikutsertaan diklat dikumpulkan
melalui dokumentasi dengan mengadopsi model portofolio sertifikasi guru.
Sementara data sikap pada profesi dijaring melalui angket dengan skala
Likert. Adapun data kompetensi guru dikumpulkan lewat kombinasi antara
angket dan observasi.
Instrumen angket untuk sikap pada profesi dan kompetensi guru
dilakukan uji validitas dengan menggunakan validitas isi dan konstruk.
Sebelum itu dilakukan uji keterbacaan instrumen dengan maksud
memastikan bahwa responden memahami maksud instrumen dengan baik.
Analisis validitas isi dilakukan melalui penelaahan yang cermat dan kritis
terhadap butir-butir item pertanyaan/pernyataan dalam angket sekaligus
memeriksa relevansinya dengan indikator setiap variabel yang secara
berkelanjutan. Untuk menguji validitas konstruksi ditempuh dengan 2 (dua)
langkah yaitu pendapat ahli (judgment expert) dan analisis faktor.
Hasil analisis faktor menunjukkan bahwa untuk instrumen angket
variabel sikap pada profesi dari jumlah item sebanyak 40 terdapat 4 item
yang harus direvisi karena korelasinya dibawah 0,3. Sedangkan untuk
angket kompetensi guru dengan jumlah item sebanyak 50 juga terdapat 4
item yang harus direvisi.
Sedangkan untuk mengetahui reliabilitas digunakan uji keandalan
Cronbach‟s Alpha. Berdasarkan hasil analisis uji reliabilitas tersebut
diperoleh harga koefisien alpha hitung untuk variabel sikap pada profesi
(X3) sebesar 0,913 > 0,300 dan harga koefisien alpha hitung untuk variabel
kompetensi guru (Y) 0,927 > 0,300, maka dapat disimpulkan bahwa angket
tersebut bersifat reliabel.
19
IV. Hasil Penelitian
A. Uji Persyaratan Analisis Data
Untuk menganalisis data terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan
analisis antara lain uji normalitas data dengan teknik Kolmogorov-Smirnov,
uji linearitas, dan uji multikolinearitas.
Uji normalitas dikenakan terhadap variabel terikat yakni kompetensi
guru. Dari hasil uji normalitas pada variabel Y, diperoleh nilai KolmogorovSmirnov Z sebesar 0,698 dengan hasil uji signifikansi (2-tailed) sebesar
0,715. Sesuai dengan hipotesis uji, diyakini bahwa apabila nilai signifikansi
lebih besar dari α (alpha) sebesar 0,05 maka dikatakan bahwa data berasal
dari populasi yang terdistribusi normal. Dengan demikian dapat dibuktikan
secara statistik bahwa sebaran data untuk variabel Y adalah normal.
Untuk Pengujian linearitas garis regresi dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan atau analisis tabel Anova. Untuk menyatakan
apakah garis tersebut linear atau tidak, maka digunakan perbandingan antara
harga koefisien signifikansi dengan tingkat α (alpha) yang dipilih yakni
0,05. Simpulan yang harus diambil yaitu garis regresi dinyatakan linear jika
nilai signifikansi dari Deviation from linearity > dari alpha (0,05). Dari hasil
analisis diperoleh nilai signifikansi Y*X1 sebesar 0,71> 0,05 , Y*X2
sebesar 0,327 > 0,05 dan Y*X3 sebesar 0,913 > 0,05. Oleh karena itu
diperoleh kesimpulan bahwa garis regresi bersifat linear.
Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinearitas di antara variabel
independen digunakan statistik korelasi product moment dari Pearson. untuk
menyatakan ada tidaknya multikolinearitas antarvariabel independen dengan
membandingkan
koefisien signifikansi dengan tingkat α (alpha) yang
ditetapkan yakni 0,05. Hasil analisi korelasi product moment menunjukkan
bahwa signifikansi korelasi X1-X2 sebesar 0,390 > 0,05, signifikansi X1-X3
sebesar 0,413 > 0,05 dan signifikansi korelasi X2-X3 sebesar 0,519 > 0,05.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terjadi multikolinearitas.
20
B. Pengujian Hipotesis
Untuk melakukan analisis hipotesis maka digunakanlah analisis
regresi, analisis uji t untuk mengukur keberartian koefisien regresi dari
variabel independen secara parsial dan analisis Uji F untuk mengukur
keberartian koefisien regresi variabel independen secara simultan.
