BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penggaraman Ikan Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 2721 [1].1-2009), ikan asin kering adalah produk hasil perikanan dengan bahan baku ikan segar yang mengalami perlakuan penerimaan, sortasi, pencucian I, penyiangan, pencucian II, pembentukan, pencucian III, penirisan, penggaraman, pencucian IV, pengeringan, sortasi II, penimbangan, pengemasan, pelabelan. Iwansyah (2012) menyatakan, penggaraman pada ikan merupakan salah satu jenis pengawetan yang bertujuan untuk mengurangi kadar air sampai titik tertentu agar bakteri tidak dapat hidup dan berkembang lagi. Ikan yang mengalami penggaraman menjadi awet karena garam dapat menghambat atau membunuh bakteri penyebab kebusukan ikan. Penggaraman yang dilakukan sebelum pengeringan ikan dimaksudkan untuk menarik air dari permukaan badan ikan dan mengawetkan ikan sebelum tercapai tingkat kekeringan yang dapat menghambat kegiatan mikroorganisme selama pengeringan berlangsung (Moeljanto, 1992 dalam Sari, 2000) 2.1.1 Metode penggaraman Penggaraman pada umumnya dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu penggaraman kering (dry salting), penggaraman basah (wet salting) dan penggaraman campuran (Iwansyah 2012). 1. Penggaraman kering Metode penggaraman kering menggunakan kristal garam yang dicampurkan dengan ikan. Sebelum digarami terlebih dahulu ikan disiangi dan dicuci bersih. Ikan yang telah disiangi selanjutnya disusun pada bak/tempat penggaraman dan diberikan garam pada setiap lapisannya. Lapisan ikan paling atas sebaiknya diberikan garam lebih banyak, karena garam bersifat menarik air dari tubuh ikan (Moeljanto, 1982b dalam Sari, 2000). Kelebihan dari metote penggaraman kering yaitu mampu memberikan hasil yang lebih baik, karena daging ikan yang dihasilkan lebih padat, sedangkan pada penggaraman basah banyak sisik-sisik ikan yang terlepas dan menempel pada ikan lainnya sehingga menjadikan ikan tersebut kurang menarik dan dagingnya kurang padat (Adawyah, 2007). 2. Penggaraman basah Penggaraman basah menggunakan biasanya menggunakan larutan garam 30-50% (setiap 100 liter air berisi 30-50 % kg garam), ikan dimasukkan ke dalam larutan tersebut dan direndam dalam jangka waktu tertentu. Proses osmosis pada penggaraman basah menyebabkan tingkat kepekatan larutan garam semakin berkurang, karena molekur air yang keluar dari tubuh ikan bercampur dengan larutan garam diluar tubuh ikan sehingga penetrasi garam terjadi secara lambat dan tidak sempurna (Adawyah, 2007). 3. Penggaraman campuran Metode ini merupakan gabungan dari penggaraman kering dan basah, tetapi biasanya tidak menggunakan bak atau penampung. Penggaraman campuran banyak digunakan oleh nelayan pesisir dengan cara ikan langsung dicampurkan dengan garam dan dibiarkan hingga garam membentuk larutan. Metode ini memerlukan garam yang cukup banyak, karena larutan garam dibiarkan terbuang sehingga perlu adanya penambahan garam pada waktu tertentu. Proses penggaraman ikan dengan metode ini menghasilkan ikan asin dengan kualitas yang jelek, karena penggaraman yang tidak terkontrol dan lebih mudah terjadi pembusukkan oleh bakteri dan serangga (Sari, 2000). Penggunaan konsentrasi garam pada pengolahan ikan asin berbeda-beda. Konsenstrasi garam yang digunakan tergantung pada ukuran ikan, tebal ikan dan derajat keasinan yang diinginkan. Menurut Arifudin (1985) dalam Syamsiar (1986), jumlah konsenstrasi garam dan lama penggaraman yang digunakan berbeda sesuai dengan tingkat keasinan yang diinginkan. Perbedaaan konsentrasi dan lama penggaraman tersebut sebagai berikut: 1) Produk bergaram tinggi, konsentrasi garam sebesar 20-25 % dari berat ikan dan lama penggaraman minimum 24 jam. 2) Produk bergaram sedang, konsentrasi garam sebesar 10-15 % dari berat ikan dan lama penggaraman 12-24 jam. 3) Produk bergaram rendah, penggaraman dilakukan dengan merendam sayatan ikan dalam larutan garam jenuh selama 1-3 jam. Menurut Budiman (2004), proses pengolahan ikan