proposal penelitian - ePrints Sriwijaya University

advertisement
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumatera Selatan mempunyai kawasan bergambut seluas 1,4 juta ha atau
16,3 % dari luas wilayah, dan kondisi tersebut merupakan salah satu sumberdaya
alam yang
potensial untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi kepentingan dan
kesejahteraan seluruh masyarakat.
Pengambilan kayu di lahan gambut di era 1970 yang dikenal dengan
kegiatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Sumatera Selatan, seperti Kabupaten
Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin, mempunyai dampak yang sangat nyata,
baik terhadap kondisi fisik lahan dan sosio ekonomi masyarakat sekitarnya.
Ekploitasi hutan secara besar besar pada era 1970 an menghasilkan
perubahan yang cukup nyata terhadap kondisi hutan di Sumatera Selatan. Kondisi
degradasi lahan gambut saat ini ditemukan tersebar di Kabupaten Ogan Komering
Ilir, Banyuasin, Musi Banyuasin, dan Muara Enim pada tingkat yang sangat
memprihatinkan.
Keterbatasan informasi dan data tentang hutan rawa gambut di Sumatera
Selatan merupakan salah satu indikasi rendahnya perhatian dari seluruh pihak dan
rendahnya kegiatan penelitian yang dilakukan, disisi lain database merupakan
kebutuhan dasar untuk kegiatan di lahan gambut dalam mendukung pelestarian
sumberdaya alam hutan rawa gambut. Potensi sumberdaya alam hutan gambut
perlu dipertahankan kelestariannya, sehingga peranan hutan gambut tetap mampu
mendukung kehidupan dan lingkungan.
Pengelolaan dan pemanfaatan lahan pada setiap kondisi dan lokasi secara
tepat, terukur, terkendali, dan berkelanjutan pada suatu kondisi lahan adalah
sangat berperan penting dalam proses konservasi gambut. Adanya konsep Clean
Development Mechanism (CDM) yang memungkinkan dilakukannya perdagangan
karbon (carbon trade) juga membuka peluang untuk memanfaatkan lahan gambut
di Propinsi Sumatera Selatan yang bersifat konservasi.
1
Potensi sumberdaya alam hutan gambut dan potensi kandungan karbon di
lahan gambut Kayuagung setiap tahun terus berkurang akibat dari proses
kebakaran, sehingga kondisi tersebut memacu proses degradasi lahan. Oleh
karena itu dampak kebakaran lahan terhadap karakteristik tanah dan gambut perlu
dilakukan.
B. Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik lahan gambut setelah terjadi
kebakaran di dalam kawasan hutan.
2. Mengidentifikasi dan menganalisis keragaman hayati pada lahan gambut
setelah terjadi kebakaran yang berada di sekitar pemukiman dan di dalam
Kawasan Hutan Produksi Terbatas Kayuagung.
3. Mengidentifikasi dan menganalisis kondisi sosioekonomi masyarakat di sekitar
kawasan Hutan Produksi Terbatas Kayuagung.
4. Mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan di sekitar pemukiman untuk
kegiatan pertanian dan perkebunan.
5. Mengidentifikasi potensi rehabilitasi sumberdaya lahan di sekitar pemukiman
yang telah rusak untuk kegiatan penghijauan.
C. Keutamaan Penelitian
Perubahan kondisi lahan dari hutan primer menjadi hutan tersier atau tidak
ada tumbuhan hutan lagi dan tumbuh menjadi tumbuhan pioner generasi baru
merupakan salah satu kondisi yang saat ini banyak dijumpai di kawasan hutan
Sumatera Selatan, terutama di Hutan Rawa Gambut. Kondisi ini merupakan salah
satu dampak dari pemanfaatan hutan secara berlebihan pada era 1970an dan
diteruskan oleh penebangan liar hingga saat ini.
Dampak perubahan hutan alami menjadi hutan tersier atau tidak
bervegetasi mempunyai konsekuensi akan hilangnya keanekaragaman hayati di
kawasan tersebut, baik vegetasi dan biota perairannya. Kondisi lebih parah lagi
adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak
mampu menahan panas matahari, sehingga lahan mudah terbakar. Aktivitas
2
manusia terkadang mempercepat terciptanya degradasi lahan gambut baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui dampak kebakaran hutan
dan aktivitas masyarakat sekitar kawasan hutan terhadap karakteristik gambut dan
keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan
Komering Ilir. Data dan informasi dasar tentang kawasan ini tidak tersedia, disisi
lain potensi sumberdaya kawasan ini cukup besar untuk mendukung kehidupan
dan lingkungan, meskipun kondisi kawasan tersebut telah terdegradasi akibat
kebakaran lahan setiap tahunnya dan adanya pembukaan lahan oleh masyarakat
untuk kegiatan pertanian dan perkebunan.
Data dan informasi yang didapatkan diharapkan mampu menghasilkan
suatu pikiran sebagai upaya untuk meningkatkan kondisi lingkungan baik
disekitar kawasan dan dalam kawasan hutan produksi terbatas Kayuagung, serta
mencarika solusi terbaik untuk masyarakat sekitar kawasan untuk kegiatan
pertanian dan perkebunan secara baik, dan tidak melakukan kegiatan yang
merusak di kawasan hutan.
3
BAB II. STUDI PUSTAKA
A. Hutan di Propinsi Sumatera Selatan
Kawasan hutan Provinsi Sumatera Selatan yang ditetapkan berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan No: 75/Kpts-II/2001, Tanggal 15 Maret 2001
seluas ± 4.416.837 ha. Luas kawasan hutan ini mencakup ± 40.43% dari luas
Provinsi Sumatera Selatan.
Kawasan hutan ini terdiri dari Kawasan Hutan
Konservasi (16.17%), Hutan Lindung (17.22%) dan Hutan Produksi (66.61%)
seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kawasan Hutan di Propinsi Sumatera Selatan
Fungsi Kawasan
Kawasan Hutan Konservasi
 Daratan
 Perairan
Kawasan Hutan Lindung
Kawasan Hutan Produksi
 Hutan Produksi Terbatas
 Hutan Produksi Tetap
 Hutan Produksi yang dapat Dikonversi
Total
Luas
Hektar
Persen
714.416
0
760.523
16.17
0
17.22
217.370
2.293.083
431.445
4.416.837
4.92
51.92
9.77
100
Sumber: Badan Planologi Departemen Kehutanan (2002).
Luas kawasan hutan dalam perkembangannya telah banyak mengalami
perubahan. Berdasarkan hasil tata batas pengukuhan hutan yang telah
dilaksanakan sampai dengan tahun 2003, diketahui bahwa kawasan hutan di
Propinsi Sumatera Selatan seluas 3.774.457 ha yang sesuai fungsinya terdiri dari
kawasan hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan
produksi konservasi (HPK)) dan kawasan non budidaya (hutan lindung dan hutan
konservasi).
Ditinjau dari vegetasi yang menutupi kawasan hutan menunjukkan
kecenderungan kerusakan hutan semakin meningkat. Menurut penafsiran citra
landsat, luas kawasan yang berhutan saat ini tinggal 1.429.521 ha (37.87%),
sedangkan sisanya seluas 2.344.936 ha (62.13%) kawasan yang tidak berhutan
(non hutan).
4
Laju pengurangan hutan (deforestasi) di Propinsi Sumatera Selatan
berdasarkan hasil perbandingan Peta Penutupan lahan RePProT tahun 1985
dengan Peta Penutupan Lahan hasil penafsiran citra Tahun 1998 oleh Pusat Data
dan Perpetaan Badan Planologi Kehutanan diperoleh hasil bahwa selama periode
waktu 12 tahun telah terjadi perubahan penutupan lahan hutan disajikan pada
Tabel 2. Rata-rata laju deforestasi selama periode 1985 sampai 1998 di Sumatera
Selatan ialah 192.824 ha per tahun.
Tabel 2. Deforestasi di Propinsi Sumatera Selatan
Penutupan Lahan
RePPProT (1985)
Dephut (1991)
Ha
Luas areal yang
10.226.300
10.236.090
ditafsir
Hutan
3.562.100
3.438.140
% hutan
34.8
33.6
Sumber: Badan Planologi Departemen Kehutanan (2002).
Dephut (1998)
10.149.068
1.248.209
12.3
Data diatas mencerminkan adanya perubahan luasan kawasan hutan di
Sumatera Selatan yang signifikan. Kondisi penutupan lahan kawasan hutan di
Sumatera Selatan saat ini disajikan dalam Tabel 3. Luasan hutan primer dapat
ditemukan di sekitar Pegunungan Bukit Barisan, hutan sekunder di Sumatera
Selatan terlihat hanya pada beberapa lokasi dataran rendah di Kabupaten Musi
Banyuasin, dan hutan lainnya berupa semak belukar.
5
Tabel 3. Kondisi Penutupan Lahan Kawasan Hutan Di Propinsi Sumatera Selatan.
No.
1.




2.




Fungsi
Hutan
HSA
HL
HPT
HP
Jumlah (1)
HSA
HL
HPT
HP
Jumlah (2)
Luas Hutan Tetap
(1+2)
3
HPK (ha)
Total Luas Hutan
(1+2+3) (ha)
Luas Kawasan Hutan tiap Kab/Kota per Kondisi Penutupan Vegetasi (ha)
OKU,
Muba dan
M. Enim,
Lahat,
OKI dan OI
OKUT,
Banyuasin
Prabumulih Pagaralam
OKUS
Luas yang Berhutan (ha)
211.089
645
724
6.777
29.770
58.771
8.289
8.656
51.372
63.596
81.295
2.817
2.888
18.985
2.882
344.742
138.988
9.742
46.413
767
696.897
150.739
22.010
123.547
97.015
Luas Non Hutan (ha)
131.390
4.183
50.226
2.663
23.059
10.052
96.870
142.365
20.328
77.504
8.101
7.069
43.043
11.120
8.999
222.179
506.112
55.940
142.702
40.980
371.722
614.234
291.574
176.813
150.542
Mura,
Linggau
TOTAL
216.875
9.202
87.893
313.970
465.880
190.648
118.069
628.545
1.403.142
34.377
1.842
17.278
213.565
267.062
245.898
348.961
95.610
1.181.478
1.871.947
1.067.619
764.973
313.584
300.842
247.557
581.032
3.275.607
192.460
188.913
-
67.887
-
50.072
499.332
1.260.079
953.886
313.584
368.729
247.557
631.104
3.774.939
Sumber: Pengolahan Data Dishut Prop. Sumsel (2005) berdasarkan data dari Biphut Wil. II (2001).
6
B. Karakteristik Tanah Gambut
1. Definisi
Definisi tanah gambut oleh Subagyo et al., (2000) tanah gambut terbentuk
dari bahan organik, selanjutnya Wahyunto et al., (2005) menyatakan bahwa tanah
gambut adalah tanah jenuh air yang tersusun dari bahan tanah organik, yaitu sisasisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50
cm.
Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik
dengan ketebalan >45 cm maupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral
pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik
>50 cm. Analisis laboratorium bahan organik dinyatakan dalam kadar karbon 1218% atau lebih. Makin tinggi kadar karbon, bahan organik dapat dikatakan masih
segar, sedangkan makin kecil kadar karbon maka bahan organik makin lanjut
pelapukannya dan disebut dengan humus (Rismunandar, 2001).
2. Sebaran Gambut Di Sumatera Selatan
Cadangan gambut di Indonesia sebagian besar terletak di Pantai timur
Sumatera (Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan), Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah dan Irian Jaya. Di Sumatera Selatan sebaran gambut berada di Kabupaten
OKI (500.000 ha), Muba (250.000 ha), Banyuasin (200.000 ha), Muara Enim
(45.000 ha) dan Musi Rawas (35.000 ha) (Gambar 1).
Luasan lahan gambut atau bergambut pada kondisi utuh dan asli
penutupan vegetasinya (virgin forest) adalah identik dengan luas hutan rawa
gambut, karena pada hutan primer di lahan gambut merupakan sumber utama
bahan organik sebagai bahan utama gambut.
Luasan hutan gambut pada saat ini cenderung semakin menurun akibat
perubahan peruntukan, yakni dari hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan
peruntuka lainnya. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena sebagian besar
lahan gambut yang digunakan untuk kegiatan tersebut merupakan gambut dalam
yakni mempunyai kedalaman lebih 3 meter.
7
Gambar 1. Peta Sebaran Gambut Di Propinsi Sumatera Selatan
3. Pembentukan Tanah Gambut
Pembentukan tanah gambut secara umum dimulai dengan adanya
cekungan lahan berdrainase jelek dan genangan air, sehingga memungkinkan
terjadinya penumpukkan bahan organik yang sukar melapuk. Vegetasi tua yang
roboh akan diganti oleh vegetasi baru yang pertumbuhannya makin dipengaruhi
ketebalan bahan organik. Penumpukan bahan organik dapat berjalan terus karena
sifat permeabilitas ke bawah yang rendah dari tanah-tanah jelek dan air tetap
tergenang.
Gambut terbentuk di daerah rawa-rawa pada zaman Holosen sebagai
akibat dari peristiwa transgesi dan regresi laut karena mencairnya es di kutub.
Pada zaman Pleistosen, permukaan laut kira-kira 60 m di bawah permukaan
sekarang. Kenaikan air laut pada zaman berikutnya menyebabkan terbentuknya
rawa-rawa sehingga vegetasi mati, kemudian mengalami dekomposisi lambat.
Proses pembentukan gambut adalah sangat lama dan mencapai ribuan
tahun, artinya seharusnya semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, peneliti dan
lainnya perlu mengetahui dan menghargai, serta menyelamatkan gambut dari
8
kepunahan.
Disisi lain, proses kebakaran gambut yang berakibat kehilangan
gambut hanya memerlukan waktu yang relatif singkat.
4. Karakteristik Tanah Gambut
Karakteristik tanah gambut sangat dipengaruhi oleh kondisi biologinya.
Vegetasi alami yang tumbuh di lahan ini sangat dipengaruhi oleh salinitas,
kemasaman, dan tekstur tanah. Perbedaan vegetasi sangat dipengaruhi oleh waktu
dan frekuensi genangan.
Kualitas tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang menghasilkan
bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada dibawahnya,
faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan
tanahnya. Di daerah tinggi atau dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus
atau mudah melapuk daripada di dataran rendah atau pantai.
5. Vegetasi di Lahan Gambut
Wilayah lahan rawa dapat dibagi atas empat mintakat, yaitu: 1). Tepian
sungai yang dirajai oleh asosiasi jenis prepat atau pedada (Sonnertia sp) dan apiapi (Avicennia sp), 2). Pesisir pantai yang ditempati bakau (Rhizopora sp), 3).
Wilayah kubah gambut (peat dome) yang ditempati vegetasi hutan gambut seperti
ramin (Gonystylus sp), meranti (Shorea albida), terantang (Camriosperma
auricurata), pulai (Alastonia sp) dan lainnya., 4). Pinggir sungai yang bersifat
payau ditempati oleh vegetasi nipah (Nipa fructicans), dan 5). Wilayah yang telah
dibuka kemudian ditinggalkan dan ditumbuhi vegetasi gelam (Samingan, 1979
dalam Noor, 2004)
Tumbuhan di lahan gambut ini memperlihatkan komposisi dan struktur
yang jelas. Komposisi hutan gambut yang spesifik di Kalimantan terdiri dari
asosiasi kayu ramin. Asosiasi dalam tumbuhan dapat menghasilkan tiga lapisan
tajuk yaitu:
a. Tajuk atas terdiri dari kayu ramin, Shorea albida, Tetramerista gabra, Durio
sp, Ctelophon sp, Dyrea sp, Palaquim sp, Kompasia malacensis, dan kayu
besi (Eusideroxlon zwageri).
9
b. Tajuk tengah terdiri dari pepohonan kel;uarga Lauraceae, seperti Alseodaphhe
sp, Endriandra rubescens, litsea sp, Myristica inner, Horsfeldia sp, Garcinia
sp, dan keluarga Euphorbiaceae, Myristiceae, dan Ebennaceae.
c. Tajuk bawah terdiri dari keluarga Annonaceae, anakan dari pohon-pohon dan
semak jenis Crinus sp. (Noor, 2004).
6. Peranan Gambut
Lahan gambut mempunyai peran dalam ekosistem lahan rawa gambut baik
secara hidrologi, pelestarian satwa dan vegetasi. Lahan gambut memegang
peranan penting dalam sistem hidrologi suatu lahan rawa, dimana salah satu sifat
gambut berperan dalam sistem hidrologi adalah daya menahan air yang
dimilikinya.
Gambut memiliki daya menahan air sangat besar yaitu 300 hingga 800
persen dari bobotnya (Wahyunto et al., 2005). Selain kemampuannya dalam daya
menahan air, gambut juga mempunyai daya melepas air yakni sejumlah air akan
dilepaskan bila permukaan air diturunkan per satuan kedalaman. Semakin dalam
permukaan air diturunkan akan semakin besar pula air yang akan dilepas.
Pemanfaatan lahan gambut di Indonesia mulai menonjol sejalan dengan
program transmigrasi dan ekstensifikasi pertanian melalui reklamasi rawa pantai
atau pasang surut. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan gambut: 1).
Keadaan lingkungan tanah gambut, 2). Ketebalan gambut dan keadaan morfologi,
3). Sifat fisik dan kimiawi, dan 4). Perkembangan tanah akibat reklamasi dan
pemilihan teknologi yang tepat.
7. Kebakaran Gambut
Kebakaran hutan dan lahan akibat peningkatan suhu udara baik akibat
perubahan iklim dan aktivitas masusia adalah salah satu faktor penyebab
kerusakan hutan dan lahan. Kebakaran merupakan permasalahan paling besar di
lahan gambut pada saat ini dan mempunyai dampak sangat besar terhadap
kerusakan ekosistem dan keberadaan lahan gambut di Sumatera Selatan.
10
Dampak kebakaran hutan dan lahan gambut adalah sangat luas yakni
terhadap sifat fisik, kimia, biologi, hidrologi lahan dan lingkungan seperti asap,
kesehatan, dan lainnya.
Gambar 2. Sebaran Kebakaran Gambut Di Propinsi Sumatera Selatan
C. Karakteristik Lahan Kering
Lahan adalah bentang alam yang terdiri dari faktor tanah, iklim dan
topografi. Lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting
untuk pengembangan usaha pertanian terutama untuk memenuhi kebutuhan
sandang dan pangan. Masalah pokok yang sering dihadapi dalam pemanfaatan
lahan adalah terbatasnya kemampuan lahan untuk digunakan secara terus-menerus
bersamaan dengan menurunnya produktivitas lahan.
Lahan kering adalah lahan yang sepanjang tahun tidak tergenangi air.
Lahan kering memiliki tingkat kesuburan yang rendah karena kandungan unsur
hara dan bahan organik yang sedikit sehingga menjadi kurang produktif.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2000), sekitar 58,5 % dari seluruh
daratan Indonesia merupakan lahan kering. Luas lahan kering di Indonesia lebih
kurang 70 juta hektar sehingga memberi peluang cukup besar untuk perluasan
pengembangannya (Abdulrachman et al.,1988 dalam Suprapto, 2001), sedangkan
di Sumatera Selatan luas lahan kering yang potensial untuk pengembangan
11
pertanian dan perkebunan mencapai 4,47 juta hektar sehingga memberi peluang
cukup besar untuk
perluasan pengembangannya
(Pusat Penelitian dan
Pegembangan Tanah dan Agroklimat, 2001 dalam Kurnia, 2004).
1. Sifat Fisik Lahan Kering
Lahan kering adalah lahan yang sepanjang tahun tidak tergenangi air,
dengan demikian penggunaanya untuk usaha pertanian yang membutuhkan air
dalam jumlah yang sedikit, karena sebagian besar lahan kering di Indonesia
bergantung pada hujan untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman.
Tanah di kawasan tropika basah pada umumnya memperoleh energi
matahari dan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun.
Kondisi tersebut
menyebabkan tanah menjadi reaktif (peka) dan mempunyai tingkat erosi serta
pencucian (leaching) yang tinggi. Temperatur dan kelembaban udara yang juga
tinggi mengakibatkan dekomposisi bahan organik dan pelepasan hara berlangsung
cepat (Safuan, 2002).
2. Sifat Kimia Lahan Kering
Sebagian besar lahan kering terdapat pada tanah Ultisols, Inceptisols, dan
Oxisols, yang umumnya mempunyai tingkat kesuburan rendah. Berdasarkan hasil
analisis contoh tanah pada beberapa lahan alang-alang menunjukkan bahwa
tingkat kesuburan tanah umumnya rendah, dicirikan dengan kandungan hara yang
rendah terutama fosfat dan kation-kation dapat tukar seperti Ca, Mg, dan K. Tanah
bersifat masam sampai agak masam, dan sebagian mempunyai kadar aluminium
yang tinggi sampai sangat tinggi pada lapisan bawah sehingga dapat bersifat racun
bagi tanaman.
Kadar bahan organik dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) rendah serta
kejenuhan basa rendah dan sangat rendah (Mulyani et al., 2001). Pemanfaatan
lahan kering akan sangat penting untuk pengembangan pertanian bila lahan subur
telah beralih fungsi atau berkurang karena dipergunakan untuk keperluan di luar
sektor pertanian.
12
D. Survai dan Evaluasi Lahan
Survai merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari
lingkungan alam dan potensi sumber daya yang dimiliki. Survai tanah memiliki
dua tujuan, yaitu memberi informasi kepada pemakai tanah tentang karakteristik
tanah, bentuk wilayah dan keadaan lainnya; dan menyediakan informasi yang
akan membantu dalam pengambilan keputusan tentang tanah dan rencana
pengembangan wilayah yang di survai. (Hakim et al., 1986).
Menurut Hakim et al., (1986), berdasarkan ketelitian, survai dibagi atas
lima yaitu :
1. Survai eksplorasi, adalah survai pada tingkat lebih kasar yang membuat uraian
singkat mengenai informasi daerah yang belum diketahui. Survai ini
digunakan untuk tujuan survai yang bersifat sangat umum dengan skala
1:500.000-1:2.000.000. Beberapa survai eksplorasi digunakan untuk
menyediakan informasi bagi peta dunia FAO – UNESCO.
2. Survai tinjau, digunakan untuk survai pada wilayah yang luas seperti: negara,
profinsi, atau wilayah pada tingkat skala yang kecil. Umumnya menggunakan
skala 1:250.000. survai pada tingkat ini sering digunakan untuk membuat
interpretasi photo udara, pemetaan yang bervariasi pada kelas-kelas tanah
kebentuk wilayah, asosiasi dan segi-segia tanah tertentu.
3. Survai semi detail, merupakan kelanjutan dari survai tinjau dengan skala peta
1:100.000-1:30.000. survai ini menggunakan kombinasi antara photo udara
dan penjajakan lapangan survai.
4. Survai detail, merupakan survai pada tingkat detail dengan intensitas tinggi
dengan skala 1:25.000-1:10.000. Survai ini, kegiatan dan pelaksanaan survai
sebagian besar dilakukan sebagai pekerjaan lapangan. Survai ini ditujukan
untuk persiapan pelaksanaan suatu proyek melalui penilaian kesesuaian lahan
dari suatu daerah yang terbatas untuk suatu pengembangan tertentu.
5. Survai intensif, digunakan untuk luasan yang relatif kecil (beberapa hektar)
dengan menggunakan intensitas yang sangat tinggi sehingga peta yang
dihasilkan berskala lebih besar dari 1:10.000. survai ini digunakan untuk
penelitian tertentu, dalam survai ini dilakukan penjelajahan keseluruh wilayah
yang memungkinkan penggambaran parameter dan sifat-sifat tanah yang lebih
jelas.
Tujuan dari kegiatan survai adalah mengklasifikasikan dan memetakan
tanah dengan mengelompokkan tanah yang sama atau hampir sama sifatnya dalam
satuan peta tanah yang sama serta melakukan interpretasi kesesuaian tanah atau
melakukan evaluasi lahan dari masing-masing satuan peta tanah tersebut untuk
penggunaan-penggunaan tertentu.
13
Evaluasi lahan pada hakekatnya merupakan proses menduga potensipotensi lahan untuk berbagai penggunaannya. Evaluasi lahan pada prinsipnya
adalah mencocokkan (matching) antara kualitas atau karakteristik lahan dengan
kebutuhan penggunan lahan tersebut (Rahman, 1990). Secara umum dikemukakan
oleh Sitorus (1985), bahwa kerangka dasar evaluasi lahan adalah membandingkan
persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan
sumber daya yang ada pada lahan tersebut. Dasar pemikirannya adalah
kenyataannya bahwa berbagai penggunaan lahan membutuhkan persyaratan yang
berbeda-beda.
Didalam pelaksanaan evaluasi lahan sering terbentur oleh faktor-faktor
pembatas seperti iklim (suhu dan curah hujan), topografi (kecuraman lereng),
kondisi perakaran (kedalaman efektif) dan sifat tanah (retensi unsur hara dan
ketersediaan unsur hara). Iklim dan kedalaman efektif tanah merupakan faktor
pembatas yang tidak dapat diubah tingkat kesesuaiannya, sedangkan sifat tanah
yang menyangkut kesuburan dan beberapa sifat fisik tanah masih dapat ditolerir
dengan cara pemupukan dan pengolahan tanah. Karena itu dibutuhkan data
mengenai lahan tersebut yang menyangkut berbagai aspek sesuai dengan rencana
yang sedang dipertimbangkan (FAO, 1976 dan Sitorus, 1985).