1.
Pengaruh Kualifikasi Pendidikan terhadap Kompetensi Guru
Hasil analisis regresi ganda dengan tiga prediktor diperoleh persamaan
garis regresi Y = 0,816 + 0,388X1 + 0,409X2 + 0,384X3. Koefisien korelasi
parsial sebesar 0,388 menunjukkan kuatnya tingkat pengaruh antara variabel
kualifikasi pendidikan terhadap kompetensi guru. Tanda positif pada
koefisien korelasi menunjukkan bahwa korelasi memiliki pola positif atau
searah.
Hasil uji t menunjukkan bahwa koefisien korelasi parsial variabel
kualifikasi pendidikan (X1) signifikan didasarkan pada analisis signifikansi
sebesar 0,001 < 0,05 (α). Hal ini berarti koefisien korelasi parsial variabel
kualifikasi pendidikan bermakna atau memiliki pengaruh yang signifikan
dan positif terhadap kompetensi guru.
Dari perhitungan, ternyata bahwa koefisien determinasi (r2) dari
kualifikasi pendidikan (X1) terhadap kompetensi guru (Y) adalah sebesar
0,150544 sehingga kontribusi variabel X1 terhadap Y sebesar 15,05%.
Artinya bahwa 15,05% variasi skor kompetensi guru ditentukan oleh
kualifikasi pendidikan guru.
2.
Pengaruh Keikutsertaan Diklat terhadap Kompetensi Guru
Dari persamaan garis regresi Y = 0,816 + 0,388X1 + 0,409X2 +
0,384X3 diketahui koefisien korelasi parsial variabel keikutsertaan diklat
sebesar 0,409 pada konstanta 0,816. Koefisien korelasi juga bertanda positif
menunjukkan bahwa korelasi memiliki pola positif atau searah.
Hasil uji t menunjukkan bahwa koefisien korelasi parsial variabel
keikutsertaan diklat (X2) signifikan didasarkan pada analisis signifikansi
sebesar 0,000 < 0,05 (α). Hal ini berarti koefisien korelasi parsial variabel
21
keikutsertaan diklat bermakna atau memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kompetensi guru.
Dari
perhitungan
diperoleh
koefisien
determinasi
(r2)
dari
keikutsertaan diklat (X2) terhadap kompetensi guru (Y) adalah sebesar
0,1673 sehingga kontribusi variabel X2 terhadap Y sebesar 16,73%. Artinya
bahwa 16,73% variasi skor kompetensi guru ditentukan oleh keikutsertaan
diklat.
3.
Pengaruh Sikap pada Profesi terhadap Kompetensi Guru
Dari persamaan garis regresi Y = 0,816 + 0,388X1 + 0,409X2 +
0,384X3. Koefisien korelasi parsial variabel sikap pada profesi sebesar
0,384 pada konstanta 0,816. Koefisien korelasi juga bertanda positif
menunjukkan bahwa korelasi memiliki pola positif atau searah.
Hasil uji t menunjukkan bahwa koefisien korelasi parsial variabel
sikap pada profesi (X3) signifikan didasarkan pada analisis signifikansi
sebesar 0,001 < 0,05 (α). Hal ini berarti koefisien korelasi parsial variabel
sikap pada profesi bermakna atau memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kompetensi guru.
Dari perhitungan diperoleh koefisien determinasi (r2) dari sikap pada
profesi (X3) terhadap kompetensi guru (Y) adalah sebesar 0,1475 sehingga
kontribusi variabel X3 terhadap Y sebesar 14,75%. Artinya bahwa 14,75%
variasi skor kompetensi guru ditentukan oleh sikap pada profesi.
5. Pengaruh Kualifikasi Pendidikan, Keikutsertaan Diklat dan Sikap pada
Profesi terhadap Kompetensi Guru secara simultan.
Hasil uji F diperoleh harga koefisien korelasi multipel Adjusted R
Square sebesar 0,458. Analisis signifikansi menunjukkan bahwa nilai sig. F
Change
0,000 < α (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
variabel X1, X2 dan X3 secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan
dan positif terdapat variabel Y sehingga hipotesis keempat bisa diterima.
