TINJAUAN PUSTAKA Pembentukan dan Penyebaran Gambut Pembentukan dan Penyebaran Gambut Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986; Agus dan Subiksa, 2008). Pembentukan gambut diduga terjadi pada peroide holosin antara 10.000-5.000 tahun silam karena pencairan es di kutub yang menaikan muka air laut hingga tergenang pada bagian puncakanya akibat adanya pembentukan daratan pantai (regresi) dan garis pantai mengalami pergeseran (transgresi) yang menjorok lebih ke laut dimana dataran pantai yang berupa cekungan tersebut mengalami penimbunan sisa-sisa seperti pakis, tanaman air dan bakau secara berlapis-lapis dalam keadaan anaerob. Dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa pembentukan gambut memerlukan waktu yang sangat panjang. Gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0-3 mm/tahun. Di Barambai Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan laju pertumbuhan gambut sekitar 0,05 mm dalam satu tahun, sedangkan di Pontianak sekitar 0,13 mm/tahun. Di Sarawak Malaysia, laju pertumbuhan berjalan lebih cepat yaitu sekitar 0,22–0,48 mm per tahun (Noor, 2001). Berdasarkan pengamatan Jongerius dan Pons (1962; Abdullah 1997) menambahkan bahwa awal dari proses pedogenesis tanah gambut atau rijping terbagi dalam tiga jenis rijping yaitu: a. Fisika rijping atau pematangan fisik yaitu suatu proses fisika dimana proses pematangan disebabkan dehidrasi yang diakibatkan oleh draenase, evaporasi dan perakaran b. Disintegrasi atau kimiawi dan mikrobiologikal rijping atau pematangan kimiawi atau mikrobiologi yaitu suatu proses dimana masuknya udara ke dalam pori-pori tanah akibat hilangnya kelembaban sehingga terjadi pematangan kimia dan biologi c. Moulding atau biologikal rijping atau pematangan biologi yaitu proses perombakan yang dilakukan oleh organisme kecil yang aktif pada permukaan gambut. Luas lahan gambut dunia berkisar 38 juta ha dengan lebih 50% berada di Indonesia. Lahan gambut di Indonesia diperkirakan seluas 26 juta ha. Hampir seluruh cadangan gambut yang ada di Indonesia tersebut terdapat di luar pulau Jawa yang merupakan pulau-pulau tujuan transmigrasi, tersebar di Pulau Sumatera 8,9 juta ha, Pulau Kalimantan 6,3 juta dan Pulau Irian 10,9 juta ha. Di wilayah Sumatera, sebagian gambut berada di pantai Timur, sedangkan di kalimantan ada di Kalimantan Barat, Tengah dan Selatan. Di Sumatera lahan gambut ditemukan di pantai timur mulai dari Lampung, Sumatera Selatan, Jambi samapai ke Riau dan Sumatera Utara (Hasibuan, 2008). Karakteristik Gambut Kebanyakan Histosol dicirikan dan dikenal melalui epipedon histik yang tebalnya lebih dari 12 inchi, jenuh dengan air sekurang-kurangnya 30 hari terus menerus dalam setahun, dan mengandung paling sedikit 20 persen bahan organik. Histosol ditemukan di seluruh dunia, jumalah luas keseluruhanya kurang dari 1 persen dari permukaan tanah dunia (Foth, 1994). Tingkat kemasaman gambut mempunyai kisaran yang sangat lebar. Umumnya tanah gambut tropik, terutama ombrogen (oligotropik), mempunyai kisaran pH 3,0-4,5, kecuali yang mendapat penyusupan air laut atau payau. Kemasaman tanah gambut cenderung makin tinggi jika gambut makin tebal. Gambut dangkal mempunyai pH antara 4,0-5,1, sedangkan gambut dalam pH nya anatara 3,1-3,9 dimana sumber kemasaman yang berperan pada tanah gambut adalah pirit dan asam-asam organik (Noor, 2001). Gambut di Indonesia umumnya merupakan gambut ombrogen, terutama gambut pedalaman yang terdiri atas gambut tebal dan miskin unsur hara, digolongkan ke dalam tingkat oligotrofik (Radjaguguk, 1997; Hartatik et al. 2011). Sedangkan pada gambut pantai pada umumnya tergolong gambut topogen dengan