Evaluasi lahan merupakan proses perencanan tata guna lahan. Maksud dari
evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe
penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan
yang dimiliki oleh lahan tersebut (Hardjowigeno, 2001).
Dalam evaluasi kesesuaian lahan dapat dibuat beberapa asumsi jenis usaha
perbaikan yang dapat dilaksanakan pada tingkat pengelolaan tertentu antara lain :
a.
b.
c.
Rezim suhu, tidak dapat diperbaiki, sehingga tingkat kesesuaian lahannya
adalah kesesuaian lahan aktual.
Ketersediaan air, jenis perbaikan yang dilakukan adalah irigasi atau
pengairan. Secara umum ketersediaan air merupakan faktor pembatas yang
relatif tidak dapat diatasi untuk tingkat petani lokal karena memerlukan baiya
yang relatif besar.
Drainase, dengan perbaikan sistem drainase seperti pembuatan saluran
drainase pada daerah yang tergenang yaitu dengan pembuatan saluran
primer, sekunder dan tersier pada lahan tersebut. Pengelolaan pada tingkat ini
memerlukan biaya yang relatif besar.
14
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Tekstur, tidak dapat dilakukan perbaikan sehingga kesesuaian lahannya
adalah kesesuaian lahan aktual.
Kedalaman efektif, umumnya tidak dapat dilakukan perbaikan kecuali pada
lapisan padas lunak dan tipis dengan membongkarnya waktu pengolahan
tanah. Pengelolaan hanya dapat dilakuakn dengan modal dan biaya yang
relatif besar, umumnya dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan besar dan
menengah.
KTK, jenis usaha perbaikan yang dilakukan yaitu dengan pengapuran atau
penambahan bahan organik sesuai kebutuhan tanah.
pH, jenis usaha perbaikan yang dilakukan yaitu dengan pengapuran sesuai
kebutuhan tanah.
N-total, dengan melakukan pemupukan pupuk N, sesuai dosis yang
dibutuhkan oleh tanaman.
P2O5, dengan melakukan pemupukan pupuk P, sesuai dosis yang dibutuhkan
oleh tanaman.
K2O, dengan melakukan pemupukan pupuk K, sesuai dosis yang dibutuhkan
oleh tanaman.
1. Kesesuaian Lahan dan Klasifikasinya
Lahan terdiri dari lingkungan fisik termasuk iklim, topografi atau relief,
tanah, hidrologi dan vegetasi yang semuanya berpengaruh terhadap penggunaan
lahan secara potensial (FAO, 1976).
Kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk penggunaan (jenis
tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu (Hardjowigeno, 2001). Adapun jenisjenis kesesuaian lahan antara lain: 1). Kesesuaian lahan aktual dan 2). Kesesuaian
lahan potensial.
Menurut Hadjowigeno (2001), kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian
lahan saat ini dalam keadaan alami pada lahan tanpa mempertimbangkan usaha
perbaikan dan tingkat perngelolaan yang tepat. Untuk menentukan kelas
kesesuaian lahan aktual, mula-mula dilakukan penilaian terhadap masing-masing
kualitas lahan berdasarkan atas karakteristik lahan terjelek atau yang memiliki
kelas kesesuaian lahan tidak sesuai (N).
Kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang telah
mempertimbangkan perbaikan pengelolaan yang dibutuhkan, upaya untuk
menentukan jenis usaha perbaikan yang dapat dilakukan, maka perlu diperhatikan
karakteristik lahan yang tergabung dalam masing-masing kualitas lahan.
15
Karakteristik lahan dapat dibedakan menjadi karakteristik lahan yang
dapat diperbaiki dengan masukan sesuai dengan tingkat pengelolaan (teknologi)
yang akan diterapkan, dan karakteristik lahan yang tidak dapat diperbaiki
sehingga tidak akan mengalami perubahan kelas kesesuaian lahan. Sedangkan
lahan yang karakteristik lahannya dapat diperbaiki kelas kesesuaian lahannya,
dapat berubah menjadi satu atau dua tingkat lebih baik.
Tujuan utama klasifikasi kesesuaian lahan adalah untuk memetakan lahan
dengan mengelompokkan lahan-lahan yang sama atau hampir sama sifatnya ke
dalam satuan peta lahan yang sama serta melakukan interpretasi kesesuaian untuk
penggunaan-penggunan tertentu.
Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan
kesesuaiannya untuk tujuan penggunaan tertentu. Konsep terpenting dalam
klasifikasi kesesuaian lahan adalah kesesuaian lahan aktual dan potensial (Sitorus,
1985). Kelas kesesuaian lahan aktual menunjukkan kesesuaian lahan terhadap
penggunaan lahan yang ditentukan tanpa ada perbaikan yang berarti. Sedangkan
kesesuaian lahan potensial menunjukkan kesesuaian lahan yang ditentukan setelah
dilakukan perbaikan utama yang diperlukan. Acuan evaluasi lahan menurut
CSR/FAO (1983), terdapat 15 karakteristik lahan yang dikelompokkan menjadi 7
kualitas lahan yang biasa digunakan (Tabel 4).
Tabel 4. Faktor Penentu Kualitas Lahan
Simbol
Kualitas lahan
t
Regim temperatur
1.
w
Ketersediaan air
1.
2.
r
Kondisi perakaran
1.
2.
3.
f
Rotensi unsur hara
1.
2.
n
Ketersediaan unsur hara 1.
2.
3.
x
Tingkat keracunan
1.
s
Kondisi fisik lingkungan 1.
2.
3.
Karakteristik lahan
Suhu rata-rata tahunan (°C)
Bulan kering (<75 mm)
Curah hujan rata-rata tahunan (mm)
Kelas drainase tanah
Kelas tekstur tanah
Kedalaman perakaran (cm)
KTK tanah
pH tanah
Nitrogen total (%)
P2O5 tersedia
K2O tersedia
Salinitas (mmhos/cm)
Kecuraman lereng (%)
Batuan di permukaan
Singkapan batuan
16
Penilaian kelas kesesuaian lahan ditujukan terhadap setiap Satuan Peta
Tanah (SPT) pada suatu areal. Untuk keperluan evaluasi lahan maka sifat fisik
lingkungan suatu wilayah dirinci ke dalam suatu kualitas lahan (land qualities)
dan setiap kualitas lahan biasanya terdiri dari satu atau lebih karakteristik (land
characteristic).
Data karakteristik fisik lahan dideskripsi pada saat survai tanah dengan
tingkat pemetaan tanah tertentu (tinjau, semi detil atau detil). Karakteristik lahan
yang diperlukan dalam penilaian lahan untuk tanaman karet meliputi: curah hujan,
jumlah bulan kering, lereng, kandungan batuan atau bahan kasar di dalam dan
dipermukaan tanah, kedalaman efektif atau kedalaman gambut, tekstur tanah,
kelas drainase, kemasaman tanah dan tingkat pelapukan gambut.
Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengelompokan suatu lahan yang
cocok untuk penggunaan tertentu, dengan menggunakan hukum minimum yaitu
mencocokkan (matching) antara kualitas dan karakter lahan sebagai parameter
dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan
penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman yang akan dievaluasi (Pusat
Peneltian Tanah dan Agroklimat, 1993).
Sistem klsifikasi kesesuaian lahan menurut (CSR/FAO, 1983) ada tiga,
yang merupakan tingkat generarilasi yang bersifat menurun yaitu:
1.1. Kesesuaian Lahan Tingkat Ordo
Kesesuaian lahan tingkat ordo, menunjukkan jenis atau macam kesesuaian
lahan atau keadaan secara umum. Kesesuaian lahan tingkat ordo dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Ordo S (sesuai atau suitable), lahan dapat digunakan secara lestari tanpa atau
sedikit kerusakan terhadap sumber daya lahannya.
2. Ordo N (tidak sesuai atau not suitable), lahan yang mempunyai faktor pembatas
sedemikian rupa sehingga harus dicegah penggunaannya secara alami.
17
1.2. Kesesuaian Lahan Tingkat Kelas
Kesesuaian lahan tingkat kelas terdiri dari empat kelas, yaitu :
a. Kelas S1 (sangat sesuai atau highly suitable), lahan ini tidak memiliki pembatas
yang berarti untuk suatu penggunaan secara lestari.
b. Kelas S2 (cukup sesuai atau moderately suitable), lahan yang mempunyai
pembatas cukup berarti untuk suatu penggunaan lahan secara lestari, sehingga
dibutuhkan masukan.
c. Kelas S3 (sesuai marginal atau marginally suitable), lahan ini memiliki
pembatas yang berat untuk suatu penggunaan yang lestari sehingga diperlukan
pengetahuan pengelolaan.
d. Kelas N (tidak sesuai atau not suitable), jenis lahan ini memiliki pembatas
yang sangat berat tapi masih mungkin untuk diatasi, tetapi membutuhkan
perbaikan yang intensif dengan biaya yang cukup tinggi bila ingin mencapai
kesesuaian potensial yang tinggi.
1.3. Kesesuaian Lahan Tingkat Sub Kelas
Kesesuaian lahan tingkat sub kelas, menunjukkan jenis pembatas atau
macam pembatas yang diperlukan dalam suatu kelas. Kesesuaian lahan tingkat
sub kelas terdiri dari beberapa faktor pembatas, yaitu:
s : Topografi (slope steepness)
n : Ketersediaan unsur hara (nutrient availability)
f : Retensi hara (nutrient retention)
w : Ketersediaan air oleh curah hujan dalam bulan kering dalam setahun (water
availability)
t : Temperatur rata-rata suatu daerah
2. Kriteria Kesesuaian Lahan
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, ada beberapa faktor yang
dipertimbangkan dalam menentukan kelas kesesuaian lahan, antara lain: topografi
(s),
kondisi perakaran (r),
ketersediaan air (w),
retensi unsur hara (f),
ketersediaan unsur hara (n), rezim temperatur (t), CSR/FAO (1983).
2.1. Topografi
Faktor topografi yang dinilai adalah faktor kecuraman lereng. Pengelolaan
tanah pada lereng yang curam membutuhkan tenaga dan biaya yang besar. Pada
daerah yang persen kecuraman lerengnya besar, sering terjadi erosi sehingga akan
muncul lapisan sub soil kepermukaan tanah, akibatnya tanah tersebut memiliki
lapisan olah tanah (top soil) yang tipis, kandungan bahan organik rendah bila
18
dibandingkan dengan tanah-tanah yang memiliki topografi bergelombang dan
datar (Hakim, 1986).
2.2. Kondisi Media Perakaran
Media perakaran merupakan area perkembangan akar. Media perakaran
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan akar. Faktor yang menjadi
pembatas pada media perakaran adalah drainase, tekstur dan kedalaman efektif.
a. Drainase Tanah
Drainase tanah adalah suatu tanda dari kondisi basah dan kering suatu
tanah. Drainase tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, topografi, tekstur,
struktur, permeabilitas dan ketersediaan air yang berasal dari curah hujan,
rembesan atau aliran permukaan yang berasal dari daerah yang lebih tinggi
(CSR/FAO, 1983). Drainase tanah bertujuan untuk menurunkan muka air tanah
sehingga dapat meningkatkan kedalaman efektif daerah perakaran (Hakim, 1983).
b. Tekstur
Tekstur tanah adalah perbandingan relative (dalam persen) kandungan
pertikel tanah berupa fraksi pasir, debu dan liat dalam satuan massa tanah (Seta,
1991).
Menurut Foth (1984), tekstur merupakan ciri tanah yang penting untuk
diketahui, karena tekstur dapat menetukan kecepatan resapan air, serta dapat
menentukan sifat fisik dan kimia tanah. Menurut Kartasapoetra (1991), tekstur
tanah adalah suatu berbandingan relatif dari berbagai golongan besar partikel di
dalam tanah, terutama perbandingan fraksi pasir, debu dan liat.
Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah dan berdasarkan atas
perbandingan banyaknya
butir-butir pasir,
debu dan liat
maka tanah
dikelompokkan dalam beberapa tekstur (Hardjowigeno, 1995).
c. Kedalaman Efektif Tanah
Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah yang masih dapat
ditembus oleh akar tanaman (Hardjowigeno, 1995). Pengamatan kedalaman
efektif tanah dilakukan dengan mengamati penyebaran akar tanaman, banyaknya
akar tanaman besar maupun halus serta dalamnya akar tersebut dapat menembus
19
tanah,selain itu kedalaman efektif tanah juga dibatasi oleh lapisan padas atau
lapisan krokos.
Jenis tanaman pangan kedalaman efektif tanahnya hanya 25 cm,
sedangkan pada jenis tanaman tahunan kedalaman efektif tanahnya mencapai 120
cm.
2.3. Ketersediaan Air
Ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman ditentukan oleh faktor iklim
(khususnya curah hujan), tanah dan tanaman (Hakim, 1986). Curah hujan
merupakan unsur yang berperan besar terhadap ketersediaan air di dalam tanah,
selain itu juga berpengaruh terhadap pola tanam. Tanaman karet menghendaki
daerah dengan curah hujan yang tinggi antara 1500 sampai 4000 mm per tahun
dan merata sepanjang tahun, yang terbaik antara 2500–4000 mm dengan 100–150
hari hujan (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992).
2.4. Retensi Hara
Kemasaman tanah atau reaksi tanah merupakan perwujudan dari proses
hancuran iklim dan faktor kimiawi yang berpengaruh terhadap proses
pembentukan tanah. Nilai pH memiliki peran penting sebagai penduga jumlah
basa dan mikroba tanah (Hakim et al., 1989). Tanah yang derajat kemasamannya
mendekati normal cocok untuk ditanami karet. Derajat kemasaman yang paling
cocok untuk di tanami karet adalah 5-6.
Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan kapasitas suatu tanah untuk
menjerap atau memegang kation-kation dan mempertukarkan ion-ion di dalam
reaksi kimia tanah. Nilai KTK tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah, tekstur tanah,
mineral liat, bahan organik, dan penguapan serta pemupukan.
KTK berpengaruh dalam menentukan kadar dan konsentrasi unsur hara
pada fase padatan yang mampu menggantikan atau menurunkan unsur hara yang
hilang dalam larutan tanah.
20
2.5. Ketersediaan Unsur Hara
Unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman berjumlah 16, yang terbagi
menjadi 9 unsur hara makro dan 7 unsur hara mikro. Kedua unsur ini harus dalam
keadaan seimbang, sehingga tanah dapat menjadi suburdan tanaman dapat tumbuh
dengan baik (Soepardi, 1983). Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan unsur hara di dalam tanah. Keberadaan bahan organik di dalam tanah
akan menunjang aktvitas mikro organisme di dalam tanah sehingga tanah akan
menjadi subur dan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman menjadi tersedia.
Melalui proses dekomposisi bahan organik, akan dibebaskan unsur-unsur hara ke
dalam tanah. Secara fisik bahan organik dihancurkan oleh binatang tanah
kemudian diteruskan oleh mikroba tanah. Secara biokimia bahan organik
menghasilkan senyawa sederhana berupa CO2, air dan energi yang dibebaskan
oleh mikroba (Indranada, 1994).
Lapisan olah tanah pertanian mengandung 0,02–0,4 % N. Ketersedian N di
dalam tanah dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain iklim dan jens
vegetasi. Faktor lingkungan tersebut dipengaruhi oleh keadaan topografi, bahan
induk, aktivitas manusia, dan waktu (Nyapka et al., 1988).
Tanaman karet memiliki toleran yang cukup tinggi terhadap tanah yang
kesuburannya rendah. Pada tanah-tanah yang kurang subur, seperti Podsolik
Merah Kuning, Latosol dan Aluvial dengan penambahan pupuk dapat
dikembangkan untuk perkebunan karet (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992).
2.6. Rezim Temperatur
Perbedaan temperatur merupakan cerminan energi panas matahari yang
sampai ke suatu wilayah, sehingga berfungsi sebagai pemicu :
a. Proses fisik dalam pembentukan liat dari mineral-mineral bahan induk tanah
dengan mekanisme identik proses pelapukan bebatuan.
b. Keaneka ragaman hayati yang aktif, karena setiap kelompok terutama mikrobia
mempunyai temperatur
yang optimum spesifik, sehingga perbedaan
temperatur akan menghasilkan jenis dan populasi yang berbeda pula.
c. Kesempurnaan proses dekomposisi biomass tanah hingga ke mineralisainya.
21
Tanah yang terbentuk pada temperatur rendah (daerah kutub), akan
cenderung berkadar biomasa rendah dan mentah (fibrik), akibatnya tanaman yang
tumbuh umumnya berbatang kecil dan lambat berkembang, dan sedikitnya
populasi dan jenis mikrobia heterotrof yang aktif. Tanah yang terbentuk pada
temperatur tinggi (daerah arid), juga berkadar biomass rendah tapi matang
(saprik), karena cepatnya prosesmineralisasi kimiawi terhadap sisa tanaman.
Tanah yang terbentuk pada daerah humid (temperatur sedang), akan mempunyai
jenis dan populasi mikrobia yang ideal, maka aktivitas biologisnya dalam
dekomposisi biomas dan derajad kematanganya juga sedang atau hemik
(Hanafiah, 2005).
Temperatur berpengaruh terhadap jenis tanaman yang dapat tumbuh pada
daerah tersebut. Seperti halnya tanaman yang tumbuh di daerah dengan
temperatur rendah berbeda dengan jenis tanaman yang tumbuh dengan baik pada
daerah dengan temperatur sedang, walaupun ada beberapa jenis tanaman yang
dapat tumbuh pada kedua temperatur tersebut.
Berdasarkan penelitian Rahman (1993) di Cibodas Biosphere Reserve,
antara ketinggian lahan dari permukaan laut dengan suhu udara memiliki
hubungan erat. Dalam hal ini, setiap naik 200 m dpl maka suhu udara akan turun 1
º C.
E. Tanaman Karet
1. Syarat Tumbuh Tanaman Karet
Dunia tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika sebagai berikut
(Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992 ):
Divisi
Subdivisi
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
:
:
:
:
:
:
:
Spermatophyta
Angiospermae
Dicotyledoneae
Euphorbiales
Euphorbiaceae
Hevea
Hevea brasiliensis
22
1.a. Iklim
a. Suhu dan Curah Hujan
Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik maka harus diperhatikan syaratsyarat lingkungan yang diinginkan oleh tanaman ini, karena lingkungan yang
cocok akan menunjang pertumbuhan disamping perawatan. Apabila tanaman karet
ditanam pada lahan yang tidak sesuai dengan habitat yang diinginkannya, maka
pertumbuhan tanaman akan terhambat.
Tanaman karet cocok ditanam padadarh beriklim tropis dan suhu harian
yang diinginkan tanaman karet adalah rata-rata 25–30 oC. Sedangkan curah hujan,
tanaman karet menghendaki daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi yaitu
2000–2500 mm/tahun, dan akan lebih baik lagi apabila curah hujan itu merata
sepanjang tahun (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992).
Menurut Setyamidjaja (1993), curah hujan tahunan yang cocok untuk
pertumbuhan tanaman karet tidak kurang dari 2000 mm. Optimal antara 2500–
4000 mm/tahun, yang terbagi dalam 100–150 hari hujan. Pembagian hujan dan
waktu jatuhnya hujan rata-rata setahunnya mempengaruhi produksi. Daerah yang
sering mengalami hujan pada pagi hari produksinya akan kurang. Keadaan iklim
di Indonesia yang cocok untuk tanaman karet ialah daerah-daerah Indonesia
bagian barat, yaitu Sumatera, Jawa dan Kalimantan, sebab iklimnya lebih basah.
b. Tinggi Tempat
Tanaman karet tumbuh optimal di daerah dataran rendah. Ketinggian yang
cocok bagi tanaman kartu adalah 0–600 mdpl (meter di atas permukaan laut), dan
yang paling baik berkkisar antara 0–200 mdpl (Syarif, 1986). Jika tanaman karet
ditanam di daerah yang memiliki ketinggian diatas 400 mdpl, maka
pertumbuhannya menjadi lambat (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992). Mulai
ketinggian 200 mdpl, matang sadap akan tertunda selama 6 bulan pada setiap
kenaikan 100 mdpl, karena ketinggian tempat berpengaruh terhadap temperatur.
23
1.b. Tanah
Tanaman karet dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, baik pada tanahtanah vulkanis muda ataupun Vulkanis Tua, Alluvial dan bahkan tanah gambut
(Setyamidjaja, 1993). Tanaman karet adalah tanaman yang paling toleran terhadap
tanah yang kesuburannya rendah dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan
yang lain. Dengan bantuan pemupukan dan pengelolaan yang baik, tanah-tanah
yang kurang subur dapat dikembangkan menjadi lahan perkebunan karet (Tim
Penulis Penebar Swadaya, 1992). Topografi tanah sedikit banyak juga
mempengaruhi pertumbuhan tanaman karet. Pada tanah datar, pemeliharaan
tanaman tanaman akan lebih mudah dari pada lahan yang berbukit.
Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada tanah dengan kisaran pH
4,0–7,0 (Syarif, 1986). Menurut Setyamidjaja (1993), reaksi tanah yang umumnya
ditanami karet mempunyai pH antara 3,0–8,0, pH tanah di bawah 3,0 atau di atas
8,0 menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Sifat-sifat tanah yang cocok
untuk tanaman karet adalah sebagai berikut :
- Solum cukup dalam, sampai 100 cm atau lebih, tidak terdapat batu-batuan,
- Aerasi dan drainase baik,
- Reah, porus dan dapat menahan air,
- Tekstur terdiri atas 35% liat dan 30% pasir,
- Tidak bergambut, dan jika ada tidak lebih dari 20 cm,
- Kandungan unsur hara N, P dan K cukup dan tidak kekurangan unsur mikro,
- pH 4,5 – 6,5,
- kemiringan tidak lebih dari 16%,
- permukaan air tanah tidak kurang dari 100 cm
24
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah lahan gambut pada hamparan Hutan Produksi
Perbatas Kayuagung. Secara adminstrasi di sekitar lahan gambut terdapat empat
kecamatan, yakni Kecamatan Kayuagung, Pedamaran, Pedamaran Timur dan
Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Peta Kabupaten Ogan Komering
Ilir disajikan pada Gambar 3 dan 4.
Gambar 3. Lokasi Penelitian di Kecamatan Kayuagung, Pedamaran, Pedamaran
Timur dan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir
25
Gambar 4. Citra landsat Lokasi Penelitian pada Bentang Lahan Gambut di Hutan
Produksi Terbatas Kayuagung.
Penelitian ini terdiri dari 4 aspek penelitian, yakni aspek karakteristik
lahan, keanekaragaman hayati dan aspek sosioekonomi, sehingga lokasi penelitian
untuk masing-masing aspek adalah disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Lokasi Penelitian
No. Aspek
1
Karakteristik
Gambut
2
Keanekaragaman
Hayati
3
Karakteristik
Tanah
Sosioekonomi
Lokasi
Keterangan
Hutan Gambut Kec. Kayuagung; Kec. Pedamaran;
Kayuagung
Kec. Pedamaran Timur dan Kec.
Pampangan
Hutan Gambut Kec. Kayuagung; Kec. Pedamaran;
Kayuagung
Kec. Pedamaran Timur dan Kec.
Pampangan
Desa Hutan
Kec. Kayuagung; Kec. Pedamaran;
Kec. Pedamaran Timur dan Kec.
Pampangan
Desa di sekitar Kec. Kayuagung; Kec. Pedamaran;
Hutan Gambut Kec. Pedamaran Timur dan Kec.
Pampangan
26
Hasil pengambilan sampel pada masing-masing aspek dilanjutkan dengan
kegiatan analisis laboratorium seperti disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Lokasi Analisis Laboratorium
No.
Aspek
Sampel dan Data
1
Karakteristik
Gambut
Gambut
2
Keanekaragaman Keanekaragaman
Hayati
hayati
3
Karakteristik
Tanah
Tanah
4
Sosioekonomi
Sosioekonomi
Laboratorium
Laboratorium Jurusan Tanah
Fakultas Pertanian, Unsri
Analisis dilakukan di Jurusan
Biologi Fakultas MIPA, Unsri.
Laboratorium Jurusan Tanah
Fakultas Pertanian, Unsri.
Laboratorium Jurusan Sosek
Fakultas Pertanian, Unsri.
B. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian pada setiap aspek
kegiatan seperti disajikan pada Tabel 7 dan 8.
Tabel 7. Bahan untuk Penelitian
No.
Aspek
Bahan
1
Karakteristik
pH paper, baterai alkalin, bahan untuk analisis
Gambut
laboratorium dan bahan lainnya.
2
Keanekaragaman pH paper, baterai alkalin, alkohol, bahan kimia untuk
Hayati
analisis laboratorium dan bahan lainnya.
3
Karakteristik
pH paper, baterai alkalin, bahan untuk analisis
Tanah
laboratorium dan bahan lainnya.
4
Sosioekonomi
Bahan untuk wawancara, dll
Tabel 8. Alat untuk Penelitian
No.
Aspek
Alat
1
Karakteristik GPS, Bor gambut dan belgi, meteran, peta lokasi, kamera
Lahan
digital, plastik sampel, karet, kertas label, spidol permanen,
karung plastik, botol plastik, alat tulis dan alat untuk
analisis tanah di laboratorium.