Dari koefisien determinasi (R2) sebesar 0,458 maka diketahui
kontribusi variabel X1, X2 dan X3 secara bersama-sama terhadap Y sebesar
45,80%. Artinya bahwa 45,80% variasi skor kompetensi guru ditentukan
22
secara simultan oleh variabel kualifikasi pendidikan, keikutsertaan diklat
dan sikap pada profesi sementara 54,20% lainnya ditentukan oleh variabel
lain di luar variabel penelitian ini.
V.
Simpulan dan Saran
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis, maka dapat
diambil simpulan sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh yang signifikan dan positif dari kualifikasi pendidikan
terhadap kompetensi guru PAI SD di Kabupaten Pekalongan . Terbukti
diperoleh sumbangan efektif sebesar 15,05%. Oleh karena itu
peningkatan kualifikasi pendidikan akan meningkatkan kompetensi guru
PAI SD.
2. Terdapat pengaruh yang signifikan dan positif dari keikutsertaan diklat
terhadap kompetensi guru PAI SD di Kabupaten Pekalongan. Terbukti
diperoleh sumbangan efektif sebesar 16,73%. Oleh karena itu semakin
tinggi tingkat keikutsertaan dalam diklat maka akan meningkatkan
kompetensi guru PAI SD.
3. Terdapat pengaruh yang signifikan dan positif dari sikap pada profesi
terhadap kompetensi guru PAI SD di Kabupaten Pekalongan. Terbukti
diperoleh sumbangan efektif sebesar 14,75%. Oleh karena itu semakin
positif sikap guru pada profesinya maka semakin tinggi kompetensi guru
PAI SD tersebut.
4. Terdapat pengaruh yang signifikan dan positif dari kualifikasi
pendidikan, keikutsertaan diklat dan sikap pada profesi secara simultan
terhadap kompetensi guru PAI SD. Terbukti diperoleh koefisien
determinasi sebesar 0,458 sehingga diketahui sumbangan efektif dari
variabel kualifikasi pendidikan, keikutsertaan diklat dan sikap pada
profesi secara bersama-sama sebesar 45,8%. Adapun 54,2% ditentukan
oleh faktor lain di luar variabel penelitian ini.
23
B. Saran-saran
Berdasarkan temuan penelitian dan merujuk kepada simpulan, maka
peneliti dapat mengemukakan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
1. Para guru PAI SD hendaknya terus-menerus melakukan upaya
meningkatkan
kompetensinya
melalui
peningkatan
kualifikasi
pendidikan, aktifitas pembinaan profesional seperti diklat, KKG PAI
maupun kegiatan ilmiah lainnya serta berupaya memupuk dan
mengembangkan sikap profesionalitasnya.
2. Kepala sekolah hendaknya memberikan dorongan, pembinaan, perhatian,
kesempatan
dan
fasilitasi
kepada
guru-guru
PAI
untuk
terus
meningkatkan kompetensinya. Secara rutin kepala sekolah hendaknya
melakukan pembinaan kepada guru dan tidak kalah pentingnya kepala
sekolah hendaknya merealisasikan dukungan finansial yang memadai
dalam RAPBS khusus untuk pembinaan profesional guru.
3. Dinas pendidikan dan Kementerian Agama hendaknya mensinergikan
dan mengoordinasikan kebijakan dan program pembinaan profesional
guru PAIS sehingga tidak terkesan saling lempar tanggung jawab
sehingga berakibat penanganan guru PAIS tidak terurus dengan baik.
End Notes
1
Nanat Fatah Natsir, Strategi Pembangunan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Balitbang
Dikdasmen, 2002), hal. 1.
2
Simmons, J., & Alexander, L., Factors which promote school achievement in developing
countries: A review of the research. In J. Simmons (Ed.), The Education Dilemma: Policy Issues
for Developing Countries in the 1980s, (Elmsford, N.Y.: Pergamon Press, 1980), hal. 77-95.
3
Heyneman, S. P., & Loxley, W., The effect of primary school quality on academic
achievement across twenty-nine high and low income countries. American Journal of
Sociology,88, 1983, hal. 19–23.
4
Direktorat Tenaga Kependidikan, 2008, Penilaian Kinerja Guru, (Jakarta: Dirtendik
Dirjen PMPTK Depdiknas, 2008), hal. 1.
