1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pada saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi maka hubungan antar manusia menjadi hampir tanpa batas, karena pada dasarnya manusia adalah merupakan makhluk sosial dan sekaligus makhluk politik (Zoonpoliticon). Sebagai makhluk sosial maka manusia senantiasa berhubungan dengan sesama manusia dan sebagai makhluk politik maka manusia senantiasa hidup dalam organisasi. Manusia tidak akan dapat hidup sendiri karena mereka saling membutuhkan. Demikian pula dalam perkembangan di dalam masyarakat saat ini manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya harus selalu berhubungan dengan manusia lain. Dalam memenuhi kebutuhan hidup maka kerja sama antara sesama manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan ekonominya sehingga banyak sekali jenis kerja sama antara sesama manusia yang kemudian dituangkan dalam berbagai jenis perjanjian, baik yang tertulis maupun secara lisan karena di dalam hukum perjanjian kita mengenal adanya asas Kebebasan Berkontrak, sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata. Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapapun; (3) menentukan isi perjanjian, 2 pelaksanaan dan persyaratannya; (4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.1 Dengan adanya asas kebebasan berkontrak ini maka dalam masyarakat banyak sekali perjanjian, dan bahkan dapat dikatakan hampir setiap segi kehidupan masyarakat telah dibuat perjanjian antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya, guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dalam perkembangannya Asas Kebebasan Berkontrak dapat mencapai tujuan apabila posisi tawar diantara para pihak yang membuat perjanjian sama atau seimbang, akan tetapi dalam kenyataannya banyak perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang mempunyai posisi tawar yang tidak seimbang. Dalam hal seperti ini maka pihak yang mempunyai posisi tawar yang lebih kuat akan dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak lain yang mempunyai posisi tawar lemah demi keuntungannya. Terhadap Asas Kebebasan berkontrak ini ada pembatasannya yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata. Suatu perjanjian agar mengikat kedua belah pihak yang membuatnya sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata maka harus memenuhi syarat, yaitu syarat subyektif yang berupa sepakat mereka yang mengikatkan diri (kata sepakat) dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (kecakapan para pihak) dan juga harus memenuhi syarat obyektif yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab (causa) yang halal. Perjanjian yang dibuat dengan memenuhi syarat sahnya perjanjian tersebut maka 1 Sjahddeini Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia, hlm. 158. 3 berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak yang berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak dan tidak dapat ditarik tanpa kesepakatan kedua belah pihak. Syarat sahnya perjanjian yang pertama yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri (kata sepakat) ini berarti kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak lainnnya. Dengan kata lain mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. 2 Kesepakatan tersebut harus secara bebas artinya benar-benar atas kemauan sendiri secara suka rela dari para pihak. Menurut ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata ada 3 (tiga) sebab yang membuat kesepakatan tidak bebas, yaitu karena adanya kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) dan penipuan (bedrog) yang dalam perkembangan kemudian berdasarkan Yurisprudensi ada satu hal lagi yang membuat kesepakatan tidak bebas yaitu adanya penyalahgunaan keadaan. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (kecakapan para pihak) berhubungan dengan pengertian dewasa yaitu orang-orang yang telah mampu untuk melakukan suatu perbuatan hukum dengan akibat hukum yang sempurna. Menurut ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata maka setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali ia dinyatakan tidak cakap, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata yang menentukan beberapa golongan orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu : 2 Herry Susanto, 2010, Peranan Notaris Dalam Menciptakan Kepatutan Dalam Kontrak, Yogyakarta, FH UII Press, hlm. 18-19. 