2
Keanekaraga GPS, kamera digital, ember, jaring, plastik sampel, karet,
man Hayati
kertas label, spidol permanen, karung plastik, botol, alat
tulis dan alat untuk analisis tanah di laboratorium.
3
Karakteristik GPS, Bor gambut dan belgi, meteran, peta lokasi, kamera
Lahan
digital, plastik sampel, karet, kertas label, spidol permanen,
karung plastik, botol plastik, alat tulis dan alat untuk
analisis tanah di laboratorium.
4
Sosioekonomi Alat tulis dan analisis laboratorium
27
C. Metodologi Penelitian
Penelitian 1. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap
Karakteristik Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung,
Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Cara Kerja: Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni:
1. Pra survai
Kegiatan tahap pra survai adalah studi kepustakaan, diskusi tim peneliti
tentang kerangka acuan dan pengumpulan data sekunder meliputi data kondisi
lokasi, data iklim, pengadaan peta dasar, membuat desain peta survai,
merencanakan
titik
pengamatan,
mengurus
administrasi
dan
perizinan,
mempersiapkan peralatan, bahan dan perlengkapan survai.
Peta dasar untuk kegiatan survai dibuat dari citra skala 1:80.000 dan
modifikasinya dalam bentuk peta potensi kebakaran atau menggunakan peta yang
telah ada dari data sekunder. Hasil interpretasi citra dan dilanjutkan dengan
melakukan pengecekan di lapangan, maka peta tersebut digunakan sebagai peta
dasar dalam pembuatan peta kerja untuk penelitian.
Survai pendahuluan dilakukan dan bersifat penjajakan lapangan dengan
menggunakan peta hasil interpretasi citra landsat. Tahapan kegiatan survai
pendahuluan adalah sebagai berikut: 1. Meninjau daerah survai guna mendapatkan
gambaran menyeluruh tentang kondisi lapangan, dan 2. Melakukan pengamatan
penggunaan lahan dan lingkungan berdasarkan peta yang tersedia dan
mempersiapkan seluruh keperluan untuk survai utama.
2. Survai Utama
Kegiatan survai utama merupakan kegiatan peninjauan langsung lapangan
untuk mendapatkan data primer. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan
pengamatan pada setiap titik yang telah ditentukan dengan pengeboran gambut,
mengambil dan mempersiapkan sampel tanah untuk analisis.
Kegiatan survai utama adalah dengan menggunakan gabungan metode
survai dan memanfaatkan peta dasar dan data penunjang yang telah tersedia,
sehingga data yang didapatkan sangat mewakili kondisi lokasi, akurat, dan efisien
waktu pengamatan di lapangan.
28
Kegiatan dilakukan pada tingkat survai tinjau. Batas penyebaran
kebakaran lahan dan bentuk wilayah, tipe penutupan lahan dan informasi lainnya.
Sungai dan anak sungai adalah sangat membantu dalam mempercepat
penjelajahan dan pengamatan lapangan, sehingga akan mendapatkan data dan
gambaran lokasi lebih lengkap atau menyeluruh, serta menghasilkan analisis data
lebih baik.
3. Titik Pengamatan
Titik pengamatan gambut pada lahan bekas terbakar adalah sangat
ditentukan oleh lokasi kebakaran lahan gambut yang terjadi pada beberapa waktu
lalu, yang diharapkan titik pengamatan tersebut menyebar pada lokasi Hutan
Gambut Kayuagung.
2. Analisis Tanah dan Data
Analisis gambut adalah sifat fisik tanah (tingkat kematangan gambut,
warna gambut dan kandungan abu) dan sifat kimia tanah (pH, kandungan hara N,
P, K, C-organik, Ca, Mg dan KTK).
Data hasil penelitian dilakukan analisis berdasarkan hasil pengamatan
seperti peta kesuburan tanah dan gambut, peta kebakaran dan peta lainnya dengan
menggunaan software Arc View 3.3. Data hasil pengamatan diharapkan akan
membantu perencanaan program pengelolaan lahan gambut Kayuagung.
29
Penelitian 2. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap
Keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas
Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Cara Kerja: Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni:
1. Pra survai
Kegitan tahap pra survai adalah studi kepustakaan, diskusi tim peneliti
tentang kerangka acuan dan pengumpulan data sekunder meliputi data kondisi
lokasi, data iklim, pengadaan peta dasar, membuat desain peta survai,
merencanakan titik pengamatan, mengurus administrasi dan perizinan, dan
mempersiapkan peralatan, bahan dan perlengkapan survai.
Peta dasar untuk kegiatan survai dibuat dari citra skala 1:80.000 dan
modifikasinya dalam bentuk peta potensi kebakaran atau menggunakan peta yang
telah ada dari data sekunder. Hasil interpretasi citra dan dilanjutkan dengan
melakukan pengecekan di lapangan, maka peta tersebut digunakan sebagai peta
dasar dalam pembuatan peta kerja untuk penelitian.
Survai pendahuluan dilakukan dan bersifat penjajakan lapangan dengan
menggunakan peta hasil interpretasi citra landsat. Tahapan kegiatan survai
pendahuluan adalah sebagai berikut:1. Meninjau daerah survai guna mendapatkan
gambaran menyeluruh tentang kondisi lapangan, dan 2. Melakukan pengamatan
penggunaan lahan dan lingkungan berdasarkan peta yang tersedia dan
mempersiapkan seluruh keperluan untuk survai utama.
2. Survai Utama
Kegiatan survai utama keanekaragaman hayati merupakan kegiatan
peninjauan langsung lapangan untuk mendapatkan data primer. Kegiatan yang
dilakukan adalah melakukan pengamatan pada setiap titik yang telah ditentukan
dengan pengambilan contoh biota sungai, pengamatan jenis dan kerapatan
vegetasi, mengambil dan mempersiapkan sampel air untuk analisis.
30
3. Titik Pengamatan
Titik pengamatan keanekaragaman hayati berdasarkan peta dasar rencana
kerja hasil interpretasi citra dan pengamatan pra-survai di lokasi hutan gambut
Kayuagung
dipadukan dengan kondisi lapangan, yakni telah banyaknya
perubahan peruntukan lahan, yakni terdapat tanaman karet, kelapa sawit, tanaman
pangan dan lainnya. Titik pengamatan dilakukan pada setiap jenis tanaman yang
ada.
4. Analisis Sampel dan Data
Data yang dikumpulkan antara lain biota darat yakni keragaman dan
kerapatan vegetasi alami, Biota air. Analisis contoh untuk biota air dilakukan di
laboratorium.
Analisis vegetasi menggunakan Nilai Penting (NP) dengan
menjumlahkan Kerapatan Relatif (KR), dan Frekuensi Relatif (FR) dan Dominasi
Relatif (DR), Indeks Keanekaragaman Plankton dan Benthos, Indeks Saprobik
Plankton. Hasil seluruh data dianalisis dan dibahas untuk pelaporan.
31
Penelitian 3. Evaluasi Kemampuan Lahan di Desa Hutan pada Lahan Hutan
Rawa Gambut di Bentang Lahan Kayu Agung, Kabupaten
Ogan Komering Ilir
Cara Kerja: Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni:
Pra survai
Kegitan tahap pra survai adalah studi kepustakaan, diskusi tim peneliti
tentang kerangka acuan dan pengumpulan data sekunder meliputi data kondisi
lokasi, data iklim, pengadaan peta dasar, membuat desain peta survai,
merencanakan
titik
pengamatan,
mengurus
administrasi
dan
perizinan,
mempersiapkan peralatan, bahan dan perlengkapan survai.
Peta dasar untuk kegiatan survai dibuat dari citra skala 1:80.000 dan
modifikasinya dalam bentuk peta potensi kebakaran atau menggunakan peta yang
telah ada dari data sekunder. Hasil interpretasi citra dan dilanjutkan dengan
melakukan pengecekan di lapangan, maka peta tersebut digunakan sebagai peta
dasar dalam pembuatan peta kerja untuk penelitian.
Survai pendahuluan dilakukan dan bersifat penjajakan lapangan dengan
menggunakan peta hasil interpretasi citra landsat. Tahapan kegiatan survai
pendahuluan adalah sebagai berikut: 1. Meninjau daerah survai guna mendapatkan
gambaran menyeluruh tentang kondisi lapangan, dan 2. Melakukan pengamatan
penggunaan lahan dan lingkungan berdasarkan peta yang tersedia dan
mempersiapkan seluruh keperluan untuk survai utama.
2. Survai Utama
Kegiatan survai utama merupakan kegiatan peninjauan langsung lapangan
untuk mendapatkan data primer. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan
pengamatan pada setiap titik yang telah ditentukan dengan pengeboran tanah,
pengamatan boring atau profil tanah, mengambil dan mempersiapkan sampel
tanah untuk analisis.
Kegiatan survai utama adalah dengan menggunakan gabungan metode
survai dan memanfaatkan peta dasar dan data penunjang yang telah tersedia,
sehingga data yang didapatkan sangat mewakili kondisi lokasi, akurat, dan efisien
waktu pengamatan di lapangan.
32
Kegiatan dilakukan pada tingkat survai tinjau. Batas penyebaran
kebakaran lahan dan bentuk wilayah, tipe penutupan lahan dan informasi lainnya.
Sungai dan anak sungai adalah sangat membantu dalam mempercepat
penjelajahan dan pengamatan lapangan, sehingga akan mendapatkan data dan
gambaran lokasi lebih lengkap atau menyeluruh, serta menghasilkan analisis data
lebih baik.
3. Titik Pengamatan
Titik pengamatan boring atau profil tanah berdasarkan peta dasar rencana
kerja hasil interpretasi citra dan pengamatan pra-survai di desa yang mempunyai
potensi pengembangan pertanian di sekitar lokasi hutan gambut Kayuagung.
3. Analisis Tanah dan Data
Analisis tanah adalah sifat fisik tanah (struktur tanah, infiltrasi tanah,
warna tanah, dan tekstur tanah) dan sifat kimia tanah (pH, kandungan hara N, P,
K, C-organik, Ca, Mg, dan KTK).
Data hasil penelitian dilakukan analisis berdasarkan hasil pengamatan
seperti peta kesuburan tanah dan gambut, peta kebakaran dan peta lainnya dengan
menggunaan software Arc View 3.3. Data hasil pengamatan diharapkan akan
membantu perencanaan program pengelolaan lahan gambut Kayuagung.
33
Penelitian 4. Kondisi Sosioekonomi dan Aktivitas Masyarakat di Kawasan
Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan
Komering Ilir.
Cara Kerja: Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni:
1. Pra survai
Kegitan tahap pra survai adalah studi kepustakaan, diskusi tim peneliti
tentang kerangka acuan dan pengumpulan data sekunder meliputi data kondisi
lokasi, data iklim, pengadaan peta dasar, membuat desain peta survai,
merencanakan titik pengamatan, mengurus administrasi dan perizinan, dan
mempersiapkan peralatan, bahan dan perlengkapan survai.
Survai pendahuluan dilakukan dan bersifat penjajakan lapangan dengan
menggunakan data desa/kecamatan yang tersedia. Kegiatan survai pendahuluan
adalah meninjau daerah survai guna mendapatkan gambaran menyeluruh tentang
kondisi masyarakat, dan mempersiapkan seluruh keperluan untuk survai utama.
2. Survai Utama
Kegiatan survai utama kondisi sosioekonomi dan aktivitas masyarakat di
kawasan hutan merupakan kegiatan peninjauan langsung lapangan untuk
mendapatkan data primer.
Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan
wawancara terhadap masyarakat (pemuka masyarakat, tokok agama dan petani
sebagai pelaku kegiatan di hutan) pada desa tertentu yang telah ditentukan.
3. Titik Pengamatan sampel masyarakat
Titik pengamatan masyarakat pewakil berdasarkan peta dasar rencana
kerja hasil
pengamatan pra-survai di desa di sekitar lokasi hutan gambut
Kayuagung. Jumlah pengamatan adalah terdiri dari pemuka masyarakat, aparat
desa dan beberapa masyarakat sebagai pelaku kegiatan di hutan untuk setiap desa
pewakil pada setiap kecamatan.
34
4. Analisis Tanah dan Data
Data yang dikumpulkan antara lain kepadatan penduduk, pendapatan, mata
pencaharian, sex ratio, pertumbuhan penduduk, adat istiadat dan kesehatan
masyarakat.
35
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap
Karakteristik Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung,
Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Pengamatan karakteristik lahan gambut dilakukan pada beberapa titik
pengamatan baik yang bersifat mengelompok dan individu sesuai dengan kondisi
lahan dan tata guna lahan yang ada. Pengamatan mengelompok dilakukan pada
lahan gambut Desa Cinta Jaya, sedangkan titik pengamatan lainnya yang bersifat
pewakil atau individu adalah tersebar di beberapa titik pengamatan pada lahan
yang pernah terbakar dan secara adminstratif tersebar pada Kecamatan
Kayuagung, Pedamaran Timur dan Pedamaran.
A.1. Karakteristik Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran.
Lahan gambut di Desa Cinta Jaya terletak lebih kurang 5 km dari
pemukiman penduduk dan dapat ditempuh melalui jalan air melewati Sungai.
Masyarakat melakukan aktivitas di lahan gambut untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, yakni mencari kayu baikar, rumput purun (bahan baku tikar), rotan, dan
kayu-kayu besar yang banyak tertimbun di bawah gambut sebagai kayu olahan.
Upaya pengambilan kayu yang ada di bawah gambut dilakukan dengan menggali
gambut dengan sebelumnya membakar untuk menghilangkan semak-semak dan
memudahkan dalam penggalian, hal ini merupakan salah satu penyebab kerusakan
lahan gambut di Desa Cinta Jaya.
Hasil pengamatan boring gambut di Desa Cinta Jaya Kecamatan
Kayuagung disajikan pada Tabel 9 dan sebaran ketebalan gambut disajikan pada
Gambar 5. Ketebalan gambut pada lokasi penelitian berkisar antara 1,5 m
hingga lebih dari 5 m. Ketebalan gambut lokasi pengamatan tergolong dalam
kriteria gambut tengahan (1-2 m) sampai gambut sangat dalam (>3 m). Dari
sepuluh titik pengamatan, hampir seluruhnya tergolong gambut dalam.
36
Tabel 9. Karakteristik Sifat Fisik Tanah Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran.
Titik
Ketebalan Kedalaman
Tingkat
Warna Tanah
Pengamatan
(cm)
Air (cm)
Kematangan
Gambut
0 – 100
Hemik
10YR 2/1
100 – 200
Hemik
10YR 3/2
1
-15
200 - 300
Hemik
10YR 3/2
300 - 400
Hemik
10YR 3/2
0 – 100
Hemik
10YR 2/1
2
100 - 200
-20
Hemik
10YR 3/2
200 - 300
Hemik
10YR 3/2
0 – 100
Hemik
10YR 2/1
3
0
100 - 150
Hemik
10YR 3/2
0 – 100
Hemik
10YR 2/1
4
100 - 200
-30
Hemik
10YR 3/2
200 - 300
Fibrik
10YR 3/2
0 – 100
Hemik
10YR 2/2
100 – 200
Hemik
10YR 3/2
5
200 – 300
-50
300 - 400
Fibrik
10YR 3/3
400 - 500
Hemik
10YR 3/2
0 – 100
Hemik
10YR 3/1
100 – 200
Hemik
10YR 3/2
6
200 – 300
-50
300 - 400
Fibrik
10YR 3/3
400 - >500
Hemik
10YR 3/3
0 – 100
Hemik
10YR 2/2
100 – 200
Hemik
10YR 3/2
7
200 – 300
-50
300 - 400
400 - >500
Hemik
10YR 3/3
0 – 100
Hemik
10YR 2/1
100 – 200
Hemik
10YR 3/2
8
200 – 300
-10
300 - 400
400 - 500
Hemik
10YR 3/2
0 – 100
Hemik
10YR 2/1
100 – 200
Hemik
10YR 3/2
9
200 – 300
-5
300 - 400
400 - 500
Fibrik
10YR 3/3
0 – 100
Hemik
10YR 2/1
100 – 200
Hemik
10YR 3/2
10
200 – 300
-5
Hemik
10YR 3/2
300 - 400
Fibrik
10YR 3/3
400 - 500
Hemik
10YR 3/2
37
Dampak dari kebakaran hutan yang sering terjadi di lokasi penelitian
menyebabkan terjadinya kerusakan hutan, yakni terjadinya hilangnya tanaman asli
gambut dan munculnya tanaman jenis baru. Disisi lain kondisi fisik lahan juga
telah terjadi kemerosotan, yakni dengan hilangnya lapisan gambut hingga cukup
dalam dan menjadikan kerusakan lahan (Gambar 6).
Gambar 5. Peta Sebaran Ketebalan Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran.
Hasil analisis kimia tanah gambut (Tabel 10) menunjukkan bahwa tanah
gambut mempunyai reaksi sangat masam (>4,5). Rendahnya nilai pH adalah
disebabkan oleh asam-asam organik, pirit, dan ion hidrogen dapat tukar (H-dd) yang
tinggi terkandung dalam tanah gambut. Dekomposisi bahan organik akan
menghasilkan asam-asam organik yang terakumulasi pada tubuh tanah sehingga
akan meningkatkan kemasaman pada tanah gambut.
Data reaksi tanah pada lapisan atas tergolong sangat masam dan relatif
tidak jauh berbeda dengan nilai pada lapisan bawahnya. Hal ini terjadi karena
daya sangga gambut terhadap perubahan kemasaman tanah. Kemasaman tanah
gambut berasal dari asam-asam organik yang berada dalam bentuk gugus
karboksilat (-COOH) dan gugus hidroksil dari fenolat (-OH). Gugus tersebut
merupakan asam lemah yang dapat terdissosiasi menghasilkan ion H+, dan
38
mampu mempertahankan reaksi tanah terhadap perubahan kemasaman tanah
(Riwandi, 2001).
Gambar 6. Sebaran Kerusakan Hutan Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran.
Tabel 10. Hasil Analisis Kimia Tanah Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran.
Contoh Kedalam
Tingkat
Kemasa Karbon N-total Ratio
Tanah
an
Kematangan
man
Organik
(%)
C/N
Gambut
(cm)
(pH)
(%)
1
4
6
9
0–100
300–400
0–100
200–300
0–100
400–500
0–100
400–500
Hemik
Hemik
Hemik
Fibrik
Hemik
Hemik
Hemik
Fibrik
3,67
3,61
3,74
3,38
3,59
3,51
3,75
3,43
35,59
31,48
27,96
26,12
32,75
32,01
36,06
30,91
0,73
0,69
0,76
0,67
0,76
0,73
0,79
0,58
49
46
37
39
43
44
46
53
Kadar
Abu
(%)
5,86
5,43
7,59
5,39
5,51
5,72
6,22
4,09
Hasil analisis C organik, berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah
PPT (1983) menunjukkan kadar C-organik yang sangat tinggi berkisar antara
26,12 % sampai 35,59 %.
Tingginya kandungan C-organik menunjukkan
akumulasi bahan organik tinggi yang merupakan ciri tanah gambut. Kandungan
39
C-organik pada lokasi pengamatan cenderung lebih tinggi pada gambut atas
dibandingkan dengan gambut bawahnya. Perbedaan kandungan karbon ini dapat
disebabkan oleh perbedaan sisa jenis tumbuhan penyusun gambut atas dan gambut
bawah.
Hasil analisis kadar N-total (%) termasuk dalam kriteria tinggi hingga
sangat tinggi. Tingginya kandungan Nitrogen dikarenakan sumber Nitrogen yang
utama adalah bahan organik, Nitrogen dalam tanah berasal dari bahan organik
tanah (Hardjowigeno, 1995). Meskipun kandungan Nitrogen dalam tanah gambut
lokasi penelitian tergolong tinggi, namun N pada tanah gambut ini sulit tersedia
untuk tanaman. Hal ini dikarenakan rasio C/N yang tergolong sangat tinggi (>25).
Nilai C/N rasio lebih besar dari 30 akan terjadi immobilisasi N oleh mikrobia
tanah untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya (Barchia, 2006).
Nitrogen pada gambut atas relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
kandungan Nitrogen gambut bawahnya, hal ini dikarenakan pada gambut atas
terjadi proses dekomposisi yang lebih baik dibandingkan dengan gambut
bawahnya yang selalu dalam kondisi jenuh air, sehingga kandungan Nitrogen dari
hasil dekomposisi cenderung lebih rendah dari gambut atas.
Ratio C dan N dari hasil analisis menunjukkan kriteria sangat tinggi (>25).
Tingginya ratio C/N karena belum lanjutnya dekomposisi gambut pada lokasi
penelitian. Dekomposisi yang belum lanjut ini dapat disebabkan oleh kondisi yang
selalu jenuh dan pengaruh dari bahan penyusun tanah gambut yang berasal dari
vegetasi yang sulit lapuk.
Ratio C dan N pada gambut atasnya relatif lebih rendah bila dibandingkan
dengan C/N gambut di bawahnya. Ini disebabkan karena proses dekomposisi yang
menghasilkan nitrogen pada gambut atas berlangsung lebih baik dibandingkan
gambut di bawahnya, kemudian terjadi pencucian hara oleh air menuju
sungai/danau.
Kehilangan hara yang terjadi terus menerus akan mengurangi
ketersediaan hara di lapisan permukaan tanah gambut.
Kadar abu tanah gambut dari lokasi penelitian berkisar antara 4,09 hingga
7,59 %. Berdasarkan kandungan kadar abunya gambut lokasi penelitian tergolong
gambut mesotrofik (tingkat kesuburan sedang). Kadar abu berhubungan dengan
tingkat kematangan dan kesuburan tanah gambut. Kadar abu gambut yang belum
40
terganggu tergolong rendah, peningkatan intensitas pengunaan lahan dapat
meningkatkan kadar abu seiring dengan meningkatnya mineralisasi tanah.
Menurut Barchia (2006), kadar abu tanah gambut berkisar antara 5-65%, dan
makin tinggi kadar abu tanah gambut, makin tinggi mineral yang terkandung pada
tanah gambut.
Kadar abu tanah gambut atas relatif lebih tinggi dibandingkan kadar abu
pada bagian bawahnya. Hal ini karena proses dekomposisi gambut yang lebih baik
pada permukaan tanah gambut dibandingkan dengan bagian bawahnya. Kadar abu
pada titik pengamatan enam memiliki kadar abu lapisan atas yang lebih rendah,
diperkirakan lokasi gambut tersebut bmasih terjadi proses penimbunan bahan baru
yang berasal dari vegetasi yang tumbuh di atasnya.
Hasil analisis Natrium (Na) dari contoh tanah lokasi penelitian berkisar
antara rendah (0,1-0,3) hingga sedang (0,4-0,7) (Tabel 11). Kandungan Na yang
relatif rendah ini mamperjelas bahwa lokasi penelitian merupakan rawa lebak,
karena tidak memperoleh pengaruh dari pasang surut air laut. Hal ini diperkuat
dengan hasil uji DHL dari contoh tanah gambut lokasi penelitian yang termasuk
dalam kriteria sangat rendah (<1) hingga rendah (1-2). DHL bisa dikatakan
normal bila berkisar antara 0,02 - 1,500 mS cm-1 (Goldman dan Horne, 1983).
Tabel 11. Hasil Analisis Na dan EC Gambut.
No.
1.
Contoh
Tanah Gambut
1
2.
4
3.
6
4.
9
Kedalaman
(cm)
0 – 100
300 – 400
0 – 100
200 – 300
0 – 100
400 – > 500
0 – 100
400 – 500
Na
(Cmol kg-1)
0,44
0,33
0,33
0.44
0,33
0,55
0,44
0,55
DHL
(mS cm-1)
0,810
1,090
0,890
1,710
1,350
1,260
1,140
1.410
41
B. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap
Keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung,
Kabupaten Ogan Komering Ilir.
B.1. Kondisi Vegetasi Lahan Gambut
Prayitno dan Bakri (2005) melaporkan bahwa tumbuhan penutup tanah
pada lintasan survai jalur pengamatan titik 1 hingga 42 adalah dari Desa Tanjung
Serang menuju Talang Serdang Tujuh yang dominan adalah perpat (Sonneratia
sp) dan pakis (Stenochama polushis), namun kondisi vegetasi hanya tumbuhan
sekunder yang mempunyai diameter batang kurang dari 20 cm. Berkurangnya
jumlah kerapatan pohon di sekitar jalur pengamatan disebabkan oleh aktivitas
masyarakat sekitar dengan menebang pohon untuk memenuhi keutuhan hidupnya.
Dampak langsung atau tidak langsung adalah sering terjadinya kebakaran
pepohonan dan gambut di musim kemarau.
Berdasarkan data pengamatan lapangan vegetasi dominan adalah gelam
(Melaleuca sp), perpat (Sonneratia sp) dan pakis (Stenochama polushis). Pada
lahan dengan kedalaman gambut dangkal akan memungkinkan tumbuhan gelam
mendoninasi lahan, namun pada lahan dengan kedalaman gambut dalam, maka
tanaman perpat akan mendominasi lahan.