5
Pasal 8, UU Nomor:14/2005.
6
E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2009), hal.
3
7
Kompas, 3 Pebruari 2006.
8
Martin H. Manser, Oxford Learner’s Dictionary, (Oxford: Oxford University Press,
1995), hal. 337.
9
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 533.
24
10
http://file.upi.edu.22/09/2010.
Yusufhadi Miarso, Peningkatan Kualifikasi Guru Dalam Perspektif Teknologi
Pendidikan, Makalah disampaikan dalam Semiloka di UNNES, 8 Mei 2008, hal. 6.
12
Masnur Muslich, 2007, Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik, (Jakarta: P.T.
Bumi Aksara, 2007), hal.13.
13
http://lppm.upi.edu. 22/09/2010.
14
Drost, J., “On Going Formation bagi Seorang Guru,” Kompas, 14 Pebruari 2002.
15
http://www.jambiekspres.co.id/. 27/09/2010.
16
http://file.upi.edu. 22/09/2010
17
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Rake Sarakin,
2000), hal. 82.
11
18
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana., 2003), hal. 140.
19
Guy R. Lefrancois, Psychology for Teaching (7th ed.), (Belmont: Wadsworth Publishing
Company,1991), hal. 63.
20
http://www.ditjenpmptk.net. 27/09/2010.
Pasal 3 Permendiknas RI No. 58/2008.
22
Pasal 5 ayat 7 Permendiknas No. 58/2008.
23
H. A. R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional Kajian Pendidikan Masa Depan,
(Bandung: PT Remaja RosdaKarya, 2008), hal. 16.
24
Martua Manulang, Manajemen Personalia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1981), hal. 84.
25
Andrew E. Sikula, Personal Administration and Human Resources Management, (New
York: John Wiley & Sons, Inc., 1981), hal.227.
21
26
Abdurrahmat Fathoni, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2006), hal. 98.
27
http://file.upi.edu. 27/09/2010.
28
http://file.upi.edu. 27/09/2010.
29
Rindang, Mei 2010: 49.
30
Suyanto,”Guru harus terus mendapat latihan,” Kompas, 3 Pebruari 2001.
31
Louis L. Thurstone. "The Measurement of Social Attitudes." Journal of Abnormal and
Social Psychology 27 (1931), hal. 249.
32
LaPierre, R. T., Attitudes vs. Actions. Social Forces, 13, (1934), hal. 230.
33
Secord P.F., Backman C.W., Social Psychology, (New York: McGraw Hill, 1969), hal.
5.
34
35
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.Cit., hal. 789.
A. Piet Sahertian, Profil Pendidik Profesional, (Yogyakarta: Andi Offset,1994) hal. 26.
36
Nana Sudjana dan Ibrahim, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, (Bandung: Sinar Baru,
1989), hal. 107.
37
Soetjipto, Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007), hal. 43-53.
38
Fuad Syalhub, al-Mu’allim al-Awwal Sallallahu ‘alaihi wasallam (Guruku Muhammad
saw.), Terj. Nashirul Haq, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hal. 1.
39
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Ibrahim Husen,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 166.
40
Abdullah Nasih Ulwan,, Tarbiyah al-aulād fī al-islām (Pendidikan Anak Menurut Islam
Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak), Terj. Khalilullah Ahmas Masykur Hakim, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1990), hal. 135.
41
Huda Ali, Laporan Hasil Penelitian Sikap terhadap Profesional Guru, (Jakarta:
Balitbang Agama, 2006), hal. 2.
25
42
John M Echols, Hassan Shadily., Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1990),
hal. 132.
43
Martin H. Manser,, Oxford Learner’s Dictionary, Oxford: Oxford University Press,
1995), hal. 80.
44
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.Cit., hal. 516.
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2005), hal. 14.
45
46
Charles E Johnson, et all., Psychology and Teaching, (Bombay: D.B. Taraporevala Sons
& Co. Private Limited, 1974), hal. 3.
47
Roestiyah, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, (Jakarta: Bina Aksara, 1989), hal. 4.
Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreatifitas Anak Sekolah, (Jakarta:
Grasindo, 1992), hal. 17.
49
David R. Stone, Educational Psychology: The Development of Teaching Skills, (New
York: Harper & Row Publishers, 1982), hal. 16.