asin dengan metode penggaraman kering terjadi ketika garam bersentuhan dengan kulit/daging ikan (yang basah/berair), kemudian garam akan membentuk larutan pekat. Larutan ini akan meresap kedalam daging ikan melalui proses osmosa. Kristal garam tidak langsung menyerap air, tetapi terlebih dahulu berubah menjadi larutan. Semakin lama larutan akan semakin banyak dan ini berarti kandungan air dalam tubuh ikan semakin berkurang. Adawyah (2007), menyatakan bahwa selama proses penggaraman terjadi penetrasi garam dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dari tubuh ikan karena perbedaan konsentrasi. Lama kelamaan kecepatan proses pertukaran garam dan cairan semakin lambat dengan menurunnya konsentrasi garam diluar tubuh ikan dan meningkatnya konsentrasi garam didalam tubuh ikan. Proses itu mengakibatkan pengentalan cairan tubuh yang masih tersisa dan penggumpalan protein (denaturasi) serta pengerutan sel-sel tubuh ikan sehingga sifat dagingnya berubah. Ikan yang telah mengalami proses penggaraman, sesuai dengan prinsip yang berlaku, akan mempunyai daya simpan yang tinggi karena garam dapat berfungsi menghambat atau menghentikan reaksi autolisis dan membunuh bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan. 2.1.2 Jenis dan fungsi garam Penggunaan garam dalam dunia industri sudah sejak lama dilakukan, akan tetapi pengolahan garam pada umumnya masih dilakukan secara tradisional sehingga garam yang dihasilkan harus diolah kembali agar dapat dikonsumsi. Jenis garam berdasarkan kandungan NaCl dibagi menjadi beberapa kategori yaitu baik sekali (NaCl >95 %) , baik (NaCl 90-95 %), sedang (NaCl 80-90 %), tetapi yang lebih diutamakan adalah garam yang memiliki kandungan NaCl diatas 95 % (Purbani, 2001). Menurut Budiman (2004), garam yang digunakan untuk industri pengolahan khususnya pengawetan ikan sebaiknya memiliki kandungan NaCl yang tinggi dan sekecil mungkin mengandung unsul lain seperti MgCl2, CaCl2, MgSO4, CaSO4, lumpur serta kotoran lainnya. Secara umum komposisi garam terdiri atas 39,39 % Na dan 60,09 % Cl, bentuknya kristal seperti kubus dan berwarna putih. Unsur selain NaCl akan mempengaruhi mutu mutu ikan asin yang dihasilkan karena : a) Garam yang mengandung unsur Ca dan Mg memperlambat penetrasi pada tubuh ikan, sehingga memungkinkan proses pembusukan tetap berjalan selama proses penggaraman. Selain itu produk ikan asin yang dihasilkan bersifat higroskopis. b) Garam yang mengandung 0,5 % - 1 % CaSO4 menyebabkan ikan asin yang dihasilkan mempunyai daging yang putih (pucat) dan kaku. c) Garam yang mengandung MgCl2 dan MgSO4 akan menghasilkan ikan asin yang pahit. d) Garam yang mengandung Cu dan Fe dapat mengakibatkan ikan asin berwarna kuning atau cokelat kotor. e) Garam yang mengandung CaCl2 akan menyebabkan ikan berwarna putih (pucat), keras dan mudah pecah. Selain menyerap cairan pada tubuh ikan, garam juga menyerap cairan tubuh bakteri sehingga proses metabolisme bakteri terganggu karena kekurangan cairan dan menyebabkan kematian bakteri tersebut (Adawyah, 2007). Zaitsev, dkk (1969) dalam Syamsiar (1986), menyatakan bahwa pengawetan dengan garam NaCl mempunyai kemampuan tinggi dalam menyerap air secara osmotik yang menyebabkan terjadinya plasmolisis pada sel bakteri. Garam juga berperan sebagai elektrolit kuat yang dapat merusak ikatan molekul air dalam molekul protein sehingga dapat mengubah sifat alami dari protein tersebut (terdenaturasi). 2.1.3 Faktor yang mempengaruhi penetrasi garam Menurut Moeljanto (1992) dalam Adawyah (2007), selain tingkat kemurnian garam, ada beberapa faktor yang juga mempengaruhi kecepatan penetrasi garam dalam tubuh ikan, yaitu : 1) Kadar lemak ikan Semakin tinggi kadar lemak yang terdapat di dalam tubuh ikan, maka semakin lambat proses penetrasi garam yang terjadi. 2) Ketebalan daging ikan Penetrasi garam menjadi lambat apabila ikan yang digarami memiliki daging yang tebal sehingga semakin banyak jumlah garam yang akan digunakan. 