Vegetasi gelam (Gambar 7) merupakan indikator lahan dengan gambut
dangkal atau pada umumnya dapat dijumpai di pinggir dataran Alluvial. Tanaman
pakis dan belidang (Gambar 7) dapat tumbuh dengan baik apabila kondisi lahan
telah terbuka atau tidak mempunyai kanopi rapat.
Kedua tanaman tersebut
mampu tumbuh baik pada lahan dengan gambut dalam atau Tanah Alluvial.
Kondisi vegetasi lain adalah dominan gelam (Melaleuca sp), dan alangalang (Imperata cylindra) dimana lokasi adalah tanah mineral. Topografi lokasi
ini lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Pada lahan gambut dalam
didominasi oleh perpat (Sonneratia sp) (Gambar 8.) dan pakis (Stenochama
polushis), juga ditemukan sepongol dan gelam.
42
Gambar 7. Vegetasi Gelam dan Vegetasi Rumput Belidang
Gambar 8. Vegetasi Perpat (Sonneratia sp)
Lintasan survai jalur pengamatan titik 43 hingga 100 adalah dari Desa
Pedamaran I menuju Desa Jungkal mempunyai kondisi lahan gambut dengan
vegetasi dominan perpat (Sonneratia sp), pakis (Stenochama polushis), dan
beriang.
Hingga tahun 1970-an hutan primer yang merupakan vegetasi klimaks
terdiri dari hutan rawa air tawar dan hutan gambut, masih dinyatakan
keberadaannya seperti dilaporkan oleh Soil Research Institute (1973) dalam
Rifani (1988). Kondisi vegetasi saat ini menunjukkan kecenderungan perubahan
dari hutan sekunder menjadi hutan tersier atau bahkan menjadi tanaman pioner.
43
Berdasarkan data pengamatan lapangan vegetasi di titik 43-45 dominan
adalah belidang, hal ini mengindikasikan gambut didaerah ini relatif lebih
dangkal, ini dibuktikan dengan kedalaman gambut pada titik ini 2 m. Perpat
(Sonneratia sp) dan pakis (Stenochama polushis), gelam (Melaleuca sp), beriang
dan purun mendominasi titik pengamatan 47 sampai 98, kecenderung kondisi
daerah lebih rendah dan gambutnya lebih dalam (Prayitno dan Bakri, 2005).
Hasil analisis vegetasi jalan raya Sepucuk, Kecamatan Pedamaran Timur
yang dilakukan pada areal yang didominasi oleh belukar seperti terlihat pada
Tabel 11, di atas, ternyata indeks keanekaragaman vegetasi adalah sebesar 2,04.
nilai indeks keanekaragaman ini, menunjukkan kondisi komunitas sedang dalam
proses suksesi yang demikian kuat untuk menjaga keseimbangan, yaitu menuju
nilai indeks keanekaragaman 3,0–4,0. Nilai indeks keanekaragaman sebesar 2,00
adalah menunjukkan batas keseimbangan, jadi kondisi ini sangat rentan terhadap
terjadinya kerusakan, antara lain kebakaran areal gambut.
Vegetasi yang dominan pada hasil analisis vegetasi ini, dapat dilihat pada
indeks nilai pentingnya. Dalam hal ini ditunjukkan oleh jenis purun besar
(Lepironia mucronata), dengan nilai indeks nilai penting sebesar 79,75%, disusul
oleh pakis gambut (Blechnum orientale) dengan nilai indeks nilai pentingnya
sebesar 56,80 dan kemudian diikuti oleh jenis pandan gambut (Pandanus ornatus)
dengan indeks nilai pentingnya sebesar 44,83%. Berdasarkan harga Indeks Nilai
Pentingnya (INP) setiap jenis tersebut, menunjukkan ada tiga spesies yang
mendominasi vegetasi belukar di wilayah studi, berturut-turut yaitu: jenis purun
besar, pakis gambut dan pandan gambut.
Hasil analisis vegetasi, Jalan Raya Sepucuk Kecamatan Kayuagung, yang
dilakukan pada areal hutan perepat yang didominasi oleh strata atas berupa kayu
perepat dan strata bawah oleh rumput purun besar, dapat dilihat hasilnya seperti
pada Tabel 12. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dapat dilihat harga
Indeks Nilai Penting (INP) dari setiap spesies yang dijumpai. Berdasarkan harga
INP tiap spesies atau jenis, ternyata INP paling tinggi dijumpai pada jenis purun
besar (Lepironia mucronata), yaitu sebesar 152,5 % artinya jenis ini mendominasi
dari seluruh habitat di hutan perepat wilayah studi. Meskipun jenis ini merupakan
vegetasi strata bawah atau rumputan, namun kemampuannya hidup pada lahan
44
bergambut yang luar biasa. Harga INP terbesar ke dua terdapat pada jenis kayu
perepat (Combretocarpus motleyi), yaitu dengan harga INP sebesar 46,12. Dan
harga INP terbesar ketiga terdapat pada pakis gambut (Blechnum orientale)
dengan INP sebesar 20,67. Hasil analisis dengan harga INP terbesar dapat
dinyatakan ada tiga spesies yang mendominasi vegetasi di wilayah studi ini, yaitu:
purun besar (Lepironia mucronata), kayu perepat (Combretocarpus motleyi) dan
pakis gambut (Blechnum orientale).
Kondisi adanya nilai INP yang tertinggi, dalam hal ini ada tiga spesies
seperti disebutkan di atas, menunjukkan bahwa ada spesies yang mendominasi
kehidupan vegetasi pada ekosistem hutan rawa gambut di wilayah studi. Dengan
adanya
spesies
yang
mendominasi
suatu
komunitas
dalam
ekosistem,
menunjukkan telah adanya kerusakan yang demikian besar terjadi dalam habitat
wilayah studi, kemungkinan penebangan kayu secara illegal pada waktu lampau
dan pernah terjadi kebakaran hutan di wilayah studi. Pernyataan ini diperkuat oleh
harga Indeks Keanekaragaman komunitas vegetasi di wilayah studi (Tabel 13)
sebesar 1,75, menunjukkan kondisi komunitas tidak mantap yang diindikasi
dengan nilai Indeks Keanekaragaman <2,00. Jenis-jenis lainnya yang tidak
dominan dapat dilihat pada Tabel 12, merupakan jenis-jenis yang ikut dalam
proses suksesesi untuk menuju kepada proses keseimbangan alam. Proses
keseimbangan alam sangat didukung oleh pengawasan untuk tidak mengganggu
kehidupan vegetasi di wilayah studi.
45
Tabel 12. Hasil Analisis Vegetasi Belukar di Rawa Gambut, Lokasi Jalan Sepucuk, Kecamatan Pedamaran Timur
No.
Nama Jenis
Hasil Analisis
K
KR
F
FR
D
DR
INP
HH
1
Blechnum orientale (pakis gambut)
565.000
38.948
1,00
17,54
4435
0,313
56,80
0,315
2
Lepironia mucronata (purun besar)
700.000
48.254
1,00
17,54
197.820
13.958
79,75
0,352
3
Melaluca leucadendra (gelam rawa)
5.000
0,345
0,20
3,51
361.728
25.522
29,38
0,228
4
Pandanus ornatus (pandan gambut)
135.000
9,306
0,32
5,61
423.900
29.909
44,83
0,283
5
Uncaria longiflora (kekait)
7.500
0,517
0,42
7,37
376.800
26.586
34,47
0,249
6
Fimbristylis annua (belidang)
3.500
2,413
0,64
11,23
275
0,019
13,66
0,141
7
Aporosa microcalyx (pelangas)
2.500
0,172
0,24
4,21
20
0,001
4,38
0,062
8
Melastoma malabathricum (seduduk)
75
0,005
0,18
3,16
2.885
0,203
3,37
0,050
9
Hevea brasiliensis (karet)
100
0,007
0,80
14,04
3.847
0,272
14,32
0,145
10
Paspalum conjugatum (kumpai)
300
0,021
0,34
5,96
5.887
0,415
6,40
0,082
11
Combretocarpus motleyi (perepat
gambut)
175
0,012
0,56
9,83
3.9701
2,801
12,64
0,133
1.450.650
100,0
5,70
100,0
1417298
100,0
300,0
2,04
Jumlah
46
Tabel 13. Hasil Analisis Vegetasi pada Hutan Perepat di Rawa Gambut, Lokasi Jalan Sepucuk , Kecamatan Kayuagung
No.
Nama Jenis
Hasil Analisis
K
KR
F
FR
D
DR
INP
HH
5.025
0,776
1,00
13,263
142.007
32,08
46,12
0,254
1.
Combretocarpus motleyi (kayu perepat)
2.
Melaleuca leucadendra (gelam rawa)
550
0,085
0,86
11,406
3.886
0,88
12,34
0,131
3.
Eugenia variifolia (kayu samak)
200
0,031
0,42
5,570
1.413
0,32
5,92
0,077
4.
Eugenia spicata (gelam tikus)
125
0,019
0,30
3,979
1.570
0,35
4,35
0,61
5.
Vitex gamosepala (leban pacat)
100
0,015
0,12
1,592
1.256
0,28
1,89
0,032
6.
Blechnum orientale (pakis gambut)
56.000
8,645
0,72
9,549
10.990
2,48
20,67
0,184
7.
Lepironia mucronata (purun besar)
520.000
80,278
1,00
13,263
261.248
59,01
152,55
0,344
8.
Axonopus compressus (rumput pait)
36.000
5,558
0,64
8,488
4.522
1,02
15,07
0,150
9.
Fimbristylis annua (belidang)
24.000
3,705
0,56
7,427
6.782
1,53
12,66
0,134
10.
Aporosa microcalyx (pelangas)
1.600
0,247
0,38
5,040
5.024
1,13
6,42
0,082
11.
Melastoma malabathricum (seduduk)
350
0,054
0,44
5,836
275
0,06
5,95
0,078
12.
Uncaria longiflora (kekait)
1.200
0,185
0,50
6,631
942
0,21
7,03
0,088
13.
Paspalum conjugatum (kumpai)
200
0,031
0,20
2,653
25
0,01
2,69
0,042
14.
Pandanus ornatus (pandan gambut)
600
0,093
0,16
2,122
1.884
0,43
2,65
0,042
15.
Asplenium longissimum (pakis panjang)
1.800
0,278
0,24
3,183
904
0,20
3,66
0,054
647.750
100,0
7,54
100,0
442.728
100,0
300,0
1,75
Jumlah
Sumber: Data Primer, Agustus, 2009.
47
B.2. Kondisi Biota Lahan Gambut
B.2.1. Danau Teloko, Kecamatan Kayuagung
B.2.1.1. Biota Darat
Biota darat, meliputi semua makhluk hidup atau organisme yang
menghuni atau hidup pada ekosistem daratan baik pada permukaan tanah maupun
yang ada di dalam tanah bersifat immobil meliputi semua vegetasi maupun yang
bersifat mobil meliputi semua satwa liar atau fauna yang ada. Pada masa lalu,
hutan alam yang terdapat di kaki pegunungan bukit barisan hingga ke daerah
pantai Pulau Sumatera adalah Hutan Primer dengan keanekaragaman yang tinggi.
Namun, setelah itu, seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, maka
berlangsung pula kegiatan mengeksploitasi hutan dan penggunaan lahan oleh
masyarakat maupun perusahaan, sehingga terjadilah degenerasi terhadap hutan
alam tersebut dari waktu ke waktu. Sebagai akibat dari gangguan atau degenerasi
ini, maka semakin bertambah jumlah spesies organisme yang berkategori langka
dalam hutan alam tersebut. Apalagi, semakin hari hutan alam yang bersifat primer
semakin tipis, maka masalah kelangkaan jenis flora dan fauna semakin menjadi
persoalan yang sangat serius.
Wilayah Danau Teloko, merupakan danau rawa yang muka airnya
berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau. Sebagai danau rawa, debit
air sangat tergantung pada pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil
terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi ketika
turun hujan.
Danau Teloko juga cukup luas, yaitu .. hektar (ratusan hektar) dengan
kedalaman 2–5 meter pada waktu musim hujan dan <2 meter pada waktu
kemarau, bahkan pada waktu kemarau panjang (>5 bulan) permukaan danau
menjadi kering seperti yang terjadi pada tahun 1997. Namun demikian, kondisi
penghujan atau kondisi akuatik tampaknya lebih dominan dalam bulan-bulan
sepanjang tahun dibanding kondisi kering atau kemarau. Dengan kondisi seperti
itu, maka Danau Teloko merupakan ekosistem akuatik yang memiliki potensi
dalam pengembangan perikanan air tawar, terutama kelompok ikan berwarna
gelap (blackfishes). Hal ini berkaitan dengan luasnya Danau Teloko dan proses
48
terjadinya secara alami, sehingga jenis-jenis ikan dan vegetasi yang ada dalam
perairan danau rawa tersebut sudah sangat beradaptasi dengan sifat fisik dan
khemis badan air danau rawa tersebut.
Dengan kondisi lahan gambut yang terdapat di sekitar danau teloko, maka
vegetasi yang kerap dijumpai antara lain: eceng gondok (Eichhornia crassipes),
purun (Lepironia mucronata), kumpai (Panicum stagninum), teratai besar
(Nelumbo nucifera),
ketanan (Polygonum pulchrum), keladi (Colocasia
esculenta), genjer (Limnocharis flava), belidang (Fimbristylis annua), petai air
(Neptunia prostrata),
kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang
(Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung
antara lain: senggani (Melastoma malabathricum) dan rumput pait (Axonopus
compressus). Sementara itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada kondisi
tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.).
Beberapa jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang
beradaptasi dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis
ikan kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas
Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain:
keruwak (Amaurornis
phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis),
bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul kecil (Egretta garzetta), bangau
totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna javanica), elang bondol
(Heliastur indus) dan bodol (Lonchura leucogastra).
B.2.1.2. Biota Perairan
Biota akuatik dapat dibedakan menjadi 3 kelompok umum, yaitu plankton,
benthos dan nekton. Penggolongan ini didasarkan pada prilaku serta sifat yang
mempengaruhi responnya terhadap habitat akuatik. Komunitas biotik baik
plankton, benthos maupun nekton dapat dijadikan sebagai indikator kondisi
ekologis. Perubahan komunitas biotik tersebut merupakan indikator perubahan
ekosistem perairan (akuatik). Ketiga kelompok organisme tersebut saling terkait
dalam menopang rantai dan jaring makanan dalam ekosistem perairan seperti
Danau Teloko.
49
Komunitas plankton secara garis besar dibedakan atas dua kelompok, yaitu
fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton merupakan plankton yang bersifat
produsen karena bersifat autotrof, yakni berkemampuan mengolah makanan dari
bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik via energi surya. Sedangkan
kelompok zooplankton memanfaatkan bahan-bahan organik yang diproduksi oleh
fitoplankton. Oleh karena itu kedua kelompok plankton tersebut saling tergantung.
Dalam hal ini zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energinya,
sedangkan zooplankton berguna menekan pertumbuhan fitoplankton agar
kepadatan populasinya di alam menjadi seimbang, sehingga tidak terjadi
blooming populasi.
Hasil analisis komunitas plankton disajikan pada Tabel 14 dan
hasil
inventarisasi jenis-jenis nekton (terutama ikan) disajikan pada Tabel 15.
Tabel 14. Keanekaragaman dan Kelimpahan Populasi Spesies Plankton di
Perairan Danau Teloko, Kabupaten Ogan Komering Ilir
No.
Nama Kelompok dan Spesies
I.
A.
PHYTOPLANKTON:
Cyanophyceae:
1. Anabaena catenula
2. Gloeotrichia echinulata
3. Lyngbya birgei
4. Lyngbya limnetica
5. Nodularia spumigena
6. Oscillatoria splendida
Chlorophyceae:
1. Ankistrodesmus falcatus
2. Ankistrodesmus spiralis
3. Chaetophopra elegans
4. Chaetophora incrassata
5. Chlorella ellipsoidea
6. Chlorella vulgaris
7. Chodatella longiseta
8. Oedogonium longiarticulatum
9. Quadrigula recustris
10. Spirogyra varians
Desmidiaceae:
1. Closterium juncidum
2. Genicularia sp.
Diatomae:
1. Asterionella formosa
2. Asterionella gracillima
3. Diatoma elongatum
4. Diatoma vulgare
5. Eunotia arcus
B.
C.
D.
P1
Jumlah Individu/liter
P2
P3
P4
-
2
2
1
1
1
3
1
1
1
-
1
4
1
4
9
1
1
4
1
1
2
2
-
1
3
5
1
-
10
19
1
-
1
1
-
-
-
3
2
-
1
2
5
-
1
3
7
3
-
3
3
1
2
1
50
6. Eunotia gracilis
3
3
3
7. Eunotia lunaris
3
2
4
3
8. Navicula minima
1
9. Navicula pupula
1
10. Navicula spicula
2
11. Nitzschia linearis
1
3
12. Synedra acus
7
1
13. Tabellaria fenestrata
2
II.
ZOOPLANKTON:
A.
Flagellata:
1. Anisonema ovale
4
2
5
2. Carteria crucifera
11
4
4
2
3. Carteria globosa
6
3
3
4. Chlamydomonas cingulata
8
3
11
5. Euglena acus
1
6. Lepocinclis ovum
2
2
4
7. Polytoma uvella
2
1
2
8. Phacus unguis
1
9. Oicomonas socialis
1
1
10. Trachelomonas abrupta
2
11. Trachelomonas cucurbitiformis
1
1
12. Trachelomonas curta
1
2
4
1
13. Trachelomonas cylindrica
1
14. Trachelomonas hexangulata
1
15. Trachelomonas oblonga
4
3
4
2
16. Trachelomonas pulcherrima
1
17. Trachelomonas schwiakoffii
4
18. Trachelomonas volvocina
1
5
B.
Rhizopoda:
1. Astramoeba radiosa
1
2. Centropyxis aculeata
1
3. Nebela dentistoma
1
1
4. Nebela militaris
1
5. Thecamoeba verrucosa
1
1. Populasi plankton per liter:
76
51
69
93
2. Populasi phytoplankton per liter:
35
35
42
50
3. Populasi zooplankton per liter:
41
16
27
43
4. Keanekaan spesies plankton:
25
21
32
27
5. Keanekaan spesies fitoplankton:
14
14
18
13
6. Keanekaan spesies zooplankton:
11
7
14
14
7. Indeks Kemerataan (Shannon): E
2,07
2,18
2,16
2,00
8. Indeks Keanekaragaman Plankton (H):
2,89
2,88
3,24
2,86
Sumber: Data Primer, Juni 2009.
Keterangan: P1: Lebak Kecil Danau Teloko; P2. Lebak Besar Danau Teloko; P3: Lebak Sungai
Danau Teloko; P4: Lebak Mahang Danau Teloko.
Berdasarkan hasil analisis komunitas plankton, indeks keanekaragaman
komunitas plankton pada 4 titik pengambilan sample (musim kemarau) ternyata
cukup besar, yaitu jauh >2,00, yakni berkisar 2,86–3,24. Indeks keanekaragaman
plankton mendekati 3,00 hingga >3,00 menunjukkan kondisi komunitas plankton
adalah mendekati sangat stabil hingga sangat stabil. Indeks keanekaragaman
51
sebesar 2,86–3,24, yakni
jauh di atas 2,00 menunjukkan tidak terdapat
pencemaran dalam badan air Danau Teloko. Namun demikian, kelimpahan
komunitas plankton rata-rata <100 individu/liter air menunjukkan kelimpahan
sedang, yakni populasi masing-masing plankton tergolong tidak melimpah. Hal
ini berkaitan dengan kondisi badan air yang rendah kandungan nutrisinya
diperlihatkan dari kandungan N rendah.
Hasil analisis benthos yang dilakukan, menunjukkan bahwa pada substrat
lumpur dasar Danau Teloko pada lokasi yang disampling ternyata tidak dijumpai
organisme benthos. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan faktor fisik dan
khemis dalam badan air. Faktor fisik berkaitan dengan penetrasi cahaya yang
sangat rendah, yaitu tidak mencapai ke dasar perairan. Kedalaman air >1 meter,
namun penetrasi cahaya < 50 cm, sehingga bagian dasar badan air tidak mendapat
cahaya, sehingga di tempat ini fotosintesis tidak optimal, sehingga pakan benthos
dan ketersediaan oksigen terlarut tidak cukup untuk kebutuhan minimal
komunitas benthos. Faktor khemis antara lain, kandungan oksigen terlarut,
terutama pada bagian dasar perairan diperkirakan sangat rendah. Hal ini sesuai
dengan kondisi bagian dasar perairan adalah gelap sesuai dengan warna air yang
relatif keruh dan berwarna kecokelatan.
Sesuai dengan kondisi fisik dan khemis badan air pada ekosistem badan
air tergenang, maka jenis-jenis ikan yang mungkin hidup dengan baik adalah
jenis-jenis ikan yang adaptif dan tolerans luas terhadap kandungan oksigen
terlarut, yakni mampu hidup pada kondisi defisit oksigen. Sehingga jenis-jenis
ikan yang mampu pada kondisi defisit oksigen tersebut adalah ikan-ikan berwarna
gelap (blackfishes) yang memiliki alat pernapasan tambahan semacam labirin,
sehingga kekurangan oksigen terlarut dapat dicukupi dengan mengambil oksigen
udara di permukaan air dengan alat labirin yang dimilikinya.
Jenis-jenis yang banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas testudineus),
selincah (Polyacanthus hasselti), gabus (Channa striata),
lele (Clarias
batrachus), sepat siam, sepat mata merah, tempalo lebak (Betta taeniata) dan
tebakang (Helostoma temmincki). Pada kondisi air yang lebih baik pada waktu
musim hujan, maka jenis-jenis ikan lainnya akan bermigrasi ke dalam perairan
lebak Danau Teloko untuk memperluas jelajahnya dalam mencari pakan
52
alaminya. Berdasarkan hasil survai dan jenis-jenis ikan yang tertangkap nelayan
yang mencari ikan di Danau Teloko, maka jenis-jenis ikan (nekton) yang dijumpai
pada badan air di Lebak atau Danau Teloko disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Jenis Nekton di Perairan Danau Teloko, Tanjung Serang, Kayuagung
No. Nama lokal
Nama Ilmiah
Taksiran populasi
1.
Baung
Macrones nemurus
Jarang
2.
Belut
Monopterus albus
Banyak
3.
Betok
Anabas testudineus
Banyak
4.
Betutu
Oxyeleotris marmorata
Jarang
5.
Bujuk
Ophiocephalus melanopterus
Sedikit
6.
Gabus
Ophiocephalus striatus
Banyak
7.
Lais
Crypropterus lais
Sedang
8.
Langli
Pangio semicincta
Sedikit
9.
Lele bintik
Clarias nieuwhofi
Sedikit
10.
Lele kalang
Clarias batrachus
Banyak
11.
Lele pendek
Clarias melanoderma
Sedikit
12.
Selincah
Polyacanthus hasselti
Banyak
13.
Seluang
Rasbora argyrotaenia
Sedang
14.
Sepat mata merah
Trichogaster trichopterus
Banyak
15.
Sepat siam
Trichogaster pectoralis
Banyak
16.
Sepatung
Pristolepis fasciatus
Jarang
17.
Serandang
Ophiocephalus lucius
Jarang
18.
Tapah
Wallago leeri
Sangat jarang
19.
Tebakang
Helostoma temmincki
Sedang
20.
Tempalo lebak
Betta taeniata
Banyak
21.
Toman
Ophiocephalus micropeltes
Sedikit
Sumber: Data Primer, Juni, 2009.
Tabel 15 tersebut di atas, terlihat paling sedikit terdapat 21 spesies nekton
yang semuanya tergolong ke dalam Superkelas Piseces atau ikan. Kelimpahan dari
masing-masing spesies berkisar sangat jarang hingga banyak. Jenis-jnis yang
tergolong kategori banyak adalah: ikan belut, betok, gabus, lele kalang, selincah,
sepat mata merah, sepat siam dan tempalo lebak. Jenis-jenis yang disebutkan ini
sering dipancing atau ditangkap dengan alat tradisional untuk dijual. Sedangkan
jenis lainnya meskipun dipancing atau dengan menggunakan cara penangkap ikan
lainnya, ternyata jarang didapat.
53
Kondisi Danau Teloko, Desa Tanjung Serang Kecamatan Kayuagung
disajikan pada Gambar 9 dan 10.
Gambar 9. Danau Teloko, cukup luas tampak air
bergelombang, Juni 2009.
Gambar 10. Nelayan sedang mencari ikan di Danau
Teloko, dengan latar belakang vegetasi
rumput kumpai, purun dan kayu gabus,
Juni 2009.
54
B.2.2. Danau Air Hitam, Kecamatan Pedamaran.
B.2.2.1. Biota Darat
Biota darat, meliputi semua makhluk hidup atau organisme yang
menghuni atau hidup pada ekosistem daratan baik pada permukaan tanah maupun
yang ada di dalam tanah bersifat immobil meliputi semua vegetasi maupun yang
bersifat mobil meliputi semua satwa liar atau fauna yang ada. Pada masa lalu,
hutan alam yang terdapat di kaki pegunungan bukit barisan hingga ke daerah
pantai Pulau Sumatera adalah Hutan Primer dengan keanekaragaman yang tinggi.