50
Daniel Lenox Barlow, Educational Psychology: The Teaching-Learning Process,
Chicago: The Moody Bible Institute, 1985), hal. 229.
51
Usman, Op. Cit.
52
Kunandar, Guru profesional, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal. 55.
53
George J. Mouly, Psychology for Effective Teaching, (New York: Rinehart and Winston
INC, 1973), hal. 391.
54
Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 1989), hal. 18.
55
Muhammad „Atiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A.
Gani dan Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 133-144.
56
Pasal 10 ayat 1 UU No 14/2005.
57
Asrorun Ni‟am, Membangun Profesionalitas Guru, (Jakarta: eLSAS, 2006), hal. 199.
58
Ibid.
59
E. Mulyasa, Standar Kompetensi Sertifikasi Guru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2007), hal. 173
48
60
Ibid., hal. 135-136.
61
Calvin S Hall, dkk., Teori-Teori Holistik (Organisasi-Fenomenologis), (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), hal. 275.
62
Ibid., hal 275-276.
63
Hamzah B. Uno, Landasan Pembelajaran, (Gorontalo: Nurul Jannah.2004), hal. 156.
64
S. Eko Putro Widoyoko, Kompetensi Mengajar Guru IPS SMA Kabupaten Purworejo,
(Jakarta: Ditjen Dikti, 2005), hal. 7.
65
http://yusufhadi.net. 27/09/2010.
66
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2008), hal. 15.
67
Tulus Winarsunu, Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan, (Malang: UMM
Press, 2004),hal. 12.
68
Sugiyono, Statistika untuk Penelitian, (Bandung: CV. Alfabeta,2009a), hal. 63-64).
26
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Muhammad „Atiyah, 1974, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam,
Terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, Jakarta: Bulan Bintang.
Ali, Huda, 2006, Laporan Hasil Penelitian Sikap terhadap Profesional Guru,
Jakarta: Balitbang Agama.
Azwar, Saifuddin, 1997, Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Barlow, Daniel Lenox, 1985, Educational Psychology: The Teaching-Learning
Process, Chicago: The Moody Bible Institute.
Caplow, T., & McGee, R., 1965, The academic marketplace. Garden City, NY:
Anchor Books.
Coakes. S.J. and Steed., 1998, SPSS for windows, Sydney: Jacaranda Wiley Ltd.
Direktorat Tenaga Kependidikan, 2008, Penilaian Kinerja Guru, Jakarta:
Dirtendik Dirjen PMPTK Depdiknas.
Djamarah, Syaiful Bachri, 1991, Prestasi Belajar dan Kompetensi guru,
Surabaya: Usaha Nasional.
Drost, J., “On Going Formation bagi Seorang Guru,” Kompas, 14 Pebruari 2002.
Echols, John M, Hassan Shadily., 1990, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:
Gramedia.
Fahmi, Asma Hasan, 1979, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Ibrahim
Husen, Jakarta: Bulan Bintang.
Fathoni, Abdurrahmat, 2006, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Hajar, Ibnu, 1996, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif dalam
Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo.
Hall, Calvin S. dkk., 2000, Teori-Teori Holistik (Organisasi-Fenomenologis),
Yogyakarta: Kanisius.
Heyneman, S. P., & Loxley, W., 1983, The effect of primary school quality on
academic achievement across twenty-nine high and low income countries.
American Journal of Sociology,88, 19–23.
Houston, W. R., and Howsam, R., 1972, Competency-based teacher education:
Progress,problems and prospects. Chicago: Science Research Associates.
Johnson, Charles E. et all., 1974, Psychology and Teaching, Bombay: D.B.
Taraporevala Sons & Co. Private Limited.
Kunandar, 2009, Guru profesional, Jakarta: Rajawali Press.
27
Lefrancois, Guy R., 1991, Psychology for Teaching (7th ed.), Belmont:
Wadsworth Publishing Company.
Manser, Martin H., 1995, Oxford Learner’s Dictionary, Oxford: Oxford
University Press.
Manulang, Martua, 1981, Manajemen Personalia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Matutina, Donni C., 1993, Manajemen Personalia, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Miarso, Yusufhadi, 2008, Peningkatan Kualifikasi Guru Dalam Perspektif
Teknologi Pendidikan, Makalah disampaikan dalam Semiloka di UNNES, 8
Mei 2008.