status eutrofik yang kaya akan basa-basa, karena adanya sumbangan Ca, Mg, dan K dari air pasang surut. Dari hasil penelitian Wiratmoko et al. ( 2008 ) menyatakan gambut topogen memiliki karakteristik fisik maupun kimia yang lebih baik, seperti tingkat kemasaman (pH) 3,5-3,6, berat volume 0,31 g/cm3, dan kadar abu 15,81%, dibandingkan gambut ombrogen yang memiliki pH 3,2-3,4, berat volume 0,26 g/cm3 dan kadar abu 2,52%. Karakteristik kimia tanah gambut di Indonesia sangat beragam dan ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis tanaman penyusun gambut, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Polak (1975; Hartatik dkk., 2011) mengemukakan bahwa gambut yang ada di Sumatera dan Kalimantan umumnya didominasi oleh bahan kayu-kayuan. Oleh karena itu komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah lignin yang umumnya melebihi 60% dari bahan kering, sedangkan kandungan komponen lainnya seperti selulosa, hemiselulosa, dan protein umumnya tidak melebihi 11%. Nitrogen pada tanah gambut sangat rendah bila dibandingkan dengan kadar carbon (C) sehingga ratio C/N menjadi sangat tinggi. Hal ini menunjukan sanagat lambatnya proses dekomposisi bahan organik. Hal ini juga menyebabkan kurang tersedianya N untuk tanaman. Unsur hara makro lainya seperti Fosfat, Kalium, Magnesium dan Kalsium juga rendah, akibat rendahnya pH tanah (Hasibuan, 2008) Kandungan kation-kation basa (Ca, Mg, K, dan Na) umumnya terdapat dalam jumlah yang rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut kandungan abu semakin rendah dan kandungan Ca dan Mg dan kejenuhan basa menurun (Driesen dan Supraptohardjo, 1974; Barchia 2006). Di sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah (Agus dan Subiksa, 2008). Tingginya nilai KTK gambut disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974 ; Barchia, 2006). Zeolit Zeolit merupakan aluminosilikat kristalin berpori mikro terhidasi yang mengandung pori yang saling berhubungan dengan ukuran 3 sampai 10วบ. Zeolit tersusun oleh silikon, oksigen dan alumunium dalam suatu kerangka struktur tiga dimensi dengan pori-porinya mengandung molekul air yang dapat menyerap kation yang saling bertukar (catión exchange). Secra kimia zeolit mempunyai rumus empiris : M+2 ,M+2Al 2 O 3 _gSiO 2 _ZH 2 O, dimana M+ biasanya Na atau K, M+2adalah Mg, Ca, atau Fe (Warmada dan Titisari, 2004). Zeolit merupakan mineral yang bersifat basa yang belakangan ini mulai banyak digunakan sebagai bahan pembenah tanah. Adapun komposisi kimia dari zeolit antara lain: SiO 2 (60,18%), Al 2 O 3 (14,25%), CaO, MgO, Al 2 O 3 , Fe 2 O 3 , SiO 2 , K 2 O, Na 2 O, TiO 2 (Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera Utara, 2009). Zeolit pada dasarnya memiliki tiga variasi struktur yang berbeda yaitu: a) struktur seperti rantai (chain-like structure), dengan bentuk kristal acicular dan prismatic, contoh: natrolit, b) struktur seperti lembaran (sheet-like structure), dengan bentuk kristal platy atau tabular biasanya dengan basal cleavage baik, contoh: heulandit, c) struktur rangka, dimana kristal yang ada memiliki dimensi yang hampir sama, contoh: kabasit. Zeolit mempunyai kerangka terbuka, sehingga memungkinkan untuk melakukan adsorpsi Ca bertukar dengan 2 (Na, K) atau CaAl dengan (Na, K) Si. Morfologi dan struktur kristal yang terdiri dari ronggarongga yang berhubungan ke segala arah menyebabkan permukaan zeolit menjadi luas. Morfologi ini terbentuk dari unit dasar pembangunan dasar primer yang membentuk unit (Rodhie, 2006). dasar pembangunan sekunder dan begitu seterusnya Suatu usaha yang belum banyak dilakukan untuk memperbaiki sifat tanah ini yaitu dengan