Namun, setelah itu, seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, maka
berlangsung pula kegiatan mengeksploitasi hutan dan penggunaan lahan oleh
masyarakat maupun perusahaan, sehingga terjadilah degenerasi terhadap hutan
alam tersebut dari waktu ke waktu. Sebagai akibat dari gangguan atau degenerasi
ini, maka semakin bertambah jumlah spesies organisme yang berkategori langka
dalam hutan alam tersebut. Apalagi, semakin hari hutan alam yang bersifat primer
semakin tipis, maka masalah kelangkaan jenis flora dan fauna semakin menjadi
persoalan yang sangat serius.
Danau Air Itam merupakan danau rawa yang muka airnya juga
berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau. Sebagai danau rawa, debit
air sangat tergantung pada pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil
terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi ketika
terun hujan. Danau Air Itam juga cukup luas dengan kedalaman 3–6 meter pada
waktu musim hujan dan <3 meter pada waktu kemarau, bahkan pada waktu
kemarau panjang (>5 bulan) permukaan danau menjadi kering seperti yang terjadi
pada tahun 1997. Namun demikian, kondisi penghujan atau kondisi akuatik
tampaknya lebih dominan dalam bulan-bulan sepanjang tahun dibanding kondisi
kering atau kemarau. Dengan kondisi seperti itu, maka Danau Air Itam merupakan
ekosistem akuatik yang memiliki potensi dalam pengembangan perikanan air
tawar, terutama kelompok ikan berwarna gelap (blackfishes).
Hal ini berkaitan dengan luasnya Danau Air Itam dan proses terjadinya
secara alami, sehingga jenis-jenis ikan dan vegetasi yang ada dalam perairan
danau rawa tersebut sudah sangat beradaptasi dengan sifat fisik dan khemis badan
air danau rawa tersebut. Sungai yang langsung berhubungan dengan Danau Air
55
Itam ini adalah Sungai Lempuing. Dengan kontak langsung aliran Sungai
Lempuing dengan Danau Air Itam ini, maka ikan-ikan sungai dapat bermigrasi ke
danau rawa tersebut dan sebaliknya. Dengan demikian, keanekaragaman jenis
ikan di Danau Air Itam semakin beragam, demikian halnya terjadi pada Sungai
Lempuing. Disebut dengan nama Danau atau Lebak Air Itam, karena warna airnya
hitam kecokelatan oleh pengaruh air yang melalui wilayah gambut yang tebal,
sehingga warna hitam tersebut merupakan kolloid.
Dengan kondisi lahan gambut yang terdapat di sekitar danau Air Itam,
maka vegetasi yang kerap dijumpai antara lain: rumput jae-jae (Panicum repens),
rumput kusut (Paspalum distichum), eceng gondok (Eichhornia crassipes), purun
(Lepironia mucronata), kumpai (Panicum stagninum), teratai besar (Nelumbo
nucifera), ketanan (Polygonum pulchrum), belidang (Fimbristylis annua), petai air
(Neptunia prostrata), kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang
(Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung
antara lain: rumput pait (Axonopus compressus). Sementara itu jenis kayu yang
masih ada dan bertahan pada kondisi tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.)
dan kayu gelam rawa (Melaleuca leucadendra).
Beberapa jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang
beradaptasi dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis
ikan kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas
Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain:
keruwak (Amaurornis
phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis),
bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul kecil (Egretta garzetta), bangau
totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna javanica) dan elang bondol
(Heliastur indus).
56
B.2.2.2. Biota Perairan
Biota akuatik dapat dibedakan menjadi 3 kelompok umum, yaitu plankton,
benthos dan nekton. Penggolongan ini didasarkan pada prilaku serta sifat yang
mempengaruhi responnya terhadap habitat akuatik. Komunitas biotik baik
plankton, benthos maupun nekton dapat dijadikan sebagai indikator kondisi
ekologis. Perubahan komunitas biotik tersebut merupakan indikator perubahan
ekosistem perairan (akuatik). Ke tiga kelompok organisme tersebut saling terkait
dalam menopang rantai dan jaring makanan dalam ekosistem perairan seperti
Danau Air Itam.
Komunitas plankton secara garis besar dibedakan atas dua kelompok, yaitu
fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton merupakan plankton yang bersifat
produsen karena bersifat autotrof, yakni berkemampuan mengolah makanan dari
bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik via energi surya. Sedangkan
kelompok zooplankton memanfaatkan bahan-bahan organik yang diproduksi oleh
fitoplankton. Oleh karena itu kedua kelompok plankton tersebut saling tergantung.
Dalam hal ini zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energinya,
sedangkan zooplankton berguna menekan pertumbuhan fitoplankton agar
kepadatan populasinya di alam menjadi seimbang, sehingga tidak terjadi
blooming populasi.
Hasil analisis komunitas plankton disajikan pada Tabel 16 dan
inventarisasi jenis-jenis nekton (terutama ikan) disajikan pada Tabel 17.
57
Tabel 16. Keanekaragaman dan Kelimpahan Populasi Spesies Plankton di
Perairan Danau atau Lebak Air Itam, Kecamatan Pedamaran
Kabupaten Ogan Komering Ilir
No.
Nama Kelompok dan Spesies
I.
A.
PHYTOPLANKTON:
Cyanophyceae:
7. Anabaena catenula
8. Gloeotrichia echinulata
9. Lyngbya limnetica
10. Nodularia spumigena
11. Nostoc paludosum
12. Oscillatoria amphibia
13. Oscillatoria chalybea
14. Oscillatoria kawamurae
15. Oscillatoria splendida
Chlorophyceae:
11. Ankistrodesmus falcatus
12. Ankistrodesmus spiralis
13. Chaetophopra elegans
14. Chaetophora incrassata
15. Chlorella ellipsoidea
16. Chlorella vulgaris
17. Oedogonium angustum
18. Platymonas elliptica
19. Quadrigula chodatii
20. Quadrigula recustris
21. Sphaeroplea annulina
22. Spirogyra varians
23. Zygnemopsis quadrata
Desmidiaceae:
3. Arthrodesmus convergens
4. Closterium acerosum
Diatomae:
14. Amphipleura pellucida
15. Asterionella formosa
16. Asterionella gracillima
17. Diatoma elongatum
18. Diatoma vulgare
19. Eunotia arcus
20. Eunotia gracilis
21. Eunotia lunaris
22. Navicula hasta
23. Navicula minima
24. Synedra acus
ZOOPLANKTON:
Flagellata:
19. Anisonema ovale
20. Carteria crucifera
21. Chlamydomonas cingulata
22. Cyanomastix morgani
23. Euglena acus
24. Gloeomonas ovalis
25. Lepocinclis butchlii
26. Lepocinclis ovum
27. Polytoma uvella
28. Phacus unguis
29. Oicomonas socialis
30. Trachelomonas abrupta
31. Trachelomonas cervicula
32. Trachelomonas curta
B.
C.
D.
II.
A.
P1
Jumlah Individu/liter
P2
P3
2
2
3
-
1
5
4
2
-
1
1
4
2
5
1
1
1
2
2
2
1
4
5
6
-
3
3
3
3
1
1
2
5
-
1
2
3
8
1
3
-
-
2
1
1
2
3
3
2
5
2
1
4
8
1
12
9
1
6
6
2
6
1
1
1
4
15
1
3
1
2
1
3
2
3
1
1
1
1
1
3
5
5
4
2
1
1
1
4
1
6
58
33. Trachelomonas oblonga
2
2
34. Trachelomonas volvocina
B.
Rhizopoda:
6. Centropyxis aculeata
2
7. Nebela dentistoma
1
8. Thecamoeba verrucosa
1
3
C.
Rotifera:
1. Ploeosoma triacanthum
1
D.
Copepoda:
1. Cyclops strenuus
1
1
2. Diaptomus sp.
1
E.
Ostracoda:
1. Cypridopsis sp.
1
9. Populasi plankton per liter:
72
105
10. Populasi phytoplankton per liter:
53
84
11. Populasi zooplankton per liter:
19
21
12. Keanekaan spesies plankton:
32
34
13. Keanekaan spesies fitoplankton:
20
21
14. Keanekaan spesies zooplankton:
12
13
15. Indeks Kemerataan (Shannon): E
2,20
2,10
16. Indeks Keanekaragaman Plankton (H):
3,31
3,21
Sumber: Data Primer, Juni 2009.
Keterangan: P1: Pangkal Lebak Itam; P2. Tengah Lebak Itam; P3: Ujung Lebak Itam
2
6
96
58
38
32
20
12
2,08
3,13
Berdasarkan hasil analisis komunitas plankton, indeks keanekaragaman
komunitas plankton pada 3 stasiun (titik) pengambilan sample (musim kemarau)
ternyata cukup besar, yaitu rata-rata >3,00, yakni berkisar 3,13–3,31. Indeks
keanekaragaman plankton melebihi 3,00 menunjukkan kondisi komunitas
plankton adalah tergolong sangat stabil. Indeks keanekaragaman sebesar 3,13–
3,31 yakni >3,00 menunjukkan tidak terdapat pencemaran dalam badan air Danau
atau Lebak Air Itam. Namun demikian, kelimpahan komunitas plankton (Tabel
16) rata-rata adalah <100 individu/liter air hingga sedikit >100 individu/liter air
kelimpahan sedang, yakni populasi masing-masing plankton tergolong tidak
melimpah. Hal ini berkaitan dengan kondisi badan air yang rendah kandungan
nutrisinya dari kandungan N total dan kandungan fosfor dalam air.
Hasil analisis benthos yang dilakukan, menunjukkan bahwa pada substrat
lumpur dasar Danau atau Lebak Air Itam pada lokasi yang disampling ternyata
tidak dijumpai organisme benthos. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan faktor
fisik dan khemis dalam badan air. Faktor fisik berkaitan dengan penetrasi cahaya
yang sangat rendah, yaitu tidak mencapai ke dasar perairan. Kedalaman air >1
meter, namun penetrasi cahaya <50 cm, sehingga bagian dasar badan air tidak
mendapat cahaya, sehingga di tempat ini fotosintesis tidak optimal, sehingga
pakan benthos dan ketersediaan oksigen terlarut tidak cukup untuk kebutuhan
59
minimal komunitas benthos. Faktor khemis antara lain, kandungan oksigen
terlarut, terutama pada bagian dasar perairan diperkirakan sangat rendah. Hal ini
sesuai dengan kondisi bagian dasar perairan adalah gelap sesuai dengan warna air
yang relatif keruh dan berwarna kecokelatan.
Sesuai dengan kondisi fisik dan khemis badan air pada ekosistem badan
air tergenang, maka jenis-jenis ikan yang mungkin hidup dengan baik adalah
jenis-jenis ikan yang adaptif dan tolerans luas terhadap kandungan oksigen
terlarut, yakni mampu hidup pada kondisi defisit oksigen. Sehingga jenis-jenis
ikan yang mampu pada kondisi defisit oksigen tersebut adalah ikan-ikan berwarna
gelap (blackfishes) yang memiliki alat pernapasan tambahan semacam labirin,
sehingga kekurangan oksigen terlarut dapat dicukupi dengan mengambil oksigen
udara di permukaan air dengan alat labirin yang dimilikinya. Jenis-jenis yang
banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas testudineus), selincah (Polyacanthus
hasselti), gabus (Channa striata atau Ophiocephalus striatus),
lele (Clarias
batrachus), sepat siam, sepat mata merah, tempalo lebak (Betta taeniata) dan
tebakang (Helostoma temmincki). Pada kondisi air yang lebih baik pada waktu
musim hujan, maka jenis-jenis ikan lainnya akan bermigrasi dari Sungai
Lempuing ke dalam perairan Danau atau Lebak Air Itam untuk memperluas
jelajahnya dalam mencari pakan alaminya. Demikian sebaliknya pada waktu
musim kemarau dimana debit air turun, maka ikan-ikan rawa lebak bermigrasi ke
badan air Sungai Lempuing dengan tujuan mendapatkan kebutuhan oksigen
terlarut (DO, Dissolved Oxygen) yang cocok dengan kebutuhan hidupnya.
Berdasarkan hasil survei dan jenis-jenis ikan yang tertangkap nelayan yang
mencari ikan di sekitarnya, maka jenis-jenis ikan (nekton) yang dijumpai pada
badan air di Lebak atau Danau Air Itam disajikan pada Tabel 17.
60
Tabel 17. Jenis-jenis nekton yang dapat dijumpai di perairan Lebak atau Danau
Air Itam, Juni 2009.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
Nama lokal
Baung
Belido
Belut
Betok
Betutu
Bujuk
Buntal
Gabus
Lais
Langli
Lele bintik
Lele kalang
Lele pendek
Mentilan
Putak
Selincah
Seluang
Sepat mata merah
Sepat siam
Sepatung
Serandang
Sihitam
Tapah
Tebakang
Tempalo lebak
Toman
Udang satang
Labi-labi
Kura-kura
Nama Ilmiah
Macrones nemurus
Notopterus chitala
Monopterus albus
Anabas testudineus
Oxyeleotris marmorata
Ophiocephalus melanopterus
Tetraodon palembangensis
Ophiocephalus striatus
Crypropterus lais
Pangio semicincta
Clarias nieuwhofi
Clarias batrachus
Clarias melanoderma
Mastacembelus unicolor
Notopterus notopterus
Polyacanthus hasselti
Rasbora argyrotaenia
Trichogaster trichopterus
Trichogaster pectoralis
Pristolepis fasciatus
Ophiocephalus lucius
Labeo chrysopekadion
Wallago leeri
Helostoma temmincki
Betta taeniata
Ophiocephalus micropeltes
Macrobrachium rosenbergii
Trionyx cartilageneus
Testudo elegans
Taksiran populasi
Jarang
Sedikit
Banyak
Banyak
Jarang
Sedikit
Banyak
Banyak
Sedang
Sedikit
Sedikit
Banyak
Sedikit
Sedikit
Sedikit
Banyak
Sedang
Banyak
Banyak
Jarang
Jarang
Sedikit
Sangat jarang
Sedang
Banyak
Banyak
Sedikit
Jarang
Sedikit
Sumber: Data Primer, Juni, 2009.
Tabel 16 tersebut di atas, terlihat paling sedikit terdapat 29 spesies nekton
yang terbagi menjadi 26 jenis atau spesies tergolong ke dalam kelompok
Superkelas Piseces atau ikan (No. Urut 1–26); 1 jenis tergolong Kelas Crustacea
atau udang (No. Urut 27) dan 2 jenis tergolong ke dalam Kelas Reptilia atau
binatang melata (No. Urut 28 dan 29). Kelimpahan dari masing-masing spesies
berkisar jarang hingga banyak. Jenis-jnis yang tergolong kategori banyak adalah
ikan belut, betok, buntal, gabus, lele kalang, selincah, sepat mata merah, sepat
siam, tempalo lebak dan toman. Jenis-jenis yang disebutkan ini sering dipancing
atau ditangkap dengan alat tradisional untuk dijual. Sedang jenis lainnya
meskipun dipancing jarang didapat atau kadang-kadang.
61
Kondisi Danau Air Itam, Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan
Komering Ilir disajikan pada Gambar 9 dan 10.
Gambar 11. Danau Danau atau Lebak Air Itam, cukup
luas tampak air bergelombang, Juni 2009.
Gambar 12. Nelayan sedang mencari ikan di Danau Air
Itam, dengan latar belakang vegetasi
vegetasi hutan sekunder (didominasi kayu
tembesu, Fagr.
62
B.2.3. Lebak Jungkal, Kecamatan Pampangan
B.2.3.1. Biota Darat
Biota darat, meliputi semua makhluk hidup atau organisme yang
menghuni atau hidup pada ekosistem daratan baik pada permukaan tanah maupun
yang ada di dalam tanah bersifat immobil meliputi semua vegetasi maupun yang
bersifat mobil meliputi semua satwa liar atau fauna yang ada.
Pada masa lalu, hutan alam yang terdapat di dataran rendah, termasuk
rawa-rawa
di
Pantai
Timur
Sumatera
adalah
Hutan
Primer
dengan
keanekaragaman yang tinggi. Namun, setelah itu, seiring dengan perkembangan
kehidupan manusia, maka berlangsung pula kegiatan mengeksploitasi hutan dan
penggunaan lahan oleh masyarakat maupun perusahaan, sehingga terjadilah
degenerasi terhadap hutan alam tersebut dari waktu ke waktu. Sebagai akibat dari
gangguan atau degenerasi ini, maka semakin bertambah jumlah spesies organisme
yang berkategori langka dalam hutan alam tersebut. Apalagi, semakin hari hutan
alam yang bersifat primer semakin tipis, maka masalah kelangkaan jenis flora dan
fauna semakin menjadi persoalan yang sangat serius.
Wilayah Lebak Jungkal, merupakan lebak rawa yang sangat luas (ratusan
hektar) yang muka airnya berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau.
Sebagai danau rawa, debit air sangat tergantung pada pasokan air hujan yang
berasal dari sungai-sungai kecil terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang
topografinya lebih tinggi ketika turun hujan. Lokasi Lebak Jungkal adalah cukup
luas dengan kedalaman 1–4 meter pada waktu musim hujan dan <2 meter pada
waktu kemarau, bahkan pada waktu kemarau panjang (>5 bulan) permukaan
danau menjadi kering seperti yang terjadi pada tahun 1997. Namun demikian,
kondisi penghujan atau kondisi akuatik tampaknya lebih dominan dalam bulanbulan sepanjang tahun dibanding kondisi kering atau kemarau. Dengan kondisi
seperti itu, maka Lebak Jungkal merupakan ekosistem akuatik rawa lebak yang
memiliki potensi dalam pengembangan perikanan air tawar, terutama kelompok
ikan berwarna gelap (blackfishes). Hal ini berkaitan dengan luasnya Lebak
Jungkal dan proses terjadi lebak ini juga secara alami, sehingga jenis-jenis ikan
dan vegetasi yang ada dalam perairan
rawa lebak tersebut sudah sangat
beradaptasi dengan sifat fisik dan khemis badan air danau rawa tersebut.
63
Lebak Jungkal pada saat dilakukan studi memiliki debit yang rendah, yaitu
dengan kedalaman rata-rata <1 meter. Dengan kondisi cukup dangkal seperti itu,
maka terdapat vegetasi di permukaan air yang tumbuh merata, terlihat seperti pada
rumput. Jenis vegetasi yang mendominasi keluarga Gramineae yang sering
disebut dengan bahasa lokal rumput kumpai dengan spesies: Panicum stagninum,
Panicum colonum dan Panicum reptans. Kondisi lahan di Lebak Jungkal ini juga
tergolong lahan gambut. Dengan kondisi seperti itu pada waktu kemarau bagian
yang kering terlihat sengaja dibakar oleh penduduk ketika dilakukan pembukaan
lahan untuk kegiatan pertanian oleh penduduk lokal.
Dengan kondisi lahan gambut yang terdapat di sekitar Lebak Jungkal,
maka vegetasi yang kerap dijumpai antara lain: pandan rawa (Pandanus ornatus)
Panicum stagninum, Panicum colonum, Panicum reptans, eceng gondok
(Eichhornia crassipes), purun (Lepironia mucronata),
telipuk (Nymphoides
indica), ketanan (Polygonum pulchrum), belidang (Fimbristylis annua), petai air
(Neptunia prostrata),
kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang
(Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung
antara lain: senggani (Melastoma malabathricum) dan rumput pait (Axonopus
compressus). Sementara itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada kondisi
tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.).
Beberapa jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang
beradaptasi dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis
ikan kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas
Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain:
keruwak (Amaurornis
phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis),
bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul besar (Egretta alba), kuntul kecil
(Egretta garzetta), bangau totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna
javanica), elang bondol (Heliastur indus) dan bodol (Lonchura leucogastra).
64
B.2.3.2. Biota Perairan
Biota akuatik dapat dibedakan menjadi 3 kelompok umum, yaitu plankton,
benthos dan nekton. Penggolongan ini didasarkan pada prilaku serta sifat yang
mempengaruhi responnya terhadap habitat akuatik. Komunitas biotik baik
plankton, benthos maupun nekton dapat dijadikan sebagai indikator kondisi
ekologis. Perubahan komunitas biotik tersebut merupakan indikator perubahan
ekosistem perairan (akuatik). Ke tiga kelompok organisme tersebut saling terkait
dalam menopang rantai dan jaring makanan dalam ekosistem perairan seperti
Lebak Jungkal.
Komunitas plankton secara garis besar dibedakan atas dua kelompok, yaitu
fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton merupakan plankton yang bersifat
produsen karena bersifat autotrof, yakni berkemampuan mengolah makanan dari
bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik via energi surya. Sedangkan
kelompok zooplankton memanfaatkan bahan-bahan organik yang diproduksi oleh
fitoplankton. Oleh karena itu kedua kelompok plankton tersebut saling tergantung.
Dalam hal ini zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energinya,
sedangkan zooplankton berguna menekan pertumbuhan fitoplankton agar
kepadatan populasinya di alam menjadi seimbang, sehingga tidak terjadi
blooming populasi.
Hasil analisis komunitas plankton disajikan pada Tabel 17 dan
hasil
inventarisasi jenis-jenis nekton (terutama ikan) disajikan pada Tabel 18.
Hasil analisis komunitas plankton, indeks keanekaragaman komunitas
plankton pada 2 titik pengambilan sample (musim kemarau) ternyata cukup besar,
yaitu jauh >3,00. Indeks keanekaragaman plankton >3,00 tersebut menunjukkan
kondisi komunitas plankton adalah sangat stabil. Indeks keanekaragaman sebesar
>3,00, menunjukkan tidak terdapat pencemaran dalam badan air Lebak Jungkal.
Namun demikian, kelimpahan komunitas plankton pada Lebak Bahanan tergolong
rendah, yaitu 49 individu/liter (<50 individu/liter air), sementara itu pada lokasi
Lebak Betung kelimpahan komunitas planktonnya sebesar 79 individu/liter air,
menunjukkan kelimpahan sedang. Dengan demikian, populasi masing-masing
65
plankton tergolong tidak melimpah. Hal ini berkaitan dengan kondisi badan air
yang rendah kandungan nutrisinya N total dan fosfor (PO4.
Tabel 18.
Keanekaragaman dan Kelimpahan Populasi Spesies Plankton di
Perairan Lebak Jungkal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan
Komering Ilir
No.
Nama Kelompok dan Spesies
I.
A.
PHYTOPLANKTON:
Cyanophyceae:
16. Lyngbya birgei
17. Lyngbya limnetica
18. Nodularia spumigena
19. Oscillatoria splendida
Chlorophyceae:
24. Ankistrodesmus spiralis
25. Chaetophopra elegans
26. Chaetophora incrassata
27. Chlorella ellipsoidea
28. Chlorella vulgaris
29. Cladophora glomerata
30. Oedogonium varians
31. Quadrigula chodatii
32. Quadrigula recustris
33. Scenedesmus bijuga
34. Scenedesmus ellipsoideus
Desmidiaceae:
5. Pleurotaenium trabecula
Diatomae:
25. Asterionella gracillima
26. Diatoma elongatum
27. Diatoma vulgare
28. Eunotia arcus
29. Eunotia gracilis
30. Eunotia lunaris
31. Navicula hasta
32. Navicula minima
33. Navicula spicula
34. Nitzschia linearis
ZOOPLANKTON:
Flagellata:
35. Anisonema ovale
36. Carteria crucifera
37. Carteria globosa
38. Chlamydomonas cingulata
39. Lepocinclis ovum
40. Trachelomonas abrupta
41. Trachelomonas cervicula
42. Trachelomonas curta
43. Trachelomonas oblonga
44. Trachelomonas volvocina
Rhizopoda:
9. Astramoeba radiosa
B.
C.
D.
II.
A.
B.
Jumlah Individu/liter
P1
P2
1
2
-
2
1
2
1
4
1
1
2
2
2
12
2
2
1
1
1
8
-
2
-
2
3
3
1
4
2
1
1
2
3
5
1
5
3
1
1
1
2
3
3
2
3
1
3
-
1
6
7
1
2
1
2
1
-
66
C.
Rotifera:
1. Philodina roseola
17.
Populasi plankton per liter:
18.
Populasi phytoplankton per liter:
19.
Populasi zooplankton per liter:
20.
Keanekaan spesies plankton:
21.
Keanekaan spesies fitoplankton:
22.
Keanekaan spesies zooplankton:
23.
Indeks Kemerataan (Shannon): E
24.
Indeks Keanekaragaman Plankton (H):
Sumber: Data Primer, Juni 2009.
Keterangan: P1: Lebak Bahanan, Jungkal; P2. Lebak Betung, Jungkal.
49
31
18
24
16
8
2,22
3,06
1
79
58
21
28
21
7
2,09
3,02
Hasil analisis benthos yang dilakukan, menunjukkan bahwa pada substrat
lumpur dasar Lebak Jungkal pada lokasi yang disampling ternyata tidak dijumpai
organisme benthos. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan faktor fisik dan
khemis dalam badan air. Faktor fisik berkaitan dengan penetrasi cahaya yang
sangat rendah, yaitu tidak mencapai ke dasar perairan.
Kedalaman air >1 meter, namun penetrasi cahaya <50 cm, sehingga bagian
dasar badan air tidak mendapat cahaya, sehingga di tempat ini fotosintesis tidak
optimal, sehingga pakan benthos dan ketersediaan oksigen terlarut tidak cukup
untuk kebutuhan minimal komunitas benthos. Faktor khemis antara lain,
kandungan oksigen terlarut, terutama pada bagian dasar perairan diperkirakan
sangat rendah. Hal ini sesuai dengan kondisi bagian dasar perairan adalah gelap
sesuai dengan warna air yang relatif keruh dan berwarna kecokelatan.