3) Kesegaran ikan Pada ikan yang memiliki kesegaran rendah, proses penetrasi garam berlangsung lebih cepat karena ikan dengan tingkat kesegaran rendah mempunyai tubuh yang relatih lunak, cairan tubuh tidak terikat dengan kuat dan mudah terisap oleh larutan garam yang mempunyai konsentrasi lebih tinggi. Tetapi ikan asin yang dihasilkan memiliki kualitas yang kurang baik daripada ikan yang masih segar. 4) Temperatur ikan Semakin tinggi temperatur tubuh ikan semakin cepat pula proses penetrasi garam kedalam tubuh ikan, tetapi keadaan tersebut diikuti oleh perkembangan bakteri yang juga semakin cepat. Oleh karena itu, sebelum ikan dilakukan proses penggaraman sebaiknya ikan ditangani dengan baik terlebih dahulu agar sebagian besar bakteri yang dikandung dapat dihilangkan. 2.1.4 Pengeringan Menurut Pinem (2004), pengeringan merupakan proses penurunan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan produk akibat aktivitas biologi dan kimia. Iwansyah (2012), menambahkan bahwa proses pengeringan memanfaatkan energi panas untuk mengeluarkan air pada bahan pangan dengan cara menguapkan air pada bahan pangan tersebut. Adawyah (2007), menyatakan bahwa pada dasarnya proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan, dalam hal ini kandungan uap air udara lebih sedikit atau udara mempunyai kelembaban nisbi yang rendah sehingga terjadi penguapan. Terjadinya pengurangan kadar air pada bahan pangan menyebabkan senyawa seperti protein, karbohidrat lunak, dan mineral dalam produk menjadi lebih tinggi. Proses pengeringan pada suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan case hardening yaitu suatu keadaan dimana bagian permukaan bahan pangan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih basah. Hal ini disebabkan suhu pengeringan yang terlalu tinggi mengakibatkan bagian permukaan cepat mengering dan menjadi keras, sehingga akan menghambat proses penguapan air selanjutnya (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010). Penggunaan metode pengeringan saat ini sudah sangat beragam jenis dan bentuknya. Menurut Adawyah (2007), secara umum pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air pada bahan pangan, hal itu dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu : 1. Pengeringan dengan sinar matahari Cara ini sangat sederhana dan tidak harus menggunakan alat modern sekalipun. Metode pengeringan ini hanya memanfaatkan sinar matahari dan angin. Ikan yang akan digarami dijemur di atas rak-rak yang dibuat dengan kemiringan ± 15o ke arah datangnya angin. Angin berfungsi memindahkan uap air yang terlepas dari ikan ke tempat lain, sehingga penguapan berlangsung lebih cepat. Intensitas sinar matahari mempengaruhi kecepatan penguapan. Kelemahan metode pengeringan ini adalah: a. Suhu dan kecepatan aliran udara tidak dapat diatur, karena hanya bergantung dari kondisi cuaca. b. Ikan asin yang dihasilkan tidak terlalu higienis, karena ketika dikeringkan ikan tidak terlindungi dari lalat dan kotoran yang terbawa angin. 2. Pengeringan dengan alat pengering Untuk memaksimalkan kualitas dan mutu dari ikan yang dikeringkan maka dibuat alat pengeringan ikan. Beberapa jenis alat pengeringan ikan yang sering digunakan seperti, pengering efek rumah kaca (ERK), pengering mekanis, pengering tipe bak, pengering tipe rak, pengering beku, pengering hampa udara, pengering terowongan dan pengeringan dengan sinar inframerah. Kelebihan dari alat-alat pengering ini yaitu mampu menghasilkan produk olahan yang higienis dengan mutu yang lebih baik. Salah satu alat pengering buatan yang sederhana adalah pengering rumah kaca (ERK). Adawyah (2007), menyatakan bahwa pada prinsipnya pengering rumah kaca merupakan ruang yang tertutup oleh dinding atau atap transparan (bening) sehingga sinar matahari dapat masuk ke dalamnya. Udara panas tertampung di dalam alat tersebut sehingga suhunya makin tinggi, lebih tinggi dari suhu udara di luar. Suhu tinggi itulah yang dimanfaatkan untuk mempercepat proses penguapan air dari ikan. Suhu pada alat pengering dapat ditingkatkan dengan penggunaan dinding berwarna hitam, karena bidang hitam bersifat menyerap panas sinar matahari. Sisi yang hitam diletakkan di bagian barat pada pagi hari dan di bagian timur pada sore hari. Bentuk pengering rumah kaca dapat berupa kotak, persegi, piramid dan segitiga. 