4 a. Orang-orang yang belum dewasa, dimana batas kedewasaan menurut KUHPerdata adalah 21 tahun, akan tetapi menurut undang-undang yang lain, misalnya Undang-Undang Pengadilan Anak (Undang-Undang No. 3 tahun 1997), Undang-Undang Perlindungan Anak (undang-Undang No. 23 tahun 2002) dan lain-lainnya, pada saat ini batas kedewasaan ditentukan 18 tahun. Bagi anak yang belum dewasa untuk melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh walinya. b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan. Bagi mereka untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh pengampu atau kuratornya. c. Perempuan dalam hal-hal ditetapkan oleh Undang-Undang, akan tetapi terhadap ketentuan ini dalam perkembangannya ditentukan bahwa seorang istri dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1963. Suatu hal tertentu merupakan syarat ketiga dari syarat sahnya perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah merupakan pokok-pokok perjanjian, merupakan prestasi yang akan dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan obyek perjanjian. Prestasi harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan.3 3 Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, hlm. 93. 5 Hal terakhir dari syarat sahnya perjanjian adalah suatu sebab (causa) yang halal. Sebab (causa) yang halal di sini adalah isi dari perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. 4 Dalam perkembangannya sekarang sering terjadi perjanjian dibuat tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, misalnya karena sepakat para pihak terjadi karena adanya penipuan (bedrog), dimana hal tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1328 KUHPerdata dapat dijadikan alasan untuk pembatalan perjanjian dengan syarat penipuan tersebut sedemikian rupa terang dan nyata bahwa pihak lain tidak akan mau membuat perjanjian jika tidak dilakukan penipuan. Adanya penipuan ini tidak bisa hanya dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Bahwa dari ketentuan Pasal 1328 KUHPerdata tersebut maka perjanjian yang dibuat yang kesepakatannya terjadi karena adanya penipuan (bedrog) maka dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perjanjian dan untuk itu harus dibuktikan melalui gugatan di Pengadilan Negeri. Terhadap pengertian dan pengaturan penipuan (bedrog) ini juga dikenal dan diatur dalam lapangan hukum pidana yang merupakan hukum publik yaitu dimuat dalam Bab XXV Buku II KUHP, dari Pasal 378 s/d Pasal 394. Title asli bab ini adalah bedrog yang oleh banyak ahli diterjemahkan sebagai penipuan, atau ada juga yang menerjemahkannya sebagai perbuatan curang. Perkataan penipuan itu sendiri mempunyai dua pengertian, yakni : 1. Penipuan dalam arti luas, yaitu semua kejahatan yang dirumuskan dalam Bab XXV KUHP. 4 Herry Susanto, op cit, hlm. 23. 6 2. Penipuan dalam arti sempit, ialah bentuk penipuan yang dirumuskan dalam Pasal 378 (bentuk pokoknya) dan Pasal 379 (bentuk khususnya), atau yang biasa disebut dengan oplichting. Adapun seluruh ketentuan tindak pidana dalam Bab XXV ini disebut dengan penipuan, oleh karena dalam semua tindak pidana di sini terdapatnya perbuatanperbuatan yang bersifat menipu atau membohongi orang lain. Dari pengertian penipuan dalam arti sempit sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP berbunyi selengkapnya sebagai berikut : "Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum , dengan memakai nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun." Rumusan penipuan tersebut terdiri dari unsur-unsur objektif yang meliputi perbuatan (menggerakkan), yang digerakkan (orang), perbuatan itu ditujukan pada orang lain (menyerahkan benda, memberi hutang, dan menghapuskan piutang), dan cara melakukan perbuatan menggerakkan dengan memakai nama palsu, memakai tipu muslihat, memakai martabat palsu, dan memakai rangkaian kebohongan. Selanjutnya adalah unsur unsur subjektif yang meliputi maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan maksud melawan hukum. Dan mengenai adanya penipuan inilah yang harus dibuktikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata untuk syarat membatalkan perjanjian jika sepakat yang terjadi diperoleh karena adanya penipuan. 7 Bahwa di masyarakat masih banyak yang belum faham dan mengerti mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian ini sehingga pada saat membuat perjanjian tidak mengetahui apakah perjanjian yang dibuat sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian atau belum. Dalam prakteknya maka sering terjadi perjanjian dibuat tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, antara lain karena tidak adanya sepakat mereka yang mengikatkan diri atau tidak adanya kata sepakat yang disebabkan karena dalam kata sepakat tersebut diperoleh karena kekhilafan, paksaan atau penipuan . Oleh karena itu dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak apabila kata sepakat yang diperoleh