Sesuai dengan kondisi fisik dan khemis badan air pada ekosistem badan
air tergenang, maka jenis-jenis ikan yang mungkin hidup dengan baik adalah
jenis-jenis ikan yang adaptif dan tolerans luas terhadap kandungan oksigen
terlarut, yakni mampu hidup pada kondisi defisit oksigen. Sehingga jenis-jenis
ikan yang mampu pada kondisi defisit oksigen tersebut adalah ikan-ikan berwarna
gelap (blackfishes) yang memiliki alat pernapasan tambahan semacam labirin,
sehingga kekurangan oksigen terlarut dapat dicukupi dengan mengambil oksigen
udara di permukaan air dengan alat labirin yang dimilikinya. Jenis-jenis yang
banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas testudineus), selincah (Polyacanthus
hasselti), gabus (Channa striata atau Ophiocephalus striata),
lele (Clarias
batrachus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), sepat mata merah (Trichogaster
trichopterus) , tempalo lebak (Betta taeniata) dan tebakang (Helostoma
67
temmincki). Berdasarkan hasil survei dan jenis-jenis ikan yang tertangkap nelayan
yang mencari ikan di Lebak Jungkal, maka jenis-jenis ikan (nekton) yang
dijumpai pada badan air di Lebak Jungkal disajikan pada Tabel 19 berikut ini.
Tabel 19. Jenis-jenis nekton yang dapat dijumpai di perairan Lebak Jungkal
No. Nama lokal
Nama Ilmiah
1.
Baung
Macrones nemurus
2.
Belut
Monopterus albus
3.
Betok
Anabas testudineus
4.
Betutu
Oxyeleotris marmorata
5.
Bujuk
Ophiocephalus melanopterus
6.
Gabus
Ophiocephalus striatus
7.
Lais kecik
Cryptopterus limpok
8.
Lais tunggul
Cryptopterus cryptopterus
9.
Langli
Pangio semicincta
10.
Lele bintik
Clarias nieuwhofi
11.
Lele kalang
Clarias batrachus
12.
Lele pendek
Clarias melanoderma
13.
Selincah
Polyacanthus hasselti
14.
Seluang
Rasbora argyrotaenia
15.
Sepat mata merah
Trichogaster trichopterus
16.
Sepat siam
Trichogaster pectoralis
17.
Sepatung
Pristolepis fasciatus
18.
Serandang
Ophiocephalus lucius
19.
Tapah
Wallago leeri
20.
Tebakang
Helostoma temmincki
21.
Tempalo lebak
Betta taeniata
22.
Tilan
Mastacembelus unicolor
23.
Toman
Ophiocephalus micropeltes
Sumber: Data Primer, Juni, 2009.
Taksiran populasi
Jarang
Sedikit
Sedikit
Jarang
Sedikit
Banyak
Banyak
Banyak
Sedikit
Sedikit
Banyak
Sedikit
Banyak
Sedang
Sedang
Sedang
Jarang
Jarang
Banyak
Sedang
Banyak
Sedikit
Sedikit
Tabel 18 tersebut di atas, terlihat paling sedikit terdapat 23 spesies nekton
yang semuanya tergolong ke dalam Superkelas Piseces atau ikan. Kelimpahan dari
masing-masing spesies berkisar jarang hingga banyak. Jenis-jnis yang tergolong
kategori banyak adalah: gabus, gabus, lais kecik, lais tunggul, tapah, selincah dan
tempalo lebak. Jenis-jenis yang disebutkan ini sering dipancing atau ditangkap
dengan alat tradisional untuk dijual. Sedangkan jenis lainnya meskipun dipancing
atau dengan menggunakan cara penangkap ikan lainnya, ternyata jarang didapat.
68
Kondisi Lebak Jungkal, Kecamatan Pampangan Kabupaten Ogan
Komering Ilir disajikan pada Gambar 13 dan 14 serta ikan sebagai hasil tangkapan
nelayan disajikan pada Gambar 15.
Gambar 13. Lebak Jungkal, cukup luas tampak air
tenang oleh air dangkal, sehingga
vegetasi kumpai (Panicum sp) tampak
dominan dipermukaan air, Juni 2009.
Gambar 14. Perkampungan Nelayan di Lebak Jungkal,
berada di tengah Rawa Lebak Jungkal,
tepatnya di Lebak Bahanan, Juni 2009.
69
Gambar 15. Sebagian dari produksi tangkapan nelayan
di Lebak Jungkal, Juni 2009.
70
C. Evaluasi Kemampuan Lahan di Desa Hutan pada Lahan Hutan Rawa
Gambut di Bentang Lahan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir
Kegiatan penelitian Evaluasi Kemampuan Lahan di Desa Hutan pada
Lahan Hutan Rawa Gambut di Bentang Lahan Kayu Agung, Kabupaten Ogan
Komering Ilir terdiri dari beberapa desa yang secara admistratif dalam wilayah
Kecamatan Kayuagung, Pedamaran, Pedamaran Timur, Pampangan.
C.1. Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran
Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran mempunyai batas sebelah utara
berbatasan dengan Kelurahan Kedaton Kecamatan Kayuagung; sebelah selatan
berbatasan dengan Desa Tanjung Sari Kecamatan Lempuing; sebelah timur
berbatasan dengan Desa Pulau Geronggang Kecamatan Pedamaran Timur; dan
sebelah barat berbatasan dengan Desa Pedamaran I Kecamatan Pedamaran. Desa
Cinta Jaya luas wilayahnya adalah 25.000 hektar.
Penelitian ini dilaksanakan pada lahan kering di Desa Cinta Jaya
Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir. Lahan Desa Cinta Jaya
terdiri dari lahan kering dengan luas areal 1,4 % dari 25 ribu hektar, lahan rawa
lebak dengan luas areal 4 % dari 25 ribu hektar dan lahan gambut dengan luas
areal
94,6 % dari 25 ribu hektar. Kondisi lahan tersebut akan berpengaruh
terhadap bentuk kegiatan masyarakat yakni pertanian atau perkebunan.
Lahan kering di Desa Cinta Jaya sebagian telah dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk tanaman karet dan berladang, dan sebagian masih berupa semak
belukar. Kondisi tanaman karet yang ditanam oleh masyarakat belum memenuhi
standar penanaman karet, yakni menggunakan sistem tradisional dan tidak
dirawat. Kondisi tersebut pelu upaya pengelolaan lahan agar tanaman dapat hidup
dengan baik dan mampu berproduksi dengan baik pula, maka perlu dilakukan
penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman karet. Kondisi lahan kering dan
vegetasinya dapat dilihat pada Gambar 16dan 17
71
Gambar 16. Tanaman Kerat Di Desa Cinta Jaya
Kecamatan Pedamaran
Gambar 17. Semak Belukar di Desa Cinta Jaya
Kecamatan Pedamaran.
72
C.1.1. Sifat Fisik Tanah Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran
Menurut CSR/FAO Staff (1983), sifat fisik tanah yang dinilai adalah kelas
drainase, kedalaman efektif tanah, dan tekstur tanah. Sifat fisik tanah ini
berpengaruh terhadap kondisi perakaran.
Berdasarkan hasil pengamatan, lokasi penelitian semuanya memiliki kelas
draenase tanah yang tergolong baik, hal ini ditentukan dengan tidak ditemukannya
bercak atau karat pada tanah dan tidak terdapat lahan yang tergenang pada lapisa
permukaan (Hardjowigeno, 2001). Drainase yang baik merupakan kondisi yang
dikehendaki oleh jenis tanaman perkebunan seperti tanaman karet.
Kedalaman efektif tanah pada lokasi penelitian adalah 150cm, dengan
ditemukannya lapisan krokos pada kedalaman 150 cm. Lapisan krokos merupakan
salah satu faktor pembatas kedalaman efektif tanah. Lapisan krokos akan
mempenaruhi perkembangan akar tanaman. Kedalaman efektif tanah merupakan
faktor pembatas yang tidak dapat diperbaiki dan sangat berpengaruh pada
pertumbuhan tanaman, karena menyangkut kemampuan akar dalam berkembang.
Tekstur tanah pada lokasi penelitian adalah lempung berpasir dan lempung
liat berpasir, tetapi didominasi oleh lempung berpasir. Hasil analisis laboratorium,
diketahui bahwa di lokasi penelitian terbagi 2 (dua) kelas tekstur tanah yaitu
tekstur tanah lempung berpasir dengan luas 83,3 % dari 30 hektar yang diwakili
oleh titik sampel T1, T5, T8, T13, T21, T23, T26 dan T29 dan tekstur tanah lempung
liat berpasir dengan luas 16,7 % dari 30 hektar yang diwakili titik sampel T11 dan
T15.
C.1.2. Sifat Kimia Tanah Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran
Sifat kimia tanah yang dinilai meliputi retensi hara (pH dan KTK) dan
ketersediaan hara (N, P2O5, dan K2O). Tabel N-total, P2O5, K2O, KTK dan pH
dapat dilihat pada Tabel 20.
Hasil analisis di laboratorium menunjukkan bahwa, pH tanah pada lokasi
penelitian adalah berkisar antara 4,34 – 5,44. kisaran pH tanah pada lokasi
penelitian tergolong masam sampai agak masam. Penyebab utama tanah bereaksi
73
masam adalah karena curah hujan yang tinggi yang mengakibatkan basa-basa
mudah tercuci (Nyakpa., et al, 1988).
Nilai KTK pada lokasi penelitian tergolong dalam kategori rendah sampai
sedang yaitu antara 13,05–16, 31 cmol(+)kg-1. Nilai KTK tanah tertinggi pada
lokasi penelitian ditemukan pada areal yang diwakili titik sampel T11 dengan
tekstur tanah lempung liat berpasir dan nilai KTK terendah adalah pada areal yang
diwakili titik sampel T26. Rendahnya nilai KTK pada lokasi penelitian, diduga
karena rendahnya kadar liat pada tanah, hal ini dapat dilihat pada lahan yang
memiliki tekstur tanah lempung berpasir nilai KTKnya relatif lebih rendah
dibanding lahan yang memiliki tekstur tanah lempung liat berpasir.
Berdasarkan hasil analisis N-total tergolong rendah sampai sedang, yaitu
berkisar antara 0,15–0,29 %. Nilai N-total sedang mempunyai luasan sekitar 43,3
% dari 30 hektar (T1, T5, T8, T13, T23, dan T26), dan lahan dengan kandungan Ntotal rendah seluas 56,7 % (T11, T15, T21 dan T29). Nitrogen yang tersedia di dalam
tanah yang dapat diserap akar tanaman adalah dalam bentuk ion-ion nitrat dan
amonium. Kedua bentuk N ini diperoleh dari hasil dekomposisi bahan organik,
baik yang berasal dari tumbuhan maupun binatang.
Kandungan P2O5 pada lokasi penelitian berkisar antara 3,67 sampai 93,04
µg g-1 (sangat rendah sampai sangat tinggi). Areal T1,T5, T8, T26 dan T29 memiliki
kandungan P-tersedia sangat rendah (50 % dari 30 hektar), dan areal T13 dan T21
memiliki kandungan P-tersedia rendah seluas 20 %, areal T11 memiliki kandungan
P-tersedia sedang seluas 10 %, sedangkan untuk areal T15 dan T23 memiliki
kandungan P-tersedia sangat tinggi seluas 20% dari 30 hektar. Unsur hara P
diserap tanaman terutama dalam bentuk ortofosfat primer (H2PO4-). Menyusul
kemudian dalam bentuk HPO42-. Penyerapan kedua bentuk ion ini oleh tanaman
dipengaruhi oleh pH di sekitar perakaran. Pada pH yang lebih rendah, ion H2PO4lebih banyak diserap oleh tanaman dari pada ion HPO42-, sedangkan pada pH yang
lebih tinggi sebaliknya (Nyakpa,.et al, 1988).
Kandungan K2O dilokasi penelitian
tergolong rendah sampai tinggi,
dengan kisasaran 0,29 sampai 0,99 cmol(+)kg-1. Pada lokasi penelitian yang
diwakili areal T5 dan T26 memiliki kandungan kalium rendah dengan luas 26,6 %
dari 30 hektar, areal T1, T8, T13, dan T23 memiliki kandungan kalium sedang
74
seluas 36,7 % dari 30 hektar sedangkan areal T11, T15, T21 dan T29, memiliki
kandungan kalium tinggi seluas 36,7 % dari 30 hektar.
Ketersediaan kalium di dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu: tipe koloid tanah, temperatur, keadaan basah dan kering, pH tanah, dan
pelapukan. Kandungan kalium tersedia akan meningkat bila keadaan tanah yang
lembab dikeringkan, terutama pada tanah-tanah dengan kadar kalium yang rendah
hingga sedang (Nyakpa., et al, 1988).
Tabel 20. Analisis Sifat Kimia pada Desa Cinta Jaya, Pedamaran.
Titik sampel N-Total P2O5- Bray
K2O
KTK
-1
-1
pengamatan
(%)
(µg g )
(Cmol(+) Kg ) (Cmol(+) Kg-1)
T1
0,24 (S) 5,15 (SR)
0,42 (S)
15,23 (R)
T5
0,29 (S) 9,62 (SR)
0,29 (R)
13,05 (R)
T8
0,27 (S) 3,67 (SR)
0,42 (S)
14,14 (R)
T11
0,16 (R) 16,03 (S)
0,57 (T)
16,31 (S)
T13
0,23 (S) 14,42 (R)
0,42 (S)
14,14 (R)
T15
0,18 (R) 61,83 (ST)
0,99 (T)
15,23 (R)
T21
0,19 (R) 11,34 (R)
0,57 (T)
15,23 (R)
T23
0,21 (S) 93,09 (ST)
0,42 (S)
12,18 (R)
T26
0,21 (S) 8,93 (SR)
0,29 (R)
11,31 (R)
T29
0,15 (R) 9,62 (SR)
0,57 (T)
14,14 (R)
pH
4,99 (M)
4,94 (M)
4,93 (M)
4,34 (SM)
4,77 (M)
5,44 (M)
4,96 (M)
5,03 (M)
5,10 (M)
4,87 (M)
Keterangan : SM = Sangat masam, M = Masam
T = Tinggi, S = Sedang, R= Rendah, SR= Sangat rendah
C.1.3. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Karet
1. Kesesuaian Lahan Aktual
Berdasarkan hasil pencocokan (matching) di atas maka kelas kesesuaian
lahan aktual secara umum yang diperoleh pada areal yang diwakili titik sampel
pengamatan T1, T5, T8, T26 dan T29 adalah tidak sesuai (N) dengan faktor
pembatas ketersediaan unsur hara Fospor (P) (N-n). Pada titik sampel T11 kelas
kesesuaian lahannya adalah cukup sesuai (S2) dengan faktor pembatas
ketersediaan air (curah hujan dan bulan kering), kedalaman efektif tanah,
ketersediaan unsur hara Nitrogen (N) dan ketersediaan unsur hara Fospor (P) (S2wrn). Pada titik sampel T13 dan T21 adalah kurang sesuai (S3) dengan faktor
pembatas ketersediaan unsur hara Fospor (P) (S3-n).
75
Pada titik sampel T15 memiliki kesesuaian lahan aktual S2-wrnf yaitu
cukup sesuai yang masih sibatasi oleh ketersediaan air (curah hujan dan bulan
kering), kedalaman efektif tanah, KTK dan ketersediaan unsur hara Nitrogen (N).
Pada titik sampel T23 sama dengan T15 (S2) tetapi tidak dibatasi oleh Nitrogen.
Kelas kesesuaian lahan aktual untuk tanaman karet dapat dilihat pada Tabel 21
dan Gambar 18.
Tabel 21. Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Tanaman Karet
Kesesuaian
Faktor Pembatas
Aktual
S2-wrn
Ketersediaan air, unsur hara N, P, kedalaman
efektif
S2-wrnf
Ketersediaan air, unsur hara N, KTK rendah,
kedalaman efektif
S2-wrf
Ketersediaan air, KTK rendah, kedalaman efektif
Ketersediaan unsur hara P
S3-n
Ketersediaan unsur hara P
N-n
Luas
13,3%
3,4%
13,3%
20%
50%
2. Kesesuaian Lahan Potensial
Kesesuaian lahan potensial merupakan kondisi yang diharapkan sesudah
diberikan masukan sesuai dengan tingkat pengelolaan, sehingga dapat diduga
tigkat produksi dari suatu lahan serta hasil produksi per satuan luasnya
(Hardjowigeno, 2001).
Upaya mengatasi faktor pembatas, diperlukan perbaikan pengelolaan guna
meningkatkan tingkat kesesuaian lahan pada lokasi penelitian agar dapat lebih
sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet. Pada lokasi penelitian, faktor
pembatas kesesuaian lahan aktual seperti KTK rendah, ketersediaan unsur hara N
dan P dapat diatasi dengan pemberian input/masukan berupa penambahan bahan
organik dan pemberian pupuk sehingga secara potensial
menjadi S1 (sangat
sesuai); tetapi pada semua lokasi pemgamatan masih dibatasi oleh ketersediaan air
(curah hujan) serta kedalaman efektif yang merupakan faktor pembatas yang
sifatnya tidak dapat diperbaiki, sehingga kesesuaian potensial semua areal lokasi
penelitian adalah S2-wr. Kelas kesesuaian lahan potensial untuk tanaman karet
dapat dilihat pada Gambar 19.
76
3. Rekomendasi Pengelolaan Lahan
Pemupukan merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan kondisi
kemampuan lahan dalam suatu kegiatan pengelolaan lahan untuk tanaman karet
berdasarkan analisis hara tanah. Hasil analisis tanah dan rekomendasi pemupukan
adalah sebagai dasar rekomendasi pengelolaan untuk mengurangi faktor pembatas
lahan. Faktor pembatas yang dijumpai adalah ketersediaan air (curah hujan dan
bulan kering), kedalaman efektif, KTK dan kesuburan tanah.
Upaya untuk mengurangi atau menghilangkan faktor pembatas adalah
dengan penambahan bahan organik pada lahan yang mempunyai KTK rendah dan
pemupukan pada lahan dengan kesuburan tanah rendah. Sedangkan untuk faktor
pembatas berupa kedalaman efektif dan ketersediaan air merupakan faktor
pembatas yang relatif tidak dapat diatasi untuk tingkat petani lokal secara umum.
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi faktor pembatas, akan mampu
meningkatkan kemampuan tanah menjadi lebih baik untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman karet. Khusus untuk pemupukan pada titik pengamatan
dapat dilihat pada Tabel 21.
Gambar 18. Peta Kesesuaian Lahan Aktual
77
Gambar 19. Peta Kesesuaian Lahan Potensial
Tabel 22. Kelas Kesesuaian Lahan potensial untuk Tanaman Karet
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Titik sampel
pengamatan
T1
T5
T8
T11
T13
T15
T21
T23
T26
T29
Kesesuaian
potensial
S2-wr
S2-wr
S2-wr
S2-wr
S2-wr
S2-wr
S2-wr
S2-wr
S2-wr
S2-wr
Input
Bahan Organik dan Pupuk
Bahan Organik dan Pupuk
Bahan Organik dan Pupuk
Pupuk
Bahan Organik dan Pupuk
Bahan Organik dan Pupuk
Bahan Organik dan Pupuk
Bahan Organik
Bahan Organik dan Pupuk
Bahan Organik dan Pupuk
78
D. Kondisi Sosioekonomi dan Aktivitas Masyarakat di Kawasan Hutan
Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Secara administratif wilayah kajian penelitian berada dalam wilayah
Kecamatan Kota Kayu Agung, Pedamaran, Pedamaran Timur, SP Padang, dan
Pampangan. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan
bahwa wilayah tersebut masih banyak terdapat lahan gambut yang diperkirakan
telah berumur puluhan hingga ratusan tahun. Lahan gambut tersebut berada dalam
kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan berdekatan dengan area pemukiman
penduduk yang berasal dari lokal maupun penduduk pendatang. Keberadaan lahan
gambut dan hutan produksi terbatas tentunya tidak luput dari campur tangan baik
pemerintah setempat maupun peran serta masyarakat yang berada di sekitarnya.
Diharapkan dengan adanya penelitian ini maka paling tidak akan
memberikan sumbangsih berupa gambaran/potret sedikit tentang keberadaan
lahan gambut dan hutan produksi terbatas diusia pada saat ini. Lahan gambut
merupakan sesuatu anugrah yang diberikan Allah SWT sebagai berkah yang
diberikan untuk makluk hidup ciptaannya yang ada di muka bumi. Pada
hakikatnya ciptaan Tuhan yang satu ini berfungsi sebagai penyetabil kehidupan
ekosistem di dalamnya. Salah satu fungsinya adalah untuk menahan debit air pada
saat terjadi limpahan air diakibatkan oleh hujan atau pasang permukaan air laut,
sehingga dengan adanya daya kapilaritas maka gambut ini dapat menyerap air
sehingga tidak menyebabkan banjir, sedangkan pada saat terjadi musim kering
maka daerah yang terdapat gambut akan mengeluarkan cadangan air sehingga
dapat membantu makluk hidup untuk mendapatkan cadangan air. Selain itu lahan
gambut dapat berfungsi sebagai media penyerap karbon yang efektif sehingga
keberadaan cukup memberikan andil besar dalam mengantisipasi pemanasan
global atau perubahan iklim yang pada saat ini terus dibicarakan orang.
Oleh sebab itu sudah seharusnya manusia yang telah dikaruniai nikmat
sebesar itu dapat menjaganya dengan baik. Namun sepertinya manusia masih
banyak yang belum menyadari akan aset tersebut, malah sebaliknya kondisi lahan
gambut sekarang ini banyak yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi
tanpa memikirkan dampak/resiko yang akan terjadi dikemudian hari.
79
Fokus studi di arahkan pada kehidupan masyarakat yang bermukim di
sekitar lahan gambut kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), dengan desa yang
masuk dalam kajian penelitian antara lain Desa Kedaton dan Desa Teloko
Kecamatan Kota Kayu Agung, Desa Cinta Jaya dan Desa Suka Damai Kecamatan
Pedamaran, Desa SP Padang dan Desa Penyandingan Kecamatan SP Padang,
Desa Jungkal dan Desa Bangsal Kecamatan Pampangan.
Penelitian di desain dengan metode survai dan dilaksanakan di pemukiman
desa yang berada di sekitar lahan gambut kawasan Hutan Produksi Terbatas
(HPT) pada bulan Juni 2009 terhadap 40 orang warga yang bermukim di sekitar
lahan gambut kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Pengambilan sampel
dilakukan secara acak dengan asumsi sampel telah memenuhi syarat homogenitas.
Desa-desa yang dipilih dalam penelitian ini mencakup Desa Kedaton dan
Desa Teloko Kecamatan Kota Kayu Agung, Desa Cinta Jaya dan Desa Suka
Damai Kecamatan Pedamaran, Desa SP Padang dan Desa Penyandingan
Kecamatan SP Padang, Desa Jungkal dan Desa Bangsal Kecamatan Pampangan.
Untuk mendapatkan data primer maupun sekunder, dilakukan wawancara dengan
berpedoman pada kuisioner yang telah disusun serta pengamatan langsung
terhadap aktivitas warga di sekitar kawasan hutan produsi terbatas.
Peubah yang diteliti meliputi prilaku masyarakat yang bermukim di
sekitar kawasan HPT, Persepsi masyarakat terhadap kelestarian hutan dan
Manfaat hutan produksi terbatas di Kayu Agung Kabupaten Ogan Komering Ilir,
masing-masing ditetapkan sebanyak dua indikator dan setiap indikator dianalisis
dengan menggunakan tabulasi frekuensi. Data yang dikumpulkan dianalisis secara
deskriptif sesuai dengan distribusi frekuensi setiap indikator yang diamati.
1. Data Responden
Keberadaan lahan gambut di hutan produksi terbatas di Kayu Agung
merupakan salah satu wujud aset alam yang sangat dibutuhkan bagi makluk hidup
yang tinggal di kawasan tersebut. Fungsinya sebagai penyeimbang kehidupan
ekologi dan sekaligus sebagai penyerap/penyimpan karbon mempertegas bahwa
lahan gambut tidak ada kata lain harus tetap dijaga dan dikelola dengan baik.
80
Data menunjukkan bahwa sebagian besar responden (77.5%) adalah lakilaki dan 22,5% perempuan. Sebagian besar (60%) berusia antara 33-50 tahun,
27,5% berusia kurang dari 35 tahun, dan sebagian kecil (7,5%) di atas 50 tahun.
Pada jenjang usia tersebut kodisi fisik responden cukup prima, dan mampu
mengambil keputusan secara cepat apalagi mereka telah memiliki pengalaman,
kemampuan teknis dan manajerial tentang tugas dan fungsinya yang harus
dilaksanakan serta ditunjang dengan pendidikan yang dimiliki baik formal,
maupun non formal.
Sebaran data pendidikan formal responden adalah 15% Tidak Tamat SD
(TTSD), 60% Tamat SD (TSD), 20% tamat SMP, dan 5% Tamat SMA.