2.1.5 Kerusakan pada ikan asin kering a) Kerusakan secara kimiawi Kerusakan kimiawi pada ikan asin sering terjadi karena proses perombakan lemak oleh enzim yaitu proses pencoklatan, baik secara enzimatis maupun non- enzimatis, selain itu ketengikan yang terjadi secara oksidasi maupun hidrolisis akan menyebabkan penurunan mutu organoleptik dan kandungan gizinya. Menurut Mutaqqin (2008) kerusakan kimiawi pada ikan asin antara lain timbulnya warna merah kecoklatan pada permukaan daging. Penyimpangan ini mengakibatkan rasa yang tidak enak dan timbulnya bau tengik, penyebabnya adalah oksidasi lemak ikan yang mengandung asam-asam lemak yang berantai panjang dengan banyak ikatan rangkap, sehingga menurunkan mutu produk ikan asin kering. b) Kerusakan oleh bakteri Kerusakan pada ikan asin kering dapat disebabkan karena adanya aktivitas bakteri halofilik yang mampu mengubah tekstur dan kenampakan dari ikan asin yang dihasilkan (Adawyah, 2007), bakteri tersebut yaitu : 1. Fakultatif halofilik, yaitu bakteri yang dapat hidup secara baik pada media dengan kandungan garam sebesar 2 %. 2. Obligat halofilik, yaitubakteri yang dapat hidup pada lingkunga yang mengandung garam dengan konsentrasi lebih besar dari 2 %. Jenis kerusakan pada ikan asin karena adanya aktivitas bakteri (Adawyah, 2007), antara lain : 1. Pink spoilage, kerusakan ini disebabkan oleh bakteri halofilik (Sarcina sp, Salinaria, Serratia dan Micrococci) yang secara perlahan berkembang biak dan membentuk pigmen berwarna kuning kemerah-merahan. Bakteri tersebut dengan cepat akan menguraikan daging ikan dan menimbulkan bau busuk dan tengik, akibatnya daging akan menjadi lunak dan berwarna keabu-abuan. 2. Saponifikasi, disebabkan oleh aktivitas bakteri anaerob yang menghasilkan lendir yang ditandai oleh terbentuknya lendir berwarna kuning keabuan dan berbau busuk. Kerusakan tersebut sangat membahayakan kesehatan manusia, karena tidak hanya terjadi pada bagian permukaan ikan tetapi juga menyerang bagian dalam daging ikan. Bakteri yang menimbulkan saponifikasi adalah Myxobacteria. c) Kerusakan oleh kapang dan jamur Ikan yang diasinkan dan dikeringkan sangat sering terjadi kerusakan karena adanya pertumbuhan kapang, hal ini menjadi salah satu indikator penurunan mutu dari produk ikan asin kering. Penyebab kerusakan mutu produk perikanan olahan tradisional adalah adanya aktivitas jamur (kapang dan khamir). Jenis jamur yang biasa menyerang ikan asin diantaranya Aspergillus paraticus (19,2 %), Aspergillus niger (38,5 %), Penicillium frequentans (1 1,5 %), Aspergillus clavatus (7,7 %), Penicillium citrinum (3,8 %), serta jenis lainnya (Pratiwi dan Rusyanto, 1997 dalam Mutaqqin, 2008). Salah satu contoh kerusakan ikan asin adalah dun spoilage, yaitu pembusukkan yang ditandai dengan adanya bintik abu dan membentuk pigmen berwarna keabu-abuan, serta hanya hidup di permukaan daging ikan. Kerusakan ini terjadi pada ikan asin yang mempunyai kadar air di bawah 17 %. 2.2 Klasifikasi dan Komposisi Kimia Ikan Bandeng (Chanos chanos) 2.2.1 Klasifikasi ikan bandeng (Chanos chanos) Menurut Murtidjo (1989), ikan bandeng (Chanos chanos) merupakan salah satu komoditas ekspor yang dikenal dengan sebutan milkfish. Ikan ini memiliki karakteristik berbadan langsing, sirip bercabang serta lincah di air, memiliki sisik seperti kaca dan berdaging putih. Ikan bandeng (Chanos chanos) memiliki panjang usus 9 kali lebih panjang dari tubuhnya. Sumber : Novianto (2012) Gambar 1. Bentuk tubuh ikan bandeng (Chanos chanos) Klasifikasi ikan bandeng (Chanos chanos) (Saanin, 1984 dalam Susanto, 2010), yaitu: Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Malacopterygii Famili : Chanidae Genus : Chanos Spesies : Chanos chanos Menurut Saanin (1984) dalam Susanto (2010), bahwa ikan bandeng (Chanos chanos) mempunyai ciri-ciri morfologi badan memanjang, agak pipih, tanpa skut pada bagian perutnya, mata diseliputi lendir, mempunyai sisik besar di bagian sirip dada dan sirip perut, sisik kecil dengan tipe cycloid, tidak bergigi, sirip ekor panjang dan bercagak, sirip dubur jauh di belakang sirip punggung. Ikan ini mampu mentolerir kadar salinitas yang tinggi sehingga digolongkan sebagai jenis ikan euryhaline. 