pemberian zeolit. Pemberian zeolit pada tanah masam dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Zeolit merupakan bahan pemantap pada tanah yang dapat meningkatkan reaksi pada tanah masam dan memperbaiki sifat kimia tanah, meningkatkan kemampuan memegang air serta memegang haradan melepasnya secara perlahan-lahan (Mumpton, 1983). Menurut Suwardi dan Suryaningtyas (1995) bahwa pemberian zeolit pada tanah tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai KTK tanah. Secara teoritis semakin besar dosis zeolit dan semakin tinggi KTK zeolit maka semakin tinggi pula KTK tanah. Namun kadang kenaikan yang kecil ini cukup sulit terdeteksi karena adanya keragaman dalam penetapan KTK tanah itu sendiri. Air Laut Mengingat tingginya kandungan kation, air laut dapat digunakan sebagai salah satu sumber hara bagi tanaman termasuk tanaman yang sensitif terhadap kadar garam yang tinggi (glycophyte plants). Tabel 1. Rata-Rata Konsentrasi Ion Pada Air Laut Ion Berat Per Seribu Bagian Chloride, Cl18.980 Sodium, Na+ 10.556 Sulphate, SO422.649 Magnesium, Mg2+ 1.272 Calcium, Ca2+ 0.400 Potassium, K+ 0.380 Bicarbonate, HCO30.140 Bromide, Br0.065 Borate, H2BO30.026 Srontium, Sr2+ 0.013 Fluoride, F0.001 Sumber: Brown et al, 1989 ; Yufdy and Jumberi, 2008 Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat 14 jenis ion pada air laut. Dari jumlah itu, konsentrasi Chlorite dan Natrium terdapat dalam jumlah yang sangat tinggi. Hal inilah yang menyebabkan tingginya salinitas air laut. Di samping itu sulfat, magnesium (Mg), kalsium (Ca) dan kalium (K) juga terdapat dalam konsentrasi yang cukup tinggi dibandingkan unsur lainnya. Tingginya kandungan nutrien yang terdapat pada air laut, khususnya unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman seperti Mg, Ca dan K memberi petunjuk bahwa air laut dapat menjadi salah satu sumber alternatif nutrien bagi tanaman. Berkaitan dengan tingginya salinitas air laut, tantangan yang dihadapi adalah upaya untuk memanfaatkan unsur-unsur hara tersebut dengan menurunkan kandungan Na dan Cl sampai pada level yang tidak merugikan pada tanaman. Di samping itu unsur Na juga dapat dimanfaatkan sebagai unsur hara untuk jenis-jenis tanaman tertentu yang membutuhkannya baik sebagai unsur tambahan/menguntungkan maupun sebagai pengganti sebagian dari kebutuhan akan unsur K (Yufdy and Jumberi, 2008). Pemanfaatan air laut sebagai pelindi berhubungan dengan perannya sebagai penetral dan pendesak Al untuk menurunkan kemasaman di tanah sulfat masam. Air laut selain mempunyai pH netral (pH 6-7) juga mempunyai muatan ionik yang tinggi (DAL 54 dS m-1). Adanya desakan terhadap aluminium oleh natrium/magnesium dari tapak jerapan lempung untuk kemudian terbebaskan keluar dari sistem, maka kemasaman tanah dapat diturunkan. Adapun pemberian bahan amelioran berhubungan dengan perbaikan tahana (status) hara sehingga tanaman dapat tumbuh optimal. Kemasaman tanah menurun dengan didesaknya aluminium oleh natrium/magnesium dari tapak jerapan lempung untuk kemudian terbebaskan keluar dari sistem. Pada pH yang tinggi, Al3+ selanjutnya diendapkan sebagai Al-hidroksi atau basic sulfat dan dibebaskannya asam-asam terlarut untuk selanjutnya dilindi keluar dari sistem seperti digambarkan persamaan berikut. Al3+ (aq) + 3 H 2 O → Al (OH) 3 + 3 H+ (aq) (Noor dkk., 2005). Penelitian Sudarman (2002) menunjukkan pelindian pada tanah reaktif kuat dengan air tawar yang dilanjutkan dengan air laut menurunkan pH dari 2,63 menjadi 2,44, tetapi pH naik kembali dengan pelindian air tawar menjadi 3,42. Pola perubahan pH pada tanah tidak reaktif serupa menurun dari pH 5,81 menjadi 3,74 dan