Berdasarkan tingkat pendidikan formal, responden yang tergolong usia muda
cenderung memiliki pendidikan lebih tinggi dibanding dengan responden yang
berusia tua. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa belum pernah ada semacam
pembinaan khusus yang ditujukkan ke masyarakat yang bermukim di seputar
lokasi gambut tentang bagaimana memberikan kesadaran kepada warga untuk
turut menjaga kelesatarian hutan dan lahan gambut di kawasan hutan produksi
terbatas. Hanya kurang dari 15% masyarakat yang memahami betul akan
kelestarian hutan dan lahan gambut yang ada di sekitar tempat tinggal mereka.
1.1. Pendidikan
Tingkat pendidikan sebagian besar Kepala Keluarga di wilayah studi
relatif masih rendah, yakni tamat SD. Namun sekarang ini, minat untuk
memberikan pendidikan yang lebih baik kepada anak umumnya cukup baik. Jenis
dan jumlah sarana pendidikan di wilayah studi pada saat dilakukan penelitian
dapat dilihat pada Tabel 23.
81
Tabel 23. Banyaknya Sarana Pendidikan (Negeri & Swasta) di Wilayah Studi
Menurut Jenjang Pendidikan.
Desa
SD
SMP
SMA
MI
Kedaton
1
0
3
1
Teloko
2
0
0
0
Suka Damai
0
0
0
0
Cinta Jaya
1
0
0
0
SP Padang
1
0
0
0
Penyandingan
1
0
0
0
Jungkal
1
0
0
0
Bangsal
1
0
0
0
Sumber : Data Monografi Desa, Tahun 2008.
1.2. Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk
Berdasarkan data statistik di wilayah studi pada tahun 2008 (Tabel 24),
tingkat kepadatan penduduk rata-rata masih tergolong rendah (kurang dari 50
jiwa/ha), sedangkan di Desa Kedaton pendudukanya sudah cukup banyak namun
kondisi topografi yang menyebabkan masyarakat yang bermukim di sisni
cenderung mengumpul disatu daerah, misalnya di pinggir sungai, jalan, atau
daerah strategis lainnya. Sedangkan untuk dua desa lainnya yaitu Cinta Jaya dan
Desa Jungkal memang pada dasarnya penduduknya masih sedikit dan cenderung
untuk memencar untuk mencari tempat tinggal, biasanya berdomisili di dekat
kebun, atau sungai.
Tabel 24. Data Kepadatan Penduduk di Wilayah Studi tahun 2008.
Desa
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
5.046
Luas
Kedaton
900 Ha
Teloko
Cinta Jaya
1.935
102,24 Km2
Suka Damai
SP Padang
Penyandingan
Jungkal
1.485
315 Ha
Bangsal
Sumber : Data Monografi Desa di Wilayah Studi, 2008.
Kepadatan Penduduk
5,61 jiwa/Ha
18,93 jiwa/km2
4,71 jiwa/Ha
82
Desa Kedaton merupakan desa yang lokasinya berdekatan dengan pusat
pemerintahan kecamatan sekaligus menyatu dengan pusat pemerintahan Kabupaten
Ogan Komering Ilir. Di samping itu daya tarik lain di Desa Kedaton terdapat banyak
industri-industri berskala rumah tangga seperti industi tikar purun dan industri
kerupuk/kelempang, bahkan hasil industri rumah tangga ini sudah terkenal dan
dipasarkan keluar daerah seperti jambi, medan, bangka, dan di wilayah Pulau Jawa.
Sehingga daerah ini menjadi pusat perkembangan ekonomi yang baru di Kecamatan
Kota Kayu Agung, khususnya perekonomian masyarakat sekitarnya.
Penyebaran penduduk di wilayah studi pada umumnya mempunyai pola
terpusat di desa yang mengikuti pola pinggiran jalan atau aliran sungai. Lahan
pertanian umumnya berada di luar area pemukiman.
1.3. Sosial Ekonomi dan Budaya
1.3.1. Ekonomi Rumah Tangga
Sumber pendapatan masyarakat di wilayah studi, khususnya di Kecamatan
Kota Kayu Agung beranekaragam. Pada umumnya sebagai petani dengan
mengusahakan sebagian di industri rumah tangga seperti usaha Tikar Purun,
kelempang, kerupuk, dan sebagainya. Mata pencaharian lainnya yaitu kebun karet
dan kelapa sawit. Usaha pertanian tersebut umumnya masih dilakukan secara
tradisional. Untuk menambah penghasilan, sebagian masyarakat juga berusaha di
bidang peternakan dan perikanan. Selain itu, sebagian penduduknya berusaha di
sektor perdagangan dan jasa seperti industri kecil, saw mill, mebel, perbengkelan,
jasa transportasi, toko dan rumah makan. Hal ini desa yang masuk di wilayah
Kecamatan Kayu Agung berdekatan dengan perlitasan jalan lintas timur. Tingkat
pendapatan masyarakat sangat bervariasi, umumnya berkisar antara Rp. 500.000,sampai Rp. 2.000.000,-. Ini terlihat dari beragamnya usaha di masyarakat, dengan
tingkat penghasilan yang berbeda. Jumlah penduduk miskin di Kecamatan Kota
Kayu Agung adalah 2.061 keluarga atau 10,9 % dari jumlah keluarga.
83
1.3.1. Perekonomian Lokal dan Regional
Pola penggunaan lahan di wilayah studi cukup bervariasi. Meskipun masih
didominasi oleh wilayah perkebunan dengan kondisi tanah sebagian besar adalah
tanah gambut, maka lahan yang ada mulai diolah untuk tanaman yang cocok
dengan keadaan tanah tersebut. Secara umum perekonomian lokal di wilayah studi
tumbuh cukup pesat. PDRB per kapita juga menunjukkan kenaikan yang
signifikan dari tahun ke tahun. Menurut data statistik, PDRB Kecamatan di kota
Kayu Agung pada tahun 2005 secara umum tumbuh 22,54 %. Sektor industri,
perdagangan dan jasa juga tumbuh cukup pesat. Fasilitas umum yang terdapat di
wilayah studi berupa kawasan perkantoran Pemerintah Kabupaten Ogan
Komering Ilir. Disamping itu juga terdapat fasilitas ekonomi seperti sarana
perdagangan (kios/toko/ warung/ruko), SPBU, dan sarana kelembagaan ekonomi
yakni 1 buah KUD. Fasilitas sosial yang ada meliputi sarana kesehatan, sarana
olahraga berupa 1 buah lapangan sepak bola, dan 2 buah lapangan Bola Volley,
serta sarana keagamaan berupa 8 buah mesjid, 8 buah musholla dan majelis
taklim, remaja mesjid, kelompok kesenian Islam (kompangan/rebana). Adapun
sarana pendidikan yang ada di Desa Bukit Baling meliputi 2 buah TK, 3 buah SD,
1 buah SMP dan 2 buah MI.
1.3.2. Budaya/Adat Istiadat
Masyarakat di wilayah studi hampir semuanya beragama Islam, sehingga
corak budayanya dipengaruhi oleh agama yang dianut. Adat istiadat dominan
yang dianut oleh masyarakat tersebut adalah adat istiadat suku Ogan dan
Komering. Hal ini dikarenakan sebagai besar masyarakat adalah Suku Melayu
Komering. Suku bangsa lain juga banyak dijumpai terutama adalah Jawa. Di
samping itu dijumpai juga Suku Padang, Batak, dan Palembang. Sekarang desadesa yang masuk dalam Kecamatan Kayu Agung
merupakan daerah yang
heterogen, Mengingat daerah ini adalah pusat pemerintahan, sekaligus akan
menjadi pusat perekonomian, maka keragaman penduduk tidak menimbulkan
permasalahan, karena masyarakat setempat juga mesti membuka diri terhadap
masyarakat pendatang.
84
Proses akulturasi, asimilasi dan integrasi berlangsung secara wajar. Ini
terbukti dengan banyaknya pernikahan dengan orang yang berbeda suku. Apalagi
letak wilayah studi yang berada di jalur jalan lintas timur Sumatera dengan tingkat
keramaian yang semakin tinggi, semakin memudahkan proses sosial yang
berlangsung. Namun ada hal-hal tertentu yang bisa menimbulkan sentimen
emosional dari masyarakat, misalnya menyangkut masalah kecelakaan lalu lintas
atau masalah keagamaan. Tetapi dengan semakin membaiknya tingkat pendidikan
masyarakat, terbukanya wilayah, lancarnya transportasi dan komunikasi,
menyebabkan faktor-faktor yang bisa menyulut konflik sosial bisa dieliminir.
Warisan sosial budaya secara fisik di wilayah studi hampir tidak
ditemukan lagi, mengingat dulunya wilayah ini adalah wilayah pertanian murni
yang kemudian beralih menjadi desa perdagangan. Sebagian besar bentuk fisik
desa menyerupai bentuk fisik desa semi modern, dengan pola bangunan sudah ada
yang menyerupai pola bangunan umum sekarang yakni dengan rumah beton /
kayu dan atap seng / genteng, namun masih banyak juga terlihat bentuk rumah
panggung dan terlihat kurang memenuhi standar rumah sehat dengan corak kayu
dan atap dari daun purun, pemandangan tersebut banyak dijumpai disepanjang
pinggiran sungai dan di pinggiran kota.
Secara non fisik, warisan budaya yang masih ada berupa upacara
pernikahan yang masih menggunakan atribut daerah, meskipun dengan
penyesuaian-penyesuaian. Budaya yang lain seperti kehidupan sosial, misalnya
gotong royong, meskipun masih ada, tetapi berangsur-angsur mulai hilang sejalan
dengan globalisasi yang semakin individualis dan materialistis.
1.4 Prilaku Masyarakat terhadap Aktifitas Masyarakat di Lahan Gambut
Hutan Produksi Terbatas
Dalam penelitian ini, faktor prilaku masyarakat (Tabel 25) yang diamati
adalah Status pekerjaan (jenis pekerjaan), tujuan mendatangi lahan gambut, dan
Intensitas kunjungan ke lahan gambut. Hasil penelitian menunjukkan ada dua
kemungkinan masyarakat pergi ke hutan yaitu untuk mencari kayu bakar atau
untuk berladang. Sebagian besar (55 %) responden memanfaatkan waktunya ke
85
hutan untuk mencari kayu bakar. Kayu bakar tersebut diperoleh dengan cara
menebang pohon baik yang berdiameter sedang atau kecil, atau hanya mengambil
ranting-ranting yang sudah jatuh ke tanah. Batang kayu yang masih basah
biasanya langsung di jemur di depan rumah atau di kebun. Setelah kering kayu
bakar tersebut di potong-potong hingga berdiameter kurang lebih 3 – 4 cm dan
dipotong sepanjang kurang lebih 40–50 cm. Satu ikat kayu bakar biasa di jual
dengan harga Rp 12.000,- hingga Rp 15.000,-. Selain mengambil kayu bakar
aktifitas masyarakat di kawasan hutan produksi terbatas adalah berladang (30 %).
Usahatani yang dilakukan adalah menanam sawit, padi, karet, dan sebagian kecil
ada yang mengusahakan umbi-umbian.
Sistem pembukaan lahan yang digunakan dengan cara membakar.
Sebagian lagi tujuannya adalah mencari sejenis daun purun (15%) yang digunakan
untuk industri rumah tangga. Mengingat salah satu lokasi studi yang sedang teliti
ini merupakan basis kerajinan Tikar Purun. Kerajinan tikar purun ini sudah ada
sejak nenek moyang mereka, dan produknya sampai sekarang sudah sangat
terkenal baik lokal maupun luar daerah. Tikar purun biasa digunakan penduduk
untuk alas tidur, membuat topi, kerajinan tangan, dan sebagainya. Namun di
tengah himpitan ekonomi dan kurangnya regenerasi muda untuk menekuni
kerajinan ini maka pengrajin tikar purun yang ada di Desa Kedaton saat ini tinggal
sedikit dan bisa dihitung dengan jari.
Tabel 25. Prilaku Masyarakat Terhadap Aktivitas Masyarakat di Lahan Gambut
Kawasan Hutan Produksi Terbatas.
Prilaku Masyarakat
Kategori
Jumlah %
Status pekerjaan
Memiliki pekerjaan tetap
2
5
Tidak memiliki pekerjaan tetap
38
95
Tujuan ke hutan
Mencari kayu bakar
22
55
Berladang
12
30
Mencari bahan baku membuat kerajinan 6
15
RT
Jalan – jalan
0
0
Intensitas kunjungan < 1 kali/minggu
22
55
2 – 3 kali/minggu
6
15
> 3 kali/minggu
12
30
86
Status pekerjaan masyarakat yang bermukim di kawasan hutan produksi
terbatas berpengaruh terhadap prilaku masyarakat dalam beraktivitas di hutan
tersebut. Dari hasil penelitian ditemukan indikasi bahwa penduduk yang tidak
memiliki
mata
pencaharian
tetap
cenderung
untuk
sering
beraktivitas
mengunjungi hutan dengan tujuan untuk mencari penghasilan tambahan yang
didapat dari mengumpulkan kayu, ranting, memancing, dan sebagainya. Aktivitas
tersebut didorong oleh kebutuhan hidup yang harus dipenuhi dan tidak ada pilihan
lain. Sedangkan yang memiliki pekerjaan tetap cenderung untuk menyatakan
jarang ke hutan untuk beraktivitas. Alasannya karena mereka untuk mencukupi
kehidupan sehari-hari sudah ada. Disamping hasilnya lebih besar maka aktivitas
mencari kayu bakar di hutan sangat melelahkan dan proses untuk mendapatkan
hasil relatif lambat.
Intensitas responden mengunjungi lahan gambut hutan produksi terbatas
cukup bervareatif hal ini paling tidak bisa diketahui dari kasibukan dan waktu
luang warga masyarakat yang ada. Biasanya warga yang tidak memiliki pekerjaan
yang tetap/mapan biasanya bisa menghabiskan waktu seharian (>8 jam) sehari
(dari pagi sampai sore). Dengan frekuensi kunjungan rata-rata 2 kali setiap
minggu (Tabel 24). Hal tersebut dapat dipahami karena tidak setiap hari kayu
bakar bisa diperoleh di hutan, atau menunggu kayu yang sudah di peroleh laku
terjual.
1.5. Persepsi Masyarakat terhadap Kelestarian Lahan gambut di Kawasan
Hutan Produksi Terbatas (HPT)
Menurut
Rachmat
(2002),
persepsi
adalah
proses
mental
yang
menghasilkan bayangan pada diri individu, sehingga dapat mengenal suatu objek
dengan jalan assosiasi suatu ingatan tertentu, baik secara indera penglihatan,
perabaan maupun yang lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
manusia cenderung untuk melihat kondisi lingkungan terdekat potensi apa yang
bisa dimanfaatkan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Dalam hal ini masyarakat yang bermukim di sekitar lahan gambut akan cenderung
untuk melakukan pekerjaan yang dapat menghasilkan sesuatu yang dapat
membantu mencukupi kebutuhan hidupnya. Kegiatan tersebut diantaranya
87
mencari kayu bakar, mencari ikan, burung, mengelola lahan gambut untuk
ditanami, mencari daun purun untuk dijadikan barang kerajinan, dan sebagainya.
Tentunya aktivitas masyarakat semacam ini akan menimbulkan semacam
fenomena tersendiri yaitu antara kebutuhan hidup dan pelestarian alam.
Persepsi masyarakat terhadap keberadaan lahan gambut di kawasan hutan
produksi terbatas dapat dilihat dari penilaian responden terhadap keberadaan lahan
gambut di sekitar kawasan hutan produksi terbatas dapat dilihat pada Tabel 25.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagian masyarakat di wilayah
studi memang sebgaian hidupnya masih ada yang menggnatungkan dari
keanekaragaman yang dimiliki oleh hutan. Hutan sebagai kawasan yang memiliki
keanekaragaman hayati yang luar biasa, sebagian hasilnya dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat sekitar untuk dijadikan sebagai mata pencaharian, baik utama
maupun sampingan
Keragaman hayati dapat menjadi alasan kenapa masyarkat di sekitar lokasi
penelitian sering melakukan aktivitas sehari-hari di kawasan hutan.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 70% responden menyatakan alasan sering
melakukan aktivitas di hutan karena hutan memiliki banyak keragaman hayati
yang menjanjikan sesuatu untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber mata
pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan responden tidak
memiliki pilihan lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebanyak 30%
responden menyatakan saat ini hutan sudah sedikit sekali memiliki keragaman
hayati yang dapat dimanfaatkan untuk menambah pendapatan rumah tangga, oleh
sebab itu maka mereka banyak mencari mata pencaharian alternatif dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Perbandingan di atas menunjukkan bahwa
pada dasarnya masyarakat di kawasan hutan produksi terbatas dalam beraktivitas
di lahan gambut hutan produksi terbatas semata-mata hanya untuk membantu
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Maka dari itu hal ini dapat menjadi
perhatian pemerintah setempat dalam upaya menanggulangi kemiskinan terutama
di seputar wilayah penduduk yang bermukim di dekat kawasan hutan (Tabel 26).
88
Tabel 26. Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Lahan Gambut di Kawasan
Hutan Produksi Terbatas
Penilaian responden tehadap lahan gambut
Jumlah
%
(orang)
Keragaman hayati yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
28
70
- mempunyai banyak keragaman yang dihasilkan untuk
dapat membantu manambah kebutuhan hidup seharihari karena tidak ada alternatif pilihan untuk mencari
pekerjaan lainnya
12
30
- tidak memiliki banyak keragaman yang dapat
dihasilkan dari lahan gambut namun memiliki usaha
lain dalam memenuhi kebutuhan hidup
Kemampuan mengelola lahan gambut untuk dapat
diusahakan
- responden mengetahui jenis tanaman yang dapat
23
57.5
hidup dilahan gambut
- responden memahami cara mengelola tanah di lahan
10
25
gambut
- responden mengetahui cara menanggulangi hama &
5
12.5
penyakit tanaman di lahan gambut
- responden dapat memabandingkan biaya yang
2
5
dibutuhkan untuk mengelola tanaman di lahan
gambut
Pemanfaatan teknologi dalam mengelola lahan gambut
- menggunakan teknologi modern dalam mengelola
2
5
lahan gambut
- hanya
menggunakan
teknologi
sederhana
17
42.5
(tradisional)
21
52.5
- tidak menggunakan teklogi dalam mengelola lahan
gambut
Selain keragaman hayati, kemampuan responden dalam mengelola lahan
gambut juga dapat mempengaruhi aktivitas di lahan gambut di kawasan hutan
produksi terbatas. Berkaitan dengan kemampuan responden dalam mengelola
lahan, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (57,5 %) responden
sangat memahami tanaman-tanaman apa yang dapat hidup dilahan gambut,
sehingga dalam mengelola lahan gambut petani tidak sembarangan memilih jenis
tanaman yang akan dibudidayakan. Tentu saja lahan gambut sangat selektif sekali
dalam memilih tanaman yang dapat hidup di lingkungannya. Separuh lebih (25 %)
responden menyatakan memahami cara mengelola tanah di lahan gambut.
89
Pengelolaan tanah biasanya dengan cara diberi perlakukan seperti membuat
gundukan yang tinggi agar akar tanaman muda yang baru tumbuh tidak
menyentuh tanah gambut, karena jika tidak diberi perlakuan seperti itu tanaman
akan mudah mati karena tidak memiliki cadangan bahan organik, mengingat di
dalam lahan gambut banyak terdapat zat-zat yang dapat meracuni/merusak akar
tanaman tertentu. Selain kandungan zat-zat yang dapat merusak tanaman, maka di
area lahan gambut juga sangat rentan terhadap bahaya serangan hama dan
penyakit tanaman. Hama yang sering merusak tanaman adalah babi, tikus, ulat,
dan sebagainya. Data penelitain menunjukkan sebanyak 12.5 % responden
menyatakan mengetahui cara menanggulangi masalah hama dan penyakit tanaman
yang ada di area lahan gambut.
Pemanfaatan teknologi dalam mengelola lahan gambut tergolong cukup
bervareatif, hal ini logis karena penggunaan teknologi dalam beraktivitas akan
berimbas pada penambahan biaya yang dikeluarkan dalam suatu kegiatan. Dalam
penelitian ini penggunaan teknologi digolongkan kedalam dua kategori yaitu
penggunaan dan penguasaan teknologi modern, penggunaan teknologi semi
modern
(sederhana),
dan
secara
tradisional/naluri.dari
hasil
penelitian
menunjukkan bahwa sebanyak 5% masyarakat yang beraktivitas di lahan gambut
sudah ada yang menggunakan teknologi modern, seperti menggunakan mesin
pertanian (hand Traktor, bolduser, dsb) dalam mengelola usahatani di lahan
gambut. Sedangkan sebagian besar (52.5%) responden hanya mengandalakan
peralatan yang sederhana, seperti ; cangkul, arit, parang, gergaji, dan sebagainya.
Kendala yang dihadapi oleh responden pada umumnya adalah masalah
keterbatasan biaya/dana. Dengan biaya yang terbatas mereka hanya mampu
mengandalkan tenaga dan peralatan yang sederhana.
1.6. Manfaat Lahan Gambut di Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT)
Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik
dengan ketebalan >45 cm maupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral
pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik
>50 cm. Pembentukan tanah gambut secara umum dimulai dengan adanya
cekungan lahan berdrainase jelek dan genangan air, sehingga memungkinkan
90
terjadinya penumpukkan bahan organik yang sukar melapuk. Vegetasi tua yang
roboh akan digantikan oleh vegetasi baru yang pertumbuhannya makin
dipengaruhi ketebalan bahan organik. Lahan gambut memiliki peran dalam
ekosistem lahan rawa gambut baik secara hidrologi, pelestarian satwa dan
vegetasi. Lahan gambut memegang peranan penting dalam sistem hidrologi suatu
lahan rawa, dimana salah satu sifat gambut berperan dalam sistem hidrologi
adalah menahan air yang dimilikinya. Gambut memiliki daya menahan air sangat
besar yaitu 300 hingga 800 persen dari bobotnya (Wahyunto et al., 2005). Selain
itu gambut juga mempunyai daya melepas air pada saat permukaan air turun.
Pemanfaatan lahan gambut mulai menonjol sejalan dengan program
transmigrasi dan ekstensifikasi pertanian melalui reklamasi rawa pantai atau
pasang surut. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan gambut antara lain;
keadaaan lingkungan tanah gambut, ketebalan gambut, sifat fisik dan kimiawi,
dan perkembangan tanah akibat reklamasi dan pemilihan teknologi yang tepat.
Lahan gambut di kawasan hutan produksi terbatas keberadaanya sangat dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat yang bermukim di sekitarnya, terbukti dari 85%
responden yang menyatakan bahwa lahan gambut memberi andil dalam siklus
hidrologi di kawasan tersebut, selain itu keanekaragaman hayati yang terkandung
di dalam hutan membantu masyarakat untuk menambah pendapatan rumah
tangga. Hal ini selain disebabkan oleh faktor kemiskinan maka masyarakat yang
bermukim di kawasan hutan produksi terbatas pada umumnya tidak memiliki
mata pencaharian yang mapan/tetap. Keadaan ini menunjukkan bahwa lahan
gambut sebagai penyeimbang siklus kehidupan, selain berperan dalam siklus
hidrologi dan penyerapan karbon, juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan
hidup manusia yang tinggal di sekitarnya.
Sehubungan dengan peran dan manfaat lahan gambut di kawasan hutan
produksi terbatas di lihat dari persepsi masyarakat, menunjukkan bahwa 85%
responden menyatakan bahwa lahan gambut sangat bermanfaat bagi kelestarian
lingkungan dan dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk mendapatkan tambahan
penghasilan rumah tangga bagi penduduk yang bermukim di sekitarnya. Sebanyak
10% responden menyatakan lahan gambut sangat bermanfaat dalam kelestarian
dan siklus hidrologi namun keberadaannya kurang dapat dimanfaatkan sebagai
91
lahan untuk berusaha tani dalam rangaka menambah pendapatan rumah tangga.
Sedangkan sebanyak 5% responden menyatakan lahan gambut kurang
memberikan manfaat bagi kelangsungan hidupnya.
92
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
A. 1. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap
Karakteristik Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung,
Kabupaten Ogan Komering Ilir.
1. Lahan gambut merupakan ekosistem yang marjinal dan rapuh sehingga mudah
rusak. Lahan gambut yang telah mengalami kerusakan akan sulit untuk
diperbaharui. Kecamatan Pedamaran adalah salah satu kecamatan di
Kabupaten OKI yang memiliki lahan gambut yang sebagian besar terdapat di
Desa Cinta Jaya. Oleh karena itu pengelolaanya memerlukan perencanaan
yang matang.
2. Hasil penelitian, gambut Desa Cinta Jaya hampir seluruhnya tergolong gambut
sangat dalam (> 3 m). Tanah mineral yang berada di bawah lapisan gambut
bertekstur liat dan mengandung pirit. Nilai pH tanah gambut berkisar antara
3,38 hingga 3,75 dan tergolong sangat masam. Nitrogen total sangat tinggi
berkisar antara 0,58% hingga 0,79%. Rasio C/N sangat tinggi berkisar antara
37 hingga 53.