2.2.2 Komposisi kimia ikan bandeng (Chanos chanos) Menurut Novianto (2012), komposisi kimia ikan bandeng (Chanos chanos) per 100 gram daging terdiri dari, energi 129 kkal, protein 20 gr, lemak 4,8 gr, kalsium 20 mg, fosfor 150 mg, besi 2 mg, vitamin A 150 SI dan vitamin B1 0,05 mg. Wahyuningsih (2002), menyatakan bahwa kandungan protein ikan sehat sekitar 16-18 %. Protein terdapat di dalam sel dan semua bagian sel. Satu molekul protein dapat terdiri dari 12 sampai 18 macam asam amino dan dapat mencapai jumlah ratusan dari setiap macam asam aminonya. Berdasarkan kelarutannya dalam air, protein dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu protein myofibril, protein sarkoplasma dan protein stroma. Tabel 1. Komposisi kimia ikan bandeng (Chanos chanos) Zat Gizi Kalori Protein Lemak Air Kalsium Fosfor Besi Vitamin A Vitamin B6 Vitamin B12 Sumber : Wahyuningsih (2002) Jumlah Satuan 126 17,4 5,7 60,2 43,4 138 0,3 85 0,4 2,9 Kalori Gram Gram Gram Miligram Miligram Miligram Miligram Miligram Miligram 1.3 Analisis Sensori Analisis sensori (organoleptik) adalah pengujian yang didasarkan pada proses pengindraan. Pengindraan diartikan sebagai suatu proses fisio-psikologis, yaitu kesadaran atau pengenalan alat indra akan sifat-sifat benda karena adanya rangsangan yang diterima alat indra yang berasal dari benda tersebut. Pengindraan dapat juga berarti reaksi mental (sensation) jika alat indra mendapat rangsangan (stimulus). Reaksi atau kesan yang ditimbulkan karena adanya rangsangan dapat berupa sikap untuk mendekati atau menjauhi, menyukai atau tidak menyukai akan benda penyebab rangsangan. Pengujian ini bersifat subyektif, karena hasil penilaian sangat ditentukan oleh panelis (Wagiyono, 2003). 1.3.1 Uji hedonik Menurut Susiwi (2009) uji hedonik (kesukaan) merupakan suatu pengujian subyektif terhadap suatu produk yang diuji, pada pengujian ini panelis mengemukakan tanggapan pribadi berupa suka atau tidak suka dan tingkat kesukaan yang ditransformasikan dalam bentuk angka atau nilai. Afrianto (2008) menyatakan bahwa tanggapan panelis mengenai tingkat kesukaan disebut skala hedonik, misalnya dalam hal “ suka “ dapat mempunyai skala hedonik seperti : amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka. Sebaliknya jika tanggapan itu “ tidak suka “ dapat mempunyai skala hedonik seperti agak tidak suka, tidak suka dan amat sangat tidak suka, terdapat juga tanggapan yang disebut sebagai netral, yaitu bukan suka tetapi juga bukan tidak suka (neither like nor dislike). Skala hedonik dapat diubah menjadi skala numerik dengan angka mutu menurut tingkat kesukaan, sehingga data numerik ini dapat dilakukan analisis secara statistik. 1.3.2 Uji mutu hedonik Uji mutu hedonik tidak menyatakan suka atau tidak suka melainkan menyatakan tanggapan baik atau buruk, kesan baik – buruk ini disebut kesan mutu hedonik. Uji Mutu hedonik lebih spesifik dari pada sekedar kesan suka atau tidak suka, mutu hedonik dapat bersifat umum, yaitu baik atau buruk dan bersifat spesifik seperti empuk / keras untuk daging, pulen – keras untuk nasi dan renyah untuk kerupuk (Wagiyono, 2003). Menurut Susiwi (2009) skala hedonik pada uji mutu hedonik sesuai dengan tingkat mutu hedonik, jumlah tingkat skala bervariasi tergantung dari rentangan mutu yang diinginkan dan sensitivitas antar skala. Seperti pada uji kesukaan pada uji mutu hedonik, data penilaiaan dapat ditransformasi dalam skala numerik dan selanjutnya dapat dianalisis statistik untuk interprestasinya.