meningkat kembali menjadi 6,81. Ini memberikan gambaran bahwa air laut mempunyai kemampuan lebih baik dalam mendesak ion-ion toksis seperti Al3+ , H+, Mn2+ untuk masuk kedalam air lindian. Maas et al. (1999; Sudarman et al. 2002) menambahkan bahwa air laut dapat berfungsi sebagai amelioran karena air laut mempunyai daya penukar yang besar sehingga Al3+ dan Fe2+ yang berada pada kompleks pertukaran dapat digantikan oleh Na+, Ca2+, atau Mg2+ dari air yang ditambahkan. Oleh karena itu air laut dengan konsentrasi tertentu dapat berperan sebagai ion exchange , atau sebagai bahan amelioran. Hasil penelitian ditingkat laboratorium dan rumah kaca menunjukan bahwa pelindian dengan air laut (yang diencerkan 50%) memberikan hasil lindian berupa kemasaman terlarut (H+ dan Al3+ terlarut) dan sulfat terlarut lebih tinggi dibandingkan dengan air tawar. Semakin pekat (0-50%) air laut yang digunakan sebagai pelindi, semakin tinggi kadar kemasaman (Al3+ dan H+) air lindian (Maas et al. 2000; Noor, 2004). Pelindian akan membawa senyawa beracun yang terbentuk oleh oksidasi pirit sehingga pH tanah akan naik. Akan tetapi meskipun kristalisasi pada tanah sulfat masam di Indonesia sangat reaktif terhadap suasana oksidatif, namun karena pirit terisolasi di dalam matriks tanah yang kohesif structureless, maka upaya penghilangan sumber kemasaman tanah dan unsur beracun oleh pencucian kurang berjalan lancar. Upaya pemebentukan agregasi dari bahan liat kohesif dengan penambahan gambut yang mempunyai kadar serat yang cukup untuk mengurangi isolasi pirit sebelum dilakukan pelindian diharapkan akan cepat mengurangi sumber kemasaman pada tanah sulfat masam (Sudarman et al. 2002). Bahan Vulkan Tanah vulkanik atau tanah gunung berapi adalah tanah yang terbentuk dari lapukan materi dari letusan gunung berapi yang subur mengandung unsur hara yang tinggi. Vulkanik yang dapat dijumpai di sekitar lereng gunung berapi umumnya dicirikan oleh kandungan mineral liat allophan yang tinggi (Anonimous, 2012). Mineral tanah mempunyai peran yang sangat penting dalam suatu tanah, antara lain sebagai indikator cadangan sumber hara dalam tanah dan indikator muatan tanah beserta lingkungan pembentukannya (Balai Penelitian Tanah, 2005). Mineralogi bahan vulkan yang berasal dari gunung Merapi dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: (1) Mineral skeletal yang berasal dari mineral primer (mineral pasir dan debu) serta agregat mikro kristalin. (2) Fragment yang semuanya berasal dari bahan induk, mineral liat dan liat amorf. Mineral skeletal terdiri atasi: (a) Pasir atau debu yang masing-masing butir merupakan satu macam mineral primer. (b) Agregat mikro kristalin yang terdiri atas abu vulkan (campuran berbagai mineral primer) dan (c) chert (silica mikrokristalin). Fragmen merupakan pecahan batuan dalam ukuran pasir maupun debu yang terdiri dari berbagai macam mineral primer. Untuk mineral liat dan liat amorf terdiri atas: (a) Layer aluminium silicate clay (liat aluminium silikat berkisi/berlapis). (b) Hydrous iron oxide yang merupakan hidroksida Fe serta gibbist yang berupa hidroksida dari Al pada tanah-tanah dengan pelapukan lanjut. c. Allophan yang merupakan alluminosilicate amorph pada tanah dari abu vulkanik di daerah humid (Sudaryo dan Sutjipto, 2009). Fungsi pasir gunung api sebenarnya sama dengan pasir biasa. Namun, kandungan silika (SiO) yang tinggi membuat kualitasnya menjadi sangat baik. Pasir gunung api baik digunakan untuk penjernih air. Pola silika yang berujung runcing membuat kemampuan pasir menyerap partikel tidak diinginkan jauh lebih baik ketimbang pasir biasa. Meski demikian, penggunaan pasir gunung