karena adanya penipuan maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan upaya hukum dapat dilakukan secara perdata maupun pidana. Perjanjian yang dibuat secara sah yaitu memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata selain berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang maka perjanjian tersebut juga harus dilaksanakan dengan itikad baik. 5 Asas Itikad Baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menetukan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pengertian itikad baik ini dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : itikad baik dalam arti subyektif adalah sikap batin seseorang pada saat dimualinya suatu hubungan 5 Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hlm. 96. 8 hukum yang berupa pikiran bahwa syarat-syarat yang diperlukan sudah dipenuhi. Itikad baik dalam arti subyektif ini biasa disebut dengan kejujuran. Itikat baik dalam arti obyektif ialah itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian artinya itikad baik yang ditujukan untuk menilai pelaksanaan perjanjian. Dalam pelaksanaan perjanjian harus tetap mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta harus berjalan diatas rel yang benar. 6 Menurut Abdulkadir Muhammad, yang dimaksud dengan itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) bukanlah dalam arti Subyektif, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi, yang dimaksud dengan itikad baik di sini adalah ukuran obyektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian itu. 7 Bahwa dalam praktek di masyarakat banyak perjanjian yang tidak terlaksana sesuai dengan isi perjanjian, baik karena adanya wanprestasi dari salah satu pihak, atau karena adanya keadaan memaksa (force mayeur) tetapi juga bisa karena tidak adanya itikad baik ataupun karena adanya perbuatan yang mengandung unsur-unsur pidana dari salah satu pihak, misalnya penggelapan dan penipuan sehingga akan menimbulkan masalah bagaimana penyelesaian terhadap perkara-perkara perdata, yang dalam hal ini penulis membatasi hanya mengenai perkara perdata yang bersumber pada perjanjian yang didalamnya mengandung atau bersinggungan dengan unsur-unsur tindak pidana. Apakah akan diselesaikan secara perdata dengan melakukan gugatan di Pengadilan Negeri ataukah akan menuntut melalui jalur pidana dalam hal ini dengan mengadukan ke Penyidik 6 7 Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Intermasa, hlm. 41. Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hlm. 99. 9 Polisi, ataukah akan menuntut menggunakan dua jalur yaitu melalui jalur perdata dan jalur pidana sekaligus. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka penulis tertarik untuk menulis tesis dengan judul “PENYELESAIAN PERKARA PERDATA YANG BERSINGGUNGAN DENGAN UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA”. B. Rumusan Masalah. Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut maka Penulis memperoleh permasalahan sebagai berikut : Bagaimana penyelesaian perkara perdata jika terdapat unsur-unsur pidana di dalamnya di Pengadilan Negeri Sleman. C. Tujuan Penelitian. Sebagai suatu karya ilmiah maka tesis juga harus mempunyai tujuan, dalam hal ini tujuan dari penulisan tesis menurut Maria S.W. Sumardjono adalah untuk menunjukkan adanya suatu hal yang diperoleh setelah penelitian selesai 8. Sedangkan yang menjadi tujuan dari penelitian yang penulis lakukan adalah : 1. Tujuan Subyektif : Tujuan Subyektif penelitian ini adalah untuk memperoleh data sebagai bahan guna penyusunan tesis sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 8 Maria S.W. Sumardjono, 2007, Bahan Kuliah Metodologi Penelitian Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 12. 10 2. Tujuan Obyektif : Untuk mengetahui penyelesaian perkara perdata jika terdapat unsur-unsur pidana di dalamnya di Pe3ngadilan Negeri Sleman. D. Keaslian Penelitian. Berdasarkan hasil penelusuran penulis di perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada dan perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tidak ditemukan karya ilmiah, baik yang berupa penulisan hukum ataupun tesis yang pembahasannya sama dengan yang penulis teliti. Tetapi ada penelitian yang dilakukan oleh orang lain yang membahas mengenai hal yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu : 1. Penelitian yang dilakukan oleh Roknel Maadia, dengan judul Tindak Pidana Penipuan Dalam Hubungan Kontraktual Menurut Hukum Pidana Indonesia. Penelitian ini merumuskan permasalahan yaitu : a. Bagaimana terjadinya tindak pidana penipuan dalam hubungan kontraktual ? b. Bagaimana penyelesaian tindak pidana penipuan di luar pengadilan ? Penelitain