Mouly, George J., 1973, Psychology for Effective Teaching, New York: Rinehart
and Winston INC.
Muhadjir, Noeng, 2000, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta:
Rake Sarakin.
Mulyana, 2006, Laporan Hasil Penelitian Sikap Profesional Guru Tsanawiyah,
Jakarta: Balitbang Agama.
Mulyasa, E., 2007, Standar Kompetensi Sertifikasi Guru, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
__________, 2009, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya.
Munandar, Utami, 1992, Mengembangkan Bakat dan Kreatifitas Anak Sekolah,
Jakarta: Grasindo
Muslich, Masnur, 2007, Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik,
Jakarta: P.T. Bumi Aksara.
Nata, Abuddin, 2003, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan
Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana.
Natsir, Nanat Fatah., 2002, Strategi Pembangunan Pendidikan di Indonesia,
Jakarta: Balitbang Dikdasmen.
Ni‟am, Asrorun, 2006, Membangun Profesionalitas Guru, Jakarta: eLSAS.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 58 Tahun
2008 tentang Penyelenggaran Program Sarjana S-1 Kependidikan Bagi
Guru Dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
Rindang, Mei 2010.
Roestiyah, 1989, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, Jakarta: Bina Aksara.
28
Sahertian, A. Piet, 1994, Profil Pendidik Profesional, Yogyakarta: Andi Offset.
Secord P.F., Backman C.W., 1969, Social Psychology, New York: McGraw Hill.
Sikula, Andrew E., 1981, Personal Administration and Human Resources
Management, New York: John Wiley & Sons, Inc.
Simmons, J., & Alexander, L., 1980, Factors which promote school achievement
in developing countries: A review of the research. In J. Simmons (Ed.), The
Education Dilemma: Policy Issues for Developing Countries in the 1980s.
Elmsford, N.Y.: Pergamon Press.
Soetjipto, Raflis Kosasi, 2007, Profesi Keguruan, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Stone, David R., 1982, Educational Psychology: The Development of Teaching
Skills, New York: Harper & Row Publishers.
Sudarmanto, R. Gunawan, 2005, Analisis Regresi Linear Ganda dengan SPSS,
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sudjana, Nana dan Ibrahim, 1989, Penelitian dan Penilaian Pendidikan,
Bandung: Sinar Baru.
Sudjana, Nana, 1989, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar
Baru Algensindo.
Sugiyono, 2006, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Bandung: CV.
Alfabeta.
________, 2009a, Statistika untuk Penelitian, Bandung: CV. Alfabeta.
________, 2009b, Metode Penelitian Kuantotatif Kualitatif dan R&D, Bandung:
CV. Alfabeta.
Sukardi, 2008, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya,
Jakarta: Bumi Aksara.
Suyanto,”Guru harus terus mendapat latihan,” Kompas, 3 Pebruari 2001.
Syah, Muhibbin, 1999, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Syalhub, Fuad, 2006, al-Mu’allim al-Awwal Sallallahu ‘alaihi wasallam (Guruku
Muhammad saw.), Terj. Nashirul Haq, Jakarta: Gema Insani Press.
Tilaar, H. A. R., 2008, Manajemen Pendidikan Nasional Kajian Pendidikan Masa
Depan, Bandung: PT Remaja RosdaKarya.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Ulwan, Abdullah Nasih, 1990, Tarbiyah al-aulād fī al-islām (Pendidikan Anak
Menurut Islam Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak), Terj. Khalilullah
Ahmas Masykur Hakim, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
29
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen.
Uno, Hamzah B., 2004, Landasan Pembelajaran, Gorontalo: Nurul Jannah.
_____________, 2006, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta:
Bumi Aksara.
_____________, 2008, Profesi Kependidikan Problema, Solusi dan Reformasi
Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara.
Usman, Moh. Uzer, 2005, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Widoyoko, S. Eko Putro, 2005, Kompetensi Mengajar Guru IPS SMA Kabupaten
Purworejo, Jakarta: Ditjen Dikti.
Winarsunu, Tulus, 2004, Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan,
Malang: UMM Press.
Website Resmi
http://file.upi.edu.
http://lppm.upi.edu.
http://www.ditjenpmptk.net.
http://www.jambiekspres.co.id/.
http://yusufhadi.net
30
Download