api sebagai penjernih air tetap membutuhkan bahan lain, seperti zeolit dan arang kayu, selain silika, pasir gunung api juga memiliki kandungan besi (FeO). Kandungan besi pasir gunung api sangat baik karena belum mengalami pelapukan (Kompas, 2010). Material yang menyeliputi butir pasir dalam tanah umumnya berupa bahan organik. Namun pada beberapa jenis tanah, material penyeliput tersebut selain oleh bahan organik, juga oleh besi (pada tanah merah) dan oleh karbonat (pada tanah kapur) (Balai Penelitian Tanah, 2005). Hasil penelitian Hikmatullah (2010) menjelaskan komposisi mineral fraksi pasir dari keempat pedon yang diteliti menunjukan komposisi yang relatif sama dengan jumlah yang berbeda umumnya didominasi oleh gelas volkanik dan mineral mudah lapuk dari kelompok plagioklas intermedier (labradorit, andesin, bitownit), dan kelompok piroksen (augit dan hiperstin). Mineral opak dan kuarsa yang merupakan mineral resisten jumlahnya sedikit dengan variasi masing-masing 5-14 % dan 1-22 %, yang mencerminkan tingkat pelapukan masih dalam tahap awal. Komposisi mineral dengan asosiasi augit, hiperstin dan labradorit menunjukkan bahan volkan bersifat intermedier. Jumlah cadangan mineral mudah lapuk termasuk gelas volkan persentasenya masih sangat tinggi, yaitu antara 48-81 %. Dengan demikian cadangan hara tanah cukup tinggi hasil pelapukan mineralmineral tersebut. Tingkat pelapukan relatif (LR) yang diduga dari rasio mineral mudah lapuk (ML) terhadap mineral resisten (MR) menunjukkan sekuen dari yang paling rendah tingkat pelapukannya berturut-turut adalah pedon P1, P3, P2, dan P4. Berikut tabel komposisi mineral fraksi pasir keempat pedon dari hasil peneltian tersebut. Tabel 2. Komposisi Mineral Fraksi Pasir Total Dari Pedon-Pedon Di Daerah Penelitian Pedon Hor. Op Kk Kj Li Lp Fb Gv Ol An La Bi Au Hi ML MR LR …...…………………………………………………%.......................................................................................... P1 A 5 1 6 8 45 25 2 5 3 80 5 16 Bw1 6 1 6 3 51 21 1 7 4 84 6 14 P2 A 13 1 1 6 37 25 2 7 8 79 13 6.1 Bw1 15 6 39 27 4 9 79 15 5.3 Bw2 14 2 1 2 46 17 6 12 81 16 5.1 P3 A 10 9 44 16 1 7 13 81 10 8.1 Bw1 12 1 7 45 23 1 7 4 80 12 6.7 P4 A 6 1 4 1 4 25 20 9 13 5 12 59 11 5.4 Bw1 7 3 10 2 4 22 20 1 3 10 5 13 52 20 2.6 Bw2 9 - 22 5 6 22 1 3 11 6 15 58 31 1.9 Keterangan: Op = opak; Kk = kuarsa keruh; Kj = kuarsa jernih; Li = limonit; Lp = lapukan mineral; Fb = fragmen batuan; Gv = gelas volkanik; Ol = oligoklas; An = andesin; La = labradorit; Bi = bitownit; Au = augit; Hy = hiperstin; ML = jumlah mineral mudah lapuk, termasuk gelas volkan; MR = jumlah mineral resisten (opak dan kuarsa); dan LR = rasio ML/MR. Sumber: Hikmatullah, 2010 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sudaryo dan Sutjipto (2009) di tujuh daerah lokasi sekitar Gunung Merapi menghasilkan bahwa tanah vulkanik yang berasal dari lokasi sepanjang sungai Kaliadem, Kabupaten Sleman, Provinsi Yogyakarta mengandung unsur logam Al, Mg, Si dan Fe serta distribusi kandungan unsur logam yang tersebar di dalam tanah vulkanik untuk Al berkisar antara: (1,8 – 5,9 %), Mg (1 – 2,4 %), Si (2,6 – 28 %) dan Fe (1,4 – 9,3 %). Adapun akurasi untuk unsur logam Al, Mg, Si dan Fe mempunyai kisaran: 4,29 9,74 %; presisi: 10,89 - 12,59 % dan batas deteksi untuk Al = 1 %, Mg = 0,05 %, Si = 2 % dan untuk Fe = 1 %. Sedangkan berdasarkan uji komposisi Kimia Tanah Abu Vulkanik Gunung Merapi Yogyakarta yang dilakukan oleh Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) (1994) Yogyakarta menunjukkan bahwa: SiO2 (54.56 %), Al 2 O 3 (18.37 %), Fe 2 O 3 (18.59 %), CaO (8.33 %), MgO (2.45 %), Na 2 O (3.62 %), K 2 O (2.32 %), MnO (0.17 %), TiO 2 (0.92 %), P 2 O 5 (0.32 %), H 2 O (0.11 %), HD (0.2 %) (Anonimous, 2012). Dari hasil data analisis kimia tanah untuk bahan vulkan yang digunakan dalam penelitian ini, menunjukan bahwa: pH (H 2 O) (5,59), pH (KCl) (5,44), Ptersedia (5,33 ppm), Retensi P ( 24,19%), P-Total (0,045%), K (0,041 cmol/kg), Ca (0,21 cmol/kg), Mg (0,046 cmol/kg), Na (0,053 cmol/kg), Al (0,68 cmol/kg), KTK (6,3 me/100gram), dan kandungan C-organik (0,057%) (Ridwanadi et al, 2013). Hikmatullah (2010) menambahkan dari hasil peneltiannya bahwa kadar Al o pada dari semua pedon tanah vulkan cukup tinggi mencapai 2.47-5.43 %, sedangkan kadar Feo mencapai 0.80-2.03 %. Budidaya Padi di Lahan Gambut Lahan gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah gambut dengan (20-50 cm gambut) dan gambut dangkal (0,5-1 m). Padi kurang sesuai pada gambut sedang (1-2 m) dan tidak sesuai pada gambut tebal (2-3 m) dan sangat tebal (lebih dari 3 m). Pada gambut tebal dan sangat tebal, tanaman padi tidak dapat membentuk gabah karena kahat unsur hara mikro (Subagyo et al. 1996). Pembuatan saluran drainase mikro sedalam 10 - 50 cm diperlukan untuk pertumbuhan berbagai jenis tanaman pangan pada lahan gambut. Tanaman padi sawah pada lahan gambut hanya memerlukan parit sedalam 10-30 cm. Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik. Semakin pendek interval/jarak antar parit drainase maka hasil tanaman semakin tinggi. Walaupun drainase penting untuk pertumbuhan tanaman, namun semakin dalam saluran drainase akan semakin cepat laju subsiden dan dekomposisi gambut (Agus dan Subiksa, 2008). Najiyati et al. (2005) menyatakan bahwa dalam budidaya padi sawah di lahan gambut beberapa hal yang harus dilakukan diantaranya varietas padi yang dianjurkan untuk ditanam di lahan rawa bisa dibedakan atas varietas unggul lokal dan varietas unggul introduksi karena varietas unggul lokal biasanya memiliki adaptasi yang relatif lebih baik sehingga sangat dianjurkan untuk lahan yang baru dibuka. Persiapan lahan yang dilakukan meliputi kegiatan pembuatan atau perbaikan saluran, pengolahan tanah, dan penataan lahan. Di lahan rawa, umumnya padi unggul ditanam sebanyak dua kali yaitu pada awal musim hujan dan akhir musim hujan. Padi dapat ditanam secara monokultur atau tumpang sari dengan tanaman lainnya. Pemeliharaan tanaman terdiri atas: penyulaman, penyiangan, penggunaan bahan amelioran & pemupukan, pengaturan air, dan pengendalian hama. Penanaman padi sawah bisa dilaksanakan melalui tanam benih langsung dengan sistem tabela (tanam benih langsung) atau tidak langsung melalui persemaian. Kemudian pemanenan dilakukan apabila tanaman sudah mencukupi umur dengan melihat tanda-tanda kematangan buah/bulir Padi. Buah padi yang masak akan terlihat berisi, warna kuning, kandungan air sekitar 25%. Tanaman padi yang sudah dapat dipanen terlihat batangnya mulai menguning dan menunduk (tidak tegak) pada lebih dari 80% luas areal tanaman. Pada tanah sawah dengan kandungan bahan organik tinggi, asam-asam organik menghambat pertumbuhan, terutama akar, mengakibatkan rendahnya produktivitas bahkan kegagalan panen. Leiwakabessy dan Wahjudin (1979 ; Radjagukguk 1997) menunjukkan hubungan erat antara ketebalan gambut dan produksi gabah padi sawah. Pada percobaan pot dengan tanah yang diambil dari lapis 0-20 cm, diperoleh hasil gabah padi (ditanam secara sawah) yang sangat rendah apabila tebal gambut > 80 cm, dan yang paling tinggi apabila ketebalan gambut 50 cm. Ditunjukkan pula bahwa ada kesamaan antara pola perubahan kejenuhan Ca, kejenuhan Mg, pH dan kandungan abu bersama ketebalan gambut dengan perubahan tingkat hasil gabah.