ini kemudian menyimpulkan sebagai berikut : a) Karakteristik wanprestasi dan penipuan, keduanya memiliki karakteristik yang sama, yaitu sama-sama didahului atau diawali dengan hubungan kontraktual. Ketika kontrak ditutup diketahui sebelumnya ada tipu muslihat, keadaan palsu dan rangkaian kata bohong oleh salah satu pihak, maka hubungan hukum ini dinamakan penipuan dalam hukum pidana 11 pasal 378 KUHP dan penipuan dalam hukum perdata pasal 1328 BW (adanya cacat kehendak diantaranya kekhilafan, paksaan dan penipuan). b) Penerapan konsep penipuan dan wanprestasi dalam Yurisprudensi terhadap kasus-kasus yang lahir dari hubungan kontraktual belum terdapat acuan, pemahaman dan penafsiran yang sama, antara hakim Pengadilan Tigkat Pertama, Tingkat Banding maupun Tingkat kasasi. Satu pihak menyatakan hubungan hukum itu merupakan suatu perbuatan wanprestasi, dilain pihak merupakan suatu perbuatan penuipuan. Oleh karena itu telah terjadi inkonsistensi bdari hakim Mahkamah Agung dalam memutus suatu perkara yang lahir dari hubungan kontraktual. Bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan karena dalam penelitian tersebut hanya meneliti mengenai perbuatan penipuan dan wanprestasi, sedangkan penelitian yang penulis lakukan tindak pidana lain yang bersinggungan dengan perkara perdata yang juga tidak hanya mengenai wanprestasi dan penelitian penulis lebih menekankan upaya pihak yang dirugikan untuk menuntut haknya. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Rr. Wilis Tantri Atma Negara, dengan judul : Penyelesaian Sengketa Perdata Dengan Cara Mediasi oleh Pengadilan Negeri Surakarta. Penelitian ini merumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana proses penyelesaian sengketa perdata dengan cara mediasi oleh Pengadilan Negeri Surakarta ? b. Apa akibat hukum mediasi bagi kedua belah pihak tersebut ? 12 Penelitian ini memperoleh kesimpulan yaitu : 1) Proses penyelesaian sengketa perdata dengan cara mediasi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Surakarta, dalam hal ini ada dua tahap yang dilakukan dalam penyelesaian sengketa perdata, yaitu : a) Tahap Pra Mediasi Dalam tahap pra mediasi ini tahap-tahap yang ditempuh adalah sebagai berikut : - Memeriksa kasus perdatya yang masuk di Pengadilan Negeri Surakarta. - KPN Surakarta menunjuk Majelkis Hakim, Hakim Anggota dan Panitera dalam menangani dan menyelkesaikan kasus perkara perdata. - KPN Surakarta menetapkan hari sidang pertama dan harus dihadiri oleh para pihak. - Majelis Hakim menunjuk mediator berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak untuk membantu proses mediasi dalam Pengadilan Negeri Surakarta. b) Tahap Mediasi. Dalam tahap mediasi ini dijelaskan bahwa dalam tahap mediasi langkah-langkah yang biasanya ditempuh oleh seorang mediator adalah sebagai berikut : i. Meminta para pihak menghadap mediator. ii. Menentukan jadwal pertemuan. iii. Melakukan kaukus, 13 iv. Mempertemukan kedua belah pihak. v. Melaporkan hasil mediator. Dapat diambil kesimpulan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam hal ini telah menjalankan tugasnya dengan baik dan juga telah menjalankan serta memenuhi Peraturan Mahkamah No. 1 tahun 2008 (PERMA) karena dalam hal ini PERMA sifatnya wajib dalam setiap Pengadilan Negeri yang dalam menangani kasus perdata yang dilakukan dengan cara mediasi dan dalam hal ini telah dicantumkan beberapa pasal yang terkait dan sesuai dengan pokok permasalahan yang terdapat dalam kasus-kasus sengketa perdata. 2) Akibat hukum mediasi bagi kedua belah pihak dalam penyelesaian sengketa perdata dengan cara mediasi yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Surakarta yaitu dengan cara melakukan suatu kesepakatan perdamaian yang berkekuatan hukum sama dengan putusan perkara perdata yang diputus Majelis Hakim dihadapan sidang. Akibat hukum mediasi bagi kedua belah pihak disini adalah sebagai berikut : a) In kracht van gewijsde (mempunyai kekuatan hukum tetap). b) Tidak dapat diajukan gugatan baru lagi. c) Dapat dieksekusi. d) Tidak ada upaya hukum. Bahwa penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan karena dalam penelitian hanya meneliti mengenai penyelesaian perkara perdata melalui mediasi dalam proses gugatan di Pengadilan Negeri, sedangkan 14 penelitian yang penulis lakukan menyangkut penyelesaian perkara perdata tetapi yang bersinggungan dengan tindak pidana yang juga tidak hanya mengenai mediasi tetapi penelitian penulis lebih menekankan upaya pihak yang dirugikan untuk menuntut haknya. Bahwa apabila ternyata pernah dilakukan penelitian yang sama atau sejenis maka penelitian ini diharapkan dapat melengkapinya.