3. Berdasarkan kadar abu tanah gambutnya, gambut lokasi penelitian tergolong
gambut dengan tingkat kesuburan mesotrofik. Tingkat dekomposisi hemik,
namun dibeberapa bagian tergolong fibrik dengan bahan asal penyusun
gambut berupa rumput dan kayu-kayuan.
93
A.2.
Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap
Keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung,
Kabupaten Ogan Komering Ilir
A.2.1. Danau Teloko, Kecamatan Kayuagung
Wilayah Danau Teloko, merupakan danau rawa yang muka airnya
berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau. Sebagai danau rawa, debit
air sangat tergantung pada pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil
terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi ketika
turun hujan. Danau Teloko juga cukup luas, yaitu .. hektar (ratusan hektar) dengan
kedalaman 2–5 meter pada waktu musim hujan dan < 2 meter pada waktu
kemarau.
Vegetasi dominan di danau teloko, eceng gondok (Eichhornia crassipes),
purun (Lepironia mucronata), kumpai (Panicum stagninum), teratai besar
(Nelumbo nucifera),
ketanan (Polygonum pulchrum), keladi (Colocasia
esculenta), genjer (Limnocharis flava), belidang (Fimbristylis annua), petai air
(Neptunia prostrata), kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang
(Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung
antara lain: senggani (Melastoma malabathricum) dan rumput pait (Axonopus
compressus). Sementara itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada kondisi
tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.).
Beberapa jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang
beradaptasi dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis
ikan kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas
Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain:
keruwak (Amaurornis
phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis),
bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul kecil (Egretta garzetta), bangau
totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna javanica), elang bondol
(Heliastur indus) dan bodol (Lonchura leucogastra). hasil analisis komunitas
plankton, indeks keanekaragaman komunitas plankton pada 4 titik pengambilan
sample (musim kemarau) ternyata cukup besar, yaitu jauh >2,00, yakni berkisar
2,86–3,24. Indeks keanekaragaman plankton mendekati 3,00 hingga >3,00
menunjukkan kondisi komunitas plankton adalah mendekati sangat stabil hingga
sangat stabil. Indeks keanekaragaman sebesar 2,86–3,24, yakni jauh di atas 2,00
menunjukkan tidak terdapat pencemaran dalam badan air Danau Teloko. Namun
demikian, kelimpahan komunitas plankton rata-rata <100 individu/liter air
menunjukkan kelimpahan sedang, yakni populasi masing-masing plankton
tergolong tidak melimpah. Hal ini berkaitan dengan kondisi badan air yang rendah
kandungan nutrisinya diperlihatkan dari kandungan N rendah.
Jenis-jenis ikan yang mampu pada kondisi defisit oksigen tersebut adalah
ikan-ikan berwarna gelap (blackfishes) yang memiliki alat pernapasan tambahan
semacam labirin, sehingga kekurangan oksigen terlarut dapat dicukupi dengan
mengambil oksigen udara di permukaan air dengan alat labirin yang dimilikinya.
Jenis-jenis yang banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas testudineus),
selincah (Polyacanthus hasselti), gabus (Channa striata),
lele (Clarias
batrachus), sepat siam, sepat mata merah, tempalo lebak (Betta taeniata) dan
tebakang (Helostoma temmincki).
94
A.2.2. Danau Air Hitam, Kecamatan Pedamaran
1. Danau Air Itam merupakan danau rawa yang muka airnya juga berfluktuasi
menurut musim penghujan atau kemarau. Debit air sangat tergantung pada
pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil terdekat atau aliran air
dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi ketika terun hujan. Danau
Air Itam juga cukup luas dengan kedalaman 3–6 meter pada waktu musim
hujan dan <3 meter pada waktu kemarau, bahkan pada waktu kemarau
panjang (>5 bulan) permukaan danau menjadi kering seperti yang terjadi pada
tahun 1997.
2. Vegetasi danau Air Itam dominan yakni rumput jae-jae (Panicum repens),
rumput kusut (Paspalum distichum), eceng gondok (Eichhornia crassipes),
purun (Lepironia mucronata), kumpai (Panicum stagninum), teratai besar
(Nelumbo nucifera), ketanan (Polygonum pulchrum), belidang (Fimbristylis
annua), petai air (Neptunia prostrata), kangkung (Ipomoea aquatica) dan
rumput ganggang (Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada
tanah mengapung antara lain: rumput pait (Axonopus compressus). Sementara
itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada kondisi tergenang adalah
kayu gabus (Alstonia spp.) dan kayu gelam rawa (Melaleuca leucadendra).
3. Beberapa jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang beradaptasi
dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis ikan
kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas
Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain: keruwak (Amaurornis
phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis),
bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul kecil (Egretta garzetta),
bangau totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna javanica) dan
elang bondol (Heliastur indus).
4. Hasil analisis komunitas plankton, indeks keanekaragaman komunitas plankton
pada 3 stasiun (titik) pengambilan sample (musim kemarau) ternyata cukup
besar, yaitu rata-rata >3,00, yakni berkisar 3,13–3,31. Indeks keanekaragaman
plankton melebihi 3,00 menunjukkan kondisi komunitas plankton adalah
tergolong sangat stabil. Indeks keanekaragaman sebesar 3,13–3,31 yakni >
3,00 menunjukkan tidak terdapat pencemaran dalam badan air Danau atau
Lebak Air Itam.
5. Jenis-jenis ikan yang mampu pada kondisi defisit oksigen tersebut adalah ikanikan berwarna gelap (blackfishes) yang memiliki alat pernapasan tambahan
semacam labirin, sehingga kekurangan oksigen terlarut dapat dicukupi dengan
mengambil oksigen udara di permukaan air dengan alat labirin yang
dimilikinya. Jenis-jenis yang banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas
testudineus), selincah (Polyacanthus hasselti), gabus (Channa striata atau
Ophiocephalus striatus), lele (Clarias batrachus), sepat siam, sepat mata
merah, tempalo lebak (Betta taeniata) dan tebakang (Helostoma temmincki).
6. Kelimpahan dari masing-masing spesies berkisar jarang hingga banyak. Jenisjnis yang tergolong kategori banyak adalah ikan belut, betok, buntal, gabus,
lele kalang, selincah, sepat mata merah, sepat siam, tempalo lebak dan toman.
95
A.2.3. Lebak Jungkal, Kecamatan Pampangan
1. Lebak Jungkal merupakan lebak rawa yang sangat luas, muka airnya
berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau, dan debit air sangat
tergantung pada pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil
terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi
ketika turun hujan. Lebak Jungkal juga cukup luas, yaitu .. hektar (ratusan
hektar) dengan kedalaman 1–4 meter pada waktu musim hujan dan <2 meter
pada waktu kemarau, bahkan pada waktu kemarau panjang (>5 bulan)
permukaan danau menjadi kering.
2. Jenis vegetasi yang mendominasi keluarga Gramineae yang sering disebut
dengan bahasa lokal rumput kumpai dengan spesies: Panicum stagninum,
Panicum colonum dan Panicum reptans.
3. Vegetasi Lebak Jungkal adalah pandan rawa (Pandanus ornatus) Panicum
stagninum, Panicum colonum, Panicum reptans, eceng gondok (Eichhornia
crassipes), purun (Lepironia mucronata), telipuk (Nymphoides indica),
ketanan (Polygonum pulchrum), belidang (Fimbristylis annua), petai air
(Neptunia prostrata), kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang
(Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung
antara lain: senggani (Melastoma malabathricum) dan rumput pait (Axonopus
compressus). Sementara itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada
kondisi tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.).
4. Jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang beradaptasi dengan
lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis ikan kecil dan
berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas Annelida. Jenis
unggas akuatik tersebut antara lain: keruwak (Amaurornis phoenicurus),
ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis), bambangan
(Ixobrychus cinnamomeus), kuntul besar (Egretta alba), kuntul kecil (Egretta
garzetta), bangau totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna
javanica), elang bondol (Heliastur indus) dan bodol (Lonchura leucogastra).
5. Hasil analisis komunitas plankton, indeks keanekaragaman komunitas plankton
pada 2 titik pengambilan sample (musim kemarau) ternyata cukup besar, yaitu
jauh >3,00. Indeks keanekaragaman plankton >3,00 tersebut menunjukkan
kondisi komunitas plankton adalah sangat stabil. Indeks keanekaragaman
sebesar >3,00, menunjukkan tidak terdapat pencemaran dalam badan air
Lebak Jungkal. Namun demikian, kelimpahan komunitas plankton pada Lebak
Bahanan tergolong rendah, yaitu 49 individu/liter (<50 individu/liter air),
sementara itu pada lokasi Lebak Betung kelimpahan komunitas planktonnya
sebesar 79 individu/liter air, menunjukkan kelimpahan sedang. Dengan
demikian, populasi masing-masing plankton tergolong tidak melimpah. Hal ini
berkaitan dengan kondisi badan air yang rendah kandungan nutrisinya N total
dan fosfor (PO4).
6. Jenis-jenis yang banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas testudineus),
selincah (Polyacanthus hasselti), gabus (Channa striata atau Ophiocephalus
striata), lele (Clarias batrachus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), sepat
mata merah (Trichogaster trichopterus) , tempalo lebak (Betta taeniata) dan
tebakang (Helostoma temmincki).
96
A.3. Evaluasi Kemampuan Lahan di Desa Hutan pada Lahan Hutan Rawa
Gambut di Bentang Lahan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering
Ilir
1. Faktor pembatas pertumbuhan tanaman pada lokasi penelitian curah hujan dan
kedalaman efektif yang tidak dapat diperbaiki dan tergolong dalam kelas
kesesuaian S2 (cukup sesuai),
2. Secara aktual, pada lokasi penelitian terdapat 3 kelas kesesuaian untuk
tanaman karet, yaitu kelas kesesuaian N (tidak sesuai) pada areal titik
pengamatan T1, T5, T8, T26, dan T29 yang dibatasi ketersediaan unsur hara P,
kelas kesesuaian S3 (kurang sesuai) pada areal T13 dan T21 yang dibatasi oleh
ketersediaan unsur hara P, dan S2 (cukup sesuai) pada titik T11 yang dibatasi
oleh ketersediaan air, ketersediaan hara N dan P serta kedalaman efektif, S2
pada areal T15 yang dibatasi oleh ketersediaan air, ketersediaan hara N, KTK
rendah dan kedalaman efektif; dan S2 pada T23 yang dibatasi oleh ketersediaan
air, KTK rendah dan kedalaman efektif.
3. Secara potensial, seluruh areal penelitian tergolong dalam kelas kesesuaian S2
(cukup sesuai) yang dibatasi oleh ketersediaan air (curah hujan) serta
kedalaman efektif.
4. Pengelolaan yang diperlukan untuk mengurangi faktor pembatas adalah dengan
melakukan pemupukan, misalnya pupuk urea pada areal T29 dengan dosis
43,47 kg/ha dan pupuk SP36 pada titik T8 dengan dosis 201,23 kg/ha.
97
A.4. Kondisi Sosioekonomi dan Aktivitas Masyarakat di Kawasan Hutan
Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir
1. Prilaku masyarakat di sekitar lahan gambut kawasan hutan produksi terbatas
tergolong cukup positif. Sebagian besar responden ke hutan untuk mencari
kayu bakar (55 %), berladang (30 %), dan mengambil daun purun untuk
dijadikan bahan pembuat kerajinan tikar purun (15 %), walaupun intensitas
kunjungan tergolong terbatas.
2. Persepsi masyarakat terhadap kelestarian lahan gambut di kawasan hutan
produksi terbatasi tergolong positif, walaupun dari segi kemampuan dalam
mengelola sumber daya di lahan gambut masih perlu ditingkatkan lagi.
3. Sebagai pemegang peranan penting dalam sistem hidrologi suatu lahan rawa,
dimana salah satu sifat gambut berperan dalam sistem hidrologi adalah
menahan air yang dimilikinya maka sebagian besar masyarakat menyadari hal
tersebut dengan cara memelihara/menjaga dari kerusakan dengan tidak
merusak vegetasi yang ada.
4. Saat ini masyarakat lebih banyak beraktifitas di luar hutan dibandingkan
dengan menebang kayu di hutan, seperti mencari ikan, buka warung, membuat
industri rumah tangga, buruh bangunan, jasa ojek, dan sebagainya. Hal ini
tidak terlepas dari dukungan dan partisipasi pemerintah untuk lebih
memperhatikan tingkat kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitar lahan
gambut hutan produksi terbatas dengan cara membimbing dan memberikan
pengarahan secara intensif.
98
B. Saran
B.1. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap
Karakteristik Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung,
Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Lahan gambut pada lokasi pengamatan termasuk dalam kawasan non
budidaya, sehingga diperlukan sosialisasi tentang fungsi dan manfaat lahan
gambut kepada penduduk sekitar lahan gambut oleh Pemerintah Daerah dan
menjadi tanggung jawab semua pihak.
Pada lahan yang termasuk kawasan budidaya dapat dilakukan pengelolaan
yang melibatkan peran serta masyarakat desa sekitar lahan gambut, sehingga
peningkatan potensi sumberdaya lahan yang berwawasan lingkungan dan berbasis
kemasyarakatan dapat tercapai.
B.2. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap
Keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung,
Kabupaten Ogan Komering Ilir
Perlu dikaji bagaimana sistem pengembangan dan peningkatan kelimpahan
komunitas plankton di Danau Lebak Jungkal untuk memacu produksi optimal
perikanan rawa lebak gambut.
Perlu dilakukan aplikasi pengembangan perikanan rawa lebak dengan
pengembangan kultur plankton dari jenis-jenis yang diidentifikasi dalam
penelitian ini.
B.3. Evaluasi Kemampuan Lahan di Desa Hutan pada Lahan Hutan Rawa
Gambut di Bentang Lahan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering
Ilir
Upaya yang diperluka untuk mendapatkan hasil yang optimal, perlu di
adakannya perbaikan kondisi lahan dengan memberikan masukan/input berupa
pemupukan dan penambahan bahan organik pada areal dengan titik pengamatan
tertentu.
B.4. Kondisi Sosioekonomi dan Aktivitas Masyarakat di Kawasan Hutan
Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir
Pemberian bantuan berupa pinjaman modal atau pengadaan semacam
pelatihan kewirausahaan dapat membantu masyarakat memiliki sumber mata
pencaharian alternatif selain memilih beraktifitas di dalam hutan untuk memenuhi
kebutuhan sehari hari. Pemberian rambu-rambu atau tanda larangan akan depat
meningkatkan kesadaran warga untuk dapat ikut berpartisipasi dalam menjaga
kelestarian lahan gambut di kawasan hutan produksi terbatas.
99
DAFTAR PUSTAKA
Adinugroho, W.C., IN. N. Suryadiputra., Bambang Hero Saharjo dan Labueni
Siboro. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Gambut. Proyek Cliate, Forests and Peatlads in Indonesia. Wetlands
International – Indonesia Programe dan wildlife Habitat Canada. Bogor.
Indonesia.
APHA. 1980. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater,
15 th Edition. APHA Inc., New York. 1134 p.
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Barchia, M.F. 2006. Gambut, Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Gadjah
Mada University Press.
Barnes R.S.K. and K.H. Mann. Fundamentals of Aquatic Ecosystems. Blackwell
Scientific Publications. Oxford London Edinburgh Boston Melbourne. 229
p.
Budianta D. 2003. Strategi Pemanfataan Hutan Gambut Yang Berwawasan
Lingkungan. Makalah dalam: Lokakarya Pengelolaan Lahan Gambut
Secara Bijaksana dan berkelanjutan di Indonesia. Bogor
CCFPI. 2005. Pemanfaatan Lahan Gambut secara Bijaksana untuk Manfaat
Berkelanjutan. Seri Prosiding 08. Ditjen Bina Bangda – Depdagri,
Ditjen PHKA – Dephut, Pemprop. Kalimantan Tengah, Pemprop. Riau,
Wetlands International – Indonesia Programme, Wildlife Habitat Canada,
Global Environment Centre, WWF – Indonesia, Care International –
Indonesia, Yayasan BOS – Mawas, LP3LH. Bogor
CSR/FAO Staf. 1983. Reconnainssance Land Resourch Survey 1 : 2500 Scale
Atlas Format Procedurs. Center for Soil Resourch. Bogor.
Darmawijaya, M.I. 1990. Klasifikasi Tanah : Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah
dan Pelaksanaan Pertanian di Indonesia. Universitas Gajah Mada Press.
Yogyakarta.
Davis, C.C. 1955. The Marine and Fresh-Water Plankton. Michig-an State
University. 562 p.
Dent, D. 1986. Acid Sulphat Soils: a baseline for reserch and development. ILRI.
Wagenigen. Publ. No. 39 The Netherlands.
Direktorat Jendral Perkebunan.
1984.
Pedoman Bercocok Tanam dan
Pengolahan Karet. Departemen Pertanian Jakarta. Jakarta.
Dresscher, TGN and H. van der Mark (1976). A Simplified method for the
assessment of quality of fresh & Slightly Brakish Water. Hydrobiologia,
Vol. 48, 3 pp. 199-201.
Edmondson, W.T. 1959. Fresh-Water Biology. University of Washington, Seattle.
Printed in the University States of America. 1248 p.
Effendi H.M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. 163 hal.
FAO. 1976. A Famework for Land Evaluation. FAO Soil Bull. No. 32, Romer,
72 pp: and ILRI Publication No. 22 Wageninge, 87 pp.
Foth, H.D. 1984. Fundamentals of Soil Science. 7th Edition. Jhon Wiley and Son
Inc. USA.
100
Go, B.H. 1978. Tanah Rawa Lebak dalam Simposium Pemanfaatan Potensi
Daerah Lebak. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Palembang.
Goldman, C.R., and A.J. Horne, 1983. Limnologi. McGraw-Hill International
Book Company, Singapore.
Goldman, C.R., and A.J. Horne, 1983. Limnologi. McGraw-Hill International
Book Company, Singapore.
Gouyon, A. H. de Foresta dan P. Levang. 1993. Kebun Karet Campuran Di
Jambi Dan Sumatera Selatan. “Does "jungle rubber" deserve its name? An
analysis of rubber agroforestry systems in southeast Sumatra.”
Agroforestry Systems Volume 22: 181-206.
Hakim, N., Nyapka, M.Y., Lubis. A.M., Nugroho, S.G., Diha, M.A., Saul, M.R.,
Go Ban Hong., Bailey, H.H. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas
Lampung. Lampung.
Hanafiah, A. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo Persada.Jakarta.
Hansen, V.E., Israelsen, O.W., Stringham, G.E., Tachen, E.P, Dalam Soetjipto.
1986. Dasar-Dasar dan Praktek Irigasi. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Hardjowigeno, S. 1986. Sumber Daya Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan :
Histosol. Fakultas Pertanian Bogor.
Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.
Hardjowigeno, S dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Rencana Tata
Guna Lahan. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Kartasapoetra, G.A.G dan M.M. Sutedjo. 1991. Teknologi Konservasi Tanah dan
Air. PT. Bina Aksara. Jakarta.
Kerkut, G.A. 1963. The Invertebrata – A Manual For The Use Of Students. Fourth
Edition Revised. Cambridge At The University Press. 419 p.
Kurnia, U. 2004. Prospek Pengairan Pertanian Tanaman Semusim Lahan Kering.
Balai Penelitian Tanah. Jalan Ir H. Djuanda No 93. Bogor.
Global Resources. IPS-GSF.
Lappalainen. E. 1996. Gemeral Riew on World Peatland and Peat Resources.
Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN) LPTP Koya Barat. 1995. Usaha
Konservasi Pada Lahan Kering. loka Pengkajian Teknologi Pertanian
Koya Barat. Irian Jaya. No. 03/95.
Media Indonesia. 2007. Sidang ke-62 Majelis Umum PBB tentang Perubahan
Iklim (IPCC). No.9758. Jakarta.
Mulyani, A., Sukarman., A. Hidayat dan A. Abdurachman. 2001. Peluang
Pemanfaatan Lahan Tidur untuk Meningkatkan ProduksiTanaman Pangan
di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 20(1). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Jl. Ir. H. Juanda No. 98, Bogor.
Najiyati, S., M. Lili., N. S. I Nyoman. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan
Gambut Untuk Pertanian Berkelanjutan. Wetlands International
Indonesia
Programme. Bogor.
Noor, M. 2000. Rawa Lebak, Ekologi, Pemanfaatan dan Pengembangannya.
Rajawali Pers. Jakarta.
Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut dan Kendala. Konisius. Yogyakarta.
Noor, M. 2004. Lahan Rawa, Sulfat dan Pengelolaan Tanah Bersifat Sulfat
Masam. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
101
Notohadikusumo, T. 2000. Seminar Nasional Pengembangan Ilmu Tanah
Berwawasan Lingkungan. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM,
Yogyakarta.
Nyakpa, M. Y, A. M. Lubis, M. A. Pulung, A. Ghaffar Amrah, Ali Munawar, Go
Ban Hong, N. Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Penerbit Universitas
Lampung. Lampung.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. W.B. Sounders
Company. Philadelphia, London, Toronto. Toppan Company, Ltd. Tokyo,
Japan. 574 p.
Marschner. 1986. Mineral Nutrition of Higher Plants. Academic Press. Harcourt
Brace Javanovic, Publishers, London.
McConnaughey and R. Zottoli. 1983. Pengantar Biologi Laut. The C.V. Mosby
Company. St. Louis. Toronto. London. 860 p.
Mizuno, T. 1979. Illustrations of The Freshwater Plankton of Japan. Hoikusha
Publishing Co., Ltd. 353 p.
Needham, J.G. and D. R. Needham. 1963. A guide to study of freshwater biology,
15th Edition. Holden Day Inc., Inc. San Fransisco. 108 p.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta. 442 hal.
Pennak, R.W. 1978. Freshwater invertebrates of the united states. Jhon Wiley and
Sons. New York. 803 p.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Edisi Revisi. 2000. Kriteria Keadaan
Lahan dan Komoditas Pertanian Badan Penelitian dan Pembangunan
Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.
Rahman, Dj. 1993. Land Evaluation for tea plantation on sloping Areas (CS in
the bufer zone of CBR); Thesis. Rural & Land Ecologi Survey, ITC,
Ensc, The Netherlands.
Rahman, Dj. 1999. Penilaian Kesesuaian Lahan Untuk Arahan Pengembangan
Pertanian di Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan. Disampaikan Pada
Seminar dan Kongres Nasional VII HITI. Bandung.
Rahman, Dj. 2000. Evaluasi Sumber Daya Lahan untuk Arahan Pengembangan
Karret di Sumatera Selatan. Seminar Pengkajian Teknologi Pertanian
Spesifik Lokasi Sumatera Selatan, tgl 1 – 2 maret 2000 di Palembang.
Riwandi. 2001. Kajian Stabilitas Gambut Tropika Indonesia Berdasarkan Analisis
Kehilangan Karbon Organik, Sifat Fisiko Kimia dan Komposisi Bahan
Gambut. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Sachez, P.A. 1993. Sifat dan Pengelolaan TANAH Tropika. Penerbit ITB.
Bandung.
Safuan, L.O. 2002. Kendala Pertanian Lahan Kering Masam Daerah Tropoika
dan Pengelolaannya : Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sachlan, M.
1980. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. UNDIP
Semarang. 103 hal.
Sachlan, M. 1980. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. UNDIP
Semarang. 103 hal.
102
Seta, A.K. 1991. Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pengendalian Erosi
Tanah. Universitas Sriwijaya. Indralaya.
Setiawan, H.K. 1991. Akibat Pemampatan atas Sifat-sifat Gambut Sehubungan
dengan Tingkat Perombakan. Tesis Sarjana. Dep. Ilmu Tanah. FP. UGM.
Setyamidjaja, D. 1993. Karet. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sitorus, S.R.P. 1985. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Taristo. Bandung.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soil Survey Staff. 1990. Keys to soil taxonomy. 4th ed. Soil Management
Support. Virginia Polytech. Inst. And State Univ. Blacksburg.
Suprapto. 2001. Pengkajian System Usahatani di Lahan Kering Di Kecamatan
Gerogak Kabupaten Buleleng, Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Bali. Denpasar, Bali.
Syarief, S.E. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit C.V. Pustaka Buana.
Bandung.
Tim Penulis Penebar Swadaya. 1992. Karet. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Triana. 2003. Warta Konservasi Lahan Basah : Mengapa Alam/Lingkungan
Selalu Menjadi ”Korban”. Wetlands International, Vol XI :3. Bogor.
Tjahjono, J.A. Eko. 2006, Kajian Potensi Endapan Gambut Indonesia Berdasarkan
Aspek Lingkungan. Prociding Pemaparan Hasil-hasil Kegiatan Lapangan
dan Non Lapangan. Pusat Sumber Daya Geologi. Google. Diakses
Tanggal 7 Juni 2009.
Wahyunto., Sofyan Ritung., Suparto., H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan
Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Watlands International.
Bogor.
Welch, P.S. 1962. Limnologcal Methods. Mc. Graw-Hill Book Company Ltd.,
New York. 381 p.
Wijaya Adhi, IPG., IGM Subiska PH dan B. Radjguguk. 1989. Pengelolaan
Tanah dan Air Lahan Pasang Surut, Studi Kasus Karang Agung. Sumatera
Selatan. Dalam Usaha Tani di Lahan Pasang Surut dan Rawa. Risalah
Seminar Proyek-proyek Swamps II. Bogor.
103
Download